79
Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif Prof. Muhammad Quraish Shihab Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) Oleh : Ahmad Munandar NIM. 1113011000059 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UINIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020

Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

  • Upload
    others

  • View
    13

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6

dalam Perspektif Prof. Muhammad Quraish Shihab

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh :

Ahmad Munandar

NIM. 1113011000059

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UINIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2020

Page 2: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif
Page 3: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif
Page 4: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif
Page 5: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif
Page 6: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif
Page 7: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

i

ABSTRAK

Ahmad Munandar (1113011000059). Toleransi dalam QS. al-Kāfirūn

Ayat 1-6 dalam Perspektif Prof. Muhammad Quraish Shihab.

Dalam agama Islam, Rasulullah s.a.w merupakan teladan yang paling utama

dalam kehidupan beragama, beliau memiliki toleransi yang sangat tinggi terhadap

orang orang yang berseberangan dan berbeda secara keyakinan. Rasulullah tidak

pernah memaksakan kehendaknya agar orang lain mengikuti ajarannya. Ketika

beliau mendakwahi pamannya Abū Ṭālib, beliau tidak menggunakan bujuk rayu

dan kekerasan. Terhadap kafir żimmi (yang berada dilindungan negara) beliau

tetap menghargainya dan melindungi hak haknya.

Dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif

yang mana penelitian ini berbasis kajian dari berbagai studi dan kumpulan dari

jenis materi empiris keperpustakaan atau Library Research. Penelitian ini

menggunakan metode penafsiran tokoh dengan pendekatan analisis konten.

Hasil penelitian ini menemukan bahwa dalam penafsiran Muhammad

Quraish Shihab tidak ditemukan diksi toleransi secara langsung. Namun penulis

menemukan pemaknaan toleransi merujuk kepada sebuah pengertian dari toleransi

itu sendiri, maka makna toleran yang dimaksud dalam penafsiran Muhammad

Quraish Shihab adalah pada kata kompromi yang muncul 6 kali dalam tafsir surah

al-Kāfirūn di kitab Tafsīr al-Miṣbāḥ. Ada 2 hal yang ditemukan dalam diksi

toleransi dalam kata kompromi beliau yakni: Bahwa tidak ada kompromi (titik

temu) dalam hal peribadatan. Jadi dalam hubungannya dalam wilayah ibadah

(penyembahan), tidak ada dan tidak bisa dikompromikan (tidak bisa

dipertukarkan) atas dasar tema yang kedua yakni relasi hubungan antar pemeluk

agama. Kemudian menghormati keyakinan ketika seseorang sudah memeluk

agama. Berdakwah atau mengajak untuk memeluk maupun mengenali Islam

diperbolehkan, namun pada prinsipnya ketika respon orang tersebut tetap dalam

kondisi keyakinannya ia tidak berpindah dan kemudian ia pun tidak menerima

Islam, maka hal itu merupakan bukan tanggung jawab kita selaku pemeluk agama

Islam untuk menjadikan ia masuk menjadi pemeluk agama Islam juga. Sebagai

seorang muslim haruslah menghormati orang tersebut untuk tetap dalam

keyakinannya agamanya.

Kata Kunci: Islam, Toleransi, Berkompromi.

Page 8: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

ii

ABSTRACT

Ahmad Munandar (1113011000059). Tolerance within the QS. al-

Kāfirūn verse 1-6 based on the perspective of Prof. Muhammad Quraish

Shihab

In Islamic religion, Rasulullah s.a.w is the utmost role model in living a

religious life, he possesses a high level of tolerance upon people with counterpart

and different believes other than himself. Rasulullah has never imposed his will to

obligate others in following his teaching. Whence, he preached upon his uncle

Abū Ṭālib, he did not use any kind of manipulation and violence. Upon kafir

żimmi (which reside and protected by the nation) he respect and protects their

rights.

In the research of this dissertation, one employs a qualitative research type

in which the research is based on the several studies and composition of library

empirical materials that is study based or Library research. This research is

employing interpretation of figure method with content analyze approach.

The result of the research is that within the interpretation of Muhammad

Quraish Shihab has not been found explicit tolerance diction. However, one found

the meaning of tolerance that refer to a definition of tolerance itself, therefore the

meaning of tolerance within the interpretation of Muhammad Quraish Shihab is

that upon the word compromise which appeared 6 times within the interpretation

of surah al-Kāfirūn in the book of the interpretation of al-Miṣbāḥ. There are 2

matters that are found within the tolerance diction within the word compromise

that he believes in: There are no compromise (meeting point) within liturgy. Thus,

the relation of liturgy (worship), there are not any and can not be compromised

(unexchangeable) based on the foundation of the second theme which is the

relation between religions followers. Then, respecting others faith once they

decided to be the follower of such faith. Preaching or persuading others to

understand Islam is allowed, however if the respond of the person is strong within

his faith that they will not convert and he did not accept Islam, therefore that is

not the responsibility of us as the followers of Islam to make others become a

follower as well. As a muslim, we ought to respect the individual to stay strong

within his faith.

Keywords: Islam, Tolerance, Compromise.

Page 9: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

iii

KATA PENGANTAR

Bismillahirraḥmānirraḥīm

Puji syukur kehadirat Allah s.w.t serta shalawat dan salam kepada Nabi

Muhammad s.a.w atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis telah

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Toleransi dalam QS. al-Kāfirūn ayat 1-6

dalam Perspektif Muhammad Quraish Shihab”.

Skripsi ini merupakan pemenuhan tugas akhir mahasiswa di Fakultas

Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul terkait diangkat

oleh penulis dilatarbelakangi maraknya tindakan intoleran yang

mengatasnamakan agama dan dinamikanya dalam bermasyarakat. Sehingga

penulis mengangkat tema toleransi dalam kaitannya dengan al-Qur‟an agar

menampik tindakan intoleran tersebut dan menumbuhkan bagian Islam yang

raḥmatan lil ‘ālamīn.

Dalam penyelesaian skripsi penulis menyadari bahwa pencapaian ini tidak

dapat diraih tanpa dukungan banyak pihak maka dari itu penulis mengucapkan

terimaksih kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, M.A. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Hj. Sururin, MA. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2014-2019.

4. Hj. Marhamah Saleh, Lc, MA. Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2014-2019.

5. Drs. Abdul Haris, M.Ag. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta periode 2019-2023.

6. Drs. Rusdi Jamil, M.Ag. Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2019-2023.

7. Dr. Dimyati, M.Ag. Dosen Pembimbing Akademik yang selalu sabar dan

istiqomah dalam membimbing penulis di kampus dari awal hingga akhir

perkuliahan.

Page 10: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

iv

8. Dr. Muhammad Sholeh Hasan, Lc., M.A. Dosen pembimbing yang

memberikan bimbingan, arahan serta motivasi kepada penulis selama

menyusun skripsi ini.

9. Bapak H. Munajat, SE. dan Ibu Hj. Sukarmi selaku orang tua yang selalu

mendoakan, memberikan kasih sayang dan dukungannya hingga sampai detik

ini dengan tulus ikhlas.

10. KH. Rahmat Hidayat, guru pembimbing yang terus mendukung, mendidik

dan selalu mendoakan penulis agar terus hidup bergerak menjalani hidup

dengan ikhlas, sabar dan benar sebagai modal dalam menyikapi hidup.

11. Dr. Eva Nugraha, M.Ag. Kajur Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Periode 2019-2023.

Yang telah bersedia berbagi pengetahuan, pengalaman dalam dunia tafsir

pada proses penyusunan skripsi ini.

12. Isna Ramadani Bsc., yang sampai saat ini menjadi support system, teman

berpikir, teman emosional, teman spiritual, yang juga telah bersedia

menemani penulis secara virtual untuk terus berjuang dalam proses menuju

cita-cita dan harapan untuk hidup bersama.

13. Teman-teman Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, Faris, Fadel, Kastubi,

Yazid, Hamim, Kholik. Teman-teman UKM Resimen Mahasiswa angkatan

Nusantara 2013, Althaf, Fuad, Tomy, Fathur, Khaidir, Arief, Asmamia,

Faika, Fany, Nicken, Nita, Yuniar, dan Iqlima dan teman-teman Jurusan

Pendidikan Agama Islam angkatan 2013 yang sudah membantu dan berjuang

selama ini.

Kepada berbagai pihak yang terlibat dan berandil besar dalam penyelesaian

skripsi ini, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Penulis

menerima kritik dan saran yang membangun untuk mengembangkan skripsi ini.

Semoga Allah memberikan balasan dan menjadikannya sebagai amal saleh. Āmīn

yā rābbal „ālamīn.

Tangerang Selatan, 10 Juli 2020

Penulis

Page 11: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

v

PEDOMAN TRANSLITERASI

Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Republik Indonesia

Nomor: 158 tahun 1987 dan Nomor: 0543 b/u/1987

1. Padana Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf

Arab Huruf Latin Keterangan

Tidak dilambangkan ا

b Be ب

t Te ت

ṡ es dengan titik atas ث

j Je ج

ḥ ha dengan titik bawah ح

kh ka dan ha خ

d De د

ż zet dengan titik atas ذ

r Er ر

z Zet ز

s Es س

sy es dan ye ش

ṣ es dengan titik bawah ص

ḍ de dengan titik bawah ض

ṭ te dengan titik bawah ط

ẓ zet dengan titik bawah ظ

Koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع

Page 12: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

vi

gh ge dan ha غ

f Ef ؼ

q Qi ؽ

k Ka ؾ

l El ؿ

m Em ػم

n En ن

w We و

h Ha ه

Apostrof ` ء

y Ye ي

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal

tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal,

ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

A Fathah ـــ

I Kasrah ـــ

U Dammah ـــ

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai

berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

Ai a dan i ـــ ي

Au a dan u ـــ و

Page 13: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

vii

3. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

Ᾱ a dengan topi di atas ىا

Ī i dengan topi di atas ىي

Ū u dengan topi di atas ىو

4. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,

yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun

huruf kamariah. Contoh: al-rijāl bukan ar-rijāl, al-dīwān bukan ad-dīwān.

5. Syaddah (Tasydīd)

Syaddah atau tasydīd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan

sebuah tanda (ـــ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan

menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak

berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang

yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata ( ورةلضرا ) tidak ditulis ad-

darūrah melainkan al-darūrah, demikian seterusnya.

6. Ta Marbūṭah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbūṭah terdapat pada kata

yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat

contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbūṭah tersebut diikuti

oleh kata sifat (na‘t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbūṭah tersebut

diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/

(lihat contoh 3).

Page 14: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

viii

No Kata Arab Alih Aksara

قةیرط 1 Ṭarīqah

ةیلإسلاما لجامعةا 2 al-jāmī’ah al-islāmiyyah

دلوجوة احدو 3 wahdat al-wujūd

7. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih

aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan

yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan

permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain.

Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf

kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata

sandangnya. Contoh: Abū Ḥāmid al-Ghazālī bukan Abū Ḥāmid Al-Ghazālī, al-

Kindi bukan Al-Kindi.

Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan dalam

alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak

tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka

demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal

dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar

katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani,

tidak ‘Abd al- Samad al-Palimbānī; Nuruddin al-Raniri, tidak Nūr al-Dīn al-

Rānīrī.

8. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (Fi‘il), kata benda (Isim), maupun huruf (Ḥarfu)

ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-

kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas

Page 15: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

ix

Kata Arab Alih Aksara

لقرءان ٱأنزل فيه Unzila fīhil-qur`ānu

لدى ٱت م ن ن ب ي Bayyinātim minal-hudā

لعسر ٱيريد بكم Yurīdu bikumul-'usra

ة ٱ لتكملوا لعد Litukmilul-'iddata

Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka. Nama

orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu dialihaksarakan.

Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nūr Khālis Majīd; Mohamad Roem, bukan

Muhammad Rūm; Fazlur Rahman, bukan Fazl al-Rahmān.

Page 16: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

x

DAFTAR ISI

ABSTRAK .......................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii

PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................... v

DAFTAR ISI ...................................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah .............................................................................. 10

C. Pembatasan Masalah ............................................................................. 10

D. Rumusan Masalah ................................................................................. 10

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 10

1. Tujuan Penelitian .............................................................................. 10

2. Manfaat Penelitian ............................................................................ 11

KAJIAN TEORI ............................................................................................. 12

A. Pengertian Toleransi.............................................................................. 12

B. Macam-macam Toleransi ...................................................................... 15

1. Toleransi Antar Sesama Agama ....................................................... 15

2. Toleransi Antar Umat Agama .......................................................... 16

C. Wilayah Toleransi ................................................................................. 18

1. Akidah .............................................................................................. 18

2. Syariah .............................................................................................. 20

3. Akhlak .............................................................................................. 20

D. Hasil Penelitian yang Relevan .............................................................. 22

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ..................................................... 25

A. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................... 25

B. Metode Penelitian.................................................................................. 25

1. Jenis Penelitian ................................................................................ 25

2. Sumber Data Penelitian ................................................................... 26

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ...................................... 26

1. Teknik Pengumpulan Data ............................................................... 26

2. Teknik Pengolahan Data ................................................................... 26

Page 17: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

xi

D. Analisis Data ......................................................................................... 27

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................... 28

A. Surah al-Kafirun .................................................................................... 31

1. Ayat dan Terjemahannya ................................................................ 31

2. Munasabah Surah ............................................................................ 31

B. Pembahasan ........................................................................................... 32

1. Negasi Berkompromi dalam Ibadah.................................................. 32

1.1 Argumen yang Digunakan .............................................................. 32

a. Asbab Nuzul ................................................................................ 32

b. Penafsiran Ayat dengan Ayat lainnya .......................................... 34

1.2 Relasi Kekafiran atas Ketauhidan ................................................... 35

a. Pengingkaran atas Allah .............................................................. 36

b. Pengingkaran atas Rasul Allah .................................................... 37

c. Pengingkaran atas Pemberian Allah (Nikmat) ............................. 39

d. Pengingkaran atas Jalan/ Aturan Allah ........................................ 41

2. Penghormatan Atas Keyakinan Beragama ........................................ 42

2.1 Argumen Makna Dīn ....................................................................... 42

a. Secara Kebahasaan ...................................................................... 42

b. Tafsir Ayat, QS. Saba´ (34): 25 ................................................... 45

2.2 Tafsiran Lafaz Dīn .......................................................................... 48

3. Relasi Hubungan Antar Pemeluk Agama ....................................... 48

4. Pertanggung Jawaban atas Perilaku Peribadatan ............................ 49

5. Eksistensi Agama dan Keyakinan Beragama .................................. 50

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 56

A. Kesimpulan ........................................................................................... 56

B. Implikasi ................................................................................................ 58

C. Saran ...................................................................................................... 58

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 59

Page 18: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’ān merupakan kitab suci umat Islam yang memuat ajaran-ajaran dan

petunjuk agar manusia dapat selamat dalam kehidupan, baik kehidupannya di

dunia maupun di akhirat. Melaksanakan petunjuk yang ada dalam al-Qur’ān, ini

berarti bahwa ia dapat menyikapi ajaran Islam, namun kembali lagi kepada

manusia itu sendiri, antara memilih menjalankan atau memanfaatkan nilai-nilai

yang terkandung dari ajaran Islam maupun meninggalkannya. Ketika manusia itu

memilih untuk kembali kepada al-Qur’ān dan menjalankan petunjuk yang ada di

dalamnya berarti manusia tersebut memilih untuk mengharapkan/mendapatkan

ketenangan lahir maupun batin. Sebaliknya, ketika manusia itu memilih untuk

meninggalkan ajaran yang ada dalam al-Qur’ān berarti ia telah memilih untuk

menerima datangnya waktu kehancuran untuk dirinya. Meski pada realitanya

orang-orang di luar Islam yang lebih giat menggali dan mengkaji tentang alam

semesta raya, sehingga mereka menjadi lebih unggul dari bangsa lainnya,

walaupun umat Islam lah yang seharusnya semangat dan tetap berpegang teguh

kepada al-Qur’ān.1

Al-Qur’ān juga termasuk kitab yang menegakkan toleransi, karena toleransi

merupakan salah satu cara untuk mempersatukan perbedaan terlebih lagi dalam

sebuah perbedaan keyakinan. Wujud dalam toleransi Islam adalah diwujudkan

dengan cara nabi Muḥammad s.a.w menghormati agama-agama diluar agama

Islam seperti agama Nasrani dan Yahudi. Bentuk penghormatan ini dibuktikan

dengan nabi Muḥammad s.a.w yang tidak pernah menghancurkan tempat ibadah

orang-orang diluar Islam.

Dalam QS. al-Ḥajj ayat 40 secara tegas berisikan tentang larangan untuk

merusak tempat ibadah, yang berbunyi “Dan sekiranya Allah tiada menolak

1 Muḥammad al-Ghazali, Berdialog dengan al-Qur’ān, cet. 4, (Bandung: Mizan, 1999), h.

21.

Page 19: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

2

(keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah

dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi

dan masjid-masjid.” Imam al-Qurṭubī berpendapat, ayat ini menjelaskan dan

menegaskan secara syariat bahwa Allah s.w.t memberlakukannya di bumi ini, atas

dasar syariat yang diberlakukannya itu Allah s.w.t telah memberikan perlindungan

terhadap tempat ibadah dari kekuasaan/tangan-tangan yang tidak

bertanggungjawab maupun tangan-tangan yang berbuat aniaya. Secara

proporsional dan adil, Nabi Muḥammad s.a.w tak henti-hentinya memberikan

perhatiannya kepada pemeluk agama Nasrani, Yahudi maupun pemeluk agama

lainnya di luar agama Islam agar terpenuhi hak-haknya. Hal ini terbukti ketika

Nabi Muḥammad s.a.w memberikan kesempatan maupun kebebasan untuk

melakukan ibadah kepada para pendeta dari Bani al-Hariṡ dan Najrān. Nabi

Muḥammad s.a.w memberikan jaminan berupa hak beribadah kepada Nasrani dan

menjamin utuk tidak membumihanguskan tempat ibadah mereka, sewaktu Umar

bin Khattab merebut Yerussalem. Semua adalah gambaran kecil yang menjadi

bukti, bahwa agama Islam secara tegas menolak adanya bentuk terror maupun

bentuk perusakan terhadap tempat ibadah non-muslim.2 Sikap toleran tinggi

Rasulullah s.a.w. juga merupakan bentuk dakwah terhadap perjuangan Islam

tanpa adanya jalur paksaan, sehingga dalam sejarah masyarakat Arab berbondong-

bondong untuk masuk dalam agama Islam yang hanif.

Rasulullah s.a.w adalah teladan paling utama pada kehidupan beragama

dalam agama Islam. Beliau memiliki sikap toleransi yang sangat tinggi, terutama

terhadap pihak yang berseberangan dalam hal perbedaan keyakinan. Beliaupun

tidak pernah memaksakan ajaran Islam yang disampaikannya kepada umat

manusia untuk diikuti dengan jalan paksaan. Dakwah yang beliau sampaikan

kepada orang terdekatnya pun tidak menggunakan kekerasan ataupun dengan

bujuk rayu pada saat mendakwahi pamannya sendiri, yakni Abū Ṭālib. Bahkan

tehadap orang kafir yang lemah sekalipun, Nabi Muḥammad tetap melindungi dan

menjaga hak-haknya. Pada saat utusan dari Habsyah (Ethiopia) datang menemui

2 Nashih Nashrullah dan Chairul Akhmad, “Hukum Merusak Tempat Ibadah (3-habis)”,

2012, (www.republika.co.id). Diakses pada tanggal 12 Mei 2020.

Page 20: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

3

Rasulullah s.a.w, beliaupun tetap menghormatinya walaupun utusan tersebut

pemeluk agama Nasrani. Rasulullah s.a.w ingin menghormati mereka

sebagaimana mereka telah dihormati oleh orang-orang yang berada dalam

lingkungannya. Pada saat Rasulullah s.a.w hijrah ke kota Madinah, beliau justeru

tidak mengusir orang-orang Yahudi yang sudah menetap disana. Bahkan sikap

interaksi yang baik ditunjukkan oleh Rasul dengan terciptanya sebuah perjanjian.

Isi yang sudah disepakati dalam perjajian tersebut diantaranya adalah bahwa, baik

orang-orang Yahudi maupun orang-orang Islam memiliki kebebasan dan hak-hak

yang sama dalam bentuk pelaksanaan ajaran agama masing-masing untuk

dilaksanakan. Rasulullah s.a.w pun pernah memberikan penghormatan kepada

orang Yahudi yang meninggal dunia. Rasulullah s.a.w amatlah bijaksana dalam

kehidupan bermasyarakat. Bahkan kepada tetangganya, sekalipun beliau tidak

melihat apa agamanya. Beliau juga menjauhi permusuhan dan tidak pernah

melukai/menyakiti hati tetangganya karena sebuah perbedaan, apalagi dalam hal

perbedaan keyakinan. Sikap yang Rasulullah s.a.w lakukan tersebut harusnya

menjadi teladan yang agung bagi kita semua, selaku umat Islam dalam kehidupan

kita sehari-hari. Bagaimana sikap toleransi Rasulullah terhadap tetangganya, dapat

kita terapkan pada interaksi kita kepada tetangga yang berbeda keyakinan. Sikap

toleransi Rasulullah mencermikan ajaran agama Islam yang penuh dengan

kedamaian. Meski negara Indonesia bukanlah negara Islam, sepatutnya kita tetap

menghormati perbedaan, menjunjung tinggi kebersamaan dan persatuan. Sehingga

tetap tercipta kedamaian serta jauh dari bentuk ekstrimisme yang timbul karena

tidak adanya sikap toleransi dalam hubungan terhadap sesama manusia.3

Toleransi memiliki tempat dan peran yang penting dalam terjaganya

persatuan bangsa dan keutuhan negara, khususnya dalam toleransi keberagamaan.

Kelompok agama yang tidak memiliki sikap yang toleran dapat membahayakan

keutuhan negara Indonesia, karena dapat menimbulkan berbagai konflik bagi

pemeluk agama manapun. Sikap intoleransi di Indonesia tetap ada, walau dalam

skala yang kacil. Tindakan radikal yang mengatasnamakan agama nyaris tak

3 Abdurrahman Siregar, “Meneladani Sikap Toleransi Rasulullah s.a.w”, 2019,

(www.kompasiana.com). Diakses pada tanggal 9 Juni 2020.

Page 21: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

4

terlihat. Meskipun ada dan terlihat, dinamika kecil keberagamaan dan keagamaan

dapat diselesaikan serta didamaikan. Agama menjadi sumber kekuatan untuk

membangun kebersamaan maupun sikap berkasih sayang terhadap sesama

sejatinya. Ini berarti bahwa agama itu bukanlah hanya sebagai sumber inspirasi

maupun sumber motivasi dalam hidup.4

Kehadiran toleransi ini sangat membantu mendamaikan atau mengurai

benang kusut perselisihan diantara umat manusia. Namun akhir-akhir ini banyak

terjadi perselisihan karena persoalan keyakinan (agama). Misalkan larangan

memilih pemimpin non-muslim yang terjadi pada munculnya ijtima ulama

diberbagai pihak pada sebuah kontestasi pemilihan umum yang menimbulkan

gesekan khususnya pada kalangan masyarakat Indonesia.

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tidak risau dalam menghadapi isu

suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang memanas jelang Pilkada DKI

2017. Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya PBNU, Rumadi

Ahmad, mengatakan bahwa PBNU sudah pernah mengeluarkan fatwa pada 1999

tentang memilih pemimpin non-Muslim. "Fatwa kepemimpinan kalau MUI,

Muḥammadiyah, sudah jelas memilih pemimpin kafir tidak boleh, titik. Namun,

NU punya fatwa-nya yang membolehkan, kata ulama pada tahun 1999," kata

Rumadi di Jakarta Pusat, Kamis (15/9/2016). Dalam fatwa itu dijelaskan bahwa

boleh memilih pemimpin non-Muslim jika pertama memang tidak ada orang

Islam yang mampu memimpin. Kedua, ada calon beragama Islam, tetapi karena

dikhawatirkan berkhianat, boleh memilih alternatifnya yang non-Muslim. “Ketiga,

memilih pemimpin non-Muslim selama tokoh itu dianggap tidak jadi ancaman

bagi umat Islam, boleh saja,” kata Rumadi. Rumadi menjelaskan bahwa

kepemimpinan dan pemilu selalu jadi masalah bagi pemilih beragama Islam sebab

ada teks yang mengaturnya. Teks itu pula yang menjadi rujukan atau senjata

untuk keuntungan politik. Menurut Rumadi, konteks di balik teks ini adalah

peperangan pada masa lampau. “Bagi orang NU tidak ada lagi peperangan. Jadi,

4 Enjang Muhaemin dan Irfan Sanusi, “Intoleransi Keagamaan dalam Framing Surat Kabar

Kompas”, Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi. UIN Sunan Gunung Djati Bandung Vol. 3.

Nomor 1. 2019, h. 18.

Page 22: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

5

sekarang masa perdamaian. Kalau perdamaian me-refer ke ayat yang tadi itu

(haram memilih pemimpin kafir) ya itu tidak relevan” kata dia.5

Puluhan ribu massa yang tergabung dalam Aliansi Peduli Umat dan Bangsa

menggelar aksi unjuk rasa di Pintu Monas Barat Daya, Gambir, Jakarta, Ahad

(4/8). Mereka mengajak warga Ibu Kota untuk tidak memilih gubernur

nonmuslim pada Pilgub DKI 2017 mendatang. Aliansi itu terdiri dari para anggota

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), Forum RT RW,

Laskar Luar Batang, Amju, dan sejumlah organisasi lain. Aksi yang diikuti anak-

anak, remaja, hingga dewasa itu digelar mulai pukul 09.00 WIB dan rampung

sekitar pukul 12.00 WIB. Dalam aksinya, peserta membentangkan spanduk

bernadakan penolakan terhadap pemimpin nonmuslim. Mereka juga membawa

bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) serta ormas lainnya. “Kita tegas menolak

pemimpin kafir. Hal ini sudah termuat dalam al-Qur’ān,” kata Jubir HTI,

Muḥammad Ismail Yusanto. Ismail mengatakan, kepemimpinan adalah perkara

yang sangat penting. Dalam pandangan Islam, kata dia, kemaslahatan bersama

atau rahmatan lil alamin seperti keadilan, kesejahteraan, keamanan dan

ketenteraman serta kesucian dan sebagainya, hanya akan benar-benar terwujud

bila pemimpin mengatur masyarakat dengan syariat Islam dan menegakkan amar

ma’ruf nahi mungkar. “Tanpa syariah Islam yang diterapkan secara kaffah, yang

terjadi bukan kemaslahatan atau kerahmatan, tetapi mafsadat atau kerusakan

seperti yang terlihat saat ini,” ucap dia. Maka, syarat utama pemimpin haruslah

seorang Muslim. “Bila bukan Muslim, bagaimana mungkin ia bisa diharap

menerapkan syariah dan menegakkan amar makruf, sedangkan ia tidak beriman

pada syariah dan tidak memahami kewajiban amar makruf nahi mungkar?”. “Oleh

karena itu, dalam pandangan Islam, sebagaimana disebut dalam al-Qur’ān surah

An Nisa ayat 41, haram mengangkat nonmuslim atau orang kafir menjadi

pemimpin bagi kaum Muslimin.”6

5 Nibras Nada Nailufar, “PBNU Merujuk ke Fatwa 1999 tentang Pemimpin Non-Muslim”,

2016, (www.kompas.com). Diakses pada tanggal 10 Juni 2020 6 Karta Raharja Ucu, “Puluhan Ribu Massa Dukung Pemimpin Muslim”,

(www.republika.co.id), 2016, Diakses pada tanggal 12 Juni 2020.

Page 23: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

6

Isu-isu kontra toleransi bagai api dalam sekam di Indonesia, yang lambat

laun akan terus “membakar” atau menciderai persatuan umat, seakan terus-

menerus terjadi pengulangan pada momen-momen tertentu dalam kehidupan

beragama. Klaim kafir di Indonesia terhadap perbedaan pendapat sudah menjadi

fenomena yang biasa pada wilayah sosial seperti dalam pemilihan umum baik

pemilihan kepala daerah, pemilihan presiden dan juga pada ranah lain seperti

ucapan selamat pada acara keagamaan bagi peringatan hari besar umat beragama

lain.

Dewan Pimpinan Daerah Front Pembela Islam (FPI) DKI Jakarta melarang

umat Islam merayakan Hari Natal 2019 dan Tahun Baru 2020. Hal itu dituangkan

dalam Maklumat FPI DKI Jakarta Tentang Hari Natal dan Malam Tahun Baru

Masehi yang dirilis Sabtu (21/12). Dalam maklumat tersebut, FPI DKI meminta

umat Islam untuk tak turun ke jalan. Mereka beralasan Natal dan Tahun Baru

bukan ajaran agama Islam. “Tidak turut meramaikan dan tidak pasang

petasan/kembang api serta tidak turun ke jalan pada Hari Natal dan malam Tahun

Baru Masehi 2020 Masehi, karena ini bukan ajaran dari agama Islam,” tulis

maklumat yang diterima CNNIndonesia.com, Senin (23/12). Maklumat itu

ditandatangani Ketua Tanfidzi DPD FPI DKI Jakarta Abdul Majid, Sekretaris

Tanfidzi DPD FPI DKI Jakarta Sahid bin Yahya, dan Imam DPP FPI DKI Jakarta

Muchsin bin Zaid Al-Attas. FPI DKI juga mengimbau umat Islam untuk mengisi

dua hari itu dengan berzikir, berselawat, dan bermunajat kepada Allah untuk

kepentingan agama, bangsa, dan negara. Umat Islam juga diminta merayakan

tahun baru Islam. “Meramaikan malam tahun baru Islam setiap 1 Muharram,”

tuturnya. FPI DKI juga menginginkan umat Islam untuk memperkokoh persatuan

dan kesatuan masyarakat. Salah satunya dengan cara meningkatkan kepedulian

terhadap semua golongan. “Meningkatkan kepedulian sosial dan kemanusiaan

antarsesama manusia dengan seadil-adilnya tanpa memandang suku, agama, ras,

antargolongan, dan lainnya sesuai dengan ajaran agama dan amanat konstitusi

NKRI,” tulis FPI DKI dalam maklumat tersebut. Polemik perayaan ataupun

pengucapan selamat Hari Natal kembali muncul ke permukaan. Sebelumnya,

Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur melarang umat Islam, kecuali Wakil

Page 24: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

7

Presiden RI Ma'ruf Amin, mengucapkan selamat natal. Sementara MUI tak

melarang ucapan tersebut. Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid mengatakan

pihaknya tidak melarang dan tidak pula menganjurkan ucapan selamat natal.

Sebab MUI belum pernah membuat fatwa khusus untuk hal tersebut. “MUI Pusat

sendiri belum pernah mengeluarkan ketetapan fatwa tentang hukumnya

memberikan tahniah atau ucapan selamat natal kepada umat Kristiani yang

merayakannya. Sehingga MUI mengembalikan masalah ini kepada umat Islam

untuk mengikuti pendapat ulama yang sudah ada sesuai dengan keyakinannya,”

tutur Zainut lewat keterangan tertulis, Senin (23/12).7

Klaim kebenaran oleh sebagian kelompok disini adalah menjadi problem

kehadiran Islam yang dapat diterima oleh semua kalangan. Oleh karena itu

muncul beberapa kelompok yang meng-counter pemikiran-pemikiran intoleransi

tersebut, salah satunya yang akan dibahas pada penelitian atau skripsi kali ini

adalah tentang pemikiran Muhammad Quraish Shihab.

Muhammad Quraish Shihab adalah ilmuwan tafsir yang menginginkan

kemudahan bagi masyarakat Islam pada umumnya sebagai motivasi besar agar

giat dalam memahami, mempelajari dan mengkaji al-Qur’ān secara objektif akan

pesan, kesan dan kandungan didalamnya. Beliau juga mengajak masyarakat

muslim Indonesia untuk mengagumi dan mencintai al-Qur’ān untuk memandang

al-Qur’ān secara objektif dengan baik dan benar dikarenakan fenomena yang

berkembang di masyarakat muslim sebagian besar kita yang hanya terpesona akan

keindahan merdunya lantunan bacaan al-Qur’ān, sedangkan kitab suci al-Qur’ān

diturunkan bukan hanya untuk dibaca saja, namun al-Qur’ān haruslah di hayati

atau di tadabburi dengan mendayagunakan potensi akal manusia yang telah

diberikan oleh Allah s.w.t. Sehingga pengahayatan manusia itu tercermin dari

sikap yang diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bentuk rasa

syukur dan keimanan terhadap Allah s.w.t.

Muhammad Quraish Shihab merupakan salah satu ilmuan yang berasal dari

Indonesia yang dalam kehidupannya pernah menghabiskan masa studi dipesantren

7 Tri Wahyuni, “FPI DKI imbau umat Islam tak Turun ke jalan saat tahun baru”, 2019,

(www.cnnindonesia.com). Diakses pada tanggal 11 Juni 2020.

Page 25: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

8

dan di perguruan tinggi al-Azhar, di Mesir. Al-Azhar sebagai latarbelakangnya

merupakan salah satu perguruan tinggi Islam yang menjunjung tinggi moderasi

(wasaṭṭiyyah). Wujud atau implementasi dari moderasi ditengah perguruan tinggi

al-Azhar ini dibuktikan dengan pemikiran-pemikiran para guru atau dosen yang

mengajar disana, sebut saja al-Maraghī, Yusūf al-Qarḍāwī dan lain-lain, yang

merupakan salah satu dari sekian cendekiawan muslim yang menghadirkan

gagasan-gagasan yang “mempertemukan” atau yang disebut dengan moderasi.

Muhammad Quraish Shihab termasuk salah satu dari alumnus atau lulusan al-

Azhar tentunya beliau akan mewarisi sikap-sikap moderasi disini.

Moderasi Islam Muhammad Quraish Shihab itu dapat juga dilihat dari

gagasan-gagasan beliau yang dihadirkan dalam berbagai media, baik dalam media

cetak maupun digital. Media cetak yang memuat gagasan-gagasan Muhammad

Quraish Shihab sungguh sangat tidak sedikit, misalkan dari buku-buku beliau

yang sudah diterbitkan di penerbit Mizan atau ditempat penerbitannya sendiri

yakni di Lentera Hati. Buku yang menarik yang masih sangat relevan pada sampai

saat ini yang banyak dikaji oleh para peneliti adalah karya tafsir, karya

monumental beliau atau masterpiece yaitu Tafsīr al-Miṣbāḥ. Dalam Tafsīr al-

Miṣbāḥ berisi landasan-landasan yang toleran, seperti dalam masalah perdamaian

QS. al-Ḥajj (22) ayat 40:

“(yaitu) orang-orang yang diusir dari kampung halamannya tanpa alasan yang

benar, hanya karena mereka berkata, “Tuhan kami ialah Allah.” Seandainya Allah

tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu

telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang

Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah

pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah

Mahakuat, Mahaperkasa”.

Pandangan Quraish Shihab terhadap ayat QS. al-Ḥajj (22) ayat 40 dipahami

bahwa Allah s.w.t. tidak menghendaki kehancuran rumah-rumah ibadah, sehingga

Page 26: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

9

sudah menjadi kewajiban umat Islam untuk senantiasa menjaganya. Oleh sebab

itu, umat Islam bukan saja memeli hara masjid, tetapi juga rumah-rumah ibadah

umat agama lainnya. Selain itu, pakar-pakar tafsir dan hukum Islam juga

melarang merobohkan gereja-gereja aẓ-Ẓimmah, atau menjualnya kepada yang

lain, demikian juga berlaku bagi rumah peribadatan umat yang lain.8 Kemudian

banyak sekali pandangan yang toleran yang bisa dijumpai dari Muhammad

Quraish Shihab khususnya pada wilayah toleransi dalam praktek sosial

keagamaan seperti membenarkan atau mendukung pengucapan ucapan selamat

natal pada momen peringatan hari besar umat nasrani, karena menurut beliau

ucapan selamat natal itu bukan untuk mengimani atau meyakini keimanan mereka

tetapi untuk mengapresiasi atau menghormati keyakinan mereka.

Hal yang lebih spesifik tentang masalah toleransi dalam al-Qur’ān adalah

kandungan QS. al-Kāfirūn. Pada QS. al-Kāfirūn Muhammad Quraish Shihab

mengomentari bahwa seorang muslim dengan seorang nonmuslim memang

memiliki keyakinan yang berbeda kendatipun demikian mereka tidak boleh saling

mencemooh, menghardik atau menyalahkan keyakinan mereka karena itu akan

menyalahkan pemikiran mereka, bukan mempersatukan mereka tetapi akan

memperkeruh tali persaudaraan dan hal itu nanti akan berdampak pada munculnya

benih-benih permusuhan. Pada QS. al-Kāfirūn ini Muhammad Quraish Shihab

memimpikan tentang moderasi (wasaṭṭiyyah), karena moderasi itu merupakan

solusi untuk mempertemukan perbedaan yang seringkali kita selisihkan di

sebagian orang ataupun kelompok. Dan moderasi merupakan sikap atau mental

dari toleransi, namun peneliti tidak membahas tentang moderasi. Dalam surah al-

Kāfirūn ada beberapa kata yang menjadi fokus dalam menyikapi hidup yang

sangat kental dan berkaitan erat dengan toleransi, bagaimana Muhammad Quraish

Shihab memaknai toleransi yang tercermin dalam kandungan dan uraiannya

dalam surah al-Kāfirūn. Memaknai kata kafir maupun agama dalam surah

tersebut. Maka dari itu berdasarkan dari uraian tentang pentingnya manusia untuk

memiliki sikap yang toleran dan juga gagasan Muhammad Quraish Shihab akan

8 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’ān: Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan,

Jilid 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2011), h. 78-79.

Page 27: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

10

hal itu dalam karyanya, penulis tertarik untuk mengangkat tema pada penulisan

penelitian/skripsi ini dengan judul “Toleransi dalam QS. al-Kāfirūn ayat 1-6

dalam Perspektif Muhammad Quraish Shihab”.

B. Identifikasi Masalah

1. Masyarakat di Indonesia belum memahami toleransi dan pentingnya

toleransi dalam kehidupan beragama.

2. Pendidikan toleransi adalah cita-cita untuk semua agama agar

mempertemukan perbedaan.

3. QS. al-Kāfirūn menyatakan Lakum dīnukum waliyadīn, redaksi ayat ini

menunjukkan kebebasan kita untuk memeluk keyakinan. Akan tetapi di Indonesia

ada sebagian kelompok yang menyebutkan kebenaran hanya pada agama Islam.

4. Apakah Muhammad Quraish Shihab termasuk salah satu ulama tafsir

yang memahami tentang toleransi beragama?

C. Pembatasan Masalah

Toleransi dalam QS. al-Kāfirūn dalam perspektif Muhammad Quraish

Shihab.

D. Rumusan Masalah

Bagaimana pemikiran Muhammad Quraish Shihab tentang Toleransi dalam

QS. al-Kāfirūn?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui toleransi dalam QS. al-Kāfirūn pada pemikiran

Muhammad Quraish Shihab.

b. Untuk menganalisis toleransi yang terkandung dalam QS. al-Kāfirūn

dalam Tafsīr al-Miṣbāḥ.

Page 28: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

11

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan menjadi sumber penelitian lanjutan

mengenai toleransi dalam pandangan Muhammad Quraish Shihab dikemudian

hari oleh peneliti selanjutnya dan dapat digunakan dalam pengembangan

keilmuan tafsir al-Qur’ān khususnya dalam Tafsīr al-Miṣbāḥ surah al-Kāfirūn.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan

secara ilmiah dan memberikan wawasan kepada masyarakat luas. Kemudian

nantinya hasil dari penelitian ini dapat dilaksanakan dalam praktik bertoleransi

kehidupan sehari-hari.

Page 29: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

12

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pengertian Toleransi

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, toleransi memiliki pengertian sebagai sifat

toleran atau sikap menenggang rasa dalam artian lain membolehkan, menghargai,

membiarkan pendirian ataupun pandangan, pendapat, kebiasaan, kepercayaan,

kelakuan yang kontra atau berbeda dengan pendirian pribadi. Selain itu, toleransi

bermakna sebagai sifat atau sikap toleran dengan limitasi skala pengurangan atau

penambahan yang diperbolehkan untuk diterapkan terhadap suatu hal. 1

Kata toleransi berasal dari bahasa Latin tolerantia yang selanjutnya

berkembang dalam bahasa Inggris menjadi tolerance. Sedangkan, dalam bahasa

Arab istilah toleransi merujuk kepada kata tasāmuḥ atau tasahul yaitu yang berarti

to be indulgent, to tolerate, to overlook, forbearing, excuse, tolerant, lenient dan

merciful. Selanjutnya, kata tasāmuḥ merujuk kepada makna hilm dan tasahul yang

diartikan sebagai toleration, forbearance, mercy, indulgence, leniency, tolerance,

lenitt, clemency dan kindness. 2

Disamping kata toleransi, dalam percakapan sehari-hari digunakan pula kata

“tolerere” yang merupakan bahasa Belanda. Kata ini memiliki arti yaitu

membolehkan dan/atau membiarkan dengan pengertian lebih lanjut yaitu

membolehkan dan/atau membiarkan yang pada prinsipnya sesuatu yang tidak

perlu terjadi. Maka, dapat ditarik pemahaman bahwa toleransi mengandung suatu

konsesi. Dimana, konsesi merupakan pemberian yang didasari hanya pada

kebaikan hati nurani dan kemurahan, serta bukan didasari kepada semata hak yang

harus dipenuhi daripada pihak terkait. Sehingga, suatu hal yang jelas bahwa

toleransi itu ada dikarenakan adanya perbedaan dalam aspek prinsip, tanpa

meninggalkan prinsip pribadi dengan menghormati serta menghargai prinsip

1 Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan

Nasional, 2008, h. 1538 2 R. Garaudy, Islam Fundamentalis dan Fundamentalis lainnya, (Bandung: Pustaka, 1993),

ix.

Page 30: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

13

orang lain. Ini berarti toleransi tetap melihat pada batas-batas penerimaan sebuah

perbedaan tanpa mengabaikan atau meninggalkan pandangan diri sendiri.3

Istilah tasāmuḥ dalam Islam pada dasarnya tidak semata-mata selaras

maknanya dengan kata tolerance saja, namun tasāmuḥ juga mempunyai arti lain

yaitu memberi serta mengambil. Lebih lanjut, dapat ditarik pemahaman bahwa

Tasāmuḥ juga mengandung suatu harapan terhadap satu pihak untuk memberi dan

mengambil pada saat yang bersamaan. Selain itu, Tasāmuḥ terdiri dari tindakan

tindakan berupa penerimaan serta tuntutan dalam batasan tertentu. Dalam Islam,

subjek atau pelaku yang melakukan tasāmuḥ tersebut dinamakan sebagai

mutasamihin, yang mempunyai arti yaitu pemaaf, menawarkan, penerima dan

pemurah sebagai tuan rumah kepada tamunya. Dalam melakukan tasāmuḥ, orang

yang melakukan tindakan ini tidak sepantasnya menerima begitu saja tanpa

memikirkan dan mencerna akan suatu hal perihal atau keadaan yang

menyebabkan adanya penekanan atas batasan hak serta kewajiban orang tersebut

secara pribadi. Dengan kata lain, perilaku tasāmuḥ memiliki pengertian untuk

tidak saling melanggar batasan dalam beragama, terutama yang berkaitan erat

dengan batas-batas aqidah keimanan. Walaupun demikian, dalam banyak konteks

kata tasāmuḥ seringkali dikaitkan dan berhubungan dengan kata “toleransi”.

Sebenarnya, dalam ayat-ayat yang tertulis pada al-Qur‟ān kata tasāmuḥ ataupun

toleransi tidak ditemukan secara tersurat. Namun, al-Qur‟ān memberikan

gambaran terhadap toleransi secara konseptual dan eksplisit dengan segala

batasan-batasannya. Maka dari itu, bentuk dari implementasi sebagai rujukan

dalam menjalani kehidupan dapat diambil berdasarkan ayat-ayat al-Qur‟ān yang

merupakan penjelasan tentang konsep toleransi.4 Sehingga, toleransi dalam

konteks ini memberikan ruang yang luas untuk berpikir akan pandangan-

pandangan baru terhadap pengertian toleransi yang dalam keselarasan dengan

kehidupan pada konsep kebutuhan yang didasari oleh al-Qur‟ān dan

interpretasinya sebagai sumber yang merupakan referensi dalam menjalani hidup.

3 Said Agil Husin Al Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Jakarta: PT. Ciputat Press,

2005), h. 13. 4 Adeng Muchtar Ghazali. “Toleransi Beragama dan Kerukunan dalam Perspektif Islam”.

Religious: Jurnal Agama dan Lintas Budaya. Vol. 1 No. 1, 2016, h. 28.

Page 31: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

14

Secara awam, toleransi seringkali distereotipkan atas sikap mengalah,

menahan diri, membolehkan, membiarkan ataupun sikap atas kesabaran, lapang

dada atas kelakuan, pandangan, keyakinan serta kebiasaan orang lain yang

bertentangan dan berbeda dengan personal diri pelaku toleransi itu sendiri.

Selanjutnya, toleransi yang utuh bukanlah sikap seseorang yang tidak perduli,

cenderung acuh, apatis dan cuek terhadap pandangan, perilaku dan sikap pihak

lain. Selain itu, toleransi juga bukanlah sikap mengalah akan prinsip pribadi

dalam rangka berkompromi atas permasalahan pokok yang melibatkan lain pihak.

Kemudian, ia bukan juga sikap yang merupakan pembenaran atas pandangan serta

tindakan pihak lain. Sejatinya toleransi adalah sikap menghormati dan menghargai

kesetaraan harkat dan martabat manusia, penerimaan dan pengakuan atas

perbedaan yang disebabkan oleh luasnya cara berpikir dan adanya kebebasan

berpikir serta penerimaan adanya hati nurani masing-masing-masing secara

alamiah dengan keberagamannya yang dipengaruhi oleh banyak faktor terkait.

Kesempurnaan perilaku atau tindakan dan sikap toleran adalah dengan hidup

didasari dengan kasih terhadap Tuhan, sesama dan lingkungan hidup serta alam.5

Toleransi terhadap semua aspek kehidupan tanpa pengecualian secara holistik di

dunia yang beranekaramnya dan saling terkait satu dengan yang lainnya.

Dapat disimpulkan bahwa toleransi adalah segala bentuk yang pada

akhirnya membentuk sikap-sikap positif berupa tenggang rasa, penghormatan,

perbedaan pandangan dalam kehidupan yang beragam, pemahaman, penghargaan

dan penghormatan dengan tidak langsung menyetujui atau melakukan pembiaran

terhadap suatu tingkah laku dikarenakan proses interaksi sistem dan lingkungan

terhadap diri pribadi ataupun sebaliknya dari diri ke sistemnya dengan tidak

meninggalkan batasan kewajiban, hak dan prinsip-prinsip personal.

5 J. Drost, Mgr. J. Sunarka, J. Riberu, Dkk, Toleransi dalam Kehidupan Keluarga dan

Masyarakat, (Jakarta: Sekretariat Komisi SPE/APP Bekerjasama dengan LDD- KAJ, Komisi PSE-

KWI, 2003), h. 41.

Page 32: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

15

B. Macam-macam Toleransi

1. Toleransi Antar Sesama Agama

Dalam praktiknya agama berkaitan erat dengan toleransi, sehingga muncul

toleransi beragama yang memiliki arti sebagai toleransi dengan cakupan pada

permasalahan keyakinan diri pribadi manusia yang berkaitan dengan akidah atau

pula yang berkaitan dengan ke-Tuhanan yang ia yakini. Seorang individu harus

mendapatkan haknya untuk diberikan kebebasan dalam memeluk suatu agama

(memiliki akidah) serta menyakini masing-masing keyakinan ataupun agama yang

dipilihnya dengan menghormati pelaksanaan serta penganutan ajaran-ajaran yang

diyakininya tersebut. Maksud toleransi yang terkandung di dalamnya adalah agar

dibolehkan berkembangnya suatu sistem yang dapat menjamin personal, harta dan

benda serta aspek minoritas yang ditemukan dalam interaksi sosial budaya

bermasyarakat dengan tentunya adanya penghormatan terhadap moralitas lokal

yang terkait, agama secara general dan birokrasi terkait. Kandungan yang lain

juga adalah sebagai bentuk penghargaan pendapat lain dengan perbedaan Socio-

culture tanpa perselisihan yang didasari oleh perbedaan agama dan/atau keyakinan

itu. Selanjutnya, toleransi beragama berarti menyikapi segala sesuatu dengan

lapang dada sebagai bentuk penghormatan dan pembiaran pemeluk agama

masing-masing untuk beribadah menurut ajaran dan aturan agama yang mereka

anut serta yang mereka imani tanpa mengganggu serta memaksakan dari pihak

manapun termasuk keluarganya sendiri.6

Diketahui ada dua pola yang mendasari dari hubungan dalam beragama

yaitu adanya hubungan secara vertikal (ke atas) dan hubungan horizontal (ke

samping). Yang dimaksud dengan hubungan vertikal tersebut adalah hubungan

seorang hamba dengan Penciptanya secara langsung dan personal yang dilakukan

melalui tata cara ibadah yang dilakukan berdasarkan ketentuan agama masing-

masing. Secara keseluruhan hubungan ini dilakukan secara personal. Meskipun

6 Masykuri Abdullah, Pluralisme Agama dan Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta:

Penerbit Buku Kompas, 2001), h. 13. Lihat M. Nahdi Fahmi “Toleransi antar umat beragama

dalam al-Qur‟ān (Kajian Taḥlīly QS. al-Kāfirūn Ayat 1-6),” Skripsi pada IAIN Sunan Ampel

2013, h. 17-18.

Page 33: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

16

demikian, ada beberapa bagian dan tata cara yang diutamakan untuk bersama-

sama atau berjamaah yaitu shalat fardu di dalam agama Islam. Dalam hubungan

ini berlakulah toleransi beragama yang batasannya hanya pada lingkungan internal

suatu agama terkait. Sedangkan yang dimaksud dengan hubungan horizontal

adalah hubungan seorang manusia dengan sesamanya. Dalam hubungan ini tidak

ada hanya dibatasi pada internal suatu agama saja namun juga mencakup pihak

agama lain dalam bentuk kompromi dan kerjasama dalam penyelesaian

permasalahan umum dilingkungan sosial untuk kemaslahatan masyarakat luas.

Dalam hubungan horizontal ini lah diberlakukan toleransi didalam pergaulan

kehidupan antar umat yang beragama.7

2. Toleransi Antar Umat Beragama

Pengahayatan tentang ajaran-ajaran setiap umat yang beragama merupakan

sumber bagi toleransi didalam pergaulan kehidupan antar umat tersebut. Said Agil

Al Munawar berpendapat bahwa toleransi itu dapat dibagi menjadi dua macam

yaitu toleransi yang dinamis dan toleransi yang statis. Toleransi yang dinamis

diartikan Sebastian toleransi yang pro-aktif dalam upaya mewujudkan tujuan

kolektif antar umat beragama dan bukan yang bersumber literasi teoritis,

melainkan sebagai hasil introspeksi didasari persamaan umat dalam satu

kebangsaan. Sedangkan, toleransi yang statis memiliki sifat yang kaku dan

terkesan hanya sebagai rujukan dikarenakan bentukanya yang teoritis serta tidak

menimbulkan adanya dampak kerjasama antar umat.8

Berdasarkan pendapat Harun Nasution, ada lima hal yang diliputi oleh

toleransi yaitu 9 Upaya menganalisa terhadap kebenaran yang terdapat dalam lain

agama. Dalam artian bahwa kebenaran yang merupakan keyakinan ataupun iman

terdapat pula dalam agama lain. Ini akan mengarahkan umat beragama yang

beragam ini pada kebenaran yang relatif serta menunjukkan adanya pluralisme

agama-agama. Hal ini menunjukkan adanya suatu kepercayaan bahwa bila

7 Said Agil al-Munawar, Fiqh Hubungan Antar Agama, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h.

14. 8 Ibid., h. 16. Lihat M. Nahdi Fahmi “Toleransi antar umat beragama dalam al-Qur‟ān

(Kajian Taḥlīly QS. al-Kāfirūn Ayat 1-6),” Skripsi pada IAIN Sunan Ampel 2013, h. 18. 9 M.T Dyayadi, Kamus Lengkap Islamologi (Yogyakarta: Qiyas, 2009), h. 614.

Page 34: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

17

kebenaran ada di agama-agama lain maka adanya membuat Tuhan yang mutlak

menjadi relatif. Sedangkan, pernyataan ini selaras dengan pernyataan John Hick

yang telah lama ia nyatakan melalui buku miliknya yang berjudul A Christian

Theology of Religions: The Rainbow of Faiths.10 Poin kedua, meminimalisir

adanya perbedaan-perbedaan pada agama yang beragam. Selanjutnya, pada poin

ketiga mengutamakan persamaan yang terdapat dalam agama yang beragam ini.

Walaupun demikian, yang terpenting bukanlah persamaan antar setiap agama

tersebut melainkan perbedaannya.

Pada poin keempat, menumbuhkan persaudaraan dengan konsep ketuhanan

yang esa. Selanjutnya poin kelima, menghindari agresi terhadap praktik beragama

masing-masing. Dari sini bisa diambil pemahaman bahwa Harun menelaah masa

kelam sekte di dalam agama Kristen pada zamannya. Dikarenakan secara historis

agama Islam tidak pernah melakukan penyerangan terlebih dahulu terhadap

agama-agama lainnya melainkan agama islam memberikan perlindungan untuk

agama Kristen dan Yahudi dengan toleransi yang berbatas tertentu. Kemudian, ini

dapat ditelusuri secara historis dalam masa kepemimpinan Rasulullah Nabi

Muhammad s.a.w serta Khulafā’ ar-Rasyidin.

Zuhairi Misrawi menyetujui pendapat Harun Nasution dalam pernyataannya

yang termaktub dalam bukunya yang berjudul al-Qur’ān Kitab Toleransi dimana

dia menyatakan bahwa dalam ruang lingkup antar-agama dan Intra-agama,

toleransi menjadi bagian yang terpenting.11

Selanjutnya, dia berpendapat bahwa

toleransi juga berarti sebagai usaha dalam pemahaman atas agama-agama lainnya

karena tidak dapat dipungkiri bahwa agama tersebut mempunyai ajaran yang

selaras dengan cinta-kasih, kedamaian dan toleransi.12

Selain daripada itu, dia

menyimpulkan bahwa pada dasarnya toleransi itu bersifat absolut dipraktikkan

oleh siapapun yang mempunyai akal pikiran, hati nurani serta keimanan.

Kemudian, gambaran akan toleransi haruslah direalisasikan dengan menggandeng

10

John Hick, A Christian Theology of Religions: The Rainbow of Faiths (America: SCM,

1995), h. 23. 11

Zuhairi Misrawi, al-Qur’ān Kitab Toleransi, (Jakarta: Pustaka Oasis, 2007), h. 159. 12

Ibid.

Page 35: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

18

tokoh agama ataupun ulama dengan keutamaaan pembangunan toleransi antar

beragama tersebut.

Berdasarkan ulasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan

dunia Barat terhadap toleransi yang memiliki arti sebagai sikap dan perilaku

membendung perasaan tanpa perlawanan sedikitpun, dalam keadaaan benar

maupun salah dengan cakupan yang tak terbatas serta termasuk di dalamnya

toleransi beragama. Hal ini menggambarkan bahwa pluralisme dalam beragama

mempengaruhi istilah toleransi di dalam pemahaman dunia Barat. Dimana

pemahaman ini menjadikan adanya peleburan antar keyakinan antar umat yang

beragama. Dualisme salah dan benar pun menjadi kabur sehingga nyaris tiada.

Pada akhirnya, setiap umat yang beragama pun meyakini dengan tegas atas

kebenaran yang relatif dalam agama-agama yang lain daripada kebenaran yang

absolut. Maka dapat diibaratkan beragama itu seakan-akan seperti menggunakan

pakaian yang dapat diganti sewaktu-waktu.

Maka dapat diambil pemahaman bahwa toleransi antar umat yang beragama

adalah sikap ataupun perilaku seorang individu sebagai umat beragama yang

memiliki keimanan ataupun keyakinan untuk menghargai serta menghormati

individu yang beragama lainnya. Hal ini berkaitan juga dengan sila pertama dalam

Pancasila yang bersifat tegas dan cenderung absolut mengenai ketakwaan

terhadap Tuhan menurut kepercayaan dan agama sendiri. Pada dasarnya, setiap

agama menghormati dan menghargai setiap manusia maka dari itu umat yang

beragama pun harus juga untuk menghargai sesama umat beragama. Maka dari itu

kerukunan dalam kehidupan pun dapat terjalin antar umat yang beragama tersebut.

C. Wilayah Toleransi

1. Akidah

Akidah jika dipandang dari sudut pandang arti bahasa yang sebenarnya

memiliki akidah memiliki arti dari sebuah akar kata ‘aqada-ya’qidu-’aqan-

‘aqidatan kemudian dengan akar kata itu timbullah pemaknaan yang berarti

simpul, ikatan, perjanjuan dan kokoh. Lalu selanjutnya akar kata dari ‘aqada-

ya’qidu-’aqan-‘aqidatan berbentuk menjadi kata ‘aqidah maka dalam hal ini

Page 36: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

19

bermakna keyakinan. Hubungan ataupun kaitannya dalam padanan kata tersebut

yakni dalam kata „aqdan dan dalam kata „aqdan adalah bermakna keyakinan yang

tersimpul dalam hati yang kokoh. Kemudian beberapa definisi dari makna akidah

itu sendiri dalam arti dari sudut pandang istilah yang dikutip oleh Yunahar Ilyas

adalah sebagai berikut:13

1) Menurut pandangan dari Hassan al-Banna

‘Aqa’id14

(bentuk jamak dalam kata aqidah) memiliki arti segala perkara

yang mendatangkan ketentraman dalam jiwa dan kebenarannya berada dalam hati

yang tidak dapat tercampur dengan sesuatu yang samar tanpa adanya keraguan

sedikitpun yang timbul serta wajib diyakini kebenarannya.

2) Menurut pandangan dari Abud Bakar Jabir al-Jazairy

Aqidah merupakan beberapa kebenaran yang bisa diterima dengan atas

dasar pijakan akal (rasio), wahyu maupun fitrah manusia. Sehingga hal tersebut

melekat erat dalam hati manusia baik dari segi kebenaran secara keberadaannya

(pasti) tanpa ada kontradiksi dengan kebenarannya itu dan diyakini dengan

sebenar-benarnya.

Dari pengertian kedua ahli tersebut mengenai akidah maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa akidah atau keimanan merupakan keyakinan yang timbul dari

hati yang terdalam dan keyakinan itu terhubung pada Allah SWT. yang bersumber

dari wahyu serta akal pikir (rasio manusia) sehingga dengan keyakinan itu

mengukuhkan kebenaran yang ada dalam diri seseorang dan menolak segala

sesuatu yang bertentangan.

13

Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: LPPI, 2013), h. 1. Lihat Abqori Hisan

“Nilai-nilai Pendidikan Akidah Akhlak Yang Terkandung Dalam QS. al-Ankabut Ayat 8-11”

Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017. h. 15. 14

‘aqa’id, suatu keyakinan atau kepercayaan yang menetapkan bahwa Allah s.w.t itu Esa,

Pencipta dan Pengatur alam semesta dengan segala isinya, dan Dia yang wajib disembah, tempat

meminta pertolongan. Lawan Tauhid adalah syirik (mempersekutukan Tuhan) atau Mulhid (tidak

mengakui adanya Tuhan). yang membahas tentang akidah umat Islam, berhubungan dengan:

masalah ketuhanan, kenabian dan hal-hal yang gaib, seperti Qadha dan Qadar, Hari Kiamat,

Surga, Neraka dsb. dan membahasnya secara dalil-dalil naqliyah (dinukil dari al-Qur‟ān atau

Hadis) dan aqliyah (sesuai dengan jalan pikiran manusia). Shodiq Shalahuddin Chaery, Kamus

Istilah Agama, (Jakarta: CV Sientarama, 1983), Cet. I. h. 35

Page 37: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

20

2. Syariah

Menurut Moh. Ali Aziz Syari'ah meliputi dua aspek pesan dakwah yaitu

ibadah dan muamalah.

1) Ibadah

Pelaksanaan kewajiban azasi manusia sebagai hamba Allah terhadap Allah

atau semua bentuk perbuatan penghambaan diri manusia kepada Allah. Jadi

ibadah tersebut menyangkut ibadah meliputi tata cara shalat, zakat, puasa, haji dan

ibadah-ibadah lainnya.

2) Muamalah

Muhammad Yusuf berpendapat bahwa muamalah adalah segala peraturan

yang diciptakan Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam

hidup dan kehidupan.15

Jadi muamalah merupakan susunan aturan yang tersusun secara rinci dari

Allah s.w.t yang berkaitan dengan urusan dunia dalam hubungannya secara sosial.

Maka syari‟ah dapat disimpulkan sebagai tatacara untuk seorang hamba

berinteraksi dengan Allah s.w.t sebagai pencipta, serta tatacara untuk berinteraksi

dengan sesama hamba.

3. Akhlak

Masalah akhlak adalah etika dalam mengatur masalah keimanan dan

kelslaman seorang Muslim. Akhlak atau moral merupakan pendidikan jiwa agar

jiwa seseorang dapat bersih dari sifat-sifat yang tercela dan dihiasi dengan sifat-

sifat terpuji, seperti rasa persaudaraan dan saling tolong menolong antar sesama

manusia, sabar, tabah, belas kasih, pemurah, dan sifat-sifat terpuji lainnya.16

“Aspek akhlak dalam bahasa sehari-hari sering disebut dengan etika, moral, budi

pekerti dan lain-lain. Namun demikian, sesungguhnya konsep akhlak memiliki

dimensi yang lebih luas daripada konsep etika, moral, atau budi pekerti. Sebab

15

H. Hendi Suhendi, Fiqh Muama/ah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h 2. Lihat

Sukriah “Analisis Isi Pesan Dakwah M. Quraish Shihab Dalam Buku Menabur Pesan Ilahi”

Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, h.18. 16

Mansyur Amin, Dakwah Islam dan Pesan Moral, (Yogyakarta: al-Amin Press, 1999),

Cet. Ke-1, h. 11-13. Lihat Sukriah “Analisis Isi Pesan Dakwah M. Quraish Shihab Dalam Buku

Menabur Pesan Ilahi” Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, h.19.

Page 38: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

21

konsepsi akhlak tidak hanya rnencakup hubungan manusia dengan flora dan

fauna, serta hubungan rnanusia dengan alarn lingkungannya. Sedangkan

hubungan manusia dengan al-Khalik sering disebut ihsan.”17

Menurut Abudin Nata, “Akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu isim

mashdar (bentuk infinitif) dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, yang berarti al-

sajiyah (perangai), aṭ-ṭab’ah (kelakuan, tabi‟at, watak dasar), al-adat (kebiasaan,

kelaziman), al-maru’ah (peradaban yang baik), dan ad-dīn (agama).”18

Sedangkan, pengertian akhlak menurut Abuddin Nata secara istilah dapat

disimpulkan sebagai sifat yang melekat pada diri seseorang dan menjadi

identitasnya. Selain itu akhlak dapat pula diartikan sebagai sifat yang telah

dibiasakan, ditabiatkan, didarahdagingkan, sehingga menjadi kebiasaan dan

mudah dilaksanakan, dapat dilihat indikatornya, dan dapat dirasakan

manfaatnya.19

Menurut istilah etimologi perkataan akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu,

akhlāqun yang bentuk jamaknya adalah khāliqun ini mengandung arti “budi

pekerti, tingkah laku, perangai dan tabiat”. Kata akhlak ini berakar dari kata

khāliqun, yang artinya menciptakan. Kata akhlak merupakan satu akar kata

dengan khāliqun (pencipta), makhlūqun (yang diciptakan) dan khāliqun

(penciptaan). Di sini memberi makna bahwa antara kehendak Allah sebagai

khāliqun dan perlakuan seorang makhlūqun perlu adanya sebuah keterpaduan.

Manusia harus menjalani kehidupan ini sebagaimana diinginkan oleh Allah

(khaliq), segala perilaku, tindak tanduk, budi pekerti, tabiat manusia harus sesuai

dengan apa yang disukai Allah. Jika tidak sesuai dengan perintah Allah itu berarti

manusia menunjukkan kecongkakan, kesombongan, dan melawan kehendak

Pencipta. Kita manusia adalah makhluk yang dhaif sekali di hadapan Yang Maha

Kuasa, oleh karena itu eloklah kita menjadi manusia yang taat dan patuh kepada

segala ketentuan-Nya termasuklah dalam menjalankan akhlak sehari-hari dalam

17

Irfan Hielmy, Dakwah Bil Hikmah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2007), h. 90. 18

Abudi Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2015), h. 1. Lihat Hermawati Rosidi “Pendidikan Akhlak Dalam Kitab al-Akhlak Lil Banin Jilid

I”, Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2019, h. 21. 19

Ibid., h. 208.

Page 39: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

22

kehidupan ini. Dalam Lisan al-Arab, makna akhlak adalah perilaku seseorang

yang sudah menjadi kebiasaannya, dan kebiasaan atau tabiat tersebut selalu

terjelma dalam perbuatannya secara lahir. Pada umumnya sifat atau perbuatan

yang lahir tersebut akan mempengaruhi batin seseorang. Akhlak juga dapat

dipahami sebagai prinsip dan landasan atau metode yang ditentukan oleh wahyu

untuk mengatur seluruh perilaku atau hubungan antara seseorang dengan orang

lain sehingga tujuan kewujudannya di dunia dapat dicapai dengan sempurna.20

Dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah perilaku yang berlandaskan konsep

daripada interaksi habluminannas dan habluminallah untuk menyeimbangkan

kehendak Allah s.w.t dan kehendak hamba-Nya agar tercapai kesempurnaan

dalam menyikapi kehidupan.

D. Hasil Penelitian yang Relevan

Kajian penelitian mengenai tentang toleransi bukan suatu hal yang baru,

sehingga penulis belum menemukan secara komperhensif dan detail tentang

toleransi dalam QS. al-Kāfirūn menutut perspektif atau pemikiran dari

Muhammad Quraish Shihab, terlebih lagi dari berbagai sumber beliau secara

verbal maupun non-verbal. Pada penelitian yang diteliti oleh peneliti lain didapati

beberapa poin yang dapat dilihat dengan jelas, dimulai dengan penglihatan secara

langsung pada judul terkait, mengenai wilayah maupun konsep toleransi

antarumat beragama yang kajiannya tentu dalam ayat-ayat toleransi al-Qur‟ān di

kitab Tafsīr al-Miṣbāḥ. Kemudian penelitian lain juga mengkomparasikan

pemikiran Muhammad Quraish Shihab yang berkaitan dengan tafsir al-Kāfirūn

dengan pemikiran atau pandangan dari mufassir Indonesia yang lain dan lain

sebagainya. Tetapi dalam penelitian ini kalimat beragama atau komparasi

terhadap para mufassir lain, baik di dalam negeri maupun dinusantara penulis

tiadakan, mengingat toleransi yang akan dibahas dalam penelitian ini dalam

20

Muhammad Abdurrahman, Akhlak: Menjadi Seorang Muslim Berakhlak Mulia, (Jakarta:

Rajawali Pers, 2016), h. 6. Lihat Gustin Ambarsih “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Untuk Peserta

Didik Menurut M. Quraish Shihab Dalam Buku Yang Hilang Dari Kita: Akhlak”, Skripsi pada

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2019, h. 18.

Page 40: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

23

bahasan toleransi secara murni dalam QS. al-Kāfirūn di Tafsīr al-Miṣbāḥ. Untuk

itu perlu penulis paparkan beberapa penelitian yang relevan agar tidak ada

pengulangan judul maupun pembahasan yang sama berdasarkan kajian penelitian

yang akan penulis sajikan dalam skripsi ini. Berikut ini adalah penelitian yang

relevan dari peneliti sebelumnya mengenai ruanglingkup toleransi maupun QS. al-

Kāfirūn:

1. Skripsi dengan judul “Toleransi Beragama dalam al-Qur‟ān (Telaah Atas

Tafsir Surah al-Kāfirūn Ayat 1-6)” karya dari Muḥammad Ahmadi. Skripsi atau

penelitian ini membahas tentang bagaimana Toleransi beragama dalam surah al-

Kāfirūn dengan menggunakan metode penelitian deskriptif komparatif yang hasil

dari penelitian tersebut bahwa toleransi antarumat beragama adalah sebuah

keniscayaan, sehingga semua umat manusia khususnya umat Islam yang

mengikuti al-Qur‟ān dan Sunnah menjadi tuntunan dalam menyikapi kehidupan

sesuai 2 pokok ajaran Islam itu sendiri. Tafsir al-Kāfirūn menjadi salah satu tafsir

atau surah dalam al-Qur‟ān yang menjelaskan mengenai larangan terhadap

interaksi maupun kerjasama dalam hal ibadah dan muamalah dengan agama lain.

Sehingga berkompromi dalam hal bentuk ritual kegamaan pun dalam hasil

penelitian tersebut tidak diperbolehkan, namun terciptanya kerukunan dalam

hubungan antarumat beragama harus terjaga dengan sikap toleran yang harmonis.

2. Skripsi dengan judul “Toleransi antar umat beragama dalam al-Qur‟ān

(Kajian Taḥlīly QS. al-Kāfirūn Ayat 1-6)” karya M. Nahdi Fahmi. Skripsi ini

membahas tentang bagaimana konsep toleransi antar umat beragama dalam

ruanglingkup kajian telaah pendidikan dan interaksi sosial lainnya. Hasil dari

penelitian M. Nahdi Fahmi ini bahwa toleransi beragama terdapat batasan-batasan

dalam menyikapi perbedaan. Islam memberi ruang untuk tegas dalam menyikapi

perbedaan dengan sikap toleransi berupa sikap baraa‟/penolakan secara

menyeluruh terhadap semua bentuk kesyirikan di wilayah akidah dan ritual

ibadah/hukum. Antar umat beragama tidak dibenarkan ikut mencapuri urusan-

urusan khusus agama lain dalam surah al-Kāfirūn berdasarkan pijakan tafsiran

para mufassir.

Page 41: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

24

3. Skripsi dengan judul “Pendidikan Toleransi Beragama dalam al-Qur‟ān”

karya Yasin Hakim. Skripsi ini membahas tentang konsep pendidikan toleransi

beragama dalam al-Qur‟ān dengan menggunakan metode penelitian analisis tafsir

taḥlīly berdasarkan hasil dari analisa penilitian ini berupa tafsir al-Qur‟ān 4 surah,

yakni QS. al-Baqarah (2): 256, QS. al-An‟ām (6): 108, QS. Mumtahanah (60): 8,

dan QS. al-Kāfirūn (109): 6. Hasil dari penelitian Yasin Hakim ini bahwa konsep

pada pendidikan toleransi beragama yang termuat dalam al-Qur‟ān yakni QS. al-

Baqarah (2): 256, QS. al-An‟ām (6): 108, QS. Mumtahanah (60): 8, dan QS. al-

Kāfirūn (109): 6 adalah menghormati kebebasan dalam beragama dalam

perbedaan keyakinan yang diimplementasikan pada sikap pembiasaan di

lingkungan sekolah dengan memberikan izin dalam hal berdoa sesuai dengan

ajaran agamanya masing-masing, saling mengingatkan dalam bentuk peribadatan

sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing, ikut serta dalam hal empati yakni

baik ikut bahagia maupun dalam keadaan duka dan saling memberikan hadiah.

Kemudian pendidikan toleransi dari segi sikap keadilan meliputi: memberikan hak

kepada orang yang harusnya menerimanya, memberikan hak sesuai dengan

hukum, dan kewajiban memberi hasil yang sudah menjadi bagian dst.

Dari ketiga penelitian yang penulis dapatkan diatas merupakan hasil

penelitian yang relevan sebagai acuan dari pada penelitian yang penulis kerjakan

memiliki persamaan dalam ruanglingkup toleransi, terutama dalam keseluruhan

surah/ayat al-Kāfirūn. Perbedaannya dalam penelitian ini adalah dari segi metode

penelitian dan objek penelitian. Penelitian yang penulis teliti pada kesempatan ini

menggunakan metode penafsiran tokoh dan hanya terpusat pada sudut pandang

atau perspektif Muhammad Quraish Shihab dan pengkajiaanya pada penafsiran

beliau pada surah Kāfirūn di Tafsīr al-Miṣbāḥ. Sehingga objek pada penelitian ini

hanya pada toleransi dalam QS. al-Kāfirūn di Tafsīr al-Miṣbāḥ secara murni dan

diperkuat dengan sumber dari karya beliau yang relevan.

Page 42: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

25

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Objek yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai Toleransi dalam

QS. al-Kāfirūn ayat 1-6 dalam Perspektif Prof. Muhammad Quraish Shihab.

Dalam penelitian ini, penulis meneliti tentang tafsiran Muhammad Quraish Shihab

pada surah al-Kāfirūn sudah tentu di dalam kitab Tafsīr al-Miṣbāḥ, kemudian apa

saja tema utama di dalam tafsir surah tersebut hingga peneliti mendapatkan

deskripsi dari hasil analisis. Adapun mengenai waktu penelitian yang dilakukan

oleh penulis dalam skripsi ini selama 6 bulan, terhitung dari bulan Januari 2020

sampai dengan bulan Juli 2020 bertempat diberbagai perpustakaan, baik di

perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta maupun di Pusat Studi Qur’ān

Lentera Hati Ciputat.

B. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu data yang diperoleh

(berupa kata-kata, gambar dan perilaku) tidak dituangkan dalam bentuk bilangan

atau angka melainkan dalam bentuk kualitatif, sifatnya menganalisa dan memberi

pemaparan mengenai situasi yang diteliti dalam bentuk naratif.1

Dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan jenis penelitian kualtitatif

yang mana penelitian ini berbasis kajian dari berbagai studi dan kumpulan dari

jenis materi empiris keperpustakaan atau Library Research. Penelitian ini

menggunakan metode penafsiran tokoh yakni Muhammad Quraish Shihab dengan

pendekatan analisis konten.

1 S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 39.

Page 43: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

26

2. Sumber Data Penelitian

Penelitian skripsi ini menggunakan data primer berupa kitab Tafsīr al-

Miṣbāḥ tentang surah al-Kāfirūn. Kemudian pada data sekundernya menggunakan

buku-buku yang relevan, buku karya Muḥammad Quraish yang lainnya, lalu pada

redaksi pandangan ulama lainnya mengenai tafsir surah al-Kāfirūn dan juga

menggunakan jurnal-jurnal yang berkaitan dengan toleransi.

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memudahkan pengumpulan data, fakta dan informasi yang

mengungkapkan dan menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini, maka

peneliti menggunakan metode penelitian studi dokumentasi, yaitu mengumpulkan

data, fakta dan informasi berupa literatur-literatur dengan bantuan bermacam-

macam materi yang terdapat di ruangan perpustakaan.2

Dalam teknik pengumpulan data ini, penulis telah melakukan pengkajian

literatur yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti dengan

mengumpulkan bahan-bahan bacaan baik pada buku primer maupun sekunder.

2. Teknik Pengolahan Data

Setelah peneliti mendapatkan data-data yang sudah dikumpulkan, peneliti

menelaah, membaca dan meneliti data-data yang relevan yang menunjang dan

mendukung pembahasan dalam penelitian ini yang kemudian pada tahap

selanjutnya peneliti memberikan kesimpulan pada pembahasan dengan deskripsi

yang utuh.

2 Nana Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), h.

60-61.

Page 44: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

27

D. Analisis Data

Cresswel3 mengatakan bahwa prosedur penelitian kualitatif memiliki ciri-

ciri induktif dalam menganalisis datanya. Pengalaman peneliti sangat berpengaruh

pada dalam cara mengumpulkan dan menganalisis data tersebut. Oleh sebab itu,

logika yang harus terus diikuti oleh peneliti adalah induktif.

Ada beberapa tahapan dalam analisis data pada skripsi ini: 1. Pengumpulan

data terkait yang sesuai dengan judul. 2. Pemilahan data untuk memudahkan

analisis data, dalam skripsi ini berdasarkan 2 tema, tema kafir dan agama (dīn). 3.

Membaca data secara keseluruhan agar bisa diambil tema dan topik besar sebagai

alat koding. 4. Pemberian kode pada data yang telah dibaca. Secara besaran kode,

penulis membaginya menjadi dua, tentang kafir dan dīn dalam surah al-Kāfirūn.

Kemudian dirinci lagi yang kemudian interrelasi hasil koding untuk mendapatkan

deskripsi.

3 Dalam buku Komodifikasi dan preservasi Kitab Suci; Dalan Usaha Penerbitan Mushaf al-

Qur’ān di Indonesia. (Eva Nugraha mengutip pernyataan dari Jhon W. Creswl, Research Design:

Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed.) Ciputat: Himpunan Peminat Ilmu-ilmu

Ushuluddim (hipius), 2019. h. 33.

Page 45: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

28

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, MA. Lahir pada tanggal 16 Februari

1944, di daerah Rappang Sulawesi Selatan. Ia adalah keturunan bangsa Arab yang

terpelajar. Bapaknya bernama Abdurrahman Shihab (1905 M-1986) berprofesi

sebagai ulama tafsir dan merupakan seorang guru besar di IAIN Alauddin di kota

ujung Pandang dalam bidang tafsir. Pekerjaan sampingan beliau pada usia muda

adalah wirawisatawan. Selain itu, beliau juga aktif berdakwah dan mengajar di

masa mudanya tersebut. Namun demikian, kebiasaan beliau untuk membaca al-

Qur‟ān serta kitab-kitab tafsir pada pagi dan petang selalu dilakukannya.1

Quraish Shihab menyelesaikan sekolah dasarnya (SD) di kota Ujung

Pandang. Kemudian, dia melanjutkan sekolah menengah pertamanya (SMP) di

Kota Malang, Jawa Timur sembari memperdalam agama di Pesantren bernama

Dar al-Hadits al-Fiqhiyyah. Ketika dia berumur 14 tahun tepatnya pada tahun

1958, Quraish Shihab berangkat ke kota Kairo, di Mesir. Dimana, dia melanjutkan

pendidikannya di al-Azhar didalam Tsanawiyah, saat kelas II. Selanjutnya, ia

bersekolah pada fakultas Ushuluddin diterima dalam jurusan tafsir dan hadits di

Universitas al-Azhar, Mesir. Dia lantas menyelesaikan studinya pada tahun 1967

hingga LC dan melanjutkan perkuliahan pada jurusan yang sama. Kemudian,

beliau menyelesaikan tesisnya pada tahun 1969 yang berjudul al-I’jaz al-Tasyri’iy

li al- Qurānul-Karim dan meraih gelar M.A.2

Bapaknya yang pada saat itu menjabat sebagai rektor di UIN Alauddin

Makassar, meminta bantuan kepada Quraish Shihab untuk mengelola sektor

pendidikan di universitas itu, di tahun 1973. Ia pun menjabat sebagai wakil rektor

dalam bidang kemahasiswaan dan akademis sampai pada tahun 1980. Selama

durasi dia menjabat sebagai wakil rektor tersebut, ia sering diminta untuk

menggantikan ayahnya dalam pertemuan-pertemuan dan tugas utama tertentu

1 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’ān, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat, (Jakarta: Mizan, 1994), h. 14. 2 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’ān, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1997), h. 6.

Page 46: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

29

dikarenakan faktor usia. Selanjutnya, ia menjabat sebagai koordinator Perguruan

Tinggi Swasta pada koordinator Perguruan Tinggi Swasta di Indonesia Timur

yang melingkupi bidang pembinaan mental serta jabatan lainnya yang di luar dari

kampus itu. Dengan semua kesibukan tersebut beliau telah dapat menyelesaikan

tugas-tugas penelitiannya yaitu Masalah Wakaf Sulawesi Selatan (1978) serta

Penerapan kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur (1975).3

Kemudian, di tahun 1980 Quraish Shihab melanjutkan studinya kembali ke

Kairo di Universitas al-Azhar dan pada tahun 1982 beliau meraih gelar Doktor

Falsafah dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur‟ān serta dapat meraih Summa cum

Laude (nilai paling tinggi) dan Mumtaz ma’a martabat al-ataraf al-ula

(penghargaan atas peringkat pertama) melalui tesis beliau yang dengan judul

“Nazham al-Durar li al-Baqa’i:’Tahqiq wa Dirasah”. Atas pencapaian-

pencapaiannya ini, Ia pun dinobatkan sebagai orang Asia Tenggara pertama yang

bergelar Doktor Falsafah didalam ilmu-ilmu al-Qur‟ān dari Universitas al-Azhar,

di negara Mesir.4

Quraish Shihab dipindah tugaskan dari IAIN yang berada di Ujung Pandang

ke IAIN yang berada di Jakarta pada fakultas yang sama yaitu Fakultas

Ushuluddin pada tahun 1984. Pada masa karier inilah dia aktif mengajar dalam

program S1 sampai dengan S3 sampai dengan tabun 1998 dalam bidang Ulumul

Quran dan Tafsir. Selain tugas utama sebagai dosen, ia juga menjabat sebagai

rektor dari IAIN Jakarta dalam dua periode (1992-1996 dan 1997-1998).

Kemudian, pada awal tahun 1998 dalam dua bulan pertama ia menjabat sebagai

Menteri Agama. Pada akhirnya dia diberi pangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa

serta Berkuasa Utuh Republik Indonesia yang diperuntukkan untuk Negara Mesir

dan merangkap juga Republik Djibauti yang juga berkedudukan di ibukota Kairo.5

Masyarakat menyambut hangat dan kehadiran Quraish Shihab di Jakarta

dengan suasana baru yang ia bawa. Ini ditunjukkan melalui karyanya yang

3 Amirullah Kandu, Ensiklopedia Dunia Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), h. 669.

4 Afrizal Nur, “M.Quraish Shihab dan Rasionalisasi Tafsir”, (Jurnal Ushuluddin, Vol.

XVIII No. 1, Januari 2012), h. 23. 5 Jaka Perdana, “Pemikiran Pendidikan Quraish Shihab dalam buku Membumikan al-

Qur‟ān,” Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2015, h. 38.

Page 47: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

30

diterapkan di masyarakat luas. Selain mengajar sebagai dosen, ia juga telah

menapaki karier dan memiliki jabatan sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia

(MUI) semenjak tahun 1984 di daerah pusat, ia juga seorang anggota dari Lajnah

Pentashih al-Qur‟ān di Departemen Agama dari tahun 1989. Keterlibatannya

dalam organisasi keprofesionalan seperti Ikatan cendikiawan Muslim se-Indonesia

(ICMI) pada awal pembentukannya serta menjadi Asisten Ketua Umumnya

menambah daftar aktivitas karier Quraish Shihab. Ia juga merupakan pengurus

dalam Pengurus Perhimpunan Ilmu-Ilmu Syari‟ah, serta dalam Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan memiliki jabatan sebagai pengurus konsorsium dari

Ilmu-Ilmu agama.6 Ia juga selaku Dewan Redaksi Studi Islamika: Indonesian

Journal for Islamic Studies Ulumul Qur’ān, Mimbar Ulama dan Refleksi Jurnal

dalam Kajian Filsafat dan Agama dengan semua penerbitan daftar aktivitasnya ini

berada di ibukota Jakarta.7

Di samping kegiatan tersebut, M. Quraish Shihab juga dikenal sebagai

peneliti dan penceramah yang handal. Berdasar pada latar belakang keilmuan

yang kokoh yang ia tempuh melalui pendidikan formal, serta ditopang oleh

kemampuannya dalam menyampaikan pendapat dan gagasan dengan bahasa yang

sederhana, lugas, rasional8 dan kecendrungan pemikiran yang moderat, ia tampil

sebagai penceramah dan peneliti yang bisa diterima oleh semua lapisan

masyarakat.9

6 Haward M. Federspiel, Kajian al-Qur’ān di Indonesia: Dari Mahmud Yunus hingga

Quraish Shihab, cet. I, (Mizan: Bandung, 1996), h. 295-299. 7 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’ān, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1997), h.7. 8 Abuddin Nata, Tokoh Pembaharuan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2005), h. 364. 9 Muhalli Fikri, “Konsep Toleransi Beragama Dalam al-Qur‟ān Surat Al-Kafirun (Studi

Komparatif Tafsir Al-Azhar Dan Tafsir Al- Mishbah),” Skripsi pada UIN Mataram, Mataram

2019, h. 51.

Page 48: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

31

A. Surah al-Kafirun

1. Ayat dan Terjemahannya

(1) Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir!”

(2) aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah,

(3) dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah,

(4) dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,

(5) dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah.

(6) “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”

2. Munasabah Surah

Surah al-Kāfirūn menerangkan bahwa Rasulullah s.a.w tidak akan

mengikuti agama orang-orang kafir, sedang dalam an-Naṣr diterangkan bahwa

agama yang dibawa Nabi Muḥammad s.a.w akan berkembang dan menang10

.

10

Al-Qur‟ān dan Terjemahannya. Wakaf dari Pelayan Dua Tanah Suci Raja Abdullah bin

Abdul Aziz Ali Sau‟ud 1990. h. 1110.

Page 49: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

32

Kemudian pada hubungan dengan surah sebelumnya adalah “dalam surah al-

Kauṡar Allah memerintahkan agar penghambaan diri kepada Allah, sedang dalam

surah al-Kāfirūn perintah tersebut ditandaskan lagi”11

B. Pembahasan

1. Negasi Berkompromi dalam Ibadah.

1.1 Argumen yang digunakan:

a. Asbab Nuzul

Al-Biqāi‟ mempunyai pandangan tentang surah al-Kāfirūn ini, menurutnya

dalam surah ini Nabi Muḥammad s.a.w sudah sewajarnya memiliki sikap

bersyukur atas nikmat yang beliau terima dan oleh karena itu pula lah Nabi

Muḥammad s.a.w mengarahkan pandangannya hanya kepada Allah s.w.t terhadap

apa yang beliau terima itu. Di akhir surah lalu, yakni surah al-Kauṡar menegaskan

bahwa siapa saja yang membenci Nabi Muḥammad s.a.w baik orang-orang kafir

ataupun kaum musyrikin tidak akan berarti sama sekali kepada Nabi perlakuannya

tersebut. Sehingga pada awal surah al-Kāfirūn Allah s.w.t mengajarkan Nabi

untuk mengucapkan atas dasar perlakuan para pembencinya itu dengan ucapan:

Katakanlah wahai Nabi Muḥammad s.a.w kepada para pembesar kaum musyrikin

yang kekufuran mereka telah mendarah daging dalam jiwanya bahwa: Hai orang-

orang kafir yang menolak keesaan Allah dan yang ingkar terhadap kerasulanku.

Aku sekarang dan pada masa yang akan datang tidak akan menyembah apa yang

sedang kamu sembah.12

Berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas kepada Imam aṭ-Ṭabrani dan Ibnu Abī

Hatīm bahwa orang-orang kafir Quraisy melakukan negoisasi atau tawaran kepada

Nabi Muḥammad s.a.w, mengiming-imingi beliau dengan memberikan berbagai

macam harta yang berlimpah, yang nantinya dengan harta yang berlimpah itu

akan menjadikan Nabi Muḥammad s.a.w sebagai orang terkaya di Mekah. Tak

11

Ibid., 1112. 12

M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbāḥ; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān, (Jakarta:

Lentera Hati, 2002) Vol XV, Cet. I. h. 575.

Page 50: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

33

hanya itu saja, bahkan Nabi Muḥammad s.a.w akan diberikan wanita sebagai

tawaran supaya Nabi berhenti untuk tidak menghina tuhan-tuhannya orang-orang

Quraisy dan tidak lagi bertutur kata yang buruk terhadap mereka. Kemudian

tawaran orang-orang Quraisy tersebut masuk kepada wilayah penyembahan.

Mereka orang-orang Quraisy menawarkan tawaran terhadap Nabi Muḥammad

s.a.w untuk menyembah tuhan-tuhan mereka dalam waktu selama satu tahun.

Rasululullah s.a.w pun menjawab tawaran itu dengan mengucapkan “Saya akan

menunggu hingga Allah memberikan jawabannya.” Kemudian turunlah ayat dari

Allah s.w.t. sebagai berikut, “Katakanlah (Muḥammad), 'Wahai orang-orang

kafir!”, dan juga menurunkan ayat,

“Katakanlah (Muḥammad), Apakah kamu menyuruh aku menyembah selain

Allah, wahai orang-orang yang bodoh?” (QS. az-Zumar (39): 64).

Orang-orang Quraisy bertuturkata kepada Nabi Muḥammad s.a.w dengan

perkataan, “Sediakah engkau mengikuti agama kami dalam waktu setahun dan

kami pun akan mengikuti pula agamamu dalam waktu setahun?” kemudian Allah

s.w.t menurunkan secara keseluruhan ayat-ayat dalam surah ini. Berdasarkan atas

riwayat yang diterima Wahhāb dari Abdurrazaq dan Ibnu Juraij meriwayatkan hal

yang sama dari Ibnul Munżir.

Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa al-Walīd bin al-Mughīrah, al-„Ᾱṣi

bin Wa´il, al-Aswad bin al-Muṭalib dan Umayyah bin Khalaf bertemu dengan

Rasulullah saw. dan berkata: “Hai Muḥammad! Mari kita bersama menyembah

apa yang kami sembah dan kami akan menyembah apa yang engkau sembah dan

kita bersekutu dalam segala hal dan engkaulah yang memimpin kami”. Maka

Allah menurunkan ayat ini. (QS. al-Kāfirūn (109): 1-6). Diriwayat kan oleh Ibnu

Abī Hatīm yang bersumber dari Sa'id bin Mina.13

13

Qamaruddin Shaleh, HAA. Dahlan dan M.D Dahlan, Asbabun Nuzul latar belakang

historis turunnya ayat-ayat al-Qur’ān, (Bandung: CV. Diponegoro,1995). Cetakan XVII. h. 620.

Page 51: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

34

b. Penafsiran Ayat dengan Ayat lainnya

Pada kata ( فرون لك ٱ ) al-Kāfirūn berasal dari kata yang pada dasarnya diambil

dari kata (كفر) kafara dan kata (كفر) kafara memiliki arti menutup. Kata (كفر)

kafara itu digunakan dalam al-Qur‟ān memiliki arti makna yang beragam sesuai

dengan keadaan atau konteks sesuai kalimat sehingga dapat dipahami masing-

masing secara utuh. Kata ini dapat memiliki arti sebagai berikut: Pertama, yang

memiliki arti makna pengingkaran terhadap keesaan Allah s.w.t dan pengingkaran

terhadap kerasulan Nabi Muḥammad s.a.w. seperti yang berada dalam QS. Saba´

(34): 3. Kedua, yang memiliki arti makna tidak bersyukur atas nikmat Allah s.w.t

seperti yang berada dalam QS. Ibrāhīm (14):7. Ketiga, yang memiliki arti makna

tidak menjalankan tuntunan Allah s.w.t meskipun mempercayainya, seperti yang

berada dalam QS. al-Baqarah (2): 85. Kata kufur masih memiliki arti lain dan

dapat pula diberikan sebuah kesimpulan umum bahwa dalam kata kufur tersebut

menujukkan kepada sikap yang bertolakbelakang pada hal-hal yang sesuai dengan

ajaran agama, baik dari segi tuntunan maupun tujuan dari kehadiran agama.

Sementara di awal surah al-Kāfirūn pada ayat yang pertama dalam surah ini yang

Kafir

Pengingkaran: QS. Saba' (34): 3

Keesaan

Kerasulan

Tidak bersyukur: QS. Ibrāhīm (14):

7 Nikmat

Tidak Beribadah: QS. al-Baqarah

(2): 85

Agama sebagai Permainan

Bagan 4.1: Penjelasan Makna Kafir dan al-Miṣbāḥ

Khusus dalam Surah al-Kāfirūn.

Page 52: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

35

dimaksud dengan orang-orang kafir adalah para tokoh kaum kafir atau musyrik

yang memiliki sikap pengingkaran kepada Allah s.w.t, tidak mempercayai kepada

keesaan Allah s.w.t serta menolak akan kerasulan Nabi Muḥammad s.a.w.

Kemudian kata kufur dalam ayat-ayat yang turun sebelum Nabi Muḥammad s.a.w

hijrah ke kota Madinah, keseluruhannya memiliki arti makna bahwa orang-orang

musyrikin dan sikap-sikap orang-orang musyrikin tersebut menolak atau

keengganan mereka untuk mengakui kerasulan Nabi Muḥammad s.a.w ataupun

mereka meninggalkan pokok-pokok ajaran Islam yang Rasulullah bawa. Kesemua

ini adalah menurut rumusan dari ulama terhadap semua kata kufur dalam surah al-

Kāfirūn.14

1.2 Relasi Kekafiran atas Ketauhidan

Pada kata kafir dalam Tafsīr al-Miṣbāḥ tidak serta merta dapat disamakan

dalam pemaknaan sebagai non muslim saja atau bukan orang yang beriman dalam

Islam, sebab dalam berbagai ayat-ayat di al-Qur‟ān ada banyak istilah lain yang

menujukkan kata kafir dalam pengungkapannya yang bermacam-macam. Sebagai

bukti ketika kata kafir dimaknai sebagai kelalaian orang terhadap bentuk rasa

syukurnya terhadap apa yang ia telah terima dari Allah s.w.t, maka kata kafir

disini dimaknai sebagai kufur terhadap objek kelalaiannya itu sendiri yakni kafir

terhadap nikmat atau dengan kata lain kikir dan disebut kufur nikmat. Kemudian,

kafir terhadap bentuk keharusan atau kewajiban bagi pelaksanaan ibadah

dimaknai sebagai seorang yang membangkang atau durhaka terhadap Allah s.w.t.

Kafir juga dimaknai sebagai pengingkaran terhadap agama Islam sebagai agama

yang benar, dan juga terhadap pengingkaran atas kebenaran risalah yang para

Nabi bawa sebagai pedoman bagi seluruh umat manusia. Terdapat 4 makna kafir

yang penulis ambil memiliki arti tidak mengakui keesaan Allah s.w.t, kafir

bermakna tidak percaya Nabi Muḥammad s.a.w., ingkar kepada nikmat Allah

14

M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān, Jakarta:

Lentera Hati, 2002), Vol. XV, Cet. 1. h. 577.

Page 53: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

36

s.w.t, meninggalkan tuntunan agama dan menjadikan agama sebagai sebuah

permainan, adalah sebagai berikut:15

a. Pengingkaran atas Allah

Bagaian awal dalam wilayah pengingkaran pada eksistensi Allah s.w.t,

sebab mereka menganggap alam raya ini terjadi dengan sendirinya. Dalam firman

Allah s.w.t di kitab suci al-Qur‟ān berdasarkan surat al-Kahfī (18) ayat 29:

“Dan katakanlah (Muḥammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu;

barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa

menghendaki (kafir) biarlah dia kafir.”16

Kafir dalam ayat diatas menurut Muhammad Quraish Shihab diambil dari

akar kata yang memiliki arti menutup. Bukti yang jelas dari mulai diri manusia itu

sendiri maupun dalam bentuk yang lebih luas lagi yakni alam semesta, merupakan

tanda-tanda terhadap keesaan Allah s.w.t. Eksistensi dari kehadiran Allah s.w.t

amatlah nyata. Manusia sudah diberikan potensi akal untuk berfikir dan memiliki

daya untuk merenungi bahwa Allah s.w.t Zat yang Maha Tinggi itu ada dan ada

saja sebagian dari manusia itu sendiri yang tidak mau untuk menggunakan

potensinya tersebut. Padahal tanda-tanda Allah s.w.t menghampar di seluruh alam

semesta ini tanpa terkecuali dirinya sendiri. Perilaku yang demikian yakni

keengganan manusia untuk berfikir dan melihat kenyataan itu sama dengan arti

menutup. Maka dengan demikian bagi orang-orang yang tidak percaya akan

eksistensi Allah s.w.t dalam konteks ini disebut kafir.17

15

Lihat penelitian atau skripsi Arief Kamaludin, “Konsep Kafir menurut M. Quraish

Shihab (Analisis term Kafir dalam Tafsīr al-Miṣbāḥ),” mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

2019 dan juga hasil skripsi atau penelitian Nabiel Akbar, tentang “Makna Kafir dalam Tafsīr al-

Miṣbāḥ Karya M. Quraish Shihab “skripsi pada Universitas Muhammadiyah Surakarta 2018

terdapat 4 makna kafir yang penulis ambil. 16

www.qur‟an.kemenag.go.id QS. al-Kahfī (110): 29. 17

M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbāḥ; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān, (Jakarta:

Lentera Hati, 2002) Vol III, Cet. I. h 151. Lihat Arief Kamaludin, “Konsep Kafir menurut M.

Page 54: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

37

b. Pengingkaran atas Rasul Allah

Pada waktu Nabi menjalankan risalah ketuhanan kepada umat manusia

tentunya banyak mendapatkan kendala, baik dari pengusiran kepada Nabi

terhadap ajaran yang dibawa serta puncaknya pada ancaman pembunuhan yang

dalami oleh Nabi. Sehingga oleh karena itu ada beberapa hal yang menyebabkan

hati-hati mereka tertutup untuk menerima kebenaran akan wahyu yang Nabi bawa,

sifat angkuh, sombong, iri, dan dengki yang menyelimuti hati mereka yang

sebenarnya merekapun mengetahui kebenaran ajaran Nabi. Berdasarkan ali-Imrān

(3): 70-71:

“Wahai Ahli Kitab! Mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah, padahal kamu

mengetahui (kebenarannya)? Wahai Ahli Kitab! Mengapa kamu

mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan, dan kamu menyembunyikan

kebenaran, padahal kamu mengetahui?”.18

Dalam ayat diatas secara ekspilisit menjelaskan bahwa para Ahli Kitab

mereka mengetahui akan kebenaran ayat-ayat Allah s.w.t, namun secara tegas

pula ayat ini menegaskan bahwa mereka itu menutup-nutupi kebenaran secara

berkelanjutan dapat dilihat pada kata (تكفرون) takfurūn, kata ini menggunakan

bentuk dari kata kerja fi’il muḍāri’, dengan demikian ini bermakna kata kerja

sekarang dan yang akan datang, maka para Ahli Kitab menutup-nutupi kebenaran

sekarang dan yang akan datang.

Kemudian pada ayat selanjutnya yakni ayat 71, Allah s.w.t mengecam para

Ahli Kitab disebabkan mereka itu telah menyesatkan orang lain. Padahal pada

ayat sebelumnya yakni ayat 70 kecaman Allah s.w.t itu ditujukan pada mereka

disebabkan karena kesesatan mereka sendiri. Mereka itu yakni para Ahli Kitab

sebenarnya memiliki dua cara untuk menyesatkan, pada cara mereka yang

Quraish Shihab (Analisis term Kafir dalam Tafsīr al-Miṣbāḥ),” Skripsi pada UIN Sunan Ampel

Surabaya 2019, h. 55. 18

www.qur‟an.kemenag.go.id QS. ali-Imrān (200): 70-71.

Page 55: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

38

pertama adalah mencampuradukkan antara yang hak dengan yang batil. Bentuk

dari kalimat lain yang seringkali kita pahami dari kalimat mencampuradukkan dua

hal yang berbeda yakni yang hak dan yang batil biasanya dikenal dengan kata

propaganda. Nah propaganda juga tidak semuanya berisi tentang kebohongan,

namun bisa saja sebagian besar isi dari propaganda benar atau memang berisi

banyak kebenaran. Namun dalam kebenaran terdapat celah, lalu dengan demikian

pada celah kebenaran itupula dicampakkanlah kebohongan-kebohongan dalam

bentuk yang lebih samar. Sesuatu yang nampak samar akan tidak mudah terlihat

jika tidak benar-benar jeli dan teliti untuk fokus merasakannya. Dengan demikian

inilah yang dimaksud mencampuradukkan yang hak dengan yang batil.19

Pada cara mereka yang kedua adalah mereka menyembunyikan kebenaran

dengan mengingkari kebenaran atau mereka tidak menyampaikan kebenaran yang

harusnya mereka sampaikan pada saat kebenaran itu dibutuhkan. Maka salah satu

bentuk dari menyembunyikan suatu kebenaran adalah diamnya seseorang yang

padahal saat itu orang tersebut mengetahui tentang persoalan yang sangat

dibutuhkan mengenai penjelasannya. Maka inilah yang dimaksud dengan orang

yang mengingkari kebenaran.20

Mereka yang menutup pandangan, pendengaran

dan hati untuk menerima terhadap kebenaran yang Nabi bawa dihukumi sebagai

kafir.21

Kebenaran yang sudah nampak jelas dari apa yang telah nabi bawa dan

sampaikan, dinafikkan oleh mereka begitu saja, padahal kelebihan-kelebihan nabi

yang berasal Allah s.w.t yang telah mereka lihat dengan matakepalanya sendiri.

Pada sub bab ini selaras dengan pendapat dari ar-Razi dalam tafsirannya

Mafātih al-Ghaīb mengatakan bahwa, “Kafir berarti menolak untuk membenarkan

Rasul dan apa-apa yang dibawanya”22

19

M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān, (Jakarta:

Lentera Hati, 2000) Vol II, Cet. I. h. 113-114. 20

M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān, (Jakarta:

Lentera Hati, 2002) Vol III, Cet. I. h. 121-122. 21

M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān, (Jakarta:

Lentera Hati, 2002) Vol I, Cet. I. h. 574. 22

Abdurrahman Hasan Habanakah al-Maidani, al-Aqidah al-Islamiyah wa Ususuha, terj.

Pokok-pokok Akidah Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), Cet. I. h. 603.

Page 56: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

39

c. Pengingkaran atas Pemberian Allah (Nikmat)

Dalam realita hidup, Allah s.w.t. memberikan banyak nikmat yang

terhampar kepada seluruh makhluk, tanpa terkecuali manusia. Sejatinya manusia

itu tidak akan sanggup untuk menghitung seberapa banyak nikmat yang telah

Allah s.w.t berikan dalam setiap sendi-sendi kehidupannya. Namun kenyataannya,

hal ini bukanlah mengindikasikan semua manusia memiliki rasa syukur terhadap

apa yang telah ia terima. Seperti yang Allah s.w.t firmankan di dalam al-Qur‟ān

pada QS. al-Anbiyā‟ (21) ayat 94 yang berbunyi:

“Barangsiapa mengerjakan kebajikan, dan dia beriman, maka usahanya tidak

akan diingkari (disia-siakan), dan sungguh, Kamilah yang mencatat untuknya.”23

Pada kata (كفران) kufrān yang ditemukan dalam QS. al-Anbiyā‟ (21): 94,

Quraish Shihab memberikan penjelasan bahwa kata tersebut berasal dari kata

kafara yang memiliki arti makna dari segi bahasa “menutup”. Kata tersebut (كفر)

juga dapat diartikan tidak mengakui sebuah kebaikan yakni kata itu bermakna

tidak bersyukur. Al-Qur‟ān menggunakan kata ini sebagai lawan kata atau negasi

dari kata (شكر) syukur, karena itu ia biasa dipertemukan dengan kata syukur.24

Quraish Shihab berpendapat bahwa syukur berarti membuka dan

menampakkan dan negasi dari syukur adalah kufur, yang berarti menutup dan

juga berarti menyembunyikan.25

Menampakkan nikmat dengan menggunakan

nikmat sesuai pada tempatnya, menyebut-menyebut kepada pemberinya dengan

baik dan sesuai dengan apa yang pemberi kehendaki antara lain adalah esensi dari

syukur. Hal ini memberikan arti bahwa tiap-tiap anugerah yang diberikan kepada

manusia oleh Allah s.w.t berupa nikmat yang diterima, memberikan tuntutan

23

www.qur‟an.kemenag.go.id QS. al-Anbiyā‟ (112): 94. 24

M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān, (Jakarta:

Lentera Hati, 2002) Vol IX, Cet. I. h. 507. 25

M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān, (Jakarta:

Lentera Hati, 2002) Vol VII, Cet. I. h. 22.

Page 57: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

40

untuk direnungi dan menggunakan nikmat yang diterima itu sesuai tujuan

penganugerahannya.26

Allah s.w.t menganugerahkan kebaikan kepada seluruh manusia tanpa

terkecuali dalam berbagai kenikmatan, namun kelalaian bersyukur manusia itu

juga dapat ditemui di hidup ini dan terejawantah menjadi sebuah perilaku

pengingkaran terhadap nikmat Allah s.w.t yang telah diberikan kepada manusia.

Dalam hal ini Quraish Shihab menuturkan bahwa Allah s.w.t memberikan

nikmat dan anugerahnya kepada siapa saja, akan tetapi ada manusia yang enggan

bersyukur atas nikmat dan anugerah yang telah Allah s.w.t limpahkan.27

Beberapa

kasus dalam al-Qur‟ān menggunakan kata syukur sebagai lawan dari kata kufur,

karena secara makna kedua kosa kata tersebut bertentangan. Jika secara bahasa

kafir memiliki makna menutup, maka syukur bisa dimaknai membuka atau

menampakkan. Apabila ada orang yang bersyukur dengan kata lain orang tersebut

ingin menampakkan nikmat yang telah didapatkan, menyanjung pemberian

kepadanya dengan hal baik, atau menggunakan nikmat yang diberikan sesuai pada

fungsinya. Dengan begini Allah s.w.t ingin manusia merenungkan apasaja nikmat

yang telah diberikan dan menggunakan nikmat tersebut sesuai dengan kehendak-

Nya.28

Maka sejatinya, apabila ada seorang hamba yang enggan bersyukur atas

nikmat yang diberikan termasuk kategori durhaka, karena ia telah menutupi dan

tidak mengakui atas nikmat tersebut.29

26

Ibid., h. 23 27

Lihat Tafsīr al-Miṣbāḥ QS. al-Baqarah (2): 90, 152, 264, 286; ali-Imrān (3): 90, 131; an-

Nisa´ (4): 37; al-Maidāh (5): 115; al-An‟ām (6): 1, 89; Hūd (11): 9; Yusūf (12): 87; Ibrāhīm (14):

7, 28, 34; an-Naḥl (16): 55, 72, 112; al-Isra´ (17): 67, 69, 89; al-Ḥajj (22): 38, 66; al-Furqān (25):

50; an-Naml (27): 40; al-Qaṣaṣ (28): 82; al-„Ankabūt (29): 66, 67; ar-Rūm (30): 34, 51; Luqmān

(31): 12, 32; as-Sajdah (32): 10; Saba´ (34): 17, 162; Faṭir (35): 39; Yasin (36): 47; az-Zumar (39):

7; asy-Syūra (42): 48; Qaf (50): 24 al-Hadīd (57): 19; at-Taghābun (64): 2; al-Insān (76): 3. Lihat

Skripsi Muḥammad Nabiel Akbar, “Makna Kafir dalam Tafsīr al-Miṣbāḥ Karya M. Quraish

Shihab,” Skripsi pada Universitas Muhammadiyah Surakarta 2018, h. 9. 28

M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān, (Jakarta:

Lentera Hati, 2002) Vol IX, Cet. I. h. 507. 29

M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān, (Jakarta:

Lentera Hati, 2002) Vol VII, Cet. I. h. 22.

Page 58: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

41

d. Pengingkaran atas Jalan/ Aturan Allah

Orang kafir yaitu orang-orang yang menjadikan agama yang seharusnya

dianut dan diagungkan, tetapi mereka menjadikan agama sebagai permainan.

Mereka (orang-orang kafir) melakukan aneka macam kegiatan yang sia-sia dan

tanpa tujuan.30

Berikut adalah firman Allah s.w.t dalam QS. al-A‟rāf (7): 50-51.

“Dan penghuni-penghuni neraka itu menyeru penghuni-penghuni surga;

“curahkanlah kepada kami sedikit air dari apa yang telah direzekikan Allah

kepada kamu”. Mereka menjawab; “sesungguhnya Allah telah mengharamkan

keduanya atas orang-orang kafir (yaitu) orang-orang yang menjadikan agama

mereka sebagai permainan, oleh karena kelengahan mereka itu kehidupan dunia

telah menipu mereka. Maka pada hari ini, Kami melupakan mereka sebagaimana

mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka

selalu mengingkari ayat-ayat Kami.”31

Quraish Shihab memberikan penjelasan bahwa mereka orang-orang kafir

membuang-buang waktunya dan mereka lengah terhadap apa yang mereka

lakukan itu tak lain kegiatan mereka hanya untuk menyenangkan hati mereka.

Padahal kegiatan tersebut hanya akan menjadikan mereka tertipu dalam kehidupan

didunia ini. Semua itu berawal atas dasar sikap mereka yang menjadikan agama

hanya sebagai sebuah permainan. Sehingga seluruh kegiatannya sudah tentu

melengahkan mereka daripada melakukan hal-hal yang lebih penting dan

bermanfaat untuk dirinya sendiri.32

30

(Lihat Tafsīr al-Miṣbāḥ QS. al-A‟rāf (7): 50-51; al-Ghāfir (40): 74) 31

M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbāḥ; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān, (Jakarta:

Lentera Hati, 2002), Vol. V Cet. I. h. 106. 32

Ibid., Lihat Skripsi Muḥammad Nabiel Akbar, “Makna Kafir dalam Tafsīr al-Miṣbāḥ

Karya M. Quraish Shihab,” Skripsi pada Universitas Muhammadiyah Surakarta 2018, h. 14.

Page 59: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

42

2. Penghormatan Atas Keyakinan Beragama

2.1 Argumen Makna Dīn:

a. Secara Kebahasaan

Secara etimologis pada kitab suci umat Islam yakni al-Qur‟ān, di dalamnya

agama dikenal dengan tiga huruf inti. Ketiga huruf ini adalah akar kata dalam

bahasa Arab yaitu kata دين (dīn). Dalam kata tersebut mengandung tiga huruf dan

memiliki banyak arti dari masing-masing huruf dīn. Ketiga huruf itu yang pertama

adalah د (dal), dan huruf yang terakhir adalah ,(’ya)ي Arti dari ketiga .(nun)ن

huruf tersebut adalah, taat, ibadah, pembalasan, pembenaran, pengakuan atas

jasa, dan yang terakhir adalah utang. Uraian tentang ketiga makna kata dīn, yang

kemudian dijelaskan menjadi tiga huruf dalam bahasa Arab memiliki makna yang

terhimpun oleh adanya sebuah keterikatan ataupun sebuah hubungan antara dua

belah pihak. Kedudukan disini adalah sebuah kedudukan yang memiliki posisi

yang berbeda, kedudukan yang satu lebih tinggi dari kedudukan yang lain.

Kemungkinan hal itu dapat terjadi dikarenakan jasa pihak yang kedudukannya

tinggi memiliki kekuasaan ataupun memiliki kehebatan dan keagungan yang

melatarbelakanginya, oleh sebab itu timbullah rasa takut maupun ada rasa kagum

Page 60: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

43

kepadanya. Kata dīn memiliki keterikatan satu sama lain, dikarenakan makna

yang sudah dijelaskan di awal. Hal ini sudah menjadi gambaran atas hubungan

yang terwujud. Maka dari itu dinamai dengan agama (dīn), yang didalamnya

sudah termasuk dalam sebuah arti kumpulan-kumpulan ajaran yang berisi penjelas

terhadap kehidupan setelah kematian, yang diyakini bagi para penganutnya untuk

kebahagiaan semasa hidup di dunia maupun di akhirat kelak, setelah jasad dan

ruhnya berpisah.33

Jika ingin mendeskripsikan pengertian dari agama secara lebih mudah,

maka agama merupakan ikatan pertalian antara ruh manusia dengan kekuatan

gaib, yang dipercayai akan kegunaannya ditentukan oleh daya/kekuatan tersebut.

Hingga ia terdorong untuk memiliki ikatan pertalian dan menyelaraskan dirinya

terhadap apa yang diinginkan dari daya/kekuatan itu sendiri. Para pakar muslim

menjelaskan esensi agama sebagai al-dīnal-Muamalah (agama adalah interaksi),

itu merupakan rumusan yang dijelaskan secara singkat dan padat oleh mereka.

Interaksi dalam penjelasan ini memiliki hubungan erat dengan Tuhan dan segenap

ciptaan-Nya, seperti manusia, tumbuhan, hewan, abiotik dan sampai pada diri

sendiri. Setiap agama-agama mengajarkan kebaikan, untuk itulah para pembawa

risalah ketuhanan baik rasul ataupun penganjur-penganjur dalam istilah lain di

masing-masing agama itu menyerukan kepada kebaikan. Untuk itulah, jika

hubungan baik seseorang secara menyeluruh terhadap interaksi yang sudah

dijelaskan sebelumnya, maka baik pula lah keberagamaannya. Cerminan baik itu

ada pada akhlak maupun perbuatan seseorang terhadap mitranya. Maka dari itu

hubungan timbal balik antara pencipta dengan ciptaann-Nya tidak boleh terputus.

Jika interaksi yang baik itu terputus, maka putus pula lah dalam hal ini antara

agama dengan manusia itu.34

Keterhubungan antara hati yang bersih dan akal yang jernih akan tercapai

jika kedua hal itu berjalan dengan baik, bersatupadu dalam keadaan yang baik

pula. Sesuatu yang nampak dipandangan mata, yangmana dapat dilihat dengan

perilaku kesalehan seseorang dalam berbagai bentuk ritual keagamaannya, bukan

33

M. Quraish Shihab, Islam yang Saya Anut: Dasar-dasar Ajaran Islam, (Ciputat: PT.

Lentera Hati, 2019) Cet. IV. h. 35-36. 34

Ibid., h. 36.

Page 61: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

44

berarti dapat disimpulkan bahwa hal itu sesuai dengan gambaran yang tampak

pada permukaannya saja. Hal yang dengan sangat mudah terlihat dari pandangan,

bukan berarti merepesentrasikan apa yang sesungguhnya terlihat baik juga dalam

hati. Namun ketika hati dan pikirannya kotor ataupun keruh, maka hal itu tidaklah

wajar bila hal tersebut menjadi indikator wujud dari seseorang beragama yang

baik. Selayaknya sebuah rumah, apakah wajar bila ada sebuah rumah bisa

dikatakan baik jika hanya terlihat dari luarnya saja yang terlihat baik, tentu saja

tidak. Hal itu menjadi sangat kompleks. Bangunan rumah itu bisa dikatakan

bangunan yang baik, jika memang fondasi bangunan tersebut kokoh dan kuat

menopang segala apapun yang harus ditopangnya. Segala komponen yang

menunjang tegak berdiri dan indahnya rumah yang dilihat dari luar permukaan

yang baik haruslah juga disertai dengan tembok yang kokoh. Kemudian, dinding

yang kokoh pula serta kebersihan dari setiap kamar yang juga terjaga dengan baik.

Begitupula dengan keberagamaan, seseorang layak dinilai baik apa bila hubungan

ia dengan Allah s.w.t dan hubungannya dengan makhluk hidup yang lainnya juga

berjalan dengan baik, seperti hubungan baik antara manusia lainnya, hubungan

baik antara ia dengan tumbuh-tumbuhan, hubungan baiknya antara ia dengan

hewan dan alam raya. Semua hubungan yang dilaksanakan tadi ketika dijalani

dengan holistik atau menyeluruh dengan akal dan pikiran yang jernih maka

seseorang tersebut dapat dinilai baik dalam keberagamaannya. Dalam

pemeliharaan hubungan secara menyeluruh baik hubungan manusia secara

vertikal maupun hubungannya secara horisontal akan terpelihara bersihnya hati

dan tercerahkannya pikiran menghidarkan manusia dari segala bentuk noda dalam

hatinya, yangmana jika tidak bersih noda tersebut maka akan menghadirkan

kekeruhan dan menjauhkan ia dari tuntunan agama. Untuk itulah agama datang

membawa beragam macam aneka tuntunan.35

Menurut para pakar yang membicarakan tentang agama setidaknya

tercermin dari 3 hal pokok: yakni kepercayaan tentang keberadaanya wujud

Kekuatan yang mengendalikan dan mengatur alam raya ini, 2) kepercayaan atas

adanya balasan tehadap apa yang orang lakukan, 3) hubungan interaksi

35

Ibid., h. 36.-37.

Page 62: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

45

antarpemeluk agama dengan wujud dari kekuatan yang ia yakini. Pada poin 1 dan

2 adalah kepercayaan yang hanya orang tersebut ketahui, karena kepecayaan itu

tidak sertamerta dapat terlihat dari permukaan ataupun dari luar saja, tetapi

kepercayaan itu merupakan kepercayaan yang hanya ada dalam benak maupun

dalam hati. Sementara pada poin nomor 3 bisa terlihat dalam bentu praktek ibadah

ritualnya dan segala bentuk kegiatan positif yang dapat dikerjakannya. Namun

pada poin nomor 3 juga dapat timbul karena dorongan butir poin nomor 1 dan

nomor 2, hal ini dikarenakan terdapat dorongan dari dalam diri yang

menyebabkan ia tergerak untuk melakukan aktifitas keagamaannya, baik karena

takut, merasa kagum terhadap sifat-sifat ataupun karena ingin mendapatkan

ganjaran dan berharap kebaikan dari Tuhannya ketika ia melaksanakan tuntunan

dari agama.36

b. Tafsir Ayat, QS. Saba´ (34): 25.

“Kamu tidak diminta mempertanggungjawabkan dosa-dosa kami, kami pun tidak

diminta mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan kalian” (QS. Saba´ (34):

25).

Inti dari deskripsi ayat-ayat diatas merupakan bagaimana interaksi umat

Islam dalam menyikapi sebuah perbedaan kepercayaan dengan penganut agama

lainnya. Pada dasarnya penganut agama Islam sendiri maupun penganut agama

lainnya memiliki keyakinan akan kebenaran dari apa yang dianutnya, tanpa

terkecuali meyakini pula bahwa yang bertentangan dengan kebenaran yang

diyakininya adalah sebuah kesalahan. Tetapi hal itu tidak serta merta dapat

ditampakkan keluar maupun digaung-gaungkan ditengah kehidupan masyarakat

yang beragam. Model dari ayat yang telah dipaparkan di awal tersebut dinamai

dengan gaya bahasa istilah Uslūb al-Inshāf oleh para ulama. Gaya bahasa dari ayat

tersebut memberi arti bahwa pembicara tidak secara tegas mempermasalahkan

kepada lawan bicaranya, dalam hal ini cenderung memberi kesan kepada mereka

boleh jadi ada kebenarannya. Baik dalam kebenaran dan dalam kesalahan

36

Ibid., h. 37.

Page 63: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

46

terhadap ajaran Islam maupun terhadap pandangan lawan bicaranya tidak serta

merta dinyatakan secara absolut oleh ayat tersebut di atas. Dalam redaksinya

dapat kita perhatikan secara seksama bahwa redaksi ayat tersebut menyatakan

“Kami atau kamu sesungguhnya pasti berada dalam kebenaran ataupun berada

dalam kesesatan yang nyata”, keyakinan yang bertolak belakang antara kita

merupakan suatu kepastian akan adanya 2 hal yang berbeda pula dalam

kenyataannya, yakni adanya benar atau salah. Mungkin, kami benar dan mungkin

kami lah yang salah begitupula mungkin juga lawan bicara demikian sebaliknya.

Cara diksusi yang diajarkan oleh al-Qur‟ān merupakan cara diskusi yang

lebih baik dari apa yang diucapkan oleh ilmuan yang sementara mengucapkan

bahwa: “Pandangan kami benar, namun kemungkinan mengandung kesalahan,

dan kemudian pandangan Anda salah namun mungkin mengandung kebenaran”,

pada ayat ini menuntun kita kearah yang lebih baik, karena adanya sikap yang

memberikan kesan sebelum mengetahui kejelasan akan suatu hal, untuk tetap

netral dalam berdiskusi, guna mendapatkan kebenaran yang diisyaratkan pada

ucapan terakhir ini terhadap kebenaran dari pihak sendiri maupun kesalahan dari

pihak yang lain.

Hal ini pun juga senada dengan pandangan Hamka dalam penafsirannya

bahwa “Selama kamu masih tetap menganut paham yang salah, masih

mempersekutukan Allah dengan berhala yang kamu sembah itu, tidaklah ada

hubungan kita sama sekali, walaupun kita satu bangsa, satu kaum, satu keluarga.

Sehingga misalnya ada perbuatan kami yang salah pada pandangan kamu, maka

tempat kami bertanggung jawab hanya Allah semata-mata. Demikian juga segala

perbuatan kamu, tingkah laku kamu, untung rugi kamu, tidaklah ada hubungannya

dengan kami. Kami sudah nyata tidak akan menganut paham kamu yang sesat itu.

Tetapi jika kamu turuti kami, kamu terima seruan kami, tegasnya kamu nyatakan

diri memeluk agama yang kami peluk, menjadi satulah kita. Sama hak sama

kewajiban, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Mendapat sama berlaba,

kececeran sama merugi. Sebab kita telah menjadi umat yang satu.”37

37

Hamka, Tafsīr al-Azhar, (Jakarta: Gema Insani, 2015) Jilid 7, Cet.1. h. 312.

Page 64: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

47

Pada redaksi ayat di atas jika dilakukan pengamatan, maka adanya sikap

toleransi terhadap pandangan lawan bicara. Dalam hal ini apa yang dilakukan oleh

Nabi Muḥammad s.a.w sebagai pembicara dan para pengikut beliau dideskripsikan

dengan kata (أجرمنا) ajramnā/dosa yang telah kami lakukan/ perbuat. Maksud dari

kata dosa tersebut dalam bentuk kata kerja masa lampau sehingga memiliki

makna telah terjadi dari apa yang dinamai dengan dosa tadi. Namun ketika

menggambarkan lawan bicara, lawan bicara dalam hal ini adalah mereka yang

berbeda keyakinan dengan muslimin tidak digambarkan dengan kata dosa,

melainkan dengan kata (عماتعملن) „ammā ta‟malūn/mengenai dari apa yang kamu

sedang dan akan lakukan/perbuat, dengan kata yang netral, baik pada bentuk kata

kerja sekarang dan yang akan datang, hal ini berdasarkan perhatian kita pada

firman Allah s.w.t, “Kamu tidak diminta mempertanggungjawabkan dosa-dosa

kami, kami pun tidak diminta mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan

kalian”.38

Orang lain boleh berpendapat bahwa dosa-dosa yang dimaksud pada ayat

diatas merupakan pelanggaran-pelanggaran yang sebenarnya tidak ada satu

orangpun yang dapat terhidar darinya, namun maksud dari apa yang kamu perbuat

ialah dosa-dosa yang mereka kerjakan. Sedangkan jika orang lain menafsirkan hal

yang demikian tidaklah patut pandangan ini diketahui dan terdengar oleh lawan

bicara karena hal tersebut nantinya orang banyak akan mengetahui maupun

mendengarnya juga.

Menurut Quraish Shihab, Ada juga sementara ulama yang memahami firman-

Nya: “Sesungguhnya kami atau kamu pasti berada di atas kebenaran atau dalam

kesesatan yang nyata” dalam arti kami berada dalam kebenaran dan kamu dalam

kesesatan. Ayat ini, menurut mereka, berbicara tentang dua pihak dan dua

keadaan. Pihak pertama adalah kami (kaum muslimin) dan pihak kedua adalah

kaum musyrikin. Sedang, dua keadaan adalah yang pertama di atas kebenaran dan

yang kedua dalam kesesatan yang nyata. Keadaan pihak pertama ditunjuk oleh

38

M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān, (Jakarta:

Lentera Hati, 2010) Vol X, Cet. 3. h. 611.

Page 65: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

48

keadaan pertama yang disebut, dan keadaan pihak kedua adalah keadaan kedua

yang disebut sehingga maknanya-menurut mereka-adalah seperti yang penulis

kemukakan itu.

Pendapat ini kurang tepat karena ayat di atas tidak menyatakan

Sesungguhnya kami dan kamu tetapi atau kamu. Di sisi lain, makna yang mereka

kemukakan itu tidak sejalan dengan ayat berikut yang menegaskan bahwa

keputusan akan berada di tangan Allah pada hari Kemudian karena, dengan

pendapat mereka itu, keputusan telah diambil sendiri oleh yang bersangkutan.39

2. 2 Tafsiran Lafaz Dīn

Arti dari kata (دين) dīn adalah agama/balasan/kepatuhan. Ulama memahami

arti dari kata dīn pada konteks ini dengan arti balasan. Hal yang demikian

disebabkan bahwa kaum musyrikin di kota Mekah tidaklah beragama. Ulama

dalam redaksi ayat دين ل كمدينكمو ل memahami bahwa pada tiap-tiap kelompok

akan mendapatkan balasan yang sepadan dengan apa yang dilakukannya.

Demikian pula bagi Nabi maupun orang-orang musyrikin ada balasannya juga.

Balasan baik ataupun balasan yang buruk dikembalikan kepada Tuhan. Tuhanlah

yang menentukannya.40

Segala sesuatu akan kembali kepada diri sendiri, pada pembahasan ini dīn

dimaknai sebagai agama, balasan, kepatuhan bahwa apa yang manusia lakukan

akan mendapatkan balasan terhadap apa yang manusia kerjakan dihadapan Tuhan.

3. Relasi Hubungan Antar Pemeluk Agama

ل كمدينكمو ل دين“Bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku.”

Keyakinan dalam ajaran Islam dan kepercayaan Nabi Muḥammad s.a.w

secara tegas tidak akan bertemu dengan kepercayaan kaum musyrikin yang

bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri, karena mereka kaum musyrikin

39

Ibid. 40

M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān, (Jakarta:

Lentera Hati, 2002) Vol XV Cet. I. h. 581.

Page 66: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

49

adalah kaum yang mempersekutukan Allah s.w.t, ayat di atas memberikan

ketetapan bagaimana cara mempertemukannya atau menyikapinya di kehidupan

sosial kemasyarakatan sebagai berikut: Bagi kamu berlaku khusus agama kamu.

Kamu bebas mengamalkan sesuai dengan kepercayaanmu dari ajaran agamamu

dan itu tidak menyentuhku walaupun sedikit. Begitupun sebaliknya, bagiku pula

berlaku khusus agamaku, baik secara pelaksanaan ataupun pengalaman dalam

ajaran agamaku tidak menyentuh/dapat disentuh walaupun hanya sendikit oleh

mereka karena kita pun memiliki kebebasan yang sama.41

Dalam interaksinya, antara kita sebagai kaum muslimin berdasar atas ajaran

yang dibawa oleh nabi Muḥammad s.a.w dengan mereka yang memiliki

kepercayaan di luar kepercayaan Islam, ternyata kita tetap dapat

berinteraksi/bertemu di wilayah sosial kemasyarakatan. Dengan sikap

mengedepankan penghormatan terhadap apa yang mereka anut, memberikan

ruang untuk berbeda dan tidak sedikitpun juga mereka ikut campur dalam prinsip-

prinsip aturan ajaran agama kita, begitupun sebaliknya.

4. Pertanggung Jawaban atas Perilaku Peribadatan

Didahulukannya kata (لكم) lakum dan (ل) liya berfungsi menggambarkan

kekhususan, karena itu pula masing-masing agama biarlah berdiri sendiri dan

tidak perlu dicampurbaurkan. Tidak perlu mengajak kami untuk menyembah

sembahan kalian setahun agar kalian menyembah pula Allah. Kalau (دين) dīn

diartikan agama, maka ayat ini tidak berarti bahwa Nabi diperintahkan mengakui

kebenaran anutan mereka. Ayat ini hanya mempersilahkan mereka menganut apa

yang mereka yakini. Apabila mereka telah mengetahui tentang ajaran agama yang

benar dan mereka menolaknya serta bersikeras menganut ajaran mereka, silahkan,

karena memang seperti firman Allah swt:

41

M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān, (Jakarta:

Lentera Hati, 2002) Vol XV Cet. I. h. 581.

Page 67: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

50

“Tidak ada paksaan dalam memeluk agama, sesunggubnya telah jelas jalan yang

benar dari jalan yang sesat” (QS. al-Baqarah (2): 256).

Kelak di hari kemudian masing-masing mempertanggungjawabkan

pilihannya.42

Bahwa dalam beragama kita tidak boleh memaksakan kebenaran

yang kita yakini kepada pemeluk agama lain. Sisi toleransinya adalah kita harus

menghargai bahwa secara rinci masing-masing agama memiliki tuntunan yang

dilaksanakan oleh pemeluk-pemeluknya.

5. Eksistensi Agama dan Keyakinan Beragama ل كمدينكمو ل دين

Ayat 6 di atas, merupakan pengakuan eksistensi secara timbal balik, bagi

kamu agama kamu dan bagiku agamaku. Sehingga dengan demikian masing-

masing pihak dapat melaksanakan apa yang dianggapnya benar dan baik, tanpa

memutlakkan pendapat kepada orang lain sekaligus tanpa mengabaikan keyakinan

masing-masing.

Demikian terlihat bahwa absolusitas ajaran agama adalah sikap jiwa ke

dalam, tidak menuntut pernyataan atau kenyataan di luar bagi yang tidak

meyakininya.43

Soal aqidah, di antara tauhid mengesakan Allah, sekali-kali

tidaklah dapat dikompromi-kan atau dicampuradukkan dengan syirik. Tauhid

kalau telah didamaikan dengan syirik, artinya ialah kemenangan syirik.44

Ketika kaum musyrikin bersikeras menolak ajaran Islam, maka demi

kemaslahatan bersama, Tuhan memerintahkan Nabi Muḥammad s.a.w.

menyampaikan bahwa:

42

Ibid. 43

Ibid. 582. 44

Hamka, Tafsīr al-Azhar, (Jakarta: Gema Insani, 2015), Jilid 9, Cet.1. h. 680.

Page 68: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

51

“Sesungguhnya kami atau kamu yang berada dalam kebenaran, atau dalam

kesesatan yang nyata. Katakanlah: Kamu tidak akan diminta

mempertanggungjawabkan pelanggaran-pelanggaran kami dan kami pun tidak

akan diminta mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan kamu. Katakanlah:

“Tuhan kita akan menghimpun kita semua, kemudian Dia memberi keputusan di

antara kita dengan benar, sesungguhnya Dia Maha Pemberi keputusan lagi Maha

Mengetahui” (QS. Saba´ (34): 24-26).

Pada ayat di atas terlihat bahwa ketika absolusitas diantar keluar, ke dunia

nyata Nabi saw. tidak diperintahkan menyatakan apa yang di dalam keyakinan

tentang kemutlakan kebenaran ajaran Islam, tetapi justru sebaliknya, kandungan

ayat tersebut bagaikan menyatakan: Mungkin kami yang benar, mungkin pula

kamu; mungkin kami yang salah, mungkin pula kamu. Kita serahkan saja kepada

Tuhan untuk memutuskannya. Bahkan diamati dari redaksi ayat di atas, bahwa

apa yang dilakukan oleh Nabi dan pengikut-pengikut beliau diistilahkan dengan

pelanggaran (sesuai dengan anggapan mitra bicara), sedang apa yang mereka

lakukan dilukiskan dengan kata perbuatan, yakni tidak menyatakan bahwa amal

mereka adalah dosa dan pelanggaran.

Awal surah ini menanggapi usul kaum musyrikin untuk berkompromi dalam

akidah dan kepercayaan tentang Tuhan. Usul tersebut ditolak dan akhirnya ayat

terakhir surah ini menawarkan bagaimana sebaiknya perbedaan tersebut disikapi.

Demikian bertemu akhir ayat surah ini dengan awalnya. Maha Benar Allah dan

segala firman-Nya, dan sungguh serasi ayat-ayatnya. Demikian Wa Allah A’lam.45

Allah s.w.t memberikan anugerah kepada manusia berupa kecenderungan,

pikiran, dan hawa nafsu. Hawa nafsu yang dimiliki oleh manusia mengakibatkan

pertentangan dan aneka perbedaan yang jika manusia tidak mengelolanya dengan

baik maka dapat mengakibatkan bencana dalam hidupnya. Allah s.w.t

menegaskan dalam QS. Hūd (11): 117-118, bahwa manusia akan selalu berbeda

45

Ibid., h. 582.

Page 69: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

52

dan berselisih, kecuali mereka yang dirahmati Allah s.w.t, yang mampu

mengelola perbedaan tersebut dengan sikap yang toleran pada pandangan dan

sikap pihak lain, terutama dalam hal kebergamaan ataupun selainnya. Tanpa

toleransi, hidup manusia akan terganggu. Toleransi diartikan juga sebagai sikap

menenggang, membiarkan maupun menghormati pandangan/sikap orang lain

meskipun membiarkannya tidak sama dengan pendapatnya sendiri. Oleh sebab itu

toleransi sangatlah dibutuhkan dalam kehidupan, karena keragaman akan sebuah

perbedaan adalah sebuah keniscayaan.46

Sebenarnya dari paparan Muhammad Quraish Shihab tidak ada satupun

kata-kata toleransi di dalam penafsiran surah al-Kāfirūn. Jika toleransi memiliki

pengertian sebagaimana pengertian toleransi dalam KBBI bahwa “sifat toleran

atau sikap menenggang rasa dalam artian lain membolehkan, menghargai,

membiarkan pendirian ataupun pandangan, pendapat, kebiasaan, kepercayaan,

kelakuan yang kontra atau berbeda dengan pendirian pribadi. Selain itu, toleransi

bermakna sebagai sifat atau sikap toleran dengan limitasi skala pengurangan atau

penambahan yang diperbolehkan untuk diterapkan terhadap suatu hal.47

Maka

makna toleran disini adalah tidak ada kompromi/atau menerima bahwa terdapat

perbedaan yang mengakibatkan tidak adanya titik temu antara orang Islam dengan

pemeluk agama lain pada hubunganya dengan Tuhan, karena bahasa ataupun kata

kompromi selalu muncul 6 kali dalam penafsiran Muhammad Quraish Shihab

dalam surah al-Kāfirūn. Karena ketika diksi itu yang digunakan, maka itulah diksi

toleransi yang dapat kita temui dan yang dengannya pulalah diksi yang digunakan

oleh Muhammad Quraish Shihab dalam tafsirannya. Bila pun ingin jika kita

mengatakan sisi bagaimana seseorang bisa menjadikan konsep toleran yang ada

dalam surah al-Kāfirūn itu tergambar:

1. Bahwa tidak ada kompromi (titik temu) dalam hal peribadatan. Jadi

dalam hubungannya pada wilayah ibadah (penyembahan), tidak ada dan tidak bisa

46

M. Quraish Shihab, Yang Hilang dari Kita: Akhlak, (Tangerang: PT. Lentera Hati, 2019),

Cet III. h. 181. 47

Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan

Nasional, 2008, h. 1538.

Page 70: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

53

dikompromikan (tidak bisa dipertukarkan) atas dasar tema yang kedua yakni relasi

hubungan antar pemeluk agama.

2. Menghormati keyakinan ketika seseorang sudah memeluk agama.

Berdakwah atau mengajak untuk memeluk maupun mengenali Islam

diperbolehkan, namun pada prinsipnya ketika respon orang tersebut tetap dalam

kondisi keyakinannya ia tidak berpindah dan kemudian ia pun tidak menerima

Islam, maka hal itu merupakan bukan tanggung jawab kita selaku orang Islam

untuk menjadikan ia masuk menjadi pemeluk agama Islam. Sebagai orang Islam

harus menghormati orang tersebut untuk tetap dalam keyakinannya agamanya.

Menurut Quraish Shihab bahwa sekali lagi agama beraneka ragam, biarlah

masing-masing dengan pilihan masing-masing untuk memercayai dan

melaksanakan apa yang baik dan benar. Biarlah manusia yang berbeda-beda itu

berlomba dalam kebajikan. Kalau kebajikan itu disepakati maka mari

bergandengan tangan untuk mewujudkannya. Kalau tidak disepakati, jangan cari

siapa yang salah dan siapa yang benar. Masing-masing mestinya telah

mempelajari agamanya dan menemukan yang sehingga tidak mungkin dibenarkan

dua benar, agama berbeda dalam saat yang sama.48

Pada dasarnya toleransi dalam hubungannya antarumat beragama terdapat

batasan tertentu dan dalam beragama sebaiknya tidak ada unsur pemaksaan

sehingga dalam menyikapnya Muhammad Quraish Shihab menggunakan redaksi

ayat al-Baqarah (2): 256.49

Hal ini serupa dengan pandangan Salman Harun

bahwa “Pemkasaan kebenaran benar-benar dilarang, apalagi dengan kekerasan”50

Hubungan antara umat Islam dengan pemeluk lain haruslah tetap harmonis

tanpa ada pemaksaan, maka hal itu juga merupakan sunnahtullah. Oleh karena itu,

umat sebagai umat muslim tidak sertamerta dapat memaksakan kebenaran yang

ada dalam diri sebagai pemeluk agama yang meyakini kebenaran Islam terhadap

keyakinan yang dianut, sebab kita selaku umat muslim sebenarnya tidak akan

48

M. Quraish Shihab, Islam yang Saya Anut: Dasar-dasar Ajaran Islam, (Ciputat: PT.

Lentera Hati, 2019), Cet. IV. h. 49. 49

Lihat: M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟ān,

Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. I, Cet. 1. h. 581 50

Salman Harun, Secangkir Tafsir Juz Terakhir (Mengerti Jalan-jalan yang

Membahagiakan di Dunia dan Akhirat), (Tangerang: PT. Lentera Hati, 2018), Cet. I. h. 356.

Page 71: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

54

mempertanggungjawabkan setiap amalan yang pemeluk agama lain kerjakan.

Dalam wilayah keimanan yang ada di dalam diri tiap-tiap pemeluk agama Islam

sepatutnya kita tidak memperlihatkan kebenaran mutlak yang ada dalam diri

keluar, bentuk toleransinya dengan tidak memaksakan sesuatu yang sudah mutlak

kebenaran yang kita peroleh keluar, kita tidak mengabaikan keimanan mereka

pemeluk agama lain. Sehingga Quraish Shihab selalu mengomentari perbedaan

dengan kaitannya surah ini dengan surah QS. Saba´ (34): 25 dengan kalimat

“mungkin kami yang benar, mungkin kami yang salah dan mungkin juga anda”

bahwa kita benar-benar tidak bertanggungjawab dengan keimanan yang orang lain

yakini.

Menurut Quraish Shihab ayat-ayat di atas menggambarkan bagaimana

seharusnya seorang muslim berinteraksi dengan penganut agama dan kepercayaan

yang berbeda dengannya. Tidak dapat disangkal bahwa setiap penganut agama-

termasuk Islam-harus meyakini sepenuhnya tentang kebenaran anutan/ agamanya

serta kesalahan anutan selainnya-bila anutan itu bertentangan dengan keyakinan

masing-masing. Namun demikian, hal tersebut tidak harus ditonjolkan keluar

apalagi dikumandangkan di tengah masyarakat yang majemuk. Ayat-ayat di atas

tidak menyatakan kemutlakan ajaran Islam dan kemutlakan kesalahan pandangan

mitra bicara.

Dalam sejarahnya Allah pernah menegur Nabi Muḥammad s.a.w terkait

dakwah beliau kepada orang kafir, bahwa Nabi Muḥammad s.a.w memiliki tugas

pada orang yang belum berislam hanya pada menyampaikan kebenaran yang

beliau bawa, sedangkan wilayah penerimaan terhadap apa yang Nabi sampaikan

bukan ranah Nabi s.a.w.

Di dalam tafsiran surah al-Kāfirūn, Quraish Shihab menjelaskan bahwa

memang kita mengakui adanya perbedaan dalam segi akidah keimanan dan segala

bentuk peribadatan yang kita yakini dengan pemeluk agama lain, namun tetap

menghargai dan memberikan ruang untuk pemeluk agama lain untuk beribadah

Page 72: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

55

sesuai apa kebenaran apa yang mereka yakini.51

Tetapi untuk diluar wilayah itu

beliau memberikan pandangan bahwa bekerjasama dalam kehidupan itu boleh.

Allah pun melarang bagi kita selaku umat Islam untuk bersikap tidak toleran

terhadap pemeluk agama lain, seperti memaki sesembahan mereka karena hal itu

dapat menyinggung rasa keagamaan pemeluk agama lain. Sebab sejatinya segala

bentuk tindak tanduk kita akan kembali kepada diri kita sendiri. Terlebih pada hal

memaki sesembahan mereka, karena nantinya mereka juga akan memaki Tuhan

yang kita sembah dengan melampaui batas, hal ini bisa kita lihat dalam QS. al-

An‟ām (6): 108 “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah

selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas

tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap

baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia

akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.”

51

Membentak, Menuduh Kafir= Dakwah Melampaui Batas - Prof. Quraish Shihab diakses

pada 8 Juli 2020 https://www.youtube.com/watch?v=eqgtyh6Pufs&t=82s

Page 73: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

56

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Bahwa toleransi merupakan sebuah keniscayaan. Di dalam ajaran Islam

mengajarkan kita untuk menerapkan toleransi dalam setiap sendi-sendi kehidupan.

Toleransi merupakan sikap yang harus ada bagi setiap diri seorang muslim tanpa

terkecuali, karena sikap toleransi menjadikan manusia itu utuh dalam pelaksanaan

ibadah kepada Allah s.w.t dan hubunganya secara horisontal kepada manusia

maupun kehidupan secara holistik, menjadikan kehidupan manusia seimbang

antara duniawi dan ukhrawi dengan segala aspek kehidupan.

Pada surah al-Kāfirūn ini adalah surah yang sangat tegas dan kental prinsip

toleransinya terhadap penolakan usul kaum kafir Quraisy dari segi penawaran

mereka dengan usul mencampur adukkan/menyangkut wilayah pelaksanaan

tuntunan agama/keyakinan yakni wilayah penyembahan. Sehingga kita

mengetahui bahwa ternyata batasan toleransi tersebut tidak boleh mengorbankan

prinsip agama demi toleransi. Toleransi diartikan sebagai sikap menerima,

tenggang rasa dan menghormati pandangan dari pihak lain, walaupun sikap atau

pandangan tersebut berseberangan dengan pandangan kita. Namun pada

penafsiran surah al-Kāfirūn ini Quraish Shihab tidak diketemukan diksi atau kata

toleran/toleransi. Jika pemaknaan toleransi merujuk kepada sebuah pengertian dari

toleransi itu sendiri, maka makna toleran yang dimaksud dalam penafsiran

Muhammad Quraish Shihab adalah pada kata kompromi yang muncul 6 kali

dalam tafsir surah al-Kāfirūn di kitab Tafsir al-Mishbah. Ada 2 hal yang

ditemukan dalam diksi toleransi dalam kata kompromi beliau yakni:

1. Bahwa tidak ada kompromi (titik temu) dalam hal peribadatan. Jadi

dalam hubungannya pada wilayah ibadah (penyembahan), tidak ada dan tidak bisa

dikompromikan (tidak bisa dipertukarkan) atas dasar tema yang kedua yakni relasi

hubungan antar pemeluk agama.

Page 74: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

57

2. Menghormati keyakinan ketika seseorang sudah memeluk agama.

Berdakwah atau mengajak untuk memeluk maupun mengenali Islam

diperbolehkan, namun pada prinsipnya ketika respon orang tersebut tetap dalam

kondisi keyakinannya ia tidak berpindah dan kemudian ia pun tidak menerima

Islam, maka hal itu merupakan bukan tanggung jawab kita selaku pemeluk agama

Islam untuk menjadikan ia masuk menjadi pemeluk agama Islam juga. Sebagai

seorang muslim haruslah menghormati orang tersebut untuk tetap dalam

keyakinannya agamanya.

Quraish Shihab berpendapat bahwa tidak ada toleransi dalam hal ini tidak

ada kompromi dalam wilayah ibadah (penyembahan), karena jika hal yang

demikian terjadi maka terdapat kerancuan dalam beragama. Masing-masing

agama memiiiki perbedaan secara ajaran pokok yang memiliki aturan rinci

masing-masing yang dijalani oleh pemeluk agama. Jadi tidak mungkin ada

kompromi dalam hal ibadah, dikarenakan pada konteks surah ini usul kaum kafir

Quraisy tidak dapat dibenarkan, keyakinan mereka terhadap pemahaman Tuhan

beserta tatacara penyembahannya berbeda dengan ajaran Islam.

Dalam penelitian skripsi ini penulis mengemukakan beberapa tema di surah

al-Kāfirūn. Tema yang pertama mengenai negasi berkompromi dalam ibadah dan

tema penghormatan atas keyakinan beragama.

Muhammad Quraish Shihab memberikan pandangannya bahwa umat Islam

memang memiliki perbedaaan dengan umat beragama lain dalam hal akidah dan

bentuk ibadah lainnya, tetapi bukan berarti perbedaan itu menjadikan kita selaku

umat Islam tidak bisa bekerjasama dalam hal diluar itu. Quraish Shihab

mengaitkan dalam tafisrannya dalam surah ini bahwa dalam beragama itu tidak

ada unsur paksaan dalam beragama yang berdasarkan QS. al-Baqarah (2): 256 dan

sikap tawadhu beliau terhadap menyikapi hubungan antarumat beragama ketika

ada sebuah perbedaan yakni pada QS. Saba´ (34): 25. Kemudian dalam

pelaksanaannya, demi menciptakan kerukunan umat beragama beliau menyikapi

dengan bentuk toleransinya juga mengaitkan dengan QS. al-An’ām (6): 108.

Nabi Muhammad s.a.w mengajarkan kita untuk bertoleransi dalam

kehidupan, selama tidak melanggar prinsip-prinsip keagamaan. Lakum dīnukum

Page 75: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

58

waliyadīn, bagiku dan seluruh balasan terhadap apapun yang aku kerjakan adalah

tanggung jawab untuk ku, dan bagimu adalah agamamu, begitupun sebaliknya

bahwa segala tindak tanduk apappun yang umat lain lakukan akan mendapat

ganjarannya masing-masing, sesuai dengan ajaran maupun keyakinan yang

dianutnya.

B. Impilkasi

Hasil penelitian ini menjadikan gambaran kepada masyarakat bahwa

toleransi terhadap pemeluk agama lain itu sangat mungkin terwujud, yang

terpenting adalah pemahaman masyarakat kepada batasan toleransi, yakni tidak

boleh atas dalih demi toleransi namun mengabaikan prinsip agama. Hubungan

yang baik akan terus tercipta ketika batasan-batasan dalam toleransi dalam surah

al-Kāfirūn ini diketahui dan diamalkan.

Muhammad Quraish Shihab adalah mufassir yang dalam setiap karyanya

memuat gagasan toleransi. Sehingga dari beliau kita mempunyai pandangan dan

pemahaman yang dapat kita amalkan tentang bagaimana menyikapi hidup setelah

kita mengetahui toleransi dalam surah al-Kāfirūn ini. Pengamalan toleransi

beragama bukan hanya dalam hati dan benak saja, namun dari segi

pelaksanaannya toleransi dapat diterapkan dalam kehidupan beragama yang damai

dan harmonis.

C. Saran

Dalam penyusunan penelitian skripsi ini penulis menyadari bahwa tidak ada

yang sempurna kecuali Allah s.w.t. Maka dari itu penulis menerima/ membuka

lebar kritik dan saran yang membangun dikemudian hari agar dapat menjadikan

pembelajaran bagi diri pribadi dan peneliti selanjutnya.

Page 76: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

59

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Masykuri. Pluralisme Agama dan Kerukunan dalam Keragaman.

Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2001.

Abdurrahman, Muhammad. Akhlak: Menjadi Seorang Muslim Berakhlak Mulia.

Jakarta: Rajawali Pers. 2016.

Amin, Mansyur. Dakwah Islam dan Pesan Moral. Yogyakarta: al-Amin Press.

Cet. Ke-1. 1999.

Amirudin, “Pengaruh Pemikiran H. M Quraish Shihab Bagi Perkembangan

Intelektual dan Kehidupan Umat Islam Indonesia”, Jurnal Fakultas Agama

Islam Uniska Karawang. Sigma-Mu Vol. 9. No. 1. 2017.

Chaery, Shodiq Shalahuddin. Kamus Istilah Agama. Jakarta: CV Sientarama, Cet.

I. 1983.

Dyayadi, M.T. Kamus Lengkap Islamologi. Yogyakarta: Qiyas, 2009.

Enjang Muhaemin dan Irfan Sanusi. “Intoleransi Keagamaan dalam Framing

Surat Kabar Kompas”, Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi. UIN Sunan

Gunung Djati Bandung Vol. 3. Nomor 1. 2019.

Federspiel, Haward M. Kajian al-Qur’ān di Indonesia: Dari Mahmud Yunus

hingga Quraish Shihab. Mizan: Bandung. Cet. I, 1996.

Fikri, Muhalli. “Konsep Toleransi Beragama Dalam al-Qur’ān Surat al-Kafirun

(Studi Komparatif Tafsīr al-Azhar dan Tafsīr al-Miṣbāḥ),” Mataram: UIN

Mataram. 2019

Garaudy, R. Islam Fundamentalis dan Fundamentalis lainnya, Bandung:

Pustaka, 1993.

Ghazali, Adeng Muchtar. “Toleransi Beragama dan Kerukunan dalam Perspektif

Islam”. Religious: Jurnal Agama dan Lintas Budaya. Vol. 1 No. 1, 2016.

Al-Ghazali, Muhammad. Berdialog dengan al-Qur’ān. Bandung: Mizan. Cet. 4,

1999.

Hamka. Tafsīr al-Azhar. Jakarta: Gema Insani. Jilid 7, Cet.1, 2015.

Page 77: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

60

Harun, Salman. Secangkir Tafsir Juz Terakhir (Mengerti Jalan-jalan yang

Membahagiakan di Dunia dan Akhirat). Tangerang: PT. Lentera Hati. Cet.

I, 2018.

Hick, John. A Christian Theology of Religions: The Rainbow of Faiths (America:

SCM.1995.

Hielmy, Irfan. Dakwah Bil Hikmah. Yogjakarta: Mitra Pustaka. 2002.

Ilyas, Yunahar. Kuliah Aqidah Islam. Yogyakarta: LPPI, 2013.

J. Drost, Mgr. J. Sunarka, J. Riberu, Dkk. Toleransi dalam Kehidupan Keluarga

dan Masyarakat. Jakarta: Sekretariat Komisi SPE/APP Bekerjasama dengan

LDD- KAJ, Komisi PSE-KWI, 2003.

Kandu, Amirullah. Ensiklopedia Dunia Islam. Bandung: CV Pustaka Setia. 2010.

Membentak, Menuduh Kafir= Dakwah Melampaui Batas - Prof. Quraish Shihab

diakses pada 8 Juli 2020

https://www.youtube.com/watch?v=eqgtyh6Pufs&t=82s

Misrawi, Zuhairi. Al-Qur’ān Kitab Toleransi. Jakarta: Pustaka Oasis. 2007.

Al-Maidani, Abdurrahman Hasan Habanakah. al-Aqidah al-Islamiyah wa

Ususuha, terj. Pokok-pokok Akidah Islam. Jakarta: Gema Insani Press. Cet.

I. 1998.

Al-Munawar. Said Agil Husin. Fikih Hubungan Antar Agama. Jakarta: PT.

Ciputat Press. 2005.

. Fikih Hubungan Antar Agama. Jakarta: PT.

Ciputat Press.2003

Nata, Abuddin. Tokoh Pembaharuan Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada. 2005.

Nata Abuddin. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada. 2005.

Nailufar, Nibras Nada. “PBNU Merujuk ke Fatwa 1999 tentang Pemimpin Non-

Muslim”. www.kompas.com, 10 Juni 2020

Nashih Nashrullah dan Chairul Akhmad, “Hukum Merusak Tempat Ibadah (3-

habis)”. www.republika.co.id, 12 Mei 2020.

Page 78: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

61

Nugraha, Eva. Komodifikasi dan preservasi Kitab Suci; Dalan Usaha Penerbitan

Mushaf al-Qur’ān di Indonesia. Ciputat: Himpunan Peminat Ilmu-ilmu

Ushuluddin (hipius). 2019.

Nur, Afrizal. “M. Quraish Shihab dan Rasionalisasi Tafsir”, (Jurnal Ushuluddin,

Vol. XVIII No. 1. Januari 2012.

Perdana, Jaka. “Pemikiran Pendidikan Quraish Shihab dalam buku Membumikan

al-Qur’ān,” Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2015.

Qamaruddin Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul latar belakang historis turunnya ayat-

ayat al-Qur’ān. Bandung: CV. Diponegoro, Cetakan XVII, 1995.

Shihab, M. Quraish. Islam yang Saya Anut: Dasar-dasar Ajaran Islam. Ciputat:

PT. Lentera Hati. Cet. IV, 2019.

Shihab, M. Quraish. Yang Hilang dari Kita: Akhlak. Tangerang: PT. Lentera Hati.

Cet III, 2019.

Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’ān, Fungsi dan Peran Wahyu dalam

Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan. 1997.

Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’ān: Memfungsikan Wahyu dalam

Kehidupan. Jakarta: Lentera Hati. Jilid 2, 2011.

Shihab, M. Quraish. Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān.

Jakarta: Lentera Hati. Vol II, Cet. I. 2000.

Shihab, M. Quraish, Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān.

Jakarta: Lentera Hati. Vol. I, Cet. 1. 2002.

Shihab, M. Quraish. Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān.

Jakarta: Lentera Hati.Vol. III, Cet. 1. 2002.

Shihab, M. Quraish. Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān.

Jakarta: Lentera Hati.Vol. V, Cet. 1. 2002.

Shihab, M. Quraish. Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān.

Jakarta: Lentera Hati.Vol. VII, Cet. 1. 2002.

Shihab, M. Quraish. Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān.

Jakarta: Lentera Hati.Vol. IX, Cet. 1. 2002.

Shihab, M. Quraish. Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān.

Jakarta: Lentera Hati.Vol. XV, Cet. 1. 2002.

Page 79: Toleransi dalam QS. al-Kafirun ayat 1-6 dalam Perspektif

62

Shihab, M. Quraish. Tafsīr al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān.

Jakarta: Lentera Hati. Vol X, Cet. 3. 2010.

Siregar, Abdurrahman. “Meneladani Sikap Toleransi Rasulullah SAW”.

www.kompasiana.com, 9 Juni 2020.

Suhendi, H. Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002.

Tim Penyusun. Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen

Pendidikan Nasional, 2008.

Ucu, Karta Raharja. “Puluhan Ribu Massa Dukung Pemimpin Muslim”.

www.republika.co.id, 12 Juni 2020.

Wahyuni, Tri. “FPI DKI Imbau Umat Islam tak turun ke jalan saat tahun baru”.

www.cnnindonesia.com, 11 Juni 2020.