9
ANESTESI DAN KRANIOTOMI UNTUK PASIEN DENGAN LESI MASSA Massa intrakranial dapat berupa lesi kongenital, neoplastik (benigna atau maligna), infeksi (abses atau kista), atau vaskuler (hematoma atau malformasi arteriovenosa). Kraniotomi umumnya dilakukan karena adanya neoplasma otak primer atau metastasis. Tumor primer biasanya berasal dari sel glia (astrositoma, oligodendroglioma, atau glioblastoma), sel ependim (ependimoma), atau jaringan penyokong (meningioma, schwannoma, atau papiloma khoroidal). Tumor pada masa kanak termasuk medulloblastoma, neuroblastoma, dan khordoma. Tanpa memperhatikan penyebabnya, massa intrakranial dinilai berdasarkan laju pertumbuhan, lokasi, dan tekanan intrakranial (TIK). Massa yang tumbuh lambat umumnya asimtomatik dalam waktu yang lama, sedangkan massa yang tumbuh cepat biasanya bersifat akut. Manifestasi klinis berupa nyeri kepala, kejang, penurunan fungsi kognitif secara umum, atau penurunan fungsi neurologis spesifik, dan defisit neurologis fokal. Massa supratentorial secara tipikal menyebabkan gejala seperti kejang, hemiplegia, atau afasia, sedangkan massa infratentorial umumnya menyebabkan gejala disfungsi serebelar (ataksia, nistagmus, dan disarthria) atau kompresi batang otak (palsi nervus kranial, perubahan kesadaran, atau respirasi abnormal). Sebagai akibat peningkatan TIK, tanda hipertensi intrakranial juga muncul. MANAJEMEN PREOPERATIF

Translate Hal.1 5

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Miller anestesi terjemahan hal. 1-5

Citation preview

Page 1: Translate Hal.1 5

ANESTESI DAN KRANIOTOMI UNTUK PASIEN DENGAN LESI MASSA

Massa intrakranial dapat berupa lesi kongenital, neoplastik (benigna atau maligna),

infeksi (abses atau kista), atau vaskuler (hematoma atau malformasi arteriovenosa).

Kraniotomi umumnya dilakukan karena adanya neoplasma otak primer atau metastasis.

Tumor primer biasanya berasal dari sel glia (astrositoma, oligodendroglioma, atau

glioblastoma), sel ependim (ependimoma), atau jaringan penyokong (meningioma,

schwannoma, atau papiloma khoroidal). Tumor pada masa kanak termasuk medulloblastoma,

neuroblastoma, dan khordoma.

Tanpa memperhatikan penyebabnya, massa intrakranial dinilai berdasarkan laju

pertumbuhan, lokasi, dan tekanan intrakranial (TIK). Massa yang tumbuh lambat umumnya

asimtomatik dalam waktu yang lama, sedangkan massa yang tumbuh cepat biasanya bersifat

akut. Manifestasi klinis berupa nyeri kepala, kejang, penurunan fungsi kognitif secara umum,

atau penurunan fungsi neurologis spesifik, dan defisit neurologis fokal. Massa supratentorial

secara tipikal menyebabkan gejala seperti kejang, hemiplegia, atau afasia, sedangkan massa

infratentorial umumnya menyebabkan gejala disfungsi serebelar (ataksia, nistagmus, dan

disarthria) atau kompresi batang otak (palsi nervus kranial, perubahan kesadaran, atau

respirasi abnormal). Sebagai akibat peningkatan TIK, tanda hipertensi intrakranial juga

muncul.

MANAJEMEN PREOPERATIF

Evaluasi pre-anestesi harus dilakukan untuk mengetahui ada atau tidak adanya

hipertensi intrakranial. Pencitraan dengan Computed Tomographic (CT) dan Magnetic

Resonance Imaging (MRI) sebaiknya dinilai untuk mendapatkan bukti oedema otak,

pergeseran garis tengah lebih dari 0,5 cm, dan ukuran ventrikel. Pemeriksaan juga sebaiknya

meliputi pemeriksaan neurologis untuk menilai status mental dan adanya defisit sensorik atau

motorik. Medikasi sebaiknya direview dengan referensi khusus terkait terapi kortikosteroid,

diuretik, dan antikonvulsan. Pemeriksaan laboratorium harus menyingkirkan hiperglikemia

yang diinduksi oleh kortikosteroid dan gangguan elektrolit terkait diuretik atau abnormalitas

sekresi hormon antidiuretik (lihat Chapter 28). Kadar antikonvulsan harus dinilai, terutama

ketika kejang tidak dapat dikontrol dengan baik.

Page 2: Translate Hal.1 5

Premedikasi

Premedikasi harus dihindari ketika dicurigai adanya hipertensi intrakranial.

Hiperkapnia sekunder hingga depresi repirasi dapat meningkatkan TIK dan dapat bersifat

lethal. Pasien dengan TIK normal biasanya diberikan benzodiazepine (diazepam oral atau

midazolam intravena atau intramuskuler). Terapi kortikosteroid dan antikonvulsan sebaiknya

dilanjutkan hingga waktu pembedahan.

MANAJEMEN INTRAOPERATIF

Monitoring

Sebagai tambahan terhadap monitor standar, monitoring tekanan intraarterial secara

langsung dan kateterisasi kandung kemih wajib dilakukan pada kebanyakan pasien yang akan

menjalani kraniotomi. Perubahan cepat pada tekanan darah selama induksi, hiperventilasi,

intubasi, pengaturan posisi, manipulasi pembedahan, dan kondisi emergence menyebabkan

keharusan untuk monitoring tekanan darah secara berkelanjutan untuk menjamin perfusi

serebral optimal. Lebih jauh lagi, pengukuran gas darah arterial dibutuhkan untuk regulasi

PaCO2 secara hati-hati. Banyak neuroanestesiologis mengatur titik nol transduser tekanan

arterial setinggi kepala (meatus auditorius eksternus) – daripada atrium kanan – untuk

memfasilitasi kalkulasi tekanan perfusi serebral (Cerebral Perfusion Pressure/ CPP).

Pengukuran end-tidal CO2 saja tidak cukup untuk mengetahui regulasi ventilasi secara tepat;

gradien arterial dan end-tidal CO2 harus dinilai. Akses vena sentral dan monitoring tekanan

sebaiknya dipertimbangkan untuk pasien yang membutuhkan obat-obatan vasoaktif.

Penggunaan vena jugularis interna untuk akses sedikit kontroversial karena risiko tertusuknya

karotis dan kemungkinan kateter dapat mengganggu drainase vena dari otak. Banyak klinisi

menghindari isu ini dengan memasang kateter sentral panjang melalui vena basilika mediana.

Vena jugularis eksterna dan vena subklavia juga dapat menjadi alternatif. Kateter urin

dibutuhkan karena seringnya penggunaan diuretik, lamanya durasi prosedur bedah saraf, dan

kegunaannya sebagai penunjuk terapi cairan. Fungsi neuromuskuler sebaiknya dimonitor

pada sisi sehat pada pasien dengan hemiparesis karena respon sentakan sering bersifat

abnormal pada sisi lesi. Monitoring gangguan postensial pada visual dapat bermanfaat untuk

mencegah kerusakan saraf optik selama reseksi tumor pituitari besar. Monitor tambahan

untuk pembedahan fossa posterior akan dijelaskan nanti.

Manajemen pasien dengan hipertensi intrakranial terutama difasilitasi oleh monitoring

TIK perioperatif. Ventrikulektomi atau pemasangan bolt subdural adalah monitoring yang

paling sering digunakan dan biasanya dipasang oleh ahli bedah saraf sebelum pembedahan

Page 3: Translate Hal.1 5

dengan anestesi lokal. Monitoring TIK elektronik menggunakan tabung berisi saline dengan

transduser tekanan. Titik nol transduser diposisikan pada level referensi yang sama dengan

transduser tekanan arterial (biasanya sejajar dengan meatus akustikus eksternus; lihat

penjelasan di atas). Ventrikulostomi memiliki manfaat tambahan berupa mengalirkan LCS

keluar untuk menurunkan TIK.

Induksi

Induksi anestesi dan intubasi trakhea merupakan periode kritis untuk pasien dengan

elastansi intrakranial yang terkompromais atau sudah memiliki TIK yang meningkat.

Elastansi intrakranial dapat ditingkatkan dengan diuresis osmotik, steroid, atau mengalirkan

LCS keluar melalui drain ventrikulostomi segera sebelum induksi. Tujuan dari teknik-teknik

tersebut adalah untuk memperhalus induksi dan intubasi trakhea, terkontrol tanpa

meningkatkan TIK atau mengkompromais aliran darah serebral (Cerebral Blood Flow; CBF).

Hipertensi arterial selama induksi meningkatkan CBF dan memicu oedema serebral.

Hipertensi yang nyata atau terus menerus dapat mengarah pada peningkatan TIK yang dapat

menurunkan CPP dan risiko terjadinya herdiasi (lihat Chapter 25). Penurunan berlebihan dari

tekanan darah arterial dapat mengganggu sama halnya dengan CPP yang terkompromais.

Teknik induksi yang paling umum adalah menggunakan thiopental atau propofol

bersama dengan hiperventilasi untuk menurunkan TIK dan meringankan efek tidak

menyenangkan dari laringoskopi dan intubasi. Pasien yang kooperatif dapat diminta untuk

hiperventilasi selama pre-oksigenasi. Semua pasien dihiperventilasi dengan ventilasi

terkontrol ketika thiopental atau propofol diinjeksi. Agen penghambat neuromuskuler/

Neuromuscular Blocking Agent (NMBA) diberikan untuk memfasilitasi ventilasi dan

mencegah peregangan atau batuk, yang keduanya dapat meningkatkan TIK. Opioid intravena

– seperti fentanyl 5-10 mg/kg – tepat sebelum thiopental membaurkan respons simpatik, pada

umumnya digunakan pada pasien usia muda. Esmolol 0,5-1,0 ug/kg efektif untuk mencegah

takikardi pada pasien hipertensi.

Teknik induksi aktual dapat bervariasi menurut respons pasien dan penyakit yang

menyertai. Penggunaan propofol memiliki manfaat tambahan berupa waktu pemulihan sangat

singkat, sedangkan pergantian etomidate untuk thiopental dapat memberikan proteksi yang

lebih baik terhadap depresi sirkulasi. Kombinasi fentanyl dosis kecil, 5 ug/kg dengan

etomidate 6-8 mg, juga berguna pada pasien yang tidak stabil. Sebaliknya, pada pasien

dengan saluran napas reaktif (penyakit bronkhospastik), kombinasi thiopental dengan

peningkatan dosis dan isofluran dosis rendah beserta hiperventilasi lebih disukai.

Page 4: Translate Hal.1 5

NMBA nondepolarisasi umumnya diberikan saat induksi untuk memfasilitasi ventilasi

terkontrol dan intubasi trakhea. Rocuronium, vecuronium, pipecuronium, dan doxacurium

memberikan stabilitas hemodinamik yang terbaik (lihat Chapter 9). Suksinilkolin dapat

meningkatkan TIK, umumnya jika intubasi dilakukan sebelum anestesi dalam thiopental dan

hiperventilasi (lihat Chapter 25). Namun, suksinilkolin dapat menjadi agen pilihan pada

pasien yang memiliki risiko tinggi aspirasi atau dengan potensi kesulitan jalan napas karena

hipoksemia dan hiperkarbia. Penurunan massa otot rangka (muscle wasting) yang signifikan

merupakan kontraindikasi relatif penggunaan suksinilkolin karena risiko hiperkalemia.

Hipertensi selama induksi sebaiknya diatasi dengan esmolol atau anestesi dalam dengan

tambahan thiopental atau propofol, atau dengan hiperventilasi dan isofluran dosis rendah (<1

konsentrasi alveolar minimal/ minimal alveolar concentration; MAC). Oleh karena efek

potensial penghilangan CBF dan TIK (lihat Chapter 25), penggunaan vasodilator seperti

nitroprusside, nitrogliserin, penghambat kanal kalsium, dan hidrazalin sebaiknya dihindari

hingga dura terbuka. Hipotensi transien sebaiknya diatasi dengan peningkatan dosis

vasopresor (efedrin atau fenilefrin) daripada cairan intravena.

Pengaturan Posisi

Kraniotomi frontal, temporal, dan parieto-oksipital dilakukan pada posisi supine.

Kepala dielevasi 150-300 untuk memfasilitasi drainase vena dan LCS. Kepala juga dapat

diatur ke sisi yang memfasilitasi paparan. Fleksi berlebihan atau rotasi leher dapat

menghambat drainase vena jugularis dan dapat meningkatkan TIK. Selama pengaturan posisi,

tabung trakhea sebaiknya diamankan dengan baik dan semua koneksi sirkuit pernapasan

dievaluasi. Risiko diskoneksi yang tak diketahui meningkat karena jalan napas pasien tidak

mudah untuk dinilai; meja operasi biasanya diposisikan 900 atau 1800 dari anestesiologis, dan

baik pasien maupun sirkuit pernapasan keseluruhannya hampir tertutup oleh kain operasi.

Pemeliharaan Anestesi

Anestesi umumnya dipelihara dengan teknik nitrous oxide-opioid-NMBA. Beberapa

opioid dapat digunakan (lihat Chapter 25). Hipertensi persisten membutuhkan penggunaan

dosis rendah (<1 MAC) dari isofluran, sevofluran, atau desfluran. Alternatifnya, kombinasi

dari opioid dan dosis rendah dari agen inhalasi atau teknik intravena total dapat digunakan.

Meskipun periode stimulasi terbatas, penggunaan penghambat neuromuskuler tetap

disarankan - walaupun digunakan elektromyografi - untuk mencegah peregangan, resistensi

pasien terhadap tabung endotrakhea (bucking), atau pergerakan. Peningkatan kebutuhan

anestesi dapat diramalkan selama perode stimulasi: laringoskopi-intubasi, insisi kulit,

pembukaan dural, manipulasi periosteal, atau penutupan.

Page 5: Translate Hal.1 5

Hiperventilasi sebaiknya dilanjutkan intraoperatif untuk memelihara PaCO2 antara 30

mmHg dan 35 mmHg. PaCO2 yang rendah hanya memberikan sedikit manfaat tambahan dan

dapat dikaitkan dengan iskemi serebral dan terganggunya disosiasi oksigen dari hemoglobin.

Positive end-expiratory pressure (PEEP) dan pola ventilasi yang menghasilkan tekanan

saluran napas rerata yang tinggi (laju rendah dengan volume tidal besar) sebaiknya dihindari

karena berpotensi menghasilkan efek yang tidak diinginkan pada TIK dengan meningkatkan

tekanan vena sentral. Pasien hipoksia dapat membutuhkan PEEP dan tekanan saluran napas

rerata lebih tinggi; pada pasien tersebut, efek dari PEEP pada TIK bervariasi.

Pergantian cairan intravena sebaiknya dibatasi terhadap kristaloid isotonik bebas

glukosa (saline normal) atau larutan koloid. Hiperglikemia umum terjadi pada pasien bedah

saraf (efek kortikosteroid) dan telah berimplikasi pada peningkatan trauma iskemik pada otak

(lihat Chapter 25). Meskipun masih terdapat kontroversi terkait pilihan antara kristaloid dan

koloid, jumlah besar dari kristaloid hipotonik jelas dapat memperburuk oedema otak. Koloid

dapat digunakan untuk mengembalikan defisit volume intravaskuler, sedangkan kristaloid

isotonik digunakan sebagai cairan pemeilharaan. Pergantian cairan intraoperatif sebaiknya

berdasarkan kalkulasi kebutuhan pemeliharaan (lihat Chapter 29) untuk pasien dengan odema

otak parah atau peningkatan TIK. Prosedur bedah saraf menghasilkan kehilangan cairan

redistributif minimal tetapi sering dikaitkan dengan kehilangan darah tersembunyi (di bawah

kain operasi atau di lantai). Penilaian medis sebaiknya digunakan dalam pengambilan

keputusan untuk transfusi darah (lihat Chapter 29).

Emergence

Kebanyakan pasien yang menjalani kraniotomi dapat diekstubasi di akhir prosedur

selama fungsi neurologis masih intak. Pasien yang tetap diintubasi sebaiknya disedasi jika

agitasi merupakan masalah. Ekstubasi dalam ruang operasi membutuhkan penanganan khusus

saat fase emergence anestesi. Peregangan atau bucking pada tabung trakhea dapat memicu

perdarahan intrakranial atau memperburuk oedema serebral. Seperti induksi, penanganan fase

emergence harus halus dan terkontrol. Ketika kulit ditutup, upaya harus dilakukan untuk

mendapatkan pernapasan spontan pasien. Setelah kain kepala terpakai dan akses total pada

pasien telah dikembalikan (meja operasi diposisikan pada posisi asli saat induksi), maka gas

anestesi dihentikan secara komplit, dan NMBA dihentikan.

Banyak anestesiologis memberikan lidokain intravena 1,5 mg/kg atau dosis kecil

propofol (20-30 mg), tepat sebelum penghisapan (suctioning) untuk mensupresi batuk

sebelum ekstubasi. Kesadaran/ bangunnya pasien dengan cepat memfasilitasi penilaian

neurologis sesegera mungkin dan dapat diharapkan dengan anestesi yang hati-hati. Kesadaran

Page 6: Translate Hal.1 5

yang terlambat dapat disebabkan oleh overdosis opioid atau pemberian agen volatil yang

berkepanjangan. Manifestasi klinis overdosis opioid berupa pupil kecil dan respirasi

melambat (<12 kali/ menit). Dalam kondisi tersebut, nalokson dapat diberikan dengan

peningkatan 0,04 mg, tetapi harus dititrasi dengan hati-hati karena jika berlebihan hasilnya

dapat berbahaya. Kebanyakan pasien setelah operasi dibawa ke unit perawatan intensif (ICU)

untuk monitoring ketat terkait fungsi neurologis. Pasien umumnya mengalami nyeri minimal.