Upload
adhella-menur-naysilla
View
224
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Miller anestesi terjemahan hal. 1-5
Citation preview
ANESTESI DAN KRANIOTOMI UNTUK PASIEN DENGAN LESI MASSA
Massa intrakranial dapat berupa lesi kongenital, neoplastik (benigna atau maligna),
infeksi (abses atau kista), atau vaskuler (hematoma atau malformasi arteriovenosa).
Kraniotomi umumnya dilakukan karena adanya neoplasma otak primer atau metastasis.
Tumor primer biasanya berasal dari sel glia (astrositoma, oligodendroglioma, atau
glioblastoma), sel ependim (ependimoma), atau jaringan penyokong (meningioma,
schwannoma, atau papiloma khoroidal). Tumor pada masa kanak termasuk medulloblastoma,
neuroblastoma, dan khordoma.
Tanpa memperhatikan penyebabnya, massa intrakranial dinilai berdasarkan laju
pertumbuhan, lokasi, dan tekanan intrakranial (TIK). Massa yang tumbuh lambat umumnya
asimtomatik dalam waktu yang lama, sedangkan massa yang tumbuh cepat biasanya bersifat
akut. Manifestasi klinis berupa nyeri kepala, kejang, penurunan fungsi kognitif secara umum,
atau penurunan fungsi neurologis spesifik, dan defisit neurologis fokal. Massa supratentorial
secara tipikal menyebabkan gejala seperti kejang, hemiplegia, atau afasia, sedangkan massa
infratentorial umumnya menyebabkan gejala disfungsi serebelar (ataksia, nistagmus, dan
disarthria) atau kompresi batang otak (palsi nervus kranial, perubahan kesadaran, atau
respirasi abnormal). Sebagai akibat peningkatan TIK, tanda hipertensi intrakranial juga
muncul.
MANAJEMEN PREOPERATIF
Evaluasi pre-anestesi harus dilakukan untuk mengetahui ada atau tidak adanya
hipertensi intrakranial. Pencitraan dengan Computed Tomographic (CT) dan Magnetic
Resonance Imaging (MRI) sebaiknya dinilai untuk mendapatkan bukti oedema otak,
pergeseran garis tengah lebih dari 0,5 cm, dan ukuran ventrikel. Pemeriksaan juga sebaiknya
meliputi pemeriksaan neurologis untuk menilai status mental dan adanya defisit sensorik atau
motorik. Medikasi sebaiknya direview dengan referensi khusus terkait terapi kortikosteroid,
diuretik, dan antikonvulsan. Pemeriksaan laboratorium harus menyingkirkan hiperglikemia
yang diinduksi oleh kortikosteroid dan gangguan elektrolit terkait diuretik atau abnormalitas
sekresi hormon antidiuretik (lihat Chapter 28). Kadar antikonvulsan harus dinilai, terutama
ketika kejang tidak dapat dikontrol dengan baik.
Premedikasi
Premedikasi harus dihindari ketika dicurigai adanya hipertensi intrakranial.
Hiperkapnia sekunder hingga depresi repirasi dapat meningkatkan TIK dan dapat bersifat
lethal. Pasien dengan TIK normal biasanya diberikan benzodiazepine (diazepam oral atau
midazolam intravena atau intramuskuler). Terapi kortikosteroid dan antikonvulsan sebaiknya
dilanjutkan hingga waktu pembedahan.
MANAJEMEN INTRAOPERATIF
Monitoring
Sebagai tambahan terhadap monitor standar, monitoring tekanan intraarterial secara
langsung dan kateterisasi kandung kemih wajib dilakukan pada kebanyakan pasien yang akan
menjalani kraniotomi. Perubahan cepat pada tekanan darah selama induksi, hiperventilasi,
intubasi, pengaturan posisi, manipulasi pembedahan, dan kondisi emergence menyebabkan
keharusan untuk monitoring tekanan darah secara berkelanjutan untuk menjamin perfusi
serebral optimal. Lebih jauh lagi, pengukuran gas darah arterial dibutuhkan untuk regulasi
PaCO2 secara hati-hati. Banyak neuroanestesiologis mengatur titik nol transduser tekanan
arterial setinggi kepala (meatus auditorius eksternus) – daripada atrium kanan – untuk
memfasilitasi kalkulasi tekanan perfusi serebral (Cerebral Perfusion Pressure/ CPP).
Pengukuran end-tidal CO2 saja tidak cukup untuk mengetahui regulasi ventilasi secara tepat;
gradien arterial dan end-tidal CO2 harus dinilai. Akses vena sentral dan monitoring tekanan
sebaiknya dipertimbangkan untuk pasien yang membutuhkan obat-obatan vasoaktif.
Penggunaan vena jugularis interna untuk akses sedikit kontroversial karena risiko tertusuknya
karotis dan kemungkinan kateter dapat mengganggu drainase vena dari otak. Banyak klinisi
menghindari isu ini dengan memasang kateter sentral panjang melalui vena basilika mediana.
Vena jugularis eksterna dan vena subklavia juga dapat menjadi alternatif. Kateter urin
dibutuhkan karena seringnya penggunaan diuretik, lamanya durasi prosedur bedah saraf, dan
kegunaannya sebagai penunjuk terapi cairan. Fungsi neuromuskuler sebaiknya dimonitor
pada sisi sehat pada pasien dengan hemiparesis karena respon sentakan sering bersifat
abnormal pada sisi lesi. Monitoring gangguan postensial pada visual dapat bermanfaat untuk
mencegah kerusakan saraf optik selama reseksi tumor pituitari besar. Monitor tambahan
untuk pembedahan fossa posterior akan dijelaskan nanti.
Manajemen pasien dengan hipertensi intrakranial terutama difasilitasi oleh monitoring
TIK perioperatif. Ventrikulektomi atau pemasangan bolt subdural adalah monitoring yang
paling sering digunakan dan biasanya dipasang oleh ahli bedah saraf sebelum pembedahan
dengan anestesi lokal. Monitoring TIK elektronik menggunakan tabung berisi saline dengan
transduser tekanan. Titik nol transduser diposisikan pada level referensi yang sama dengan
transduser tekanan arterial (biasanya sejajar dengan meatus akustikus eksternus; lihat
penjelasan di atas). Ventrikulostomi memiliki manfaat tambahan berupa mengalirkan LCS
keluar untuk menurunkan TIK.
Induksi
Induksi anestesi dan intubasi trakhea merupakan periode kritis untuk pasien dengan
elastansi intrakranial yang terkompromais atau sudah memiliki TIK yang meningkat.
Elastansi intrakranial dapat ditingkatkan dengan diuresis osmotik, steroid, atau mengalirkan
LCS keluar melalui drain ventrikulostomi segera sebelum induksi. Tujuan dari teknik-teknik
tersebut adalah untuk memperhalus induksi dan intubasi trakhea, terkontrol tanpa
meningkatkan TIK atau mengkompromais aliran darah serebral (Cerebral Blood Flow; CBF).
Hipertensi arterial selama induksi meningkatkan CBF dan memicu oedema serebral.
Hipertensi yang nyata atau terus menerus dapat mengarah pada peningkatan TIK yang dapat
menurunkan CPP dan risiko terjadinya herdiasi (lihat Chapter 25). Penurunan berlebihan dari
tekanan darah arterial dapat mengganggu sama halnya dengan CPP yang terkompromais.
Teknik induksi yang paling umum adalah menggunakan thiopental atau propofol
bersama dengan hiperventilasi untuk menurunkan TIK dan meringankan efek tidak
menyenangkan dari laringoskopi dan intubasi. Pasien yang kooperatif dapat diminta untuk
hiperventilasi selama pre-oksigenasi. Semua pasien dihiperventilasi dengan ventilasi
terkontrol ketika thiopental atau propofol diinjeksi. Agen penghambat neuromuskuler/
Neuromuscular Blocking Agent (NMBA) diberikan untuk memfasilitasi ventilasi dan
mencegah peregangan atau batuk, yang keduanya dapat meningkatkan TIK. Opioid intravena
– seperti fentanyl 5-10 mg/kg – tepat sebelum thiopental membaurkan respons simpatik, pada
umumnya digunakan pada pasien usia muda. Esmolol 0,5-1,0 ug/kg efektif untuk mencegah
takikardi pada pasien hipertensi.
Teknik induksi aktual dapat bervariasi menurut respons pasien dan penyakit yang
menyertai. Penggunaan propofol memiliki manfaat tambahan berupa waktu pemulihan sangat
singkat, sedangkan pergantian etomidate untuk thiopental dapat memberikan proteksi yang
lebih baik terhadap depresi sirkulasi. Kombinasi fentanyl dosis kecil, 5 ug/kg dengan
etomidate 6-8 mg, juga berguna pada pasien yang tidak stabil. Sebaliknya, pada pasien
dengan saluran napas reaktif (penyakit bronkhospastik), kombinasi thiopental dengan
peningkatan dosis dan isofluran dosis rendah beserta hiperventilasi lebih disukai.
NMBA nondepolarisasi umumnya diberikan saat induksi untuk memfasilitasi ventilasi
terkontrol dan intubasi trakhea. Rocuronium, vecuronium, pipecuronium, dan doxacurium
memberikan stabilitas hemodinamik yang terbaik (lihat Chapter 9). Suksinilkolin dapat
meningkatkan TIK, umumnya jika intubasi dilakukan sebelum anestesi dalam thiopental dan
hiperventilasi (lihat Chapter 25). Namun, suksinilkolin dapat menjadi agen pilihan pada
pasien yang memiliki risiko tinggi aspirasi atau dengan potensi kesulitan jalan napas karena
hipoksemia dan hiperkarbia. Penurunan massa otot rangka (muscle wasting) yang signifikan
merupakan kontraindikasi relatif penggunaan suksinilkolin karena risiko hiperkalemia.
Hipertensi selama induksi sebaiknya diatasi dengan esmolol atau anestesi dalam dengan
tambahan thiopental atau propofol, atau dengan hiperventilasi dan isofluran dosis rendah (<1
konsentrasi alveolar minimal/ minimal alveolar concentration; MAC). Oleh karena efek
potensial penghilangan CBF dan TIK (lihat Chapter 25), penggunaan vasodilator seperti
nitroprusside, nitrogliserin, penghambat kanal kalsium, dan hidrazalin sebaiknya dihindari
hingga dura terbuka. Hipotensi transien sebaiknya diatasi dengan peningkatan dosis
vasopresor (efedrin atau fenilefrin) daripada cairan intravena.
Pengaturan Posisi
Kraniotomi frontal, temporal, dan parieto-oksipital dilakukan pada posisi supine.
Kepala dielevasi 150-300 untuk memfasilitasi drainase vena dan LCS. Kepala juga dapat
diatur ke sisi yang memfasilitasi paparan. Fleksi berlebihan atau rotasi leher dapat
menghambat drainase vena jugularis dan dapat meningkatkan TIK. Selama pengaturan posisi,
tabung trakhea sebaiknya diamankan dengan baik dan semua koneksi sirkuit pernapasan
dievaluasi. Risiko diskoneksi yang tak diketahui meningkat karena jalan napas pasien tidak
mudah untuk dinilai; meja operasi biasanya diposisikan 900 atau 1800 dari anestesiologis, dan
baik pasien maupun sirkuit pernapasan keseluruhannya hampir tertutup oleh kain operasi.
Pemeliharaan Anestesi
Anestesi umumnya dipelihara dengan teknik nitrous oxide-opioid-NMBA. Beberapa
opioid dapat digunakan (lihat Chapter 25). Hipertensi persisten membutuhkan penggunaan
dosis rendah (<1 MAC) dari isofluran, sevofluran, atau desfluran. Alternatifnya, kombinasi
dari opioid dan dosis rendah dari agen inhalasi atau teknik intravena total dapat digunakan.
Meskipun periode stimulasi terbatas, penggunaan penghambat neuromuskuler tetap
disarankan - walaupun digunakan elektromyografi - untuk mencegah peregangan, resistensi
pasien terhadap tabung endotrakhea (bucking), atau pergerakan. Peningkatan kebutuhan
anestesi dapat diramalkan selama perode stimulasi: laringoskopi-intubasi, insisi kulit,
pembukaan dural, manipulasi periosteal, atau penutupan.
Hiperventilasi sebaiknya dilanjutkan intraoperatif untuk memelihara PaCO2 antara 30
mmHg dan 35 mmHg. PaCO2 yang rendah hanya memberikan sedikit manfaat tambahan dan
dapat dikaitkan dengan iskemi serebral dan terganggunya disosiasi oksigen dari hemoglobin.
Positive end-expiratory pressure (PEEP) dan pola ventilasi yang menghasilkan tekanan
saluran napas rerata yang tinggi (laju rendah dengan volume tidal besar) sebaiknya dihindari
karena berpotensi menghasilkan efek yang tidak diinginkan pada TIK dengan meningkatkan
tekanan vena sentral. Pasien hipoksia dapat membutuhkan PEEP dan tekanan saluran napas
rerata lebih tinggi; pada pasien tersebut, efek dari PEEP pada TIK bervariasi.
Pergantian cairan intravena sebaiknya dibatasi terhadap kristaloid isotonik bebas
glukosa (saline normal) atau larutan koloid. Hiperglikemia umum terjadi pada pasien bedah
saraf (efek kortikosteroid) dan telah berimplikasi pada peningkatan trauma iskemik pada otak
(lihat Chapter 25). Meskipun masih terdapat kontroversi terkait pilihan antara kristaloid dan
koloid, jumlah besar dari kristaloid hipotonik jelas dapat memperburuk oedema otak. Koloid
dapat digunakan untuk mengembalikan defisit volume intravaskuler, sedangkan kristaloid
isotonik digunakan sebagai cairan pemeilharaan. Pergantian cairan intraoperatif sebaiknya
berdasarkan kalkulasi kebutuhan pemeliharaan (lihat Chapter 29) untuk pasien dengan odema
otak parah atau peningkatan TIK. Prosedur bedah saraf menghasilkan kehilangan cairan
redistributif minimal tetapi sering dikaitkan dengan kehilangan darah tersembunyi (di bawah
kain operasi atau di lantai). Penilaian medis sebaiknya digunakan dalam pengambilan
keputusan untuk transfusi darah (lihat Chapter 29).
Emergence
Kebanyakan pasien yang menjalani kraniotomi dapat diekstubasi di akhir prosedur
selama fungsi neurologis masih intak. Pasien yang tetap diintubasi sebaiknya disedasi jika
agitasi merupakan masalah. Ekstubasi dalam ruang operasi membutuhkan penanganan khusus
saat fase emergence anestesi. Peregangan atau bucking pada tabung trakhea dapat memicu
perdarahan intrakranial atau memperburuk oedema serebral. Seperti induksi, penanganan fase
emergence harus halus dan terkontrol. Ketika kulit ditutup, upaya harus dilakukan untuk
mendapatkan pernapasan spontan pasien. Setelah kain kepala terpakai dan akses total pada
pasien telah dikembalikan (meja operasi diposisikan pada posisi asli saat induksi), maka gas
anestesi dihentikan secara komplit, dan NMBA dihentikan.
Banyak anestesiologis memberikan lidokain intravena 1,5 mg/kg atau dosis kecil
propofol (20-30 mg), tepat sebelum penghisapan (suctioning) untuk mensupresi batuk
sebelum ekstubasi. Kesadaran/ bangunnya pasien dengan cepat memfasilitasi penilaian
neurologis sesegera mungkin dan dapat diharapkan dengan anestesi yang hati-hati. Kesadaran
yang terlambat dapat disebabkan oleh overdosis opioid atau pemberian agen volatil yang
berkepanjangan. Manifestasi klinis overdosis opioid berupa pupil kecil dan respirasi
melambat (<12 kali/ menit). Dalam kondisi tersebut, nalokson dapat diberikan dengan
peningkatan 0,04 mg, tetapi harus dititrasi dengan hati-hati karena jika berlebihan hasilnya
dapat berbahaya. Kebanyakan pasien setelah operasi dibawa ke unit perawatan intensif (ICU)
untuk monitoring ketat terkait fungsi neurologis. Pasien umumnya mengalami nyeri minimal.