12
Faktor-faktor resiko untuk Kejang pada Stroke Iskemik yang Pertama berdasarkan Magnetic Resonance Imaging Latar belakang : kejang merupakan komplikasi stroke iskemik neurologi yang penting. Sangat perlu untuk memperjelas faktor faktor resiko kejang setelah stroke iskemik dan dapat memprediksi siapa yang mendapat pengobatan. Metode : 143 pasien stroke iskemik serangan pertama yang terdaftar pada studi retrospektif tahun 2002. Variabel prognosis dianalisis berdasarkan model cox's proportional hazard setelah periode mininum follow up selama 6 tahun. Hasil : kejang terjadi pada 13 pasien stroke iskemik serangan utama , mencakup kejang gejala akut ( 1,4 % ) , dan kejang yang timbul tiba tiba ( 7,7 ). Hanya satu orang yang berlanjut menjadi status epileptikus selama perswatan di rumah sakit. Setelah di pantau selama 6 tahun, skala median dari ( Glasgow Outcome Scale ) ada 3 (3,4) untuk pasien dengan kejang , dan 4 ( 3,4 ) untuk pasien tanpa kejang. Dari 13 kasus , setelah keluar dari Rumah sakit, 12 kasus bebas kejang dengan atau tanpa obat anti kejang, dan 1 kasus terjadi kejang ulangan 1 - 3 kali pertahun. Diskusi : kejadian kejang setelah stroke iskemik serangan pertama jarang terjadi dan mungkin menjadi manifestasi tertunda. Distribusi cortikal dari stroke infark merupakan faktor resiko untuk kejang. Kata kunci : stroke iskemik serangan pertama, faktor resiko, kejang. 1

Translate Jurnal

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Translate Jurnal

Faktor-faktor resiko untuk Kejang pada Stroke Iskemik yang Pertama berdasarkan Magnetic Resonance Imaging

Latar belakang : kejang merupakan komplikasi stroke iskemik neurologi yang penting. Sangat perlu untuk memperjelas faktor faktor resiko kejang setelah stroke iskemik dan dapat memprediksi siapa yang mendapat pengobatan.

Metode : 143 pasien stroke iskemik serangan pertama yang terdaftar pada studi retrospektif tahun 2002. Variabel prognosis dianalisis berdasarkan model cox's proportional hazard setelah periode mininum follow up selama 6 tahun.

Hasil : kejang terjadi pada 13 pasien stroke iskemik serangan utama , mencakup kejang gejala akut ( 1,4 % ) , dan kejang yang timbul tiba tiba ( 7,7 ). Hanya satu orang yang berlanjut menjadi status epileptikus selama perswatan di rumah sakit. Setelah di pantau selama 6 tahun, skala median dari ( Glasgow Outcome Scale ) ada 3 (3,4) untuk pasien dengan kejang , dan 4 ( 3,4 ) untuk pasien tanpa kejang. Dari 13 kasus , setelah keluar dari Rumah sakit, 12 kasus bebas kejang dengan atau tanpa obat anti kejang, dan 1 kasus terjadi kejang ulangan 1 - 3 kali pertahun.

Diskusi : kejadian kejang setelah stroke iskemik serangan pertama jarang terjadi dan mungkin menjadi manifestasi tertunda. Distribusi cortikal dari stroke infark merupakan faktor resiko untuk kejang.

Kata kunci : stroke iskemik serangan pertama, faktor resiko, kejang.

1

Page 2: Translate Jurnal

Komplikasi serebrovaskuler telah lama dikenal sebagai faktor resiko dari kejang dan epilepsi. Pada kejang setelah stroke, kebanyakan studi berfokus pada stroke iskemik dan stroke hemoragik , atau stroke hemoragik eksklusif.

Sebagian besar penelitian sebelumnya juga memiliki pasien yang relatif kecil, kejang yang terjadi hanya pada fase akut stroke iskemik, temuan tomografi (CT) scan dan atau magnetic resonance imaging (MRI), pemilihan pasien kurang ketat (termasuk kurang jelas diferensiasi antara stroke iskemik pertama dan berulang), atau periode pantauan yang pendek. Beberapa penelitian telah meneliti kejang setelah MRI berdasarkan stroke iskhemic serangan

Epilepsy dapat menjadi komplikasa awal atau lanjutan dari stroke iskemik, dan dapat memjadi manifestasi yang tertunda. Kebanyakan kejang terjadi pada 6 bulan sampai 2 tahun setelah stroke, dan dikaitkan dengan tingkat kekambuhan yang tinggi. Kejadian epilepsi yang terjadi setelah serebral infark dilaporkan frekuensinya 4 - 10 % sdari seri yang berbeda. Dan hanya beberapa pasien stroke yang terdapat lesi pada hemisfer serebral.

sebuah studi berbasis rumah sakit dapat memberikan informasi yang lebih akurat tentang frekuensi relatif dari subtipe kejang, efek kejang pada kematian dan neurologis dan hasil fungsional, dan hubungan antara kejang dan lesi patologis otak yang mendasarinya. tidak ada informasi yang tersedia mengenai outcome dari pasien kejang pada specifik grup dari pasien dengan periode pantauan yang lebih lama. Karena efek menguntungkan dari obat anti epilepsi dalam mengurangi tingkat morbiditas fungsional setelah kejang setelah stroke iskemik, dibutuhkan untuk menggambarkan factor prognostik potensial dan hasil secara lebih rinci, sehingga dapat ditentukan siapa yang harus menerima perawatan lebih awal.

Penelitian ini mencoba untuk menganalisis fitur klinis, temuan neuro imaging, skor klinis ilmiah dan pengukuran untuk menentukan faktor risiko potensial pada kejang setelah stroke iskemik supratentorial spontan. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengeksplorasi hasilnya setelah minimal enam tahun di tatalaksana dan di pantau.

Materials and methods

Dalam 1 tahun (2002), 222 pasien yang menderita infark serebral pertama kali dirawat di Department neurologi rumah sakit memorial chang gung di kaohsiung. Rumah sakit memorial chang gung kaohsiung memiliki 2.482 tempat tidur perawatan akut dan pusat medis terbesar di taiwan selatan yang menyediakan perawatan refferal primer dan tersier.

Catatan medis secara retrospektif terakhir menggunakan pra formulir evaluasi standar yang ada. semua pasien menjalani pemeriksaan MRI otak. stroke iskemik diklasifikasikan ke dalam kategori yang berbeda sesuai dengan dugaan mekanisme dari cedera otak fokal dan jenis serta lokalisasi lesi vaskular. Pasien yang awalnya dirawat di rumah sakit lain, tetapi kemudian dipindahkan ke rumah sakit ini untuk terapi lebih lanjut. Data klinis dan hasil

2

Page 3: Translate Jurnal

laboratorium awal mereka yang dilakukan di rumah sakit sebelumnya digunakan sebagai analisis.

Pasien diluar perhitungan jika : 1. menderita multiple infark atau infark otak yang tidak terdeteksi sebelumnya, 2. menderita infark batang otak dan serebelum infark, 3. telah ada sebelumnya kondisi neurologis berbagai defisit neurologis (misalnya stroke, trauma kepala, dan hipoksia ensefalopati), 4. memiliki riwayat gangguan kejang atau epilepsi 5. teratur mengambil AED untuk indikasi klinis selain epilepsi (misalnya trigeminal neuralgia atau nyeri neuropatik) dan 6. tidak dilakukan MRI selama rawat inap bahkan jika mereka memiliki CT Scan otak. Hanya 143 dari penderita stroke iskemik serangan pertama yang terdaftar untuk analisis. Lembaga pemantau dari rumah sakit memorial chang gung dalam penelitian manusia menyetujui protokol penelitian tersebut.

Kejang diklasifikasikan menurut rekomendasi dari internasional terhadap resiko liga epilepsi. status epileptikus didefinisikan sebagai aktivitas kejang dengan perilaku yang lebih atau kurang terus-menerus atau kejang berulang yang berlangsung selama minimal 30 menit dan tanpa pemulihan penuh fungsi neurologis antara kejang. mengikuti definisi kejang pada studi sebelumnya, kami membatasi ruang lingkup kejang yang terjadi setelah infark serebral dan menjadi penyebab yang berkaitan dengan infark serebral sendiri. kejang adalah salah satu yang terjadi dalam hubungan temporal yang erat dengan stroke iskemik. Sebaliknya, kejang tak beralasan adalah kejang yang terjadi tanpa adanya faktor pencetus, termasuk peristiwa yang terjadi pada pasien stroke iskemik yg stabil (tidak ada kemajuan).

Epilepsi didefinisikan sebagai kejadian berulang yang tidak di provokasi. Berdasarkan waktu kejang dalam hubungannya dengan bukti klinis infark serebral, pasien dengan kejang yang sedikit dimodifikasi dari penelitian sebelumnya dan dibagi menjadi dua subtipe : kejang awal ( yang terjadi dua minggu dari stroke iskemik) dan kejang lanjutan (yang terjadi dua minggu kemudian). Pemeriksaan MRI dilakukan pada 1,5 T. Urutan pulsasi MRI termasuk axial dan sagital T1 dan T2, dan godolinum DTPA diberikan kepada semua pasien tertimbang koronal dan axial.

Karakteristik dan keadaan, interval waktu dari infark serebri pada kejang pertama, tipe kejang, dan gambaran lain termasuk lamanya perawatan di rumah sakit, kejadian dan lamanya epilpsi kronik, dan penyakit sistemik yang mendasarinya yang berhubungan dengan kejang didokumentasikan dari 143 pasien. Pasien yang ditetapkan sebagai pasien diabetik jika mereka sudah mempunyai riwayat diagnosis sebelumnya atau gula darah puasa > 7 mmol/L.

Hipertensi ditemukan dengan riwayat sebelumnya dan rekam medis dari tekanan darah sistolik > 140 mmHg atau diastolik >90 mmHg. Koronari arteri disease ditemukan dari rriwayat penyakit sebelunya dan rekam medis dari infark miokard atau angina pektoris. Protokol standar untuk mengelola AEDs hanya untuk orang dengan gejala kejang setelah stroke iskemik akut. Dengan kata lain tidak ada terapi pencegahan AEDs yang diberikan tanpa gejala dalam stadium akut dari stroke iskemik. AEDs biasanya diberikan kepada pasien dengan gejala kejang akut selama perawatan, dan tidak dilanjutkan jika bukan kejang yang tidak di provokasi yang berkembang selama masa pemantauan, NIHSS and GCS digunakan

3

Page 4: Translate Jurnal

untuk menilai keparahan dari defisit neurologis pada saat masuk. Masa pemantauan dihentikan dengan kematian atau akhir masa penelitian (Desember 2008). Hasil terapi setelah diberikan dievaluasi dengan GOS (Glasgow outcome score). Hasil dan terapi dan derajat dari pengontrolan kejang setelah diberikan ditentukan oleh sistem skoring frekuensi kejang yang sedikit diubah dari Engel et al.

Dua analisis statistik yang berbeda di lakukan. Pertama, faktor resiko kejang selama masa tindak lanjut enam tahun ditentukan. Efek dari variabel individu yaitu jenis kelamin, manifestasi klinis, penyakit yang mendasari, klasifikasi subtipe stroke, rata-rata usia, GCS, dan NIHSS pada saat masuk, lama rawat inap dan neuroimaging temuan saat pemeriksaan dianalisis oleh proporsional bahaya Model univariat cox. Kedua semua ketidakseimbangan antara kejang-kejang dan bukan kelompok di awal variabel prognostik yang didokumentasikan, dan analisi diulangi dengan penyesuaian berdasarkan proporsional bahaya model cox setelah minimum dari enam tahun follow up. Semua analisis statistik dilakukan dengan menggunakan paket perangkat lunak SASA versi 9.1. (2002, SAS STatistical institute, Cary, North Carolina).

Hasil

Dari 143 pasien dengan pertama kali stroke iskemik termasuk 93 laki-laki (rentang usia 31-87 tahun ; usia rata-rata : 66,2 tahun) dan 50 perempuan (rentang usia 47-89 tahun ; usia rata-rata 67,7 tahun). Kejang terjadi pada 13 dari 143 pasien stroke iskemik pertama kalinya. Interval rata-rata dari gejala stroke pertama untuk kejang dengan onset berkisar 2-2045 hari (rata-rata 737 hari) (Gambar 1). Hipertensi, diabetes melitus, fibrilasi atrium dan penyakit arteri koroner adalah empat penyakit yang mendasari. DI antara 13 kasus kejang, dua dengan gejala akut smentara 11 yang lain tidak terprovokasi. Dalam hal hubungan onset kejang dengan tekanan ritmik klinis, dua mengalami kejang awal dan 11 yang lain kejang berikutnya. Selain itu, semua dari 11 pasien menjalani tindak lanjut MRI otak, pemeriksaan saraf, dan penelitian electroenchepalogram. Tidak ditemukan bukti adanya stroke berulang.

Interval waktu rata-rata dari stroke iskemik untuk kejang pertama antara kelompok kejang awal dan akhir adalah 5,5 hari dan 869,9 hari masing-masingnya (gambar 1). Tidak ada satupun pasien yang meninggal selama fase akut stroke iskemik selama rawat inap. Adapun tingkat kontrol kejang setelah pemantauan, tiga bebas kejang tanpa terapi AED, dan 9 bebas kejang di bawah terapi AED, dan salah satu mengalami 1-3 kejang pertahun. Adapun sub jenis kejang, 10 memiliki kejang fokal pertahun dengan generalisasi sekunder hanya 3. Salah satu dari sepuluh dengan kejang fokal dan generalisasi sekuner berkembang menjadi status epileptikus selama rawat inap.

Lokasi dari infark iskemik dari 143 kasus tercantum dalam tabel 2. Tempat yang paling umum di antara 13 pasien kejang adalah korteks serebral (77%, 10/13), diikuti dengan ganglia basalis (15%, 2/13) dan kapsula interna (8%, 1/13). Rata-rata interval follow up dari 143 pasien adalah 62,9 ± 11,3 bulan. Dari 130 pasien tanpa kejang, 129 selamat sementara 1

4

Page 5: Translate Jurnal

meninggal selama rawat inap. Satu dari 13 pasien telah mengalami seizure received decompressive hemicraniectomy selama rawat inap dan dari 13 pasien tidak ada yang meninggal. Setelah masa follow up minimal selama enam tahun, median (rentang interquartil) GOS pada akhir masa tindak lanjut adalah 3 (3,4). Untuk pasien dengan kejang dan 4 (3,4) untuk pasien tanpa kejang (p=0,84). Hasil terapi dari 143 kasus setelah masa tindak lanjut sebagaimana ditentukan oleh GOS adalah : tujuh memiliki kehidupan normal (4,9 %,, 7/143), 83 memiliki moderat cacat (58 %, 83/143), 52 memiliki cacat berat (36,4%, 52/143) dan satu meninggal (0,7%, 1/143). Diantara 13 pasien kejang, hanya satu pasien telah terapi AED ruam kulit selama periode tindak lanjut.

Perbandingan antara tampilan klinis dan temuan neuro-imaging pada pasien dengan antau tanpa stroke iskemik dengan kejang telah didokuemntasikan setelah 6 tahun follow up (Tabel 1). Analisis statistik dari dasar-dasar manifestasi klinis dan temuan neuro-imaging antar dua grup pasien dikemukakan bahwa atrium fibrilasi sebagai penyakit dasar (p =0.002, OR=8.24, 95% CI=2.18-31.08) dan adanya distribusi kortikal dari infark iskemik (p =0.007,OR=6.67, 95% CI=1.67-26.64) merupakan variabel signifikan. Penggunaan variabel di dalam Cox’s proportional hazards model memasukkan penyakit dasar dan adanaya distribusi kortikal dari infark iskemik. Setelah analisis dari variabel tersebut, hanya temuan distribusi

5

Page 6: Translate Jurnal

kortikal dari infark iskemik (p =0.009, OR=5.549, 95% CI=1.53-20.19) yang dihubungkan dengan kejang.

Diskusi

Prevalensi dan outcome dari infark iskemik dengan kejang pertama mungkin berbeda pada beberapa peneliatian karena determinasi kasus dan kriteria inklusi, lamanya follow-up, penyakit dasar, komplikasi, dan pembedahan. Walaupun frekuensi kejang setelah infark iskemik diestimasikan 4-10%, kebanyakan penelitian adalah penelitian retrospective dengan periode lamanya follow up yang berbeda. Pada penelitian ini, kejang terjadi pada 13 dari 143 (9,1%) pasien yang terkena infark iskemik pertama kali, termasuk kejang simtomatis akut 1,4% (2/143) dan kejang tidak diprovokasi 7,7% (11/143). Insiden kejang

6

Page 7: Translate Jurnal

epileptik disini lebih rendah dari yang pernah dilaporkan, kemungkinan karena kriteria inklusi yang dimasukkan pada penelitian ini hanya untuk pasien dengan stroke iskemik pertama kali dan mengeklusikan pasien dengan resiko tinggi stroke iskemik (yaitu adanya defisist neurologi dan multiple silent atau infark serebri simtomatis).

Penelitian terkini memeriksa faktor-faktor prediksi dan outcome dari kejang setelah infark iskemik pertama. Ada 3 temuan penting. Pertama, adanya distribusi kortikal dari infark iskemik adalah prediksi kejadian kejang. Hal ini sama dengan penelitian lain. Kedua, fibrilasi atrium adalah penyakit dasar umum pada grup pasien ini. Kebanyakan emboli serebri terbentuk dari jantung ( atrium fibrilasi, infark miokard dengan mural thrombi, dan endokarditis). Tidak seperti trombus, yang menempel pada dinding pembuluh darah, partike emboli rapuh dan bermigrasi. Pada tipe emboli stroke iskemik, cabang arteri serebri adalah yang paling sering terkena, dikarenakan distribusi kortikal dari infark iskemik. Ketiga, insiden kejang yang mengikuti stroke iskemik pertama kali sangat rendah, dan pada kebanyakan pasien ditemui manifestasi yang terlambat muncul.

Bagaimanapun, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, penelitian ini adalah analisis retrospective dan adapun beberapa subjek bias dari faktor-faktor tak terukur. Juga tidak memungkinkan untuk menilai efek dari AEDs profilaktik setelah stase akut dari infark iskemik pertama untuk pencegahan epilepsi. Kedua, pasien dengan infark infratentorial ( cerebellum atau batang otak), adanya defisit neurologik, dan multiple silent atau infark serebral simtomatik telah dieksklusikan. Ada beberapa ketidakyakinan mengenai penilaian insidensi kejang setelah infark iskemik pada pasien tak terpilih. Ketiga, hemicraniektomi dekompresi untuk infark arteri serebri masif bisa menyebabkan gangguan potensial otak dan bisa menghasilkan kejang tak terprovokasi selama periode follow up. Keempat, kebanyakan pasien pada penelitian ini telah diobati dengan anti konvulsan setelah kejang somtomatis akut, sesuai protokol penelitian. Temuan – temuan ini mungkin menutupi frekuensi kejang yang sebenarnya, yang berhubungan dengan riwayat kejang tak terprovokasi dan tidak diobati.

Penelitian ini mendemonstrasikan bahwa outcome jangka panjang dari pasien dengan kejang bisa menjadi memburuk dibandingkan dengan tanpa kejang, walaupun perbedaannya tidak terlalu signifikan. Ada beberapa penyebab, termasuk umur yang lebih tua, hubungan dengan infark kortikal, dan penurunan keadaan umum dan bantuan untuk aktifitas fisik.

7

Page 8: Translate Jurnal

Penggunaan terapi AED profilaktik untuk pencegahan kejang dengan infark iskemik masih kontroversial. Keuntungan adalah pengurangan morbiditas fungsional. Bagaimanapun ketidakpastian farmakoterapetik hadir karena kebutuhan, pemilihan obat, dosis, dan lamanya pemberian profilaksis kejang setelah infark iskemik. Pada penelitian ini, kebanyakan kasus bebas kejang tanpa terapi AED . Berdasarkan percobaan terkontrol, tidak ada rekomendasi resmi untuk penggunaan profilaksis AED pada pasien dengan iskemik infark kejadian pertama.

Kesimpulannya, insiden kejang yang mengikuti stroke iskemik pertama kali sangat rendah, dan mungkin keterlambatan munculnya manifestasi. Distribusi kortikal dari infark iskemik adalah salah satu faktor resiko untuk terjadinya kejang. Pasien dengan kejang pada infark iskemik memiliki outcome yang buruk, yang mungkin disertai patologis dari otak. Untuk efek samping dari obat-obatan anti epilepsi, obat ini harus diberikan hati-hati untuk pasien resiko tinggi dengan kejang setelah stroke iskemik ( atrium fibrilasi dengan stroke emboli dan infark kortikal). Adapun, prospektif, random dan double-blind trials dijamin untuk mengevaluasi efektifitas profilaksis AED pada infark iskemik pertama kali dan untuk mengklarifikasi pengobatan optimal.

8