49
Trauma Inhalasi : Epidemiologi, Patologi, dan Strategi Penatalaksanaan David J Dries dan Frederick W Endorf Abstrak Gangguan pada paru-paru yang disebabkan oleh terhirupnya asap atau bahan kimia oleh karena pembakaran terus menerus dapat dihubungkatan dengan angka morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Ditambah lagi adanya luka pada kulit, maka trauma inhalasi menyebakan meningkatnya kebutuhan resusitasi cairan, timbulnya komplikasi pada paru-paru serta mortalitas pada trauma termis. Sementara itu banyak alat dan teknik yang dikembangkan dalam menangani trauma termis pada kulit, diagnosis yang relatif serta pilihan terapi yang spesifik telah ditemukan pada pasien dengan trauma inhalasi. Terdapat beberapa faktor yang menjelaskan melambatnya progresitas pada penatalaksanaan pasien dengan trauma inhalasi. Trauma inhalasi merupakan masalah klinis yang lebih rumit. Terbakarnya jaringan kulit membutuhkan penggantian dengan metode skin graft. Gangguan pada jaringan paru-paru harus dilindungi dari gangguan sekunder dengan jalan pemberian resusitasi, ventilasi mekanik dan pencegahan infeksi dimana penderita mendapatkan bantuan yang sesuai

Trauma Inhalasi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Trauma Inhalasi

Citation preview

Trauma Inhalasi : Epidemiologi, Patologi, dan Strategi Penatalaksanaan

David J Dries dan Frederick W Endorf

Abstrak

Gangguan pada paru-paru yang disebabkan oleh terhirupnya asap atau bahan

kimia oleh karena pembakaran terus menerus dapat dihubungkatan dengan angka

morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Ditambah lagi adanya luka pada kulit,

maka trauma inhalasi menyebakan meningkatnya kebutuhan resusitasi cairan,

timbulnya komplikasi pada paru-paru serta mortalitas pada trauma termis. Sementara

itu banyak alat dan teknik yang dikembangkan dalam menangani trauma termis pada

kulit, diagnosis yang relatif serta pilihan terapi yang spesifik telah ditemukan pada

pasien dengan trauma inhalasi. Terdapat beberapa faktor yang menjelaskan

melambatnya progresitas pada penatalaksanaan pasien dengan trauma inhalasi.

Trauma inhalasi merupakan masalah klinis yang lebih rumit. Terbakarnya jaringan

kulit membutuhkan penggantian dengan metode skin graft. Gangguan pada jaringan

paru-paru harus dilindungi dari gangguan sekunder dengan jalan pemberian

resusitasi, ventilasi mekanik dan pencegahan infeksi dimana penderita mendapatkan

bantuan yang sesuai dengan keadaannya. Banyak konsekuensi yang dapat timbul

pada trauma inhalasi diakibatkan oleh respon inflamasi yang melibatkan mediator

radang dengan jumlah dan peran yang belum diketahui secara pasti meskipun telah

ditemukan peralatan klinis dalam menangani keadaan tersebut. Peningkatan

mortalitas pada trauma inhalasi kebanyakan disebabkan oleh meluasnya penyakit

pada pasien yang dalam penanganan kritis daripada pada pasien dengan trauma

inhalas yang difokuskan pada intervensinya. Morbiditas dihubungakan dengan trauma

inhalasi oleh paparan panas dan terhirupnya toksin. Penatalaksanaan trauma inhalasi

pada paparan toksin yang telah ada meninggalkan perdebatan, khususnya yang

berhubungan dengan karbon monoksida dan sianida. Pemberian oksigen secara

hiperbarik telah dievaluasi melalui percobaan berulang dalam menangani gangguan

neurologis akibat paparan karbon monoksida. Sayangnya, pada populasi ini data

tanggal pemeriksaan tidak didukung oleh penggunaan oksigen hiperbarik. Sianida

merupakan suatu jenis toksin yang dihasilkan oleh pembakaran material sintetis

maupun alami. Beberapa penatalakasanaan dengan menggunakan anti dotum telah

dievaluasi dalam menangani jaringan yang hipoksia akibat paparan sianida. Data

yang dihimpun dari European Center mendukung penggunaan anti dotum pada

intoksikasi sianida. Namun terapi yang tetap pada kasus ini belum ada. Kriteria

diagnostik pun tidak dapat ditetapkan bahkan melalui pemeriksaan bronkoskopi yang

merupakan salah satu alat diagnostik dan peralatan untuk terapi. Strategi medis

dilakukan melalui penelitian mengenai penatalaksanaan yang spesifik terhadap

trauma inhalasi termasuk penggunaan beta-agonis, peningkatan sirkulasi pulmonal,

pemberian anti koagulan dan anti inflamasi. Sampai mendekati nilai yang diharapkan,

namun pendekatan klinis pada trauma inhalasi bersifat suportif.

Kata kunci : Trauma inhalasi, Luka bakar, Karbon monoksida, Sianida,

Bronkoskopi.

Pendahuluan

Trauma inhalasi yang disebabkan oleh terhirupnya asap atau bahan kimia oleh

karena pembakaran terus menerus dapat dihubungkatan dengan angka morbiditas dan

mortalitas yang signifikan. Bahkan dalam keadaan terpisah, trauma inhalasi juga

dapat dihubungkan dengan disfungsi pulmonal menetap, trauma inhalasi

menyebabkan peningkatan kebutuhan resusitasi, insidensi komplikasi pulmonal dan

mortalitas terhadap trauma termis secara keseluruhan. Sayangnya strategi diagnostik

yang tetap belum tersedia dan penatalaksanaan yang dilakukan umumnya masih

bersifat suportif. Kami akan meninjau dari sisi patologi, pilihan diagnostik dan

strategi medis.

Pustaka lama telah menjelaskan mengenai akibat dari trauma inhalasi, dasar

komplikasi, pneumonia, dan mortalitas pada pasien luka bakar di Shirani, Pruitt,

Mason, dan di U.S. Army Institute of Surgical Research di San Antonio, Texas.

Peninjauan melalui 1.000 pasien telah dilakukan, dimana data yang dikumpulkan

berasal dari status pasien yang masuk rumah sakit dengan trauma inhalasi dan

menderita pneumonia pada masa perawatannya. Pasien trauma inhalasi yang berisiko

diperiksa dengan bronkoskopi, scan paru Xenon, atau keduanya. Diagnosis pasien

dengan trauma inhalasi yang dikumpulkan sebanyak 373 pasien. Luasnya ukuran luka

bakar memiliki hubungan dengan meningkatnya insidens trauma inhalasi. Diagnosis

pneumonia ditegakkan setelah melalui pengamatan selama sepuluh hari pada pasien

yang menderita trauma inhalasi. Dibuat tiga gambaran yang mencerminkan

peningkatan mortalitas trauma inhalasi dan trauma inhalasi yang disertai pneumonia

pada pasien ini. Angka mortalitas yang diperkirakan pada pasien dengan trauma

inhalasi adalah maksimum 20% sedangkan pada pasien trauma inhalasi yang disertai

pneumonia sebesar 60%. Mortalitas pasien trauma inhalasi yan disertai pneumonia

ditemukan tidak berdiri sendiri namun terkait dengan faktor lain. Perkiraan

mortalitas pada pasien dengan luka bakar yang luas maupun sempit tidak

mempengaruhi kejadian komplikasi pulmonal kecuali pada usia yang ekstrim (grafik

1,2, dan 3).

Dua pustaka telah mendukung penelitian Shirani dan rekan. Meta-analisis

terbaru menegenai faktor yang mempengaruhi prognosis luka bakar yang disertai

trauma inhalasi menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pada seluruh trauma inhalasi

(27,6% dan 13,9%). Luasnya luka bakar dan usia merupakan mortalitas prediktif.

Penelitian lain yang menjadikan contoh prediktif sebagai akibat dari trauma inhalasi

yang disertai terhirupnya asap menunjukkan hasil dari 110 pasien luka bakar pada

kulit manunjukkan bahwa luas permukaan tubuh, usia, rasio tekanan dan fraksi

oksigen (PaO2/FiO2) merupakan prediktor mortalitas.

Sementara banyak bahan dan teknik yang telah dikembangkan untuk

menangani luka bakar pada kulit, diagnosis yang relatif serta pilihan terapi yang

spesifik telah ditemukan pada pasien dengan trauma inhalasi. Peningkatan mortalitas

pada pasien trauma inhalasi kebanyakan disebabkan oleh meluasnya penyakit pada

pasien yang dalam penanganan kritis daripada pada pasien dengan trauma inhalas

yang difokuskan pada intervensinya. Kenyataannya, suatu konsensus menyatakan

bahwa penanganan pasien dengan luka bakar tidak memiliki peningkatan.

Beberapa faktor yang menjelaskan lambatnya perkembangan penatalaksanaan

pasien dengan trauma inhalasi seperti terbakarnya jaringan kulit yang membutuhkan

penggantian dengan metode skin graft. Gangguan pada jaringan paru-paru yang harus

dilindungi dari gangguan sekunder. Pasien luka bakar yang dalam keadaan kritis

memiliki berbagai mekanisme tambahan, salah satunya apabila pasien menghirup

asap yang berpeluang menyebabkan pasien terkena sepsis, Ventilator-Induced Lung

Injury (VILI), atau inflamasi sistemik atas respon terhadap luka bakar. Dengan

demikian, maka pasien trauma inhalasi dengan luka bakar mendapatkan akibat yang

spesifik dimana mekanismenya sulit dipisahkan dengan pengaruh terhadap paru-paru.

Batasan yang dihadapi para peneliti yang meneliti trauma inhalasi adalah

tidak terdapatnya kriteria yang seragam untuk mendiagnosis trauma inhalasi, ukuran

keparahan dari penyakit serta istilah yang biasa digunakan. Dengan demikian maka

suatu studi komparatif sulit untuk dievaluasi. Beberapa dokter menjelaskan bahwa

pasien dengan trauma inhalasi membutuhkan penatalaksanaan berupa intubasi dan

ventilasi mekanik. Penelitian lain menekankan bahwa scan kedokteran nuklir dapat

menegakkan diagnosis metabolik pada pasien trauma inhalasi. Beberapa percobaan

telah menggabungkan berbagai akibat yang kemudian menjadi definisi trauma

inhalasi. Perlunya standaridisasi kriteria diagnosis dan sistem pengukuran pada

trauma inhalasi ini pun telah dilakukan beberapa tahun silam dalam literatur luka

bakar.

Anatomi dan Fisiologi Trauma Inhalasi

Trauma inhalasi dapat didefinisikan sebagai trauma paru-paru yang

disebabkan oleh terhirupnya panas atau iritan kimia. Secara anatomis, trauma

inhalasi terbagi atas tiga tingkatan : 1) Trauma panas yang terbatas pada jalan napas

bagian atas yang disebabkan oleh paparan uap panas, 2) trauma bahan kimia lokal

sepanjang jalan pernapasan, dan 3) toksisitas sistemik yang banyak terjadi karena

menghirup karbon monoksida atau sianida.

Trauma Panas pada Jalan Napas Atas

Suhu udara ruangan yang terbakar dapat mencapai 1000oF. Maka karena

terdapat perbedaan suhu pada jalan napas atas dan suhu yang rendah akan

menyebabkan refleks menutupnya laring dan suhu yang panas biasanya menyebabkan

trauma hanya pada struktur jalan napas di atas carina. Trauma pada struktur jalan

napas ini dapat menyebakan edema pada lidah, epiglotis, dan plika aryeepiglotis

sehingga menyebabkan obstruksi jalan napas. Edema jalan napas dapat berhenti

setelah resusitasi berjalan. Penilaian di awal tidak menjadi indikator yang bagus

untuk menentukan derajat keparahan namun lebih baik dilakukan di saat yang lain.

Status respirasi harus dipantau secara terus menerus agar dapat dinilai

perlunya pengontrolan terhadap jalan napas dan bantuan ventilator. Apabila terdapat

riwayat dan pada pemeriksaan awal didapatkan kecurigaan terjadinya trauma panas

maka intubasi jalan napas sebagai upaya pencegahan harus dipertimbangkan.

Trauma Kimia pada Jalan Napas Bawah

Kebanyakan bahan kimia yang terbakar akan menghasilkan material yang

bersifat toksik bagi saluran pernapasan. Karet dan plastik yang terbakar akan

menghasilkan sulfur oksida, nitrogen oksida, amonia, dan klorin dengan sifat asam

dan basa yang kuat ketika bercampur dengan cairan dalam jalan napas dan alveoli.

Lapisan mebel serta papan yang mengandung lem juga menghasilkan sianida apabila

terbakar. Kapas atau wol yang terbakar akan menghasilkan toksin aldehida. Asap

pembakaran akan menyebabkan kerusakan epitel dan sel endotel kapiler pada jalan

napas. Serta memberikan gambaran histologi yang mirip dengan trakeobronkitis.

Transpor mukosiliar akan rusak rusak dan clearance bakteri akan berkurang.

Alveolus akan kolaps dan terjadi atelektasis karena hilangnya surfaktan. Makrofag

alveolus akan tertekan disebabkan oleh kemotaksis dari reaksi inflamasi. Inflamasi

awal terjadi karena terjadi difusi eksudat pada jalan napas. Maka edema bronkial akan

menjadi lebih berat. Perpaduan antara nekrosis bronkitis, edema bronkial, dan spasme

bronkus dapat menyebabkan sumbatan jalan napas besar dan kecil. Wheezing terjadi

karena edema bronkial dan stimulasi dari reseptor iritan. Meningkatnya permeabilitas

kapiler akan menambah parahnya sumbatan jalan napas dan edema pulmonal.

Gagal napas dapat terjadi 12 hingga 48 jam setelah paparan asap.

Karakteristik menurunnya komplians paru, meningkatnya perfusi ventilasi yang tidak

sesuai, dan meningkatnya ventilasi dead space. Trauma inhalasi dapat pula

menyebabkan terkupasnya mukosa dan perdarahan intrapulmonal yang menyebabkan

obstruksi mekanik dari jalan napas bawah serta tersumbatnya alveoli. Karena terjadi

nekrosis dari epitel, pasien cenderung akan terkena invasi bakteri sekunder dan

bakteri pneumonia. Sehingga pemulihan membutuhkan sekitar beberapa bulan.

Paparan Karbon Monoksida dan Sianida

Karbon monoksida adalah gas yang tidak berbau, tidak berasa, dan tidak

mengiritasi dan dihasilkan oleh pembakaran yang tidak sempurna. Keracunan karbon

monoksida merupakan penyebab utama morbiditas dini pada pasien dengan luka

bakar yang banyak ditemukan meninggal saat kebakaran berlangsung. Ditemukan

lebih dari 10 % karboksi hemoglobin pada pasien dalam kebakaran di ruangan

tertutup. Trauma yang signifikan pun dapat terjadi sesaat setelah terjadi paparan.

Afinitas karbon monoksida pada hemoglobin lebih besar 200 kali lipat

dibandingkan oksigen. Karbon monoksida dan oksigen akan bersaing untuk terikat

dengan oksigen yang menggeser kurva oksi-hemoglobin ke kiri dan merubah bentuk

kurva tersebut. Akan membahayakan transpor oksigen ke jaringan karena

berkurangnya kapasitas oksigen yang diangkut oleh darah dan kurang efisiennya

penguraian pada tingkat jaringan. Karbon monoksida akan menghambat sistem

enzim oksidase sitokrom intraselular, khususnya sitokrom P-450 yang menyebabkan

ketidakmampuan sistem selular dalam menggunakan oksigen (Grafik 4 dan 5).

Terhirupnya hidrogen sianida yang dihasilkan selama pembakaran bermacam-macam

material rumah tangga, juga dapat menghambat sistem oksidase sitokrom dan

memiliki efek sinergis dengan efek karbon monoksida yang menyebabkan hipoksia

jaringan dan asidosis seperti pada penurunan konsumsi oksigen serebral.

Keracunan karbon monoksida mungkin sulit diidentifikasi. Karena gambaran

absorbsi karboksihemoglobin dan oksihemoglobin sangat mirip dan oksimeter sulit

membedakan kedua bentuk hemoglobin tersebut. Pengukuran PaO2 pada analisa gas

darah dapat menunjukkan kadar oksigen yang terlarut dalam plasma namun tidak

dapat menghitung saturasi oksigen, dan yang paling penting adalah hal-hal yang

berperan dalam kapasitas pengangkutan oksigen dalam darah. Kadar

karboksihemoglobin dapat diukur secara langsung, namun tes ini jarang tersedia di

lokasi kejadian. Maka tidak dapat dipungkiri lambatnya pengukuran kadar

karboksihemoglobin setelah paparan asap, yang justru diukur setelah pasien tiba di

sarana kesehatan namun hasil yang didapatkan tidak menggambarkan luas intoksikasi

yang sebenarnya.

Gambar 5. Kurva disosiasi oksigen-hemoglobin akibat pengaruh karboksihemoglobin

Waktu paruh karboksihemoglobin yaitu 250 menit untuk pasien yang

menghirup udara ruangan, dan akan berkurang 40-60 menit pada pasien yang

diberikan oksigen 100%. Meskipun oksigenasi hiperbarik akan mengurangi waktu

paruh karboksihemoglobin, kamar hiperbarik mempersulit pengawasan terhadap

pasien, pemberian resusitasi cairan, dan penanganan awal luka bakar.

Diagnosis Trauma Inhalasi

Bagi klinisi, mendiagnosis suatu trauma inhalasi merupakan suatu keputusan

subjektif yang sebagian besar didasarkan pada riwayat paparan terhadap asap dalam

suatu ruang tertutup. Dari pemeriksaan fisis, didapatkan luka bakar pada wajah,

rambut hidung yang hangus, jelaga pada jalan nafas proksimal, sputum berkarbon,

dan suara serak. Hal tersebut dapat mendukung ditegakkannya diagnosis, dan

dikonfirmasi melalui pemeriksaan bronkoskopi fiberoptik, yang biasanya dilakukan

dalam 24 jam sejak pasien dirawat. Selain itu, perlu diketahui riwayat mekanisme

paparan, seperti api, listrik, ledakan, uap ataupun cairan panas, inhalasi iritan (seperti

racun industri dan rumah tangga), serta durasi paparan dan komplikasi lanjutan akibat

hilangnya kesadaran atau disabilitas fisik. Dari pemeriksaan fisis mungkin didapatkan

trauma pada traktus respiratorius, udem jalan nafas, atau bukti terjadinya kerusakan

dan disfungsi parenkim paru.

Kriteria diagnosis trauma inhalasi agak sulit karena beragamnya gejala juga

sulit membedakannya dengan trauma akibat inhalasi iritan dan cedera akibat paparan

gas panas. Gagal nafas progresif biasanya muncul dan tidak sesuai dengan banyaknya

paparan asap. Perbedaan gejala yang muncul tergantung pada material yang terhiruo

dan respon tubuh dari individu yang menghirup.

Di berbagai pusat lukabakar, diketahui bahwa pasien luka bakar yang disertai

trauma inhalasi membutuhkan lebih banyak resusitasi cairan dibandingkan pasien

dengan luka bakar saja. Perubahan komplians paru dan resistensi pada jalan nafas

dijadikan penentu derajat berat-ringannya serta outcome dari suatu trauma inhalasi.

Sistem skoring, didasarkan pada pemeriksaan bronkoskopi, telah digunakan untuk

trauma inhalasi dan mengidentifikasi terjadinya sindrom gagal nafas akut (Acute

Respiratory Distress Syndrome). Endorf dan Gamelli dalam penelitiannya,

memeriksa derajat trauma inhalasi, rasio PaO2/FiO2, dan efek yang timbul setelah

dilakukan resusitasi sesuai kebutuhan cairan. Tabel 1 menunjukkan kriteria

bronkoskopik untuk menentukan derajat trauma inhalasi.

Tabel 1 Kriteria Bronkoskopik yang digunaan untuk menentukan derajat

trauma inhalasi

Derajat 0 (Tidak ada trauma inhalasi) Tidak ada endapan karbon, eritem,

udem, bronkorea, atau obstruksi

Derajat 1 (Trauma inhalasi ringan) Sedikit eritem, endapan karbon pada

bronkus distal atau proksimal

Derajat 2 (Trauma inhalasi sedang) Eritem derajat sedang, endapan

karbon, bronkorea, dengan atau tanpa

gangguan fungsional bronkus

Derajat 3 (Trauma inhalasi berat) Inflamasi berat, endapan karbon yang

banyak, brokorea, obstruksi bronkial

Derajat 4 (Trauma inhalasi masif) Pengelupasan mukosa, nekrosis,

hilangnya lapisan endoluminal

Dari penelitian didapatkan bahwa 80 pasien yang diduga mengalami trauma

inhalasi memerlukan intubasi, ventilasi mekanik, dan bronkoskopi fiberoptik dalam

24 jam pertama masuk rumah sakit. Pasien dikelompokkan berdasarjan derajat

bronkoskopinya. Fungsi mekanik dan pertukaran udara paru-paru diperiksa secara

berkala termasuk kemampuan komplians paru dan rasio PaO2/FiO2. Total jumlah

cairan yang diberikan juga dicatat dalam 48 jam pertama setelah mengalami luka

bakar.

Pasien dengan hasil bronkoskopi awal menunjukkan suatu trauma inhalasi

berat (derajat 2, 3, 4) memiliki angka survival yang lebih buruk dibandingkan pasien

dengan hasil bronkoskopi derajat 0 atau 1 (p = 0.03). Bertentangan dengan penelitian-

penelitian sebelumnya, Endorf dan Gamelli menemukan bahwa beratnya derajat

trauma inhalasi berdasarkan bronkoskopi tidak berhubungan dengan peningkatan

kebutuhan resusitasi cairan. Kemampuan komplian paru juga tidak berkaitan dengan

kebutuhan resusitasi cairan. Tetapi, pasien dengan rasio PaO2/FiO2 < 350 secara

signifikan membutuhkan kebutuhan cairan yang lebih banyak dibandingkan pasien

dengan rasio PaO2/FiO2 > 350 (p = 0.03) (Tabel 2 dan 3).

Tabel 2 Perbandingan Derajat Trauma Inhalasi

berdasarkan Hasil Bronkoskopi

Tabel 3. Perbandingan berdasarkan Rasio P : F

Kebanyakan penulis setuju bahwa konsensus mengenai diagnosis trauma

inhalasi didasarkan pada peralatan/modalitas yang dapat diperoleh secara mudah dan

tidakmembutuhkan keterampilan khusus. Deskripsi dan efek fisiologis yang konsisten

dibutuhkan untuk menjelaskan jenis dan komposisi dari iritan yang diinhalasi disertai

dengan derajat lamanya dan intensitas paparan.

Modalitas terbaik yang digunakan saat ini untuk diagnosis trauma inhalasi

adalah keadaan klinis dan pemeriksaan bronkoskopi. Kesulitan muncul ketika

pemeriksa perlu mengetahui apakah pasien aman dari komplikasi resusitasi cairan,

terjadi peningkatan disfungsi paru, gagal nafas, dan kematian. Usaha untuk

mengidnetifikasi prognosis pasien trauma inhalasi telah disusun, tetapi sulit

menentukan indikator yang dapat dipercaya untuk mengetahui terjadinya gagal nafas

progresif pada pasien trauma inhalasi. Penelitian menunjukkan kurangnya hubungan

antara beratnya hasil pemeriksaan bronkoskopi, kebutuhan resusitasi cairan,

terjadinya sindrom gagal nafas akut (ARDS), dan outcome pasien. Modalitas lain

yang digunakan untuk mendiagnosis trauma inhalasi yaitu 99-techneticum scanning

dan xenon scanning, namun karena alas an logistic,modalitas ini tidak digunakan

secara luas.

Strategi Terapi

Bronkoskopi

Di berbagai pusat perawatan luka bakar, bronkoskopi memiliki peran terbatas

dalam menentukan derajat gangguan jalan nafas. Trauma inhalasi termasuk dalam

gangguan mekanik jalan nafasyang ditandai dengan terjadinya edema paru, edema

bronkial dan sekresi yang menimbulkan sumbatan jalan nafas dan dapat berkembang

menjadi atelektasis dan pneumonia. Penggunaan bronkoskopi yang agresif sangat

efektif digunakan untuk memindahkan partikel asing dan sekret yang dapat

memperburuk inflamasi dan mengganggu ventilasi.

Carr dalam penelitiannya meninjau the National Burn Repository sejak tahun

1998 hingga 2007mendapatkan adanya perbedaan outcome pada pasien luka bakar

diesrtai trauma inhalasi dan pneumonia yang menjalani dan tidak menjalani

pemeriksaan bronkoskopi. Pasien dengan luka bakar seluas 30-59% BSA dan

pneumoni yang menjalani pemeriksaan bronkoskopi diketahui membutuhkan

ventilasi mekanik dengan durasi yang lebih singkat dibandingkan pasien yang tidak

menjalani pemeriksaan bronkoskopi. Pasien yang pernah menjalani pemeriksaan

bronkoskopi setidaknya satu kali diketahui memiliki waktu perawatan ICU dan

rumah sakit yang lebih singkat dibandingkan pasienyang tidak dibronkoskopi. Pasien

yang menjalani pemeriksaan bronkoskopi juga memiliki risiko kematian yang lebih

rendah 18% dibanding pasien yang tidak dibronkoskopi.

Keracunan Karbon Monoksida

Morbiditas dan mortalitas terkait dengan keracunan karbon monoksida terjadi

akibat keadaan hipoksia karena terganggunya transportasi oksigen dan elektron di

tingkat seluler. Mekanisme lain yang potensial menimbulkan terjadinya gangguan

adalah terbentuknya ikatan antara karbonmonoksida dan myoglobin atau sitokrom

hepatik serta terjadinya proses peroksidasi ke lipid serebral. Beratnya trauma

tergantung pada konsentrasi karbon monoksida, durasi paparan, dan status kesehatan

individu yang terpapar.

Morbiditas jangka pendek dan panjang keracunan karbon monoksida

menimbulkan efek pada sistem neuro dan vaskular. Efek neurologik dibedakan

menjadi dua sindrom: 1) efek neurologik persisten dan 2) efek neurologik lambat.

Efek neurologik persisten merupakan defisit neurologis yang terjadi setelah paparan

karbonmonoksida yang mungkin membaik seiring waktu. Sedangkan efek neurologik

lambat berupa kembalinya tanda dan gejala gangguan neurologis yang muncul setelah

suatu periode perbaikan. Sulit untuk membedakan dua kondisi ini. Gejala dari

keracunan karbon monoksida kronik yaitu berupa fatigue, kondisi afektif, gangguan

emosi, deficit memori, gangguan saat bekerja, gangguan tidur, vertigo, neuropati,

parestesi, infeksi berulang, polisitemia, nyeri perut dan diare.

Efek neurofisiologis biasa muncul setelah keracunan karbon monoksida. Pada

beberapa percobaan, 40% pasien keracunan karbonmonoksida yang diterapi dengan

oksigen normobarik mengalami gangguan kognitif, dan ketika dievaluasi 6 minggu

setelah paparan karbon monoksida, pasien tersebut mengalami gangguan afektif. Efek

lain yang mungkin terjadi yaitu gangguan motorik, neuropati perifer, gangguan

pendengangaran dan keseimbangam, dementia, dan psikosis. Gangguan-gangguan ini

bisa saja bersifat menetap.

Terapi segera untuk keracunan karbon monoksida yaitu pemberian oksigen

normobarik, yaitu pemeberian oksigen beraliran tinggi dengan menggunakan sungkup

nonrebreather. Pemberian oksigen normobarik mempercepat eliminasi karbon

monoksida, tetapi pada satu percobaan diketahui tidak mengurangi gangguan kognitif

yang terjadi setelah inhalasi oksigen normobarik dibandingkan dengan tanpa

pemberian terapi oksigen. Karena oksigen normobarik aman, mudah didapatkan dan

murah, maka pemberiannya sebaiknya dilakukan hingga kadar karboksihemoglobin

kurang dari 5%. Penatalaksanaan awal pada pasien yang terpapar yaitu berupa

ventilasi dan perfusi yang adekuat, pemeriksaan neurologis, riwayat paparan, dan

analisis gas darah untuk mengetahui pertukaran udara, status metabolik, dan kadar

karboksihemoglobin. Kadar karboksihemoglobin lebih dari 3% pada pasien yang

tidak merokok atau lebih dari 10% pada pasien perokok mengkofirmasi terjadinya

paparan terhadap karbonmonoksida. Kadar karbon monoksida tidak berhubungan

dengan ada tidaknya gejala awal ataupun prognosis pasien.

Paparan terhadap karbon monoksida dapat memicu munculnya angina dan

menyebabkan gangguan pada jantung bahkan pada pasien dengan arteri koroner yang

normal. Jadi, pada pasien yang terpapar perlu dilakukan pemeriksaan kardiovaskular

meliputi elektrokardiogram dan pengukuran kadar enzim jantung. Jika terjadi

gangguan pada jantung, konsultasi ke bagian kardiologi perlu dipertimbangkan.

Penggunaan oksigen hiperbarik dianjurkan sebagai terapi untuk keracunan

karbon monoksida dengan hipotesis bahwa pelepasan yang cepat antara ikatan karbon

monoksida dengan hemoglobin saat oksigen 100% bertekanan tinggi diberikan, akan

mengurangi durasi hipoksia seluler. Indikasi absolut dan outcome dari oksigen

hiperbarik masih kontroversial karena kurangnya keterkaitan antara satu-satunya alat

diagnostik, kadar karboksihemoglobin, dengan beratnya status klinis serta outcome

dari terapi awal. Selain itu, belum ada standar mengenai durasi atau intensitas dari

terapi oksigen hiperbarik. Komplikasi yang mungkin terjadi akibat pemberian

oksigen hiperbarik antara lain barotrauma, robeknya membrane timpani, kejang, dan

emboli udara.

Salah satu percobaan prospektif menunjukkan bahwa insidens gangguan

kognitif lebih rendah pada pasien yang menjalani 3 sesi terapi oksigen hiperbarik

(sesi pertama 150 menit, diikuti sesi kedua dan ketiga yang masing0masing 120

menit, dengan interval tiap sesi sekitar 6-12 jam) dalam 24 jam setelah paparan

karbon monoksida, dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan terapi oksigen

normobarik (25% : 46%, p = 0, 007 dan p = 0,003 setelah menyingkirkan adanya

disfungsi serebellum dan stratifikasi). Penggunaan oksigen hiperbarik pada percobaan

tersebut mengurangi angka terjadinya gangguan kognitif dalam 12 bulan (18% : 33%

dengan oksigen normobarik; p = 0,04). Namun, percobaan ini tidak secara jelas

mengidentifikasi subkelompok pasien sehingga tidak diketahui apakah oksigen

hiperbarik hanya sedikit atau justru banyak bermanfaat sebagai terapi pasien yang

terpapar karbonmonoksida.

Tinjaun Cochrane terhadap enam penelitian yang dua di antaranya telah

dipublikasikan, tidak mendukung penggunaan oksigen hiperbarik untuk pasien yang

keracunan karbon monoksida. Tinjauan Corchane tersebut juga tidak berhasil

menunjukkan manfaat dan kegunaan yang meyakinkan dari terapi hiperbarik oksigen.

Namun, memang ditemukan banyak kekurangan dari tinjauan ini. Penggunaan terapi

oksigen hiperbarik untuk pasien keraunan karbon monoksida tetap berlanjut dan

dijadikan standar oleh komunitas, meskipun bukan berdasarkan konsensus ilmiah.

Pasien keracunan karbon monoksida sebaiknya tetap diikuti perkembangan

medisnya setelah keluar dari perawatan. Angka kepulihan pasien setelah keracunan

bervariasi dan biasanya akan timbul efek atau komplikasi lanjutan yang muncul

setelah paparan ataupun justru berkembang berminggu-minggu setelah paparan dan

bisa saja bersifat permanen. Belum ada terapi spesifik untuk efek lanjutan akibat

paparan karbon monoksida. Pasien yang mengalami efek lanjutan perlu menjalani

rehabilitasi kognitif, psikiatri, berbicara, okupasi, dan fisik. Data mengenai intervensi

pada pasien yang mengalami efek lanjutan akibat paparan karbon monoksida masih

sangat kurang.

Salah satu penelitian jangka panjang dilakukan terhadap pasien-pasien yang

mengalami keracunan karbonmonoksida akut. Sekitar 1000 pasien yang diterapi

selama sekitar 30 tahun kemudian diperiksa. Pasien yang diteliti merupakan pasien

yang diterapi dengan oksigen hiperbarik dan bertahan setelah episode keracunan akut.

Angka mortalitas jangka panjang pasien ini kemudian dibandingkan dengan populasi

standar. Paien yang bertahan setelah mengalami keracunan karbon monoksida akut

diketahui lebih tinggi angka mortalitasnya dibangkan populasi standar. Angka

mortalitas tertinggi terjadi pada kelompok pasien yang diterapi lebih awal ketika

mengalami keracunan karbon monoksida. Pada hampis seluruh pasien, penyebab

utama kematian adalah gangguan mental dan psikiatrik. Penyebab kematian spesifik

lainnya yaitu alkoholisme, kecelakaan lalu lintas, keracunan, dan bunuh diri.

Konsisten dengan data yang telah disebutkan di atas, tidak ada perbedaan angka

survival pada pasien dengan berbagai kelompok usia, jenis kelamin, ras, dan

penyebab keracunan karbon monoksida.

Keracunan Sianida

Sianida dihasilkan dari pembakaran material rumah tangga yang alami

maupun sintetis seperti polimer sintetis, poliakrilonitril, kertas, poliuretan, melamin,

wol, bulu kuda, dan sutera. Sianida dapat dideteksi pada asap rumah yang terbakar

dan dalam darah perokok serta korban kebakaran. Ingesti sianida dapat menimbulkan

asidosis metabolik yang juga dapat terjadi pada pasien korban kebakaran selama

diresusitasi. Sianida merupakan metabolit normal yang dapat didetoksifikasi oleh

tubuh. Sianida dapat dihasilkan secara in vitro oleh darah dan in situ dalam organ

tertentu setelah individu meninggal.

Barillo melakukan penelitian mengenai pemeriksaan korban inhalasi sianida.

Sayangnya, pemeriksaan darah sederhana untuk mendeteksi sianida masih kurang dan

terbatas karena sianida merupakan toksin intraseluler. Seperti yang telah disebutkan

di atas bahwa sianida merupakan metabolit dalamtubuh manusia dan dihasilkan serta

didegradasi secara in vitro dalam sampel darah. Eritrosit mengubah thiocyanate

menjadi sianida secara in vitro dan karena sianida dalam darah terutama berikatan

dengan eritrosit, maka autolisis eritrosit akan meningkatkan kadar sianida dalam

darah. Pada individu normal, kadar sianida dalam darah berkisar antara 0.3 mg/L

pada yang tidak merokok dan 0.5 mg/L pada perokok. Pemadam kebakaran,

meskipun sering terpapar asap, tetapi memiliki kadar sianida dalam darah yang cukup

normal. Sianida sedikit meningkat pada korban kebakaran. Kadar sianida yang

tercatat pada korban yang bertahan hidup setelah inhalasi ataupun ingesti sianida

yaitu berkisar 7-9mg/L. Kejahatan menggunakan sianida jarang dilakukan dan hanya

sedikit data yang ditemukan.

Antidotum sianida yang terkenal menggunakan rangkaian reaksi oksidasi

hemoglobin menjadi methemoglobin yang kemudian akan berikatan dengan sianida

membentuk sianomethemoglobin. Ketika metsianohemoglobin mengalami disosiasi,

sianida bebas akan diubah menjadi thyocyanate oleh enzim mitokondrial hepatik

menggunakan sulfat koloid dan tiosulfat. Thyocyanate kemudian diekskresikan

melalui urin. Meskipun sering digunakan, catatan mengenai efektifitas

antidotumsianida ini masih jarang didapatkan. Kadar methemoglobin yang berkisar

antara 20-30% sangat dibutuhkan demi mengooptimalkan pengikatan sianida. Yang

perlu diperhatikan bahwa antidotum sianida ini kontra indikasi untuk pasien yang

juga mengalami keracunaan karbon monoksida sebab konversi karboksihemoglobin

menjadi methemoglobin dapat menimbulkan hipoksia. Strategi terapi lain untukkasus

keracunan sianida yaitu menggunakan tiosulfat yang berfungsi sebagi substrat dalam

konversi sianida menjadi thyocyanate dan dilaporkan efektif digunakan dengan

ataupun tanpa nitrit. Pemberian tiosulfat sesuai dosis yang direkomendasikan tercatat

tidak memberikan efek samping serius selain mual dan muntah.

European data mengusulkan terapi keracunan sianida menggunakan chelating

agents seperti dicolbat edetate atau hidroksikobalamin. Dicolbat edetate dikaitkan

dengan terjadinya reaksi anafilaksis dan dapat menimbulkan hipertensi, gangguan

ritme, dan keracunan kobalt. Saat ini dicolbat edetate tidak bisa didapatkan di

Amerika Serikat, tetapi banyak digunakan di Inggris Raya. Hidroksikobalamin

merupakan antidotum sianida yang efektif dengan dosis 100 mg/kg. Sayangnya

hidroksikobalamin yang ada di Amerika Serikat hanyalah hidroksikobalamin sediaan

1 mg/mL dengan kegunaan yang terbatas sebab diperlukan 10 L hidroksikobalamin

untuk mengatasi suatu keracunan sianida yang fatal. Orang-orang Eropa lebih

mudah mengalami keracunan sianida dibanding orang-orang di Amerika Serikat.

Pada orang-orang Eropa, kadar sianida yang mencapai 1 mg/L sudah dapat

menimbulkan akibat yang fatal. Di Prancis, hidroksikobalamin dan dicobalt edetate

digunakan secara bersama dalam kasus keracunan sianida.

Hall merupakan orang pertama yang melakukan penelitian mengenai

antidotum sianida, kemudian diikuti oleh penelitian-penelitian lainnya yang tersebar

di Amerika Serikat dan Prancis. Dari penelitian-penelitian tersebut diketahui bahwa

jenis antidotum yang berbeda memiliki mekanisme kerja yang berbeda pula.

Kebanyakan subjek penelitian yang berasal dari para pemadam kebakaran di Paris

menekankan kegunaan hidroksikobalamin bagi korban trauma inhalasi yang telah

terpapar asap. Berbagai jenis antidotum sianida diketahui juga memiliki tolerabilitas

dan tingkat keamanan masing-masing. Antidotum sianida lain yang sering digunakan

di Jerman yaitu 4-dimethylaminophenol, yang mekanisme kerjanya seperti sodium

nitrat dam amil nitrit, yaitu menetralkan sianida dengan menginduksi methemoglobin.

Sayangnya antidotum ini menimbulkan toksisitas yang signifikan berkaitan dengan

konsentrasi methemoglobin. Kegunaan dicobalt edetate terbatas akibat kemungkinan

terjadinya keracunan kobalt. Di antara berbagai antidotum sianidai yang telah diteliti,

hidroksikobalamin diketahi memiliki efek toksisita dan alergi yang paling kecil.

Hidroksikobalamin juga sering digunakan secara luas di perawatan pre-hospital

korban trauma inhalasi karena efek sampingnya yang ringan. Hidroksikobalamin

memiliki onset kerja yang cepat dan menetralkan sianida tanpa mengganggu

penggunaan oksigen seluler. Hingga saat ini, dari banyak penelitian menganjurkan

penggunaan hidroksikobalamin sebagai antidotum sianida lini pertama.

Hidroksikobalamin juga telah digunakan sebagai terapi untuk mencegah

terjadinya keracunan sianida pada pasien yang mendapatkan nitroprusside intravena

juga untuk mengatasi amblyopia dan neuritis optic yang diakibatkan sianida yang

terkandung dalam asap rokok. Pada penggunaan saat ini, hidroksikobalamin secara

umum dapat ditoleransi dengan baik tetapi juga menimbulkan efek samping seperti

sakit kepala, alergi, perubahan warna urin dan kulit, hipertensi, dan refleks

bradikardi. Penggunaan oksigen hiperbarik untuk terapi sianida juga telah dianjurkan.

Tetapi hanya sedikit data objektif yang mendukung penggunaan oksigen hiperbarik

ini. Dibandingkan penggunaannya dalam terapi intoksikasi karbon monoksida,

oksigen hiperbarik masih diragukan manfaatnya dalam terapi intoksikasi sianida.

Sebagai kesimpulan, kebutuhan antidotum sianida yang spesifik masih belum

jelas. Terapi keracunan sianida terutama berupa terapi suportif yang agresif dan

ditujukan untuk perbaikan fungsi kardiovaskular dan meningkatkan klirens sianida

hepatik tanpa menggunakan antidotum yang spesifik. Bahkan pada keracunan sianida

yang berat (kadar sianida dalamdarh berkisar 5-9 mg/L), angka survival dapat

ditingkatkan dengan pemberian terapi suportif yang agresif tersebut walaupun tanpa

antidotum yang spesifik. Masalah lain yang timbul dalam suatu kasus keracunan

sianida adalah kurangnya modalitas untuk mengevaluasi kadar sianida sebelum

akhirnya diputuskan untuk diberikan antidotum. Jika modalitas yang akurat dan cepat

untuk menilai sianida telah tersedia, maka penelitian yang bertujuan mengetahui

efikasi dari berbagai jenis pilihan terapi dapat dilaksanakan.

Ventilasi Mekanik

Tidak ada terapi respirasi yang ideal untuk kasus trauma inhalasi. Konsensus

merekomendasikan penggunaan ventilasi mekanik yang berkelanjutan. Ventilator

harus dapat mendukung oksigenasi dan ventilasi serta dapat merefleksikan

pengalaman klinisi dalam menangani pasien. Sangat penting untuk membatasi

tekanan udara yang diberikan, memperhatikan kemampuan paru dalam menolerasi

hiperkapnia, dan manajemen sekret. Kebanyakan pasien yang menggunakan ventilasi

mekanik akan mengalami pneumonia. Untuk mencegah terjadinya pneumonia, perlu

dilakukan usaha-usaha pencegahan rutin seperti elevasi kepala dan tempat tidur,

perubahan posisi yang sering, dan perawatan mulut. Penggunaan antibiotik profilaksis

diketahui tidak terlalu berperan dan bahkan justru meningkatkan angka infeksi.

Oksigenasi membran ektrakorporeal mungking merupakan terapi penyelamatan yang

berlebihan dan tentu saja tidak dapat diaplikasikan sebagai terapi standar saat ini.

Cara sederhana seperti memposisikan pasien dalam posisi pronasi lebih sering

digunakan pada pasien hipoksia.

Beberapa jenis ventilasi direkomendasikan untuk diaplikasikan pada pasien

luka bakar. High Frequency Oscillatory Ventilation (HFOV) mendukung fungsi paru

dengan mempertahankan tekanan rata-rata jalan nafas di atas tekanan yang digunakan

pada ventilasi konvensional. Beberapa penelitian lebih merekomendasikan

penggunaan HFOV karena memberikan perbaikan yang lebih bermakna dalam proses

oksigenasi dibandingkan penggunaan ventilasi konvensional. Namun dua penelitian

besar terkini tidak mendukung pengunaan HFOV. Airway Pressure Release

Ventilation (APRV) merupakan salah satu tipe ventilasi yang mekanisme kerjanya

menggunakan tekanan jalan nafas positif dan berkelanjutan yang diberikan dalam

kadar tinggi. Nafas spontan yang terjadi selama penggunaan APRV menyerupai

distrubusi gas pernafasan normal. APRV telah sering digunakan pada pasien dengan

berbagai penyakit kritis. Peninjauan fungsi fisiologis perlu dilakukan sebelem

penggunaan APRV secara luas direkomendasikan. Sebagai contoh, penggunaan

APRV dapat dikaitkan dengan elevasi tekanan rata-rata jalan nafas yang signifikan

yang kemudian dapat menimbulkan kolaps paru. Pasien dengan keadaan yang kritis

bernafas secara spontan melalui sirkuit ventilasi yang terbuka. Namun, hal ini akan

mengakibatkan tekanan transmural pada APRV tidak dapat dikontrol dan akan

meningkat secara signifikan. Jadi penggunaan APRV sangat efektif hanya bagi

mereka yang terampil dan berpengalaman menggunakan APRV ini. Selain itu,

manfaat APRV dibandingkan ventilasi konvensional dalam menangani pasien gagal

nafas belum dibuktikan.

Ventilasi Non-Invasif

Beberapa penelitian melaporkan mengenai keuntungan ventilasi noninvasif

tanpa intubasi endotrakeal dan beberapa komplikasi yang terkait. Tanpa tube

endotrakeal, pasien dapat berkomunikasi lebih efektif, efek sedasi kurang dan lebih

nyaman. Selain itu, pasien mampu untuk melanjutkan perawatan oral yang standar.

Trauma akibat ETT sebaiknya tidak disertai sinusitis dan gangguan menelan setelah

ekstubasi. Keuntungan dari ventilasi noninvasif yang banyak dibahas dalam literatur

dapat mengurangi kejadian, dampak biaya dan mortalitas akibat pneumonia.

Komponen utama dari keberhasilan ventilasi noninvasif telah menjadi pilihan

pada pasien-pasien yang sadar dan bernapas secara spontan, serta koperatif. Pasien-

pasien tersebut harus mampu melindungi airway mereka. Ventilasi noninvasif tidak

cocok digunakan untuk instabilitas hemodinamik atau elektrografik. Pasien yang

tidak sadar dengan luka wajah yang signifikan tidak dianjurkan utnutk diventilasi

noninvasif. Kontraindikasi lebih lanjut meliputi batuk yang dikompromikan dan

membutuhkan sekresi yang signifikan. Muatan sekresi tinggi dan trauma wajah sering

terlihat dengan cedera inhalasi. Kontraindikasi relatif meliputi ketidakmampuan

untuk memenuhi dan menutup masker dan helm sekunder untuk cedera atau

deformitas wajah termasuk rambut wajah. Pasien-pasien yang tidak koperatif atau

yang tidak meletakkan masker pada tempatnya, tidak batuk ketika diminta atau tidak

mampu melepaskan masker dalam acara emesisadalah bukan kandidat yang baik

untuk ventilasi noninvasif. Jika tekanan yang digunakan untuk ventilasi pasien

dipertahankan dibawah 30 mmHg, tekanan penutupan dari sphincter esophageal

rendah tidak harus diatasi dan aerophagia harus relatif jarang. Akhirnya, morbid

obesitas merupakan kontraindikasi relatif karena peningkatan ventilator memerlukan

tekanan yang timbul dari habitus tubuh dan berat dari didnding dada atau visera

abdomen dengan pasien di tempat tidur.

Waktu paling baik untuk mempertimbangkan penggunaan ventilasi noninfasif

pada pasien luka bakar adalah tidak jelas. Secara historis, kelompok pasien lain telah

ditindaki dengan ventilasi noninvasif ketika ada atanda-tanda hipoksemia dan

hiperkarbia. Tidak seperti kelompok pasien lain dimana pernapasa kompromi

umumnya progresif, penghinaan yang dihadapi oleh pasien luka bakar dapat menjadi

besar di jam awal setelah sedera saat resusitasi cairan volume tinggi. Selama jam-jam

awal, resiko edema untuk dibakar dan jaringan terbakar adalah infasif. Ventilasi

noninvasif mungkin dianggap sebagai strategi profilaksis selama resusitasi pada

pasien resiko tinggi bahkan sebelum tanda yang jelas dari insufisiensi pernapasan

muncul.

Komplikasi yang paling serius dari ventilasi noninvasif adalah kegagalan

untuk mengenali kapan terapi ini tidak menyediakan ventilasi yang memadai,

oksigenasi atau pendukung saluran napas. Tertundanya intubasi bisa menyebabkan

kemunduran lanjutan dari pasien. Jangan pernah kehilangan pasien pada kegagalan

intubasi.

Ventilasi

Pasien dengan berbagai bentuk cedera paru-paru sekarang sedang diobati

dengan strategi ventilator melibatkan keterbatasan ventilasi menit melalui

penggunaan volume tidal rendah mengakibatkan kecenderungan hiperkapnia.

Hiperkapnia dalam pengaturan cedera paru akut mungkin dibahas dalam bebagai

cara, ada bukti yang berkembang bahwa penerimaan dapat menjadi alternatif yang

lebih baik daripada mencari ketegangan karbon dioksida yang normal.

Tekanan udara serendah 30 cmH2O telah dikaitkan dengan cedera paru-paru

pada hewan model. Tekanan ini berkorespondensi dengan tekanan inflasi yang statis

normal untuk total kapasitas paru-paru pada manusia. Dengan demikian,

mempertahankan tekanan < 30 cmH2O adalah pendekatan yang masuk akal untuk

mempertahankan udara daerah paru di bawah volume maksimum normal. Penelitian

ini penting karena tinggi pasang surut ventilasi volume yang mungkin sensitif

terhadap hilangnya volume paru tersedia untuk pertukaran gas karena efek cedera

inhalasi. Gattinoni dan rekan kerja menunjukkan bahwa sebanyak 20% dari paru

dapat diisi dengan angin pada pasien dengan kegagalan pernapasan yang parah.

Saat ini, ada data yang cukup untuk menunjukkan bahwa hiperkapnia harus

independen diinduksi dari luar isi strategi ventilasi pelindung. Strategi ventilator yang

melibatkan hiperkapnia dapat diterima dalam batas wajar klinis hemodinamik.

Hiperkapnia asidosis telah ditunjukkan untuk meningkatkan cardiac output pada

pasien ARDS. Data dari tes apnea dan mati otak menunjukkan toleransi pH 7,2 dan

PCO2 > 75 tanpa konsekuensi hemodinamik. Pada derajat yang lebih besar dari

hiperkapnia dan asidosis, ketidakstabilan hemodinamik bisa menjadi faktor pembatas.

Oksigenasi

Pemberian tekanan positif pada jalan nafas bertujuan untuk menggantikan

fungsi otot-otot respirasi dan mengoreksi hipoksemia akibat hipoventilasi alveolar.

Hipoksemia reversal yang terjadi akibat adanya shunt intrapulmonal membutuhkan

intervensi yang memungkinkan terjadinya pertukaran gas secara terbuka pada paru-

paru. Pada psien dengan edema paru, atelectasis, atau cedera paru lainnya,

penggunaan Positive End-Expiratory Pressure (PEEP) dapat meningkatkan

oksigenasi arterial denga cara meningkatkan kapasitas residu fungsional, mengurangi

venous add mixture, mengganti volume tidal dengan porsi komplians yang lebih

besar, dan mencegah penurunan komplians paru selama penggunaan ventilasi

mekanik.

PEEP juga bermanfaat dalam mempertahankan patensi jalan nafas. Pada

pasien dengan penyakit paru obstruktif, paru-parunya akan sulit untuk mengempis

hingga kapasitas residual di akhir ekspirasi. Tekanan alveolar pada pasien ini akan

tetap positif untuk meningkatkan daya dependan dari volume udara yang terjebak.

Fenomena ini disebut auto-PEEP atau extrinsic-PEEP. Ketika auto-PEEP terjadi,

penggunaan PEEP eksternal sangat bermanfaat saat bernafas spontan karena usaha

respirasi berkurang. Penggunaan PEEP eksternal secara optimal pada kasus auto-

PEEP akan mengurangi usaha otot-otot inspirasi dan memperbaiki interaksi

ventilator pasien.

PEEP juga memiliki efek terhadap sistem hemodinamik. Peningkatan tekanan

intratorakal akan mengakibatkan menurunnya cardiac output sehingga venous return

akan menurun. Pasien dengan gangguan fungsi ventrikel kiri, penggunaan PEEP

dapat menyebabkan penurunan afterload ventrikel kiri sekaligus memperbaiki fungsi

ventrikel kiri. Sejumlah kecil penelitian juga mengemukakan bahwa mempertahankan

patensi jalan nafas menggunakan PEEP juga akan membantu membersihkan sekret

jalan nafas.

Penggunaan PEEP pada pasien obstruksi paru kronik dapat memperbaiki

aliran udara yang melewati jalan nafas dan mempertahankan patensi jalan nafas. Pada

pasien pneumonitis dan kasus akumulasi sekret yang terjadinya bersamaan dengan

trauma inhalasi, manajamen tekanan jalan nafas lebih optimal dilakukan

dibandingkan oksigenasi; memperbaiki aliran udara pernafasan dan membuang sekret

juga ternyata lebih efektif.

Sekitar tahun 1980an, Dr.Forrest Bird memperkalkan perkusi intrapulmonar

dengan difusi oksigen via pernafasan subtidal dan pembuangan karbon dioksida

konvektif. Saat ini teknologi tersebut dipasarkan sebagai High Frequency Percussive

Ventilation (HFPV). Cioffi melaporkan adanya perbaikan outcome saat menggunakan

HFPV pada pasien trauma inhalasi selama dua dekade. Sepertiyang saat ini beredar di

pasaran, mesin HFPV menimbulkan volume subtidal dengan frekuensi nafas yang

tinggi dan diikuti ekshalasi pasif untuk menciptakan tekanan jalan nafas positif yang

berkelanjutan. Respiration is time-cycled and pressure limited with frequency,

amplitude, inspiratory to expiratory time ratios and waveforms designed to maximize

ventilation and perfusion. Pulse frequency of subtidal volume breaths can be varied to

assist in providing maximal oxygenation. Typically rates of 500–600 are used

initially, but rates can be increased to a maximum of 700–750 if necessary.

Amplitude of subtidal volume breaths can also be adjusted to correlate with patient

peak inspiratory pressure. Interruption of percussive respiration permits passive CO2

elimination. A mandatory respiratory rate is created by variable inspiratory and

expiratory times. Initially, a ventilator rate of approximately one-half to two-thirds

that of conventional respiration is used for this background pressure. Ventilator

variables are subsequently adjusted based on patient response to optimize gas

exchange. Conventional ventilator modes are

typically used for weaning and extubation. More recent experience with HFPV comes

from Hall and coworkers at the University of Texas Southwestern Medical Center.

Mortality benefit with HFPV was observed in patients with burns <40% TBSA when

comparison was made with individuals receiving a conventional ventilation strategy.

Terapi Tambahan untuk Inhalasi Asap

Terapi terkini untuk kasus trauma inhalasi masih berupa terapi suportif.

Perkembangan mengenai terapi klinis yang efektif untuk trauma inhalasi masih

sedikit, namun ada banyak penelitian yang menjanjikan mengenai terapi yang belum

digunakan secara luas pada pasien. Berbeda dengan pemberian antidotum spesifik

seperti yang telah dibahas sebelumnya, kali ini akan dibahas mengenai intervensi

terhadap perubahan fisiologis yang terjadi akibat inhalasi asap.

Agonis Beta

Seperti pada kasus cedera paru akut lainnya, penggunaan bronkokonstriktor

akan memperburuk gangguan pertukaran udara yang sudah terjadi di alveoli yang

cedera. Pengguangaan agen inhalan yang targetnya adalah adrenoreseptor akan

memperbaiki bronkokonstriksi yang terjadi. Lange et al meneliti epinefrin yang

dinebulasi pada domba percobaan sebagai model pasien trauma inhalasi. Peneliti

membagi 15 domba menjadi 3 kelompok: 1 kelompok yang seolah-olah mengalami

cedera dan dua kelompok lainnya yang betul-betul mengalami trauma inhalasi, di

mana salah satunya diterapi menggunakan salin yang dinebulasi dan kelompok

lainnya dinebulasi menggunakan epinefrin per 4 jam. Peneliti menemukan bahwa

kelompok yang dinebulasi dengan epinefrin mengalami penurukan tekanan jalan

nafas dan peningkatan rasio PaO2/FiO2. Pada penelitian lain yang menggunakan

domba sebagai hewan percobaan, dilakukan oleh Palmieri et al, domba yang

mengalami luka bakar dan trauma inhalasi dinebulasi dengan albuterol yang

berkelanjutan dan kelompok lain dinebulasi dengan salin. Pada domba yang

dinebulasi albuterol, tekanan jalan nafas mengalami penurunan dan perbaikan pada

rasio PaO2/FiO2.

Aliran Darah Paru

Pada pasien trauma inhalasi, ada dua target potensial untuk memperbaiki

aliran darah paru. Yang pertama adalah mengurangi akiran darah arteri bronkial

sehingga ikut menurunkan aliran mediator inflamasi sistemik ke dalam paru.

Hamahata et al, sekali lagi menggunakan domba sebagai hewan percobaan, melalui

pembedahan melakukan ligasi arteri bronkial pada satu kelompok domba. Hamahata

juga melakukan pembedahan pada kelompok domba lainnya tetapi tidak melakukan

ligasi arteri bronkial, melainkan membiarkannya tetap intak. Kedua kelompok

kemudian diberi paparan agar mengalami luka bakar dan trauma inhalasi. Kombinasi

cedera ini akan meningkatkan aliran darah bronkial, menimbulkan edema paru, dan

disfungsi pulmonal pada kedua kelompok domba, tetapi tejadi lebih ringan pada

domba yang telah diligasi arteri bronkialnya. Pada kelompok domba lain yang

mengalami luka bakar dan trauma inhalasi, dengan menggunakan kateter,

diinjeksikan etanol 70% ke arteri bronkial 1 jam setelah trauma kemudian

dibandingkan dengan kelompok yang diinjeksi salin serta kelompok tanpa cedera.

Hasilnya sama seperti sebelumnya bahwa trauma mengakibatkan hasil pemeriksaan

analisa gas darah yang buruk dan gangguan mekanik pulmonal, tetapi kelompok

yang mengalami sclerosis artei bronkial akibat etanol mengalami penurunan aliran

darah ke bronkial dan gangguan gas darah serta mekanik pumonalnya lebih ringan

dibanding kelompok lain.

Modulator lain yang digunakan untuk mengatur aliran darah pulmonal yaitu

nitrit oksida (NO) inhalan. NO merupakan vasodilator kuat yang ketika diinhalasi

akan dibawa menuju paru-paru dan menimbulkan vasodilatasi pada pembuluh kapiler

di sekitar area tersebut, kemudian menurunkan ventilasi/perfusi mismatch,

menurunkan shunting, dan hipertensi pulmonal. Enkhbataar meneliti penggunaan NO

inhalan pada domba dibandingkan dengan domba yang tidak mendapatkan NO. Dari

penelitian ini didapatkan peningkatan cairan paru, peningkatan resistensi

mikrovaskular pulmonal, dan meningkatkan tekanan arteri pulmonal. Kelompok

dengan pemberian NO mengalami gangguan yang lebih ringan dibandingkan

kelompok kontrol. Qi et al melakukan penelitian menggunakan NO inhalan pada

anjing dan menemukan lebih sedikit kerusakan pada miokardium anjing yang

menginhalasi NO disbanding kelompok kontrol.

Antikoagulan

Obstruksi jalan nafas yang signifikan merupakan salah satu tanda trauma

inhalasi. Jalan nafas terdiri dari sel epitel, mukus, sel inflamasi, dan fibrin. Fibrin

dijadikan target oleh para peneliti untuk mencegah terjadinya perubahan pada jalan

nafas.

Enkhabataar et al menggunakan tissue plasminogen activator (TPA) inhalan

sebagai agen fibrinolitik dalam percobaannya menggunakan domba yang mengalami

luka bakar dan trauma inhalasi. Peneliti menemukan bahwa domba yang diterapi

dengan TPA mengalami gangguan pertukaran gas pada paru, edema paru,

peningkatan tekanan jalan nafas, dan obstruksi jalan nafas yang lebih ringan

dibandingkan kelompok kontrol. Kelompok yang sama diberikan kombinasi antara

heparin aerosol dan antitrombin rekombinan. Dari penelitian didapatkan bahwa

penggunaan kombinasi agen tersebut memberikan komplians paru yang lebih baik,

edema paru dan obstruksi jalan nafas yang lebih ringan. Heparin yang

dikombinasikan dengan N-asetilsistein diketahui memberikan manfaat yang luas

setelah diujikan oleh Desai, yaitu berupa penurunan angka mortalitas pada pasien

pediatrik trauma inhalasi. Tetapi sebuah penelitian yang dilakukan Holt terhdap 150

pasien trauma inhalasi menunjukkan bahwa tidak ada perbaikan outcome dari pasien

yang mendapat terapi heparin dan asetilsistein inhalan. Bahkan tercatat sekurangnya

satu kasus koagulopati yang terjadi pada pasien trauma inhalasi yang diterapi dengan

heparin dan asetilsistein aerosol.

Heparin juga dikombinasikan dengan agen anti inflamasi lisofyllin yang

diujicobakan pada domba oleh Tasaki et al. Penelitian menggunakan 3 kelompok

domba, satu kelompok dinebulasi dengan salin, kelompok kedua dinebulasi dengan

heparin, dan kelompok tiga dinebulasi dengan heparin juga diberikan lisofyllin

intravena. Kelompok yang mendapatkan kombinasi heparin dan lisofyllin mengalami

penurunan shunt dan sedikit peningkatan gradient tekan oksigen alveolar-arterial.

Kelompok yang hanya diberikan heparin tidak menunjukkan efek yang sama. Efikasi

heparin aerosol pada luka bakar dan trauma inhalasi masih belum jelas.

Agen anti-inflamasi

Pengurangan respon inflamasi lokal setelah trauma inhalasi secara teori dapat

mengurangi mekanisme beban biomaterial yang menyebabkan sumbatan jalan nafas,

sebaik penurunan reaksi fibrosis setelah trauma inhalasi. Ada beberapa agen yang

digunakan untuk mengurangi inflamasi, secara primer pada model hewan.

Thromboxane A2 merupakan mediator inflamasi yang penting pada trauma

paru dan inhibisi dari sintesis tromboxan telah terbukti memperbaiki kerusakan paru

pada hewan percobaan anjing dan babi. Westpal, dkk menggunakan OKY-046

(Ozagrel, 3[4-(1H-imidazol-1ylmethyl)phenyl]-2E- propanoic acid ; Ono

Pharmaceutical Co., Osaka, Japan) sebagai inhibitor sintesis tromboxan pada model

domba yang mengalami trauma inhalasi, pada 16 kelompok domba, 8 kelompok

menerima obat dan delapan lainnya hanya menerima obat yang diantar. Mereka

menemukan bahwa kelompok terapi mengalami penurunan tromboxan pada

pulmonal, dan penurunan resistensi vascular pulmonal dan sedikit penurunan cardiac

output.

Oksigen radikal bebas juga dapat memicu inflamasi selama trauma inhalasi.

Reaksi dari oksigen radikal bebas ini dapat membantu dalam melemahkan respon

patologi inflamasi dari inhalasi asap. Yamamoto dkk menggunakan nebulisasi

gamma-tocopherol (ethanol) pada enam domba dengan luka bakar berat dan inhalasi

asap dan dibandingkan dengan tujuh domba dengan hanya nebulisasi ethanol. Mereka

melihat adanya perbaikan signifikan dalam P:F rasio dari grup tocoferol, penurunan

aliran pulmonal, dan tekanan udara,

Sistem saraf parasimpatis juga memberikan peran pada respon fisiologi dari

trauma jalan nafas dengan cara pelepasan asetilkolin, dimana bekerja pada reseptor

muskarinik untuk konstriksi otot polos pada jalan nafas dan menstimulasi aktifitas

dari kelenjar submukosa. Inhibisi dari reseptor muskarinik blok memberikan efek

penurunan produksi sitokin inflamasi selama trauma pulmo. Jonkam, dkk melakukan

tes terhadap antagonis muskarinik tiotropium bromide pada domba yang tidak

mengalami trauma, dengan asap/trauma inhalasi, dan dengan asap/trauma inhalasi

yang menerima titropium bromide. Domba dengan kombinasi luka bakar dan trauma

inhalasi menunjukkan peningkatan tekanan ventilasi dan obstruksi saluran nafas atas,

penurunan ratio P:F. terapi dengan antagonis reseptor muskarinik menghasilkan lebih

sedikit perubahan patologi pada semua variabel ini.