15
LAPORAN KASUS MANAJEMEN AIRWAY PADA PENDERITA DENGAN TRAUMA CEDERA KEPALA BERAT GCS 5 I. Identitas Pasien  Nama : Wahyudi Umur : 15 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Alamat : BTN Kumala Sari Makassar Tanggal MRS : 21-04-2013 RM : 605416 II. Anamnesis Keluhan Utama : Kesadaran menurun Anamnesis terpimpin: Dialami sejak ± 5 jam SMRS, akibat kecelakaan lalu lintas. Riwayat  pingsan (+), riwayat muntah (+), riwayat keluar darah dari hidung dan telinga (-). Mekanisme trauma : Pasien mengendarai sepeda motor, tiba-tiba rem motor blong, kemudian pasien meloncat dari sepeda motornya hingga terjatuh dan kepalanya membentur aspal. Riwayat menggunakan helm (-). III.  Pemeriksaan fisik Primary survey: A : Patent B : RR=28x/menit C : TD=130/80 mmHg, N=96x/menit D : GCS=5 (E1M3V1), pupil anisokor Φ 4 mm/2 mm E : T=36,5˚C 

trauma kepala berat

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: trauma kepala berat

7/30/2019 trauma kepala berat

http://slidepdf.com/reader/full/trauma-kepala-berat 1/15

LAPORAN KASUS

MANAJEMEN AIRWAY PADA PENDERITA DENGAN TRAUMA

CEDERA KEPALA BERAT GCS 5

I.  Identitas Pasien

 Nama : Wahyudi

Umur : 15 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : BTN Kumala Sari Makassar 

Tanggal MRS : 21-04-2013

RM : 605416

II.  Anamnesis

Keluhan Utama : Kesadaran menurun

Anamnesis terpimpin:

Dialami sejak ± 5 jam SMRS, akibat kecelakaan lalu lintas. Riwayat

 pingsan (+), riwayat muntah (+), riwayat keluar darah dari hidung dan

telinga (-).

Mekanisme trauma :

Pasien mengendarai sepeda motor, tiba-tiba rem motor blong,

kemudian pasien meloncat dari sepeda motornya hingga terjatuh dan

kepalanya membentur aspal. Riwayat menggunakan helm (-).

III.  Pemeriksaan fisik 

Primary survey:A : Patent

B : RR=28x/menit

C : TD=130/80 mmHg, N=96x/menit

D : GCS=5 (E1M3V1), pupil anisokor Φ 4 mm/2 mm 

E : T=36,5˚C 

Page 2: trauma kepala berat

7/30/2019 trauma kepala berat

http://slidepdf.com/reader/full/trauma-kepala-berat 2/15

Secondary survey:

Regio frontal

I= edema (+), hematoma (+), ekskoriasi uk 5x3 cm;

P= NT sdn

Regio parietal

I= edema (+), tampak luka lecet uk 6x4 cm

P= NT sdn

IV.  Pemeriksaa penunjang

  Laboratorium (21/4/2013)

Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan

WBC 30.24 4.00-10.00 [103/uL]

RBC 4.59 4.00-6.00 [10 /uL]

Hb 13.5 12.00-16.00 [g/dL]

HCT 38.6 37.0-48.0 [%]

PLT 249 150-400 [10 /uL]

  X foto cervical AP (21/4/2013) : Tidak ditemukan kelainan

  X foto thorax AP (21/4/2013) : Tidak ditemukan kelainan

  CT Scan kepala : EDH temporobasal frontal dextra dan fronto

 basal sinistra

V.  Diagnosis

TBI GCS 5 (E1M3V1)

VI.  Rencana penatalaksanaan

Krainiotomi

Page 3: trauma kepala berat

7/30/2019 trauma kepala berat

http://slidepdf.com/reader/full/trauma-kepala-berat 3/15

VII.  Penatalaksanaan awal

  O2 via intubasi endotrakheal 10 lpm

  IVFD RL 28 tpm

  Inj. Ceftriaxon 1 gr/12j/iv

  Inj. Ranitidin 1 amp/8 jam/iv

  Inj. Piracetam 3 gr/8 jam/iv

  Pasang neck collar 

VIII.  Prosedur intubasi endotrakheal

  Pasien posisi supine dengan iv line 18 G di tangan kiri, IVFD

RL 28 tpm

  Premedikasi fentanyl 100 mcg

  Oksigenasi via face mask, lakukan Sellich Manuver  

  Induksi : propofol 80 mg

  Intubasi dengan ETT ID 7,5 sedalam ± 19 cm dengan fasilitas

Atracurium 20 mg

  Cek bunyi pernapasan ki=ka, Rh -/-, wh -/-

  Fiksasi ETT di sudut kanan bibir 

  Maintenance: O2 via Jackson and Rich sebesar 8 lpm

  Siap transfer ke ruang OK untuk penanganan kraniotomi

Page 4: trauma kepala berat

7/30/2019 trauma kepala berat

http://slidepdf.com/reader/full/trauma-kepala-berat 4/15

IX.  Pembahasan kasus

Seorang laki-laki umur 15 tahun dengan kesadaran menurun post

kraniotomi masuk ICU RSWS dengan keluhan utama kesadaran menurun dengan

GCS 5 (E1M3V1). Pasien sebelumnya mengalami kecelakaan lalu lintas dimana

 pasien terjatuh dengan posisi kepala membentur aspal. Sesaat tiba di UGD,

dilakukan pemeriksaan fisik dan didapatkan hasil: TD=130/80 mmHg,

 N=96x/menit, RR=28x/menit, T=36,5˚C dengan GCS=5 (E1M3V1), pupil

anisokor Φ 4 mm/2 mm. Pasien segera diintubasi untuk menjaga stabilitas jalan

napas dan dipasang neck collar.

Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai lekositosis dengan nilai

WBC= 30.24x103 /ul. Dari gambaran CT Scan menunjukkan adanya perdarahan

epidural di daerah temporobasal frontal dextra dan fronto basal sinistra, sehingga

 pasien segera direncanakan kraniotomi.

Penanganan pertama dilakukan untuk menilai airway. Hipoksemia

merupakan pembunuh utama penderita gawat darurat dan paling cepat

disebabkan oleh sumbatan jalan napas, sehingga penilaian dan pengelolaan jalan

napas harus dilakukan dengan cepat dan tepat. Oleh karena itu pencegahan

hipoksemia merupakan prioritas utama dengan jalan napas dipertahankan terbuka,

ventilasi adekuat, dan pemberian oksigen.

Pasien pada kasus ini kemngkinan mengalami penyumbatan jalan napas

yang disebabkan karena muntahan, darah, dan kondisi pasien yang tidak sadar.

Pada keadaan penurunan kesadaran akan terjadi relaksasi otot-otot, termasuk otot

lidah sehingga bila posisi pasien terlentang pangkal lidah akan jatuh ke posterior 

menutupi orofaring sehingga akan menimbulkan sumbatan jalan napas dan pada

kasus ini ditandai dengan suara napas tambahan yaitu  snooring  (dengkuran).Dalam keadaan ini, pembebasan jalan napas awal dapat dilakukan tanpa alat yaitu

dengan melakukan chin lift atau jaw thrust manuver karena dianggap lebih aman

dilakukan pada penderita dengan dugaan cedera tulang leher (cervical).

Pemasangan collar brace dilakukan untuk imobilisasi kepala dan leher pasien

sekaligus untuk menghindari manipulasi yang berlebihan dari gerakan leher 

sebelum cedera cervical dapat disingkirkan

Page 5: trauma kepala berat

7/30/2019 trauma kepala berat

http://slidepdf.com/reader/full/trauma-kepala-berat 5/15

Muntahan dan darah dapat menyebabkan sumbatan jalan napas yang

ditandai dengan suara napas tambahan berupa  gurgling  (kumuran), namun pada

kasus ini tidak ditemukan adanya bunyi gurgling. Apabila ditemukan adanya

gurgling, maka pembebasan jalan napas dapat dilakukan dengan cara suction

dengan menggunakan kanul yang rigid (rigid dental suction tip) untuk menghisap

darah dan muntahan yang berada di rongga mulut. Apabila, perdarahan di

orofaring sulit untuk dihentikan dan tetap menutupi jalan nafas maka perlu

dipersiapkan tindakan needle crycothyroidotomi.

Pada kasus ini pasien dalam keadaan tidak sadar, maka dilakukan usaha

untuk mempertahankan jalan napas dengan cara definitif yakni berupa

 pemasangan intubasi endotrakeal. Tujuannya adalah untuk mempertahankan jalan

napas, memberikan ventilasi, oksigenasi, dan mencegah terjadinya aspirasi.

Oksigenasi diberikan sebanyak 10L/menit sambil dilakukan monitoring.

Cedera kepala yang dialami oleh pasien ini masuk dalam klasifikasi cedera

kepala berat. Hal ini dapat dilihat dari nilai pemeriksaan GCS dengan hasil 5.

Pada pemeriksaan juga ditemukan pupil anisokor dan penurunan refleks cahaya.

Pupil anisokor merupakan tanda khas adanya hematom epidural, dan pada kasus

ini diperkuat dengan ditemukannya hematom pada daerah temporobasal frontal

dextra dan fronto basal sinistra. Epidural hematom adalah salah satu jenis

 perdarahan intrakranial yang paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak.

Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan dura

meter. Epidural hematom merupakan keadaan neurologis yang bersifat emergensi

dan biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang

lebih besar, sehingga menimbulkan perdarahan yang banyak ke dalam ruang

epidural. Venous epidural hematom berhubungan dengan robekan pembuluh venadan berlangsung perlahan-lahan. Arterial hematom terjadi pada salah satu cabang

arteri meningea media yang terletak di bawah tulang temporal dan akan terjadi

sangat cepat. Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan

tekanan pada lobus temporalis otak ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini

menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran

tentorium. Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan

terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intrakranial yang

Page 6: trauma kepala berat

7/30/2019 trauma kepala berat

http://slidepdf.com/reader/full/trauma-kepala-berat 6/15

 besar. Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil. Pasien tidak 

mengalami lucid interval karena pada epidural hematoma dengan trauma primer 

 berat, pasien langsung tidak sadarkan diri.

Pasien diberikan cairan secukupnya yakni RL sebanyak 28 tpm sebagai

resusitasi korban agar tetap normovolemia sekaligus mencegah terjadinya

hipotensi. Selanjutnya diberikan pengobatan seperti Ranitidin untuk mencegah

 perdarahan gastrointestinal.

Pada kasus ini, oleh bagian bedah syaraf pasien direncanakan cito untuk 

dilakukan kraniotomi, dimana setelah dikraniotomi, pasien segera ditransfer ke

ICU untuk mendapatkan penanganan intensif.

Page 7: trauma kepala berat

7/30/2019 trauma kepala berat

http://slidepdf.com/reader/full/trauma-kepala-berat 7/15

X.  Pembahasan Teori

I.  Pendahuluan

Pembunuh yang tercepat pada penderita trauma adalah

ketidakmampuan untuk mengantarkan darah yang teroksigenisasi ke otak 

dan struktur vital lainnya. Pencegahan hipoksemia memerlukan airway

yang terlindungi, terbuka dan ventilasi yang cukup merupakan prioritas

yang harus didahulukan dibanding yang lainnya. Bagaimana mungkin

dapat memenuhi kebutuhan oksigen apabila jalan napasnya tersumbat,

apalagi jika mengalami sumbatan total. Semua penderita trauma

memerlukan oksigen. Oleh karena itu setiap gangguan pada airway harus

segera ditangani.

Gangguan pada airway dapat timbul secara mendadak atau

 perlahan, dapat sebagian atau total. Penderita dengan penurunan kesadaran

mempunyai resiko tinggi terhadap sumbatan airway dan sering kali

memerlukan pemasangan airway definitif. Pada penderita trauma terutama

yang mengalami cedera kepala, menjaga oksigenisasi dan mencegah

hiperkarbia merupakan hal yang utama. Apabila airway penderita

tersumbat total atau adanya distress pernapasan maka usaha untuk 

 pemasangan alat airway definitif (intubasi) harus segera dilakukan.

II.  Klasifikasi Cedera Kepala

Jika dilihat dari ringan sampai berat, maka dapat kita lihat sebagai

 berikut:

a. 

Cedera kepala ringan ( CKR ) : GCS antara 13-15, Dapat terjadikehilangan kesadaran kurang dari 30 menit, tetapi ada yang

menyebut kurang dari 2 jam, jika ada penyerta seperti fraktur 

tengkorak, kontusio atau temotom (sekitar 55% ). 

 b.  Cedera kepala kepala sedang ( CKS ) : GCS antara 9-12 Hilang

kesadaran atau amnesia antara 30 menit sampai 24 jam, dapat

mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan (bingung ).

Page 8: trauma kepala berat

7/30/2019 trauma kepala berat

http://slidepdf.com/reader/full/trauma-kepala-berat 8/15

c.  Cedera kepala berat ( CKB ) : GCS antara 3-8, Hilang kesadaran

lebih dari 24 jam, juga meliputi contusio cerebral, laserasi atau

adanya hematoma atau edema.

III.  Prinsip penanganan awal 

Prinsip penanganan awal pada pasien trauma meliputi survei

 primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal

yang diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation, disability,

dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada

 penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei

 primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan

mencegah gangguan homeostasis otak. Survei sekunder dan tersier yang lebih

komprehensif akan mengikuti pemeriksaan primer 

Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kepala

ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan

 patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut:

a.  volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah

supratentorial atau lebih dari 20 cc di daerah infratentorial

 b.  kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis,

serta gejala dan tanda fokal neurologis semakin berat

c.  terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat

d.   pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm

e.  terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.

f.  terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT

scang.  terjadi gejala akan terjadi herniasi otak 

h.  terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis.

Bila penderita mengalami penurunan kesadaran maka pangkal

lidah kemungkinan akan jatuh kebelakang dan menyumbat hipofaring.

Sumbatan seperti ini dapat segera diatasi dengan melakukan hiperekstensi

(ditengadahkan), tetapi tindakan ini tidak diperbolehkan pada penderita

Page 9: trauma kepala berat

7/30/2019 trauma kepala berat

http://slidepdf.com/reader/full/trauma-kepala-berat 9/15

trauma yang dicurigai mengalami fraktur servikal (patah tulang leher).

 pada penderita trauma dengan kecurigaan patah tulang leher maka dapat

diatasi dengan melakukan pengangkatan dagu (Chin lift manuver) atau

dengan mendorong rahang bawah kearah depan (jaw thrust manuver).

Airway (jalan napas selanjutnya dapat dipertahankan dengan

oropharyngeal airway (atau di rumah sakit terkenal dengan gudel) atau

dengan menggunakan nasopharyngeal airway.

Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat

menyebabkan atau memperburuk cedera servikal dan spinal. Oleh karena

itu selama melakukan tindakan harus selalu menjaga kestabilan leher pada

 posisi segaris (In line immobilization) dengan fikasasi kepala atau

menggunakan Neck Collar (Bidai Leher).

IV.  Pengelolaan jalan napas

Memeriksa dan menjaga jalan nafas selalu menjadi prioritas utama.

Jika pasien dapat bicara biasanya jalan nafasnya bersih, tapi pada pasien

yang tidak sadar cenderung memerlukan alat bantu jalan nafas dan

ventilasi. Tanda penting adanya suatu sumbatan meliputi snoring atau

gurgling, stridor, dan pergerakan dada paradoksal. Adanya benda asing

harus dipertimbangkan pada pasien yang tidak sadar. Penatalaksanaan

 jalan nafas lebih lanjut (seperti intubasi endotracheal, cricothyrotomy, atau

tracheostomy) adalah indikasi jikaterjadi apneu, obstruksi yang menetap,

cedera kepala berat, traumamaxillofacial, trauma tembus leher dengan

hematoma yang luas, atau traumadada yang berat. Trauma cervical jarang

 pada pasien yang sadar tanpa gejala nyeri dan nyeri tekan di leher.Lima kriteria yang menjadi resiko dalam meningkatkan

ketidakstabilan tulang belakang servikal: (1) nyeri leher, (2) nyeri distraksi

yang berat, (3) tanda dan gejala neurologis apapun, (4) intoksikasi, dan (5) kehilangan

kesadaran. Fraktur tulang belakang servikal harus dicurigai jikaada salah

satu dari 5 kriteria tersebut muncul bahkan jika tidak diketahui adanya

trauma di atas klavikula. Bahkan dengan kriteria ini, angka kejadian

trauma tulang belakang servikal kira-kira 2%. Angka kejadian

Page 10: trauma kepala berat

7/30/2019 trauma kepala berat

http://slidepdf.com/reader/full/trauma-kepala-berat 10/15

ketidakstabilan tulang belakang servikal meningkat menjadi 10% pada cedera kepala

 berat. Untuk mencegah hiperekstensi leher, manuver Jaw-thrust dianjurkan

untuk menjaga jalan nafas. Jalan nafas lewat mulut dan hidung dapat

membantu menjaga patensi jalan nafas.

Pasien tidak sadar dengan trauma mayor harus dipertimbangkan

memiliki resiko terjadinya aspirasi, dan jalan nafas harusdiamankan segera

dengan endotracheal tube atau trakeostomi. Hiperekstensi leher dan traksi

aksial yang luas harus dihindari ketika ketidakstabilan tulang belakang

servikal dicurigai. Imobilisasi manual dari kepala dan leher oleh asisten

harus dilakukan untuk menstabilisasikan tulang belakang servikal selama

 pemasangan laringoskop (manual in-line stabilization´ atau MILS). Seorang

asisten harus meletakkan tangannya pada sisi kepala, menahan oksiput dan

mencegah adanya rotasi kepala. Pada studi telah mendemonstrasikan

 pergerakan leher, khususnya pada C1 dan C2, selama pemberian ventilasi

dengan masker dan pemasangan laringoskop direk tanpa menjaga stabilisasi (

contoh MILS, traksi aksial, bantal pasir, fore head tape, collar lunak,

collar Philadelphia/keras).

Dari semua tehnik ini, MILS mungkin tehnik yang paling efektif,

namun tehnik tersebut membuat pemasangan laringoskop direk menjadi

sulit. Atas alasan tersebut banyak yang menyukai menggunakan intubasi

nasal (buta atau fiberoptik) pada pasien yang bernafas spontan dengan

kecurigaan adanya trauma cervical, walaupun tehnik ini ada hubungannya

dengan resiko tinggi terjadinya aspirasi paru. Kebanyakan ahli lebih

menyukai intubasi oral,dan tehnik ini harus dipertimbangkan pada pasien

yang apneu dan yang membutuhkan intubasi secepatnya. Lebih lanjut,intubasi nasal harusdihindari pada pasien dengan fraktur tulang wajah dan basis cranii.

Jika obturator esophageal telah dipasang, alat tersebut jangan dipindahkan

sampai trakea diintubasi karena kemungkinan adanya regurgutasi.

Trauma laring membuat keadaan bertambah buruk. Trauma

terbuka kemungkinan berhubungan dengan perdarahan dari pembuluh darah besar di

leher, obstruksi dari hematom atau oedem emfisema subcutan, trauma

cervical. Trauma laring tertutup kurang dapat terlihat namun dapat

Page 11: trauma kepala berat

7/30/2019 trauma kepala berat

http://slidepdf.com/reader/full/trauma-kepala-berat 11/15

 bermanifes sebagai krepitasi leher, hematom, disfagia, hemoptisis atau

fonasi yang buruk. Intubasi dalam keadaan sadar dengan endotrakeal tube

yang kecil (6.0 pada dewasa) melalui penggunaan laringoskop direk atau

 bronkoskopi fiberoptik dengan anesthesia topical dapat dilakukan jika

laring dapat divisualisasikan. Jika trauma wajah dan leher yang tidak 

memungkinkan intubasi endotrakeal, maka harus mempertimbangkan

trakeostomi dengan anestesi lokal. Obstruksi akut pada trauma jalan nafas

atas mungkin membutuhkan segera krikotirotomi atau trakeostomi

 perkutan atau pembedahan.

Lidah paling sering menyebabkan sumbatan jalan nafas pada

kasus-kasus korban dewasa tidak ada respons, karena pada saat korban

kehilangan kesadaran otot-otot akan menjadi lemas termasuk otot dasar 

lidah yang akan jatuh ke belakang sehingga jalan nafas jadi tertutup.

Penyebab lainnya adalah adanya benda asing terutama pada bayi dan anak.

Penguasan jalan nafas merupakan prioritas pada semua korban.

Prosedurnya sangat bervariasi mulai dari yang sederhana sampai yang

 paling rumit dan penanganan bedah. Tindakan-tindakan yang lain kecil

 peluangnya untuk berhasil bila jalan nafas korban masih terganggu.

Beberapa cara yang dikenal dan sering dilakukan untuk 

membebaskan jalan nafas antara lain:

a.  Angkat dagu tekan dahi (Head tilt and chin lift) 

Teknik ini dilakukan pada korban yang tidak mengalami trauma

 pada kepala, leher maupun tulang belakang.

b.  Pendorongan rahang bawah (jaw thrust) 

Teknik ini digunakan sebagai pengganti teknik angkat dagu tekandahi. Teknik ini sangat sulit dilakukan tetapi merupakan teknik yang aman

untuk membuka jalan nafas bagi korban yang mengalami trauma pada

tulang belakang. Dengan teknik ini, kepala dan leher korban dibuat dalam

 posisi alami atau normal.

c.  Penatalaksanaan jalan nafas lebih lanjut (seperti intubasi endotrakheal,

cricotirotomi, atau tracheostomi).

Page 12: trauma kepala berat

7/30/2019 trauma kepala berat

http://slidepdf.com/reader/full/trauma-kepala-berat 12/15

V.  Pemeriksaan Jalan Nafas 

Setelah jalan nafas terbuka, maka periksalah jalan nafas karena

terbukanya jalan nafas dengan baik dan bersih sangat diperlukan untuk 

 pernafasan adekuat. Keadaan jalan nafas dapat ditentukan bila korban

sadar, respon dan dapat berbicara dengan penolong. Perhatikan

 pengucapannya apakah baik atau terganggu, dan hati-hati memberikan

 penilaian untuk korban dengan gangguan mental.

Untuk korban yang disorientasi, merasa mengambang, bingung

atau tidak respon harus diwaspadai kemungkinan adanya darah, muntah

atau cairan liur berlebihan dalam saluran nafas.

VI.  Membersihkan Jalan Nafas 

a.  Posisi Pemulihan

Bila korban dapat bernafas dengan baik dan tidak ada kecurigaan

adanya cedera leher, tulang punggung atau cedera lainnya yang dapat

 bertambah parah akibat tindakan ini maka letakkan korban dalam posisi

 pemulihan atau dikenal dengan istilah posisi miring mantap.

Posisi ini berguna untuk mencegah sumbatan dan jika ada cairan maka

cairan akan mengalir melalui mulut dan tidak masuk ke dalam saluran

napas.

 b.  Sapuan Jari

Teknik hanya dilakukan untuk penderita yang tidak sadar, penolong

menggunakan jarinya untuk membuang benda yang mengganggu jalan

nafas.

Sebagaimana patokan pada resusitasi awal otak yaitu pendekatan

airway, breathing dan circulasi kemudian tekanan intra kranial. Data klinis

menunjukkan bahwa cedera otak sangat rentan terhadap keadaan hipoksia

dan adanya korelasi yang kuat antara defisit neurologis awal dengan

hipotensi dan hipoksia. Bila memungkinakan penderita dapat diberikan

 jalan nafas definitif dengan pemasangan endotracheal tube dengan tujuan

Page 13: trauma kepala berat

7/30/2019 trauma kepala berat

http://slidepdf.com/reader/full/trauma-kepala-berat 13/15

mengamankan jalan nafas, menjamin pertukaran gas, menstabilkan

sirkulasi dan mengelola tekanan intrakranial dengan semestinya.

Kita perlu segera melakukan intubasi bila :

a.  GCS kurang dari 8,

 b.   pasien butuh ventilasi mekanik / kontrol pernafasan,

c.   pasien dengan tiba-tiba memburuk akibat TBI, kerusakan ini perlu

 pengamatan selama 72 jam setelah cedera awal, tetapi biasanya

cukup dalam 24 jam pertama.

Adanya ketidakpastian integritas tulang vertebra cervicalis,

memerlukan penundaan pada tindakan yang memerlukan ekstensi sendi

atlantooccipial, kecuali bersifat urgensi untuk mengontrol jalan nafas,

keadaan ini direkomendasikan untuk dilakukan stabilisasi leher dahulu.

Sekitar 2 % pasien dengan TBI yang bertahan hidup sampai rumah sakit

menurut data memiliki patah tulang cervik.

Pada pemasangan intubasi pasien TBI tidak dianjurkan melalui

nasopharing karena ditakutkan masuk ke dasar tengkorak, intubasi ini bisa

dilakukan dengan menggunakan fiber optik. Fraktur dasar tengkorak 

ditandai dengan adanya cairan cerebro spinal (CSS), rinorhea atau otorhea,

hemotimpanum, atau ekimosis di dalam jaringan periorbital atau di

 belakang telinga. 

Kriteria Intubasi:

a.  GCS < 8

 b.  Pernafasan irregular 

c.  Frekuensi nafas < 10 atau > 40 kali permenit

d. 

Volume tidal < 3,5 ml/kgBBe.  Vital capacity < 15 ml/kgBB

f.  PaO2 < 70 mmHg

g.  PaCO2 > 50 mmHg

Page 14: trauma kepala berat

7/30/2019 trauma kepala berat

http://slidepdf.com/reader/full/trauma-kepala-berat 14/15

VII.  Intubasi Endotrakeal

Tindakan pembedahan terutama yang memerlukan anestesi umum

diperlukan teknik intubasi endotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah suatu

tehnik memasukkan suatu alat berupa pipa ke dalam saluran pernafasan

 bagian atas.

Tujuan dilakukannya intubasi endotrakeal untuk mempertahankan

 jalan nafas agar tetap bebas, mengendalikan oksigenasi dan ventilasi,

mencegah terjadinya aspirasi lambung pada keadaan tidak sadar, tidak ada

refleks batuk ataupun kondisi lambung penuh, sarana gas anestesi menuju

langsung ke trakea, membersihkan saluran trakeobronkial.

Pipa endotrakeal digunakan untuk menghantarkan gas anestesi

langsung ke trakea dan memfasilitasi ventilasi dan oksigenasi. Pipa

endotrakeal terbuat dari plastik   Polyvinyl Chlorida yang merupakan

cetakan dari bentukan jalan nafas. Bahan dari ETT harus bersifat

radioopaq untuk mengetahui posisi ujung distal ke karina dan transparan

agar dapat dilihat sekresi atau aliran udara yang dibuktikan oleh adanya

 pengembungan uap air pada lumen pipa selama ekshalasi. Pipa Murphy

memiliki lubang ( Murphy eye) untuk menurunkan resiko oklusi bagian

 bawah pipa yang berbatas langsung dengan carina atau trakea.

Faktor dari pipa endotrakeal seperti ukuran pipa endotrakeal,

desain pipa endotrakeal, desain kaf pipa endotrakeal, tekanan intrakaf,

lubrikasi pipa endotrakeal, zat aditif bahan pembuat pipa endotrakeal,

 pasien batuk saat masih memakai pipa endotrakeal, suctioning faring yang

 berlebihan selama ekstubasi, insersi pipa lambung (NGT), bahan

 pembersih pipa endotrakeal yang digunakan dapat menyebabkan nyeritenggorok dan suara serak.

Keterampilan pelaku intubasi seperti intubasi yang dilakukan oleh

orang yang belum berpengalaman sering menyebabkan trauma pada bibir 

sering terjadi di sisi kanan bibir atas terjepit diantara bilah laringoskop dan

gigi atas. Keberhasilan intubasi pada laringoskopi pertama juga dikatakan

mempengaruhi insiden komplikasi intubasi endotrakeal. Kesulitan intubasi

/ intubasi berulang mempengaruhi timbulnya komplikasi intubasi

Page 15: trauma kepala berat

7/30/2019 trauma kepala berat

http://slidepdf.com/reader/full/trauma-kepala-berat 15/15

endotrakeal. Pada pasien dengan kesulitan intubasi, penatalaksanaan jalan

napas menjadi lebih sulit sehingga lebih mudah terjadi cedera pada jalan

napas yang menyebabkan nyeri tenggorok. Prosedur intubasi dengan

menekankan krikoid selama laringoskopi memfasilitasi visualisasi pita

suara sehingga manuver ini bisa membantu menghindari kerusakan sekitar 

 pita suara yang disebabkan oleh intubasi yang dipaksakan.

Ada beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi

endotrakheal antara lain :

a.  Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak 

memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus

dilakukan adalah cricothyrotomy pada beberapa kasus

 b.  Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra

servical,sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi

Komplikasi akibat intubasi endotrakeal antara lain nyeri tenggorok,

suara serak, paralisa pita suara, edem laring, laring granuloma dan ulser,

glottis dan subglotis granulasi jaringan, trachealstenosis, tracheamalacia,

tracheoesophagial fistula.