16
TRYPANOSOMIASIS 2.7 DEFINISI Penyakit tidur atau tripanosomiasis afrika disebabkan oleh parasit protozoa berflagela yang tergolong ke dalam kompleks Trypanosoma brucei yang ditularkan kepada manusia melalui lalat tsetse. Pada pasien yaang tidak diobati, tripanosoma tersebut pertama-tama menyebabkan penyakit demam yangsetelah beberapa bulan atau tahun kemudian diikuti oleh gangguan neurologi yang progresif dan kematian. 2.8 PARASIT DAN PENULARANNYA Bentuk penyakit tidur di afrika timur (rhodesiense) dan afrika barat (gambiense) masing-masing Disebabkan oleh dua subspesies tripanosoma, yaitu T. Brucei rhodesiense dan T. Brucei gambiense. Kedua subspesies ini Secara morfotologis tidak dapat dibedakan tetapi menyebabkan dua macam penyakit yang secara epidemiologis dan klinis berlainan. Parasit ditularkan oleh lalat tse-tse penghisap darah dan genus Glossina. Serangga tersebut mendapatkan infeksi ketika menghisap darah dari pejamu mamalia yang terinfeksi.setelah melalui sejumlah Siklus multiplikasi di dalam usus tengah (midgut) vektor, parasit bermigrasi ke glandula salivarius dan penularan terjadi ketika parasit tersebut diinokulasukan pada saat menghisap darah

TRIPANOSOMIASIS

  • Upload
    fegx17

  • View
    1.392

  • Download
    10

Embed Size (px)

DESCRIPTION

TRYPANOSOMIASIS2.7 DEFINISIPenyakit tidur atau tripanosomiasis afrika disebabkan oleh parasit protozoa berflagela yang tergolong ke dalam kompleks Trypanosoma brucei yangditularkan kepada manusia melalui lalat tsetse.Pada pasien yaang tidak diobati,tripanosoma tersebut pertama-tama menyebabkan penyakit demam yangsetelah beberapa bulan atau tahun kemudian diikuti oleh gangguan neurologi yang progresif dan kematian. 2.8PARASIT DAN PENULARANNYA Bentuk penyakit tidur di afrika timur (rhodesiense

Citation preview

Page 1: TRIPANOSOMIASIS

TRYPANOSOMIASIS

2.7 DEFINISI

Penyakit tidur atau tripanosomiasis afrika disebabkan oleh parasit protozoa

berflagela yang tergolong ke dalam kompleks Trypanosoma brucei yang

ditularkan kepada manusia melalui lalat tsetse. Pada pasien yaang tidak diobati,

tripanosoma tersebut pertama-tama menyebabkan penyakit demam yangsetelah

beberapa bulan atau tahun kemudian diikuti oleh gangguan neurologi yang

progresif dan kematian.

2.8 PARASIT DAN PENULARANNYA

Bentuk penyakit tidur di afrika timur (rhodesiense) dan afrika barat

(gambiense) masing-masing Disebabkan oleh dua subspesies tripanosoma, yaitu

T. Brucei rhodesiense dan T. Brucei gambiense. Kedua subspesies ini Secara

morfotologis tidak dapat dibedakan tetapi menyebabkan dua macam penyakit

yang secara epidemiologis dan klinis berlainan. Parasit ditularkan oleh lalat tse-tse

penghisap darah dan genus Glossina. Serangga tersebut mendapatkan infeksi

ketika menghisap darah dari pejamu mamalia yang terinfeksi.setelah melalui

sejumlah Siklus multiplikasi di dalam usus tengah (midgut) vektor, parasit

bermigrasi ke glandula salivarius dan penularan terjadi ketika parasit tersebut

diinokulasukan pada saat menghisap darah berikutnya.tripanosoma yang terinjeksi

akan Memperbanyak diri di dalam darah pejamu serta rongga ekstrasel lainnya

dan menghancurkan sistem kekebalan tubuh mamalia untuk waktu yang lama

dengan menjalani variasi antigenik, yaitu suatu proses saat stuktur antigenik

selubung permukaan parasit yang berupa glikoprotein mengalami perubahan

berkala.

Page 2: TRIPANOSOMIASIS

(Kiri) Trypanosoma brucei dalam darah (Giemsa 1000x)

(Kanan) perubahan patologi khas (cuffing perivascular) di bagian otak

pasien dengan sakit tidur (hematoksilin dan eosin 400x)

2.9 PATOGENESIS DAN PATOLOGI

Lesi inflamasi (panosomal) dapat terlihat 1 minggu atau lebih setelah gigitan

lalat tse-tse yang terinfeksi. Keadaan demam yang sistematik kemudian terjadi

pada saat parasit menyebar lewat sistem limfatik dan aliran darah.

Tripanosomiasis sistemik afrika tanpa kelainan pada sistem saraf pusat umumnya

disebut sebagai penyakit stadium I. dalam stadium ini terjadi limfadenopati yang

menyebar luas dan splenomegali, yang mencerminkan adanya proliferasi

limfositik serta histiositik yang mencolok dan invasi sel-sel morula yang

merupakan plasmasit yang mungkin terlibat dalam produksi igM. Endarteritis

dengan infiltrasi perivaskuler baik oleh parasit maupun oleh limfosit dapat terjadi

didalam kelenjar limfe dan lien. Miokarditis sering dijumpai pada pasien yang

menderita penyakit stadium I, khususnya pada infeksi T. Brucei rhodesiense.

Manifestasi hematologi yang menyertai tripanomiasis stadium I mencakup

leukositosis sedang, trombositopenia, dan anemia. Kadar imunoglobulin yang

tinggi dan terutama terdiri atas igM poliklonal merupakan gambaran konstan, dan

anti bodi heterofil, antibodi anti-DNA, serta faktor rematoid sering ditemukan.

Kadar komplek antigen-antibodi yang tinggi dapat memainkan peranan dalam

perusakan jaringan dan peningkatan permeabilitas vaskuler yang mempercepat

penyebarluasan parasit.

Tripanosomiasis stadium II meliputi invasi ke sistem saraf pusat. Keberadaan

tripanosoma dalam daerah perivaskuler disertai dengan infiltrasi intensif sel

mononuklear. Abnormalitas pada cairan serebrospinal mencakup peningkatan

Page 3: TRIPANOSOMIASIS

tekanan, kenaikan konsentrasi total protein, dan pleositositosis. Tripanosoma

sering ditemukan pula dalam cairan serebrospinal.

Serangga triatomine

3.0 EPIDEMIOLOGI

Tripanosoma yang menyebabkan penyakit tidur hanya dijumpai di afrika.

Kurang lebih 20.000 kasus baru dilaporkan setiap tahunnya, tetapi jumlah ini

tentunya merupakan perkiraan dibawah angka yang sebenarnya. Manusia

merupakan satu-satunya resevoir T. B. Gambiense dan infeksi terjadi pada tempat

yang tersebar luas dikawasan hutan hujan tropis Afrika Tengah dan Barat.

Tripanosomiasis gambiense terutama menjadi permasalahan dikalangan penduduk

perdesaan, sedangkan wisatawan jarang terinfeksi oleh parasit ini. Spesies antelop

yang toleran terhadap tripanosoma di daerah padang rumput dan lahan hutan

Afrika Tengah dan Timur merupakan reservoir utama T. b. Rhodesiense. Ternak

juga dapat terinfeksi tetapi umumnya tidak dapat bertahan terhadap serangan

parasit tersebut. Manusia hanya secara insidentil terkena infeksi T. b.

Rhodesiense karena untuk sebagian besar daerah, risiko terjadi akibat kontak

dengan lalat tsetse yang mencari makan dengan mengisap darh hewan liar. Jadi,

penyakit tersebut merupakan ancaman keselamatan kerja bagi pekerja ditaman

safari tempat terdapatnya hewan dan vektor yang terinfeksi. Selain itu, kasus

infeksi T. b. Rhodesiense kadang-kadang terjadi diantara para pengunjung taman

sefari Afrika timur. Selama dua dasawarsa yang lampau, kepada centers of

diasease control telah dilaporkan 16 kasus impor tripanosomiasis Afrika yang

sebagian besar diantaranya disebabkan oleh T. b. Rhodesiense.

Page 4: TRIPANOSOMIASIS

3.1 PERJALANAN KLINIS

Tripanosomal yang nyeri terlihat pada sebagian pasien di tempat parasit

tersebut masuk ke dalam tubuh. Penyebaran secara hematogen dan limfatik

(Stadium I) ditandai dengan dimulainya gejala demam, dan secara khas, dengan

sejumlah serangan suhu yang tinggi selam beberapa hari yang dipisahkan oleh

periode tanpa panas. Limfadenopati timbul secara menonjol pada tripanosomiasis

oleh T. b. gambiense. Kelenjar limfe tampak diskrit, dapat digerakkan, memiliki

konsistensi seperti karet , dan tidak nyeri ketika disentuh. Kelenjar limfe servikal

sering terlihat dan pembesaran kelenjar limfe pada triangulus servikalis posterior

ataupun tanda winterbottom merupakan gambaran klasik pada individu yang

terinfeksi oleh T. b. gambiense. Pruritus sering dijumpai dan ruam yang berbentuk

Lingkaran (circinate) sering terdapat. Hasil pemeriksaan yang tidak selalu

ditemukan adalah malaise, nyeri kepala, atralgia, penurunan berat badan, endema,

hepatosplenomegali, dan takikardia.

Invasi pada sistem saraf pusat ( penyakit stadium II) ditandai oleh timbulnya

manifestasi neurologi protean (sangat bervariasi) yang berangsur-angsur dengan

disertai abnormalitas progresif dalam cairan serbrospinal. Gejala ketidakacuhan

yang progresif dan somnolensia pada siang hari (penyakit tidur) akan terjadi,

kadang-kadang bergantian dengan kegelisahan dan insomnia di malam harinya.

Pandangan yang lesu menyertai gangguan spontanitas dan bicara menjadi

tersendat-sendat serta tidak jelas. Tanda ekstrapiramidal dapat mencakup gerakan

koreiformis, tremor, dan fasikulasi. Ataksia sering ditemukan dan pasien dapat

terlihat menderita penyakit parkinson dengan cara berjalan yang gontai,

hipertonia, dan tremor. Dalam fase terminal, gangguan neurologi yang progresif

berakhir dengan keadaan koma dan kematian.

Perbedaan yang paling mencolok antara tripanosomaiasis di Afrika Barat dan

Timur adalah bahwa bentuk tripanosomiasis yang disebutkan terakhir cendrung

mengikuti perjalanan penyakit yang lebih akut. Secara khas, tanda sistemik infeksi

pada wisatawan seperti gejala demam, malaise, dan nyeri kepala dapat timbul

sebelum akhir perjalanan atau segera sesudah wisatawan tersebut pulang ke

negaranya. Takiardia persisten yang tidak ada hubungannya dengan demam

umumnya dijumpai pada awal perjalanan tripanosomiasis T.b. rhodesiense, dan

Page 5: TRIPANOSOMIASIS

kematian penderita dapat terjadi akibat aritmia serta gagal jantung kongestif

sebelum timbul penyakit sistem saraf pusat. Umumnya tripanosomiasis Afrika

Timur yang tidak diobati akan berakhir dengan kematian dalam tempo beberapa

minggu hingga beberapa bulan, yang sering tanpa perbedaan yang jelas antara

stadium hemolimfatik dan sistem saraf pusat.

3.2 DIAGNOSIS

Diagnosis definitif tripanosomiasis Afrika memerlukan pemeriksaan untuk

menemukan parasit. Jika terdapat syanker, cairan syanker harus diperah keluar

dan diperiksa langsung dengan mikroskop cahaya untuk melihat tripanosoma

yang sangat bergerak (motil). Cairan syanker tersebut juga harus difiksasi dan

diwarnai dengan giemsa. Bahan yang diperoleh lewat pungsi kelenjar limfe

dengan jarum pada awal perjalanan penyakit harus diperiksa dengan cara serupa.

Pemeriksaan preparat basah dan sediaan apus sampel darah yang tebal dan tipis

dengan pewarnaan giemsa juga merupakan pemeriksaan yang bermanfaat. Jika

parasit tidak ditemukan dengan metode pemeriksaan ini, buffy coat dari 10 hingga

15 Ml darah yang diberi antikoagulan atau pellet yang diperoleh melalui

sentrifugasi eluat dari25 hingga 50 ml darah yang dialirkan lewat kolom DEAE-

selulosa harus diperiksa.tripanosoma juga dapat terlihat dalam bahan yang

dipungsi dari sumsum tulang, dan cairan aspirasi tersebut dapat diinokulasikan

dalam media kultur yang cair seperti halnya dalam darah, buffy coat, cairan

aspirasi kelenjar limfe, dan cairan serebrospinal. Ankhirnya infeksi T. b.

rhodesiense dapat dideteksi lewat inokulasi spesimen ini pada binatang mencit

atau tikus yang akan menimbulkan parasitemia yang paten dalam waktu satu atau

dua minggu. Metode pemeriksaan ini sangat sensitif untuk mendeteksi T. b.

rhodesiense, tetapi sayangnya karena spesifisitas pejamu, T.b. gambiensiense

tidak dapat dideteksi dengan teknik ini.

Pemeriksaan cairan serebrospinal mutlak harus dikerjakan pada semua pasien

yang dicurigai dengan penyakit tripanosomiasis Afrika. Peningkatan jumlah sel

dalam cairan serebrospinal merupakan kelainan pertama yang harus ditemukan,

dan peningkatan opening pressure seperti halnya kenaikan kadar protein total serta

igM akan terjadi kemudian. Tripanosoma dapat terlihat dalam sedimen hasil

Page 6: TRIPANOSOMIASIS

pemusingan ciran serebrospinal. Setiap abnormalitas cairan serebrospinal yang

ditemukan pada pasien dengan terlihatnya tripanosoma di dalam spesimen dari

tempat lain harus dilihat sebagai tanda patognomonik untuk kelainan pada sistem

saraf pusat, dan dengan demikian, terapi yang spesifik untuk penyakit sistem saraf

pusat harus diberikan.

Sejumlah pemeriksaan assay serologik sudah tersedia untuk membantu

menegakkan diagnosis tripanosomiasis Afrika, namun sensitivitas dan

spesifisitasnya yang beragam menyebabkan pengambilan keputusan harus

berdasarkan pada pemeriksaan yang memperlihatkan parasit tersebut. Semua tes

ini berguna untuk survai epidemiologik.

3.3 TERAPI

Obat-obat yang secara tradisional digunakan untuk pengobatan tripanosomiasis

Afrika adalah suramin, pertamidin dan senyawa arsen organik. Penambahan yang

baru saja dilakukan pada daftar obat ini adalah eflornitin (difluorometilornitin)

yang sudah mendapat persetujuan dari FDA dalam bulan November 1990 untuk

pengobatan tripanosomiasis afrika Timur. Di Amerika Serikat sendiri, obat-obat

ini dapat diperoleh lewat centers of Disease control. Terapi untuk tripanosomiasis

Afrika harus disesuaikan menurut individu masing-masing berdasarkan

mikroorganisme yang menyebebkan infeksi,ada tidaknya penyakit sistem saraf

pusat, reaksi yang merugikan, dan kadang-kadang resistensi obat. Pemilihan obat

untuk pengobatan tripanosomiasis Afrika dirangkumkan sebagai berikut.

Tripanosomiasis Afrika Barat (T. b. gambiense) stadium I ( cairan

serebrospinal normal) harus diobati dengan suramin atau eflornitin. Pentamidin

dapat digunakan sebagai obat alternatif. Tripanosomiasis Afrika Barat stadium II (

cairan serebrospinal abnormal) harus diobati dengan aeflornitin. Tripanosomiasis

Afrika Timur (T. b. rhodesiense) stadium I harus diobati dengan suramin, dan

pentamidin dapat digunakan sebagai obat alternatif. Karena suramidin dan

pentamidin tidak menembus sistem saraf pusat dengan baik dan eflornitin

memiliki keampuhan yang beragam terhadap T. b. rhodesiense, tripanosomiasis

Afrika Timur stadium II harus diobati dengan melarsoprol, dan pasien yang tidak

dapat mentolerir obat terakhir ini harus diobati dengan triparsamid plus suramidin.

Page 7: TRIPANOSOMIASIS

Suramin sangat efektif terhadap penyakit stadium I, tetapi obat ini dapat

menyebabkan sejumlah akibat yang merugikan dan harus diberikan dibawah

pengawasan dokter yang ketat. Dosis tes intravena 100 mg hingga 200 mg harus

diberikan untuk mengetahui hipersensivitas. Takaran untuk orang dewasa adalah 1

gram intravena yang diberikan pada hari ke-1, 3, 7, 14 dan 21. Susunan

pengobatan untuk anak-anak adalah 20 mg/kg BB (dosis maksimum 1 gram) yang

diberikan intravena pada hari ke-1, 3, 7, 14 dan 21. Obat tersebut diberikan

melalui infus secara perlahan-lahan dengan larutan aqueous 10% yang baru

dibuat.Kurang dari 1 persen dari 20.000 individu pasien memperlihatkan reaksi

yang segera, berat dan dapat membawa kematian terhadap pemberian obat

tersebut; reaksi ini terdiri atas gejala mual, muntah, syok, dan kejanfg-kejang.

Reaksi yang tidak begitu berat mencakup gejala demam, fotofobia, pruritus,

artralgia, ddan erupsi kulit. Kerusakan ginjal merupakan efek merugikan yang

penting dan paling sering ditemukan pada pemakaian suramin. Proteinuria

sepintas sering muncul selama pengobatan. Urinalisis harus dilakukan setiap kali

sebelum pemberian obat, dan pemakaian obati ni harus dihentikan jika proteinuria

bertambah atau tampakl silinder dan sel darah merah di dalam sedimen urin.

Suramin tidak boleh digunakan pada pasien insufisiensi renal.

Eflornitin sangat efektif untuk pengobatan kedua stadium dari tripanosomiasis

Afrika Barat. Dalam uji coba yang menjadi landasan bagi FDA untuk menyetujui

pemakaiannya, eflornitin berhasil menyembuhkan lebih 90% dari 600 individu

pasien individu pasien stadium II. Jadwal pengobatan yang dianjurkan adalah

pemberian 400 mg/kg BB intravena per hari dalam dosis terbagi empat selama

waktu 2 minggu. Pemberian intravena ini harus diikuti oleh pemberian peroral

dengan dosis 300 mg/kg BB perhari selama 3 hingga 4 minggu. Efek yang

merugikan mencakup diare, anemia, trombositopenia, kejang , dan gangguan

pendengaran. Keampuhan eflornitin dalam pengobatan infeksi T. b. rhodesiense

masih belum dapat ditentukan. Takaran yang tinggi dan terapi yang lama akan

merugikan dan dapat mempersulit penyebarluasan pemakaian eflornitin.

.

Pentamidin isoetionat merupakan obat alternatif untuk pasien tripanosomiasis

Afrika stadium I, tetapi kitra harus ingat bahwa sebagian infeksi oleh T.b.

Page 8: TRIPANOSOMIASIS

rhodesiense tidak responsif terhadap obat ini. Takatran untuk orang dewasa

maupun anak-anak adalah 4mg/kg BB per hari yang diberikan secara

intramuskuler atau intravena selama 10 hari. Reaksi merugikan yang segera terjadi

dan sering ditemukan mencakup mual, muntah, takikardia, dan hipotensi. Semua

reaksi ini biasanya berlangsung sepintas dan tidk membuat terapi harus

diberhentikan. Reaksi merugikan lainnya adalah nefrotoksisitas, hasil tes faal hati

yang abnormal, neutroenia, ruam, hipoglikemia, dan abses yang steril.

Senyawa arsenikal melarsorpol merupakan obat pilihan untuk terapi

tripanosomiasis Afrika Timur dengan kelainan yang mengenai sistem saraf pusat.

Melarsoprol akan menyembuhkan kedua stadium penyakit tersebut, dan dengan

demikian pemakaian obat ini juga merupakan indikasi untuk pengobatan pasien

stadium I ddengan pemberian suramin dan/atau petamidin tidak berhasil

menyembuhkan atau kedua obat tersebut tidak ditolerir oleh pasien. Namun,

melarsoprol tidak boleh dijadikan pilihan pertama untuk terapi penyakit stadium I

mengingat toksisitasnya yang relatif tingggi. Pada orang dewasa, obat tersebut

harus diberikan dengan tiga kali pemberian yang masing-masing berlangsung

selama 3 hari. Takaran pemberiannya 2-3,6 mg/kg BB perhari intravena dalam

dosis terbagi tiga selama 3 hari, yang 1 minggu kemudian diikuti oleh pemberian

3,6 mg/kg BB per hari yang juga dalam dosis terbagi tiga dan selama 3 hari.

Pemberian terakhir kemudian diulangi setelah 10 hingga 21 hari kemudian. Pada

pasien yang keadaan umumnya jelek, dianjurkan untuk melakukan pengobatan

dengan suramin dahulu selama 2 hingga 4 hari sebelum memulai pemberian

melarsoprol, dan pemberian obat yang disebbutkan terakhir ini dimulai dengan

dosis awal 18 mg yang kemudian diikuti dengan peningkatan dosis secara

progresif sampai tercapai dosis standar. Untuk pasien anak-anak, takaran total 18

hingga 25 mg/kg BB harus diberikan dalam waktu 1 bulan. Dosis awal 0,36

mg/kg BB intravena harus ditingkatkan secara bertahap hingga tercapai takaran

maksimal 3,6 mg/kg BB dengan interval waktu 1 hingga 5 hari untuk total

pemberian sebanyak 10 kali.

Melarsoprol bersifat sangat toksik dan harus diberikan dengan hati-hati sekali.

Insidensi ensefalopati reaktif pernah dilaporkan dengan angka yang mencapai 18

persen pada beberapa seri kasus. Manifestasi kklinis ensefalopati reaktif

Page 9: TRIPANOSOMIASIS

mencakup demam yang tinggi, nyeri kepala, tremor, gangguan bicara, kejang, dan

bahkan koma serta kematuian. Pemberian melarsoprol harus dihentikan beg itu

terlihat tanda pertama adanya ensefalopati, tetapi pemberian obat ini dapat dimulai

kembali secara hati-hati dengan menggunakan dosis yang lebih kecil beberapa

hari setelah tanda-tanda tersebut menghilang. Ekstravasasi obat akan

menimbulkan reaksi setempat yang hebat, dan muntah, nyeri abdomen,

nefrotoksisitas, serta kerusakan miokard dapat terjadi.

Injeksi intraperitoneal dari cordycepin analog adenosin (3'-deoxyadenosine),

bersama-sama dengan inhibitor (ADA) adenosin deaminase (coformycin atau

deoxycoformycin), obat infeksi Trypanosoma brucei pada tikus. Pengobatan juga

efektif pada tahap ketika trypanosomes menembus ke dalam parenkim otak,

sebagaimana ditentukan oleh immunolabeling ganda,parasit dan sel-sel endotel

pembuluh otak di bagian otak. Pada tahap ini, parasit itu dihilangkan tidak hanya

dari dalam darah tetapi juga dari parenkim otak. Secara paralel dengan

penghapusan parasit,jumlah sel CD45+ inflamasi dalam parenkim otak berkurang.

Perlakuan tidak imunosupresif. Dalam inkubasi vitro dengan cordycepin

mengurangi pertumbuhan T.brucei dan T.cruzi.Serta amazonensis Leishmania dan

L.Administrasi cordycepin ditambah deoxycofomycin untuk tikus yang terinfeksi

T. cruzi juga secara signifikan mengurangi parasitemia. Oleh karena itu analog

nukleosida tahan ADA sebagai pengobatan trypanosomiasis afrika tahap akhir7).

Pengobatan untuk pasien penyakit Afrika Timur stadium II yang tidak dapat

mentolerir pemakaian melarsporol merupakan masalah. Kombinasi senyawa

arsenikal triparsamid dengan suramin merupakan salah satu cara pendekatan yang

memungkinkan, namun keampuhan pengobatan kombinasi ini amat terbatas

karena suramin tidak dapat berpenetrasi kedalam sistem saraf pusat dan

triparsamid jauh lebih tidak efektif terhadap T. b. rhodesiense dibandingkan

terhadap T.b. gambiense. Takaran triparsamid adalah 30 mg/kg BB (maksimum 2

gram) dengan dosis tunggal intravena setiap lima hari sekali untuk total 12 kali

pemberian, dan takaran untuk suramin adalah 10mg/kg BB setiap lima hari sekali

yang juga untuk total 12 suntikan. Triparsamid dapat menyebabkan ensefalopati,

demam, muntah, nyeri abdomen, ruam, tinitus dan sejumlah gejala okuler.

Sebagai alternatif lain, eflornitin dapat diberikan seperti yang digariskan diatas

Page 10: TRIPANOSOMIASIS

kepada pasien-pasien yang tidak bisa mentolerir pemberian melarsoprol; namun,

sebagaimana terlihat, keampuhan eflornitin terhadap T.b. rhodesiense sangat

bervariasi.

3.4 PENCEGAHAN

Penyemprotan rumah dan tempat penampungan hewan dengan insektisida

piretroid untuk membunuh triatomines dan skrining serologis donor darah untuk

menghentikan penularan melalui transfusi darah. program Penyemprotan secara

hati-hati dirancang, dengan persiapan, serangan, dan pengawasan atau tahap

konsolidasi6).