4
8/9/2019 TUANKU RAO http://slidepdf.com/reader/full/tuanku-rao 1/4 TUANKU RAO. TERROR AGAMA ISLAM MAZHAB HAMBALI DI TANAH BATAK Oleh : Batara R. Hutagalung Perang Paderi (Ada yang berpendapat kata ini berasal dari Pidari di Sumatera Barat, dan ada yang berpendapat kata Paderi berasal dari kata Padre, bahasa Portugis, yang artinya pendeta, dalam hal ini adalah ulama) di Sumatera Barat berawal dari pertentangan antara kaum adat dengan kaum ulama. Sebagaimana seluruh wilayah di Asia Tenggara lainnya, sebelum masuknya agama Islam, agama yang dianut masyarakat di Sumatera Barat juga agama Buddha dan Hindu. Sisa-sisa budaya Hindu yang masih ada misalnya sistem matrilineal (garis ibu), yang mirip dengan yang terdapat di India hingga sekarang. Masuknya agama Islam ke Sumatera Utara dan Timur, juga awalnya dibawa oleh pedagang-pedagang dari Gujarat dan Cina. Setelah kembalinya beberapa tokoh Islam dari Mazhab Hambali yang ingin menerapkan alirannya di Sumatera Barat, timbul pertentangan antara kaum adat dan kaum ulama, yang ber - eskalasi kepada konflik bersenjata. Karena tidak kuat melawan kaum ulama (Paderi), kaum adat meminta bantuan Belanda, yang tentu disambut dengan gembira. Maka pecahlah Perang Paderi yang berlangsung dari tahun 1816 sampai 1833. Selama berlangsungnya Perang Paderi, pasukan kaum Paderi bukan hanya berperang melawan kaum adat dan Belanda, melainkan juga menyerang Tanah Batak Selatan, Mandailing, tahun 1816-1820 dan kemudian meng-Islamkan Tanah Batak selatan dengan kekerasan senjata, bahkan di beberapa tempat dengan tindakan yang sangat kejam. Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen ke Tanah Batak, selain agama asli Batak yaitu Parmalim, seperti di hampir di seluruh Nusantara, agama yang berkembang di Sumatera Utara adalah agama Hindu dan Buddha. Sedangkan di Sumatera Barat pada abad 14 berkembang aliran Tantra Çaivite (Shaivite) Mahayana dari agama Buddha, dan hingga tahun 1581 Kerajaan Pagarruyung di Minangkabau masih beragama Hindu.  Agama Islam yang masuk ke Mandailing dinamakan oleh penduduk setempat sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang dari Bonjol. Seperti juga di Jawa Timur dan Banten rakyat setempat yang tidak mau masuk Islam, menyingkir ke utara dan bahkan akibat agresi kaum Paderi dari Bonjol, tak sedikit yang melarikan diri sampai Malaya. Penyerbuan Islam ke Mandailing berawal dari dendam keturunan marga Siregar terhadap dinasti Singamangaraja dan seorang anak hasil incest (hubungan seksual dalam satu keluarga) dari keluarga Singamangaraja X. Ketika bermukim di daerah Muara, di Danau Toba, Marga Siregar sering melakukan tindakan yang tidak disenangi oleh marga-marga lain, sehingga konflik bersenjatapun tidak dapat dihindari. Raja Oloan Sorba Dibanua, kakek moyang dari Dinasti Singamangaraja, memimpin penyerbuan terhadap pemukiman Marga Siregar di Muara. Setelah melihat kekuatan penyerbu yang jauh lebih besar, untuk menyelamatkan anak buah dan keluarganya, peminpin marga Siregar, Raja Porhas Siregar meminta Raja Oloan Sorba Dibanua untuk melakukan perang tanding (satu lawan satu) sesuai tradisi Batak. Menurut tradisi perang tanding Batak, rakyat yang pemimpinnya mati dalam pertarungan satu lawan satu tersebut, harus diperlakukan dengan hormat dan tidak dirampas harta bendanya serta dikawal menuju tempat yang mereka inginkan. Dalam perang tanding itu, Raja Porhas Siregar kalah dan tewas di tangan Raja Oloan Sorba Dibanua. Anak buah Raja Porhas ternyata tidak diperlakukan seperti tradisi perang tanding, melainkan diburu oleh anak buah Raja Oloan sehingga mereka terpaksa melarikan diri ke tebing-tebing yang tinggi di belakang Muara, meningggalkan keluarga dan harta benda. Mereka kemudian bermukim di dataran tinggi Humbang. Pemimpin Marga Siregar yang baru, Togar Natigor Siregar mengucapkan sumpah, yang diikuti oleh seluruh Marga Siregar yang mengikat untuk semua keturunan mereka, yaitu: ³Kembali ke Muara untuk membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya.´

TUANKU RAO

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TUANKU RAO

8/9/2019 TUANKU RAO

http://slidepdf.com/reader/full/tuanku-rao 1/4

TUANKU RAO. TERROR AGAMA ISLAM MAZHAB HAMBALI DI TANAH BATAKOleh : Batara R. Hutagalung

Perang Paderi (Ada yang berpendapat kata ini berasal dari Pidari di Sumatera Barat, dan adayang berpendapat kata Paderi berasal dari kata Padre, bahasa Portugis, yang artinya pendeta, dalam

hal ini adalah ulama) di Sumatera Barat berawal dari pertentangan antara kaum adat dengan kaumulama. Sebagaimana seluruh wilayah di Asia Tenggara lainnya, sebelum masuknya agama Islam,

agama yang dianut masyarakat di Sumatera Barat juga agama Buddha dan Hindu. Sisa-sisa budayaHindu yang masih ada misalnya sistem matrilineal (garis ibu), yang mirip dengan yang terdapat di Indiahingga sekarang. Masuknya agama Islam ke Sumatera Utara dan Timur, juga awalnya dibawa olehpedagang-pedagang dari Gujarat dan Cina.

Setelah kembalinya beberapa tokoh Islam dari Mazhab Hambali yang ingin menerapkanalirannya di Sumatera Barat, timbul pertentangan antara kaum adat dan kaum ulama, yang ber -

eskalasi kepada konflik bersenjata. Karena tidak kuat melawan kaum ulama (Paderi), kaum adatmeminta bantuan Belanda, yang tentu disambut dengan gembira. Maka pecahlah Perang Paderi yangberlangsung dari tahun 1816 sampai 1833.

Selama berlangsungnya Perang Paderi, pasukan kaum Paderi bukan hanya berperangmelawan kaum adat dan Belanda, melainkan juga menyerang Tanah Batak Selatan, Mandailing, tahun

1816-1820 dan kemudian meng-Islamkan Tanah Batak selatan dengan kekerasan senjata, bahkan dibeberapa tempat dengan tindakan yang sangat kejam.

Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen ke Tanah Batak, selain agama asli Batak yaituParmalim, seperti di hampir di seluruh Nusantara, agama yang berkembang di Sumatera Utara adalahagama Hindu dan Buddha. Sedangkan di Sumatera Barat pada abad 14 berkembang aliran Tantra

Çaivite (Shaivite) Mahayana dari agama Buddha, dan hingga tahun 1581 Kerajaan Pagarruyung diMinangkabau masih beragama Hindu.

 Agama Islam yang masuk ke Mandailing dinamakan oleh penduduk setempat sebagai SilomBonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang dari Bonjol. Seperti juga di Jawa Timur danBanten rakyat setempat yang tidak mau masuk Islam, menyingkir ke utara dan bahkan akibat agresi

kaum Paderi dari Bonjol, tak sedikit yang melarikan diri sampai Malaya.Penyerbuan Islam ke Mandailing berawal dari dendam keturunan marga Siregar terhadapdinasti Singamangaraja dan seorang anak hasil incest (hubungan seksual dalam satu keluarga) darikeluarga Singamangaraja X.

Ketika bermukim di daerah Muara, di Danau Toba, Marga Siregar sering melakukan tindakanyang tidak disenangi oleh marga-marga lain, sehingga konflik bersenjatapun tidak dapat dihindari. Raja

Oloan Sorba Dibanua, kakek moyang dari Dinasti Singamangaraja, memimpin penyerbuan terhadappemukiman Marga Siregar di Muara. Setelah melihat kekuatan penyerbu yang jauh lebih besar, untukmenyelamatkan anak buah dan keluarganya, peminpin marga Siregar, Raja Porhas Siregar memintaRaja Oloan Sorba Dibanua untuk melakukan perang tanding (satu lawan satu) sesuai tradisi Batak.Menurut tradisi perang tanding Batak, rakyat yang pemimpinnya mati dalam pertarungan satu lawansatu tersebut, harus diperlakukan dengan hormat dan tidak dirampas harta bendanya serta dikawal

menuju tempat yang mereka inginkan.Dalam perang tanding itu, Raja Porhas Siregar kalah dan tewas di tangan Raja Oloan Sorba

Dibanua. Anak buah Raja Porhas ternyata tidak diperlakukan seperti tradisi perang tanding, melainkandiburu oleh anak buah Raja Oloan sehingga mereka terpaksa melarikan diri ke tebing-tebing yangtinggi di belakang Muara, meningggalkan keluarga dan harta benda. Mereka kemudian bermukim di

dataran tinggi Humbang. Pemimpin Marga Siregar yang baru, Togar Natigor Siregar mengucapkansumpah, yang diikuti oleh seluruh Marga Siregar yang mengikat untuk semua keturunan mereka, yaitu:³Kembali ke Muara untuk membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya.́

Page 2: TUANKU RAO

8/9/2019 TUANKU RAO

http://slidepdf.com/reader/full/tuanku-rao 2/4

Dendam ini baru terbalas setelah 26 generasi, tepatnya tahun 1819, ketika Jatengger Siregar (yang datang bersama pasukan Paderi, di bawah pimpinan Pongkinangolngolan (Tuanku Rao))

memenggal kepala Singamangaraja X, keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, dalam penyerbuan keBakkara, ibu kota Dinasti Singamangaraja.

Ibu dari Pongkinangolngolan adalah Gana Sinambela, putri dari Singamangaraja IX sedangkan

ayahnya adalah Pangeran Gindoporang Sinambela adik dari Singamangaraja IX. Gindoporang dan

Singamangaraja IX adalah putra-putra Singamangaraja VIII. Dengan demikian, Pongkinangolngolanadalah anak hasil hubungan gelap antara Putri Gana Sinambela dengan Pamannya, PangeranGindoporang Sinambela.

Gana Sinambela sendiri adalah kakak dari Singamangaraja X. Walaupun terlahir sebagai anakdi luar nikah, Singamangaraja X sangat mengasihi dan memanjakan keponakannya. Untukmemberikan nama marga, tidak mungkin diberikan marga Sinambela, karena ibunya bermargaSinambela. Namun nama marga sangat penting bagi orang Batak, sehingga Singamangaraja Xmencari jalan keluar untuk masalah ini. Singamangaraja X mempunyai adik perempuan lain, Putri SereSinambela, yang menikah dengan Jongga Simorangkir, seorang hulubalang. Dalam suatu upacaraadat, secara pro forma Pongkinangolngolan ³dijual´ kepada Jongga Simorangkir, danPongkinangolngolan kini bermarga Simorangkir.

Namun kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh 3 orang Datu (tokoh spiritual) yang dipimpin

oleh Datu Amantagor Manurung. Mereka meramalkan, bahwa Pongkinangolngolan suatu hari akanmembunuh pamannya, Singamangaraja X. Oleh karena itu, Pongkinangolngolan harus dibunuh.

Sesuai hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati atas keponakanyang disayanginya. Namun dia memutuskan, bahwa Pongkinangolngolan tidak dipancung kepalanya,melainkan akan ditenggelamkan di Danau Toba. Dia diikat pada sebatang kayu dan badannya dibebani

dengan batu-batu supaya tenggelam.Di tepi Danau Toba, Singamangaraja X pura-pura melakukan pemeriksaan terakhir, namun

dengan menggunakan keris pusaka Gajah Dompak ia melonggarkan tali yang mengikatPongkinangolngolan, sambil menyelipkan satu kantong kulit berisi mata uang perak ke balik pakaianPongkinangolngola. Perbuatan ini tidak diketahui oleh para Datu, karena selain tertutup tubuhnya, jugatertutup tubuh Putri Gana Sinambela yang memeluk dan menangisi putra kesayangannya.

Tubuh Pongkonangolngolan yang terikat kayu dibawa dengan rakit ke tengah Danau dankemudian di buang ke air. Setelah berhasil melepaskan batu-batu dari tubuhnya, dengan berpeganganpada kayu Pongkinangolngolan berhasil mencapai sungai Asahan, di mana kemudian di dekatNarumonda, ia ditolong oleh seorang nelayan, Lintong Marpaung.

Setelah bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok, Pongkinangolngolan

memutuskan untuk pergi ke Minangkabau, karena selalu kuatir suatu hari akan dikenali sebagai orangyang telah dijatuhi hukuman mati oleh Raja Batak.

Di Minangkabau ia mula-mula bekerja pada Datuk Bandaharo Ganggo sebagai perawat kuda.Pada waktu itu, tiga orang tokoh Islam Mazhab Hambali, yaitu Haji Miskin, Haji Piobang dan HajiSumanik baru kembali dari Mekkah dan sedang melakukan penyebaran Mazhab Hambali di

Minangkabau, yang menganut aliran Syi¶ah. Haji Piobang dan Haji Sumanik pernah menjadi pewira dipasukan kavaleri Janitsar Turki. Gerakan mereka mendapat dukungan dari Tuanku Nan Renceh, yang

mempersiapkan tentara untuk melaksanakan gerakan Mazhab Hambali, termasuk rencana untukmengislamkan Mandailing.Tuanku Nan Renceh yang adalah seorang teman Datuk Bandaharo Ganggo, mendengar 

mengenai nasib dan silsilah dari Pongkinangolngolan. Ia memperhitungkan, bahwa

Pongkinangolngolan yang adalah keponakan Singamangaraja X dan sebagai cucu di dalam garis laki-laki dari Singamangaraja VIII, tentu sangat baik untuk digunakan dalam rencana merebut dan

mengIslamkan Tanah Batak. Oleh karena itu, ia meminta kawannya, Datuk Bandaharo agar menyerahkan Pongkinangolngolan kepadanya untuk dididik olehnya.

Page 3: TUANKU RAO

8/9/2019 TUANKU RAO

http://slidepdf.com/reader/full/tuanku-rao 3/4

Pada 9 Rabiu¶ulawal 1219 H (tahun 1804 M), dengan syarat-syarat Khitanan dan Syahadat,Pongkinangolngolan diislamkan dan diberi nama Umar Katab oleh Tuanku Nan Renceh. Nama

tersebut diambil dari nama seorang Panglima Tentara Islam, Umar Chattab. Namun terselip juga asalusul Umar Katab, karena bila dibaca dari belakang, maka akan terbaca : Batak!

Penyebaran Mazhab Hambali dimulai tahun 1804 dengan pemusnahan keluarga Kerajaan

Pagarruyung di Suroaso, yang menolak aliran baru tersebut. Hampir seluruh keluarga Raja

Pagarruyung dipenggal kepalanya oleh pasukan yang dipimpin oleh Tuanku Lelo, yang nama asalnyaadalah Idris Nasution. Hanya beberapa orang saja yang dapat menyelamatkan diri, di antaranya adalahYang Dipertuan Arifin Muning Alamsyah yang melarikan diri ke Kuantan dan kemudian memintabantuan Belanda. Juga putrinya, Puan Gadis dapat menyelamatkan diri, dan pada tahun 1871menceriterakan kisahnya kepada Willem Iskandar.

Umar Katab alias Pongkinangolngolan Sinambela kembali dari Mekkah dan Syria tahun 1815,di mana ia sempat mengikuti pendidikan kemiliteran pada pasukan kavaleri janitsar Turki. Oleh TuankuNan Renceh ia diangkat menjadi perwira tentara Paderi dan diberi gelar Tuanku Rao. Ternyata TuankuNan Renceh menjalankan politik divide et impera seperti Belanda, yaitu menggunakan orang Batakuntuk menyerang Tanah Batak.

Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadhan 1231 H (tahun 1816 M), denganpenyerbuan terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan oleh Marga Lubis. 5.000 orang dari

pasukan berkuda ditambah 6.000 infanteri meluluhlantakkan benteng Muarasipongi, dan seluruhpenduduknya dibantai tanpa menyisakan seorangpun. Kekejaman ini sengaja dilakukan dandisebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan penaklukkan. Setelah itu,satu persatu wilayah Mandailing ditaklukkan oleh pasukan Paderi, yang dipimpin oleh Tuanku Rao danTuanku Lelo, yang adalah putra-putra Batak sendiri. Selain kedua nama ini, ada sejumlah orang Batak

yang telah masuk Islam, ikut pasukan Paderi menyerang Tanak Batak, yaitu Tuanku Tambusai(Harahap), Tuanku Sorik Marapin (Nasution), Tuanku Mandailing (Lubis), Tuanku Asahan (Mansur Marpaung), Tuanku Kotapinang (Alamsyah Dasopang), Tuanku Daulat (Harahap), Tuanku PatuanSoripada (Siregar), Tuanku Saman (Hutagalung), Tuanku Ali Sakti (Jatengger Siregar), TuankuJunjungan (Tahir Daulay) dan Tuanku Marajo (Harahap).

Penyerbuan terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara, dilaksanakan tahun 1819.

Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok dipimpin oleh Jatengger Siregar ikut dalam pasukan penyerang,guna memenuhi sumpah Togar Natigor Siregar dan membalas dendam kepada keturunan Raja OloanSorba Dibanua, yaitu Singamangaraja X. Jatengger Siregar menantang Singamangaraja untukmelakukan perang tanding. Walaupun sudah berusia lanjut, namun Singamangaraja tak gentar danmenerima tantangan Jatengger Siregar yang masih muda. Duel dilakukan dengan menggunakan

pedang di atas kuda.Duel yang tak seimbang berlangsung tak lama. Singamangaraja kalah dan kepalanya

dipenggal oleh pedang Jatengger Siregar. Terpenuhi sudah dendam yang tersimpan selama 26generasi. Kepala Singamangaraja X ditusukkan ke ujung satu tombak dan ditancapkan ke tanah.Orang-orang marga Siregar masih belum puas dan menantang putra-putra Singamangaraja X untuk

perang tanding. Sebelas putra-putra Singamangaraja memenuhi tantangan ini, dan hasilnya adalah 7 ±4 untuk kemenangan putra-putra Singamangaraja. Namun setelah itu, penyerbuan terhadap Benteng

Bakkara terus dilanjutkan, dan sebagaimana di tempat-tempat lain, tak tersisa seorangpun daripenduduk Bakkara, termasuk semua perempuan yang juga tewas dalam pertempuran.Penyerbuan pasukan Paderi terhenti tahun 1820, karena berjangkitnya penyakit kolera dan

epidemi penyakit pes. Dari 150.000 orang tentara Paderi yang memasuki Tanah Batak tahun 1818,

hanya tersisa sekitar 30.000 orang dua tahun kemudian. Sebagian terbesar bukan tewas di medanpetempuran, melainkan mati karena berbagai penyakit.

Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, tahun 1820 Tuanku Rao bermaksud menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga rencana pengIslaman seluruh Tanah Batak takdapat diteruskan. Namun Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya

Page 4: TUANKU RAO

8/9/2019 TUANKU RAO

http://slidepdf.com/reader/full/tuanku-rao 4/4

tetap di Tanah Batak, untuk menghadang masuknya tentara Belanda. Ketika keadaan bertambahparah, akhirnya Tuanku Rao melakukan pembangkangan terhadap perintah Tuanku Imam Bonjol, dan

memerintahkan sisa pasukannya keluar dari Tanah Batak Utara dan kembali ke Selatan.Enam dari panglima pasukan Paderi asal Batak, yaitu Tuanku Mandailing, Tuanku Asahan,

Tuanku Kotapinang, Tuanku Daulat, Tuanku Ali Sakti dan Tuanku Junjungan, tahun 1820

memberontak terhadap penindasan asing dari Bonjol/Minangkabau dan menanggalkan gelar Tuanku

yang dipandang sebagai gelar Minangkabau. Bahkan Jatengger Siregar hanya menyandang gelar tersebut selama tiga hari. Mereka sangat marah atas perilaku pasukan Paderi yang merampok danmenguras Tanah Batak yang telah ditaklukkan. Namun hanya karena ingin balas dendam kepadaSingamangaraja, Jatengger Siregar menahan diri sampai terlaksananya sumpah Togar Natigor Siregar dan ia behasil membunuh Singamangaraja X.

Mansur Marpaung (Tuanku Asahan) dan Alamsyah Dasopang (Tuanku Kotapinang) dengantegas menyatakan tidak mau tunduk lagi kepada Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Nan Renceh, dankemudian mendirikan kesultanan/kerajaan sendiri. Marpaung mendirikan Kesultanan Asahan danmengangkat dirinya menjadi sultan, sedangkan Dasopang mendirikan Kerajaan Kotapinang, dan iamenjadi raja.

Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Air bangis pada 5 September 1821, sedangkanTuanku Lelo (Idris Nasution) tewas dipenggal kepalanya dan kemudian tubuhnya dicincang oleh

Halimah Rangkuti, salah satu tawanan yang dijadikan selirnya.