Upload
wawan-bradeswara
View
53
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Administrasi
Citation preview
REVIEW BUKU
MENCEGAH KORUPSI APBDMELALUI
PENGUATAN KONTROL KOMUNITAS
(Penulis Dr.Ir. Jamal Bake,M.Si)
1
BAGIAN I
MEMAHAMI APBD
A. KONSEP APBD
Pengertian Umum
Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 33 tahun 2004 Tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dijelaskan bahwa Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) didefenisikan sebagai rencana
keuangan tahunan pmerintah yang diajukan oleh presiden dan disetujui dan
ditetapkan dalam bentuk Undang-Undang tentang APBN oleh Dewan
Perwakilan Rakyat DPR RI.
Perkataan keuangan Negara lebih sering digunakan dalam tataran
konsep sementara istilah anggaran Negara lebih relevan digunakan dalam
tataran praktis dan seringkali dimaknai sebagai bagian dari unsur keuangan
Negara. Eckstein, (1981: 5-6) menyebut keuangan Negara disebut sebagai
ilmu yang dapat diuraikannya sebagai berikut. Pertama, keuangan Negara
adalah bidang yang mempelajari akibat-akibat dari anggaran belanja Negara
atas ekonomi, khususnya akibat dari dicapainya tujuan-tujuan ekonomi yang
utama, pertumbuhan, kemantapan, keadilan dan efisiensi. Juga mempelajari
tentang “bagaiman seharusnya”: andaikata kita ingin mencapai tujuan-tujuan
tertentu seperti misalnya pertumbuhan yang cepat, distribusi pendapatan yang
lebih adil, kebijaksanaan-kebijaksanaan yang bagaimana akan dapat
mengarah ke tujuan-tujuan itu. Kedua, keuangan Negara juga membahas
tentang kegiatan-kegiatan penerimaan dan pengeluaran pemerintah, termasuk
penerimaan pajak, dan utang piutang pemerintah.
Keuangan Negara juga mempunyai makna semua hak dan kewajiban
yamg dapat dinilai dengan uang atau segala sesuatu, baik uang maupun
2
barang yang dapat dijadikan milik Negara, berhubung dengan pelaksanaan
hak dan kewajiban (Hadi, 1973: 2). Oleh Subagio, (1988: 11), merilis bahwa
keuangan Negara terdiri atas hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai
dengan uang atau segala sesuatu baik berupa uang maupun barnag yang dapat
dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban.
Makna Filosofis APBD
Jika hakikat pengelolaan anggaran Negara atau anggaran daerah
melalui APBD adalah sama dengan pengelolaan uang rakyat oleh aparat
pemerintah daerah atau aparat yang dipercaya untuk mengelolanya, maka
tidak ada alasan untuk membiarkan aparat pemerintah daerah merencanakan,
menetapkan, melaksanakan, melaporkan dan mempertanggungjawabkan
anggaran yang dikelola melalui APBD itu tanpa memberikan informasi
kepada rakyat. Pemberian informasi mengenai kebijakan dan proses-proses
pengelolaan anggaran kepada khlayak merupakan tuntutan demokrasi,
sekaligus sebagai salah satu wujud dari sebuah proses yang transparan dan
akuntabel dalam pengelolaan anggaran di daerah. Tidak ada alasan sedikitpun
untuk mengabaikan atau tidak melibatkan rakyat dalam proses-proses
pengelolaan anggaran Negara di daerah terutama dalam pengelolaan APBD.
Meskipun dalam banyak diskusi seringkali ditemukan argumentasi pembenar
para aparat pemerintah dan DPRD, bahwa rakyat tidak perlu dilibatkan dalam
proses-proses pengambilan kebijakan khususnya dalam pengelolaan APBD
karena mereka sudah diwakili oleh DPR atau DPRD.
Istilah pertanggungjawaban melalui penyampaian laporan pengelolaan
keuangan Negara memiliki makna berbeda dengan pertanggungjawaban
publik kepada rakyat. Pertanggungjawaban terkait dengan kewenangan yang
dimiliki oleh mereka yang berada dalam struktur pemerintahan, yang diberi
tugas mengelola keuangan Negara berdasarkan aturan perundang-undangan
yang berlaku. Sedangkan pertanggunggugatan publik kepada rakyat
(accountability) terkait dengan mandat atau kepercayaan yang diberikan oleh
3
rakyat kepada aparat pemerintah yang dipilih untuk menduduki jabatan yang
bertugas sebagai pengelola keuangan Negara atau anggaran.
Pertanggungjawaban (responsibility) serta pertanggunggugatan
(accountability) saja belum cukup, tanpa disertai dengan adanya pelibatan
atau partisipasi rakyat dalam proses-proses pengelolaan anggaran Negara.
Selama ini, upaya melibatkan rakyat dikontrofersikan dengan melibatkan
wakil rakyat. Padahal itu belum cukup, ketika para wakil rakyat tidak mampu
membawakan aspirasi rakyat. Dalam kondisi seperti itu, keterlibatan rakyat
secara langsung adalah suatu keniscayaan.
Prinsip Pengelolaan APBD
Pengelolaan anggaran daerah yang baik adalah menganut paradigma
yang selaras dengan tujuan desentralisasi dan otonomi daerah yang
mendorong tercapainya percepatan pembangunan daerah, memaksimalkan
penyelenggaraan layanan publik guna mewujudkan kesejahteraan serta
kemandirian rakyat dan daerah. Pengelolaan anggaran daerah secara
substansif harus memperkuat dan mampu mewujudkan terselenggaranya
kewenagan pemerintah daerah dalam hal mengatur, mengurus dan
menyelenggarakan pemerintahan daerahnya yang ototnom. Dalam kaitan itu,
menurut Mardiasmo (2002: 106) pengelolaan anggaran daerah yang di
Indonesia dilakukan melalaui APBD harus dikembangkan sesuai paradigm
sebagai berikut :
1. Anggaran harus bertumpu pada pemenuhan kebutuhan dan kepentingan
publik/masyarakat luas.
2. Anggaran daerah harus dikelola dengan hati-hati untuk memberikan hasil
yang lebih baik dengan biaya yang serendah mungkin (work better and
cost less).
3. Pengelolaan anggaran daerah harus mampu mencerminkan adanya proses
yang transparan dan akuntabel dan dilakukan secara rasional dalam
keseluruhan siklus anggaran.
4
4. Anggaran daerah harus dikelola dengan pendekatan kinerja (performance
oriented) untuk seluruh jenis pengeluaran maupun pendapatan.apan
system
5. Anggaran daerah harus mampu menumnuhkan profesionslisme kerja di
setiap organisasi terkait.
6. Penerapan sistem anggaran berbasis kinerja harus dapat memberikan
keleluasaan bagi para pelaksananya untuk memaksimalkan pengelolaan
dana yang ada dengan memperhatikan prinsip nilai kemanfaatan atas
pengeluaran yang dilakukan (value of money).
Prinsip pokok pengelolaan keuangan daerah menurut World Bank,
(1998) dan Madiasmo (2002: 106-107 adalah :
1. Komprehensif dan disiplin.
2. Fleksibilitas
3. Terprediksi
4. Kejujuran
5. Informatif
6. Transparan dan akuntabilitas
Proses Siklus APBD
Pertama, fungsi legislasi yakni sebagai lembaga yang memiliki
kewenangan dalam menetapkan Peraturan Daerah (Perda) terkait dengan
penyelenggaraan pemerintah di daerah. Kedua, fungsi budgeting yakni memiliki
kewenangan dalam memutuskan anggaran dan belanja daerah (APBD). Ketiga,
fungsi pengawasan (controlling) yakni mengawasi jalannya penyelenggaraan
pemerintah daerah. Dalam kaitan dengan ketiga fungsinya itulah aka DPRD ikut
membahas dan membuat ketetapan mengenai APBD yang dibuat dalam bentuk
Peraturan Daerah (Perda) setiap tahun, menentukan kebijakan anggaran, serta
mengawasi pengelolaan anggaran yang dilakukan oleh eksekutif atau pemerintah
daerah.
5
Secara skematis, prosedur umum penyusunan kebijakan APBD tingkat
provinsi, kabupaten/kota yang dipraktekan di Indonesia saat ini, digambarkan
sebagai berikut :
Gambar 1. Mekanisme Penyusunan dan Penetapan APBD
Struktur APBD
Penerimaan dan pendapatan daerah. Penerimaan daerah adalah setiap
uang yang masuk ke dalam kas daerah. Dalam pelaksanaan desentralisasi
keuangan di Indonesia, menurut UU 33/2004, tentang perimbangan keuangan
pusat dan daerah, penerimaan daerah terdiri atas pendapatan daerah dan
pembiayaan.
6
GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA
Menyusun RAPBD/Nota Keuangan Daerah
RAPBD dibahas dan disidangkan PPRD
Gubernur/Bupati/Walikota menggunakan APBN tahun lalu
DPRD
APBD ditetapkan dengan/Perda
Diajukan
DitolakDiterima
Struktur keuangan pemerintahan daerah di Indonesia menurut UU
33/2004 digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2: Struktur Keuangan Daerah sesuai UU 33/2004 tentang Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah.
7
Keuangan Daerah
Pendapatan daerah : PAD (Pajak,
Retribusi, Lain-Lain PAD), Laba
BUMD dan lain-lain
Pendapatan yang sah
Dana perimbangan: Dana Alokasi
Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana
Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil dari
SDA
BAGIAN II
KORUPSI DAN CARA KERJA PARA KORUPTOR
A. APA ITU KORUPSI?
Korupsi memiliki pengertian yang jamak, tergantung pada cara dan
tujuan memaknainya. Korupsi berasal dari bahasa Latin: corruption atau
corruptus. Corruptio berasal dari kata corrumpere, yakni dalam bahasa Latin
yang lebih tua.
Korupsi adalah pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi.
Defenisi ini tidak hanya menyangkut korupsi uang, atau mengambil uang dari
kas Negara secara langsung, tetapi juga menyangkut korupsi dalam politik
dan korupsi dalam proses administrasi.
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi, diantaranya:
1) memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan); 2) penggelapan
dalam jabatan; 3) pemerasan dengan menggunakan jabatan; 4) ikut serta
dalam mengadakan barang dan jasa bagi pegawai negeri/penyelenggara
Negara; 5) menerima gratifikasi bagi pegawai negeri atau penyelenggara
Negara.
B. KORUPSI DI MATA PUBLIK
Korupsi menurut pandangan masyarakat adalah penyelewengan
yang dilakukan oleh oknum aparat akibat dari pemerintah yang otoriter dan
diktator.
Menurut Alatas, tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi
adalah penyuapan, pemerasan, dan nepotisme (Triandayani, dkk 2002: 2).
Korupsi adalah perbuatan menyalahi hukum, yang berdampak pada
peningkatan kemiskinan dan kemelaratan rakyat yang tidak mampu. Dalam
kondisi masyarakat yang miskin, proses-proses eksploitasi mudah dilakukan.
8
Contoh kasus usaha penambangan emas illegal di Kalimantan,
mereka mengambil tenaga kerja transmigran dari Jawa dan Madura. Mereka
adalah orang miskin dan memerlukan sumber pendapatan tetap. Para pekerja
itu dimodali oleh para cukong lokal, dan mereka membayar modal pinjaman
dengan emas yang diperolehnya, dimana harga jual (nilai) emas ditentukan
oleh pemilik modal. Dalam sistem seperti itu, pemilik modal paling untung.
Mereka tinggal goyang-goyang kaki, tidak menanggung resiko apapun,
mereka memperoleh keuntungan besar. Sebaliknya para pekerja yang
menanggung resiko bias terkubur pada saat menambang emas, hanya
memperoleh sebagian kecil dari jerih payah yang mereka lakukan.
C. MODUS OPERANDI
Berbagai modus korupsi pengelolaan anggaran pembangunan
dalam pengelolaan APBD sebagaimana terjadi selama ini, masih terus
dipraktikkan. Berbagai modus korupsi dalam pengelolaan anggaran dan juga
pengelolaan APBD di pemerintahan antara lain diuraikan sebagai berikut :
Mark up perencanaan anggaran. Praktek mark up akan
menaikan harga dan biaya, prosesnya dilakukan dengan menetapkan anggaran
melampaui kebutuhan yang sebenarnya.
Pengurangan volume pekerjaan/kegiatan. Praktek ini biasanya
dilakukan pada proyek-proyek atau pekerjaan fisik seperti ketebalan aspal
atau beton dalam pembangunan jalan, dari 5:1 menjadi 8 : 1 dalam
pembangunan gedung atau jalan.
Pemotongan langsung sector objek. Biasanya dilakukan oleh
pemimpin proyek pada saat proses tender pelaksanaan suatu pekerjaan.
Pertanggungjawaban fiktif. Pelaporan atau pertanggungjawaban
fiktif atas pelaksanaan suatu proyek.
Pengalihan pos anggaran. Pengalihan pos anggaran dari suatu
proyek ke proyek lain, dengan berbagai argumentasi.
9
Pertanggungjawaban ganda (duplikasi proyek). Biasanya
dilakukan pada pekerjaan yang sama, objek sama tetapi dilakukan oleh
lembaga atau instansi yang lain.
Penggelapan penerimaan. Penggelapan penerimaan dilakukan
oleh aparat atau mereka yang bertugas pada lembaga atau instansi yang
mengelola penerimaan Negara.
Pengalihan dana. Pengalihan dana secara diam-diam dari kas
Negara atau bank negara/Daerah ke kas pribadi (pencurian).
Pungutan liar. Menarik pungutan yang tidak resmi atau pungutan
liar atau sogok menyogok.
Politik uang. Permainan politik uang biasanya terjadi dalam proses
pemilihan kepala searah yang diperankan oleh DPRD bersama calon kepala
daerah, atau penetapan kebijakan tertentu di daerah langsung, politik uang
mulai berubah pola.
D. CARA KERJA PARA KORUPTOR
Korupsi direncanakan dengan matang mulai tahap proses
penyusunan program maupun dalam penetapan anggaran. Banyak contoh
kasus yang dapat ditunjukkan untuk dapat menjelaskan seperti apa cara-cara
koruptor dalam menguras uang Negara secara terencana. Misalnya, korupsi
yang terungkap di lingkungan KPU Pusat 2004 lalu, merupakan bagian dari
korupsi yang direncanakan. Para anggota KPU menyusun anggaran untuk
asuransi sebesar Rp. 15 milyar. Ternyata seluruh dana itu tidak digunakan
sepenuhnya untuk membayar premi asuransi. Premi asuransi yang dibayarkan
kepada perusahaan asuransi hanya kurang lebih Rp. 5 milyar, sedangkan
sisanya jatuh ke tangan oknum anggota KPU sebesar Rp. 5 milyar yang Rp. 5
milyar lagi jatuh ke tangan perantara.
Tingkat korupsi yang tinggi dalam pengelolaan anggaran terus
terjadi secara berkesinambungan tanpa dapat dicegah oleh para pengendali
dan pengawas keuangan Negara. Hal ini disebabkan oleh antara lain :
10
Pertama, korupsi telah dirancang sedemikian rupa mulai dari
proses perencanaan program dan penetapan anggaran di masing-masing unit
kerja yang dilakukan oleh pengelola kegiatan.
Kedua, untuk melancarkan korupsi yang telah direncanakan di
lingkungan instansi itu, sering dilakukan secara bersama-sama melalui
kerjasama yang rapi.
Ketiga, untuk sisi pendapatan, teknik perencanaan korupsi adalah
melalui cara meminimalkan target dibandingkan dengan potensi yang ada.
Keempat, untuk memperlancar perencanaan yang dikemukakan
pada bagian pertama, kedua, dan ketiga,dilakukan perekrutan pejabat atau
personil-personil yang memegang unit kerja dalam pelaksanaan korupsi.
Kelima, untuk lancarnya pelaksanaan korupsi lintas instansi, trend
yang berkembang akhir-akhir ini dailakukan dengan merekrut oknum-oknum
dari Departemen Keuangan untuk dipromosikan ke instansi perencana
korupsi, dan di tempatkan pada posisi/jabatan kepala bagian keuangan atau
kepala biro keuangan atau sekretaris jenderal.
E. STRATEGI KORUPTOR
Surachmin (2005) menceritakan pengalamannya secara lugas
mengenai berbagai praktik korupsi di Indonesia. Setelah bekerja kurang lebih
dua puluh tahun di bidang pemeriksa, analisa, evaluasi hasil pemeriksaan,
hasil investigasi, penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus korupsi, serta
pengalamannya sebagai auditor dan pengajar hukum keuangan Negara dan
tindak pidana korupsi, ia menguraikan berbagai contoh praktik korupsi di
Indonesia seperti digambarkan berikut ini.
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Dalam proses pengadaan barang dan jasa. Plelangan pengadaan
barang dan jasa dilakukan secara proforma atau formalitas dengan maksud
melakukan pengaturan bersama untuk mengatur atau memark-up harga
11
penawaran. Secara administrasi, pelelangan barang dan jasa dilakukan secara
“arisan” dan tidak menunjukkan adanya suatu persaingan yang sehat antara
kompetensi di antara para peserta tender.
Mengarahkan Rekanan
Panitia pengadaan dan/atau pengguna barang dan jasa berusaha
mengarahkan rekanan peserta lelang tertentu untuk menjadi pemenang lelang.
Modus Operandi: (1) Panitia pengadaan mengubah sistem dan tatacara
evaluasi penawaran serta persyaratan administrasi dan teknis, sehingga tidak
sesuai dengan sistem dan tatacara yang telah ditetapkan dalam dokumen
pengadaan.
Penetapan HPS Tinggi
Penetapan Harga Patokan Setempat (HPS) sengaja dihitung dan
ditetapkan setinggi mungkin atau dilakukan mark-up, dan tidak disusun
berdasarkan survey yang benar atau tidak menyusun rencana anggaran sesuai
dengan harga pasar setempat.
Pemalsuan Jaminan
Pada beberapa kontrak pekerjaan pengadaan barang dan jasa sering
ditemukan adanya pemalsuan jaminan lelang, pelaksanaan maupun jaminan
pemeliharaan.
Pengalihan atau Pencaloan
Dalam proses pencaloan, seluruh pekerjaan utama diserahkan oleh
rekanan pemenang lelang kepada pihak ketiga atau sub kontraktor. Modus
operandinya, penyedia barang atau jasa hanya berfungsi sebagai “makelar” atau
penghubung karena tidak mempunyai kemampuan atau keahlian, peralatan,
pengalaman dan sumber daya lainnya di bidang pengadaan barang atau jasa
tersebut.
12
Pekerjaan Tumpang Tindih
Terjadinya tumpang tindih atau overlapping dalam proses pelaksanaan
pekerjaan pengadaan barang/jasa bisa terjadi karena direkayasa atau kelalaian,
yang biasanya berlanjut dengan kegiatan fiktif atau semi fiktif.
Kegiatan Mendahului Tender
Pelaksanaan pekerjaan mendahului tender terjadi karena adanya ikatan
perjanjian dengan rekanan dalam proses pengadaan barang atau jasa pemerintah,
meskipun belum ada otorisasi atau belum tersedia anggaran atau tidak tersedia
cukup anggaran, pekerjaan dilakukan tanpa ikatan perjanjian atau kontrak.
Menghindari Denda
Proses penghindaran denda dilakukan melalui cara diluar proses yang
wajar dalam mekanisme proses pelaksanaan pekerjaan.
Pekerjaan Tidak Sesuai Ketentuan
Pengadaan barang/jasa yang kualitas dan kuantitas barang/jasa yang
diadakan tidak sesuai dengan yang perjanjian.
Pengadaan Tidak Perlu
Pengadaan barang atau jasa tidak perlu dilakukan oleh para pengelola
anggaran atau pengguna anggaran hanya sekedar mencari keuntungan. Hasil
pengadaan barang/jasa tidak dimanfaatkan atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan
tujuan yang ditetapkan, sehingga menimbulkan pemborosan/kerugian Negara.
Lelang Formalitas
Berdasarkan hasil pengalaman melakukan pemeriksaan penelitian atas
dokumen lelang/tender dapat diketahui adanya tender formalitas yang merugikan
keuangan Negara.
13
Pengadaan Melalui Calo
Proses pengadaan dengan dengan menggunakan calo. Dari hasil
pemeriksaan diketahui bahwa PT X hanya bertindak sebagai perantara dalam
pengadaan barang atau pekerjaan tertentu. Berdasarkan bukti pengiriman barang
yang diterima di lokasi yang ditetapkan, ternyata pabrikan selain sebagai pengirim
juga diketahui dari barang yang dukirim oleh pabrikan yang sekaligus
melaksanakan pemasangan dan perakitan barang yang dikiri tersebut.
Mark Up Berjamaah
Owner’s Estimate (OE) selanjutnya ditulis (OE) atau harga
perhitungan Sendiri (HPS), dibuat oleh panitia lelang dan disahkan oleh pimpinan
proyek (Pimpro) atau Kepala Satuan Kerja dan diketahui oleh atasan Pimpro/
Kepala Satuan Kerja OE atau HPS merupakan acuan bagi panitia lelang dalam
melakukan evaluasi penawaran harga pengadaan barang dan jasa.
Pengadaan Fiktif Total
Dalam pengadaan barang/jasa pelelangan atau penunjukkan langsung
dilakukan secara formal dan diikuti dengan pembuatan surat perjanjian serta
dokumen pembayaran dimuat secara lengkap dan tersimpan dengan baik.
Pengadaan Semi Fiktif
Dalam pekerjaan semi fiktif, modus operandinya sama dengan pekerjaan
yang dilaksanakan secara fiktif. Seluruh kegiatan seolah-olah dilakukan dan
dikung dengan dokumen secara lengkap dan menyatakan pekerjaan telah
dikerjakan 100% (seratus persen), untuk mengungkap ketidakbenarannya harus
dilakukan pemeriksaan atau menanyakan ke pengguna (user) atau pengaduan dari
user mengenai ketidaklengkapan mengenai volume atau kekurangan dalam
mencapai hasil kerja yang dicapai.
14
Pengadaan Tidak efektif
Pengadaan barang atau jasa tidak efektif secara normal terjadi
dikarenakan kurangnya koordinasi antara instansi pengadaan dengan instansi atau
unit kerja pengguna.
Menurunkan Kualitas
Teknik korupsi dengan menurunkan kualitas dilakukan dengan cara
menurunkan mutu atau nilai pekerjaan dengan menurunkan kwalitas barang,
kwalitas pekerjaan dan kwalitas proses.
15
BAGIAN III
FAKTOR PENYEBAB, CONTOH KASUS DAN DAMPAK KORUPSI
A. MENGAPA TERJADI KORUPSI?
Secara spesifik, beberapa kondisi yang mendukung mendukung
munculnya kasus-kasus korupsi yang terus berlanjut antara lain: 1)
Konsentrasi kekuasaan dari para pengambil keputusan di pemerintahan sulit
dikontrol dan tidak adanya kewajiban untuk bertanggungjawab langsung
kepada rakyat yang memilihnya; 2) Kurang transparasi di dalam pengambilan
keputusan di pemerintahan; 3) Kampanye-kampanye politik yang mahal,
dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal,
membuat para penguasa manghalalkan segala cara untuk mengembalikan
modal atau utang yang dikeluarkan pada saat berkampanye dalam proses
pemilihan kepala daerah (kasus Indonesia saat ini); perencanaan proyek di
pemerintahan terutama di daerah yang menggunakan anggaran Negara dalam
jumlah besar dan sulit dikendalikan karena kewenangan luas ada di tangan
para penguasa terutama para kepala daerah yang bebas menggunakan
kewenangannya; 5) Adanya konspirasi kekuasaan yang tertutup rapi, dan
kebanyakan orang mementingkan diri sendiri atau jaringan pertemanan; 6)
Lemahnya sistem hukum dan penegakkan hukum yang ada selalu
menyimpang, meringankan koruptor; 7) Kurangnya profesionalisme aparat
baik para pelaksana dalam birokrasi maupun aparat penegak hukum; 8)
Kurangnya kebebasan dan keleluasaan per; 9)Kondisi masyarakat yang
tertutup dan paternalistic; 10) Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil
dibandingkan dengan kebutuhannya; 11) Kondisi rakyat yang tidak tertarik
pada isu-isu di pemerintahan; 12) Lemahnya kontrol atau pengawasan
masyarakat.
16
Menurut Kartono, perilakuk koruptif merupakan perilaku individu
yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeruk keuntungan
pribadi dan merugikan kepentingan umum.
Dalam berbagai referensi, seperti dikemukakan oleh antara lain
Hamzah (1994), World Bank (1999), Lopa (2002) dan Kligaar (2003),
mengidentifikasikan berbagai faktor penyebab korupsi di Indonesia. Beberapa
faktor itu diantaranya diskresi pejabat publik yang terlalu besar, rendahnya
akuntabilitas publik, lemahnya kepemimpinan, gaji pegawai negeri di bawah
kebutuhan hidup, kemiskinan, moralitas rendah, disiplin rendah, perilaku
konsumtif, pengawasan dalam organisasi kurang, atasan memberi contoh
yang menyimpang, kesempatan melakukan korupsi tersedia, pengawasan
ekstern lemah, lembaga legislatif tidak berperan sesuai fungsinya, budaya
memberi upeti, budaya permisif, kebiasaan masyarakat tidak mau tahu,
keserakahan penguasa, lemahnya pebegakkan hukum, probalitas untuk
ditangkap dan dihukum dengan berat masih rendah.
Merujuk pada sejumlah referensi, hasil penelitian, pengamatan,
analisa dan evaluasi serta laporan hasil pemeriksaan, Surachmin (2005)
mengidentifikasi sejumlah penyebab terjadinya korupsi di berbagai daerah di
Indonesia seperti diutarakan berikut ini.
- Ketimpangan pendapatan
- Penghasilan rendah
- Kebutuhan mendesak
- Budaya malas dan instan
- Gaya hidup materialistic
- Gaya hidup konsumtif
- Moraltas burujk
- Disorientasi birokrasi
- Transparansi dan akuntabilitas rendah
- Dampak korupsi kurang difahami
- Penegakkan hukum lemah
- Keliru menjalankan kekuasaan
17
B. KORUPSI DI BERBAGAI DAERAH
Melalui mass media, baik elektronik maupun cetak, setiap hari
menyajikan erita-berita tentang korupsi yang dilakukan oleh para pejabat dan
aparat pemerintah daerah yang terus berlanjut. Ratusan kepala daerah
kabupaten/kota dan puluhan gubernur tersandungk kasus korupsi. Triliunan
rupiah uang Negara di daerah telah disalahgunakan oleh penguasa lokal.
Mereka bebas dan leluasa melaksanakan berbagai kebijakan pengelolaan
anggaran, sejak wewenangnya diperluas ketika UU 22/1999 tentang otonomi
daerah diberlakukan. Mereka, yakni para penguasa di daerah seperti gubernur
beserta jajarannya, Bupati/Walikota beserta jajarannya, sangat gemar
memakan yang bukan haknya, mengambil uang Negara atau uang rakyat
untuk memperkaya diri sendiri, dengan menggunakan kesempatan yang ada
sebagai penguasa. Korupsi dilakukan mulai dari pusat kekuasaan, tingkat
Pusat sampai daerah dan terutama mereka yang bertugas mengelola APBD.
Beberapa contoh kasus dugaan korupsi kepala daerah yang dikutip
dari berbagai media cetak, elektronik, yaitu sebagai berikut:
- Korupsi Bupati Brebes
- Dugaan Korupsi Bupati Pati
- Korupsi di Rokan Hulu (Riau)
- Korupsi Bupati Jember
- Korupsi Walkikota Bekasi
- Korupsi di Kutai Kartanegara
- Kasus Korupsi Bupati Nias
- Korupsi di kota Depok
C. DAMPAK KORUPSI
Korupsi merupakan suatu fenomena sosial dan kejahatan luar biasa
(extraordinary crime), yang hingga saat ini belum dapat diberantas secara
tuntas. Korupsi masih terus tumbuh seiring dengan berkembangnya
18
peradaban manusia. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga telah tumbuh subur
di belahan dunia lain, bahkan di Negara yang dikatakan maju sekalipun. Hasil
survey Transparansi Internasional tahun 2001 tentang persepsi rakyat
terhadap korupsi ditemukan Negara-negara dengan tingkat korupsi terendah
adalah Australia, Kanada, Denmark, Finlandia, Islandia, Luxemburg,
Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Singapura, Swedia, dan Swiss. Sementara
tiga belas Negara yang paling korup di dunia adalah Azerbaijan, Bangladesh,
Bolivia, Kamerun, Indonesia, Irak, Kenya, Nigeria, Pakistan, Rusia,
Tanzania, Uganda, dan Ukraina.
Beberapa contoh dari dampak yang ditimbulkan karena adanya
korupsi dalam pengelolaan keuangan Negara/daerah dapat dilihat dari
beberapa aspek seperti ekonomi, politik, pelayanan publik, hukum dan sosial
budaya.
Pertama, dalam aspek ekonomi korupsi dapat mengakibatkan
antara lain: 1) Bantuan pendanaan untuk petani, usaha kecil maupun koperasi
tidak akan pernah sampai ke tangan petani. Petani tidak akan mendapatkan
bantuan pupuk yang dapat meningkatkan produksinya. Akibatnya, produksi
pertanian seperti padi sawah akan terus menerus merosot, pendapatan petani
semakin berkurang dan kemiskinan akan terus menerus melilit hidup mereka.
2) Rendahnya upah buruh karena kebijakan memihak pada kapitalis atau
pemilik modal, sebab pemilik modal dapat membeli kebijakan yang
menguntungkan diri mereka; 3) korupsi terhadap subsidi petani dan usahawan
kecil mengakibatkan produk pertanian dan produk usaha kecil tidak dapat
bersaing dalam kanca persaingan pasar global; 4) Korupsi membuat utang
Negara dan beban rakyat menjadi semakin besar atau membengkak; 5)
Korupsi mengurangi minat para investor untuk menginvestasikan uangnya
atau modalnya di Indonesia.
Kedua, korupsi juga memberikan dampak besar dalam proses politik.
Korupsi dalam politik dan pemerintahan menghasilkan ketidakseimbangan dalam
pelayanan masyarakat dan alokasi anggaran yang timpang. Korupsi telah merusak
tatanan institusional organisasi dan birokrasi pemerintah, karena pengabaian
19
prosedur, menciptakan ketidakadilan, penyimpangan sumberdaya dan finansial,
dan penghancuran tatanan dalam birokrasi. Pada saat bersamaan, korupsi
mempersulit legitimasi pemerintahan dan melemahkan nilai-nilai demokrasi
seperti hilangnya kepercayaan publik, kurangnya toleransi dan rendahnya
partisipasi masyarakat dalam proses politik dan pemerintahan.
Ketiga, korupsi yang berkepanjangan dapat berdampak pada buruknya
kualitas pelayanan kepada masyarakat (public). Perbuatan para pejabat yang tidak
bertanggungjawab dapat berakibat pada pelayanan publik yang kurang memihak
kepada masyarakat kecil. Pelayanan publik yang buruk karena antara lain: 1) Para
birokrat yang telah menerima suap tidak lagi berorientasi pula memaksimalkan
pelayanan masyarakat kecil melainkan memaksimalkan pelayanan pada mereka
yang berduit; 2) Semangat profesionalisme kerja, kejujuran, dan komitmen
menjalankan tugas akan menjadi luntur jika mereka terbiasa dengan praktek
korupsi; 3) Anggaran yang harusnya diperlukan untuk membiayai pembangunan
sarana, prasarana atau untuk membeli perlengkapan atau biaya operasional dalam
pelayanan tidak digunakan sesuai dengan peruntukannya, sehingga kualitas
pelayanan publik tidak pernah baik dan akan terus menerus dibiarkan rusak.
Keempat, dalam proses hukum, korupsi mengakibatkan proses
penegakkan hukum tidak berjalan secara adil atau sesuai dengan yang semestinya.
Hukum sebagai perangkat untuk mencegah meluasnya praktek korupsi, atau
mengurangi laju pertumbuhan tindak pidana korupsi, malahan sering dijadikan
sebagai sarana untuk medapatkan uang bagi para penegak hukum. Dalam kasus
seperti itu, penegakkan hukum sulit diharapkan dapat berjalan dengan baik.
20
BAGIAN IV
BAGAIMANA MENCEGAH KORUPSI APBD?
A. MELAKSANAKAN UU ANTI KORUPSI
Dalam UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Korupsi
memberikan angin segar bagi upaya pemberantasan kejahatan korupsi yang
luar biasa di Indonesia.
Berbagai kelompok masyarakat memberikan reaksi beragam
terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini. Setidaknya,
dapat diidentifikasi ada lima kategori kelompok masyarakat, yang
memberikan reaksi berbeda, sekaligus memberikan apresiasinya terhadap
upaya pemberantasan korupsi itu. Pertama, kelompok masyarakat yang
mendukung secara penuh. Memang sulit mengidentifikasi orang yang benar-
benar setuju dan mendukung penuh kebijakan pemberantasan korupsi.
Benerapa kelompok masyarakat atau aktivis yang jumlahnya masih sangat
terbatas yang ada dalam beberapa tahun terakhir, aktif dalam mendorong
pemberantasan korupsi termasuk dalam kategori ini.
Kedua, kelompok yang pura-pura mendukung. Mereka termasuk
kelompok masyarakat yang paling berbahaya dan bias menjadi komponen
pelanggen korupsi. Mereka seakan-akan ikut dalam upaya pemeberantasan
korupsi di negeri ini. Tetapi sesunggunhnya mereka hanya sebagai “bamper”
dan bahkan dapat menjadi pelindung koruptor dari jaringan orang-orang
mereka atau krooni mereka.
Ketiga, kelompok pemanfaat situasi. Kelompok ini biasanya
berasal dari kalangan praktisi atau aktivis oportunis. Mereka biasanya
mengetahui berbagai informasi tentang penyimpangan dalam pengelolaan
anggaran Negara, dan memanfaatkan situasi atau momentum pemberantasan
21
korupsi sebagai peluang untuk mengejar keuntungan pribadi atau kelompok,
melalui cara memperjualbelikan informasi.
Keempat, kelompok yang panik dan melawan. Mereka yang panik
terhadap pemberantasan korupsi adalah para koruptor, baik yang sudah nyata-
nyata teridentifikasi kejahatannya, maupun mereka yang terbiasa melakukan
korupsi, tetapi belum teridentifikasi olehh aparat yang berwenag. Mereka
yang belum teridentifikasi kejahatan korupsinya, umumnya kalangan birokrat
dan pengelola proyek yang masih berlindung pada sistem administrasi.
B. PERAN KOMUNITAS
Mungkinkah masyarakat atau kelompok nonpemerintah atau
komunitas setempat yang berada di luar struktur Negara/pemerintahan atau
diluar kekuasaan melakukan pengawasan terhadap pengelolaan APBD di
daerah? Dalam penyelenggaraan pemerintah yang demokratis, pembangunan
dan pelayanan publik berbasis kebutuhan rakyat, peran pengawasan dan
kontrol anggaran dapat dilakukan oleh siapa saja, termasuk masyarakat atau
komunitas setempat. Istilah komunitas di sini adalah pemangku kepentingan
yang terkait dengan pengelolaan anggaran, Negara atau dana publik, termasuk
lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola oleh non pemerintah, karena
lembaga itu juga mengelola dana masyarakat.
Masyarakat setempat, berhak untuk ikut mengawasi kegiatan
penggunaan anggaran pembangunan, pelayanan publik, yang berasal dari
APBN, termasuk dalam hal pengelolaan APBD secara keseluruhan. Sebagai
pemegang mandat, terutama dalam kaitannya dengan pemilihan kepala daerah
secara langsung, rakyat memiliki posisi sosial dan politik yang kuat untuk
membangun legitimasi atau mendelegitimasi kekuasaan kepala daerah.
Kepala daerah yang terbukti melakukan korupsi pada masa awal
pemerintahannya, kemungkinan besar tidak akan terpilih lagi pada periode
kedua, jika masyarakat dapat mengawasi proses pengelolaan APBD yang
22
dilakukan kepala daerah. Dengan melakukan pengawasan, masyarakat akan
mengetahui jika terjadi penyimpangan dalam penggunaan APBD.
C. PEMBERDAYAAN “GRASSROOT”
Banyak kasus korupsi yang terjadi, baik korupsi yang ada di luar
birokrasi, menjadikan masyarakat yang anti korupsiatau lembaga-lembaga
masyarakat sipil mencari pola-pola baru yang dapat dikembangkan untuk
mencegah semakin meluasnya korupsi. Salah satu diantaranya adalah Pusat
Studi Pengembangan Kawasan (PSPK) Jakarta memperkenalkan program
pencegahan korupsi APBD berbasis masyarakat daerah, seperti yang
dilakukan di Jakarta, Kota Depok, Bekasi, Tuban, Palembang, Kendari dan
daerah lainnya.
Pelaksanaan program penguatan komunitas grass root di beberapa
jaringan kerja FITRA seperti Jakarta, Kota Depok, Bekasi, Tuban, Palembang
dan Kendari merupakan salah satu cara yang dapat dikembangkan dalam
mupaya memberikan penguatan kepada masyarakat sipil untuk mengontrol
APBD. Langkah-langkah implementasi program dapat dilakukan secara
runtun dan simetris, menurut pengalaman kelompok masyarakat di daerah.
Secara ringkas aktivis yang sering dilakukan masyarakat dalam proses
pengawasan APBD diantaranya: 1) Melakukan assessment dan deseminasi
kebijakan; 2) Analisis dan pemetaan alokasi anggaran dalam APBD; 3)
Training teknik pengawasan dan monitoring APBD; 4) Pembentukan aliansi
masyarakat lintas komunitas; 5) Analisis terhadap APBD yang rawan
dikorupsi; 6)Perumusan draft Perda Transparansi APBD; 8) Advokasi
terhadap pelaksanaan APBD; 9) Penyampaian laporan masyarakat jika
menemukan ketimpangan dalam pelaksanaan APBD, dan 10) Pemantauan
sidang kasus dugaan korupsi APBD.
Assesment dan Deseminasi
23
Kegiatan ini merupakan kegiatan awal pelaksanaan program.
Kegiatan ini bertujuan antara lain : (i) Untuk menggali dan menemukenali
berbagai persoalan masyarakat di daerah terutama yang berkaitan dengan APBD;
(ii) Untuk memperoleh informasi tentang praktik penyalahgunaan APBD baik
oleh eksekutif, legislatif maupun pihak lain yang berkepentingan dengan
anggaran; (iii) mengetahui aspek partisipasi atau tingkat keterlibatan masyarakat,
transparansi pengelolaan APBD, dan keterpihakan alokasi anggaran dalam
APBD; (iv) Mendapatkan informasi mengenai pengetahuan dan tingkat kesadaran
masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap anggaran.
Analisis dan Advokasi APBD
Pelatihan Teknik Monitoring
Pelatihan kepada masyarakat atau kepada para aktivis dilakukan setiap
saat untuk memperluas pemahaman publik tentang teknik pengawasan dan
monitoring pelaksanaan APBD. Kegiatan seperti ini bertujuan antara lain; (i)
memberikan penyadaran bagi kelompok-kelompok masyarakat tentang hak-
haknya terhadap APBD, (ii) meningkatkan sensifitas masyarakat untuk
memahami dan mengawasi anggaran dan mencegah terjadinya korupsi. (iii)
meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap dampak korupsi. Ada beberapa
kendala ketika melakukan pelatihan komunitas antara lain adalah peserta sering
kali tidak dating saat pelatihan. Tidak hadir dalam pelatihan karena beberapa
alasan antara lain mereka harus mencari penghidupan bagi keluarganya.
24
BAGIAN V
CERITA SUKSES, PEMBELAJARAN DAN REKOMENDASI
A. CERITA SUKSES
Pemberdayaan komunitas akar rumput (Gross roots Community)
dalam melakukan advokasi dan kontrol terhadap pengelolaan APBD di
daerah seperti ditunjukkan di kota Bekasi, Depok dan daerah-daerah lain
seperti Mataram dan Manado, sedikit banyak telah memberikan manfaat bagi
masyarakat yang terlibat dalam pelaksanaan program tersebut. Beberapa
indikator yang menunjukkan adanya manfaat itu antara lain:
Pertama, adanya animo sejumlah LSM lokal yang terlibat dalam
pelaksanaan program pemantauan dan pengawasan terhadap pengelolaan
APBD.
Kedua, pelaksanaan training dalam program seperti ini secara
relatif telah mampu memberikan pemahaman awal kepada masyarakat
setempat tentang bagaimana menganalisis dan mengadvokasi pengelolaan
APBD serta mengawasi pelaksanaannya.
Ketiga, adanya komitmen sejumlah elemen masyarakat setempat
untuk membentuk aliansi atau jaringan dalam rangka mengembangkan
kontrol dan advokasi terhadap pengelolaan APBD di daerahnya.
Terbentuknya kelompok masyarakat seperti koalisi rakyat untuk transparasi
anggaran (Konntra) Bekasi dan Koalisi Masyarakat Depok Untuk Anti
Korupsi (Komdak) di Depok, Forum Transparansi Anggaran Lokal (Fortal) di
Lombok, Forum Transparansi Anggaran Lokal (Fatal) di Manado, digagas
dan dibentuk oleh aliansi masyarakat melalui pelaksanakan program ini.
Keempat, dengan ada pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki
dapat membangkitkan kesadaran masyarakat untuk melakukan kajian dan
25
menganalisis R/APBD serta mengadvokasi berbagai pos anggaran yang
dinilai tidak berpihak pada masyarakat.
Kelima, dalam mendorong praktik pengelolaan APBD yang
partisipatif, transparan dan akuntabel, mereka menggagaskan dan mendorong
adanya aturan yang menjamin praktik penganggaran yang transparan,
akuntabel dan partisipatif.
B. SEJUMLAH PEMBELAJARAN
Praktik pengelolaan APBD yang masih tertutup, mengindikasikan
bahwa masih ada upaya-upaya dari pengelola APBD di daerah untuk
menyalhgunakan atau melakukan korupsi terhadap APBD.
Pelaksanaan program penguatan kelompok masyarakat atau
komunitas pemangku kepentingan (stakeholders) merupakan salah satu
alternatif dalam mendorong upaya penanggulangan korupsi atas pengelolaan
anggaran Negara di daerah (APBD). Melalui berbagai kegiatan seperti
assessment permasalahan dan kebutuhan warga, training analaisis dan
advokasi R/APBD, secara bersama-sama melalui proses pelatihan serta
pembelajaran advokasi yang diberikan kepada warga, menurut pengalaman di
beberapa daerah sedikit banyak telah memberikan wawasan kepada
masyarakat mengenai pengertian dan makna APBD bagi rakyat.
C. BEBERAPA REKOMENDASI
Beberapa rekomendasi penting yang disampaikan dalam rangka
mendorong pencegahan korupsi APBD, adalah sebagai berikut. Pertama,
kepada para lembaga Internasional sebagai donator bagi LSM lokal. Jika
benar-benar ingin mendorong perubahan dalam tata pemerintahan menuju
tatakelola pemerintahan baik, maka perlu menciptakan suatu grant designe
jangka panjang untuk pendanaan kegiatan anti korupsi secara
berkesinambungan, dibuat bersama LSM lokal, terfokus pada isu spesifik,
berkelanjutan dan pelaksanaannya sampai berhasil dalam menyelesaikan
26
suatu isu atau persoalan. Jika itu tidak dilakukan, maka upaya yang
dilaksanakan selama ini, yang bersifat temporer, setahun atau hanya satu
program saja akan sia-sia belaka, tidak membawakan hasil konkrit dalam
mempengaruhi perilaku aparat/para birokrat yang sudah biasa dengan praktik
birokrasi yang dikelola secara KKN.
27
REVIEW BUKU
PARTISIPASI, TRANSPARASI,
AKUNTABILITAS
ANGGARAN NEGARA
( Penulis Dr.Ir. Jamal Bake, M.Si)
REKONSTRUKSI PARADIGMA
PENGELOLAAN ANGGARAN NEGARA
MENUJU GOOD GOVERNANCE
28
BAGIAN 2
PENGANGGARAN DEMOKRATIS
A. KONSEP ANGGARAN PUBLIK
1. Beberapa Pengertian
Anggaran publik memiliki pengertian yang lebih luas
dibandingkan dengan istilah anggaran Negara. Anggaran publik atau
anggaran sektor publik adalah segala jenis anggaran yang berkaitan
dengan kepentingan masyarakat umum, baik yang dikelola oleh Negara
melalui instansi atau lembaga-lembaga pemerintah, swasta dan pihak-
pihak lainnya, maupun yang dikelola masyarakat melalui organisasi non
pemerintah yang pengelolaannya didasarkan pada aturan perundang-
undangan yang ada, maupun anggaran yang dikelola masyarakat oleh
masyarakat melalui organisasi masyarakat seperti Yayasan, LSM,
komunitas paguyuban, koperasi, perkumpulan dan lain sebagainya.
Sedangkan angggaran Negara adalah segala hak dan kewajiban
pemerintah yang terkait dengan penyelenggaraan Negara, baik yang
berbentuk uang maupun barang atau bentuk lain yang dapat dinilai
dengan uang, yang penyelengaraannya ditetapkan dengan aturan
perundang-undangan. Dari pengertian itu maka anggaran Negara dapat
dibedakan dengan anggaran publik, dimana anggaran Negara merupakan
sub bagian dari anggaran publik.
Mengacu pada pengertian di atas, dapatlah diberikan pengertian
secara umum mengenai pengelolaan anggaran Negara. Pengelolaan
anggaran Negara didefenisikan sebagai suatu proses perencanaan, alokasi
sumber-sumber (resources); yang dibuat secaraterencana berkenaan
dengan berbagai program dan kegiatan yang (akan, sedang dan sudah
dilaksanakan; yang didasarkan kepada sejumlah variabel, mengaitkan
29
antara penerimaan dan pengeluaran yang pelaksanaannya dilakukan
secara terkontrol dan diawasi oleh publik guna meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Anggaran Negara menjadi salah satu sarana bagi
rakyat untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah. Anggaran juga
menjadi alat pertanggungjawaban pemerintintah atau penyelenggara
Negara kepada rakyat (Stakeholder), atas apa yang telah dilakukannya.
Pendapat lain dikemukakan oleh Due dan Baswir (2000). Mereka
mengemukakan bahwa anggaran adalah suatu perkiraan penerimaan dan
pengeluaran dalam suatu periode di masa depan. Menurut albedian dan
Samuel, anggaran Negara adalah alat untuk mencapai tujuan dalam
rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat. Orientasinya adalah
pencapaian kesejahteraan rakyat. Albedian mengemukakan anggaran
Negara merupakan alat dari pemerintah yang digunakan untuk
perencanaan penggunaan uang dalam rangka pelayanan program. Samuel
menyebutkan, anggaran Negara adalah kombinasi perencanaan
pengeluaran dan pajak untuk masa yang akan datang.
Secara ringakas dijabarkan dalam uraian berikut:
Pertama, anggaran keluarga adalah dana yang dimiliki secara
perorangan atau rumah tangga untuk membiayai kehidupan sehari-hari,
atau disebut sebagai anggaran belanja keluarga. Penjelasan itu juga
dikategorikan sebagai suatu anggaran karena berkaitan dengan
penerimaan dan pengeluaran.
Kedua, anggaran perusahaan atau organisasi baik organisasi bisnis
yang berorientasi profit maupun organisasi non profit seperti yayasan
atau perkumpulan-perkumpulan. Pengelolaan anggara dalam konteks ini
disesuaikan atau terkait dengan sumber-sumber, alokasi dan pemenuhan
kebutuhan perusahaan/organisasi.
Ketiga, anggaran Negara, berkaitan pengelolaan sumber-sumber
dan potensi kekayaan Negara.
2. Makna Anggaran Negara Bagi Rakyat
30
Kebijakan penganggaran sangat terkait dengan pungutan pajak dan
retribusi yang dibebankan kepada rakyat untuk memenuhi kebutuhan
penerimaan Negara atau daerah. Hal ini berpengaruh terhadap
kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan rakyat tergantung pada pola
distribusi dan alokasi anggaran yang telah dan akan ditetapkan untuk
mendanai berbagai program pembangunan. Program pembangunan dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat. Dengan kata lain ada
keterkaitan antara besarnya presentase dari total anggaran yang
ditunjukkan untuk publik dan berapa prosentase anggaran yang
ditunjukkan untuk kepentingan rakyat cecara umum. Semakin besar
anggaran yang dialokasikan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
rakyat, (selama pengelolannya benar-benar sesuai dengan
peruntukannya), akan semakin besar pula dampaknya dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi rakyat. Secara langsung hal itu akan berdampak
pada peningkatan kemampuan rakyat dalam membayar pajak.
Proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pelaporan serta
pertanggungjawaban anggaran Negara harus melibatkan rakyat agar
pengelolaan anggaran dilakukan secra efektif, dan efisien serta tidak bias
dalam pemenuhan kebutuhan dan permasalahan rakyat.
B. PRINSIP-PRINSIP ANGGARAN
Kaitannya dengan keterlibatan rakyat, system penganggaran yang baik
tidak harus mengembangkan prinsip-prinsip berikut.
Demokratis (democratic); Prinsip demokrasi dalam penganggaran
mempunyai makna, proses-proses pengelolaan anggaran, mulali dari
perencanaan anggaran pendapatan seperti pendapatan pajak, retribusi dan
seterusnya dalam upaya mendapatkan masukan kepada kas Negara
harusdilakukan melalui cara-cara yang demokratis. Demikian pula proses
perencanaan, pengalokasian, dan pengeluaran anggaran selalu dengan
pengetahuan rakyat.
31
Adil (equity); Konsep keadilan dalam penganggaran diarahkan kepada
penjelasan sejauhmana alokasi dan kebijakan anggaran memihak kepada
kepentingan rakyat banyak, khususnya rakyat miskin. Prinsipnya, alokasi
anggaran harus memperhatikan faktor keadilan.
Transparan (Transparancy); Proses-proses pengelolaan anggaran mulai
dari perencanaan pendapatan seperti pemungutan pajak, retribusi, royalty,
pinjaman, utang, penerimaan hibah sampai pada rencana pengalokasiannya
yang diperutukkan bagi anggaran pembangunan, atau anggaran modal yang
berorientasi publik maupun anggaran rutin atau anggaran operasional yang
berorientasi pada pemenuhan biaya penyelenggaraan Negara dan
pemerintahan harus dikelola secara transparan.
Bermoral tinggi (Probity); Menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang
dianut oleh masyarakat seperti kejujuran, tidak berfoya-foya denagan uang
Negara untuk kepentinga pribadi atau kelompok, loyal pada aturan yang
menjadi acuan dalam pengelolaan keuangan Negara.
Berhati-hati (Prudence); Pengelola harus berhati-hati dalam mengelola
uang Negara, atau mampu memperhatikan dan memprediksi berbagai resiko
dan kegagalan yang mungkin timbul atas kebijakann yang diambil.
Akuntabel (accountability); Prinsip dasar akuntabilitas pengelolaan
anggaran adalah adanya pertanggung-gugatan pemerintah kepada publik atau
langsung kepada rakyat.
C. TUJUAN DAN FUNGSI ANGGARAN NEGARA
Secara makro, anggaran Negara mempunyai tujuan baik tujuan jangka
panjang, jangka menengah maupun jangka pendek tahunan. Tujuan jangka
panjang biasanya ditargetkan untuk dapat dicapai dalam kurun waktu 25
sampai 30 tahunan sesuai dengan visi dan misi penyelenggaraan pemerintah.
Fungsi anggaran menurut Mardiasmo (2002) meliputi : Pertama,
fungsi alokasi (allocation); Dalam proses penganggaran mencakup fungsi
alokasi dimana dalam proses-proses penerimaan, pengeluaran dan penetapan
32
anggaran menggambarkan besaran-besaran alokasi perunit kegiatan,
perlembaga, dan wilayah kerja.
Kedua, fungsi distribusi (distribution), mengatur keseimbangan
pembagian sumber-sumber daya yang ada antara daerah, antara kelompok
masyarakat dan antara sektor publik dan privat.
Ketiga, fungsi stabilitas (stabilization); memanfaatkan sumber-
sumber dan finansial yang ada atau sebagian dan yang ada untuk menciptakan
tabilitas ekonomi makro.
Keempat, fungsi pertumbuhan (growth); menggunakan pengeluaran
pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan
kekayaan (wealth) bagi Negara guna mendorong terciptanya kesejahteraan
rakyat.
D. PERUNTUKAN ANGGARAN NEGARA
Menurut sektor pembangunan yang harus dibiayai, alokasi anggaran
harusnya diarahkan pada pencapaian tujuan pembangunan dalam berbagai
sektor. Pertama, pembangunan sektor ekonomi yakni mendorong
pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pendapatan masyarakat,
menyediakan lapangan kerja, mendorong bergeraknya sektor riil, mengurangi
pengangguran dan mewujudkan kesejahteraan warga Negara.
Kedua, pembangunan sektor politik, hukum dan HAM. Alokasi
anggaran berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pembangunan bidang
politik, hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Ketiga, pembangunan bidang sosial dan pelayanan masyarakat seperti
sektor pendidikan, kesehatan dan ketenagakerjaan.
Keempat, pembangunan sarana, prasarana dan infrastruktur fisik
menjadi salah satu prioritas alokasi anggaran Negara.
Kelima, pembangunan bidang pertahanan, keamanan, stabilitas,
ketentraman, integritas bangsa, hubungan luar negeri serta yag dapat
33
menjamin keberlangsungan penyelenggaraan Negara dan pemerintahan
menjadi sasaran utama dalam alokasi anggaran Negara.
E. HAK RAKYAT DALAM ANGGARAN NEGARA
Membahas hak-hak rakyat terhadap anggaran Negara tidak dapat
dipisahkan dari hak asasi setiap warga Negara dalam negaranya masing-
masing. Hal itu sesuai dengan perjanjian Internasional mengenai hak-hak sipil
dan politik (Ingternational Covenant On Civil and Politic Rights) dan
protocol opsional (Optional Protocol) berlaku 25 Maret 1976. Dalam
perjanjian internasional mengenai hak-hak sipil dan politik disepakati tanggal
16 Desember 1966, protocol opsional juga disepakati tanggal yang sama.
Dalam The International Built Of Human Right’s dan Universal
Declaration Of Human Right’s yang diterima dan diproklamasikan oleh
Resolusi Sidang Umum 10 Desember 1948 dinyatakan secara eksplisit,
bahwa : (1) setiap orang memiliki hak atas 1 kebangsaan/kewarganegaraan
atau nationality; (2) Tidak seorang pun dapat dirampas secara serempangan
hak atas kebangsaannya dan tidak seorangpun dapat ditolak haknya untuk
mengganti kebangsaan/kewarganegaraannya (pasal 15).
Hak rakyat terhadap anggaran Negara meliputi : (1) Hak mendapatkan
informasi mengenai pengelolaan keuangan Negara/daerah; (2) Hak
berpartisipasi dalam proses-proses penganggaran; (3) Hak memperoleh
manfaat atas setiap pengeluaran uang Negara/daerah, (4) Hak
kontrol/mengawasi pengelolaan keuangan Negara.
F. KEBIJAKAN PENGANGGARAN
Secara ideal dan sederhana, apapun bentuk Negara yang dianut,
apakah system Negara republik atau Negara kerajaan, penyelenggara Negara
harus mampu membuat aturan yang menjadi pegangan bagi setiap warga
Negara dan pemerintah dalam menyelenggarakan Negara.
34
G. NILAI DEMOKRASI PENGANGGARAN
Gerakan mengembangkan proses-proses yang partisipatif, transparan dan
akuntabel dalam pengelolaan anggaran negara kian meningkat dan dirasakan
penting oleh komunitas civil society. Hal itu dilakukan dalam rangka
mengantisipasi dan mengeliminasi penyalahgunaan anggaran yang dilakukan
oknum-oknum aparatur pemerintah yang “nakal”.
Hak-hak rakyat untuk mendapatkan informasi dan berpartisipasi
dalam penyelenggaraan Negara dirampas atau dialineasi oleh penguasa. Apa
yang sebenarnya menjadi milik rakyat tidak diberikan, dan rakyat sendiri
tidak menyadari akan hak-haknya sebagai warga Negara. Kalaupun ada
kelompok masyarakat yang menyadari akan hak-haknya untuk mengetahu
anggaran, penguasa selalu beralasan bahwa membuka anggaran Negara sama
dengan “membuka rahasia Negara” atau “rakyat dinnilai menuntut yang
bukan haknya”.
Selam kurang lebih sepuluh tahun pelaksanaan reformasi (yakni sejak
1998 hingga 2010, pengelolaan anggaran Negara Indonesia masih kurang
melibatkan rakyat, kurang transparan dan masih belum akuntabel. Kondisi
seperti itu masih mengikuti watak pemerintahan masa lalau yang otoriter-
represif. Nilai-nilai demokrasi masih sekedar wacana dan pernyataan politis.
Partisipasi dan pengawasan rakyat hanya bersifat simbolistik. Lembaga-
lembaga pengawasan seperti BPK memang diadakan, sesuai dengan
tutntunan revisi UUD1945.
H. PERAN “STAKEHOLDER”
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah atau APBN/APBD
yang dipresentasikan oleh eksekutif setiap tahun, memberikan informasi rinci
kepada DPR/DPRD dan masyarakat tentang program-program yang
35
direncanakan pemerintah untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat. Upaya
mewujudkan kualitas kehidupan masyarakat dapat dicapai jika dalam proses
penetapan program-program yang terkait dengan kepentingan orang banyak
melibatkan para pemangku kepentingan atau stakeholders.
Penyusunan anggaran merupakan rangkaian dari proses pengelolaaan
anggaran. Proses penyusunan anggaran paling tidak mempunyai empat
tujuan : (1) Membantu pemerintah mencapai tujuan fiscal dan meningkatkan
koordinasi antara bagian dalam lingkungan pemerintah. (2) Membantu
menciptakan efisiensi dan keadilan dalam menyediakan barang dan jasa
melalui proses-proses yang ditetapkan berdasarkan skala prioritas. (3)
memungkinkan bagi pemerintah untuk memenuhi prioritas belanja. (4)
meningkatkan transparansi dan pertanggungjawaban pemerintah kepada
DPR/DPRD dan masyarakat luas. Proses transparansi akan lebih mudah
diwujudkan jika proses melibatkan pihak berkepentingan.
Siapa Mengelola Anggaran Negara ?
Paling tidak ada tiga kelompok (satkeholders) hyang berkepentingan
dengan anggaran Negara, dan mempunyai peran, fungsi dan kepentingan
sesuai dengan posisinya masing-masing. Ketiga komponen itu adalah
pemerintah, (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), kalangan bisnis/dunia usaha
(pengusaha besar, menengah dan kecil, kelompok asosiasi dan lain-lain), dan
kelompok society (ormas kemasyarakatan, kelompok adat, kelompok agama,
LSM, dan sebagainya).
36
Bagaimana peran dan posisi mereka dalam proses penyelenggaraan
Negara termasuk dalam pengelolaan anggaran menuju terwujudnya good
governance.
Gambar 1. Pola hubungan tiga pilar dalam tatakelola pemerintahan yang baik good governance.
37
Pemerintah
(Government)
Masyarakat
(Civil Society)
Swasta
(Private)
BAGIAN 3
REKONSTRUKSI PARADIGMA PENGANGGARAN
A. PENGANGGARAN SEBELUMNYA
Pada masa Orde Lama (Orla) maupun Orde Baru (Orba), dasar hukum
(yuridis) bagi penetapan RAPBN adala UUD 45 yang dijabarkan dalam UU
dan aturan-aturan pelaksanaannya. Beberapa peraturan telah diterbitkan
seperti Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Kepres), dan
Keputusan Menteri (Kepmen) maupun dalam bentuk Peraturan Daerah
(Perda) pada tingkat lokal atau daerah otonom.
B. PERUBAHAN PARADIGMA
Reformasi atau perubahan struktur, system dan tatanan kenegaraan
serta kebijakan pelaksanaan pemerintah telah merambat ke berbagai sektor,
bidang dan aspek dalam penyelenggaraan Negara, tidak terkecuali perubahan
terhadap proses-proses pengelolaan anggaran Negara. Meskipun semua itu
masih sekedar niat atau belum sepenuhnya dilaksanakan dan dibuktikan
dalam prakteknya. Karena meluasnya tuntunan akan perlunya mewujudkan
pemerintahan bersih (clean government) menuju terciptanya penyelenggaraan
kepemerintahan yang baik (good governance), maka pemerintah Indonesia,
mulai menyahutinya dengan mencoba merubah paradigma dalam
penganggaran.
Melalui Kepmendagri No 29/2002, pemerintah mulai
memperkenalkan suatu mekanisme atau pola pendekatan baru (paradigma
baru) dalam pengelolaan anggaran Negara yang disebut dengan penganggaran
berbasis kinerja. Penerapan konsep anggaran berbasis kinerja merupakan
sebuah tuntutan dalam mendorong terciptanya efektivitas, efisiensi dan
keberhasilan dalam pengelolaan anggaran Negara. Pelaksanaan konsep ini
38
sangat tergantung pada sejauhmana instansi dan unit kerja atau Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) sebagai unit pelaksana teknis anggaran di daerah
memahami tentang substansi dan paradigma pendekatan penganggaran yang
berbasis kinerja. Sebagian kabupaten di Indonesia, (mulai tahu 2003)
memperkenalkan atau mulai menerapkan konsep penganggaran berbasis
kinerja dalam proses perencanaan, penetapan dan pelaksanaan APBD,
meskipun belum mampu diwujudkan secra baik sesuai dengan kondep
awalnya.
Penerapan konsep anggaran kinerja sebagai suatu system harus
dilakukan secara utuh dan komprehensif. Secara substansial, dalam konsep
anggaran kinerja, ditekankan bahwa setiap pengeluaran anggaran adalah
membiayai out put dan out came, bukan membiayai input. Ukuran atau
indikator keberhasilan setiap pengeluaran anggaran Negara ditentukan oleh
hasil yang dicapai, dampak yang diberikan oleh objek yang dibiayai, dan
manfaat program atau proyek bagi masyarakat. Proses pertanggungjawaban
administrasi semata seperti halnya system penganggaran tradisional yang
bersifat konfensional, yang menerapkan pola-pola pendekatan pertambahan
jumlah yang linear dalam penetapan anggaran (incremental budgeting).
39
Perbandingan antara system penganggaran tradisional dengan system
penganggaran berbasis kinerja dipaparkan dalam matriksi berikut :
Aspek Anggaran Tradisional Anggaran Kinerja
Proses Perencanaan Top down,
sentralistik,
diperankan oleh elit
Botton up,
desentralistik,
melibatkan stakeholders
Peruntukkan anggaran Membiayai
input/berorientasi
proyek
Membiayai output
(kinerja) berorientasi
program sesuai
kebutuhan masyarakat
Penetapan besaran
anggaran
Secara incremental,
prosentase (%) dari
tahun ke tahun
Sesuai kebutuhan, skala
prioritas, target kinerja
yang hendak dicapai
menurut visi misi
pemerintah
Proses dan nilai-nilai
dikembangkan
Tertutup, akses publik
terbatas, anggaran
adalah rahasia,
efektivitas dan
efisiensi, disiplin
administrasi
Partisipasi, transparansi,
akuntabilitas,
responsive,
bertanggungjawab,
professional, disiplin,
pro rakyat, keadilan
alkoasi/distribusi dan
kepatutan, asas
manfaat.
Kontinuitas/Berkelanjutan Terputus dari tahun ke
tahun
Berkelanjutan, sesuai
target kinerja setiap
periode (tahunan,
multiyear, lima tahun,
Jangka menengah, dan
40
jangka panjang.
Ukuran kinerja Penyerapan anggaran/
Realisasi,
kelengkapan
administrasi, output
teknis dan laporan
pelaksanaan kegiatan.
Capaian kinerja : input,
output, proses/
Administrasi, outcame,
manfaat, keuntungan/
Dampak, alokasi
anggaran bagi
masyarakat.
C. PENGANGGARAN PARTISIPATIF
Menurut Bake dan Abas (2002), paling tidak ada tiga strategi
pendekatan yang dapat dilakukan dalam proses penganggaran yang melibatkan
rakyat. Pertama, pendekatan participatory; strateginya dapat diawali dengan
perumusan suatu formula proses-proses penganggaran strategis dimana rakyat
dapat terlibat atau melibatkan diri sehingga dapat terbangun atau tercipta suatu
system penganggaran partisipatif, transparan, dan akuntabel yang berfokus
pada pemenuhan kebutuhan dan kepentingan rakyat lokal sebagai langkah
awal untuk mewujudkan demokratisasi anggaran.
Kedua, pendekatan advokaktif; strateginya adalah membangun
kesadaran dan opini publik tentang perlunya keterlibatan rakyat dalam proses-
proses pengambilan kepbijakan terkait dengan penganggaran yang dilakukan
pemerintah atau pemerintah daerah.
Ketiga, pendekatan pemberdayaan (Empowering): dapat dilakukan
melalui strategi memberdayakan rakyat dengan memaksimalkan peran lembaga
Non Pemerintah (Non Government Organization), kalangan praktisi, dan
akademisi sebagai pionir dalam membangun gerakan pelibatan masyarakat
dalam proses-proses penganggaran.
41
D. PROBLEMATIKA PENGANGGARAN
Pengertian penganggaran yang dimaksud dalam konteks ini adalah
keseluruhan proses yang terkait dengan penganggaran mulai dari perencanaan
program/kegiatan penyusunan draft anggaran (drafting), pembahasan
anggaran, penetapan anggaran, pelaksanaan anggaran, pengawasan dan
evaluasi atas pelaksanaan anggaran.
1. Penyusunan Anggaran
Dalam tahapan penyusunan anggaran, masalah-masalah yang
sering muncul antara lain sebagai berikut. Pertama, belum adanya
keterlibatan atau partisipatif masyarakat secara substansif, dalam proses-
prosesnya pun belu dilakukan secara transparan.
2. Proses Pembahasan
Masyarakat hanya terlibat pada tahap awal pembahasan anggaran.
Pada tahap-tahap akhir dimana eksekusi anggaran dilakukan, rakyat tidak
dilibatkan, bahkan mereka juga tidak boleh memantau rapat-rapat DPR
yang sifatnya intern seperti pada tingkatan panitia khusus (Pansus) dan
panitia kerja (Panja), karena prosesnya bersifat sangat tertutup.
3. Implementasi Anggaran
Pada tahapan implementasi anggaran, permasalahan yang sering
terjadi adalah ketidaksesuaian antara jumlah anggaran yang riil diterima
dengan jumlah yang digunakan untuk pelaksanaan suatu proyek. Di
samping itu, persoalan mark up, sering juga terjadi, serta
ketidakdisiplinan dalam penggunaan anggaran. Anggaran yang
seharusnya dibelanjakan untuk kegiatan A misalnya, tapi
dalam .praktiknya dibelanjakan untuk kegiatan B. masyarakat sendiri
sulit melakukan kontrol terhadap pelaksanaan anggaran karena belum
adanya akses masyarakat terhadap dokumen anggaran. Proses
pelaksanaan anggaran masih jauh dari prinsip-prinsip transparansi dan
42
akuntabilitas terhadap dokumen anggaran. Hal seperti itu masih terjadi
hingga saat ini.
4. Pengawasan Anggaran
Jenis-jenis pengawasan dapat dibedakan menjadi antara lain : 1)
pengawasan politik yang dilakukan oleh DPR/DPRD atas
penyelenggaraan pemerintah termasuk pengelolaan anggaran; 2)
pengawasan formal dilakukan oleh badaan-badan pemeriksa keuangan
Negara dan pembangunan seperti BPK, BPKP, Inspektorat Jenderal,
Inspektorat Daerah, pengawasan oleh Polisi, Jaksa, KPK dan Kehakiman;
3) pengawasan melekat yang bersifat pembinaan manajemen dan
administrasi yang dilakukan oleh atasan terhadap bawahan dalam
lingkungan organisasi; 4) pengawasan sosial yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok masyarakat atas pelaksanaan anggaran dan
penyelenggaraan kebijakan pemerintah; 5) pengawasan diri sendiri (inner
kontrol) yakni mengontrol diri sendiri agar tidak melakukan
penyimpangan dalam pengelolaan anggaran.
Beberapa kendala yang sering menjadi penyebab tidak berjalannya
pengawasan atas pelaksanaan anggaran diantaranya sebagai berikut :
Pertama, ketidakmampuan aparatur dalam memahami item-item dan
pos-pos anggaran yang harus diawasi penggunaan dan pengelolaannya.
Kedua, penyajian dokumen anggaran yang tidak jelas mengakibatkan
mereka yang membaca dokumen anggaran dimaksud kurang memahami
materi yang terkandung di dalamnya. Ketiga, komitmen dan moralitas
aparat pengawas yang mudah tergiur dengan iming-iming materi
sehingga proses pengawasan menjadi tidak focus pada substansi, tetapi
hanya mencari-cari kesalahan pelaksana sebagai alat bargaining untuk
mendapatkan imbalan dari para pegelolas anggaran. Keempat, tidak
adanya tindak lanjut atas temuan dalam pengawasan dan pemeriksaan
yang disampaikan oleh aparat pengawas.
43
BAGIAN 4
PENGANGGARAN MUTAKHIR
A. TRADISIONAL vs KINERJA
Penganggaran berbasis kinerja merupakan paradigma baru dalam
system penganggaran di Indonesia. Sebelumnya metode penganggaran
mengacu pada pendekatan system penganggaran tradisional dengan
pendekatan linear berdasarkan prosentase kenaikan anggaran dari tahun ke
tahun mengacu kepada target-target pembangunan yang juga ditetapkan
secara linear dari tahun ke tahun, metode ini biasa disebut dengan pendekatan
incremental budgeting.
Menurut Mardiasmo (2002), anggaran dengan pendekatan kinerja
sangat menekankan pada konsep value for money dan pengawasan atas
kinerja output. Pendekatan ini juga mengutamakan mekanisme penentuan dan
pembuatan prioritas tujuan serta pendekatan yang sistematik, dan
mengutamakan aspek rasionalitas dalam proses pengambilan keputusan.
Keterkaitan antara pilihan strategi dalam pembangunan dan
penganggaran antara lain dijelaskan sebagai berikut :
Pertama, konsep pembangunan yang mengejar ketertinggalan atau
pendekatan pertumbuhan lebih relevan dengan system penganggaran
tradisional. Pendekatan dengan menaikan anggaran secara linear (incremental
budgeti tang) dengan konsep pembangunan yang mengutamakan
pertumbuhan, karena dalam setiap tahap periode tertentu sudah digariskan
mengenai besarnya target yang harus dicapai pada tahun tertentu.
Kedua, strategi pembangunan dengan mengutamakan pemerataan
lebih relevan dengan pendekatan system penganggaran berbasis kinerja,
karena penetapan anggaran berbasis kinerja didasarkan pada kebutuhan
masyarakat dalam berbagai sektor pada periode tertentu.
44
B. SIKLUS PENGANGGARAN
Dalam proses-proses pengelolaan anggaran paling tidak, kita
memilihnya dalam beberapa aspek kegiatan yang terpisah namun saling
terkait yakni aspek ekonomi, akuntansi, dan administrasi serta aspek
ekonomi, akuntansi, manajemen dan administrasi serta aspek politik dan
prosedural dalam kebijakan. Kecuali dalam aspek akuntansi dan
administrasi dimana masyarakat tidak harus terlibat langsung dan
mengetahui seluk beluknya, dalam aspek lain seperti ekonomi,
manajemen, politik dan prosedural kebijakan masyarakat sebagai
stakeholder harus terlibat di dalamnya.
Dari segi ekonomi, keterlibatan masyarakat adalah dalam rangka
memberikan masukan dan ikut berdiskusi dengan komponen pemerintah
berkaitan dengan penetapan indikator makro ekonomi yang terkait
langsung dengan aspek-aspek kemampuan dana dalam penganggaran baik
pada level nasional maupun regional.
Dari aspek politik, keterlibatan masyarakat merupakan suatu hak
politik warga Negara untuk terlibat dalam proses-proses penyelenggaraan
Negara sepanjang mereka mau dan mampu untuk terlibat. Penganggaran
sebagai suatu aktifitas politk dimana rakyat juga mempunyai hak untuk
terlibat, maka ketika proses pembahasan berlangsung baik pada tingkat
eksekutif yakni pembahasan rencana program, proyek dan kegiatan yang
akan dianggarkan maupun di legislative yang membahas item-item
program atau proyek yang akan diprioritaskan untuk dianggarkan hanya
melibatkan rakyat.
Seperti diketahui bahwa tahap-tahap dalam penganggaran paling
tidak meliputi 5 tahap perencanaan dan persiapan anggaran (preparation),
tahap penetapan atau ratifikasi (approval/ratification), tahap pelaksanaan
atau implementasi (implementation), tahap evaluasi dan pelaporan
(reporting and evaluation) terakhir tahap penilaian (kinerja, manfaat dan
dampak).
45
Di Indonesia, proses perencanaan APBD sesuai dengan
Kepmendagri 29/2002 tentang penganggaran berbasis kinerja merupakan
paradigma baru dalam proses penganggaran. Pendekatan ini
menitikberatkan proses perencanaan anggaran melalui pendekatan dari
bawah (bottom-up planning) dengan melibatkan masyarakat atau unsur
non pemerintah. Pendekatan yang bottom-up ini juga harus disinkronkan
dengan visi dan misi pembangunan daerah, dan dalam proses
penetapannya juga memperhatikan pilihan-pilihan prioritas sektor yang
paling urgen yang terkait dengan masyarakat banyak sesuai dengan
scenario kebijakan penganggaran dan pembangunan yang disepakati oleh
semua pihak.
Berdasarkan RENSTRADA yang telah dibuat serta analisis fiscal
dan ekonomi daerah , menurut ketentuan PP. No. 105 Tahun 2000
pemerintah daerah bersama-sama dengan DPRD menetapkan Arah dan
Kebijakan umum APBD. Setelah itu pemerintah daerah menetapkan hal-
hal berikut :
Pertama, menetapkan strategi dan prioritas APBD REPETADA
memuat program pembangunan daerah secara menyeluruh dalam satu
tahun.
Kedua, tahap Ratifikasi Anggaran (budget retification). Tahap ini
merupakan tahap yang melibatkan proses politik yang cukup rumit, cukup
berat dan biasanya terjadi perdebatan antara komisi anggaran legislative
dan eksekutif.
Ketiga, tahap pelaksanaan anggaran (budget implementation).
Setelah anggaran disetujui oleh legislative, tahap berikutnya adalah
pelaksanaan anggaran.
Keempat, tahap pelaporan dan evaluasi anggaran (evaluation and
reporting). Tahap terakhir dari siklus anggaran adalah pelaporan dan
evaluasi anggaran.
46
C. PROSES PENYUSUNAN APBN/APBD
Proses penyusunan dan penetapan Anggaran pendapatan dan belanja
Negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBN/D), adalah
tahap yang paling krusial dalam proses penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan. Betapa tidak, dengan APBN/D segala aktivitas
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan ditentukan. Di Indonesia,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/D) yang
dipresentasikan setiap tahun oleh eksekutif, memberikan informasi rinci
kepada DPR/DPRD dan masyarakat tentang program-program yang
direncanakan pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan rakyat.
Dalam dokumen APBN/D, juga harus menjelaskan sumber-sumber
penerimaan Negara, proses pembiayaan atas program-program pembangunan
dan operasionalisasi pemerintahan.
Faktor dominan yang terdapat dalam proses penyusunan dan
pengelolaan APBN/D adalah : 1) Adanya tujuan dan target yang hendak
dicapai dan harus dirumuskan secara jelas dan terukur dalam setiap item dan
nomenklatur anggaran. Hal itu diperlukan agar indikator kinerja yang hendak
dicapai dapat terbaca dalam dokumen APBN/D; 2) Ketersediaan sumberdaya
seperti faktor-faktor produksi yang dimiliki pemerintah.
D. DASAR HUKUM PENGANGGARAN
Landasan dan aturan hukum yang dijadikan acuan dalam proses
penganggaran pemerintah sejak masa kemerdekaan sampai dengan masa
sekarang (tahun 2009), telah mengalami berbagai perubahan baik pada
tingkat nasional maupun pada tingkat daerah. Ketika masa pemerintahan
Orde Baru misalnya, dasar hukum yang menjadi acuan bagi penetapan APBN
adalah UUD 45 yang dijabarkan dalam UU dan aturan-aturan pelaksanaanya
seperti; Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Kepres) dan
47
Keputusan Menteri (Kepmen) Maupun dalam bentuk Peraturan Daerah
(Perda) pada tingkat regional (wilayah).
Berbagai aturan Undang-Undang (UU) yang menjadi rujukan dalam
pengelolaan anggaran dalam pelaksanaan Pemerintahan Daerah dengan tahun
kesepuluh pelaksanaan reformasi di Indonesia diantaranya :
1. Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik.
2. UU No Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
3. UU No 8 Tahun 2005 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 Tentang perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Menjadi Undang-
Undang.
4. UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Nasional.
5. UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
6. UU No 32 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah.
7. Undang-Undang No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
8. UU No 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Pidana Korupsi.
9. UU No 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
10. UU No 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak.
48
BAGIAN 6
PARTISIPASI DALAM PENGELOLAAN ANGGARAN NEGARA
A. KONSEP DASAR PARTISIPASI
Partisipasi dalam bahasa Inggris : participation; dari Latin
participatum (ambil bagian) dan dari pars (bagian) capio (saya).
Semula partisipasi merupakan salah satu konsep dalam teori Plato
tentang ide-ide. Setiap ide supraduniawi merealisasikan secara sempurna
suatu isi esensial menurut kepenuhan kemungkinan-kemungkinannya. Karena
itu ide bersinar pada bidang duniawi sebagai ideal. Hal-hal dari dalam ide-ide
tersebut sejauh hal-hal itu hanya mampu menyatakan fraksi dari
kemungkinan-kemungkinannya. Karena itu, hanya ide-idelah yang
merupakan hal-hal yang sungguh-sungguh ada. Sementara hal-hal duniawi
yang kelihatan, yang terpenjara dalam “bukan ada” atau materi, hanya
merupakan bayangan dari dunia yang lebih tinggi. Plato telah melukiskan hal
itu dalam mitos gua yang terkenal dalam karyanya tentang Republik.
8 Citizen kontrol
7 Delegated power
6 Partnership
5 Placation
4 Consultation
3 Information
2 Therapy
1 Manipulation
Gambar 2. Skema anak tangga partisipasi (Arnstein, dan Burs, 1994, 157)
B. PARTISIPASI DAN INISIATIF WARGA
49
Degree of Citizen Power
Degree of Tokenism
Non-Participation
Perubahan dari pemerintah menuju masyarakat madani, dari
partisipasi sosial atau proyek menuju partisipasi di pemerintahan
(governance), memberikan ruang baru dimana konsep partisipasi juga
diperluas menjadi partisipasi kewargaan.
Untuk mewujudkan angan-angan partisipasi seperti di atas menurut
Ida (2002), setidaknya terdapat dua strategi yang bias dilakukan. Pertama,
strategi pengorganisasian (Organization strategy), dimana kelompok-
kelompok yang termajinalisir oleh proses-proses pembangunan
mengorganisir diri mereka atau diorganisir untuk meningkatkan kekuatan
atau posisi tawar.
Kedua, strategi pemberdayaan (empowerment strategy), dengan
mencoba melakukan penyadaran masyarakat agar menyadari hak dan
kewajibannya, sehingga mampu melakukan kontrol terhadap sumber daya
dan kebijakan pemerintah terkait kepentingan warga.
C. PARTISIPASI VERSI PEMERINTAH
Dengan mengacu pada pengertian partisipasi yakni adanya pihak yang
berperan dan kegiatan yang dilakukan secara aktif maupun pasif sebagaimana
telah dijelaskan di atas, tampaknya konsep partisipasi dikembangkan dalam
aksi-aksi yang lebih konkrit yang mengarah pada multi tafsir atas istilah
partisipasi itu.
Meurut Ida (2000) untuk menggolkan berbagai upaya pemerintah itu,
maka setidaknya terdapat dua strategi utama partisipasi yang dikembangkan
oleh pemerintah dengan jaringan yang membuatnya terpengaruh dalam
bingkai pembangunan moderniasi. Pertama, stretegi mobilisasi (mobilization
strategy), dimana program-program atau proyek-proyek pembangunan
dirancang oleh orang-orang luar, yang biasanya terdiri dari dua ahli yang
terlibat dalam lembaga-lembaga Negara/pemerintah, sebelum mengupayakan
masyarakat untuk terlibat di dalamnya. Dalam implementasi proyek-proyek
itu, kemudian mengharapkan dan bahkan “memaksa” masyarakat untuk
50
terlibat di dalamnya walaupun dalam derajat yang paling rendah (baca :
pasif), dengan satu penenkanan utama: tidak boleh menentang program yang
sudah dirancang oleh para ahli dari luar masyarakat itu.
Kedua, stategi pengembangan kelembagaan/masyarakat
(community/institutional development strategy). Stategi ini dimulai dengan
mencoba mencari pemahaman masyarakat terhadap masalah-masalah khusus
yang dihadapi oleh masyarakat lokal, dan berupaya manarikan jalan keluar
terhadap masalah-masalah khusus yang dihadapi ditingkat lokal itu.
D. PARTISIPASI DAN TRANSPARANSI
Istilah partisipasi dalam penyelenggaraan Negara selain terkait dengan
melibatkan atau keterlibatan rakyat dalam proses-proses politik dalam
penyelenggaraan Negara, juga memiliki makna stategis yaitu membangun
partisipasi rakyat guna menciptakan transparansi.
Menurut Ida (2002), dalam era otonomi daerah, penguatan partisipasi
masyarakat untuk mengawasi pemerintah sangat stategis karena : Pertama,
hakekat otonomi daerah adalah mendekatkan pelayanan pemerintah terhadap
masyarakat, dimana pelayanan tersebut merupakan jawaban atas aspirasi dan
kebutuhan masyarakat lokal.
Kedua, konsep otonomi daerah harus disadari sebagai perwujudan
perluasan arena demokrasi. Pada tataran ini, proses-proses pengambilan
keputusan tidak lagi berada pada tingkat elit, melainkan secara langsung
melibatkan rakyat dan atau elemen-elemen masyarakat yang ada di daerah.
E. PARTISIPASI DAN AKUNTABILITAS
Salah satu substansi dari isu dinamika politik lokal adalah melihat
pola interaksi dan wacana interaksi yang terjadi pada tingkat lokal.
Seperti dideskripsikan Minogue (1997;4) bahwa akuntabilitas
pemerintah merupakan strategi pembangunan komunikasi yang reformis
disertai dengan sejumlah prakarsa untuk memperkuat lembaga-lembaga
51
masyarakat madani dengan tujuan untuk menjadikan pemerintah lebih
bertanggunggugat, lebih transparan serta lebih demokratis. Menurut Edralin
(1997) dan Scheiner (1999), partisipasi, legitimasi, transparansi, akuntabilitas,
kompetensi, dan kepatuhan pada hukum dan hak-hak asasi manusia
merupakan unsur kunci dalam good governance.
F. KESADARAN PARTISIPASI
Manajemen pebangunan dan istilah bias saling bertentangan satu sama
lain. Seperti sudah dijelaskan, partisipasi menekankan pada upaya
mempertahankan pada inisiatif dan kontrol masyarakat lokal. sementara
manajemen menekankan upaya mengelola sesuatu sampai mencapai tujuan
yang telah ditentukan sebelumnya, di mana semuanya bias mengabaikan
aspek inisiatif dan kontrol masyarakat luas.
Dua syarat utama yang harus dilakukan pemerintah dalam kaitannya
dengan upaya penciptaan masyarakat sejahtera. Pertama, intervensi
pemerintah merupakan sesuatu yang niscaya untuk mengatasi berbagai
permasalahan sosial dan ekonomi yang ditmbulkan sebagai bias dari
kebijakan dan pengembangan partisipasi yang teracuni oleh nilai-nilai
modernisasi-kapitalisme.
Kedua, melakukan reformasi dalam pengelolaan masyarakat dengan
membangun mekanisme yang sinerjik dari ketiga elemen dalam
penyelenggaraan Negara (pemerintah, swasta dan masyarakat). Selama ini,
pmerintah hanya melibatkan unsur swasta (profit taking agencies) yang
ternyata berdampak buruk pada munculnya kesenjangan sosial ekonomi.
G. MEMBANGUN PARTISIPASI
Langkah-langkah membangun partisipasi antara lain :
Membangun anak tangga partisipasi. Anak tangga partisipasi ini
dikaitkan dengan proses pengambilan keputusan. Dalam system perencanaan
komunitas, hamper semua anak tangga tersebut dilalui.
52
Menjangkau dan menjemput bola. Proses partisipasi yang ikhlas,
murni dan jujur (genuine) beranggapan bahwa setiap orang atau stakeholders
mempunyain kontribusi potensial yang dapat diberikan.
Mengedepankan tiga dimensi partisipasi keluasan (outreach),
kedalaman (depth), dan kelangsungan (directness) harus diupayakan
maksimum dengan memanfaatkan teknik-teknik apa saja yang ada dalam
perbendaharaan pendekatan partisipasi selama ini yang telah dikembangkan,
dan disesuaikan dengan kondisi lokal yang ada. Kekurangan pada salah satu
dimensi sebaiknya diupayakan untuk diimbangi oleh dimensi lainnya.
Membangun legitimasi, validitas, dan legalitas. Legalitas harus
bersumber pada lejitimasi dan validitas, bukan sebaliknya. Legalitas
berhuungan dengan status hukum dan syarat-syarat kelembangan resmi yang
ada.
Memerankan aktor-aktor kompeten. Misalnya pihak atau
komponen dari perguruan tinggi sangat menentukan dalam pembangunan
validitas yang merupakan penyeimbang penting terhadap kecenderungan
populisme pada partisipasi yang hanya menekankan keluasan lejitimasi.
Membangun representasi kelompok. Ini dikaitkan dengan dimensi
ruang, structural, dan peran/fungsional.
Komunikasi publik (publik communication). Hal yang sangat
penting untuk mengurangi efek negatif dari representasi, yakni
kecenderungan terjadinyya penyarian sepihak oleh yang mewakili atas
masukan yang kaya dan luas dari komunitas yang diwakili, adalah tetap
terjalinnya komunikasi.
Aliansi Media Massa. Memerankan media massa adalah sangat vital
dalam membangun partisipasi. Media massa memiliki fungsi dan peran yang
sangat strategis dalam hal membangun jejaring stakeholders secara elegan.
Penjejangan dan pentahapan jelas serta rasional. Hal yang sangat
erat berkaitan dengan konsep representasi dan komunikasi dengan khalayak
ramai adalah pelaksanaan penjenjangan dan pentahapan yang tidak boleh
mengurangi tingkat partisipasi masyarakat.
53
H. PARTISIPASI PENGANGGARAN
Secara kontekstual, perkembangan partisipasi warga Negara dapat
dipetakan dalam tiga orientasi pokok. Pertama, partisipasi berorienasi
ekonomi.
Kedua, partisipasi berorientasi sosial. Cirinya dapat diamati melalui
aktivitas sosial kemasyarakatan yang dilakukan secara sukarela oleh para
pekerja sosial.
Ketiga, partisipasi berorientasi politik, yakni mengarah pada
keterlibatan dan penyampaian ide-ide berkaitan dengan berbagai hal seperti
penentuan pemimpin formal di tingkat lokal.
54
BAGIAN 7
MENGAWASI ANGGARAN NEGARA
A. MENGAPA PERLU DIAWASI?
Banyak hal yang menjadi pertimbangan, mengapa para aparatur yang
dipercaya mengelola anggaran Negara/daerah perlu diawasi. Pertama, setiap
orang berwatak oportunis, para penguasa pun dalam kondisi tertentu sulit
dikontrol, apalagi jika mereka monopoli informasi, tidak transparan. Tidak
adanya transparansi seringkali merupakan awal dari adanya rencana
menyalahgunakan anggaran.
Kedua, tidak semua kebutuhan rakyat dapat diterjemahkan oleh
penguasa, sementara system perencanaan dan penetapan anggaran yang
dilaksanakan masih saja dilakukan dengan pendekatan top down.
Ketiga, setiap penyelenggaraan pemerintahan juga mempunyai
berbagai kepentingan seperti kepentingan partai politik yang mendukungnya,
kepentingan keluarga dan pribadi.
Keempat, dalam proses-proses penganggaran yang dilakukan melalui
berbagai tahapan, terdapat banyak celah yang memungkinkan bagi pengelola
menyalahgunakan anggaran Negara.
Kelima, pengalaman selama ini mengindikasikan bahwa kebanyakan
instansi pemerintah termasuk di berbagai daerah belum mampu
mengoptimalkan kinerjanya secara efektif dan berkualitas dalam pengelolaan
anggaran.
Keenam, legislatif dan yudikatif sebagai lembaga yang berfungsi
untuk melakukan addvokasi dalam penyelenggaraan Negara belum bekerja
optimal dalam memainkan perannya.
B. ADVOKASI PENGANGGARAN
55
Anggaran sebagai rencana pendapatan dan pengeluaran dalam periode
tertentu, sesungguhnya merupakan refleksi dari kebijakan pemerintah.
Melalui kebijakan anggaran pemerintah, masyarakat dapat mengetahui apa
yang menjadi perhatian utama atau pun prioritas kebijakan pemerintah.
Advokasi anggaran sendiri bertujuan untuk mengubah kebijakan-
kebijakan yang menyangkut anggaran demi terwujudnya suatu kebijakan
anggaran yang lebih baik dan rasional. Kegiatan mengadvokasi anggaran
diharapkan dapat menngantisipasi penyimpangan-penyimpangan yang terjadi,
dan pemborosan anggaran dapat diminimalisir.
1. Strategi Melakukan Kontrol
Diperlukan langkah-langkah strategis untuk melakukan
pengawasan dan sekaligus mengintrol pelaksanaan suatu kebijakan.
Secara sistemik, proses-proses pelaksanaan kontrol dalam rangka
mengadvokasi anggaran Negara dapat dilakukan sebagai berikut. (1)
Analisis Kebijakan (Policy Analysis). (2) Advokasi (advocation). (3)
Pemberdayaan komunitas akar rumput (Grossroot Community
Empowerment).
2. FOKUS DAN LOKUS KONTROL
Secara lebih rinci, sasaran pengawasan dan kontrol publik dala
proses pengelolaan anggaran Negara meliputi hal-hal berikut. Pertama,
menyangkut konsistensi dalam perencanaan program/kegiatan, di mana
program kegiatan/proyek yang ditetapkan oleh pemerintah DPR/DPRD
bersama dengan pemerintah (Presiden, Gubernur, atau Bupati/Walikota)
harus sesuai dengan yang diusulkan oleh rakyat, dan sesuai pula dengan
program/kegiatan/proyek yang telah disosialisasikan kepada rakyat.
Kedua, berkaitan dengan pelaksanaan anggaran itu sendiri, di
mana rakayat harus secara intensif melakukan kontrol dan penawasan
terhadap : 1) sumber-sumber utama pendapatan Negara/Daerah, seperti
pajak dan retribusi, penjualan migas dan sumber-sumber lainyang
56
dikelola pemerintah; 2) Tata cara penarikan pajak, retribusi, dan
perimbangan (pusat dan daerah), penetapan pinjaman dan pengelolaan
utang luar Negara/daerah; Tata cara pengalokasikan anggaran untuk
mendanai program/proyek/kegiatan yang telah ditetapkan termasuk
pelaksanaan program yang sedang berlangsung.
Peran stakeholders atau masyarakat luas dalam melakukan
kontrol terhadap proses pengelolaan anggaran dalam suatu siklus secara
berkesinambungan, dipaparkan dalam Gambar 3.
Gambar 3. Mekanisme kontrol stakeholdersterhadap proses penganggaran
57
Proses perencanaan :Program Pembangunan, Anggaran Pendapatan dan Anggaran Belanja Negara/Daerah
Evaluasi dan Penilaian Kinerja Anggaran : Out
come Manfaat dan dampak
Laporan dan Pertanggungjawaban out put (Teknis dan Administrasi)
Implementasi Alokasi Sektor (Belanja operasional dan modal), pelaksanaan (administrasi, proses tender, dan teknik fisik), dan pengawasan Formal (BPKP, Bawasda, Irjen, BPK)
Stakeholders
C. LANGKAH ADVOKASI
Pertama, dalam proses perencanaan anggaran, langkah-langkahnya sebagai berikut : (1) Dapatkan dokumen draft APBD melalui pendekatan dan negosiasi kepada anggota-anggota DPR/DPRD yang menangani masalah anggaran. (2) Lakukan analisis berdasarkan porsinya antara anggaran rutin dan anggaran pembangunan (anggaran operasional dan anggaran modal). Lalu kaji pengalokasian menurut peruntukannya, rasio kelayakan anggaran persektor, program dan kegiatan, keadilan distribusinya, termasuk analisis trend perkembangan alokasi anggaran dari tahun ke tahun (analisis trend atau analisis secara incremental).
Kedua, dalam pelaksanaan anggaran lakukan hal-hal berikut : (1) Dapatkan dokumen APBD, DUP, DIP (sekarang sesuai Kepmendagri 29/2002 disebut RASK atau Rancangan Anggaran satuan Kerja) dan LK Proyek melalui pendekatan informal atau formal kepada DPRD, Pemda, Bapeda, dan atau instansi terkait.
Ketiga, saat pelaporan (1) Dapatkan dokumen laporan, laporan tahunan proyek melalui Instansi/dinas terkait. (2) Lakukan analisis dan cocokan antara apa yang dilaporkan dengan rencana semula.
58
59
Asistensi/Pendampingan Seiap tahapan
MUSREMBANGDES/KELUDKP
RAKORBANGPenjaringan aspirasi
Lobby
Lobby
PEMDA
Arah dan kebijakan Umum APBD
DPRD
Pokok-pokok pikiran DPRD
Diskusi Publik
Strategi dan Prioritas
Lobby
TIM MANGGARAN EKSEKUTIF
Forum Kota Forum Kelurahan
PANITIAAD HOC
WorkshopPenyusunan
RASKPD
Penjaringan
Analisis
Analisis
Konsultasi Publik
PENGANGGARAN LEGISLATIF
Pengajuan RAPBD
Pra RAPBD
RAPBD SKPD
LPASKPD
Rencana Program/Kegiatan
Klarifikasi dan Ratifikasi RAPBD
Perda APBD
BAGIAN 8
MENYEBAR “VIRUS” TRANSPARANSI
DAN AKUNTABILITAS ANGGARAN
A. KONSEP TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS
Istilah “transparansi” berasal dari bahasa Inggris dengan kata sifat
transparent, yang berarti jernih, tembus cahaya, tembus terang atau mudah
terlihat, jelas tidak meragukan. Kamus Oxford Paperback Thesaurus (1994),
mengartikan transparency (intinya) sebagai keterbukaan, kebersihan,
keterusterangan. Mirip dengan itu pula, dalam Britania World Language
Standard (1959), Transparency diartikan sebagai sesuatu seperti gambar pada
gelas yang akan terlibat ketika cahaya menyinarinya. Dalam The New
International Webster’s Dictionary and Thesaurus (2000) kecuali antara lain
diartikan sama dengan pengertian dalam Britania World di atas, juga
menekankan pada the quality of being transparent.
Berkaitan dengan pengertian di atas, setidaknya ada empat kriteria
yang mencakup dengan transparansi dalam system pengelolaan kebijakan
publik : (1) Adanya keterbukaan dalam proses-proses pengolaan kebijakan
publik; (2) Ketersediaan informasi bagi publik, bahwa sejak dari perencanaan
hingga sampai pertanggungjawaban atas program dan atau kebijakan publik;
(3) Adanya ruang publik untuk memperdebatkan proses-proses pengambilan
kebijakan dan implementasinya; dan (4) Adanya partisipasi rakyat, dalam arti
bahwa setidaknya ada elemen-elemen masyarakat yang terlibat dalam proses
kebijakan publik dan implementasinya.
60
B. URGENSI TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS
Partisipasi masyarakat, transparansi dan akuntabilitas dalam proses
penyelenggaraan pemerintah daerah, bukan berarti mengabaikan perean
DPRD. Partisipasi dan transparansi merupakan langkah strategis dalam
memperkuat kinerja DPRD yang selama Orba atau sampai saat ini belum
berperan secara maksimal sebagai lembaga yang seharusnya
memperjuangkan hak-hak rakyat yang diwakilinya. Menurut Kleden (2000 :
5) keberadaan DPR seperti masa Orba hanya memenuhi persyaratan secara
legal tetapi tidak mewakili legitimasi.
Di mata masyarakat, DPR/DPRD yang tidak pro rakyat, disebut tidak
mempresentasikan suara rakyat secara murni berdasarkan prinsip-prinsip
demokrasi. Peran legislatif seringkali hanyalah melegetimasi kebijakan
eksekutif tanpa memperhatikan untung ruginya bagi rakyat banyak. Mereka
seringkali menyepakati suatu kebijakan yang dirumuskan oleh eksekutif
untuk dilaksanakan pemerintah. Hal itu sering terjadi karena anggota-anggota
DPR/DPRD selain memiliki ketergantungan (dependensi) yang sangat kuat
terhadap eksekutif atau penguasa, juga karena kurangnya kapasitas dan
kemampuan dalam memahami dan menguasai masalah-masalah
penganggaran. Kondisi seperti itu mengakibatkan legislatif sulit
memperjuangkan hak-hak rakyat.
C. TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS DALAM OTONOMI
DAERAH
Lahirnya berbagai aturan dan perundang-undangan sebagai rujukan
hukum dalam proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di
daerah menjadi salah salah satu modal bagi terwujudnya tata kelola
pemerintahan yang baik di Indonesia.
Menurut Djamin (2000), ada tiga bidang atau job yang rawan
terjadinya korupsi yaitu: (1) Yang bertugas dalam pemasukan keuangan
61
Negara (revenue earning units), (2) yang bertugas dalam pengeluaran dana
besar (the big spenders) dan (3) Yang memiliki kewenangan dalam pembuat
segala macam perizinan termasuk izin penjualan asset Negara. Ketiga bidang
ini harus dikelola secara transparan dan akuntabilitas.
D. TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS MENUJU GOOD
GOVERNANCE
Transparansi merupakan salah satu prinsip good governance, selain
penegakan hukum, kesetaraan, responsivitas, wawasan ke depan,
akuntabilitas, pengawasan, efisien dan efektif serta profesionalisme.
Gerakan transparansi dan gugatan akan perlunya akuntabilitas
pemerintah di Indonesia dilakukan seiring dengan merebaknya gerakan
demokratisasi dan reformasi tahun 1998. Banyak organisasi dan aktivis LSM
yang konsen dengan pengembangan gerakan transparansi anggaran. Salah
satu LSM pionir dalam pengembangan gerakan transparansi anggaran di
Indonesia adalah FITRA, selain ICW (Indonesia Corruption Wacth) dan
lembaga non profit lainnya. Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran
(FITRA) misalnya memiliki simpul jaringan kerja di berbagai daerah dan
telah berjalan selama Sembilan tahun.
E. GERAKAN TRANSPARANSI
Kenapa masyarakat perlu dilibatkan dalam proses penganggaran, ada
dua alasan kenapa rakyat dilibatkan. Pertama, karena merupakan hak rakyat.
Kedua, karena selama ini rakyat tidak pernah dilibatkan dalam proses
penganggaran dan bahkan sengaja dipinggirkan agar daya kekuatan rakyat
dapat diperkecil.
Adanya peluang berpartisipasi, disertai dengan kegiatan pencerahan
dan penguatan kepada masyarakat sipil secara nyata melahirkan kelompok-
kelompok masyarakat kritis. Beberapa diantaranya seperti forum warga dan
jaringan NGO pada tingkat akar rumput yang selalu berusaha melibatkan diri
62
dalam proses penyelenggaraan pemerintah lokal di berbagai daerah. Di
beberapa daerah lebih fokus melibatkan diri dalam proses-proses pengelolaan
anggaran di daerah. Mereka antara lain bergabung dalam simpul jaringan
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (SIJAR FITRA), diprakarsai
oleh pusat Studi Pengembangan Kawasan (PSKP – Jakarta ) pada tahun 1999.
Di beberapa daerah seperti Medan, Riau, Palembang, Jakarta, Tuban, Luwu
Utara (Sulsel) dan Kendari telah berkembang sejak 9 tahun yang lalu.
1. Bagaimana Membangun Gerakan?
Pertama, melakukan sosialisasi isu dalam rangka membangun
kesadaran masyarakat dan atau seluruh stakeholder mengenai hak-hak
terhadap anggaran serta pentingnya memperhatikan dan mengontrol
pengelolaan anggaran.
Kedua, lakukan analisis potensi kemungkinan melakukan agenda
seperti kekuatan dan kelemahan serta peluang maupun tantangan dalam
mengangkat dan melakukan advokasi suatu issu atau permasalahan.
Ketiga, siapkan kader dan kuatkan melalui capacity building
melalui pelatihan-pelatihan.
2. Memperluas Jejaring Transparansi
3. Srategi Melikbatkan Rakyat
Ada tiga strategi pelibatan rakyat dalam proses penganggaran,
yakni pertama melalui advokasi hak-hak politik rakyat. Hal ini
dimaksudkan untuk mengembalikan kekuasaan politik dan kedaulatan
pada rakyat. Kedua, penguatan akses rakyat pada sumberdaya. Ketiga,
pemberdayaan melalui peningkatan kemampuan lewat pelatihan tentang
proses perencanaan dan penganggaran.
63