Upload
benzough
View
107
Download
7
Embed Size (px)
DESCRIPTION
laporan kasus mengenai TB Paru Relaps
Citation preview
TUGAS LAPORAN KASUS
Oleh :
Pembimbing:dra. Khemasili Kosala, Apt.
Lab/SMF Ilmu Farmasi/FarmakoterapiFakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
Samarinda2012
Adhitya Angga Kharisma 06.55398.00341.09Dewi Ayu Puspitasari 0808015014Astri Nova 0808015015M. Azhadi Rahmadani 0808015018Rina Zubaidah 0808015020
Laporan Kasus dari Ruang Seruni
I. Identitas pasien:
Nama : Tn. AW
Usia : 55 tahun
Alamat : Santan Ilir RT. 002 Marang Kayu
Status : Kawin
Pekerjaan : -
Agama : Islam
Tanggal MRS : 6 Juli 2012
II. Anamnesis (Subyektif)
Keluhan Utama :
Sesak napas
Riwayat Penyakit Sekarang:
Sesak dirasakan sejak 7 bulan yang lalu. Keluhan lain yang dialami adalah batuk mulai
dua bulan yang lalu dan badan panas dingin mulai setengah bulan yang lalu. Selama 1 bulan
terakhir berat badan pasien turun menjadi 40 kg dan tidak nafsu makan. Pasien sering keringat
dingin pada malam hari. Pasien juga mengalami ambeien yang harus dimasukkan dengan jari,
buang air besar tidak lancar dan berdarah. Sejak 1 bulan yang lalu pasien mengalami gatal-gatal
seluruh tubuh, terdapat bentol-bentol kecil berwarna merah.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien memiliki riwayat pengobatan OAT.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada
III. Pemeriksaan Fisik (Obyektif)
Keadaan Umum : Baik
GCS : 15
Vital Sign : TD 140/100, N = 88X/menit, RR 22X/menit, T 36,8 °C
Wajah : Normal, anemis (-)
Thorax :
Pulmo : Simetris, Vesikular, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Cor : S1S2 tunggal, regular
Abdomen: flat, soefl, H/L/G tidak teraba, NT abdomen (-), timpani, BU (+) kesan normal.
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-).
Pemeriksaan penunjang
a. Hasil Pemeriksaan Sputum BTA tanggal 7 Juli 2012
BTA I (-); BTA II (+2); BTA III (+2)
b. Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap dan Hitung Darah tanggal 7 Juli 2012
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hb 10,7 > 12
Hct 28,9 36 - 48
RBC 4,01 juta 4 – 5,5 juta
Hitung WBC Shift to the left
WBC 11.700 5000 – 10.000
Lym 1900 1000 – 5000
Mid 1000 100 – 100
Gra 8700 2000 - 8000
HGB 10,3 12 – 16
MCV 72,1 82 – 92
MCH 25,7 27 – 36
MCHC 35,6 32 – 36
RDW 17,1 10 – 16
Plt 250.000 200.000 - 400.000
GDS 40 60 - 150
Asam urat 4,6 2,5 – 7
Ureum 20,4 10 – 40
Kreatinin 0,6 0,5 – 1,5
SGPT 17 < 25
SGOT 10 < 32
Bilirubin total 0,6 0 – 1
Bilirubin direk 0,3 0 – 0,25
Bilirubin indirek 0,3 0 – 0,75
Protein total 7,0 6,6 – 8,7
Albumin 3,0 3,2 – 4,5
Globulin 4,0 2,3 – 3,5
Kolesterol 184 150 – 220
Natrium 138 135 – 155
Kalium 3,5 3,6 – 5,5
Chloride 102 95 – 108
IV. Diagnosa (Assessment)
TB Paru Relaps
V. Terapi
IVFD RL : D5% = 2 : 1, 20 tpm
Co-Amoxiclav 500 mg, 3x1 tablet
Ambroxol 3x1 tablet
Paracetamol 3x1 tablet
FDC 1x3 tablet
Inj. Ranitidin 2x1 ampul
Inj. Streptomisin 1x500 mg
Antasida sirup 3xC1
Follow up harian:
Waktu Observasi Tindakan / terapi
7 Juli 2012 S: sesak (+), menggigil (+), demam
(+)
O: CM; TD = 140/100, N = 88x/mnt,
IVFD RL : D5% = 2 : 1, 20 tpm
Co-Amoxiclav 500 mg 3x1 tablet
RR = 28x/mnt, T= 38ºC, lain-lain
normal.
A: TB Paru Relaps
Ambroxol 3x1 tablet
Paracetamol 3x1 tablet
Cek DL, HDL, BTA 3x
9 Juli 2012 S: sesak (+), demam (-), batuk
berdahak (+), mual (+)
O: CM; TD = 100/70, N = 84x/mnt,
RR = 24x/mnt, T= 36,5ºC, lain-lain
normal.
A: TB Paru Relaps
IVFD RL : D5% = 2 : 1, 20 tpm
Co-Amoxiclav 500 mg 3x1 tablet
Ambroxol 3x1 tablet
Paracetamol 3x1 tablet
FDC 1x3 tablet
Inj. Ranitidin 2x1 ampul
Inj. Streptomisin 1x500 mg
Antasida sirup 3xC1
Cek GDS
10 Juli 2012 S: sesak (+) ↓, demam (-), mual (+),
muntah jika minum obat (+).
O: CM; TD = 100/60, N = 80x/mnt,
RR = 24x/mnt, T= 36,5ºC, lain-lain
normal.
A: TB Paru Relaps
IVFD RL : D5% = 2 : 1, 20 tpm
Co-Amoxiclav 500 mg 3x1 tablet
Ambroxol 3x1 tablet
Paracetamol 3x1 tablet
FDC 1x3 tablet
Inj. Ranitidin 2x1 ampul
Antasida sirup 3xC1
11 Juli 2012 S: Mual jika minum obat (+), demam
(-), sesak (-)
O: CM; TD = 90/60, N = 88x/mnt,
RR = 24x/mnt, T= 36,5ºC, lain-lain
normal.
A: TB Paru Relaps
IVFD RL : D5% = 2 : 1, 20 tpm
Co-Amoxiclav 500 mg 3x1 tablet
Ambroxol 3x1 tablet
Paracetamol 3x1 tablet
FDC 1x3 tablet
Inj. Ranitidin 2x1 ampul
Antasida sirup 3xC1
Besok bisa KRS
VI. Masalah yang akan dibahas
Penggunaan obat-obatan pada kasus ini berdasarkan diagnosis
Rasionalisasi pengobatan pada kasus ini
Interaksi dan efek samping obat-obat yang digunakan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TUBERCULOSIS
Etiologi
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk
batang dengan ukuran panjang 1-4μm dan tebal 0,3-0,6μm. Yang tergolong dalam kuman
Mycobacterium tuberculosae complex adalah
1. Mycobacterium tuberculosis
2. Varian Asian
3. Varian African I
4. Varian African II
5. Mycobacterium bovis
Pembagian tersebut adalah berdasarkan perbedaan secara epidemiologi.
Kelompok kuman Mycobacteria Other Than TB (MOTT, atypical) adalah:
1. Mycobacterium kansasi
2. Mycobacterium avium
3. Mycobacterium intra cellulare
4. Mycobacterium scrofulaceum
5. Mycobacterium malmacerse
6. Mycobacterium xenopi
Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian peptidoglikan
dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam
alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap
gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam
keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena
kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali
dan menjadikan penyakit tuberkulosis menjadi aktif lagi. Di dalam jaringan, kuman hidup
sebagai parasit intraseluler yaitu dalam sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula
memfagositasi malah kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain
M. tuberculosis
dari kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi
jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen di bagian
apikal paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat
predileksi penyakit tuberkulosis.
Epidemiologi global
Alasan utama munculnya atau meningkatnya beban TB global disebabkan oleh :
1. Kemiskinan pada berbagai penduduk, tidak hanya pada negara yang sedang
berkembang tetapi juga pada penduduk perkotaan tertentu di negara maju,
2. Adanya perubahan demografik dengan meningkatnnya penduduk dunia dan
perubahan dari struktur usia manusia yang hidup,
3. Perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi pada penduduk di kelompok yang
rentan terutama di negara-negara miskin,
4. Tidak memadainya pendidikan mengenai TB di antara para dokter,
5. Terlantar dan kurangnya biaya untuk obat, sarana diagnostik dan pengawasan
kasus TB dimana terjadi deteksi dan tatalaksana kasus yang tidak adekuat,
6. Adanya epidemi HIV terutama di Afrika dan Asia.
Indonesia adalah negara dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah Cina dan
India.
Cara penularan
Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan kemungkinan
besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah
kasus TB. Proses terjadinya infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis biasanya secara
inhalasi, sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang palling sering dibanding
organ lainnya. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang
mengandung droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk
berdarah atau berdahak yang mengandung BTA. Pada TB kulit atau jaringan lunak
penularan bisa melalui inokulasi langsung. Infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium
bovis dapat disebabkan oleh susu yang kurang disterilkan dengan baik atau
terkontaminasi. Sudah dibuktikan bahwa lingkungan sosial ekonomi yang baik,
pengobatan teratur dan pengawasan minum obat ketat berhasil mengurangi angka
morbiditas dan mortalitas.
Patogenesis
A. Tuberkulosis Primer
Kuman tuberculosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan
paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau
afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru,
berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan
saluran getah bening menuju hilus (limfangitis local). Peradangan tersebut diikuti
oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer
bersama-sama dengan limfadenitis regional dikenal sebagai kompleks primer.
Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasih sebagai berikut:
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat samasekali (restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotic, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara:
a. Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya
Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan
bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelejar hilus yang membesar
sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan dengan
akibat atelektasis. Kuman tuberculosis akan menjalar sepanjang bronkus yang
tersumbat ini ke lobus yang atelektasis tersebut yang dikenal epituberkulosis.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya atau tertelan.
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan
daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat
sembuh secara spontan akan tetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat,
penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberculosis
milier, meningitis tuberculosis, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga
dapat menimbulkan tuberculosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang,
anak ginjal, genitalia, dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini
mungkin berakhir dengan:
- Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan
terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma)
atau
- Meninggal
Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberculosis primer.
B. Tuberkulosis Postprimer
Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah tuberculosis
primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis postprimer mempunyai
nama yang bermacam-macam yaitu tuberculosis bentuk dewasa. Localized
tuberculosis, tuberculosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberculosis inilah yang
terutama menjadi masalah kesehatan masyarakat karena dapat menjadi sumber
penularan. Tuberkulosis postprimer dimulai dengan sarang dini yang umumnya
terletak di segmen apical lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini
awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil.
Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut:
1. Diresorpsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan denga
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan
sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali
dengan membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju
dibatukkan keluar.
3. Sarang pnemoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti
akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya
berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik).
Kaviti tersebut akan menjadi:
a. Meluas kembali dan menimbulkan sarang pnemoni baru. Sarang pnemoni ini
akan menjadi pola perjalanan seperti yag disebutkan di atas.
b. Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh tetap mungkin pula aktif
kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi.
c. Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti
menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil. Kemungkinan
berakhir sebagai kaviti yang terbungkus dan menciut sehingga kelihatan
seperti bintang (stellate shaped).
Klasifikasi Tuberkulosis
Sampai sekarang belum ada kesepakatan diantara para klinikus, ahli radiologi, ahli
patologi, mikrobiologi, dan ahli kesehatan masyarakat tentang keseragaman klasifikasi
tuberculosis. Dari system lama diketahui beberapa klasifikasi seperti :
Pembagian Secara Patologis
- Tuberculosis Primer (Childhood Tuberculosis)
- Tuberculosis Post-Primer (Adult Tuberculosis)
Pembagian Secara Aktifitas Radiologis Tuberculosis Paru (Koch Pulmonum)
aktif, non-aktif dan quiescent (bentuk aktif yang mulai menyembuh).
Pembagian secara radiologis (luas lesi)
- Tuberculosis Minimal. Terdapat sebagian kecil infiltrate non-kavitas pada satu
paru maupun dua paru tetapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru.
- Moderately Advance Tuberculosis. Ada kavitas tidak lebih dari 4cm. Jumlah
infiltrate bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru bila bayangannya
kasar tidak lebih dari sepertiga bagian satu paru.
- Far Advance Tuberculosis. Terdapat infiltrate dan kavitas yang melebihi
keadaan pada moderately advance tuberculosis.
Pada tahun 1974 American Thoracic Society memberikan klasifikasi baru yang diambil
berdasarkan aspek kesehatan masyarakat.
Kategori 0 : Tidak pernah terpajan dan tidak terinfeksi, riwayat kontak negatif, tes
tuberculin negatif.
Kategori I : Terpajan tuberculosis, tapi tidak terbukti ada infeksi, riwayat kontak
positif, tes tuberculin negatif.
Kategori II : Terinfeksi tuberculosis, tetapi tidak sakit. Tes tuberculin positif,
radiologi dan sputum negatif.
Kategori III : Terinfeksi tuberculosis dan sakit.
Di Indonesia klasifikasi yang banyak dipakai adalah berdsarkan kelainan klinis,
radiologis dan mikrobiologis :
Tuberculosis Paru
Bekas Tuberculosis Paru
Tuberculosis Paru Tersangka, yang terbagi dalam :
a. Tuberculosis paru tersangka yang diobati. Disini sputum BTA negatif, tetapi
tanda-tanda lain positif.
b. Tuberculosis paru tersangka yang tidak diobati. Disini sputum BTA negatif
dan tanda-tanda lain juga meragukan.
Dalam 2 – 3 bulan, TB tersangka ini sudah harus dipastikan, apakah termasuk TB paru
(aktif) atau bekas TB paru. Dalam klasifikasi ini perlu dicantumkan :
1. Status bakteriologi,
2. Mikroskopik sputum BTA (langsung),
3. Biakan sputum BTA,
4. Status radiologis, kelainan yang relevan untuk tuberculosis paru,
5. Status kemotherapi, riwayat pengobatan dengan obat anti tuberculosis.
WHO 1991 berdasarkan terapi membagi TB dalam 4 kategori yakni :
Kategori I, ditujukan terhadap :
Kasus baru dengan sputum positif
Kasus baru dengan bentuk TB berat
Kategori II, ditujukan terhadap :
Kasus kambuh
Kasus gagal dengan sputum BTA positif
Kategori III, ditujukan terhadap :
Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas
Kasus TB extra paru selain dari yang disebut dalam kategori I
Kategori IV, ditujukan terhadap : TB kronik.
Gejala Klinis
Keluhan yang diarasakan pasien tuberculosis bisa bermacam-macam atau malah banyak
pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan.
Keluhan yang terbanyak adalah :
Demam. Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang panas
dapat mencapai 40-41 °C. serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi
kemudian bisa kambuh kembali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam influenza
ini, sehingga pasien tidak ernah merasa terbebas dari serangan demam influenza.
Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi
kuman tuberculosis yang masuk.
Batuk/Batuk Darah. Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi
pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk mengeluarkan produk-produk radang keluar.
Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada
setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atau
berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat betuk dimulai dari batuk kering (non-
produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan
sputum). Keadaan yang lebih lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh
darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberculosis terjadi pada kavitas, tetapi
dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.
Sesak nafas. Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak nafas.
Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi
setengah bagian paru.
Nyeri Dada. Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang
sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura
sewaktu pasien menarik/melepaskan nafasnya.
Malaise. Penyakit tuberculosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan berupa anoreksia dan tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan
turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam dll. Gejala malaise ini makin
lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.
Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjunctiva
mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan kurus atau
berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisis pasien sering tidak menunjukkan suatu
kelainanpun terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara
asimptomatik. Demikian juga bila sarang penyakit terletak di dalam, akan sulit
menemukan kelainan padapemeriksaan fisis, karena hantaran getaran/suara yang lebih
dari 4cm kedalam paru sulit dinilai secara palpasi, perkusi dan auskultasi. Secara
anamnesis dan pemeriksaan fisis, TB paru sulit dibedakan dengan pneumonia biasa.
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adanya infiltrate yang agak luas,
maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara nafas bronchial. Akan
didapatkan juga suara nafas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila
infiltrate ini diliputi oleh penebalan pleura, suara nafasnya menjadi vesikuler melemah.
Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara hypersonor atau
tympani dan auskultasi memberikan suara amforik.
Pada tuberculosis paru yang lanjut dengan febris yang luas sering ditemukan atrofi dan
retraksi otot-otot intercostals. Bagian paru yang sakit jadi menciut dan menarik isi
mediastinum atau paru lainnya. Paru yang sehat lebih hiperinflasi. Bila jaringan fibrotik
amat luas yakni lebih dari setengah jumlah jaringan paru-paru, akan terjadi pengecilan
daerah aliran darah paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan arteri pulmonalis
(hipertensi pulmonal) diikuti terjadinya kor pulmonal dan gagal jantung kanan. Disini
akan didapatkan tanda-tanda kor pulmonal dan gagal jantung kanan seperti takipnea,
takikardia, sianosis, right ventricular lift, right atrial gallop, murmur Graham-Steel,
bunyi P-2 yang mengeras tekanan vena jugularis yang meningkat, hepatomegali, asites
dan edema.
Bila tuberculosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit terlihat
agak tertinggal dalam pernafasan. Pernafasan memberikan suara pekak. Auskultasi
memberikan suara nafas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.
Dalam penampilan klinis TB paru sering asimtomatik dan penyakit baru dicurigai dengan
didapatkannya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberculin yang
positif.
Pemeriksaan Penunjang
Uji Tuberkulin dan Klasifikasi TBC
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan paling bermanfaat untuk menunjukkan
sedang/pernah terinfeksi Mikobakterium tuberkulosa dan sering digunakan dalam
"Screening TBC". Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin
adalah lebih dari 90%.
Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji tuberkulin
positif 100%, umur 1–2 tahun 92%, 2–4 tahun 78%, 4–6 tahun 75%, dan umur 6–12
tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka
hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik.
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara
mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½
bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit).
Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter
dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi.
Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri
Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan pada
anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa. Bakteri ini bila
sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak
(terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar
melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat
menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran
pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh
yang paling sering terkena yaitu paru-paru.
1. Pembengkakan
(Indurasi)
: 0–4mm,uji mantoux negatif.
Arti klinis : tidak ada infeksi
Mikobakterium tuberkulosa.
2. Pembengkakan
(Indurasi)
: 3–9mm,uji mantoux meragukan.
Hal ini bisa karena kesalahan teknik,
reaksi silang dengan Mikobakterium atipik
atau setelah vaksinasi BCG.
3. Pembengkakan
(Indurasi)
: ≥ 10mm,uji mantoux positif.
Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi
Mikobakterium tuberkulosa.
Pemeriksaan radiologis dapat memperkuat diagnosis, karena lebih 95% infeksi primer
terjadi di paru-paru maka secara rutin foto thorax harus dilakukan. Ditemukannya kuman
Mikobakterium tuberkulosa dari kultur merupakan diagnostik TBC yang positif, namun
tidak mudah untuk menemukannya.
Klasifikasi TBC (menurut The American Thoracic Society, 1981)
Klasifikasi 0 Tidak pernah terinfeksi, tidak ada kontak, tidak menderita TBC
Klasifikasi I Tidak pernah terinfeksi,ada riwayat kontak,tidak menderita TBC
Klasifikasi II Terinfeksi TBC / test tuberkulin ( + ), tetapi tidak menderita TBC (gejala
TBC tidak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi negatif).
Klasifikasi III Sedang menderita TBC
Klasifikasi IV Pernah TBC, tapi saat ini tidak ada penyakit aktif
Klasifikasi V Dicurigai TBC
Penegakkan Diagnosis
Menurut Dep.Kes (2003), penemuan penderita TB Paru dibedakan menjadi 2:
1) Pada orang dewasa: Penemuan TB Paru dilakukan secara pasif, artinya penjaringan
tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit
pelayanan kesehatan. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan
ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan
dinyatakan positif bila sedikitnya dua dari tiga spesimen BTA hasilnya positif.
2) Pada anak-anak: Diagnosis paling tepat adalah dengan ditemukannya kuman TB
dari bahan yang diambil dari penderita, misalnya dahak, bilasan lambung, dan biopsi.
Sebagian besar diagnosis TB anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran foto
rontgen dada dan uji tuberkulin. Seorang anak harus dicurigai menderita TB Paru
kalau mempunyai sejarah kontak erat/serumah dengan penderita TB Paru BTA
positif, terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG (dalam 3-7 hari)
dan terdapat gejala umum TB paru yaitu batuk lebih dari 2 minggu.
Manifestasi Klinik Menurut Dep.Kes (2003),
1. Gejala Umum : Batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih. Pada
TB Paru anak terdapat pembesaran kelenjar limfe superfisialis.
2. Gejala lain yang sering dijumpai :
a) Dahak bercampur darah.
b) Batuk darah
c) Sesak nafas dan rasa nyeri dada
d) Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan
(malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari
sebulan.
Gejala-gejala tersebut diatas dijumpai pula pada penyakit Paru selain TB Paru. Oleh
karena itu setiap orang yang datang ke unit pelayanan kesehatan dengan gejala tersebut
diatas, harus dianggap sebagi seorang “suspek TB Paru” atau tersangka penderita TB
Paru, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal yang perlu
dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah:
o Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya.
o Pemeriksaan fisik.
o Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).
o Pemeriksaan patologi anatomi (PA).
o Rontgen dada (thorax photo).
• Curiga adanya komplikasi
• Hemoptisis berulang atau berat
• Didapatkan hanya 1 spesimen BTA (+)
• Gambaran radiologis yang dicurigai lesi TB aktif :
Bayangan berawan/nodular di segmen apical dan posterior lobus atas dan
segmen superior lobus bawah paru.
Kaviti,
Bayangan bercak milier
Efusi plera
o Uji tuberkulin.
Diagnosis TB paru
• Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu -
pagi - sewaktu (SPS).
• Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman
TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak
mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks,
biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang
sesuai dengan indikasinya.
• Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks
saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru,
sehingga sering terjadi overdiagnosis.
• Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
Komplikasi
Menurut Dep.Kes (2003) komplikasi yang sering terjadi pada penderita TB Paru stadium
lanjut:
1) Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.
2) Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial. , sehingga terjadi ketidak mampuan
menampung atau menyimpan oksigen dari lobus.
3) Bronkiectasis dan fibrosis pada Paru. Bronkiectasis adalah endapan nanah ada
bronkus setempat karena terdapat infeksi pada bronkus. Penyebabnya yaitu
kerusakan yang berulang pada dinding bronchial dan keadaan abnormal dari
jaringan penghasil mucus mengakibatkan rusaknya jaringan pendukung menuju
saluran nafas. Fibrosis adalah pembentukan jaringan ikat pada roses pemulihan
atau penyembuhan.
4) Efusi Pleura adalah adanya cairan abnormal dalam rongga pleura yang disebabkan
oleh tekanan yang tidak seimbang pada kapiler yang utuh dan menyebabkan
kapasitas paru-paru tidak berkembang.
5) Pneumotorak spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan Paru.
6) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan
sebagainya.
7) Insufisiensi Kardio Pulmoner atau penurunan fungsi jantung dan paru-paru sehingga
kadar oksigen dalam darah rendah.
PENATALAKSANAAN
Menurut Dep.Kes (2003) tujuan pengobatan TB Paru adalah untuk menyembuhkan
penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan dan menurunkan tingkat
penularan. Salah satu komponen dalam DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka
pendek dengan pengawasan langsung dan untuk menjamin keteraturan pengobatan
diperlukan seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pemberian paduan OAT didasarkan
pada klasifikasi TB Paru. Prinsip pengobatan TB Paru adalah obat TB diberikan dalam
bentuk kombinasi dari beberapa jenis (Isoniasid, Rifampisin, Pirasinamid, Streptomisin,
Etambutol) dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman
(termasuk kuman persisten) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan tahap lanjutan
ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Pada tahap intensif
(awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah
terjadinya kekebalan terhadap semua OAT. Bila pengobatan tahap intensif tersebut
diberikan secara tepat, penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2
minggu.
Sebagian besar penderita TB Paru BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada
akhir pengobatan intensif. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih
sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk
membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadi kekambuhan. Pada anak,
terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat dengan penderita TB Paru BTA
positif, perlu dilakukan pemeriksaan. Bila anak mempunyai gejala seperti TB Paru maka
dilakukan pemeriksaan seperti alur TB Paru anak dan bila tidak ada gejala, sebagai
pencegahan diberikan Izoniasid 5 mg per kg berat badan perhari selama enam bulan.
Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok yaitu :
o Obat primer : INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin, Pirazinamid.
Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat
ditolerir, sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini.
(2HRZ)
o Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin,
Kapreomisin dan Kanamisin. (4HR)
Dosis obat antituberkulosis (OAT)
Obat Dosis harian
(mg/kgbb/hari)
Dosis 2x/minggu
(mg/kgbb/hari)
Dosis 3x/minggu
(mg/kgbb/hari)
INH 5-15 (maks 300 mg) 15-40 (maks. 900 mg) 15-40 (maks. 900 mg)
Rifampisin 10-20 (maks. 600 mg) 10-20 (maks. 600 mg) 15-20 (maks. 600 mg)
Pirazinamid 15-40 (maks. 2 g) 50-70 (maks. 4 g) 15-30 (maks. 3 g)
Etambutol 15-25 (maks. 2,5 g) 50 (maks. 2,5 g) 15-25 (maks. 2,5 g)
Streptomisin 15-40 (maks. 1 g) 25-40 (maks. 1,5 g) 25-40 (maks. 1,5 g)
Isoniazid (INH)
INH adalah obat antiTBC yang paling efektif saat ini , bersifat bakterisid, dan sangat
efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang
berkembang dan bersifat bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif
pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi kedalam seluruh jaringan dan
cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal, cairan pleura, cairan ascites, jaringan
kaseosa, dan angka timbulnya reaksi simpang sangat rendah 2. Dosis harian yang
biasa diberikan 5-15 mg/kg/ hari maksimal 300 mg./hari, diberikan satu kali
pemberian. INH yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg dan
dalam bentuk sirup 100mg/ 5 ml 2. INH mempunyai dua efek toksik utama
hepatotoksik, neuritis perifer, jarang terjadi pada anak tetapi frekuensinya meningkat
sejalan dengan bertambahnya usia. Hepatotoksik yang bermakna secara klinik jarang
terjadi. Hepatotoksik akan meningkat apabila INH diberikan bersama rifampisin dan
PZA.Neuritis perifer timbul sebagai akibat inhibisi kompetitif akibat metabolisme
piridoksin. Kadar piridoksin berkurang pada anak yang menggunakan INH, tetapi
manifestasi klinisnya jarang sehingga tidak diperlukan piridoksin tambahan.Namun
pada remaja dengan diet yang tidak adekuat, anak-anak dengan asupan susu dan
daging yang kurang, malnutrisi, serta bayi yang hanya minum ASI memerlukan
piridoksiin tambahan.Manifestasi klinis neuritis perifer yang sering terjadi adalah
mati rasa atau kesemutan pada tangan dan kaki. Piridoksin diberikan satu kali sehari
25-50 mg atau 10 mg piridoksin setiap 100 gram INH.
Rifampisin
Merupakan antibiotika spektrum luas yang dipakai untuk berbagai infeksi pada anak-
anak. Obat ini bersifat bakteriosid pada intrasel dan ekstrasel , dapat memasuki semua
jaringan , dapat membunuh kuman semi dorman yang tidak dapat dibunuh oleh INH2.
Diabsorpsi baik melalui saluran gastrointestinal pada saat perut kosong dan kadar
puncak serum tercapai pada 2 jam. Makanan menghambat bioavaibility rifampisin
kira-kira 30%7. Diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20 mg/kg BB/ hari
(buck, 2004), dosis maksimal 600 mg/hari, dengan dosis satu kali pemberian perhari.
Jika diberikan bersama INH dosis rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/ hari dan
dosis INH 10mg/kgBB/hari. Didistribusikan secara luas kedalam jaringan tubuh
termasuk cairan serebrospinal2. Ekskresi melalui traktus biliaris. Efek yang kurang
menyenangkan pada pasien adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum dan
air mata menjadi oranye kemerahan. Efek samping yang umum terjadi adalah nyeri
kepala, mengantuk, fatigue, rasa gatal dikulit (dengan atau tanpa rash), gangguan
gastrointestinal (muntah dan mual), anoreksia, diare, hiperbilirubinemia, dan
hepatotoksisitas (ikterus/ hepatitis) yang biasanya ditandai oleh peningkatan kadar
transaminase serum yang asimtomatik. Dapat membuat kontrasepsi oral tidak efektif
dan dapat berinteraksi dengan beberapa obat termasuk kuinidin, siklosporin, digoksin,
teofilin, kloramfenikol, kortikosteroid, dan sodium warfarin. Tersedia dalam bentuk
sediaan kapsul 150 mg, 300 mg dan 450 mg.
Pirazinamid
Penetrasi baik terhadap jaringan dan cairan tubuh termasuk sistem saraf pusat, cairan
serebrospinal, bakterisid hanya pada intrasel pada suasana asam , direbsopsi baik
pada saluran pencernaan.Diberikan secara oral dengan dosis 15-30 mg/kgBB/hari
dengan dosis maksimal 2 gram/hari2.Kadar serum puncak 45 ug/ml dalam waktu 2
jam.Aman pada anak. Tersedia dalam bentuk tablet 500 mg.
Etambutol
Jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitas pada mata. Memiliki aktivitas
bakteriostatik, dan berdasarkan pengalaman dapat dicegah resistensi terhadap obat-
obat lain.Tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.
Dosisnya 15-20 mg/kgBB/hari, maksimum 1,25 mg/hari dengan dosis tunggal. Kadar
serum puncak 5 ug dalam waktu 2-4 jam. Tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan
500 mg. Kemungkinan toksisitas utama adalah neuritis perifer dan buta warna merah-
hijau. Tidak terdapat laporan toksisitas optik pada anak-anak. Namun obat ini tidak
digunakan secara luas karena pada anak kecil tidak dapat dilakukan pemeriksaan
lapang pandang dan ketajaman penglihatan. Etambutol sebaiknya jangan diberikan
pada anak yang belum dapat dilakukan pemeriksaan penglihatan. Namun dapat
digunakan pada anak dengan TBC berat dan kecurigaan TBC resisten obat jika obat-
obat lainnya tidak tersisa atau tidak dapat digunakan.
Streptomisin
Bersifat bakteriosid dan bakteriostatik kuman ektraseluler pada keadaan basal atau
netral, jadi tidak efektif membunuh kuman ekstraseluler. Saat ini streptomisin jarang
digunakan dalam pengobatan TBC , tetapi penggunaannya penting dalam pengobatan
TBC yang resesten obat . Dapat diberikan secara intramuskular 15-40 mg/kgBB/hari,
maksimal 1 gram /hari. Kadar puncak 40-50 ug/ml dalam waktu 1-2 jam. Sangat baik
melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang
tidak meradang.Berdifusi baik pada jaringan dan cairan pleura dieksresi melalui
ginjal2. Toksisitas utama pada nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan
dan pendengaran berupa telinga berdenging dan pusing. Dapat menembus plasenta
sehingga kontraindikasi pemberiannya pada wanita hamil karena dapat merusak saraf
pendengaran janin.
Pada keadaan khusus (adanya penyakit penyerta, kehamilan, menyusui) pemberian
pengobatan dapat dimodifikasi sesuai dengan kondisi khusus tersebut (Dep.Kes, 2003)
misalnya :
1) Wanita hamil: Pinsip pengobatan pada wanita hamil tidak berbeda dengan orang
dewasa. Semua jenis OAT aman untuk wanita hamil kecuali Streptomycin, karena
bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier plasenta yang akan
mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang
menetap pada bayi yang dilahirkan.
2) Ibu menyusui: Pada prinsipnya pengobatan TB Paru tidak berbeda dengan
pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui.
Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi sesuai dengan berat
badannya.
3) Wanita pengguna kontrasepsi: Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi
hormonal sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Penderita
TB Paru seyogyanya menggunakan kontrasepsi non hormonal.
4) Penderita TB Paru dengan kelainan hati kronik: Sebelum pengobatan TB,
penderita dianjurkan untuk pemeriksaan faal hati. Apabila SGOT dan SGPT
meningkat 3 kali, OAT harus dihentikan. Apabila peningkatannya kurang dari 3
kali, pengobatan diteruskan dengan pengawasan ketat. Penderita kelainan hati,
Pirazinamid tidak boleh diberikan.
5) Penderita TB Paru dengan Hepatitis Akut: Pemberian OAT ditunda sampai
Hepatitis Akut mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan TB
Paru sangat diperlukan, dapat diberikan Streptomycin dan Ethambutol maksimal 3
bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampicin dan
Isoniasid selama 6 bulan.
6) Penderita TB Paru dengan gangguan ginjal: Dosis yang paling aman adalah 2
RHZ/6HR. apabila sangat diperlukan, Etambutol dan Streptomicin tetap dapat
diberikan dengan pengawasan fungsi ginjal.
7) Penderita TB paru dengan Diabetes Mellitus: Dalam keadaan ini, diabetesnya
harus dikontrol. Penggunaan Rifampicin akan mengurangi efektifitas obat oral
anti diabetes sehingga dosisnya perlu ditingkatkan. Penggunaan Etambutol pada
penderita Diabetes harus diperhatikan karena mempunyai komplikasi terhadap
mata.
Penggunaan OAT mempunyai beberapa efek samping diantaranya
a) Rifampicin : tidak nafsu makan, mual, sakit perut, warna kemerahan pada air seni,
purpura dan syok (Dep.Kes, 2003), sindrom flu, hepatotoksik (Soeparman, 1990)
b) Pirasinamid : nyeri sendi, hiperurisemia, (Soeparman, 1990)
c) INH : kesemutan sampai dengan rasa terbakar di kaki (Dep.Kes, 2003), neuropati
perifer, hepatotoksik (Soeparman, 1990).
d) Streptomisin : tuli, gangguan keseimbangan (Dep.Kes, 2003), nefrotoksik dan
gangguan Nervus VIII (Soeparman, 1990)
e) Ethambutol : gangguan penglihatan, nefrotoksik, skinrash/dermatitis (Soeparman,
1990).
f) Etionamid : hepatotoksik, gangguan pencernaan (Soeparman, 1990)
Hampir semua OAT memberikan efek samping gatal dan kemerahan, ikhterus tanpa
penyebab lain, bingung dan muntah-muntah (Dep.Kes, 2003), serta bersifat hepatotoksik
atau meracuni hati (Soeparman, 1990) Menurut Suriadi (2001) penatalaksanaan
terapeutik TB Paru meliputi nutrisi adekuat, kemoterapi, pembedahan dan pencegahan.
Menurut Soeparman (1990), indikasi terapi bedah saat ini adalah penderita sputum BTA
tetap positif (persisten) setelah pengobatan diulangi dan penderita batuk darah masif atau
berulang.
Usaha Preventif Terhadap Tuberkulosis
Vaksinasi BCG. Daya proteksinya hanya sebagian saja pada anak-anak selama ini.
Tetapi BCG tetap dipakai karena ia dapat mengurangi kemungkinan terhadap
tuberculosis berat dan tuberculosis ekstra paru lainnya.
Kemoprofilaksis. Kemoprofilaksis terhadap tuberculosis merupakan masalah
tersendiri dalam peanggulangan tuberculosis paru di samping diagnosis yang cepat
dan pengobatan yang adekuat. Isoniazid banyak dipakai selama ini karena harganya
murah dan efek sampingnya sedikit. Setelah itu pilihan keduannya ialah Rimfapisin.
Pengobatan TBC Kriteria I (Tidak pernah terinfeksi, ada riwayat kontak, tidak
menderita TBC) dan II (Terinfeksi TBC/test tuberkulin (+), tetapi tidak menderita
TBC (gejala TBC tidak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi negatif)
memerlukan pencegahan dengan pemberian INH 5–10 mg/kgbb/hari.
1. Pencegahan (profilaksis) primer
Anak yang kontak erat dengan penderita TBC BTA (+).
INH minimal 3 bulan walaupun uji tuberkulin (-).
Terapi profilaksis dihentikan bila hasil uji tuberkulin ulang menjadi (-) atau
sumber penularan TB aktif sudah tidak ada.
2. Pencegahan (profilaksis) sekunder
Anak dengan infeksi TBC yaitu uji tuberkulin (+) tetapi tidak ada gejala sakit
TBC.
Profilaksis diberikan selama 6-9 bulan.
BAB IIIPEMBAHASAN DAN DISKUSI
Berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik, maka pasien ini didiagnosa TB Paru
Relaps
Teori Kasus
Hasil Pemeriksaan Sputum BTA
tanggal 7 Juli 2012
Dinyatakan TB bila:
Semua suspek TB diperiksa 3
spesimen dahak dalam waktu 2 hari,
yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa
ditegakkan dengan ditemukannya
kuman TB (BTA). Pada program TB
nasional, penemuan BTA melalui
pemeriksaan dahak mikroskopis
merupakan diagnosis utama.
BTA I (-) sewaktu
BTA II (+2) pagi
BTA III (+2) sewaktu
Pasien ini didiagnosa TB Paru Relaps yang berdasarkan pada pemeriksaan sputum BTA
Penatalaksaan pasien ini meliputi:
Edukasi
Edukasi yang terpenting adalah perubahan gaya hidup (life style) yang meliputi perubahan pola
makan dan aktivitas fisik atau olahraga.
Diet
Exercise
o Frekuensi : jumlah olahraga perminggu sebaiknya dilakukan dengan teratur 3
– 5 kali per minggu
o Intensitas : ringan dan sedang
o Durasi : 30-60 menit
Terapi Farmakologis
Untuk menetapkan rasional tidaknya terapi yang diberikan, harus memenuhi kriteria
sebagai berikut:
1. Obat yang diberikan harus tepat indikasi sesuai dengan standar medis/panduan klinis atau
sesuai dengan penyakit yang dihadapinya. Contoh penggunaan obat tidak rasional:
penggunaan antibiotik untuk diare yang non spesifik, penggunaan antibiotik untuk infeksi
virus saluran nafas akut.
2. Tepat obat, obat berdasarkan efektifitasnya, keamanannya dan dosis
3. Tepat pasien, tidak ada kontra indikasi dan kemungkinan efek yang tidak diinginkan, misal
pasien yang mempunyai gangguan iritasi lambung tidak diberikan analgesik yang
mempunyai efek samping mengiritasi lambung
4. Tepat penggunaan obat artinya pasien mendapat informasi yang relevan, penting dan jelas
mengenai kondisinya dan obat yang diberikan (Aturan minum, sesudah atau sebelum makan,
dll)
5. Tepat monitoring, artinya efek obat yang diketahui dan tidak diketahui dipantau dengan
baik.
Dengan demikian, kerasionalan dalam pemberian terapi dapat dirangkum secara keseluruhan menjadi 4T 1W + EARMU, yaitu Tepat Indikasi, Tepat Dosis, Tepat Pemakaian, Tepat Pasien dan Waspada efek samping + Efektif Aman Rasional Murah dan Mudah didapat.Terapi Farmakologis1. Ringer Laktat
Pada pasien ini, terapi cairan yang diberikan yaitu ringer laktat. Biasanya cairan
ini diberikan sebagai cairan pengganti sesuai dengan sifatnya yang isotonis, dimana
partikel yang terlarut sama dengan CIS, dapat melewati membran semi permeabel.
Tonositas 275-295 mOsm/kg. Dengan tekanan onkotiknya yang rendah, cairan ini dapat
dengan cepat terdistribusi ke seluruh cairan ekstraseluler. Pada pasien ini diberikan
20tetes/ menit (1 tetes=0,5 ml). Berarti cairan infus akan habis dalam waktu + 8 jam.
Penentuan kecepatan pemberian ini dilihat dari keadaan pasien. Karena keadaan pasien
tidak menunjukkan tanda-tanda terjadi gangguan keseimbangan cairan maka cukup
diberikan cairan infus RL dengan kecepatan 20 tetes/menit untuk memelihara, mengganti
cairan tubuh dalam batas-batas fisiologis.
No Teori kasus rasional
Ya tidak1 Indikasi: mengembalikan
keseimbangan elektrolit pada keadaan dehidrasi dan syok hipovolemik
sebagai terapi rumatan √
2 Kontraindikasi: hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati, asidosis laktat.
tidak ada kontraindikasi pada pasien
√
3 Dosis : sesuai dengan kondisi penderita
diberikan 20 tpm yang akan habis dalam waktu 8 jam
√
4 Efek samping: edema jaringan pada penggunaan dengan volume yang besar, biasanya pada paru-paru hiperkloremia dan asidosis metabolic
-
√
2. Paracetamol
Pemberian paracetamol pada pasien ditujukan untuk mengatasi gejala demam yang
dialami pasien. Obat ini hanya diberikan jika pasien demam saja, untuk menghindari
interaksi obat yang dapat terjadi. Namun, pada kasus ini tetap digunakan sampai akhir
walaupun demam sudah hilang.
No Teori kasus rasional
Ya tidak1 Indikasi: Sebagai
antipiretik, analgesic, Serta menurunkan demam pada influenza dan setelah vaksinasi
sebagai terapi terhadap Demam
√
2 Kontraindikasi: gangguan
fungsi hati dan ginjal
tidak ada kontraindikasi pada pasien
√
3 Dosis : 500mg untuk orang dewasa 3x1tab
3 x 1 tab √
4 Efek samping: reaksi
pada kulit dan alergi,
hematologi, mual, muntah, -
√
nekrosis tubular ginjal.
3. Ambroksol
Pasien ini diberikan ambroksol sebagai terapi batuk berdahaknya.No Teori kasus rasional
Ya tidak1 Indikasi: penyakit saluran
pernafasan akut dan kronik yang disertai dengan sekresi bronkus yang abnormal, terutama pada bronkitis kronik eksaserbasi, asthmatic bronchitis dan bronchial asthma.
sebagai terapi terhadap batuk berdahak.
√
2 Kontraindikasi: belum diketahui
tidak ada kontraindikasi pada pasien
√
3 Dosis : dewasa 30 mg 3x 1 tab
3 x 1 tab √
4 Efek samping: depresi sumsum tulang, anemia aplasti, sindrom Gray pada bayi, gangguan GI, neuritis perifer & optik.
-
√
4. Ranitidin
No Teori kasus rasional
Ya tidak1 Indikasi: tukak lambung
dan tukak duodenum, refluks, esofagitis, dyspepsia edisi kronis, kondisi lain dimana pengurangan asam lambung akan bermanfaat.
sebagai terapi terhadap mual dan muntah akibat efek samping obat fdc
√
2 Kontraindikasi: Gangguan hepar dan ginjal.
tidak ada kontraindikasi pada pasien
√
3 Dosis : dewasa 50 mg diencerkan sampai 20 ml diberikan selama tidak kurang dari 2 menit. Dapat diulang dalam 6-8 jam
2x1 ampul injeksi √
4 Efek samping: Diare, jarang menimbulkan konstipasi, sakit kepala yang biasanya berat.
-
√
5. Antasida
No Teori kasus rasional
Ya tidak1 Indikasi: dispepsia sebagai terapi terhadap
mual muntah akibat efek samping fdc
√
2 Kontraindikasi: hipofosfatemia
tidak ada kontraindikasi pada pasien
√
3 Dosis : dewasa 1 sendok makan diberikan 3x1
Antasida sirup 3xC1 √
4 Efek samping: Diare -
6. Co Amoksiklav
No Teori kasus rasional
Ya tidak1 Indikasi: infeksi saluran
kemih, otitis media, sinusitis, bronkitis kronis
sebagai terapi antibiotik √
2 Kontraindikasi: Hipersensitivitas terhadap penisillin
tidak ada kontraindikasi pada pasien
√
3 Dosis : per oral dewasa 250-500 mg tiap 8 jam
500 mg 3x1 tablet √
4 Efek samping: Mual, diare, ruam
√
7. Streptomycin
No Teori kasus rasional
Ya tidak1 Indikasi: terbatas pada
tuberculosa terutama pada kasus tb yg resisten obat
sebagai terapi terhadap tb relaps
√
2 Kontraindikasi: Mystenia gravis, wanita hamil, pemberian berbarengan
Tidak ditemukan kontraindikasi pada pasien
√
dengan obat diuretik, 3 Dosis : im 15-40 mg
/kgbb/hari. Maksimal 1 gram
1x500 mg √
4 Efek samping: ototoksisitas
√
8.FDC
No Teori kasus rasional
Ya tidak1 Indikasi: untuk pengobatan
tbsebagai terapi terhadap tb
√
2 Kontraindikasi: ibu hamil, menyusui
Tidak ditemukan kontraindikasi pada pasien
√
3 Dosis : usia 50-70 tahun 1x 4 tablet
1x 3 tab √
4 Efek samping: mual,muntah
√
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
a. Penggunaan RL dilihat dari Indikasi (rasional), dosis (rasional), Pemakaian (rasional),
tepat pasien & keamanan atau efek samping (rasional).
b. Pemberian Paracetamol dilihat dari indikasi (rasional), dosis (rasional), Pemakaian
(rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping (rasional).
c. Penggunaan Ambroxol dilihat dari Indikasi (rasional), dosis (rasional), Pemakaian
(rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping (rasional).
d. Penggunaan Ranitidin dilihat dari Indikasi (tidak rasional), dosis (rasional),
Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping (rasional).
e. Penggunaan Antasida dilihat dari Indikasi (tidak rasional), dosis ( tidak rasional)
karena tidak memenuhi dosis yang tepat, Pemakaian (rasional), tepat pasien &
keamanan atau efek samping (rasional).
f. Penggunaan Co Amoksiclav dilihat dari Indikasi (rasional), dosis (rasional),
Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping (rasional).
g. Penggunaan Streptomycin dilihat dari Indikasi (rasional), dosis (rasional), Pemakaian
(rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping (rasional).
h. Penggunaan FDC dilihat dari Indikasi (rasional), dosis (tidak rasional) karena tidak
memenuhi dosis yang tepat, Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek
samping (rasional).
2. Saran
Pemberian obat harus sesuai indikasi, cara pemakaian, dan interaksi dengan obat lain jika pasien menggunakan lebih dari satu obat
DAFTAR PUSTAKA
Amin Z dan Bahar A. 2007. Tuberkulosis Paru dalam Sudoyo AW, et al (Ed). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. Halaman 988-992
Bahar A. 1990. Tuberkulosis Paru dalam Soeparman dan Waspadji S., Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Halaman 715-726
Brooks G.F., Butel J.S., dan Morse R.A. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit
Salemba Medika. Halaman 453-464
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis. Cetakan ke-8. Indonesia.
Idris F. 2004. Managament Public Private Mix-Penanggulangan Tuberkulosis Strategi Dokter
DOTS Dokter Praktik Swasta. Edisi 1. Jakarta: Cikal Media. Halaman 23-24
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia Jurnal Tuberkulosis Indonesia. Volume 3.
No. 2 (Online). 2006. pp 1-3
Sandjaja B,. 1992. Isolasi dan Identifikasi Mikrobakteria. Papua: Widya Medika Balai
Laboratorium Jayapura
Todar. 2002. Tuberculosis University of Wisconsin-Madison Department of Bacteriology.
UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2007. Pedoman Nasional Tuberkulosis
Anak. Edisi 2. Jakarta: EGC. Halaman 6-7, 25-41, 101-113