tugas Makroekonomi

Embed Size (px)

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam sejarah krisis ekonomi dunia faktor hutang negara sering menjadi penyebab paling krusial. Untuk kali ini sejarah kembali mencatat krisis hutang Yunani yang kemudian merembet ke Spanyol dan beberapa negara tetangganya dikhawatirkan menyebar ke seluruh dunia. Negara- negara dengan hutang yang besar akan cenderung mudah tertimpa krisis salah satunya disebabkan oleh terbatasnya anggaran yang dimiliki untuk menangani krisis. Keterbatasan dana tersebut karena sebagian besar anggarannya telah tersedot untuk membiayai defisit yang umumnya ditutup dengan hutang.

Dalam kondisi krisis diperlukan campur tangan yang lebih besar terhadap perekonomian dan tentu saja dibutuhkan dana yang besar. Untuk memperoleh dana yang besar maka negara harus kembali berhutang. Namun apabila hutang sebelumnya sudah cukup besar maka dapat dipastikan negara tersebut akan terjebak ke dalam debt trap. Berkaca dari kasus krisis ekonomi kali ini, tulisan ini akan mencoba mengulas bagaimana sebenarnya kebijakan hutang negara. Benarkah hutang merupakan jalan pintas menuju kemakmuran? Ataukah justru hutang membawa negara kearah kehancuran?

Berdasarkan laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) yang dikeluarkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Desember 2012, hutang negara saat itu Rp 1.850 triliun. Jadi, hanya dalam enam bulan, jumlah hutang Indonesia bertambah Rp 186 triliun. (Sumber: Kompas.com 18 Juli 2013).Sekretariat Nasional (Seknas) Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mengungkapkan hutang Indonesia berdasarkan data yang didapatnya dari Kementerian Keuangan per bulan Mei 2013 telah mencapai Rp 2.036 triliun. Direktur Investigasi dan Advokasi Fitra, Uchok Sky Khadafi, mengatakan, jumlah hutang akan terus meningkat dengan cepat jika melihat perkembangan jumlah hutang Indonesia dari akhir tahun lalu. Indonesia, lanjutnya, menuju kebangkrutan. (Sumber: Kompas.com 18 Juli 2013).Badai krisis Eropa perlahan namun pasti mulai dirasakan pada perekonomian Indonesia. Tanda-tanda krisis terebut antara lain tercermin dari turunnya nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar, turunnya nilai ekspor Indonesia, dan turunnya Indeks Bursa Efek Indonesia. Apabila kondisi ini tidak dapat di-manage dengan baik, dikhawatirkan perekonomian akan terganggu dan penyakit ekonomi seperti inflasi dan pengangguran akan meningkat.

Hutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar pemerintah pusat dan/atau kewajiban pemerintah pusat yang dapat dinilai dengan uang berdasarkan peraturan perundang-undanganyang berlaku, perjanjian, atau berdasarkan sebab lainnya yang sah (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara). Hutang merupakan bagian dari Kebijakan Fiskal (APBN) yang menjadi bagian dari Kebijakan Pengelolaan Ekonomi secara keseluruhan. Hutang adalah konsekuensi dari postur APBN (yang mengalami defisit), dimana Pendapatan Negara lebih kecil daripada Belanja Negara. Ketika budget (APBN) suatu negara mengalami defisit, maka diperlukan sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut. Sumber pembiayaan utama untuk menutup defisit tersebut antara lain adalah dengan hutang (baik itu hutang dalam negeri maupun hutang luar negeri) dan non-hutang (yang paling utama adalah privatisasi). Kedua pilihan tersebut sama-sama menimbulkan konsekuensi dan selalu menimbulkan pro dan kontra.

Hutang atau pinjaman dalam negeri adalah setiap pinjaman oleh pemerintah yang diperoleh dari pinjaman dalam negeri yang harus di bayar kembali dengan persyaratan tertentu, sesuai dengan masa berlakunya (Pasal 1 Angka 1 PP Nomor 54 Tahun 2008 tentang tata cara pengadaan dan Penerusan Pinjaman Dalam Negeri Oleh Pemerintah). Jadi tidak semua kegiatan dapat dibiayai dengan pinjaman dalam negeri. Kementrian Negara/ Lembaga, Pemerintah daerah atau BUMN menyusun rencana kegiatan yang dapat dibiayai dari PDN dengan menggunakan prioritas RJPM untuk disampaikan kepada Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas. Rencana kegiatan ini kemudian akan dinilai dengan memperhatikan batas maksimum PDN. Jika disetujui, maka rencana kegiatan tersebut akan dimasukan dalam daftar kegiatan prioritas untuk diserahkan kepada Menteri keuangan sebagai bahan pertimbangan dalam pengadaan pembiayaan. menteri keuangan selaku bendahara umum Negara yang ayat 11 diberikan wewenang untuk mengadakan pinjaman dalam negeri (pasal 38 ayat 1 UU Nomor 1 tahun 20004 tentang Perbendaharaan Negara) dan menyusun rencana batas maksimum PDN selama setahun anggaran (pasal 7 ayat 1 PP Nomor 54 Tahun 2008 tentang Tata cara Pengadaan dan Penerusan Pinjaman Dalam Negeri Oleh Pemerintah).Hutang luar negeri Indonesia ada 3 jenis, yaitu hutang luar negeri pemerintah, bank sentral dan swasta. Hutang luar negeri pemerintah adalah hutang yang dimiliki oleh pemerintah pusat, terdiri dari hutang bilateral, multilateral, fasilitas kredit ekspor, komersial, leasing dan Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan di luar negeri dan dalam negeri yang dimiliki oleh bukan penduduk. SBN terdiri dari Surat Hutang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). SUN terdiri dari Obligasi Negara yang berjangka waktu lebih dari 12 bulan dan Surat Perbendaharaan Negara (SPN) yang berjangka waktu sampai dengan 12 bulan. SBSN terdiri dari SBSN jangka panjang (Ijarah Fixed Rate/ IFR) dan Global Sukuk. Hutang luar negeri bank sentral adalah hutang yang dimiliki oleh Bank Indonesia, yang diperuntukkan dalam rangka mendukung neraca pembayaran dan cadangan devisa. Selain itu juga terdapat hutang kepada pihak bukan penduduk yang telah menempatkan dananya pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan hutang dalam bentuk kas dan simpanan serta kewajiban lainnya kepada bukan penduduk. Hutang luar negeri swasta adalah hutang luar negeri penduduk kepada bukan penduduk dalam valuta asing dan atau rupiah berdasarkan perjanjian hutang (loan agreement) atau perjanjian lainnya, kas dan simpanan milik bukan penduduk, dan kewajiban lainnya kepada bukan penduduk. Hutang luar negeri swasta meliputi hutang bank dan bukan bank. Hutang luar negeri bukan bank terdiri dari hutang luar negeri Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) dan perusahaan bukan lembaga keuangan termasuk perorangan kepada pihak bukan penduduk. Termasuk dalam komponen hutang luar negeri swasta adalah hutang luar negeri yang berasal dari penerbitan surat berharga di dalam negeri yang dimiliki oleh bukan penduduk.

Perdebatan mengenai manfaat hutang pemerintah bagi kemakmuran rakyat telah berlangsung sangat lama. Pada satu sisi berpendapat hutang membantu pemerintah untuk mengakumulasikan modal dan selanjutnya dipergunakan untuk mendorong pelaksanaan pembangunan dengan lebih cepat sehingga kesejaheraan rakyat juga meningkat. Namun pada sisi yang lain, hutang pemerintah dianggap hanya akan menjadi beban bagi generasi mendatang dan tidak menimbulkan efek seperti yang dijanjikan. Dalam hal ini, penulis tertarik untuk mengulas tentang kebijakan hutang yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, dan memberikan solusi yang dapat ditawarkan kepada pemerintah agar hutang tersebut tidak menjadi beban bagi pembangunan di masa yang akan datang.1.2 Tujuan PenulisanTujuan yang dapat disampaikan dalam tulisan ini adalah untuk mengetahui kebijakan pemerintah Indonesia dalam mengatur hutang negara. Karena seperti yang kita ketahui bersama, bahwa hutang tersebut adalah merupakan upaya pemerintah Indonesia untuk memperkuat kesiapan dalam menghadapi ketidakpastian yang terus terjadi dalam iklim perekonomian global secara komprehensif dan proaktif.BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1Landasan Teori

Pilihan kebijakan defisit APBN umumnya menjadi pilihan utama bagi Negara, karena kebijakan defisit APBN diyakini mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dengan lebih cepat. Pada suatu masa kebijakan APBN defisit adalah kebijakan yang paling tepat dan pada masa yang lain kebijakan APBN surplus lebih tepat, tergantung sasaran kebijakan fiskal yang ingin dicapai oleh Pemerintah. Apapun pilihan kebijakan maka kesejahteraan sosial adalah merupakan tujuan utama. Argumen untuk membiayai pembangunan dengan pinjaman antara lain adalah (Todaro,1985):

1. Foreign Exchange ConstraintArgumen ini didasari atas two gap model di mana negara-negara penerima bantuan khususnya negara-negara berkembang mengalami kekurangan dalam mengakumulasi tabungan domestik sehingga tingkat tabungan yang ada tidak mampu memenuhi kebutuhan akan tingkat investasi yang dibutuhkan dalam proses memicu pertumbuhan ekonomi. Kekurangan lainnya yang dialami adalah kebutuhan nilai tukar asing (foreign exchange) untuk membiayai kebutuhan impor barang modal (capital goods) dan impor barang-barang intermediate, dan untuk menutupi kekurangan itu melalui bantuan luar negeri.2. Growth and SavingBertujuan untuk meningkatkan pertambahan tabungan domestik sebagai akibat dari tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi. Tingginya tingkat pertumbuhan di negara-negara berkembang akan turut meningkatkan atau berkorelasi positif terhadap kenaikan keuntungan yang bisa dinikmati di negara-negara maju.

3. Technical AssistanceMerupakan pendamping daribantuan keuangan yang berbentuk transfer sumber daya manusia tingkat tinggi kepada negara-negara penerima bantuan. Argumen yang mendukung adanya pinjaman disokong oleh para ahli ekonomi pembangunan antara lain oleh Harrord-Domar. Pada prinsip-nya Harrod Domar berpendapat bahwa untuk mendorong pertumbuhan maka investasi memegang peran utama. Ketika tabungan masyarakat pada suatu negara terbatas, sehingga terdapat kesenjangan investasi maka kekurangan investasi tersebut ditutup dari pinjaman luar negeri.Perdebatan sampai seberapa besar jumlah hutang pemerintah yang tepat telah berlangsung lama sejak tahun 1800-an. Alexander Hamilton percaya bahwa hutang nasional, jika tidak berlebihan menguntungkan kita semua, sedangkan James Madison berpendapat hutang adalah kutukan. (Mankiw, 2007).Pandangan Tradisional atas Hutang PemerintahKaum ekonom tradisional memandang terdapat trade off antara hutang pemerintah dan pemotongan/ pengurangan pajak. Pengurangan pajak yang dilakukan pemerintah (pemerintah memungut pajak lebih kecil daripada pengeluaran yang dilakukan pemerintah) mengakibatkan anggaran pemerintah menjadi defisit dan defisit tersebut selanjutnya didanai dengan hutang. Dampak langsung dari pemotongan pajak adalah mendorong pengeluaran konsumen karena dengan rendahnya pajak yang dipungut pemerintah konsumen akan memiliki sisa dana yang dapat dibelanjakan. Pada intinya pandangan tradisional atas hutang pemerintah mengasumsikan bahwa ketika pemerintah mengurangi pajak dan melaksanakan kebijakan defisit anggaran, ditanggapi konsumen dengan melakukan pengeluaran lebih banyak dan selanjutnya diikuti peningkatan investasi. Namun pendapat kelompok tradisional tersebut dibantah oleh ekonom Ricardian.Pandangan Ricardian atas HutangPemerintah Menurut ekonom Ricardian pengurangan pajak tidak akan ditanggapi konsumen dengan melakukan pengeluaran lebih banyak seperti yang dikemukakan ekonom tradisional. Ekuivalensi Ricardian (Ricardian equivalence), diambil dari nama ekonom terkenal abad kesembilan belas, David Ricardo. Menurut Ricardo konsumen melihat ke depan dan karena itu, mendasarkan pengeluaran mereka tidak hanya pada pendapatan sekarang, tetapi juga pada pendapatan masa depan yang mereka harapkan. Respon dari warga negara/ konsumen yang melihat kedepan (sesuai asumsi Ricardian) terhadap dampak pengurangan pajak yang dilakukan oleh pemerintah adalah sebagai berikut (Mankiw,2007): pemotongan pajak dan selanjutnya APBN didanai hutang, tidak mempengaruhi konsumsi karena warga negara berfikir secara rasional dan jauh kedepan. Rumah tangga menabung kelebihan pendapatan disposabel untuk membayar kewajiban pajak masa depan yang ditunjukkan oleh pemotongan pajak. Karena itu, pengurangan pajak tidak memiliki dampak terhadap peningkatan konsumsi dan investasi secara langsung.2.2Referensi Penelitian Sebelumnya

1. Ketangguhan APBN dalam Pembayaran Hutang oleh Haryo Kuncoro (Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta). Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan, April 2011.Hasil dari penelitian tersebut diketahui bahwa fakta empirik tentang ketangguhan fiskal dengan studi kasus di Indonesia. Kajian atas data kuartalan memberikan hasil yang berbeda dengan studi-studi setema sebelumnya yang berbasis pada data tahunan. Temuan utama adalah bahwa ketangguhan fiskal Indonesia tidak/belum tercapai kendati memiliki solvensi untuk pembayaran hutang domestik dan hutang luar negeri. Sumber ketidaksinambungan ini adalah beban hutang dalam negeri yang peningkatannya jauh lebih pesat daripada peningkatan hutang luar negeri. Studi ini memberikan implikasi bahwa penerbitan Surat Hutang Negara perlu dilakukan dengan kehatihatian dengan mempertimbangkan beban pembayaran SUN yang jatuh tempo. Saat jatuh tempo SUN sepatutnya disesuaikan dengan kemampuan APBN pada tahun yang bersangkutan. Dalam kaitan ini, telaah yang cermat beban-beban APBN lain perlu dikalkulasi dengan lebih matang. Untuk itu, eksposure risiko fiskal sepantasnya menjadi panduan dalam setiap penerbitan SUN. Dalam hal hutang luar negeri, penggeseran beban hutang dapat dilakukan melalui penataan ulang (reprofiling), penjadwalan kembali (rescheduling), dan restrukturisasi hutang agar bebannya bisa disebar sesuai dengan maturitas jatuh temponya. Beban tersebut perlu diselaraskan puladengan beban jatuh tempo hutang dalam negeri. Rasio hutang luar negeri pemerintah memang menunjukkan tren penurunan. Momentum ini perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya guna meminimisasi risiko hutang yang masih tersisa. Untuk tujuan ini, koordinasi kebijakan sektoral, regional, fiskal, moneter, dan luar negeri perlu disinergikan secara optimal. Turunnya rasio hutang pemerintah terhadap PDB tidak berarti terjadi peningkatan posisi keuangan pemerintah. Hal ini disebabkan adanya kemungkinan penjualan perusahaan negara, penipisan sumber-sumber kepemilikan publik, dan penurunan modal tetap pemerintah. Kemungkinan lain yang perlu diwaspadai adalah mencari hutang baru, terutama yang di luar anggaran (off budget) untuk menutup hutang lama dengan jumlah yang sama. Selain kesinambungan fiskal, pemerintah juga perlu memikirkan kemungkinan beban fiskal yang lain jika perekonomian mengalami gangguan internal. Aktivitas semi-fiskal (quasi fiscal) Bank Indonesia, BUMN, dan BUMD dapat merupakan kewajiban kontingensi jika mereka tidak dikelola dengan benar. Keuangan internal Bank Indonesia, BUMN, dan BUMD memang terpisah dari keuangan negara, tetapi aktivitasnya dalam hutang dan bisnis juga merupakan public and publicly guaranteed dan semi guaranteed karena pemerintah adalah pemilik saham dan alasan too big to fail. Studi lebih lanjut tentang ketangguhan fiskal Indonesia masih terbuka untuk dilakukan. Kajian yang lebih mendalam dapat dilakukan untuk memeriksa sumber-sumber kerapuhan fiskal. Studi ketaangguhan fiskal dengan mempertimbangkan asumsi-asumsi yang dipergunakan dalam setiap penyusunan APBN, seperti harga minyak dan produksi minyak (oil lifting) tentu menarik untuk disimak. Kelemahan yang masih tersisa pada studi ini dapat ditutup dengan memasukkan faktor-faktor dari besaran sisi moneter.

2.Hutang Luar Negeri Pemerintah Indonesia : Perkembangan dan Dampaknya.Oleh Adwin Surya Atmadja. (Dosen Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi - Universitas Kristen Petra). http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/. Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 2, No. 1, Mei 2000: 83 94

Perkembangan jumlah hutang luar negeri Indonesia dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Hal ini tentu saja menimbulkan berbagai konsekuensi bagi bangsa Indonesia, baik dalam periode jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam periode jangka pendek, hutang luar negeri harus diakui telah memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi pembiayaan pembangunan ekonomi nasional. Sehingga dengan terlaksananya pembangunan ekonomi tersebut, tingkat pendapatan per kapita masyarakat bertumbuh selama tiga dasawarsa sebelum terjadinya krisis ekonomi. Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, yang didahului oleh krisis moneter di Asia Tenggara, telah banyak merusakkan sendi-sendi perekonomian negara yang telah dibangun selama PJP I dan awal PJP II. Penyebab utama terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, juga sebagian negara-negara di ASEAN, adalah ketimpangan neraca pembayaran internasional. Defisit current account ditutup dengan surplus capital account, terutama dengan modal yang bersifat jangka pendek (portfolio invesment), yang relatif fluktuatif. Sehingga, apabila terjadi rush akan mengancam posisi cadangan devisa negara, akhirnya akan mengakibatkan terjadinya krisis nilai tukar mata uang nasional terhadap valuta asing. Hal inilah yang menyebabkan beban hutang luar negeri Indonesia, termasuk hutang luar negeri pemerintah, bertambah berat bila dihitung berdasarkan nilai mata uang rupiah. Semakin bertambahnya hutang luar negeri pemerintah, berarti juga semakin memberatkan posisi APBN RI, karena hutang luar negeri tersebut harus dibayarkan beserta dengan bunganya. Ironisnya, semasa krisis ekonomi, hutang luar negeri itu harus dibayar dengan menggunakan bantuan dana dari luar negeri, yang artinya sama saja dengan hutang baru, karena pada saat krisis ekonomi penerimaan rutin pemerintah, terutama dari sektor pajak, tidak dapat ditingkatkan sebanding dengan kebutuhan anggaran belanjanya.

BAB III

PEMBAHASAN

3.1Sejarah Singkat Hutang Pemerintah Indonesia

Pemerintah kolonial Hindia Belanda sudah memulai kebiasaan berhutang bagi pemerintahan di Indonesia. Seluruh hutang yang belum dilunasinya pun turut diwariskan, sesuai dengan salah satu hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia pada waktu itu disertai dengan pengalihan tanggung jawab segala hutang pemerintah kolonial. Dilihat dari perspektif hutang pihutang, maka Republik Indonesia bukanlah negara baru, melainkan pelanjut dari pemerintahan sebelumnya.

Tradisi pengalihan hutang kepada pemerintahan berikutnya bertahan sampai saat ini, terlepas dari perpindahan kekuasaan itu berlangsung dengan cara apa pun. Pemerintahan era Soekarno mewariskan hutang luar negeri (ULN) sekitar USD 2,1 miliar kepada pemerintahan Soeharto. Secara spektakuler, pemerintahan Soeharto membebani Habibie dengan warisan hutang sebesar USD 60 miliar. Bahkan, pemerintahan Habibie mewariskan hutang yang lebih besar, hanya dalam kurun waktu dua tahun. ULN memang hanya bertambah menjadi sebesar USD 75 miliar dolar. Namun, hutang dalam negeri yang semula nihil menjadi USD 60 miliar (jika dikonversikan), sehingga hutang pemerintah secara keseluruhan menjadi sekitar USD 135 miliar.Tentu tidak adil jika hanya melihat angka hutang yang fantastis di era Habibie secara begitu saja. Sebagian masalahnya adalah karena akumulasi hutang beserta akibat lanjutan dari kebijakan pemerintahan Soeharto. Bisa dikatakan bahwa Pemerintahan Habibie harus menghadapi krisis moneter dan ekonomi, yang berasal dari era Soeharto.

Bagaimanapun, pewarisan hutang pemerintah suatu era kepada era berikutnya telah berlangsung. Tidak ada penghapusan beban hutang dalam besaran yang cukup berarti, yang disebabkan oleh pergantian kekuasaan atau kebijakan pemerintah baru. Keringanan atas beban hutang hanya diberikan oleh para kreditur berupa penjadwalan pembayaran untuk waktu yang tidak terlampau lama, ketika terjadinya krisis 1997. Krisis justeru memaksa pemerintah untuk menambah posisi hutangnya melalui pinjaman kepada IMF. Meskipun sifatnya adalah untuk berjaga-jaga dan akhirnya tidak dipergunakan, biaya hutangnya tetap harus dibayar. Selain itu, krisis memberi beban tambahan bagi pemerintah. Diantaranya berupa jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, serta tanggungan pemerintah atas beberapa hutang swasta yang gagal bayar (default).

3.2 Keadaan Hutang Pemerintah Indonesia

Berdasarkan data Ditjen Pengelolaan Hutang Kemenkeu, dalam periode 2007-2012, outstanding hutang luar negeri pemerintah terus meningkat. Pada 2007 nominalnya mencapai Rp586,36 triliun, selanjutnya pada 2012 nilainya meningkat Rp50,32 triliun menjadi Rp636,68 triliun. Hingga September 2012, outstanding hutang pemerintah yang berasal dari pinjaman luar negeri mencapai Rp636,68 triliun. Pinjaman tersebut berasal dari hutang bilateral Rp391,68 triliun, multilateral Rp220,16 triliun, dan pinjaman komersial Rp24,45 triliun.

Pinjaman bilateral terbanyak berasal dari Jepang sebesar Rp288,52 triliun. Sedangkan pinjaman yang berasal dari lembaga multilateral paling banyak berasal dari Bank Dunia sebesar Rp116,47 triliun. Berdasarkan sektor ekonominya, pinjaman luar negeri paling banyak diserap oleh sektor jasa Rp170,99 triliun dan sektor bangunan Rp119,70 triliun. Dari total kumulasi hutang luar negeri pemerintah yang mencapai Rp636,68 triliun, sebanyak Rp57 triliun akan jatuh tempo pada 2013. Pembayaran hutang luar negeri yang jatuh tempo itu dianggarkan dalam pos cicilan pokok hutang luar negeri APBN 2013 yang pagunya mencapai Rp58,40 triliun.

Sesuai arahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah berniat membatasi sumber pendanaan pembangunan dari pinjaman luar negeri. Arahan tersebut ditindaklanjuti Sekretaris Kabinet Dipo Alam dengan mengirimkan Surat Edaran No.SE592/Seskab/XI/2012 tentang Pembatasan Pinjaman Luar Negeri yang Membebani APBN/APBD. SE ini ditujukan kepada para menteri dan anggota Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II dan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) untuk membatasi pengajuan pinjaman luar negeri, termasuk hibah yang mengikat dengan commitment fee, serta dana pendampingan rupiah murni, yang kelak dapat membebani APBN/APBD Berikut adalah data grafik tentang Posisi Hutang Pemerintah, 2002-2011 Data Grafik Posisi Hutang Pemerintah, 1999-2011

Data Grafik tentang Perkembangan Rasio Hutang terhadap PDB Tahun 2004-2012

Dalam grafik di atas diketahui bahwa secara nominal memang jumlah total hutang meningkat dalam 9 tahun terakhir. Namun dalam proporsi terhadap produk domestik bruto (PDB) turun bertahap dari 56.6% pada tahun 2004 menjadi 23.1% pada 2012. Keadaan ini mengindikasikan bahwa Indonesia memiliki kemampuan pembayaran hutang yang semakin besar. Bahkan saat ini resio hutang terhadap PDB sudah masuk pada zona aman. Pada RAPBN 2013 nanti, rasio hutang terhadap PDB diperkirakan hanya sebesar 1.62%. Pada tahun 2011 lalu, rasio hutang terhadap PDB Indonesia relatif lebih kecil dibandingkan negara lain. Seperti Amerika Serikat sebesar 67.7%, Inggris sebesar 86.3%, Brazil 54.2%, atau bahkan Jepang sebesar 211.7% akibat bencana tsunami. Rasio kewajiban pinjaman hutang luar negeri Indonesia terhadap cadangan devisa juga menurun signifikan dari 17.9% pada 2007 menurun hingga mencapai hanya 3.8% pada tahun 2012 (grafik di bawah).

Peningkatan nominal hutang Indonesia perlu dilihat juga dari kemampuan Indonesia melunasi hutang tersebut. Seiring dengan semakin berkurangnya persentase hutang terhadap PDB nasional menunjukkan pertumbuhan hutang jauh lebih kecil dibandingkan dengan pertumbuhan PDB Indonesia. Hal terpenting dalam kebijakan hutang yang sedang dilakukan oleh pemerintah adalah besaran hutang dijaga dalam rentan yang aman serta pembiayaan hutang ke sektor-sektor yang lebih produktif. Sehingga dana pinjaman akan me-leverage produktivitas dan daya saing nasional.

Kontibusi hutang dalam pembiayaan pembangunan ekonomi nasional dapat meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat sebelum terjadinya krisis ekonomi pada waktu jangka pendek. Sedangkan untuk waktu jangka panjang, hutang juga dipandang baik selama kondisi finansial pemerintah mampu melunasi hutang sebelumnya beserta pembayaran bunga hutang. Menurut Mankiw (2006: 420), bila pemerintah lebih banyak melakukan pengeluaran daripada mengumpulkan dana melalui pajak, pemerintah akan meminjam dari sektor swasta untuk mendanai defisit anggaran, sehingga akumulasi pinjaman tersebut akhirnya disebut hutang pemerintah. Logika dasar dari Ekuivalensi Ricardian dalam Mankiw (2006: 430) menyatakan bahwa pandangan masa depan konsumen memahami bahwa pinjaman pemerintah saat ini akan mengakibatkan pajak yang lebih tinggi di masa depan. Prinsip umumnya adalah bahwa hutang pemerintah ekuivalen dengan pajak masa depan, dan jika konsumen cukup melihat ke depan, pajak masa depan akan ekuivalen dengan pajak saat ini. Jadi, mendanai pemerintah dengan hutang adalah ekuivalen dengan mendanainya dari pajak.

3.3 Hutang Pemerintah Terus Dapat Dijaga Pada Level Yang AmanHampir semua negara di dunia melakukan hutang. Hutang merupakan instrumen fiskal dalam rangka mencapai target-target ekonomi makro, terutama pertumbuhan ekonomi dan pengurangan tingkat pengangguran. Hutang Pemerintah yang digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan produktif seperti pembangungan infrastruktur dapat memberikan multiplier effect dalam menggerakkan perekonomian nasional.

Untuk secara obyektif menilai level hutang Pemerintah Indonesia, perlu dilihat beberapa indikator kunci sebagai berikut. Pertama, rasio hutang Pemerintah terhadap PDB di akhir tahun 2013 adalah sekitar 26% (dengan outlook PDB tahun 2013 sebesar Rp 9.112,4 triliun), turun dari 28,3% pada akhir tahun 2009. Rasio hutang terhadap PDB sekitar 26% ini tidak saja masih jauh lebih rendah daripada batas yang diperkenankan oleh Undang-undang Keuangan Negara maupun standar Maastricht Treaty sebesar 60%, namun juga jauh lebih rendah dibandingkan rasio hutang terhadap PDB dari negara-negara lain, misalnya Jepang sekitar 243%; USA sekitar 106%; Thailand sekitar 47%; Malaysia sekitar 57%; dan Philipina sekitar 41%. Kedua, outstanding hutang Pemerintah dibagi dengan jumlah penduduk (hutang perkapita) pada tahun 2013 diperkirakan sekitar Rp 8,6 juta (outlook), lebih tinggi dari posisi tahun 2009 sebesar Rp 6,8 juta. Dengan menggunakan kurs akhir tahun, hutang perkapita Indonesia tahun 2013 tersebut ekuivalen dengan USD707,5. Hutang perkapita Indonesia ini relatif kecil dibandingkan negara-negara lain seperti Jepang sekitar USD 101.765; USA sekitar USD 53.378; Thailand sekitar USD 2.514; Malaysia sekitar USD 5.539; dan Philipina sekitar USD 1.081. Besaran rasio-rasio hutang Pemerintah Indonesia tersebut masih dalam batas-batas aman yang menjamin keberlanjutan fiskal (fiscal sustainability).Sebagai dampak dari kebijakan fiskal Pemerintah, termasuk di dalamnya pengelolaan defisit anggaran yang terkendali, serta kebijakan Pemerintah lainnya, kapasitas perekonomian kita terus tumbuh, antara lain ditunjukkan oleh kenaikan PDB dari Rp 5.613,4 triliun pada tahun 2009 menjadi sekitar Rp 9.112,4 triliun pada tahun 2013 (outlook). Demikian pula pendapatan perkapita naik dari Rp 23.927.460,7 pada tahun 2009 menjadi Rp 36.697.846,4 pada tahun 2013 (outlook). Hal ini menunjukkan kemampuan perekonomian Indonesia yang semakin besar untuk membayar kewajiban hutangnya dengan tanpa mengorbankan keberlanjutan fiskal (fiscal sustainability). Dalam rangka memastikan hutang Pemerintah terus dapat dijaga pada level yang aman, di samping melaksanakan kebijakan fiskal yang hati-hati (prudent), Pemerintah juga berupaya meningkatkan pengelolaan hutang (debt management) secara berkelanjutan. Di antara kebijakan pengelolaan hutang yang penting adalah: mengutamakan sumber pembiayaan hutang domestik; mengembangkan pasar surat berharga negara (SBN); dan mengutamakan penggunaan hutang untuk kegiatan produktif seperti pembangunan infrastruktur.Hutang pemerintah cenderung menurun pada bulan-bulan akhir di tahun 2011 dan diperkirakan juga akan menurun di tahun 2012 dst, namun hutang swasta justru semakin naik setiap bulannya hingga akhir tahun 2011. Grafik 1.1 menunjukkan posisi hutang luar negeri pemerintah, bank sentral dan swasta dalam 5 (lima) tahun terakhir (2010 hingga bulan November 2011)

Sumber: Statistik Hutang Luar Negeri Indonesia Vol. III, Januari 2012 (Kemenkeu dan BI)

Grafik 2.1 menunjukkan posisi hutang luar negeri pemerintah berdasarkan 5 (sektor ekonomi terbesar kurun waktu 5 tahun terakhir. (2010 hingga bulan November 2011).

Sumber: Statistik Hutang Luar Negeri Indonesia Vol. III, Januari 2012 (Kemenkeu dan BI)Berdasarkan data statistik hutang luar negeri dari 2 (dua) grafik di atas, maka dapat dilihat bahwa hutang luar negeri Indonesia semakin naik. Walaupun hutang pemerintah cenderung menurun pada bulan-bulan akhir di tahun 2011, namun hutang swasta justru semakin naik setiap bulannya hingga akhir tahun 2011. Grafik 2.1 membuktikan pernyataan anggota Komisi VI DPR bahwa hutang pemerintah dalam kurun waktu 2011 lebih diprioritaskan penggunaannya pada sektor finansial atau keuangan sebesar 47,2 %, sedangkan sisa pada 4 (empat) sektor lainnya dialokasikan tidak lebih dari 20 %. Begitupun halnya pemanfaatan hutang luar negeri pada sektor swasta. Data Statistik Hutang Luar Negeri Indonesia Vol. III bulan Januari 2012 menunjukkan bahwa sebesar 26,6 % dialokasikan untuk sektor finansial. Walaupun sektor manufaktur mendapatkan pembiayaan dari hutang sebesar 21,4 %, namun hal tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap pembangunan yang bersifat fisik maupun investasi sumber daya manusia seperti kesehatan dan pendidikan.

Pada satu sisi, perkembangan finansial Indonesia semakin membaik ditandai dengan pentingnya peran hutang luar negeri untuk pembiayaan sektor-sektor finansial. Namun, hal tersebut tidak berdampak besar bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Pada tahun 2011, pertumbuhan ekonomi mencapai 6,5 % dan ironisnya pertumbuhan tersebut mendapat dukungan terbesar oleh kinerja konsumsi masyarakat yang memberikan kontribusi sebesar 2,7 % atau peran distribusinya sebesar 54,6 % (sumber: Nota Keuangan dan RAPBN-P 2012).

Secara umum, mengenai posisi hutang pemerintah dan swasta di Indonesia cenderung meningkat dan alokasinya dititikberatkan pada sektor finansial, sehingga pembiayaan pembangunan dari hutang luar negeri belum maksimal dan optimal dalam mendukung pelayanan publik yang semakin baik maupun pembangunan infrastruktur yang memadai bagi masyarakat. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pembiayaan dari hutang pada APBN 2012 semata-mata untuk menutupi defisit anggaran, dan bukan hal yang terencana dalam upaya rencana pembangunan nasional. Pada level waktu jangka panjang, hal tersebut akan semakin memberatkan dan menjadi beban bagi pemerintah maupun swasta untuk membiayai sektor riil sehingga mengancam pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

3.4 Perbandingan Hutang Berbagai Negara

26,6 % = Indonesia

Jumlah hutang: 179. 314,5 juta US Dollar

% terhadap PDB: 26,6%22,3 % = Australia

Jumlah hutang: 254.020 juta US Dollar

% terhadap PDB: 22,3 %

196,1 % = Jepang

Jumlah hutang: 10. 586. 439, 4 Juta US Dollar

% terhadap PDB: 196, 1%

Sumber: The Economist, June 2012

Untuk menghitung seberapa besar hutang dalam batas yang sehat bagi suatu negara digunakan rasio-rasio pinjaman. Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan hutang adalah bagaimana mengelola likuiditas dan solvabilitas perekonomian negara. Dengan pengelolaan likuiditas dan solvabilitas yang baik tercipta fiscal sustainability yang kuat sehingga perekonomian terhindar dari kebangkrutan. Dalam literatur ekonomi indikator yang paling sering dipakai untuk mengukur tingkat keamanan hutang suatu negara adalah debt to GDP ratio. Rasio ini membandingkan antara besar hutang suatu negara dengan Produk Domestik Bruto negara tersebut. Indikator ini diadopsi dalam dokumen pendirian Uni Eropa (Maastricht Treaty) dan selanjutnya hal yang sama diadopsi oleh berbagai negara di dunia termasuk Indonesia sebagaimana termuat dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pada penjelasan pasal 12 ayat 3 defisit anggaran dibatasi 3 persen dari Produk Domestik Bruto serta pinjaman dibatasi maksimal 60 persen dari Produk Domestik Bruto. Dari data diatas dapat disimpulkan hutang Indonesia relatif tergolong lebih rendah dibanding negara lain, namun bukan berarti Indonesia benar-benar aman dari krisis. Kepercayaan terhadap suatu pemerintah sangat menentukan terhadap perekonomian negaranya, sehingga meskipun jumlah hutang relatif tinggi apabila pemerintah dipercaya dan dianggap kredibel maka mungkin saja krisis tidak otomatis melanda.3.5 Beberapa Solusi yang ditawarkan untuk meminimalisir kelalaian dalam pengelolaan hutang dapat mengakibatkan bencana bagi perekonomian berikut diantaranya:

1. Perumusan perencanaan pembangunan pada APBN harus melalui pertimbangan yang rasional dan logis, sehingga program-program kegiatan yang dibiayai oleh hutang dapat diklasifikasikan dan dikelompokkan dengan jelas sesuai skala prioritas.

2. Sektor-sektor yang dibiayai oleh hutang adalah sektor-sektor yang mampu mandiri setelah selesai dibiayai, sehingga untuk skala jangka panjang sektor tersebut mampu mendukung pembiayaan pembangunan secara mandiri dan berkelanjutan.

3. Pembiayaan dari hutang luar negeri dapat juga dimaksimalkan pada sektor penguatan penarikan pajak yang terkendali dan sarat pengawasan. Dengan demikian, proses penarikan pajak diharapkan dapat lebih maksimal untuk mendukung pedapatan negara.

4. Merumuskan suatu Memorandum of Understanding bersama pihak swasta untuk pengaturan kembali pembiayaan hutang dari sektor ekonomi agar lebih seimbang, dengan memperhatikan skala prioritas kebutuhan serta partisipasi masyarakat selaku warga.

5. Meningkatkan komoditi ekspor negara dengan mendukung perkembangan swasta dalam proses produksi. Dalam jangka waktu tertentu jika dilakukan dengan efisien dan berkelanjutan, solusi ini dapat mengurangi jumlah hutang luar negeri yang dipinjam oleh swasta dan/atau menguatkan alokasi pembiayaan hutang luar negeri swasta pada bidang-bidang selain finansial, seperti manufaktur; pengembangan sumber daya manusia; pembangunan sarana dan prasarana; dan bidang-bidang usaha lainnya.

BAB IVKESIMPULAN

Pembiayaan defisit fiskal dengan mengandalkan pinjaman atau hutang harus dilaksanakan secara hati-hati. Pengalaman Indonesia di akhir dekade 1990-an yang terpuruk karena krisis ekonomi yang didorong antara lain ketidakmapuan memanage hutang dengan baik merupakan pengalaman yang patut dijadikan pembelajaran. Hutang menimbulkan dilema sejak diadakan. Bagi perencana pembangunan, dana pinjaman memberikan kesempatan sebagai sumber dana untuk membalikkan keadaan yang serba susah dan terbatas serta memberikan peluang untuk peningkatan kemakmuran dan pereko nomian negara. Namun pemanfaatan pinjaman yang tidak digunakan secara bijak serta jumlah yang terus menumpuk merupakan jalur cepat menuju bencana keuangan dan jurang kehancuran perekonomian. Kebijakan pemerintah Indonesia menentukan defisit APBN maksimal 3 persen dari PDB adalah kebijakan yang sangat tepat dan telah sesuai dengan best practice internasional. Kelalaian dalam pengelolaan hutang dapat mengakibatkan bencana bagi perekonomian. Diperlukan pengawasan penggunaan hutang secara ketat serta konsistensi pemerintah untuk menjaga hutang dalam tingkat yang aman. Politik hutang adalah bagian dari kebijakan publik yang keberhasilannya dinilai dari besarnya kesejahteraan masyarakat yang dihasilkan dari kebijakan tersebut. Pinjaman bagi suatu negara adalah pilihan yang dapat ditempuh. Mengelola pinjaman dengan professional, akuntabel dan transparan adalah keutamaan yang jalannya penuh kerikil tajam, halangan, dan kesulitan. Ujung pengelolaan hutang yang tepat akan membuahkan keagungan dan keutamaan bagi kesejahteraan Bangsa dan Rakyat Indonesia dan sebaliknya kelalaian akan membawa kearah bencana perekonomian.