Upload
ryzah-voor-non
View
285
Download
69
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkembangan pesat yang terjadi dalam pembangunan di Indonesia tidak
bisa dilepaskan begitu saja dengan hubungannya akan kepastian pendaftaran
tanah. Karena tanah jelas menjadi aspek utama dan penting dalam pembangunan,
dimana seluruh kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat
memerlukan tanah untuk melakukan kegiatan tersebut. Untuk tercapainya
kepastian pendaftaran tanah dan juga untuk memenuhi ketentuan Pasal 19 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (UUPA), maka penyelenggaraan pendaftaran tanah dilakukan berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 (PP 24/1997) yang menggantikan
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 (PP 10/1961) tentang pendaftaran
tanah.
Selain pendaftaran tanah di Indonesia, pendaftaran tanah di negara-negara
lain juga penting untuk dipelajari agar dapat menjadi bahan perbandingan dengan
sistem pendaftaran tanah di Indonesia, agar ke depannya sistem pendaftaran tanah
di Indonesia dapat betul-betul menjamin kepastian hukum bagi pihak-pihak yang
berkepentingan, antara lain pemegang hak atas tanah, pembeli atau penerima
jaminan hak atas tanah, dan instansi terkait demi tertib administrasi pertanahan.
Oleh karena itu dalam penulisan kali ini, kami membahas mengenai sistem
pendaftaran tanah negara Malaysia.
2
B. RUMUSAN MASALAH
Bertolak dari kerangka dasar berfikir sebagaimana diuraikan pada bagian
latar belakang, maka permasalahan yang dibahas dalam makalah ini adalah
mengenai:
1. Pendaftaran Tanah secara umum
2. Pendaftaran tanah di negara Indonesia
3. Pendaftaran tanah di negara Malaysia
C. TUJUAN
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah:
1. Untuk memenuhi tugas makalah Pendaftaran Tanah
2. Melatih mahasiswa agar terbiasa menyusun makalah dalam memenuhi tugas.
3. Agar mahasiswa dapat mengerti hal-hal mengenai pendaftaran tanah di
Indonesia dan Malaysia secara umum.
3
BAB II
PENDAFTARAN TANAH
A. Pengertian dan Kegiatan Pendaftaran Tanah pada Masa Awal
Kemerdekaan Indonesia
Pada awalnya, pendaftaran tanah dilakukan untuk tujuan pemungutan
pajak atas tanah (fiscal cadastre). Sampai tahun 1961, dikenal tiga macam
pungutan pajak tanah, yaitu verponding Eropa, verponding Indonesia, dan
Landrente. Sebagai dasar bagi penentuan obyek pajak saat itu adalah status
tanahnya sebagai tanah Hak Barat dan tanah hak milik adat, sedangkan wajib
pajaknya adalah pemegang hak/pemiliknya.
Dalam perkembangan berikutnya, untuk mewujudkan kepastian hukum
atas tanah, munculah pendaftaran tanah untuk tujuan kepastian hukum (legal
cadastre). Sasarannya adalah bidang-bidang tanah yang dikuasai dengan sesuatu
hak dan dikenal tanah hak maupun persil yang kemudian diukur, dipetakan dan
diteliti proses penguasaan oleh pemegang haknya. Hasilnya berupa peta dan daftar
yang memberikan penjelasan mengenai siapa pemegang haknya, letaknya, dan
luasnya (data kadastral).
Menurut Boedi Harsono, yang dimaksud dengan pendaftaran tanah adalah
suatu rangkaian kegiatan, yang dilakukan oleh Negara/Pemerintah secara terus
menerus dan teratur berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu,
pengolahan, penyimpanan dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam
4
rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, termasuk
penerbitan tanda buktinya dan pemeliharaannya.1
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 PP 24/1997, pendaftaran tanah adalah
rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus-menerus,
berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengelolaan, pembukuan,
dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta
dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun,
termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang
sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu
yang membebaninya.
Pendaftaran tanah juga berarti suatu kegiatan adminstrasi yang dilakukan
oleh subjek hukum terhadap status kepemilikan hak atas tanah, baik pemindahan
hak, pemberian ataupun pengakuan hak.
Pendaftaran tanah merupakan legal cadastre pada prinsipnya adalah suatu
kegiatan penyelenggaraan pendaftaran tanah yang dilakukan dalam rangka
memberikan jaminan kepastian hukum dan kepastian hak. Hal ini dijelaskan
dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA yang menyatakan untuk menjamin kepastian
hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik
Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bidang tanah adalah bagian permukaan bumi yang merupakan suatu
bidang yang berbatas. Dalam hukum yang berlaku di dunia ini, pendaftaran tanah
1
?Boedi Harsono, Hukum Agraia Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, Hukum Tanah Nasional, Cet. XII (Jakarta: Djambatan, Edisi Revisi 2008), halaman 72.
5
adalah suatu sistem di mana kepemilikan dalam suatu bidang tanah dicatat dan
didaftar oleh pemerintah, demi pemberian suatu tanda atau alat bukti suatu hak
dan untuk memfasilitasi suatu transaksi.
Sebutan ‘pendaftaran tanah’ telah menimbulkan kesan seakan-akan obyek
utama pendaftaran atau satu-satunya obyek pendaftaran adalah tanah. Memang
mengenai pengumpulan sampai penyajian data fisik, tanahlah yang merupakan
obyek pendaftaran, yaitu untuk dipastikan letaknya, batas-batasnya, luasnya dalam
peta pendaftaran dan disajikan juga dalam daftar tanah. Kata ‘kadaster’ yang
menunjuk pada kegiatan bidang fisik tersebut berasal dari istilah latin capitastrum
(suatu daftar yang berisikan data mengenai tanah). Tetapi dalam pengumpulan
sampai penyajian data yuridis, bukan tanahnya yang didaftar, melainkan hak-hak
atas tanah yang menentukan status hukumnya serta hak-hak lain yang membebani
hak-hak tersebut. Bahkan dalam pendaftaran tanah yang menggunakan sistem
pendaftaran akta (registration of deeds), bukan haknya, melainkan justru aktanya
yang didaftar yaitu dokumen-dokumen yang membuktikan diciptakannya hak
yang bersangkutan dan dilakukannya perbuatan-perbuatan hukum mengenai hak
tersebut kemudian2.
Kegiatan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali (initial registration) dan kegiatan pemeliharaan data yang tersedia
(maintenance). Dalam initial registration, terdapat 3 (tiga) pokok kegiatan, yaitu:
1. bidang fisik (teknis kadastral),
2. bidang yuridis, dan
3. penerbitan dokumen tanda bukti hak.
2 Boedi Harsono, op.cit, hal.74
6
Sedangkan pemeliharaan data (maintanance) dilakukan apabila terjadi
perubahan pada data fisik dan data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah
didaftar. Perubahan ini misalnya terjadi akibat beralihnya, dibebaninya, atau
berubahnya nama pemegang hak yang sudah berakhir, pemecahan, pemisahan dan
penggabungan bidang tanah yang haknya sudah didaftar.
Pendaftaran tanah pertama kali (initial registration) dapat dilakukan
secara:
1. sistematik berarti dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek
pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah
suatu desa/kelurahan, yang umumnya prakarsa datang dari Pemerintah;
2. sporadik berarti kegiatan pendaftaran tanah untuk satu atau beberapa obyek
pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/keluarahan
secara individual atau massal, yang dilakukan atas permintaan pemegang atau
penerima hak atas tanah bersangkutan.
Menurut Chairul Basri, kegiatan pendaftaran tanah telah lama diusahakan
oleh pemerintah Indonesia, yaitu pada tahun 1955 berdasarkan Keputusan
Presiden (Kepres) Nomor 55 Tahun 1955 Presiden Republik Indonesia
membentuk Kementerian Agraria yang sederajat dengan kementerian lain dan
dipimpin oleh Menteri Agraria. Lapangan pekerjaan Kementerian Agraria
dimaksud adalah:
1. Mempersiapkan pembentukkan perundang-undangan agraria nasional.
7
2. Melaksanakan dan mengawasi perundang-undangan agrarian pada umumnya
serta memberi pimpinan dan petunjuk tentang pelaksanaan itu pada
khususnya.
3. Menjalankan usaha untuk menyempurnakan kedudukan dan kepastian hak
tanah bagi rakyat.
Susunan Kementerian Agraria terdiri atas Pusat Kementerian, Jawatan
Agraria dan Jawatan Pendaftaran Tanah. Masing-masing jawatan dipimpin oleh
Kepala Jawatan yang bertanggung jawab kepada Menteri dan wajib
memberitahukan segala sesuatu kepada Sekretaris Jenderal. Kemudian
Kementerian Agraria kewenangannya dipertegas dengan Kepres Nomor 190
Tahun 1957 tanggal 12 Desember 1957 untuk menjalankan segala usaha
menyempurnakan kedudukan dan kepastian hak atas tanah melalui pendaftaran
tanah yang meliputi kegiatan :
1. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan semua tanah dalam wilayah Republik
Indonesia (tentunya termasuk wilayah kehutanan).
2. Pembukuan hak-hak atas tanah serta pencatatan pemindahan hak-hak tersebut.
Untuk hal tersebut di atas berdasarkan Kepres Nomor 190 Tahun 1957
tersebut Jawatan Pendaftaran Tanah dialihkan dari Departemen Kehakiman ke
Kementerian Agraria sedangkan tugas dan wewenang Jawatan Agraria beralih
dari Menteri Dalam Negeri ke Kementerian Agraria berdasarkan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1958.
Setelah lahirnya UUPA, lapangan pekerjaan Kementerian Agraria
diperluas dengan kegiatan Land Reform dan Land Use sehingga dapat dikatakan
8
pilar-pilar kegiatan Kementerian Agraria pada saat berdirinya terdiri dari 4 pilar,
yaitu :
1. Bidang Hak-Hak Atas Tanah (Jawatan Agraria)
2. Bidang Pendaftaran Tanah (Jawatan Pendaftaran Tanah)
3. Bidang Land Reform
4. Bidang Land Use yang berasal dari Direktorat Tata Bumi Departemen
Pertanian (bukan berasal dari Direktorat Tata Ruang Departemen Pekerjaan
Umum).
Departemen Agraria dengan 4 pilar tersebut di atas merupakan suatu
kebanggaan bagi bangsa Indonesia khususnya pegawai di Departemen Agraria
karena di seluruh dunia hanya Departemen Agraria yang memiliki kewenangan
yang lengkap yang diharapkan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan
pertanahan di Indonesia sebagai akibat masa penjajahan yang cukup panjang serta
luasnya wilayah Republik Indonesia dengan berbagai suku bangsa dan adat
istiadat serta ketentuan-ketentuan hukum di bidang pertanahan umumnya
hanyalah berdasarkan hukum adat setempat dan tidak tertulis.
Dengan kewenangan yang ada diharapkan Kementrian Agraria dapat
mewujudkan tertib hukum, administrasi, penggunaan tanah dan pemeliharaan
tanah serta terciptanya suatu lingkungan hidup yang nyaman bersih dan terjamin
keberadaan sumber daya air bagi rakyat Indonesia. Namun sesuatu hal yang ironis
dengan tujuan yang begitu besar perkembangan organisasi Kementrian Agraria
berkali-kali berubah mulai dari tingkat Departemen, Direktorat, Dirjen Agraria,
Badan Pertanahan dengan Menteri Negara Agraria dan saat ini kembali menjadi
9
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia sehingga harapan dan tujuan
utama untuk dibentuknya Kementrian Agraria pada masa lalu masih jauh dari
harapan.
B. Asas, Tujuan dan Objek Pendaftaran Tanah
Asas-asas yang dianut untuk pendaftaran tanah diatur berdasarkan Pasal 2
PP 24/1997 yakni sebagai berikut:
1. Sederhana, maksudnya adalah agar ketentuan-ketentuan pokok maupun
prosedur pendaftaran tanah dapat dengan mudah dipahami oleh pihak-pihak
yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah.
2. Aman, maksudnya adalah untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu
diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan
jaminan kepastian hukum.
3. Terjangkau, berkaitan dengan kemampuan finansial seseorang untuk
membayar biaya, khususnya harus memperhatikan agar tidak memberatkan
pihak-pihak yang ekonominya lemah. Intinya agar jangan sampai pihak
ekonomi lemah tidak melakukan pendaftaran tanah hanya karena masalah
tidak mampu membayar.
4. Mutakhir, setiap data yang berkaitan dengan pendaftaran tanah haruslah data
yang terbaru, yang menunjukan keadaan riil pada saat yang sekarang. Setiap
ada perubahan fisik atau benda-benda diatasnya atau hal yuridis atas tanah
harus ada datanya (selalu ada pembaharuan data).
10
5. Terbuka, dokumen-dokumen atau data-data baik fisik atau yuridis bersifat
terbuka dan boleh diketahui oleh masyarakat. Asas ini bertujuan agar bila ada
hal-hal yang menyimpang atau disembunyikan dapat diketahui.
Usaha yang menuju ke arah kepastian hukum atas tanah tercantum dalam
ketentuan-ketentuan dari pasal-pasal yang mengatur tentang pendaftaran tanah,
dalam Pasal 19 UUPA disebutkan untuk menjamin kepastian hukum dari hak-hak
atas tanah, UUPA mengharuskan pemerintah untuk mengadakan pendaftaran
tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia yang bersifat ‘Recht Kadaster”
artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum, dengan diselenggarakannya
pendaftaran tanah, maka pihak-pihak yang bersangkutan dengan mudah dapat
mengetahui status hukum daripada tanah tertentu yang dihadapinya, letak, luas
dan batas-batasnya, hak atas tanahnya, siapa yang empunya dan beban-beban apa
yang melekat di atas tanah tersebut.
Menurut para ahli disebutkan tujuan pendaftaran ialah untuk kepastian hak
seseorang, disamping untuk pengelakkan suatu sengketa perbatasan dan juga
untuk penetapan suatu perpajakan.3
1. Kepastian hak seseorang, maksudnya dengan suatu pendaftaran, maka hak
seseorang itu menjadi jelas misalnya apakah hak milik, hak guna usaha, hak
guna bangunan atau hak- hak lainnya.
2. Pengelakkan suatu sengketa perbatasan, apabila sebidang tanah yang dipunyai
oleh seseorang sudah didaftar, maka dapat dihindari terjadinya sengketa
3 A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hal. 6
11
tentang perbatasannya, karena dengan didaftarnya tanah tersebut, maka telah
diketaui berapa luasnya serta batas-batasnya.
3. Penetapan suatu perpajakan, dengan diketahuinya berapa luas sebidang tanah,
maka berdasarkan hal tersebut dapat ditetapkan besar pajak yang harus
dibayar oleh seseorang. Dalam lingkup yang lebih luas dapat dikatakan
pendaftaran itu selain memberi informasi mengenai suatu bidang tanah, baik
penggunaannya, pemanfaatannya, maupun informasi mengenai untuk apa
tanah itu sebaiknya dipergunakan, demikian pula informasi mengenai
kemampuan apa yang terkandung di dalamnya dan informasi mengenai
bangunannya sendiri, harga bangunan dan tanahnya, dan pajak yang
ditetapkan.
Untuk memenuhi berbagai kebutuhan seperti tersebut di atas, maka untuk
itu UUPA melalui pasal-pasal pendaftaran tanah menyatakan bahwa pendaftaran
itu diwajibkan bagi pemegang hak yang bersangkutan. Dalam ketentuan Pasal 3
PP 24/1997 dinyatakan dengan tegas bahwa pendaftaran tanah mempunyai tiga
tujuan, yaitu:
1. Memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak
atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun, dan hak-hak lain yang terdaftar
agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang
bersangkutan.
Kepastian hukum ini diberikan dalam bentuk sertifikat kepada
pemegang hak tersebut, dimana sertifikat ini bukan sekedar fasilitas,
melainkan merupakan hak bagi pemegang hak atas tanah yang dijamin oleh
12
undang-undang. Hal ini merupakan pengejawantahan langsung dan tujuan
utama dari ketentuan Pasal 19 UUPA.
2. Menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk
pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan
dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan
satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
Untuk penyajian data tersebut diselenggarakan oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya tata usaha pendaftaran tanah dalam apa yang dikenal
sebagai daftar umum, yang terdiri atas peta pendaftaran tanah, daftar tanah,
surat ukur, buku tanah dan daftar nama. Para pihak yang berkepentingan,
terutama calon pembeli atau calon kreditor, sebelum melakukan suatu
perbuatan hukum mengenai sutau bidang tanah atau satuan rumah susun
tertentu perlu dan karenanya mereka berhak mengetahui data yang tersimpan
dalam daftar-daftar di Kantor Pertanahan tersebut.
3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Terselenggaranya
pendaftaran tanah secara baik merupakan dasar dan perwujudan tertib
administrasi di bidang pertanahan. Untuk mencapai tertib administrasi tersebut
setiap bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk peralihan, pembebanan
dan hapusnya wajib didaftar.
Obyek pendaftaran tanah diatur dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) PP
24/1997 yaitu sebagai berikut:
1. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik (HM), hak guna usaha
(HGU), hak guna bangunan (HGB) dan hak pakai (HP);
13
2. Tanah hak pengelolaan;
3. Tanah wakaf;
4. Hak milik atas satuan rumah susun;
5. Hak tanggungan;
6. Tanah negara.
C. Sistem Pendaftaran Tanah4
Ada dua macam sistem pendaftaran tanah, yaitu sistem pendaftaran akta
(registration of deeds) dan sistem pendaftaran hak (registration of title). Sistem
pendaftaran tanah mempermasalahkan apa yang didaftar, bentuk penyimpanan
dan penyajian data yuridisnya serta bentuk tanda bukti haknya.
Baik dalam sistem pendaftaran akta maupun sistem pendaftaran hak, tiap
pemberian atau menciptakan hak baru serta pemindahan dan pembebanannya
dengan hak lain kemudian, harus dibuktikan dengan suatu akta, dengan kata lain
akta merupakan sumber data yuridis.
Dalam sistem pendaftaran akta, akta-akta itulah yang didaftar oleh pejabat
pendaftaran tanah. Pejabat pendaftaran tanah bersikap pasif, ia tidak melakukan
pengujian kebenaran data yang disebut dalam akta yang didaftar. Tiap kali terjadi
perubahan wajib dibuatkan akta sebagai buktinya. Dalam sistem ini data yuridis
yang diperlukan harus dicari dalam akta-akta yang bersangkutan. Cacat hukum
pada suatu akta bisa mengakibatkan tidak sahnya perbuatan hukum yang
dibuktikan dengan akta yang dibuat kemudian. Untuk memperoleh data yuridis
harus dilakukan apa yang disebut title search, yang bisa memakan waktu dan
4 Boedi Harsono, op.cit, hal. 76-78
14
biaya karena untuk title search diperlukan bantuan ahli. Dalam sistem ini, yang
merupakan tanda bukti hak adalah akta yang digunakan untuk menciptakan hak
baru atau perbuatan-perbuatan hukum yang menimbulkan perubahan kemudian.
Oleh karena itu, Robert Richard Torrens, pejabat Registrar General of
Deeds di Adelaide, Australia Selatan pada tahun 1853, menciptakan sistem
registration of title yang kemudian dikenal sebagai sistem Torrens atau sistem
pendaftaran hak. Sistem baru ini lebih sederhana dan memungkinkan orang
memperoleh keterangan dengan cara yang mudah, tanpa harus mengadakan title
search pada akta-akta yang ada.
Dalam sistem ini, setiap penciptaan hak baru dan perbuatan-perbuatan
hukum yang menimbulkan perubahan kemudian, tetap harus dibuktikan dengan
suatu akta, namun dalam penyelenggaraan pendaftarannya, bukan aktanya yang
didaftar, melainkan haknya yang diciptakan dan perubahan-perubahannya
kemudian. Akta hanya merupakan sumber datanya. Untuk pendaftaran hak dan
perubahan-perubahannya yang terjadi, disediakan suatu daftar isian yang disebut
register atau buku tanah. Sebagai tanda bukti hak, diterbitkan sertifikat yang
merupakan salinan register dan dalam Pasal 13 PP 24/1997 juga surat ukur yang
dijilid menjadi satu sampul dalam dokumen.
Di Indonesia kegiatan pendaftaran tanah sejak penjajahan Belanda telah
ada khususnya untuk mengelola hak-hak barat dan pada zaman awal kemerdekaan
pendaftaran tanah di Indonesia berada di Departemen Kehakiman yang bertujuan
untuk menyempurnakan kedudukan dan kepastian hak atas tanah yang meliputi:
15
a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan semua tanah dalam wilayah Republik
Indonesia
b. Pembukuan hak atas tanah serta pencatatan pemindahan hak atas tanah
tersebut.
Melihat bentuk kegiatan pendaftaran tanah seperti diuraikan di atas dapat
dikatakan bahwa sistem pendaftran tanah pada saat itu adalah sistem pendaftaran
akta (regristration of deeds) dimana jawatan pendaftaran tanah pada saat itu
hanya bertugas dan berkewenangan membukukan hak-hak tanah dan mencatat
akta peralihan/pemindahan hak, tidak menerbitkan surat tanda bukti hak yang
berupa sertifikat tanah. Alat bukti kepemilikan tanah pada saat itu berupa akta
(akta eigendom dan lain-lain).
Dengan lahirnya UUPA pada tanggal 24 september 1960 maka sistem
pendaftaran tanah berubah menjadi sistem pendaftaran hak (registration of title)
dimana hal tersebut ditetapkan dalam Pasal 19 UUPA yang antara lain berbunyi:
1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran
tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan
yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. Pendaftaran tanah meliputi:
a. Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
16
Perbedaan kewenangan dalam sistem pendaftaran tanah seperti diuraikan
di atas jelas tertuang dalam ketentuan angka 2 b dan c dimana pejabat pendaftaran
tanah melakukan pendaftaran hak termasuk peralihan dan pembebanannya serta
pemberian surat-surat tanda bukti termasuk sertifikat tanah sebagai alat
pembuktian yang kuat.
D. Sistem Publikasi
Pendaftaran tanah berkaitan erat dengan sistem publikasi, karena
menyangkut hal sejauh mana orang boleh mempercayai kebenaran data yang
disajikan. Sejauh mana hukum melindungi kepentingan orang yang melakukan
perbuatan hukum mengenai tanah yang haknya sudah didaftar, berdasarkan data
yang disajikan di kantor pejabat pendaftaran tanah atau yang tercantum dalam
surat tanda bukti hak yang diterbitkan atau yang didaftar oleh pejabat pendaftaran
tanah, jika kemudian ternyata data tersebut tidak benar.
Pada garis besarnya dikenal dua sistem publikasi, yaitu:
a. Sistem publikasi positif
Dalam pendaftaran tanah yang menggunakan sistem publikasi positif,
orang yang mendaftar sebagai pemegang hak atas tanah tidak dapat diganggu
gugat lagi haknya. Dalam sistem ini, negara sebagai pendaftar, menjamin bahwa
pendaftaran yang sudah dilakukan adalah benar. Dalam sistem publikasi positif,
selalu menggunakan sistem pendaftaran hak sehingga harus ada register dan buku
tanah sebagai bentuk penyimpanan dan penyajian data yuridis dan sertipikat hak
sebagai tanda bukti haknya. Pendaftaran atau pencatatan nama seseorang dalam
register sebagai pemegang haklah yang membuat orang menjadi pemegang hak
17
atas tanah yang bersangkutan, bukan karena perbuatan hukum pemindahan hak
yang dilakukan (Title by Registration, The Register is everything). Pernyataan
tersebut merupakan dasar falsafah yang melandasi sistem Torrens, yang mana
dengan menggunakan sistem publikasi positif ini, negara menjamin kebenaran
data yang disajikan.
Dalam sistem ini, orang yang dengan itikad baik dan dengan
pembayaran memperoleh hak dari orang yang namanya terdaftar sebagai
pemegang hak dalam buku tanah, memperoleh hak yang tidak dapat diganggu
gugat (indefeasible title) dengan didaftar namanya sebagai pemegang hak dalam
buku tanah. Juga jika kemudian terbukti bahwa yang terdaftar sebagai pemegang
hak tersebut bukan pemegang hak yang sebenarnya.
Sistem publikasi positif ini mengandung beberapa kelebihan, antara lain:
a. Adanya kepastian hukum bagi pemegang sertipikat;
b. Adanya peranan aktif pejabat kadaster;
c. Mekanisme penerbitan sertipikat dapat dengan mudah diketahui publik.
Sistem ini juga mengandung beberapa kelemahan, antara lain:
a. Pemilik tanah yang sesungguhnya akan kehilangan haknya karena tanah
tersebut telah ada sertipikat atas nama pihak lain yang tidak dapat diubah lagi;
b. Peranan aktif pejabat kadaster memerlukan waktu dan prasarana yang mahal;
c. Wewenang pengadilan diletakkan dalam wewenang pengadilan administrasi.
b. Sistem publikasi negatif
Dalam sistem ini bukan pendaftarannya yang diperhatikan, tetapi sahnya
perbuatan hukum yang dilakukan yang menentukan berpindahnya hak kepada
18
pembeli, dimana pendaftaran tidak membuat orang yang memperoleh tanah dari
pihak yang tidak berhak menjadi pemegang haknya yang baru.
Dalam pendaftaran tanah yang menggunakan sistem publikasi negatif,
negara sebagai pendaftar tidak menjamin bahwa orang yang terdaftar sebagai
pemegang hak atas tanah, benar-benar orang yang berhak karena menurut sistem
ini, bukan pendaftaran haknya tetapi sahnya perbuatan hukum yang dilakukan
yang menentukan berpindahnya hak kepada pembeli.
Dalam sistem ini, negara hanya secara pasif menerima apa yang
dinyatakan oleh pihak yang meminta pendaftaran. Oleh karena itu, ia sewaktu-
waktu dapat digugat oleh orang yang merasa lebih berhak atas tanah itu. Pihak
yang memperoleh dari orang yang telah terdaftarpun tidak dijamin, walaupun ia
memperoleh tanah itu dengan itikad baik. Dengan demikian, pendaftaran tanah
dengan sistem publikasi negatif tidak memberikan kepastian hukum kepada orang
yang terdaftar sebagai pemegang hak karena negara tidak menjamin kebenaran
data yang disajikan. Dalam sistem publikasi negatif, umumnya digunakan sistem
pendaftaran akta. Tidak ada buku tanah dan tidak pula diterbitkan sertipikat. Yang
merupakan tanda bukti hak adalah akta atau turunan akta yang sudah dibubuhi
tanda pendaftaran.
Dalam sistem ini berlaku asas yang dikenal sebagai nemo plus juris, yang
berasal dari hukum Romawi yang selengkapnya berbunyi ”nemo plus juris in
alium transferre potest quam ipse habet”, artinya orang tidak dapat menyerahkan
atau memindahkan hak melebihi apa yang dia sendiri punyai. Sehingga walaupun
telah melakukan pendaftaran, pembeli selalu masih menghadapi gugatan dari
19
orang yang dapat membuktikan bahwa ia pemegang hak yang sebenarnya.
Kelemahan sistem ini oleh negara-negara yang menggunakanya biasanya diatasi
dengan lembaga acquisitive verjaring, di Indonesia dengan lembaga
rechtverwerking.
Sistem publikas negatif memiliki beberapa kelebihan, antara lain:
a. Pemegang hak sesungguhnya terlindungi dari pihak yang tidak berhak atas
tanahnya;
b. Adanya penyelidikan riwayat tanah sebelum penerbitan sertipikat;
c. Tidak ada batasan waktu bagi pemilik tanah sesungguhnya untuk menuntut
haknya yang telah disertipikatkan pihak lain.
Sistem ini juga memiliki beberapa kelemahan, antara lain:
a. Tidak ada kepastian atas keabsahan kepemilikan hak atas tanah karena setiap
saat dapat atau mungkin saja digugat dan dibatalkan jika terbukti tidak sah
penerbitannya;
b. Peranan pejabat pendaftaran tanah yang pasif, tidak mendukung ke arah
akurasi dan kebenaran data yang tercantum di dalam sertipikat;
c. Mekanisme kerja pejabat kadaster yang kurang transparan, kurang dapat
dipahami oleh masyarakat awam.
Dalam praktek, baik sistem publikasi positif maupun sistem publikasi
negatif tidak pernah digunakan secara murni. Pada sistem positif memberi beban
terlalu berat kepada negara sebagai pendaftar. Apabila ada kesalahan dalam
pendaftaran maka negara harus menanggung akibat dari kesalahan itu. Untuk
mencegah kesalahan tersebut, dilakukan penelitian secara cermat, sehingga
20
mengakibatkan lambatnya proses pendaftaran dan untuk semua resiko itu,
biasanya negara mengenakan biaya yang mahal untuk pendaftaran untuk
menyediakan suatu dana khusus guna menghadapi tuntutan ganti kerugian jika
terjadi kesalahan pada pihak pejabat dalam melaksanakan pendaftaran.
E. Sistem Publikasi yang Dianut di Indonesia
Sistem publikasi yang dianut Indonesia adalah sistem negatif yang
mengandung unsur positif menurut PP 10/1961. Dengan sistem ini akan
menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat
(2), Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2) UUPA. Jadi bukan sistem publikasi
negatif murni. Sistem publikasi yang negatif murni tidak akan menggunakan
sistem pendaftaran hak juga tidak akan ada pernyataan seperti dalam pasal-pasal
UUPA tersebut, bahwa sertipikat merupakan alat bukti yang kuat.5
Di dalam penjelasan Pasal 32 ayat (1) PP 24/1997, dinyatakan bahwa
sertipikat merupakan tanda bukti hak yang kuat, dalam arti bahwa selama tidak
dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum di
dalamnya harus diterima sebagai data yang benar. Kuat tidak berarti mutlak,
namun lebih dari yang lemah sehingga pendaftaran berarti lebih menguatkan
pembuktian pemilikan, akan tetapi tidak mutlak, yang berarti pemilik terdaftar
tidak dilindungi hukum dan bisa digugat sebagaimana dimaksud di dalam
penjelasan PP 10/1961.6
5 ? Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya, Jilid I, Hukum Tanah Nasional, (Jakarta:Djambatan,Edisi Revisi 1999), hal 463.6 ? Badan Pertahanan Nasional, Himpunan Karya tulis Pendaftaran Tanah,(Jakarta,1989), hal 44.
21
Dalam PP 10/1961 dinyatakan bahwa pembukuan suatu hak di dalam
daftar buku tanah atas nama seseorang tidak mengakibatkan bahwa orang yang
seharusnya berhak atas tanah itu akan kehilangan haknya. Orang tersebut masih
dapat menggugat hak dari yang terdaftar dalam buku tanah sebagai orang yang
berhak. Jadi, cara pendaftaran hak yang diatur dalam PP 10/1961 tidaklah positif,
tetapi negatif. Demikian penjelasan PP 10/1961.7
Penggunaan sistem publikasi negatif juga ditegaskan dalam penjelasan
Pasal 32 ayat (2) PP 24/1997 yang menyatakan bahwa pendaftaran tanah yang
yang penyelenggaraannya diperintahkan oleh UUPA tidak menggunakan sistem
publikasi positif, yang kebenaran data yang disajikan dijamin oleh negara,
melainkan menggunakan sistem publikasi negatif.
Sebagaimana dapat dilihat pada ketentuan-ketentuan yang mengatur
prosedur pengumpulan sampai penyajian data fisik dan data yuridis yang
diperlukan serta peralihannya dan penerbitan sertipikat haknya, biarpun sistem
publikasinya negatif, tetapi kegiatan-kegiatan yang bersangkutan dilaksanakan
secara saksama, agar data yang disajikan sejauh mungkin dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.8
Sehingga, dapat dikatakan sistem publikasi di Indonesia adalah sistem
publikasi negatif, tetapi bukan negatif murni melainkan apa yang disebut sistem
negatif yang mengandung unsur positif, hal ini dapat diketahui dari ketentuan
Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, yang menyatakan bahwa pendaftaran meliputi
“pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian
7 ? ibid, hal.448 ? Boedi Harsono, op.cit.,hal.464.
22
yang kuat”. Dalam Pasal 23, 32, dan 38 UUPA juga dinyatakan bahwa
“pendaftaran merupakan alat pembuktian yang kuat”. Pernyataan yang demikian
tidak akan terdapat dalam peraturan pendaftaran tanah dengan sistem publikasi
negatif yang murni.9
Pengertian sistem publikasi yang positif mencakup ketentuan bahwa apa
yang sudah terdaftar itu dijamin kebenaran datanya dan untuk keperluan itu
pemerintah meneliti kebenaran data yang didaftarkannya dan sahnya tiap warkah
yang diajukan untuk didaftarkan sebelum hal itu dimasukan dalam daftar-daftar.
Dalam sistem positif, negara menjamin kebenaran data yang disajikan.
Sistem positif mengandung ketentuan-ketentuan yang merupakan perwujudan
ungkapan ”title by registration” (dengan pendaftaran diciptakan hak), pendaftaran
menciptakan suatu “indefesible title” (hak yang tidak dapat diganggu gugat), dan
“the register is everything”(untuk memastikan adanya suatu hak dan pemegang
haknya cukup dilihat buku tanahnya). Sekali didaftar pihak yang dapat
membuktikan bahwa dialah pemegang hak yang sebenarnya kehilangan haknya
untuk menuntut kembali tanah yang bersangkutan. Jika pendaftaran terjadi karena
kesalahan pejabat pendaftaran, ia hanya dapat menuntut pemberian ganti kerugian
(compensation) berupa uang. Untuk itu negara menyediakan apa yang disebut
suatu dana khusus atau assurance fund.
Ketentuan-ketentuan yang merupakan perwujudan ungkapan-ungkapan
demikian tidak terdapat dalam UUPA. Dalam sistem publikasi negatif, juga dalam
sistem negatif kita yang mengandung unsur positif, negara tidak menjamin
9 ? Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Cet I, (Jakarta: Universitas Trisakti,2002), hal.84.
23
kebenaran data yang disajikan. Penggunaanya adalah risiko pihak yang
menggunakan sendiri.10 Sehingga selalu terbuka kemungkinan adanya gugatan
kepada pemilik terdaftar dari orang yang merasa sebagai pemilik sebenarnya.
Terlepas dari kemungkinan kalah atau menangnya tergugat yaitu
pemegang hak terdaftar, maka hal ini berarti bahwa daftar umum yang
diselenggarakan di suatu negara dengan prinsip pemilik terdaftar tidak dilindungi
hukum, tidak mempunyai kekuatan bukti.11 Ini berarti bahwa terdaftarnya
seseorang di dalam daftar umum sebagai pemegang hak belum membuktikan
orang itu sebagai pemegang hak yang sah menurut hukum. Jadi, pemerintah tidak
menjamin kebenaran dari isi daftar-daftar umum yang diadakan dalam
pendaftaran hak dan tidak pula dinyatakan di dalam undang-undang.
Penyelidikan riwayat tanah dalam sistem publikasi negatif dilakukan
dengan menyelidiki surat-surat bukti hak, yang umumnya berupa akta-akta di
bawah tangan (segel-segel) yang dibuat pada masa lampau atau surat-surat
keputusan pemberian hak, balik nama (pencatatan pemindahan hak). Dengan
demikian, akta-akta peralihan hak masa lampau dan yang sekarang, memegang
peranan penting dalam menentukan kadar kepastian hukum sesuatu hak atas
tanah.
Sebelum UUPA berlaku, untuk menentukan kadar kepastian hukum
sesuatu hak, digunakan upaya ketentuan mengenai “kadaluwarsa” sebagai upaya
untuk memperoleh hak eigendom atas tanah (acquisitieve verjaring), yang
terdapat dalam Pasal 1955 dan 1963 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
10 ? Boedi Harsono,op.cit, hal.85,86.11 ? Badan Pertahanan Nasional, op. cit, hal.44
24
(KUHPer) Buku IV. Kadaluwarsa sebagai upaya memperoleh hak eigendom atas
tanah diatur dalam Pasal 610, 1955 dan 1963 KUHPer. Dalam Pasal 610
ditetapkan bahwa seorang bezitter dapat memperoleh hak eigendom atas suatu
benda karena verjaring . Adapun Pasal 1955 dan 1963 memuat syarat-syaratnya,
yaitu penguasaanya harus terus-menerus, tak terputus tak terganggu, dapat
diketahui umum, secara tegas bertindak sebagai eigenaar, dan harus dengan itikad
baik. Jika berdasarkan suatu alas hak (title) yang sah harus berlangsung 20 tahun,
perlu menunjukan alas hak. Dengan demikian, pada hakikatnya Pasal 1955 dan
1963 merupakan pelaksanaan dari Pasal 610 KUHPer, yang terletak dalam Buku
II.
Kita telah mengetahui bahwa pasal-pasal agrarian di dalam Buku II telah
dicabut oleh UUPA. Dalam pada itu Pasal 610 tidak khusus mengatur soal
agrarian. Oleh karena itu, pasal tersebut masih tetap berlaku, tetapi tidak penuh,
dalam arti bahwa ketentuan-ketentuannya tidak berlaku lagi sepanjang mengenai
agrarian (tanah dan lain-lainnya), tetapi masih berlaku sepanjang mengenai benda-
benda lainya yang bukan agrarian. Oleh karena Pasal 1955 dan Pasal 1963
merupakan pelaksanaan dari Pasal 610, maka sungguhpun letaknya tidak di dalam
Buku II KUHPerdata, tetapi di dalam Buku IV, harus dianggap pula sebagai tidak
berlaku lagi mengenai tanah dan lain-lain objek agrarian, bagi penguasaan tanah
baru dan penguasaan tanah yang pada mulai berlakunya UUPA belum
berlangsung 20 atau 30 tahun. Bagi penguasaan yang pada mulai berlakunya
UUPA sudah memenuhi persyaratan acquisitieve verjaring, pasal-pasal tersebut
dengan sendirinya tetap berlaku, meskipun penegasannya baru dimintakan
25
kemudian. Ini berarti bahwa pada tanggal 24 September 1960 ia sudah
memperoleh hak yang bersangkutan karena verjaring.
Hukum adat tidak mengenal lembaga acquisitieve verjaring, yang dikenal
dalam hukum adat adalah lembaga rechtsverwerking yaitu lampaunya waktu
sebagai sebab kehilangan hak atas tanah, kalau tanah yang bersangkutan selama
waktu yang lama tidak diusahakan oleh pemegang haknya dan dikuasai pihak lain
melalui perolehan hak dengan itikad baik.12 Oleh karena itu diadakanlah ketentuan
dalam Pasal 32 ayat (2) UUPA. Ketentuan ini bertujuan, pada satu pihak untuk
tetap berpegang pada sistem publikasi negatif dan pada lain pihak untuk secara
seimbang memberikan kepastian hukum kepada pihak yang dengan itikad baik
menguasai sebidang tanah dan didaftar sebagai pemegang hak dalam buku tanah,
dengan sertipikat sebagai tanda buktinya, yang menurut UUPA berlaku sebagai
alat pembuktian yang kuat.
F. Negara-Negara yang Menggunakan Sistem Pendaftaran Hak dan/atau
Akta
a. Negara-negara yang menggunakan sistem pendaftaran hak, antara lain:
1. Malaysia
2. Indonesia
3. Australia
4. Philippines
5. Hongkong
6. New Zealand /Selandia Baru
7. New South Wales
8. Inggris
12 ? Badan Pertanahan Nasional,op cit,hal 67.
26
9. Canada-Hunggaria.
10. Nigeria.
11. Norwegia.
12. Jerman
13. Sweden
14. Austria.
15. Alsae-Larraine.
16. Switzerland
17. Turkey.
18. Denmark.
19. Rumania.
20. Maroko.
21. Singapura.
22. Belarus.
23. Honggaria.
24. Israel.
25. Jepang.
26. Finlandia.
27. Afrika Selatan.
28. Brunei.
29. Mesir.
30. Scotlandia.
31. Portugal.
32. Spanyol.
33. Cina.
34. Bosnia.
35. Croasia.
36. Peru.
37. Slovenia.
38. Slovakia.
b. Negara-negara yang menggunakan sistem pendaftaran akta, antara lain:
27
1. Amerika Serikat.
2. Bangladesh.
3. Pakistan.
4. Argentina.
5. Meksiko.
6. Nepal.
7. Srilangka.
8. Yunani.
9. Prancis.
10. Spanyol.
11. Belgia.
12. Belanda.
13. Swiss.
14. Scotlandia.
15. India.
16. Ghana.
c. Negara-negara yang menggunakan sistem pendaftaran campuran (akta dan
hak), antara lain:
1. Irlandia.
2. Italia.
3. Pakistan.
4. Belarus.
5. Luxemburg.
6. San Marino.
7. Thailand
8. Tunisia.
9. Syria.
10. Kenya.
11. Iceland.
12. Lithuania.
29
Luas negara Malaysia sekitar 329.758 km2, terdiri dari 11 propinsi di
Peninsular dan 2 propinsi di Pulau Kalimantan, jumlah penduduk Malaysia sekitar
24,92 juta dengan pertumbuhan sekitar 1,7%.
Sistem pemerintahan Malaysia adalah terpusat, dengan model
pemerintahan seperti sistem di Inggris, karena Malaysia merupakan negara bekas
jajahan Inggris, Malaysia dipimpin oleh seorang Raja, dan pemerintahan
dijalankan oleh Perdana Menteri. Namun demikian bukan hanya sistem
pemerintahan saja, namun hukum di Malaysia pun banyak mengikuti negara
Inggris.
Mengenai hukum pertanahan di Malaysia adalah bahwa Malaysia mulai
mengenal system Torrens sekitar tahun 1879 dan 1890. Namun karena seperti
diuraikan diatas bahwa Malaysia merupakan negara jajahan Inggris, sehingga
sitem hukum pertanahanpun mengikuti system hukum Inggris. Pada saat itu
Malaysia menganut sistem pendaftaran akta (Deeds Registrations).
Adapun peraturan yang mengatur mengenai hukum pertanahan di
Malaysia adalah NLC (National Land Code) 1965. Namun kala itu NLC masih
berlaku di beberapa propinsi saja. Selanjutnya NLC ini mengadakan unifikasi atau
penyeragaman hukum, dimana sebelumnya ada beberapa kolonial Inggris yang
menggunakan sistem pendaftaran akta, namun kemudian seluruh propinsi di
Malaysia diseragamkan dengan menggunakan sistem pendaftaran hak.
Dengan sistem pendaftaran hak, pemerintah bersifat aktif, mulai dari
meneliti kebenaran data sampai dengan survey di lapangan sebelum pendaftaran
hak tersebut disetujui. Selanjutnya pemerintah terkait akan menerbitkan sertipikat.
30
Tahun 1990, di Malaysia berkembang sistem pendaftaran tanah dengan
komputerisasi, yang disebut CLRS (Computerized Land Registration System).
Meskipun sudah sistem komputerisasi, namun penyajian output berupa sertipikat
tetap diterbitkan.
Beberapa artikel menyatakan bahwa Semenanjung Malaysia, memiliki
karakteristik sistem publikasi positif dalam pendaftaran tanah dengan cara
pendaftaran hak. Hal ini disebabkan sejak zaman dahulu kala, dokumen hak milik
merupakan alat bukti yang paling kuat dan hal ini tidak dapat disangkal oleh pihak
mana pun (Kanun Tanah Negara, 1965).
Williamson, pada tahun 1983 juga mengatakan bahwa dalam pendaftaran
tanah yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia, masih menggunakan sistem
pendaftaran hak milik tanah. Terkait dengan hal tersebut dalam hal ini, bentuk
tersebut serupa dengan apa yang tertulis dalam buku tanah mengenai kepemilikan
dari suatu tanah. Berdasarkan catatan yang ditulis oleh Holsten dan Williamson
pada tahun 1984 dikatakan bahwa sistem tanah tersebut dikemudian hari
disempurnakan dengan sistem yang namanya Torrens System dimana sistem
tersebut merupakan bentuk publikasi sistem pendaftaran tanah hak, dimana
pengelolaan data yang terkandungan di dalamnya juga lebih valid.13
"...title registration is ..... an efficient bookkeeping system that facilitates conveyancing. It is a system of record, not of land tenure, and is readily adaptable to any form of land tenure. Many tenures may be handled at the one time as long as the tenure systems are accepted by society" (Holstein & Williamson 1984)
13
?Badan Pertanahan Nasional, Himpunan Karya Tulis Pendaftaran Tanah, tanpa tahun, tanpa penerbit, halaman 24.
31
Undang-undang tanah yang utama di Semenanjung Malaysia ialah Kanun
Tanah Negara (KTN). Undang-undang ini telah diberlakukan mulai pada tanggal
1 Januari 1996. Sejak saat itu, sistem pemilikan dan urusan tanah di semua negeri
di Semenanjung Malaysia telah memiliki pengaturan hukum yang sama. Sebelum
tanggal 1 Januari 1996, semua negeri tersebut mempunyai dua sistem pemilikan
tanah yang agak berlainan.
Negeri-negeri Pulau Pinang dan Malaka mempunyai suatu sistem yang
khusus terdapat di negeri-negeri selat sebelum perang (yang dicontohi dari
undang-undang harta dan pindah hak Inggris) yang dengannya surat ikatan yang
disempurnakan secara tersendiri adalah asas hak milik bagi tanah. Sementara
untuk sembilan buah negeri-negeri Melayu menggunakan suatu sistem yang
berdasarkan kepada prinsip bahwa hak-hak tersendiri atas tanah boleh diperoleh
hanya dari pemberian yang nyata oleh kerajaan atau berikut daripada pendaftaran
kerajaan mengenai urusan-urusan tanah yang kemudian. Sistem yang diamalkan
di sembilan buah negeri Melayu adalah dikenal secara umum sebagai sistem
Torrens atau sistem pendaftaran hak milik.
KTN telah dibuat berdasarkan kepada F.M.S Land Code 1926 (undang-
undang yang terpakai di Negeri Sembilan, Pahang, Perak dan Selangor sebelum 1
Januari 1996). Untuk menghapuskan sistem di Pulau Pinang dan Malaka, Akta
Kanun Tanah Negara (hak milik-hak milik Pulau Pinang dan Malaka) telah dibuat
dalam tahun 1963 dan diberlakukan pada 1 Januari 1996.
Oleh karena itu dengan adanya KTN dan Akta Kanun Tanah Negara (hak
milik-hak milik Pulau Pinang dan Malaka), kesebelas buah negeri di
32
Semenanjung Malaysia tersebut mempunyai sistem tanah yang sama mulai dari 1
Januari 1996. Ini juga berarti bahwa mulai sejak itu, kesebelas negeri di
Semenanjung Malaysia tersebut memakai sistem Torrens atau sistem
pendaftaran hak milik. (Sabah dan Sarawak masing-masing menggunakan
undang-undang tanahnya sendiri).
Sistem Torrens di Malaysia ini menetapkan dan mengakui, di bawah kuasa
kerajaan, kepunyaan hak milik tanah yang tidak boleh disangkal dan
memudahkan, mempercepatkan dan merendahkan perbelanjaan segala urusan
tanah. Tujuan dari sistem Torrens ini ialah untuk memberi jaminan dan
kesenangan kepada segala urusan tanah. Hak milik adalah bukti bahwa orang
yang disebutkan didalamnya adalah tuan yang punya tanah yang dinyatakan
didalamnya.
Hak milik-hak milik tanah yang sah memerlukan perihal korelasi yang
tepat. Ini berarti bahwa pengukuran tanah harus dibuat. Suatu hak milik boleh
dikeluarkan bagi tanah dengan perbuatan-perbuatan hukum yang sah, tetapi jika
perbuatan-perbuatan hukum itu tidak sah sedangkan hak milik itu tidak boleh lagi
disangkal, ia mungkin akan menjadi mengarah kepada persengketaan. Dengan
pengukuran yang tepat kemungkinan terjadinya persengketaan tersebut adalah
dapat dihapuskan dan dengan itu hak milik itu sebenarnya menjadi tidak boleh
disangkal dari segala segi.
Dari apa yang disebutkan diatas maka bolehlah disimpulkan bahwa ciri-
ciri utama sistem Torrens adalah seperti berikut: dokumen hak milik yang dengan
33
jelas menentukan tanah itu didaftar di pejabat pendaftaran. Di dalam hak milik itu
didaftarkan segala pengalihan dan urusan yang kemudian terjadi atas tanah itu.
Oleh karena itu pemeriksaan di pejabat pendaftaran menunjukkan bukan
saja tiap-tiap butir mengenai syarat-syarat hak milik asal, tetapi juga nama-nama
pihak yang punya hak pada masa kini dan semua orang lain yang ada kepentingan
atas tanah seperti pajak atau gadai.
Kelebihan-kelebihan sistem Torrens adalah seperti berikut: Tiap-tiap
orang yang memiliki tanah akan memegang suatu dokumen hak milik yang jelas,
diakui oleh kerajaan, membentangkan bukan saja untuk pengetahuannya tetapi
juga pengetahuan semua orang berkenaan mengenai segala syarat-syarat dan
kepentingan-kepentingan lain yang melibatkan tanah itu. Tiap-tiap orang boleh
mengusahakan tanah secara pendaftaran memorandum stereotaip dengan mudah
tanpa memerlukan proses yang rumit dan mahal dalam meneruskan dokumen-
dokumen yang dahulu. Hak milik bagi tanah itu dan hak-hak semua orang yang
memegang pajak atau gadai tidak boleh disangkal.
Hendaklah diperhatikan bahwa sistem Torrens berasal dari Australia
Selatan. Sistem ini dinamakan dengan mengambil pemikiran dari Sir Robert
Torrens yang memperkenalkannya di Australia Selatan pada tahun 1858.
Kemudian ia berkembang ke seluruh Australia dan kepada banyak bagian–bagian
lain dalam dunia.
Sistem tanah Malaysia, kecuali untuk sistem tanah di Negeri Malaysia
Timur Sabah, adalah diasaskan berdasarkan sistem Torrens di Australia, prinsip-
prinsip itu termaktub di dalam peruntukan-peruntukan Kanun Tanah Negara 1965
34
(KTN). KTN adalah perundangan yang berlaku di Malaysia Barat dan
mewujudkan satu sistem perundangan seragam yang berkaitan dengan tanah dan
pemilikan tanah, pendaftaran untuk hak milik tanah dan urusan-urusan tanah di
Malaysia Barat. Negeri-negeri di Malaysia Timur (Sabah dan Sarawak) adalah
dibawah penguasaan undang-undang tanah tersendiri, yaitu Ordinan Tanah Sabah
dan Kanun Tanah Sarawak .
Di bawah sistem Torrens, hak milik atau kepentingan tanah diperoleh atau
diberikan hanya setelah pendaftaran. Di bawah KTN, urusan-urusan yang boleh
didaftarkan ialah pemindahan, pajak, gadai dan easemen manakala urusan-urusan
yang tidak boleh didaftarkan ialah perjanjian sewa dan lien. Dalam hal-hal yang
boleh didaftarkan, hak milik atau kepentingan di atas tanah tidak akan berpindah
atau diwujudkan sampai pendaftarannya selesai. Pendaftaran di bawah KTN akan
berlaku apabila maklumat yang diperuntukkan berkenaan urusan tersebut dibuat
pada dokumen pendaftaran hak milik di bawah kuasa dan perintah pihak yang
berkuasa untuk pendaftaran. Hal-hal lain yang diatur dalam KTN adalah:
Tanah dimiliki pada dasar samada secara hak milik bebas (untuk selama-
lamanya) atau pajak (biasanya 99 tahun).
Penggunaan tanah boleh dikategorikan untuk tujuan-tujuan pertanian,
bangunan atau perindustrian. Kategori penggunaan tanah masing-masing
disertai dengan syarat-syarat yang diperuntukkan oleh Kanun Tanah Negara
1965 dan tunduk kepada syarat-syarat seperti dicantumkan di dalam dokumen
hak milik individu.
35
Bentuk cagaran yang biasa diberikan oleh individu atau perusahaan-
perusahaan adalah gadai tanah di bawah Kanun Tanah Negara 1965, yang
memberi hak kepada pemegang gadai untuk memohon penjualan tanah
disebabkan oleh kegagalan membayar pinjaman. Debitur-debitur juga adalah
jaminan biasa yang mewujudkan gadai tetap dan menyeluruh ke atas aset-aset
semasa kini dan akan datang sebuah perusahaan termasuk harta dan tanah dan
membenarkan pemegang debitur melantik seorang penerima di atas
kematangan gadaian menyeluruh sedemikian. Cagaran mungkin juga diberi
dengan cara pemindahan hak atas perjanjian jual beli harta dan tanah dalam
situasi-situasi di mana tiada hak milik atas tanah itu atau hak milik tanah
belum boleh diperoleh (sebagai contoh unit-unit harta dan tanah di bawah
proyek-proyek pembangunan perumahan sementara menunggu pengeluaran
hak milik individu).
Di bawah Kanun Tanah Negara 1965, seseorang yang bukan rakyat atau
sebuah perusahaan asing tidak dibenarkan memperoleh sesuatu tanah (selain
daripada tanah perindustrian) di Malaysia Barat selain telah mendapat
kelulusan dari pihak berkuasa yang berwenang terlebih dahulu di Malaysia.
Selain daripada pihak berkuasa negeri Malaysia, tiap-tiap pemerolehan harta
oleh kepentingan asing (termasuk penduduk tetap Malaysia), memerlukan
kelulusan Jawatankuasa Pelaburan Asing (FIC) karena mereka adalah
dikecualikan. FIC adalah sebuah jawatankuasa dalam Unit Perancang
Ekonomi Jabatan Perdana Menteri, yang antara lain, menyemak dan
menyelaraskan pemerolehan-pemerolehan aset-aset oleh kepentingan asing
36
dan kepentingan di dalam perusahaan-perusahaan Malaysia. Kini terdapat dua
garis panduan FIC yang berlaku, yaitu: :
i. Garis panduan-garis panduan berkenaan pemerolehan harta dan tanah
oleh kepentingan-kepentingan tempatan dan asing; dan
ii. Garis panduan-garis panduan berkenaan pemerolehan kepentingan-
kepentingan, penggabungan dan pengambilalihan oleh kepentingan-
kepentingan tempatan dan asing
Baru-baru ini Jabatan Perdana Menteri telah mengumumkan bahwa sejak dari
tanggal 1 November 2006, rakyat asing dibenarkan membeli harta dan tanah
berharga RM 250,000 dan ke atas tanpa kelulusan FIC. Walau bagaimanapun,
peraturan ini adalah tunduk kepada syarat-syarat berikut yaitu bahwa
pemilikan itu terhadap kepada rakyat asing termasuk yang berdomisili tetap;
hanya untuk kegunaan sendiri, dipajakkan atau untuk tujuan pelaburan; dan
harta dan tanah terletak di dalam satu kawasan, premis-premis atau bangunan
untuk tujuan kediaman saja.
Secara umum, tanah di Malaysia biasanya dikenal pasti atas suatu dasar yaitu
harta dan tanah ‘bertanah' atau harta dan tanah ‘strata'. Harta dan tanah
bertanah biasanya diartikan sebagai harta dengan dokumen hak milik individu.
Bangunan-bangunan bertingkat seperti bangunan-bangunan pejabat,
pangsapuri-pangsapuri atau kondominium-kondominium adalah harta dan
tanah yang akan menerima strata yang adalah hak milik-hak milik strata untuk
setiap unit atau petak dalam bangunan yang dibagikan.
37
B. Proses Pendaftaran Pemidahan Hak Atas Tanah di Instansi Terkait di
Malaysia
Prosedur pendaftaran pemindahan hak atas tanah di instansi terkait di
Malaysia adalah:
1. Perjanjian jual beli dikirim ke kantor pengecapan (Stamp Office) untuk
dilakukan stamping atau stempel. Waktu untuk menyelesaikan adalah 1 hari.
Biaya untuk menyelesaikan adalah RM 10.
2. Stamp Duty Memorandum of Transfer dikirim ke kantor pengecapan untuk
penyelesaian bea materai. Waktu untuk menyelesaikan adalah 1 hari. Biaya
untuk menyelesaikan adalah RM 10. Dokumen harus mencakup memorandum
of transfer, kopi dari perjanjian jual beli, copy setipikat tanah, dan formulir
PDS 5 (Stamping Proforma).
3. Bea Materai ajudikasi dari nota transfer. Waktu untuk menyelesaikan adalah
30-42 hari. Biaya untuk menyelesaikan adalah tanpa biaya tambahan.
Departemen penilaian akan melakukan inspeksi ke nilai properti, jika
diperlukan. Inspeksi tidak diharuskan untuk menyimpulkan penilaian dan ini
pada penilaian kebijakan departemen, tetapi dalam prakteknya, hal itu terjadi
dalam sebagian besar kasus. Kantor yang melakukan pengecapak akan
mengeluarkan pemberitahuan penilaian berdasarkan penilaian laporan
departemen.
4. Memorandum of Transfer dikirim ke kantor pengecapan untuk dilakukan
stempel. Waktu untuk menyelesaikan adalah 1 hari. Biaya untuk
menyelesaikan adalah 1% pada RM 1 sampai RM 100.000, 2% pada lebih dari
38
RM 100.000 sampai RM 500.000, 3% pada lebih dari RM 500.000. Materai
kemudian harus dibayarkan kepada Stamp Office, didasarkan pada
pemberitahuan penilaian, dalam waktu 14 hari dari tanggal penilaian tersebut
atau periode yang ditunjukkan oleh kolektor bea materai. Biasanya kolektor
akan memberikan waktu 30 hari dari tanggal pemberitahuan tersebut untuk
membayar bea materai. Prosedur ini mungkin memerlukan waktu satu hari
jika pembeli pergi secara pribadi. Kalau tidak bisa memakan waktu hingga 5-7
hari untuk nota transfer yang disahkan dan siap untuk dibayar.
5. Transfer terdaftar di kantor pertanahan. Waktu untuk menyelesaikan adalah
90-120 hari. Biaya untuk menyelesaikan adalah RM 100 (biaya pendaftaran)
dan RM 60 (biaya pencarian). Pembeli menyajikan memorandum of transfer
yang bermaterai untuk pendaftaran di kantor pertanahan. Hal ini harus
dilakukan dalam waktu 3 bulan sejak tanggal nota transfer, yang biasanya
tanggal ketika diajukan untuk ajudikasi. Pencarian hak hanya dilakukan
sebelum presentasi untuk memastikan bahwa tidak ada pengekangan terhadap
transaksi yang dapat menghambat pendaftaran memorandum of transfer.
BAB IV
PENUTUP
39
Sistem pendaftaran tanah di Indonesia adalah sistem pendaftaran hak dan
sistem publikasinya adalah sistem publikasi negatif yang mengandung unsur
positif. Sedangkan sistem pendaftaran tanah di Malaysia adalah sistem
pendaftaran hak dan sistem publikasinya adalah sistem publikasi positif.
DAFTAR PUSTAKA
40
A.P. Parlindungan. Pendaftaran Tanah Di Indonesia. Bandung: Mandar Maju, 1990.
Badan Pertahanan Nasional, Himpunan Karya tulis Pendaftaran Tanah. Jakarta, 1989.
Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid I. Hukum Tanah Nasional. Edisi revisi, cetakan XII. Jakarta: Djambatan, 2008.
Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya, Jilid I, Hukum Tanah Nasional. Edisi revisi. Jakarta: Djambatan, 1999.
Harsono, Boedi. Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional. Cet I. Jakarta: Universitas Trisakti, 2002.
Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Sumber lain
http://en.wikipedia.org/wiki/Deeds_registration, ditelusuri 10 Februari 2010
http://en.wikipedia.org/wiki/Recorder_of_deeds, ditelusuri 10 Februari 2010
http://en.wikipedia.org/wiki/Land_registration, ditelusuri 11 Februari 2010
http://en.wikipedia.org/wiki/Torrens_title, ditelusuri 11 Februari 2010
http://en.wikipedia.org/wiki/Land_Registration_Authority_%28Philippines%29,ditelusuri 11 Februari 2010
http://ms.wikipedia.org/wiki/Kanun_Tanah_Negara, ditelusuri 10 Februari 2010
http://www.iskandarmalaysia.com.my/maklumat-untuk-rakyat-asing, ditelusuri 10 Februari 2010