62
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkembangan pesat yang terjadi dalam pembangunan di Indonesia tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan hubungannya akan kepastian pendaftaran tanah. Karena tanah jelas menjadi aspek utama dan penting dalam pembangunan, dimana seluruh kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat memerlukan tanah untuk melakukan kegiatan tersebut. Untuk tercapainya kepastian pendaftaran tanah dan juga untuk memenuhi ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), maka penyelenggaraan pendaftaran tanah dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 (PP 24/1997) yang menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 (PP 10/1961) tentang pendaftaran tanah.

TUGAS PENDAFTARAN TANAH KELOMPOK 7 - MALAYSIA.doc

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perkembangan pesat yang terjadi dalam pembangunan di Indonesia tidak

bisa dilepaskan begitu saja dengan hubungannya akan kepastian pendaftaran

tanah. Karena tanah jelas menjadi aspek utama dan penting dalam pembangunan,

dimana seluruh kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat

memerlukan tanah untuk melakukan kegiatan tersebut. Untuk tercapainya

kepastian pendaftaran tanah dan juga untuk memenuhi ketentuan Pasal 19 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria (UUPA), maka penyelenggaraan pendaftaran tanah dilakukan berdasarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 (PP 24/1997) yang menggantikan

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 (PP 10/1961) tentang pendaftaran

tanah.

Selain pendaftaran tanah di Indonesia, pendaftaran tanah di negara-negara

lain juga penting untuk dipelajari agar dapat menjadi bahan perbandingan dengan

sistem pendaftaran tanah di Indonesia, agar ke depannya sistem pendaftaran tanah

di Indonesia dapat betul-betul menjamin kepastian hukum bagi pihak-pihak yang

berkepentingan, antara lain pemegang hak atas tanah, pembeli atau penerima

jaminan hak atas tanah, dan instansi terkait demi tertib administrasi pertanahan.

Oleh karena itu dalam penulisan kali ini, kami membahas mengenai sistem

pendaftaran tanah negara Malaysia.

2

B. RUMUSAN MASALAH

Bertolak dari kerangka dasar berfikir sebagaimana diuraikan pada bagian

latar belakang, maka permasalahan yang dibahas dalam makalah ini adalah

mengenai:

1. Pendaftaran Tanah secara umum

2. Pendaftaran tanah di negara Indonesia

3. Pendaftaran tanah di negara Malaysia

C. TUJUAN

Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah:

1. Untuk memenuhi tugas makalah Pendaftaran Tanah

2. Melatih mahasiswa agar terbiasa menyusun makalah dalam memenuhi tugas.

3. Agar mahasiswa dapat mengerti hal-hal mengenai pendaftaran tanah di

Indonesia dan Malaysia secara umum.

3

BAB II

PENDAFTARAN TANAH

A. Pengertian dan Kegiatan Pendaftaran Tanah pada Masa Awal

Kemerdekaan Indonesia

Pada awalnya, pendaftaran tanah dilakukan untuk tujuan pemungutan

pajak atas tanah (fiscal cadastre). Sampai tahun 1961, dikenal tiga macam

pungutan pajak tanah, yaitu verponding Eropa, verponding Indonesia, dan

Landrente. Sebagai dasar bagi penentuan obyek pajak saat itu adalah status

tanahnya sebagai tanah Hak Barat dan tanah hak milik adat, sedangkan wajib

pajaknya adalah pemegang hak/pemiliknya.

Dalam perkembangan berikutnya, untuk mewujudkan kepastian hukum

atas tanah, munculah pendaftaran tanah untuk tujuan kepastian hukum (legal

cadastre). Sasarannya adalah bidang-bidang tanah yang dikuasai dengan sesuatu

hak dan dikenal tanah hak maupun persil yang kemudian diukur, dipetakan dan

diteliti proses penguasaan oleh pemegang haknya. Hasilnya berupa peta dan daftar

yang memberikan penjelasan mengenai siapa pemegang haknya, letaknya, dan

luasnya  (data kadastral).

Menurut Boedi Harsono, yang dimaksud dengan pendaftaran tanah adalah

suatu rangkaian kegiatan, yang dilakukan oleh Negara/Pemerintah secara terus

menerus dan teratur berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu,

pengolahan, penyimpanan dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam

4

rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, termasuk

penerbitan tanda buktinya dan pemeliharaannya.1

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 PP 24/1997, pendaftaran tanah adalah

rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus-menerus,

berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengelolaan, pembukuan,

dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta

dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun,

termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang

sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu

yang membebaninya.

Pendaftaran tanah juga berarti suatu kegiatan adminstrasi yang dilakukan

oleh subjek hukum terhadap status kepemilikan hak atas tanah, baik pemindahan

hak, pemberian ataupun pengakuan hak.

Pendaftaran tanah merupakan legal cadastre pada prinsipnya adalah suatu

kegiatan penyelenggaraan pendaftaran tanah yang dilakukan dalam rangka

memberikan jaminan kepastian hukum dan kepastian hak. Hal ini dijelaskan

dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA yang menyatakan untuk menjamin kepastian

hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik

Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bidang tanah adalah bagian permukaan bumi yang merupakan suatu

bidang yang berbatas. Dalam hukum yang berlaku di dunia ini, pendaftaran tanah

1

?Boedi Harsono, Hukum Agraia Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, Hukum Tanah Nasional, Cet. XII (Jakarta: Djambatan, Edisi Revisi 2008), halaman 72.

5

adalah suatu sistem di mana kepemilikan dalam suatu bidang tanah dicatat dan

didaftar oleh pemerintah, demi pemberian suatu tanda atau alat bukti suatu hak

dan untuk memfasilitasi suatu transaksi.

Sebutan ‘pendaftaran tanah’ telah menimbulkan kesan seakan-akan obyek

utama pendaftaran atau satu-satunya obyek pendaftaran adalah tanah. Memang

mengenai pengumpulan sampai penyajian data fisik, tanahlah yang merupakan

obyek pendaftaran, yaitu untuk dipastikan letaknya, batas-batasnya, luasnya dalam

peta pendaftaran dan disajikan juga dalam daftar tanah.  Kata ‘kadaster’ yang

menunjuk pada kegiatan bidang fisik tersebut berasal dari istilah latin capitastrum

(suatu daftar yang berisikan data mengenai tanah). Tetapi dalam pengumpulan

sampai penyajian data yuridis, bukan tanahnya yang didaftar, melainkan hak-hak

atas tanah yang menentukan status hukumnya serta hak-hak lain yang membebani

hak-hak tersebut. Bahkan dalam pendaftaran tanah yang menggunakan sistem

pendaftaran akta (registration of deeds), bukan haknya, melainkan justru aktanya

yang didaftar yaitu dokumen-dokumen yang membuktikan diciptakannya hak

yang bersangkutan dan dilakukannya perbuatan-perbuatan hukum mengenai hak

tersebut kemudian2.

Kegiatan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk

pertama kali (initial registration) dan kegiatan pemeliharaan data yang tersedia

(maintenance). Dalam initial registration, terdapat 3 (tiga) pokok kegiatan, yaitu:

1. bidang fisik (teknis kadastral),

2. bidang yuridis, dan

3. penerbitan dokumen tanda bukti hak.

2 Boedi Harsono, op.cit, hal.74

6

Sedangkan pemeliharaan data (maintanance) dilakukan  apabila terjadi

perubahan pada data fisik dan data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah

didaftar. Perubahan ini misalnya terjadi akibat beralihnya, dibebaninya, atau

berubahnya nama pemegang hak yang sudah berakhir, pemecahan, pemisahan dan

penggabungan bidang tanah yang haknya sudah didaftar.

Pendaftaran tanah pertama kali (initial registration) dapat dilakukan

secara:

1. sistematik berarti dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek

pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah

suatu desa/kelurahan, yang umumnya prakarsa datang dari Pemerintah;

2. sporadik berarti  kegiatan pendaftaran tanah untuk satu atau beberapa obyek

pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/keluarahan

secara individual atau massal, yang dilakukan atas permintaan pemegang atau

penerima hak atas tanah bersangkutan.

Menurut Chairul Basri, kegiatan pendaftaran tanah telah lama diusahakan

oleh pemerintah Indonesia, yaitu pada tahun 1955 berdasarkan Keputusan

Presiden (Kepres) Nomor 55 Tahun 1955 Presiden Republik Indonesia

membentuk Kementerian Agraria yang sederajat dengan kementerian lain dan

dipimpin oleh Menteri Agraria. Lapangan pekerjaan Kementerian Agraria

dimaksud adalah:

1. Mempersiapkan pembentukkan perundang-undangan agraria nasional.

7

2. Melaksanakan dan mengawasi perundang-undangan agrarian pada umumnya

serta memberi pimpinan dan petunjuk tentang pelaksanaan itu pada

khususnya.

3. Menjalankan usaha untuk menyempurnakan kedudukan dan kepastian hak

tanah bagi rakyat.

Susunan Kementerian Agraria terdiri atas Pusat Kementerian, Jawatan

Agraria dan Jawatan Pendaftaran Tanah. Masing-masing jawatan dipimpin oleh

Kepala Jawatan yang bertanggung jawab kepada Menteri dan wajib

memberitahukan segala sesuatu kepada Sekretaris Jenderal. Kemudian

Kementerian Agraria kewenangannya dipertegas dengan Kepres Nomor 190

Tahun 1957 tanggal 12 Desember 1957 untuk menjalankan segala usaha

menyempurnakan kedudukan dan kepastian hak atas tanah melalui pendaftaran

tanah yang meliputi kegiatan :

1. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan semua tanah dalam wilayah Republik

Indonesia (tentunya termasuk wilayah kehutanan).

2. Pembukuan hak-hak atas tanah serta pencatatan pemindahan hak-hak tersebut.

Untuk hal tersebut di atas berdasarkan Kepres Nomor 190 Tahun 1957

tersebut Jawatan Pendaftaran Tanah dialihkan dari Departemen Kehakiman ke

Kementerian Agraria sedangkan tugas dan wewenang Jawatan Agraria beralih

dari Menteri Dalam Negeri ke Kementerian Agraria berdasarkan Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1958.

Setelah lahirnya UUPA, lapangan pekerjaan Kementerian Agraria

diperluas dengan kegiatan Land Reform dan Land Use sehingga dapat dikatakan

8

pilar-pilar kegiatan Kementerian Agraria pada saat berdirinya terdiri dari 4 pilar,

yaitu :

1. Bidang Hak-Hak Atas Tanah (Jawatan Agraria)

2. Bidang Pendaftaran Tanah (Jawatan Pendaftaran Tanah)

3. Bidang Land Reform

4. Bidang Land Use yang berasal dari Direktorat Tata Bumi Departemen

Pertanian (bukan berasal dari Direktorat Tata Ruang Departemen Pekerjaan

Umum).

Departemen Agraria dengan 4 pilar tersebut di atas merupakan suatu

kebanggaan bagi bangsa Indonesia khususnya pegawai di Departemen Agraria

karena di seluruh dunia hanya Departemen Agraria yang memiliki kewenangan

yang lengkap yang diharapkan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan

pertanahan di Indonesia sebagai akibat masa penjajahan yang cukup panjang serta

luasnya wilayah Republik Indonesia dengan berbagai suku bangsa dan adat

istiadat serta ketentuan-ketentuan hukum di bidang pertanahan umumnya

hanyalah berdasarkan hukum adat setempat dan tidak tertulis.

Dengan kewenangan yang ada diharapkan Kementrian Agraria dapat

mewujudkan tertib hukum, administrasi, penggunaan tanah dan pemeliharaan

tanah serta terciptanya suatu lingkungan hidup yang nyaman bersih dan terjamin

keberadaan sumber daya air bagi rakyat Indonesia. Namun sesuatu hal yang ironis

dengan tujuan yang begitu besar perkembangan organisasi Kementrian Agraria

berkali-kali berubah mulai dari tingkat Departemen, Direktorat, Dirjen Agraria,

Badan Pertanahan dengan Menteri Negara Agraria dan saat ini kembali menjadi

9

Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia sehingga harapan dan tujuan

utama untuk dibentuknya Kementrian Agraria pada masa lalu masih jauh dari

harapan.

B. Asas, Tujuan dan Objek Pendaftaran Tanah

Asas-asas yang dianut untuk pendaftaran tanah diatur berdasarkan Pasal 2

PP 24/1997 yakni sebagai berikut:

1. Sederhana, maksudnya adalah agar ketentuan-ketentuan pokok maupun

prosedur pendaftaran tanah dapat dengan mudah dipahami oleh pihak-pihak

yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah.

2. Aman, maksudnya adalah untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu

diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan

jaminan kepastian hukum.

3. Terjangkau, berkaitan dengan kemampuan finansial seseorang untuk

membayar biaya, khususnya harus memperhatikan agar tidak memberatkan

pihak-pihak yang ekonominya lemah. Intinya agar jangan sampai pihak

ekonomi lemah tidak melakukan pendaftaran tanah hanya karena masalah

tidak mampu membayar.

4. Mutakhir, setiap data yang berkaitan dengan pendaftaran tanah haruslah data

yang terbaru, yang menunjukan keadaan riil pada saat yang sekarang. Setiap

ada perubahan fisik atau benda-benda diatasnya atau hal yuridis atas tanah

harus ada datanya (selalu ada pembaharuan data).

10

5. Terbuka, dokumen-dokumen atau data-data baik fisik atau yuridis bersifat

terbuka dan boleh diketahui oleh masyarakat. Asas ini bertujuan agar bila ada

hal-hal yang menyimpang atau disembunyikan dapat diketahui.

Usaha yang menuju ke arah kepastian hukum atas tanah tercantum dalam

ketentuan-ketentuan dari pasal-pasal yang mengatur tentang pendaftaran tanah,

dalam Pasal 19 UUPA disebutkan untuk menjamin kepastian hukum dari hak-hak

atas tanah, UUPA mengharuskan pemerintah untuk mengadakan pendaftaran

tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia yang bersifat ‘Recht Kadaster”

artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum, dengan diselenggarakannya

pendaftaran tanah, maka pihak-pihak yang bersangkutan dengan mudah dapat

mengetahui status hukum daripada tanah tertentu yang dihadapinya, letak, luas

dan batas-batasnya, hak atas tanahnya, siapa yang empunya dan beban-beban apa

yang melekat di atas tanah tersebut.

Menurut para ahli disebutkan tujuan pendaftaran ialah untuk kepastian hak

seseorang, disamping untuk pengelakkan suatu sengketa perbatasan dan juga

untuk penetapan suatu perpajakan.3

1. Kepastian hak seseorang, maksudnya dengan suatu pendaftaran, maka hak

seseorang itu menjadi jelas misalnya apakah hak milik, hak guna usaha, hak

guna bangunan atau hak- hak lainnya.

2. Pengelakkan suatu sengketa perbatasan, apabila sebidang tanah yang dipunyai

oleh seseorang sudah didaftar, maka dapat dihindari terjadinya sengketa

3 A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hal. 6

11

tentang perbatasannya, karena dengan didaftarnya tanah tersebut, maka telah

diketaui berapa luasnya serta batas-batasnya.

3. Penetapan suatu perpajakan, dengan diketahuinya berapa luas sebidang tanah,

maka berdasarkan hal tersebut dapat ditetapkan besar pajak yang harus

dibayar oleh seseorang. Dalam lingkup yang lebih luas dapat dikatakan

pendaftaran itu selain memberi informasi mengenai suatu bidang tanah, baik

penggunaannya, pemanfaatannya, maupun informasi mengenai untuk apa

tanah itu sebaiknya dipergunakan, demikian pula informasi mengenai

kemampuan apa yang terkandung di dalamnya dan informasi mengenai

bangunannya sendiri, harga bangunan dan tanahnya, dan pajak yang

ditetapkan.

Untuk memenuhi berbagai kebutuhan seperti tersebut di atas, maka untuk

itu UUPA melalui pasal-pasal pendaftaran tanah menyatakan bahwa pendaftaran

itu diwajibkan bagi pemegang hak yang bersangkutan. Dalam ketentuan Pasal 3

PP 24/1997 dinyatakan dengan tegas bahwa pendaftaran tanah mempunyai tiga

tujuan, yaitu:

1. Memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak

atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun, dan hak-hak lain yang terdaftar

agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang

bersangkutan.

Kepastian hukum ini diberikan dalam bentuk sertifikat kepada

pemegang hak tersebut, dimana sertifikat ini bukan sekedar fasilitas,

melainkan merupakan hak bagi pemegang hak atas tanah yang dijamin oleh

12

undang-undang. Hal ini merupakan pengejawantahan langsung dan tujuan

utama dari ketentuan Pasal 19 UUPA.

2. Menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk

pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan

dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan

satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.

Untuk penyajian data tersebut diselenggarakan oleh Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kotamadya tata usaha pendaftaran tanah dalam apa yang dikenal

sebagai daftar umum, yang terdiri atas peta pendaftaran tanah, daftar tanah,

surat ukur, buku tanah dan daftar nama. Para pihak yang berkepentingan,

terutama calon pembeli atau calon kreditor, sebelum melakukan suatu

perbuatan hukum mengenai sutau bidang tanah atau satuan rumah susun

tertentu perlu dan karenanya mereka berhak mengetahui data yang tersimpan

dalam daftar-daftar di Kantor Pertanahan tersebut.

3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Terselenggaranya

pendaftaran tanah secara baik merupakan dasar dan perwujudan tertib

administrasi di bidang pertanahan. Untuk mencapai tertib administrasi tersebut

setiap bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk peralihan, pembebanan

dan hapusnya wajib didaftar.

Obyek pendaftaran tanah diatur dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) PP

24/1997 yaitu sebagai berikut:

1. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik (HM), hak guna usaha

(HGU), hak guna bangunan (HGB) dan hak pakai (HP);

13

2. Tanah hak pengelolaan;

3. Tanah wakaf;

4. Hak milik atas satuan rumah susun;

5. Hak tanggungan;

6. Tanah negara.

C. Sistem Pendaftaran Tanah4

Ada dua macam sistem pendaftaran tanah, yaitu sistem pendaftaran akta

(registration of deeds) dan sistem pendaftaran hak (registration of title). Sistem

pendaftaran tanah mempermasalahkan apa yang didaftar, bentuk penyimpanan

dan penyajian data yuridisnya serta bentuk tanda bukti haknya.

Baik dalam sistem pendaftaran akta maupun sistem pendaftaran hak, tiap

pemberian atau menciptakan hak baru serta pemindahan dan pembebanannya

dengan hak lain kemudian, harus dibuktikan dengan suatu akta, dengan kata lain

akta merupakan sumber data yuridis.

Dalam sistem pendaftaran akta, akta-akta itulah yang didaftar oleh pejabat

pendaftaran tanah. Pejabat pendaftaran tanah bersikap pasif, ia tidak melakukan

pengujian kebenaran data yang disebut dalam akta yang didaftar. Tiap kali terjadi

perubahan wajib dibuatkan akta sebagai buktinya. Dalam sistem ini data yuridis

yang diperlukan harus dicari dalam akta-akta yang bersangkutan. Cacat hukum

pada suatu akta bisa mengakibatkan tidak sahnya perbuatan hukum yang

dibuktikan dengan akta yang dibuat kemudian. Untuk memperoleh data yuridis

harus dilakukan apa yang disebut title search, yang bisa memakan waktu dan

4 Boedi Harsono, op.cit, hal. 76-78

14

biaya karena untuk title search diperlukan bantuan ahli. Dalam sistem ini, yang

merupakan tanda bukti hak adalah akta yang digunakan untuk menciptakan hak

baru atau perbuatan-perbuatan hukum yang menimbulkan perubahan kemudian.

Oleh karena itu, Robert Richard Torrens, pejabat Registrar General of

Deeds di Adelaide, Australia Selatan pada tahun 1853, menciptakan sistem

registration of title yang kemudian dikenal sebagai sistem Torrens atau sistem

pendaftaran hak. Sistem baru ini lebih sederhana dan memungkinkan orang

memperoleh keterangan dengan cara yang mudah, tanpa harus mengadakan title

search pada akta-akta yang ada.

Dalam sistem ini, setiap penciptaan hak baru dan perbuatan-perbuatan

hukum yang menimbulkan perubahan kemudian, tetap harus dibuktikan dengan

suatu akta, namun dalam penyelenggaraan pendaftarannya, bukan aktanya yang

didaftar, melainkan haknya yang diciptakan dan perubahan-perubahannya

kemudian. Akta hanya merupakan sumber datanya. Untuk pendaftaran hak dan

perubahan-perubahannya yang terjadi, disediakan suatu daftar isian yang disebut

register atau buku tanah. Sebagai tanda bukti hak, diterbitkan sertifikat yang

merupakan salinan register dan dalam Pasal 13 PP 24/1997 juga surat ukur yang

dijilid menjadi satu sampul dalam dokumen.

Di Indonesia kegiatan pendaftaran tanah sejak penjajahan Belanda telah

ada khususnya untuk mengelola hak-hak barat dan pada zaman awal kemerdekaan

pendaftaran tanah di Indonesia berada di Departemen Kehakiman yang bertujuan

untuk menyempurnakan kedudukan dan kepastian hak atas tanah yang meliputi:

15

a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan semua tanah dalam wilayah Republik 

Indonesia

b. Pembukuan hak atas tanah serta pencatatan pemindahan hak atas tanah

tersebut.

Melihat bentuk kegiatan pendaftaran tanah seperti diuraikan di atas dapat

dikatakan bahwa sistem pendaftran tanah pada saat itu adalah sistem pendaftaran

akta (regristration of deeds) dimana jawatan pendaftaran tanah pada saat itu

hanya bertugas dan berkewenangan membukukan hak-hak tanah dan mencatat

akta peralihan/pemindahan hak, tidak menerbitkan surat tanda bukti hak yang

berupa sertifikat tanah. Alat bukti kepemilikan tanah pada saat itu berupa akta

(akta eigendom dan lain-lain).

Dengan lahirnya UUPA pada tanggal 24 september 1960 maka sistem

pendaftaran tanah berubah menjadi sistem pendaftaran hak (registration of title)

dimana hal tersebut ditetapkan dalam Pasal 19 UUPA yang antara lain berbunyi:

1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran

tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan

yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

2. Pendaftaran tanah meliputi:

a. Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah

b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut

c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat

pembuktian yang kuat.

16

Perbedaan kewenangan dalam sistem pendaftaran tanah seperti diuraikan

di atas jelas tertuang dalam ketentuan angka 2 b dan c dimana pejabat pendaftaran

tanah melakukan pendaftaran hak termasuk peralihan dan pembebanannya serta

pemberian surat-surat tanda bukti termasuk sertifikat tanah sebagai alat

pembuktian yang kuat.

D. Sistem Publikasi

Pendaftaran tanah berkaitan erat dengan sistem publikasi, karena

menyangkut hal sejauh mana orang boleh mempercayai kebenaran data yang

disajikan. Sejauh mana hukum melindungi kepentingan orang yang melakukan

perbuatan hukum mengenai tanah yang haknya sudah didaftar, berdasarkan data

yang disajikan di kantor pejabat pendaftaran tanah atau yang tercantum dalam

surat tanda bukti hak yang diterbitkan atau yang didaftar oleh pejabat pendaftaran

tanah, jika kemudian ternyata data tersebut tidak benar.

Pada garis besarnya dikenal dua sistem publikasi, yaitu:

a. Sistem publikasi positif

Dalam pendaftaran tanah yang menggunakan sistem publikasi positif,

orang yang mendaftar sebagai pemegang hak atas tanah tidak dapat diganggu

gugat lagi haknya. Dalam sistem ini, negara sebagai pendaftar, menjamin bahwa

pendaftaran yang sudah dilakukan adalah benar. Dalam sistem publikasi positif,

selalu menggunakan sistem pendaftaran hak sehingga harus ada register dan buku

tanah sebagai bentuk penyimpanan dan penyajian data yuridis dan sertipikat hak

sebagai tanda bukti haknya. Pendaftaran atau pencatatan nama seseorang dalam

register sebagai pemegang haklah yang membuat orang menjadi pemegang hak

17

atas tanah yang bersangkutan, bukan karena perbuatan hukum pemindahan hak

yang dilakukan (Title by Registration, The Register is everything). Pernyataan

tersebut merupakan dasar falsafah yang melandasi sistem Torrens, yang mana

dengan menggunakan sistem publikasi positif ini, negara menjamin kebenaran

data yang disajikan.

Dalam sistem ini, orang yang dengan itikad baik dan dengan

pembayaran memperoleh hak dari orang yang namanya terdaftar sebagai

pemegang hak dalam buku tanah, memperoleh hak yang tidak dapat diganggu

gugat (indefeasible title) dengan didaftar namanya sebagai pemegang hak dalam

buku tanah. Juga jika kemudian terbukti bahwa yang terdaftar sebagai pemegang

hak tersebut bukan pemegang hak yang sebenarnya.

Sistem publikasi positif ini mengandung beberapa kelebihan, antara lain:

a. Adanya kepastian hukum bagi pemegang sertipikat;

b. Adanya peranan aktif pejabat kadaster;

c. Mekanisme penerbitan sertipikat dapat dengan mudah diketahui publik.

Sistem ini juga mengandung beberapa kelemahan, antara lain:

a. Pemilik tanah yang sesungguhnya akan kehilangan haknya karena tanah

tersebut telah ada sertipikat atas nama pihak lain yang tidak dapat diubah lagi;

b. Peranan aktif pejabat kadaster memerlukan waktu dan prasarana yang mahal;

c. Wewenang pengadilan diletakkan dalam wewenang pengadilan administrasi.

b. Sistem publikasi negatif

Dalam sistem ini bukan pendaftarannya yang diperhatikan, tetapi sahnya

perbuatan hukum yang dilakukan yang menentukan berpindahnya hak kepada

18

pembeli, dimana pendaftaran tidak membuat orang yang memperoleh tanah dari

pihak yang tidak berhak menjadi pemegang haknya yang baru.

Dalam pendaftaran tanah yang menggunakan sistem publikasi negatif,

negara sebagai pendaftar tidak menjamin bahwa orang yang terdaftar sebagai

pemegang hak atas tanah, benar-benar orang yang berhak karena menurut sistem

ini, bukan pendaftaran haknya tetapi sahnya perbuatan hukum yang dilakukan

yang menentukan berpindahnya hak kepada pembeli.

Dalam sistem ini, negara hanya secara pasif menerima apa yang

dinyatakan oleh pihak yang meminta pendaftaran. Oleh karena itu, ia sewaktu-

waktu dapat digugat oleh orang yang merasa lebih berhak atas tanah itu. Pihak

yang memperoleh dari orang yang telah terdaftarpun tidak dijamin, walaupun ia

memperoleh tanah itu dengan itikad baik. Dengan demikian, pendaftaran tanah

dengan sistem publikasi negatif tidak memberikan kepastian hukum kepada orang

yang terdaftar sebagai pemegang hak karena negara tidak menjamin kebenaran

data yang disajikan. Dalam sistem publikasi negatif, umumnya digunakan sistem

pendaftaran akta. Tidak ada buku tanah dan tidak pula diterbitkan sertipikat. Yang

merupakan tanda bukti hak adalah akta atau turunan akta yang sudah dibubuhi

tanda pendaftaran.

Dalam sistem ini berlaku asas yang dikenal sebagai nemo plus juris, yang

berasal dari hukum Romawi yang selengkapnya berbunyi ”nemo plus juris in

alium transferre potest quam ipse habet”, artinya orang tidak dapat menyerahkan

atau memindahkan hak melebihi apa yang dia sendiri punyai. Sehingga walaupun

telah melakukan pendaftaran, pembeli selalu masih menghadapi gugatan dari

19

orang yang dapat membuktikan bahwa ia pemegang hak yang sebenarnya.

Kelemahan sistem ini oleh negara-negara yang menggunakanya biasanya diatasi

dengan lembaga acquisitive verjaring, di Indonesia dengan lembaga

rechtverwerking.

Sistem publikas negatif memiliki beberapa kelebihan, antara lain:

a. Pemegang hak sesungguhnya terlindungi dari pihak yang tidak berhak atas

tanahnya;

b. Adanya penyelidikan riwayat tanah sebelum penerbitan sertipikat;

c. Tidak ada batasan waktu bagi pemilik tanah sesungguhnya untuk menuntut

haknya yang telah disertipikatkan pihak lain.

Sistem ini juga memiliki beberapa kelemahan, antara lain:

a. Tidak ada kepastian atas keabsahan kepemilikan hak atas tanah karena setiap

saat dapat atau mungkin saja digugat dan dibatalkan jika terbukti tidak sah

penerbitannya;

b. Peranan pejabat pendaftaran tanah yang pasif, tidak mendukung ke arah

akurasi dan kebenaran data yang tercantum di dalam sertipikat;

c. Mekanisme kerja pejabat kadaster yang kurang transparan, kurang dapat

dipahami oleh masyarakat awam.

Dalam praktek, baik sistem publikasi positif maupun sistem publikasi

negatif tidak pernah digunakan secara murni. Pada sistem positif memberi beban

terlalu berat kepada negara sebagai pendaftar. Apabila ada kesalahan dalam

pendaftaran maka negara harus menanggung akibat dari kesalahan itu. Untuk

mencegah kesalahan tersebut, dilakukan penelitian secara cermat, sehingga

20

mengakibatkan lambatnya proses pendaftaran dan untuk semua resiko itu,

biasanya negara mengenakan biaya yang mahal untuk pendaftaran untuk

menyediakan suatu dana khusus guna menghadapi tuntutan ganti kerugian jika

terjadi kesalahan pada pihak pejabat dalam melaksanakan pendaftaran.

E. Sistem Publikasi yang Dianut di Indonesia

Sistem publikasi yang dianut Indonesia adalah sistem negatif yang

mengandung unsur positif menurut PP 10/1961. Dengan sistem ini akan

menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian

yang kuat, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat

(2), Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2) UUPA. Jadi bukan sistem publikasi

negatif murni. Sistem publikasi yang negatif murni tidak akan menggunakan

sistem pendaftaran hak juga tidak akan ada pernyataan seperti dalam pasal-pasal

UUPA tersebut, bahwa sertipikat merupakan alat bukti yang kuat.5

Di dalam penjelasan Pasal 32 ayat (1) PP 24/1997, dinyatakan bahwa

sertipikat merupakan tanda bukti hak yang kuat, dalam arti bahwa selama tidak

dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum di

dalamnya harus diterima sebagai data yang benar. Kuat tidak berarti mutlak,

namun lebih dari yang lemah sehingga pendaftaran berarti lebih menguatkan

pembuktian pemilikan, akan tetapi tidak mutlak, yang berarti pemilik terdaftar

tidak dilindungi hukum dan bisa digugat sebagaimana dimaksud di dalam

penjelasan PP 10/1961.6

5 ? Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya, Jilid I, Hukum Tanah Nasional, (Jakarta:Djambatan,Edisi Revisi 1999), hal 463.6 ? Badan Pertahanan Nasional, Himpunan Karya tulis Pendaftaran Tanah,(Jakarta,1989), hal 44.

21

Dalam PP 10/1961 dinyatakan bahwa pembukuan suatu hak di dalam

daftar buku tanah atas nama seseorang tidak mengakibatkan bahwa orang yang

seharusnya berhak atas tanah itu akan kehilangan haknya. Orang tersebut masih

dapat menggugat hak dari yang terdaftar dalam buku tanah sebagai orang yang

berhak. Jadi, cara pendaftaran hak yang diatur dalam PP 10/1961 tidaklah positif,

tetapi negatif. Demikian penjelasan PP 10/1961.7

Penggunaan sistem publikasi negatif juga ditegaskan dalam penjelasan

Pasal 32 ayat (2) PP 24/1997 yang menyatakan bahwa pendaftaran tanah yang

yang penyelenggaraannya diperintahkan oleh UUPA tidak menggunakan sistem

publikasi positif, yang kebenaran data yang disajikan dijamin oleh negara,

melainkan menggunakan sistem publikasi negatif.

Sebagaimana dapat dilihat pada ketentuan-ketentuan yang mengatur

prosedur pengumpulan sampai penyajian data fisik dan data yuridis yang

diperlukan serta peralihannya dan penerbitan sertipikat haknya, biarpun sistem

publikasinya negatif, tetapi kegiatan-kegiatan yang bersangkutan dilaksanakan

secara saksama, agar data yang disajikan sejauh mungkin dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya.8

Sehingga, dapat dikatakan sistem publikasi di Indonesia adalah sistem

publikasi negatif, tetapi bukan negatif murni melainkan apa yang disebut sistem

negatif yang mengandung unsur positif, hal ini dapat diketahui dari ketentuan

Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, yang menyatakan bahwa pendaftaran meliputi

“pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian

7 ? ibid, hal.448 ? Boedi Harsono, op.cit.,hal.464.

22

yang kuat”. Dalam Pasal 23, 32, dan 38 UUPA juga dinyatakan bahwa

“pendaftaran merupakan alat pembuktian yang kuat”. Pernyataan yang demikian

tidak akan terdapat dalam peraturan pendaftaran tanah dengan sistem publikasi

negatif yang murni.9

Pengertian sistem publikasi yang positif mencakup ketentuan bahwa apa

yang sudah terdaftar itu dijamin kebenaran datanya dan untuk keperluan itu

pemerintah meneliti kebenaran data yang didaftarkannya dan sahnya tiap warkah

yang diajukan untuk didaftarkan sebelum hal itu dimasukan dalam daftar-daftar.

Dalam sistem positif, negara menjamin kebenaran data yang disajikan.

Sistem positif mengandung ketentuan-ketentuan yang merupakan perwujudan

ungkapan ”title by registration” (dengan pendaftaran diciptakan hak), pendaftaran

menciptakan suatu “indefesible title” (hak yang tidak dapat diganggu gugat), dan

“the register is everything”(untuk memastikan adanya suatu hak dan pemegang

haknya cukup dilihat buku tanahnya). Sekali didaftar pihak yang dapat

membuktikan bahwa dialah pemegang hak yang sebenarnya kehilangan haknya

untuk menuntut kembali tanah yang bersangkutan. Jika pendaftaran terjadi karena

kesalahan pejabat pendaftaran, ia hanya dapat menuntut pemberian ganti kerugian

(compensation) berupa uang. Untuk itu negara menyediakan apa yang disebut

suatu dana khusus atau assurance fund.

Ketentuan-ketentuan yang merupakan perwujudan ungkapan-ungkapan

demikian tidak terdapat dalam UUPA. Dalam sistem publikasi negatif, juga dalam

sistem negatif kita yang mengandung unsur positif, negara tidak menjamin

9 ? Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Cet I, (Jakarta: Universitas Trisakti,2002), hal.84.

23

kebenaran data yang disajikan. Penggunaanya adalah risiko pihak yang

menggunakan sendiri.10 Sehingga selalu terbuka kemungkinan adanya gugatan

kepada pemilik terdaftar dari orang yang merasa sebagai pemilik sebenarnya.

Terlepas dari kemungkinan kalah atau menangnya tergugat yaitu

pemegang hak terdaftar, maka hal ini berarti bahwa daftar umum yang

diselenggarakan di suatu negara dengan prinsip pemilik terdaftar tidak dilindungi

hukum, tidak mempunyai kekuatan bukti.11 Ini berarti bahwa terdaftarnya

seseorang di dalam daftar umum sebagai pemegang hak belum membuktikan

orang itu sebagai pemegang hak yang sah menurut hukum. Jadi, pemerintah tidak

menjamin kebenaran dari isi daftar-daftar umum yang diadakan dalam

pendaftaran hak dan tidak pula dinyatakan di dalam undang-undang.

Penyelidikan riwayat tanah dalam sistem publikasi negatif dilakukan

dengan menyelidiki surat-surat bukti hak, yang umumnya berupa akta-akta di

bawah tangan (segel-segel) yang dibuat pada masa lampau atau surat-surat

keputusan pemberian hak, balik nama (pencatatan pemindahan hak). Dengan

demikian, akta-akta peralihan hak masa lampau dan yang sekarang, memegang

peranan penting dalam menentukan kadar kepastian hukum sesuatu hak atas

tanah.

Sebelum UUPA berlaku, untuk menentukan kadar kepastian hukum

sesuatu hak, digunakan upaya ketentuan mengenai “kadaluwarsa” sebagai upaya

untuk memperoleh hak eigendom atas tanah (acquisitieve verjaring), yang

terdapat dalam Pasal 1955 dan 1963 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

10 ? Boedi Harsono,op.cit, hal.85,86.11 ? Badan Pertahanan Nasional, op. cit, hal.44

24

(KUHPer) Buku IV. Kadaluwarsa sebagai upaya memperoleh hak eigendom atas

tanah diatur dalam Pasal 610, 1955 dan 1963 KUHPer. Dalam Pasal 610

ditetapkan bahwa seorang bezitter dapat memperoleh hak eigendom atas suatu

benda karena verjaring . Adapun Pasal 1955 dan 1963 memuat syarat-syaratnya,

yaitu penguasaanya harus terus-menerus, tak terputus tak terganggu, dapat

diketahui umum, secara tegas bertindak sebagai eigenaar, dan harus dengan itikad

baik. Jika berdasarkan suatu alas hak (title) yang sah harus berlangsung 20 tahun,

perlu menunjukan alas hak. Dengan demikian, pada hakikatnya Pasal 1955 dan

1963 merupakan pelaksanaan dari Pasal 610 KUHPer, yang terletak dalam Buku

II.

Kita telah mengetahui bahwa pasal-pasal agrarian di dalam Buku II telah

dicabut oleh UUPA. Dalam pada itu Pasal 610 tidak khusus mengatur soal

agrarian. Oleh karena itu, pasal tersebut masih tetap berlaku, tetapi tidak penuh,

dalam arti bahwa ketentuan-ketentuannya tidak berlaku lagi sepanjang mengenai

agrarian (tanah dan lain-lainnya), tetapi masih berlaku sepanjang mengenai benda-

benda lainya yang bukan agrarian. Oleh karena Pasal 1955 dan Pasal 1963

merupakan pelaksanaan dari Pasal 610, maka sungguhpun letaknya tidak di dalam

Buku II KUHPerdata, tetapi di dalam Buku IV, harus dianggap pula sebagai tidak

berlaku lagi mengenai tanah dan lain-lain objek agrarian, bagi penguasaan tanah

baru dan penguasaan tanah yang pada mulai berlakunya UUPA belum

berlangsung 20 atau 30 tahun. Bagi penguasaan yang pada mulai berlakunya

UUPA sudah memenuhi persyaratan acquisitieve verjaring, pasal-pasal tersebut

dengan sendirinya tetap berlaku, meskipun penegasannya baru dimintakan

25

kemudian. Ini berarti bahwa pada tanggal 24 September 1960 ia sudah

memperoleh hak yang bersangkutan karena verjaring.

Hukum adat tidak mengenal lembaga acquisitieve verjaring, yang dikenal

dalam hukum adat adalah lembaga rechtsverwerking yaitu lampaunya waktu

sebagai sebab kehilangan hak atas tanah, kalau tanah yang bersangkutan selama

waktu yang lama tidak diusahakan oleh pemegang haknya dan dikuasai pihak lain

melalui perolehan hak dengan itikad baik.12 Oleh karena itu diadakanlah ketentuan

dalam Pasal 32 ayat (2) UUPA. Ketentuan ini bertujuan, pada satu pihak untuk

tetap berpegang pada sistem publikasi negatif dan pada lain pihak untuk secara

seimbang memberikan kepastian hukum kepada pihak yang dengan itikad baik

menguasai sebidang tanah dan didaftar sebagai pemegang hak dalam buku tanah,

dengan sertipikat sebagai tanda buktinya, yang menurut UUPA berlaku sebagai

alat pembuktian yang kuat.

F. Negara-Negara yang Menggunakan Sistem Pendaftaran Hak dan/atau

Akta

a. Negara-negara yang menggunakan sistem pendaftaran hak, antara lain:

1. Malaysia

2. Indonesia

3. Australia

4. Philippines

5. Hongkong

6. New Zealand /Selandia Baru

7. New South Wales

8. Inggris

12 ? Badan Pertanahan Nasional,op cit,hal 67.

26

9. Canada-Hunggaria.

10. Nigeria.

11. Norwegia.

12. Jerman

13. Sweden

14. Austria.

15. Alsae-Larraine.

16. Switzerland

17. Turkey.

18. Denmark.

19. Rumania.

20. Maroko.

21. Singapura.

22. Belarus.

23. Honggaria.

24. Israel.

25. Jepang.

26. Finlandia.

27. Afrika Selatan.

28. Brunei.

29. Mesir.

30. Scotlandia.

31. Portugal.

32. Spanyol.

33. Cina.

34. Bosnia.

35. Croasia.

36. Peru.

37. Slovenia.

38. Slovakia.

b. Negara-negara yang menggunakan sistem pendaftaran akta, antara lain:

27

1. Amerika Serikat.

2. Bangladesh.

3. Pakistan.

4. Argentina.

5. Meksiko.

6. Nepal.

7. Srilangka.

8. Yunani.

9. Prancis.

10. Spanyol.

11. Belgia.

12. Belanda.

13. Swiss.

14. Scotlandia.

15. India.

16. Ghana.

c. Negara-negara yang menggunakan sistem pendaftaran campuran (akta dan

hak), antara lain:

1. Irlandia.

2. Italia.

3. Pakistan.

4. Belarus.

5. Luxemburg.

6. San Marino.

7. Thailand

8. Tunisia.

9. Syria.

10. Kenya.

11. Iceland.

12. Lithuania.

28

BAB III

PENDAFTARAN TANAH DI MALAYSIA

A. Sistem Pendaftaran Tanah di Negara Malaysia

29

Luas negara Malaysia sekitar 329.758 km2, terdiri dari 11 propinsi di

Peninsular dan 2 propinsi di Pulau Kalimantan, jumlah penduduk Malaysia sekitar

24,92 juta dengan pertumbuhan sekitar 1,7%.

Sistem pemerintahan Malaysia adalah terpusat, dengan model

pemerintahan seperti sistem di Inggris, karena Malaysia merupakan negara bekas

jajahan Inggris, Malaysia dipimpin oleh seorang Raja, dan pemerintahan

dijalankan oleh Perdana Menteri. Namun demikian bukan hanya sistem

pemerintahan saja, namun hukum di Malaysia pun banyak mengikuti negara

Inggris.

Mengenai hukum pertanahan di Malaysia adalah bahwa Malaysia mulai

mengenal system Torrens sekitar tahun 1879 dan 1890. Namun karena seperti

diuraikan diatas bahwa Malaysia merupakan negara jajahan Inggris, sehingga

sitem hukum pertanahanpun mengikuti system hukum Inggris. Pada saat itu

Malaysia menganut sistem pendaftaran akta (Deeds Registrations).

Adapun peraturan yang mengatur mengenai hukum pertanahan di

Malaysia adalah NLC (National Land Code) 1965. Namun kala itu NLC masih

berlaku di beberapa propinsi saja. Selanjutnya NLC ini mengadakan unifikasi atau

penyeragaman hukum, dimana sebelumnya ada beberapa kolonial Inggris yang

menggunakan sistem pendaftaran akta, namun kemudian seluruh propinsi di

Malaysia diseragamkan dengan menggunakan sistem pendaftaran hak.

Dengan sistem pendaftaran hak, pemerintah bersifat aktif, mulai dari

meneliti kebenaran data sampai dengan survey di lapangan sebelum pendaftaran

hak tersebut disetujui. Selanjutnya pemerintah terkait akan menerbitkan sertipikat.

30

Tahun 1990, di Malaysia berkembang sistem pendaftaran tanah dengan

komputerisasi, yang disebut CLRS (Computerized Land Registration System).

Meskipun sudah sistem komputerisasi, namun penyajian output berupa sertipikat

tetap diterbitkan.

Beberapa artikel menyatakan bahwa Semenanjung Malaysia, memiliki

karakteristik sistem publikasi positif dalam pendaftaran tanah dengan cara

pendaftaran hak. Hal ini disebabkan sejak zaman dahulu kala, dokumen hak milik

merupakan alat bukti yang paling kuat dan hal ini tidak dapat disangkal oleh pihak

mana pun (Kanun Tanah Negara, 1965).

Williamson, pada tahun 1983 juga mengatakan bahwa dalam pendaftaran

tanah yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia, masih menggunakan sistem

pendaftaran hak milik tanah. Terkait dengan hal tersebut dalam hal ini, bentuk

tersebut serupa dengan apa yang tertulis dalam buku tanah mengenai kepemilikan

dari suatu tanah. Berdasarkan catatan yang ditulis oleh Holsten dan Williamson

pada tahun 1984 dikatakan bahwa sistem tanah tersebut dikemudian hari

disempurnakan dengan sistem yang namanya Torrens System dimana sistem

tersebut merupakan bentuk publikasi sistem pendaftaran tanah hak, dimana

pengelolaan data yang terkandungan di dalamnya juga lebih valid.13

"...title registration is ..... an efficient bookkeeping system that facilitates conveyancing. It is a system of record, not of land tenure, and is readily adaptable to any form of land tenure. Many tenures may be handled at the one time as long as the tenure systems are accepted by society" (Holstein & Williamson 1984)

13

?Badan Pertanahan Nasional, Himpunan Karya Tulis Pendaftaran Tanah, tanpa tahun, tanpa penerbit, halaman 24.

31

Undang-undang tanah yang utama di Semenanjung Malaysia ialah Kanun

Tanah Negara (KTN). Undang-undang ini telah diberlakukan mulai pada tanggal

1 Januari 1996. Sejak saat itu, sistem pemilikan dan urusan tanah di semua negeri

di Semenanjung Malaysia telah memiliki pengaturan hukum yang sama. Sebelum

tanggal 1 Januari 1996, semua negeri tersebut mempunyai dua sistem pemilikan

tanah yang agak berlainan.

Negeri-negeri Pulau Pinang dan Malaka mempunyai suatu sistem yang

khusus terdapat di negeri-negeri selat sebelum perang (yang dicontohi dari

undang-undang harta dan pindah hak Inggris) yang dengannya surat ikatan yang

disempurnakan secara tersendiri adalah asas hak milik bagi tanah. Sementara

untuk sembilan buah negeri-negeri Melayu menggunakan suatu sistem yang

berdasarkan kepada prinsip bahwa hak-hak tersendiri atas tanah boleh diperoleh

hanya dari pemberian yang nyata oleh kerajaan atau berikut daripada pendaftaran

kerajaan mengenai urusan-urusan tanah yang kemudian. Sistem yang diamalkan

di sembilan buah negeri Melayu adalah dikenal secara umum sebagai sistem

Torrens atau sistem pendaftaran hak milik.

KTN telah dibuat berdasarkan kepada F.M.S Land Code 1926 (undang-

undang yang terpakai di Negeri Sembilan, Pahang, Perak dan Selangor sebelum 1

Januari 1996). Untuk menghapuskan sistem di Pulau Pinang dan Malaka, Akta

Kanun Tanah Negara (hak milik-hak milik Pulau Pinang dan Malaka) telah dibuat

dalam tahun 1963 dan diberlakukan pada 1 Januari 1996.

Oleh karena itu dengan adanya KTN dan Akta Kanun Tanah Negara (hak

milik-hak milik Pulau Pinang dan Malaka), kesebelas buah negeri di

32

Semenanjung Malaysia tersebut mempunyai sistem tanah yang sama mulai dari 1

Januari 1996. Ini juga berarti bahwa mulai sejak itu, kesebelas negeri di

Semenanjung Malaysia tersebut memakai sistem Torrens atau sistem

pendaftaran hak milik. (Sabah dan Sarawak masing-masing menggunakan

undang-undang tanahnya sendiri).

Sistem Torrens di Malaysia ini menetapkan dan mengakui, di bawah kuasa

kerajaan, kepunyaan hak milik tanah yang tidak boleh disangkal dan

memudahkan, mempercepatkan dan merendahkan perbelanjaan segala urusan

tanah. Tujuan dari sistem Torrens ini ialah untuk memberi jaminan dan

kesenangan kepada segala urusan tanah. Hak milik adalah bukti bahwa orang

yang disebutkan didalamnya adalah tuan yang punya tanah yang dinyatakan

didalamnya.

Hak milik-hak milik tanah yang sah memerlukan perihal korelasi yang

tepat. Ini berarti bahwa pengukuran tanah harus dibuat. Suatu hak milik boleh

dikeluarkan bagi tanah dengan perbuatan-perbuatan hukum yang sah, tetapi jika

perbuatan-perbuatan hukum itu tidak sah sedangkan hak milik itu tidak boleh lagi

disangkal, ia mungkin akan menjadi mengarah kepada persengketaan. Dengan

pengukuran yang tepat kemungkinan terjadinya persengketaan tersebut adalah

dapat dihapuskan dan dengan itu hak milik itu sebenarnya menjadi tidak boleh

disangkal dari segala segi.

Dari apa yang disebutkan diatas maka bolehlah disimpulkan bahwa ciri-

ciri utama sistem Torrens adalah seperti berikut: dokumen hak milik yang dengan

33

jelas menentukan tanah itu didaftar di pejabat pendaftaran. Di dalam hak milik itu

didaftarkan segala pengalihan dan urusan yang kemudian terjadi atas tanah itu.

Oleh karena itu pemeriksaan di pejabat pendaftaran menunjukkan bukan

saja tiap-tiap butir mengenai syarat-syarat hak milik asal, tetapi juga nama-nama

pihak yang punya hak pada masa kini dan semua orang lain yang ada kepentingan

atas tanah seperti pajak atau gadai.

Kelebihan-kelebihan sistem Torrens adalah seperti berikut: Tiap-tiap

orang yang memiliki tanah akan memegang suatu dokumen hak milik yang jelas,

diakui oleh kerajaan, membentangkan bukan saja untuk pengetahuannya tetapi

juga pengetahuan semua orang berkenaan mengenai segala syarat-syarat dan

kepentingan-kepentingan lain yang melibatkan tanah itu. Tiap-tiap orang boleh

mengusahakan tanah secara pendaftaran memorandum stereotaip dengan mudah

tanpa memerlukan proses yang rumit dan mahal dalam meneruskan dokumen-

dokumen yang dahulu. Hak milik bagi tanah itu dan hak-hak semua orang yang

memegang pajak atau gadai tidak boleh disangkal.

Hendaklah diperhatikan bahwa sistem Torrens berasal dari Australia

Selatan. Sistem ini dinamakan dengan mengambil pemikiran dari Sir Robert

Torrens yang memperkenalkannya di Australia Selatan pada tahun 1858.

Kemudian ia berkembang ke seluruh Australia dan kepada banyak bagian–bagian

lain dalam dunia.

Sistem tanah Malaysia, kecuali untuk sistem tanah di Negeri Malaysia

Timur Sabah, adalah diasaskan berdasarkan sistem Torrens di Australia, prinsip-

prinsip itu termaktub di dalam peruntukan-peruntukan Kanun Tanah Negara 1965

34

(KTN). KTN adalah perundangan yang berlaku di Malaysia Barat dan

mewujudkan satu sistem perundangan seragam yang berkaitan dengan tanah dan

pemilikan tanah, pendaftaran untuk hak milik tanah dan urusan-urusan tanah di

Malaysia Barat. Negeri-negeri di Malaysia Timur (Sabah dan Sarawak) adalah

dibawah penguasaan undang-undang tanah tersendiri, yaitu Ordinan Tanah Sabah

dan Kanun Tanah Sarawak .

Di bawah sistem Torrens, hak milik atau kepentingan tanah diperoleh atau

diberikan hanya setelah pendaftaran. Di bawah KTN, urusan-urusan yang boleh

didaftarkan ialah pemindahan, pajak, gadai dan easemen manakala urusan-urusan

yang tidak boleh didaftarkan ialah perjanjian sewa dan lien. Dalam hal-hal yang

boleh didaftarkan, hak milik atau kepentingan di atas tanah tidak akan berpindah

atau diwujudkan sampai pendaftarannya selesai. Pendaftaran di bawah KTN akan

berlaku apabila maklumat yang diperuntukkan berkenaan urusan tersebut dibuat

pada dokumen pendaftaran hak milik di bawah kuasa dan perintah pihak yang

berkuasa untuk pendaftaran. Hal-hal lain yang diatur dalam KTN adalah:

Tanah dimiliki pada dasar samada secara hak milik bebas (untuk selama-

lamanya) atau pajak (biasanya 99 tahun).

Penggunaan tanah boleh dikategorikan untuk tujuan-tujuan pertanian,

bangunan atau perindustrian. Kategori penggunaan tanah masing-masing

disertai dengan syarat-syarat yang diperuntukkan oleh Kanun Tanah Negara

1965 dan tunduk kepada syarat-syarat seperti dicantumkan di dalam dokumen

hak milik individu.

35

Bentuk cagaran yang biasa diberikan oleh individu atau perusahaan-

perusahaan adalah gadai tanah di bawah Kanun Tanah Negara 1965, yang

memberi hak kepada pemegang gadai untuk memohon penjualan tanah

disebabkan oleh kegagalan membayar pinjaman. Debitur-debitur juga adalah

jaminan biasa yang mewujudkan gadai tetap dan menyeluruh ke atas aset-aset

semasa kini dan akan datang sebuah perusahaan termasuk harta dan tanah dan

membenarkan pemegang debitur melantik seorang penerima di atas

kematangan gadaian menyeluruh sedemikian. Cagaran mungkin juga diberi

dengan cara pemindahan hak atas perjanjian jual beli harta dan tanah dalam

situasi-situasi di mana tiada hak milik atas tanah itu atau hak milik tanah

belum boleh diperoleh (sebagai contoh unit-unit harta dan tanah di bawah

proyek-proyek pembangunan perumahan sementara menunggu pengeluaran

hak milik individu).

Di bawah Kanun Tanah Negara 1965, seseorang yang bukan rakyat atau

sebuah perusahaan asing tidak dibenarkan memperoleh sesuatu tanah (selain

daripada tanah perindustrian) di Malaysia Barat selain telah mendapat

kelulusan dari pihak berkuasa yang berwenang terlebih dahulu di Malaysia.

Selain daripada pihak berkuasa negeri Malaysia, tiap-tiap pemerolehan harta

oleh kepentingan asing (termasuk penduduk tetap Malaysia), memerlukan

kelulusan Jawatankuasa Pelaburan Asing (FIC) karena mereka adalah

dikecualikan. FIC adalah sebuah jawatankuasa dalam Unit Perancang

Ekonomi Jabatan Perdana Menteri, yang antara lain, menyemak dan

menyelaraskan pemerolehan-pemerolehan aset-aset oleh kepentingan asing

36

dan kepentingan di dalam perusahaan-perusahaan Malaysia. Kini terdapat dua

garis panduan FIC yang berlaku, yaitu: :

i. Garis panduan-garis panduan berkenaan pemerolehan harta dan tanah

oleh kepentingan-kepentingan tempatan dan asing; dan

ii. Garis panduan-garis panduan berkenaan pemerolehan kepentingan-

kepentingan, penggabungan dan pengambilalihan oleh kepentingan-

kepentingan tempatan dan asing

Baru-baru ini Jabatan Perdana Menteri telah mengumumkan bahwa sejak dari

tanggal 1 November 2006, rakyat asing dibenarkan membeli harta dan tanah

berharga RM 250,000 dan ke atas tanpa kelulusan FIC. Walau bagaimanapun,

peraturan ini adalah tunduk kepada syarat-syarat berikut yaitu bahwa

pemilikan itu terhadap kepada rakyat asing termasuk yang berdomisili tetap;

hanya untuk kegunaan sendiri, dipajakkan atau untuk tujuan pelaburan; dan

harta dan tanah terletak di dalam satu kawasan, premis-premis atau bangunan

untuk tujuan kediaman saja.

Secara umum, tanah di Malaysia biasanya dikenal pasti atas suatu dasar yaitu

harta dan tanah ‘bertanah' atau harta dan tanah ‘strata'. Harta dan tanah

bertanah biasanya diartikan sebagai harta dengan dokumen hak milik individu.

Bangunan-bangunan bertingkat seperti bangunan-bangunan pejabat,

pangsapuri-pangsapuri atau kondominium-kondominium adalah harta dan

tanah yang akan menerima strata yang adalah hak milik-hak milik strata untuk

setiap unit atau petak dalam bangunan yang dibagikan.

37

B. Proses Pendaftaran Pemidahan Hak Atas Tanah di Instansi Terkait di

Malaysia

Prosedur pendaftaran pemindahan hak atas tanah di instansi terkait di

Malaysia adalah:

1. Perjanjian jual beli dikirim ke kantor pengecapan (Stamp Office) untuk

dilakukan stamping atau stempel. Waktu untuk menyelesaikan adalah 1 hari.

Biaya untuk menyelesaikan adalah RM 10.

2. Stamp Duty Memorandum of Transfer dikirim ke kantor pengecapan untuk

penyelesaian bea materai. Waktu untuk menyelesaikan adalah 1 hari. Biaya

untuk menyelesaikan adalah RM 10. Dokumen harus mencakup memorandum

of transfer, kopi dari perjanjian jual beli, copy setipikat tanah, dan formulir

PDS 5 (Stamping Proforma).

3. Bea Materai ajudikasi dari nota transfer. Waktu untuk menyelesaikan adalah

30-42 hari. Biaya untuk menyelesaikan adalah tanpa biaya tambahan.

Departemen penilaian akan melakukan inspeksi ke nilai properti, jika

diperlukan. Inspeksi tidak diharuskan untuk menyimpulkan penilaian dan ini

pada penilaian kebijakan departemen, tetapi dalam prakteknya, hal itu terjadi

dalam sebagian besar kasus. Kantor yang melakukan pengecapak akan

mengeluarkan pemberitahuan penilaian berdasarkan penilaian laporan

departemen.

4. Memorandum of Transfer dikirim ke kantor pengecapan untuk dilakukan

stempel. Waktu untuk menyelesaikan adalah 1 hari. Biaya untuk

menyelesaikan adalah 1% pada RM 1 sampai RM 100.000, 2% pada lebih dari

38

RM 100.000 sampai RM 500.000, 3% pada lebih dari RM 500.000. Materai

kemudian harus dibayarkan kepada Stamp Office, didasarkan pada

pemberitahuan penilaian, dalam waktu 14 hari dari tanggal penilaian tersebut

atau periode yang ditunjukkan oleh kolektor bea materai. Biasanya kolektor

akan memberikan waktu 30 hari dari tanggal pemberitahuan tersebut untuk

membayar bea materai. Prosedur ini mungkin memerlukan waktu satu hari

jika pembeli pergi secara pribadi. Kalau tidak bisa memakan waktu hingga 5-7

hari untuk nota transfer yang disahkan dan siap untuk dibayar.

5. Transfer terdaftar di kantor pertanahan. Waktu untuk menyelesaikan adalah

90-120 hari. Biaya untuk menyelesaikan adalah RM 100 (biaya pendaftaran)

dan RM 60 (biaya pencarian). Pembeli menyajikan memorandum of transfer

yang bermaterai untuk pendaftaran di kantor pertanahan. Hal ini harus

dilakukan dalam waktu 3 bulan sejak tanggal nota transfer, yang biasanya

tanggal ketika diajukan untuk ajudikasi. Pencarian hak hanya dilakukan

sebelum presentasi untuk memastikan bahwa tidak ada pengekangan terhadap

transaksi yang dapat menghambat pendaftaran memorandum of transfer.

BAB IV

PENUTUP

39

Sistem pendaftaran tanah di Indonesia adalah sistem pendaftaran hak dan

sistem publikasinya adalah sistem publikasi negatif yang mengandung unsur

positif. Sedangkan sistem pendaftaran tanah di Malaysia adalah sistem

pendaftaran hak dan sistem publikasinya adalah sistem publikasi positif.

DAFTAR PUSTAKA

40

A.P. Parlindungan. Pendaftaran Tanah Di Indonesia. Bandung: Mandar Maju, 1990.

Badan Pertahanan Nasional, Himpunan Karya tulis Pendaftaran Tanah. Jakarta, 1989.

Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid I. Hukum Tanah Nasional. Edisi revisi, cetakan XII. Jakarta: Djambatan, 2008.

Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya, Jilid I, Hukum Tanah Nasional. Edisi revisi. Jakarta: Djambatan, 1999.

Harsono, Boedi. Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional. Cet I. Jakarta: Universitas Trisakti, 2002.

Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Sumber lain

http://en.wikipedia.org/wiki/Deeds_registration, ditelusuri 10 Februari 2010

http://en.wikipedia.org/wiki/Recorder_of_deeds, ditelusuri 10 Februari 2010

http://en.wikipedia.org/wiki/Land_registration, ditelusuri 11 Februari 2010

http://en.wikipedia.org/wiki/Torrens_title, ditelusuri 11 Februari 2010

http://en.wikipedia.org/wiki/Land_Registration_Authority_%28Philippines%29,ditelusuri 11 Februari 2010

http://ms.wikipedia.org/wiki/Kanun_Tanah_Negara, ditelusuri 10 Februari 2010

http://www.iskandarmalaysia.com.my/maklumat-untuk-rakyat-asing, ditelusuri 10 Februari 2010