Tugas Rektaaaaannn Tigaaaa III

Embed Size (px)

Citation preview

TUGAS II

MATA KULIAH REKAYASA TANAMAN III

Seleksi marka molekular dan Aplikasi MAS pada tanaman Cabai dengan karakter target ketahanan terhadap Busuk buah (Colletotrichum sp).

AGROTEKNOLOGI - E

KELOMPOK 1

HEDI PARAMITA 150510100157AHMAD ZEIN 150510110011VALENTINA NAIBAHO 150510100105AHMAD DANNY H150510110131

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGIFAKULTAS PERTANIANMEI, 2013

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah memberikan rahmat dan kuasa-Nya, sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan makalah yang berjudul Pemetaan QTL untuk karakter ketahanan terhadap penyakit Busuk Buah. ini. Penyusunan makalah ini bertujuan untuk melengkapi Tugas Mata Kuliah Rekayasa Tanaman III pada Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran.Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari sepenuhnya apabila tanpa bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak tidak akan dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada :1. Dosen mata kuliah Rekayasa Tanaman III, yaitu Bapak Suseno yang telah memberikan izin kepada penulis dalam proses penyusunan makalah ini.2. Semua pihak yang telah memberikan bantuan moral maupun spiritual kepada penulis, baik secara langsung maupun tidak langsung.Penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca agar makalah ini menjadi lebih baik. Demikian, semoga makalah Rekayasa Tanaman III ini dapat bermanfaat bagi pembaca

Jatinangor, Mei 2013

Penulis

DAFTAR ISIKATA PENGANTAR..1DAFTAR ISI2BAB I PENDAHULUAN....3Latar Belakang..3Tujuan...4BAB II PEMBAHASAN5BAB III KESIMPULAN20DAFTAR PUSTAKA..21

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar Belakang

Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu komoditas unggulan hortikultura Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi cabai tahun 2011 lalu telah mencapai 888.852 ton dan rata-rata produktivitas 7,34 ton per ha. Dibandingkan tahun 2010, terjadi kenaikan produksi sebesar 81.692 ton atau naik 10,12 %. Kenaikan disebabkan adanya kenaikan produktivitas 0,76 ton per hektare (11,55%). Untuk meningkatkan hasil penjualan dan produksi sehingga meningkatkan ekspor yaitu dengan menjaga kualitas cabai, cabai di Indonesia rentan terhadap antraknosa. Disebabkan oleh curah hujan yang tinggi (Zahara dan Harahap, 2007) dan belum digunakan varietas tahan secara luas. Penyakit antraknosa dapat menurunkan kualitas bahkan kerusakan hingga 85% disebabkan oleh pathogen jamur Collelotrichum spp. Gejala serangannya yaitu pada daun terdapat bercak coklat, dan berair, sedikit terbenam, serta bercak coklat kehitaman pada buah kemudian buah lama kelamaan akan membusuk. Usaha yang biasa dilakukan petani untuk menekan penyakit antraknosa dengan penggunaan fungisida. Penggunaan pestisida secara berlebihan mengakibatkan resiko kesehatan meningkatkan biaya produksi, serta kerusakan lingkungan. Antraknosa pada cabai disebabkan oleh genus Colletotrichum, yang digolongkan menjadi enam spesies utama yaitu Colletotrichum gloeosporioides, C. acutatum, C. dematium, C. capsici dan C. coccodes (Kim, Oh dan Yang, 1999). Dari enam spesies tersebut, C. gloeosporioides dan C. acutatum menyebabkan kerusakan pada buah dan kehilangan hasil paling besar (Yoon, 2003).Oleh karena itu penggunaan varietas yang resisten merupakan cara yang tepat untuk mengatasi masalah penyakit antraknosa.Sifat ketahanan terhadap antraknosa merupakan karakter metric yang menampilkan pola variasi yang kontinu (kuantitatif). Variasi tersebut disebabkan oleh segregasi simultan dari beberapa gen yang mempengaruhi suatu karakter dan oleh factor bukan genetic. Gen-gen pengendali ketahanan terhadap antraknosa dapat bersifat aditif, dominan atau epistatis ( Rawal et al., 1983;Cheema et al., 1984; Park et al., 1990 ). Selain itu, gen pengendali sifat ketahanan terhadap antraknose memiliki nilai heritibilitas yang rendah ( Sanjaya et al., 2001) dan ekspresinya selalu berubah tergantung keadaan lingkungan. Hal tersebut membuat pemuliaan secara konvensional sulit dilakukan.

Sebelum peta genetic tanaman tersedia, sifat kuantitatif dianalisis menggunakan model-model biometrika. Pendekatan biometric, walaupun penurunannya secara deskriptif, ternyata tidak menerangkan pengaruh lokus kuantitatif. Pengembangan peta genetic berkerapatan tinggi, yang terdiri atas markah molekuler telah memungkinkan untuk mengidentifikasi lokus-lokus yang mempengaruhi sifat kuantitatif pada berbagai tanaman. Lokus-lokus sifat kuantitatif yang teridentifikasi dengan bantuaan penanda molekuler dan dapat dipetakan disebut quantitative trait loci (QTL).Beberapa peta genetic cabai telah dipublikasikan oleh beberapa peneliti ( Tanksley et al., 1989; Prince et al., 1999; ben Chaim et al., 2001). Pada awalnya, peta genetic menggunakan markah isozim. Namun, karena ketersediaan markah isozim sangat sedikit dan jarang terjadi segregasi maka digunakan markah molekuler. Genetika molekuler ini berkembang terus dan kini penanda molekuler yang banyak digunakan untuk membangun peta genetic cabai adalah RFLP, RADP dan AFLP1.2 TujuanMembuat peta keterpautan genetic berdasarkan persilangan interspesifik antara Jatilaba ( C.annuum) dan PI 315023 (C. chinense) dengan menggunakan AFLP dan SSRs/SSLP. Kemudian diidentifikasi poligen ( QTL) yang terkait dengan sifat ketahanan antraknose dengan cara memadukan data hasil pengamatan di laboratorium dengan markah-markah molekuler yang terdapat pada peta genetic.

BAB IIPEMBAHASAN2.1 Pemilihan Tetua

Tetua yang dipilih adalah Jatilaba ( C. annuum) dan PI 315023 ( C. chinense). Jatilaba sebagai tetua rentan dan PI 315023 sebagai tetua tahan terhadap penyakit antraknose.2.2 Metode Persilangan

PI315023Jatilaba X

F1 diselfing

F2 365 tanaman

F3

Sebanyak 145 individu dalam populasi F2 dan kedua tetua dikoleksi daunnya untuk keperluan analisis genetik. Data genetik diperoleh melalui isolasi DNA genom dan dianalisis dengan menggunakan markah AFLP dan mikrosatelit2.3 MAS (Marker Assisted Selection)Pemuliaan tanaman merupakan suatu metode yang mengeksploitasi potensi genetik tanaman untuk memaksimumkan ekspresi dari potensi genetik tanaman pada suatu kondisi lingkungan tertentu (Guzhov 1989; Stoskopf et al. 1993). Tujuan pemuliaan tanaman adalah memaksimalkan potensi genetic tanaman melalui perakitan kultivar unggul baru yang berdaya hasil dan berkualitas tinggi, resisten terhadap kendala biotik dan abiotik (Shivanna dan Sawhney1997; Mayo 1980).Teknologi pemuliaan konvensional telah lama dikenal manusia seperti seleksi tanaman melalui fenotipnya dan sejauh ini berhasil meningkatkan produksi tanaman dan masih mampu memenuhi pangan penduduk bumi saat ini. Pemuliaan konvensional memiliki keterbatasan seperti waktu yang diperlukan untuk mengintrogresikan gen-gen yang diinginkan. Teknologi maju seperti MAS sangat diperlukan untuk mengatasi keterbatasan pada teknik pemuliaan karena dengan pemuliaan konvensional tidak akan mampu mengatasi permasalahan-permasalahan pangan pada masa depan. Markah molekuler yang pertama kali dikenal adalah markah protein yang secara genetik dikenal sebagai markah isozim (Hunter dan Markert 1957). Meskipun markah ini telah banyak digu-nakan dalam analisis genetik tanaman, namun dalam perkembangannya, markah isozim masihsangat terba-tas jumlahnya. Selain itu, beberapa sistem enzim ter-tentu dipengaruhi oleh regulasi perkembangan jaring-an, yaitu hanya mengekspresikan suatu sifat pada ja-ringan tertentu.Kedua faktor tersebut merupakan ken-dala utama penggunaan markah isozim dalam meng-eksploitasi potensi genetik tanaman (Hamrick dan Gode 1989).Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, maka pada awal tahun 1980-an ditemukan teknologi molekuler yang berbasis pada DNA. Markah molekuler tersebut dapat menutupi kekurangan dari markah isozim, karena jumlah yang tidak terbatas dan dapat melingkupi seluruh genom tanaman, tidak dipengaruhi oleh regulasi perkembangan jaringan, sehingga dapat dideteksi pada seluruh jaringan, dan memiliki kemampuan yang sangat tinggi dalam menangkap keragaman karakter antar individu (Smithdan Smith 1992).Pemanfaatan markah DNA sebagai alat bantu seleksi Marker Assisted Selection (MAS) lebih menguntungkan dibandingkan dengan seleksi secara fenotipik. Seleksi dengan bantuan markah molekuler didasarkan pada sifat genetik tanaman saja, tidak dipenga-ruhi oleh faktor lingkungan. Dengan demikian, kegiatan pemuliaan tanaman menjadi lebih tepat, cepat, dan relatif lebih hemat biaya dan waktu. Seleksi berdasar-kan karakter fenotipik tanaman di lapang memiliki be-berapa kelemahan seperti yang disarikan oleh Lamadji et al. (1999), di antaranya (1) memerlukan waktu yang cukup lama, (2) kesulitan memilih dengan tepat gen-gen yang menjadi target seleksi untuk diekspresikan pada sifatsifat morfologi atau agronomi, (3) rendah-nya frekuensi individu yang diinginkan yang berada dalam populasi seleksi yang besar, dan (4) fenomena pautan gen antara sifat yang diinginkan dengan sifat tidak diinginkan sulit dipisahkan saat melakukan persilangan.Marker assisted selection(MAS) merupakan metode seleksi yang mengacu pada pemanfaatan marka DNA yang berpautan dengan lokus target, sebagai alat untuk menduga dan membantu seleksi penotipe sifat yang menjadi target pemuliaan. Marka DNA mampu menduga secara akurat keberadaan suatu fenotipe.Tiga tipe markah :1. markah yang berdasarkan pada hibridisasi DNA seperti Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP).2. markah yang berda-sarkan pada reaksi rantai polymerase (Polymerase Chain Reaction, PCR) dengan menggunakan sekuen-sekuen nukleotida sebagai primer, seperti Randomly Amplified Polymorphic DNA (RAPD), dan Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP); dan3. markah yang berdasarkan pada PCR dengan menggunakan primer yang menggabungkan sekuen komplemen-ter spesifik dalam DNA sasaran, seperti Sequence Tagged Sites (STS), Sequence Characterized Amplified Regions (SCARs), Simple Sequence Repets (SSRs) atau mikrosatelit (microsatellites), dan Single Nucleotide Polymorphism (SNPs).Kriteria marka genetik:1. Marka harus mampu membedakan kedua tetua2. Ciri marka diwariskan secara sama dan akurat dari tetua ke turunannya.Setiap markah memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dalam pembahasan makalah ini yang dipilih adalah markah mikrosatelit atau SSR dan markah AFLP. a. Mikrosatelit atau SSRMarkah mikrosatelit merupakan sekuen DNA yang bermotif pendek dan diulang secara tandem dengan 2 sampai 5 unit nukleotida yang tersebar dan me-liputi seluruh genom, terutama pada organism eukariotik. Akhir-akhir ini, mikrosatelit banyak digunakan untuk karakterisasi dan pemetaan genetic tanaman, di antaranya jagung, padi, anggur, kedelai, jawawut, gan-dum, dan tomat (Gupta et al. 1996; Powell et al. 1996). Pasangan primer mikrosatelit(forward dan reverse) diamplifikasi dengan PCR berdasarkan hasil konser-vasi daerah yang diapit (flanking-region) markah untuk suatu gen pada kromosom. Menurut Powell et al. (1996), beberapa pertimbangan untuk penggunaan markah mikrosatelit dalam studi genetik di antaranya (1) markah terdistribusi secara melimpah dan merata dalam genom, variabilitasnya sangat tinggi (banyak alel dalam lokus), sifatnya kodominan dan lokasi ge-nom dapat diketahui; (2) merupakan alat uji yang memiliki reproduksibilitas dan ketepatan yang sangat tinggi; (3) merupakan alat bantu yang sangat akurat untuk membedakan genotipe, evaluasi kemurnian benih, pemetaan, dan seleksi genotip untuk karakter yang diinginkan; (4) studi genetik populasi dan analisis diversitas genetik. Kelemahan teknik ini adalah markah SSR tidak tersedia pada semua spesies tanaman, sehingga untuk merancang primer baru membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang cukup mahal.b. AFLP

Markah AFLP merupakan jenis markah yang berdasarkan pada amplifikasi selektif dari potongan DNA hasil restriksi genomik total dengan enzim restriksi endonuklease. Hasil amplifikasi tersebut dipisahkan dengan elektroforesis, kemudian divisualisasi dengan menggunakan otoradiografi atau pewarnaan perak (silver staining) (Vos et al. 1995). Sebenarnya markah ini mirip markah RAPD, tetapi primernya spesifik dan jumlah pitanya lebih banyak. Markah AFLP dikategorikan sebagai markah kodominan, walaupun pada kenyataannya seringkali diperlakukan sebagai markah dominan. Hal ini diakibatkan sulitnya membedakan intensitas pita antara dominan homozigot dari heterozigot (Setiawan et al. 2000). Keunggulan teknik AFLP menurut Vos et al. (1995), antara lain (1) tidak memerlukan informasi sekuen dari genom dan perangkat (kit) oligonukleotida yang sama ketika dilakukan analisis dan dapat diaplikasikan pada semua spesies tanaman; (2) hasil amplifikasinya stabil, tingkat pengulangan dan variabilitasnya sangat tinggi; (3) memiliki efisiensi yang sangat tinggi dalam pemetaan lokus, karena sekali amplifikasi dapat meliputi beberapa lokus; (4) dapat digunakan untuk menganalisis sidik jari semua DNA dengan mengabaikan kompleksitas dan asal usulnya; (5) da-pat bertindak sebagai jembatan antara peta genetik dan peta fisik pada kromosom. Keterbatasan dari teknik AFLP adalah cara aplikasinya relatif lebih rumit, sehingga memerlukan waktu lebih lama, keterampilan khusus, serta pengadaan alat dan bahan sangat mahal.Tabel. 2.1NoKarakter TargetMarka Molekuler Lokasi di LokusReferensi

1Ketahanan Penyakit AntraknosaMikrosatelit dan AFLPE37M51184cCD, P11M48139CD, P11M48214CD, dan P11M48217CDSanjaya, et al. 2002

2.4 Isolasi DNADNA diisolasi dari jaringan daun muda dengan prosedur miniprep method yang dikembangkan oleh Heusden et al. (2000).2.5 Analisis AFLPReaksi AFLP dilakukan mengikuti prosedur Vos et al. (1995) dengan dua enzim restriksi yang berbeda, yaitu PstI/MseI, yaitu P11M47, P11M48, P11M49, P11M50, P11M51, P11M54, P11M61, P14M48,P14M49,P14M50, P14M58, P14M61, P17M48 dan P37M49. Kombinasi primer Eco RI/MseI yang digunakan adalah E37 M51. Enzim restriksi, adapter dan primer pada table 1.PCR1. Pada tahap pra amplifikasi, setiap primer ditambahkan satu nukleotida selektif dan setelah diamplifikasi, campuran reaksi diencerkan 20 kali2. 12,5l campuran reaksi pra-amplifikasi digunakan untuk amplifikasi final.3. Fragmen amplifikasi dipisahkan pada gel poliakrilamid4. Pada awal program PCR tahap pra-amplifikasi, DNA diupayakan terdenaturasi dengan cara mengatur suhu pada 720C selama 2 menit.5. Kemudian, denaturasi DNA dilakukan pada suhu 940C selama 20 detik, penempelan pada 56 0C selama 30 detik dan sintesis pada 720C selama 2 menitProses amplifikasi dilakukan 19 siklus dan profil reaksi pada amplifikasi final dilakukan dua tahap. Tahap pertama, meliputi 8 siklus, yaitu 5 detik denaturasi pada 940 C, 30 detik penempelan pada 65 0C, dan sintesis selama 2 menit pada 720C. tahap kedua sebanyak 22 siklus, yaitu 5 detik denaturasi pada 940C, 30 detik penempelan pada 560C dan sintesis selama 2 menit pada 720C.

2.6 Analisis SSRs/SSLPReaksi SSRs/SSLP menggunakan 12 tipe markah mikrosatelit, yaitu CAMS1, CAMS12, CAMS13, CAMS15, CAMS20, CAMS22, CAMS23, CAMS3, CAMS4, CAMS6, CAMS7 dan CAMS8. Primer untuk reaksi SSRs/SSLP diperoleh dari Istvan, yaitu primer MDMADSI sebagai titik awal sintesis nukleotida yang digunakan dalam reaksi SSRs/SSLP terdiri atas dua arah, yaitu primer F dan primer R. PCRProses PCR berlangsung dengan menggunakan mesin MJ Research PTC-200.1. Sebanyak1 l DNA template (5 ng) ditambahkan ke dalam 19 l campuran reaksi PCR (2l 10x Promega bufer + 1,6 l MgCl2 (25 mM) + 10,9 l MQ + 0,4 l dNTPs (10 mM) + 2 l primer F + 2l primer R + 0,1 l Promega Taq). Volume total campuran reaksi adalah 20 l2. Profil reaksi PCR terdiri atas suhu awal 940 C selama 3 menit, untuk denaturasi DNA 30 detik pada 940 C, penempelan 30 detik pada 550 C, dan sintesis 60 detik pada 72o C. Tahapan proses ini meliputi 34 siklus. Tahapan proses ini meliputi 34 siklus3. Pada siklus terakhir, proses pemanjangan (extention) basa diperlama menjadi 10-30 menit pada suhu 720 C4. Selanjutnya, produk PCR di-loading pada 2,5% gel agarose untuk mengetahui kualitas hasil pra-amplifikasi5. Produk praamplifikasi yang berkualitas akan memunculkan pola pita berupa smear, selanjutnya produk PCR di-loading pada gel poliakrilamid.ElektroforesisProses elektroforesis dengan gel poliakrilamid berlangsung pada mesin ABI-377 Genetic Analyzer. Visualisasi reaksi SSRs/SSLP menggunakan Primer F yang dilabel dengan fluororescein. Label fluororescein juga diaplikasikan pada primer EcoRI dan PstI dalam reaksi AFLP.2.7 Analisis Keterpautan GenetikProduk PCR hasil reaksi SSRs/SSLP bersama-sama dengan produk PCR hasil reaksi AFLP dielektroforesis pada gel poliakrilamid. Sinyal fragmen SSRs/SSLP dan AFLP sepanjang 100-500 pb diskor sebagai dominan atau kodominan dengan menggunakan piranti lunak AFLP Image Analysis yang dikembangkan oleh Keygene, Belanda. Markah mikrosatelit diberi nama diikuti dengan posisi fragmen pada gel, sedang markah AFLP diberi nama sesuai dengan nama kedua kombinasi primer (misalnya E37M51) diikuti dengan posisi fragmen pada gel. Untuk membangun peta genetik, 145 individu tanaman dipilih secara acak dari suatu populasi F2. Keterpautan markah, pendugaan susunan yang paling tepat pada peta kromosom, dan posisi markah dalam peta yang berhubungan dengan susunan tersebut secara simultan dihitung dengan JoinMap 3.0 berdasarkan metode weighted least square (WLS). Dua markah dikatakan terpaut apabila nilai LOD > 5,0 dan jarak antara keduanya < 30 cM. Ini berarti semua pasangan markah yang terpaut secara statistik dinilai dengan LOD > 5,0 dan _ < 30 cM (fungsi pemetaan menurut Kosambi, 1944).

2.8 Peta Keterpautan GenetikPeta keterpautan genetik hasil persilangan antara Jatilaba (C. annuum) dan PI 315023 (C. chinense) terdiri atas 238 penanda molekuler (20 markah mikrosatelit dan 218 markah AFLP) yang bersegregasi dan terdistribusi ke dalam 23 kelompok pautan dengan panjang total peta 982 cM (Gambar 1). Dengan ratarata kerapatan markah 4 cm, diperkirakan markah telah menutupi sekitar 79% dari keseluruhan genom cabai.Di antara markah molekuler yang digunakan, markah informatif paling banyak dihasilkan dari penanda AFLP. Delapan puluh markah AFLP yang terdeteksi bersifat kodominan. Hal ini sangat menguntungkan dalam pembuatan peta genetik karena markah dominan menghasilkan nilai LOD yang rendah. Apabila markah kodominan tidak ditemukan atau tidak tersedia pada populasi F2 yang digunakan, dianjurkan untuk menggunakan tipe populasi double haploid (DH) atau recombinant inbreed line (RIL) dalam pemetaan genetik. Penanda AFLP akhir-akhir ini banyak diaplikasikan untuk membangun peta genetik cabai (Tanksley et al., 1992; Livingstone et al., 1999; Ben Chaim et al., 2001). Di antara peta genetik cabai, peta yang dibangun Livingstone et al. (1999) adalah yang paling lengkap karena mengandung 1007 markah molekuler yang terhampar sepanjang 1245 cM. Markah P14M50-88j yang terdapat pada kelompok pautan I dalam peta ini juga terdapat pada kromosom 7 dalam peta Ben Chaim et al. (2001). Markah tersebut dilaporkan terpaut dengan QTL pengendali sifat waktu pemasakan buah (ripening date). Markah AFLP yang digunakan dalam pembuatan peta ini juga terdapat dalam peta genetik tomat yang dilaporkan Haanstra et al. (1999). Sebagian besar peta Haanstra et al. (1999) dibangun dari markah EcoRI/ MseI, sedangkan pada penelitian ini digunakan markah AFLP yang berasal dari PstI/MseI karena markah tersebut cenderung lebih menyebar ke seluruh genom dibanding markah EcoRI/MseI yang cenderung mengumpul (Haanstra et al., 1999). Pada pembuatan peta genetik awal, diperlukan markah yang menyebar sepanjang genom. Selain itu, penggunaan PstI/MseI dapat menurunkan kerumitan pita/sinyal sehingga mempermudah proses penyekoran (Baret dan Kidwell, 1998). Sebaliknya, markah-markah yang terpusat diperlukan untuk menjenuhkan daerah genom. Markah AFLP yang terdapat dalam peta Haanstra et al. (1999) dan dalam peta ini adalah P14M49-284, P14M50-296, P14M50-354, dan P14M50-356. Pada peta Haanstra et al. (1999), markah P14M49-284j dan P14M50-296jCD terdapat dalam satu kelompok pautan, yaitu kelompok pautan 1, namun dalam peta ini kedua markah tersebut terpisah ke dalam kelompok pautan yang berbeda, yaitu kelompok pautan O dan J. Markah P14M50-354jCD terletak pada kelompok pautan 7 pada peta Haanstra et al. (1999), tetapi tidak tercakup dalam peta ini. Markah P14M50-356cCD berada pada kelompok pautan 12 dalam peta Haanstra et al. (1999), tetapi dalam peta ini terletak pada kelompok pautan M.

Gambar 1. Peta keterkaitan genetik Capsicum spp. dengan 238 markah AFLP dan mikrosatelit yang tersebar ke dalam 23 kelompok pautan. Angka di sebelah kiri dari setiap kelompok pautan mewakili jarak peta dalam cM menurut fungsi pemetaan Kosambi. Markah yang terkait dalam peta memiliki nilai LOD minimal 5,0. Nama-nama lokus terletak di sebelah kanan kelompok pautan.

Gambar 1. (lanjutan)

Gambar 1. (lanjutan)

Markah yang sama bisa ditempatkan pada kelompok pautan yang berbeda karena posisi dan jarak markah yang sama dapat berbeda pada setiap peta genetik. Berdasarkan hal ini maka kelompok pautan belum dapat dinyatakan sebagai kromosom. Hal yang sama dinyatakan oleh Livingstone et al. (1999) untuk menyetarakan kelompok pautan sebagai nomor kromosom dalam peta genetik. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh: (1) tipe populasi yang digunakan (interspesifik, intraspesifik, double haploid, RIL, back cross); (2) piranti lunak yang diterapkan untuk analisis data (JoinMap, MapMaker); (3) nilai heritabilitas sifat yang dituju (sifat dengan nilai heritabilitas rendah cenderung memiliki QTL yang berubah tergantung keadaan lingkungan); dan (4) fungsi pemetaan yang digunakan (Haldane atau Kosambi). Pada frekuensi rekombinasi yang sama, fungsi pemetaan Haldane akan menghasilkan jarak markah dalam peta yang lebihpanjang daripada fungsi pemetaan Kosambi. Apapun perbedaan yang terdapat dalam peta genetik cabai, dengan menggunakan markah orthologus dimungkinkan untuk melengkapi atau menyempurnakan peta yang ada. Namun, markah orthologus yang terdeteksi dalam peta ini relatif sedikit, sehingga belum cukup untuk mengintegrasikan peta. Pengintegrasian peta diharapkan dapat melengkapi dan menyempurnakan peta genetik Capsicum seperti peta genetik tanaman Solanaceae terutama tomat. Keberadaan markah yang sama dalam peta Haanstra et al. (1999) dan dalam peta ini memperkuat hipotesis bahwa antara struktur genetik cabai dan tomat terdapat segmen genom yang sama. Menurut Livingstone et al. (1999), segmen genom yang sama bisa terletak pada kromosom/kelompok pautan yang sama atau berbeda. Beberapa penelitian membuktikan bahwa spesies cabai dan tomat memiliki lokus yang sama dan mungkin mengendalikan sifat yang sama (Prince et al., 1993; Livingstone et al., 1999; Ben Chaim et al., 2001). Adanya perbedaan genom cabai dan tomat diakibatkan oleh pemisahan dan penggabungan kembali struktur gen pada kromosom selama pemecahan menjadi Lycopersicon dan Capsicum. Pemisahan dan penggabungan kembali struktur gen pada kromosom juga terjadi di antara dan di dalam spesies Capsicum (Pickersgill, 1997).

2.10 Identifikasi QTL untuk sifat ketahanan antraknoseLokus-lokus sifat tahan penyakit antraknose pada daerah kromosom spesifik ditentukan melalui pengujian kosegregasi dengan lokus markah. Pengujian dilakukan terhadap semua markah yang bersegregasi yang terdapat dalam peta. Jarak rata-rata markah pada peta adalah 4 cM dan dinilai sudah mencukupi untuk mendeteksi QTL. Menurut Tanksley (1993), jarak peta 20 cm masih dimungkinkan untuk mendeteksi QTL. Dengan menggunakan piranti lunak MapQTL4.0 dan LOD > 3,0 sebagai tingkat signifikansi minimum untuk mendeteksi QTL, teridentifikasi enam QTL.Tiga QTL terpaut pada markah yang sama pada kelompok pautan N (Gambar 2), dan tiga QTL lainnya masing-masing tersebar pada kelompok pautan G, K, dan L (Gambar 3). QTL yang terdeteksi sebanyak 6 pada penelitian ini membuktikan bahwa sifat resisten terhadap antraknose dikendalikan secara poligenik,yaitu satu gen major dan tiga gen minor. Gen major yang terdeteksi pada kelompok pautan N merupakan suatu efek pleitrofi. Efek pleitrofi yaitu satu gen utama yang menghasilkan beberapa ekspresi sifat yang berbeda, seperti keparahan penyakit, kejadian penyakit, dan rataan diameter lesio akibat infeksi C. gloeosporioides dan C. capsici. Efek pleitrofi bisa juga terjadi karena pengaruh beberapa gen yang mengendalikan ekspresi sifat yang sama, yaitu sifat ketahanan terhadap penyakit antraknose yang disebabkan oleh Colletotrichum spp. Dari enam QTL yang terdeteksi, tiga QTL (satu untuk rataan diameter lesio oleh infeksi C. gloeosporioides, satu untuk rataan diameter lesio oleh infeksi C. capsici,

Gambar 2. Gen major yang terdeteksi pada kelompok pautan N. Daerah pada kromosom tempat QTL terdeteksi ditandai dengan warna coklat muda (QTL keparahan penyakit), hijau (QTL kejadian penyakit), kuning (QTL rataan diameter lesion akibat infeksi C. gloeosporioides), dan jingga (QTL rataan diameter lesio akibat infeksi C. capsici).

Gambar 3. Tiga gen minor yang terdeteksi pada kelompok pautan G, K, dan L. Semua QTL terkait dengan sifat keparahan penyakit akibat infeksi C. gloeosporioides.

dan satu untuk persentase buah terinfeksi C. gloeosporioides) terpaut erat pada markah yang sama (E37M51184cCD) dan berada pada lokasi yang sama. Ini menunjukkan bahwa ketiga QTL tersebut hampir identik dan terpaut satu dengan lainnya. Markah AFLP yang terpaut dengan ketiga QTL minor tersebut berturut-turut adalah P11M48139CD, P11M48214CD, dan P11M48217CD. QTL yang terpaut dengan markah P11M48217CD merupakan QTL yang memiliki variasi genetic terbesar, yaitu 11,1%. Ketiga QTL minor tersebut memiliki rentang lebih lebar dan kurva relatif landai (Gambar 3), hal tersebut menunjukkan korelasi yang relatif rendah antara markah dan QTL. Oleh karena itu, diperlukan penjenuhan daerah genom tersebut dengan markah lainnya. Ooijen (1999) melaporkan bahwa kurva dengan bentuk kerucut lebih baik dan lebih tepat untuk mendeteksi QTL. Banyaknya QTL yang ditemukan pada penelitian ini menunjukkan bahwa gen yang mengendalikan sifat ketahanan terhadap antraknose relatif banyak. QTL yang terdeteksi lebih dari satu (2-6 QTL) untuk satu sifat juga dilaporkan oleh Ben Chaim et al. (2001), yang disebabkan oleh adanya interaksi antara genetic dan lingkungan. Semua markah molekuler yang terpaut QTL berasal dari tetua tahan PI 315023 (C. chinense) dan bersifat kodominan, yaitu E37M51184cCD; P11M48139CD; P11M48214CD; dan P11M48217CD. Sifat-sifat baik dari C. chinense yang perlu dilestarikan untuk memperbaiki cabai C. annuum dilaporkan oleh Cheng (1989). Menurut Ben Chaim et al. (2001) dan Heusden et al. (2001), QTL cenderung berubah setiap tahun untuk suatu sifat yang memiliki nilai heritabilitas rendah. Untuk sifat yang memiliki nilai heritabilitas tinggi, QTL tidak berubah. Nilai LOD dari QTL yang dilaporkan oleh kedua peneliti tersebut berkisar antara 2,8-2,9. Ooijen (1999) menyarankan jika banyak QTL yang terdeteksi, perlu dipilih QTL yang paling besar menerangkan variasi genetik. Dari ketiga QTL minor tersebut, markah P11M48217CD paling besar menerangkan variasi genetik (11,1%) dibanding kedua QTL minor lainnya (masing-masing 7,7 dan 7,3%). Markah E37M51184cCD yang terpaut dengan QTL major memilikikeunggulan dibanding markah lainnya, yaitu nilai LOD tinggi (> 5,5), kontribusi terhadap sifat resisten paling besar, dan tipe pengendalian sifat resistensi yang lebih luas (C. gloeosporioides dan C. capsici)

BAB IIIKESIMPULAN

Peta genetik Capsicum hasil persilangan interspesifik antara Jatilaba (C. annuum) dan PI 315023 (C. chinense) terdiri atas 23 kelompok pautan dengan total markah 238 yang terhampar sepanjang 982 cM. Semua markah molekuler yang terpaut QTL berasal dari tetua tahan penyakit antraknose PI 315023 (C. chinense) dan bersifat kodominan, yaitu E37M51184cCD; P11M48139CD; P11M48214CD; dan P11M48217CD.

DAFTAR PUSTAKA

Azrai Muhammad.-. Pemanfaatan Markah Molekuler dalam Proses Seleksi Pemuliaan Tanaman. Dikutip dari: http://www.fp.unud.ac.id/biotek/wp-content/uploads/2009/02/mas-biogen.pdf. pada tanggal 22 Mei 2013

Lia Sanjaya, G.A., Wattimena, E.Guharja, M.Yusuf, H. Aswidinnoor, Piet Stam.2002. Pemetaan QTL untuk sifat ketahanan terhadap penyakit antraknosa pada Capsicum spp. Dikutip dari : http://www.pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/bi072022.pdf. pata tanggal 10 Mei 2013

1 | Page