Click here to load reader
Upload
irvan-nugraha
View
559
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
KAPABILITAS SISTEM POLTIK INDONESIA SAAT INI
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah sistem hukum Indonesia
di susun oleh :Irvan Nugraha170111080044
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLTIK JURUSAN ADMINISTRASI NEGARA
UNIVERSITAS PADJADJARANBANDUNG
2010
KATA PENGANTAR
Assalamu’allaikum Warrahmatullaahi Wabarrakatuh
Dengan memanjatkan puji serta syukur kehadirat Allah S.W.T, yang telah
memberikan rahmat, karunia dan hidayah yang telah diberikan-Nya, sehinggga penulis
dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mengalami berbagai
kesulitan,namun berkat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak akhirnya Laporan
ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangannya dan masih jauh dari sempurna, dikarenakan keterbatasan
pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman penulis. Oleh karenanya, kritik dan saran
yang membangun sangat diharapkan dan dinantikan oleh penulis untuk perbaikan
wawasan dikemudian hari.
Akhirnya penulis panjatkan doa semoga Allah S.W.T memberikan taufik dan
Hidayah-Nya kepada kita semua. Amin.
Billahitaufik Walhidayah
Wassalamu’allaikum Warrahmatullaahi Wabarakatuh
Bandung, July 2010 Penulis
Irvan Nugraha
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………… i
DAFTAR ISI…………………………………………………………… ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang masalah ……………………………….. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian system politik ………………………………. 4
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Pembahasan …………………………………………….. 7
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ……………………………………………... 14
4.2 Saran ……………………………………………………. 15
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah
kehidupan politik yang dilihat sebuah sistem dari suatu kegiatan dimana kegiatan
tersebut saling berhubungan untuk menerapkan asumsi implisit kesaling hubungan
bagian-bagian tersebut sebagai pangkal tolak berpikir dalam melaksanakan suatu
penelitian, dan untuk memandang kehidupan politik sebagai suatu sistem kegiatan-
kegiatan yang saling berkaitan. Suatu sistem politik tidak hidup dalam suatu ruang
hampa dan senantiasa hidup dalam suatu lingkungan tertentu. Lingkungan ini dapat
dibedakan menjadi lingkungan domestik dan internasional. Salah satu sifat penting
sistem politik adalah kemampuannya untuk dibedakan dengan sistem lainnya, seperti
organisme atau individu.
Pemahaman tentang struktur dan budaya politik memegang peran penting dalam
memahami kerangka kerja sistem politik. Sistem politik memerlukan badan-badan atau
struktur-struktur yang akan bekerja dalam sistem politik seperti parlemen, birokrasi,
badan peradilan, dan partai politik yang melaksanakan kegiatan atau fungsi-fungsi
tertentu. Dalam suatu sistem politik, biasanya, terdapat fungsi yang hampir selalu ada,
fungsi tersebut adalah kapabilitas atau kemampuan system politik.
Proses politik mengisyaratkan harus adanya kapabilitas sistem. Kapabilitas
sistem adalah kemampuan sistem untuk menghadapi kenyataan dan tantangan.
Pandangan mengenai keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini berbeda diantara
para pakar politik. Ahli politik zaman klasik seperti Aristoteles dan Plato dan diikuti oleh
teoritisi liberal abad ke-18 dan 19 melihat prestasi politik dikuru dari sudut moral.
Sedangkan pada masa modern sekarang ahli politik melihatnya dari tingkat prestasi
(performance level) yaitu seberapa besar pengaruh lingkungan dalam masyarakat,
lingkungan luar masyarakat dan lingkungan internasional.
Pengaruh ini akan memunculkan perubahan politik. Adapun pelaku perubahan
politik bisa dari elit politik, atau dari kelompok infrastruktur politik dan dari lingkungan
internasional.
Perubahan ini besaran maupun isi aliran berupa input dan output. Proes
mengkonversi input menjadi output dilakukan oleh penjaga gawang (gatekeeper).
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian kapabilitas system politik
Kapabilitas suatu system politik dapat di nilai dari pengaruh-pengaruh yang
masuk kedalam system politik, baik yang berasal dari lingkungan domestik maupun
lingkungan internasional.
Menurut Almond, untuk menetukan realitas kegagalan sistem politik,
memerlukan serangkaian parameter yang sekaligus pemenuhan didalamnya menjadi
sebuah tawaran solusi. Dikatakan bahwasanya setiap sistem politik harus memiliki
enam jenis kemampuan, yaitu :
1. Kapabilitas Ekstraktif, yaitu kemampuan daripada sistem politik dalam mengelola
sumber-sumber material dan manusiawi dari lingkungan dalam maupun luar.
Kemampuan ini dapat dilihat dari berbagai segi, salah satunya adalah jumlah
sumber yang masuk ke dalam sistem politik dari berbagai tingkatan – baik
tingkatan nasional, regioanal, maupun lokal – serta darimana sumber-sumber itu
berasal.
2. Kapabilitas Regulatif, yakni kemampuan daripada sistem politik untuk
mengendalikan atau mengatur tingkah laku individu-individu atau kelompok
individu yang ada di dalam suatu sistem politik. Point ini biasanya dilakukan
dengan cara menerapkan peraturan-peraturan secara umum, dimana tolok ukur
penilaiannya terletak pada sejauh mana pola-pola tingkah laku dari pada
individu-individu yang ada beserta berbagai bidang di dalamnya dapat diatur oleh
suatu sistem politik.
3. Kapabilitas Distributif, yakni kemampuan suatu sistem politik dalam
mengalokasikan atau mendistribusikan sumber-sumber material dan jasa-jasa
kepada individu dan kelompok yang ada di dalam masyarakat.
4. Kapabilitas Simbolik, yakni kemampuan yang memeberikan gambaran tentang
efektifitas mengalirnya symbol-simbol daripada suatu sistem politik ke dalam
maupun ke luar. Kurangya kepercayaan lingkungan atas symbol-simbol itu, bisa
menyebabkan timbulnya kritikan dan ejekan terhadapnya. Daan efektif tidaknya
kepercayaan lingkunagan atas symbol tersebut, merupakan salah satu faktor
penting yang menetuklan tingkat kemampuan sistem politik.
5. Kapabilitas Responsif, yakni kemampuan sistem politik untuk menanggapi
tuntutan-tuntutan, tekanan-tekanan, ataupun dukungan-dukungan yang berasal
dari lingkungan dalam mapun luar. Tinggi-rendahnya kemampuan ini dapat
diukur dari tingkat kepekaan sistem politik terhadap arus tuntutan, tekanan, atau
dukungan itu tadi.
6. Kapabilitas Domestik dan Internasional, yakni kemampuan yang
memperlihatkan suatu keberadaan sistem politik di lingkungan dalam (domestik)
maupun luar (internasional).
Dengan alat Bantu (tools) enam parameter kemampuan diatas, kita harus dapat
berupaya membaca apa sebenarnya dasar permasalahan terjadi dalam pemerintahan
kita. Dan hal ini harus kita lakukan secara kasus-per kasus, kalaupun kita bisa
menemukan korelasinya secara implicit maupun eksplisit penyelsaiannya pun juga
harus bisa dilakuakan sama-sama secara seksama.
Tingkah laku suatu system politik dapat dilihat dari
kemampuan-kemampuan/kapabilitas sekstraktif, regulatife, distributife, responsive dan
simbolik secara internasional.
Factor-faktor yang mempengaruhi kemampuan/kapabilitas system politik adalah :
a. Tanggapan/respon dari para elit politik terhadap input (tuntutan-dukungan), baik
dari masyarakat sendiri maupun dari masyarakat internasional.
b. Sumber-sumber material yang diperlukan untuk melaksanakan/menjalankan
system poltik.
c. Aparat-aparat organisasi/birokrasi dari system politik dengan kata lain : apakah
birokrasi berjalan secara efektif.
d. Tingkat dukungan terhadap system politik itu.
BAB IIIPEMBAHASAN
3.1 Pembahasan
Sejak reformasi sistem politik Indonesia menunjukkan kinerja yang buruk. Hal ini
bisa dilihat dari rendahnya keseluruhan kapabilitas yang dimiliki oleh sistem politik,
yakni kapabilitas ekstraktif, kapabilitas distributif, kapabilitas simbolik, kapabilitas
responsif, dan kapabilitas regulatif.
Ketidakmampuan sistem politik tampak dalam mendayagunakan sumber-sumber
material dan sumber daya manusia yang melimpah. Sekalipun Indonesia memiliki
sumber alam yang melimpah yang bisa digunakan untuk menyelesaikan persoalan
kemiskinan dan pengangguran misalnya, tetapi sistem politik tidak mempunyai
komitmen yang sungguh-sungguh dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan.
Sumber daya alam tetap menjadi monopoli kelompok masyarakat tertentu, dan
kemiskinan tetap menjadi persoalan yang tetap tidak pernah diselesaikan dari waktu ke
waktu. Buruknya kapabilitas ekstraktif di atas juga berimbas pada buruknya kapabilitas
distributif sistem politik Indonesia.
Hingga saat ini, masalah kesenjangan dalam distribusi pendapatan dan
kekayaan tidak pernah mendapatkan perhatian secara serius. Malahan ada
kecenderungan semakin memburuk mengenai hal ini. Kebijakan ekonomi neoliberal
yang semakin intensif dilakukan oleh pemerintahan SBY telah membuat ketimpangan
dan kesenjangan antara kelompok yang kaya dan kelompok yang miskin semakin
memprihatinkan. Biaya pendidikan semakin mahal sehingga hanya kelompok tertentu
saja yang mampu mengakses, demikian pula dalam pelayanan kesehatan. Semakin
mahalnya biaya kesehatan membuat masyarakat miskin tidak lagi memperoleh
pelayanan kesehatan yang layak, sementara kelompok yang kaya dapat memilih jenis
pelayanan kesehatan apapun, termasuk pelayanan standar internasional.
Buruknya kapabilitas simbolik bisa dilihat dari perilaku elite politik yang tidak bisa
melakukan empati diri di tengah kemiskinan yang berlangsung akut. Para elite politik
tetap hidup dengan gaji dan gaya hidup yang sangat berlebihan, sementara pada waktu
yang sama, sebagian besar masyarakat hidup dalam serba kekurangan dan
penderitaan yang mengenaskan. Buruknya kapabilitas responsif ditunjukkan oleh
sistem politik terhadap tuntutan-tuntutan rakyat. Sistem politik demokrasi pada
dasarnya bukan hanya sistem politik yang semata-mata menyandarkan pada ada
tidaknya proses pemilihan pemimpin secara adil dan jujur, berlangsung secara reguler
menurut tradisi demokrasi Schumpeterian.
Lebih dari itu, sistem politik demokrasi adalah sistem politik yang mempunyai
tingkat kepekaan dan tanggung jawab (accountability) terhadap masyarakat luas atau
warganegara. Dalam kenyataannya, sistem politik demokrasi yang muncul pada era
reformasi tidak menunjukkan responsivitas terhadap tuntutan-tuntutan dari masyarakat
luas. Sistem politik masih tetap merepresentasikan dirinya sebagai sistem patrimonial
otoriter yang sebenarnya tidak berbeda jauh dengan sistem politik Orde Baru.
Di sisi lain, pelembagaan politik melalui partai berlangsung sangat lamban. Partai
politik yang seharusnya menjadi media partisipasi, artikulasi, dan agregasi kepentingan
masyarakat luas, pada kenyataannya hanya menjadi alat meraih kekuasaan politik, dan
elite partai politik terlibat dalam konflik-konflik yang tidak produktif. Sementara itu,
kapabilitas regulatif sistem politik juga tidak kalah buruknya. Jika sistem politik dimaknai
sebagai semua interaksi yang mempengaruhi semua penggunaan paksaan fisik yang
sah, maka dapat dilihat bagaimana ketidakefektifan sistem politik dalam hal ini. Dalam
sistem politik demokrasi yang mendasarkan pada legalitas hukum, sebagaimana di
Indonesia, teramat mudah ditemukan kelompok-kelompok preman yang sewaktu-waktu
dapat memaksakan kehendak dan kepentingan mereka dengan kekerasan tanpa
aparat negara mampu mencegahnya. Kasus-kasus pengrusakan kantor atau tempat
ibadah dapat dijadikan contoh dalam hal ini. Tentunya, kondisi seperti ini sangat buruk
bagi kinerja sistem politik.
Bagaimanapun sistem politik harus mampu untuk melindungi warganegara dan
hak miliknya dari tindakan kekerasan dan pengrusakan. Rendahnya kapabilitas regulatif
bisa dilihat pula dari ketidakmampuan sistem politik dalam mengadili para koruptor
kelas kakap dan para pelanggar HAM. Buruknya kapabilitas sistem politik tentunya
berimbas pada buruknya atau rendahnya kinerja sistem politik Indonesia. Hal ini
tentunya tidak bisa dilepaskan dari ketiadaan perubahan budaya politik yang
menopangnya. Sekalipun struktur politiknya telah mengalami perubahan menjadi lebih
demokratis, tetapi tidak pada budaya politiknya. Budaya politik era reformasi tetap
masih bercorak patrimonial, berorentasi kepada kekuasaan dan kekayaan (power and
wealth), dan bersifat sangat paternalistik.
Buruknya kinerja sistem politik tentu sangat merncemaskan bagi kelangsungan
hidup bangsa dan negara dalam sebuah era globalisasi neoliberal. Untuk bisa survive,
dan sekaligus tidak menjadi pecundang (the looser), negara harus kuat dan tangguh
dalam pengertian memiliki power and wealth. Namun dalam kenyataannya, Indonesia
telah menjadi negara yang sangat lemah (a very weak state), padahal mempunyai
sumber daya alam yang sangat melimpah. Ini karena buruknya kinerja sistem politik
dalam memecahkan persoalan-persoalan bangsa dan negara. Dalam pandangan
Chomsky, Indonesia bisa dimasukkan ke dalam apa yang disebutnya sebagai negara
yang gagal atau a failed state.
Pada masa sekarang ini juga, sistem politik Indonesia Selalu saja ada perbedaan
antara harapan masyarakat dengan realitas kebijakan lembaga-lembaga pemerintah.
Entah itu lembaga eksekutif, legislatife, bahkan yudikatif sekalipun. Entah itu di
tingkatan nasional, regional, dan lokal; bahkan tingkatan desa sekalipun.
Tentunya hal ini menjadi keprihatinan bagi kita semua yang merasakan adanya
ketidakadilan didalamnya, yang merasakan adanya penghambatan atas yang hak dan –
mungkin - pengutamaan akan yang bathil. Di saat semua kelembagaan pemerintahan
dapat ikut bergerak bersama harapan ‘reformasi’ dari masyarakat, dan menjadi motor
penggerak ke arah pembangunan demokrasi di negara ini.
Kegagalan secara mekanik dari lembaga-lembaga politik yang ada jelas salah
satu contohnya ternyata menghasilkan kasus-kasus seperti. Selisih pendapat perihal
pemanggilan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan sebagai saksi yang
mengakibatkan tertundanya sidang perkara Harini Wijoso dan Pono Waluyo membuat
geregetan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). mereka menuding
penolakan ketua majelis hakim Kresna Menon atas permohonan penuntut umum
Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menghadirkan Bagir sebagai bentuk esprit de
corps untuk melindungi atasan. Selain itu, mereka mengecam indikasi intimidasi yang
dilakukan oleh salah satu hakim agung dalam proses pemanggilan hakim tindak pidana
korupsi (Tipikor).
Namun penjelasan yang mendalam terkait masing-masing kasus tidak bisa
menggambarkan dimana letak kesalahan konseptual politik yang seharusnya. Dilihat
dari logika kompetensi fungsi dan wewenang politik serta pengambil kebijakan (decision
maker), pada dasarnya adalah kegagalan setiap lembaga politik beserta individu-
individu yang ada didalamnya. Presiden-DPR-MA-Kejagung, Gubernur-DPRD Propinsi-
PT-Kejati, Walikota/ Bupati-DPRD Kab/ Kota-PN-Kejari; bahkan hingga Kepala Desa-
BPD sekalipun. Ini Adalah kegagalan mereka dalam untuk bekerja di dalam sistem
politik dimana mereka berada.
Besarnya pengaruh kinerja lembaga-lembaga politik yang ada, - yang ada dalam
sistem politik -, dapat dilihat dari eksistensi lembaga-lembaga (struktur-struktur) politik
tersebut dalam sistem politik.
Ketika ada berbagai lembaga politik, yang tentunya sudah pasti berada dalam
suatu sistem politik tertentu, tidak bisa mngejewantahkan ciri-ciri ini menjadi gambaran
‘kecil’ dari kinerjanya maka sudah tentu akan hanya ada satu sintesis yang biasa kita
alamatkan padanya. Kegagalan. Kegagalan suatau sistem politik untuk bekerja secara
maksimal di tengah iklim dan harapan politik yang begitu kondusif, merupakan hal yang
patut disesali, walaupun sebenarnya bagi sebagian kalangan hal ini merupakan hal
yang menarik untuk dipelajari.
Lembaga politik tersebut tidak bisa menunjukkan eksistensinya dengan memiliki
keempat cirri-ciri tersebut. Dengan demikian permasalahan ini akan berdampak pada
kualitas serta kuantitas kinerja yang dapat dilakukannya dalam sistem politik tersebut.
Lihatlah peristiwa ’98 dimana Soeharto tidak mau menerima tuntutan dari mahasiswa
kala itu untuk turun sehingga akhirnya dia harus menyerah juga. gambaran noumena ini
adalah relaitas yang mudah ditemui di sekitar kita. Dalam berbagai tingkatan sistem
politik di bumi pertiwi ini
BAB IVPENUTUP
4.1 Kesimpulan
Di era pemerintahan SBY ini, sistem politik di Indonesia belum sepenuhnya
berjalan dengan baik. Hal ini dapat dilihat rendahnya kapabilitas yang dimilki oleh
sistem politik yaitu kapabilitas ekstraktif, kapabilitas distributif, kapabilitas simbolik,
kapabilitas responsif, dan kapabilitas regulatif.
Buruknya kapabilitas simbolik bisa dilihat dari perilaku elit politik yang bisa
melakukan empati di tengah kemiskinan. Dan di sisi lain kelembagaan politik
berlangsung sangat lambat partai poltik seharusnya menjadi media partisipasi, artikulasi
dan agregasi kepentingan luas tetapi kenyataanya hanya menjadi alat meraih
kekuasaan politik dan elit politik terlibat dalam konflik-konflik yang tidak produktif.
Juga, sistem politik Indonesia Selalu saja ada perbedaan antara harapan
masyarakat dengan realitas kebijakan lembaga-lembaga pemerintah. Baik itu lembaga
eksekutif, legislatife, bahkan yudikatif sekalipun. Entah itu di tingkatan nasional,
regional, dan lokal; bahkan tingkatan desa sekalipun.
4.2 Saran
Untuk dapat menjaga stsbilitas iklim politik di Indonesia ini perlu adanya
pertisipasi dari semua pihak. Dan untuk menjalankan system politik di Indonesia yang
baik dan benar perlu adanya kesadaran dari semua pihak terutama dari para elit politik
dan juga penerima wewenang atau stackholders untuk bisa menjalankan pemerintahan
yang baik dan transparan. Dengan tidak adanya peraktek korupsi kolusi dan nepotisme
yang dapat merugikan Negara.