TUGAS UAS SOSIOLOGI

Embed Size (px)

Citation preview

LATAR BELAKANG Indonesia adalah Negara yang yang berasaskan Pancasila.[footnoteRef:2] Undang-undang Dasar 1945 merupakan sumber hukum tertinggi sebagai dasar berlakunya hukumdi Negara Republik Indonesia, artinya setiap produk hukum yang akan dilahirkan harus sesuai dengan amanah yang tertuang pada pembukaan alinea ke empat UUD 1945 menyatakan dengan tegas penyelenggaraan pemerintahan Negara Republik Indonesia harus menyelenggarakan urusan kenegaraan yang dapat memberikan kesejahteraan bagi segenap bangsa Indonesia sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. [2: Pancasila berasal dari bahasa sanskerta, secara harfiah terdiri dari dua kata panca yang artinya lima, dan sila yaitu sila atau ayat, yang merupakan landasan filosofis bangsa Indonesia, dan merupakan alat pemersatu bangsa, dilambangkan pada sebuah bentuk burung yaitu burung garuda.]

Indonesia adalah Negara hukum, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, artinya segala ketentuan penyelenggaraan pemerintahan Negara Indonesia adalah berdasarkan hukum, dan hukumlah yang menjadi panglima tertinggi dalam berjalannya proses penyelenggaraan kenegaraan itu. Dalam berjalannya hukum di Negara Indonesia bertujuan agar dapat memberikan perlindungan dan rasa aman yang memang dapat dijamin sepenuhnyaoleh Negara sebagai bentuk pengayoman kepada masyarakat sehingga dapat terwujudnya kesejahteraan dalam masyarakat.Sistem hukum Indonesia berasal dari Belanda sebagai negara yang pernah menguasai Indonesia, sehingga sistem hukum Belanda diterapkan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi, hukum Belanda berada dalam lingkungan sistem hukum Eropa Continental (civil law). Sistem hukum Indonesia juga termasuk dalam lingkungan sistem hukum civil law, sehinggan hakim Indonesia dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara , termasuk pula didalamnya mengenai masalah penemuan hukum, dipengaruhi oleh sistem hukum civil law tersebut.Karekteristik sistem hukum civil law ditandai dengan adanya kodifikasi atau pembukuan hukum atau undang-undang dalam satu kitab (coder).[footnoteRef:3] Dalam suatu kodifikasi dihimpun sebanyak-banyaknya ketentuan-ketentuan hukum yang disusun secara sistematis. Adanya suatu undang-undang tersendiri mengenai delik-delik tertentu, dalam kodifikasi undang-undang hukum pidana jika dipandang hal itu memang diperlukan.[footnoteRef:4] [3: Sebelum tanggal 1 Januari 1918, Indonesia (yang kala itu masih bernama Nederlands Indie) berlaku 2 (dua) WvS (Wetboek van Strafrecht). Pertama, WvS tahun 1866 yang diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1867, yang berlaku untuk golongan Eropa, yang merupakan kodifikasi dari WvS Belanda. Kedua WvS yang diberlakukan pada tanggal 1 Januari1873, khusus untuk golongan pribumi dan Timur Asing. Keduanya selaras dengan Code Penal Prancis . Kemudian pada tanggal 1918, pemerintah Kolonial Belanda menghapuskan dualisme tersebut dan diadakan unifikasi terhadap ketentuan hukum pidana, yaitu dengan memberlakukan Wetboek van Srafrecht Nederland Indie sebagai satu-satunya ketentuan hukum pidana yang berlaku di Hindia Belanda, dan kemudian setelah Indonesia merdeka, maka berdasarkan Pasal II aturan peralihan UUD 1945 dan UU No 1 Tahun 1946 dinyatakan bahwa WvS tersebut diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia. ] [4: Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 17.]

Proses berjalannya penegakan hukum di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dengan pengaruh-pengaruh lain, seperti hukum yang hidup dan berlaku dalam kehidupan masyarakat pribumi atau yang disebut dengan hukum kebiasaan / adat istiadat, dan hukum kebiasaan merupakan salah satu sumber hukum dalam pembentukan hukum formil di Indonesia, selain itu hukum di Indonesia juga dipengaruhi oleh hukum islam, hal ini dikarenakan mayoritas penduduk indonesia merupakan pemeluk agama islam, jadi nilai-nilai dari kedua aspek hukum ini sedikit banyak akan mempengaruhi pembentukan dan pembangunan hukum positif di Indonesia.Eksistensi hukum pada hakikatnya adalah untuk mengatur kehidupan atau hubungan pergaulan hidup dalam masyarakat, baik antara orang yang sama dengan lain, antara orang dengan negara dan mengatur hubungan antara lembaga-lembaga negara yang ada pada undang-undang negara termasuk dalam pelaksanaan fungsinya secara keseluruhan, dalam hal ini sangat penting untuk diperhatikan khususnya oleh seluruh aparat penegak hukum dalam rangka kekuasaan yang dijalankan agar dalam setiap tindakannya dapat mencerminkan hakikat dari pada hukum itu. Sehingga dengan demikian perbuatan semena-mena yang menjauhkan cita-cita hukum itu dapat dihindarkan, dan terwujudnya suatu keadilan sosial.[footnoteRef:5] [5: Ikandar Siahaan, 1982, Hukum dan Kecongkakan Kekuasaan, Jakarta: Dalam Pelita, hal. 4.]

Di Indonesia penyelenggaraan penegakan hukum didasarkan atas ketentuan undang-undang. Berbagai bentuk penegakan hukum, seseorang akan dapat dituntut apabila telah melanggar hal-hal yang telah dirumuskan oleh peraturan perundang-undangan. Penegak hukum dalam mengambil tindakan harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sebagaiman mahzab positivistik dalam hukum. Segala ketentuan hukum haruslah dikodifikasikan yaitu dalam bentuk peraturan-peraturan yang dibuat oleh lembaga yang berwenang (legislative).[footnoteRef:6] [6: Dikutip dari Ade Maman Suherman, 2009, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo, hal. 37-39. ]

Keberadaan hukum kebiasaan dalam masyarakat dan bagaimana bentuk implementasi nilai hukum yang ada dalam masyarakat atau yang dikatakan dengan sosiologi hukum tidak dapat dikesampingkan begitu saja oleh seperangkat peraturan perundang-undangan, karena undang-undang sendiri tidak akan mungkin mampu mengakomodir seluruh kepentingan masyarakat, apabila perkembangan masyarakat yang sangat pesat dengan segala kompleksitasnya seperti saat sekarang ini, sebagaimana adagium Het recht hink achter de feiten aam yang artinya adalah Hukum itu tertinggal dari peristiwanya. Adapun hukum yang dimaksud disini ialah hukum tertulis atau undang-undang. Perubahan hukum itu harus melalui prosedur. Dengan demikian, pengubahan hukum untuk disesuaikan dengan keadaan tidak dapat setiap kali dilakukan.[footnoteRef:7] Jadi dapat dikatakan bahwa peraturan perundang-undangan saja tidak akan mampu merespon sepenuhnya keadaan masyarakat yang dinamis sehingga diperlukan langkah-langkah penegakan hukum diluar konteks peraturan perundang-undangan saja. Untuk itulah disini dapat dilihat adanya peran-peran yang harus dimainkan oleh aparatur penegak hukum terutama hakim dalam mengkonkritkan suatu peristiwa hukum yang abstrak menjadi konkrit. [7: Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, hal. 103.]

Dari dahulu hingga saat ini mayoritas masyarakat Indonesia masih mengikatkan diri baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap ketentuan hukum adat, bahkan pengakuan terhadapberlakunya hukum adat ini juga telah ditegaskan oleh Negara sebagaimana yang terdapat dalam bunyi Pasal 18B ayat 2 UUD 1945 tentang adanya suatu pengakuan terhadap keberadaan hukum adat, dalam hal ini bukan berarti peraturan perundang-undangan dapat dikesampingkan , namun dalam hal penegakan hukum yang dilihat yaitu bagaimana kemampuan dari suatu produk undang-undang mampu memberikan suatu keadaan yang tertib dalam masyarakat untuk mencapai tujuan hukum itu, yakni keadilan-lah yang menjadi tujuan tertingginya hukum, sebagaimana ungkapan equum et bonum est lex legum(yang adil dan baik adalah hukumnya hukum), jadi seharusnya kedua hukum (hukum nasional yang bersifat legalistik formal dan hukum masyarakat pribumi yaitu hukum adat) tersebut dapat saling mengisi bukannya saling meniadakan yang lainnya, dengan adanya pengaturan yang pasti didalam peraturan perundang-undangan seharusnya dapat melindungi keberadaan suatu tatanan di dalam masyarakat yang selama ini telah ada di Indonesia sebelum lahirnya tatanan hukum yang dinamakan dengan hukum modern (mulai berkembang sekitar abad ke-18/19 dikalangan sosial kultur masyarakat Eropa) yaitu aturan hukum berupa seperangkat aturan hukum dalam bentuk tertulis yang dibuat oleh lembaga yang berwenang atau disebut juga dengan peraturan perundang-undangan.Menurut pandangan aliran teori utilities dengan salah satu ahlinya yaitu Jeremmy Bentham hukum bertujuan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang dan karena apa yang berfaedah bagi orang atau mungkin merugikan orang lain, maka menurut teori utilistis tujuan hukum adalah menjamin adanya kebahagiaan sebanyak-banyaknya, sedangkan menurut Bellefroid isi hukum ditentukan menurut dua asas, yaitu keadilan dan faedah. Selanjutnya menurut Prof. Mr. J. Van Kan, bahwa hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingan-kepentingan itu tidak dapat diganggu. Jelas disini hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat.[footnoteRef:8] Jadi dari beberapa pandangan ahli mengenai tujuan hukum dapatlah ditarik kesimpulan bahwa hukum haruslah dapat memberikan keadilan, dan adanya jaminan hukum atau kepastian hukum, hal ini sesuai dengan pendapat Gustav Radbrugh, tujuan dari hukum yaitu, mencapai keadilan, kemanfaatan, dan adanya kepastian hukum, namun apabila terdapat pertentangan diantara masing-masing tujuan hukum tersebut, maka keadilanlah yang lebih didahulukan, dan kepastian hukum diletakkan pada posisi akhir.[footnoteRef:9] Sedangkan menurut pendapat Eugen Erlich dengan the living law theory, mengatakan hukum yang baik adalah hukum yang hidup ditengah-tengah masyarakat.[footnoteRef:10] [8: C. S. T.Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, hal. 44] [9: Lihat www. Hukum online/ Filsafat Hukum dan Perkembangan Hukum. Di akses pada 6 Februari 2014.] [10: Ibid, hal. 45]

Mengenai konteks hukum dalam bernegara, yaitu negara haruslah dapat memberikan suatu keadaan yang aman dan damai dalam kehidupan masyarakat, jadi sedapat mungkin negara yang fungsinya sebagai pengayom dan pelindung terhadap masyarakat dengan adanya penegak hukum, namun apabila terjadi suatu persoalan yang terkait akan ketentraman dalam kehidupan masyarakat maka negara akan memberikan ancaman bagi setiap orang yang telah merusak tatanan, ketentraman dan keseimbangan tersebut dengan kewenangan memaksa untuk dapat menjalankan fungsi organ-organ negara dengan melakukan suatu tindakan penegakan hukum. Hukum pidana sebagai bagian dari hukum publik mempunyai peranan penting dalam tata hukum dan bernegara. Aturan-aturan dalam hukum pidana mengatur agar munculnya sebuah keadaan kosmis yang dinamis, menciptakan sebuah tata sosial yang damai dan sesuai dengan keinginan masyarakat.[footnoteRef:11] [11: Wikipedia, Sejarah Hukum Pidana, HukumOnline.com. Diakses 6 Februari 2014 ]

Hukum pidana menurut Van Hammel adalah semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar peraturan tersebut, dan tentu saja akan adanya suatu proses terhadap si pelaku yang telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang diatur di dalam hukum pidana, dan negara dengan instrumen hukum pidananya dapat membina dan mengembalikan ketentraman dalam masyarakat itu, namun hal itu merupakan semacam upaya akhir, adagium ultimum remedium yaitu apabila suatu persoalan telah memasuki ranah hukum pidana maka persoalan lain dikesampingkan, jadi persoalan hukum terkait selain hukum pidana sedapat mungkin harus terlebih dahulu diselesaikan sebelum dibawa keranah hukum pidana, dan sedapat mungkin suatu persoalan itu hendaknya dapat diselesaikan tanpa harus adanya suatu pidana. Dalam hal hukum pidana berarti membahas yang berhubungan dengan perlindungan publik atau masyarakat dari kejahatan dan demi mencegah masyarakat menjadi korban.Namun tidak jarang hal yang ditemui di lapangan justru tidaklah sesuai dengan apa yang seharusnya, terdapat banyak perbedaan antara das sein dan das sollen (apa yang terjadi dan apa yang diccita-citakan), banyak kasus kita jumpai di lapangan sebagaimana yang marak yang ditayangkan pada media masa akan suatu tindakan yang tidak mencerminkan suatu penegakan hukum yang baikoleh aparatur penegak hukum terhadap masyarakat ekonomi lemah, keadaan sebaliknya justru dialami oleh para pihak yang berekonomi mapan, yang mana hukum tidak memberikan suatu ketegasan, banyaktindakan-tindakan represif yang berlebihan sehingga menjauhkan unsur keadilan hukum dari jangkauan masyarakatlemah, telah banyak fakta yang membuktikan ketidaktepatan akan penggunaan prosedur dalam menangani suatu persoalan hukum , terutama dalam kasus pidana, sangat jelas hal yang demikian tidaklah dapat dibenarkan dari berbagai segi dan segala aspek, untuk itu perlu rasanya pembenahan-pembenahan dari berbagai aspek yang terkait sehingga hukum itu kembali kepada kaedahnya yaitu berjalan sesuai dengan jalur kebenaran dengan menjunjung tinggi nilai keadilan, sehingga hukum mampu memberikan faedah bagi setiap orang dan tidak hanya kepada segelintir orang, sebagaimana ungkapan yang didengungkan oleh Satjipto Raharjo Hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya , dan hukum tidaklah ada untuk dirinya sendiri, tetapi untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu untuk kesejahteraan manusia.[footnoteRef:12] [12: Satjipto Raharjo, 2004, Hukum Progressive (Penjelajahan Suatu Gagasan), Jakarta: Majalah Hukum Newsletter No. 59 Desember 2004, Yayasan Pusat Kajian Hukum, hal. 1.]

Demi tercapainya tujuan hukum yakni keadilan, maupun terlaksananya penegakan hukum yang sesuai dengan prosedur hingga adanya suatu jaminan kepastian dan terjaminnya perlindungn Hak Asasi Manusia, khusunya dalam penegakan hukum pidana maka pengkajian terhadap kasus Seperti kasus dibawah ini tentang seorang nenek yang mencuri 3 buah kakao dan akibat perbuatannya itu ia dikenakan hukuman 1,5 kurungan atau (1 bulan 15 hari). hukuman yang diberikan terhadap nenek itu tidak salah yang jadi permasalahannya sekarang adalah nenek yang mencuri 3 kakao saja dihukum tetapi orang yang mencuri lebih dari apa yang diperbuat nenek tersebut justru tidak dihukum. Dengan mata telanjang dapat disaksikan bahwa orang miskin akan sangat kesulitan mencari keadilan diruang pengadilan, sedangkan orang berduit akan begitu mudah mendapatkan keadilan. Bukan rahasia lagi, bahwa dalam proses peradilan perkara pidana bila ingin mendapat keringanan atau bahkan bebas dari jeratan hukum harus menyediakan uang, begitu juga para pihak dalam perkara perdata, bila ingin memenangkan perkara maka harus menyediakan sejumlah uang. Dengan kata lain bahwa putusan pengadilan dapat dibeli dengan uang, karena yang menjadi parameter untuk keringanan hukuman dalam perkara pidana dan menang kalahnya dalam perkara perdata lebih kepada pertimbangan berapa jumlah uang untuk itu daripada pertimbangan hukum yang bersandar pada keadilan dan kebenaran.Supremasi hukum di Indonesia memang masih harus direformasi untuk menciptakan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap sistem hukum Indonesia. Masih banyak kasus-kasus ketidak adilan hukum yang terjadi di negara kita. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.Keadaan yang sebaliknya terjadi di Indonesia. Bagi masyarakat kalangan bawah perlakuan ketidak adilan sudah biasa terjadi. Namun bagi masyarakat kalangan atas atau pejabat yang punya kekuasaan sulit rasanya menjerat mereka dengan tuntutan hukum. Karena mereka dapat menggunakan uang untuk meringankan hukuman yang seharusnya dijatuhkan padanya.Tetapi kita tidak bisa menyalahkan satu pihak saja karena ketidak adilan hukum ini terjadi karena kesepakatan dari pihak yang bersangkutan sehingga hukum di indonesia tidak berjalan dengan semestinya padahal hukum itu merupakan peraturan hukum yang bersifat memaksa dan mengikat.Ketidakadilan hukum di indonesia akan berjalan apabila pihak penegak hukum menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya, dan memberikan hukuman yang sesuai dengan apa yang telah diperbuatnya baik dari kalangan bawah maupun dari kalangan atas dengan tegas.Seperti kasus dibawah ini tentang seorang nenek yang mencuri 3 buah kakao dan akibat perbuatannya itu ia dikenakan hukuman 1,5 kurungan atau (1 bulan 15 hari). hukuman yang diberikan terhadap nenek itu tidak salah yang jadi permasalahannya sekarang adalah nenek yang mencuri 3 kakao saja dihukum tetapi orang yang mencuri lebih dari apa yang diperbuat nenek tersebut justru tidak dihukum.Sebagaimana kewenangan yang telah diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, yaitu kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari intervensi pihak manapun, tentunya dengan pertimbangan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.[footnoteRef:13] Dalam putusannya hakim harus jeli dalam mengkaji persoalan-persoalan hukum yang terjadi sehingga tidak lari dari ketentuan hukum yang sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan mampu melahirkan suatu kemanfaatan yang dapat diberikan kepada masyarakat dan juga bagi sipelaku tindak pidana, bahkan merupakan kewajiban bagi hakim sebagai corong keadilan de la bouce de la loi, de la bouce de la justice untuk menemukan hukum, sebagaimana pandangan teori penemuan hukum oleh Paul Scholten yang menyatakan het recht is er, doch het moet worden gevonden (hukum itu memang terdapat dalam suatu undang-undang tetapi harus masih ditemukan). Jadi disini seorang hakim haruslah benar-benardapat memberikan suatu keadilan hukum tidak hanya semata-mata berpatokan sepenuhnya terhadap teks formal semata sebagaimana yang telah disebutkan dalam undang-undang, tetapi menalaah secara mendalam kandungan dan tujuan dari berlakunya aturan hukum tersebut.[footnoteRef:14] Akan tetapi tentu lain yang terjadi apabila putusan hakim tersebut justru memunculkan persoalan yang malah dapat dipertanyakan karena putusan yang dikeluarkan tidak dinilai adil oleh masyarakat (orang awam sekalipun), pandangan orang awamatau hukum orang awam yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo adalah hal yang sangat penting sebagaimana menentukan efektifitas bekerjanya hukum tersebut, yaitu persoalan yang akan menentukan dipatuhinya hukum itu oleh masyarakat, Satjipto Rahardjo menyatakan, bahwa peranan pendapat umum (masyarakat) sangat penting berkaitan dengan masalah efektivitas berlakunya hukum. Suatu pembuatan hukum yang dilakukan tanpa memperhatikan pendapat umum mengandung risiko untuk tidak dijalankan dengan baik.[footnoteRef:15] [13: Pasal 24 (1) Undang-Undang Dasar 1945.] [14: Satjipto Raharjo, 2005, Penafsiran Hukum Yang Progresif dalam Antony Freddy Susanto, Semiotika Hukum : Dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresifitas Makna,Bandung:Refika Aditama, hal 9-11.] [15: Satjipto Rahardjo, 1986, Ilmu Hukum, Bandung: Penerbit Alumni, hal. 176]

Apabila ditinjau dari sisi ilmu hukum terdapat hal yang tidak berkesesuaian antara penerapan hukum oleh hakim itu dengan ketentuan-ketentuan dan kaedah hukum yang berlaku. Hakim telah keliru dalam menerapkan hukum sehingga keadilan yang harus dicapai dari proses peradilan terasa jauh dan dan tidak akan mungkin adanya suatu kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat dalam penegakan hukum. Jadi dalam penerapan hukum itu harus sesuai dengan asas-asas, prosedur dan tentu juga akan dilihat terhadap pengaruh dan nilai-nilai yang telah hidup dan dipatuhi oleh masyarakat, sehingga hukum yang akan diterapkan dapat diterima dengan baik oleh kalangan masyarakat secara menyeluruh.

PEMBAHASANHukum merupakan disiplin ilmu yang sudah dewasa sangat berkembang dewasa ini. Bahkan kebanyakan penelitian sekarang di Indonesia dilakukan dengan menggunakan metode yang berkaitan dengan sosiologi hukum dalam sejarah tercatat bahwa istilah Sosiologi hukum pertama sekali digunakan oleh seorang berkebangsaan Itali yang bernama Anzilloti pada tahun 1822 akan tetapi isitlah sosiologi hukum tersebut bersama setelah munculnya tulisan-tulisan Roscoe Pound (1870-1964), Eugen Ehrlich (1862-1922), Max Weber (1864-1920), Karl Liewellyn (1893-1962), dan Emile Durkhim (1858-1917).Pada prinsipnya sosiologi hukum (Sociologi of Law) merupakan cabang dari ilmu sosiologi, bukan cabang dari Ilmu Hukum. Memang ada studi tentang hukum yang berkenaan dengan masyarakat yang merupakan cabang dari Ilmu Hukum tetapi tidk di sebut sebagai sosiologi hukum melainkan disebut sebagai Sociologi Jurispurdence.Pemelahan hukum secara sosiologi menunjukan bahwa hukum merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat. Yakni merupakan refleksi dari unsure sebagai berikut:1. Hukum merupakan refleksi dari kebiasaan, tabiat, dan perilaku masyarakat,2. Hukum merupakan refleksi hak dari moralitas masyarakat maupun moralitas universal,3. Hukum merupakan refleksi dari kebutuhan masyarakat terhadap suatu keadilan dan ketertiban social dalam menata interaksi antar anggota masyarakat.Disamping itu pesatnya perkembangan masyarakat, teknologi dan informasi pada abad kedua puluh, dan umumnya sulit di ikuti sektor hukum telah menyebabkan orang berpikir ulang tentang hukum. Dengan mulai memutuskan perhatiannya terhadap interaksi antar sektor hukum dan masyarakat dimana hukum tersebut diterapkan. Namun masalah kesadaran hukum masyarakat masih menjadi salah satu faktor terpenting dari efektivitas suatu hukum yang diperlakukan dalam suatu negara. Sering disebutkan bahwa hukum haruslah sesuai dengan kesadaran hukum masayarakat. Artinya hukum tersebut haruslahmengikuti kehendak dari masyarakat. Disamping itu hukum yang baik sesuai dengan perasaan hukum manusia (pelarangan). Maksudnya sebenarnya sama, hanya jika kesadaran hukum di katakana dengan masyarakat, sementara perasaan hukum dikaitkan dengan manusia.Hukum dalam pengertian terdiri dari pola-pola tingkah laku yang dimanfaatkan oleh kelempok untuk mengembalikan tindakan-tindakan yang jelas mengganggu usaha-unsaha untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok dan yang menyimpang dari cara-cara yang sudah melembaga yang ditujukan untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok. Hukum dalam fungsinya yang demikian itu, merupakan instrumen pengendalian sosial.[footnoteRef:16] Hukum sebagai kontrol sosial, hukum juga berfungsi sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau biasa disebut social engineering.[footnoteRef:17] Alat pengubah masyarakat yang dimaksud oleh Roscoe Pound, dianalogikan sebagai suatu proses mekanik. Bila membicarakan efektivitas hukum dalam masyarakat berarti membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan/atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Efektivitas hukum dimaksud, berarti mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat, yaitu berlaku secara yuridis, berlaku secara sosiologis, dan berlaku secara filosofis.[footnoteRef:18] Salah satu faktor yang mengektifitaskan suatu peraturan adalah warga masyarakat, yang dimaksud di sini adalah kesadarannya untuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan, yang kerap disebut derajat kepatuhan. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.[footnoteRef:19] Baik kita memandang hukum sosial atau antar perseorangan, hukum massa, hukum perkauman atau communion, multi atau fungsional, kehidupan hukum maka semakin kuatlah hukum tersebut.[footnoteRef:20] [16: Donald Black, 1976, The Behavior of Law, NewYork: Academic Press, hal. 55] [17: Roscoe Pound,1986, Interpretation of Legal History, USA: Holmes Beach, Florida, hal. 164.] [18: Zainuddin Ali, 2008, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 62] [19: Ibid, hal. 65] [20: Alvin S. Johnson, 2006, Sosiologi Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, hal. 248]

Perubahan hukum pada hakikatnya dimulai dari adanya kesenjangan yang sedemikan itu. Sehubungan dengan sifat hukum tertulis atau hukum formal yang tidak selalu dapat dengan cepatmengikuti perubahan-perubahan masalah yang diaturny, maka terdapatnya kesenjangan sebagaimana diatas sebetulnya adalah sesuatu yang normal.[footnoteRef:21] [21: Otje Salman dan Anthon F. Susanto, 2008, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum. Bandung: PT. Alumni, hal. 82]

1. Kasus Ketidak Adilan Hukum Di IndonesiaKetidak adilan hukum di Indonesia selalu terjadi antara golongan bawah dengan golongan atas seperti kasus yang terjadi yaitu hukum hanya berlaku bagi pencuri kakao, pencuri pisang, dan pencuri semangka (koruptor dilarang masuk penjara). Ketidak adilan hukum yang terjadi di Indonesia masih harus direformasi untuk menciptakan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap sistem hukum Indonesia. Masih banyak kasus-kasus ketidakadilan hukum yang terjadi di negara kita. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali. Keadaan yang sebaliknya terjadi di Indonesia. Bagi masyarakat kalangan bawah perlakuan ketidakadilan sudah biasa terjadi. Namun bagi masyarakat kalangan atas atau pejabat yang punya kekuasaan sulit rasanya menjerat mereka dengan tuntutan hukum. Kasus Nenek Minah asal Banyumas yang divonis 1,5 bulan kurungan adalah salah satu contoh ketidak adilan hukum di Indonesia. Kasus ini berawal dari pencurian 3 buah kakao oleh Nenek Minah. Kami setuju apapun yang namanya tindakan mencuri adalah kesalahan. Namun demikian jangan lupa hukum juga mempunyai prinsip kemanusiaan. Masak nenek-nenek kayak begitu yang buta huruf dihukum hanya karena ketidak tahuan dan keawaman Nenek Minah tentang hukum. Menitikkan air mata ketika kita menyaksikan Nenek Minah duduk di depan pengadilan dengan wajah tuanya yang sudah keriput dan tatapan kosongnya. Untuk datang ke sidang kasusnya ini Nenek Minah harus meminjam uang Rp. 30.000,- untuk biaya transportasi dari rumah ke pengadilan yang memang jaraknya cukup jauh. Seorang Nenek Minah saja bisa menghadiri persidangannya walaupun harus meminjam uang untuk biaya transportasi. Seorang pejabat yang terkena kasus hukum mungkin banyak yang mangkir dari panggilan pengadilan dengan alasan sakit yang dibuat-buat atau alasan lainnya,seperti korupsi kelas kakap. Tidak malukah dia dengan Nenek Minah? Pantaskah Nenek Minah dihukum hanya karena mencuri 3 buah kakao yang harganya mungkin tidak lebih dari Rp. 10.000,-? Dimana prinsip kemanusiaan itu? Inilah sebenarnya yang menjadi ketidak adilan hukum yang terjadi di Indonesia. Begitu sulitnya menjerat mereka dengan tuntutan hukum. karena mereka punya kekuasaan, punya kekuatan, dan punya banyak uang sehingga bisa mengalahkan hukum dan hukum tidak berlaku bagi mereka para koruptor. Kami sangat prihatin dengan keadaan ini. Sangat mudah menjerat hukum terhadap Nenek Minah, gampang sekali menghukum seorang yang hanya mencuri satu buah semangka, begitu mudahnya menjebloskan ke penjara suami-istri yang kedapatan mencuri pisang karena keadaan kemiskinan. Namun demikian sangat sulit dan sangat berbelit-belit begitu akan menjerat para koruptor dan pejabat yang tersandung masalah hukum di negeri ini. Ini sangat diskriminatif dan memalukan sistem hukum dan keadilan di Indonesia. Padahal dihadapan hukum mereka mempunyai kedudukan sama. Kami tidak membenarkan tindakan pencurian yang dilakukan oleh Nenek Minah dan mereka-mereka yang mempunyai kasus seperti Nenek Minah. Kami juga tidak membela perbuatan yang dilakukan oleh Nenek Minah dan mereka-mereka itu. Tetapi yang jadi masalah adalah dimana keadilan itu, dimana prinsip kemanusian, seharusnya para penegak hukum mempunyai prinsip kemanusiaan dan bukan hanya menjalankan hukum secara positifistik. Inilah dinamika hukum di Indonesia, yang menang adalah yang mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang banyak, dan yang mempunyai kekuatan. Mereka pasti aman dari gangguan hukum walaupun aturan negara dilanggar. Orang biasa seperti Nenek Minah dan teman-temannya itu, yang hanya melakukan tindakan pencurian kecil langsung ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Sedangkan seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang negara milyaran rupiah dapat berkeliaran dengan bebasnya. Muflih Bambang Lukmono, Hakim Ketua Pengadilan Negeri Purwokerto, Jawa Tengah yang menangani kasus nenek Minah, yang dituduh mencuri 3 biji buah kakao terbata-bata dan menahan air mata. Hal ini karena ia tak kuasa menahan haru saat akan membacakan putusannya di depan terdakwa yang sangat lugu. Sementara beberapa pengunjung sidang juga terlihat meneteskan air mata. Hakim akhirnya memutuskan pidana penjara selama satu bulan lima belas hari dengan ketentuan pidana tersebut tidak usah dijalani terdakwa. Putusan inipun langsung disambut tepuk tangan para pengunjung sidang. Kasus ini menjadi menarik dan menjadi perhatian wartawan, LSM dan pengamat hukum karena di saat turunnya kredibilitas penegak hukum yaitu polisi dan kejaksaan, justru ada seorang nenek yang dituduh mencuri 3 biji buah kakao dan dimeja hijaukan. Sebelumnya, Nenek Minah yang berusia lima puluh lima tahun, Warga Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas ini sudah menjalani masa tahanan rumah selama 3 bulan. Hal ini ia jalani setelah mendapatkan pemeriksaan dari pihak Kejaksaan Negeri Purwokerto yang menangani kasusnya. Minah dituduh mencuri buah kakao atau buah coklat sebanyak 3 biji dari tempatnya ia bekerja di PT. Rumpun Sari Antan 4 di Desa Darmakradenan tak jauh dari rumahnya. Sementara itu, pihak Jaksa Penuntut Umum masih pikir-pikir terhadap putusan yang dibacakan hakim ketua. Saya masih pikir-pikir dahulu atas keputusan hakim, ujar Nurhaniah SH, Jaksa Penuntut Umum, Kamis (20/11/2009). Rasa simpati juga ditunjukkan warga yang mengikuti sidang ini. Mereka secara spontan menyumbangkan uangnya kepada nenek Minah untuk ongkos pulang ke kampungnya yang berjarak sekitar 45 kilometer dari pengadilan. Pertanyaan selanjutnya adalah, apa bangsa ini sudah dibilang merdeka dan mandiri sedangkan hukumnya saja di kontrol dengan uang? Indonesia bahkan belum dapat di bilang sepenuhnya merdeka karena bangsa ini masih terbelenggu oleh ketidakadilan pemerintahannya sendiri. Hukum dan keadilan menjadi barang mahal di negeri ini. Prinsip peradilan yang cepat, biaya ringan dan sederhana sulit untuk ditemukan dalam praktik peradilan. Di negeri ini Law Enforcement diibaratkan bagai menegakkan benang basah kata lain dari kata sulit dan susah untuk diharapkan. Bahkan secara faktual tidak dapat dipungkiri semakin banyak undang-undang yang lahir maka hal itu berbanding lurus semakin banyak pula komoditas yang dapat diperdagangkan. Ironisnya tidak sedikit pula bagian dari masyarakat kita sendiri yang berminat sebagai pembelinya. Di sini semakin tanpak bahwa keadilan dan kepastian hukum tidak bisa diberikan begitu saja secara gratis kepada seseorang jika disaat yang sama ada pihak lain yang menawarnya. Kenyataan ini memperjelas kepada kita hukum di negeri ini tidak akan pernah memihak kepada mereka yang lemah dan miskin. Sindiran yang sifatnya sarkatisme mengatakan, berikan aku hakim yang baik, jaksa yang baik, polisi yang baik dengan undang-undang yang kurang baik sekalipun, hasil yang akan aku capai pasti akan lebih baik dari hukum yang terbaik yang pernah ada dinegeri ini. Tapi agaknya para Penegak Hukum, Politisi, Pejabat dan Tokoh-Tokoh tertentu dalam masyarakat kita tidak akan punya waktu dan ruang hati untuk dapat mengubris segala bentuk sindiran yang mempersoalkan eksistensi pekerjaan dan tanggungjawabnya.2. Tinjauan Kasus Pencurian Biji Kakao oleh Mbok Minah Terhadap Asas Kepastian Hukum, Kemanfaatan dan Keadilana. Tinjauan dari Segi HukumApabila menilik kasus pencurian biji kakao yang dilakukan oleh Mbok Minah, sebenarnya hal tersebut merupakan hal yang biasa di dunia penegakan hukum di Indonesia. Ketika seseorang terbukti melakukan suatu perbuatan pidana, dan perkaranya diproses hingga ke tingkat pengadilan , maka sudah semestinya orang tersebut sudah semestinya dipidana.Berdasarkan tujuan hukum, putusan majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara tersebut telah tepat, Karena sesuai asas kepastian hukum, hakim tidak boleh menolak perkara karena alasan terdakwanya masyarakat miskin serta, benar dan salahnya seseorang harus dibuktikan terlebih dahulu di persidangan yang terbuka untuk umum, serta hakim telah melihat bukti-bukti yang ada di persidangan bahwa dari bukti tersebut hakim berpandangan bahwa nenek minah terbukti bersalah. Namun dari data yang diperoleh dari berbagai sumber, berdasarkan analisis saya, dalam kasus nenek minah kesalahan terjadi ketika proses penyidikan berlangsung, seharusnya penyidik polri dapat mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) demi kepentingan umum berdasarkan asas oportunitas, dan juga kepemilikan tanah perkebunan tersebut masih menjadi sengketa kepemilikan.Serta dari proses penyidikan sampai dengan proses persidangan telah terjadi pelanggaran Miranda rules sebagaimana yang diatur dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP. Padahal pasal yang disangkakan dan didakwakan adalah pasal 362 KUHP yang ancaman pidananya paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Sembilan ratus rupiah. Dalam penegakan hukum ini telah terjadi pelanggaran hukum, yaitu hak nenek minah untuk didampingi penasihat hukum telah dilanggar. Ibarat dalam peribahasa mencuci baju kotor dengan air combera, yang bermakna menegakan hukum dengan melanggar hukum.b. Tinjauan Sosiologis Jika ditinjau dari sisi sosiologis maka kasus ini adalah kasus yang tidak layak untuk dilanjutkan dalam proses peradilan, walaupun kenyataannya perbuatan Mbok Minah telah memenuhi unsur melawan hukum dalam pasal 362 tentang pencurian dengan ancaman pidana penjara 5 tahun. Secara kemasyarakatan buah kakao yang diambil oleh Mbok Minah yang nilainya tak lebih dari Rp. 2100,00 tidak sebanding dengan proses peradilan yang dijalaninya. Seharusnya PT. RSA dan pihak kepolisian berinisiatif untuk menyelesaikan masalah kecil seperti ini secara kekeluargaan, tidak perlu dilanjutkan ke proses peradilan. Secara kemasyarakatan jika kasus ini ditinjau secara mendalam maka kasus ini tidak memenuhi unsur keadilan dalam masyarakat, Apalagi jika dibanding-bandingkan dengan kasus korupsi yang terkesan prosesnya tebang pilih dan prosesnya terulur-ulur. Mbok minah merupakan seseorang nenek tua yang tidak bisa membaca papan peringatan milik PT. RSA dan juga dia tidak jadi mengambil kakao tersebut (mengembalikan kakao kepada mandor) serta juga telah mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Pandangan masyarakat menyimpulkan bahwa unsur-unsur sosial tersebut merupakan hal yang harus dipertimbangkan oleh pihak yang merasa dirugikan atau pihak penegak hukum untuk melanjutkan proses peradilan terhadap Mbok Minah, walaupun hakim memutuskan hukuman 1 bulan tanpa harus dikurung. Putusan hakim tersebut menunjukkan bahwa perbuatan Mbok Minah salah secara hukum, tapi secara sosiologis hal tersebut tidak menunjukkan keadilan.3. Analisis kasus sosiologi hukum tentang ketidakadilan hukum di Indonesia.Dari kasus diatas dapat kita lihat terjadinya ketidak adilan hukum tetapi bukan berarti membenarkan tindakan pencurian oleh Nenek Minah dan mereka-mereka yang mempunyai kasus seperti Nenek Minah. Perbuatan yang dilakukan oleh Nenek Minah dan temannya yang lain adalah perbuatan yang salah dan harus dijatuhi hukuman. Tetapi yang jadi masalah adalah dimana keadilan itu, dimana prinsip kemanusian, seharusnya para penegak hukum mempunyai prinsip kemanusiaan dan bukan hanya menjalankan hukum secara positifistik dimana hukum hanya berlaku bagi yang lemah saja. Sebab-sebab terjadinya tindakan pidana yang dilakukan oleh nenek Minah adalah sebagai berikut:a. Kondisi ekonomi, sehingga ia terpaksa mencuri buah karena perutnya lapar; b. Tidak memiliki pekerjaan untuk memenuhi kebutuhannya;Karena ketidak tahuan Nenek Mminah tetang hukum di Indonesia maksudnya Nenek Minah beranggapan kalau perbuatan yang dilakukannya itu tidak akan dihukum karena hanya mencuri dalam jumlah yang sangat sedikit padahal banyak atau sedikit pencurian yang dilakukan tetaplah namanya pencurian. Dampak dari tindakan pencurian yang dilakukan : Tindakan pencurian yang dilakukan Nenek Minah mengakibatkan kerugian bagi pihak lain dan juga bagi Nenek Minah sendiri karena dengan tindakannya ini ia divonis kurungan selama 1,5 bulan.4. Solusi Dari Kasus Ketidak Adilan Hukum Di Indonesiaa. Perlu adanya reformasi hukum yang dilakukan secara komprehensif mulai dari tingkat pusat sampai pada tingkat pemerintahan paling bawah dengan melakukan pembaruan dalam sikap, cara berpikir, dan berbagai aspek perilaku masyarakat hukum kita ke arah kondisi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan tidak melupakan aspek kemanusiaan.b. Sebaiknya penegakkan hukum menegakkan hukum dengan tegas sesuai dengan kesalahan yang dilakukan tampa membedakan pihak satu dengan lainnya karena kedudukan kita dihadapan hukum sama.c. Kedua belah pihak harus menaati hukum sebagaimana mestinya dan ini tidak hanya bagi penegak hukum saja tetapi seluruh warga negara indonesia.5. Sosiologi Hukum dalam kehidupan dan kenyataan yang terjadi di kehidupan masyarakat.Sosiologi hukum merupakan peraturan hukum yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dan gejala sosial. Jadi didalam kasus seorang nenek yang mencuri 3 kakao dan juga temannya yang lain dijatuhi hukuman sedangkan yang melakukan korupsi kelas kakap tidak dihukum secara langsung tapi membutuhkan waktu yang lama. Dalam hal ini terjadi hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala sosial yang terjadi seperti kasus tersebut yang mengakibat diberikan hukuman pada orang yang telah melakukan kesalahan dengan hukuman yang sesuai dengan apa yang telah diperbuatnya. Tetapi yang jadi masalahnya sekarang bagi pihak yang kuat tidak diberikan hukuman sesuai dengan apa yang diperbuatnya.Sosiologi hukum diperlukan dan bukan merupakan penamaan yang baru bagi suatu ilmu pengetahuan yang telah lama ada. Memang baik ilmu hukum maupun sosiologi hukum mempunyai pusat perhatian yang sama yaitu hukum, akan tetapi sudut pandang kedua ilmu pengetahuan tadi juga berbeda. Hukum adalah suatu gejala sosial budaya yang berfungsi untuk menerapkan kaidah-kaidah dan pola-pola prilaku tertentu terhadap individu-individu dalam masyarakat.[footnoteRef:22] [22: Soerjono Soekanto, 2009, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hal. 10.]

Dalam kasus ini dapat kita lihat terjadinya ketidak sesuaian hukum dengan kenyataan, padahal seperti yang kita ketahui sosiologi hukum memiliki banyk kegunaan diantaranya: a. Sosiologi hukum berguna untuk memberikan kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum didalam kontek sosial tetapi kenyataan yang kita lihat walaupun orang mengetahui dan memahami hukum tersebut tapi tidak menjalankannya dan mempaktekkannya dalam kehidupan nyata. b. Penguasaan konsep sosiologi hukum dapat memeberikan kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap efektifitas hukum dalam masyarakat baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk mengubah masyarakat dan sarana untuk mengatur interaksi sosial agar mncapai keadaan-keadaan yang sesuai tetapi kenyataan yang terjadi dalam masyarakat konsep yang telah diketahui tidah dijalankan sehingga mengakibatkan terjadinya berbagai kejahatan dalam kehidupann masyarakat seperti kasus yang terjadi diatas. c. Sosiologi hukum memberikan kemungkinan-kemungkinan serta kemampuan untuk mengadakan evaluasi terhadap efektifitas hukum didalam masyarakat tetapi kenyataan yang kita lihat pihak yang lemah langsung dihukum apabila melakukan kesalahan tetapi bagi pihak yang kuat tidak langsung dikenakan hukuman.Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaiana di dalam masyarakat. Oleh karena itu dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Baik buruknya hukum senantiasa di kaitkan denan pola prilaku penegak hukum tersebut, yang menurut pendapatnya merupakan pencerminan dari hukum sebagai struktur maupun proses.[footnoteRef:23] Faktor kebudayaan merupakan sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non materil. Sebagai suatu sistem (atau subsistem dari sistem kemasyarakatan), maka hukum mencakup, struktur, substansi, dan kebudayaan (Lawrence M. Friedman, 1977).[footnoteRef:24] Pengaruh kebudayaan dan agama terhadap hukum pidana memberi petunjukkepada kita bahwa dunia ilmu hukum Indonesia ada dalam era baru ialah adanya kecendrungan untuk meninggalkan pandangan tentang hukum yang dogmatis-juridis kearah pandangan yang sosiologis.[footnoteRef:25] [23: Soerjono Soekanto, 2011, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Oenegakan Hukum, Jakarta: Rajawali Pers. hal 46] [24: Ibid, hal. 59 ] [25: Soedarto, 1977, Hukum dan Hukum Pemidanaan, Semarang: Alumni off-set print, hal 95-96]

DAFTAR PUSTAKABUKUAli, Zainuddin. 2008. Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.Black, Donald. 1976. The Behavior of Law. NewYork: Academic Press.Johnson, Alvin, S. 2006. Sosiologi Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.C. S. T. Kansil. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, Mertokusumo, Sudikno. 2003. Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty.Pound, Roscoe. 1986. Interpretation of Legal History. USA: Holmes Beach, Florida.Raharjo, Satjipto. 2004. Hukum Progressive (Penjelajahan Suatu Gagasan). Jakarta: Majalah Hukum Newsletter No. 59 Desember 2004, Yayasan Pusat Kajian Hukum.Raharjo, Satjipto. 2005, Penafsiran Hukum Yang Progresif dalam Antony Freddy Susanto, Semiotika Hukum : Dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresifitas Makna,Bandung:Refika Aditama,Rahardjo, Satjipto. 1986. Ilmu Hukum. Bandung: Penerbit Alumni.Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika.Salman, Otje dan Anthon F. Susanto. 2008. Beberapa Aspek Sosiologi Hukum. Bandung: PT. Alumni.Siahaan, Ikandar. 1982. Hukum dan Kecongkakan Kekuasaan. Jakarta: Dalam Pelita. Soedarto. 1977. Hukum dan Hukum Pemidanaan. Semarang: Alumni off-set print. Soekanto, Soerjono. 2009. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.Soekanto, Soerjono. 2011. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Rajawali Pers. Suherman, Ade Maman. 2009. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo, UNDANG-UNDANGUndang-undang Dasar 1945Kitab Undang-Undang Hukum PidanaWEBSITELihat www. Hukum online/ Filsafat Hukum dan Perkembangan Hukum. Di akses pada 6 Februari 2014.Wikipedia, Sejarah Hukum Pidana, HukumOnline.com. Diakses 6 Februari 2014

22