21
UNIVERSITAS INDONESIA TENAGA KESEHATAN TRADISIONAL : ANTARA ADA DAN TIADA (Ulasan Kritis : Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014) Critical Review Tugas UTS Hukum dan Etika Oleh Kelompok 6 : Erani Soengkono NPM. 1406595483 Maria Hotnida NPM. 1406521743 Yohannes Febru Nainggolan NPM. 1406522046

Tugas Uts Hukum Dan Etika

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tugas

Citation preview

UNIVERSITAS INDONESIA

TENAGA KESEHATAN TRADISIONAL : ANTARA ADA DAN TIADA(Ulasan Kritis : Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014)

Critical Review

Tugas UTS Hukum dan Etika

Oleh Kelompok 6 :

Erani SoengkonoNPM. 1406595483Maria HotnidaNPM. 1406521743Yohannes Febru NainggolanNPM. 1406522046

Pembimbing : Prof. dr. Anhari Achadi, SKM, Sc.DB. Yudarini Hayarita P., SH, M.Kes

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKATPROGRAM STUDI KAJIAN ADMINISTRASI RUMAH SAKITJAKARTA2015

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangKualitas pelayanan publik sangat ditentukan oleh sistem dan tenaga pelayanan. Ketenagaan pelayanan seringkali menghadapi kendala dalam hal jumlah, sebaran, mutu dan kualifikasi, sistem pengembangan karir, dan kesejahteraan tenaga pelaksana pelayanan. Permasalahan yang muncul dalam tataran mikro operasional memunculkan persepsi rendahnya kualitas pelayanan, yang berawal dari kesenjangan antara aturan dan standar yang ada dengan pelaksanaan pelayanan yang tidak dapat menerapkannya. Pemahaman terhadap keadaaan nyata yang dihadapi di lapangan sangat penting untuk menelaah kembali landasan kebijakan, aturan, dan standar untuk meningkatkan kualitas pelayanan (Bappenas, 2005).Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan pada pasal 11 ayat (1) point (l) memaparkan bahwa tenaga kesehatan tradisional merupakan pengelompokan dari tenaga kesehatan dan lebih dipertegas di ayat (13) yang menyebutkan bahwa jenis tenaga kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kesehatan tradisional terdiri atas tenaga kesehatan tradisional ramuan dan tenaga kesehatan tradisional keterampilan. Hal yang kontras terjadi apabila membaca Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional pada pasal 7 yang memaparkan bahwa jenis pelayanan kesehatan tradisional meliputi : pelayanan kesehatan tradisional empiris; pelayanan kesehatan tradisional komplementer; dan pelayanan kesehatan tradisional integrasi, dimana pada pasal 30 ayat (1) dijabarkan bahwa pelayanan kesehatan tradisional empiris dilakukan oleh penyehat tradisional dan pada ayat (2) disebutkan penyehat tradisional merupakan tenaga yang ilmu dan keterampilannya diperoleh melalui turun-temurun atau pendidikan nonformal. Sedang pada pasal 31 ayat (1) disebutkan bahwa pelayanan kesehatan tradisional komplementer dilakukan oleh tenaga kesehatan tradisional dan pada ayat (2) dijelaskan bahwa tenaga kesehatan tradisional merupakan tenaga kesehatan yang ilmu dan keterampilannya diperoleh melalui pendidikan tinggi di bidang kesehatan paling rendah diploma tiga.Pemahaman pemerintah terhadap keadaan nyata pelayanan kesehatan tradisional yang merupakan bagian dari upaya kesehatan dengan keberadaan tenaga kesehatan tradisional masih saling bertolak belakang. Hal ini terlihat dari pendataan pemanfaatan pelayanan kesehatan tradisional tidak sejalan dengan pendataan jumlah dan jenis tenaga kesehatan tradisional yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Riset Kesehatan Dasar 2013 menggolongkan pelayanan kesehatan tradisional (yankestrad) menjadi 4 jenis, yaitu yankestrad ramuan (pelayanan kesehatan yang menggunakan jamu, aromaterapi, gurah, homeopati dan spa); keterampilan dengan alat (akupunktur, chiropraksi, kop/bekam, apiterapi, ceragem, dan akupresur); keterampilan tanpa alat (pijat-urut, pijat-urut khusus ibu/bayi, pengobatan patah tulang, dan refleksi); dan keterampilan dengan pikiran (hipnoterapi, pengobatan dengan meditasi, prana, dan tenaga dalam), dimana sejumlah 89.753 dari 294.962 (30,4%) rumah tangga di Indonesia memanfaatkannya. Jenis yankestrad yang dimanfaatkan oleh rumah tangga terbanyak adalah keterampilan tanpa alat (77,8%) dan ramuan (49,0%). Secara umum proporsi rumah tangga yang memanfaatkan yankestrad tertinggi di Kalimantan Selatan (63,1%) dan terendah di Papua Barat (5,9%). Bila dilihat proporsi rumah tangga yang memanfaatkan yankestrad ramuan tertinggi di Jawa Timur (65,2%) dan yang terendah di Bengkulu (23,5%). Sedangkan proporsi rumah tangga yang memanfaatkan yankestrad keterampilan dengan alat tertinggi di DKI Jakarta (20,7%) dan terendah di Gorontalo (1,3%) (Kemenkes, 2013).Sedangkan pendataan tenaga kesehatan yang dilakukan oleh Badan PPSDMK masih menggunakan pendekatan tenaga kesehatan yang melaksanakan tugas sesuai dengan fungsinya. Berdasarkan pendekatan tersebut, pada tahun 2013 jumlah SDM Kesehatan yang tercatat sebanyak 877.088 orang yang terdiri atas 681.634 tenaga kesehatan dan 195.454 tenaga non kesehatan. Tenaga kesehatan terdiri atas 90.444 tenaga medis (dokter spesialis, dokter umum dan dokter gigi), 288.405 perawat, 137.110 bidan, 40.181 tenaga farmasi, dan 125.494 tenaga kesehatan lainnya (Kemenkes, 2014). Oleh karena hal tersebut cukup menarik, maka penulis membuat sebuah ulasan kritis (critical review) terhadap Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan yang dikaitkan dengan tenaga kesehatan tradisional yang dimaksudkan oleh undang-undang tersebut. Ulasan kritis ini ditulis oleh penulis dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif. Dan sebagai bahan pertimbangan, penulis juga membandingkan undang-undang tersebut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

1.2 MasalahUndang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan belum menjelaskan secara lengkap mengenai Tenaga Kesehatan Tradisional di Indonesia

1.3 PertanyaanTenaga kesehatan tradisional yang bagaimana yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 di Indonesia?

1.4 TujuanMenganalisis tenaga kesehatan tradisional yang dimaksud oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014.

BAB IITELAAH UNDANG-UNDANG

2.1 Pokok Pemikiran1. Hal-hal yang menjadi pertimbangan disusunnya Undang-Undang Nomor 36 tahun 2014 yaitu :a. Bahwa tenaga kesehatan memiliki peranan penting untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang maksimal kepada masyarakat agar masyarakat mampu untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat sehingga akan terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi serta sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Bahwa kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang menyeluruh oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat secara terarah, terpadu dan berkesinambungan, adil dan merata, serta aman, berkualitas, dan terjangkau oleh masyarakat; c. Bahwa penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang bertanggung jawab, yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian, dan kewenangan yang secara terus menerus harus ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertifikasi, registrasi, perizinan, serta pembinaan, pengawasan, dan pemantauan agar penyelenggaraan upaya kesehatan memenuhi rasa keadilan dan perikemanusiaan serta sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan; d. Bahwa untuk memenuhi hak dan kebutuhan kesehatan setiap individu dan masyarakat, untuk memeratakan pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat, dan untuk memberikan pelindungan serta kepastian hukum kepada tenaga kesehatan dan masyarakat penerima upaya pelayanan kesehatan, perlu pengaturan mengenai tenaga kesehatan terkait dengan perencanaan kebutuhan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga kesehatan; e. Bahwa ketentuan mengenai tenaga kesehatan masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan belum menampung kebutuhan hukum masyarakat sehingga perlu dibentuk undang-undang tersendiri yang mengatur tenaga kesehatan secara komprehensif. 2. Pihak yang menyusun Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 adalah Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden Republik Indonesia.3. Asas Undang-Undang Nomor : 36 Tahun 2014 adalah perikemanusiaan; manfaat; pemerataan; etika dan profesionalitas; penghormatan terhadap hak dan kewajiban; keadilan; pengabdian; norma agama; dan pelindungan.

2.2 Tujuan yang Ingin DicapaiTujuan yang ingin dicapai dalam peyusunan Undang undang Nomor 36 Tahun 2014 adalah :a. Memenuhi kebutuhan masyarakat akan Tenaga Kesehatan; b. Mendayagunakan Tenaga Kesehatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat; c. Memberikan pelindungan kepada masyarakat dalam menerima penyelenggaraan Upaya Kesehatan; d. Mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan Upaya Kesehatan yang diberikan oleh Tenaga Kesehatan; dan e. Memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan Tenaga Kesehatan.

2.3 Kajian Undang-Undang Secara UmumMembaca Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan yang dimulai dari menimbang,_____terdiri dari 5 (lima) dasar pertimbangan perlunya dibentuk undang-undang tenaga kesehatan yaitu pertama; peranan tenaga kesehatan dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, kedua; kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk pelayanan kesehatan, ketiga; penyelenggaraan upaya kesehatan oleh tenaga kesehatan yang bertanggung jawab, yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian, dan kewenangan, keempat; pengaturan mengenai tenaga kesehatan terkait dengan perencanaan kebutuhan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga kesehatan, kelima; perlu dibentuk undang-undang tersendiri yang mengatur tenaga kesehatan secara komprehensif_____Kemudian_____mengingat; Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Negara Republik Indonesia_____dan menetapkan undang-undang tenaga kesehatan yang terbaru ini, yang terdiri dari 16 Bab dan sejumlah 96 pasal beserta penjelasannya.

BAB IIIANALISIS KEBIJAKAN

3.1 OrientasiSecara umum Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 dapat dikatakan masih berorientasi kepada tenaga kesehatan dan asisten tenaga kesehatan secara umum yang memiliki kualifikasi pendidikan dibidang kesehatan. Pasal 8 menyebutkan bahwa tenaga di bidang kesehatan terdiri atas tenaga kesehatan dan asisten tenaga kesehatan dimana pada pasal 9 ayat (1) menyatakan bahwa tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum diploma tiga, kecuali tenaga medis dan pada pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa asisten tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum pendidikan menengah di bidang kesehatan.Bila melihat hal diatas ditambah dengan pasal 11 ayat (1) yang mengkelompokkan tenaga kesehatan tradisional kedalam tenaga kesehatan, hal ini menimbulkan dilema antara keberadaan tenaga kesehatan tradisional di masyarakat yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya dengan tenaga kesehatan yang dimaksudkan oleh undang-undang.Pasal 11 ayat (13) dinyatakan bahwa jenis tenaga kesehatan yang termasuk dalam tenaga kesehatan tradisional terdiri atas tenaga kesehatan tradisional ramuan dan tenaga kesehatan tradisional keterampilan. Pasal 11 ayat (13) ini tidak secara spesifik menjelaskan pembagian dari tenaga kesehatan tradisional ramuan dan tenaga kesehatan keterampilan sehingga dapat menjadi bias dengan tafsiran masing-masing masyarakat dengan pemikiran bahwa setiap orang yang memiliki pengetahuan mengenai ramuan atau keterampilan fisik dapat dianggap sebagai tenaga kesehatan tradisional.Bila dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional, pada pasal 30 ayat (1) dikatakan bahwa pelayanan kesehatan empiris dilakukan oleh penyehat tradisional. Sementara pasal 31 ayat 1 dikatakan bahwa pelayanan kesehatan tradisional komplementer dilakukan oleh tenaga kesehatan tradisional. Peraturan pemerintah tersebut menegaskan bahwa yang disebut tenaga kesehatan tradisional adalah yang melakukan pelayanan kesehatan tradisional komplementer. Tetapi bila dibaca pada pokok mengingat peraturan pemerintah tersebut disebutkan bahwa Peraturan Pemerintah tersebut mengacu pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bukan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan sehingga membuat kerancuan pemaknaan dari tenaga kesehatan tradisional tersebut.Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tidak mengatur mengenai tenaga kesehatan tradisional tetapi pelayanan kesehatan tradisional. Ini dapat dilihat dari pasal 59 ayat (1) yang mengatakan bahwa berdasarkan cara pengobatannya, pelayanan kesehatan tradisional terbagi menjadi: pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan keterampilan; dan pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan ramuan.

3.2 KeberpihakanSecara umum Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 hanya berpihak tenaga kesehatan yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi bidang kesehatan dan belum berpihak pada tenaga kesehatan tradisional. Pasal 17 ayat (2) menyatakan bahwa pengadaan tenaga kesehatan dilakukan melalui pendidikan tinggi bidang kesehatan dan ayat (3) yang menyatakan pendidikan tinggi kesehatan diarahkan untuk menghasilkan tenaga kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar pelayanan profesi.Hal ini seperti dua sisi koin mata uang yang saling bertolak belakang. Pengadaan tenaga kesehatan tradisional menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 haruslah melalui pendidikan tinggi yang sesuai standar profesi dan standar pelayanan profesi tetapi bila diperhatikan kenyataannya dimasyarakat, pemerintah sendiri belum menyediakan fasilitas pendidikan tinggi khusus bagi tenaga kesehatan tradisional. Hal ini menyebabkan tenaga kesehatan tradisional lama kelamaan tenggelam oleh undang-undang tersebut.Bila dibaca dari Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2014 pasal 30 ayat (3) yang menyatakan dalam hal penyehat tradisional merupakan tenaga kesehatan, harus melepaskan profesi sebagai tenaga kesehatan dan pasal 31 ayat (2) yang menyatakan tenaga kesehatan tradisional merupakan tenaga kesehatan yang ilmu dan keterampilannya diperoleh melalui pendidikan tinggi bidang kesehatan paling rendah diploma tiga dibandingkan dengan pasal 11 yang menyatakan pelayanan kesehatan tradisional komplementer dilakukan dengan cara pengobatan/perawatan dengan menggunakan: keterampilan; dan/atau ramuan dan pasal 12 ayat (1) menyatakan bahwa pelayanan kesehatan tradisional komplementer yang menggunakan keterampilan dilakukan dengan menggunakan: teknik manual; terapi energi; dan/atau terapi olah pikir sedang ayat 2 menyatakan pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan ramuan dilakukan dengan menggunakan ramuan yang berasal dari: tanaman; hewan; mineral; dan/atau sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan-bahan. Peraturan Pemerintah ini juga memberikan kontribusi terhadap kerancuan tersebut dimana disatu sisi peraturan pemerintah tersebut mengharuskan setiap tenaga kesehatan tradisional memiliki latar belakang pendidikan tinggi minimal diploma tiga disisi lain pemeritah belum menyediakan pendidikan tinggi yang memberikan pengajaran mengenai keterampilan menggunakan teknik manual, terapi energi atau terapi olah pikir sedang keterampilan menggunakan ramuan hanya dipelajari di bidang kefarmasian.

3.3 Pengaturan Pengaturan tenaga kesehatan lebih menekankan pada registrasi dan perizinan dari tenaga kesehatan tersebut. Penekanan ini ditujukan untuk terselenggaranya praktik tenga kesehatan yang bermutu kepada masyarakat.Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 pasal 44 ayat (1) menyatakan bahwa setiap tenaga kesehatan yang menjalankan praktik wajib memiliki STR dan pada pasal 46 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap tenaga kesehatan yang menjalankan praktik di bidang pelayanan kesehatan wajib memiliki izin.Terlihat dari pernyataan undang-undang diatas bahwa setiap tenaga kesehatan wajib memiliki STR dan izin. Perbedaan persepsi antara pengertian tenaga kesehatan tradisional di masyarakat dengan tenaga kesehatan tradisional menurut undang-undang memunculkan banyak pertanyaan mengenai pengaturan tenaga kesehatan tersebut. Undang-undang dengan tegas menyatakan bahwa hanya tenaga kesehatan yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi di bidang kesehatan saja yang diatur regulasi dan perizinannya sedangkan pengaturan penyehat tradisional yang merupakan tenaga kesehatan tradisional tanpa memiliki latar belakang pendidikan di bidang kesehatan dengan sendirinya tidak diatur di dalam undang-undang tersebut.Bila membaca Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2014 pasal 42 ayat (1) menyatakan bahwa setiap tenaga kesehatan tradisional harus memiliki kompetensi yang dibuktikan dengan sertifikat kompetensi dan ayat (2) menyebutkan untuk memperoleh sertifikat kompetensi setiap tenaga kesehatan tradisional harus mengikuti uji kompetensi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada pasal 43 juga disebutkan bahwa setiap tenaga kesehatan tradisional yang menjalankan praktik wajib memiliki STRTKT dan SIPTKT.Hal ini semakin membingungkan praktisi tenaga kesehatan tradisional di masyarakat dimana pengaturan tersebut tidak berpihak pada mereka. Pendidikan tinggi khusus kesehatan tradisional yang belum dapat diwujudkan oleh pemerintah ditambah oleh uji kompetensi yang menjadi syarat dalam memperoleh sertifikat kompetensi membuat tenaga kesehatan tradisional satu persatu hilang dari masyarakat.

3.4 Pelindungan HukumUndang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 pasal 64 menyebutkan bahwa setiap orang yang bukan tenaga kesehatan dilarang melakukan praktik seolah-olah sebagai tenaga kesehatan yang telah memiliki izin. Sedangkan pada pasal 75 disebutkan bahwa tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik berhak mendapatkan pelindungan hukum sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini secara tidak langsung mengungkapkan bahwa tenaga kesehatan tradisional yang tidak memiliki latar belakang pendidikan tinggi bidang kesehatan tidak di lindungi oleh Undang-Undang tersebut. Kepastian hukum semakin kabur pada tenaga kesehatan tradisional kita yang akan menjadi bias dan mengancam keberadaan tenaga kesehatan tradisional tersebut.Sementara pada pasal 83 menyatakan bahwa setiap orang yang bukan tenaga kesehatan melakukan praktik seolah-olah sebagai tenaga kesehatan yang telah memiliki izin dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.Ancaman pidana ini memberikan efek semakin hilangnya tenaga kesehatan tradisional di Indonesia dengan pengobatan tradisionalnya. Ini harus mendapat perhatian khusus dari pemerintah dengan mulai membangun pendidikan tinggi bagi tenaga kesehatan tradisional yang berbasiskan pada ilmu pengetahuan sehingga antara aturan dan fakta dimasyarakat dapat sejalan.Hal lain ditemukan bila membaca Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2014 pasal 83 ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap tenaga kesehatan tradisional atau tenaga kesehatan warga Negara Indonesia lulusan luar negeri yang tidak memiliki, tidak melaksanakan dan/atau melanggar ketentuan dikenai sanksi administratif oleh pejabat berwenang berupa : teguran lisan; teguran tertulis; dan/atau pencabutan izin.Peraturan pemerintah ini tidak memberikan sanksi ancaman pidana kepada tenaga kesehatan tradisional hanya berupa sanksi administratif saja sehingga ada perbedaan yang menyolok antara undang-undang dengan peraturan pemerintah tersebut.Dari uraian diatas tidak salah lah dinyatakan bahwa tenaga kesehatan tradisional di Indonesia antara ada dan tiada. Disebut ada karena memang keberadaannya diakui masyarakat dan disebut tiada karena keberadaannya belum diakui oleh undang-undang. Dan yang menjadi pokok pemikiran adalah bagaimana pemerintah menyokong keberadaan tenaga kesehatan tradisional tersebut yang sesuai dengan undang-undang.

BAB IVKESIMPULAN DAN SARAN

4.1 KesimpulanPenulis menganalisis Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 yang dikaitkan dengan tenaga kesehatan tradisional bertolok ukur dengan : Orientasi :Bahwa secara umum Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 dapat dikatakan masih berorientasi kepada tenaga kesehatan dan asisten tenaga kesehatan secara umum yang memiliki kualifikasi pendidikan dibidang kesehatan. Keberpihakan :Bahwa secara umum Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 hanya berpihak tenaga kesehatan yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi bidang kesehatan dan belum berpihak pada tenaga kesehatan tradisional. Pengaturan :Bahwa pengaturan tenaga kesehatan lebih menekankan pada registrasi dan perizinan dari tenaga kesehatan tersebut. Penekanan ini ditujukan untuk terselenggaranya praktik tenga kesehatan yang bermutu kepada masyarakat. Pelindungan HukumBahwa secara tidak langsung mengungkapkan bahwa tenaga kesehatan tradisional yang tidak memiliki latar belakang pendidikan tinggi bidang kesehatan tidak di lindungi oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014.

4.2 Saran Menambahkan pengertian tenaga kesehatan tradisional yang dimaksudkan oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 terutama pada pasal 11 ayat (1) point (l) Mensinkronisasi antara Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 dengan peraturan yang di bawahnya Menyesuaikan antara fakta di masyarakat dengan pembuatan UU tersebut.DAFTAR PUSTAKA

Bappenas, 2005. Laporan Kajian Kebijakan Perencanaan Tenaga Kesehatan. Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat. Deputi Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan.Kemenkes, 2013. Riset Kesehatan Dasar. Riskesdas 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan________, 2014. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013.Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional.Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.