14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.Klasifikasi Leptospirosis Leptospira Bakteri Leptospira menggunakan Mikroskop elektron tipe scanning. Klasifikasi ilmiah Keraja an: Bacteria Filum: Spirochaet es Kelas: Spirochaea tes Ordo: Spirochaet ales Famili Leptospira

Tugas Zoonosis Kl[p 2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

leptospira

Citation preview

Page 1: Tugas Zoonosis Kl[p 2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.Klasifikasi Leptospirosis

Leptospira

Bakteri Leptospira menggunakan

Mikroskop elektron tipe scanning.

Klasifikasi ilmiah

Kerajaan: Bacteria

Filum: Spirochaetes

Kelas: Spirochaeates

Ordo: Spirochaetales

Famili: Leptospiraceae

Genus: Leptospira

Serovar

Leptospira interogans

Lepstospira australis

Page 2: Tugas Zoonosis Kl[p 2

Leptospira autumnalis

Leptospira ballum

Leptospira

icterohemorrhagica

Leptospira canicola

Leptospira grippotyphosa

Leptospira Pomona

2. Etiologi

2.a Etiologi Leptospira

Bakteri penyebab Leptosirosis yaitu bakteri Leptospira sp. Bakteri Leptospira merupakan

Spirochaeta aerobik (membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup), motil (dapat bergerak), gram

negatif, bentuknya dapat berkerut-kerut, dan terpilin dengan ketat. Bakteri Lepstospira berukuran

panjang 6-20 µm dan diameter 0,1-0,2 µm. Sebagai pembanding, ukuran sel darah merah hanya

7 µm. Jadi, ukuran bakteri ini relatif kecil dan panjang sehingga sulit terlihat bila menggunakan

mikroskop cahaya dan untuk melihat bakteri ini diperlukan mikroskop dengan teknik kontras.

Bakteri ini dapat bergerak maju dan mundur

Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang dapat menyerang manusia dan binatang.

Penyakit menular ini adalah penyakit hewan yang dapat menjangkiti manusia. Termasuk

penyakit zoonosis yang paling sering terjadi di dunia. Leptospirosis juga dikenal dengan nama

flood fever atau demam banjir karena memang muncul dikarenakan banjir.

Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme

berbentuk spiral dan bergerak aktif yang dinamakan Leptospira. Penyakit ini dikenal dengan

berbagai nama seperti Mud fever, Slime fever (Shlamnfieber), Swam fever, Autumnal fever,

Infectious jaundice, Field fever, Cane cutter dan lain - lain (WHO, 2003).

Menurut beberapa peneliti yang tersering menginfeksi manusia adalah

L.icterohaemorrhagiae, dengan reservoir tikus, L.canicola, dengan reservoirnya anjing dan

L.pomona dengan reservoirnya sapi dan babi

Page 3: Tugas Zoonosis Kl[p 2

2.b Etiologi Leptopspira Pomona

Leptospira mempunyai ±175 serovar , bahkan ada yang mengatakan Leptospira memiliki

lebih dari 200 serovar. Infeksi dapat disebabkan oleh satu atau lebih serovar sekaligus. Bila

infeksi terjadi, maka pada tubuh penderita dalam waktu 6-12 hari akan terbentuk zat kebal

aglutinasi Serovar yang telah diketahui dapat menyerang anjing yaitu L. pomona. Pada anjing,

telah tersedia vaksin terhadap Leptospira yang mengandung biakan serovar L. canicola dan L.

icterohemorrhagica yang telah dimatikan. Serovar yang dapat menyerang sapi yaitu L. pamona

dan L. gryptosa. Serovar yang diketahui terdapat pada kucing adalah L. bratislava, L. canicola,

L. gryppothyphosa, dan L. pomona. Babi dapat terserang L. pamona dan L. interogans,

sedangkan tikus dapat terserang L. ballum dan L. ichterohaemorhagicae.

Dengan demikian dapat diartikan bahwa Leptopspira Pomona adalah serovar dari

Leptospira. Sp yang dapat menyebabkan infeksi pada tubuh penderita.

3. Distribusi Penyakit

Leptospirosis terjadi di seluruh dunia, baik di daerah pedesaan maupun perkotaan, di

daerah tropis maupun subtropis. Penyakit ini terutama beresiko terhadap orang yang bekerja di

luar ruangan bersama hewan, misalnya peternak, petani, penjahit, dokter hewan, dan personel

militer. Selain itu, Leptospirosis juga beresiko terhadap individu yang terpapar air yang

terkontaminasi. Di daerah endemis, puncak kejadian Leptospirosis terutama terjadi pada saat

musim hujan dan banjir.

Iklim yang sesuai untuk perkembangan Leptospira adalah udara yang hangat, tanah yang

basah dan pH alkalis, kondisi ini banyak ditemukan di negara beriklim tropis. Oleh sebab itu,

kasus Leptospirosis 1000 kali lebih banyak ditemukan di negara beriklim tropis dibandingkan

dengan negara subtropis dengan risiko penyakit yang lebih berat. Angka kejadian Leptospirosis

di negara tropis basah 5-20/100.000 penduduk per tahun. Organisasi Kesehatan Dunia (World

Health Oraganization/WHO) mencatat, kasus Leptospirosis di daerah beriklim subtropis

diperkirakan berjumlah 0.1-1 per 100.000 orang setiap tahun, sedangkan di daerah beriklim

tropis kasus ini meningkat menjadi lebih dari 10 per 100.000 orang setiap tahun. Pada saat

wabah, sebanyak lebih dari 100 orang dari kelompok berisiko tinggi di antara 100.000 orang

dapat terinfeksi.

Page 4: Tugas Zoonosis Kl[p 2

Di Indonesia, Leptospirosis tersebar antara lain di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah,

Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat,

Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan

Kalimantan Barat. Angka kematian Leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, mencapai 2,5-

16,45 persen. Pada usia lebih dari 50 tahun kematian mencapai 56 persen. Di beberapa publikasi

angka kematian dilaporkan antara 3 persen - 54 persen tergantung sistem organ yang terinfeksi.

4. Gejala Klinis

4.a Leptospirosis Pomona Pada Sapi

Leptospira Pomona merupakan , serovar yang paling banyak menyerang pada sapi

dengan akibat yang bermacam-macam. Penyakit yang ditimbulkan oleh L. Pomona dapat

berlangsung akut, subakut dan kronik.

Penyakit akut

Kerentanan tertinggi dapat ditemukan pada pedet-pedet muda, dengan umur sampai

dengan 4 minggu. Gejala yang nampak bisa berupa sepsis yang berat, adanya demam

yang tinggi ( sampai dengan 410 C, gejala seperti anoreksia dan kelesuan juga sering

menyertai penyakit ini.

Penyakit sub akut

Gejala yang Nampak pada tipe ini biasanya lebih ringan, demam yang ditimbulkan tidak

terlalu tinggi, anoreksia, kelesua juga tidak ditemukan. Pada hewan-hewan betina yang

sedang dalam masa bunting dapat mengalami keguguran setelah beberapa minggu.

Sedangkan hewan yang sedang dalam masa produksi akan mengalami penurunan air susu

secara mendadak dan mencolok. Air susu yang keluar dapat juga tercampur dengan darah

ataupun berwarna kuning.

Penyakit kronik

Gejala yang timbul pada bentuk ini lebih ringan dibandingkan dengan bentuk-beentuk

yang lain. Keguguran atau keluron dapat terjadi pada trimester kedua atau separoh dari

Page 5: Tugas Zoonosis Kl[p 2

masa kebuntingan. Meskipun tanpa disertai dengan gejala klinis, namun penderita

bersifat sero-positif dalam pemeriksaan serologik.

4.b L. Pomona pada kucing

Pada hewan termasuk kucing Leptospirosis kadangkala tidak menunjukkan gejala klinis

(bersifat subklinis), dalam arti hewan akan tetap terlihat sehat walaupun sebenarnya dia sudah

terserang Leptospirosis. Kucing yang terinfeksi biasanya tidak menunjukkan gejala walaupun ia

mampu menyebarkan bakteri ini ke lingkungan untuk jangka waktu yang tidak pasti.Gejala klinis

yang dapat tampak yaitu ikterus atau jaundis, yaitu:

Gambar 1. Jaundis pada kucing: telinga dan mukosa mata menjadi kuning

warna kekuningan, karena pecahnya butir darah merah (eritrosit) sehingga ada

hemoglobin dalam urin. Gejala ini terjadi pada 50 persen kasus, terutama jika

penyababnya L. pomona.

demam

tidak ada nafsu makan (anorexia)

depresi

nyeri pada bagian-bagian tubuh

gagal ginjal

gangguan kesuburan

Apabila penyakit ini menyerang ginjal atau hati secara akut maka gejala yang timbul yaitu:

radang mukosa mata (konjungtivitis),

Page 6: Tugas Zoonosis Kl[p 2

radang hidung (rhinitis)

radang tonsil (tonsillitis)

batuk dan sesak napas.

4.c. L. Pomona Pada Manusia

Masa inkubasi Leptospirosis pada manusia yaitu 2 – 26 hari. Infeksi Leptospirosis

mempunyai manifestasi yang sangat bervariasi dan kadang tanpa gejala, sehingga sering terjadi

kesalahan diagnosa. Perjalanan penyakit Leptospira terdiri dari 2 fase, yaitu fase septisemik dan

fase imun. Pada periode peralihan fase selama 1-3 hari kondisi penderita membaik. Selain itu ada

Sindrom Weil yang merupakan bentuk infeksi Leptospirosis yang berat.

Fase Septisemik

Fase Septisemik dikenal sebagai fase awal atau fase leptospiremik karena bakteri dapat

diisolasi dari darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan tubuh. Pada stadium

ini, penderita akan mengalami gejala mirip flu selama 4-7 hari, ditandai dengan demam,

kedinginan, dan kelemahan otot. Gejala lain adalah sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada,

muntah darah, nyeri kepala, takut cahaya, gangguan mental, radang selaput otak

(meningitis), serta pembesaran limpa dan hati.

Fase Imun

Fase Imun sering disebut fase kedua atau leptospirurik karena sirkulasi antibodi dapat

dideteksi dengan isolasi kuman dari urin, dan mungkin tidak dapat didapatkan lagi dari

darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini terjadi pada 0-30 hari akibat respon pertahanan

tubuh terhadap infeksi. Gejala tergantung organ tubuh yang terganggu seperti selaput

otak, hati, mata atau ginjal. Jika yang diserang adalah selaput otak, maka akan terjadi

depresi, kecemasan, dan sakit kepala. Pada pemeriksaan fungsi hati didapatkan jaundis,

pembesaran hati (hepatomegali), dan tanda koagulopati. Gangguan paru-paru berupa

batuk, batuk darah, dan sulit bernapas. Gangguan hematologi berupa peradarahan dan

pembesaran limpa (splenomegali). Kelainan jantung ditandai gagal jantung atau

perikarditis. Meningitis aseptik merupakan manifestasi klinis paling penting pada fase

imun. Leptospirosis dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah timbul jaundis.

Page 7: Tugas Zoonosis Kl[p 2

Pada 30 persen pasien terjadi diare atau kesulitan buang air besar (konstipasi), muntah,

lemah, dan kadang-kadang penurunan nafsu makan. Kadang-kadang terjadi perdarahan di

bawah kelopak mata dan gangguan ginjal pada 50 persen pasien, dan gangguan paru-paru

pada 20-70 persen pasien. Gejala juga ditentukan oleh serovar yang menginfeksi.

Sebanyak 30 persen pada L. pomona. mengalami ikterus, namun infeksi L. pomona lebih

sering menyebabkan radang selaput otak (meningitis)

4. Diagnosa

Diagnosa dilakukan berdasarkan sejarah penyakit, gejala klinis, isolasi agen penyebab,

dan hasil uji serologi. Isolasi Leptospira sp dari hewan tersangka seringkali sulit dilakukan,

untuk konfirmasi diagnosis penyakit dilakukan secara serologis di laboratorium dengan

Microscopic Agglutination Test (MAT) untuk menentukan seroprevalensi. Uji ini digunakan

pada pemeriksaan serologik leptospirosis pada sapi (SCOTT-ORR et al., 1980; RATNAM et al)

5. Terapi dan pengobatan

Pengobatan yang dilakukan secara dini dapat mencegah kerusakan jaringan ginjal dan

hati yang sifatnya permanen. Setelah gejala klinis terlihat, sebaiknya secepat mungkin diberikan

suntikan streptomisin maupun oksitetrasiklin. Untuk mengeliminasi leptospirosis dari kandung

kemih penderita dapat digunakan streptomisin dosis tinggi, 25 mg/kgBB, dengan aplikasi

pemberian secara intramuskuler (IM)

Untuk mencegah kematian pada ternak yang disebabkan oleh terjadinya sepsis, dapat

diberikan suntikan penicillin ataupun eritromisin. Akan tetapi ada juga yang melaporkan bahwa

kedua obat tersebut kurang efektif terhadap radang ginjal kronik dan leptospiremia yang

disebabkan oleh leptospirosis salah satunya yaitu tipe serovar L. Pomona.

Pada Hewan

Hewan, terutama hewan kesayangan, yang terinfeksi parah perlu diberikan perawatan

intensif untuk menjamin kesehatan masyarakat dan mengoptimalkan perawatan. Antibiotik yang

dapat diberikan yaitu doksisiklin, enrofloksasin, ciprofloksasin atau kombinasi penisillin-

Page 8: Tugas Zoonosis Kl[p 2

streptomisin. Selain itu diperlukan terapi suportif dengan pemberian antidiare, antimuntah, dan

infus.

Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan vaksin Leptospira. Vaksin Leptospira

untuk hewan adalah vaksin inaktif dalam bentuk cair (bakterin) yang sekaligus bertindak sebagai

pelarut karena umumnya vaksin Leptospira dikombinasikan dengan vaksin lainnya, misalnya

distemper dan hepatitis. Vaksin Leptospira pada anjing yang beredar di Indonesia terdiri atas dua

macam serovar yaitu L. canicola dan L. ichterohemorrhagiae. Vaksin Leptospira pada anjing

diberikan saat anjing berumur 12 minggu dan diulang saat anjing berumur 14-16 minggu. Sistem

kekebalan sesudah vaksinasi bertahan selama 6 bulan, sehingga anjing perlu divaksin lagi setiap

enam bulan.

Pada Manusia

Leptospirosis yang ringan dapat diobati dengan antibiotik doksisiklin, ampisillin, atau

amoksisillin. Sedangkan Leptospirosis yang berat dapat diobati dengan penisillin G, ampisillin,

amoksisillin dan eritromisin.

Manusia rawan oleh infeksi semua serovar Leptospira sehingga manusia harus

mewaspadai cemaran urin dari semua hewan. Perilaku hidup sehat dan bersih merupakan cara

utama untuk menanggulangi Leptospirosis tanpa biaya. Manusia yang memelihara hewan

kesayangan hendaknya selalu membersihkan diri dengan antiseptik setelah kontak dengan hewan

kesayangan, kandang, maupun lingkungan di mana hewan berada.

Manusia harus mewaspadai tikus sebagai pembawa utama dan alami penyakit ini.

Pemberantasan tikus terkait langsung dengan pemberantasan Leptospirosis. Selain itu, para

peternak babi dihimbau untuk mengandangkan ternaknya jauh dari sumber air. Feses ternak

perlu diarahkan ke suatu sumber khusus sehingga tidak mencemari lingkungan terutama sumber

air.

Page 9: Tugas Zoonosis Kl[p 2

Daftar Pustaka

Alexander AD : Leptospirosis, in infection diseases, Hoeprich PD (Ed), 3rt Ed, Harper &

Row Publishers, Philadelphia, 1985, 751-759.Ebrahimi, L. Alijani, G R

Abdollahpour (June 2003). "Serological Survey of Human Leptospirosis in tribal

Areas of West Central Iran" (PDF). IJMS. 2 28. Diakses tanggal 2010-04-17.

^ "Bovine Leptospirosis" (PDF). Texas Agriculture Extension Service. Diakses tanggal

2015-15-09.

Farida Dwi Handayani dan Ristiyanto. "Rapid assessment Inang Reservoir Leptospirosis di

Daerah Pasca Gempa Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah."

(PDF) (in Indonesia). Jakarta: Litbang Departemen Kesehatan. Diakses tanggal

2015-09-15.

Kempe CH, Silver HK, O?brien O, et al: Leptospirosis, In Current Pediatric Diagnosis &

Treatment 1987, 9th Ed, Appleton & Lange, Norwalk, 1987, 893-894.

Subronto. "1". Di Nunung Prajanto. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan

Kucing (in Indonesia) (1 ed.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

pp. 188–192. ISBN 979-420-611-3.

Yuliarti, Nurheti. "1". Di Agnes Heni Triyuliana. Hidup Sehat Bersama Hewan

Kesayangan (in Indonesia) (1 ed.). Yogyakarta: Andi Offset. pp. 243–250. ISBN

979-763-842-1.

Widarso HS dan Wilfried (2002). "Kebijaksanaan Departemen Kesehatan dalam

Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia". Kumpulan Makalah Simposium

Leptospirosis, Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

WHO (2001). "Water Related Diseases: Leptospirosis". World Health Organization.

Diakses tanggal 2010-04-15.