View
5
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
leptospira
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.Klasifikasi Leptospirosis
Leptospira
Bakteri Leptospira menggunakan
Mikroskop elektron tipe scanning.
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Bacteria
Filum: Spirochaetes
Kelas: Spirochaeates
Ordo: Spirochaetales
Famili: Leptospiraceae
Genus: Leptospira
Serovar
Leptospira interogans
Lepstospira australis
Leptospira autumnalis
Leptospira ballum
Leptospira
icterohemorrhagica
Leptospira canicola
Leptospira grippotyphosa
Leptospira Pomona
2. Etiologi
2.a Etiologi Leptospira
Bakteri penyebab Leptosirosis yaitu bakteri Leptospira sp. Bakteri Leptospira merupakan
Spirochaeta aerobik (membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup), motil (dapat bergerak), gram
negatif, bentuknya dapat berkerut-kerut, dan terpilin dengan ketat. Bakteri Lepstospira berukuran
panjang 6-20 µm dan diameter 0,1-0,2 µm. Sebagai pembanding, ukuran sel darah merah hanya
7 µm. Jadi, ukuran bakteri ini relatif kecil dan panjang sehingga sulit terlihat bila menggunakan
mikroskop cahaya dan untuk melihat bakteri ini diperlukan mikroskop dengan teknik kontras.
Bakteri ini dapat bergerak maju dan mundur
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang dapat menyerang manusia dan binatang.
Penyakit menular ini adalah penyakit hewan yang dapat menjangkiti manusia. Termasuk
penyakit zoonosis yang paling sering terjadi di dunia. Leptospirosis juga dikenal dengan nama
flood fever atau demam banjir karena memang muncul dikarenakan banjir.
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme
berbentuk spiral dan bergerak aktif yang dinamakan Leptospira. Penyakit ini dikenal dengan
berbagai nama seperti Mud fever, Slime fever (Shlamnfieber), Swam fever, Autumnal fever,
Infectious jaundice, Field fever, Cane cutter dan lain - lain (WHO, 2003).
Menurut beberapa peneliti yang tersering menginfeksi manusia adalah
L.icterohaemorrhagiae, dengan reservoir tikus, L.canicola, dengan reservoirnya anjing dan
L.pomona dengan reservoirnya sapi dan babi
2.b Etiologi Leptopspira Pomona
Leptospira mempunyai ±175 serovar , bahkan ada yang mengatakan Leptospira memiliki
lebih dari 200 serovar. Infeksi dapat disebabkan oleh satu atau lebih serovar sekaligus. Bila
infeksi terjadi, maka pada tubuh penderita dalam waktu 6-12 hari akan terbentuk zat kebal
aglutinasi Serovar yang telah diketahui dapat menyerang anjing yaitu L. pomona. Pada anjing,
telah tersedia vaksin terhadap Leptospira yang mengandung biakan serovar L. canicola dan L.
icterohemorrhagica yang telah dimatikan. Serovar yang dapat menyerang sapi yaitu L. pamona
dan L. gryptosa. Serovar yang diketahui terdapat pada kucing adalah L. bratislava, L. canicola,
L. gryppothyphosa, dan L. pomona. Babi dapat terserang L. pamona dan L. interogans,
sedangkan tikus dapat terserang L. ballum dan L. ichterohaemorhagicae.
Dengan demikian dapat diartikan bahwa Leptopspira Pomona adalah serovar dari
Leptospira. Sp yang dapat menyebabkan infeksi pada tubuh penderita.
3. Distribusi Penyakit
Leptospirosis terjadi di seluruh dunia, baik di daerah pedesaan maupun perkotaan, di
daerah tropis maupun subtropis. Penyakit ini terutama beresiko terhadap orang yang bekerja di
luar ruangan bersama hewan, misalnya peternak, petani, penjahit, dokter hewan, dan personel
militer. Selain itu, Leptospirosis juga beresiko terhadap individu yang terpapar air yang
terkontaminasi. Di daerah endemis, puncak kejadian Leptospirosis terutama terjadi pada saat
musim hujan dan banjir.
Iklim yang sesuai untuk perkembangan Leptospira adalah udara yang hangat, tanah yang
basah dan pH alkalis, kondisi ini banyak ditemukan di negara beriklim tropis. Oleh sebab itu,
kasus Leptospirosis 1000 kali lebih banyak ditemukan di negara beriklim tropis dibandingkan
dengan negara subtropis dengan risiko penyakit yang lebih berat. Angka kejadian Leptospirosis
di negara tropis basah 5-20/100.000 penduduk per tahun. Organisasi Kesehatan Dunia (World
Health Oraganization/WHO) mencatat, kasus Leptospirosis di daerah beriklim subtropis
diperkirakan berjumlah 0.1-1 per 100.000 orang setiap tahun, sedangkan di daerah beriklim
tropis kasus ini meningkat menjadi lebih dari 10 per 100.000 orang setiap tahun. Pada saat
wabah, sebanyak lebih dari 100 orang dari kelompok berisiko tinggi di antara 100.000 orang
dapat terinfeksi.
Di Indonesia, Leptospirosis tersebar antara lain di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah,
Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat,
Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan
Kalimantan Barat. Angka kematian Leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, mencapai 2,5-
16,45 persen. Pada usia lebih dari 50 tahun kematian mencapai 56 persen. Di beberapa publikasi
angka kematian dilaporkan antara 3 persen - 54 persen tergantung sistem organ yang terinfeksi.
4. Gejala Klinis
4.a Leptospirosis Pomona Pada Sapi
Leptospira Pomona merupakan , serovar yang paling banyak menyerang pada sapi
dengan akibat yang bermacam-macam. Penyakit yang ditimbulkan oleh L. Pomona dapat
berlangsung akut, subakut dan kronik.
Penyakit akut
Kerentanan tertinggi dapat ditemukan pada pedet-pedet muda, dengan umur sampai
dengan 4 minggu. Gejala yang nampak bisa berupa sepsis yang berat, adanya demam
yang tinggi ( sampai dengan 410 C, gejala seperti anoreksia dan kelesuan juga sering
menyertai penyakit ini.
Penyakit sub akut
Gejala yang Nampak pada tipe ini biasanya lebih ringan, demam yang ditimbulkan tidak
terlalu tinggi, anoreksia, kelesua juga tidak ditemukan. Pada hewan-hewan betina yang
sedang dalam masa bunting dapat mengalami keguguran setelah beberapa minggu.
Sedangkan hewan yang sedang dalam masa produksi akan mengalami penurunan air susu
secara mendadak dan mencolok. Air susu yang keluar dapat juga tercampur dengan darah
ataupun berwarna kuning.
Penyakit kronik
Gejala yang timbul pada bentuk ini lebih ringan dibandingkan dengan bentuk-beentuk
yang lain. Keguguran atau keluron dapat terjadi pada trimester kedua atau separoh dari
masa kebuntingan. Meskipun tanpa disertai dengan gejala klinis, namun penderita
bersifat sero-positif dalam pemeriksaan serologik.
4.b L. Pomona pada kucing
Pada hewan termasuk kucing Leptospirosis kadangkala tidak menunjukkan gejala klinis
(bersifat subklinis), dalam arti hewan akan tetap terlihat sehat walaupun sebenarnya dia sudah
terserang Leptospirosis. Kucing yang terinfeksi biasanya tidak menunjukkan gejala walaupun ia
mampu menyebarkan bakteri ini ke lingkungan untuk jangka waktu yang tidak pasti.Gejala klinis
yang dapat tampak yaitu ikterus atau jaundis, yaitu:
Gambar 1. Jaundis pada kucing: telinga dan mukosa mata menjadi kuning
warna kekuningan, karena pecahnya butir darah merah (eritrosit) sehingga ada
hemoglobin dalam urin. Gejala ini terjadi pada 50 persen kasus, terutama jika
penyababnya L. pomona.
demam
tidak ada nafsu makan (anorexia)
depresi
nyeri pada bagian-bagian tubuh
gagal ginjal
gangguan kesuburan
Apabila penyakit ini menyerang ginjal atau hati secara akut maka gejala yang timbul yaitu:
radang mukosa mata (konjungtivitis),
radang hidung (rhinitis)
radang tonsil (tonsillitis)
batuk dan sesak napas.
4.c. L. Pomona Pada Manusia
Masa inkubasi Leptospirosis pada manusia yaitu 2 – 26 hari. Infeksi Leptospirosis
mempunyai manifestasi yang sangat bervariasi dan kadang tanpa gejala, sehingga sering terjadi
kesalahan diagnosa. Perjalanan penyakit Leptospira terdiri dari 2 fase, yaitu fase septisemik dan
fase imun. Pada periode peralihan fase selama 1-3 hari kondisi penderita membaik. Selain itu ada
Sindrom Weil yang merupakan bentuk infeksi Leptospirosis yang berat.
Fase Septisemik
Fase Septisemik dikenal sebagai fase awal atau fase leptospiremik karena bakteri dapat
diisolasi dari darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan tubuh. Pada stadium
ini, penderita akan mengalami gejala mirip flu selama 4-7 hari, ditandai dengan demam,
kedinginan, dan kelemahan otot. Gejala lain adalah sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada,
muntah darah, nyeri kepala, takut cahaya, gangguan mental, radang selaput otak
(meningitis), serta pembesaran limpa dan hati.
Fase Imun
Fase Imun sering disebut fase kedua atau leptospirurik karena sirkulasi antibodi dapat
dideteksi dengan isolasi kuman dari urin, dan mungkin tidak dapat didapatkan lagi dari
darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini terjadi pada 0-30 hari akibat respon pertahanan
tubuh terhadap infeksi. Gejala tergantung organ tubuh yang terganggu seperti selaput
otak, hati, mata atau ginjal. Jika yang diserang adalah selaput otak, maka akan terjadi
depresi, kecemasan, dan sakit kepala. Pada pemeriksaan fungsi hati didapatkan jaundis,
pembesaran hati (hepatomegali), dan tanda koagulopati. Gangguan paru-paru berupa
batuk, batuk darah, dan sulit bernapas. Gangguan hematologi berupa peradarahan dan
pembesaran limpa (splenomegali). Kelainan jantung ditandai gagal jantung atau
perikarditis. Meningitis aseptik merupakan manifestasi klinis paling penting pada fase
imun. Leptospirosis dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah timbul jaundis.
Pada 30 persen pasien terjadi diare atau kesulitan buang air besar (konstipasi), muntah,
lemah, dan kadang-kadang penurunan nafsu makan. Kadang-kadang terjadi perdarahan di
bawah kelopak mata dan gangguan ginjal pada 50 persen pasien, dan gangguan paru-paru
pada 20-70 persen pasien. Gejala juga ditentukan oleh serovar yang menginfeksi.
Sebanyak 30 persen pada L. pomona. mengalami ikterus, namun infeksi L. pomona lebih
sering menyebabkan radang selaput otak (meningitis)
4. Diagnosa
Diagnosa dilakukan berdasarkan sejarah penyakit, gejala klinis, isolasi agen penyebab,
dan hasil uji serologi. Isolasi Leptospira sp dari hewan tersangka seringkali sulit dilakukan,
untuk konfirmasi diagnosis penyakit dilakukan secara serologis di laboratorium dengan
Microscopic Agglutination Test (MAT) untuk menentukan seroprevalensi. Uji ini digunakan
pada pemeriksaan serologik leptospirosis pada sapi (SCOTT-ORR et al., 1980; RATNAM et al)
5. Terapi dan pengobatan
Pengobatan yang dilakukan secara dini dapat mencegah kerusakan jaringan ginjal dan
hati yang sifatnya permanen. Setelah gejala klinis terlihat, sebaiknya secepat mungkin diberikan
suntikan streptomisin maupun oksitetrasiklin. Untuk mengeliminasi leptospirosis dari kandung
kemih penderita dapat digunakan streptomisin dosis tinggi, 25 mg/kgBB, dengan aplikasi
pemberian secara intramuskuler (IM)
Untuk mencegah kematian pada ternak yang disebabkan oleh terjadinya sepsis, dapat
diberikan suntikan penicillin ataupun eritromisin. Akan tetapi ada juga yang melaporkan bahwa
kedua obat tersebut kurang efektif terhadap radang ginjal kronik dan leptospiremia yang
disebabkan oleh leptospirosis salah satunya yaitu tipe serovar L. Pomona.
Pada Hewan
Hewan, terutama hewan kesayangan, yang terinfeksi parah perlu diberikan perawatan
intensif untuk menjamin kesehatan masyarakat dan mengoptimalkan perawatan. Antibiotik yang
dapat diberikan yaitu doksisiklin, enrofloksasin, ciprofloksasin atau kombinasi penisillin-
streptomisin. Selain itu diperlukan terapi suportif dengan pemberian antidiare, antimuntah, dan
infus.
Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan vaksin Leptospira. Vaksin Leptospira
untuk hewan adalah vaksin inaktif dalam bentuk cair (bakterin) yang sekaligus bertindak sebagai
pelarut karena umumnya vaksin Leptospira dikombinasikan dengan vaksin lainnya, misalnya
distemper dan hepatitis. Vaksin Leptospira pada anjing yang beredar di Indonesia terdiri atas dua
macam serovar yaitu L. canicola dan L. ichterohemorrhagiae. Vaksin Leptospira pada anjing
diberikan saat anjing berumur 12 minggu dan diulang saat anjing berumur 14-16 minggu. Sistem
kekebalan sesudah vaksinasi bertahan selama 6 bulan, sehingga anjing perlu divaksin lagi setiap
enam bulan.
Pada Manusia
Leptospirosis yang ringan dapat diobati dengan antibiotik doksisiklin, ampisillin, atau
amoksisillin. Sedangkan Leptospirosis yang berat dapat diobati dengan penisillin G, ampisillin,
amoksisillin dan eritromisin.
Manusia rawan oleh infeksi semua serovar Leptospira sehingga manusia harus
mewaspadai cemaran urin dari semua hewan. Perilaku hidup sehat dan bersih merupakan cara
utama untuk menanggulangi Leptospirosis tanpa biaya. Manusia yang memelihara hewan
kesayangan hendaknya selalu membersihkan diri dengan antiseptik setelah kontak dengan hewan
kesayangan, kandang, maupun lingkungan di mana hewan berada.
Manusia harus mewaspadai tikus sebagai pembawa utama dan alami penyakit ini.
Pemberantasan tikus terkait langsung dengan pemberantasan Leptospirosis. Selain itu, para
peternak babi dihimbau untuk mengandangkan ternaknya jauh dari sumber air. Feses ternak
perlu diarahkan ke suatu sumber khusus sehingga tidak mencemari lingkungan terutama sumber
air.
Daftar Pustaka
Alexander AD : Leptospirosis, in infection diseases, Hoeprich PD (Ed), 3rt Ed, Harper &
Row Publishers, Philadelphia, 1985, 751-759.Ebrahimi, L. Alijani, G R
Abdollahpour (June 2003). "Serological Survey of Human Leptospirosis in tribal
Areas of West Central Iran" (PDF). IJMS. 2 28. Diakses tanggal 2010-04-17.
^ "Bovine Leptospirosis" (PDF). Texas Agriculture Extension Service. Diakses tanggal
2015-15-09.
Farida Dwi Handayani dan Ristiyanto. "Rapid assessment Inang Reservoir Leptospirosis di
Daerah Pasca Gempa Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah."
(PDF) (in Indonesia). Jakarta: Litbang Departemen Kesehatan. Diakses tanggal
2015-09-15.
Kempe CH, Silver HK, O?brien O, et al: Leptospirosis, In Current Pediatric Diagnosis &
Treatment 1987, 9th Ed, Appleton & Lange, Norwalk, 1987, 893-894.
Subronto. "1". Di Nunung Prajanto. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan
Kucing (in Indonesia) (1 ed.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
pp. 188–192. ISBN 979-420-611-3.
Yuliarti, Nurheti. "1". Di Agnes Heni Triyuliana. Hidup Sehat Bersama Hewan
Kesayangan (in Indonesia) (1 ed.). Yogyakarta: Andi Offset. pp. 243–250. ISBN
979-763-842-1.
Widarso HS dan Wilfried (2002). "Kebijaksanaan Departemen Kesehatan dalam
Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia". Kumpulan Makalah Simposium
Leptospirosis, Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
WHO (2001). "Water Related Diseases: Leptospirosis". World Health Organization.
Diakses tanggal 2010-04-15.