Upload
gpicauly
View
262
Download
21
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tht
Citation preview
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuli kongenital adalah salah satu masalah pada anak-anak yang akan berdampak
pada perkembangan bicara, sosial, kognitif dan akademik. Masalah akan makin
bertambah apabila tidak dilakukan deteksi dan intervensi dini. Tuli kogenital adalah tuli
yang terjadi pada seorang bayi yang disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi
kehamilan maupun pada saat lahir. Ketulian ini dapat berupa ketulian sebahagian
(hearing impaired) atau tuli total (deaf).
Tuli kogenital dibagi menjadi genetic herediter dan non genetic. Untuk
mencegah terjadinya tuli kogenital maka dihindari kawin sedarah. Pada kelahiran terjadi
ketulian pada anak karena kegagalann dari perkembangan sistem pendengaran akibat
faktor genetik, kerusakan dari mekanisme pendengaran dari masa embrional, kehidupan
janin di dalam kandungan atau selama proses kehamilan. Faktor-faktor diatas akan
menyebabkan anak tuli sebelum lahir atau tuli pada saat lahir sehingga anak tersebut
tidak akan pernah mendengar suara maka dia akan acuh tak acuh terhadap lingkungan
sekitarnya. Anak yang lahir tuli meskipun tidak pernah mendengar tetapi dapat juga
tersenyum bahkan berteriak-teriak hanya saja suara yang dihasilkan tidak berguna untuk
komunikasi.
Gangguan pendengar pada bayi dan anak kadang-kadang disertai
keterbelakangan mental, gangguan emosional maupun afasia perkembangan. Umumnya
sebahagian bayi atau anak yang mengalami gangguan pendengaran lebih dahulu
diketahui keluarganya sebagai pasien yang terlambat bicara. Pada prinsipnya gangguan
pendengaran pada bayi haras diketahui sedini mungkin. Walaupun derajat ketulian yang
sedang dialami seorang bayi bersifat ringan namun dalam keadaan normal seorang bayi
memiliki kesiapan berkomunikasi yang efektif pada usia 18 bulan dimana pada saat itu
merupakan periode kritis untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dan manfaat dalam pembuatan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas dalam kepaniteraan klinik senior ilmu penyakit Telinga Hidung
Tenggorokan-Kepala Leher (THT-KL) di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Anatomi Telinga
Sistem auditorius terdiri dari tiga komponen yaitu telinga luar, tengah dan
dalam. Telinga taar terdiri dari daun telinga, liang telinga dan membran timpani. Daun
telinga terdiri dari tnlang rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S
dengan rangka tulang rawan sepertiga luar sedangkan dua pertiga bagian dalamnya
terdiri dari tulang. Panjang dari lian telina ini berkisar 2,5-3 cm. Pada sepertiga bagian
luar liang telinga banyak terdapat kelenjar serumen dan rambut kelenjar keringat
terdapat pada seluruh liang telinga. Pada dua pertiga bagian dalam liang telinga sedikit
dijumpai kelenjar serumen.
Telinga tengah berbentuk kubus yang dibatasi oleh bagian-bagian seperti
berikut:
1. Batas luar : membran timpani
2. Batas depan : tuba eustachius
3. Batas bawah : venajugularis (bulbus jugularis)
4. Batas belakang : aditus adantrum, kanalis fasialis pars vertikalis
5. Batas atas : tegmen timpani
6. Batas dalam : berturut rurut dari atas kebawah kanalis semisirkularis
horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong, tingkap bundar dan
promontorium.
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung apabila dilihat dari arah liang telinga
dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars flaksida,
sedangkan bagian bawah disebut pars tensa. Pars flaksida hanya berlapis dua yaitu
bagian luar yaitu lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam adalah epitel
saluran nafas. Pars tensa memiliki satu lapisan lagi di tengah yaitu lapisan yang terdiri
serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan sebagai radier dibagian luar dan
sirkuler di bagian dalam. Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran
timpani disebut sebagai umbo. Dari bagian umbo bermula suatu reflek cahaya yaitu
pada pukul 7 pada telinga kiri dan pukul 5 pada telinga kanan. Membran timpani dibagi
menjadi 4 kuadran dengan menarik garis tengah pada longus maleus dan garis tegak
2
lurus pada garis itu di umbo sehingga didapati bagian atas-depan, atas-belakang,
bawah-depan dan bawah-belakang. Tulang pendengaran pada telinga teagah saling
berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada membran timpani, maleus nekkat
pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes berhubungan dengan tingkap bnpong
yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang pendengaran ini adalah
posendian. Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini terdapat
andftus ad antrum yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dengan antrum
mastoid. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan
nasofaring dan telinga tengah
Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah lingkaran dan
vestibuler fang terdiri 3 buah kanalis semisirkularis ujung atau puncak dari koklea
disebut helikotrema yang menghubungkan perilimfa skala timfani dengan skala
vestibuli. Kanalis semisirkularis berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk
lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea, pada sebelah atas terlihat
skala vestibuli, bawah tampak skala timpani dan dukrus koklearis pada skala media atau
diantaranya. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli sedangkan dasar
skala media disebut membran basalis. Pada membran ini terletak organ corti. Pada skala
media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria dan pada
membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam dan luar dan
kanalis corti yang membentuk organ korti.
3
2.2 Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya gelombang bunyi dari daun
telinga yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut
memggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang
pendengaran yang akan mengamflikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran
dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong.
Energi energi getar yang telah diamfilikasi ini akan diteruskan ke tulang stapes
yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfe pada skala vestibuli bergerak.
Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong endolimfa sehingga
akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses
ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan defleksi stereosillia sel-sel rambut
sehingga kanal ion terbukadan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik ke badan sel.
Keadaan ini menyebabkan depolarisasi sel rambur sehingga menyebabkan pelepasan
neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf
auditorius lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran di
lobus temporalis.
Persarafan pada pendengaran dan keseimbangan berasal dari Nervus Akustikus
dan Nervus Fasialis yang masuk ke porus dari meatus acusticus internus dan bercabang
dua membentuk Nervus vestibularis dan Nervus Koklearis. Sedangkan perdarahan dari
telinga diperdarahi oleh Arteri Labirinti yang berasal dari Arteri Serebelli inferior dan
langsung dari Arteri Basilaris dan masuk ke meatus internus yang kemudian bercabang
menjadi:
1. Ramus Vestibularis : "bagian atas vestibulum kanalis semisirkularis
dan koklea bagian basal.
2. Ramus Vestibulocochlearis : bawah vestibulum, kanalis semisirkularis dan
koklea bagian basal.
3. Ramus Koklearis : bagian koklea lainnya
4
2.3 Perkembangan Auditorik
Perkembangan auditorik pada manusia sangat erat hubungannya dengan
perkembangan otak. Neuron di bagian korteks mengalami proses pematangan dalam
waktu 3 tahun pertama kehidupan, dan 12 bulan pertama kehidupan terjadi
perkembangan otak yang sangat cepat.
Berdasarkan penepitian bahwa koklea mencapai fungsi normal seperti orang
dewasa pada usia gestasi 20 minggu. Pada masa tersebut janin dalam kandungan sudah
dapat memberikan respon pada suara yang ada disekitarnya namun reaksi janin masih
reaksi seperti refleks moro, terhentinya aktivitas, dan refleks auropalpebral. Kuccwara
membuktikan respon terhadap suara berupa refleks aurpalpebral yang konsisten pada
janin usia 24-25 minggu.
2.4 Defmisi
Tuli kongenital ialah ketulian yang terjadi pada seorang bayi yang disebabkan
faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan maupun pada saat lahir.
2.5 Insidensi
Di negara maju angka tuli kogenital berkisar antara 0,1-0,3% kelahiran hidup,
sedangkan di Indonesia berdasarkan survey yang dilakukan Depkes di 7 propinsi pada
tahun 1994-1996 yaitu sebesar 0,1% . di Indonesia diperkirakan 214.000 orang bila
jumlah penduduk sebesar 214.100.000 juta.
Jumlah ini akan bertambah setiap tahunnya seiring dengan pertambahan jumlah
penduduk akibat tingginya angka kelahiran sebesar 0,22%. Hal ini akan berdampak
pada penyediaan sarana pendidikan dan lapangan pekerjaan di masa mendatang.
Pertemuan WHO di Colombo pada tahun 2000 memutuskan bahwa tuli kogenital
sebagai salah satu penyebab ketulian yang angka prevalensinya harus diturunkan. Ini
tentu saja memerlukan kerja sama dengan bidang lainnya dan masyarakat selain tenaga
kesehatan.
5
2.6 Etiologi
Gangguan pendengaran pada anak dapat berkembang dari penyebab yaitu
prenatal, perinatal dan post natal.
• Prenatal
Selama kehamilan periode yang paling penting adalah trimester pertama sehingga setiap
gangguan yang terjadi pada masa itu akan menyebabkan ketulian pada bayi. Infeksi
bakteri maupun virus pada masa tersebut dapat berakibat buruk pada pendengaran bayi
yang akan dilahirkan. Beberapa jenis obat yang ototoksik dan teratogenik yang dapat
mengganggu organogenesis dan merusak sel silia seperti salisilat, kina, neomisin,
barbiturat, gentamisin dan lain-lain. Adapun yang mempengaruhi masa prenatal ini
adalah
I. Infant faktor
Janin dapat lahir dengan kelainan pada telinga dalam yang dapat disebabkan genetik
maupun faktor nongenetik. Kelainan yang muncul dapat sendiri maupun dapat
merupakan bagian dari suatu syndrome. Kelainan pada telinga dalam dapat berupa
kelainan membranous labyrinth atau kombinasi dari kelainan membranous labyrinth dan
tulang labyrinth. Yang termasuk dari gangguan ini adalah
Sheibe's dysplasia
Alexander's dysplasia
Bing-Siebeman dysplasia
Michel dysplasia
Mondini's dysplasia
Enlarge vestibular aqueduct
Semicircular canal malformation
II. Maternal faktor
Adapun yang termasuk dari maternal faktor adalah
Infeksi
Penggunaan obat-obatan semasa kehamilan
Terpapar radiasi pada trimester pertama
6
• Perinatal
Beberapa keadaan yang dialami bayi pada saat lahir juga merupakan faktor resiko
terjadinay gangguan pendengaran. Umumnya ketulian yang terjadi akibat factor pranatal
dan perinatal adalah tuli sensorineural bilateral dengan derajat ketulian berat atau sangat
berat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tuli kongenital saat kelahiran adalah :
Anoxia
Prematuritas dan berat badan lahir yang rendah
Trauma lahir
Jaundice neonatus
Meningitis neonates
Penggunaan obat-obat ototoksik sewaktu terapi meningitis
• Postnatal
Adanya infeksi bakteri atau virus seperti rubela, campak, parotis, infeksi selaput otak,
perdarahan pada telinga tengah, trauma temporal juga menyebabkan tuli saraf dan
konduktif.
Adapun faktor yang mempengaruhi tuli kogenital setelah kelahiran adalah
I. Genetik
Pada keadaan ini tuli yang dialami akan muncul pada masa kanak-kanak dan dewasa
dimana didapati anggota keluarga yang mengalami tuli sensorineural yang progresif
atau adanya sindrome yang berhubungan.
II. Nongenetik
Bagian ini juga terjadi pada saat dewasa yang dapat disebabkan oleh :
Infeksi virus
Sekret otitis media
Obat yang bersifat ototoksik
Trauma
Noise-induced deafness
7
2.7 Patoflsiologi
Tuli kongenital paling sering mempengaruhi sel-sel rambut koklea dan menyebabkan
kehilangan pendengaran. Kehilangan pendengaran umumnya bilateral dan frekuensi
tinggi lebih sering daripada frekuensi rendah meskipun audiogram menunjukkan hasil
yang berbeda. Kebanyakan penyebab tuli kogenital tidak diketahui , tetapi kondisi lain
dapat terjadi selama kehanilan karena infeksi Rubella atau CMV yang menyebabkan
terjadinya tuli kogenital.
Tuli kogenital dapat memburuk setelah kelahiran dantingkat keparahan
bervariasi. Kehilangan pendengaran juga dapat gangguan genetic. Faktor genetik
berperan setidaknya 50% dari semua tuli kogenital. Jarang terjadi malformasi kogenital
termasuk atresia meatus auditory internal. Sangat penting untuk mendiagnosa ini karena
anak-anak dengan kehilangan pendengaran tidak menerima implant koklea. Mereka
seharusnya memiliki auditory brainstem implant dimana saraf-saraf pendengaran di
bypass perangsangan langsung nucleus koklear. Sejak kebanyakan masalah tuli
kogenital mempengaruhi sel-sel rambut bagian luar, bayi yang baru lahir sekarang perlu
diskrinig dengan menggunakan rekaman otoucustic emission.
Infeksi sering mengenai telinga bagian tengah dan koklea. bakterial menginitis
salah satu penyebab gangguan pendengaran pada anak-anak sebelum imunisasi. Bakteri
menyebabkan meningitis dan kehilangan pendengaran akibat inflamasi pada labirin
yang mengganggu sel rambut dan mengganti labirin membrane dan jaringan ikat yamg
biasanya bilateral dan permanen.
2. 8 Gejala klinis
Gejala awal yang dijumpai pada bayi atau anak didapat alloanamnesa dari
orangtuanya, biasanaya apabila orang tua bersuara maka tidak ada reaksi dari anaknya
dan apabila dipanggil tidak ada reaksi. Lambat laun jika bayi bertambah besar maka
perkembangannya menjadi aneh dimana ada variasi dalam pengucapan kata-kata, tidak
dapat berbicara yang keras yang dihasilkan dari perbendaharaan kata dimana pada usia
9 bulan bayi sudah dapat mengucapkan 4 perbendaharaan kata.
Pada anak yang muda tidak dapat perhatian penuh, bingung terus meneras, tidak
adanya perhatian seolah-olah tidak mendengar dan tidak mau mendengarkan. Terkadang
anak dituduh nakal, malas dan lambat perkembangannya. Banyak gejala dari ketulian
8
ini seperti adanya kemunduran mental, gangguan emosi, psikotik, kesalahan orientasi
sekeliling kelainan saraf, cerebral palsy, gangguan fisik dan belajar berbicara yang sulit.
Gamgguan diketahui rata-rata 18-24 bulan 50% tanpa faktor resiko terhadap ketulian.
Anak yang lahir tuli atau tuli sebelum dapat berbicara dapat dicurigai apabila anak
tersebut:
• Tidak ada tanggapan suara terutama suara ibunya
• Tidak terkejut ataupun tidak menoleh apabila ada suara keras disampingnya.
• Tidak menunjuknya ada ekspresi pada wajahnya.
Adanya gangguan perkembangan dari bahasa dan bicara yaitu pada usia 12 bulan anak
belum bisa berbicara dan usia 18 bulan tidak bisa menyahut satu kata
2.9 Diagnosis
Untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran maka diagnosis dini perlu
dilakukan pada bayi baru lahir sebelum keluar dari rumah sakit dengan tujuan untuk
mengetahui sedini mungkin kejadian gangguan pendengaran pada bayi karena tuli berat
sejak lahir memiliki dampak luas pada perkembangan berbicara berbahasa, gangguan
kognitif perilaku sosial emosi dan kesempatan bekerja.
Dengan demikian tuli sejak dini dapat diintervensi dapat dilakukan sedini
mungkin dan bukti memberikan peluang perkembangan yang lebih baik daripada
ketulian yang ditemukan pada anak yang lebih lanjut. Skrining sebaiknya pada semua
bayi yang baru lahir normal maupun bayi normal tanpa resiko. Negara bagian Montana
di AS merekomendasikan program 3-6 bulan untuk deteksi dan intervensi dini yaitu
skrining yang dilakukan sampai umur 1 bulan, diagnosis dilakukan sebelum 3 bulan dan
intervensi dilakukan pada umur 6 bulan dan program ini disebut juga Joint Committe on
Infant Hearing (2000) menetapkan pedoman penegakan diagnosa terhadap ketulian
sebagai berikutu
Untuk bayi 0-28 hari :
1. Riwayat keluarga dengan tuli sensori neural sejak lahir
2. Infeksi masa hamil (TORCHS)
3. Kelainan kraniofasialis termasuk kelainan pada pinna dan Hang telinga
4. Berat badan lahir < ISOOgr
5. Hiperbilirubinemia yang memerlukan transfusi tukar
9
6. Obat ototoksik
7. Meningitis bakterial
8. Nilai apgar 0-4 pada menit pertama; 0-6 pada menit kelima
9. Ventilasi mekanik 5 hari lebih di NICU
10. Sindroma yang berhubungan sengan riwayat keluarga dengan tuli sensorineural
sejak lahir
Untuk bayi 29 hari - 2 tahun
1. Kecurigaan orang tua atau pengasuh tentang gangguan pendengaran, keterlambatan
bicara, berbahasa tau keterlambatan perkembangan.
2. Riwayat keluarga dgn gangguan pendengaran yang menetap sejak anak-anak.
3. Keadaan atau stigmata yang berhubungan dengan sindroma tertentu yang diketahui
mempunyai hubungan yang erat dengan tuli sensorineural, konduktif dan gangguan
tuba eustachius.
4. Infeksi postnatal yang menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural
termasuk meningitis bakterial.
5. Infeksi intrauterin seperti toksoplasmosis, rubella, cytomegallo, herpes dan sifillis
6. Adanya faktor resiko tertentu pada masa neonatus terutama hiperbilirubinemia
yang memerlukan transfusi tukar, hipertensi pulmonal yang membutuhkan
ventilator serta kondisi lainnya yang memerlukan extracorporeal membrane
oxygenation (ECMO)
7. Sindroma tertentu yang berhubungan dengan gangguan pendengaran yang progresif
usher syndrome neurofibromatosis dan osteoporosis
8. Adanya kelainan neurogeneratif seperti Hnter syndrome dan kelainan neuropathy
sensomotorik misalnay Freiderick ataxia, Charrot Marie Tooth Syndrome.
9. Trauma kapitis
10. Otitis media yang berulang dan menetap disertai effusi telinga tengah minimal 3
bulan.
Bayi yang mempunyai salaha satu faktor resiko tersebut mempunyai
kemungkinan mengalami ketulian 10,2 kali lebih besar dibandingkan dengan bayi yang
tidak memiliki faktor resiko. Bila terdapat 3 faktor resiko kecendrungan menderita
10
ketulian diperkirakan 63 kali lebih besar dibandingkan bayi yang tidak mempunyai
faktor resiko. Pada bayi baru lahir yang dirawat di ruang intensif resiko mengalami
ketulian 10 kali dibandingkan bayi normal.
Namun indikator risiko gangguan pendengaran tersebut hanya mendeteksi
sekitar 50% gangguan pendengaran karena banyaknya bayi yang mengalami gangguan
pendengaran tanpa memiliki faktor resiko dimaksud. Berdasarkan pertimbangan
tersebut makas saat ini upaya melakukan deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi
ditetapkan melalui program Newborn Hearing Screening (NHS).
Saat ini baku emas pemeriksaan skrining pendengaran pada bayi adalah
pemeriksaan otoacoustic emission dan automated ABR.
2.10 Pemeriksaan pendengaran pada bayi
Pada prinsipnya gangguan pendengaran pada bayi harus diketahui sedini
mungkin. Walaupun derajat ketulian yang dialami anak atau bayi masih ringan namun
dalam perkembangan selanjutnya akan mempengaruhi kemampuan anak untuk
berbicara dan berbahasa.
Dibandinkan dengan orang dewasa pemeriksaan pendengaran pada anak dan
bayi jauh lebih sulit dan memerlukan ketelitian dan kesabaran. Selain itu pemeriksa
harus mengetahui usia anak atau bayi dengan taraf perkembangan motorik dan
audotorik. Untuk itu oerlu dilakukan pemeriksaan ulangan atau pemeriksaan tambahan
untuk melaksanakan konfirmasi hasil pemeriksaan sebelumnya. Beberapa pemeriksaan
yang dapat di;ajukan pada bayi dan anak adalah :
1. Behavioral Observation Audiometry (BOA)
Tes ini berdasarkan respon aktif pasien terhadap stimulus bunyi dan merupakan
respon yang disadari. Metoda ini dapat mengetahui sistem auditorik termasuk kognitif
yang lebih tinggi. Pemeriksaan dilakukan pada ruangan yang cukup tenang idealnya
dilakukan pada ruangan kedap suara. Sumber bunyi sederhana dapat dilakukan dengan
tepukan tamngan tembur, bola plastik berisik pasir, remasan kertas minyak, bel,
terompet karet dan mainan dengan bunyi yang berfrekuensi tinggi. Lalu dinilai
kemampuan anak dalam memberikan respon terhadap sumber bunyi tersebut.
11
2. Timpanometri
Pemeriksaan ini diperlukan unrtuk menilai kondisi dari telinga tengah.
Gambaran timpanometri yang abnormal merupakan petunjuk adanya gangguan
pendengaran yang konduktif.
Melalui probe tone yang dipasang di Hang telinga maka dapat diketahui
besarnya tekanan di Hang telinga berdasarkan energi suara yang dipantulkan kembali
oleh gendang telinga. Pada bayi diatas usia 7 bulan maka digunakan probe tone dengan
frekuensi suara 226 Hz. Khusus bayi di bawah 6 bulan tidak digunakan frekuensi diatas
karena akan menimbulkan resonansi di telinga sehingga yang digunakan dengan
frekuensi 668, 678 dan lOOOHz. Terdapat 4 jenis timpanogram yaitu :
• Tipe A (normal)
• Tipe AD (diskontinuitas tulang pendengaran)
• Tipe AS (kekakuan rangkaian tulang pendengaran)
• Tipe B (cairan di telinga tengah)
• Tipe C ( gangguan tuba eustachius)
Pada bayi usia kurang dari 6 bulan ketentuan jenis timpaninogram tidak
mengikuti ketentuan diatas. Timpanometri merupakan pemeriksaan pendahuluan
sebelum OAE dan apabila ada gangguan pada telinga tengah maka pemeriksaan OAE
harus ditunda samapai telinga tengah tidak bermasalah.
Refleks akustikus pada bayi juga berbeda dengan dengan orang dewasa. Dengan
menggunakan probe tone frekuensi tinggi, reflek akustik bayi usia 4 bulan atau lebih
sudah mirip dengan dewasa.
3. Audiometri Nada Murni
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan audiometer, dan hasil
pencatatannya disebut audiogram. Dapat dilakukan pada anak yang usianya diatas 4
tahun yang koperatif. Sebagai sumber suara digunakan suara yang murni yang hanya
terdiri dari satu frekuensi. Pemeriksaan dilakukan di ruangan kedap suara dengan
menilai hantaran suara oleh udara melalui headphone dengan frekuensi 5000, 1000,
2000, 4000 dan SOOOHz.hantaran suara melalui tulang diperiksa dengan menggunakan
bone vibrator pada prosesus mastoid yang dilakukan pada frekuensi 500, 1000, 2000,
4000 Hz. Intensitas yang biasa digunakan biasanya antara 10-100dB secara bergantian
12
pada kedua telinga. Suara dengan intensitas rendah yang dapat didengar dicatat di
audiogram untuk memperoleh informasi tentang jenis dan derajat ketulian.
4. Oto Acoustic Emission (OAE)
Suara yang berasal dari dunia luar akan diproses koklea menjadi stimulus listrik,
selanjutnya dikirim ke batang otak melalui saraf pendengaran sebahagian energi bunyik
tidak diteruskan ke saraf pendengaran melainkan kembali ke Hang telinga. Produk
sampingan ini disebut emisi otoaukustik. Koklea tidak hanya menerima dan memproses
bunyi tetapi juga memproses bunyi menjadi energi dengan intensitas rendah yang
berasal dari sel rambut luar koklea.
Terdapat 2 jenis OAE yaitu spontaneus OAE, evoked OAE . pada yang spontan,
mekanisme koklea untuk menghasilkan OAE tanpa harus diberikan stimulus namun
tidak semua orang nonnal memilikinya. Seedangkan pada Evoked maka harus diberikan
stimulus terlebih dahulu.
Pemeriksaan OAE merapakan pemeriksaan yang elektofisiologik untuk menilai
fungsi koklea yang onjektif, otomatis, tidak invasi, murah tidak membutuhkan waktu
lama dan praktis sehingga efisien untuk program skrining pendengaran pada bayi.
5. Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA)
BERA merupakan cara pengukuran evoked potensial sebagai respon terhadap
stimulus auditorik. Stimulus bunyi yang dugunakan berupa bunyi clik atau toneburst
yang diberikan melalui headphone pada pemeriksaan ini perlu dipertimbangkan faktor
maturitas jaras saraf auditorik pada bayi dan anak yang usianya kurang dari 12-18 bulan
karena tersapat perbedaan masa laten, amplitude, dan morfologi gelombang
dibandingkan anak yang lebih besar maupun dewasa.
2.11 Penatalaksanaan
Ada atau tidaknya ketulian sebenarnya bisa dideteksi sejak bayi berusia 3 bulan.
Pada pendengaran normal suara masuk akan diproses masuk dalam kokhlea, sebuah
saluran atau tuba yang berputar spiral mirip rumah siput dan berisi organ-organ
pendengaran. Getaran gelombang suara digetarkan ke kokhlea sehingga terjadi gerakan
pada cairan sel-sel rambut dam membrane-membrane di dalamnya. Sel-sel rambut
inilah yang mengirim sinyal saraf ke otak. Jika terjadi kerusakan dan gangguan otomatis
suara tidak dapat ditangkap dan diterjemahkan otak.
13
Perlu untuk mengetahui derajat dan jenis dari tuli yang diperoleh dan kelainan
yang mengikuti seperti retardasi mental atau kebutaan serta kehilangan pendengaran
yang bersifat prelingual atau post lingual. Tujuan dari habilitasi pada anak-anak dengan
gangguan pendengaran adalah perkembangan bahasa dan berbicara, bersosialisasi dan
dapat mengeluarkan suara. Adapun penatalaksanaan tuli kogenital adalah
1. Pengawasan orang tua
Orang tua yang mempunyai anak yang tuli haruslah secara emosional menerima
kekurangan yang dihadapi anak mereka. Mereka haruslah diberitahu tentang
kekurangan yang dihadapi anak mereka dan bagaimana cara menanganinya. Peran
orang tua dalam habilitasi sangat penting dimana untuk penjagaan dan pemakaian dari
alat bantu dengar, pemasangan telinga palsu selama pertumbuhan menjadi dewasa,
sering melakukan pemeriksaan, memberikan pendidikan di rumah dan pemilihan dalam
besuara.
2. Habilitasi
Orang yang terdeteksi gangguan pendengaran biasanya diberikan terapi alat
bantu dengar atau hearing aids sekitar enam bulan. Selama ini pula dilakukan
serangkaian tes untuk mengetahui respon pendengaran dan kemampuan berkomunikasi.
Jika tidak berpengaruh signifikan implantasi kokhlea menjadi solusi berikutnya tuli
akibat infeksi dan tuli konduktif atau gangguan luar dan tengah umumnya bisa diobati
atau dibantu dengan alat bantu dengar begitupun tuli kogenital.
3. Pengembangan berbicara dan berbahasa
Komunikasi adalah merupakan proses dua arah, tergantung dari kemampuan
menerima dan mengekspresi. Penerimaan informasi melalui visual, pendengaran atau
perabaan sementara ekspresi secara oral atau bahasa sinyal. Pada penderita gangguan
pendengaran, fungsi auditorik jelek atau tidak ada sama sekali. Oleh sebab itu untuk
mendapatkan informasi yang baik, mereka perlu untuk meningkatkan kualitas
pendengaran dengan amplifikasi pendengaran atau implan koklea.
• Komunikasi oral auditorik
Metode ini digunakan orang yang normal dan cara komunikasi yang paling baik.
Metode ini dapat digunakan pada gangguan pendengaran sedang hingga berat atau
penderita dengan tuli post lingual. Alat bantu dengar digunakan untuk
menambahkan penerimaan auditori. Pada masa yang sama, latihan untuk
14
komunikasi melalui pembacaan bicara diterapakan seperti membaca gerakan bibir,
muka dan gerakan alami dari tangan dan tubuh. Kemampuan ekspresi dirangsang
dengan pembicaraan oral.
• Komunikasi manual
Komunikasi ini dengan bahasa isyarat atau metode penulisan jari tetapi mempunyai
kekurangan dimana ide yang sangat abstrak untuk diekspresikan dan masyarakat
umum tidak mengerti.
• Komunikasi total
Komunikasi ini memerlukan semua kemampuan input sensorium. Dimana anak
diajarkan untuk mengembangkan fungsi berbicara, membaca bahasa bibir dan
bahasa isyarat. Semua anak dengan tuli prelingual harus menjalani ini. Alat bantu
dengar berguna untuk penderita yang tuli total dan buta.
4. Pendidikan untuk orang yang tuli ?
Anak dengan penderita tuli sedang atau total dapat dimasukkan ke sekolah anak
dimana mereka diberikan tempat khusus di dalam kelas. Denagan menggunakan
alat batu dengar guru memakai mikrofon dan transmitter dan anak yang tuli dapat
mendengarkan suara guru mereka dengan lebih baik tanpa gangguan kebisingan
lingkungan
5. Pembedahan
Tergantung pada tuli kogenital yang tipe dan beratnya ketulian dan adanya
gangguan lain seperti cogenital stapes fixation, choloesteatoma dan lain-lain. Atau
dengan tindakan implan kokhlea untuk gangguan pendengaran karena kerusakan
dan efek dari fungsi kokhlea. Cranya dengan menanamkan sejenis peranti digital di
dalam telinga untuk menggantikan fungsi kokhlea yang rusak. Lalu disambungkan
dengan perangkat pengatur digital dan mikrofon di bagian luar. Alat bekerja dengan
menghindari bagian-bagian yang rusak di telinga bagian dalam untuk menstimulasi
serta pendengaran yang masih tersisa kemudian mengirim sinyal ke otak sehingga
pendengar tidak hanya mampu mendengar kembali namun dapat juga
mendengarkan musik. Teknologi implan kookhlea juga sebenarnya sudah
15
dilakukan 40 tahun yang lalu. Orang dengan implan kokhlea biasanya dapat
mendengarkan percakapan dengan baik tetapi musik pendengaran masih buruk.
16
BAB III
KESIMPULAN
Tuli kogenital merupakan ketulian yang terjadi pada seorang bayi yang
disebabkan faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan maupun pada saat lahir.
Ketulian ini dapat berupa tuli sebahagian dan tuli total. Tuli kogenital dibagi menjadi
genetic herediter dan non genetic
Etiologi gangguan pendengaran pada bayi dan anak dibedakan berdasarkan
terjadinya gangguan pendengaran yaitu masa prenatal, perinatal dan postnatal. Adapun
gejala klinik tuli kogenital antara lain tidak ada tanggapan suara terutama suara ibunya,
tidak terkejut ataupun menoleh bila ada suara keras disampingnya, tidak menunjukkan
adanya ekspresi wajah, adanya gangguan perkembangan dari berbahasa dan berbicara.
Untuk melakukan pemeriksaan pendengaran yaitu behavioral observation
audiometry (BOA), timpanometri, audimetri nada murni, oto acoustic emission (OAE),
brainstem evoked respones audiometry (BERA). Penatalaksanaan dengan edukasi, alat
bantu dengar dengan atau tanpa implan kok.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Wibisono S. Tuli Congenital. 2008. Available from URL :
http://www.viblitze.com
2. Soepardjo H. Soetomo, sebab-sebab ketulian. 2008. Available from URL :
http://www.kalbe.co.id
3. Suwento R. Rizlavsky S. Hendarmin H. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan. In: Soeparti EA, IskandarN. Edisi 6. Jakarta : 2001, hal 31-41
4. Willems P.J. Genetic Causes of Hearing Loss, New England Journal of Medicine,
Updated on April 13 2000. Available from URL
: http://www.neim.org.ogl.content/short/354/20/2151
5. Wikipedia, Telinga. 2000. Available from URL : http://www.wikipedia.com
6. Adams GL, Boeis, LR. Higler A. Boeis Buku Ajar Penyakit THT, Edisi 6. Jakarta
7. Maran AGO, Diseases of The Nose, Throat and Ear, Edisi 10 New Delhu, PG.
1990, P.410-416
8. Maqbool M Textbook of Ear, Nose and Throat Diseases. Edisi 6. New Delhi:
JBMP; 1993, P. 167-171
9. Marton C.C et. Al, Newborn Hearing Screening ; New England Journal of
Medicine, Updated on May 18 2006, Available from URL :
http://content.neim.org/ogt.content/short/354/20/21/2151
10. Moller AR. Hearing Anatomy, Physiology and of The Auditory System. Edisi 2
UK : Elsevier; 2006, P.233-234
11. Katz. J. Handbook of Clinical Audiology, Edisi 5, USA : Lippinecott William &
Wilkins, 2002, P.762
12. Dhingra P. L. The Deaf Child in Diseases of Ear, Nose and Throat. 4 Edition.
Elsevier, New Delhi, 2006. Page 113-124
13. Atlas Ketulian dengan Implantasi Kokhlea, 2008 Available from ;
http://www.lifestyle.okezone.com
18
Makalah Ilmiah
TULI KONGENITAL
DWI FENNY AMIR
060100035
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER (THT LEHER)
FK USU
Saya yang bertanda tangah di bawah ini telah mneyerahkan hard copy dan soft copy makalah ilmiah kepada dr. Debi
Nama Tudul Full Teks Power Point
Soft Copy Tanda Tangan
Dwi Fenny Amir
Tuli Kongenital
Yang Menerima : Telah Disetujui :
Tanggal : Tanggal :
PPDS Pembiming
Dr. Debi
19
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan
rahmatNya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Harapan saya agar makalah
ini dapat memberikan manfaat bagi staf di rumah sakit, masyarakat umumnya, dan diri
saya sendiri.
Tujuan saya adalah untuk memberikan yang terbaik bagi semua orang,tetapi
saya menyadari makalah ini memiliki banyak kekurangan yang harus disempurnakan
karena itu saya amat menghargai segala kritik dan saran untuk menyempurnakan
makalah ini.
Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih bagi semua pihak yang turut serta
dalam menyelesaikan makalah ini dan semoga semua yang kita lakukan menjadi ibadah.
Penulis
20i
DAFTAR ISI
Judul Halaman
KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang................................................................................. 1
1.2Tujuan............................................................................................... 1
BAB II ISI.......................................................................................................... 2
2.1 Anatomi Telinga.............................................................................. 2
2.2 Fisiologi Pendengaran...................................................................... 4
2.3 Perkembangan Auditorik................................................................. 5
2.4Definisi.............................................................................................. 5
2.5 Insidensi........................................................................................... 5
2.6EtioIogi.............................................................................................. 5
2.7 Patofisiologi..................................................................................... 7
2.8 Gejala Klinis.................................................................................... 8
2.9 Diagnosis.......................................................................................... 9
2.10 Pemeriksaan pendengaran pada bayi............................................. 11
2.11 Penatalaksanaan............................................................................. 13
BAB III PENUTUP............................................................................................. 16
Daftar Pustaka....................................................................................................... 17
21ii