Upload
others
View
20
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Om Swastyastu,
Puji Syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa
(Tuhan Yang Maha Esa) atas berkat anugerahnya disertasi dapat diselesaikan.
Disertasi berjudul “Analisis Komodifikasi Seni Pertunjukan Pariwisata Bali
Agung – The Legend Of Balinese Goddesses” merupakan tugas akhir penulis
dalam menyelesaikan pendidikan Program Doktor (S3) Kajian Budaya, Fakultas
Ilmu Budaya, Universitas Udayana.
Sejak menempuh studi hingga terwujudnya disertasi ini penulis
mendapatkan dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Dukungan dari keluarga,
sahabat, pengajar, dan Ida Sang Hyang Widi Wasa. Sejak proses studi hingga
penulisan disertasi ini ibaratkan sebuah seni pertunjukan yang diwarnai dengan
beragam emosi seperti perasaan sedih dan gembira.
Dengan selesainya studi ini, penulis menyampaikan rasa hormat dan
terima kasih kepada semua pihak yang telah berjasa. Penulis menyampaikan rasa
hormat dan terima kasih kepada tim promotor dan kopromotor yang memberikan
dukungan moral dan mental serta pengetahuan untuk menuntaskan disertasi ini,
yaitu Promotor Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M. Litt., Kopromotor I Prof. Dr.
Nengah Bawa Atmaja, M.A., dan Kopromotor II Dr. Putu Sukardja, M.Si.
Rasa hormat dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Rektor
Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Anak Agung Raka Sudewi, Sp.S(K)., Dekan
Fakultas Sastra dan Budaya Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A., Ketua
Program Studi Doktor (S3) Kajian Budaya, Fakultas Ilmu Budaya Prof. Dr. Phil. I
Ketut Ardhana, M.A.. Ucapan terima kasih pula disampaikan kepada Ketua
Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Pusat Dr. Pudentia MPSS, M.Hum. dan Ketua ATL
Bali Prof. Dr. I Made Suastika, S.U.
Penulis juga mengucapkan terima kasih dan rasa hormat kepada para
penguji, yaitu Prof. Dr. A. A. Bagus Wirawan, S.U., Prof. Dr. I Wayan Ardika,
M.A., Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U., dan Dr. I Gede Mudana, M.Si., atas
masukan, kritik, serta sarannya yang konstruktif.
vii
Penulis mengucapkan terima kasih kepada mahaguru yang telah
membimbing penulis selama menempuh pendidikan Program Doktor (S3) Kajian
Budaya dan Kajian Tradisi Lisan, yaitu: Prof. Dr. Gede Semadi Astra, M.A., Prof.
Dr. I Gde Widja, Prof. Dr. Srhi Eddy Ahimsa Putra, M.A., M.Lit., Prof. Dr. Irwan
Abdullah, Prof. DR. I Nyoman Weda Kusuma, M.S., Prof. Dr. I Wayan Rai S,
M.A., Prof. Dr. Agung Gde Putra Agung, S.U., Prof. Dr. Aron Meko Mbete, Prof.
Dr. I Gede Parimartha, M.A., Prof. Dr. I Ketut Nehen, S.E., M.Sc., Prof. Dr. I
Made Sukarsa, Prof. Dr. Ketut Mertha,M.Hum., Prof. Dr. Made Mertha, Dr.
Wayan Redig, Dr. I Gede Mudana, M.Si., Dr. Muklis Paeni, MA., Dr. Ni Wayan
Wiasti, M.Hum., dan Dr. I Nyoman Dhana, M.Si.
Terima kasih yang tulus dipersembahkan kepada staf administrasi Program
Doktor (S3) Kajian Budaya Universitas Udayana antara lain: Putu Sukaryawan,
ST., Ni Luh Witari, Ni Wayan Ariyati, SE., Cok Istri Murniati, SE., A.A Ayu
Indrawati, Ketut Budi Asra, atas bantuan dan fasilitasinya kepada penulis.
Terima kasih kepada para kolega di Komisioner Komisi Pemilihan Umum
(KPU) RI Periode 2012-2017 dan Periode 2017-2022, Komisioner KPU Provinsi
Bali periode 2013-2018, Komisioner KPU Kabupaten/Kota se-Bali Periode 2013-
2018, Komisioner KPU Kabupaten Buleleng Luh Putu Widyastini, ST., Nyoman
Gede Cakra Budaya, SP., drh. I Made Seriyasa, dan Gede Sutrawan, S.Sn serta
sekretaris dan seluruh staf atas dukungan dan kebersamaannya.
Terima kasih yang tulus juga disampaikan kepada teman-teman kuliah
seperjuangan Program Kajian Budaya Universitas Udayana Angkatan 2011, yaitu
Ni Nyoman Suci Murni, Linggua Sanjaya Usop, A.A Rai Sita Laksmi, I Nyoman
Sudipa, Nyoman Arba Wirawan, I Wayan Mudana, Salman Alfarisi (Mataram), I
Made Suastana, I Ketut Supir, I Ketut Wenten, I Wayan Kandia, A.A Raka, dan
teman-teman. Salam khusus juga disampaikan kepada teman-teman sekelas
Kajian Tradisi Lisan (KTL) angkatan 2011, yaitu: Syahrun, Abdul Alim,
Mustaman, La Batia, Grace Kerli Langi, Ervantia Restulita L. Siagi, Maria Sri
Rahayu, dan I Nyoman Wardi.
Terima kasih yang tulus disampaikan kepada keluarga atas doa, dukungan,
kasih, dan perhatian tulusnya. Kepada orangtua, yaitu mendiang Ayahnda Ketut
Noja dan Ibunda Ketut Muderanis terima kasih setulus-tulusnya atas doa dan
viii
restunya dalam menyelesaikan studi ini. Dukungan dan doa yang mengalir terus
dari istri tercinta Ni Putu Rahayu yang selalu setia memberikan dukungan serta
mendampingi selama menempuh studi. Ketiga anak terkasih Putu Eva Shanti,
Kadek Kirana Shanti, dan Komang Bintang Saraswati yang telah memberikan
kesempatan untuk berkonsentrasi menyelesaikan disertasi ini. Terima kasih juga
atas doa dari seluruh saudara, yaitu Luh Mudrasih, Luh Masni, Kadek Masmika,
Komang Sukrawan (almarhum), Ketut Widiasih, Putu Ayu Sukerti, Made
Sukrawati, Komang Sariani, serta seluruh keluarga.
Terima kasih penulis sampaikan kepada narasumber yang terlibat dalam
penggarapan pertunjukan Bali Agung – The Legend of Balinese Goddesses, yaitu
Made Sidia, Peter J Wilson, Wellah Hatta Patiori, Wayan Sira, Ni Wayan
Sumariasih, Made Ayu Desiari, Wayan Monalisa, Desi Kristiana, Ni Ketut
Suharti, dan semua pihak yang terlibat dalam penggarapan Bali Agung. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada semua atas segala bantuan yang telah
diberikan selama menyelesaikan studi ini.
Semoga Ida Sang Hyang Widi Wasa selalu melimpahkan rahmat-Nya
kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian disertasi
ini. Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari disertasi ini
masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penelitian lanjutan yang lebih cermat
dan mendalam diharapkan dapat mengisi kekuarangan tersebut. Semoga karya
yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Semoga kebaikan datang dari segala penjuru.
Om Shanti, Shanti, Shanti, Om
Singaraja, Januari 2018
penulis
ix
ABSTRAK
Pariwisata Bali mengalami perkembangan dalam beberapa dekade
terakhir. Perkembangannya ditandai dengan meningkatnya jumlah kunjungan
wisatawan, bertambah dan beragamnya akomodasi wisata, daya tarik wisata, dan
atraksi wisata. Perkembangan pariwisata menyebabkan semakin banyak seni
pertunjukan yang bersifat komersial dan profit oriented. Salah satu pertunjukan
komersial adalah seni pertunjukan pariwisata bertajuk Bali Agung – The Legend
of Balinese Goddesses (Bali Agung – Legenda Dewa-Dewi Bali), kisah tentang
mitos pernikahan Jayapangus dan Kang Cing Wei.
Penelitian ini mengkaji komodifikasi seni pertunjukan pariwisata Bali
Agung yang memfokuskan pada tiga persoalan, yaitu: bagaimana proses produksi,
distribusi dan konsumsi, serta implikasinya terhadap pariwisata budaya Bali.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Data dikumpulkan dengan teknik
obervasi, wawancara, dan studi dokumen. Permasalahan dianalisis menggunakan
teori komodifikasi, teori semiotika, dan teori pariwisata budaya.
Hasil penelitian menunjukkan tiga hal sebagai berikut. Pertama,
komodifikasi seni pertunjukan pariwisata Bali Agung tampak pada proses
produksi, distribusi, dan konsumsi. Proses produksi diawali dengan pemilihan
mitos pernikahan Jayapangus dan Kang Cing Wei sebagai inti cerita pertunjukan
karena memiliki daya tarik bagi wisatawan. Dalam proses penggarapannya terjadi
negosiasi ide dan gagasan antara seniman Bali dan Barat. Kedua, proses distribusi
dengan melakukan promosi melalui penyebaran iklan pada media konvensional
dan media sosial. Iklan pada kedua media tersebut menayangkan bahasa, gambar,
dan video. Promosi bertujuan untuk menarik minat wisatawan menyaksikan seni
pertunjukan pariwisata Bali Agung. Ketiga, komodifikasi berimplikasi, yaitu
terciptanya seni pertunjukan pariwisata hybrid yang mengandung unsur budaya
Bali, Cina, dan Barat. Bali Agung kini menjadi ikon seni pertunjukan pariwisata
yang modern, canggih, kolosal, dan spektakuler. Terjadinya praktik seni pseudo-
tradisional di mana pertunjukan menampilkan seni tradisi yang nilai
kesakralannya telah dihilangkan atau semu. Terjadi desakralisasi mitos
pernikahan Jayapangus dan Kang Cing Wei dari yang bersifat sakral menjadi
profan. Desakralisasi terjadi pada unsur cerita, tokoh, dan pementasan.
kata kunci: mitos pernikahan Jayapangus dan Kang Cing Wei, komodifikasi,
hybrid, pariwisata budaya
x
ABSTRACT
Bali Tourism has developed since some decades ago. Its development is
marked by the increasing number of tourist visits, increased and varied tourist
accommodations, beautiful sceneries, and tourist attractions. The development of
tourism causes more and more performing arts which are commercial and profit
oriented. One of the commercial performances is the art of tourism performances
entitled Bali Agung - The Legend of Balinese Goddesses, the story of Jayapangus
and Kang Cing Wei’s marriage myth.
This study examined the commodification of the art of Bali Agung tourism
performances that focused on three issues, namely: the process of production,
distribution and consumption, and its implications to cultural tourism of Bali. This
study used a qualitative method. The data were collected through observation
techniques, interviews, and document studies. The problems were analyzed using
commodification theory, semiotic theory, and cultural tourism theory.
The results showed three things as follows. First, the commodification of
the art of Bali Agung tourism performances appeared in the process of production,
distribution and consumption. The production process began with the selection of
Jayapangus and Kang Cing Wei marriage myths as the core of the show's story as
it has a fascination for tourists. In the process of its arrangement, there was a
negotiation of ideas between Balinese and Western artists. Second, there was a
distribution process by promoting through the dissemination of advertisement on
conventional and social media. Advertisements on both media displayed
language, images, and videos. The promotion aimed to attract tourists to see the
art of Bali Agung tourism performances. Third, the commodification had
implications, namely the creation of hybrid tourism show art that contains
elements of Balinese, Chinese and Western cultures. Bali Agung is now an icon of
modern, sophisticated, colossal, and spectacular tourism performing arts. The
occurrence of pseudo-traditional art practice in which the show displayed a
tradition art whose sacred value had been eliminated or artificial. There was
profanity of Jayapangus and Kang Cing Wei's marriage myths. Profanity occurs in
the elements of story, characters, and staging.
Keywords: Jayapangus and Kang Cing Wei wedding myth, commodification,
hybrid, cultural tourism
xi
RINGKASAN
Pariwisata Bali mulai mengalami perkembangan pada tahun 1920-an.
Selanjutnya pariwisata massal masuk ke Bali pada tahun 1970-an. Perkembangan
industri pariwisata makin pesat sejak tahun 1990-an. Perkembangannya ditandai
dengan peningkatan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara setiap tahunnya,
yaitu sebanyak 4,9 juta orang di tahun 2016. Kunjungan wisatawan domestik pada
tahun 2016 sebanyak 7,1 juta orang. Bertambahnya akomodasi wisata, daya tarik,
dan atraksi wisata yang semakin beragam. Perkembangan pariwisata
menyebabkan semakin banyak seni pertunjukan yang bersifat komersil dan profit
oriented. Perkembangan pariwisata tersebut mengakibatkan pergeseran seni dan
tradisi budaya Bali yang sebelumnya dimanfaatkan untuk kepentingan upacara
adat dan agama kemudian menjadi seni pertunjukan pariwisata yang memberikan
keuntungan ekonomi.
Pertumbuhan pariwisata Bali memberikan pengaruh terhadap
perkembangan seni dan tradisi budaya Bali. Dalam perkembangannya, Bali tradisi
dan budaya dikelompokkan secara artifisial, yaitu sakral (wali), tontotan pada
upacara (bebali), dan tontonan untuk pariwisata (balih-balihan). Perkembangan
pariwisata yang semakin modern menyebabkan seni dan tradisi budaya Bali
menjadi komoditas pariwisata. Seni dan tradisi budaya Bali otentik yang bersifat
sakral (wali) di mana pementasannya dilakukan di ruang-ruang ritual seperti pura
atau tempat suci lainnya, juga juga banyak dilangsungkan di jalan-jalan (street
culture). Contohnya prosesi melasti, pawai ogoh-ogoh, ngaben, dan ngelawang.
Seni sakral tersebut kemudian dikelola oleh industri pariwisata menjadi seni
pertunjukan pariwisata (staged culture). Seni, adat, dan tradisi budaya Bali
dijadikan sebuah layanan estetik (kesenian Bali) untuk diberikan kepada
wisatawan.
Bali Safari and Marine Park memanfaatkan seni dan tradisi budaya Bali
sebagai komoditas untuk memenuhi hasrat pariwisata. Seni dan tradisi budaya
Bali yang dijadikan komoditas adalah mitos pernikahan Jayapangus dan Kang
Cing Wei. Mitos ini dijadikan sebagai inti cerita dalam seni pertunjukan
xii
pariwisata yang bertajuk Bali Agung – The Legend of Balinese Goddesses.
Pertunjukan ini menceritakan tentang pernikahan Jayapangus dan Kang Cing Wei.
Penelitian ini mengkaji tentang analisis komodifikasi seni pertunjukan
pariwisata Bali Agung – The Legend of Balinese Goddesses, yaitu: bagaimana
proses produksi, distribusi dan konsumsi, serta implikasinya terhadap pariwisata
budaya Bali.
Tujuannya untuk mengetahui dan mengkaji secara kritis proses
komodifikasi seni pertunjukan pariwisata Bali Agung di Bali Safari and Marine
Park. Manfaat dari penelitian, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat
teoritis memberikan manfaat dan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan yang
berkaitan dengan seni dan tradisi budaya Bali. Bermanfaat sebagai pengembangan
kajian budaya dan tradisi lisan tentang mitos yang berkembang di Bali. Manfaat
praktis ada tiga hal sebagai berikut. Pertama, bagi masyarakat Bali, hasil
penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan proses produksi, distribusi dan
konsumsi, serta implikasi seni pertunjukan pariwisata Bali Agung - The Legend of
Balinese Goddesses terhadap pariwisata budaya Bali. Kedua, bagi pemerintah
hasil penelitian diharapkan dapat menentukan kebijakan yang tepat dalam
pelestarian budaya Bali dalam perkembangan pariwisata. Ketiga, bagi peneliti
diharapkan melakukan penelitian yang mengkaji tentang praktik komodifikasi
budaya Bali lainnya yang dijadikan komoditas pariwisata.
Teori relevan yang digunakan untuk mengkaji masalah penelitian secara
kritis sebagai berikut. Teori komodifikasi digunakan untuk mengkaji dan
menganalisis proses produksi, distribusi, dan konsumsi seni pertunjukan
pariwisata Bali Agung. Teori semiotika yang digunakan untuk mengkaji dan
menganalisis promosi Bali Agung melalui penyebaran iklan pada media
konvensional dan media sosial. Teori pariwisata budaya digunakan untuk
mengkaji dan menganalisis implikasi komodifikasi seni pertunjukan pariwisata
Bali Agung terhadap pariwisata budaya Bali.
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan teknik obervasi,
wawancara, dan studi dokumen. Penulis melakukan obervasi sebanyak 33 kali
sejak tahun 2014 hingga 2017. Observasi dilakukan dengan cara diantaranya
menonton secara penuh dari kursi penonton sebanyak 16 kali, menonton dari
xiii
ruangan stage manager sebanyak lima kali, menyaksikan proses pertunjukan dari
belakang panggung sebanyak satu kali, melakukan observasi ke Pura Dalem
Balingkang, Desa Pinggan, Kecamatan Kintamani sebanyak empat kali,
mendokumentasikan foto-foto yang terpajang di lokasi pertunjukan, dan
wawancara. Obervasi sebanyak 33 kali dilakukan penulis agar dapat mencatat
secara detail pertunjukan Bali Agung karena terkendala jika hanya mencatat
dengan detail hanya dalam satu kali menonton pertunjukan serta tidak dapat
menyaksikan pertunjukan tersebut melalui media lain. Hal ini disebabkan
pertunjukan Bali Agung tidak direkam serta tidak boleh direkam oleh penonton
dalam bentuk gambar atau video.
Peneliti melakukan wawancara di lokasi pertunjukan dengan para pemain
utama. Wawancara juga dilakukan di rumah Made Sidia. Sementara wawancara
dengan seniman Peter J Wilson dilakukan melalui surat elektronik (email), serta
wawancara menggunakan sarana komunikasi media sosial Whatsapp dengan
beberapa narasumber lainnya.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa seni pertunjukan pariwisata Bali
Agung – The Legend of Balinese Goddesses mengalami komodifikasi melalui
tahap produksi, distribusi, dan konsumsi. Ketiga tahapan tersebut berimplikasi
pada pariwisata budaya Bali.
Tahapan komodifikasi dijelaskan sebagai berikut. Pertama, tahap produksi
diawali dengan pemilihan mitos pernikahan Jayapangus dan Kang Cing Wei
sebagai inti cerita pertunjukan. Mitos ini dijadikan sebagai inti cerita pertunjukan
karena memiliki daya tarik, yaitu mengisahkan tentang keagungan raja yang
pernah berkuasa di Bali, mengisahkan akulturasi budaya Bali dan Cina,
pernikahan yang berujung tragis di mana Jayapangus dan Kang Cing Wei dibunuh
oleh Dewi Danu. Setelah meninggal Jayapangus dan Kang Cing Wei dipercaya
sebagai perwujudan Barong Landung. Produksi seni pertunjukan ini
menggunakan teknologi yang modern, canggih, dan kolosal agar memiliki nilai
estetika untuk dijual kepada wisatawan.
Seni pertunjukan pariwisata Bali Agung diproduksi melalui kolaborasi
antara seniman Bali I Made Sidia dan seniman asal Australia Peter J Wilson.
Dalam proses produksinya terjadi negosiasi ide dan gagasan antara Sidia dengan
xiv
Peter J Wilson. Mereka bernegosiasi tentang ide dan gagasan dalam menentukan
karakter tokoh utama, yaitu Jayapangus, Kang Cing Wei, dan Dewi Danu.
Negosiasi tersebut menghasilkan tokoh Jayapangus dan Kang Cing Wei
dimodifikasi dari tokoh sakral menjadi profan yang ditampilkan dalam
berkarakter modern. Tokoh Dewi Danu dimodifikasi dari tokoh sakral yang
merupakan simbol dewi kesuburan menjadi profan yang ditampilkan agak
seksual. Negosiasi ide dan gagasan dari kedua seniman juga terjadi dalam
menentukan kostum pemain, properti, tata cahaya, tata panggung, dan tata musik.
Kolaborasi dan negosiasi ide seniman Bali dan Barat menghasilkan seni
pertunjukkan Bali Agung yang lebih dominan bernuansa modern, canggih, dan
kolosal daripada tradisional. Hal ini menunjukkan bahwa proses negosiasi ide dan
gagasan tersebut didominasi oleh seniman Barat Peter J Wilson.
Modifikasi terhadap mitos, karakter tokoh utama, dan penggunaan
teknologi yang modern serta canggih bertujuan agar pertunjukan ini memberikan
kepuasan bagi wisatawan. Seni pertunjukan pariwisata Bali Agung kemudian
dijual secara komersial untuk mendapatkan keuntungan finansial.
Kedua, tahap distribusi dan konsumsi seni pertunjukan pariwisata Bali
Agung. Tahap distribusi pertunjukan meliputi promosi dengan menyebarkan iklan
pada media konvensional dan media sosial. Promosi melalui media konvensional
dilakukan dengan cara menyebarkan iklan melalui media cetak, seperti koran,
majalah, brosur, flyer, aneka suvenir, dan memanfaatkan biro perjalanan wisata.
Iklan yang didistribusikan tersebut memiliki makna tingkat denotasi (denotative)
dan makna tingkat konotasi (connotative meaning). Iklan melalui media
konvensional menggunakan permainan logika, bahasa, dan citra. Tujuannya
adalah untuk menyampaikan pesan kepada konsumen bahwa seni pertunjukan
pariwisata Bali Agung adalah pertunjukan modern, canggih, kolosal, dan
spektakuler yang mengangkat kisah tentang seni dan tradisi budaya Bali.
Promosi melalui media sosial dengan menyebarkan iklan berupa berita,
foto, dan video di Instagram, Youtube, Twiter, dan Facebook. Iklan pada media
sosial tersebut bertujuan untuk menjalin komunikasi sosial antar wisatawan agar
lebih intens secara virtual (online). Iklan di media sosial sangat efektif karena
terjadi ikatan relasi virtual yang kuat di antara konsumen. Media sosial
xv
menumbuhkan kepercayaan antara produsen dan konsumen (contact comfort)
sehingga memberikan kepuasan serta kenyamanan untuk berafiliasi atau
bersosialisasi di antara kegiatan memproduksi dan mendistribusikan sebuah
konten iklan Bali Agung secara online. Penyebaran iklan pada media sosial
mampu meningkatkan minat dan keinginan (need) wisatawan menyaksikan
pertunjukan melebihi kebutuhan (want) berwisatanya. Pemanfaatan iklan melalui
kedua media tersebut berhasil menarik minat wisatawan yang sangat tinggi untuk
menyaksikan pertunjukan. Hasilnya, jumlah wisatawan yang menyaksikan
pertunjukan selama tujuh tahun yaitu sejak tahun 2010 hingga 2017 tetap tinggi.
Tahap konsumsi, yaitu seni pertunjukan pariwisata Bali Agung dinikmati
oleh wisatawan sebagai seni pertunjukan modern yang bersumber dari tradisi dan
budaya Bali. Bali Safari and Marine Park memproduksinya secara modern
kemudian dipentaskan di panggung yang canggih dan kolosal. Melibatkan satwa
liar serta menggunakan properti yang realistik untuk mendukung pertunjukan.
Seni pertunjukan tersebut berhasil memberikan kesenangan kepada produsen dan
wisatawan. Bali Safari and Marine Park yang menguasai berbagai modal yaitu
ekonomi, sosial, budaya, dan teknologi terus berupaya memperbaharui dan
menggugah hasrat wisatawan agar menyaksikan pertunjukan. Sedangkan
wisatawan yang menyaksikan pertunjukan dapat memproduksi makna terhadap
pertunjukan yang dikonsumsinya sesuai dengan kepentingannya.
Tahap ketiga, yaitu implikasi komodifikasi seni pertunjukan pariwisata
Bali Agung terhadap pariwisata budaya Bali sebagai berikut. Implikasi pertama,
yaitu kolaborasi seniman Bali dan Barat dalam modifikasi seni pertunjukan
pariwisata Bali Agung seni pertunjukan pariwisata hybrid. Hibriditas pertunjukan
ini tampak pada diadopsinya tiga unsur, yaitu budaya Bali, budaya Cina, yang
digarap menggunakan teknologi Barat. Seni pertujukan pariwisata Bali Agung
menjadi salah satu pertunjukan yang pementasannya sangat megah, kolosal, dan
spektakuler karena ditunjang tata cahaya, tata musik, tata busana, dan tata
panggung berkelas internasional.
Seni pertunjukan pariwisata hibyrd Bali Agung memberikan harapan akan
munculnya seni pertunjukan pariwisata yang dikelola secara modern, ditampilkan
pada panggung yang nyaman dan modern pada masa mendatang. Bali Agung
xvi
tampaknya berhasil menjadi ikon seni pertunjukan pariwisata hibryd serta
memberikan warna baru tujuan wisata dari beragam wisata yang telah ada di Bali.
Bali telah memiliki pengalaman panjang membangun seni rupa (visual
arts) dan seni pertunjukan (performing arts) sebagai bagian dari pariwisata (Putra,
2015). Bali Safari and Marine Park dapat menjadi rujukan bagi pelaku wisata
untuk secara kreatif mengembangkan seni pertunjukan pariwisata, bukan saja
untuk melestarikan seni budaya itu sendiri tetapi untuk menjadikannya sebagai
sumber kesejahteraan masyarakat.
Implikasi kedua, terjadi praktik seni pseudo-tradisional dalam seni
pertunjukan pariwisata Bali Agung. Seni pertunjukan ini menampilkan beragam
seni tradisional Bali yang sakral namun dipentaskan secara profan. Seni sakral
misalnya Tari Legong, Tari Barong, Topeng Sidakarya ditampilkan hanya
beberapa bagian gerakan dalam durasi yang sangat singkat selama 15 detik.
Upaya ini bertujuan untuk memenuhi selera estetis seniman dan selera estetis
wisatawan. Seniman berupaya memasukkan unsur seni tradisi dan sakral dalam
pertunjukan modern sehingga memiliki nilai estetik sekaligus memenuhi
keinginan wisatawan yang ingin menyaksikan beraneka ragam seni tradisi dan
budaya Bali dalam satu pertunjukan. Untuk itu, seni pertunjukan pariwisata Bali
Agung disebut sebagai seni pseudo-tradisional karena seni tradisi yang
ditampilkan bentuknya masih tetap mengacu kepada bentuk serta kaidah-kaidah
tradisional akan tetapi nilai-nilai sakral dan magis dibuat semu atau dihilangkan.
Implikasi ketiga, yaitu seni pertunjukan pariwisata Bali Agung
menyebabkan terjadinya desakralisasi mitos pernikahan Jayapangus dan Kang
Cing Wei. Desakralisasi mitos pernikahan Jayapangus dan Kang Cing Wei dari
mitos yang bersifat sakral menjadi mitos bersifat profan di mana nilai
kesakralannya menjadi hilang. Struktur yang dominan dalam mempengaruhi
terjadinya desakralisasi adalah kekuasaan ekonomi. Semakin pesatnya kehidupan
pariwisata di Bali menyebabkan mitos sakral tersebut dimodifikasi menjadi mitos
profan oleh seniman dan industri pariwisata untuk menghibur wisatawan.
Kelompok masyarakat yaitu adat, agama, dan pemerintah menggunakan mitos
pernikahan Jayapangus dan Kang Cing wei sebagai mitos sakral untuk
kepentingan ritual sedangkan kelompok seniman dan pelaku serta industri
xvii
pariwisata memanfaatkan mitos profan sebagai sebuah pementasan untuk
wisatawan. Pementasan mitos Jayapangus dan Kang Cing Wei profan untuk
kepentingan pasar telah menyebabkan terjadinya pergeseran simbolis mitos
tersebut. Mitos yang semula sebagai salah satu simbol sakral kemudian menjadi
simbol profan yang identik dengan komoditas pariwisata.
Mitos sakral Jayapangus dan Kang Cing Wei diyakini sebagai perwujudan
Barong Landung yang di-sungsung oleh sebagian masyarakat Bali. Mitos ini
dikonstruksi oleh akademisi serta seniman sebagai mitos profan kemudian
diproduksi untuk kepentingan seni tari atau seni pertunjukan pariwisata.
Selanjutnya seiring perkembangan pariwisata, Bali Safari and Marine Park
mengkonstruksi mitos sakral sebagai komoditas berupa seni pertunjukan
pariwisata modern. Seni pertunjukan tersebut bersifat komersial untuk dijual
kepada wisatawan agar mendapatkan keuntungan finansial. Penggunaan mitos
Jayapangus dan Kang Cing Wei sakral menjadi seni pertunjukan pariwisata
menyebabkan terjadinya desakralisasi mitos.
Mengacu pada hasil penelitian di atas, maka terdapat dua temuan dalam
penelitian yang dirumuskan sebagai berikut. Temuan pertama, tercipta seni
pertunjukan pariwisata hybrid yang kolosal hasil kolaborasi antara seniman Bali
dan Barat. Pada awal perkembangan pariwisata terdapat seni pertunjukan yang
diciptakan dari kolaborasi antara seniman Bali dan Barat. Misalnya, seni
pertunjukan Tari Kecak yang diciptakan dari kolaborasi antara seniman Bali
Wayan Limbak yang bekerja sama dengan pelukis Jerman Walter Spies. Tari
Kecak diciptakan berdasarkan tradisi Tari Sanghyang dan bagian-bagian kisah
Ramayana. Wayan Limbak memopulerkan tarian ini saat berkeliling dunia
bersama rombongan penari Bali-nya. Selanjutnya, seni pertunjukan Janger
merupakan hasil kolaborasi antara unsur tradisi Bali yang dipengaruhi oleh unsur
Barat, yaitu Stamboel. Kedua kesenian ini kemudian berkembang sehingga
populer sebagai seni pertunjukan pariwisata yang dikelola dan dipentaskan secara
tradisional oleh masyarakat Bali.
Namun, seni pertunjukan pariwisata Bali Agung merupakan seni
pertunjukan yang berbeda meskipun juga tercipta dari kolaborasi seniman Bali
dan Barat. Bali Agung merupakan seni pertunjukan pariwisata hybrid yang
xviii
tercipta dari hasil kolaborasi antara seniman Bali Made Sidia dengan seniman
Barat Peter J Wilson. Kolaborasi kedua seniman ini berhasil menciptakan seni
pertunjukan modern, canggih, dan kolosal. Seni pertunjukan pariwisata Bali
Agung menampilkan beragam seni dan budaya Bali dan Cina yang dikemas
secara modern menggunakan teknologi canggih. Melibatkan ratusan pemain dan
satwa, kostum yang glamour, tata cahaya, tata musik yang dikemas secara
modern, serta dipentaskan di panggung yang megah dan nyaman. Pertunjukan
yang dipentaskan di Bali Safari and Marine Park ini menjadi warna baru
pertunjukan pariwisata serta telah disaksikan ribuan wisatawan selama tujuh tahun
pementasaan sejak tahun 2010 hingga 2017.
Temuan kedua, proses komodifikasi seni pertunjukan pariwisata Bali
Agung – The Legend of Balinese Goddesses merupakan kegiatan kapitalisme yang
mengubah mitos Jayapangus dan Kang Cing Wei menjadi komoditas yang bisa
dijual. Namun, komodifikasi juga telah menyebabkan terjadinya desakralisasi
mitos pernikahan Jayapangus dan Kang Cing Wei yang bersifat sakral menjadi
profan.
Pada saat belum masuknya pariwisata ke Bali, mitos pernikahan
Jayapangus dan Kang Cing Wei bersifat sakral karena dimanfaatkan untuk
kepentingan kultural. Mitos sakral ini diyakini sebagai cikal bakal Barong
Landung yang dijadikan sebagai simbolisme berupa benda suci (pralingga) oleh
masyarakat Bali. Seiring perkembangan pariwisata, mitos pernikahan Jayapangus
dan Kang Cing Wei tak lagi dikaitkan dengan fungsi sakral namun telah
difungsikan sebagai komoditas pariwisata. Unsur-unsur mitos pernikahan
Jayapangus dan Kang Cing Wei yang mengalami desakralisasi adalah cerita
mitos, proses pembuatan mitos, penokohan, fungsi dan tujuan pementasan, waktu
dan tempat pementasan, ritualisme pementasan, struktur pementasan, organisasi
pendukung, daya magis, dan penonton.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka saran yang disumbangkan
sebagai berikut. Pertama, bagi masyarakat Bali yang berprofesi di bidang seni dan
pariwisata diharapkan agar lebih memperhatikan batasan seni wali, seni bebali,
dan seni balih-balihan agar tidak menggunakan budaya Bali yang sakral dalam
memroduksi seni pertunjukan pariwisata. Selanjutnya, seniman dan pelaku
xix
industri pariwisata diharapkan dalam memroduksi seni pertunjukan pariwisata
agar mengelola lebih profesional sehingga dapat meningkatkan mutu kuantitas
dan kualitas produk pariwisata, pelayanan, dan pengelolaan kepariwisataan.
Pelaku wisata diharapkan dapat mengemas kekayaan budaya Bali dan kekayaan
seni pertunjukan Bali menjadi bagian dari seni pertunjukan pariwisata yang
menguntungkan secara sosial kultural dan ekonomi.
Kedua, pemerintah telah membuat kebijakan berupa Peraturan Daerah
(Perda) Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Bali pasal 28
ayat 2 yang melarang memanfaatkan upacara keagamaan, menggunakan simbol-
simbol keagamaan, benda-benda yang disakralkan, dengan tujuan semata-mata
sebagai daya tarik wisata. Dalam menghadapi perkembangan pariwisata di era
modern dan digital diharapkan agar pemerintah Bali memberikan batasan simbol
keagamaan, benda sakral yang tidak boleh dimanfaatkan sebagai daya tarik
wisata. Pemerintah juga diharapkan lebih intens melakukan pengembangan
sumber daya manusia (SDM) dengan memberikan pelatihan dan bimbingan
kepada seniman dan pelaku industri pariwisata sehingga dapat meningkatkan
sumber daya manusia dan kompetensinya. Upaya tersebut diharapkan dapat
memberikan dampak di mana Bali mampu menyelaraskan kehidupan budaya
sakral dengan seni pertunjukan pariwisata, yang pertama merupakan sumber
kebahagian kultural religius, sedangkan yang kedua sumber kesejahteraan sosial
ekonomi. Upaya tersebut akan dapat mendorong seniman dan pelaku pariwisata
dalam memproduksi seni pertunjukan pariwisata tetap berperan menjaga,
mengembangkan, dan menyelaraskan budaya pariwisata dan pariwisata budaya.
Serta saran ketiga bagi peneliti agar ke depannya mengkaji praktik-praktik
komodifikasi budaya Bali yang dijadikan komoditas untuk kepentingan pariwisata
dalam rangka memberikan pendidikan yang baik bagi seniman, pelaku industri
pariwisata, serta memberikan konstribusi kemanfaatan bagi pariwisata Bali.
Penelitian yang dilakukan penulis hanya difokuskan pada modifikasi seni
pertunjukan pariwisata yang bersumber dari mitos pernikahan Jayapangus dan
Kang Cing Wei. Di luar praktik ini, masih banyak terjadi praktik komodifikasi
terhadap seni dan budaya Bali untuk kepentingan pariwisata yang terjadi tanpa
disadari oleh masyarakat Bali.
xx
GLOSARIUM
Arkaja lancana
Akulturasi
:
: kelahiran yang melambangkan putra matahari
percampuran dua unsur budaya atau lebih yang
menghasilkan budaya baru tanpa menyebabkan
hilangnya unsur aslinya
Balih-balihan : seni pertunjukan yang diperuntukkan untuk
masyarakat
Bebali : tari yang dipentaskan pada saat upacara di pura
diperuntukkan untuk penonton manusia
Budaya massa : kategori kebudayaan yang diciptakan untuk massa
yang luas sehingga menghasilkan selera massal
Cihna : lambang, tanda
Citra : sesuatu yang dapat ditangkap secara perseptual akan
tetapi tidak memiliki eksistensi substansial
Cacangkajacihna : kelahiran yang melambangkan putri bulan
Dekonstruksi : membongkar dengan tujuan mencari dan mengungkap
asumsi-asumsi, strategi-strategi retorikasebuah teks
Denotasi : hubungan eksplisit antara tanda dengan referensi atau
realitas dalam pertandaan
Desakralisasi : proses menghilangkan nilai sakral
Diskursus : cara menghasilkan pengetahuan beserta praktik sosial
dan relasi kekuasaan yang ada di baliknya
Ekonomi libido : sistem ekonomi yang cenderung melepas katup nafsu
kekuasaan dan produksi objek yang tanpa batas
Estetika : filosofi mengenai sifat dan persepsi tentang
keindahan, khususnya di dalam seni
Gaya hidup : pola penggunaan ruang, waktu, dan objek yang khas
kelompok masyarakat tertentu
Globalisasi : hubungan global multiarah di bidang ekonomi, sosial,
kultural, dan politik di seluruh dunia
Hasrat : mekanisme psikis berupa gejolak rangsangan terhadap
objek atau pengalaman yang menjanjikan kepuasan
Hegemoni : kelas penguasa menggunakan otoritas sosial dan
kepemimpinan pada kelas-kelas subordinat melalui
kombinasi paksaan dan persetujuan sadar
Hibriditas : percampuran berbagai elemen kultural yang berbeda
sehingga tercipta makna dan identitas-identitas baru
Ideologi : sistem kepercayaan dan sistem nilai serta
representasinya dalam berbagai media dan tindakan
sosial
Identitas : karakter pribadi yang khas pada diri seorang individu
dalam relasinya dengan individu-individu lain secara
sosial
kajian budaya : bidang penyelidikan interdisipliner atau
pascadisipliner yang memperlajari produksi dan
penanaman peta-peta makna
xxi
Kapitalisme : sistem produksi dan pertukaran yang dinamis dan
mengglobal yang didasarkan dan pencarian
keuntungan
Kebijakan budaya : berbagai prosedur, strategi, dan taktik yang bertujuan
mengatu distribusi produk dan praktik-praktik kultural
Kebudayaan : produksi dan pertukaran makna, atau praktik-praktik
pemaknaan, yang membentuk apa yang khas tentang
suatu cara hidup
Kekuasaan : kekuatan yang digunakan individua tau kelompok
tertentu untuk mencapai atau kepentingan tertentu
Kerauhan : seseorang yang jiwanya dipengaruhi/dirasuki oleh roh
atau mahluk halus atau dewa
Kitsch : segala bentuk seni yang berkaitan dengan selera
rendah, yaitu rendahnya bakuan estetika yang
dimilikinya
Kode (kultural) : sistem representasi di mana tanda-tanda dan
maknanya ditata berdasar konvensi kultural menjadi
pemaknaan
Komodifikasi : proses kapitalisme di mana objek, kualitas, dan tanda-
tanda diubah menjadi komoditas dengan tujuan terjual
di pasar
Komoditi : segala sesuatu yang diproduksi dan dipertukarkan
dengan sesuatu yang lain dalam rangka memproleh
keuntungan
Konotasi : aspek makna dalam semiotika yang secara khusus
berkitan dengan perasaan dan emosi serta nilai-nilai
kebudayaan dan ideologi
Konsumersime : manipulasi tingkah laku para konsumen melalui
berbagai aspek komunikasi pemasaran
Libido : setiap energi seksual, emosional, dan psikis, yang
cenderung memilih objek kepuasan terlarang (incest),
dengan mendobrak setiap tabu atau konvensi sosial
Marxisme : suatu pemikiran yang menekankan pada peran
determinatif kondisi-kondisi eksistensi material yang
terfokus pada perkembangan kapitalisme
Masyarakat
kapitalis
: masyarakat yang pola kehidupan dan budayanya
dilandasi oleh pondasi ideologi ekonomi kapitalisme
Masyarakat
konsumer
: masyarakat yang menjadikan konsumsi sebagai pusat
aktivitas kehidupan
Mitos : pengalamiahan level konotatif makna
Modernism : pengalaman kultural modernitas yang dicirikan oleh
adanya perubahan, ambiguitas, keraguan, risiko,
ketidakpastian, dan keterpecahan
Modernitas : periode historis pascatradisional yang dicirikan oleh
industrialisme, kapitalisme, negara bangsa dan
bentuk-bentuk pengawasan
Narasi : penceritaan atau pencatatan kejadian yang tertata
secara sekuensial
xxii
Lancana : lambang, tanda
Legong : gerak tari yang terikat, luwes
Maharaja : raja agung
Manusa yadnya : upacara keagamaan yang dipersembahkan kepada
manusia
Ngaben : upacara pembakaran mayat
Ngelawang : barong yang diarak keliling desa pada saat hari raya di
sebuah wilayah desa
Niskala : perwujudan atau kejadian di alam tidak nyata
Odalan : upacara atau ritual keagamaan
Paduka : sri atau raja
Pejati : persembahan kepada dewa
Pemaknaan
(signification)
: proses-proses penciptaan makna melalui sebuah
sistem tanda
Penanda (signifier) : bentuk atau medium tanda, seperti bunyi, gambar,
coretan yang berbentuk huruf di sebuah kertas
Pendet : tari persembahan pada upacara keagamaan
Petanda (singnified) : konsep, ide, pemahaman, nilai penting (significance),
makna
Pralingga : simbol sakral dari perwujudan Tuhan
Pratima : benda berwujud patung sakral yang disucikan di pura
Representasi : praktik-praktik pemaknaan yang membentuk
kebudayaan, makna, dan pengetahuan
Sekaa : kelompok yang terdiri dari satu komunitas di Bali
Semiotika : kajian tanda dan pemaknaan dan kode-kodenya serta
penggunaannya dalam masyarakat
Sesajen : persembahan kepada Tuhan
Sosial : masyarakat dipahami sebagai organisasi asosiasi dan
hubungan manusia lewat interaksi-interaksi yang
diatur berbagai peraturan
Spiritualitas : sesuatu yang mempunyai kekuatan otonom dan
mampu menggerakkan sesuatu yang lain di luar
dirinya, baik yang bersifat ketuhanan maupun yang
bukan
Taksu : pancaran sakti sebagai kekuatan kharisma dalam diri
seseorang
Tanda : coretan atau bunyi-bunyi yang menghasilkan atau
mengandung makna karena relasinya dengan tanda-
tanda lain
Tari wali : sebuah tari persembahan kepada Tuhan
Teks : segala sesuatu yang menghasilkan makna melalui
praktik pemaknaan
Teori : diskursif yang bersifat sadar diri (self-reflexive) yang
bertujuan menafsirkan
Wali : sakral atau suci
Wayang : seni pertunjukan berupa drama yang meliputi seni
suara, seni sastra, seni musik, seni tutur
Yadnya : sebuah persembahan suci kepada Tuhan
xxiii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL…………………………………………………..….. i
PRASYARAT GELAR…...………………………………………….…… ii
LEMBAR PENGESAHAN………………………………………….…… iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI……………………………………... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT…………………………... v
UCAPAN TERIMA KASIH……………………………………………... vi
ABSTRAK……………………………………………………………...... ix
ABSTRACT……………………………………………………………….. x
RINGKASAN………………………………………………………......... xi
GLOSARIUM……………………………………………………………. xx
DAFTAR ISI……………………………………………………………... xxiii
DAFTAR TABEL………………………………………………………... xxvii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………….. xxviii
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………............... xxx
BAB I PENDAHULUAN..……………………………………………...... 1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………..... 1
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………... 9
1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………..... 10
1.3.1 Tujuan Umum……………………………………………… 10
1.3.2 Tujuan Khusus……………………………………….……. 10
1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………...... 10
1.4.1 Manfaat Teoritis…………………………………………… 10
1.4.2 Manfaat Praktis……………………………………………. 11
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN
MODEL PENELITIAN…………………………………………..
12
2.1 Kajian Pustaka………….…………………………………….…. 12
2.2 Konsep……………………….…………………………………. 24
xxiv
2.2.1 Mitos Pernikahan Jayapangus dan Kang Cing Wei……….. 24
2.2.2 Seni Pertunjukan Pariwisata..............………………….…... 27
2.2.3 Bali Agung….…….……………………………………….. 31
2.3 Landasan Teori…………………………………………………… 34
2.3.1 Teori Komodifikasi ..……….……………………………... 34
2.3.2 Teori Semiotika..........…………………….……………….. 38
2.3.3 Teori Ideologi Pariwisata Budaya ...…………………..…... 41
2.4 Model Penelitian.............................................................................. 48
BAB III METODE PENELITIAN............................................................... 51
3.1 Rancangan Penelitian...................................................................... 51
3.2 Lokasi dan Subyek Penelitian.......................................................... 52
3.3 Jenis dan Sumber Data..………….…………………………….… 52
3.4 Teknik Penentuan Informan..…………………………….........… 53
3.5 Instrumen Penelitian............……………………………………… 54
3.6 Teknik Wawancara Mendalam…………………………………… 54
3.7 Teknik Observasi......................………………………………….. 56
3.8 Teknik Analisis Data.......………………………………………… 57
3.9 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data..………………………….. 59
BAB IV FAKTA SEJARAH, MITOS, DAN LOKASI PENELITIAN..… 61
4.1 Fakta dan Sejarah Jayapangus…………….……………………… 61
4.1.1 Masa Pemerintahan Jayapangus…….……………………… 64
4.1.2 Sistem Pemerintahan Jayapangus……….…………………. 66
4.1.3 Kehidupan Agama Siwa-Budha…………………………… 68
4.1.4 Kehidupan Sosial, Ekonomi, dan Kesenian………………… 70
4.2 Mitos Pernikahan Jayapangus dan Kang Cing Wei……….………. 74
4.2.1 Mitos Versi Akademisi…………………………....….……. 76
4.2.2 Mitos Versi Purana Pura Dalem Balingkang………………. 79
4.2.3 Mitos Perwujudan Barong Landung….……………………. 80
4.3 Lokasi Pertunjukan Bali Agung....………………………………... 84
xxv
BAB V PRODUKSI SENI PERTUNJUKAN BALI AGUNG…………… 87
5.1 Praproduksi Bali Agung……………….……………………..…... 88
5.1.1 Daya Tarik Mitos Pernikahan Jayapangus dan Kang Cing
Wei………………………………………………………….
88
5.1.2 Negosiasi Gagasan dalam Produksi Bali Agung………..…. 93
5.2 Produksi Bali Agung……………..………………………………. 99
5.2.1 Modifikasi Karakter Tokoh Utama dari Tradisi ke Profan… 100
5.2.1.1 Jayapangus: antara Budaya, Spiritual, dan
Modernisasi…………………………………………
102
5.2.1.2 Kang Cing Wei: Representasi Bali dan Cina….…… 104
5.2.1.3 Dewi Danu: Modifikasi Tubuh Dewi Kesuburan
Menjadi Simbol Seksual…….………………………
110
5.2.2 Modifikasi Budaya Bali untuk Kepuasan Wisatawan…........ 115
5.3 Pascaproduksi Bali Agung………………………….……….......... 121
5.3.1 Spiritualitas Bali Agung: Realitas dan Kitsch……………… 121
5.3.2 Seniman di antara Keterbatasan dan Kebebasan Kreasi...…. 126
BAB VI DISTRIBUSI DAN KONSUMSI SENI PERTUNJUKAN
BALI AGUNG…….............................………………………….
132
6.1 Praktik Distribusi dan Pemasaran Bali Agung melalui Media…..... 133
6.1.1 Iklan Konvensional: Logika Bahasa, Citra, dan Makna……. 134
6.1.2 Media Sosial Meningkatkan Minat Wisatawan…..………… 147
6.1.3 Representasi: Praktik Pemaknaan Bali Agung dalam Iklan.. 158
6.2 Praktik Konsumsi Bali Agung oleh Wisatawan………..………… 162
6.2.1 Cerita Lokal dengan Teknologi Modern….………………... 163
6.2.2 Seni Tradisional di Panggung Modern…...………………… 166
6.2.3 Estetika Bali Agung…………………..……………………. 169
6.2.3.1 Atraksi Satwa dalam Bali Agung….……....………. 170
6.2.3.2 Properti Realistik Penunjang Bali Agung…….….…. 175
6.2.4 Produksi Makna Penonton terhadap Bali Agung….…...................... 176
6.2.5 Bali Agung Dikonsumsi sebagai Budaya Pariwisata…..…………… 179
xxvi
BAB VII IMPLIKASI SENI PERTUNJUKAN BALI AGUNG
TERHADAP PARIWISATA BALI……………………………
184
7.1 Bali Agung Sebagai Seni Pertunjukan hybrid………...………….. 184
7.1.1 Harmonisasi Musik Bali, Cina, dan Barat…………………... 185
7.1.2 Seni Pertunjukan Kombinasi Budaya Bali, Cina, dan Barat... 191
7.1.3 Tokoh Tradisional dengan Kostum Modern…...………..…. 196
7.1.4 Wayang sebagai Narasi Pertunjukan Hybrid……..…………. 200
7.1.5 Bali Agung sebagai Ikon Seni Pertunjukan Pariwisata
Hybrid………………………………………………………..
204
7.2 Bali Agung sebagai Seni Pseudo-tradisional…………….…….…. 212
7.3 Desakralisasi Mitos Jayapangus dan Kang Cing Wei…….………. 217
7.3.1 Unsur Mitos Jayapangus dan Kang Cing Wei yang
Mengalami Desakralisasi…………………………………….
220
7.3.1.1 Desakralisasi Cerita Mitos Jayapangus dan Kang
Cing Wei……………………………………………..
221
7.3.1.2 Desakralisasi Penokohan dan Pementasan Mitos
Jayapangus dan Kang Cing Wei……………………..
226
7.3.2 Desakralisasi Mitos Jayapangus dan Kang Cing Wei Sebuah
Realitas dalam Masyarakat Bali…………………………….
229
BAB VIII PENUTUP………..……………………………………………. 232
8.1 Simpulan..…………………………………………………………. 232
8.2 Temuan ..………………..………………………………………… 236
8.3 Saran..……………………………………………………………... 239
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….. 241
LAMPIRAN………..……………………………………………………... 248
xxvii
DAFTAR TABEL
Halaman
5.1 Seniman yang Terlibat dalam Produksi Pertunjukan Bali Agung….. 93
5.2 Daftar Nama Pemain dan Tokoh dalam PertunjukanBali Agung…… 101
7.1 Track Pertunjukan Bali Agung………………………………………. 187
7.2 Paket Wisata Bali Safari and Marine Park…………………………..
208
xxviii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1 Model Penelitian…………………………………………………… 48
4.1 Peta Lokasi Kabupaten Gianyar, Bali……………………………… 84
4.2 Peta Lokasi Bali Safari and Marine Park…………………………. 85
5.1 Sutradara Made Sidia (kiri) dan Peter J Wilson (kanan)…………… 94
5.2 Wayan Sira sebagai Pemeran Utama Jayapangus…………………. 103
5.3 Pemeran Kang Cing WeiNi Wayan Sumariasih…..……………… 106
5.4 Dewi Danu dalam Adegan Pertunjukan Bali Agung……………… 113
5.5 Pelinggih (Pura) di kajakanginBali Theatre……….……………... 123
6.1 Desain Iklan Bali Agung dalam Bentuk Flyer…………………….. 137
6.2 Brosur Bergambar Dewi Danu…………………………………….. 141
6.3 Brosur Bergambar Jayapangus, Kang Cing Wei, Dewi Danu,
dan Satwa……………………………………………………………
143
6.4 Flyer yang Bergambar Seorang Anak Kecil Menunggang Gajah….
6.5 Promosi Bali Agung Melalui Akun Sosial Instagram………………
144
150
6.6 Follower Menjadi Pengiklan bagi Konsumen Lainnya…………….. 152
6.7 Artis Dian SastrowardoyoBerwisata di Bali Safari and Marine
Park………………………………………………………………….
154
6.8 Promosi yang Dilakukan Melalui Akun FanpageBali Safari and
Marine Park………………………………………………………...
155
6.9 Desain Gedung Bali Theatre………..……………………………. 167
6.10 Tujuh Ekor Gajah Dilibatkan Dalam Pertunjukan………………… 170
6.11 Properti Berupa Perahu Cina yang Membawa Saudagar Cina ke
Bali Bersama Kang Cing Wei……………………………………..
175
7.1 Komposer Chong Lim Membuat Instrumen Musik Pertunjukan….. 186
7.2 Tata Lampu Pertunjukan yang Diatur Secara Detail……………….. 188
7.3 Rancangan Kostum yang Ditampilkan dalam Pertunjukan………… 195
7.4 Dalang Pertunjukan dengan Bahasa Kawi dan Inggris…………….. 202
xxix
7.5 Ritual penyucian Barong Landung pada acara melasti. Sosok wajah
Barong Landung yang diusung sejumlah kelompok masyarakat di
Bali……………………………………………………………………
218
7.6 Gedong Linggih Ayu Mas Subandar Berada di dalam Halaman
Mandala Utama Pura Penataran Agung Dalem Balingkang, Desa
Pinggan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Pelinggih ini
Diyakini Berstana Kang Cing Wei……..…………………………….
222
7.7 Adegan Jayapangus dan Kang Cing Wei pada Pertunjukan
Pariwisata, Bali Agung – The Legend of Balinese Goddesses...........
224
xxx
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1 Mitos Versi Akademisi Prof. Dr. I Made Bandem…………………… 248
2 Mitos Versi Purana Pura Dalem Balingkang…………………………. 251
3 Mitos Versi Pertunjukan Bali Agung – The Legend of Balinese
Goddesses………………………………………………………………
254
4 Adegan Pertunjukan Bali Agung.……………………………………... 255
5 Durasi Penampilan Tokoh Utama dalam Pertunjukan Bali Agung…… 258
6 Narasi Dalang dalam Pertunjukan Bali Agung………………………... 259
7 Pedoman Wawancara…………………………………………………. 262
8 Daftar Informan………………………………………………………. 265
9 Foto-foto Riset…………………………….………………………….. 271
10 Struktur Organisasi Bali Safari and Marine Park……..…….………… 274
11 Daftar Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Bali…………………. 275
12 10 Besar Kunjungan Objek Wisata di Bali Tahun 2008 s/d 2012…….. 276
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pariwisata Bali mulai mengalami perkembangan pada tahun 1920-an.
Selanjutnya pariwisata massal masuk ke Bali pada tahun 1970-an. Perkembangan
industri pariwisata makin pesat sejak tahun 1990-an. Perkembangannya ditandai
dengan peningkatan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara setiap tahunnya,
yaitu sebanyak 2.756.579 orang pada tahun 2011 dan meningkat menjadi
sebanyak 4.927.937 orang di tahun 2016. Kunjungan wisatawan nusantara juga
mengalami peningkatan, yaitu sebanyak 6.394.307 orang pada tahun 2014
kemudian meningkat pada tahun 2016, yaitu sebanyak 7.147.100 orang
(Disparda.Baliprov, 2017) (lihat lampiran 11).
Pertumbuhan pariwisata Bali yang sangat pesat memberikan pengaruh
terhadap budaya Bali. Pulau Bali terkenal kekayaan budaya, seperti seni tari, seni
gamelan, drama, bangunan, dan seni ukirnya. Seni dan budaya Bali
diklasifikasikan secara artifisial, yaitu sakral (wali), tontotan (bebali), dan
tontotan untuk pariwisata (balih-balihan). Dalam perkembangan pariwisata yang
semakin modern, seni dan budaya lokal Bali otentik yang bersifat sakral (street
culture) dikelola oleh industri pariwisata menjadi sebuah seni pertunjukan
pariwisata (staged culture). Budaya Bali menjadi komoditas bagi industri
pariwisata.
Seiring perkembangan tersebut, pemerintah Provinsi Bali mengeluarkan
Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Bali dan
2
Perda Nomor 10 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Daerah Provinsi Bali 2015-2029. Kedua regulasi mengatur
tentang kebudayaan sebagai daya tarik dan tuntutan dalam mengantisipasi
perkembangan pariwisata di Bali yang mulai mengkreasi seni dan budaya Bali
sebagai komoditas pariwisata serta larangan memanfaatkan upacara keagamaan,
menggunakan simbol-simbol keagamaan, benda-benda yang disakralkan, dengan
tujuan semata-mata sebagai daya tarik wisata.
Pengembangan kekayaan budaya Bali menjadi komoditas pariwisata, salah
satunya seni pertunjukan pariwisata merupakan salah satu bagian dari program
pembangunan ekonomi kreatif. Seni dan budaya Bali menjadi objek untuk
menghasilan pundi-pundi dolar dari wisatawan bagi masyarakatnya. Kondisi ini
telah terjadi sejak pariwisata masuk ke Bali. McKean (1974) menyatakan bahwa
dalam industri pariwisata di Bali, masyarakat lokal Bali memberikan wisatawan
layanan estetik (kesenian Bali) sembari, pada saat yang sama, wisatawan
memberikan kepuasan ekonomi (uang) kepada tuan rumah. McKean (1974: 34)
menyatakan bahwa:
Salah satu dari antara transaksi-transaksi yang penting bagi orang Bali
sudah jelas, yaitu segi ekonomi berapakah penghasilan pada malam
pertunjukan itu. Sebagai pengganti uangnya yang keluar, tamu-tamu asing
diperkenankan memasuki alam mitos orang Bali, menjadi penonton serta
mengalami sendiri seni budayanya itu.
Seiring kemajuan industri pariwisata semakin banyak budaya sakral (street
culture) yang dikomodifikasi menjadi tontotan (staged culture) untuk
dipertunjukkan kepada wisatawan. Dalam kondisi tersebut Bali diharapkan
mampu menyelaraskan kehidupan street culture dengan staged culture yang
merupakan kebahagiaan kultural religius sebagai sumber yang pertama,
3
sedangkan yang kedua sebagai sumber kesejahteraan sosial dan ekonomi (Putra,
2015).
Namun dalam perkembangannya, interaksi kehidupan seni budaya dengan
budaya pariwisata bersifat resiprokal paradoksal. Menurut (Putra, 2015) bahwa
hubungan harmonis yang selaras, serasi, seimbang sekaligus hubungan yang
penuh curiga karena yang satu, dalam hal ini pariwisata, juga dianggap ancaman
terhadap seni budaya. Keuntungan ekonomi dari pariwisata telah memungkinkan
masyarakat Bali untuk melaksanakan ritual yang megah, memungkinkan mereka
untuk menggali kekayaan seni tradisi, arsitektur yang khas Bali, dan
menemukembangkan kekayaan kuliner. Di samping dampak positifnya,
pariwisata juga dianggap sebagai ancaman (threat). Lewat kekuatan kapital dan
globalnya, pariwisata sering dicurigai atau dilihat sebagai musuh dalam selimut
yang diam-diam dianggap dapat menghancurkan seni budaya lokal. Kekhawatiran
ini tentu saja tidak berlebihan tetapi tidak sepenuhnya negatif karena
resiprokalitas - paradoksal ini bermuara menjadi kekuatan tunggal untuk membela
(nindihin) supaya seni budaya Bali tetap ajeg, agar hidup secara berkelanjutan.
Keberlanjutan kehidupan seni budaya Bali akan menjadi pilar dan daya tarik
utama pariwisata.
Bali memiliki kekayaan budaya sakral (street culture) yang tampak pada
beragam aktivitas kehidupan kultural masyarakatnya, seperti melaksanakan
upacara keagamaan, arsitektur khas Bali, dan kebanggaan terhadap adat dan
budayanya. Banyak contoh semaraknya street culture yang berkembang sejak
tahun 1990-an hingga kini, seperti prosesi ogoh-ogoh, prosesi penyucian diri dan
benda sakral (melasti)¸ mengarak barong berkeliling desa (ngelawang) sebagai
4
penolak Bala. Prosesi ini dapat dinikmati wisatawan secara gratis saat mereka
melakukan tur ke berbagai penjuru Bali.
Kekayaan street culture dimanfaatkan oleh masyarakat Bali sebagai seni
pertunjukan pariwisata (staged culture). Namun perkembangan stage culture
mengalami fase naik turun yang memprihatinkan. Panggung pementasan hilang
tumbuh berganti, seperti panggung kecak dan barong tidak langgeng sesuai
dengan kebutuhan, misalnya tutupnya panggung kecak di Art Centre, Denpasar
yang digantikan panggung kecak di Uluwatu atau Garuda Wisnu Kencana;
tutupnya panggung barong di Singapadu digantikan dengan panggung barong di
Kesiman (Putra, 2015).
Dalam setengah abad perkembangan pariwisata Bali hingga tahun 2010
belum ada seni pertunjukan pariwisata Bali yang maju, nyaman, inovatif, dan
dikelola secara modern disertai dengan manajemen yang profesional. Kondisi ini
berbeda jika dibandingkan dengan pertunjukan pariwisata di Cina yang
pertunjukannya digelar spektakuler, kolosal, inovatif, dan modern. Gedung
pertunjukannya besar dengan pendingin yang nyaman, inovasi tata panggung, dan
estetika tari menjadi perpaduan yang mengaggumkan. Ribuan wisatawan mengalir
ke Perkampungan Cina di Zhensen untuk menikmati pertunjukan dan keindahan
taman-taman. Seni pertunjukan itu menghasilkan devisa yang sangat besar.
Wisatawan merasa puas menikmati pertunjukan otentik rakyat Cina dalam
kemasan modern. Popularitas dan kualitas itu hanya dimungkinkan karena
pengelolaan staged culture yang profesional.
Keberhasilan Cina mengelola pertunjukan otentik menjadi sebuah seni
pertunjukan pariwisata tampaknya menjadi inspirasi munculnya seni pertunjukan
5
pariwisata modern, yaitu seni pertunjukan pariwisata bertajuk Bali Agung – The
Legend of Balinese Goddesses (Bali Agung – Legenda Dewi - Dewi dari Bali).
Pertunjukan pariwisata modern yang selanjutnya disebut Bali Agung digagas oleh
pemilik Bali Safari and Marine Park, Gianyar, Bali. Bali Safari and Marine Park
tampaknya meniru sukses staged culture ala Cina dengan mengemas sebuah street
culture menjadi staged culture, yaitu sebuah seni pertunjukan yang bersumber
pada mitos sakral pernikahan Jayapangus dan Kang Cing Wei. Mitos sakral ini
diyakini sebagai seni sakral dalam perwujudan Barong Landung. Seni pertunjukan
pariwisata Bali Agung dikemas menjadi sebuah seni pertunjukan pariwisata yang
modern. Pertunjukan ditampilkan dengan tata cahaya, tata panggung, properti, tata
busana, melibatkan ratusan penari, serta atraksi puluhan satwa, seperti gajah,
macan, dan unta. Pertunjukan ini menjadi sebuah pertunjukan pariwisata (staged
culture) yang megah, modern, kolosal, inovatif, dan spektakuler.
Direktur Eksekutif Bali Safari and Marine Park, Hans Manansang
menyatakan bahwa Bali Safari and Marine Park memiliki komitmen untuk
menjaga seni dan budaya dalam perkembangan pariwisata Bali. Ia juga
berkomitmen melakukan konservasi terhadap kehidupan liar (satwa) dan budaya
Bali. Atas pemikiran itulah, Ia membuat seni pertunjukan pariwisata yang berakar
dari seni dan budaya Bali, yaitu mitos kehidupan dan kisah cinta Jayapangus dan
Kang Cing Wei. Ia mengatakan visinya menampilkan seni pertunjukan Bali
Agung adalah untuk menciptakan sebuah karya kolosal dengan alur cerita yang
merangkum keseluruhan esensi dari Bali – sebuah pencitraan akan evolusi dalam
perspektif budaya Bali. Bali Safari and Marine Park sukses memanfaatkan seni
dan budaya sakral menjadi sebuah komoditas pariwisata.
6
Seniman Bali juga memiliki keinginan membuat karya seni modern yang
bersumber dari filosofi budaya Bali untuk disajikan kepada wisatawan. I Made
Sidia seorang seniman wayang Bali kenamaan terlibat dalam penggarapan seni
pertunjukan pariwisata Bali Agung. I Made Sidia mengatakan seni pertunjukan
yang ditampilkan untuk publik luas merupakan pentas seni dan kultural yang
paling megah yang pernah dilakukan di Indonesia. Seni pertunjukan Bali Agung
menonjol dalam hal konsep dan filosofi dibandingkan seni pertunjukan lainnya,
sebuah mega teater ultra modern namun tetap menunjukkan sisi klasiknya. Teater
ini merupakan yang pertama kali terjadi di Bali, hadir untuk menjamu para
penonton internasional (wisatawan mancanegara).
Manager Bali Safari and Marine Park Hans Manansang dan I Made Sidia
memroduksi seni pertunjukan pariwisata bertajuk Bali Agung – The Legend of
Balinese Goddeses. Seni pertunjukan pariwisata Bali Agung dipentaskan pertama
kali di Bali Teater, Bali Safari and Marine Park pada tanggal 31 Agustus 2010
(Taman Safari, 2015). Pertunjukan perdana tersebut juga sebagai tanda dibukanya
panggung Bali Theatre, milik Bali Safari and Marine Park. Sebelum dipentaskan
secara komersil, dilakukan pembukaan awal pada tanggal 29 Agustus 2010 (Bali
Safari Marine Park, 2011).
Bali Safari and Marine Park juga mempekerjakan seniman-seniman
terkenal dunia yang dipadukan dengan seniman Bali serta para pemain seni
pertunjukan dari Bali dalam memroduksi seni pertunjukan tersebut. Pertunjukan
seni teater dan tari ini disutradarai dan diproduseri tokoh seni teater bertaraf
internasional Peter J Wilson yang berkolaborasi dengan seniman dan dalang Bali I
Made Sidia. Peter J Wilson seorang sutradara, komposer, dan desainer produksi
7
dari teater spektakuler ini telah berpengalaman terlibat dalam berbagai produksi
skala besar termasuk Olimpiade Sydney dan Doha serta perhelatan Asian Games
(Taman Safari, 2015).
Seni pertunjukan pariwisata Bali Agung selanjutnya dipentaskan di atas
panggung terbesar di Bali Theatre yang megah berkapasitas 1.200 tempat duduk.
Bali Theatre didesain khusus dengan dilengkapi sarana multimedia yang canggih,
peralatan suara serta tata lampu panggung dengan teknologi tinggi, menjadikan
fasilitas ini sebagai gedung pertunjukan terbesar yang ada di Bali (Bali Safari
Marine Park, 2011). Pertunjukan ini melibatkan 170 orang pemain, 40 macam
properti, lebih dari 30 satwa yang menghuni kebun binatang Bali Safari and
Marine Park, seperti macan tutul, sapi, ayam, ular, burung, unta, dan gajah.
Semua ditampilkan di atas panggung besar berukuran 60 x 40 meter.
Untuk mencapai target konsumen, Bali Safari and Marine Park
melakukan promosi yang sangat masif. Promosi dilakukan dengan cara
penyebaran brosur, pemasangan baliho, iklan di media masa cetak, iklan di media
online serta promosi melalui media soisla hingga mendapatkan peliputan yang
luar biasa dari media massa. Bali Safari and Marine Park juga mengundang tokoh
penting, seperti Presiden Republik Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono
bersama ibu Negara Republik Indonesia, juara MotoGP Championship tahun 2010
asal Spanyol Jorge Lorenzo, duta-duta besar serta kepala negara yang mengikuti
konferensi APEC di Bali untuk menyaksikan pertunjukan Bali Agung (Detikcom,
2012; Okezone, 2013). Kepala negara dan tokoh olah raga MotoGP menyaksikan
pertunjukan merupakan sebagai sebuah strategi promosi karena kehadirannya
mendapatkan liputan dari berbagai media massa cetak dan elektronik.
8
Seni pertunjukan pariwisata Bali Agung menjadi salah satu contoh ideal
sebuah staged culture yang mampu bertahan dalam waktu yang lama, sejak
rentang waktu tahun 2010 hingga tahun 2017. Pertunjukan sudah ditampilkan
sebanyak lebih dari 1.500 kali. Jika dibandingkan dengan staged culture, yaitu
panggung pertunjukan tari kecak dan tari barong yang hilang silih berganti karena
dikelola dengan manajemen tradisional, seni pertunjukan pariwisata Bali Agung
mampu bertahan dalam jangka waktu yang lama serta kunjungan penonton yang
stabil karena dikelola secara modern dan profesional.
Seni pertunjukan Bali Agung dikemas secara kreatif menjadi sebuah
industri pariwisata agar menguntungkan secara ekonomi sehingga mampu
bertahan dalam durasi waktu yang lama. Untuk menjadi sebuah seni pertunjukan
pariwisata yang modern yang berakar dari budaya otentik Bali, dibutuhkan upaya
komodifikasi yang kreatif dan inovatif serta promosi oleh Bali Safari and Marine
Park (kaum kapital). Proses komodifikasinya meliputi proses produksi, distribusi,
kemudian dikonsumsi oleh wisatawan, baik mancanegara maupun domestik. Jika
dibandingkan dengan staged culture berupa panggung pertunjukan tari kecak dan
tari barong yang dikomodifikasi secara tradisional, seni pertunjukan Bali Agung
merupakan sebuah proses komodifikasi yang modern dan profesional.
Namun, harapan pemerintah Bali agar pariwisata mampu menyelaraskan
kehidupan street culture dan staged culture sehingga bisa menjadi sumber
kebahagiaan kultural religius dan sumber kesejahteraan sosial ekonomi
tampaknya belum terpenuhi. Komodifikasi seni dan budaya sakral yaitu mitos
pernikahan Jayapangus dan Kang Cing Wei menjadi seni pertunjukan pariwisata
Bali Agung tampaknya belum selaras. Komodifikasi ini menyebabkan terjadi
9
komersialisasi budaya Bali sehingga wisatawan tidak lagi mendapatkan suguhan
seni dan budaya sakral yang otentik berupa prosesi ngelawang Barong Landung
yang bisa dijumpai di jalan-jalan desa atau perkotaan di Bali.
Dalam perspektif Kajian Budaya, seni dan budaya Bali yaitu mitos
pernikahan Jayapangus dan Kang Cing Wei yang bersifat sakral telah mengalami
komodifikasi menjadi seni pertunjukan pariwisata yang bersifat profan. Untuk itu,
penulis mengkaji ideologi yang melatarbelakangi produksi seni pertunjukan
pariwisata Bali Agung. Menganalisis bagaimana proses komodifikasi baik dari
tahap produksi, distribusi, maupun konsumsi. Serta mengkaji implikasi
komodifikasi seni pertunjukan pariwisata Bali Agung – The Legend of Balinese
Goddeses terhadap pariwisata budaya Bali.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah dalam penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagaimana proses produksi seni pertunjukan pariwisata Bali Agung - The
Legend of Balinese Goddesses?
2. Bagaimana proses distribusi dan konsumsi seni pertunjukan pariwisata
Bali Agung - The Legend of Balinese Goddesses?
3. Bagaimana implikasi komodifikasi seni pertunjukan pariwisata Bali Agung
- The Legend of Balinese Goddesses terhadap pariwisata budaya Bali?
10
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum tujuan penelitian ini adalah menganalisis proses
komodifikasi seni pertunjukan pariwisata Bali Agung - The Legend of Balinese
Goddesses di Bali Safari and Marine Park.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini, sebagai berikut:
1. untuk mengetahui proses produksi seni pertunjukan pariwisata Bali Agung
- The Legend of Balinese Goddesses,
2. untuk mengetahui proses distribusi dan konsumsi seni pertunjukan
pariwisata Bali Agung - The Legend of Balinese Goddesses, dan
3. untuk mengetahui bagaimana implikasi komodifikasi seni pertunjukan
pariwisata Bali Agung - The Legend of Balinese Goddesses terhadap
pariwisata budaya Bali.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini dibedakan atas dua hal, yaitu
manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1.4.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan memperkaya
khazanah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan seni dan tradisi budaya
masyarakat Bali serta bermanfaat sebagai pengembangan kajian budaya dan
11
tradisi lisan tentang seni pertunjukan pariwisata yang bersumber dari mitos
masyarakat Bali.
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang ingin dicapai dalam penelitian ini, sebagai berikut:
pertama, bagi masyarakat Bali. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
penjelasan proses produksi, distribusi dan konsumsi, serta implikasi seni
pertunjukan pariwisata Bali Agung - The Legend of Balinese Goddesses terhadap
pariwisata budaya Bali; kedua, bagi pemerintah, khususnya pemerintah daerah
dapat menentukan kebijakan yang tepat dalam pelestarian budaya Bali; ketiga,
bagi peneliti, dengan kajian ini diharapkan memberikan motivasi melakukan
penelitian terhadap praktik komodifikasi seni dan tradisi budaya Bali lainya
menjadi seni pertunjukan pariwisata.