186
PELANGGARAN PRINSIP KERJA SAMA DAN IMPLIKATUR DALAM ACARA DEBAT TV ONE SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan oleh: Rully Pratistya 1111013000069 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Official Website€¦ · PELANGGARAN PRINSIP KERJA SAMA . DAN IMPLIKATUR DALAM ACARA DEBAT TV ONE . SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • PELANGGARAN PRINSIP KERJA SAMA

    DAN IMPLIKATUR DALAM ACARA DEBAT TV ONE

    SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN

    BAHASA INDONESIA DI SMA

    Skripsi

    Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

    untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

    oleh:

    Rully Pratistya

    1111013000069

    JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

    FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    2015

  • LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

    PELANGGARAN PRINSIP KERJA SAMA DAN IMPLIKATURDALAM ACARA DEBATTV ONE SERTA IMPLIKASINYA

    TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIADI SMA

    Skripsi

    Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi

    P ersyaratan Mempero leh Gelar S arj ana Pendidikan

    Oleh

    RULLY PRATISTYA

    NIM: 1111013000069

    Mengetahui,

    Dosen Pembimbing

    JURUSAN PENDIDIKAI{ BAHASA DAN SASTRA INDONESIAFAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERISYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA2015

    NrP. 19840409 201 101 1 015

  • LBMBAR PENGESAIIAN UJIAN MUNAQ OSAH

    Skripsi bedudul "Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dan Implikatur dalam

    Acara Debat TY One serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia

    di SMA" disusun oleh Rully Pratistya, NIM 111013000069, diajukan kepadaFakultas IImu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatulah Jakarta dan telah

    dinyatakan lulus dalam ujian Munaqasah pada tarrggal 15 Oktober 2015 di

    hadapan dewan penguji. Oleh karena itu, penulis berhak memperoleh gelar

    Sarjana Pendidikan (S.Pd.) dalam bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra

    Indonesia.

    Jakart4 20 Oktober 2015

    Panitian Ujian Munaqasah

    Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Prodi) TanggalL3t

    Makvqn Qubuki. M.frum. ,.{.lg.Li*,s-NiP. 19800305 200901 1 015

    Sekretaris Panitia (Sekretaris JurusailItod$ glZ ,

    Dona Aii Karunia Putra" M.A ..(.\?...1*tsNrP. 19840409201101 1 015

    Penguji IDr. Nuryani. M.A..

    NIP. 19820628 2009t2 2 003

    Penguji IIDr. EIvi Susanti. M.Pd.NrP. 19680801 200801 2 016

    a$,?''

    rclof zots

  • KEII'EHTERIAH AGAI'IAUIH JAKARTAFITK,4. k tt.w * # cipt,d t54,2 ffirana

    FORM (FR)

    No. Dokumen : FITK-FR-AKF089Tgl- Terbit : 1 Maret 2010No. Revisi: : 01iHal 'U1

    SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

    Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

    Nama :RullYPratistYaTempat/Tgl.Lahir : Bandung, 22 Mei 1992

    NIM : 1111013000069Jurusan I Prodi : Pendidikan Bahasa dan Sastra IndonesiaJudul Skripsi : *Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dan Implikatur

    dalam Acara DebatTY One serta Implikasinya

    terhadap Pembelajarau Bahas* Indonesia di SMII.

    ksflr Pemhimhing : Duru,qii Kanmia Putra" tt{'A

    dengan ini menyatakan bahwa skripai yang $a-va buat benar-benar hasil karya sendiri

    dan saya bertanggung jawab secara akademis atas *pa yang saya tulis.

    Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syatatmenempuh wisuda.

    RuttyPmtistyaNrM- IIlt$t3ffi0069

    Jakarta" 28 Oktofuer 201 5

  • ABSTRAK

    RULLY PRATISTYA,1111013000069,“ Pelanggaran Prinsip Kerja Sama

    dan Implikatur dalam Acara Debat TV One serta Implikasinya terhadap

    Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan

    Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri

    Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Dona Aji Karunia Putra, M.A.

    Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk pelanggaran

    prinsip kerja sama yang terdapat dalam acara Debat TV One dengan judul Adu

    Aksi KPK−Polri. Penelitian ini pun mendeskripsikan implikatur yang terkandung

    dalam pelanggaran prinsip kerja sama tersebut serta fungsi dari implikatur itu.

    Teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori prinsip kerja sama

    dan implikatur yang dikemukakan oleh H.P. Grice. Prinsip kerja sama dan

    implikatur merupakan bagian dari ilmu pragmatik. Percakapan sebagai objek

    penelitian dalam penelitian ini, maka penelitian ini bersifat penelitian kualitatif.

    Desain penelitian yang digunakan yaitu deskriptif dengan menjelaskan secara apa

    adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi selama percakapan disesuaikan dengan

    sasaran dan tujuan penelitian.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa maksim yang sering dilanggar dalam

    format debat TV One yaitu maksim kuantitas dengan jumlah tujuh pelanggaran.

    Urutan kedua ditempati oleh maksim relevansi dengan jumlah tiga pelanggaran.

    Berikutnya, yaitu maksim cara dengan jumlah dua pelanggaran. Maksim di urutan

    terakhir yaitu maksim kualitas dengan jumlah satu pelanggaran. Penelitian ini pun

    menemukan adanya pelanggaran maksim gabungan, yaitu pelanggaran maksim

    cara dan maksim kualitas serta pelanggaran maksim kuantitas dan maksim cara.

    Masing-masing pelanggaran tersebut berjumlah satu. Jumlah keseluruhan

    pelanggaran maksim yaitu lima belas.

    Adapun fungsi implikatur yang paling banyak muncul yaitu untuk

    menyatakan, dengan jumlah enam tuturan. Posisi kedua ditempati oleh fungsi

    implikatur untuk menyarankan dengan jumlah lima tuturan. Berikutnya, yaitu

    fungsi implikatur untuk menegaskan dengan jumlah tiga tuturan. Terakhir, yaitu

    fungsi implikatur untuk menyindir dengan jumlah satu tuturan.

    Debat dapat digunakan sebagai metode pembelajaran, pada Kurikulum

    Tingkat Satuan Pendidikan maupun pada Kurikulum 2013 di tingkat SMA

    khususnya kelas X. Melalui hasil penelitian ini, guru dapat menjelaskan cara

    membangun komunikasi yang efektif dan santun dalam debat. Guru dapat juga

    menjelaskan kesalahan-kesalahan yang tidak boleh dilakukan dalam debat. Peserta

    didik pun menjadikan hasil penelitian ini sebagai referensi dan pembelajaran

    dalam mengembangkan keterampilan berbicara, khususnya debat.

    Kata Kunci : Pelanggaran, Prinsip Kerja Sama, Implikatur, Debat TV

    One, Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA

  • ABSTRACT

    RULLY PRATISTYA, 1111013000069,” Violation of the Cooperative Principle

    and Implicature in a Debate TV One and its Implication in Learning

    Indonesian Language in Senior High School”. Department of Education

    Indonesian Language and Literature, Faculty of Education and Teaching

    Tarbiyah, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Supervisor: Dona

    Aji Karunia Putra, M.A.

    This research to describe forms violation of the cooperative principle in a

    Debate TV One with the tittle “Adu Aksi KPK−Polri”. In addition, this research

    also describes implicatures contained in violation of the cooperative principle as

    well as the function of implicature it.

    The theory used in this research is the theory of the cooperative principle

    and implicature suggested by H.P. Grice. The cooperative principle and

    implicature is part of the pragmatics. Conversation as an object in this research,

    accordingly this research is qualitative research. The design of this research is

    descriptive to explain what the events that occurred during a conversation aligned

    with the goals and objectives of research.

    The result showed that maxim is often violated in a debate format TV One

    is maxim of quantity with seven violated. The second sequence is occupied by

    maxim of relevance with three violated. Furthermore, maxim of manner with two

    violated. The latter is maxim of quality with one violated. In this research found

    also the combination maxims violation that is the violated maxim of manner and

    maxim of quality and then the violated maxim of quantity and maxim of manner.

    Each of these violations amounted one violated.

    As for the function implicature often in this research is purpose to declare

    with amount is six utterances. The second position is purpose to recommend with

    amount is five utterances. Furthermore, the function of implicature is purpose to

    emphasize with amount is three utterances. The last, is purpose to quip with

    amount is one utterances.

    The research result can be used in the learning Indonesian language

    Senior High School, especially in the first class of Senior High School. Debate

    can be used as a learning method, in the KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan

    Pendidikan) or in Kurikulum 2013. Through this research, the teacher can

    explain how to build manners an effective communications and polite in debate.

    Then, The teacher can explain the mistakes that should not be done in the debate.

    The students also make this research result as a reference and learning in

    developing speaking skills, especially the debate.

    Keywords: Violation, Cooperative Principle, Implicature, Debate TV One,

    Learning Indonesian Language in Senior High School

  • i

    KATA PENGANTAR

    Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas

    sifat rahman dan rahim-NYA penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “

    Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dan Implikatur dalam Acara Debat TV One serta

    Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA”. Selawat serta

    salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Baginda Nabi Muhammad SAW,

    dan kesejahteraan serta keberkahan semoga selalu menaungi keluarga Beliau, para

    sahabatnya, dan para umatnya yang selalu berharap syafa’at darinya.

    Penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada berbagai pihak yang telah

    memberikan bantuan berupa bimbingan, saran, materi, doa serta motivasi dari

    proses hingga terselesaikannya skripsi ini. Adapun pihak-pihak tersebut yaitu:

    1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu

    Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    2. Makyun Subuki, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa

    dan Sastra Indonesia

    3. Dona Aji Karunia Putra, M.A., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan

    Bahasa dan Sastra Indonesia dan juga selaku Dosen Pembimbing

    Skripsi. Terima kasih atas kesabaran Bapak dalam membimbing saya.

    Terima kasih atas ilmu dan saran-saran yang diberikan.

    4. Dra. Hindun, M.Pd., selaku Dosen Penasehat Akademik. Terima kasih

    atas waktu yang selalu diluangkan kepada penulis untuk berkonsultasi

    permasalahan dan kegiatan perkuliahan.

    5. Kepada segenap Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan

    Dosen FITK yang telah memberikan ilmunya sehingga ilmu tersebut

    dapat turut serta dalam membantu pembuatan skripsi ini.

    6. Kedua orang tua penulis, yaitu Endang Sukendar, MM. dan Kokom

    Komariyah, BA., yang selalu mencurahkan kasih sayangnya dan

    mendoakan penulis tiada henti.

  • ii

    7. Kedua kakak penulis, yaitu Rendy Prasetya Supandar, SE. dan Riza

    Primajaya Sutandar, ST., yang banyak memberi bantuan materi dan

    memberi motivasi untuk menyelesaikan studi tepat waktu dan atau

    secepatnya.

    8. Sahabat terbaik penulis, yaitu Muhammad Fikri Firdaus yang banyak

    membantu dalam pengeditan skripsi serta selalu memotivasi penulis

    untuk segera menyelesaikan studi S1 agar dapat menjadi anak band

    kembali dan pensiun dini menjadi guru (kemungkinan bisa kembali

    jadi guru lagi kalau gagal jadi anak band).

    9. Kepada Devi Aristiyani dan Pratiwi, terima kasih banyak atas

    pinjaman buku-buku pragmatik dan metode penelitian sehingga

    penulis tidak kesusahan dalam menyelesaikan Bab 2 dan Bab 3.

    10. Kepada teman-teman yang istimewa bagi penulis, yaitu Ustad Fauzi,

    Daeng Sofyan, Bang Aris, Wenti Frisca Septiani Putri terima kasih

    telah menjadi teman yang selalu ada untuk penulis menyampaikan

    keluh kesah selama menyusun skripsi ini.

    Semoga Allah SWT mencatatnya sebagai amal kebaikan dan memberikan

    balasan kebaikan pula atas bantuan yang diberikan kepada penulis. Aaamiin

    allahumma aamiin. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat digunakan dan

    bermanfaat.

    Jakarta, 07 Oktober 2015

    Rully Pratistya

  • iii

    DAFTAR ISI

    ABSTRAK

    ABSTRACT

    KATA PENGANTAR ........................................................................... i

    DAFTAR ISI .......................................................................................... iii

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1 B. Identifikasi Masalah .................................................................... 6 C. Pembatasan Masalah ................................................................... 6

    D. Rumusan Masalah ....................................................................... 7

    E. Tujuan Penelitian ........................................................................ 7

    F. Manfaat Penelitian ...................................................................... 7

    BAB II LANDASAN TEORI

    A. Pragmatik .................................................................................... 9

    B. Situasi Tutur ................................................................................ 15

    C. Prinsip Kerja Sama ...................................................................... 19

    D. Implikatur .................................................................................... 23

    E. Implikatur Percakapan ................................................................ 25

    F. Pembelajaran Keterampilan Berbicara Tingkat SMA................. 34

    G. Debat ........................................................................................... 38

    H. Penelitian yang Relevan .............................................................. 46

    BAB III METODOLOGI PENELITIAN

    A. Waktu Penelitian ......................................................................... 48

    B. Desain Penelitian ......................................................................... 48

    C. Prosedur Pengumpulan Data ....................................................... 49

    D. Teknik Analisis Data ................................................................... 49

    BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    A. Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dan Implikatur ........................ 52

    1. Pelanggaran Maksim Kuantitas............................................. 55

    2. Pelanggaran Maksim kualitas ............................................... 63

    3. Pelanggaran Maksim Relevansi ............................................ 65

    4. Pelanggaran Maksim Cara .................................................... 69

    5. Pelanggaran Maksim Cara dan Kualitas ............................... 73

    6. Pelanggaran Maksim Kuantitas dan Cara ............................. 75

  • iv

    B. Fungsi Pelanggaran Prinsip Kerja Sama ..................................... 80

    1. Menyatakan ........................................................................... 80

    2. Menyarankan ......................................................................... 86

    3. Menegaskan........................................................................... 92

    4. Menyindir .............................................................................. 95

    C. Implikasi Acara Debat TV One dalam Pembelajaran Bahasa

    Indonesia di SMA ....................................................................... 98

    BAB V PENUTUP

    A. Simpulan ..................................................................................... 101

    B. Saran ............................................................................................ 102

    DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 104

    LAMPIRAN-LAMPIRAN

    Lampiran 1 : RPP

    Lampiran 2 : Transkripsi Percakapan Debat TV One “ Adu Aksi

    KPK−Polri”

    Lampiran 3 : Kartu Data Pelanggaran Prinsip Kerja Sama

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Kegiatan interaksi dengan media bahasa merupakan kegiatan yang

    mutlak dilakukan oleh manusia. Dengan adanya interaksi dengan media

    bahasa, setiap individu dapat menyampaikan perasaan dan sesuatu yang

    diinginkannya. Komunikasi yang dibangun oleh seorang individu harus

    bisa dipahami oleh lawan bicaranya atau petuturnya karena hal tersebut

    merupakan syarat sukses tersampaikannya perasaan atau hal yang ingin

    individu tersebut sampaikan.

    Begitupun sebaliknya petutur ketika kemudian balik memberi

    tanggapan (berarti dalam posisi ini menjadi penutur) haruslah dimengerti

    dan dipahami atau sifatnya mengakomodasi tujuan dari komunikasi yang

    terlebih dahulu dibangun oleh kawan bicaranya. Inilah yang kemudian

    dinamakan cooperative principle atau dalam bahasa Indonesianya Prinsip

    Kerja Sama yang dikemukakan oleh seorang filsuf dan juga linguis yaitu

    H. Paul Grice.

    H. Paul Grice mengemukakan gagasan prinsip kerja sama dan

    implikatur pertama kali pada saat mengisi kuliah umum di Universitas

    Harvard pada tahun 1967. Kemudian, gagasannya tersebut dimasukkan

    bersama dengan tulisan para penulis lainnya dalam satu buku. Buku

    antologi tersebut diberi judul Syntax and Semantics, Volume 3 : Speech

    Acts dengan Peter Cole dan Jerry L. Morgan sebagai editor pada buku

    tersebut.

    Menurut Grice, komunikasi akan berjalan sesuai harapan jika para

    partisipan dalam komunikasi tersebut mematuhi empat prinsip atau

    maksim yang dicetuskannya. Empat maksim tersebut yaitu maksim

    kualitas, kuantitas, hubungan, dan pelaksanaan. Secara singkat dari empat

    maksim tersebut, Grice menuntut setiap partisipan untuk; memberikan

    kontribusi seperti yang diperlukan, pada saat yang diperlukan,

  • 2

    berdasarkan tujuan yang disepakati atau arah pergantian percakapan

    yang anda terlibat di dalamnya.

    Prinsip kerja sama juga dibutuhkan dalam debat karena debat juga

    merupakan salah satu bentuk interaksi komunikasi. Pada awalnya debat

    merupakan wahana adu argumentasi antara dua kelompok yang memiliki

    perspektif berbeda dalam sebuah tema atau topik. Debat pada awalnya

    berasal dari lingkup parlemen. Pihak pemerintah akan berhadapan dengan

    pihak oposisi (pihak yang berseberangan dengan pemerintah) untuk

    membahas suatu tema atau topik. Pihak pemerintah berada di pihak

    afirmatif atau selaku pihak yang mendukung tema atau topik tersebut.

    Berbanding terbalik dengan kondisi tersebut, pihak oposisi berada di pihak

    yang negatif terhadap tema atau topik tersebut.

    Debat tidak hanya ada di parlemen, melainkan juga digunakan di

    kampus dan di sekolah (umumnya sekolah menengah atas dan sekolah

    menengah pertama). Format debat bisa beragam, misalnya debat yang ada

    di parlemen memiliki format debat yang berbeda-beda. Format tersebut

    yaitu; Australasian Parliamentary System, British Parliamentary System

    dan Asia Parliamentary System. Selain format debat di parlemen, ada juga

    format debat Karl Popper dan World Schools.

    Selain itu, debat juga sering dijadikan sebuah acara untuk

    membahas suatu topik atau tema yang sedang menjadi sorotan utama

    publik. Salah satunya yaitu acara Debat di salah satu TV swasta yaitu di

    TV One. Acara Debat TV One berlangsung dan tayang setiap hari Senin

    dimulai pukul 19.00 WIB sampai dengan pukul 20.00 WIB. Awalnya,

    acara Debat TV One dipimpin oleh dua pembawa acara yang masing-

    masing pembawa acara berada di salah satu pihak yang berdebat. Kini

    acara Debat TV One hanya dipandu oleh satu orang pembawa acara yang

    juga bertindak sebagai moderator.

    Acara Debat TV One diikuti oleh dua tim atau dua kelompok yang

    masing-masing tim terdiri dari dua orang. Sama halnya dengan debat pada

    umumnya tentu kedua tim ini memiliki posisi yang berseberangan

  • 3

    terhadap tema atau topik yang diajukan. Kedua tim yang berseberangan

    dan berhadapan ini nantinya akan mengungkapkan argumennya masing-

    masing terhadap tema atau topik yang diajukan tersebut. Moderator

    bertugas memimpin dan mengatur jalannya debat.

    Pada debat di TV One tidak ada batasan waktu yang diberikan oleh

    seorang moderator kepada setiap pembicara dalam tim untuk

    menyampaikan argumentasinya ketika menjawab pertanyaan. Moderator

    pun terkadang memotong pembicaraan di tengah jalan dengan

    memberikan pertanyaan sebagai tanggapan/penegas dari informasi yang

    sudah disampaikan oleh pembicara. Sanggahan pun seringkali dilakukan

    ketika tim lawan sedang dalam posisi bicara (diberikan hak oleh moderator

    untuk menyampaikan argumentasi) sehingga membuat moderator harus

    menghentikan pihak tersebut dan mempersilakan kembali pihak yang

    sedang diberikan hak untuk menyampaikan argumentasi melanjutkan

    argumentasinya. Hal itu dilakukan hingga salah satu tim dapat

    meruntuhkan argumen lawannya serta lebih meyakinkan dan

    mempengaruhi penonton dengan argumen yang dibangunnya terhadap

    tema atau topik yang diajukan tersebut.

    Lantas timbul pertanyaan, bagaimana kemudian prinsip kerja sama

    yang dicetuskan oleh H. Paul Grice dijalankan oleh para individu tersebut

    di dalam arena perdebatan. Sejatinya di dalam praktik berkomunikasi tidak

    sepenuhnya prinsip kerja sama itu dipatuhi. Partisipan dalam sebuah

    interaksi komunikasi terkadang melanggar ketetapan prinsip kerja sama

    tersebut. Melanggar sebuah prinsip kerja sama bukanlah hal yang tidak

    boleh dilakukan dikarenakan prinsip kerja sama sifatnya aturan atau

    pedoman.

    Pada hakikatnya setiap tuturan menghasilkan implikatur atau dapat

    mengimplikasikan tuturan lain begitupun halnya dengan pelanggaran

    prinsip kerja sama yang dapat menghasilkan implikatur atau dapat

    mengimplikasikan tuturan lain. Ada alasan yang membuat seorang

    partisipan melanggar ketetapan prinsip kerja sama. Alasan-alasan tersebut

  • 4

    di antaranya terkait aspek etika atau kesopanan, tidak ingin menyampaikan

    maksudnya secara terang-terangan, dan ingin menyindir secara halus.

    Salah satu tema yang dibahas dalam acara Debat TV One yaitu

    berkenaan dengan KPK dan Polri. Pada pertengahan hingga menjelang

    akhir Januari semua perhatian masyarakat tertuju kepada KPK dan Polri.

    Pada awalnya hanya soal penetapan tersangka calon Kapolri yaitu Budi

    Gunawan oleh KPK hingga kemudian asumsi berkembang terjadi kisruh

    atau meminjam istilah Presiden terjadi “gesekan” di kedua institusi ini

    setelah ditetapkannya salah satu Komisioner KPK yaitu Bambang

    Widjojanto menjadi tersangka oleh Bareskrim Polri.

    Budi Gunawan ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK terkait

    “dugaan korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji selama menjabat

    Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri

    periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian”.1 Pada kasus

    lainnya, Bambang Widjojanto ditetapkan tersangka oleh Bareskrim Polri

    terkait dugaan memengaruhi saksi dalam memberikan keterangan tidak

    benar dalam sidang perkara sengketa Pilkada Kotawaringin Barat di

    Mahkamah Konstitusi.

    Beranjak dari situlah kemudian peneliti tergerak untuk melakukan

    penelitian terhadap acara Debat dengan tema tersebut. Dalam penelitian

    kali ini peneliti mengambil edisi yang pertama atau judul yang pertama

    (tema tentang KPK dan Polri) yaitu Adu Aksi KPK−Polri yang

    berlangsung dan tayang pada hari Senin, 26 Januari 2015. Alasannya yaitu

    sebagai dasar pengetahuan terhadap sesuatu yang terjadi antara KPK dan

    Polri sehingga diharapkan ini menjadi fondasi awal pengetahuan bagi

    peneliti serta pembaca yang terjadi antara KPK dan Polri.

    Peneliti tergerak ingin mengetahui kepatuhan para narasumber

    tersebut terhadap prinsip kerja sama. Jika terjadi pelanggaran prinsip kerja

    sama maka apa implikatur atau hal yang diimplikasikan dalam

    1 RYO dkk, “Presiden Pertimbangkan KPK” , Surat Kabar Harian Kompas, 14 Januari,

    2015, Hlm. 1 dan Hlm. 15 kol 5-7

  • 5

    pelanggaran tersebut. Tentunya ini akan dapat menambah informasi

    sehingga mengetahui lebih dalam hal-hal yang terjadi dalam arena

    perdebatan tersebut khususnya tentang yang terjadi antara KPK dan Polri,

    suatu hal yang menjadi perhatian masyarakat luas. Disertakan pula fungsi

    implikatur dari pelanggaran prinsip kerja sama yang dilakukan. Pada

    akhirnya akan dapat diketahui maksim yang sering dilanggar oleh

    partisipan dalam interaksi komunikasi debat khususnya model debat TV

    One, fungsi implikatur yang paling banyak digunakan serta kesalahan-

    kesalahan yang terdapat dalam interaksi komunikasi debat tersebut.

    Hal ini (penelitian) nantinya turut serta dapat dimanfaatkan dalam

    bidang pendidikan, khusunya dalam pembelajaran bahasa dan sastra

    Indonesia di SMA. Debat merupakan sarana yang baik bagi peserta didik

    untuk menumbuhkembangkan kemampuannya, tidak hanya dari aspek

    retorikanya atau kemampuan berbicaranya melainkan juga melatih daya

    analisa berpikirnya ; logis, sistematis, dan kritis. Debat bisa

    diimplementasikan baik pada Kurikulum 2013 maupun pada KTSP

    (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).

    Pada Kurikulum 2013 khususnya pada materi pelajaran kelas X

    SMA ada materi tentang teks eksposisi yang menuntut peserta didik

    mampu membuat teks eksposisi dengan struktur teks eksposisi yaitu ;

    pernyataan pendapat (tesis)^argumentasi^penegasan ulang pendapat.

    Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan terdapat juga pada materi

    pelajaran kelas X SMA yaitu materi tentang paragraf argumentatif.

    Jadi ketika metode debat dipakai sebagai metode pembelajaran

    maka peserta didik tidak hanya sekadar mampu membuat teks eksposisi

    atau paragraf argumentasi secara tulisan melainkan mampu

    mengemukakan pendapat dan argumentasi yang ditulisnya itu serta

    mempertanggungjawabkan dan meyakinkan bahwa pendapat dan

    argumentasinya itulah yang paling logis dan ideal. Mengingat suatu

    permasalahan yang terjadi atau yang ada dalam realitas kehidupan tidak

  • 6

    mungkin peserta didik seragam dan serempak, pasti di dalamnya terdapat

    perbedaan pendapat dan pandangan.

    Dari acara Debat TV One inilah peserta didik dapat melihat dan

    belajar cara membangun sebuah argumentasi terhadap sebuah pandangan

    yang diyakini. Selain hal tersebut peserta didik juga dapat belajar cara

    berkomunikasi yang efektif dan santun. Peserta didik juga dapat belajar

    dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh partisipan dalam debat yang

    tentunya akan dapat merugikan diri sendiri maupun teman kelompok

    dalam suatu debat yang akan dilakukan oleh peserta didik nantinya.

    B. Identifikasi Masalah

    Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah-masalah

    dalam penelitian ini dideskripsikan sebagai berikut:

    1. Adanya bentuk-bentuk pematuhan prinsip kerja sama dalam tuturan

    para partisipan Debat TV One

    2. Adanya bentuk-bentuk pelanggaran prinsip kerja sama dalam tuturan

    para partisipan Debat TV One

    3. Adanya Implikatur yang terkandung dalam bentuk-bentuk pelanggaran

    prinsip kerja sama dalam tuturan para partisipan Debat TV One

    4. Adanya implikatur konvensional, implikatur skala, dan hedges atau

    pembatas dalam tuturan para partisipan Debat TV One

    5. Adanya fungsi implikatur dalam bentuk-bentuk pelanggaran prinsip

    kerja sama dalam tuturan para partisipan Debat TV One

    C. Pembatasan Masalah

    Berdasarkan identifikasi masalah di atas maka dilakukan

    pembatasan masalah sesuai dengan apa yang menjadi sasaran awal peneliti

    dan keinginan peneliti. Penelitian ini difokuskan pada bentuk-bentuk

    pelanggaran prinsip kerja sama dalam acara Debat TV One beserta dengan

    implikatur yang terkandung dalam pelanggaran prinsip kerja sama tersebut

    serta fungsinya.

  • 7

    D. Rumusan Masalah

    Berdasarkan pembatasan masalah di atas maka dilakukan

    perumusan masalah. Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut:

    1. Bagaimana bentuk-bentuk pelanggaran prinsip kerja sama dan

    implikaturnya dalam acara Debat TV One?

    2. Apa fungsi implikatur dalam acara Debat TV One?

    3. Bagaimana implikasi hasil penelitian ini terhadap pembelajaran

    Bahasa Indonesia di SMA?

    E. Tujuan Penelitian

    Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian

    ini yaitu:

    1. Mendeskripsikan bentuk-bentuk pelanggaran prinsip kerja sama dan

    implikaturnya dalam acara Debat TV One

    2. Mendeskripsikan fungsi implikatur dalam pelanggaran prinsip kerja

    sama dalam acara Debat TV One

    3. Mendeskripsikan implikasi hasil penelitian ini terhadap pembelajaran

    bahasa Indonesia di SMA

    F. Manfaat Penelitian

    Adapun manfaat-manfaat dalam penelitian ini baik secara teoritis

    maupun secara praktis yaitu sebagai berikut :

    1. Manfaat Teoretis

    Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih terhadap

    bidang linguistik khususnya dan pembelajaran bahasa di SMA.

    2. Manfaat Praktis

    Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk berbagai kalangan di

    antaranya :

    a. Pembaca

    Hasil penelitian ini memberikan informasi tentang bentuk-bentuk

    pelanggaran prinsip kerja sama dalam acara Debat TV One serta

    implikatur yang dikandungnya dan juga fungsi implikatur tersebut.

  • 8

    b. Guru

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menjelaskan

    bentuk-bentuk pelanggaran prinsip kerja sama dalam acara Debat

    TV One serta implikatur yang dikandungnya dan juga fungsi

    implikatur tersebut. Dalam hal tersebut, bisa disertakan penjelasan

    cara membangun sebuah komunikasi yang efektif dan santun serta

    menjelaskan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh partisipan

    debat sebagai pelajaran untuk peserta didik.

    c. Peserta didik

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi siswa

    dalam mempelajari cara membangun sebuah komunikasi yang

    efektif dan santun dalam sebuah debat. Peserta didik pun dapat

    mempelajari kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh partisipan

    debat yang dapat merugikan diri sendiri maupun teman kelompok

    dalam debat. Peserta didik dapat mempraktikannya ketika terlibat

    atau mengikuti lomba debat.

  • 9

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    A. Pragmatik

    Pragmatik merupakan salah satu cabang dari ilmu linguistik.

    Kunjana Rahardi menyebutkan bahwa “cabang-cabang ilmu di dalam

    entitas linguistik itu secara berturut-turut dapat disebutkan sebagai berikut:

    (1) fonologi, (2) morfologi, (3) sintaksis, (4) semantik, (5) pragmatik”.1

    Pragmatik merupakan cabang ilmu yang paling muda di antara cabang

    ilmu yang lainnya sehingga “ilmu pragmatik sering dikatakan sebagai

    young science”.2

    Nuri Nuraidah dalam bukunya menyatakan bahwa “pragmatik

    telah tumbuh di Eropa pada 1940-an dan berkembang di Amerika sejak

    1970-an”.3 Lebih lanjut Nuri Nuraidah menjelaskan bahwa “seorang tokoh

    bernama Morris dianggap sebagai peletak dasar lewat pandangannya

    tentang semiotik. Ia membagi ilmu tanda itu menjadi tiga cabang:

    sintaksis, semantik, dan pragmatik”.4 Morris atau yang lebih lengkapnya

    Charles Morris “mendasarkan pemikirannya pada gagasan filsuf-filsuf

    pendahulunya, seperti Charles Sanders Pierce dan John Locke yang

    banyak menggeluti ilmu tanda dan ilmu lambang semasa hidupnya. Ilmu

    tanda dan ilmu lambang yang mereka pelajari itu dinamakan semiotika

    (semiotics)”.5 Dengan kata lain, pragmatik lahir dari tangan Charles

    Morris, ia mengembangkan pemikiran para filsuf-filsuf pendahulunya

    dengan membagi ilmu tanda (semiotika) tersebut yang salah satunya yaitu

    pragmatik.

    1 R. Kunjana Rahardi, Sosiopragmatik, (Jakarta : Erlangga, 2009), hlm. 20.

    2 R. Kunjana Rahardi, Pragmatik (Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia), (Jakarta :

    Erlangga, 2006), hlm. 47. 3 Nuri Nuraidah, Wacana Politik Pemilihan Presiden di Indonesia,(Yogyakarta: Smart

    Writing, 2014), hlm.27. 4 Ibid.

    5 Rahardi. loc.cit.

  • 10

    Hal tersebut akhirnya membuat adanya pembagian atau dikotomi

    dalam dunia linguistik. Meskipun demikian dikotomi tersebut tidak

    menyebabkan pertelingkahan. Keduanya justru saling melengkapi. Leech

    mengungkapkan pendapatnya bahwa “tata bahasa (sistem bahasa yang

    abstrak-formal) dan pragmatik (prinsip-prinsip penggunaan bahasa)

    merupakan ranah-ranah yang saling melengkapi dalam linguistik”.6 Lebih

    lanjut Leech menyatakan bahwa “fonologi, sintaksis, dan semantik

    merupakan bagian dari tata bahasa atau gramatika, sedangkan pragmatik

    itu merupakan bagian dari penggunaan tata bahasa (language use)”.7 Pada

    akhirnya dikenal istilah kompetensi dan performansi.

    Tata bahasa merupakan aspek kompetensi sedangkan pragmatik

    merupakan aspek performansi. Hamid Hasan Lubis menjelaskan bahwa

    “kompetensi adalah pengetahuan kita tentang sesuatu bahasa yang ada

    dalam pikiran kita, sedangkan performansi adalah implikasi dari

    pengetahuan kita itu yang berbagai-bagai ragamnya dan berbeda antar

    pribadi”.8 Jadi dengan kata lain kompetensi berkaitan dengan pengetahuan

    ilmu tata bahasa dalam hal ini fonologi, sintaksis, dan kemudian semantik

    yang tersimpan dalam memori, sedangkan performansi lebih kepada aspek

    kemampuan diri dalam mengaplikasikan atau mengimplementasikan

    kompetensi yang ada tersebut di dalam wujud praktik berkomunikasi atau

    di dalam penggunaan bahasa. Verhaar menyebut pragmatik sebagai

    ekstralinguistik.9

    Kridalaksana dalam Fatimah Djajasudarma menerangkan tentang

    etimologi pragmatik yaitu :

    Kata Pragmatika sendiri berasal dari bahasa Jerman

    yang diusulkan oleh seorang filsuf

    Jerman Immanuel Kant. PRAGMATISCH dari

    6 Geoffrey Leech, Prinsip-prinsip Pragmatik terj. M.D.D Oka, (Jakarta : UI- Press, 1993)

    hlm. 6 7 Rahardi. loc. cit.

    8 A. Hamid Hasan Lubis, Analisis Wacana Pragmatik, ( Bandung : Angkasa, 2011), hlm.

    21 9 J.W.M. Verhaar, Asas-asas Linguistik Umum, (Yogyakarta : Gadjah Mada University

    Press, 1996), hlm. 14

  • 11

    (bahasa Latin) bermakna „pandai

    berdagang‟ atau di dalam bahasa Yunani PRAGMATIKOS

    dari artinya „perbuatan‟ dan

    „berbuat‟.10

    Berdasarkan pengertian di atas, arti dari kata „berbuat‟ dan

    „perbuatan‟ mengacu kepada penggunaan bahasa oleh seseorang individu.

    Merujuk lagi kepada pengertian „pandai berdagang‟ dengan arti lainnya

    bahwa bagaimana bahasa itu diaksikan, diekspresikan dan atau digunakan

    oleh seorang individu. Bahasa diaksikan, diekspresikan, dan atau

    digunakan oleh seorang individu tentu ini mengandung hakikat pragmatik

    itu sendiri yaitu performansi.

    John I Saeed dalam bukunya yang berjudul Semantics menyatakan

    bahwa “ in this view semantics is concerned with sentence meaning and

    pragmatics with speaker meaning”.11

    Kurang lebih terjemahannya yaitu

    bahwa semantik berpusat pada arti kalimat sedangkan pragmatik berpusat

    kepada arti pembicara.

    Cruse menyatakan definisi pragmatik sebagai berikut:

    pragmatik berkaitan dengan aspek-aspek informasi yang

    disampaikan melalui bahasa yang tidak dikodekan, oleh

    konvensi yang diterima secara umum, dalam linguistik

    yang digunakan. Namun juga muncul secara alamiah dan

    tergantung makna-makna yang dikodekan secara

    konvensional dalam konteks.12

    Jacob L. Mey masih dalam Nuri Nuraidah menjelaskan pragmatik

    yaitu “sebagai ilmu bahasa yang mempelajari pemakaian dan penggunaan

    bahasa, yang ditentukan oleh konteks situasi tutur di dalam masyarakat

    dan wahana kebudayaan yang mewadahi dan melatar-belakanginya”.13

    Levinson sendiri secara singkat menyatakan bahwa “pragmatik sebagai

    studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya”.14

    George Yule lebih jelas dan lebih luas lagi dalam mendefinisikan atau

    10

    T. Fatimah Djajasudarma, Wacana dan Pragmatik, (Bandung : PT. Refika Aditama,

    2012), hlm. 71 11

    John I Saeed, Semantics (Second Edition), (United Kingdom : Blackwell Publishing Ltd,

    2003), hlm. 18 12

    Nuraidah, op. cit, hlm. 21 13

    Ibid 14

    Rahardi. loc .cit

  • 12

    memaknai pragmatik. Menurutnya pragmatik itu: (1) pragmatics is the

    study of speaker meaning ; (2) pragmatics is the study of contextual

    meaning ; (3) pragmatics is the study of how more gets communicated

    than is said ; dan (4) pragmatics is the study of the expression of relative

    distance.15

    Dengan kata lain bahwa: (1) pragmatik yaitu ilmu tentang

    arti/maksud pembicara; (2) pragmatik yaitu ilmu tentang arti berdasarkan

    konteksnya; (3) pragmatik yaitu ilmu tentang maksud atau arti lain yang

    didapatkan dari apa yang dituturkan/diujarkan; serta (4) pragmatik yaitu

    ilmu tentang ekspresi yang muncul oleh pengguna bahasa didasarkan oleh

    jarak sosial.

    Dari berbagai penjelasan di atas maka pragmatik sebuah

    subdisiplin ilmu dari linguistik yang mengkaji makna sama halnya dengan

    semantik. Hal yang membedakannya yaitu pragmatik bersifat performansi

    yaitu ketika sebuah bahasa sudah diaktualisasikan menjadi tuturan dan

    menafsirkan makna tuturan tersebut tidak bisa hanya berdasar dari apa

    yang dituturkan saja melainkan harus melibatkan konteks. Konteks

    merupakan titik sentral dari pragmatik.

    B. Situasi Tutur

    Berdasarkan uraian sebelumnya, konteks merupakan titik sentral

    dari pragmatik. Dilihat dari berbagai pendefinisian yang diberikan oleh

    sejumlah pakar mengenai pragmatik. Berdasarkan pendefinisiannya

    Levinson menyebut dengan istilah konteks. George Yule pun sama yaitu

    menyebut konteks. Jacob L. Mey dalam hal ini menyebut konteks situasi

    ujar. Pada bukunya Louise Cummings menyebut konteks. Hampir mirip

    dengan Jacob L.Mey, Leech menyebut situasi ujar sedangkan Wijana

    dalam bukunya menyebutnya dengan situasi tutur meski Wijana mengutip

    dari apa yang dinyatakan oleh Leech berkenaan dengan situasi ujar.

    Mulyana dalam bukunya menyatakan bahwa “konteks ialah situasi

    atau latar terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai

    15

    George Yule, Pragmatics, (United Kingdom : Oxford University Press, 2000), hlm. 1

  • 13

    sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan/dialog. Segala sesuatu yang

    berhubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud,

    maupun informasinya, sangat tergantung pada konteks yang

    melatarbelakangi peristiwa tuturan itu”.16

    Ada empat jenis konteks yang dijelaskan oleh Fatimah

    Djajasudarma dalam bukunya. Konteks yang pertama yaitu konteks fisik.

    Konteks fisik yaitu tempat terjadinya konversasi (tindak ujar). Konteks

    yang kedua yaitu konteks linguistik yang maksudnya yaitu tuturan yang

    dipertimbangkan sebelumnya. Hal yang ketiga yaitu konteks epistemik

    adalah latar belakang pengetahuan baik pembicara maupun kawan bicara

    (hubungan speaker-hearer). Terakhir atau konteks sosial yaitu hubungan

    sosial yang ada (setting) antara penyapa-pesapa.17

    Jadi dalam penjelasan Mulyana konteks itu melihat tujuan

    komunikasi seseorang dengan seseorang lainnya dengan melibatkan

    latar/situasi di mana terjadinya interaksi komunikasi tersebut. Lebih

    ditambahkan lagi oleh Fatimah Djajasudarma yaitu dengan melihat juga

    relasi sosial di antara penutur dan petutur serta latar belakang pengetahuan

    di antara keduanya.

    Leech memasukkan konteks ke dalam salah satu bagian dari

    aspek-aspek ujar. Aspek-aspek situasi ujar menurut Leech yaitu sebagai

    berikut: (1) yang menyapa (penyapa) atau yang disapa (pesapa); (2)

    konteks sebuah tuturan; (3) tujuan sebuah tuturan; (4) tuturan sebagai

    bentuk tindakan atau kegiatan: tindak ujar; (5) tuturan sebagai produk

    tindak verbal.18

    Penyapa atau yang disapa tentu maksudnya yaitu penutur dengan

    petutur. Untuk konteks sendiri, Leech memasukkan pendapatnya. Konteks

    dalam pengertian Leech bukanlah sebagai gambaran fisik atau sosial

    sebuah tuturan melainkan Leech menganggap bahwa konteks itu sebagai

    16

    Mulyana, Kajian Wacana : Teori, Metode, dan Aplikasi Prinsip-prinsip Analisis Wacana,

    (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), hlm. 21 17

    Djajasudarma, op.cit., hlm. 76 18

    Leech, op. cit., hlm. 19-20

  • 14

    latar belakang pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan

    petutur. Tujuan sebuah tuturan merupakan apa yang diharapkan oleh

    penutur dengan mengadakan interaksi komunikasi dengan petutur. Adanya

    interaksi komunikasi berarti tentu ada tuturan atau tindak ujar dan tindak

    tutur itu biasanya menghasilkan tuturan menurut Leech “untuk mengacu

    pada produk linguistik tindakan tersebut”.

    Leech tidak memasukkan waktu dan tempat dalam unsur-unsur

    situasi ujar yang dicetusnya melainkan waktu dan tempat sebagai salah

    satu unsur yang wajib dipertimbangkan juga. Leech menyatakan “kita

    dapat menyusun konsep SITUASI UJAR yang mencakup semua unsur ini,

    dan mungkin juga unsur-unsur lain seperti waktu dan tempat ketika

    tuturan dihasilkan”.19

    Untuk itu dapat ditarik sebuah simpulan bahwa tidak menjadi suatu

    masalah yang besar jika mempergunakan istilah konteks atau situasi

    ujar/tutur. Hal yang terpenting di dalamnya yaitu melibatkan tempat atau

    situasi serta waktu berlangsungnya proses komunikasi tersebut, siapa

    penutur dan petutur di dalam proses komunikasi tersebut dan kemudian

    relasi sosial keduanya. Perlu dipertimbangkan juga latar belakang

    pengetahuan antara penutur dan petutur tersebut dan tujuan dari

    diadakannya komunikasi tersebut. Hal-hal inilah yang kemudian dapat

    menarik makna dari sebuah tuturan yang melibatkan atau menjadi wilayah

    dari pragmatik. Untuk lebih memahaminya, perhatikan contoh berikut ini:

    (1) Rudi : “Aduh San, notebook-nya sudah mau mati nih”.

    Ihsan : “Oh iya sebentar, saya ambil charger-nya dulu”.

    Berdasarkan contoh di atas jika berdasarkan tuturan yang tampak,

    Rudi tidak meminta Ihsan untuk mengambilkan charger, tetapi Ihsan

    dengan bergegas ingin mengambil charger yang dimaksud. Untuk

    menjawab kasus ini maka dilihat situasi tutur atau konteks

    keberlangsungan ujaran tersebut. Rudi dan Ihsan pada saat itu sedang

    berada di kantin kampus dan Rudi sedang mengerjakan tugas kuliah

    19

    Ibid, hlm. 21-22

  • 15

    manajemen bisnis dengan meminjam notebook milik Ihsan. Rudi hanya

    memiliki sisa waktu 45 menit untuk mengerjakan tugas itu dikarenakan

    setelah itu merupakan waktu atau sudah saatnya jam mata kuliah

    manajemen bisnis. Berdasarkan hal itu Ihsan mengetahui bahwa tuturan

    Rudi tersebut tidak semata hanya bersifat informasi, tetapi juga

    memintanya untuk mengambil charger notebook miliknya. Rudi pun

    mengetahui bahwa Ihsan akan mengerti tujuan pembicaraannya

    berdasarkan situasi atau konteks yang ada. Inilah yang kemudian bisa

    dikatakan adanya latar belakang pengetahuan yang sama-sama dimiliki

    oleh penutur maupun petutur.

    Bisa dilihat juga rumusan Dell Hymes yang disingkat SPEAKING

    yang dapat juga dipakai untuk menentukan makna sebuah tuturan melalui

    kajian pragmatik. Dell Hymes dalam Mulyana menyatakannya sebagai

    berikut:

    S : setting and scene, yaitu latar dan suasana. Latar

    (setting) lebih bersifat fisik, yang meliputi tempat

    dan waktu terjadinya tuturan. Sementara scene

    adalah latar psikis yang lebih mengacu pada

    suasana psikologis yang menyertai peristiwa

    tuturan.

    P :participants, peserta tuturan, yaitu orang-orang

    yang terlibat dalam percakapan, baik langsung

    maupun tidak langsung. Hal-hal yang berkaitan

    dengan partisipan, seperti usia, pendidikan, latar

    sosial, dsb, juga menjadi perhatian.

    E :ends, hasil, yaitu hasil atau tanggapan dari suatu

    pembicaraan yang memang diharapkan oleh penutur

    (ends as outcomes), dan tujuan akhir pembicaraan

    itu sendiri (ends in view goals).

    A :act sequences, pesan/amanat, terdiri dari bentuk

    pesan (message form) dan isi pesan (message

    content). Dalam kajian pragmatik, bentuk pesan

    meliputi; lokusi, ilokusi, dan perlokusi.

    K :key, meliputi cara, nada, sikap, atau semangat

    dalam melakukan percakapan. Semangat

  • 16

    percakapan antara lain, misalnya: serius, santai,

    akrab.

    I :instrumentalities, atau sarana, yaitu sarana

    percakapan. maksudnya dengan media apa

    percakapan tersebut disampaikan, misalnya: dengan

    cara lisan, tertulis, surat, radio, dsb.

    N :norms, atau norma, menunjuk pada norma atau

    aturan yang membatasi percakapan. Misalnya, apa

    yang boleh dibicarakan dan tidak, bagaimana cara

    membicarakannya: halus, kasar, terbuka, jorok, dan

    sebagainya.

    G :genres, atau jenis, yaitu jenis atau bentuk wacana.

    Hal ini langsung menunjuk pada jenis wacana yang

    disampaikan, misalnya: wacana telepon, wacana

    koran, wacana puisi, ceramah, dan sebagainya.20

    Berkaitan dengan rumus SPEAKING di atas, Preston

    mengungkapkan pendapatnya. Adapun pendapatnya sebagai berikut:

    unsur-unsur sosiolinguistik penentu percakapan di atas,

    merupakan penjabaran dari konteks nonlinguistik, yang

    terdiri dari: (1) konteks dialektikal, yang meliputi partisipan

    dan jenis wacana, (2) konteks diatipik, yaitu latar, hasil, dan

    amanat, dan (3) konteks realisasi, yakni sarana (saluran),

    norma, dan cara berkomunikasi.21

    Jadi dengan kata lain meskipun konsep SPEAKING yang

    diungkapkan oleh Dell Hymes ini diperuntukkan sebagai unsur-unsur

    sosiolinguistik namun hakikat keberadaannya dapat digunakan dalam

    kajian pragmatik untuk menentukan makna. Konsep SPEAKING

    hakikatnya sama dengan konteks nonlinguistik. Menentukan sebuah

    makna di dalam pragmatik, tidak hanya berdasarkan aspek linguistiknya

    saja melainkan juga aspek nonlinguistiknya.

    Berikut diberikan sebuah contoh bahwa konsep SPEAKING dapat

    menentukan sebuah makna dalam sebuah percakapan:

    A: “ Rina itu orangnya baik tidak sih?”

    B: “Oh iya, Rina itu baik sekali”

    20

    Mulyana, op. cit., hlm. 23-24 21

    Ibid, hlm. 24

  • 17

    Tuturan B yang tampak,mempunyai makna bahwa Rina merupakan

    orang yang baik sekali. Hal tersebut bukanlah makna sebenarnya dari

    maksud tuturan B. Nada dan sikap yang ditunjukkan oleh penutur B dalam

    mengungkapkan tuturannya seperti orang yang sedang menyindir. Jadi,

    maksud sebenarnya penutur B yaitu Rina bukanlah orang yang baik.

    Berdasarkan hal tersebut, nada dan sikap dapat menentukan sebuah makna

    tuturan.

    C. Prinsip Kerja Sama

    Sebelumnya sudah disinggung bahwa prinsip kerja sama

    merupakan buah pemikiran dari Herbert Paul Grice yang disampaikan

    pertama kali pada kuliah umum di Universitas Harvard yaitu pada tahun

    1967. Leech dalam Asim Gunarwan membagi pragmatik ke dalam dua

    cabang yaitu pragmatik interpersonal dan pragmatik tekstual.22

    Leech

    membagi pragmatik ke dalam dua cabang tidak lepas dari pembagian

    fungsi bahasa menurut Halliday. Dua fungsi bahasa yang ada yaitu fungsi

    interpersonal dan fungsi tekstual. Fungsi interpersonal “berkaitan dengan

    pengungkapan sikap penutur serta pengaruhnya pada sikap dan perilaku

    petutur”. Fungsi tekstual “berhubungan dengan cara-cara membangun

    teks, baik lisan maupun tulis”.23

    Prinsip kerja sama merupakan bagian dari

    pragmatik interpersonal.

    Elizabeth Black dalam bukunya menjelaskan alasan atau dasar dari

    Grice membentuk prinsip kerja sama yaitu “he considers, underlies

    successful verbal communication”.24

    Jadi kurang lebih artinya yaitu Grice

    membentuk prinsip kerja sama sebagai dasar untuk suksesnya interaksi

    komunikasi yang terjalin. Lebih lanjut Elizabeth Black menjelaskan

    rumusan dari prinsip kerja sama sehingga interaksi komunikasi yang

    22

    Asim Gunarwan, Pragmatik (Teori dan Kajian Nusantara), (Jakarta : Universitas Atma

    Jaya, 2007), hlm. 162 23

    Ibid, hlm. 161-162 24

    Elizabeth Black, Pragmatic Stylistics, ( United Kingdom : Edinburgh University Press,

    2009), hlm. 23

  • 18

    terjalin berjalan sukses. Rumusan tersebut yaitu “ The co-operative

    principle states: Make your conversational contribution such as is

    required, as the stage at which it occurs, by the accepted purpose or

    direction of the talk exchange in which you are engaged”.25

    Rumusan

    tersebut bermakna “berikanlah kontribusi anda dalam percakapan sesuai

    dengan kebutuhan, pada tingkat di mana percakapan tersebut berlangsung,

    sesuai dengan maksud dan tujuan di mana anda terlibat”.26

    Berdasarkan rumusan tersebut terbentuklah empat maksim sebagai

    pelaksana terwujudnya rumusan prinsip kerja sama. Keempat maksim

    tersebut yaitu “maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas

    (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim

    pelaksanaan (maxim of manner).27

    Adapun penjelasan hakikat dari keempat maksim tersebut yaitu

    sebagai berikut:

    Kuantitas : Berikan jumlah informasi yang tepat, yaitu:

    1. Sumbangan informasi Anda harus seinformatif yang dibutuhkan.

    2. Sumbangan informasi Anda jangan melebihi yang dibutuhkan.

    Kualitas : Usahakan agar sumbangan informasi anda

    benar, yaitu:

    1. Jangan mengatakan suatu yang Anda yakini bahwa itu tidak benar.

    2. Jangan mengatakan suatu yang bukti kebenarannya kurang meyakinkan.

    Hubungan : Usahakan agar perkataan Anda ada

    relevansinya.

    Cara : Usahakan agar mudah dimengerti, yaitu:

    1. Hindarilah pernyataan-pernyataan yang samar.

    2. Hindarilah ketaksaan

    25

    Ibid 26

    F.X Nadar, Pragmatik&Penelitian Pragmatik, ( Yogyakarta : Graha Ilmu, 2009), hlm.

    24 27

    I. Dewa Putu Wijana, Dasar-dasar Pragmatik, (Yogyakarta : Andi , 1996), hlm. 46

  • 19

    3. Usahakan agar ringkas (hindarilah pernyataan-pernyataan yang panjang

    lebar dan bertele-tele).

    4. Usahakan agar Anda berbicara dengan teratur.28

    Berdasarkan uraian di atas, maksim kuantitas erat kaitannya

    dengan muatan jumlah dalam hal ini berkaitan dengan informasi,

    sampaikanlah informasi sesuai dengan yang dibutuhkan dalam percakapan

    atau yang dibutuhkan oleh petutur. Wijana dalam bukunya memberikan

    contoh dari maksim kuantitas, yaitu: “(a) Tetangga saya hamil ; (b)

    Tetangga saya yang perempuan hamil”.29

    Menurut Wijana, “ujaran (a) di

    samping lebih ringkas, juga tidak menyimpangkan nilai kebenaran (truth

    value). Setiap orang tentu tahu bahwa hanya orang-orang wanitalah yang

    mungkin hamil. Dengan demikian, elemen yang perempuan dalam tuturan

    (b) sifatnya berlebih-lebihan”. Dengan kata lain, Wijana ingin

    menyampaikan bahwa tuturan (b) bersifat tidak kooperatif atau melanggar

    maksim kuantitas karena informasi yang diberikan terlalu berlebihan dan

    tidak dibutuhkan oleh petutur. Perhatikan kembali contoh yang diberikan

    oleh Wijana dalam bukunya:

    (108) + siapa namamu

    - Ani

    + Rumahmu di mana?

    - Klaten, tepatnya di Pedan + Sudah bekerja?

    - Belum masih mencari-cari (109) + Siapa namamu?

    - Ani, rumah saya di Klaten, tepatnya di Pedan. Saya belum

    bekerja. Sekarang saya masih mencari pekerjaan. Saya

    anak bungsu dari lima bersaudara. Saya pernah kuliah di

    UGM, tetapi karena tidak ada biaya, saya berhenti

    kuliah.30

    Berdasarkan contoh di atas, tuturan (108) bersifat kooperatif dan

    mematuhi maksim kuantitas. Berbeda halnya dengan tuturan (109) yang

    28

    Leech, Op.Cit., hlm. 11-12 29

    Wijana. loc. cit. 30

    Ibid, hlm. 47

  • 20

    tidak bersifat kooperatif dan melanggar maksim kuantitas. Tuturan (108)

    menjawab sesuai dengan informasi yang dibutuhkan oleh lawan tuturnya

    atau kawan bicaranya. Sementara tuturan (109) memberi informasi jauh

    lebih banyak dari yang dibutuhkan oleh lawan tuturnya atau kawan

    bicaranya.

    Maksim yang kedua yaitu maksim kualitas, berhubungan dengan

    aspek kebenaran tuturan. Jangan bertutur jika tuturan tersebut

    mengandung kebohongan atau kebenarannya tidak dapat dibuktikan. Hal

    tersebut dapat merugikan petutur karena pada dasarnya petutur berharap

    mendapat informasi yang benar atau yang dibutuhkan mengandung

    kebenaran. Contohnya sebagai berikut :

    A : “Apa Ibu Kota India sekarang?”

    B : “New Delhi”

    berdasarkan contoh di atas, penutur B telah mematuhi prinsip kerja sama

    maksim kualitas dengan memberikan informasi yang benar.

    Louise Cummings dalam bukunya memberikan contoh sifat

    kooperatif atau pematuhan terhadap maksim kualitas lainnya, yaitu: “The

    students have passed all their examination. (para siswa telah lulus semua

    ujian mereka).”31

    Menurut Louise Cummings penutur ujaran tersebut meyakini apa

    yang dikatakannya itu benar bahwa para siswa telah lulus semua ujian

    mereka.

    Maksim ketiga yaitu maksim relevan berharap adanya

    kesinambungan atau keterhubungan antara tuturan yang satu dengan

    tuturan yang lainnya antara tuturan penutur dengan tuturan petutur.

    Contohnya sebagai berikut:

    A : “Mah, lihat buku catatan kerja papah tidak?”

    B : “Mamah sudah simpan di tas kerja papah.”

    31

    Louise Cummings, Pragmatik (Sebuah Perspektif Multidisipliner), Terj. dari Pragmatics A Multidisciplinary Perspective oleh Eti Setiawati dkk, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm.

    17

  • 21

    bandingkan dengan contoh di bawah ini:

    A : “ Acara Debat TV One dimulai jam berapa sih?”

    B : “ Novel saya kalau sudah baca, letakkan di tempat semula dong!”

    Penutur B bersikap tidak kooperatif atau melanggar maksim

    relevansi dikarenakan tuturannya tidak mengakomodasi dari yang

    dibutuhkan oleh lawan tuturnya yaitu penutur A. Penutur B mungkin kesal

    dengan penutur A akibat penutur A meminjam novel penutur B tetapi

    tidak meletakkan kembali di tempat semulanya. Meskipun demikian, jika

    tidak ingin dinyatakan melanggar maksim relevansi maka penutur B

    seharusnya mengakomodasi terlebih dahulu dari yang dibutuhkan oleh

    penutur A. Setelah itu, penutur B mengungkapkan kekesalannya terhadap

    penutur A.

    Maksim terakhir yaitu maksim cara yang berkaitan dengan

    persoalan bahwa tuturan yang disampaikan harus jelas dan dapat

    dimengerti sehingga tidak membuat kesalahpahaman bagi lawan tutur.

    Contohnya sebagai berikut:

    A : “Bisa ambilkan saya sambal yang ada di dekatmu?”

    B : “Oh, baik.”

    Adapun contoh yang diberikan oleh Louise Cummings dalam

    bukunya, yaitu “she dusted the shelves and washed the walls. (Dia

    membersihkan debu pada rak-rak itu dan membersihkan dinding-

    dindingnya dengan air.).”32

    Berdasarkan tuturan di atas, penutur bersikap kooperatif dengan

    menjelaskan secara teratur atau sistematis dalam menceritakan peristiwa-

    peristiwa yang penutur tersebut lihat.

    Untuk lebih jelasnya Grice memberikan analogi dari maksim-

    maksim prinsip kerja sama ini, yatu :

    32

    Ibid

  • 22

    1. Quantity. If you are assisting me to mend a car, I expect your contribution to be neither more not

    less than is required; if, for example, at a

    particular stage I need four screws, I expect you

    to hand me four, rather than two or six.

    2. Quality. I expect your contributions to be genuine and not spurious. If I need sugar as an

    ingredient in the cake you are assisting me to

    make, I do not expect you to hand me salt; if I

    need a spoon, I do not expect a trick spoon

    made of rubber.

    3. Relation. I expect a partner‟s contribution to be appropriate to immediate needs at each stage of

    the transaction; if I am mixing ingredients for a

    cake, I do not expect to be handed a good book,

    or even an oven cloth (thought this might be an

    appropriate contribution at a later stage).

    4. Manner. I expect a partner to make it clear what contribution he is making, and to execute his

    performance with reasonable dispatch.33

    Wijana dalam bukunya memberikan terjemahan dari analogi

    maksim-maksim prinsip kerja sama yang dicetuskan oleh Grice ini, yaitu:

    1. Maksim Kuantitas. Jika anda membantu saya memperbaiki mobil, saya mengharapkan

    kontribusi anda tidak lebih atau tidak kurang

    dari apa yang saya butuhkan. Misalnya, jika

    pada tahap tertentu saya membutuhkan empat

    obeng, saya mengharapkan anda mengambilkan

    saya empat bukannya dua atau enam.

    2. Maksim Kualitas. Saya mengharapkan kontribusi anda sungguh-sungguh, bukanlah

    sebaliknya. Jika saya membutuhkan gula

    sebagai bahan adonan kue, saya tidak

    mengharapkan anda memberi saya garam. Jika

    saya membutuhkan sendok, saya tidak

    mengharapkan anda mengambilkan sendok-

    sendokan, atau sendok karet.

    3. Maksim Relevansi. Saya mengharapkan kontribusi teman kerja saya sesuai dengan apa

    yang saya butuhkan pada setiap tahapan

    transaksi. Jika saya mencampur bahan-bahan

    adonan kue, saya tidak mengharapkan diberikan

    33

    H.P. Grice, “Logic and Conversation”, dalam Cole et al, Syntax and Semantics 3: Speech

    arts, 2015, p. 47, (http://www.ucl.ac.uk)

  • 23

    buku yang bagus, atau bahkan kain oven

    walaupun benda yang terakhir ini saya butuhkan

    pada tahap berikutnya.

    4. Maksim Cara. Saya mengharapkan teman kerja saya memahami kontribusi yang harus

    dilakukannya, dan melaksanakannya secara

    rasional.34

    D. Implikatur

    Selain prinsip kerja sama, implikatur juga buah dari pemikiran

    Grice. J Meibauer menjelaskan hakikat implikatur dalam pemikiran Grice

    sebagai berikut:

    In Grice‟s approach, both „what is implicated‟ and

    „what is said‟ are part of speaker meaning. „What is

    said‟ is that part of meaning that is determined by

    truth-conditional semantics, while „what is

    implicated‟ is that part of meaning that cannot be

    captured by truth conditions and therefore belong to

    pragmatics.35

    dengan kata lain (jika diterjemahkan) dalam pendekatan Grice, ada yang

    diistilahkan dengan „apa yang terimplikasi‟ dan „apa yang dikatakan‟ yang

    keduanya merupakan bagian dari makna pembicara. „ Apa yang dikatakan‟

    merupakan bagian dari arti kondisi kebenaran secara semantik, sedangkan

    „apa yang terimplikasi‟ merupakan bagian dari arti yang bukan dari

    kondisi kebenaran (secara semantik) dan ini merupakan bagian dari

    pragmatik.

    Mey dalam FX Nadar menyatakan bahwa “implikatur

    “implicature” berasal dari kata kerja to imply sedangkan kata bendanya

    adalah implication. Kata kerja ini berasal dari bahasa latin plicare yang

    34

    Wijana, Op.Cit., hlm. 52-53 35

    J. Meibauer, “ Implicature”, dalam Jacob L. Mey (ed.), Concise Encyclopedia of

    Pragmatics (Second Edition), (United Kingdom : Elsevier Ltd., 2009), hlm. 365

  • 24

    berarti to fold “melipat” sehingga untuk mengerti apa yang dilipat atau

    disimpan tersebut haruslah dilakukan dengan cara membukanya”.36

    Berdasarkan penjelasan di atas, implikatur dihasilkan atau produk

    dari sebuah tuturan atau „apa yang dikatakan‟ dan untuk mengetahui

    implikatur dari sebuah tuturan maka seseorang harus „membukanya‟.

    Untuk membuka, tentunya melibatkan konteks. Bisa merujuk kembali

    kepada contoh yang sudah diberikan sebelumnya yaitu contoh kasus Rudi

    dan Ihsan. Berikut kembali disajikan contoh kasusnya:

    Rudi : “ Aduh San, notebook-nya sudah mau mati nih.”

    Ihsan : “Oh iya sebentar, saya ambil charger-nya dulu.”

    Dalam kasus di atas, jika memakai rumus Grice “apa yang

    dikatakan” maka yang dikatakan Rudi hanyalah sebuah informasi yang

    memberitahukan bahwa sebuah notebook sudah mau mati. Ketika melihat

    atau melibatkan konteksnya maka sebenarnya ada yang “disimpan” atau

    “dilipat” oleh Rudi melalui tuturannya tersebut atau dengan kata lain “apa

    yang diimplikasikan” oleh Rudi dalam tuturan tersebut. Ihsan pun

    „membuka‟ apa yang „disimpan‟ atau „dilipat‟ oleh Rudi dengan

    melibatkan konteks. Seperti yang dinyatakan oleh Leech dalam FX Nadar

    sebagai berikut:

    interpreting an utterance is ultimately a matter of

    guesswork, or (to use a more dignified term) hypothesis

    formation (“menginterpretasikan suatu tuturan sebenarnya

    merupakan usaha-usaha untuk menduga, yang dalam

    bahasa lain yang lebih terhormat merupakan suatu

    pembentukan hipotesa”).37

    Lebih lanjut Nadar menjelaskan bahwa “menduga “guessing”

    tergantung pada konteks, yang mencakup permasalahan, peserta pertuturan

    dan latar belakang penutur dan lawan tuturnya”38

    .

    36

    Nadar, Op.Cit., hlm. 60 37

    Ibid 38

    Ibid

  • 25

    Jadi bisa disimpulkan implikatur merupakan bagian dan ada dalam

    setiap tuturan yang maujud serta untuk mengetahuinya dengan jalan

    melibatkan konteks tuturan tersebut.

    E. Implikatur Percakapan

    Implikatur terbagi ke dalam dua jenis. Levinson dalam Meibauer

    menunjukkan tipologi makna pembicara dari Grice yaitu sebagai berikut:

    speaker meaning

    what is said what is implicated

    conventionally conversationally

    generalized (GCI) particularized (PCI)39

    Adapun bagan di atas jika diterjemahkan ke dalam bahasa

    Indonesia yaitu sebagai berikut:

    maksud Pembicara

    apa yang dikatakan apa yang diimplikasi

    konvensional konversasi

    umum khusus

    Berdasarkan bagan di atas “apa yang diimplikasi” dari ujaran atau

    implikatur dari ujaran terbagi menjadi dua yaitu implikatur konvensional

    39

    Mey. loc. cit.

  • 26

    dan implikatur percakapan (konversasi). Penelitian ini tidak akan meneliti

    implikatur konvensional melainkan hanya membahas implikatur

    percakapan, tetapi tetap dijelaskan mengenai pengertian implikatur

    konvensional sebagai penjelas perbedaan dari implikatur percakapan.

    Implikatur konvensional merupakan implikatur yang “secara

    konvensional terkait dengan butir-butir leksikal tertentu yang

    menghasilkannya, meskipun secara kondisional tidak benar.”40

    Lebih

    jelasnya George Yule menjelaskan bahwa “conventional implicatures are

    associated with specific words and result in additional conveyed meanings

    when those words are used”.41

    Jadi bisa dikatakan bahwa implikatur

    konvensional merupakan implikatur yang muncul disebabkan penggunaan

    kata leksikal tertentu sehingga dalam penggunaannya menyebabkan

    makna tambahan.

    Contohnya sebagai berikut :

    A : “Nanti pada datang ya Bapak-bapak ke acara pernikahan anak

    saya bahkan katanya Pak Menteri pun siap datang.”

    Penggunaan kata „bahkan‟ dalam ujaran di atas mengimplikasikan

    bahwa tidak sembarang orang bisa mengundang menteri dalam acara

    pernikahan maka jika seorang menteri datang bisa dikatakan bahwa

    pernikahan tersebut sangat berarti.

    Berbeda halnya dengan implikatur percakapan yang ada akibat

    timbal balik percakapan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa

    implikatur percakapan dibagi menjadi dua yaitu generalized

    conversationally implicature atau dalam bahasa Indonesianya yaitu

    implikatur percakapan umum dan yang kedua particularized

    conversationally implicature atau implikatur percakapan khusus. Menurut

    Yule, implikatur percakapan umum yaitu “when no special knowledge is

    40

    Louise Cummings, Pragmatik (Sebuah Perspektif Multidisipliner), Terj. dari Pragmatics,

    A Multidisciplinary Perspective oleh Eti Setiawati dkk, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007),

    hlm.20 41

    Yule, Op.Cit., hlm. 45

  • 27

    required in the context to calculate the additional conveyed meaning”.42

    Jadi dengan kata lain sesuatu disebut implikatur percakapan umum ketika

    kita tidak membutuhkan pengetahuan yang khusus dalam mengetahui

    makna tambahan. Yule pun memberikan contohnya sebagai berikut:

    Doobie : “Did you invite Bella and Cathy?”

    Mary : “I invited Bella”43

    (Doobie : “Apakah kamu mengundang Bella dan Cathy?”

    Mary : “ Saya mengundang Bella”)

    Dari contoh di atas bisa diketahui kemudian bahwa implikatur

    dalam tuturan Mary yaitu Cathy tidak turut serta diundang oleh Mary.

    Untuk Implikatur percakapan khusus dijelaskan oleh Yule sebagai

    berikut:

    However, most of the time, our conversations take place in

    very specific contexs in which locally recognized inferences

    are assumed. Such inferences are required to work out the

    conveyed meanings which result from particularized

    conversational implicatures.44

    Dengan kata lain, implikatur percakapan khusus berada dalam

    konteks yang khusus menghasilkan sebuah inferensi yang kemudian

    inferensi tersebut menjadi hasil untuk mengetahui makna tambahan dalam

    tuturan yang maujud. Perhatikan contoh Yule berikut ini :

    Rick : “Hey, coming to the wild party tonight?”

    Tom : “My parents are visiting.”

    (Rick : “ Hei, bisakah datang ke acara pesta nanti malam?”

    Tom : “Orangtuaku datang berkunjung”)

    42

    Ibid, hlm. 41 43

    Ibid, hlm. 40 44

    Ibid, hlm. 42

  • 28

    berikut penjelasan Yule mengenai contoh di atas :

    In order to make Tom‟s response relevant; Rick has to draw

    on some assumed that one college student in this setting

    expects another to have. Tom will be spending than evening

    with his parents, and time spent with parents is quiet

    (consequently +> Tom not at party).45

    Berdasarkan contoh di atas, Rick haruslah berkeyakinan bahwa

    Tom tetap bersifat kooperatif meski memang dalam jawaban yang

    sederhana untuk mematuhi maksim relevansi jawabannya antara yes atau

    no. Untuk itulah kemudian Rick harus mendayagunakan pengetahuannya

    serta mempergunakan konteksnya sehingga implikatur yang dihasilkan

    dalam tuturan Tom yaitu Tom secara tidak langsung menyatakan no. Ini

    berdasarkan asumsi yang diperoleh dari pengetahuan dan konteks bahwa

    Tom merupakan seorang mahasiswa ketika orangtuanya berkunjung maka

    kemudian Tom akan lebih menghabiskan malamnya bersama orangtuanya.

    Berbeda halnya dengan contoh sebelumnya yaitu antara Doobie

    dan Mary yang tidak membutuhkan konteks yang khusus, ketika Doobie

    menanyakan “Did you invite Bella and Cathy?” maka Mary menjawab “I

    invited Bella”, maka implikatur yang muncul yaitu Cathy tidak diundang

    oleh Bella. Yule lebih lanjut menyatakan bahwa implikatur percakapan

    khusus merupakan yang disebut “implikatur”, berikut pernyataannya: “

    because they are by far the most common, particularized conversational

    implicatures are typically just called implicatures”.46

    Terjemahan

    pernyataan Yule tersebut yaitu mereka (implikatur percakapan khusus)

    yang paling umum (sering ditemukan dalam interaksi komunikasi) untuk

    itu implikatur percakapan khusus merupakan tipikal dari implikatur.

    Sesuai uraian sebelumnya bahwa jika memegang teguh maksim

    relevansi maka Tom seharusnya menjawab yes atau no tetapi Tom

    melakukan penyimpangan. Hal itu tidak membuatnya bisa dikatakan

    45

    Ibid,hlm. 43 46

    Ibid

  • 29

    sepenuhnya tidak kooperatif karena implikatur buah dari tuturannya

    menghasilkan sesuatu yang relevan terhadap yang dibutuhkan oleh Rick.

    Hal semacam di atas sering terjadi, prinsip kerja sama dengan

    maksimnya sering dilanggar. Meskipun demikian, hal tersebut bukanlah

    hal yang haram untuk dilakukan. Prinsip kerja sama yang dicetuskan oleh

    Grice bukanlah sebagai bentuk baku layaknya sebuah konstitutif-jika

    meminjam istilah yang dipakai oleh Leech- yang menjadi sifat tata bahasa.

    Prinsip atau maksim merupakan kaidah atau rambu-rambu dalam praktik

    berkomunikasi atau jika meminjam istilah yang dipakai oleh Leech yaitu

    yang bersifat mengatur atau regulatif.47

    Untuk itu terkadang prinsip kerja sama melalui keempat

    maksimnya sering dilanggar dengan masing-masing bentuk pelanggaran. J

    Meibauer mengutip dari Grice dan Levinson menggambarkan contoh

    bentuk pelanggaran terhadap setiap maksim serta kemudian

    menuangkannya ke dalam sebuah tabel, yaitu sebagai berikut:

    (1) War is war. +> „There is nothing one can do about it

    (2) Some men were drunk.+> „Not all of them were drunk.”

    (3a) He is a fine friend. +> „He is not a fine friend.”

    (3b) You are the cream in my coffee.+>„You are my best

    friend

    (4) There is life on Mars. +> „Speaker believes that there is

    Life on Mars‟

    (5) Speaker A : I‟m out of petrol.

    Speaker B : There is a garage round the corner.

    +> „The garage is open.‟‟

    (6) Speaker A : Look, that old sprinter over there!

    Speaker B : Nice weather today, isn‟t it?. +> „No

    Comment‟

    (7) She produced a series of noises that resembled

    “ Si, mi chiamano Mimi”. +> „ Her singing

    47

    Leech, Op.Cit., hlm. 12

  • 30

    was a complete

    disaster‟

    (8) Anna went to the shop and bought jeans.

    +> „ She bought the jeans‟

    Table 1 Typical cases of Implicature

    Maxims Exploitation Observation

    Quantity Tautology (1) Scalar Implicature (2)

    Quality Irony, Metaphor, Belief Implicature

    Sarcasm (3) in assertions (4)

    Relevance Implicatures due to Bridging (6)

    Thematic switch (5)

    Manner Implicatures due to Conjuction

    obscurity, etc. (7) buttressing (8) 48

    Adapun tabel di atas jika diterjemahkan ke dalam bahasa

    Indonesia, yaitu sebagai berikut:

    (1) Perang adalah perang.+>’Tidak ada yang bisa dilakukan

    tentang hal itu

    (2) Beberapa pria yang mabuk.+>’Tidak semua dari mereka

    mabuk

    (3a) Dia (laki-laki) adalah teman yang baik. +>‟ Dia (laki-laki)

    bukan teman yang baik.”

    (3b) Kamu itu seperti krim dalam kopi saya.+>‟ Kamu

    merupakan teman terbaik saya.”

    (4) Ada kehidupan di Mars.+>‟ Pembicara percaya bahwa

    ada kehidupan di Mars.”

    (5) Pembicara A : Saya kehabisan bensin.

    Pembicara B : Ada sebuah garasi di tikungan.

    48

    Mey, op. cit.,hlm. 366

  • 31

    +> „Garasi itu buka (bisa dipakai).”

    (6) Pembicara A : Lihat, atlet pelari yang sudah tua itu

    berada di sana!

    Pembicara B : Cuaca hari ini bagus, bukan begitu?

    +> „Tidak menanggapi‟

    (7) Dia (perempuan) menghasilkan serangkaian suara yang

    menyerupai “ Si, mi chiamano Mimi”. +>‟ Nyanyian

    perempuan itu seperti bencana yang dahsyat‟

    (8) Anna pergi ke toko dan membeli celana jeans.

    +> ‘ Perempuan itu membeli celana jeans‟

    Tabel 1 Tipikal Kasus Implikatur

    Maksim Eksploitasi Observasi

    Kuantitas Pengulangan (1) Implikatur berskala (2)

    yang tak berguna

    Kualitas Ironi, Metafora, Percaya pada implikatur

    Sarkasme (3) yang terkandung

    dalam pernyataan (4)

    Relevansi Implikatur (5) Menjembatani (6)

    karena beralih

    tematik

    Cara Implikatur dari Menunjang kata

    ketidakjelasan (7) sambung (8)

    Pada tabel di atas tertulis exploitation atau dalam bahasa

    Indonesianya eksploitasi. Memang ada yang menyebutkannya

    mengeksploitasi maksim-termasuk dalam hal ini Louise Cummings-, ada

    yang juga menyebutkan pelanggaran terhadap prinsip kerja sama seperti

    halnya Wijana. Grice sendiri dalam artikelnya menyebutkan dengan istilah

    flouting atau mencemoohkan.

    Selain contoh Tom dan Rick maka contoh no (5) pun sebagaimana

    yang dituliskan di atas merupakan jenis pelanggaran terhadap maksim

  • 32

    relevansi atau sifatnya mengeksploitasi dari maksim relevansi. Implikatur

    diperoleh dari akibat peralihan tetapi masih menyangkut tema

    pembicaraan (tematik). Contoh kasus Tom dan Rick, ketika Rick

    mengundang Tom, kemudian Tom malah menginformasikan Ayahnya

    yang akan berkunjung nanti malam. Meskipun terjadi peralihan, peralihan

    ini masih menyangkut tema pembicaraan, dilihat dari implikatur yang

    diperoleh kemudian yaitu saya tidak bisa datang.

    Pada kasus maksim cara, eksploitasi atau pelanggaran terhadap

    maksim ini dilakukan dengan cara membuat tuturan yang taksa, tidak

    jelas, dan bisa membuat lawan tutur kebingungan. Dari situlah kemudian

    muncul implikatur yang disebabkan dari ketaksaan atau ketidakjelasan.

    Selain contoh di atas, Wijana dalam bukunya memberikan contoh sebagai

    berikut:

    (+) Let‟s stop and get something to eat

    ( - ) Okay, but not M-C-D-O-N-A-L-D-S49

    ( (+) Ayo berhenti dan cari makan

    ( - ) Oke, tapi jangan M-C-D-O-N-A-L-D-S)

    Pada contoh di atas menurut Wijana “tokoh (-) menjawab ajakan

    (+) secara tidak langsung, yakni dengan mengeja satu persatu kata

    McDonalds. Penyimpangan ini dilakukan karena ia tidak menginginkan

    anaknya yang sangat menggemari makanan itu mengetahui maksudnya”. 50

    Dari penyimpangan ini kemudian diperoleh implikatur kata McDonalds

    yang sebenarnya ingin dituturkan oleh tokoh (-). Jika merujuk ke contoh

    Grice dan Levinson yang dikutip oleh J Meibeur, pada contoh kasus

    maksim cara maka sebenarnya maksud penutur ingin menyatakan bahwa

    suara perempuan itu ketika menyanyi seperti bencana yang dahsyat. Ini

    hasil dari implikatur tuturannya yang menyatakan bahwa suara perempuan

    itu menyerupai “Si, mi chiamano Mimi”.

    49

    Wijana, op. cit., hlm. 51 50

    Ibid

  • 33

    Maksim kualitas sering dieksploitasi dengan menghubungkannya

    melalui gaya bahasa yang digunakan yaitu ironi, metafor, dan sarkasme.

    Lebih dari itu, Grice dalam artikelnya menyebutkan juga meiosis dan

    hiperbol sebagai bagian dari pencemoohan-jika meminjam istilah Grice-

    terhadap maksim kualitas.51

    Pada contoh di atas, pelanggaran terhadap

    maksim kualitas ditunjukkan dengan contoh tuturan “He is a fine friend”.

    Yang sebenarnya maksud dari tuturannya atau implikaturnya yaitu “He is

    not a fine friend”. Mengingat prinsip dasar dari maksim kualitas yaitu

    “jangan mengatakan sesuatu yang anda tidak yakini kebenarannya” tetapi

    penutur melakukan pelanggaran tersebut untuk menyampaikan maksudnya

    dengan memanfaatkan gaya bahasa ironi.

    Hal yang sama juga dicontohkan oleh Louise Cummings dalam

    bukunya, yaitu sebagai berikut :

    The players were lions on the pitch

    ( Pemain-pemain itu laksana singa-singa di atas puncak)52

    Menurut Louise Cummings “penutur telah sengaja melanggar

    maksim kualitas dengan tujuan untuk mencapai efek komunikasi

    tertentu”.53

    Pemain itu bukan singa melainkan pemain itu diasosiasikan

    seperti singa. Ini seperti sebuah metafor yang dihasilkan oleh penutur.

    Implikaturnya kemudian pemain-pemain itu diibaratkan seperti singa yang

    bisa dikatakan bahwa singa itu buas, kuat, dan cepat.

    Pelanggaran terhadap maksim kuantitas yaitu „tautologi‟. Jika

    menilik KBBI maka tautologi merupakan pengulangan yang tidak

    berguna. Seperti halnya contoh di atas yaitu “war is war” yang

    implikasinya menyerupai ujaran maujudnya sehingga penjelasan di atas

    “there is nothing one can do about it”. Grice pun menyatakan bahwa

    tautologi bersifat uninformative atau tidak bersifat informatif dan tidak

    bisa tidak dikatakan melanggar maksim kuantitas. Grice pun

    51

    Cole et al, op. cit., hlm. 53 52

    Cummings, op. cit., hlm. 18 53

    Ibid, hlm. 19

  • 34

    menambahkan kecuali ada maksud yang ingin disampaikan dari ujaran

    tersebut maka ini membutuhkan tautologi yang khusus.54

    Untuk itu prinsip kerja sama terkadang dilanggar oleh partisipan

    dengan sebuah alasan tertentu. Pelanggaran prinsip kerja sama tersebut

    mengandung implikatur di dalamnya atau ada hal yang diimplikasikan

    dalam pelanggarannya. Dalam hal ini semua tuturan juga

    mempunyai/dapat mengimplikasikan sesuatu, beranjak dari pemikiran

    Louise Cummings. Implikatur yang terkandung dalam pelanggaran prinsip

    kerja sama mempunyai fungsi yang erat kaitannya dengan alasan seorang

    partisipan dalam melakukan pelanggaran prinsip kerja sama.

    F. Pembelajaran Keterampilan Berbicara Tingkat SMA

    Keterampilan berbicara merupakan salah satu keterampilan

    berbahasa yang wajib dimiliki oleh peserta didik. Nida dan Harris dalam

    Henry Guntur Tarigan menyatakan bahwa “Keterampilan berbahasa

    mempunyai empat komponen, yaitu keterampilan menyimak (listening

    skill), keterampilan berbicara (speaking skill), keterampilan membaca

    (reading skill), dan kemampuan menulis (writing skill).”55

    Dalam

    Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, standar kompetensi yang harus

    dimiliki oleh peserta didik di tingkat SMA mencakup keempat komponen

    keterampilan berbahasa yaitu peserta didik mampu “menunjukkan

    keterampilan menyimak, membaca, menulis, dan berbicara dalam bahasa

    Indonesia dan Inggris.”56

    Berbeda dengan Kurikulum 2013, pembelajaran

    tidak berdasarkan kepada pembagian keempat komponen keterampilan

    berbahasa. Pada Kurikulum 2013 pembelajaran berdasarkan kepada teks

    dan keempat komponen keterampilan berbahasa tersebut diintegrasikan

    masuk ke dalamnya. Berikut pernyataan dari Muhammad Nuh selaku

    54

    Cole et al, op. cit., hlm. 52 55

    Henry Guntur Tarigan, Berbicara (Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa), (Bandung :

    Penerbit Angkasa, 2008), hlm. 1 56

    Tuszie Widhiyanti, KTSP : Berdasarkan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan,

    2015, (http://www.file.upi.edu)

  • 35

    penggagas kurikulum 2013 dan ketika itu menjabat sebagai menteri

    pendidikan:

    Sebagai bagian dari Kurikulum 2013 yang menekankan

    pentingnya keseimbangan kompetensi sikap, pengetahuan

    dan keterampilan, kemampuan berbahasa yang dituntut

    tersebut dibentuk melalui pembelajaran berkelanjutan:

    dimulai dengan meningkatkan pengetahuan tentang jenis,

    kaidah dan konteks suatu teks, dilanjutkan dengan

    keterampilan menyajikan suatu teks tulis dan lisan baik

    terencana maupun spontan, dan bermuara pada

    pembentukan sikap kesantunan dan kejelian berbahasa serta

    sikap penghargan terhadap Bahasa Indonesia sebagai

    warisan budaya bangsa.57

    Berdasarkan pendapat Muhammad Nuh di atas, hal yang dituntut

    dalam kurikulum 2013 yaitu aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

    Peserta didik dituntut untuk mengetahui berbagai jenis teks yang ada

    disertakan dengan kaidah dan konteks teks tersebut. Kemudian peserta

    didik diharapkan dapat menyajikan berbagai teks tersebut secara tulis

    maupun secara lisan. Dalam hal tersebut, secara lisan berarti sama halnya

    dengan melihat kompetensi keterampilan berbicara.

    Imber dan Klingler mencetuskan gagasan kurikulum nasional

    keterampilan berbahasa yang terdiri atas delapan unit dasar. Adapun

    delapan unit dasar tersebut yaitu sebagai berikut:

    8. Aneka Pemahaman

    7. Mengomentari, menanya(i), memperbaiki (membetulkan, membenarkan), melaporkan,

    menganalisis.

    6. Mengingatkan, menyarankan, menganjurkan, meyakinkan, menegaskan, memaksakan.

    5. Mengkritik, memperingatkan, menghina, menuduh (menyalahkan), mengancam.

    4. Memberi pujian, mengucapkan selamat merayu (menyanjung), membanggakan (menyombongkan

    diri).

    57

    Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Buku Guru : Bahasa Indonesia (Ekspresi diri

    dan Akademik) kelas X,2015, hlm. Iii, (http://www.bse.kemdikbud.go.id)

  • 36

    3. Menghindarkan (mengelakkan), membelokkan percakapan (mengalihkan arah pembicaraan),

    menyangkal (mengingkari).

    2. Menyetujui, membantah, menyatakan simpati (mengucapkan belasungkawa), menentang

    (memperdebatkan), mendamaikan (menentramkan)

    1. Aneka Kesalahpahaman.58

    Salah satu unit dasar keterampilan berbahasa yang ada dalam

    kurikulum nasional yaitu menentang atau memperdebatkan. Henry Guntur

    Tarigan dalam bukunya menjelaskan betapa pentingnya berdebat diajarkan

    di dalam kegiatan pembelajaran. Adapun pendapat Henry Guntur Tarigan

    tersebut sebagai berikut:

    para guru memang wajar mendidik para siswa berpikir

    logis; yang benar harus dibenarkan, yang salah harus

    disalahkan. Dalam hal ini penalaranlah yang diutamakan.

    Walaupun suatu pendapat muncul dari teman karib, tetapi

    apabila pendapatnya itu tidak masuk akal, harus ditentang

    atau didebat demi kebenaran. Begitu pula sebaliknya,

    pendapat yang logis, walaupun dikemukakan oleh orang

    yang tidak kita senangi, haruslah diterima karena memang

    masuk akal. Berdebat, berbantah tentang sesuatu hal

    dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan

    pendapat atau pendirian, berguna untuk mendidik para

    siswa berpikir logis, dapat memilih mana yang benar dan

    mana yang salah.59

    Pendapat Henry Guntur Tarigan tersebut bisa diimplementasikan

    dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan maupun dalam Kurikulum

    2013 khususnya untuk pembelajaran keterampilan berbicara. Standar

    kompetensi untuk keterampilan berbicara dalam Kurikulum Tingkat

    Satuan Pendidikan yaitu salah satunya peserta didik mengungkapkan

    komentar terhadap informasi dari berbagai sumber. Kompetensi dasar dari

    standar kompetensi tersebut yaitu: (1) memberikan kritik terhadap

    informasi dari media cetak dan atau elektronik; (2) memberikan

    58

    Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Pragmatik, (Bandung : PT. Angkasa, 2009), hlm. 136 59

    Ibid, hlm. 141

  • 37

    persetujuan/dukungan terhadap artikel yang terdapat dalam media cetak

    dan atau elektronik.60

    Memberikan kritik berarti tidak setuju dengan isi informasi atau

    berita sedangkan memberikan persetujuan berarti ikut mengafirmasi isi

    informasi atau berita. Hal tersebut tentu sama dengan hakikat debat yang

    mempertemukan pihak yang setuju dengan pihak yang tidak setuju atau

    kontra. Guru dapat menggunakan metode debat dalam pembelajaran untuk

    kompetensi dasar tersebut. Dalam implementasinya, guru mempunyai dua

    pilihan yaitu: (1) memulai dari kompetensi dasar yang pertama dilanjutkan

    kompetensi dasar yang kedua dan terakhir melakukan evaluasi dengan

    menggunakan metode debat dalam pembelajaran; (2) menggabun