Upload
doankhanh
View
223
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
i UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
UJI AKTIVITAS ANTIINFLAMASI EKSTRAK
DAUN PAKU Pyrrosia lanceolata (L.) Farw. TERHADAP
PENGHAMBATAN DENATURASI PROTEIN SECARA
IN VITRO
SKRIPSI
FINTI MULIATI
1110102000047
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JULI 2014
ii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
UJI AKTIVITAS ANTIINFLAMASI EKSTRAK
DAUN PAKU Pyrrosia lanceolata (L.) Farw. TERHADAP
PENGHAMBATAN DENATURASI PROTEIN SECARA
IN VITRO
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Farmasi
FINTI MULIATI
1110102000047
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JULI 2014
iii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
iv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
v UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRAK
Nama : Finti Muliati
Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi :Uji Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Daun Paku
Pyrrosia lanceolata (L.) Farw. terhadap Penghambatan Denaturasi
Protein secara In Vitro
Komala (2010) melaporkan bahwa ekstrak etanol tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata (L.) Farw memiliki aktivitas antioksidan dengan nilai IC50
70,55 µg/mL. Di Afrika Selatan Pyrrosia lanceolata (L.) Farw digunakan untuk
mengatasi flu dan radang tenggorokan. Senyawa antiioksidan bekerja dengan
menghambat radikal bebas, dimana radikal bebas diketahui sebagai inflamasi.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas antiinflamasi dari ekstrak
n-heksana, etil asetat dan metanol tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata (L) Farw.
terhadap penghambatan denaturasi Bovine Serum Albumin secara in vitro.
Natrium diklofenak digunakan sebagai kontrol positif. Telah diketahui ekstrak
tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata (L.) Farw memiliki aktivitas antiinflamasi
terhadap penghambatan denaturasi protein sebesar 21,860 % (konsentrasi 100
ppm ekstrak n-heksana), 30,994 % (konsentrasi 10 ppm ekstrak etil asetat) dan
52,788 % (konsentrasi 10 ppm ekstrak metanol). Data analisa statistik
menunjukan bahwa konsentrasi 10 ppm ekstrak n-heksana dan etil asetat berbeda
bermakna dan ekstrak metanol tidak berbeda bermakna terhadap natrium
diklofenak. Ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol daun tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata berpotensi sebagai obat antiinflamasi karena nilai persentase
inhibisi denaturasi protein lebih dari 20 %.
Kata kunci : Tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata (L.) Farw, antiinflamasi,
antidenaturasi protein, Bovine Serum Albumin.
vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRACT
Name : Finti Muliati
Program Study : Pharmacy
Title : The Antiinflammatory Effect of Extracts
Pyrrosia lanceolata (L) Farw. on the Inhibition of Protein
Denaturation in vitro.
Komala (2010) reported that ethanol extract of ferns Pyrrosia lanceolata (L) Farw
have antioxidant activity with IC50 value 70.55 µg/mL. In South Africa, Pyrrosia
lanceolata used to treat the flu and strep throat. Antioxidant compounds work by
inflammatory diseases. The aim of this research is to determine the anti-
inflammatory activity of n-hexane, ethyl acetate and methanol extracts of ferns
Pyrrosia lanceolata (L) Farw. on the inhibition of Bovine Serum Albumin
denaturation in vitro. Natrium diclofenac was used as positive control. The result
showed that Pyrrosia lanceolata (L) Farw. extract has antiinflammatory activity
on the inhibition of protein denaturation 21.860% (100 ppm n-hexane extract),
30.994% (10 ppm ethyl acetate extract ) and 52.788% (10 ppm methanol extract).
Statistical analysis of the data showed that the concentration of 10 ppm n-hexane
extract and ethyl acetate significant difference and methanol ectract was not
significant against diclofenac sodium. Extract n-hexane, ethyl acetate and
methanol ferns Pyrrosia lanceolata (L) Farw have potency to develope as
antiinflammatory drug due to their inhibition of protein denaturation percentage
are higher than 20%.
Keywords: Frens Pyrrosia lanceolata (L.) Farw, antiinflammatory,
antidenaturation protein, Bovine Serum Albumin.
viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur senantiasa saya panjatkan kehadirat Ilahi Rabbi,
Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat, karunia, hidayah, serta inayah-Nya,
saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan
dalam rangka untuk memenuhi tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Program Studi Farmasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah,
Jakarta.
Saya sepenuhnya menyadari, bahwa tanpa bantuan, arahan dan
bimbingan dari berbagai pihak, dari awal masa perkuliahan sampai pada
penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit dan penuh rasa tanggung jawab untuk
menyelesaikan skripsi ini. oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Ibu Ismiarni Komala, M.Sc., Ph. D., Apt. selaku pembimbing pertama dan
Ibu Dr. Azrifitria, M.Si., Apt. selaku pembimbing kedua yang telah
meluangkan waktu, tenaga, pikiran untuk membimbing dan mengarahkan,
memberikan ilmu, masukan dan saran, sejak proposal skripsi, pelaksanaan
penelitian sampai pada penyusunan skripsi.
2. Bapak Prof. DR. dr. (hc), M.K Tadjudin Sp.And, selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt. selaku Ketua Jurusan Program Studi
Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Segenap Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan
hingga penulis dapat menyelesaikan studi di jurusan Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Para laboran laboratorium Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
memberikan kemudahan dalam hal penggunaan alat dan bahan untuk
keperluan penelitian.
6. Kedua Orang tua saya, ayahanda Mujiono dan ibunda Sarinah, kakak
kandung saya Emi Restu Sayekti serta kakak ipar saya, Rudi Amran dan
keluarga besar yang selalu memberikan dorongan moril, materil, spiritual
hingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik, semoga segala amal dan
jerih payah kalian semua mendapat balasan yang sebaik-baiknya disisi Allah
SWT.
7. Kanda Arum Samudra yang selalu membantu dan memberikan motivasi dan
saran hingga skripsi ini dapat terselesaikan
8. Teman-teman seperjuangan penelitian tim BSA, Ninik, Ipho, Mirza, dan Hadi
serta sahabatku Yanti, Ninik, Riefa, Niswah, Nurul yang telah membantu
segala hal dalam penelitian ini.
9. Teman-teman farmasi angkatan 2010 ANDALUSIA yang sama-sama
berjuang selama 4 tahun untuk menyelesaikan pendidikan ini.
10. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut
membantu menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan guna tercapainya
kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis
berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat baik bagi kalangan
akademis dan dunia ilmu pengetahuan, khususnya bagi mahasiswa farmasi, serta
masyarakat pada umumnya.
Jakarta, 10 Juli 2014
Penulis
x UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.......................................................................................
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS...........................................
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................
ABSTRAK........................................................................................................
ABSTRACT ....................................................................................................
KATA PENGANTAR.....................................................................................
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ...............
DAFTAR ISI....................................................................................................
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................
DAFTAR TABEL............................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................
1.1 Latar Belakang ......................................................................................
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................
1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................
1.4.1 Aspek Teoritis .............................................................................
1.4.2 Aspek Aplikatif ...........................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................
2.1 Pyrrosia lanceolata (L.) Farw ..............................................................
2.1.1 Klasifikasi Tanaman ...................................................................
2.1.2 Sinonim .......................................................................................
2.1.3 Deskripsi Tanaman .....................................................................
2.1.4 Penggunaan Tradisional ..............................................................
2.1.5 Penggunaan Medis ......................................................................
2.1.6 Kandungan Kimia .......................................................................
2.2 Simplisia.................................................................................................
2.3 Ekstrak dan Ekstraksi ...........................................................................
2.3.1 Ekstraksi Cara Dingin .................................................................
2.3.2 Ekstraksi Cara Panas ...................................................................
2.4 Pelarut ...................................................................................................
2.5 Vacuum Rotary Evaporator .................................................................
2.6 Inflamasi ...............................................................................................
2.6.1 Definisi ........................................................................................
2.6.2 Mekanisme Inflamasi Akut .........................................................
2.6.3 Obat-obat Antiinflamasi.......................................................................
2.7 Bovine Serum Albumin (BSA) ..............................................................
2.8 Penapisan Fitokimia .............................................................................
2.9 Spektrofotometer UV-Visible ...............................................................
BAB III METODE PENELITIAN...............................................................
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................
ii
iii
iv
v
vi
vii
viii
x
xi
xiii
xiv
xv
1
1
3
3
3
3
3
4
4
4
4
5
5
5
5
6
6
7
8
9
11
11
11
12
14
14
15
15
17
17
xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.2 Alat dan Bahan .....................................................................................
3.2.1 Alat ..............................................................................................
3.2.2 Bahan...........................................................................................
3.3 Rancangan Penelitian............................................................................
3.4 Prosedur Kerja.......................................................................................
3.4.1 Determinasi Tumbuhan................................................................
3.4.2 Penyiapan Simplisia.....................................................................
3.4.3 Pembuatan Ekstrak.......................................................................
3.4.4 Penapisan Fitokimia.....................................................................
3.4.5 Uji In Vitro Aktivitas Antiinflamasi............................................
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................
4.1 Hasil penelitian......................................................................................
4.1.1 Ekstrak ...........................................................................................
4.1.2 Penapisan fitokimia........................................................................
4.1.3 Uji Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Daun Tumbuhan Paku
Pyrrosia lanceolata terhadap Penghambatan Denaturasi Protein
secara In Vitro................................................................................
4.1.4 Hasil Perhitungan IC50...................................................................
4.1.5 Hasil Analisa Data Statistik............................................................
4.2 Pembahasan .........................................................................................
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN..........................................................
5.1 Kesimpulan..........................................................................................
5.2 Saran ....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
LAMPIRAN.....................................................................................................
17
17
17
18
19
19
19
19
20
21
24
24
24
25
25
31
32
33
37
37
37
38
42
xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Gambar 2.2
Gambar 2.3
Gambar 4.1
Gambar 4.2
Gambar 4.3
Gambar 4.4
Gambar 4.5
Gambar 4.6
Gambar 4.7
Gambar 4.8
Pyrrosia lanceolata (L.) Farw...................................................
Mekanisme Inflamasi Akut ......................................................
Jalur Asam Arakhidonat ...........................................................
Aktivitas antiinflamasi natrium diklofenak...............................
Perbandingan aktivitas antiinflamsi ekstrak n-heksana daun
tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata dan Natrium
diklofenak.................................................................................
Perbandingan aktivitas antiinflamasi ekstrak etil asetat daun
tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata dan Natrium
diklofenak.................................................................................
Perbandingan aktivitas antiinflamasi ekstrak metanol daun
tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata dan Natrium
diklofenak.................................................................................
Perbandingan aktivitas antiinflamasi ekstrak n-heksana, etil
asetat dan metanol daun tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata...................................................................
Perbandingan Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Metanol Daun
Tumbuhan Paku Pyrrosia lanceolata dan Natrium
diklofenak.................................................................................
Grafik Regresi Linear Aktivitas Antiinflamasi Natrium
diklofenak.................................................................................
Grafik Regresi Linear Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak
Metanol....................................................................................
4
13
13
26
27
28
29
30
31
31
32
xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1
Tabel 4.1
Tabel 4.2
Tabel 4.3
Tabel 4.4
Tabel 4.5
Tabel 4.6
Tabel 4.7
Tabel 4.8
Tabel 4.9
Rancangan Penelitian.......................................................................
Organoleptik ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol daun
tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata................................................
Jumlah ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata..........................................................................
Hasil penapisan fitokimia ekstrak n-heksana, etil asetat dan
metanol daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata..........................
Aktivitas antiinflamasi natrium diklofenak......................................
Aktivitas antiinflamasi ekstrak n-heksana daun tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata..........................................................................
Aktivitas antiinflamasi ekstrak etil asetat daun tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata........................................................................
Aktivitas antiinflamasi ekstrak metanol daun tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata..........................................................................
Perbandingan Aktivitas antiinflamasi ekstrak n-heksana, etil
asetat dan metanol daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata.........
Aktivitas antiinflamasi ekstrak metanol daun tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata dengan perluasan kosentrasi uji.......................
18
24
24
25
26
27
28
29
30
30
xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5
Lampiran 6
Lampiran 7
Lampiran 8
Lampiran 9
Lampiran 10
Lampiran 11
Lampiran 12
Lampiran 13
Lampiran 14
Lampiran 15
Tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata (L.) Farw .........................
Alur Penelitian.............................................................................
Alur Uji Aktivitas Antiinflamasi terhadap Penghamabatan
Denaturasi Protein secara In Vitro...............................................
Analisis Statistik Konsentrasi 10 ppm Ekstrak n-heksana, etil
asetat dan metanol Ekstrak Daun Paku Pyrrosia lanceolata
terhadap natrium diklofenak........................................................
Spesifikasi Natrium Diklofenak..................................................
Hasil Determinasi Tumbuhan Paku Pyrrosia lanceolata............
Dokumentasi Pembuatan Ekstrak Daun paku
Pyrrosia lanceolata.......................................................................
Dokumentasi Uji Penapisan Fitokimia Ekstrak Daun tumbuhan
Paku Pyrrosia lanceoloata............................................................
Dokumentasi Uji Aktivitas Antiinflamasi secara In Vitro............
Perhitungan Konsentrasi Ekstrak dan Natrium Diklofenak..........
Perhitungan Persentase Inhibisi Natrium Diklofenak...................
Perhitungan Persentase Inhibisi Ekstrak Daun Paku
Pyrrosia lanceolata.....................................................................
Perhitungan Rendemen Ekstrak Daun Paku
Pyrrosia lanceolata.......................................................................
Data Absorbansi setiap Ekstrak dan Nartium Diklofenak............
Perhitungan IC50 Natrium Diklofenak dan Ekstrak Metanol........
42
43
44
45
49
51
52
53
55
58
60
61
63
64
66
1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki
keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Penggunaan bahan-bahan alami sebagai
bahan obat telah dikenal sejak lama dan masyarakat menggunakannya secara
turun temurun berdasarkan pengalaman, secara tradisional dan belum banyak
diketahui kandungan senyawa dan manfaat lainnya. Bahan-bahan alami ini berasal
dari tumbuhan, hewan, mineral maupun bahan campuran dari bahan-bahan
tersebut. Sampai terakhir ini tumbuhan masih merupakan sumber bahan obat
utama bagi mayoritas masyarakat dunia (Darnaedi, 2000).
Tumbuhan dapat menjadi sumber obat bagi suatu penyakit dengan adanya
metabolit sekunder yang terdapat dalam tumbuhan tersebut, dimana metabolit
sekunder tersebut memiliki kemampuan sebagai aktivitas biologis. Metabolit
sekunder adalah senyawa yang tidak memberi fungsi penting bagi kelangsungan
hidup suatu tumbuhan tersebut. Contoh senyawa metabolit sekunder tersebut
adalah flavonoid, terpenoid, alkaloid, kumarin dan lain-lain (Vickery, 1981).
WHO pada tahun 2008 mencatat bahwa 68% penduduk dunia menggantungkan
sitem pengobatan tradisional yang melibatkan tumbuhan untuk menyembuhkan
penyakit (Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011) dan Jumlah sediaan obat tradisional
yang didaftarkan di Badan POM akhir tahun 2006 adalah 14217 produk
(Dewoto, 2007).
Tumbuhan paku (pteridophyta) merupakan salah satu golongan tumbuhan
yang hampir dapat dijumpai pada setiap wilayah di Indonesia. Secara taksonomi
tumbuhan paku berada diantara tumbuhan tingkat tinggi (gymnosperma dan
angiosperma) dan tumbuhan lumut (bryophyta) (Pooja, 2004). Bagi manusia,
tumbuhan paku telah banyak dimanfaatkan baik secara tradisional maupun
aktivitas biologisnya. Penggunaan tumbuhan paku secara tradisional antara lain
sebagai obat batuk, pengobatan sakit ginjal, pengobatan luka lecet, tifus, TBC,
sakit tenggorokan (Lai et al., 2011). Tumbuhan paku dapat dimanfaatkan sebagai
1
2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
patung yang diukir, dan bahan kerajinan seperti tempat bunga. Bagian tumbuhan
paku yang digunakan yaitu batang kayu yang tumbuh baik dan yang sudah keras
(Sastrapradja, Afriastini, Darnaedi dan Widjaja, 1979). Telah dilaporkan beberapa
tumbuhan paku memiliki aktivitas biologis antara lain antiinflamasi dan
antinosiseptik (Zakaria et al, 2006).
Pyrrosia lanceolata merupakan salah satu tumbuhan paku yang sangat
mudah ditemukan di Indonesia yang digunakan sebagai pengobatan penyakit. Di
Afrika Selatan Pyrrosia lanceolata digunakan untuk mengatasi flu dan radang
tenggorokan (Benjamin dan Manickam, 2007). Pada penelitian sebelumnya
(Komala, 2010), telah melaporkan bahwa ekstrak etanol 70% dari tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata yang didapat dari wilayah kampus Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memiliki aktivitas antioksidan
dengan nilai IC50 70,55 µg/mL. Radikal bebas yang berasal dari oksigen
merupakan salah satu mediator terjadinya inflamasi. Radikal bebas ini cenderung
menimbulkan kerusakan pada jaringan saat inflamasi (Pringgoutomo, 2002). Oleh
karena itu, perlu dilakukan pengujian aktivitas biologis lainnya dari tumbuhan
paku Pyrrosia lanceolata sebagai antiinflamasi.
Tanaman lain yang mempunyai aktivitas sebagai antiinflamasi dan
antioksidan ialah Peperomea pellucida (Sheikh et al., 2013), Croton argyratus
(Ali et al., 2012), Hemigraphis colorata (Akhil dan Prabhu, 2013),
Taxandria fragrans (Hammer et al., 2008), Centella asiatica
(Chippada dan Vangalapati, 2011).
Dalam penelitian ini, metode uji antiinflamasi menggunakan metode
penghambatan denaturasi protein dengan Bovine Serum Albumin (BSA)
(Williams et al., 2008). Denaturasi protein pada jaringan adalah salah satu
penyebab penyakit inflamasi dan artritis. Produksi dari antigen-auto pada penyakit
artritis dapat mengakibatkan denaturasi protein secara in vivo. Oleh karena itu,
dibutuhkan suatu agen tertentu yang dapat mencegah denaturasi protein yang akan
bermanfaat pada pengembangan obat antiinflamasi (Chatterjee et al., 2012).
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dilakukan penelitian untuk menguji
aktivitas antiinflamasi dari ekstrak metanol, etil asetat dan n-heksana dari daun
3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
paku Pyrrosia lanceolata secara in-vitro terhadap kemampuan penghambatan
denaturasi protein yang menggunakan spektrofotometer UV-Visible.
1.2 Rumusan Masalah Penelitian
Apakah ekstrak n-heksana, etil asetat, dan metanol dari daun paku
Pyrrosia lanceolata memiliki aktivitas antiinflamasi ?
1.3 Tujuan Penelitian
Menguji aktivitas antiinflamasi ekstrak n-heksana, etil asetat, dan metanol
dari daun paku Pyrrosia lanceolata.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Aspek Teoritis
Penelitian ini memberikan informasi secara ilmiah tentang aktivitas
antiinflamasi dari ekstrak n-heksana, etil asetat, serta metanol dari daun paku
Pyrrosia lanceolata.
1.4.2 Aspek Aplikatif
Dapat dilakukan uji aktivitas antiinflamasi secara in vivo jika nantinya
terbukti bahwa daun paku Pyrrosia lanceolata memiliki aktivitas sebagai
antiinflamasi secara in vitro dan dapat memberikan nilai ekonomi pada
penggunaan sumber daya hayati.
4
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pyrrosia lanceolata (L.) Farw.
Gambar 2.1. Pyrrosia lanceolata (L.) Farw.
(Sumber : Koleksi Pribadi, 11 Februari 2014)
2.1.1 Klasifikasi Tanaman (GBIF, 2013)
Kingdom : Plantae
Divisio : Pteredophyta
Class : Polypodiopsida
Order : Polypodiales
Family : Polypodiaceae
Genus : Pyrrosia
Species : Pyrrosia lanceolata (L.) Farw.
2.1.2 Sinonim
Pyrrosia adnascens (Swartz) Ching, Pyrrosia varia (Kaulfuss) Farwell,
Acrostichum lanceolatum L., Candollea lanceolata Mirb. ex Desv. dan
Cyclophorus lanceolatus Alston (Hartini, 2006).
4
5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.1.3 Deskripsi Tanaman
Tumbuhan ini mempunyai akar rimpang setebal 1,2-2,1 mm, menjalar
panjang, ditutupi oleh sisik-sisik yang tersebar. Daun dimorfik, tidak jelas sampai
jelas bertangkai. Daun fertil tangkainya sampai 9 cm, helaian 3,5-31 cm x 0,3-3,5
cm, bagian pangkal perlahan menyempit, paling lebar di bagian tengah atau di
bawahnya, ujung tumpul. Daun steril bertangkai sampai 5 cm, helaian 2-24 cm x
0,3-4,3 cm, paling lebar di bagian tengah atau di atasnya, ujung membundar atau
tumpul. Sori berderet di sepanjang tepi daun atau menyebar di seluruh permukaan
daun.
Pada umumnya tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata tumbuh secara epifit,
kadang epilitik, dan jarang yang terestrial, umumnya ditemukan di berbagai
situasi, kebanyakan di dataran rendah (Hartini, 2006).
2.1.4 Penggunaan Tradisional
Di Afrika Selatan Pyrrosia lanceolata digunakan untuk mengatasi flu dan
radang tenggorokan. Di Mexico, dibuat teh dari daun digunakan untuk menahan
gatal. (Benjamin dan Manickam, 2007).
2.1.5 Penggunaan Medis
Daun dibuat menjadi pasta dengan lada dan diminum untuk mengobati
sakit tenggorokan dan gatal-gatal (Sekar et al., 2011).
2.1.6 Kandungan Kimia
Laporan ilmiah mengenai kandungan kimia dari tumbuhan paku Pyrrosia
lanceolata masih terbatas. Dari penelitian sebelumnya melaporkan kandungan
kimia tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata ialah terpenoid (Komala, 2010). Tetapi
spesies lain dari genus Pyrrosia yaitu Pyrrosia piloselloides diketahui bahwa
tumbuhan ini mengandung senyawa golongan saponin, tanin, minyak atsiri,
triterpen, flavonoid dan gula (Hariana, 2006; Dalimartha, 1999). Secara umum
senyawa bioaktif yang paling banyak terdapat didalam tumbuhan paku adalah
senyawa golongan terpenoid (triterpenoid, diterpenoid, dan seskuiterpenoid),
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
senyawa fenolik (derivat fenilpropanoid), golongan alkaloid dan flavonoid
(Ho, 2011).
2.2 Simplisia
Simplisia adalah bahan alam yang digunakan sebagai bahan obat dan
belum mengalami pengolahan apapun, kecuali dinyatakn lain, berupa bahan yang
telah dikeringkan. Simplisia dibedakan menjadi simplisia nabati, simplisia hewani
dan simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa
tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan
ialah isi sel yang secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang dengan
cara tertentu dipisahkan dari tumbuhannnya dan belum berupa senyawa kimia
murni (Depkes RI, 2000).
2.3 Ekstrak dan Ekstraksi
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi
senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut
yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau
serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan (Depkes, 2010).
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair, dibuat dengan menyari
simplisia nabati atau hewani menurut cara yang sesuai diluar pengaruh cahaya
matahari langsung (Tiwari et al., 2011).
Adapun faktor yang mempengaruhi pada mutu ekstrak yaitu faktor biologi
dan faktor kimia (Depkes, 2010) :
a. Faktor Biologi
Lokasi tumbuhan asal, hal ini merupakan faktor eksternal, yaitu
lingkungan (tanah dan atmosfer) dimana tumbuhan berinteraksi berupa
energi (temperatur, cahaya, air).
Periode pemanenan hasil tumbuhan merupakan dimensi waktu dari proses
kehidupan tumbuhan terutama metabolisme sehingga menentukan
senyawa kandungan.
7
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Penyimpanan bahan tumbuhan merupakan faktor eksternal yang dapat
diatur karena dapat berpengaruh pada stabilitas bahan serta adanya
kontaminasi (biotik dan abiotik).
Umur tumbuhan dan bagian yang digunakan.
b. Faktor Kimia
Faktor internal, meliputi jenis senyawa aktif dalam bahan, komposisi
kualitatif dan kuantitatif senyawa aktif.
Faktor Eksternal, meliputi metode ekstraksi, ukuran, kekerasan dan
keringanan bahan, pelarut yang digunakan dalam ekstraksi, kandungan
logam berat serta kandungan pestisida.
Macam-macam perbedaan metode ekstraksi yang akan mempengaruhi
kuantitas dan kandungan metabolit sekunder dari ekstrak, antara lain:
a. Tipe ekstraksi
b. Waktu ekstraksi
c. Suhu ekstraksi
d. Konsentrasi pelarut
Ekstraksi adalah proses penyarian senyawa kimia yang terdapat dalam
tumbuhan atau bahan alam lainnya. Ada beberapa metode ekstraksi yang dikenal.
Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dibagi menjadi dua cara,
yaitu cara panas dan cara dingin (DepKes, 2000).
2.3.1 Ekstraksi Cara Dingin
a. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar
(DepKes, 2000). Adapun keuntungan dengan cara maserasi adalah pengerjaan dan
peralatan yang digunakan sederhana, sedangkan kerugiannya yakni cara
pengerjaanya lama, membutuhkan pelarut banyak dan penyarian kurang
sempurna. Dalam cara maserasi, serbuk halus atau kasar dari tumbuhan obat yang
kontak dengan pelarut disimpan dalam wadah tertutup untuk periode tertentu
dengan pengadukan yang sering untuk meningkatkan kinerjanya, sampai zat
8
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tertentu dapat terlarut. Metode ini paling cocok digunakan untuk senyawa yang
termolabil (Tiwari et al., 2011).
b. Perkolasi
Perkolasi merupakan ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
penyarian sempurna yang umunya dilakukan pada temperatur ruang (Depkes RI,
2000). Satu-satuya peralatan yang diperlukan untuk melakukan ekstraksi dengan
cara perkolasi adalah kontainer perkolasi atau dikenal dengan nama perkolator.
Dengan perkolator aliran pelarut dapat diatur sedemikian rupa sehingga tetesan
pelarut akan turun sedikit demi sedikit. Perkolasi adalah proses ekstraksi yang
berkesinambungan. Pelarut yang telah jenuh harus digantikan dengan pelarut yang
segar (Silva,1998).
2.3.2 Ekstraksi Cara Panas
a. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru, dengan
menggunakan alat soklet sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah
pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI, 2000).
Keuntungan penggunaan cara sokletasi adalah penyarian yang dilakukan
secara terus menerus secara automatis dan pelarut yang dibutuhkan sedikit. Pada
cara ini pelarut yang digunakan untuk mengekstraksi dipanaskan sehingga uap
nantinya akan turun membasahi sampel yang diletakkan terpisah dari pelarut.
Proses ini terjadi berulang-ulang sampai proses ekstraksi selesai. Kelemahannya
adalah karena menggunakan pemanasan maka bisa saja senyawa kimia yang
dikandung oleh sampel tumbuhan telah rusak (Silva, 1998).
b. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut pada temperatur
titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif
konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI, 2000).
c. Infusa
Infusa adalah ekstraksi yang menggunakan air sebagai pelarut pada
temperatur penangas air dimana bejana infus tercelup dalam penangas air
9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
mendidih, temperatur yang digunakan (96-980C) selama waktu tertentu (15-20
menit ) (Depkes RI, 2000). Cara ini menghasilkan larutan encer dari komponen
yang mudah larut dari simplisia (Tiwari et al., 2011).
d. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (lebih dari 30 menit) dan
temperatur sampai titik didih air (Depkes RI, 2000). Dekok adalah ekstraksi
dengan pelarut air pada temperatur 900C selama 30 menit. Metode ini digunakan
untuk ekstraksi konstituen yang larut dalam air dan kontituen yang stabil terhadap
panas (Tiwari et al., 2011).
e. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu) pada
temperatur lebih tinggi dari temperatur suhu kamar, yaitu secara umum dilakukan
pada temperatur 40-500C (Depkes RI, 2000).
Digesti merupakan maserasi dengan pengadukan kontinyu pada temperatur
lebih tinggi dari temperatur ruang (umumnya 25-30oC). Ini adalah jenis ekstraksi
maserasi dimana suhu sedang digunakan selama proses ekstraksi
(Tiwari et al., 2011).
2.4 Pelarut
Pelarut adalah zat yang digunakan sebagai media untuk melarutkan zat
lain. Kesuksesan penentuan senyawa biologis aktif dari bahan tumbuhan sangat
tergantung pada jenis pelarut yang digunakan dalam prosedur ekstraksi
(Ncube et al., 2008). Sifat pelarut yang baik untuk ekstraksi yaitu toksisitas dari
pelarut yang rendah, mudah menguap pada suhu yang rendah, dapat
mengekstraksi komponen senyawa dengan cepat (Tiwari et al., 2011).
Berbagai pelarut yang digunakan dalam prosedur ekstraksi antara lain :
a. Air
Air adalah pelarut universal, biasanya digunakan untuk mengekstraksi
produk tumbuhan dengan aktivitas antimikroba. Meskipun pengobatan secara
tradisional menggunakan air sebagai pelarut, tetapi ekstrak tumbuhan dari pelarut
organik telah ditemukan untuk memberikan aktivitas antimikroba lebih konsisten
dibandingkan dengan ekstrak air (Tiwari et al., 2011).
10
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Aseton
Aseton melarutkan beberapa komponen senyawa hidrofilik dan lipofilik
dari tumbuhan. Keuntungan pelarut aseton yaitu dapat bercampur dengan air,
mudah menguap dan memiliki toksisitas rendah (Tiwari et al., 2011).
c. Alkohol
Aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dari ekstrak etanol dibandingkan
dengan ekstrak air dapat dikaitkan dengan adanya jumlah polifenol yang lebih
tinggi pada ekstrak etanol dibandingkan dengan ekstrak air. Konsentrasi yang
lenih tinggi dari senyawa flavonoid terdeteksi dengan etanol 70% karena
polaritasnya yang kebih tinggi daripada etanol murni (Tiwari et al., 2011).
Etanol lebih mudah untuk menembus membran sel untuk mengekstrak sel
untuk mengekstrak bahan intraseluler dari bahan tumbuhan. Metanol lebih polar
dibanding etanol.
d. Kloroform
Terpenoid lakton telah diperoleh dengan ekstraksi berturut-turut
menggunakan n-heksan, kloroform dan metanol dengan konsentrasi aktivitas
tertinggi terdapat dalam fraksi kloroform. Kadang-kadang tanin dan terpenoid
ditemukan dalam fase air, tetapi lebih sering diperoleh dengan pelarut semipolar
(Tiwari et al., 2011).
e. Eter
Eter umumnya digunakan secara selektif untuk ekstraksi kumarin dan
asam lemak (Tiwari et al., 2011).
f. n-heksan
n-heksan mempunyai karakteristik sangat tidak polar, volatil, mempunyai
bau khas yang dapat menyebabkan pingsan. Berat molekul n-heksan adalah 86,2
gram/mol dengan titik leleh 94,3-95,30C. Titik didih n-heksan pada tekanan 760
mmHg adalah 66-710C (Daintith, 1994). n-heksan biasanya digunakan sebagai
pelarut untuk ekstraksi minyak nabati.
g. Etil Asetat
Etil asetat merupakan pelarut dengan karakteristik semipolar. Etil asetat
secara selektif akan menarik senyawa yang bersifat semipolar seperti fenol dan
terpenoid (Pranoto et al., 2012).
11
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.5 Vacuum Rotary Evaporator
Vacuum Rotary Evaporator merupakan alat yang berfungsi untuk
memisahkan suatu larutan dari pelarutnya sehingga dihasilkan ekstrak dengan
kandungan kimia tertentu sesuai yang diinginkan. Cairan yang ingin diuapkan
biasanya ditempatkan dalam suatu labu yang kemudian dipanaskan dengan
bantuan penangas, dan diputar. Uap cairan yang dihasilkan didinginkan oleh suatu
pendingin (kondensor) dan ditampung pada suatu tempat (receiver flask). Setelah
pelarutnya diuapkan, akan dihasilkan ekstrak yang dapat berbentuk padatan atau
cairan (Nugroho et al., 1999).
Kelebihan dari alat Vacuum Rotary Evaporator adalah diperoleh kembali
pelarut yang diuapkan. Penggunaan Vacuum Rotary Evaporator meningkatkan
presentase pelarut yang terevaporasi dibandingkan dengan menggunakan
waterbath (Mutairi dan Jasser, 2012). Prinsip kerja alat ini didasarkan pada titik
didih pelarut dan adanya tekanan yang menyebabkan uap dari pelarut terkumpul,
serta adanya kondensor yang menyebabkan uap ini mengembun dan akhirnya
jatuh ke tabung penerima (receiver flask).
2.6 Inflamasi
2.6.1 Definisi
Peradangan adalah reaksi jaringan terhadap cedera, infeksi atau iritasi.
Enzim lisosomal dilepaskan selama peradangan menghasilkan berbagai gangguan
yang mengarah ke cedera jaringan yang merusak makromolekul dan peroksidasi
lipid membran yang dianggap bertanggung jawab untuk kondisi patologis tertentu
sebagai serangan jantung, guncangan septik dan arthritis rheumatoid. Aktivitas
selular enzim ini dikatakan berhubungan dengan peradangan akut atau kronis
(Chippada, et al., 2011).
Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan
yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat-zat
mikrobiologik. Inflamasi adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi atau merusak
organisme yang menyarang, menghilangkan zat iritan dan mengatur derajat
perbaikan jaringan. Inflamasi dicetuskan oleh pelepasan mediator kimiawi dari
jaringan yang rusak dan migrasi sel (Mycek, Harvey, dan Champe, 2001). Ketika
12
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
proses inflamasi berlangsung, terjadi reaksi vaskular dimana cairan, elemen-
elemen darah, sel darah putih dan mediator kimia berkumpul pada tempat cidera
jaringan atau infeksi.
Adapun tanda-tanda pokok peradangan:
a. Rubor (kemerahan) ini merupakan hal pertama saat mengalami peradangan,
karena banyak darah mengalir ke dalam mikrosomal lokal pada tempat
peradangan.
b. Kalor (panas) dikarenakan lebih banyak darah yang disalurkan pada tempat
peradangan dari pada yang disalurkan ke daerah normal. Fenomena panas
lokal ini tidak terlihat pada tempat peradangan jauh di dalam tubuh karena
jaringan sudah mempunyai suhu 370C.
c. Dolor (rasa sakit) dikarenakan pembengkakan jaringan mengakibatkan
peningkatan tekanan lokal dan juga karena ada pengeluaran zat histamin dan
zat kimia bioaktif lainnya.
d. Tumor (pembengkakan) pengeluaran ciran-cairan ke jaringan interstisial.
e. Fungsio laesa (perubahan fungsi) adalah reaksi peradangan yang telah
dikenal, tetapi tidak diketahui secara mendalam dengan cara apa fungsi
jaringan yang meradang itu terganggu (Taufik, 2008).
2.6.2 Mekanisme Inflamasi Akut
Inflamasi dicetuskan oleh pelepasan mediator kimiawi dari jaringan yang
rusak dan migrasi sel. Mediator kimiawi spesifik bervariasi dengan tipe proses
peradangan dan metabolit amin, seperti histamin, prostaglandin, interleukin-1.
Prostaglandin dan senyawa yang berkaitan diproduksi dalam jumlah kecil oleh
semua jaringan. Asam arakhidonat suatu asam lemak 20-karbon yang merupakan
prekusor utama prostaglandin dan senyawa yang berkaitan. Asam arakhidonat
terdapat dalam komponen fosfolipid membran sel (Mycek , Harvey, dan Champe,
2001).
13
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Adapun mekanisme akut inflamasi sebagai berikut :
Gambar 2.2. Mekanisme Inflamasi Akut
(Sumber: Katzung, 2002)
Adapun jalur asam arakhidonat sebagai berikut :
Gambar 2.3. Jalur asam arakhidonat (Sumber: Tjay dan Rahardja, 2008)
14
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.6.3 Obat-obat Antiinflamasi
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat antiinflamasi terbagi ke
dalam golongan :
a. Antiinflamasi Steroid
Obat golongan ini bekerja dengan cara menghambat fosfolipase, suatu enzim
yang bertanggung jawab terhadap pelepasan asam arakidonat dari membran
lipid. Termasuk golongan obat ini adalah : prednison, hidrokortison,
deksametason, dan betametason (Katzung, 2006).
b. Antiinflamasi Non Steroid (AINS)
Obat AINS bekerja menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi
asam arakidonat menjadi prostaglandin menjadi terganggu. Termasuk
golongan obat ini adalah : aspirin, ibuprofen, indometasin, diklofenak,
fenilbutazon dan pirosikam (Katzung, 2006).
Satu diantara obat golongan AINS yang sering digunakan untuk mengatasi
inflamasi dan nyeri adalah natrium diklofenak. AINS derivat fenil asetat ini,
memiliki aktivitas analgesik dan antipiretik serta memiliki potensi efek
antiinflamasi kuat dengan efek samping iritasi terhadap saluran cerna yang
lebih rendah jika dibandingkan dengan indometasin, naproxen dan piroxicam.
Obat natrium diklofenak ini sering digunakan untuk mengatasi radang pada
penyakit karena arthritis (Health Professions Division, 1996).
2.7 Bovine Serum Albumin (BSA)
Albumin memiliki berat molekul relatif rendah, yang larut dalam air,
mudah mengkristal, dan mengandung asam amino. BSA adalah rantai polipetida
tunggal yang terdiri dari sekitar 583 residu asam amino dan mengandung 17
jembatan rantai disulfida dan 1 kelompok sulfihidril. . Serbuk BSA disimpan pada
suhu 2-80C. Stabilitas larutan BSA sangat baik. Bahkan, Albumin sering
digunakan sebagai stabilisator untuk protein terlarut lainnya (misalnya, enzim
labil ). Namun, albumin mudah digumpalkan oleh pemanasan. Ketika dipanaskan
sampai 500C atau di atas, albumin cukup pesat membentuk agregat hidrofobik
yang tidak kembali ke monomer pada saat pendinginan. Pada suhu yang lebih
15
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
rendah agregasi juga diharapkan terjadi, tetapi pada tingkat yang relatif lebih
lambat (www.sigma-aldrich.com )
Bovine Serum Albumin (BSA) digunakan untuk stabilisasi enzim selama
penyimpanan dan untuk reaksi enzimatik (Thermo Fisher Scientific, 2012).
2.8 Penapisan Fitokimia
Penapisan fitokimia merupakan suatu tahap pemeriksaan awal untuk
mendeteksi keberadaan golongan senyawa kimia yang terdapat yang terdapat pada
suatu bahan baik yang berasal dari tumbuhan, hewan ataupun mikroorganisme.
Penapisan fitokimia dimulai dengan pengumpulan sampel sebanyak
mungkin. Oleh karena kegiatan ini memakan waktu cukup lama maka penapisan
fitokimia memegang peranan terbesar dari kegiatan kimia bahan alam. Sekalipun
kegiatan ini bertitik tolak pada daya tarik kimiawi, hal ini tidaklah mengurangi
manfaat hasil penelitian. Spesies-spesies yang telah dianalisis secara fitokimia
akan diinventarisasi untuk ditelaah lebih lanjut mengenai struktur kimia senyawa-
senyawa aktifnya (Farnswort, 1996). Senyawa metabolit sekunder yang biasanya
dilakukan penapisan fitokimia pada tumbuhan biasanya antara lain alkaloid,
flavonoid, kumarin, saponin, tannin, terpenoid dan steroid.
2.9 Spektrofotometer UV-Visible
Spektrum serapan kandungan tumbuhan dapat diukur dalam larutan yang
sangat encer dengan pembanding blanko pelarut serta menggunakan
spektrofotometer yang merekam otomatis. Senyawa tanpa warna diukur pada
jangka 200-400 nm, senyawa warna pada jangka 200-700 nm. Prinsip kerja
Spektrofotometer UV-Visible ialah interaksi sinar ultraviolet atau tampak dengan
molekul sampel. Energi cahaya akan mengeksitasi elektron terluar molekul ke
orbital lebih tingggi (Harbone, 1987).
Spektra UV-Visible dapat digunakan untuk informasi kualitatif dan
sekaligus dapat digunakan untuk analisis kuantitatif .
1. Aspek Kualitatif (Sudjadi, 2007)
Data spektra UV-visible secara tersendiri tidak dapat digunakan untuk
identifikasi kualitatif obat atau metabolitnya. Akan tetapi jika digabung dengan
16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
cara lain seperti spektroskopi infra merah, resonansi magnet inti, dan spektroskopi
massa, maka dapat digunakan untuk maksud identifikasi atau analisis kualitatif
suatu senyawa tersebut. Data yang diperoleh dari spektroskopi UV dan Visible
adalah panjang gelombang maksimal, intensitas, efek pH, dan pelarut; yang
kesemuanya itu dapat diperbandingkan dengan data yang sudah dipublikasikan.
2. Aspek Kuantitatif (Sudjadi, 2007)
Dalam aspek kuantitatif, suatu berkas radiasi dikenakan pada cuplikan
(larutan sampel) dan intensitas sinar radiasi yang diteruskan diukur besarnya.
Radiasi yang diserap oleh cuplikan ditentukan dengan membandingkan intensitas
sinar yang diteruskan dengan intensitas sinar yang diserap jika tidak ada spesies
penyerap lain-lain.
17
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari - Juni 2014 dan bertempat
di Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia serta Laboratorium Penelitian I
Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: blender, timbangan
analitik (AND), pH meter (HORIBA), vortex, termometer, waterbath (EYELA),
alumunium foil, kertas saring, kapas, labu ukur 1000 ml, 100 ml, 10 ml dan 5 ml
(IWAKI PYREX), beker gelas (Schott Duran), gelas ukur 100 ml (YZ), corong
(Schott Duran), erlenmeyer 1000 ml (Schott Duran), pipet tetes, tabung reaksi
(IWAKI PYREX), rak tabung reaksi, batang pengaduk, kaca arloji, spatula, plat
tetes, seperangkat alat vacuum rotary evaporator (EYELA), melting point,
mikropipet, botol kaca gelap.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah spektrofotometer
UV-Visible (HITACHI).
3.2.2 Bahan
Sampel tumbuhan yang digunakan adalah daun tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata yang diperoleh di wilayah kampus Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang selanjutnya dideterminasi
di Herbarium Bogoriense (LIPI), Cibinong, Bogor.
Media uji yang digunakan adalah Bovine Serum Albumin (BSA) yang
diperoleh dari Sigma-Aldrich (PT. ELO KARSA UTAMA Jakarta).
Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : n-heksana,
etil asetat, metanol, aquades, NaCl, Tris base dan Tris buffer saline. Reagen kimia
antara lain : dragendrof, mayer, asam sulfat, natrium hidroksida, asam asetat
glasial, klorofom, ferri klorida, asam klorida, asam asetat anhidrat.
17
18
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Standar obat kimia yang digunakan sebagai kontrol positif adalah Natrium
Diklofenak (Dipharma).
3.3 Rancangan Penelitian
Penelitian ini bersifat eksperimental untuk menguji aktivitas antiinflamasi
dari ekstrak tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata terhadap kemampuan
penghambatan denaturasi protein secara in vitro. Terdapat tiga perlakuan
kelompok uji aktivitas antiinflamasi yaitu kelompok kontrol negatif, kontrol
positif (Natrium Diklofenak) dan larutan uji (ekstrak n-heksana, etil asetat dan
metanol dari tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata). Kelompok perlakuan uji
aktivitas antiinflamasi ini akan diperjelaskan dalam tabel 3.1:
Tabel 3.1 Rancangan Penelitian
No. Kelompok Perlakuan Parameter
1. Kontrol negatif 50 µL pelarut (metanol/etil
asetat/n-heksana) dan larutan 0,2%
BSA hingga volume campuran
larutan 5 mL.
Denaturasi
protein
2. Kontrol positif
(Natrium diklofenak)
50 µL dari masing-masing seri
konsentrasi Natrium diklofenak
dalam metanol dan larutan 0,2%
BSA hingga volume campuran
larutan 5 mL.
Denaturasi
protein
3. Larutan uji (Ekstrak
n-heksana, etil asetat
dan metanol
tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata)
50 µL dari masing-masing seri
konsentrasi ekstrak dalam pelarut
ekstrak (metanol/etil asetat/n-
heksana) dan larutan 0,2% BSA
hingga volume campuran larutan
5 mL.
Denaturasi
protein
Semua perlakuan diatas di inkubasi pada suhu 250C selama 30 menit
kemudian dipanaskan selama 5 menit pada suhu 720C dalam waterbath.
Didiamkan selama 25 menit pada suhu 230C kemudian larutan di vortex dan
diukur absorbansi dengan spektrofotometer UV-Visible pada panjang
gelombang 660 nanometer.
19
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.4 Prosedur Kerja
3.4.1 Determinasi Tumbuhan
Untuk memastikan kebenaran simplisia yang digunakan dalam penelitian
ini, maka dilakukan determinasi di Pusat Penelitian Herbarium Bogoriense, LIPI,
Cibinong, Bogor.
3.4.2 Penyiapan Simplisia
Bahan yang digunakan sebagai simplisia dalam penelitian ini adalah
semua daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata yang diperoleh dari halaman
kampus Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Sampel daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata sebanyak 1,1 kg
disortasi basah dan dilakukan pencucian dengan meggunakan air mengalir hingga
bersih. Selanjutnya sampel dikering anginkan. Sampel yang telah kering, disortasi
kering kemudian dihaluskan dengan menggunakan blender. Serbuk simplisia
disimpan dalam wadah tertutup rapat dan terhindar dari cahaya matahari.
3.4.3 Pembuatan Ekstrak
Prosedur ekstraksi menggunakan metode ekstraksi cara dingin yaitu
dengan teknik maserasi. Pelarut yang digunakan antara lain metanol, etil asetat,
dan n-heksana. Serbuk simplisia 161,0584 gram dimasukkan ke dalam wadah
gelap sehingga terhindar dari cahaya matahari. Selanjutnya melakukan maserasi
bertingkat dengan terlebih dahulu maserasi dengan pelarut non polar, semi polar,
hingga pelarut polar (n-heksana, etil asetat, dan metanol) ke dalam wadah yang
berisi serbuk simplisia hingga serbuk terendam ±3 cm di atas permukaan simplisia
yang diukur dengan penggaris.
Maserasi dengan pelarut n-heksana membutuhkan waktu mencapai 15
hari, pelarut etil asetat hingga 13 hari dan pelarut metanol hingga 15 hari dengan
beberapa kali pengadukan dan pengulangan. Setelah maserasi selesai dan didapat
hasil maserasi yang kemudian disaring dengan kertas saring untuk memisahkan
filtrat dengan ampas. Filtrat yang diperoleh diuapkan dengan vacuum rotary
evaporator sehingga diperoleh ekstrak kental.
20
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.4.4 Penapisan Fitokimia
a. Uji Alkaloid (Tiwari et al., 2011)
Ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol dari tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata dilarutkan dalam larutan HCl encer kemudian disaring dan
filtrat yang dihasilkan dilakukan pengujian dengan tes Mayer dan tes Dragendrof.
Tes Mayer : filtrat dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian
ditambahkan reagen Mayer (Potassium Mercuri Iodide). Terbentuk
endapan kuning mengindikasikan adanya senyawa alkaloid.
Tes Dragendrof : filtrat dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian
ditambahkan reagen Dragendrof (larutan Potassium Bismuth Iodide)
terbentuknya endapan berwarna merah mengindisikan adanya senyawa
alkaloid.
b. Uji Flavonoid (Tiwari et al., 2011)
Ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol dari tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata diletakkan di dalam plat tetes lalu beberapa tetes NaOH.
Terbentuknya kuning intens yang jika ditambahkan dengan larutan asam, warna
kuning akan memudar, hal ini menunjukkan adanya senyawa flavonoid.
c. Uji Fenol (Tiwari et al., 2011)
Ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol dari tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata dilakukan pengujian dengan tes Ferric Chloride. Ekstrak
ditambahkan 3 - 4 tetes larutan FeCl3 akan terbentuknya warna hitam kebiruan
yang mengindikasikan senyawa fenol.
d. Uji Steroid dan Terpenoid
Tes Salkowski : Ekstrak Pyrrosia lanceolata dilarutkan dalam kloroform
dan disaring. Kemudian filtrat ditambahkan beberapa tetes asam sulfat dan
dikocok. Terbentuknya warna merah kecoklatan yang mengindikasikan
senyawa terpenoid (Ayoola et al., 2008).
Tes Lieberman Buchardat : Ekstrak Pyrrosia lanceolata dilarutkan dalam
kloroform dan disaring, filtrat ditambahkan asam asetat anhidrat,
kemudian dipanaskan dan didinginkan. Selanjutnya larutan ditambahkan
beberapa tetes asam sulfat. Terbentuknya cincin coklat yang
mengindisikan adanya senyawa steroid (Tiwari et al., 2011).
21
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e. Uji tanin (Ayoola et al., 2008)
Ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol dari tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata sebanyak 0,5 gram di didihkan dalam 10 ml air di dalam
tabung reaksi dan kemudian disaring. Tambahkan beberapa tetes FeCl3 0,1% lalu
diamati. Jika terjadi perubahan warna hijau kecoklatan atau biru kehitaman
menunjukkan adanya senyawa tanin.
f. Uji Saponin (Tiwari et al., 2011)
Ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol dari tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata dilakukan pengujian dengan tes Foam dengan melarutkan
ekstrak ke dalam 2 ml aquades di dalam tabung reaksi, kemudian larutan dikocok.
Terbentuknya foam tidak kurang dari 10 menit menunjukkan adanya senyawa
saponin.
3.4.5 Uji In Vitro Aktivitas Antiinflamasi (Williams et al., 2008)
Pengujian aktivitas antiinflamasi ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol
dari tanaman paku Pyrrosia lanceolata (L.) Farw secara in vitro meliputi tahapan-
tahapan yang diawali dengan pembuatan larutan TBS (Tris Buffer Salline)
sebanyak 1000 mL pH 6,2 – 6,5, pembuatan larutan 0,2% BSA (Bovine Serum
Albumin) sebanyak 100 mL, pembuatan larutan kontrol negatif sebanyak 5 mL,
pembuatan larutan konsentrasi uji (ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol),
pembuatan larutan konsentrasi kontrol positif, pengukuran aktivitas antiinflamasi,
perhitungan persentase penghambatan denaturasi protein dan perhitungan
presentase nilai IC50. Tahapan-tahapan ini dijelaskan sebagai berikut :
1. Pembuatan Larutan TBS (Tris Buffer Saline)
Sebanyak 1,21 gram tris base dan 8,7 gram NaCl lalu tambahkan aquades
sampai 900 mL. Adjust pH dengan asam asetat glasial sampai pH 6,2-6,5
(pH patologis) kemudian tambahkan aquadest sampai 1000 mL dalam labu
ukur 1000 mL (Mohan, 2003).
22
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Pembuatan 0,2% BSA (Bovine Serum Albumin)
Sebanyak 0,2 gram BSA (Bovine Serum Albumin) dimasukkan ke dalam
labu ukur 100 mL. Kemudian ditambahkan dengan larutan TBS (Tris
Buffer Saline) hingga volume 100 mL (William et al., 2008).
3. Pembuatan Larutan Kontrol Negatif
Sebanyak 50 µL pelarut metanol/etil asetat/n-heksana lalu ditambahkan
larutan 0,2% BSA ke labu ukur hingga volume mencapai 5 mL.
4. Pembuatan Larutan Uji (Ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol)
Sebanyak 500 mg ekstrak tumbuhan Pyrrosia lanceolata (L.) Farw.
dilarutkan dalam pelarut ekstrak (metanol/etil asetat/n-heksana) di dalam
labu ukur 25 mL, kemudian dicukupkan dengan pelarut sampai volume 25
mL, sehingga didapatkan konsentrasi 20.000 ppm sebagai larutan induk.
Larutan dengan konsentrasi 20.000 ppm dibuat seri konsentrasi, sehingga
menjadi larutan uji dengan konsentrasi 10000 ppm, 1000 ppm dan 100
ppm untuk setiap ekstrak.
5. Pembuatan Larutan Kontrol Positif
Sebanyak 100 mg Natrium Diklofenak kemudian dilarutkan dengan
metanol ke dalam labu ukur 25 mL dan dicukupkan dengan metanol
sampai 25 mL, sehingga didapatkan larutan dengan konsentrasi 4000 ppm
yang dijadikan sebagai larutan induk. Dari larutan induk 4000 ppm ini,
selanjutnya dibuat seri konsentrasi larutan kontrol positif menjadi 4.000
ppm, 2.000 ppm, 1.000 ppm, 500 ppm, 250 ppm dan 130 ppm.
6. Pengukuran Aktivitas Antiinflamasi
Diambil sebanyak 50 µL dari setiap konsentrasi larutan (larutan uji dan
larutan kontrol positif), kemudian ditambahkan larutan 0,2% BSA hingga
volume mencapai 5 mL. Dari campuran tersebut akan menghasilkan
konsentrasi 1 ppm, 10 ppm dan 100 ppm untuk setiap konsentrasi ekstrak
dan 1,3 ppm, 2,5 ppm, 5 ppm, 10 ppm, 20 ppm dan 40 ppm larutan
23
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
konsentrasi natrium diklofenak. Kemudian diinkubasi pada suhu 250C
selama 30 menit kemudian dipanaskan selama 5 menit pada suhu 720C,
lalu didiamkan selama 25 menit pada suhu 230C. Setelah dingin, larutan
divortex dan dilakukan pengukuran absorbansi dengan spektrofotometri
Uv-Visible pada panjang gelombang 660 nanometer. Uji aktivitas
antiinflamasi dilakukan sebanyak tiga kali (triplo).
7. Perhitungan Persentase Penghambatan Denaturasi Protein
Presentase penghambatan denaturasi protein diukur dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:
% inhibisi =
x 100%
Senyawa yang menghambat denaturasi protein lebih besar dari 20%
dianggap memiliki sifat antiinflamasi dan dapat digunakan sebagai nilai
acuan untuk pengembangan obat (Williams et al., 2008).
8. Perhitungan Presentase Nilai IC50
Nilai IC50 dihitung dengan membuat persamaan regresi linear antara
konsentrasi (X) dengan % inhibisi (Y). Sehingga didapatkan nilai IC50 dari
ekstrak Pyrrosia lanceolata (L.) Farw. dan Natrium Diklofenak.
9. Analisa Data Statistik
Data yang diperoleh dianalisis dengan uji Shapiro-Wilk untuk melihat
distribusi data dan analisis dengan uji Levene untuk melihat homogenitas
data. Jika data normal dan homogenitas maka dilanjutkan dengan uji
Analisa Varians (ANOVA) satu arah dengan taraf kepercyaan sehingga
dapat diketahui apakah perbedaan yang diperoleh bermakna atau tidak.
Jika data normal dan tidak homogenitas dilanjutkan dengan uji Kruskal
Wallis (Santoso, 2007).
24
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Ekstrak
Daun tumbuhan paku yang diperoleh dari wilayah kampus Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, dilakukan determinasi di Pusat Penelitian Bogoriense (LIPI), Cibinong,
Bogor, yang bertujuan untuk mengetahui keaslian tumbuhan yang akan digunakan
dalam penelitian ini. Hasilnya adalah tumbuhan yang diperoleh merupakan
tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata (L.) Farw (Lampiran 6). Sebanyak 1,1 gram
daun Pyrrosia lanceolata dikering anginkan selama ±30 hari, diperoleh serbuk
simplisia sebanyak 161,058 gram dilakukan ekstraksi dengan metode maserasi
bertingkat. Organoleptik dari ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol dapat
dilihat pada tabel 4.1. Ekstrak kental dari tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata
dapat dilihat dari tabel 4.2 yang :
Tabel 4.1 Organoleptik ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol daun
tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata
Organoleptik
ekstrak
Ekstrak
n-heksana
Ekstrak
Etil asetat
Ekstrak
Metanol
Warna Kuning kehijauan Hijau kehitaman Hijau kehitaman
Bentuk Kental pasta Kental pasta Kental
Bau/aroma Khas Khas Khas
Tabel 4.2. Jumlah ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol daun
tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata
Total Simplisia
(gram)
Ekstrak Jumlah Ekstrak
(gram)
Rendemen
(%)
161,058
n-heksana 3,034 1,884
Etil Asetat 3,889 2,415
Metanol 16,336 10,143
24
25
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.1.2 Penapisan Fitokimia
Dari tiga ekstrak yang diperoleh yaitu ekstrak n-heksana, etil asetat dan
metanol dari daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata dilakukan penapisan
fitokimia, senyawa yang terdapat dalam ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol
daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata dapat dilihat pada tabel 4.3 :
Tabel 4.3 Hasil penapisan fitokimia ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol
tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata
Golongan
Senyawa Kimia
Ekstrak
n-heksana
Ekstrak
etil asetat
Ekstrak
metanol
Alkaloid - - -
Flavonoid - + +
Steroid - - -
Terpenoid + - -
Tanin - + +
Fenol - - -
Saponin - - -
Berdasarkan tabel 4.3 bahwa ekstrak n-heksana memiliki senyawa
terpenoid. Sedangkan ekstrak etil asetat dan metanol memiliki senyawa tanin dan
flavonoid.
4.1.3 Uji Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Daun Tumbuhan Paku
Pyrrosia lanceolata terhadap Penghambatan Denaturasi Protein
secara In Vitro
Ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol daun tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata dilakukan uji aktivitas antiinflamasi terhadap penghambatan
denaturasi protein. Natrium diklofenak digunakan sebagai kontrol positif yang
memiliki aktivitas antiinflamasi. Aktivitas antiinflamasi dari natrium diklofenak
beserta ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol daun tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata sebagai berikut :
26
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.1.3.1 Hasil aktivitas antiinflamasi dari natrium diklofenak terhadap
penghambatan denaturasi protein secara in vitro
Natrium diklofenak dengan variasi konsentrasi 40 ppm, 20 ppm, 10 ppm, 5
ppm, 2,5 ppm dan 1,3 ppm kemudian dilakukan uji aktivitas antiinflamasi
terhadap penghambatan denaturasi protein. Hasil aktivitas antiinflamasi dari
natrium diklofenak dapat dilihat pada tabel 4.4 :
Tabel 4.4 Aktivitas antiinflamasi natrium diklofenak
Konsentrasi (ppm) Absorbansi±SD % inhibisi
Kontrol Negatif 1,626±0,036 0,000
1,3 1,519±0,097 6,554
2,5 1,482±0,083 8,823
5 1,085±0,018 33,242
10 0,727±0,040 55,290
20 0,572±0,050 64,790
40 0,255±0,037 84,315
Gambar 4.1 Aktivitas antiinflamasi natrium diklofenak
Aktivitas antiinflamasi natrium diklofenak pada konsentrasi 5 ppm, 10
ppm, 20 ppm dan 40 ppm nilai persentase inhibisi denaturasi protein lebih besar
dari 20%. Persentase inhibisi tertinggi natrium diklofenak pada konsentrasi 40
ppm sebesar 84,315%.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
1,3 2,5 5 10 20 40
% I
nh
ibis
i
Konsentrasi (ppm)
Aktivitas Antiinflamasi Natrium Diklofenak
natrium
diklofenak
27
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.1.3.2 Hasil aktivitas antiinflamasi ekstrak n-heksana daun tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata terhadap penghambatan denaturasi protein secara
in vitro
Ekstrak n-heksana daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata dilakukan uji
aktivitas antiinflamasi dengan konsentrasi ekstrak n-heksana yaitu 1 ppm, 10 ppm
dan 100 ppm. Hasil aktivitas antiinflamasi ekstrak n-heksana dapat dilihat pada
tabel 4.5 :
Tabel 4.5 Aktivitas antiinflamasi ekstrak n-heksana daun tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata
Konsentrasi (ppm) Absorbansi±SD % inhibisi
Kontrol Negatif 0,430±0,021 0,000
1 0,345±0,074 19,767
10 0,346±0,065 19,535
100 0,336±0,033 21,860
Gambar 4.2 Perbandingan aktivitas antiinflamsi ekstrak n-heksana daun tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata dan Natrium diklofenak
Aktivitas antiinflamasi ekstrak n-heksana pada konsentrasi 1 ppm dan 10
ppm persentase inhibisi denaturasi protein kurang dari 20% sedangkan pada
konsentrasi 100 ppm persentase inhibisi denaturasi protein sebesar 21,860%.
19,767 19,535 21,860
55,290
0
10
20
30
40
50
60
1 10 100
% In
hib
isi
Konsentrasi (ppm)
Perbandingan Aktivitas Antiinflamsi Ekstrak n-heksana Daun
Tumbuhan Paku Pyrrosia lanceolata dan Natrium diklofenak
n-heksana
natrium
diklofenak
28
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.1.3.3 Hasil aktivitas antiinflamasi ekstrak etil asetat daun tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata terhadap penghambatan denaturasi protein secara
in vitro
Ekstrak etil asetat daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata dilakukan uji
aktivitas antiinflamasi dengan konsentrasi ekstrak etil asetat yaitu 1 ppm, 10 ppm
dan 100 ppm. Hasil aktivitas antiinflamasi ekstrak etil asetat terdapat pada
tabel 4.6 :
Tabel 4.6 Aktivitas antiinflamasi ekstrak etil asetat daun tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata
Konsentrasi (ppm) Absorbansi±SD % inhibisi
Kontrol Negatif 0,855±0,020 0,000
1 0,661±0,062 22,690
10 0,590±0,027 30,994
100 0,992±0,053 -16,023
Gambar 4.3 Perbandingan aktivitas antiinflamasi ekstrak etil asetat daun tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata dan natrium diklofenak
Aktivitas antiinflamasi ekstrak etil asetat pada konsentrasi 1 ppm dan 10
ppm persentase inhibisi denaturasi protein lebih besar dari 20% yaitu 22,69%
(konsentrasi 1 ppm) dan 30,99% (konsentrasi 10 ppm) sedangkan pada
konsentrasi 100 ppm (-16,02%).
22,690
30,994
-16,023
55,290
-20
-10
0
10
20
30
40
50
60
1 10 100
% in
hib
isi
konsentrasi (ppm)
Perbandingan aktivitas antiinflamasi ekstrak etil asetat daun
tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata dan natrium diklofenak
etil asetat
natrium diklofenak
29
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.1.3.4 Hasil aktivitas antiinflamasi ekstrak metanol daun tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata terhadap penghambatan denaturasi protein secara
in vitro
Ekstrak metanol daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata dilakukan uji
aktivitas antiinflamasi dengan konsentrasi ekstrak metanol yaitu 1 ppm, 10 ppm
dan 100 ppm. Hasil aktivitas antiinflamasi ekstrak metanol terdapat pada tabel 4.7:
Tabel 4.7 Aktivitas antiinflamasi ekstrak metanol daun tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata
Konsentrasi (ppm) Absorbansi±SD % inhibisi
Kontrol Negatif 0,538±0,001 0,000
1 0,486±0,001 9,665
10 0,254±0,003 52,788
100 0,650±0,007 -20,818
Gambar 4.4 Perbandingan Aktivitas antiinflamasi ekstrak metanol daun tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata dan Natrium Diklofenak
Aktivitas antiinflamasi ekstrak metanol pada konsentrasi 1 ppm kurang
dari 20% yaitu sebesar 9,665%. Pada konsentrasi 10 ppm persentase inhibisi
denaturasi protein lebih besar dari 20% yaitu 52,788% dan pada konsentrasi 100
ppm (-21,818%).
Hasil aktivitas antiinflamasi dari ketiga ekstrak daun tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata yaitu ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol yang
digambarkan pada tabel 4.8 :
9,665
52,788
-20,818
55,290
-40
-20
0
20
40
60
1 10 100
% in
hib
isi
konsentrasi (ppm)
Perbandingan aktivitas antiinflamasi ekstrak metanol daun
tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata dan Natrium diklofenak
metanol
natrium diklofenak
30
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.8 Perbandingan aktivitas antiinflamasi ekstrak n-heksana, etil asetat dan
metanol daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata
Larutan uji % Inhibisi
Konsentrasi
1 ppm
% Inhibisi
Konsentrasi
10 ppm
% Inhibisi
Konsentrasi
100 ppm
Ekstrak n-heksana 19,767 19,535 21,860
Ekstrak Etil asetat 22,690 30,994 -16,023
Ekstrak Metanol 9,665 52,788 -20,818 Natrium Diklofenak - 55,290 -
Gambar 4.5 Perbandingan Aktivitas antiinflamasi ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol daun
tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata
Ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol daun tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata memiliki aktivitas antiinflamasi. Aktivitas antiinflamasi
tertinggi terdapat pada ekstrak metanol, sehingga pada ekstrak metanol dilakukan
perluasan konsentrasi uji yang terdapat pada tabel 4.9:
Tabel 4.9 Aktivitas antiinflamasi ekstrak metanol daun tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata dengan perluasan konsentrasi uji
Konsentrasi (ppm) Absorbansi±SD % inhibisi
Kontrol Negatif 0,651±0,003 0,000
5 0,442±0,054 32,104
20 0,233±0,031 64,209
40 0,752±0,096 -15,514
19,767 19,535 21,860
22,690 30,994
-16,023
9,665
52,788
-20,818
55,290
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
50
60
1 10 100
% I
nh
ibis
i
Konsentrasi (ppm)
Perbandingan Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Daun
Tumbuhan Paku Pyrrosia lanceolata
n-heksana
etil asetat
metanol
natrium
diklofenak
31
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar. 4.6 Perbandingan Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Metanol Daun Tumbuhan Paku
Pyrrosia lanceolata dan Natrium diklofenak
Persentase inhibisi denaturasi protein dari uji kedua ekstrak metanol pada
konsentrasi 5 ppm sebesar 32,104 %, konsentrasi 20 ppm sebesar 64,209% dan
konsentrasi 40 ppm memicu denaturasi (-15,514%). Persentase inhibisi denaturasi
protein ekstrak metanol tertinggi pada konsentrasi 20 ppm (64,209%).
4.1.4 Hasil Perhitungan IC50
Persamaan regresi linear antara konsentrasi (X) dan % inhibisi (Y)
sehinggan didapat nilai IC50 natrium diklofenak dan ekstrak metanol.
Gambar 4.7 Grafik regresi linear aktivitas antiinflamasi natrium diklofenak
Berdasarkan perhitungan probit pada konsentrasi 10 ppm aktivitas
antiinflamasi natrium diklofenak (55,206%) telah melebihi 50% aktivitas
antiinflamasi, sehingga dihitung nilai IC50. Natrium diklofenak memiliki nilai
IC50 sebesar 8,966 µg/ml (lampiran 15).
9,665
32,104
52,788
64,209
-15,514 -20,818
55,290
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
50
60
70
1 5 10 20 40 100
% i
nh
ibis
i
Konsentrasi (ppm)
Perbandingan Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Metanol Daun
Tumbuhan Paku Pyrrosia lanceolata & Natrium diklofenak
ekstrak
metanol
natrium
diklofenak
y = 1,9928x + 3,1016 R² = 0,9493
0
2
4
6
0 0,5 1 1,5
%in
hib
isi
log konsentrasi
Na.diklofenak
Na.diklofenak
Linear (Na.diklofenak)
32
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 4.8 Grafik regresi linear aktivitas antiinflamasi ekstrak metanol
Pada konsentrasi 10 ppm aktivitas antiinflamasi metanol (52,786%) telah
melebihi 50% aktivitas antiinflamasi, sehingga dihitung nilai IC50 didapat nilai
IC50 ekstrak metanol sebesar 10,144 µg/ml (lampiran 15).
4.1.5 Hasil Analisa Data Statistik
Persentase inhibisi denaturasi protein konsentrasi 10 ppm ekstrak n-
heksana, etil asetat dan metanol daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata
dibandingkan dengan konsentrasi 10 ppm natrium diklofenak dilakukan analisa
data statistik menggunakan SPSS 16 Kruskal-Wallis test dengan P (signifikansi)
ditetapkan jika ≤ 0,05 menunjukkan perbedaan bermakna dari masing-masing
kelompok. Ekstrak n-heksana dan etil asetat pada konsentrasi 10 ppm berbeda
bermakna terhadap kontrol positif (natrium diklofenak) artinya aktivitas
antiinflamasi kedua ekstrak ini lebih rendah dari kontrol positif. Sebaliknya
ekstrak metanol tidak berbeda bermakna dengan kontrol positif sehingga aktivitas
antiinflamasi ekstrak metanol menyerupai kontrol positif.
y = 1,3937x + 3,5976 R² = 0,9774
4,4
4,6
4,8
5
5,2
5,4
5,6
0 0,5 1 1,5
% in
hib
isi
log konsentrasi
ekstrak metanol
metanol
Linear (metanol)
33
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.1 Pembahasan
Tumbuhan paku yang diperoleh dari wilayah kampus Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
dilakukan determinasi tanaman untuk memastikan keaslian dari tumbuhan paku
ini, hasil determinasi menyatakan bahwa benar tumbuhan paku ini adalah
Pyrrosia lanceolata (L.) Farw.
Daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata yang diperoleh sebanyak 1,1 kg
disortasi untuk memisahkan antara tumbuhan dengan kotoran yang terdapat pada
tumbuhan tersebut. Proses pengeringan dilakukan dengan cara diangin-anginkan
yang bertujuan untuk meminimalisir pemanasan yang dapat merusak senyawa-
senyawa yang terdapat dalam tumbuhan tersebut.
Penghalusan dilakukan untuk memperkecil ukuran partikel tumbuhan,
yang bertujuan untuk memaksimalkan dalam proses ekstraksi, karena semakin
kecil atau halus serbuk simplisia maka proses ekstraksi makin
efektif (Depkes RI, 2000). Dari 1,1 kg daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata
diperoleh 161,0584 gram simplisia kering yang selanjutnya simplisia disimpan
dalam wadah tertutup rapat untuk menghindari cemaran oleh mikroba dan
mikroorganisme lainnya.
Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan ekstraksi cara dingin, yaitu
dengan metode maserasi. Metode ekstraksi dengan cara dingin dipilih untuk
meminimalisir terjadinya pemanasan yang dapat menyebabkan kerusakan
terhadap senyawa yang tidak tahan panas. Pada teknik maserasi ini menggunakan
teknik maserasi bertingkat dengan pelarut yang memiliki tingkat kepolaran yang
berbeda yaitu n-heksana yang merupakan pelarut non polar, etil asetat yang
merupakan pelarut semi polar dan metanol yang merupakan pelarut polar.
Alasannya menggunakan teknik maserasi bertingkat ialah untuk memaksimalkan
proses ekstraksi. Dari proses maserasi, diperoleh 3 ekstrak kental, yaitu ekstrak
dari pelarut n-heksana yang memiliki bobot 3,034 gram, ekstrak etil asetat yang
memiliki bobot 3,889 gram dan ekstrak metanol yang memiliki bobot
16,336 gram.
Penapisan fitokimia dilakukan untuk mengidentifikasi komponen apa saja
yang terkandung dalam tumbuhan. Dari hasil uji penapisan fitokimia, senyawa
34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang terdapat dalam ekstrak n-heksana adalah senyawa terpenoid sedangkan
senyawa yang terdapat dalam ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol daun
tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata adalah senyawa tanin dan flavonoid.
Kontrol negatif terdiri dari larutan 0,2% BSA dan pelarut n-heksana/etil
asetat/metanol dan kontrol positif terdiri dari natrium diklofenak dengan
konsentrasi 1,3 ppm, 2,5 ppm, 5 ppm, 10 ppm, 20 ppm dan 40 ppm. Larutan uji
terdiri dari ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol dari daun tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata dengan konsentrasi 1 ppm, 10 ppm dan 100 ppm. Kemudian
masing-masing kontrol negatif, kontrol positif dan larutan ekstrak tersebut
dilakukan uji aktivitas antiinflamasi terhadap penghambatan denaturasi protein.
Larutan kontrol negatif, larutan uji (ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol
daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata) dan kontrol positif (natrium
diklofenak) diinkubasi selama 30 menit pada suhu 250C kemudian dipanaskan
pada suhu 720C selama 5 menit didalam waterbath kemudian didiamkan dalam
suhu 230C selama 25 menit. Sebelumnya telah dilakukan optimasi terhadap lama
waktu perlakuan dan suhu yang digunakan. Menurut Williams et al., (2008)
bahwa senyawa atau ekstrak yang beraktivitas sebagai antiinflamasi dengan
metode penghambatan denaturasi protein jika persentase inhibisi denaturasi
protein lebih besar dari 20 persen.
Didapatkan bahwa hasil aktivitas antiinflamasi dari setiap konsentrasi
ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol berbeda. Semua ekstrak daun tumbuhan
paku Pyrrosia lanceolata memiliki nilai persentase inhibisi denaturasi protein
lebih besar dari 20 persen. Ekstrak n-heksana mempunyai aktivitas antiinflamasi
pada konsentrasi 100 ppm (21,860 %) sedangkan pada konsentrasi 1 ppm dan 10
ppm nilai persentase inhibisi denaturasi protein < 20 % (1 ppm = 19,767% dan 10
ppm = 19,535%). Ekstrak etil asetat mempunyai aktivitas antiinflamasi pada
konsentrasi 1 ppm (22,690 %), konsentrasi 10 ppm (30,994 %) sedangkan
konsentrasi 100 ppm memicu denaturasi protein (-16,023%). Nilai persentase
inhibisi ekstrak metanol pada konsentrasi 1 ppm (9,665 %), 10 ppm (52,788 %)
dan konsentrasi 100 ppm memicu denaturasi protein (-20,818 %). Pada ekstrak
metanol aktivitas antiinflamasi tertinggi pada konsentrasi 10 ppm (52,788 %)
sehingga dilakukan pengujian ekstrak metanol dengan memperluas rentang
35
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
konsentrasi untuk mengetahui pada konsentrasi berapa ekstrak metanol aktivitas
antiinflamasinya menurun. Pada uji aktivitas ekstrak metanol yang kedua
didapatkan hasil persentase inhibisi sebesar 32,104% (konsentrasi 5 ppm),
64,209% (konsentrasi 20 ppm) dan -15,514% (konsentrasi 40 ppm). Nilai
persentase inhibisi denaturasi protein tertinggi ekstrak metanol terdapat pada
konsentrasi 20 ppm (64,209%) yang dapat dilihat pada gambar 4.6. Aktivitas
antiinflamasi ekstrak metanol berada pada rentang konsentrasi 10 ppm – 20 ppm
dan pada konsentrasi 40 ppm persentase inhibisi denaturasi protein ekstrak
metanol menurun.
Aktivitas antiinflamasi penghambatan denaturasi protein natrium
diklofenak pada konsentrasi 1,3 ppm (6,554%), 2,5 ppm (8,823%), 5 ppm
(33,242%), 10 ppm (55,290%), 20 ppm (64,790%) dan 40 ppm (84,315%).
Terlihat pada konsentrasi 10 ppm persentase inhibisinya sudah mencapai nilai
55,290%, yang berarti telah melewati nilai IC50. Ekstrak metanol pada konsentrasi
10 ppm dengan persentase inhibisinya sebesar 52,788%, yang berarti telah
melewati nilai IC50. Perhitungan nilai IC50 dengan memplot konsentrasi dengan
persen inhibisi memberikan nilai IC50 sebesar 8,966 µg/mL untuk natrium
diklofenak dan 10,144 µg/mL untuk ekstrak metanol.
Berdasarkan hasil data analisa statistik ekstrak n-heksana dan etil asetat
pada konsentrasi 10 ppm berbeda bermakna terhadap kontrol positif (natrium
diklofenak) artinya aktivitas antiinflamasi kedua ekstrak ini lebih rendah dari
kontrol positif. Sebaliknya ekstrak metanol tidak berbeda bermakna dengan
kontrol positif sehingga aktivitas antiinflamasi ekstrak metanol menyerupai
kontrol positif.
Ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol daun tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata memiliki aktivitas antiinflamasi dengan nilai persentase
inhibisi denaturasi protein lebih besar dari 20 %. Pada hasil penapisan fitokimia
tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata memiliki senyawa terpenoid, flavonoid dan
tanin. Nijveldt (2001) menyebutkan bahwa flavonoid menghambat jalur
lipooksigenase secara langsung pada inflamasi yang menyebabkan penghambatan
biosintesis eikosanoid dan menginaktifkan radikal bebas yang dapat menarik
berbagai mediator inflamasi. Senyawa tanin telah dilaporkan mempunyai peran
36
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sebagai antiinflamasi (Verma et al., 2011). Protein dalam tubuh rentan untuk
mengalami denaturasi yang disebabkan oleh pembentukan radikal bebas yang
menyebabkan mekanisme peradangan (inflamasi) dengan merangsang pelepasan
mediator inflamasi (Verma et al., 2011). Denaturasi protein adalah sebuah proses
dimana protein kehilangan struktur tersier dan struktur sekunder oleh senyawa
eksternal, seperti asam kuat atau basa kuat, garam anorganik, pelarut organik dan
pemanasan (Verma et al., 2011). Kemungkinan adanya interaksi atau ikatan antara
molekul yang terdapat dalam Bovine Serum Albumin (BSA) terhadap molekul
yang terdapat pada masing-masing ekstrak dari daun tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata sehingga ekstrak dapat menghambat terjadinya denaturasi
protein.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semua ekstrak daun
tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata mempunyai aktivitas antiinflamasi dan
ekstrak metanol mempunyai aktivitas antiinflamasi yang tertinggi terhadap
penghambatan denaturasi protein secara in vitro dengan persentase inhibisi
sebesar 52,788% pada konsentrasi 10 ppm dibandingkan dengan ekstrak
n-heksana dan etil asetat.
37
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui adanya aktivitas antiinflamasi
pada ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol dari daun tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata terhadap penghambatan denaturasi protein secara in vitro.
Dapat disimpulkan bahwa:
a. Ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol daun tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata memiliki aktivitas antiinflamasi terhadap
penghambatan denaturasi protein secara in vitro sebesar 21,860 % (100
ppm ekstrak n-heksana), 30,994 % (10 ppm ekstrak etil aseatat), dan
52,788 % (10 ppm ekstrak metanol).
b. Berdasarkan analisis data statistik, ekstrak n-heksana dan etil asetat pada
konsentrasi 10 ppm berbeda bermakna terhadap kontrol positif (natrium
diklofenak) artinya aktivitas antiinflamasi kedua ekstrak ini lebih rendah
dari kontrol positif. Sebaliknya ekstrak metanol tidak berbeda bermakna
dengan kontrol positif sehingga aktivitas antiinflamasi ekstrak metanol
menyerupai kontrol positif.
c. Ekstrak metanol mempunyai aktivitas antidenaturasi protein tertinggi dari
ekstrak n-heksana dan etil asetat secara in vitro (antiinflamasi).
5.2 Saran
a. Dapat dilakukan uji aktivitas antiinflamasi dari ekstrak daun tumbuhan
paku Pyrrosia lanceolata (L.) Farw. secara in vivo serta mengukur kadar
air dan uji homogenitas ekstrak.
b. Dapat dilakukan uji aktivitas lainnya dari daun tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata (L.) Farw. selain sebagai antioksidan dan
antiinflamasi dari daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata (L.) Farw.
37
38
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Akhil TT dan Prabhu P. (2013). Evaluation of Anti-Oxidant, Anti-Inflammatory
and Cytotoxicity Potential of Hemigraphis colorata. International Journal
of Pharmaceutical Sciences and Research; Vol. 4(9): 3477-3483.
Ali et al., (2012). Phytochemical Screening, Antioxidant and Analgesic Activities
of Croton argyratus Ethanolic Extracts. Journal of Medicinal Plants
Research Vol. 6(21), pp. 3724-3731.
Ayoola et al., (2008). Phytochemical Screening and Antioxidant Activities of
Some Selected Medicinal Plants Used for Malaria Therapy in
Southwestern Nigeria. Tropical Journal of Pharmaceutical Research,
September; 7 (3): 1019-1024.
Benjamin A, Manickam V.S. (2007). Medicinal Pteridophytes from The Western
Ghats. Indian Journal of Traditional Knowledge. Vol. 6(4), pp. 611-618.
BSA (Bovine Serum Albumin). Product Information by Sigma. www.sigma-
aldrich.com . Diakses pada tanggal 29/03/2014, 19.20 WIB.
Chatterjee. P, Chandra. S, Dey. P, Bhattacharya. S. (2012). Evaluation of anti-
inflammatory effects of green tea and black tea: A comparative in vitro
study. J. Adv. Pharm. Tech. Res.
Chippada SC and Vangalapati. (2011). Antioxidant, an anti-inflammatory and
anti-arthritic activity of Centella asiatica extracts. J. Chem. Bio. Phy. Sci.,
Vol.1, No.2, Sec. B, 260– 269.
Chippada SC, Volluri SS, Bammidi SR and Vangalapati M. (2011). In Vitro Anti
Inflammatory Activity of Methanolic Extract of Centella asiatica by HRBC
Membrane Stabilisation. Rasayan J.Chem. Vol.4, No.2, 457-460.
Daintith, J. (1994). Kamus Lengkap Kimia. Jakarta: Erlangga.
Dalimartha, S. (1999). Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 2. Jakarta : Trubus
Agriwidya.
Dewoto. (2007). Pengembangan Obat Tradisonal Indonesia Menjadi
Fitofarmaka. Jakarta: FKUI. Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 7,
Juli.
39
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Darnaedi, Dedy. (2000). Keanekaragaman Hayati Konservasi dan Pemanfaatan
yang Berkelanjutan. Bogor: LIPI.
DEPKES. (2010). Farmakope Indonesia Edisi 4.
DEPKES RI. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.
Farnsworth, N.R. (1996). Biological and Phytochemical Screnning of Plants. J.
Pharm.
Harbone, J.B. (1987). Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Penerjemah: Kosasih P., Soediro Iwang. Bandung: Penerbit
ITB.
Hariana, H.A. (2006). Tumbuhan Obat dan Khasiatnya Seri 3. Depok: Penebar
Swadaya.
Hartini, S. (2006). Tumbuhan Paku di Cagar Alam Sago Malintang, Sumatera
Barat dan Aklimatisasinya di Kebun Raya Bogor. Biodiversitas. 7 (3):
230-236.
Health Professions Division. (1996). Goodman & Gilman’s The Pharmacological
Basis of Therapeutics, 9th edition. USA: McGraw-Hill,637.
Ho, R. Teai T. Bianchini J-P. Lafont R., Raharivelomanana, P. (2011). Fren:
From Traditional Uses to Pharmaceutical Development, Chemical
Identification of Active Principles in Working with Fren. Spinger.
Hammer et al., (2008). Antimicrobial and Anti-inflammatory Activity of Five
Taxandria fragrans Oils in vitro. Microbiol Immunol; 52: 522–530.
Katzung, B. G. (2002) Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi II. Jakarta: Salemba
Medika.
Katzung, Bertram G. (2006). Basic and Cinical Pharmacology, 10th Edition.
McGraw Hill Lange.
Komala, I. (2010). Laporan Penelitian Individu, Uji Aktivitas Antioksida
Tumbuhan Paku Indonesia. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah.
Lai, Y, H. Lim Y, Y. (2011). Evaluation of Antioxidant Activities of the
Methanolic Extracts of Selected Ferns in Malaysia. International Journal
of Environmental Science and Development, Vol. 2, No. 6.
40
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Mohan. 2003. Buffers: A guide for the preparation and use of buffers in biological
systems. Germany: Calbiochem.
Mutairi and Jasser. (2012). Effect of using Rotary Evaporator on Date Dibs
Quality. Journal of American Science;8(11).
Mycek M, Harvey, dan Champe. (2001). Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2.
Jakarta : Widia Medika.
Ncube NS, Aafolayan AJ, Okoh Al. (2008). Assesment Techniques of
Antimicrobial Properties of Natural Compounds of Plant Origin: Current
Methods and Future Trends. African Journal of Biotechnology; 7 (12).
Nijveldt, R. J., E. van Nood, D.E.C. van Hoorn, P.G. Boelens, K. van Norren,
P.A.M. van Leeuwen. (2001). Flavonoids: a review of probable
mechanisms of action and potential applications. American Journal of
Clinical and Nutrition 74: 418-425.
Nugroho, B. W., Dadang, dan Prijono, D. (1999). Pengembangan dan
Pemanfaatan Insektisida Alami. Pusat Kajian Pengendalian Hama
Terpadu, IPB. Bogor.
Pranoto, E.N., Ma’ruf, W.F., dan Pringgenies, D. (2012). Kajian Aktivitas Bioaktif
Ekstrak Teripang Pasir (Holothuria scabra) terhadap Jamur Candida
albicans. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan. 1(1): 1-8.
Pringgoutomo S, Himawan S, Tjarta A. (2002). Buku Ajar Patologi I (Umum)
Edisi ke-1. Jakarta : Sagung Seto.
Pooja. (2004). Pterydophyta Discovery Publishing House. India: di dalam,
Komala, I. 2012. Uji Aktivitas Tumbuhan Paku Indonesia.
Saifudin, A., Rahayu, V. and Teruna, H.Y. 2011. Standardisasi Bahan Obat
Alam. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Santoso, S. 2007. Menguasai Statistik di Era Informasi dengan SPSS 15. Jakarta:
PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
Sastrapradja, S., Afriastini, J.J., Darnaedi, D. & Widjaja, E.A. (1979). Jenis Paku
Indonesia. Bogor: Lembaga Biologi Nasional – LIPI. hlm. 7-101.
Sekar, et al., (2011). Ethnomedicinal Uses of Pteridophytes in Kolli Hills, Eastern
Ghats of Tamil Nadu, India. J. Nat. Prod. Plant Resour., 1 (2):50-55.
41
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sheikh, et al., (2013). Hypoglycemic, Anti-inflammatory and Analgesic Activity of
Peperomea pellucida (L.) HBK (Piperaceae). IJPSR, Vol. 4, Issue 1.
Silva G.L. lee, I.S. Kinghorn A.D. (1998). Special Problem with Extraction of
Plants in Chanell R.JP. (ed) Methods in Biotechnology 4. Natural Product
Isolation Human Press, Totowa, New Jersey, USA.
Sudjadi. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Thermo Fisher Scientific. (2012). Product Information Bovine Serum Albumin
(BSA), molecular biology grade.
Tiwari, et al., (2011). Phytochemical screening and Extraction: A Review.
Internationale Pharmaceutica Sciencia Vol 1 Issue 1.
Tjay TH dan Rahardja K. (2008). Obat-obat Penting. Jakarta : PT Elex Media
Komputindo.
Verma et al., (2011). Anti Denaturation and Antioxidant Activities of Annona
cherimola In Vitro. India: International Journal of Pharma and Bio
Sciences.
Vickery. M and Vickery B. (1980). Secondary Plant Metabolism. London: The
Maccmillan Press LTD.
Williams et al., (2008). The in vitro Anti-denaturation Effects Induded by Natural
Products and Non-steroidal Compounds in Heat Treated (Immunogenic)
Bovine Serum Albumin is Prposed as a Screening Assay for the Detection
of Anti-inflammatory Compounds, without the uses of Animals, in the
Early Stages of the Drug Discovery Process. West Indian Med J; 57 (4):
327-330.
Zakaria, et al. (2006). Antinociceptine and Anti-inflamatory Activities of
Dicranopteris Linearis Leaves Chloroform Extract in Experimental
Animals. Yajugaju zasshi, 126, 1197-1203.
42
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 1. Tumbuhan Paku Pyrrosia lanceolata (L.) Farw
(Sumber : Koleksi Pribadi, 11 Februari 2014)
43
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 2. Alur Penelitian
Determinasi
- Sortasi basah
- Pengeringan
- Penghalusan (blender)
Residu
- Ekstraksi dengan etil asetat
- Penyaringan
- Pemekatan (vacuum rotary evaporator)
Residu Ekstrak kental
etil asetat (semi polar)
Tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata
Penyiapan Simplisia
Sampel kering
Penapisan Fitokimia
- Ekstraksi dengan n-heksana
- Penyaringan
- Pemekatan (vacuum rotary evaporator)
Ekstrak kental n-heksana
(non polar)
Uji Aktivitas Antiinflamasi
secara In Vitro
Ekstrak kental
metanol (polar) Residu
- Ekstraksi dengan metanol
- Penyaringan
- Pemekatan (vacuum rotary
evaporator)
44
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 3. Alur Uji Aktivitas Antiinflamasi terhadap Penghamabatan
Denaturasi Protein secara In Vitro
Larutan konsentrasi 1 ppm, 10 ppm dan 100 ppm ekstrak n-heksana, etil asetat
dan metanol serta larutan kosentrasi natrium diklofenak 1,3 ppm, 2,5 ppm, 5
ppm, 10 ppm, 20 ppm dan 40 ppm dalam metanol.
Diambil sebanyak 50 µL dengan
mikropipet ke dalam labu ukur 5 mL
Larutan 0,2 % BSA dalam
TBS hingga volume
mencapai 5 mL.
Larutan 5 mL terdiri dari larutan 0,2 % BSA
dan larutan uji dalam tabung reaksi.
Diinkubasi : suhu 250C selama 30 menit
Dipanaskan : di waterbath pada suhu 72oC selama 5
menit.
Diamkan : suhu 23oC selama 25 menit
Setelah larutan 5 mL tersebut dingin lalu di vortex dan
dilakukan pengukuran % inhibisi denaturasi protein
mengunakan alat spektofotometer Uv-Visible pada panjang
gelombang 660 nanometer.
45
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 4. Analisis Statistik Konsentrasi 10 ppm Ekstrak n-heksana, etil
asetat dan metanol Daun Paku Pyrrosia lanceolata terhadap
Natrium diklofenak.
1. Uji Normalitas Shapiro-wilk
Tujuan : untuk melihat data persentase inhibisi denaturasi protein
terdistribusi normal atau tidak.
Hipotesis :
H0 : data persentase inhibisi denaturasi protein terdistribusi normal
Ha : data persentase inhibisi denaturasi protein tidak terdistribusi
normal
Pengambilan keputusan :
Jika nilai signifikansi ≥ 0,05, maka H0 diterima
Jika nilai signifikansi ≤ 0,05, maka H0 ditolak
Hasil uji normalitas data persentase inhibisi denaturasi protein
Tests of Normality
konsentrasi
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Persen
inhibisi
1. n-heksana .237 3 . .977 3 .706
2. etil asetat .316 3 . .890 3 .354
3. metanol .278 3 . .940 3 .526
4. Na.diklofenak .355 3 . .820 3 .163
Kesimpulan : Data persentase inhibisi denaturasi protein terdistribusi
normal.
2. Uji Homogenitas Levene
Tujuan : untuk melihat data persentase inhibisi denaturasi protein
homogen atau tidak.
Hipotesis :
H0 : data persentase inhibisi denaturasi protein bervariasi
homogen
46
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ha : data persentase inhibisi denaturasi protein tidak bervariasi
homogen
Pengambilan keputusan :
Jika nilai signifikansi ≥ 0,05, maka H0 diterima
Jika nilai signifikansi ≤ 0,05, maka H0 ditolak
Hasil uji homogenitas data persentase inhibisi denaturasi protein
Test of Homogeneity of Variances
perseninhibisi
Levene Statistic df1 df2 Sig.
5.494 3 8 .024
Keputusan : data persentase inhibisi denaturasi protein tidak bervariasi
homogen.
Kesimpulan : syarat normalitas pada semua kelompok uji terpenuhi akan
tetapi syarat homogenitas tidak terpenuhi, data persentase inhibisi
denaturasi protein tidak dapat dilanjutkan menggunakan ANOVA dan
dilanjutkan dengan uji Kruskal Wallis.
3. Uji Kruskal Wallis terhadap Persentase Inhibisi Denaturasi Protein
Tujuan : untuk melihat data persentase inhibisi denaturasi protein
homogen atau tidak.
Hipotesis :
Ho : data persentase inhibisi denaturasi protein tidak berbeda secara
bermakna
Ha : data persentase inhibisi denaturasi protein berbeda secara
bermakna
Pengambilan keputusan :
Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 Ho ditolak, berarti terdapat perbedaan
Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 Ho diterima, berarti tidak terdapat
perbedaan
47
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hasil uji Kruskal Wallis data persentase inhibisi denaturasi protein
Test Statisticsa,b
Persen inhibisi
Chi-Square 9.051
df 3
Asymp. Sig. .029
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: konsentrasi
Keputusan : Data persentase inhibisi denaturasi protein berbeda secara
bermakna, maka dilanjutkan dengan uji BNT (Beda Nyata Terkecil)
dengan metode LSD (Least Significance Different). Uji BNT merupakan
uji lanjutan yang dilakukan apabila hasil pengujian menunjukkan adanya
perbedaan nilai secara bermakna tujuannya adalah untuk menentukan
kelompok mana yang memberikan nilai yang berbeda secara bermakna
dengan kelompok lainnya.
4. Uji BNT (LSD) Persentase Inhibisi Denaturasi Protein
Tujuan : untuk mengetahui perbedaan persentase inhibisi denaturasi
protein yang bermakna.
Hipotesis :
H0 : data %inhibisi tidak berbeda bermakna
Ha : data %inhibisi berbeda bermakna
Pengambilan keputusan :
Jika nilai siginifikansi ≤ 0,05 maka H0 ditolak, terdapat perbedaan
bermakna
Jika nilai siginifikansi ≥ 0,05 maka H0 diterima, tidak terdapat
perbedaan bermakna
48
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hasil uji BNT (LSD) data persentase inhibisi denaturasi protein
Multiple Comparisons
Persen inhibisi
LSD
(I)
konsentrasi (J) konsentrasi
Mean
Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
Heksana EA -12.256000 8.877661 .205 -32.72792 8.21592
Metanol -34.113000* 8.877661 .005 -54.58492 -13.64108
Na.diklofenak -36.523000* 8.877661 .003 -56.99492 -16.05108
EA heksana 12.256000 8.877661 .205 -8.21592 32.72792
Metanol -21.857000* 8.877661 .039 -42.32892 -1.38508
Na.Diklofenak -24.267000* 8.877661 .026 -44.73892 -3.79508
Metanol heksana 34.113000* 8.877661 .005 13.64108 54.58492
EA 21.857000* 8.877661 .039 1.38508 42.32892
Na.Diklofenak -2.410000 8.877661 .793 -22.88192 18.06192
Na.Diklofe
nak
heksana 36.523000* 8.877661 .003 16.05108 56.99492
EA 24.267000* 8.877661 .026 3.79508 44.73892
Metanol 2.410000 8.877661 .793 -18.06192 22.88192
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Keterangan : tanda * menunjukkan data berbeda secara bermakna.
Keputusan : persentase inhibisi ekstrak n-heksana dan etil asetat berbeda
bermakna terhadap natrium diklofenak (P ≤ 0,05), sebaliknya persentase inhibisi
ekstrak metanol tidak berbeda bermakna terhadap natrium diklofenak (P ≥ 0,05)
49
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 5. Spesifikasi Natrium Diklofenak
50
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
51
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 6. Hasil Determinasi Tumbuhan Paku Pyrrosia lanceolata (L.)
Farw.
52
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 7. Dokumentasi Pembuatan Ekstrak Daun paku
Pyrrosia lanceolata
Simplisia Pyrrosia lanceolata
Botol maserasi
Penyaringan hasil maserasi
Pemekatan ekstrak dengan alat
Vacuum Rotary Evaporator
Ekstrak n-heksana
Ekstrak etil asetat
Ekstrak metanol
53
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 8. Dokumentasi Uji Penapisan Fitokimia Ekstrak Daun tumbuhan
Paku Pyrrosia lanceoloata
Flavonoid
Ekstrak ditambahkan beberapa tetes NaOH terbentuknya warna kuning emas
intens yang jika ditambahan larutan asam warna kuning akan pudar.
n-heksana (-) Etil asetat (+) Metanol (+)
1. Sesudah + H2SO4
2. Sebelum + H2SO4
1. Sesudah + H2SO4
2. Sebelum + H2SO4
1. Sesudah + H2SO4
2. Sebelum + H2SO4
Fenol
Ekstrak +beberapa tetes FeCl3, jika terbentuk warna biru kehitaman menunjukkan
adanya fenol.
n-heksana (-) Etil asetat (-) Metanol (-)
Alkaloid
Ekstrak + HCl encer disaring, filtrat di bagi 2: filtrat A + reagen mayer
endapan kuning (+ alkaloid). Filtrat B + reagen dragendrof endapan merah
(+ alkaloid)
n-heksana (-) Etil asetat (-) Metanol (-)
Dragendrof
Mayer
Dragendrof
Mayer
Dragendrof
Mayer
1. 2. 1. 2. 1. 2.
54
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Saponin
Ekstrak + 2 mL aquades dikocok, jika terbentuk busa tidak kurang dari 10
menit (+ saponin).
n-heksana (-) Etil asetat (-) Metanol (-)
Tanin
Ekstrak + 10 mL aquadest didihkan disaring filtrat + FeCl3 terbentuk
warna hijau kecoklatan atau biru kehitaman ( + tanin )
n-heksana (-) Etil asetat (+) Metanol (+)
Hijau kecoklatan
Hijau kecoklatan
Terpenoid
Ekstrak + kloroform disaring filtrat + beberapa tetes H2SO4 kocok
terbentuk warna merah kecoklatan (+ terpenoid)
n-heksana (+) Etil asetat (-) Metanol (-)
1. Sebelum + H2SO4
2. Sesudah + H2SO4
(merah kecoklatan)
1. Sebelum + H2SO4
2. Sesudah + H2SO4
1. Sebelum + H2SO4
2. Sesudah + H2SO4
Steroid
Ekstrak + kloroform disaring filtrat + beberapa tetes asam asetat anhidrat
dipanaskan (waterbath) diamkan larutan tsb + H2SO4 terbetuk cincin
coklat (+ steroid)
n-heksana (-) Etil asetat (-) Metanol (-)
1. 2. 1. 2. 1. 2.
55
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 9. Dokumentasi Uji Aktivitas Antiinflamasi secara In Vitro
Variasi konsentrasi ekstrak n-heksana 1 ppm, 10 ppm dan 100 ppm daun tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata
Variasi konsentrasi ekstrak etil asetat 1 ppm, 10 ppm dan 100 ppm daun tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata
Variasi konsentrasi ekstrak metanol 1 ppm, 10 ppm dan 100 ppm daun tumbuhan paku
Pyrrosia lanceolata
Pembuatan 1 liter Tris Buffer Saline (TBS) pH 6,2 - 6,5 dan larutan 0,2 % BSA sebanyak 100mL
Tris base (1,21 gram) NaCl (8,7 gram) TBS 1000 mL BSA
56
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Inkubasi 30 menit pada suhu 250C
Pemanasan 5 menit suhu 720C dalam
waterbath
pendiaman setelah dipanaskan selama 25
menit pada suhu 230C
Setelah didiamkan 25 menit dari pemanasan dan setelah divortek untuk ekstrak n-heksana
Setelah didiamkan 25 menit dari pemanasan dan setelah divortek untuk ekstrak etil asetat
57
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Setelah didiamkan 25 menit dari pemanasan dan setelah divortek untuk ekstrak metanol
Pengukuran absorbansi dengan alat spektrofotometri UV- Visible pada panjang
gelombang 660 nm
58
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 10. Perhitungan Konsentrasi Ekstrak dan Natrium Diklofenak
1. Konsentrasi ekstrak
Sejumlah 500 mg ekstrak dilarutkan dalam 25 mL metanol/etil asetat/
n-heksana sehingga didapat konsentrasi larutan induk 20.000 ppm.
=
= 20.000
(20.000 ppm)
Pengenceran konsentrasi :
a. 1) 100 ppm
V1 x 20.0000 ppm = 5 mL x 100 ppm
V1 = 500 / 20.000 = 0,025 ml = 25 µL
b. 2) 500 ppm
V1 x 20.0000 ppm = 5 mL x 500 ppm
V1 = 2.500 / 20.000 = 0,125 ml = 125 µL
c. 3) 1.000 ppm
V1 x 20.0000 ppm = 5 mL x 1.000 ppm
V1 = 5.000 / 20.000 = 0,25 ml = 250 µL
d. 4) 2.000 ppm
V1 x 20.0000 ppm = 5 mL x 2.000 ppm
V1 = 10.000 / 20.000 = 0,5 ml = 500 µL
e. 5) 4.000 ppm
V1 x 20.0000 ppm = 5 mL x 4.000 ppm
V1 = 20.000 / 20.000 = 1 ml = 1000 µL
f. 6) 10.000 ppm
V1 x 20.0000 ppm = 5 mL x 10.000 ppm
V1 = 50.000 / 20.000 = 2,5 ml = 2500 µL
Konsentrasi akhir setelah pencampuran
ekstrak dengan larutan 0,2 % BSA
hingga 5 mL :
1) 100 ppm menjadi 1 ppm
100 µg/mL x 0,05 mL = 5 mL x V2
V2 = 5 µg / 5 mL = 1 µg/mL (1 ppm)
2) 500 ppm menjadi 5 ppm
500 µg/mL x 0,05 mL = 5 mL x V2
V2 = 25 µg / 5 mL = 5 µg/mL (5 ppm)
3) 1.000 ppm menjadi 10 ppm
1.000 µg/mL x 0,05 mL = 5 mL x V2
V2 = 50 µg / 5 mL = 10 µg/mL ( 10 ppm)
4) 2.000 ppm menjadi 20 ppm
2.000 µg/mL x 0,05 mL = 5 mL x V2
V2 = 1.000 µg / 5 mL = 10 µg/mL
(10 ppm)
5) 4.000 ppm menjadi 40 ppm
4.000 µg/mL x 0,05 mL = 5 mL x V2
V2 = 200 µg / 5 mL = 40 µg/mL
(40 ppm)
6) 10.000 menjadi 100 ppm
10.000 µg/mL x 0,05 mL = 5 mL x V2
V2 = 500 µg / 5 mL = 100 µg/mL
(100 ppm)
59
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Konsentrasi larutan natrium diklofenak
Sejumlah 100 mg ekstrak dilarutkan dalam 25 mL metanol sehingga didapat
konsentrasi larutan induk 4000 ppm.
=
= 4000
(4000 ppm)
Pengenceran konsentrasi :
1) 130 ppm
V1 x 4000 ppm = 10 ml x 130 ppm
V1 = 1300/4000 = 0,325 mL = 325 µL
2) 250 ppm
V1 x 4000 ppm = 10 ml x 250 ppm
V1 = 2500/4000 = 0,625 mL = 625 µL
3) 500 ppm
V1 x 4000 ppm = 5 ml x 500 ppm
V1 = 2500/4000 = 0,625 mL = 625 µL
4) 1000 ppm
V1 x 4000 ppm = 5 ml x 1000 ppm
V1 = 5000/4000 = 1,25 mL = 1250 µL
5) 2000 ppm
V1 x 4000 ppm = 5 ml x 2000 ppm
V1 = 10.000/4000 = 2,5 mL = 2500 µL
6) 4000 ppm
(larutan induk)
Konsentrasi akhir setelah pencampuran
natrium diklofenak dengan larutan
0,2 % BSA hingga 5 mL : 1) 130ppm 1,3 ppm
130 µg/mL x 0,05 mL = 5 mL x V2
V2 = 6,5 µg / 5 mL = 1,3 µg/mL
(1,3 ppm)
2) 250 ppm 2,5 ppm
250 µg/mL x 0,05 mL = 5 mL x V2
V2 = 12,5 µg / 5 mL = 2,5 µg/mL
(2,5 ppm)
3) 500 ppm 5 ppm
500 µg/mL x 0,05 mL = 5 mL x V2
V2 = 25 µg / 5 mL = 5 µg/mL (5 ppm)
4) 1000 ppm 10 ppm
1000 µg/mL x 0,05 mL = 5 mL x V2
V2 = 50 µg / 5 mL = 10 µg/mL (10 ppm)
5) 2000 ppm 20 ppm
2000 µg/mL x 0,05 mL = 5 mL x V2
V2 = 100 µg / 5 mL = 20 µg/mL
(20 ppm)
6) 4000 ppm 40 ppm
4000 µg/mL x 0,05 mL = 5 mL x V2
V2 = 200 µg / 5 mL = 40 µg/mL
(40 ppm)
60
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 11. Perhitungan Persentase Inhibisi Natrium Diklofenak
1. Konsentrasi 1,3 ppm
% inhibisi =
x 100 %
=
x 100%
= 6,554 %
2. Konsentrasi 2,5 ppm
% inhibisi =
x 100 %
=
x 100%
= 8,823 %
3. Konsentrasi 5 ppm
% inhibisi =
x 100 %
=
x 100%
= 33,242 %
4. Konsentrasi 10 ppm
% inhibisi =
x 100 %
=
x 100%
= 55,290 %
5. Konsentrasi 20 ppm
% inhibisi =
x 100 %
=
x 100%
= 64,790 %
6. Konsentrasi 40 ppm
% inhibisi =
x 100 %
=
x 100%
= 84,315 %
61
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 12. Perhitungan Persentase Inhibisi Ekstrak Daun Paku
Pyrrosia lanceolata
1. Ekstrak n-heksana
a. Konsentrasi 1 ppm
% inhibisi =
x 100 %
=
x 100%
= 19,767 %
b. Konsentrasi 10 ppm
% inhibisi =
x 100 %
=
x 100%
= 19,535 %
c. Konsentrasi 100 ppm
% inhibisi =
x 100 %
=
x 100%
= 21,860 %
2. Ekstrak etil asetat
a. Konsentrasi 1 ppm
% inhibisi =
x 100 %
=
x 100%
= 22,690%
b. Konsentrasi 10 ppm
% inhibisi =
x 100 %
=
x 100%
= 30,994 %
c. Konsentrasi 100 ppm
% inhibisi =
x 100 %
=
x 100%
= -16,023 %
d. Ekstrak metanol
a. Konsentrasi 1 ppm
% inhibisi =
x 100 %
=
x 100%
= 9,665 %
62
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Konsentrasi 5 ppm
% inhibisi =
x 100 %
=
x 100%
= 32,104 %
c. Konsentrasi 10 ppm
% inhibisi =
x 100 %
=
x 100%
= 52,788 %
d. Konsentrasi 20 ppm
% inhibisi =
x 100 %
=
x 100%
= 64,209 %
e. Konsentrasi 40 ppm
% inhibisi =
x 100 %
=
x 100%
= -15,514 %
f. Konsentrasi 100 ppm
% inhibisi =
x 100 %
=
x 100%
= -20,818 %
63
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 13. Perhitungan Rendemen Ekstrak Daun Tumbuhan Paku
Pyrrosia lanceolata
1. Ekstrak n-heksana
Rendemen =
x 100%
=
x 100% = 1,884 %
2. Ekstrak etil asetat
Rendemen =
x 100%
=
x 100% = 2,415 %
3. Ekstrak metanol
Rendemen =
x 100%
=
x 100% = 10,143 %
64
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 14. Data Absorbansi setiap Ekstrak dan Nartium Diklofenak
1. Natrium diklofenak Konsentrasi
(ppm)
Absorbansi
Uji ke 1
Absorbansi
Uji ke 2
Absorbansi
Uji ke 3
Absorbansi
rata-rata
% inhibisi
Kontrol
Negatif
1,579 1,655 1,642
1,626
0,000 1,579 1,651 1,642
1,580 1,663 1,641
1,3
1,547 1,613 1,395
1,519
6,554 1,549 1,619 1,397
1,550 1,610 1,393
2,5
1,388 1,583 1,477
1,482
8,823 1,390 1,580 1,477
1,390 1,579 1,477
5
1,226 0,988 1,043
1,085
33,242 1,225 0,988 1,041
1,226 0,988 1,042
10
0,758 0,671 0,746
0,727
55,290 0,757 0,674 0,750
0,758 0,675 0,753
20
0,638 0,538 0,542
0,572
64,790 0,639 0,536 0,542
0,639 0,536 0,542
40
0,221 0,242 0,303
0,255
84,315 0,220 0,242 0,303
0,220 0,242 0,302
2. Ekstrak n-heksana Konsentrasi
(ppm)
Absorbansi
(Uji ke 1)
Absorbansi
(Uji ke 2)
Absorbansi
(Uji ke 3)
Absorbansi
Rata-rata
% inhibisi
Kontrol
Negatif
0,451 0,405 0,434
0,430
0,000 0,452 0,405 0,434
0,453 0,404 0,434
1 0,435 0,266 0,336
0,345
19,767 0,435 0,266 0,334
0,436 0,265 0,334
10 0,262 0,407 0,368
0,346
19,535 0,262 0,408 0,369
0,264 0,406 0,370
100 0,375 0,302 0,326
0,336
21,860 0,378 0,303 0,321
0,376 0,303 0,328
3. Ekstrak Etil asetat Konsentrasi
(ppm)
Absorbansi
(Uji ke 1)
Absorbansi
(Uji ke 2)
Absorbansi
(Uji ke 3)
Absorbansi
rata-rata
% inhibisi
Kontrol
Negatif
0,851 0,880 0,833
0,855
0,000 0,850 0,879 0,834
0,850 0,880 0,836
1 0,743 0,616 0,623
0,661
22,690 0,744 0,617 0,623
0,746 0,617 0,622
10 0,562 0,623 0,581
0,590
30,994 0,563 0,624 0,583
65
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
0,564 0,623 0,584
0,563 0,623 0,583
100 0,922 1,018 1,037
0,992
-16,023 0,921 1,019 1,036
0,924 1,020 1,036
4. Ekstrak Metanol Kosentrasi
(ppm)
Absorbansi
(Uji ke 1)
Absorbansi
(Uji ke 2)
Absorbansi
(Uji ke 3)
Absorbansi
rata-rata
% inhibisi
Kontrol
Negatif
0,539 0,539 0,536
0,538
0,000 0,539 0,539 0,537
0,539 0,540 0,538
1 0,484 0,484 0,486
0,486
9,665 0,485 0,485 0,488
0,486 0,486 0,488
10 0,256 0,250 0,257
0,254
52,788 0,255 0,251 0,256
0,256 0,251 0,257
100 0,659 0,649 0,645
0,650
-20,818 0,660 0,647 0,646
0,660 0,644 0,645
Konsentrasi
(ppm)
Uji ke 1
(Absorban)
Uji ke 2
(Absorban)
Uji ke 3
(Absorban)
Absorban
rata-rata
% inhibisi
Kontrol
Negatif
0,649 0,657 0,650
0,651
0,000 0,648 0,654 0,648
0,649 0,655 0,647
5
0,443 0,445 0,439
0,442
32,104 0,444 0,446 0,438
0,444 0,444 0,438
20
0,273 0,218 0,208
0,233
64,209 0,278 0,217 0,208
0,274 0,218 0,208
40
0,622 0,762 0,863
0,752
-15,514 0,619 0,766 0,863
0,649 0,765 0,863
66
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 15. Perhitungan IC50 Natrium Diklofenak dan Ekstrak Metanol
1. Natrium Diklofenak
Konsentrasi
(ppm)
% inhibisi Log konsentrasi
(X)
Probit
(Y)
1,3 6,408 0,1139 3,4780
2,5 8,688 0,3979 3,6405
20 33,148 0,6989 4,5628
40 55,206 1 5,1307
Dari persamaan Y= b X + a
Y = 1,9928 X + 3,1016
5 = 1,9928 X + 3,1016
X =
X = 0,9526
Anti log X = 8,9660
2. Ekstrak metanol daun paku Pyrrosia lanceolata (L.) Farw.
Konsentrasi
(ppm)
% inhibisi Log konsentrasi
(X)
Probit
(Y)
5 32,104 0,699 4,535
10 52,786 1 5,065
20 64,055 1,301 5,374
y = 1,9928x + 3,1016 R² = 0,9493
0
1
2
3
4
5
6
0 0,5 1 1,5
%in
hib
isi
log konsentrasi
Natrium diklofenak
Na.diklofenak
Linear (Na.diklofenak)
67
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dari persamaan Y= b X + a
Y = 1,3937 X + 3,5976
5 = 1,3937 X + 3,5976
X =
X = 1,0062
Anti log X = 10,144
y = 1,3937x + 3,5976 R² = 0,9774
4,4
4,6
4,8
5
5,2
5,4
5,6
0 0,5 1 1,5
% i
nh
ibis
i
Log konsentrasi
Ekstrak Metanol
metanol
Linear (metanol)