Click here to load reader
Upload
buidieu
View
305
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
i
UJI CEMARAN AFLATOKSIN PADA RIMPANG KUNYIT (Curcuma domestica Val.) BASAH YANG DIKERINGKAN DAN RIMPANG KUNYIT KERING YANG
DIPERDAGANGKAN DI PASAR “X”
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh: Felisia Wulan Apsari
NIM: 068114072
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2010
ii
iii
iv
Di dalam Kristuslah kita menemukan siapa kita
dan untuk apa kita hidup
Jauh sebelum kita mendengar tentang Kristus untuk pertama kali,
Dia telah melihat kita,
merancang kita bagi kehidupan yang penuh kemuliaan,
bagian dari keseluruhan tujuan yang Dia kerjakan
di dalam segala sesuatu dan semua orang.
(Efesus 1:11)
Kupersembahkan karyaku ini untuk:
Bapak, Ibu, dik Lintang yang selalu menyayangi dan mendoakanku
Octav yang selalu menyemangati
Sahabat-sahabat yang kusayangi
Almamaterku yang kuhormati
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 3 Januari 2010
Penulis
Felisia Wulan Apsari
vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Felisia Wulan Apsari Nomor Mahasiswa : 068114072 Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul: Uji Cemaran Aflatoksin pada Rimpang Kunyit (Curcuma domestica Val.)
Basah yang Dikeringkan dan Rimpang Kunyit Kering yang Diperdagangkan
di Pasar “X”
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 17 Februari 2010
Yang menyatakan
Felisia Wulan Apsari
vii
PRAKATA
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkatNya sehingga penulis
dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi berjudul “Uji Cemaran
Aflatoksin pada Rimpang Kunyit (Curcuma domestica Val.) Basah yang
Dikeringkan dan Rimpang Kunyit Kering yang Diperdagangkan di Pasar “X”.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Farmasi (S.Farm) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
Dalam menyelesaikan penelitian dan menyusun skripsi ini, penulis
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh Karena itu, pada kesempatan ini,
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
2. Erna Tri Wulandari, M.Si., Apt. selaku Dosen Pembimbing dan Dosen
Penguji yang telah memberi pengarahan dan dukungan selama proses
penelitian dan penyusunan skripsi ini.
3. Yohanes Dwiatmaka, M.Si., Apt. selaku Dosen Penguji atas segala masukan,
kritik, dan sarannya.
4. Dr. C. J. Soegihardjo, Apt. selaku Dosen Penguji atas segala masukan, kritik,
dan sarannya.
5. Bapak, Ibu, dan adikku Lintang yang selalu menyayangi dan mendoakanku.
viii
6. Seluruh staf laboratorium Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma: Mas
Wagiran, Mas Sigit, Mas Andri, Mas Bimo, Pak Parlan, Mas Kunto, dan Pak
Timbul yang telah membantu selama penelitian.
7. Ignasius Eka Wibowo, teman seperjuangan dan partner skripsiku.
8. Octavianus Tri Harjanto, untuk semangat, dukungan, kebersamaan, dan
persahabatan.
9. Teman-teman Penelitian Payung: Dwi, Joice, Melia, Thomas, Dimon, Wulan.
10. Angel, Pita, Chooey, Rudi, sahabat-sahabatku yang kusayangi.
11. Nug untuk bantuannya, dan Bayu untuk kebersamaannya.
12. Mba Eva, Mba Dewi, Mba Yanti, Sari, Sekar, Yesi, keluarga keduaku.
13. Teman-teman FST 2006.
14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu
penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan keterbatasan
dalam penyusunan skripsi ini. Oleh sebab itu penulis mengharapkan saran dan
kritik yang dapat membangun dari pembaca. Penulis juga berharap supaya skripsi
ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam
bidang Farmakognosi Fitokimia.
Penulis
ix
INTISARI
Kunyit (Curcuma domestica Val.) merupakan salah satu rimpang yang banyak digunakan oleh masyarakat sebagai obat tradisional untuk membantu mengatasi penyakit ringan. Dalam kunyit terkandung senyawa aktif kurkuminoid yang berkhasiat dalam berbagai pengobatan.
Kualitas rimpang kunyit ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah cemaran aflatoksin. Aflatoksin adalah toksin yang dihasilkan oleh jamur Aspergillus flavus dan dapat menyebabkan kanker. Batas aflatoksin yang diperbolehkan dalam simplisia adalah 30 ppb.
Rimpang kunyit basah dan rimpang kunyit kering yang akan digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Pasar “X” di Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitian noneksperimental. Kandungan cemaran aflatoksin ditetapkan secara kualitatif dan kuantitatif, kemudian hasilnya dibandingkan dengan Persyaratan Obat Tradisional Nomor 661/MENKES/SK/VII/1994. Pengukuran kualitatif dilakukan dengan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan didukung oleh pengukuran kuantitatif menggunakan metode KLT densitometri. Hasil penelitian dianalisis secara deskriptif komparatif, ditinjau dari nilai Rf dan Rx hasil perbandingan simplisia kunyit dan baku aflatoksin, serta ditinjau dari penetapan kadar secara KLT densitometri.
Berdasarkan analisis kualitatif yang dilakukan, tidak terdeteksi adanya aflatoksin pada rimpang kunyit yang diperdagangkan di pasar “X”. Oleh sebab itu, tidak dilakukan penetapan kadar aflatoksin menggunakan KLT densitometri.
Kata kunci: Kunyit, aflatoksin, Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
x
ABSTRACT
Turmeric (Curcuma domestica Val.) became one of the herbal that has been widely used as a traditional medicine to cure disease. Turmeric contains many kind of active pharmaceutical ingredients such as curcuminoid that has been used to treat many kind of diseases.
Quality of turmeric rhizome determined by some factors, including aflatoxin. Aflatoxin is a toxin that yielded by Aspergillus flavus and could led to cancer. A medicinal herbs should not contain aflatoxin more than 30 ppb.
Dried turmeric rhizome and dry turmeric rhizome of this study is obtained from “X” Market in Yogyakarta. This is a non experimental study. Aflatoxin undergo qualitative and quantitative determination, and then the result was compared with the Persyaratan Obat Tradisional Number 661/MENKES/SK/VII/1994. Thin Layer Chromatography (TLC) used for qualitative determination and supported by TLC-densitometry for quantitative determination. The result analysed descriptive-quantitatively, with comparation of Rf and Rx value between sample and the aflatoxin standard, and also with determination of aflatoxin by densitometry.
Base on the result of qualitative determination, none of the sample, that was obtained from the “X” market, contained aflatoxin.. Thus, quantitative determination of aflatoxin with desitometry is not necessary to be done. Key words: Turmeric, aflatoxin, Thin Layer Chromatography (TLC)
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................................... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN................................................................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA....................................................................... v
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI………………………………………… vi
PRAKATA.................................................................................................................... vii
INTISARI..................................................................................................................... ix
ABSTRACT.................................................................................................................... x
DAFTAR ISI................................................................................................................. xi
DAFTAR TABEL......................................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................................. xvi
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................... 1
A. Latar Belakang...................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................................. 3
C. Keaslian Penelitian................................................................................................ 3
D. Manfaat Penelitian................................................................................................ 4
E. Tujuan Penelitian.................................................................................................. 4
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA........................................................................ 6
A. Kunyit .................................................................................................................. 6
1. Keterangan botani dan deskripsi tanaman....................................................... 6
xii
2. Klasifikasi ...................................................................................................... 6
3. Pemerian ......................................................................................................... 7
4. Nama daerah.................................................................................................... 7
B. Simplisia .............................................................................................................. 7
1. Definisi ........................................................................................................... 7
2. Metode pembuatan.......................................................................................... 8
C. Aflatoksin ............................................................................................................ 9
D. Kromatografi Lapis Tipis (KLT).......................................................................... 11
E. Densitometri ........................................................................................................ 13
F. Landasan Teori..................................................................................................... 14
G. Data Emperis yang Diharapkan............................................................................ 14
BAB III METODE PENELITIAN.............................................................................. 16
A. Jenis dan Rancangan Penelitian........................................................................... 16
B. Variabel dan Definisi Operasional....................................................................... 16
1. Klasifikasi variabel.......................................................................................... 16
a. Variabel bebas............................................................................................ 16
b. Variabel tergantung................................................................................... 16
c. Variabel pengacau terkendali..................................................................... 16
2. Definisi operasional........................................................................................ 16
C. Bahan..................................................................................................................... 17
D. Alat-Alat................................................................................................................ 18
E. Tata Cara Penelitian.............................................................................................. 18
1. Pengambilan rimpang kunyit basah ................................................................ 18
2. Penyiapan rimpang kunyit basah .................................................................... 18
xiii
3. Pengeringan rimpang kunyit basah ................................................................. 18
4. Pengambilan rimpang kunyit kering ...............................................................
5. Identifikasi rimpang kunyit kering ..................................................................
19
19
6. Pembuatan serbuk simplisia kunyit hasil pengeringan dan simplisia kunyit
jadi yang dibeli di Pasar “X” ..........................................................................
19
7. Penetapan kadar air serbuk rimpang kunyit basah yang dikeringkan dan
rimpang kunyit kering .....................................................................................
19
8. Pembuatan euen untuk KLT............................................................................ 20
9. Pembuatan pelarut............................................................................................ 20
10. Preparasi
sampel simplisia kunyit....................................................................
20
11. Preparasi
kolom...............................................................................................
21
12. Identifikasi
aflatoksin.......................................................................................
22
13. Penetapan
kadar aflatoksin..............................................................................
22
F. Analisis Hasil........................................................................................................... 22
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................................... 24
A. Pengolahan Simplisia Kunyit.................................................................................. 24
B. Penetapan Kadar Air Serbuk Simplisia Kunyit....................................................... 28
C. Preparasi Kolom...................................................................................................... 32
D. Peparasi Sampel Simplisia Kunyit........................................................................... 32
E. Identifikasi Aflatoksin............................................................................................. 33
xiv
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN....................................................................... 41
A. Kesimpulan ............................................................................................................. 41
B. Saran ....................................................................................................................... 41
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 42
LAMPIRAN.................................................................................................................. 45
BIOGRAFI PENULIS.................................................................................................. 56
xv
DAFTAR TABEL
Tabel I
Tabel II
Tabel III
Tabel IV
Hasil identifikasi makroskopik rimpang kunyit kering ........................
Hasil identifikasi organoleptik rimpang kunyit kering .........................
Kadar air serbuk rimpang kunyit basah yang dikeringkan ...................
Kadar air serbuk rimpang kunyit kering yang dibeli di Pasar
“X”........................................................................................................
26
26
30
31
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Rimpang kunyit............................................................................. 7
Gambar 2. Struktur aflatoksin............................................................................ 10
Gambar 3.
Gambar 4.
Gambar 5.
Kolom untuk uji aflatoksin..................................................................
Hasil identifikasi mikroskopik rimpang kunyit kering .......................
Penampang melintang rimpang kunyit menurut MMI .......................
19
27
27
Gambar 6. Alat destilasi toluene.......................................................................... 29
Gambar 7. Kromatogram KLT serbuk rimpang kunyit basah yang dikeringkan,
pada UV 254 nm ................................................................................
35
Gambar 8. Kromatogram KLT serbuk rimpang kunyit basah yang dikeringkan,
pada UV 365 nm..............................................................................
36
Gambar 9. Kromatogram KLT serbuk rimpang kunyit kering yang dibeli di
Pasar “X”, pada UV 254 nm.............................................................
37
Gambar 10. Kromatogram KLT serbuk rimpang kunyit kering yang dibeli di
Pasar “X”, pada UV 365 nm.............................................................
38
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Data penimbangan untuk preparasi sampel......................................... 46
Lampiran 2. Contoh perhitungan kadar air.............................................................. 47
Lampiran 3. Foto-foto lain....................................................................................... 48
A. Alat destilasi toluena................................................................... 48
B. Kromatogram bercak sebelum elusi............................................ 48
C. Kromatogram bercak setelah elusi.............................................. 50
D. Chamber elusi............................................................................. 53
E. Rimpang kunyit basah................................................................. 54
F. Rimpang kunyit kering................................................................ 54
G. Serbuk rimpang kunyit basah yang dikeringkan......................... 55
H. Serbuk rimpang kunyit kering..................................................... 55
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kunyit merupakan salah satu tanaman yang banyak dimanfaatkan
masyarakat sebagai obat tradisional, misalnya sebagai Jamu Kunyit Asam,
antidiabetes, antidiare, antihepatitis, antihipertensi, serta analgetik (Anonim,
2008). Senyawa aktif yang terkandung dalam kunyit adalah kurkuminoid, yang
terdiri dari kurkumin, demetoksikurkumin, dan bisdemetoksikurkumin (Anonim,
2005a). Kurkumin merupakan senyawa aktif dalam rimpang kunyit yang paling
bermanfaat dalam pengobatan, yaitu sebagai kholagoga, antihepatotoksik,
antispasmodik, antiinflamasi, antibakteri, dan kholeretik (Winarti, 2005).
Untuk dapat digunakan sebagai obat tradisional, kunyit harus memenuhi
persyaratan simplisia yang baik, yaitu aman, bermanfaat, dan terstandarisasi. Oleh
sebab itu, perlu dilakukan pengujian untuk mengetahui keamanan serta kualitas
simplisia rimpang kunyit. Salah satu uji yang dilakukan adalah uji cemaran
aflatoksin.
Aflatoksin adalah senyawa racun yang dihasilkan oleh kapang
Aspergillus flavus. Aflatoksin terdiri dari aflatoksin B1, B2, G1, dan G2. Adapun
jenis aflatoksin yang paling bersifat karsinogenik adalah aflatoksin B1. Risiko
yang ditimbulkan akibat paparan aflatoksin adalah kanker hati (Osweiler, 2005).
Batas kandungan cemaran aflatoksin yang diperbolehkan dalam simplisia adalah
30 ppb (Anonim, 1994).
2
Pada penelitian ini digunakan rimpang kunyit basah yang dikeringkan
sendiri dan rimpang kunyit kering jadi yang diperdagangkan di Pasar “X”. Hal
tersebut disebabkan karena kedua sampel tersebut belum tentu memiliki proses
pembuatan yang sama. Adapun proses pembuatan simplisia dapat mempengaruhi
kandungan aflatoksin, sehingga proses pembuatan yang berbeda pada rimpang
kunyit basah yang dikeringkan dan rimpang kunyit kering yang diperdagangkan di
Pasar “X” dapat mempengaruhi cemaran aflatoksin pada kedua sampel tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan jamur Aspergillus flavus
serta cemaran aflatoksin meliputi kelembaban, suhu, dan kandungan air. Oleh
karena itu, berbagai proses dalam pembuatan simplisia dan obat tradisional yang
berasal dari rimpang kunyit dapat mempengaruhi kandungan aflatoksin yang
terkandung di dalamnya. Proses pembuatan tersebut meliputi penyortiran,
pencucian, pengeringan, serta penyimpanan rimpang kunyit.
Rimpang kunyit yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Pasar
“X” yang ada di Yogyakarta, karena Pasar “X” merupakan salah satu pasar yang
besar di Yogyakarta, obat-obatan tradisional yang diperdagangkan cukup lengkap,
sehingga memiliki banyak konsumen. Simplisia yang dijual di Pasar “X” berasal
dari beragam petani dan daerah yang berbeda-beda, serta disimpan dengan cara
yang beragam oleh masing-masing penjual. Hal tersebut dapat mempengaruhi
kontaminasi jamur, terutama jamur Aspergillus flavus, sehingga kandungan
cemaran aflatoksin di dalam simplisia menjadi besar.
3
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat disusun permasalahan
sebagai berikut.
1. Adakah cemaran aflatoksin pada rimpang kunyit basah yang dikeringkan dan
rimpang kunyit kering yang diperdagangkan di Pasar “X”?
2. Berapakah kadar cemaran aflatoksin dalam rimpang kunyit basah yang
dikeringkan dan rimpang kunyit kering yang diperdagangkan di Pasar “X”?
3. Apakah rimpang kunyit basah yang dikeringkan dan rimpang kunyit kering
yang diperdagangkan di Pasar “X” memenuhi persyaratan obat tradisional yang
baik menurut Persyaratan Obat Tradisional yang diputuskan oleh Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 661/MENKES/SK/VII/1994?
C. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang kunyit dan aflatoksin pernah dilakukan di Fakultas
Farmasi Universtas Sanata Dharma Yogyakarta, namun belum ada penelitian yang
membahas tentang uji aflatoksin pada rimpang kunyit basah yang dikeringkan dan
simplisia kunyit kering yang diperdagangkan di Pasar “X”. Berdasarkan fakta-
fakta penelitian sebelumnya tentang uji aflatoksin yang diperoleh penulis, maka
dapat dipastikan pengujian kandungan cemaran aflatoksin pada rimpang kunyit
basah yang dikeringkan dan simplisia kunyit kering yang diperdagangkan di Pasar
“X” belum pernah dilakukan.
4
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut.
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
prosedur pembuatan simplisia yang baik supaya didapatkan kandungan cemaran
aflatoksin yang minimal dalam rimpang kunyit basah yang dikeringkan dan
rimpang kunyit kering.
2. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui kualitas rimpang kunyit
basah yang dikeringkan dan rimpang kunyit kering yang diperdagangkan di Pasar
“X”.
E. Tujuan Penelitian
Bedasarkan latar belakang dan permasalahan yang ada, maka tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui ada tidaknya cemaran aflatoksin pada rimpang kunyit basah yang
dikeringkan dan rimpang kunyit kering yang diperdagangkan di Pasar “X”.
2. Menetapkan kadar cemaran aflatoksin pada rimpang kunyit basah yang
dikeringkan dan rimpang kunyit kering yang diperdagangkan di Pasar “X”.
3. Mengetahui kesesuaian kadar cemaran aflatoksin pada rimpang kunyit basah
yang dikeringkan dan rimpang kunyit kering yang diperdagangkan di Pasar
“X” dengan persyaratan obat tradisional yang baik menurut Persyaratan Obat
5
Tradisional yang diputuskan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 661/MENKES/SK/VII/1994.
6
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Kunyit
1. Keterangan botani dan deskripsi tanaman
Kunyit (Curcuma domestica Val.) termasuk suku Zingiberaceae
(Anonim, 1977). Tanaman memiliki batang berwarna semu hijau atau agak
keunguan, rimpang terbentuk dengan sempurna, bercabang-cabang, dan berwarna
jingga. Jumlah daun 3 sampai 8 helai. Panjang tangkai daun dan pelepah daun
mencapai 70 cm, berwarna hijau. Bunga terminal, gagang berambut, bersisik,
memiliki panjang 16 cm sampai 40 cm. Kelopak bunga berambut, berdaun lanset,
memiliki panjang 4 cm sampai 8 cm (Anonim, 1977).
2. Klasifikasi
Kingdom : Plantae
Division : Spermatophyta
Subdivision : Angiospermae
Class : Monocotyledoneae
Order : Zingiberales
Family : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Species : Curcuma domestica Val. (Anonim, 2009a).
7
Gambar 1. Rimpang kunyit
Sumber : grocer-e.blogspot.com/2009/12/manfaat-kunyit.html
3. Pemerian
Bau khas aromatik, rasa agak pahit, agak pedas, lama-kelamaan
menimbulkan rasa tebal (Anonim, 1977).
4. Nama daerah
Tanaman kunyit di Sumatera dikenal dengan Kakunye, di Kalimantan
dikenal dengan Kunit, sedangkan di Pulau Jawa dikenal dengan nama Kunyit atau
Temu kuning (Anonim, 1977). Nama Inggris dari kunyit adalah turmeric.
B. Simplisia
1. Definisi
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat
tradisional yang belum mengalami pengolahan apapun juga, kecuali dinyatakan
lain merupakan bahan yang dikeringkan (Anonim, 2005b).
8
2. Metode pembuatan
Cara pembuatan simplisia meliputi penyortiran, pencucian, pengirisan,
pengeringan, dan penyimpanan. Penyortiran dilakukan setelah bahan selesai
dipanen, digunakan untuk memisahkan rimpang yang rusak dengan rimpang yang
masih bagus, atau bahan asing lainnya yang tidak digunakan dalam pembuatan
simplisia (Anonim, 2004). Bahan asing yang tidak diperlukan misalnya adalah
tanah dan gulma. Tanah dan gulma harus dibersihkan dan dipisahkan
(Widanengsih, 2008).
Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran dan mengurangi
mikroba yang menempel pada rimpang kunyit (Anonim, 2004). Pencucian harus
segera dilakukan setelah penyortiran, tanah tidak boleh dibiarkan terlalu lama
menempel pada rimpang karena dapat mempengaruhi mutu bahan. Pencucian
menggunakan air bersih. Pencucian dilakukan dengan cara merendam rimpang
sambil disikat dengan menggunakan sikat yang halus. Perendaman tidak boleh
terlalu lama karena zat tertentu dalam bahan dapat larut ke air sehingga
mempengaruhi mutu bahan tersebut. Pada rimpang terdapat banyak lekukan,
sehingga sikat boleh digunakan dalam pencucian rimpang sebagai alat untuk
mempermudah pencucian (Widanengsih, 2008).
Pada tahap pengirisan, ukuran rajangan berpengaruh pada kualitas bahan
simplisia. Pengeringan merupakan proses yang penting karena dapat menentukan
kualitas simplisia (Anonim, 2004). Pengeringan bertujuan supaya diperoleh
simplisia yang tidak mudah rusak sehingga dapat disimpan dalam jangka waktu
yang lama. Pengeringan menurunkan kadar air, sehingga reaksi enzimatik juga
9
menurun, akibatnya penurunan mutu dan pengrusakan simplisia dapat dicegah.
Suhu pengeringan bergantung pada simplisia dan cara pengeringan. Suhu
pengeringan berkisar antara 30-90°C (Widanengsih, 2008).
Penyimpanan bahan menggunakan jala plastik, kertas, atau karung goni
yang terbuat dari bahan yang tidak beracun atau bereaksi dengan bahan yang
disimpan. Pada kemasan diberi label, dicantumkan nama bahan, bagian tanaman
yang digunakan, kode produksi, nama atau alamat penghasil dan berat bersih.
Gudang penyimpanan harus bersih, ventilasi cukup dan baik, tidak bocor, suhu
gudang maksimal 30°C, kelembaban udara serendah mungkin 65%, gudang bebas
dari hewan, serangga, tikus, dan lain-lain (Widanengsih, 2008).
C. Aflatoksin
Aflatoksin merupakan toksin yang dihasilkan oleh jamur Aspergillus
flavus, bersifat karsinogenik. Aflatoksin tahan terhadap panas, pencampuran, dan
beberapa bahan kimia.
Aflatoksin dapat menimbulkan kelainan hati pada hewan dan manusia.
Menurut Manik (2003), aflatoksin memiliki sifat khas, yaitu menunjukkan
fluoresensi jika terkena sinar ultraviolet, sehingga sifat tersebut dapat digunakan
untuk uji kualitatif maupun penetapan kadar secara kuantitatif.
Aflatoksin terdiri dari empat jenis, yaitu aflatoksin B1, B2, G1, G2,
namun dari keempat jenis tesebut yang paling berbahaya dan toksik adalah
aflatoksin B1 (Osweiler, 2005). Struktur aflatoksin B1, B2, G1, dan G2 dapat
dilihat pada gambar 2.
10
Gambar 2. Struktur aflatoksin
Sumber : www.mycotoxinlab.cn/DownloadHtml.asp?ID=27
Aflatoksin bersifat sangat tidak larut dalam air, larut dalam aseton atau
kloroform, dan titik leburnya antara 237-289°C. Kondisi penyimpanan hasil-hasil
pertanian pangan yang mempercepat pertumbuhan kapang Aspergillus flavus
adalah suhu sekitar 20-30 oC, kelembaban nisbi ruangan lebih dari 80%, kadar air
bahan lebih besar dari 9% dengan Aw (water activity) minimal 0,78 dan optimal
0,98 (Muchtadi, 2005).
Bahaya aflatoksin adalah dapat menyebabkan kelainan hati yang berupa
serosis hepatis, karsinoma hepatis primer, dan sindrom Reye (Manik, 2003).
Jika kelembaban dan suhu udara dapat mendukung aktivitas jamur, maka
aflatoksin dapat diproduksi selama masa penyimpanan, khususnya pada
11
kelembaban udara di atas 12% dan suhu yang lebih tinggi dari 21,111°C
(Osweiler, 2005).
D. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatogafi lapis tipis merupakan metode pemisahan komponen–
komponen atas dasar perbedaan adsorbsi atau partisi oleh fase diam di bawah
gerakan pelarut pengembang atau pelarut pengembangan campur. Pemilihan
pelarut pengembangan sangat dipengaruhi oleh macam dan polaritas zat–zat kimia
yang dipisahkan. Fase diam yang umum dan banyak digunakan adalah silika gel
yang dicampur dengan kalsium sulfat (gips) untuk menambah daya lekat partikel
silika gel pada pendukung (pelat). Absorban lain yang banyak dipakai adalah
alumina, serbuk selulose, kanji dan sephadex (Mulya dan Suharman, 1995).
Parameter pada kromatografi lapis tipis adalah faktor retensi (Rf), merupakan
perbandingan jarak yang ditempuh solut dengan jarak yang ditempuh fase gerak.
Adapun rumusnya sebagai berikut:
Rf =
Harga Rf umumnya lebih kecil dari 1, sedangkan bila dikalikan dengan
100 akan berharga 1-100, sehingga parameter ini dapat digunakan untuk
perhitungan kualitatif dalam pengujian sampel dengan kromatografi lapis tipis
(Sumarno,2001). hRf adalah angka Rf dikalikan faktor 100 (h), menghasilkan
nilai berjangka 0 sampai 100 (Sjahid, 2008).
Cara kerja kromatografi lapis tipis adalah dengan menempatkan 2 sisi
bejana kromatografi, 2 helai kertas saring, tinggi 18 cm, lebar sama dengan
12
panjang bejana. Masukkan lebih kurang 100 ml pelarut ke dalam bejana
kromatografi hingga tinggi pelarut 0,5 cm sampai 1 cm, tutup rapat, kertas saring
harus basah seluruhnya. Totolkan larutan standar dan sampel menurut cara yang
tertera pada masing-masing monografi dengan jarak kira-kira 1,5 sampai 2 cm
dari tepi bawah lempeng, biarkan kering. Pelarut dalam bejana harus mencapai
tepi bawah lapisan penjerap, tempat penetesan tidak boleh terendam. Tutup rapat,
biarkan hingga pelarut merambat 10 cm sampai 15 cm di atas titik penotolan,
keluarkan lempeng kemudian keringkan di udara. Amati bercak mula-mula
dengan sinar ultraviolet gelombang pendek (254 nm) dan gelombang panjang
(366 nm). Ukur dan catat jarak bercak dari titik penotolan dan tiap bercak yang
tampak. Jika perlu, semprot bercak dengan pereaksi yang tertera pada monografi,
amati dan bandingkan kromatogram sampel dengan kromatogram standar
(Anonim, 1979).
13
E. Densitometri
Densitometri merupakan teknik analisis kuantitatif kelanjutan dari
kromatografi lapis tipis. Densitometri merupakan pengukuran sifat-sifat absorbsi
atau fluoresensi suatu zat langsung pada kromatogram lapis tipis menggunakan
alat dengan sumber cahaya tunggal atau ganda, baik berdasarkan cahaya yang
ditransmisikan maupun cahaya yang direfleksikan oleh bercak pada lempeng.
Cara ini banyak digunakan dalam analisis farmasi karena sensitif dan
reprodusibel. Pengukuran absorbsi maupun refleksi, dilakukan pada panjang
gelombang yang memberikan absorbsi atau fluoresensi maksimum untuk
memperoleh sensitivitas yang lebih besar (Harmita, 2005).
Spektrodensitometri merupakan metode untuk mengukur absorbsi zat
pada lapisan tipis. Pada dasarnya semua alat densitometer mempunyai desain
yang sama, yaitu terdiri dari sumber cahaya, alat seleksi panjang gelombang,
sistem kondensor dan fokus sistem optik, detektor fotosensitisasi, serta suatu
mekanisme untuk menggerakkan lempeng ke bawah berkas cahaya terfokus guna
men-scann lempeng tersebut (Harmita, 2005).
Sumber cahaya yang digunakan tergantung panjang gelombang
pengukuran. Untuk mengukur pada panjang gelombang ultraviolet (200-400 nm)
dapat digunakan lampu deutorium (D2), merkuri atau xenon. Untuk pengukuran
pada daerah panjang gelombang cahaya tampak (400-700 nm) dapat digunakan
lampu tungsten, walfram. Sebagai alat seleksi panjang gelombang dapat
digunakan monokromator, filter atau keduanya. Penggunaan monokromator lebih
menguntungkan dibandingkan filter karena monokromator memungkinkan
14
perubahan panjang gelombang dengan mudah dan menghasilkan sebuah berkas
cahaya yang lebih monokromatis. Monokromator terdiri dari entrance slit,
grating, cermin dan exit slit (Harmita, 2005).
F. Landasan Teori
Rimpang kunyit dapat dibuat menjadi simplisia dengan beberapa tahap,
yaitu pencucian, pengirisan, dan pengeringan. Masing-masing tahapan dapat
mempengaruhi kualitas simplisia, khususnya kandungan cemaran aflatoksin.
Adanya aflatoksin dapat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban udara selama
masa penyimpanan. Suhu dan kelembaban udara di lingkungan pasar
mempengaruhi kandungan air dalam simplisia. Adanya kandungan air dalam
simplisia dapat menyebabkan tumbuhnya jamur pada simplisia tersebut, tidak
terkecuali jamur Aspergillus flavus, sehingga simplisia tersebut dapat
mengandung aflatoksin. Lingkungan pasar juga memiliki suhu yang cukup hangat
sehingga mendukung pertumbuhan jamur dan pembentukan aflatoksin.
Untuk mendeteksi adanya cemaran aflatoksin tersebut, dilakukan uji
kualitatif menggunakan Kromatografi Lapis Tipis, dan selanjutnya cemaran
aflatoksin tersebut ditetapkan kadarnya menggunakan metode spektrodensitometri
in situ.
G. Data Emperis yang Diharapkan
Berdasarkan landasan teori di atas, dapat disusun hipothesis sebagai
berikut.
15
1. Rimpang kunyit basah dan simplisia kunyit kering yang diperdagangkan di
Pasar “X” mengandung cemaran aflatoksin.
2. Kadar cemaran aflatoksin rimpang kunyit basah dan simplisia kunyit kering
yang diperdagangkan di Pasar “X” tidak sesuai persyaratan obat tradisional
yang baik menurut Persyaratan Obat Tradisional yang diputuskan oleh Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 661/MENKES/SK/VII/1994.
16
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian noneksperimental karena tidak
dilakukan manipulasi terhadap subjek uji. Rancangan penelitian ini bersifat
deskriptif komparatif, sebab hanya mendeskripsikan keadaan yang ada, kemudian
hasil yang ada dibandingkan dengan standar uji.
B. Variabel dan Definisi Operasional
1. Klasifikasi variabel
a. Variabel bebas. Rimpang kunyit basah yang dikeringkan dan rimpang
kunyit kering yang diperdagangkan di Pasar “X”.
b. Variabel tergantung. Cemaran aflatoksin dan kadar aflatoksin dalam
rimpang kunyit basah yang dikeringkan dan rimpang kunyit kering yang
diperdagangkan di Pasar “X”.
c. Variabel pengacau terkendali. Suhu, penyimpanan rimpang kunyit
basah dan rimpang kunyit kering yang diperdagangkan di Pasar “X”, serta
pengotor-pengotor yang berasal dari alat, bahan, dan pelarut.
2. Definisi operasional
a. Simplisia rimpang kunyit yang ditetapkan kadar aflatoksinnya adalah
rimpang kunyit kering yang diperdagangkan di Pasar “X” yang kemudian
diserbuk, dan rimpang kunyit basah yang diperdagangkan di Pasar “X” yang
17
kemudian dicuci, diiris, dikeringkan menggunakan oven sampai mudah
dipatahkan dengan tangan, lalu diserbuk.
b. Uji aflatoksin adalah uji kualitatif untuk mengetahui ada tidaknya
aflatoksin B1, B2, G1, dan G2 dalam rimpang rimpang kunyit basah yang
dikeringkan dan rimpang kunyit kering.
c. Sistem Kromatografi Lapis Tipis yang digunakan adalah kromatografi
lapis tipis fase normal, dimana fase diamnya (silika gel) lebih polar dan fase
geraknya (kloroform:ethanol:asam asetat) lebih nonpolar.
d. Kadar aflatoksin adalah jumlah aflatoksin pada rimpang kunyit basah
yang dikeringkan dan rimpang kunyit kering yang diperdagangkan di Pasar “X”,
ditetapkan dengan satuan ppb, yang diperoleh dengan metode densitometri.
C. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rimpang kunyit
basah dan rimpang kunyit kering yang diperdagangkan di Pasar “X” Yogyakarta.
Bahan yang memiliki kualitas p.a meliputi etanol p.a (Merck), toluena p.a
(Merck), kloroform p.a (Merck), metanol p.a (Merck), baku aflatoksin (Sigma).
Baku kurkumin yang digunakan berasal dari sintesis. Bahan yang memiliki
kualitas farmasetis meliputi aseton teknis, heksan, NaCl 0,1%, eter, aquadest,
glass wool, silica gel GF254.
18
D. Alat-Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas
merek Pyrex, oven merek Memmert, alat penyerbuk, ayakan dengan nomor mesh
100, seperangkat alat destilasi toluena merek Pyrex, timbangan analitik merek
Precition Balance Model AB-204, Mettler Toledo, waterbath merek Memmert,
vortex, lempeng KLT, lampu UV 254 nm dan 365 nm, CAMAG TLC scanner
densitometric, pompa vakum, pipet tetes, cawan porselin, pinset, pipa kapiler,
chamber KLT, kertas saring, mikropipet.
E. Tata Cara Penelitian
1. Pengambilan rimpang kunyit basah
Rimpang kunyit basah diperoleh dari beberapa pedagang rimpang kunyit
di Pasar “X”, selama bulan Agustus sampai September, sebanyak 10 kg. Rimpang
kunyit basah diambil dari masing-masing satu pedagang dari 4 blok yang ada.
Rimpang basah diambil secara acak, masing-masing sebanyak 2,5 kg.
2. Penyiapan rimpang kunyit basah
Rimpang kunyit basah dicuci dengan air mengalir, ditiriskan, kemudian
diangin-anginkan selama beberapa menit. Rimpang kemudian dipotong-potong
dengan tebal ± 3-4 mm.
3. Pengeringan rimpang kunyit basah
Sebanyak 10 kg rimpang kunyit yang telah dicuci dimasukkan ke dalam
oven blower, kemudian suhu pengeringan diatur pada 50°C. Rimpang dioven
sampai kering dan mudah dipatahkan dengan tangan.
19
4. Pengambilan rimpang kunyit kering
Simplisia kunyit diperoleh dari pedagang simplisia di Pasar “X”, selama
bulan November. Rimpang kunyit kering diambil dari masing-masing satu
pedagang dari 4 blok yang ada. Rimpang kunyit kering diambil secara acak,
masing-masing sebanyak 0,5 kg.
5. Identifikasi rimpang kunyit kering
Rimpang kunyit kering yang dibeli di Pasar “X” diserbuk, kemudian
diamati ciri-ciri makroskopik, mikroskopik, dan organoleptiknya, kemudian
dibandingkan dengan standar MMI. Identifikasi makroskopik dilakukan dengan
mengamati morfologi rimpang kunyit kering. Identifikasi mikroskopik dilakukan
dengan membuat irisan melintang rimpang kunyit kering dan diamati dalam
larutan kloralhidrat dengan menggunakan mikroskop. Identifikasi organoleptik
dilakukan dengan mengamati warna, bau, dan rasa rimpang kunyit kering.
6. Pembuatan serbuk simplisia kunyit hasil pengeringan dan simplisia
kunyit jadi yang dibeli di Pasar “X”
Simplisia rimpang kunyit basah yang sudah dikeringkan dan simplisia
kunyit kering yang diperdagangkan di Pasar “X” segera diserbuk menggunakan
alat penyerbuk. Serbuk kemudian diayak menggunakan ayakan dengan nomor
mesh 100.
7. Penetapan kadar air serbuk rimpang kunyit basah yang dikeringkan
dan rimpang kunyit kering
Serbuk simplisia kunyit basah yang sudah dikeringkan dan serbuk
rimpang kunyit kering yang diperdagangkan di Pasar “X” segera diukur kadar
20
airnya menggunakan metode destilasi toluena. Sebanyak 20 g serbuk dimasukkan
ke dalam labu alas bulat, kemudian ditambahkan 200 ml toluena. Labu alas bulat
kemudian disambungkan dengan alat destilasi, dan dipanaskan. Alat kemudian
dihidupkan dan kecepatan tetesan diatur sampai 4 tetes per detik. Pemanasan
dihentikan apabila sampai ± 30 menit volume air yang tertampung pada tabung
berskala tidak mengalami perubahan lagi. Selanjutnya kadar air diukur dalam %
v/b.
8. Pembuatan eluen untuk KLT
Eluen yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan
campuran kloroform-etanol-asam asetat (96:4:1 v v⁄ ). Eluen dibuat dalam volume
100 ml. Eluen kemudian dituang ke dalam chamber dan dijenuhkan.
9. Pembuatan pelarut
Pelarut yang digunakan dalam penelitian ini adalah campuran metanol
dan aquadest dengan perbandingan 80:20, dibuat sebanyak 250 ml. Sebanyak 200
ml metanol dimasukkan ke dalam labu takar dan diencerkan dengan aquadest
sampai 250 ml.
10. Preparasi sampel simplisia kunyit
Sebanyak 3,125 g serbuk rimpang kunyit basah yang sudah dikeringkan
dan serbuk rimpang kunyit kering yang diperdagangkan di Pasar “X” ditimbang
saksama, kemudian ditambahkan 12,5 ml pelarut metanol:aquadest (80:20).
Campuran digojog dengan vortex selama 15 menit, kemudian disaring
menggunakan kertas saring. Sebanyak 5 ml filtrat diambil, kemudian ditambahkan
dengan 5 ml natrium klorida 0,1% dan 2,5 ml heksana dalam corong pisah.
21
Lapisan bawah diambil dan lapisan atas dibuang. Lapisan bawah kemudian
diekstraksi dengan 2,5 ml heksana. Lapisan bawah diambil dan lapisan atas
dibuang. Lapisan bawah yang diperoleh kemudian diekstraksi menggunakan 2,5
ml kloroform selama ± 10 menit. Lapisan bawah kemudian diambil dan
ditampung dalam cawan petri (A). Lapisan atas diekstraksi kembali menggunakan
2,5 ml kloroform selama ± 4 menit. Lapisan bawah kemudian diambil dan
ditampung dalam cawan petri (A). Fitrat tersebut kemudian diuapkan di atas
waterbath.
11. Preparasi kolom
Kolom yang digunakan dalam penelitian ini dibuat dengan menggunakan
pipet tetes kecil yang diisi dengan sedikit glass wool pada lapisan bawah, silica
gel GF254 setinggi 5 cm dari permukaan glass wool, serta sedikit glass wool pada
lapisan atas silica gel GF254.
Gambar 3. Kolom untuk uji aflatoksin
Kolom dicuci dengan 3 ml heksana, kemudian dicuci dengan 3 ml
kloroform. Hasil preparasi sampel dilarutkan dengan 6 ml kloroform, kemudian
dimasukkan ke dalam kolom. Kolom kemudian berturut-turut dicuci dengan 3 ml
heksan, 3 ml eter, 3 ml kloroform, dan 3 ml kloroform:aseton (9:1). Filtrat
ditampung dalam cawan porselin dan diuapkan di atas waterbath sampai kering.
Silica Gel
Glass Wool5 cm
22
12. Identifikasi aflatoksin
Sampel yang sudah dielusi dalam kolom dilarutkan dengan 0,5 ml
metanol. Sampel kemudian ditotolkan pada plat silica sebanyak 5 bercak. Standar
aflatoksin dan standar kurkumin juga ditotolkan pada plat silica. Sampel yang
sudah ditotolkan kemudian dimasukkan ke dalam chamber KLT, dikembangkan
sampai jarak perambatan eluen mencapai 10 cm dari penotolan. Plat KLT
kemudian diambil dan dikeringkan. Bercak yang terbentuk dideteksi
menggunakan sinar UV 254 nm dan 365 nm. Apabila bercak yang dihasilkan oleh
sampel mengandung warna biru, hal tersebut menandakan bahwa sampel
mengandung aflatoksin. Hasil elusi kemudian digambar pada kertas, dan dihitung
nilai Rf-nya. Nilai Rf yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan nilai Rf
standar aflatoksin campuran B1, B2, G1, dan G2 sehingga diperoleh nilai Rx.
13. Penetapan kadar aflatoksin
Penetapan kadar aflatoksin dilakukan dengan menggunakan metode
spektrodensitometri in situ, lempeng KLT yang sudah dielusi diproses sehingga
melalui bercak elusi aflatoksin dapat ditetapkan kadar aflatoksin dalam simplisia
kunyit.
F. Analisis Hasil
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kadar air serbuk
rimpang kunyit basah yang dikeringkan dan serbuk rimpang kunyit kering, data
perbandingan Rf sampel dengan Rf standar aflatoksin, serta data penetapan kadar
aflatoksin menggunakan KLT densitometer.
23
Kadar air serbuk rimpang kunyit basah yang dikeringkan dan serbuk
rimpang kunyit kering ditetapkan dengan mengukur volume air yang tertampung
pada tabung skala per 20 g serbuk.
Uji kualitatif aflatoksin ditentukan dengan membandingkan Rf sampel
dengan Rf standar aflatoksin. Bila bercak sampel memiliki warna dan Rf yang
sama dengan bercak standar aflatoksin, maka sampel mengandung aflatoksin.
Namun bila bercak sampel tidak memiliki warna dan Rf yang sama dengan bercak
standar aflatoksin, maka sampel tidak mengandung aflatoksin.
Kadar aflatoksin dalam serbuk rimpang kunyit basah yang sudah
dikeringkan akan dibandingkan dengan kadar aflatoksin dalam serbuk rimpang
kunyit kering yang diperdagangkan di Pasar “X”, kemudian dianalisis secara
statistik menggunakan t-test.
24
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengolahan Simplisia Kunyit
Simplisia rimpang kunyit yang digunakan dalam penelitian ini adalah
simplisia rimpang kunyit kering yang diperdagangkan di Pasar “X” yang ada di
Yogyakarta yang kemudian diserbuk, dan rimpang kunyit basah yang
diperdagangkan di Pasar “X” yang kemudian dicuci, diiris, dikeringkan
menggunakan oven sampai mudah dipatahkan dengan tangan, lalu diserbuk.
Rimpang kunyit kering dan rimpang kunyit basah yang dipergunakan dalam
penelitian ini diperoleh dari Pasar “X”. Alasan pemilihan Pasar “X” sebagai
tempat pengumpulan rimpang kunyit kering dan rimpang kunyit basah adalah
karena Pasar “X” merupakan salah satu pasar yang besar di Yogyakarta dan
barang-barang yang dijual di pasar tersebut cukup lengkap, sehingga memiliki
banyak konsumen. Selain itu, simplisia dan rimpang yang dijual di Pasar “X”
berasal dari beragam petani dan daerah yang berbeda-beda, serta disimpan dengan
cara yang beragam oleh masing-masing penjual.
Rimpang kunyit basah yang digunakan dalam penelitian ini dibeli pada
bulan Agustus sampai September, bulan tersebut merupakan musim kemarau,
sehingga diharapkan kandungan air yang terdapat pada simplisia sedikit. Bagian
obat tradisional di Pasar “X” terdiri dari empat blok, pada masing-masing bagian
dimbil 2,5 kg rimpang kunyit basah, sehingga total berat rimpang kunyit basah
yang dipergunakan adalah 10 kg.
25
Rimpang yang sudah dibeli kemudian dicuci dengan air mengalir untuk
menghilangkan pengotor khususnya mikroorganisme yang berasal dari tanah.
Kemudian rimpang kunyit basah yang sudah dicuci tersebut ditiriskan untuk
mengurangi air dari proses pencucian, kemudian dipotong-potong dengan tebal
±3-4 mm supaya pengeringan simplisia rimpang kunyit dapat berlangsung dengan
optimal. Bila irisan terlalu tipis, maka simplisia dapat terlalu kering sehingga
kandungan kimia di dalamnya dapat hilang dan simplisia akan mudah hancur. Bila
irisan terlalu tebal, simplisia rimpang kunyit akan sulit kering sehingga
kandungan air di dalamnya masih banyak. Hal ini dapat menyebabkan
pembusukan dan pertumbuhan jamur dalam simplisia tersebut.
Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air yang terdapat pada
simplisia supaya tidak terkontaminasi mikroorganisme dan supaya reaksi
enzimatik yang dapat menguraikan senyawa aktif dalam simplisia terhenti.
Pengeringan dilakukan dengan oven blower pada suhu 40-60°C supaya
kandungan minyak atsiri dalam rimpang kunyit tidak menguap. Penggunaan oven
blower bertujuan supaya sirkulasi udara berjalan dengan baik dan panas yang
dihasilkan merata sehingga semua rimpang kunyit yang ada dalam oven dapat
kering dengan sempurna. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan dapat
dikontrol dengan menggunakan oven, diantaranya adalah faktor suhu,
kelembaban, dan aliran udara. Indikator simplisia yang sudah kering adalah
apabila simplisia tersebut mudah dipatahkan dengan tangan.
Rimpang kunyit kering yang digunakan dalam penelitian ini diambil pada
bulan November, bulan tersebut merupakan musim kemarau, sehingga diharapkan
26
kandungan air yang terdapat pada simplisia rendah. Bagian obat tradisional di
Pasar “X” terdiri dari empat bagian, pada masing-masing bagian diambil 0,5 kg
simplisia kunyit kering sehingga total berat rimpang kunyit basah yang
dipergunakan adalah 2 kg.
Sebelum diserbuk, perlu dilakukan identifikasi makroskopik,
mikroskopik, dan organoleptik rimpang kunyit kering untuk mengetahui
kebenarannya. Hasil identifikasi makroskopik, mikroskopik, dan organoleptik
rimpang kunyit kering ditunjukkan pada tabel I, tabel II, dan gambar 4.
Tabel I. Hasil identifikasi makroskopik rimpang kunyit kering
Pengamatan Makroskopik Rimpang Kunyit Kering MMI
Bentuk Kepingan bulat, ringan, keras tapi rapuh, Diameter= 2-3 cm,
tebal= 1-3 mm
Kepingan hampir bundar sampai bulat panjang,ringan,
rapuh,Diameter 0,5-9,tebal 1-5 mm
Warna Orange kecoklatan,
Bidang irisan berwarna lebih buram
Kuning jingga sampai coklat kemerahan.
Tabel II. Hasil identifikasi organoleptik rimpang kunyit kering
Pengamatan Organoleptik Rimpang Kunyit Kering MMI Bau Khas aromatis Khas aromatis
Rasa Agak pahit, pedas, lidah terasa tebal
Agak pahit, agak pedas, lama-kelamaan menimbulkan rasa
tebal
Warna Kuning-orange tua Kuning jingga, kuning jingga
kemerahan smapai kuning jingga kecoklatan
Bentuk Pipih, bulat Hampir bundar sampai bulat panjang
27
Gambar 4. Hasil identifikasi mikroskopik rimpang kunyit kering
Gambar 5. Penampang melintang rimpang kunyit menurut MMI
Berdasarkan hasil identifikasi makroskopik, mikroskopik, dan
organoleptik, diperoleh hasil bahwa rimpang yang dibeli merupakan rimpang
kunyit karena, karena memiliki kesesuaian dengan MMI.
28
Rimpang kunyit basah hasil pengeringan dan rimpang kunyit kering yang
dibeli dari Pasar “X” kemudian disortir terlebih dahulu. Penyortiran ini dilakukan
dengan memisahkan simplisia dari pengotor, yaitu bahan selain simplisia sehingga
nantinya diperoleh serbuk simplisia yang benar-benar murni. Setelah disortir,
simplisia kemudian diserbuk. Penyerbukan ini bertujuan untuk memperkecil
ukuran partikel sehingga permukaan serbuk simplisia yang kontak dengan pelarut
nantinya akan semakin besar. Serbuk yang diperoleh kemudian diayak dengan
ayakan bernomor mesh 100 supaya dihasilkan partikel dengan ukuran yang
seragam.
B. Penetapan Kadar Air Serbuk Simplisia Kunyit
Kadar air serbuk rimpang kunyit basah hasil pengeringan dan serbuk
rimpang kunyit kering yang dibeli dari Pasar “X” dilakukan dengan metode
destilasi toluena. Prinsip dari metode ini adalah pemisahan berdasarkan berat
jenis. Gambar alat destilasi toluena dapat dilihat pada gambar 6.
29
Gambar 6. Alat destilasi toluena
Bagian A merupakan pemanas yang berfungsi untuk memberikan panas
untuk menguapkan toluen dan air yang terkandung dalam serbuk. Bagian B
merupakan labu alas bulat yang berguna untuk menampung serbuk kunyit serta
toluena. Bagian C merupakan tabung berskala. Pada tabung ini dapat dilihat
volume air yang tertampung sehingga dapat ditentukan kadarnya. Bagian D
merupakan pendingin yang berguna untuk mengkondensasi uap menjadi cair.
Serbuk dimasukkan ke dalam labu alas bulat, kemudian direndam dengan
toluena dan dipanaskan. Pelarut yang digunakan adalah toluena karena toluena
memiliki titik didih yang mendekati air. Titik didih air adalah 100°C, sedangkan
titik didih toluena adalah 110,6°C. Toluena dan air yang terkandung dalam serbuk
akan menguap dengan adanya pemanasan. Uap toluena dan uap air yang mencapai
pendingin kemudian akan terkondensasi menjadi cair, sehingga akan tertampung
dalam tabung berskala dalam bentuk cairan. Karena memiliki berat jenis yang
C
B
A
D
30
berbeda, maka toluena dan air akan terpisah. Air akan berada pada lapisan bawah,
karena air memiliki berat jenis yang lebih besar daripada toluena, yaitu 1g/mL.
Toluena akan berada pada lapisan atas karena berat jenis toluena lebih kecil
daripada air, yaitu 0,8869 g/mL (Anonim, 1988). Kecepatan tetesan diatur pada 4
tetes per detik supaya hasil yang diperoleh optimal. Air yang tertampung
kemudian diukur volumenya dan dibandingkan terhadap berat serbuk yang
digunakan, sehingga hasilnya diperoleh dalam %v/b. Destilasi dilakukan sampai
volume air yang tertampung tidak bertambah lagi.
Adanya air dalam simplisia dapat menimbulkan tumbuhnya jamur,
karena air merupakan media yang baik bagi pertumbuhan jamur dan mikroba.
Syarat kadar air simplisia terstandar adalah < 10% (Anonim, 1994). Hal tersebut
sesuai asumsi bahwa pada kadar tersebut jumlah mikroba dan jamur dapat
diminimalisir.
Hasil kadar air serbuk rimpang kunyit basah yang dikeringkan dapat
dilihat pada Tabel III.
Tabel III. Kadar air serbuk rimpang kunyit basah yang dikeringkan
Replikasi Volume air (ml) Berat serbuk (g) Kadar air (%v/b) 1 1,5 20,00 7,5 2 1,5 20,00 7,5 3 1,3 20,00 6,5 4 1,5 20,00 7,5 5 1,6 20,00 8
Berdasarkan hasil yang diperoleh, diketahui bahwa kadar air serbuk
rimpang kunyit basah yang dikeringkan dari kelima replikasi sesuai dengan
persyaratan baku, yaitu < 10%.
31
Hasil kadar air serbuk rimpang kunyit kering yang dibeli dari Pasar “X”
dapat dilihat pada Tabel IV.
Tabel IV. Kadar air serbuk rimpang kunyit kering yang dibeli di Pasar “X”
Replikasi Volume air (ml) Berat serbuk (g) Kadar air (%v/b) 1 1,8 20,00 9 2 1,75 20,00 8,75 3 1,8 20,00 9 4 1,6 20,00 8 5 1,85 20,00 9,25
Berdasarkan hasil kadar air yang diperoleh, rimpang kunyit kering yang
dibeli di Pasar “X” memiliki kadar air yang sesuai dengan persyaratan baku, yaitu
<10%. Jadi, rimpang kunyit kering yang dibeli di Pasar “X” memenuhi
persyaratan simplisia yang baik. Selain itu, dengan kadar air < 10%, bisa
diasumsikan bahwa jumlah mikroba dan jamur yang terdapat pada rimpang kunyit
kering yang dibeli di Pasar “X” ini sedikit.
Air yang terdapat dalam simplisia dapat digunakan oleh mikroorganisme
sebagai media untuk hidup. Kadar air dalam simplisia dipengaruhi oleh suhu dan
kelembapan udara (Osweiler, 2005). Apabila kandungan air dalam simplisia
tinggi, maka kemungkinan jumlah mikroorganisme yang ada dalam simplisia
tersebut juga tinggi. Dari hasil penetapan kadar air, diketahui bahwa rimpang
kunyit basah yang dikeringkan dan rimpang kunyit kering yang diperdagangkan di
Pasar “X” memiliki kadar air < 10%, sehingga diharapkan jumlah cemaran
mikroorganisme, khususnya jamur, dalam rimpang kunyit basah yang dikeringkan
dan rimpang kunyit kering yang diperdagangkan di Pasar “X” juga sedikit. Kadar
air yang kecil disebabkan oleh kondisi penyimpanan rimpang kunyit basah yang
32
dikeringkan dan rimpang kunyit kering selama diperdagangkan di Pasar “X”.
Rimpang kunyit basah dan rimpang kunyit kering dibeli pada saat musim
kemarau. Saat musim kemarau, kandungan air dalam simplisia juga sedikit
(Rahmianna, 2007), sehingga kadar air yang diperoleh juga kecil.
C. Preparasi Kolom
Kolom kromatografi yang digunakan dalam penelitian ini dibuat dari
pipet tetes yang diisi dengan silica gel GF254. Penggunaan silica gel GF254 adalah
sebagai fase diam. Pengisian fase diam sebanyak 5 cm bertujuan untuk
mengoptimalkan pemisahan. Pada bagian bawah dan atas silica gel GF254 adalah
glass wool untuk memperkuat kolom yang digunakan.
Sebelum digunakan, kolom terlebih dahulu dicuci dengan heksan untuk
menghilangkan pengotor-pengotor berupa lemak yang ada dalam kolom.
Kemudian kolom dicuci kembali dengan kloroform untuk menghilangkan sisa-
sisa heksan.
D. Preparasi Sampel Simplisia Kunyit
Serbuk rimpang kunyit basah yang dikeringan dan serbuk rimpang kunyit
kering yang dibeli di Pasar “X” ditimbang, kemudian ditambahkan pelarut
metanol-aquadest (80:20). Pelarut ini bersifat polar, sehingga senyawa polar yang
ada dalam serbuk akan terikat pada pelarut dan yang bersifat non polar akan
terpisah. Pemisahan dioptimalkan dengan vortex selama 15 menit. Campuran
yang diperoleh disaring menggunakan kertas saring untuk menghilangkan
33
pengotor. Filtrat yang diperoleh kemudian ditampung dan ditambahkan dengan
Natrium Klorida 0,1% dan heksan dalam corong pisah. Natrium Klorida 0,1%
berfungsi untuk mengikat air yang ada dalam filtrat, sedangkan fungsi heksan
adalah untuk menghilangkan lemak yang berada pada filtrat. Lapisan yang
diambil adalah lapisan bawah, yaitu lapisan yang tidak memiliki kandungan
lemak dan air. Lapisan bawah ini kemudian diekstraksi kembali dengan
kloroform, untuk memurnikan senyawa yang diperoleh. Ekstraksi dengan
kloroform dilakukan sebanyak 2 kali selama ± 10 menit untuk mengoptimalkan
pemurnian senyawa yang diperoleh. Larutan yang diperoleh kemudian diuapkan
di atas waterbath untuk menghilangkan pelarut organik yang digunakan untuk
mengekstraksi tadi, sehingga diperoleh ekstrak kering.
Ekstrak kering yang diperoleh tersebut dilarutkan dalam kloroform
supaya senyawa-senyawa nonpolar yang terkandung dalam sampel seperti
aflatoksin dapat tertarik ke dalam pelarut. Kemudian dicuci kembali
menggunakan heksana, eter, kloroform, dan kloroform-aseton (9:1) untuk
menghilangkan pengotor dan semua senyawa nonpolar dapat terelusi dengan
sempurna. Larutan yang diperoleh kemudian diuapkan di atas waterbath untuk
menguapkan pelarut sehingga diperoleh ekstrak kering.
E. Identifikasi Aflatoksin
Identifikasi aflatoksin dilakukan dengan metode Kromatografi Lapis
Tipis (KLT) fase normal, dimana fase diam yang digunakan bersifat polar dan
fase gerak yang digunakan bersifat nonpolar. Fase diam yang digunakan berupa
34
plat silica gel GF254. Sedangkan fase gerak yang digunakan adalah campuran
kloroform-etanol-asam asetat ( 96:4:1, v v⁄ ).
Ekstrak kering yang diperoleh dari tahap preparasi sampel simplisia
kunyit dilarutkan dengan metanol sebelum ditotolkan. Dalam penelitian ini
dilakukan replikasi sampel sebanyak lima kali. Untuk mengidentifikasi aflatoksin
dalam sampel, dilakukan penotolan baku aflatoksin, baku kurkumin, dan sampel
sebanyak 5 replikasi, masing-masing untuk sampel serbuk rimpang kunyit basah
yang dikeringkan dan serbuk rimpang kunyit kering yang dibeli di Pasar “X”.
Baku aflatoksin yang digunakan adalah Aflatoksin B + G mixture dari Sigma
(product number A9441). Baku aflatoksin berfungsi sebagai pembanding untuk
mengidentifikasi adanya aflatoksin dalam sampel. Baku kurkumin berfungsi
sebagai pembanding untuk mengidentifikasi adanya kurkumin dalam sampel.
Baku kurkumin digunakan karena dalam kunyit juga terkandung senyawa
kurkumin yang berkhasiat dalam pengobatan. Deteksi dilakukan dengan
menggunakan sinar UV 254 nm dan 365 nm. Hasil yang diperoleh ditunjukkan
pada gambar 7, 8, 9, dan 10.
35
A B C D E F G Gambar 7. Kromatogram KLT serbuk rimpang kunyit basah yang dikeringkan, pada UV
254 nm Keterangan: A : Baku Aflatoksin B : Baku Kurkumin C : Sampel replikasi I D : Sampel replikasi II E : Sampel replikasi III F : Sampel replikasi IV G : Sampel replikasi V
0,00
0,50
1,00
Rf
36
A B C D E F G Gambar 8. Kromatogram KLT serbuk rimpang kunyit basah yang dikeringkan, pada UV
365 nm Keterangan: A : Baku Aflatoksin B : Baku Kurkumin C : Sampel replikasi I D : Sampel replikasi II E : Sampel replikasi III F : Sampel replikasi IV G : Sampel replikasi V
Dari gambar 7 dan 8, ditunjukkan bahwa pada serbuk rimpang kunyit
basah yang dikeringkan tidak terdeteksi adanya kandungan aflatoksin. Hal ini
ditunjukkan dengan tidak adanya pendar fluoresensi biru pada sampel seperti pada
baku aflatoksin. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa rimpang kunyit basah
yang dikeringkan memenuhi persyaratan obat tradisional yang baik karena tidak
terdeteksi adanya aflatoksin.
0,00
0,50
1,00
Rf
37
A B C D E F G Gambar 9. Kromatogram KLT serbuk rimpang kunyit kering yang dibeli di Pasar “X”,
pada UV 254 nm Keterangan: A : Baku Aflatoksin B : Baku Kurkumin C : Sampel replikasi I D : Sampel replikasi II E : Sampel replikasi III F : Sampel replikasi IV G : Sampel replikasi V
0,00
0,50
1,00
Rf
38
A B C D E F G
Gambar 10. Kromatogram KLT serbuk rimpang kunyit kering yang dibeli di Pasar “X”, pada UV 365 nm
Keterangan: A : Baku Aflatoksin B : Baku Kurkumin C : Sampel replikasi I D : Sampel replikasi II E : Sampel replikasi III F : Sampel replikasi IV G : Sampel replikasi V
Dari gambar 9 dan 10, ditunjukkan bahwa pada serbuk rimpang kunyit
kering yang diperdagangkan di Pasar “X” tidak terdeteksi adanya kandungan
aflatoksin. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya pendar fluoresensi biru pada
sampel seperti pada baku aflatoksin. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
rimpang kunyit kering yang diperdagangkan di Pasar “X” memenuhi persyaratan
obat tradisional yang baik karena tidak terdeteksi adanya aflatoksin.
Kandungan aflatoksin yang tidak terdeteksi dalam rimpang kunyit basah
yang dikeringkan dan rimpang kunyit kering yang diperdagangkan di Pasar “X”
kemungkinan disebabkan oleh kadar air yang kecil pada kedua sampel tersebut,
0,00
0,50
1,00
Rf
39
sehingga cemaran mikroorganisme, khususnya jamur juga sedikit, bahkan tidak
terdapat aflatoksin yang membahayakan. Selain itu, hal tersebut juga bisa
disebabkan oleh aktivitas kunyit itu sendiri, khususnya minyak atsiri dalam
kunyit, yaitu sebagai antijamur dan antibakteri (Parwata, 2008), sehingga cemaran
jamur yang ada dalam simplisia kunyit menjadi sedikit. Selain itu, kandungan
kurmunin dalam kunyit juga berfungsi sebagai antifungi (Zahro, 2009).
Mikotoksin dapat diproduksi dengan optimal pada kadar air 18-30%
(Rukmi, 2009). Pada kadar air ≤ 8%, pertumbuhan jamur Aspergillus flavus dan
adanya aflatoksin dapat terhambat (Rahmianna, 2007). Dari hasil kadar air
diketahui bahwa rimpang kunyit basah yang dikeringkan memiliki kadar air ≤ 8%.
Hal ini kemungkinan dapat menyebabkan tidak terdeteksinya kandungan jamur
Aspergillus flavus dan kandungan aflatoksin dalam rimpang kunyit basah yang
dikeringkan.
Faktor lain yang menyebabkan kontaminasi jamur adalah genetik
tanaman serta kondisi sebelum dan sesudah panen (Noveriza, 2008). Tidak adanya
kandungan aflatoksin juga bisa disebabkan oleh faktor genetik tanaman kunyit
yang memang sudah baik, dan kondisi sebelum dan sesudah panen yang baik.
Karena tidak terdapat kandungan aflatoksin pada rimpang kunyit basah
yang dikeringkan dan rimpang kunyit kering yang diperdagangkan di Pasar “X”,
maka tidak dilakukan penetapan kadar aflatoksin menggunakan metode
densitometri. Selain itu juga tidak dilakukan uji statistika menggunakan t-test
untuk membandingkan hasil antara serbuk rimpang kunyit basah yang
dikeringkan dan serbuk rimpang kunyit kering yang diperdagangkan di Pasar “X”.
40
Tidak adanya kandungan aflatoksin dalam rimpang kunyit basah yang
dikeringkan dan rimpang kunyit kering menunjukkan bahwa kedua sampel
tersebut memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.
41
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Kandungan aflatoksin pada rimpang kunyit basah yang dikeringkan dan
rimpang kunyit kering yang diperdagangkan di Pasar “X” tidak terdeteksi.
2. Karena tidak terdeteksinya cemaran aflatoksin pada rimpang kunyit basah yang
dikeringkan dan rimpang kunyit kering yang diperdagangkan di Pasar “X”, maka
tidak dilakukan penetapan kadar aflatoksin menggunakan metode
spektrodensitometri in situ.
3. Rimpang kunyit basah yang dikeringkan dan rimpang kunyit kering yang
diperdagangkan di Pasar “X” memenuhi persyaratan obat tradisional yang baik
menurut Persyaratan Obat Tradisional yang diputuskan oleh Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 661/MENKES/SK/VII/1994 dalam hal cemaran
aflatoksin.
B. Saran
Perlu dilakukan pengujian lain untuk mengetahui kualitas rimpang kunyit basah
dan simplisia kunyit kering yang diperdagangkan di Pasar “X”, seperti uji ALT,
AKK, logam berat, serta cemaran pestisida.
42
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1977, Materia Medika, jilid I, 47-52, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
Anonim, 1979, Farmakope Indonesia III, 782-784, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta Anonim, 1994, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
661/MENKES/SK/VII/1994 tentang Persyaratan Obat Tradisional, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
Anonim, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, cetakan
pertama, Badan Obat dan Makanan, Jakarta Anonim, 2004, Teknologi Proses, Buletin Teknopro Hortikultura, edisi 69, 2 Anonim, 2005a, Gerakan Nasional Minum Temulawak, InfoPOM, Vol. 6, No. 6,
2 Anonim, 2005b, Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik, 2,
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta Anonim, 2008, Daftar Obat Alam, Edisi III, Himpunan Seminat Apoteker Industri
Obat Tradisional P D ISFI Jawa Tengah, Semarang Anonim, 2009a, Plants Profile,
http://plants.usda.gov/java/profile?symbol=CULO, diakses tanggal 21 Januari 2010
Anonim, 2009b, Manfaat Kunyit, grocer-e.blogspot.com/2009/12/manfaat-
kunyit.html, diakses tanggal 21 Januari 2010 Egmond, H. P. V., 1999, Worldwide Regulation for Mycotoxins, Third Joint
FAO/WHO/UNEP International Conference of Mycotoxins, Tunis, Tunisia
Handajani, N. M. dan Setyaningsih, R., 2006, Identifikasi Jamur dan Deteksi
Aflatoksin B1 terhadap Petis Udang Komersial, Biodiversitas, Vol. 7, No. 3, 212-215 , Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta
Handajani, N. M., dan Purwoko, T., 2008, Aktivitas Ekstrak Rimpang Lengkuas
(Alpinia galanga) terhadap Pertumbuhan Jamur Aspergillus spp.
43
Penghasil Aflatoksin dan Fusarium moniliforme, Biodiversitas, Vol. 9, No. 3, 161-164, Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta
Harmita, I.G.A., 2005, Buku Pegangan Kuliah Kromatografi, 101-102,
Universitas Setia Budi, Surakarta Manik, M., 2003, Keracunan Makanan, 3, Universitas Sumatera Utara, Medan Muchtadi, D., 2005, Tidak dapat Hilang Walau Sudah Diolah: Aflatoxin, Racun
Penyebab Kanker, http://web.ipb.ac.id/~tpg/de/pubde_fdsf_aflatoxin.php, diakses tanggal 20 Januari 2010
Mulya, M. dan Suharman, 1995, Analisis Instrumental, Cetakan Pertama, Penerbit
Airlangga University Press, Surabaya Noveriza, R., 2008, Kontaminasi Cendawan dan Mikotoksin pada Tumbuhan
Obat, Perspektif, Vol. 7, No. 1, 35-46, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Bogor
Osweiler, G., 2005, Aflatoxins and Animal Health, 1, Iowa State University, USA Parwata, I. M. O. A., dan Dewi, P. F. S., 2008, Isolasi dan Uji Aktivitas
Antibakteri Minyak Atsiri dari Rimpang Lengkuas, Jurnal Kimia, Vol. 2, No. 2, 100-104, Jurusan Kimia FMIPA Universitas Udayana, Bali
Rahmianna, A. A., Ginting, E., dan Yusnawan, E., 2007, Cemaran Aflatoksin B1
pada Kacang Tanah yang Diperdagangkan di Sentra Produksi Banjarnegara, Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, Vol. 26, No. 2, 139, Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang
Reddy, S. V. Dan Waliyar, F., 2008, Properties of Aflatoxin and It Producing
Fungi, www.mycotoxinlab.cn/DownloadHtml.asp?ID=27, diakses tanggal 21 Januari 2010
Rukmi, I., 2009, Keanekaragaman Aspergillus pada Berbagai Simplisia Jamu
Tradisional, Jurnal Sains dan Matematika (JSM), Vol. 17, No. 2, 82-89, Jurusan Biologi FMIPA Universitas Diponegoro, Semarang
Sashidar, R. B., 1993, Dip-Strip Method for Monitoring Environmental
Contamination of Aflatoxin in Food and Feed: Use of a Portable Aflatoxin Detection Kit, Environmental Health Perspectives Supplements, Vol. 101, Suppl. 3, 43-46, Department of Biochemistry Osmania University, India
44
Sjahid, L. R., 2008, Isolasi dan Identifikasi Flavonoid dari Daun Dewandaru
(Eugenia uniflora L.), Skripsi, 12, Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah, Surakarta
Sulaiman, M. R., Yee, C. F., Hamid, A., and Yatim, A. M., 2007, The Occurrence
of Aflatoxins in Raw Shelled Peanut Samples from Three Districts of Perak, Malaysia, EJEAFChe, Vol. 6, No. 5, 2045-2052, School of Food Science and Nutrition Universiti, Malaysia
Sumarno, 2001, Kromatografi Teori Dasar, Bagian Kimia Farmasi Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta, Yogyakarta Sustiary, 2005, Uji Identifikasi dan Kemurnian Simplisia Biji Petai Cina
(Leucaena glauca Bth.) dengan Variasi pada Metode Pengeringan, Skripsi, 30-32, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Widanengsih, N., 2008, Teknik Pembuatan Simplisia,
http://niknikwidanengsih.blogspot.com/2008/11/teknik-pembuatan-simplisia.html, diakses tanggal 8 Januari 2010
Winarti, C., dan Nurdjanah, N., 2005, Peluang Tanaman Rempah dan Obat
sebagai Sumber Pangan Fungsional, Jurnal Litbang Pertanian, 24, 49 Zahro, L., Cahyono, B., dan Hastuti, R. B., 2009, Profil Tampilan Fisik dan
Kandungan Kurkuminoid dari Simplisia Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) pada Beberapa Metode Pengeringan, Jurnal Sains dan Matematika, Vol. 17, No. 1, 24-32, Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Diponegoro, Semarang
45
LAMPIRAN
46
Lampiran 1. Data penimbangan untuk preparasi sampel A. Serbuk rimpang kunyit basah hasil pengeringan
Replikasi Bobot serbuk (g) 1 1,2505 2 1,2508 3 1,2506 4 1,2505 5 1,2505
B. Serbuk rimpang kunyit kering yang dibeli di Pasar “X”
Replikasi Bobot serbuk (g) 1 1,2504 2 1,2507 3 1,2505 4 1,2505 5 1,2506
47
Lampiran 2. Contoh perhitungan kadar air Volume air = 1,5 ml
Berat serbuk = 20,00 g
Kadar air = , ,
= ,
, = 7,5% v b
48
Lampiran 3. Foto-foto lain A. Alat destilasi toluena
B. Kromatogram bercak sebelum elusi 1. Kromatogram KLT serbuk rimpang kunyit basah yang dikeringkan, deteksi
pada UV 254 nm
A B C D E F G
Keterangan: A : Baku Aflatoksin B : Baku Kurkumin C : Sampel replikasi I D : Sampel replikasi II E : Sampel replikasi III F : Sampel replikasi IV G : Sampel replikasi V
0,00
0,50
1,00
Rf
49
2. Kromatogram KLT serbuk rimpang kunyit basah yang dikeringkan, deteksi pada UV 365 nm
A B C D E F G
Keterangan: A : Baku Aflatoksin B : Baku Kurkumin C : Sampel replikasi I D : Sampel replikasi II E : Sampel replikasi III F : Sampel replikasi IV G : Sampel replikasi V
3. Kromatogram KLT serbuk rimpang kunyit kering yang diperdagangkan di
Pasar “X”, deteksi pada UV 254 nm
A B C D E F G
0,00
0,50
1,00
Rf
0,00
0,50
1,00
Rf
50
Keterangan: A : Baku Aflatoksin B : Baku Kurkumin C : Sampel replikasi I D : Sampel replikasi II E : Sampel replikasi III F : Sampel replikasi IV G : Sampel replikasi V
4. Kromatogram KLT serbuk rimpang kunyit kering yang diperdagangkan di
Pasar “X”, deteksi pada UV 365 nm
A B C D E F G
Keterangan: A : Baku Aflatoksin B : Baku Kurkumin C : Sampel replikasi I D : Sampel replikasi II E : Sampel replikasi III F : Sampel replikasi IV G : Sampel replikasi V
C. Kromatogram bercak setelah elusi
1. Kromatogram KLT serbuk rimpang kunyit basah yang dikeringkan, deteksi pada UV 254 nm
0,00
0,50
1,00
Rf
51
A B C D E F G
Keterangan: A : Baku Aflatoksin B : Baku Kurkumin C : Sampel replikasi I D : Sampel replikasi II E : Sampel replikasi III F : Sampel replikasi IV G : Sampel replikasi V
2. Kromatogram KLT serbuk rimpang kunyit basah yang dikeringkan,
deteksi pada UV 365 nm
A B C D E F G
Keterangan:
0,00
0,50
1,00
Rf
0,00
0,50
1,00
Rf
52
A : Baku Aflatoksin B : Baku Kurkumin C : Sampel replikasi I D : Sampel replikasi II E : Sampel replikasi III F : Sampel replikasi IV G : Sampel replikasi V
3. Kromatogram KLT serbuk rimpang kunyit kering yang diperdagangkan di
Pasar “X”, deteksi pada UV 254 nm
A B C D E F G
Keterangan: A : Baku Aflatoksin B : Baku Kurkumin C : Sampel replikasi I D : Sampel replikasi II E : Sampel replikasi III F : Sampel replikasi IV G : Sampel replikasi V
4. Kromatogram KLT serbuk rimpang kunyit kering yang diperdagangkan di
Pasar “X”, deteksi pada UV 365 nm
0,00
0,50
1,00
Rf
53
A B C D E F G
Keterangan: A : Baku Aflatoksin B : Baku Kurkumin C : Sampel replikasi I D : Sampel replikasi II E : Sampel replikasi III F : Sampel replikasi IV G : Sampel replikasi V
D. Chamber elusi
0,00
0,50
1,00
Rf
54
E. Rimpang kunyit basah
F. Rimpang kunyit kering
55
G. Serbuk rimpang kunyit basah yang dikeringkan
H. Serbuk rimpang kunyit kering
56
BIOGRAFI PENULIS
Penulis skrispi dengan judul “Uji Cemaran Aflatoksin pada
Rimpang Kunyit (Curcuma domestica Val.) Basah yang
Dikeringkan dan Rimpang Kunyit Kering yang
Diperdagangkan di Pasar “X” memiliki nama lengkap Felisia
Wulan Apsari. Penulis dilahirkan di Jakarta, 1 Oktober 1987
dan merupakan putri pertama dari pasangan F. X. Setya Irawan dan Anna Ratna
Palupi. Pendidikan formal yang telah ditempuh penulis yaitu tahun 1992 di TK
Maria Assumpta Klaten, tahun 1994 di SD Maria Assumpta Klaten, tahun 2000 di
SMP Pangudi Luhur I Klaten, tahun 2003 di SMA Pangudi Luhur Van Lith
Muntilan. Pada tahun 2006, penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan menyelesaikannya pada tahun 2010.
Selama menempuh pendidikan di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta, penulis pernah bekerja sebagai asisten dosen mata kuliah
Farmakognosi Fitokimia.