258
PEMULIHAN PENGHIDUPAN WARGA PASCA LETUSAN 2010 Laporan Studi Longitudinal UNITED NATIONS DEVELOPMENT PROGRAMME - INDONESIA DISASTER RISK REDUCTION BASED REHABILITATION AND RECONSTRUCTION (DR4) MERAPI RECOVERY RESPONSE (MRR) BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA (BNPB)

UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Laporan Pemulihan Penghidupan Warga Pasca erupsi 2010

Citation preview

Page 1: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

PEMULIHAN PENGHIDUPAN WARGA PASCA LETUSAN 2010 Laporan Studi Longitudinal

UNITED NATIONS DEVELOPMENT PROGRAMME - INDONESIADISASTER RISK REDUCTION BASED REHABILITATION AND

RECONSTRUCTION (DR4)MERAPI RECOVERY RESPONSE (MRR)

BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA (BNPB)

Page 2: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

MERAPI:Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010,Laporan Studi Longitudinal

n Penulis: Bondan Sikoki, Juli Eko Nugroho, F. Asisi S.Widanto, Naibul Umam Eko Sakti, Istiarsi Saptuti Sri Kawuryan, Edy Purwanto, Yugyasmono, Dati Fatimah, Ni Wayan Suriastini, Saleh Abdullah, Aris Sustiyonon Pendata: Tim FPRB DIY, Tim FPRB Jawa Tengah, Tim SurveyMETERn Fotografer: Beta Pettawaranie, Edi Kusmaedi, Sumino Manto, Saleh Abdullah, Armin Hari, Yudhi Kusnanton Penyunting: DR. Syamsul Ma’arif, M.Si., Ir. Bambang Sulistianto, M.M.,Ir. Siswanto Budi Prasodjo, M.M., Lu’lu Muhammad, Rinto Andriono,Ir. Bayudono, M.Sc., Eko Teguh Paripurno, dan Roem Topatimasang

© Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) & UNDP Indonesia, Disaster Risk Reduction Based Rehabilitation and Reconstruction (DR4), Merapi Recovery Response (MRR)

November 2013, cetakan kedua.

PERPUSTAKAAN NASIONALKatalog Dalam Terbitan (KDT)

1. Bencana 2. Pemulihan 3. Penghidupan4. Merapi I JUDUL

ISBN 978-602-8384-64-3

+xxviii, 230 halaman, 22 x 28 cmsampul kertas

Page 3: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Penerbitan laporan ini adalah kerjasama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan UNDP Indonesia, Disaster Risk Reduction Based Rehabilitation and Reconstruction (DR4)-Merapi Recovery Response (MRR) dengan:

n Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Daerah Istimewa Yogyakarta dan FPRB Jawa Tengah -- gabungan beberapa lembaga pemerintah, perguruan tinggi, dan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang terlibat dalam upaya-upaya pemulihan kehidupan warga korban bencana Merapi 2010.

n SurveyMeter -- satu lembaga penelitian yang berkedudukan di Yogyakarta, memusatkan perhatian pada pendataan longitudinal keadaan kehidupan warga di berbagai daerah di seluruh Indonesia, termasuk di kawasan Merapi.

Terima kasih kepada:n Badan-badan Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman, Kabupaten Klaten, Kabupaten Magelang, dan Kabupaten Boyolali, yang telah membantu kelancaran kerja tim survei;

n Para pemimpin masyarakat, pamong desa, dan seluruh warga dari desa-desa yang disurvei di kawasan Merapi, yang dengan tangan terbuka telah menerima, memberi data, dan menjadi tuan rumah yang sangat baik bagi semua anggota tim survei.

DR. Syamsul Ma’arif, M.Si, Kepala BNPB, meninjau lokasi pasca-erupsi Merapi tahun 2010

<FOTO: DOK. BNPB>

Page 4: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

DUSUN GONDANG, UMBULHARJO, CANGKRINGAN, SLEMAN, YOGYAKARTA, 1 November 2010. Letusan besar kedua setelah letusan besar pertama seminggu sebelumnya, 26 Oktober 2010. Awan panas piroklasik (wedhus gembel) menjulur sampai 6 kilometer di atas dusun kecil ini.

<FOTO: SALEH ABDULLAH, TRK INSIST>

Page 5: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi pasca Bencana Erupsi Gunung Merapi telah diresmikan melalui Peraturan Kepala BNPB Nomor 5 tahun 2011. Penerbitan dokumen ini menandai bahwa proses pembangunan kembali pasca bencana Gunung Merapi sudah terprogramkan dengan melibatkan para pihak (organisasi non-pemerintah, lembaga internasional dan swasta).

Peraturan Kepala BNPB nomor 17 tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana mengamanatkan prinsip pembangunan yang lebih baik, prinsip pengurangan risiko bencana dan prinsip keberlanjutan dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi. Dalam rangka implementasi prinsip-prinsip ini, dibutuhkan instrumen yang memampukan para pihak untuk mengukur tingkat pemulihan kehidupan dan ketahanan terhadap bencana pada masyarakat terdampak bencana.

Salah satu cara untuk mengukur tingkat pemulihan masyarakat yang terdampak bencana adalah dengan mengumpulkan informasi secara periodik terhadap rumah tangga dan masyarakat di daerah terdampak bencana. Studi Longitudinal merupakan suatu metode yang dapat digunakan untuk mengukur kondisi populasi secara periodik terhadap indikator-indikator kesejahteraan tertentu seperti pendapatan, belanja, kepemilikan aset, akses terhadap layanan dasar, nutrisi, kesehatan, pendidikan bahkan indikator-indikator lain termasuk ketahanan komunitas terhadap bencana.

Implementasi Studi Longitudinal dalam pelaksanaan RENAKSI Rehabilitasi dan Rekonstruksi pasca Bencana Gunung Merapi merupakan komitmen Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), United Nations Development Programme (UNDP), Forum Pengurangan Risiko Bencana Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah serta SurveyMeter agar para pihak memiliki alat yang dapat mengukur dampak-dampak pemulihan pasca bencana secara obyektif. Studi Longitudinal pertama ini merupakan survei baseline yang sudah dilakukan pada bulan September 2012 dan menghasilkan rekomendasi-rekomendasi terhadap pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi bagi para pemangku kepentingan.

Kata Pengantar | v

KATA PENGANTAR

Page 6: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Hasil Studi Longitudinal yang pertama akan menjadi baseline bagi Studi Longitudinal yang kedua yang akan dilakukan tahun 2013 ini. Kedua hasil survei ini akan diperbandingkan sebagai data time series sehingga menghasilkan indeks yang akan mengukur tingkat pemulihan penghidupan dan ketangguhan warga terdampak. Pengukuran tingkat pemulihan penghidupan dan ketangguhan ini sangat tepat dilakukan sekarang karena Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah sedang di penghujung aktivitas rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana erupsi Gunug Merapi.

Semoga pelaksanaan Studi Longitudinal ini dapat meningkatkan efektifitas rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana Gunung Merapi dan dapat menjadi pembelajaran bagi pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah lain di Indonesia. Sebagai inisiatif baru dalam pemulihan pasca bencana, semoga inisiatif ini dapat menyumbangkan pengetahuan baru bagi program rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana yang sensitif pengurangan risiko bencana di Negara ini.

Jakarta, September 2013

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana,

DR. Syamsul Maarif, M.Si.

vi | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 7: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

DAFTAR SINGKATAN

ADPC Asian Disaster Preparedness CenterASKESKIN Asuransi Kesehatan [untuk keluarga] MiskinATL Area Terdampak LetusanATLH Area Terdampak Lahar HujanATLL Area Terdampak Langsung Letusan

BAPPENAS Badan Perencanaan Pembangunan NasionalBASARNAS Badan SAR NasionalBLT Bantuan Langsung TunaiBNPB Badan Nasional Penanggulangan BencanaBPBD Badan Penanggulangan Bencana DaerahBPN Badan Pertanahan NasionalBPPTK Balai Penyelidikan & Pengembangan Teknologi KegunungapianBPS Badan Pusat Statistik

CCTV Closed Circuit TelevisionCSPro Census and Survey Processing System, program komputerCSR Coorporate Social Responsibility

DaLA Damage and Losses AssessmentDIRJEN Direktorat JenderalDIY Daerah Istimewa Yogyakarta DPRD Dewan Perwakilan Rakyat DaerahDPR-RI Dewan Perwakilan Rakyat Republik IndonesiaDRI Disaster Recovery Index

ESDM Energi & Sumber Daya Mineral

FGD Focus Group DiscussionFPRB Forum Pengurangan Risiko Bencana

HAM Hak Asasi ManusiaHDI Human Development IndexHFA Hyogo Framework for ActionHRNA Human Recovery Needs AssessmentHUNTAP Hunian TetapHUNTARA Hunian Sementara

IPM Indeks Pembangunan Manusia

vii

Page 8: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

IRR Indexes for Recovery and RecosntructionISIC InternationalStandardIndustrialClassification

JAMKESMAS Jaminan Kesehatan MasyarakatJAMKESDA Jaminan Kesehatan DaerahJAMPERSAL Jaminan Persalinan

KABID Kepala BidangKAUR Kepala UrusanKEMENDAGRI Kementerian Dalam NegeriKEMENKESRA Kementerian Kordinator Kesejahteraan RakyatKEMENPU Kementerian Pekerjaan UmumKEMENSOS Kementerian SosialKEPMEN Keputusan MenteriKEPPRES Keputusan PresidenKESBANGLINMAS Kesatuan Bangsa dan Perlindungan MasyarakatKK Kepala KeluargaKRB Kawasan Rawan Bahaya

LPG LiquifiedpetroleumgasLSM Lembaga Swadaya Masyarakat

MCK Mandi, Cuci, KakusMENDAGRI Menteri Dalam NegeriMUSRENBANGDES Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Desa)

OECD Organization for Economic Cooperation & Development

PAUD Pendidikan Anak Usia DiniPDNA Post Disaster Needs AssessmentPEMDA Pemerintah DaerahPERDES Peraturan DesaPERKA Peraturan KepalaPERMENDAGRI Peraturan Menteri Dalam NegeriPERPRES Peraturan PresidenPKH Program Keluarga HarapanPKK Pendidikan Kesejahteraan KeluargaPLN Perusahaan Listrik NegaraPODES Potensi DesaPOLINDES Poliklinik DesaPOSYANDU Pos Pelayanan TerpaduPP Peraturan PemerintahPRB Pengurangan Risiko Bencana

viii | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 9: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Daftar Singkatan | ix

PUSKESMAS Pusat Kesehatan MasyarakatPUSTU PUSKESMAS Pembantu

RAPERPRES Rancangan Peraturan PresidenRASKIN Beras [untuk keluarga] MiskinRENAKSI Rencana AksiRPJM Rencana Pembangunan Jangka MenengahRR Rehabilitasi dan RekonstruksiRT Rumah TanggaRTRW Rencana Tata Ruang Wilayah

SAR Search and RescueSD Sekolah DasarSISKAMLING Sistem Keamanan KelilingSL Survei LongitudinalSLTP Sekolah Lanjutan Tingkat PertamaSLTA Sekolah Lanjutan Tingkat AtasSOP Standard Operation ProceduresStata Statistics and data, program statistik komputerSUSENAS Survei Sosial Ekonomi Nasional

TES Tempat Evakuasi SementaraTK Taman Kanak-kanakTNGM Taman Nasional Gunung MerapiTSB Tim Siaga Bencana

UGM Universitas Gajah MadaUKM Usaha Kecil dan MenengahUNDP United Nations Development ProgramUU Undang-undangUUD Undang-undang Dasar

WARTEL Warung Telekomunikasi

Page 10: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

DUSUN SAMBIREJO, PAKEMBINANGUN, SLEMAN, YOGAYAKARTA, 29 Oktober 2010. Tiga hari setelah letusan besar pertama, bahkan debu tebal masih menggelantung di atas dusun ini, sekitar 12 kilometer di selatan Merapi, di perbatasan Kawasan Rawan Bencana (KRB) I dan KRB II, menyisakan jarak pandang sekitar 5-7 meter saja.

<FOTO: BETA PETTAWARANIE, TRK INSIST>

Page 11: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

DAFTAR ISI

1 - 15 | PENDAHULUANMenakar Upaya Pemulihan Pasca Bencana Merapi 2010n Bondan Sikoki & Juli Eko Nugroho

17 - 60 | RANGKUMANIndeks Pemulihan Bencana Kawasan Merapin Istiarsi Saptuti Sri Kawuryan, Ni Wayan Suriastini & Edy Purwanto

63 - 95 | SEKTOR-1Perumahan, Permukiman & Relokasin F. Asisi S.Widanto

99 - 109 | SEKTOR-2Prasarana Dasarn Istiarsi Saptuti Sri Kawuryan, Edy Purwanto & Naibul Umam Eko Sakti

111 - 129 | SEKTOR-3Ekonomi Produktif & Penghidupan Wargan Bondan Sikoki, Istiarsi Saptuti Sri Kawuryan & Edy Purnomo

131 - 149 | SEKTOR-4Pelayanan Sosial Dasarn Yugyasmono

151 - 193 | LINTAS SEKTORPerlakuan Khusus Kelompok Rentan,Akses Pelayanan Publik & Pemulihan Lingkungan Hidupn Dati Fatimah & Ni Wayan Suriastini

195 - 209 | TINJAUAN AKHIRMembangun Ketangguhan Warga Menghadapi Bencanan Saleh Abdullah & Aris Sustiyono

212 - 223 | LAMPIRAN-LAMPIRAN224 - 225 | INDEKS226 - 228 | PARA PENULIS

xi

Page 12: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

DUSUN BRONGGANG, ARGOMULYO, SLEMAN, YOGAYAKARTA, 4 November 2010. Dua relawan anggota Tim SAR Kabupaten Sleman menyusur dusun yang hancur ini untuk mencari dan mengevakuasi sisa-sisa korban sapuan lahar panas.

<FOTO: EDI KUSMAEDI, TRK INSIST>

Page 13: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

PENDAHULUAN

TABEL 1 Jumlah Desa dan Dusun Terdampak Bencana Merapi 2010 n 5

TABEL 2 Jumlah Sampel Desa dan Dusun Pada Setiap Kategori Wilayah Terdampak Bencana Merapi 2010 n 6

TABEL 3 Daftar Desa dan Dusun Sampel Survei n 6-7

TABEL 4 Jumlah Rumah Tangga Sampel Terpilih pada Setiap Kategori Wilayah di Setiap Kabupaten n 8

TABEL 5 Cakupan Informasi Yang Dikumpulkan (Aras Rumah Tangga & Aras Komunitas) n 9-10

TABEL 6 Cakupan Informasi, Responden dan Instrumen Pendataan n 10

INDEKS PEMULIHAN BENCANA

GRAFIK 1 Disaster Recovery Index (DRI) n 19

TABEL 7 Indikator dan Bobot per Indikator Tiap Sektor Pembentuk Indeks Pemulihan Bencana (DRI-2/DRI-1) n 23-24

TABEL 8 Jumah Indikator per Sektor Indeks (DRI-2/DRI-1) Awal dan Indeks (DRI-2/DRI-1) Potensial n 25

BAGAN 1 Bagan Arus (Flow Chart) Penyusunan Nilai DRI n 26-27

TABEL 9 Arahan Kebijakan & Peraturan Terkait Rencana Aksi Pemulihan Pasca Bencana Merapi 2010 di DIY & Jawa Tengah n 29-30

TABEL 10 Desa-desa Lokasi Survei per Kabupaten menurut Wilayah Terdampak Bencana Merapi 2010 n 33-34

TABEL 11 Status Penguasaan Bangunan Tempat Tinggal per Wilayah Terdampak Bencana Merapi 2010 n 35

TABEL 12 Sumber Air Utama untuk Mandi & Cuci per Wilayah Terdampak Bencana Merapi 2010 n 36

TABEL 13 Proporsi Tempat Buang Air & Limbah Rumah Tangga per Wilayah Terdampak Bencana Merapi 2010 n 37

TABEL 14 Sumber Penerangan Utama Rumah Tangga Warga per Wilayah Terdampak Bencana Merapi 2010 n 37-38

TABEL 15 Frekuensi Makan Warga per Hari per Wilayah Terdampak Bencana Merapi 2010 n 38

TABEL 16 Proporsi Bahan Bakar Utama untuk Memasak per Wilayah Terdampak Bencana Merapi 2010 n 39

DAFTAR TABEL, GRAFIK & BAGAN

xiii

Page 14: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

GRAFIK 2 DRI Keseluruhan Sektor Sebelum, Sesaat Setelah Bencana & Saat Ini (Saat Survei) menurut Wilayah Terdampak Bencana Merapi 2010 n 40

GRAFIK 3 DRI Keseluruhan Sektor Sebelum, Sesaat Setelah Bencana & Saat Ini (Saat Survei) menurut Kabupaten Terdampak Bencana Merapi 2010 n 41

TABEL 17 DRI Sektor dan Keseluruhan Sektor antara Sebelum, Sesaat Setelah dan Saat Survei per Wilayah Terdampak Bencana Merapi 2010 n 42

TABEL 18 Perubahan Nilai DRI Keseluruhan Sektor menurut Wilayah Terdampak Bencana Merapi 2010 n 44

TABEL 19 DRI per Sektor antara Sebelum, Sesaat Setelah dan Saat Survei menurut Wilayah Terdampak Bencana Merapi 2010 n 44-45

TABEL 20 DRI Sektor dan Keseluruhan Sektor antara Sebelum, Sesaat Setelah dan Saat Survei per Kabupaten Terdampak Bencana Merapi 2010 n 50

TABEL 21 Perubahan DRI Keseluruhan Sektor dan Tingkat Pemulihannya per Kabupaten Terdampak Bencana Merapi 2010 n 52

TABEL 22 DRI per Sektor Sebelum, Sesaat Setelah dan Saat Survei per Kabupaten Terdampak Bencana Merapi 2010 n 52-53

SEKTOR PERUMAHAN, PERMUKIMAN & RELOKASI

TABEL 23 Rata-rata Luas Lantai Rumah Warga di Kawasan Terpapar Bencana Merapi 2010 (m2) n 69

TABEL 24 Kebutuhan Luas Minimum Bangunan & Lahan Rumah Sederhana & Sehat (m2) n 70

TABEL 25 Jenis dinding Rumah Warga di Kawasan Merapi, Sebelum Bencana & Sekarang n 71

TABEL 26 Letak Sumber Air Utama dari Rumah Warga di Kawasan Merapi, Sebelum Bencana & Sekarang n 72

TABEL 27 Persentase Rumah Warga Pengguna Sumber Air Utama untuk Keperluan MCK di Kawasan Merapi, Sebelum Bencana & Sekarang n 73

TABEL 28 Rumah Warga Yang Memiliki MCK Memadai di Kawasan Merapi, Sebelum Bencana & Sekarang n 74

TABEL 29 Jenis Jamban di Kawasan Merapi, Sebelum Bencana & Sekarang n 75

TABEL 30 Jenis Kloset Yang Digunakan di Kawasan Merapi, Sebelum Bencana & Sekarang n 76

TABEL 31 Pembuangan Air Limbah Rumah Tangga di Kawasan Merapi, Sebelum Bencana & Sekarang n 77

xiv | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 15: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

TABEL 32 Saluran Pembuangan Limbah Rumah Tangga di Kawasan Merapi, Sebelum Bencana & Sekarang n 78

TABEL 33 Genangan Air Sekitar Rumah Warga di Kawasan Merapi, Sebelum Bencana & Sekarang n 78

TABEL 34 Persepsi Bangunan Dapur Aman di Kawasan Merapi, Sebelum Bencana & Sekarang n 79

TABEL 35 Persepsi Lokasi Rumah Warga Berdasarkan Kategori Kawasan Rawan Bencana (KRB) Merapi n 80

TABEL 36 Jarak & Arah Lokasi Rumah Warga dari Puncak Merapi Saat Letusan 2010 dan Lahar Hujan Yang Menyusulnya n 81

TABEL 37 Jarak Rerata Lokasi Rumah Warga dari Bantaran Sungai-sungai Besar Saluran Utama Banjir Lahar Merapi n 82

TABEL 38 Persepsi Warga tentang Aman Tidaknya Lokasi Rumah Mereka dari Bencana Lahar Merapi n 82

TABEL 39 Jenis Ancaman Bencana Merapi Yang Menimpa Rumah-rumah Warga Pada Peristiwa Letusan 2010 & Banjir Lahar Yang Menyusulnya n 83

TABEL 40 Persepsi Warga di Kawasan Merapi tentang Aset Terpenting Mereka Untuk Diselamatkan Saat Bencana Terjadi n 83

TABEL 41 Gangguan Akses ke/dari Permukiman Warga Terpapar Bencana Letusan Merapi 2010 n 84

TABEL 42 Daerah Tujuan Pengungsian Warga Terpapar Bencana Letusan Merapi 2010 n 85

TABEL 43 Tempat Tinggal Sementara Pengungsian Warga Terpapar Bencana Letusan Merapi 2010 n 86

TABEL 44 Perhitungan Kerusakan dan Kerugian Bencana Merapi 2010 di DI Yogyakarta dan Jawa Tengah (Rp) n 87

TABEL 45 Jumlah Rumah Warga Yang Rusak Akibat Bencana Merapi 2010 di DI Yogyakarta & Jawa Tengah menurut Kabupaten n 87

TABEL 46 Persentase Rumah Warga Yang Rusak Akibat Bencana Merapi 2010 menurut Kategori Wilayah Terdampak n 88

TABEL 47 Rumah Warga Yang Sudah Diperbaiki di Kawasan Bencana Merapi 2010 dan Pihak Yang Memberikan Bantuan n 89

TABEL 48 Tingkat Keikutsertaan Warga dalam Gotong-royong Membangun Kembali Rumah Rusak di Kawasan Bencana Merapi 2010 n 91

TABEL 49 Keadaan Kerelawanan Warga di Kawasan Bencana Merapi 2010 n 92

TABEL 50 Kegiatan/Pekerjaan Yang Biasanya Dilakukan dengan Gotong- royong Warga di Kawasan Bencana Merapi 2010 n 92

TABEL 51 Jenis Bantuan dari Semua Pihak Yang Pernah Diterima Warga di Kawasan Bencana Merapi 2010 n 93

Daftar Tabel | xv

Page 16: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

xvi | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

TABEL 52 Persentase Desa Yang Menerima Bantuan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Perumahan dari BNPB/BPBD di Kawasan Bencana Merapi 2010 n 94

SEKTOR PRASARANA DASAR

TABEL 53 Jenis Kerusakan Prasarana Dasar di Daerah Terdampak Bencana Merapi 2010 n 101

TABEL 54 Tingkat Kerusakan & Tingkat Pemulihan Prasarana Dasar di Desa-desa Kawasan Merapi yang Mengalami Kerusakan n 102

TABEL 55 Tingkat Kerusakan & Tingkat Pemulihan Prasarana Dasar di Desa-desa ATLL Bencana Merapi 2010 (n=3) n 104

TABEL 56 Tingkat Kerusakan & Tingkat Pemulihan Prasarana Dasar di Desa-desa ATL Bencana Merapi 2010 (n=21) n 104

TABEL 57 Tingkat Kerusakan & Tingkat Pemulihan Prasarana Dasar di Desa-desa ATLH Bencana Merapi 2010 (n=8) n 105

TABEL 58 Proporsi Rata-rata Tingkat Kerusakan & Tingkat Pemulihan Prasarana Dasar Jalan di Wilayah Terdampak Bencana Merapi 2010 n 106

TABEL 59 Proporsi Rata-rata Tingkat Kerusakan & Tingkat Pemulihan Prasarana Dasar Jembatan di Wilayah Terdampak Bencana Merapi 2010 n 106

TABEL 60 Proporsi Rata-rata Tingkat Kerusakan & Tingkat Pemulihan Prasarana Dasar Bendungan di Wilayah Terdampak Bencana Merapi 2010 n 107

TABEL 61 Proporsi Rata-rata Tingkat Kerusakan & Tingkat Pemulihan Prasarana Dasar Saluran Irigasi di Wilayah Terdampak Bencana Merapi 2010 n 108

SEKTOR EKONOMI PRODUKTIF & PENGHIDUPAN WARGA

TABEL 62 Persentase Warga Usia Produktif (15-60 Tahun) Yang Bekerja & Kehilangan Pekerjaan di Kawasan Bencana Merapi 2010 n 113

TABEL 63 Persentase Warga di Kawasan Merapi Yang Beralih Pekerjaan Sesaat Sebelum, Setelah Bencana dan Saat Ini n 114

TABEL 64 Lapangan Pekerjaan Warga Kawasam Merapi Menurut Sektor Sesaat Sebelum, Setelah Bencana dan Saat Ini n 115-116

TABEL 65 Persentase Warga Kawasan Merapi Yang Memiliki Pekerjaan Sampingan Sesaat Sebelum, Setelah Bencana dan Saat Ini n 117

TABEL 66 Rata-rata Penghasilan (Utama dan Sampingan) Warga Kawasan Merapi Sesaat Sebelum, Setelah Bencana dan Saat Ini n 117

Page 17: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

TABEL 67 Perubahan Penghasilan Warga Kawasan Merapi Sesaat Sebelum, Setelah Bencana dan Saat Ini n 118

TABEL 68 Hubungan antara Penghasilan dengan Kehilangan Pekerjaan, Pekerjaan Sambilan & Keterampilan Warga Kawasan Merapi n 119

TABEL 69 Perubahan Penghasilan Warga Kawasan Merapi Sesaat Sebelum, Setelah Bencana dan Saat Ini n 119

TABEL 70 Rata-rata Luas Lahan Pertanian Warga Kawasan Merapi Sesaat Sebelum, Setelah Bencana dan Saat Ini n 120

TABEL 71 Rata-rata Pemilikan Ternak Warga Kawasan Merapi Sesaat Sebelum, Setelah Bencana dan Saat Ini n 120

TABEL 72 Rata-rata Pemilikan Usaha Perikanan Warga Kawasan Merapi Sesaat Sebelum, Setelah Bencana dan Saat Ini n 121

TABEL 73 Proporsi Rumah Tangga Warga Merapi yang Lahannya Tidak Bisa Dimanfaatkan Sesaat Sebelum, Setelah Bencana dan Saat Ini n 121

TABEL 74 Jenis Usaha Tani Yang Diusahakan Warga Kawasan Merapi Setelah Bencana (Saat Ini) n 122

TABEL 75 Rata-rata Nilai Kerugian Harta Usaha Tani per Rumah Tangga (Keluarga) Warga Kawasan Merapi Setelah Bencana n 123

TABEL 76 Nilai Usaha Non Tani Warga Kawasan Merapi Sesaat Sebelum, Setelah Bencana dan Saat ini n 123

TABEL 77 Rata-rata Nilai Kerugian Usaha Non Tani per Rumah Tangga Warga Kawasan Merapi Setelah Bencana n 123

TABEL 78 Kerusakan Lahan Pertanian Warga Kawasan Merapi Sesaat Sebelum, Setelah Bencana dan Saat Ini n 124

TABEL 79 Lahan Pertanian Warga Merapi Yang Sudah Pulih Kembali Setelah Bencana sampai Saat Ini n 124

TABEL 80 Gangguan Ekonomi dan Kerugian Rumah Tangga Warga Kawasan Merapi Setelah Bencana sampai Saat Ini n 125

TABEL 81 Tindakan Warga Merapi Mengatasi Gangguan Ekonomi dan Kerugian Setelah Bencana sampai Saat Ini n 126

TABEL 82 Jenis Bantuan Kemanusiaan Yang Pernah Diterima Warga Kawasan Merapi Setelah Bencana sampai Saat Ini n 126

TABEL 83 Sumber Bantuan Yang Pernah Diterima Langsung Warga Kawasan Merapi Setelah Bencana sampai Saat Ini n 127

TABEL 84 Saluran Pemberian Bantuan Yang Pernah Diterima Warga Kawasan Merapi Setelah Bencana sampai Saat Ini n 127

TABEL 85 Rata-rata Nilai Bantuan Yang Pernah Diterima Warga Kawasan Merapi Setelah Bencana sampai Saat Ini n 128

Daftar Tabel | xvii

Page 18: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

xviii | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

SEKTOR PELAYANAN SOSIAL DASAR

TABEL 86 Persentase Siswa Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Pertama di Kawasan Merapi Sebelum Bencana dan Saat ini Menurut Jenis Kelamin n 132

TABEL 87 Rata-rata Jumlah Prasarana Sekolah di Setiap Desa Kawasan Merapi Sebelum, Sesaat Setelah Bencana dan Saat Ini n 133

TABEL 88 Jumlah Kerusakan Prasarana Sekolah dan Hasil Pemulihannya di Kawasan Merapi Sebelum, Sesaat Setelah Bencana dan Saat Ini n 134

TABEL 89 Gangguan Akses ke Sekolah Yang Dialami Warga Kawasan Merapi Sebelum, Sesaat Setelah Bencana dan Saat Ini n 136

TABEL 90 Keadaan Umum Kesehatan Fisik Warga Kawasan Merapi Sebelum, Sesaat Setelah Bencana dan Saat Ini n 139-140

TABEL 91 Keadaan Umum Kesehatan Mental/Psikologis Warga Kawasan Merapi Sebelum, Sesaat Setelah Bencana dan Saat Ini n 141

TABEL 92 Persentase Desa Yang Memiliki Sarana Pelayanan Kesehatan Di Wilayah Terdampak Bencana Merapi 2010 n 142

TABEL 93 Persentase Sarana Pelayanan Kesehatan di Desa-desa Terdampak Bencana Merapi 2010 n 143

TABEL 94 Persentase Sarana Pelayanan Kesehatan Yang Paling Sering Diakses oleh Warga di Kawasan Bencana Merapi n 144

TABEL 95 Lokasi Sarana Pelayanan Kesehatan Yang Paling Sering Diakses oleh Warga di Kawasan Bencana Merapi n 144

TABEL 96 Program Bantuan Sosial Pemerintah Yang Pernah Diterima Warga di Kawasan Bencana Merapi n 145

TABEL 97 Jumlah Rata-rata Sarana Pelayanan Kesehatan di Setiap Desa Kawasan Merapi Sebelum Bencana dan Saat Ini (Saat Survei) n 146

TABEL 98 Jumlah Kerusakan Sarana Pelayanan Kesehatan dan Hasil Pemulihannya di Kawasan Merapi Sebelum, Sesaat Setelah Bencana dan Saat Ini n 147-148

LINTAS SEKTOR

TABEL 99 Partisipasi Kelompok Rentan dalam MUSRENBANGDES di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010 n 154

TABEL 100 Partisipasi Kelompok Rentan dalam Diskusi Tanggap Bencana di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010 n 155

TABEL 101 Partisipasi Kelompok Rentan dalam Pertemuan dan Musyawarah Potensi Dampak Risiko Bencana di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010 n 155

Page 19: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

TABEL 102 Partisipasi Kelompok Rentan dalam Pembentukan Peraturan Desa tentang Penanggulangan Bencana di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010 n 156

TABEL 103 Partisipasi Kelompok Rentan dalam Pelatihan Menghadapi Bencana di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010 n 157

TABEL 104 Partisipasi Warga dalam Tim Siaga Bencana Menurut Gender di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010 n 158

TABEL 105 Penyebarluasan Informasi Kebencanaan di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010 n 158

TABEL 106 Pengambilan Keputusan dalam Keluarga Warga di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010 n 159-160

TABEL 107 Komposisi Gender dalam Jabatan Publik Pemerintahan Desa di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010 n 160-161

TABEL 108 Akses Perempuan Terhadap Sumber Modal Perbankan di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010 n 161

TABEL 109 Pengambilan Keputusan Keluarga untuk Mengungsi di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010 n 162

TABEL 110 Prioritas Kelompok Rentan dalam Evakuasi Bencana di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010 n 163

TABEL 111 Ketersediaan Sarana Khusus di Tempat Pengungsian di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010 n 164

TABEL 112 Keadaan Kesehatan Fisik Bayi di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010 n 165-166

TABEL 113 Jumlah Keluarga dengan Balita Bergizi Buruk di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010 n 166

TABEL 114 Keadaan Kesehatan Mental/Psikologis Bayi di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010 n 167

TABEL 115 Keadaan Kesehatan Fisik Anak-anak & Remaja (6-15 tahun) di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010 n 168

TABEL 116 Keadaan Kesehatan Mental/Psikologis Anak & Remaja (6-15 tahun) di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010 n 169

TABEL 117 Keadaan Kesehatan Fisik Warga Lansia (>60 tahun) di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010 n 170

TABEL 118 Keadaan Kesehatan Mental Warga Lansia (>60 tahun) di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010 n 171

TABEL 119 Partisipasi Warga Lansia dalam Angkatan Kerja di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010 n 172

TABEL 120 Pendapatan Warga Lansia di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010 n 173

Daftar Tabel | xix

Page 20: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

TABEL 121 Persentase Warga Menggikuti Program Pelayanan Pemulihan di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010 n 174

TABEL 122 Frekuensi Rata-rata Warga (per orang) Mengikuti Program Pelayanan Pemulihan di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010 n 175

TABEL 123 Program Pemulihan Lintas Sektor Yang Terkait dengan Perlindungan Kelompok Rentan di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010 n 175

TABEL 124 Kegiatan Warga & Pemerintah Desa Setelah Bencana Letusan Merapi 2010 n 176-178

TABEL 125 Ketersediaan dan Jarak ke Kantor Pos dari Desa-desa Terpapar Bencana Letusan Merapi 2010 n 179

TABEL 126 Ketersediaan dan Jarak ke Bank (Lembaga Keuangan Resmi) dari Desa-desa Terpapar Bencana Letusan Merapi 2010 n 180

TABEL 127 Ketersediaan Sarana Angkutan dan Jarak ke Terminal/Halte Bus Umum dari Desa-desa Terpapar Bencana Letusan Merapi 2010 n 180-181

TABEL 128 Ketersediaan dan Jarak ke Pasar dari Desa-desa Terpapar Bencana Letusan Merapi 2010 n 181

TABEL 129 Ketersediaan dan Jarak ke Sarana Telekomunikasi Umum dari Desa-desa Terpapar Bencana Letusan Merapi 2010 n 182

TABEL 130 Ketersediaan dan Jarak ke Sarana Pelayanan Kesehatan dari Desa-desa Terpapar Bencana Letusan Merapi 2010 n 182-183

TABEL 131 Ketersediaan Sarana dan Jarak ke Sekolah dari Desa-desa Terpapar Bencana Letusan Merapi 2010 n 184

TABEL 132 Kegiatan-kegiatan Lintas Sektoral Yang Pernah Diadakan di Desa-desa Terpapar Bencana Letusan Merapi 2010 n 185

TABEL 133 Rata-rata Luas Wilayah dan Lahan Pertanian di Desa-desa Terpapar Bencana Letusan Merapi 2010 n 186

TABEL 134 Bahan-bahan Vulkanik Letusan Merapi 2010 dan Dampaknya pada Desa-desa Yang Terpapar Bencana n 187

TABEL 135 Dampak Bencana Merapi 2010 pada Lahan-lahan Pertanian di Desa-desa Yang Terpapar Bencana n 188

TABEL 136 Keadaan Pemanfaatan Lahan-lahan Pertanian dan Kehutanan di Desa-desa Yang Terpapar Bencana Merapi 2010 n 189

TABEL 137 Keberadaan Peraturan Tata Kelola Lahan dan Kawasan Hutan di Desa-desa Yang Terpapar Bencana Merapi 2010 n 190

TABEL 138 Keadaan Sumber-sumber Air dan Dampak Letusan Merapi 2010 di Desa-desa Yang Terpapar Bencana n 190-191

xx | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 21: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

MEMBANGUN KETANGGUHAN WARGA

TABEL 139 Pengarusutamaan Isu PRB dan Keterwakilan Warga dalam MUSRENBANGDES di Desa-desa Yang Terpapar Bencana Merapi 2010 n 198

TABEL 140 Pengetahuan Dasar Warga tentang Merapi, Tanda-tanda &Ancaman Bencananya di Desa-desa Yang Terpapar Bencana Merapi 2010 n 199-200

TABEL 141 Penyelenggaraan Kegiatan Pendidikan Kebencanaan Bagi Warga di Desa-desa Yang Terpapar Bencana Merapi 2010 n 201

TABEL 142 Pengetahuan Warga tentang Sumber Informai Kebencanaan di Desa-desa Yang Terpapar Bencana Merapi 2010 n 201-202

TABEL 143 Keberadaan dan Profil Tim Siaga Bencana (TSB) di Desa-desa Yang Terpapar Bencana Merapi 2010 n 203

TABEL 144 Keberadaan Sistem Peringatan Dini di Desa-desa Yang Terpapar Bencana Merapi 2010 n 203

TABEL 145 Pihak-pihak Penting dan Pertama Yang Dikontak oleh Warga Saat Keadaan Darurat Bencana di Desa-desa Yang Terpapar Bencana Merapi 2010 n 204

TABEL 146 Keberadaan Jalur dan Perangkat Dasar Evakuasi di Desa-desa Yang Terpapar Bencana Merapi 2010 n 205

TABEL 147 Keberadaan Peraturan Desa tentang Kebencanaan & Forum Pengurangan Risiko Bencana di Desa-desa Yang Terpapar Bencana Merapi 2010 n 206

TABEL 148 Pengetahuan Warga tentang Dokumen Kebencanaan Terpenting dan Sosialiasinya di Desa-desa Yang Terpapar Bencana Merapi 2010 n 207

Daftar Tabel | xxi

Page 22: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013
Page 23: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

gambaran umum kerusakandan kebutuhan pemulihan

letusansetelah Letusan besar Gunung Merapi pada

tanggal 26 Oktober 2010 bukan hanya menyemburkan asap tebal ke langit, tetapi juga memuntahkan ribuan ton

lahar panas yang menyapu bersih puluhan kampung di sekitarnya.

Setelah itu, menyusul luapan lahar dingin yang sampai sekarang masih

menggelontor sungai-sungai besar di empat kabupaten (Sleman, Klaten, Magelang, dan Boyolali). Gambar ini --diambil pada tanggal 13 November

2010, dua minggu setelah letusan-- memperlihatkan bekas aliran lahar

panas yang menyapu-rata Desa Kepuharjo di Kecamatan Cangkringan,

Yogyakarta, yang berjarak hanya sekitar 6 kilometer ke arah tenggara

dari puncak Merapi.

Page 24: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Selain korban jiwa manusia, bencana ini juga telah menimbulkan kerusakan besar

pada lahan-lahan pertanian, prasarana umum, permukiman penduduk, dan harta

benda milik warga.

Secara keseluruhan, tak kurang dari 300 dusun dan desa di tiga kabupaten dalam

provinsi Jawa Tengah (Boyolali, Klaten, dan Magelang) dan satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta (Sleman) terkena dampak letusan Merapi. Dari

keseluruhan desa tersebut, berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana

(BNPB), dampak kerusakan yang signifikan menimpa 53.315 keluarga di 57 desa dalam 11 kecamatan di empat kabupaten tersebut.

Tercatat 275 orang meninggal, 576 sakit, dan 303.233 jiwa mengungsi. Pemerintah secara

resmi mengumumkan total nilai kerugian ditaksir mencapai Rp 3 triliun lebih.

Beberapa sektor yang terkena dampak cukup besar adalah:

n Sektor Pertanian: luasan lahan pertanian yang mengalami kerusakan mencapai lebih dari 33.000 ha. Kerugiannya ditaksir mencapai Rp 1 triliun, meliputi kerusakan tanaman pangan, hortikultura dan tanaman perkebunan.

n Sektor Peternakan: sebanyak 188.765 ekor (sapi perah, kerbau, dan kambing) terbunuh. Selain kesulitan pakan ternak, harga jual ternak-ternak itu pun menurun tajam, misalnya, sapi dewasa yang biasanya berharga Rp 5-6 juta per ekor merosot sampai hanya Rp 3 juta.

n Sektor Kehutanan: 33% (2.400 ha) kawasan hutan mengalami kerusakan.

n Sektor Permukiman: 45.677 unit rumah hancur atau rusak berat dan ringan, terdiri dari 11.517 unit di Jawa Tengah dan 34.160 unit di Yogyakarta.

n Sektor Prasarana: kerusakan berat dan ringan menimpa sejumlah sumber dan jaringan air bersih, irigasi, jalan, jembatan, pasar, dan prasarana vital lainnya.

Page 25: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Semua kerusakan inilah yang membutuhkan upaya pemulihan yang dijabarkan dalam Rencana Aksi Rehabilitasi & Rekonstruksi Pasca Letusan Merapi. Setelah dua tahun berlalu, upaya pemulihan tersebut kini perlu dievaluasi pencapaiannya. v

FOTO-FOTO: EDI KUSMAEDI, TRK INSIST

Page 26: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013
Page 27: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

PEMBANGUNAN MASJID DI HUNTAP PAGERJURANG, DESA KEPUHARJO, KECAMATAN CANGRINGAN OLEH BNPB

<FOTO: KUSEN ALIPAH HADI>

Page 28: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

DUSUN BONO, SIDOREJO, KEMALANG, KLATEN, JAWA TENGAH, 4 April 2011. Seorang ibu muda memanfaatkan sarana bak penampung air hujan (PAH) bantuan program CSR satu perusahaan nasional....

<FOTO: SUMINO MANTO, TRK LPTP>

Page 29: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

n Latar Belakang Pada awalnya adalah gagasan untuk mendukung pemerintah melakukan kegiatan pemulihan masyarakat terdampak letusan Merapi 2010, lalu muncul kegelisahan para pekerja kemanusiaan yang tergabung dalam Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Provinsi Jawa Tengah. Setelah mendukung pada masa tanggap darurat (emergency response), para pegiat FPRB DIY dan Jawa Tengah, juga ikut menyusun suatu rancangan upaya pemulihan menggunakan metode ‘Kajian Kebutuhan Pemulihan Kemanusiaan’ (Human Recovery Needs Assessment, HRNA) yang disandingkan dengan metode ‘Kajian Kerusakan dan Kerugian’ (Damage and Loss Assessment, DaLA) menjadi ‘Kajian Kebutuhan Pemulihan Pasca Bencana’ (Post Disaster Needs Assessment, PDNA). Semua kajian itu akhirnya menghasilkan ‘Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi’ (RENAKSI RR) Pasca Bencana Merapi 2010.

RENAKSI RR Pasca Bencana Merapi 2010 merupakan dokumen acuan semua pemangku kepentingan yang akan melakukan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah seputaran Gunung Merapi, terutama pemangku kepentingan utama, yaitu pemerintah, dalam hal ini adalah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) provinsi dan kabupaten, serta kementerian-kementerian terkait. Pada tahap ini, para pekerja kemanusiaan mulai gelisah untuk menemukan alat ukur dan metode yang dapat mengukur secara efektif kemajuan --sekaligus juga kekurangan-- yang dirasakan oleh masyarakat terdampak penerima manfaat dari kegiatan pemulihan pasca letusan Merapi 2010.

Dalam rangkaian diskusi FPRB DIY dan Jawa Tengah, muncul usulan salah satu cara mengukur tingkat pemulihan masyarakat yang terdampak bencana secara akurat dan efektif, yakni dengan mengumpulkan informasi secara berkala (periodik) pada aras rumah tangga dan komunitas di desa-desa

PENDAHULUAN

1

MENAKAR UPAYA PEMULIHAN PASCA BENCANA MERAPI 2010

Bondan SikokiJuli Eko Nugroho

Page 30: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

terdampak bencana. Kajian longitudinal merupakan suatu metode yang dapat digunakan untuk mengukur keadaan populasi secara berkala terhadap indikator-indikator kesejahteraan tertentu seperti pendapatan, belanja, kepemilikan aset, akses terhadap layanan dasar, status gizi, kesehatan, pendidikan, bahkan juga indikator-indikator lain seperti ketahanan komunitas terhadap bencana. Kajian longitudinal dengan metode survei ini, mendapatkan dukungan dari SurveyMeter, suatu lembaga riset yang sudah sangat berpengalaman menerapkan kajian longitudinal tersebut.

Sementara itu, RENAKSI RR Pasca Bencana Merapi telah diresmikan melalui Keputusan Kepala (PERKA) BNPB Nomor 05 Tahun 2011 tentang Penetapan Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pasca Erupsi Gunung Merapi di DIY dan Jateng. Penerbitan dokumen ini menandai bahwa proses pembangunan kembali pasca bencana Merapi sudah dapat dimulai. Meskipun sudah memulai lebih dahulu berbagai kegiatan pemulihan di kawasan bencana Merapi, para pihak (lembaga-lembaga non-pemerintah, lembaga-lembaga internasional, dan kalangan swasta) mendukung pelaksanaan RENAKSI RR Pasca Bencana Merapi tersebut.

Peraturan Kepala (PERKA) BNPB Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana mengamanatkan prinsip pembangunan yang lebih baik, prinsip pengurangan risiko bencana, dan prinsip keberlanjutan dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi. Dalam rangka penerapan prinsip-prinsip tersebut, dibutuhkan piranti (instrument) yang memampukan para pihak untuk mengukur tingkat pemulihan kehidupan dan ketahanan terhadap bencana pada masyarakat terdampak bencana. Oleh karena itu, kajian longitudinal menjadi penting untuk digunakan mengukur perkembangan kemajuan masyarakat penerima manfaat dari semua upaya pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi) pasca letusan Merapi 2010.

Pada akhirnya, gagasan untuk melakukan kajian longitudinal tersebut mendapat dukungan dari BNPB, United Nations Development Programme (UNDP), FPRB DIY & Jawa Tengah, dan SurveyMeter.

n Tujuan Secara garis besar, tujuan kajian longitudinal ini adalah:

n Mengidentifikasi dinamika perubahan, pengaruh jangka pendek dan jangka panjang dari bencana letusan dan lahar hujan Merapi pada kehidupan rumah tangga dan komunitas korban terdampak bencana.

n Memantau & mengevaluasi secara berkala perkembangan ketangguhan

2 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 31: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

masyarakat di wilayah berisiko tinggi bencana gunung Merapi.

n Memantau secara berkala kemajuan kinerja kegiatan-kegiatan dari RENAKSI RR Pasca Bencana Merapi 2010 di wilayah berisiko tinggi bencana gunung Merapi.

n Memantau dan mengevaluasi secara berkala perkembangan atau keberhasilan kinerja kegiatan pemulihan kehidupan masyarakat di wilayah berisiko tinggi bencana gunung Merapi.

n Menyediakan data dan saran-saran secara berkala bagi pengembangan kebijakan pemerintah maupun pemangku kepentingan lainnya untuk pelaksanaan dan penyesuaian kembali (re-planning) kegiatan-kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana di kawasan Merapi yang lebih tanggap (responsive) pada pengurangan risiko bencana.

n Keluaran

n Data dan saran-saran secara berkala untuk pengembangan kebijakan pemerintah maupun pemangku kepentingan lainnya untuk penyesuaian kembali RENAKSI RR Pasca Bencana Merapi yang lebih tanggap pada pengurangan risiko bencana.

n Angka-angka nisbi Indeks Pemulihan Bencana (Disaster Recovery Index, DRI) yang mengukur tingkat pemulihan yang tecapai serta lebih tanggap pada pengurangan risiko bencana.

n Informasi tentang kemajuan pulihnya:

* akses masyarakat korban bencana pada kebutuhan dasar; dan

* ketangguhan (resilience) masyarakat korban bencana secara berkala di wilayah yang berisiko tinggi bencana Merapi sejak RENAKSI RR Pasca Bencana Merapi dilaksanakan.

n Kerjasama strategis yang dibutuhkan guna mendukung pemenuhan kebutuhan percepatan pemulihan masyarakat di wilayah terdampak bencana Merapi pada tahun 2011-2012.

n Ruang LingkupKajian Longitudinal Pemulihan Masyarakat Pasca Bencana Merapi ini adalah penilaian secara berkala tentang kebutuhan pemulihan dan ketahanan masyarakat terhadap bencana dengan mengumpulkan informasi dari responden yang sama dari waktu ke waktu pada aras

PENDAHULUAN: Menakar Upaya Pemulihan Kehidupan Warga Pasca Bencana | 3

Page 32: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

rumah tangga dan komunitas.

Untuk mengukur dampak bencana diperlukan informasi tentang keadaan populasi sebelum terjadinya bencana serta informasi tentang wilayah pembanding, yaitu wilayah yang nisbi tidak terkena dampak bencana. Dalam kajian ini digunakan pertanyaan ke belakang (retrospective) tentang keadaan rumah tangga dan komunitas sesaat sebelum terjadinya letusan Merapi 2010. Hal ini dilakukan karena keterbatasan informasi keadaan sosial ekonomi wilayah terdampak sebelum terjadinya bencana. Informasi ini akan dibandingkan dengan keadaan mereka sesudah terjadinya bencana, sehingga dapat diketahui perubahan keadaan sosial ekonomi rumah tangga/komunitas setelah terjadinya bencana. Selanjutnya, perubahan sebagai dampak dari bencana Merapi akan diukur dengan membandingkan antara perubahan keadaan sosial ekonomi wilayah terdampak dan wilayah yang mempunyai karakteristik sama tapi tidak terdampak.

Dengan mewawancarai rumah tangga dan komunitas yang sama dari waktu ke waktu, maka dapat diketahui proses pemulihan keadaan sosial ekonomi mereka. Selain itu, juga dapat diukur seberapa besar tingkat ketahanan mereka terhadap bencana dan seberapa jauh program-program bantuan telah mencapai sasarannya.

n Wilayah KajianWilayah kajian ini adalah wilayah yang terdampak bencana letusan Merapi 2010 di empat kabupaten --Sleman, Magelang, Klaten, dan Boyolali-- di dua provinsi --Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah. Perlu dicatat bahwa wilayah kajian ini adalah wilayah kegiatan FPRB DIY dan Jawa Tengah.

Mengingat dampak letusan Merapi tidak hanya lahar panas, awan panas, serta debu vulkanik, tetapi juga lahar hujan sampai ke daerah hilir, maka semua desa dan dusun dalam wilayah kajian dikelompokkan menurut jenis dampak bencana yang menimpanya --mengacu pada pengelompokan wilayah terdampak bencana Merapi menurut Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) -- yaitu:

n Area Terdampak Langsung Letusan (ATLL) adalah wilayah yang terlanda oleh awan panas dari letusan Merapi 2010 yang menimbulkan korban jiwa, kerusakan permukiman, prasarana dan vegetasi terbakar.

n Area Terdampak Letusan (ATL) adalah wilayah yang terlanda awan

4 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 33: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

panas dari letusan Merapi 2010, baik karena aliran atau jatuhan piroklasik, efek panas dan kimia gas, tetapi tidak menimbulkan korban jiwa, kerusakan permukiman, prasarana dan vegetasi.

n Area Terdampak Lahar Hujan (ATLH) adalah wilayah yang terlanda lahar hujan yang menimbulkan korban, kerusakan permukiman, prasarana dan vegetasi.

Penentuan kategori wilayah terdampak ini menggunakan acuan Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi dan Area Terdampak Letusan 2010 dari BPPTK dan BNPB. Data dari BPPTK dan BNPB memperlihatkan bahwa jumlah desa dan dusun di empat kabupaten yang terdampak bencana letusan Merapi 2010 adalah 157 desa dan 192 dusun, dengan rincian sebagai berikut:

TABEL 1: Jumlah Desa dan Dusun Terdampak Bencana Merapi 2010

Kabupaten ATLL ATL ATLH JUMLAH

SLEMANDesa 36 4 0 40Dusun 38 9 0 47

MAGELANGDesa 50 0 38 88Dusun 63 0 48 111

BOYOLALIDesa 10 0 6 16Dusun 10 0 8 18

KLATENDesa 11 2 0 13Dusun 11 5 0 16

JUMLAHDesa 107 6 44 157Dusun 122 14 56 192

Untuk keperluan kajian ini, tidak semua desa dan dusun tersebut akan dijadikan sebagai sasaran pendataan, tetapi hanya seperlima (20%) saja sebagai sampel, yakni 31 desa dan 38 dusun secara proporsional pada setiap kategori ATL, ATLL, dan ATLH. Namun, ternyata, jumlah sampel di wilayah ATLL sangat tidak seimbang, maka diputuskan untuk melakukan oversample, sehingga hasil akhirnya adalah 40 desa dan 32 dusun terpilih sebagai sasaran pendataan, sebagai berikut:

PENDAHULUAN: Menakar Upaya Pemulihan Kehidupan Warga Pasca Bencana | 5

Page 34: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

TABEL 2: Jumlah Sampel Desa dan Dusun pada Setiap Kategori Wilayah Terdampak Bencana Merapi 2010

ATLL ATL ATLH JUMLAH

Berdasarkan sampel 20% populasi

Jumlah desa terpilih 24 3 11 38

Jumlah dusun terpilih 21 2 8 31Jumlah keseluruhan 45 5 19 69

Setelah disesuaikan

Jumlah desa terpilih 24 6 10 40

Jumlah dusun terpilih 21 3 8 32Jumlah keseluruhan 45 9 18 72

TABEL 3: Daftar Desa dan Dusun Sampel Survei

No DUSUN DESA KECAMATAN KABUPATEN WILAYAH KATEGORI

1 Mbangunsari Klakah Selo Boyolali ATLH Treatment

2 Suroteleng Kulon Suroteleng Selo Boyolali ATL Treatment

3 Dusun 1 Wonodoyo Cepogo Boyolali ATL Treatment4 Kedungrejo Kedungrejo Kemusu Boyolali TT *) Kontrol

5 Dusun 1 Balerante Kemalang Klaten ATLL Treatment

6 Dusun 2 Balerante Kemalang Klaten ATLL Treatment

7 Dusun 2 Panggang Kemalang Klaten ATL Treatment

8 Dusun 3 Ngemplakseneng Manisrenggo Klaten ATL Treatment

Dengan menambahkan tiga dusun lagi di tiga desa yang berbeda sebagai wilayah pembanding (kontrol) --yakni dusun yang tidak terdampak bencana Merapi 2010, tetapi memiliki karakteristik sosial ekonomi yang nisbi sama dengan dusun-dusun atau desa-desa terdampak*)-- maka terdapat 43 dusun pada 35 desa sebagai sasaran pendataan. Daftar lengkapnya adalah sebagai berikut:

*) Penentuan dusun atau desa terpilih dalam wilayah pembanding ini mengacu pada data Potensi Desa (PODES) tentang karakteristik desa dengan menggunakan variabel jumlah penduduk, luas wilayah, pendapatan, lapangan pekerjaan serta jumlah sarana pendidikan dan kesehatan yang sebanding dengan dusun atau desa-desa sampel terpilih di wilayah terdampak.

6 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 35: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

9 Dusun 2 Tijayan Manisrenggo Klaten ATL Treatment

10 Dusun 1 Krikilan Bayat Klaten TT *) Kontrol

11 Garonan Banyubiru Dukun Magelang ATL Treatment

12 Sanggarahan Banyubiru Dukun Magelang ATL Treatmnet

13 Wates Banyubiru Dukun Magelang ATL Treatment

14 Sigran Dukun Dukun Magelang ATL Treatment

15 Kembang Ngadipuro Dukun Magelang ATL Treatment

16 Macanan Bligo Ngluwar Magelang ATL Treatment

17 Blongkeng 1 Blongkeng Ngluwar Magelang ATLH Treatment

18 Druju Kidul Plosogede Ngluwar Magelang ATL Treatment

19 Somokaton Somokaton Ngluwar Magelang ATL Treatment

20 Kojor Bojong Mungkid Magelang ATLH Treatment

21 Ngrajek 2 Ngrajek Mungkid Magelang ATL Treatment

22 Pabelan 1 Pabelan Mungkid Magelang ATLH Treatment

23 Daleman Gondosuli Muntilan Magelang ATLH Treatment

24 Randukuning Gondosuli Muntilan Magelang ATLH Treatment

25 Wonosari Gunungpring Muntilan Magelang ATLH Treatment

26 Lemah Tawang Gondowangi Sawangan Magelang ATLH Treatment

27 Keron Krogowanan Sawangan Magelang ATL Treatment

28 Tegalrejo Nglumut Srumbung Magelang ATL Treatment

29 Tembeman Salam Salam Magelang ATLH Treatment

30 Jagang Lor Salam Salam Magelang ATL Treatment

31 Salam Salam Salam Magelang ATLH Treatment

32 Wonorejo Utara Banyuwangi Bandongan Magelang TT *) Kontrol

33 Jetis Argomulyo Cangkringan Sleman ATL Treatment

34 Kaliadem Kepuharjo Cangkringan Sleman ATLL Treatment

35 Glagamalang Glagaharjo Cangkringan Sleman ATL Treatment

36 Kalitengah Kidul Glagaharjo Cangkringan Sleman ATLL Treatment

37 Pangukrejo Umbulharjo Cangkringan Sleman ATLL Treatment

38 Pelemsari Umbulharjo Cangkringan Sleman ATLL Treatment

39 Ngepringan Wukirsari Cangkringan Sleman ATL Treatment

40 Kalimanggis Sindumartani Ngemplak Sleman ATL Treatment

41 Kemput Candibinangun Pakem Sleman ATL Treatment

42 Kaliurang Timur Hargobinangun Pakem Sleman ATLL Treatment

43 Turgo Purwobinangun Pakem Sleman ATL Treatment

*) TT = Tak Terdampak

PENDAHULUAN: Menakar Upaya Pemulihan Kehidupan Warga Pasca Bencana | 7

Page 36: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

n Populasi & SampelPopulasi kajian ini adalah rumah tangga dan komunitas yang tinggal di wilayah yang terdampak bencana letusan Merapi 2010, yakni di desa-desa dan dusun-dusun di ATLL, ATL dan ATLH. Secara keseluruhan, jumlah rumah tangga di semua desa dan dusun tersebut, ternyata sangat besar, lebih dari 10.000 keluarga.

Mempertimbangkan jumlah anggota populasi yang sangat besar tersebut, kajian ini menetapkan secara acak berlapis (stratified random) 30 rumah tangga pada setiap dusun terpilih pada setiap kategori wilayah --termasuk di wilayah pembanding (kontrol)-- yakni rumah tangga yang tinggal di dusun tersebut sejak sebelum terjadinya letusan Merapi 2010. Dengan demikian, seluruhnya diperoleh jumlah 1.290 rumah tangga sampel, dengan rincian sebagai berikut:

TABEL 4: Jumlah Rumah Tangga Sampel Terpilihpada Setiap Kategori Wilayah di Setiap Kabupaten

Sampel ATLL ATL ATLH KONTROL JUMLAH

SLEMAN

Jumlah dusun terpilih 7 4 0 0 11

Jumlah rumah tangga terpilih 210 120 0 0 330

MAGELANG

Jumlah dusun terpilih 12 0 9 1 22

Jumlah rumah tangga terpilih 360 0 270 30 660

BOYOLALI

Jumlah dusun terpilih 2 0 1 1 4

Jumlah rumah tangga terpilih 60 0 30 30 120

KLATEN

Jumlah dusun terpilih 3 2 0 1 6

Jumlah rumah tangga terpilih 90 60 0 30 180

JUMLAH

Dusun terpilih 24 6 10 3 43

Rumah tangga terpilih 720 180 300 90 1.290

8 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 37: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

n Cakupan Informasi, Responden & Instrumen SurveiSebagaimana diuraikan sebelumnya tentang ruang lingkup kajian ini, informasi yang dikumpulkan adalah data tentang keadaan penghidupan warga di wilayah terdampak bencana Merapi 2010 sejak sesaat sebelum, segera setelah bencana terjadi, dan saat ini (setelah upaya-upaya pemulihan dilaksanakan) dalam kaitannya dengan program-program RENAKSI RR Pasca Bencana Merapi.

Data yang dikumpulkan adalah pada dua aras (level), yakni aras rumah tangga atau keluarga dan aras komunitas (dusun, desa). Dengan demikian, respondennya adalah: [1] para kepala rumah tangga atau pasangannya, atau anggota keluarga tersebut yang mengetahui informasi yang ditanyakan; dan [2] aparat pemerintahan atau pamong desa (Kepala Desa, Kepala Dusun, atau stafnya yang mengetahui informasi yang ditanyakan).

TABEL 5: Cakupan Informasi yang Dikumpulkan(Aras Rumah Tangga & Aras Komunitas)

SURVEI BASELINE + Re-survey 1 Re-survey 2

ARAS RUMAH TANGGABUKU 1

Peristiwa

* Pembentukan FPRB* Pembentukan BPBD* Letusan Merapi* Kegiatan tanggap darurat* Program pemulihan dini (early recovery)* RENAKSI RR

* RENAKSI RR * RENAKSI RR

Pertanyaan

* Lokasi rumah tangga* Anggota rumah tangga* Karakteristik rumah tangga* Usaha tani* Usaha non-tani* Harta rumah tangga* Dampak bencana* Gangguan ekonomi* Program bantuan sosial* Transfer* Sejarah pinjaman

* Sama dengan Baseline

* Sama dengan Baseline

BUKU 2

Pertanyaan

* Konsumsi* Kesiapsiagaan dan tanggap bencana* Pengajian risiko bencana* Pengurangan risiko bencana* Keadaan kesehatan* Partisipasi masyarakat

* Sama dengan Baseline

* Sama dengan Baseline

PENDAHULUAN: Menakar Upaya Pemulihan Kehidupan Warga Pasca Bencana | 9

Page 38: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

ARAS KOMUNITAS

Peristiwa

* Pembentukan FPRB* Pembentukan BPBD* Letusan Merapi* Kegiatan tanggap darurat* Program pemulihan dini (early recovery)* RENAKSI RR

* RENAKSI RR * RENAKSI RR

Pertanyaan

* Lembar kendali* Karakteristik administrasi* Informasi responden* Prasarana & sarana transportasi* Dampak bencana* Kesiapsiagaan dan tanggap bencana* Pengurangan risiko bencana* Program bantuan sosial* RENAKSI RR

* Sama dengan Baseline

* Sama dengan Baseline

Cakupan informasi yang akan dikumpulkan tersebut lalu diterjemahkan ke dalam satu perangkat instrumen pendataan dan sasaran respondennya, sebagai berikut:

TABEL 6: Cakupan Informasi, Responden, dan Instrumen Pendataan

No BUKU SASARAN RESPONDEN JUMLAH SASARAN

1 BUKU KOMUNITAS (GPS)

Informasi lokasi GPS ditanyakan pada sumber resmi dari perangkat desa berakitan dengan posisi tersahih mengenai lokasi yang akan dilakukan GPS

1

2 BUKU KOMUNITAS (AK)

Kepala desa/perangkat desa yang lain yang paling mengetahui keadaan struktur pemerintahan wilayah desa

1

3 BUKU KOMUNITAS (KARAKTERISTIK DESA)

Kepala desa dibantu oleh perangkat desa lain 1

4 BUKU RUMAH TANGGA (BUKU 1)

Kepala/pasangan kepala rumah tangga/anggota keluarga berumur > 18 tahun

1

5 BUKU RUMAH TANGGA (BUKU 2)

Kepala/pasangan kepala rumah tangga/anggota keluarga berumur > 18 tahun

1

10 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 39: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Penjelasan ringkas dari setiap instrumen tersebut adalah sebagai berikut:

n Buku Komunitas (GPS)Merupakan buku yang mencatat tentang lokasi GPS, meliputi pengukuran maksimal 3 sungai yang melewati desa, maksimal 3 lokasi lahar panas/hujan dan awan panas. Informasi tentang wilayah-wilayah tersebut ditanyakan kepada pihak perangkat desa untuk menjamin ketepatan pengukuran dilihat dari sudut pandang lokasi yang diukur. Apabila diperlukan petugas lapangan, diperbolehkan untuk memperoleh silangan informasi dari sumber lain, baik tokoh masyarakat maupun warga biasa.

n Buku Komunitas (Administrasi)

Bertujuan untuk memperoleh informasi tentang pembagian struktur wilayah di bawah desa. Informasi ini ditanyakan kepada kepala desa atau perangkat desa yang lain, diperbolehkan untuk memperoleh sumber informasi dari satu informan untuk kelengkapan dan ketepatan data.

n Buku Komunitas (KAMADES)

Ditanyakan kepada kepala desa/perangkat desa yang lain. Pada beberapa bagian dalam buku ini ada yang diperoleh informasinya dari banyak informan, terutama informan yang mengetahui tentang keadaaan sebelum dan setelah letusan Merapi 2010 serta penanganan dan proses rehabilitasi dan rekonstruksi sesudahnya.

n Buku Rumah Tangga (Buku 1)

Responden Buku 1 ini adalah kepala rumah tangga atau pasangannya, atau anggota rumah tangga yang berumur >18 tahun yang mengetahui informasi tentang rumah tangga yang bersangkutan. Informasi yang dikumpulkan di buku ini adalah mengenai karateristik rumah tangga, program bantuan, informasi kesehatan melalui rawat jalan, konsumsi, usaha tani, usaha non-tani, harta rumah tangga, pendapatan dari harta, tabungan, transfer baik ke dalam atau keluar rumah tangga, pinjaman, gangguan ekonomi, dan pengambilan keputusan rumah tangga.

n Buku Rumah Tangga (Buku 2)

Buku 2 ini bertujuan memperoleh informasi dari rumah tangga, tetapi lebih dikhususkan pada permasalahan kebencanaan, seperti kesiapsiagaan dan tanggap bencana, pengajian risiko bencana dan pengurangan risiko bencana, meskipun pada buku ini juga ditanyakan aspek lain bukan kebencanaan seperti konsumsi, kesehatan, dan partisipasi masyarakat.

PENDAHULUAN: Menakar Upaya Pemulihan Kehidupan Warga Pasca Bencana | 11

Page 40: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

n Metode AnalisisData yang dikumpulkan dari wawancara dengan responden langsung dimasukkan (entry) di lapangan dengan laptop menggunakan program komputer CSPro (Census and Survey Processing System), lalu langsung dikirimkan ke tapakmaya (website) yang dibuat khusus untuk keperluan tersebut. Pada akhir pengumpulan data, sebelum dilakukan tabulasi, dilakukan cleaning data untuk menghilangkan kesalahan-kesalahan entri dan kode-kode yang tidak seharusnya ada (outliers).

Megingat datanya tersedia dalam format komputer Stata (Statiscs and data), maka --untuk keperluan analisis-- tabulasi dilakukan oleh staf SurveyMeter yang memang sudah terlatih dan terbiasa dengan program statistik komputer tersebut. Guna penyeragaman penyajian, tabulasi dibuat berdasarkan kategori wilayah terdampak (ATL, ATLL, ATLH) dan Kontrol. Kecuali untuk Disaster Recovery Index (DRI), selain berdasarkan empat kategori wilayah tersebut, juga disajikan untuk setiap kabupaten dan sektor. Hal ini dimaksudkan untuk dapat digunakan oleh pemerintah daerah masing-masing dalam mengevaluasi RENAKSI RR Pasca Bencana Merapi.

n Tantangan dalam Pelaksanaan1. Keterbatasan Data DasarLetusan Merapi yang bermula pada tanggal 26 Oktober sampai 7 November 2010, pada akhirnya menyadarkan banyak pihak tentang pentingnya kajian kebencanaan, khususnya yang berkaitan dengan proses-proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Dampak terbesar terlihat pada kerusakan berat prasarana dan lingkungan. Semuanya membutuhkan penanganan yang serius dalam membuat kebijakan pemulihan yang efektif dan berkelanjutan. Salah satu prasyaratnya adalah tersedianya data yang memadai dan akurat tentang apa yang disebut sebagai tindakan pencegahan bencana dan dampak yang diakibatkannya.

Sejak awal pelaksanaannya, kajian longitudinal ini sudah dihadapkan pada persoalan yang menjadi salah satu akar masalah dari proses penanganan bencana, yaitu minimnya data dasar wilayah risiko bencana, termasuk data tentang pengetahuan, pandangan, dan sikap warga masyarakat, terutama warga korban bencana di kawasan Merapi. Padahal, data tentang wilayah risiko bencana sampai pada tingkat dusun, mutlak diperlukan.

12 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 41: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Prakarsa kajian longitudinal ini pada dasarnya justru dimaksudkan untuk mendapatkan data dasar yang sangat penting tersebut. Data hasil kajian ini akan sangat membantu mengatasi masalah kekurangan atau bahkan ketiadaan informasi memadai selama ini tentang keadaan wilayah terdampak bencana dan penghidupan warganya. Data hasil kajian ini --yang sangat rinci sampai pada aras dusun dan rumah tangga warga-- dapat digunakan sebagai basis perencanaan jangka mencegah dan jangka panjang, terutama oleh pemerintah, dalam rangka pengurangan risiko bencana dan peningkatan ketangguhan warga di kawasan Merapi dalam menghadapi bencana letusan dari salah satu gunung berapi paling aktif di dunia itu.

2. Keterbatasan KuisionerPenyusunan kuisioner sebagai instrumen pendataan survei ini dilakukan hampir setahun, sejak bulan Juli 2011. Memerhatikan konteks umum sosial ekonomi dan budaya warga terpapar bencana di kawasan Merapi, kuisioner survei ini sejak awal dirancang sedemikian rupa agar benar-benar mudah dipahami oleh para warga di sana, tetapi tanpa mengurangi substansi dan makna pertanyaaan yang diajukan.

Meskipun sudah dilakukan uji coba sebanyak dua kali, sangat terasa bahwa tetap saja sulit menghindari adanya beberapa penyederhanaan pertanyaan. Hal ini terutama karena kuisioner survei memang terdiri dari banyak sekali pertanyaan yang bisa saja melelahkan untuk menjawab seluruhnya secara rinci dan cermat, terutama pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan perspektif pengurangan risiko bencana di setiap sektor. Hasil uji coba dan pelaksanaan yang sesungguhnya memperlihatkan setiap responden membutuhkan waktu rerata empat (4) jam untuk menjawab semua pertanyaan dalam kuisioner.

Untuk mengatasi masalah tersebut, tidak ada jalan lain kecuali menegaskan kepada para enumerator untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan retrospektif --jika perlu juga probing questions-- yang bisa membantu responden mengingat kembali keadaan mereka sebelum bencana terjadi pada bulan Oktober-November 2010. Memang tidak mudah, tetapi cara ini jauh lebih baik dibandingkan jika para responden hanya dibiarkan sendiri mengisi kuisioner tanpa pendampingan dari enumerator.

Pada responden rumah tangga, umumnya memang tidak terlalu sulit bagi mereka mengingat kembali semua kejadian dan keadaan yang mereka alami sebelum Oktober-November 2010. Informasi yang dibutuhkan

PENDAHULUAN: Menakar Upaya Pemulihan Kehidupan Warga Pasca Bencana | 13

Page 42: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

dari mereka memang lebih merupakan data perseptual yang lebih mudah diperiksa silang ketepatannya dengan responden yang lain di dusun yang sama. Yang cukup menyulitkan adalah responden di tingkat komunitas yang umumnya adalah para aparat pemerintahan (pamong) desa atau tokoh masyarakat. Sebagai pelaksana tata kepemerintahan desa, semestinya mereka dapat menjawab sebagian besar pertanyaan dalam kuisioner dengan data tertulis atau dokumen yang ada di kantor desa. Tetapi, hampir sebagian besar mereka juga menjawab hanya atau lebih berdasarkan ingatan saja. Hal ini memperkuat fakta bahwa data dasar wilayah risiko bencana memang langka tersedia selama ini bahkan sampai pada tingkat sumber utama (primer) di aras desa. Akibat bencana letusan Merapi 2010 yang melanda desa mereka, bisa dimaklumi jika data dari masa sebelumnya mungkin memang ikut musnah. Tetapi, faktanya adalah bahwa bahkan data tentang kegiatan-kegiatan pemulihan pasca bencana pun juga langka tersedia. Sebagian besar pamong desa dan tokoh masyarakat setempat bahkan tidak banyak mengetahui --apalagi memiliki rekaman data-- tentang rincian berbagai kegiatan pemulihan --baik oleh pemerintah (melalui BNPB dan BPBD) maupun oleh para pihak lainnya-- yang pernah (atau jika pernah ada) diselenggarakan di desa mereka.

n Penulisan LaporanLaporan hasil kajian longitudinal ini diupayakan tersaji dalam susunan yang padat, jelas dan mudah dibaca.

Secara garis besar, laporan ini diawali oleh tulisan tentang Indeks Pemulihan Bencana Kawasan Merapi yang, pada dasarnya, merupakan rangkuman umum dari seluruh tulisan lainnya dalam laporan ini. Rincian data setiap sektor dari semua data yang dirangkum pada tulisan pertama tersebut disajikan pada tulisan-tulisan berikutnya: perumahan dan permukiman (Sektor 1); prasarana dasar (Sektor 2); ekonomi produktif dan penghidupan warga (Sektor 3); pelayanan sosial dasar (Sektor 4); serta perlakuan khusus kelompok rentan, akses pelayanan publik, dan pemulihan lingkungan hidup (Lintas Sektor). Laporan ini diakhiri dengan satu tinjauan akhir tentang membangun ketangguhan (resilience) warga menghadapi bencana.

Sesuai dengan rancangan dasarnya, data hasil kajian ini adalah satu kumpulan data yang luar biasa kompleksitasnya. Karena itu, penyajiannya perlu diupayakan sedemikian rupa agar tetap mudah dibaca dan dipahami oleh kalangan luas. Untuk itu, penulisan laporan ini melakukan

14 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 43: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

‘penyederhanaan’ bahasa, terutama berbagai istilah teknis statistik yang mungkin cukup sulit dipahami oleh pembaca awam. Tentu saja, dengan tetap berusaha agar sedapat mungkin tidak mengurangi atau menghilangkan substansi dan makna yang sesungguhnya.

Tantangan itulah yang dihadapi oleh tim penulis laporan ini. Sekali lagi, karena keterbatasan kelengkapan data yang bisa dihasilkan dari survei, tim penulis cukup mengalami kesulitan dalam penyajian analisisnya, terutama ketika menyusun Indeks Pemulihan Bencana (Disaster Recovery Index, DRI) yang idealnya dapat mencakup semua (173) parameter dari berbagai sektor sebagaimana yang tercantum dalam dokumen RENAKSI RR Pasca Bencana Merapi. Karena keterbatasan data yang dihasilkan dari survei, maka penyusunan Indeks tersebut dalam laporan ini membatasi dan mengutamakan hanya pada 22 parameter dasar yang mampu disediakan datanya dari hasil survei.

Betapapun, survei ini adalah yang pertama kalinya dilaksanakan di kawasan bencana Merapi dan memang secara sangat spesifik memusatkan perhatian pada isu-isu kebencanaan serta upaya pemulihan pasca bencana. Dengan beberapa kekurangan yang sudah dapat dikenali tersebut, survei pertama ini paling tidak telah meletakkan dasar untuk kesempurnaan pelaksanaan survei yang sama di masa mendatang. v

PENDAHULUAN: Menakar Upaya Pemulihan Kehidupan Warga Pasca Bencana | 15

Page 44: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

DESA KENINGAR, DUKUN, MAGELANG, JAWA TENGAH, 31 Juli 2011. Sekitar sembilan bulan setelah bencana, setelah kembali dari pengungsian, warga desa --termasuk kaum perempuan-- bergotong-royong memperbaiki jalan desa mereka.

<FOTO: SALEH ABDULLAH, TRK INSIST>

Page 45: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

INDEKS PEMULIHAN BENCANA KAWASAN MERAPI

Istiarsi Saptuti Sri KawuryanNi Wayan SuriastiniEdy Purwanto

Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana Erupsi Gunung Merapi telah diresmikan melalui Keputusan Kepala (PERKA)

BNPB Nomor 05 Tahun 2011 tentang Penetapan Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pasca Erupsi Gunung Merapi di DIY dan Jateng. Penerbitan dokumen ini menandai bahwa proses pembangunan kembali pasca bencana Gunung Merapi sudah dapat dimulai.

Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pedoman Rehabilitasi dan Rekonstruksi mengamanatkan prinsip pembangunan yang lebih baik, prinsip pengurangan risiko bencana, dan prinsip keberlanjutan dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi. Dalam rangka implementasi prinsip-prinsip tersebut, dibutuhkan instrumen yang memampukan para pihak untuk mengukur tingkat pemulihan kehidupan dan ketahanan terhadap bencana pada masyarakat terdampak bencana.

Salah satu cara untuk mengukur tingkat pemulihan masyarakat yang terdampak bencana adalah dengan mengumpulkan informasi secara berkala (periodik) terhadap rumah tangga dan masyarakat di daerah terdampak bencana. Kajian berjangka panjang secara terus-menerus (longitudinal study) merupakan suatu metode yang dapat digunakan untuk mengukur keadaan warga (penduduk) secara berkala terhadap indikator-indikator kesejahteraan tertentu seperti pendapatan, belanja, kepemilikan aset, akses terhadap layanan dasar, gizi, kesehatan, pendidikan, dan bahkan indikator-indikator lain termasuk ketahanan komunitas terhadap bencana.

Laporan ini adalah hasil pelaksanaan longitudinal study dalam kerangka Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana Gunung Merapi. Kajian ini merupakan kesepakatan kerjasama antara Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), FPRB Provinsi Jawa Tengah, Badan Nasional Penanggulangan

17

RANGKUMAN

Page 46: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Bencana (BNPB), Tim Pendukung Teknis Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana Gunung Merapi dan Merapi Recovery Response - United Nation Development Programme (UNDP). Kajian ini dimaksudkan agar para pihak memiliki alat yang dapat mengukur dampak-dampak pemulihan pasca bencana secara objektif.

Tim pelaksana kajian ini menyusun dan menggunakan Indeks Pemulihan Kehidupan Pasca Bencana (Disaster Recovery Index, DRI) sebagai masukan utama dalam Laporan Pemantauan dan Evaluasi Program Rencana Aksi Pasca Bencana Gunung Merapi 2011-2013 dari sisi penerima manfaat. Langkah-langkah penyusunan DRI ini adalah sebagai berikut:

1. Pemetaan variabel-variabel pemulihan pasca bencana yang akan digunakan dalam penyusunan indeks komposit DRI.

2. Elaborasi metode-metode penyusunan DRI dan perbandingannya dengan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index, HDI).

3. Persepakatan dukungan para pihak dalam pelaksanaan survei dasar (baseline survey) semua variabel yang telah ditetapkan untuk mengukur pulihnya kehidupan masyarakat di kawasan terdampak bencana letusan dan lahar hujan Gunung Merapi.

4. Pelaksanaan survei pertama, kemudian dilanjutkan dengan pemilihan indikator pulihnya kehidupan pasca bencana berdasarkan kerangka HDI dalam konteks bencana.

5. Analisis multivariat terhadap indikator-indikator terpilih hingga pembobotan dan agregasinya.

6. Penyajian hasil analisis dalam focus group discussion (FGD) untuk memperoleh umpan-balik dari para pembuat kebijakan, akademisi, dan NGOs, sebagai masukan dalam penyusunan akhir indeks komposit DRI yang diharapkan siap dan dapat pula digunakan untuk daerah-daerah bencana lainnya di Indonesia.

n DRI: Apa dan Mengapa?DRI memegang peranan penting dalam: (1) Membantu perumusan kebijakan-kebijakan pemulihan kehidupan pasca bencana; (2) Mengevaluasi efektivitas program rencana aksi pemulihan kehidupan pasca bencana; (3) Membantu perancangan program rehabilitasi dan rekonstruksi; dan (4) Mempermudah komunikasi dengan publik tentang keadaan atau perkembangan upaya pemulihan kehidupan pasca bencana.

18 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 47: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

DRI merupakan alat yang sangat berguna untuk menyusun sekumpulan indikator pemulihan kehidupan pasca bencana hingga menjadi bentuk yang paling sederhana, namun tetap mempertahankan makna atau hakikat dari status pulihnya kehidupan pasca bencana.

Terdapat sepuluh langkah penyusunan indeks komposit DRI ini, mulai dari membangun kerangka teoritis hingga penyajian (presentasi) dan diseminasinya. Langkah-langkah inilah yang digunakan para ilmuwan dalam mengembangkan indeks pemulihan kehidupan pasca bencana internasional seperti Indexes for Recovery & Reconstruction (IRR).

Pentingnya penyusunan DRI untuk kawasan bencana letusan dan lahar hujan

Gunung Merapi ini adalah agar BNPB --dalam hal ini Deputi Rehabilitasi dan Rekonstruksi, khususnya untuk pemulihan sosial ekonomi-- memiliki suatu landasan data dan kerangka analisis yang memadai untuk menyusun suatu tinjauan (review) menyeluruh (komprehensif) mengenai pulihnya kehidupan pasca bencana di kawasan Gunung Merapi. Sebagai suatu indeks komposit yang memadukan berbagai indikator berdasarkan data yang dihasilkan dari survei longitudinal, DRI juga diperlukan sebagai alat pembanding bagi upaya-upaya pemulihan kehidupan pasca bencana di tempat-tempat terdampak, baik di Daerah Istimewa Yogyakarta (Kabupaten Sleman) maupun di Jawa Tengah (Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, dan Kabupaten Magelang).

Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana Merapi 2011-2013 berbasis DRI diharapkan dapat menjadi masukan bagi para pembuat kebijakan --di tingkat lokal maupun nasional-- untuk menentukan arah kebijakan pemulihan di masa depan. Dengan demikian, kebijakan yang dihasilkan dapat memperbaiki kualitas program pemulihan kehidupan pasca bencana dalam rangka 'pembangunan kembali yang lebih baik' (buildback better) kehidupan masyarakat terdampak bencana sesuai amanat Kerangka Kerja Hyogo (Hyogo Framework).

PemulihanBencana

Bertambah

Keadaan pasca bencana perlu indeks yang dapat mengukur tingkat pemulihan korban

dari waktu ke waktu.

GRAFIK 1: Disaster Recovery Index (DRI)

RANGKUMAN: Indeks Pemulihan Bencana Kawasan Merapi | 19

Page 48: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

n Pengertian & PeristilahanMetodologi penyusunan DRI adalah model yang digunakan menyusun Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Untuk itu, ada beberapa peristilahan dasar yang perlu dijelaskan pengertiannya masing-masing.

Parameter: suatu besaran yang diukur atau diamati.

Indikator: suatu parameter atau nilai yang diturunkan dari sejumlah parameter, yang bertujuan untuk menyediakan informasi tentang keadaan suatu fenomena kehidupan pasca bencana.

Indeks komposit: suatu set agregasi atau pembobotan beberapa indikator dengan cara mereduksi kumpulan indikator tersebut hingga menjadi bentuk yang paling sederhana namun tetap mempertahankan makna atau hakikat dari seluruh indikator tersebut.

Indeks komposit pulihnya kehidupan pasca bencana: suatu indeks komposit yang dibangun oleh sejumlah indikator kemajuan pulihnya kehidupan pasca bencana.

Mengacu perhitungan nilai (score) DRI sebelum, sesaat setelah bencana, dan saat survei, baik menurut area terdampak maupun menurut kabupaten (terlampir), dan untuk menyamakan pemahaman, maka dirumuskan definisi operasional 'pulih' (recover) sebagai berikut:

[a] Secara matematis:

n adalah % perbaikan dari sesaat setelah bencana sampai dengan saat survei = {(nilai saat survei – nilai sesaat setelah bencana) /abs (nilai sesaat setelah bencana – nilai sebelum bencana)} x 100%; atau:

(Δ /abs Δ ) x 100% ; sehingga

n pulihnya sektor perumahan = (Δ sektor perumahan /abs Δ sektor perumahan ) x 100%;

n pulihnya sektor prasarana = (Δ sektor prasarana /abs Δ sektor prasarana ) x 100%;

n pulihnya sektor ekonomi produktif = (Δ sektor ekonomi produktif /abs Δ sektor ekonomi produktif) x 100%;

n pulihnya sektor sosial = (Δ sektor sosial /abs Δ sektor sosial) x 100%;

n pulihnya lintas sektor = (Δ lintas sektor /abs Δ lintas sektor) x 100%.

20 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 49: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

[b] Secara verbal:

n adalah proporsi antara selisih nilai saat survei dari nilai sesaat setelah bencana dengan selisih nilai sesaat setelah bencana dari sebelum bencana; sehingga

n pulihnya sektor perumahan adalah proporsi perbaikan keadaan dinding, lantai, sanitasi, air bersih dari sesaat setelah bencana sampai saat survei terhadap penurunan keadaan dinding, lantai, sanitasi, air bersih sesaat setelah bencana dari sebelum bencana;

n pulihnya sektor prasarana adalah proporsi perbaikan keadaan jalan, jembatan, transportasi umum, telekomunikasi dan akses ke pasar terdekat dari sesaat setelah bencana sampai saat survei terhadap penurunan keadaan jalan, jembatan, transportasi umum, telekomunikasi dan akses ke pasar terdekat pada sesaat setelah bencana dari sebelum bencana;

n pulihnya sektor ekonomi produktif adalah proporsi perbaikan pendapatan dan pekerjaan kelompok usia produktif (15-60 tahun) dari sesaat setelah bencana sampai saat survei terhadap penurunan keadaan pendapatan dan pekerjaan kelompok usia produktif pada sesaat setelah bencana dari sebelum bencana;

n pulihnya sektor sosial adalah proporsi perbaikan akses pada fasilitas kesehatan, status kesehatan fisik, status kesehatan mental, akses pada fasilitas pendidikan, status bersekolah keluarga korban bencana dari sesaat setelah bencana sampai saat survei terhadap penurunan kondisi akses pada fasilitas kesehatan, status kesehatan fisik, status kesehatan mental, akses pada fasilitas pendidikan, status bersekolah keluarga korban bencana pada sesaat setelah bencana dari sebelum bencana;

n pulihnya lintas sektor adalah proporsi perbaikan frekuensi pelatihan menghadapi bencana, luas wilayah desa, luas lahan pertanian desa, pengelolaan/pemanfaatan hasil hutan, akses ke kantor pos/jasa pengiriman barang, akses ke bank/lembaga keuangan formal lainnya dari sesaat setelah bencana sampai saat survei terhadap penurunan frekuensi pelatihan menghadapi bencana, luas wilayah desa, luas lahan pertanian desa, pengelolaan/pemanfaatan hasil hutan, akses ke kantor pos/jasa pengiriman barang, akses ke bank/lembaga keuangan formal lainnya pada sesaat setelah bencana dari sebelum bencana.

RANGKUMAN: Indeks Pemulihan Bencana Kawasan Merapi | 21

Page 50: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

n Kerangka AnalisisAnalisis DRI dilakukan dengan mengacu pada sebagian dari sepuluh langkah iteratif penyusunan suatu indeks komposit. Kesepuluh langkah tersebut adalah: (1) membangun kerangka teoritis; (2) pemilihan variabel; (3) analisis multivariat; (4) imputasi data hilang; (5) normalisasi data; (6) pembobotan dan agregasi; (7) analisis robustness dan sensitivitas; (8) analisis korelasi; (9) dekomposisi indeks komposit; serta (10) presentasi dan diseminasi.

Tolok-ukur (kriteria) pemilihan indikator pulihnya kehidupan pasca bencana, antara lain, mengacu pada:

1. Relevansi kebijakan dan manfaat bagi pengguna (policy relevance and utility for users) yang meliputi:

a. Mampu menyediakan gambaran yang representatif dari keadaan pulihnya kehidupan pasca bencana;

b. Berlingkup nasional, dalam artian dapat diterapkan pada isu-isu lingkungan regional yang signifikan secara nasional; dan

c. Mampu menunjukkan arah kecenderungan (trend) dari waktu ke waktu.

2. Kekuatan analitis (analytical soundness) yang, antara lain, meliputi:

a. Well-founded dari segi teknis maupun keilmuan;

b. Mendukung jika dikaitkan dengan model-model ekonomi, peramalan (forecasting) maupun sistem informasi.

3. Dapat terukur (measurability) data yang digunakan untuk mengukur indikator:

a. Tersedia atau mampu disediakan pada biaya yang rasional;

b. Cukup terdokumentasi dan diketahui kualitasnya;

c. Dimutakhirkan (updated) secara rutin sesuai dengan prosedur yang dapat dipercaya.

Indikator-indikator pulihnya kehidupan pasca bencana dapat dimanfaatkan oleh para pembuat keputusan maupun pengguna lainnya:

1. Sebagai ukuran kemajuan pulihnya kehidupan pasca bencana di suatu daerah yang terdampak;

2. Untuk memadukan masalah-masalah pemulihan kehidupan pasca bencana ke dalam berbagai sektor kebijakan; dan

22 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 51: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

RANGKUMAN: Indeks Pemulihan Bencana Kawasan Merapi | 23

3. Untuk pelaporan keadaan pulihnya kehidupan pasca bencana di suatu wilayah.

Analisis DRI dilakukan dengan mengkompositkan sejumlah indikator pada masing-masing sektor perumahan, prasarana, ekonomi produktif, sosial, dan lintas sektor. Hasilnya adalah sebagai berikut:

TABEL 7: Indikator dan Bobot per Indikator Tiap Sektor Pembentuk Indeks Pemulihan Bencana (DRI)

Indikator Terpilih per Sektor Bobot DRI

PERUMAHAN 25,83

Perubahan jenis dinding rumah tinggal terluas 22,50 5,81

Perubahan jenis lantai tempat tinggal 27,50 7,10

Perubahan sarana MCK 26,25 6,78

Prasarana/sarana air bersih23,75

6,13100,00

PRASARANA 18,33

Perbaikan jalan 22,50 4,12

Perbaikan jembatan 25,00 4,58

Transportasi umum 18,75 3,44

Telekomunikasi 16,25 2,98

Akses pasar terdekat17,50

3,21100,00

EKONOMI PRODUKTIF 25,83

Perubahan pendapatan rumah tangga 47,50 12,27

Partisipasi ekonomi penduduk usia produktif (15-60 tahun)52,50

13,56100,00

SOSIAL 15,83

Perubahan akses pada sarana kesehatan 20,00 3,17

Perubahan status kesehatan fisik 18,75 2,97

Perubahan status keseahatan mental 21,25 3,36

Perubahan akses pada sarana pendidikan 27,50 4,35

Perubahan status bersekolah anak usia sekolah (6-15 tahun)12,50

1,98100,00

Page 52: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

24 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Tabel di atas menunjukkan urutan prioritas bobot tertinggi ke terendah dari lima sektor DRI mengikuti urutan: sektor perumahan dan sektor ekonomi poduktif, diikuti sektor prasarana, sektor sosial, dan lintas sektor menurut otoritas pihak berwenang. Dasar penetapan prioritas atau bobot adalah penilaian (dengan cara membagikan 10 stik ke 5 sektor, kemudian membagikan 10 stik ke tiap indikator masing-masing sektor) sesuai urutan kepentingan menurut masing-masing pemangku kepentingan (stakeholders).

Dasar penetapan indikator pada setiap sektor, selain mengacu pada tolok ukur baku (OECD, 2008) --yakni relevansi kebijakan dan manfaat bagi pengguna, kekuatan analitis, dan keterukuran-- juga mengacu pada ketersediaan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dan Potensi Desa (PODES) di Badan Pusat Statistik (BPS), serta data yang diperoleh dari instrumen survei longitudinal --khususnya yang terkait dengan program Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana Letusan Merapi. Data dari BPS mengidentifikasi kemajuan pemulihan kehidupan pasca bencana berbasis data yang tersedia di BPS, sedangkan data dari survei longitudinal berbasis data lapangan (baseline) secara berkala tahunan. Adapun jumlah indikator pada masing-masing sektor secara potensial maupun awal ditunjukkan pada tabel berikut:

LINTAS SEKTORAL 14,18

Pelatihan menghadapi bencana (2x) 23,75 3,37

Perubahan luas wilayah desa 10,00 1,42

Perubahan luas lahan pertanian di desa 17,50 2,48

Perubahan pengelolaan/pemanfaatan hasil hutan 15,00 2,13

Akses ke kantor pos (pengiriman barang) terdekat 10,00 1,42

Akses ke bank (lembaga keuangan fromal lainnya) terdekat23,75

3,37100,00

22 indikator 100,00 100,00

Sumber: Data Persepsi Urutan Prioritas Kepentingan Sektor dan Indikator Sektor (diolah)

Page 53: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Tabel di atas menunjukkan jumlah indikator per sektor secara potensial DRI ada 31 indikator dan secara DRI awal ada 22 indikator. Hasil DRI yang disajikan di sini berbasis 22 indikator terpilih DRI awal menurut: (a) keseluruhan sektor per periode, (b) masing-masing sektor per periode; baik pada (i) strata area terdampak (ATLL, ATL, ATLH) maupun pada (ii) strata kabupaten di bagian hasil analisis.

Selanjutnya, setelah berhasil memilih sejumlah indikator pulihnya kehidupan pasca bencana, langkah berikutnya adalah menyusun indeks komposit pulihnya kehidupan pasca bencana berdasarkan indikator-indikator terpilih. (Lebih rinci, seluruh langkah perhitungan tersebut dapat dilihat pada Bagan-1: Bagan Arus Perhitungan DRI, pada halaman berikutnya, h.26-27).

Sesudah indeks diperoleh, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis, mengacu pada berbagai peraturan (regulasi) yang ada tentang penanggulangan bencana (ikhtisar seluruh regulasi tersebut dapat dilihat pada Lampiran-1 di halaman 206-209), dokumen Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana Letusan Merapi serta capaian-capaian hasilnya, terlihat begitu banyak kendala peraturan resmi terkait penyelenggaraan penanggulangan bencana yang kontraproduktif dengan kebutuhan pemulihan kehidupan pasca bencana bagi korban bencana. Akibatnya lebih lanjut adalah lambannya proses pemulihan kehidupan korban bencana.

Salah satu bukti nyata adalah arahan Wakil Presiden bahwa penyusunan dokumen Rencana Aksi Rehabilitasi & Rekonstruksi Pasca Bencana Letusan Gunung Merapi berada di bawah komando Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) yang akan mengundang rapat koordinasi antar kementerian dan lembaga pemerintahan yang terkait

RANGKUMAN: Indeks Pemulihan Bencana Kawasan Merapi | 25

TABEL 8: Jumlah Indikator per Sektor DRI Potensial dan DRI Awal

Sektor Indikator DRI Potensial

Indikator DRI Awal

Perumahan 5 4Prasarana 7 5Ekonomi Produktif 5 2Sosial 8 5Lintas Sektor 6 6

TOTAL 31 22

Sumber: Data lapangan survei longitudinal, 2012 (diolah)

Page 54: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

PENENTUAN BOBOT SETIAP SEKTOR

PENENTUAN BOBOT SETIAP KOMPONEN DALAM SETIAP SEKTOR

PENGHITUNGAN NILAI SETIAP KOMPONEN DALAM SETIAP SEKTOR(nilai dummy x bobot setiap komponen)

PENGHITUNGAN TOTAL NILAI SETIAP SEKTOR(jumlah nilai setiap komponen setiap sektor)

PENGHITUNGAN NILAI SETIAP SEKTOR SESUAI BOBOT SEKTOR(bobot x total nilai setiap sektor)

PENGHITUNGAN NILAI DRI (jumlah semua nilai tiap sektor yang telah disesuaikan dengan bobot)

PENGHITUNGAN PERUBAHAN DRI: A. Penurunan akibat bencana = nilai setelah = nilai sebelum bencana; B. Peningkatan karena program = nilai saat survei - nilai setelah bencana

PENGHITUNGAN PENINGKATANKARENA PROGRAM(% perbaikan dari penurunan akibat bencana -B/A x 100%)

PENARIKAN KESIMPULAN100% = pulih seperti sediakala>100% = lebih baik dari sediakala<100% = belum pulih

1 2

56

7

444

8

9

10

BAGAN 1: Bagan Arus (Flow Chart) Penyusunan Nilai DRI

SEKTOR BobotA Perumahan 25,83B Prasarana 18,33C Ekonomi Produktif 25,83

D Sosial 15,83E Lintas Sektor 14,17

JUMLAH 100,00

KOMPONEN SEKTOR BobotA 1 Dinding rumah 23

2 Lantai rumah 283 Sarana MCK 264 Sarana air bersih 23

JUMLAH 100B 1 Keberadaan jalan 24

2 Keberadaan jembatan 263 Sarana angkutan umum 174 Sraana telekomunikasi 155 Akses pasar terdekat 18

JUMLAH 100C 1 Pendapatan rumah tangga 50

2 Partisipasi usia produktif 50JUMLAH 100

D 1 Akses sarana kesehatan 222 Status kesehatan fisik 183 Status Kesehatan mental 204 Akses sarana pendidikan 285 Partisipasi usia sekolah 12

JUMLAH 100E 1 Pelatihan kebencanaan 25

2 Luas wilayah desa 103 Luas lahan pertanian 164 Pemanfaatan hasil hutan 165 Akses kantor pos 106 Akses lembaga keuangan 23

JUMLAH 100

26 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 55: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

RANGKUMAN: Indeks Pemulihan Bencana Kawasan Merapi | 27

PENENTUAN & PENGHITUNGAN DUMMY SETIAP KOMPONEN DALAM SETIAP SEKTOR

3

nilai dummyA A1 1 Tembok 1

2 Lainnya 0A2 1 Keramik, marmer, ubin, tegel, semen, bata 1

2 Lainnya 0A3 1 Jamban sendiri 1

2 Lainnya 0A4 1 Air kemasan, isi ulang, ledeng, sumur terlindungi 1

2 Lainnya 0B B1 1 Tidak ada rusak atau rusak <50% 1

2 Lainnya 0B2 1 Tidak ada rusak atau rusak <50% 1

2 Lainnya 0B3 1 Ada di desa atau di luar desa dalam jarak <rerata 1

2 Lainnya 0B4 1 Ada di desa atau di luar desa dalam jarak <rerata 1

2 Lainnya 0B5 1 Ada di desa atau di luar desa dalam jarak <rerata 1

2 Lainnya 0C C1 1 Meningkat atau menurun < 20% 1

2 Lainnya 0C2 1 Bekerja 1

2 Lainnya 0D D1 1 PUSKESMAS/RS di desa, di luar dalam jarak <rerata 1

2 Lainnya 0D2 1 Sama atau lebih baik 1

2 Lainnya 0D3 1 Sama atau lebih baik 1

2 Lainnya 0D4 1 SD/SMP/SMA di desa, di luar dalam jarak <rerata 1

2 Lainnya 0D5 1 Bersekolah 1

2 Lainnya 0E E1 1 Pernah diadakan > 1 kali 1

2 Lainnya 0E2 1 Tetap 1

2 Lainnya 0E3 1 Tetap 1

2 Lainnya 0E4 1 Baik 1

2 Lainnya 0E5 1 Ada di desa atau di luar desa dalam jarak <rerata 1

2 Lainnya 0E6 1 Ada di desa atau di luar desa dalam jarak <rerata 1

2 Lainnya 0

Page 56: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

penanggulangan bencana dengan melibatkan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Gubernur Jawa Tengah.

Padahal, pada sisi lain, Peraturan Pemerintah (PP) 21/2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dan PP 41 dan 42/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah menempatkan badan --termasuk lembaga teknis daerah-- tidak memiliki otoritas komando (Pasal 8) dan bertanggungjawab kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah.

Sementara itu, Peraturan Presiden (PERPRES) 8/2008 tentang Pembentukan BNPB berimplikasi pada kesulitan BNPB menjalankan mandat koordinasi antar lembaga teknis dan berbagi peran melakukan tindakan teknis dengan kementerian yang ada. Misalnya, korban bencana alam termasuk salah satu mandat dalam perlindungan sosial, tetapi belum jelas pembagian peran antara BNPB dan Kementerian Sosial (KEMENSOS). Demikian pula halnya dalam pencegahan bencana banjir atau kekeringan --sesuai UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air-- yang selama ini berada dalam kewenangan Kementerian Pekerjaan Umum (KEMENPU). Begitu juga dengan UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang berada dalam kewenangan Kementerian Keuangan (KEMENKEU), cenderung selalu mengesampingkan alokasi untuk penanggulangan bencana, sementara dalam UU 17/2003 tentang Keuangan Negara belum ada pemastian penggunaan uang negara untuk penanggulangan bencana seperti halnya untuk sektor pendidikan.

Selanjutnya, pada tingkat di bawah UU, Peraturan Menteri Dalam Negeri (PERMENDAGRI) tidak mewajibkan daerah membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). PERMENDAGRI 27/2007 tentang Pedoman Penyiapan Sarana dan Prasarana dalam Penanggulangan Bencana, belum mengacu pada UU 24/2007. PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah dan PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara pusat dan daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana sering dianggap belum jelas. Peraturan Kepala (PERKA) BNPB 1/2008 dan PERKA BASARNAS 01/2008 yang sama-sama mengatur organisasi dan tata kerja Badan menegaskan fungsi dan peran lembaganya sesuai UU di atasnya. Karena UU dan peraturan di atasnya tidak ada koordinasi, maka akibatnya fungsi dan peran BNPB dan BASARNAS dalam penanggulangan bencana juga tidak ada koordinasi. Selanjutnya, UU 26/2007 tentang Penataan Ruang belum ada penyelarasan antara tata ruang pengelolaan kawasan rawan bencana sebagai bagian dari upaya penyelenggaraan pencegahan bencana antara BNPB dan KEMENPU.

28 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 57: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

RANGKUMAN: Indeks Pemulihan Bencana Kawasan Merapi | 29

TABEL 9: Arahan Kebijakan dan Peraturan Terkait Rencana Aksi PemulihanPasca Bencana Merapi 2010 di DIY dan Jawa Tengah

No SEKTOR Arahan Regulasi / Rekomendasi Lokasi / Status/Isu

1Perumahan

Pembangunan perumahan dan permukiman yang telah ditetapkan untuk menampung masyarakat korban bencana erupsi Gunung Merapi

Pada lokasi relokasi

Wilayah yang termasuk dalam kategori Area Terdampak Langsung (ATL) tidak untuk hunian

2 Ekonomi produktif

Pemulihan ekonomi dan mata pencaharian masyarakat korban bencana

Pada yang direlokasi

Diarahkan untuk ekonomi produktif (ternak, penguatan modal UKM) Dana CSR

3 Prasarana

Pembangunan prasarana publik Pada lokasi relokasi

Kerusakan pada prasarana dan sarana transportasi darat (jalan dan jembatan) serta parasarana sumberdaya airMemanfaatkan anggaran yang terdapat pada program di Direktorat Jenderal (DIRJEN) Cipta Karya, terutama untuk jalan evakuasi

Perbaikan jalan kabupaten dan desa

4 Sosial

Pembangunan prasarana dan sarana pendidikan, kesehatan, peribadatan, dan sosial

Pada lokasi relokasi

Memanfaatkan dana yang tidak terserap di Kementerian Pendidikan Nasional Pendidikan

Data kerusakan fasilitas kesehatan perlu disinkronkan dengan BNPB dan pembagian peran masing-masing

Kesehatan

Diperlukan penguatan kapasitas masyarakat, terutama untuk kesiapsiagaan terhadap bencana

5 Lintas Sektor

Pengalihan status pemanfaatan ruang wilayah pada Kawasan Rawan Bencana (KRB) yang terkena dampak langsung dan tidak langsung letusan Gunung Merapi, menjadi kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM)

Upaya pengurangan risiko bencana

Wilayah yang termasuk dalam area terdampak tidak langsung (ATTL)

Untuk TNGM dan hutan lindung

Penentuan wilayah terdampak langsung ditetapkan oleh pemerintah daerah kabupaten setempat (Bupati).

Pada tingkat dusun

Penganggaran relokasi bagi wilayah terdampak (khusus untuk non-perkotaan) termasuk ganti rugi lahan oleh pemerintah pusat

Pemerintah Pusat

Page 58: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

30 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Pelaksanaan relokasi penduduk dari wilayah KRB III yang terkena dampak langsung letusan Gunung Merapi dan telah ditetapkan sebagai kawasan tidak layak huni

Pemulihan layanan bidang pemerintahan, keamanan dan ketertiban

Pada lokasi relokasi

Pembangunan dan peningkatan prasarana dan sarana kesiapsiagaan dan sistem peringatan dini Pada KRB

Penggantian lahan di kawasan dengan tingkat kerawanan tinggi (KRB III) disesuaikan dengan peraturan yang berlaku

Menunda proses sertifikasi 3.500 petak lahan sampai dilaksanakannya pemberian kompensasi, pada 3000 petak melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan 500 petak melalui pemerintah daerah (PEMDA)

Rencana Rinci Tata Ruang Kawasan Gunung Merapi dengan tujuan mewujudkan ruang yang dapat memberikan kenyamanan, keamanan, dan terbebas dari ancaman bencana Gunung Merapi.

Sumber: Tim Gabungan BNPB-BAPPENAS (2011).

Kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana alam pada dasarnya adalah upaya mengembalikan keadaan dan kehidupan masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana pada keadaan yang lebih baik dari sebelumnya.

Kebijakan relokasi merupakan pendekatan rehabilitasi dan rekonstruksi dengan mempertimbangkan aspek-aspek berikut:

1. Masyarakat harus difasilitasi untuk berdialog dengan pemerintah sebagai regulator dan pengambil keputusan.

2. Kebijakan ganti rugi lahan harus ditetapkan sebelum berdialog dengan masyarakat.

3. Masyarakat, melalui pertimbangan yang seksama berdasarkan keselamatan, masih diperkenankan menggarap lahan miliknya pada KRB III.

4. Lokasi hunian tetap (pada daerah relokasi) masih diperkenankan pada KRB II dengan tetap memperhatikan daya dukung, daya tampung, dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam mitigasi bencana.

Page 59: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

RANGKUMAN: Indeks Pemulihan Bencana Kawasan Merapi | 31

5. Delineasi hunian tetap diperluas dengan memerhatikan daya dukung, daya tampung dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam mitigasi bencana.

6. Sumber pendanaan relokasi dan ganti rugi lahan diselenggarakan oleh pemerintah pusat.

7. Relokasi diselenggarakan dengan memerhatikan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.

Mengacu status hukum dari dokumen Rencana Aksi Rehabilitasi & Rekonstruksi Pasca Bencana Letusan Merapi adalah PERPRES yang proses penyusunannya berifat darurat --sehingga lebih didasarkan pada hasil kajian DaLA (Damage and Losses Assessment) dan HRNA (Human Recovery Need Assessment), bukan berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) melalui proses Musyawarah Perencanaan Pembangunan (MUSRENBANG) pada tingkat desa dan seterusnya ke atas-- telah membawa akibat timbulnya banyak kendala saat pelaksanaannya. Salah satu kendala yang sering ditemukan di lapangan selama ini adalah penolakan warga yang terpapar bencana atau para korban. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar relokasi warga justru merupakan prakarsa mandiri dan upaya swadaya mereka sendiri --secara berkelompok atau perseorangan-- baik pada lokasi-lokasi yang mereka pilih sendiri maupun pada lokasi-lokasi yang telah ditentukan oleh pemerintah setempat.

Faktor lain yang dipertimbangkan adalah rencana sasaran penataan ruang kawasan Gunung Merapi, sebagai berikut:

a. Terwujudnya fungsi ruang yang memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana Gunung Merapi.

b. Terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh dengan tetap menghargai budaya lokal

c. Terselenggaranya pengendalian pemanfaatan ruang yang memadukan penggunaan sumber daya alam, sumber daya buatan dan sumber daya manusia.

d. Terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan.

e. Peningkatan kualitas lingkungan hidup dan pengurangan risiko bencana.

Untuk mencapai sasaran penataan ruang tersebut, salah satu strategi yang ditetapkan dan diterapkan adalah penetapan area yang terdampak

Page 60: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

32 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

langsung (ATL) tidak untuk hunian. Dari segi ketahahan ekonomi warga yang terpapar (korban) bencana, kebijakan ini perlu ditinjau ulang secara kritis. Perlu ada kajian lebih menyeluruh, mengingat keterkaitan pekerjaan dan keterampilan warga terpapar bencana dengan lokasi tempat tinggal mereka yang ditetapkan bebas hunian --sekalipun tetap boleh melakukan pekerjaan di lokasi bebas hunian tersebut-- memiliki implikasi pada ketahanan ekonomi mereka. Kebijakan tersebut akan menimbulkan banyak kendala aksesibilitas dan juga pindah pekerjaan yang setup cost-nya mahal untuk memperoleh pendapatan seperti yang diperoleh dari pekerjaan semula. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa tingkat pulihnya ekonomi produktif di kawasan ATLL baru mencapai 57%, sementara di ATL baru pulih 47%, terhitung sejak sesaat setelah bencana sampai dengan saat survei logitudinal pertama dilaksanakan. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa ketahanan ekonomi warga masyarakat korban bencana Merapi 2010 masih rentan.

Arahan dari Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana Letusan Merapi --yang didasarkan pada hasil DaLA dan HRNA-- cenderung ke pemulihan kehidupan warga masyarakat korban, sementara realisasi pelaksanaannya menunjukkan lebih berorientasi pada pemulihan prasarana fisik (rincian realisasi Rencana Aksi tersebut dapat dilihat pada Lampiran-2 di halaman 210-215). Hal ini menunjukkan perbedaan orientasi antara kebijakan Rencana Aksi tersebut dengan kenyataan pelaksanaannya. Hal tersebut membuktikan bahwa:

(1) Pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana sering dianggap belum jelas; berimplikasi pada tidak jelasnya pemegang komando sekaligus penanggungjawab program pemulihan. Seperti telah diuraikan sebelumnya, hal ini disebabkan oleh karena penyusunan Rencana Aksi itu dipimpin oleh BAPPENAS yang berkoordinasi dengan kementerian atau lembaga terkait di tingkat pusat, sementara di tingkat pemerintahan daerah (provinsi dan kabupaten) --sebagaimana diatur dalam UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah-- belum mengatur secara jelas mandat pemerintah daerah dalam penanggulangan bencana. Dengan kata lain, belum ada dasar hukum bagi pemerintah daerah untuk mengurus masalah penanggulangan bencana sebagai salah satu tugas pokok mereka.

(2) Dalam hal kaitannya dengan keuangan negara, juga belum ada pemastian penggunaan uang negara untuk penanggulangan bencana seperti, misalnya, pada sektor pendidikan. Akibatnya, alokasi anggaran pelaksanaan Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana Letusan Merapi --yang tidak melalui mekanisme MUSRENBANG dari

Page 61: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

RANGKUMAN: Indeks Pemulihan Bencana Kawasan Merapi | 33

tingkat desa sampai nasional-- kurang mengakomodasi aspirasi warga korban bencana, benar-benar bersifat insidental atau darurat, kurang tanggap pada keadaan nyata di lapangan dalam kaitannya dengan siklus bencana Merapi yang diperkirakakan akan meletus setiap empat tahun sekali.

n Hasil AnalisisSebelum menguraikan hasil analisis DRI ini, akan diuraikan terlebih dahulu gambaran lokasi penelitian yang mencakup:

1. Desa dan kecamatan di setiap ATLL, ATL, dan ATLH maupun desa-desa pembanding (kontrol), sebagai berikut:

TABEL 10: Desa-desa Lokasi Survei per Kabupatenmenurut Wilayah Terdampak Bencana Merapi 2010

Kabupaten ATLL * (ATL1 & ATL2) ATL**

Sleman

Kecamatan Desa Kecamatan Desa

CangkringanKepuharjoUmbulharjo

Cangkringan ArgomulyoGlagaharjo

Ngemplak Wukirsari Sindumartani

Pakem Hargobinangun Purwobinangun

BoyolaliCepogoSelo

Wonodoyo, Suroteleng

Klaten Kemalang, BaleranteKemalang Panggang

Manisrenggo Ngemplak Seneng Tuayan

Magelang

DukunBanyubiruDukun Ngadipura

Mungkid Ngrajeg

NgluwarBligoPlosogede Sumokaton

Sawangan Krogowanan

Srumbung Nglumut

Page 62: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

34 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Kabupaten ATLH Kontrol

Kecamatan Desa Kecamatan Desa

Sleman - - - -

Boyolali Selo Klakah Kemusu Kedungrejo

Klaten - - Bayat Krikilan

Magelang

MungkidBojongPabelan

Bandongan Banyuwangi

Muntilan Gondosuli, Gunungpring - -

Ngluwar Blongkeng - -

Salam Salam - -

Sawangan Gondowangi - -

Sumber: Data Daftar Sampel Dusun Survei Longitudinal (2012)Keterangan: * dan ** mengacu pada tolok-ukur BPPTK Kementerian ESDM

Tabel di atas menunjukkan ATLL meliputi sebagian kecil dusun di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman (DIY) dan Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten (Jawa Tengah); sedangkan ATL merata di sebagian kecil dusun di Kecamatan Cangkringan, Ngemplak, dan Pakem di Kabupaten Sleman (DIY) dan sebagian kecil di Kecamatanan Cepogo, Selo, Kabupaten Boyolali; di Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten; serta di Kecamatan Dukun, Mungkid, Ngluwar, Sawangan, dan Srumbung, Kabupaten Magelang (Jawa Tengah). ATLH meliputi sebagian kecil dusun di Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali; serta di Kecamatan Mungkid, Muntilan, Ngluwar, Salam, dan Sawangan di Kabupaten Magelang (semuanya di Jawa Tengah).

2. Keadaan sosial ekonomi objek kajian atau karakteristik responden (rumah tangga korban bencana) di area terdampak yang diuraikan menurut: (a) status bangunan tempat tinggal; (b) sumber air utama untuk mandi dan cuci; (c) tempat pembuangan air limbah; (d) sumber penerangan utama; (e) frekuensi makan per hari; dan (f) bahan bakar utama untuk memasak.

Page 63: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Di tiga area terdampak, status bangunan tempat tinggal sebagian besar milik sendiri dan hanya mengalami penurunan setelah bencana. Sebagian kecil sisanya yang menempati bangunan bukan milik sendiri, jumlahnya meningkat di ATLL, namun sudah tidak ada lagi yang tinggal di pengungsian. Di ATL, jumlah yang menyewa meningkat sedikit dan masih ada --meskipun jumlahnya kecil-- yang tinggal di barak pengungsian. Di ATLH, jumlah yang menempati bangunan bukan milik sendiri menurun sedikit, meskipun jumlahnya masih cukup banyak, 17.33%. Semua data ini mengindikasikan bahwa sebagian besar korban letusan atau lahar hujan Gunung Merapi sudah menempati bangunan rumah milik sendiri.

RANGKUMAN: Indeks Pemulihan Bencana Kawasan Merapi | 35

(a) Status bangunan tempat tinggal:

TABEL 11: Status Penguasaan Bangunan Tempat Tinggal per Wilayah Terdampak Bencana Merapi 2010

% Rumah TanggaATLL ATL ATLH KONTROL

MILIK SENDIRI

Sebelum Bencana 92,78 83,33 80,33 83,33

Sekarang (Saat Survei) 80,56 79,58 81,00 82,22

MENEMPATI

Sebelum Bencana 7,22 15,00 18,00 16,67

Sekarang (Saat Survei) 19,44 14,58 17,33 17,78

MENYEWA/KONTRAK

Sebelum Bencana 0,00 1,67 1,67 0,00

Sekarang (Saat Survei) 0,00 2,64 1,67 0,00

BARAK/PENGUNGSIAN

Sebelum Bencana 0,00 0,00 0,00 0,00

Sekarang (Saat Survei) 0,00 2,92 0,00 0,00

LAINNYA

Sebelum Bencana 0,00 0,00 0,00 0,00

Sekarang (Saat Survei) 0,00 0,28 0,00 0,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Page 64: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

(b) Sumber air utama untuk mandi dan cuci:

TABEL 12: Sumber Air Utama untuk Mandi & Cuciper Wilayah Terdampak Bencana Merapi 2010

% Rumah Tangga ATLL ATL ATLH Kontrol

Sebelum Bencana (n=0) (n=103) (n=86) (n=25)

Tangki keliling 0,00 3,88 0,00 0,00

Ledeng 0,00 0,97 1,16 0,00

Pompa 0,00 1,94 0,00 12,00

Sumur terlindung 0,00 4,85 11,63 20,00

Sumur tak terlindung 0,00 2,91 3,49 0,00

Mata air terlindung 0,00 17,48 9,30 0,00

Mata air tak terlindung 0,00 11,65 2,33 0,00

Air sungai 0,00 49,51 43,02 32,00

Lainnya 0,00 5,83 29,07 36,00

Sekarang (Saat Survei) (n=3} (n=109) (n=84) (n=21)

Tangki keliling 0,00 0,00 0,00 0,00

Ledeng 0,00 1,83 1,19 0,00

Pompa 0,00 4,59 0,00 14,29

Sumur terlindung 33,33 10,09 14,29 28,57

Sumur tak terlindung 0,00 3,67 3,57 0,00

Mata air terlindung 66,67 18,35 10,71 4,76

Mata air tak terlindung 0,00 11,93 1,19 0,00

Air sungai 0,00 44,04 39,29 23,81

Lainnya 0,00 5,50 29,76 28,57

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Sebagian besar atau hampir separuh rumah tangga korban bencana Merapi 2010 di ATL dan ATLH mendapatkan air untuk keperluan MCK mereka adalah dari air sungai, baik sebelum maupun sesudah bencana sampai sekarang. Hanya sebagian kecil yang menggunakan mata air terlindung, sehingga dampak lahar hujan yang mengalir melalui sungai akan sangat mengganggu kegiatan mereka mandi dan mencuci.

36 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 65: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

(c) Tempat buang air dan limbah:

TABEL 13: Proporsi Tempat Buang Air & Limbah Rumah Tanggaper Wilayah Terdampak Bencana Merapi 2010

% Rumah Tangga ATLL ATL ATLH Kontrol

Sebelum Bencana (n=205) (n=777) (n=325) (n=102)

Selokan 11,22 20,08 31,38 18,63Sungai 2,93 16,99 29,23 8,82Lubang tanah 29,27 17,50 6,15 11,76Tangki septik 26,34 20,72 18,77 17,65

Lainnya 30,24 24,71 14,46 43,14

Sekarang (Saat Survei) (n=203) (n=775) (n=326) (n=103)

Selokan 10,84 20,90 31,60 19,42Sungai 0,99 16,26 27,91 8,74Lubang tanah 27,59 16,90 6,75 11,65Tangki septik 36,95 22,97 20,25 18,45Lainnya 23,65 22,97 13,50 41,75

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Di ATLL dan ATLH, tempat pembuangan air limbah utama sebagian besar rumah tangga adalah tangki septik (septic tank) dan lainnya; sedangkan di ATL menurun dari lainnya ke tangki septik, kemudian lubang tanah (terutama di ATLL) dan selokan (di ATL & ATLH). Dengan kata lain, sebagian besar sanitasi limbah rumah tangga di kawasan bencana Merapi adalah tangki septik di ATLL dan ATL serta selokan di ATLH.

(d) Sumber penerangan utama:

TABEL 14: Sumber Penerangan Utama Rumah Tangga Wargaper Wilayah Terdampak Bencana Merapi 2010

% Rumah Tangga ATLL ATL ATLH Kontrol

Sebelum Bencana (n=180) (n=720) (n=300) (n=90)

Bukan listrik 0,00 0,14 1,00 1,11Listrik PLN tanpa meteran 17,22 18,61 23,67 16,67

Listrik PLN dengan meteran 82,22 80,83 74,67 82,22

Listrik bukan PLN tanpa meteran 0,56 0,42 0,33 0,00

Listrik bukan PLN dengan meteran 0,00 0,00 1,00 0,00

RANGKUMAN: Indeks Pemulihan Bencana Kawasan Merapi | 37

Page 66: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Sebelum dan sesudah bencana, sumber penerangan utama sebagian besar rumah tangga korban bencana Merapi 2010 adalah listrik PLN, baik dengan meteran maupun tanpa meteran, walaupun memang terjadi sedikit penurunan pada semua area terdampak.

(e) Frekuensi makan per hari:

38 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Sekarang (Saat Survei) (n=180) (n=720) (n=300) (n=90)

Bukan listrik 0,56 0,00 0,67 1,11

Listrik PLN tanpa meteran 14,44 17,64 21,00 12,22

Listrik PLN dengan meteran 83,89 81,67 78,00 86,67

Listrik bukan PLN tanpa meteran 1,11 0,56 0,33 0,00

Listrik bukan PLN dengan meteran 0,00 0,14 0,00 0,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

TABEL 15: Frekuensi Makan Warga per Hariper Wilayah Terdampak Bencana Merapi 2010

% Rumah Tangga ATLL ATL ATLH Kontrol

Sebelum Bencana (n=180) (n=720) (n=300) (n=90)

Satu kali 0,00 0,56 0,00 0,00

Dua kali 11,11 21,39 23,33 11,11

Tiga kali atau lebih 88,89 78,06 76,67 88,89

Sekarang (Saat Survei) (n=180) (n=720) (n=300) (n=90)

Satu kali 0,00 0,14 0,33 0,00

Dua kali 12,22 23,19 24,33 10,00

Tiga kali atau lebih 87,78 76,67 75,33 90,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Frekuensi makan per hari sebagian besar rumah tangga korban bencana Merapi 2010 juga tidak banyak mengalami perubahan. Sebagian besar mereka tetap makan tiga kali atau lebih dalam sehari pada semua area terdampak, baik sebelum dan sesudah bencana. Meskipun perubahannya sangat kecil, memang terjadi penurunan dari makan tiga kali sehari, sementara terjadi penambahan pada yang makan dua kali sehari. Dengan kata lain, secara keseluruhan tidak terjadi gangguan yang berarti pada frekuensi makan warga di semua area terdampak.

Page 67: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

RANGKUMAN: Indeks Pemulihan Bencana Kawasan Merapi | 39

(f) Bahan bakar utama untuk memasak:

TABEL 16: Proporsi Bahan Bakar Utama Rumah Tangga untuk Memasakper Wilayah Terdampak Bencana Merapi 2010

% Rumah Tangga ATLL ATL ATLH Kontrol

Sebelum Bencana (n=180) (n=720) (n=300) (n=90)

Kayu 85,60 64,86 54,00 71,11

Arang 0,00 0,28 0,00 0,00

Gas LPG 11,67 33,75 43,33 25,56

Listrik 0,00 0,00 0,67 0,00

Minyak tanah 0,00 0,83 2,00 3,33

Lainnya 2,78 0,14 0,00 0,00

Sekarang (Saat Survei) (n=180) (n=720) (n=300) (n=90)

Kayu 55,56 56,67 47,33 63,33

Arang 0,00 0,14 0,00 1,11

Gas LPG 44,44 42,50 52,0 35,56

Listrik 0,00 0,00 0,33 0,00

Minyak tanah 0,00 0,28 0,33 0,00

Lainnya 0,00 0,28 0,00 0,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Bahan bakar utama untuk memasak pada sebagian besar rumah tangga korban bencana Merapi 2010 adalah kayu bakar pada semua area terdampak, meskipun terjadi penurunan terjadi setelah bencana yang cenderung beralih ke gas LPG (liquified petroleum gas). Perubahan yang cukup besar (signifikan) terutama terjadi pada ATLL. Hal ini mengindikasikan adanya pergeseran penggunaan bahan bakar memasak karena relokasi yang menjauhkan mereka dari sumber kayu bakar.

Secara keseluruhan, hasil analisis DRI menunjukkan kemajuan pulihnya kehidupan pasca bencana pada warga korban bencana Merapi 2010 pada semua area terdampak. Rinciannya per kabupaten adalah sebagai berikut:

Page 68: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

40 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Grafik di atas menunjukkan bahwa tingkat pemulihan kehidupan pasca bencana saat survei dilaksanakan sudah membaik jika dibandingkan sesaat setelah bencana untuk semua sektor di ATLL (66,05), ATL (76,09) maupun ATLH (74,53), namun belum pulih seperti sediakala (sebelum bencana). Pemulihan kehidupan di ATLL belum membaik dibanding keadaan sebelum bencana karena bencana letusan Merapi memang paling parah terjadi di wilayah ini (33.09) dibanding di ATL (67,00) dan ATLH (70,89).

Implikasinya adalah bahwa prioritas program RENAKSI Rehabilitasi dan Rekonstruksi 2013 lebih diarahkan ke wilayah ATLL dibanding wilayah ATL dan ATLH.

100 --

90 --

80 --

70 --

60 --

50 --

40 --

30 --

20 --

10 --

0 - | | |Sebelum Sesaat Sekarang Bencana Setelah (Saat Survei)

85,30

33,09

66,05

85,50

67,00

76,0983,95

70,8974,5376,24 74,9373,28

ATLL ATL ATLH KONTROL

GRAFIK 1: DRI Keseluruhan Sektor Sebelum, Sesaat Setelah Bencana & Saat Ini (Saat Survei)

menurut Wilayah Terdampak Bencana Merapi 2010

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Page 69: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

RANGKUMAN: Indeks Pemulihan Bencana Kawasan Merapi | 41

Grafik di atas menunjukkan bahwa pulihnya kehidupan pasca bencana menurut wilayah kabupaten menunjukkan tingkat yang sudah membaik saat ini (saat survei) dibandingkan sesaat setelah bencana untuk semua sektor di Kabupaten Boyolali (68,68), Kabupaten Klaten (75,57) maupun di Kabupaten Magelang (75,68) dan Kabupaten Sleman (70,37); namun belum sepenuhnya membaik seperti keadaan sebelum bencana. Pemulihan kehidupan di Kabupaten Boyolali paling rendah (68,68) dibanding keadaan sebelum bencana di tiga kabupaten lainnya, sekalipun akibat bencana letusan Merapi paling parah (52,15) terjadi di Kabupaten Sleman.

Implikasinya adalah bahwa prioritas program RENAKSI Pasca Letusan Merapi 2013 diprioritaskan ke Kabupaten Boyolali dibanding Kabupaten Klaten, Kabupaten Magelang, dan Kabupaten Sleman.

68,68

75,6875,5773,2870,37

KONTROL

100 --

90 --

80 --

70 --

60 --

50 --

40 --

30 --

20 --

10 --

0 - | | |Sebelum Sesaat Sekarang Bencana Setelah (Saat Survei)

81,12

52,15

89,13

70,20

83,44

57,64

75,90 74,93

Sleman Klaten Magelang

GRAFIK 2: DRI Keseluruhan Sektor Sebelum, Sesaat Setelah Bencana & Saat Ini (Saat Survei)

menurut Kabupaten Terdampak Bencana Merapi 2010

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

81,76

64,22

Boyolali

Page 70: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Selanjutnya, perbandingan DRI per sektor menurut kategori waktu ditunjukkan pada tabel berikut:

Tabel di atas menunjukkan bahwa pada saat sebelum bencana, nilai tertinggi DRI di tiap area terdampak dan kontrol tampak sangat beragam. Di ATLL adalah sektor ekonomi produktif, di ATL dan ATLH adalah sektor prasarana, dan di wilayah kontrol adalah sektor sosial. Adapun nilai terendah di ATLL adalah sektor prasarana, di ATL dan ATLH adalah lintas sektor, dan di wilayah kontrol adalah sektor perumahan.

42 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

TABEL 17: DRI Sektor dan Keseluruhan Sektor antara Sebelum, Sesaat Setelah, dan Saat Survei per Wilayah Terdampak Bencana Merapi 2010

Sektor ATLL ATL ATLH KONTROL

SEBELUM BENCANA

Perumahan 89,54 84,83 79,55 63,96

Prasarana 66,33 93,10 95,63 77,33

Ekonomi Produktif 92,30 88,85 82,59 85,45Sosial 88,62 88,09 88,59 88,65Lintas Sektor 85,67 67,88 74,19 66,56

DRI Keseluruhan 85,30 85,50 83,95 76,24

SESAAT SETELAH BENCANA

Perumahan 20,53 78,57 81,18 67,66Prasarana 28,00 80,34 75,88 77,33

Ekonomi Produktif 21,12 55,78 73,23 81,24Sosial 57,26 59,49 68,24 82,75Lintas Sektor 57,39 57,48 44,38 64,83

DRI Keseluruhan 33,09 67,00 70,89 74,93

SEKARANG (SAAT SURVEI)

Perumahan 85,97 85,72 81,18 67,66

Prasarana 45,33 68,33 75,88 77,33

Ekonomi Produktif 63,87 73,67 76,41 71,96

Sosial 62,61 78,91 79,90 73,31

Lintas Sektor 64,33 69,81 51,25 80,67

DRI Keseluruhan 66,05 76,09 74,53 73,28

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Page 71: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

RANGKUMAN: Indeks Pemulihan Bencana Kawasan Merapi | 43

Sesaat setelah bencana, nilai terparah di ATLL adalah sektor perumahan, di ATL adalah sektor ekonomi produktif, di ATLH dan daerah kontrol adalah lintas sektor. Hal ini mengindikasikan bahwa segera setelah bencana, sektor perumahan, ekonomi produktif, dan prasarana di ATLL adalah yang paling parah menderita kerusakan atau paling rawan bencana, sementara sektor sosial dan lintas sosial tidak terlalu terpengaruh. Di ATL, sektor ekonomi produktif yang paling terpengaruh, sementara di ATLH dan wilayah kontrol adalah lintas sektor.

Sekarang (saat survei), nilai tertinggi (sektor yang paling cepat pulih) pada tiga area terdampak (ATLH, ATL, ATLH) adalah sama, yaitu sektor perumahan, sementara di wilayah kontrol adalah lintas sektor. Nilai terendah (sektor yang paling lambat pulih) di ATLL dan ATL adalah sektor prasarana, di ATLH adalah lintas sektor, sementara di wilayah kontrol adalah sektor perumahan.

Data pada tabel tersebut juga memperlihatkan tingkat kerusakan dan tingkat kepulihan yang sangat beragam pada setiap wilayah terdampak. Meskipun, ada satu kecenderungan yang sama, yakni tingkat kepulihan tertinggi adalah pada sektor perumahan pada semua wilayah terdampak (di atas 80). Hal ini mengindikasikan bahwa upaya pemulihan selama ini memang lebih banyak tertuju pada pemulihan sektor perumahan di semua wilayah terdampak, sehingga implikasinya pada upaya pemulihan pada masa berikutnya adalah prioritas pada sektor yang nisbi masih sangat rendah atau lamban tingkat kepulihannya, yakni sektor prasarana di ATLL (45,33) dan ATL (68,33) serta lintas sektor (51,25) di ATLH.

Secara keseluruhan tampak bahwa sebelum bencana terjadi, ATLL (nilai keseluruhan 85,30) dan ATL (nilai keseluruhan 85,50) adalah daerah yang keadaannya nisbi lebih baik dibanding ATLH (83,95) dan wilayah kontrol (76,24). Namun, sesaat setelah bencana, ATLL adalah daerah yang paling terpuruk (nilai keseluruhan 33,09) dibanding tiga daerah lainnya, sehingga juga merupakan daerah yang tingkat kepulihannya saat ini (saat survei) adalah paling rendah (66,05). Dengan kata lain, ATLL masih merupakan wilayah terdampak yang perlu mendapat prioritas pada upaya pemulihan, menyusul ATLH (74,53), kemudian ATL (76,09).

Selanjutnya, berdasarkan nilai keseluruhan DRI pada setiap wilayah terdampak pada setiap priode waktu (sebelum, sesaat setelah bencana, dan saat ini), maka perubahan keadaan keseluruhan sektor antara sesaat setelah bencana dengan saat survei ini dilaksanakan menurut area terdampak serta tingkat pemulihan masing-masing area adalah sebagai berikut:

Page 72: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

44 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

TABEL 19: DRI per Sektor antara Sebelum, Sesaat Setelah Bencana,dan Saat Survei menurut Wilayah Terdampak Bencana Merapi 2010

Sektor ATLL ATL ATLH KONTROL

PERUMAHAN

Sebelum Bencana 89,54 84,83 79,55 63,96

Sesaat Setelah Bencana 20,53 78,57 81,18 67,66

Sekarang (Saat survei) 85,97 85,72 81,18 67,66

Tingkat Kepulihan 94,83 114,32 0,00 0,00

PRASARANA

Sebelum Bencana 66,33 93,10 95,63 77,33

Sesaat Setelah Bencana 28,00 80,34 75,88 77,33Sekarang (Saat survei) 45,33 68,33 75,88 77,33Tingkat Kepulihan 45,22 -94,06 0,00 n.a

Tabel di atas menunjukkan sudah terjadi pemulihan sebesar 62,85% dari penurunan sesaat setelah bencana sampai saat survei dilaksanakan di ATLL, sementara di ATL sebesar 48,68% dan lebih rendah lagi di ATLH sebesar 27,57%. Implikasinya secara umum untuk semua sektor masih perlu program pemulihan di tiga area terdampak, karena tingkat pemulihan kehidupan semua sektor di semua area tersebut belum mencapai 100%.

Berikut adalah uraian tingkat pemulihan tiap sektor yang dirinci antara sebelum, sesaat setelah, dan saat survei dilaksanakan:

TABEL 18: Perubahan Nilai DRI & Tingkat Kepulihan Keseluruhan Sektormenurut Wilayah Terdampak Bencana Merapi 2010

Seluruh Sektor ATLL ATL ATLH KONTROL

DRI Sebelum Bencana 85,30 85,50 83,95 76,24

DRI Sesaat Setelah Bencana 33,09 67,00 70,89 74,93

DRI Saat ini (saat survei) 66,05 76,09 74,53 73,28

Tingkat Kepulihan dari Bencana 62,85 48,68 27,57 113,07

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)n.a = not available

Page 73: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Tabel di atas menunjukkan hasi upaya pemulihan tiap sektor pada masing-masing area terdampak, sebagai berikut:

RANGKUMAN: Indeks Pemulihan Bencana Kawasan Merapi | 45

1. SEKTOR PERUMAHAN

1.1. ATLL

Hasil upaya pemulihan sektor perumahan --yakni perbaikan dinding dan lantai rumah, sanitasi, dan sarana air bersih-- sudah mencapai 94,83% dari sesaat setelah bencana (terhadap penurunan 69,01% sebelum bencana) menunjukkan upaya pemulihan rumah korban bencana selama dua tahun setelah bencana sudah fokus ke kebutuhan pemulihan rumah-rumah rusak parah sehingga hampir pulih seperti sediakala. Artinya upaya berbagai pihak dan realisasi RENAKSI RR Pasca Letusan Merapi di ATLL sudah mencapai keadaan di mana warga telah menempati kembali rumah-rumah mereka seperti sebelum bencana.

1.2. ATL

Hasil upaya pemulihan perumahan --yakni perbaikan dinding dan lantai rumah, sanitasi, dan sarana air bersih-- sudah mencapai 114,31% dari sesaat setelah bencana (terhadap penurunan sebesar 6,26% dari

EKONOMI PRODUKTIF

Sebelum Bencana 92,30 88,85 82,59 98.89Sesaat Setelah Bencana 21,12 55,78 73,23 93.74Sekarang (Saat survei) 68,87 73,67 76,41 83,05Tingkat Kepulihan 60,05 54,08 33,96 n.a

SOSIAL

Sebelum Bencana 88,62 88,09 88,59 88,65Sesaat Setelah Bencana 57,26 59,49 68,24 82,75Sekarang (Saat survei) 62,61 78,91 79,90 73,31Tingkat Kepulihan 17,07 67,91 57,31 n.a

LINTAS SEKTOR

Sebelum Bencana 85,67 67,88 74,19 66,56Sesaat Setelah Bencana 57,39 57,48 44,38 64,83Sekarang (Saat survei) 64,33 69,81 51,25 80,67Tingkat Kepulihan 24,56 118,53 23,06 n.a

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)n.a = not available

Page 74: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

sebelum bencana) menunjukkan bahwa tanpa memerlukan upaya tambahan (ekstra) selama dua tahun setelah bencana, warga sudah bisa menempati rumah mereka kembali setelah dibersihkan dari abu vulkanik, karena rumah-rumah terdampak di ATL ini memang tidak mengalami kerusakan berarti dan sudah pulih seperti sediakala, bahkan lebih baik. Artinya, tidak memerlukan program pemulihan perumahan lagi.

1.3. ATLH

Tidak ada hasil upaya pemulihan dilaksanakan karena tidak terjadi dampak kerusakan rumah, sehingga tidak memerlukan upaya pemulihan rumah korban bencana.

2. SEKTOR PRASARANA

2.1. ATLL

Hasil upaya pemulihan prasarana --jalan, jembatan, akses ke transportasi umum, akses ke sarana telekomunikasi, dan akses ke pasar terdekat-- baru membaik 45,22% dari sesaat setelah bencana sampai saat survei (terhadap penurunan 38,33% dari sebelum bencana di mana keadaan prasarana memang sudah tidak baik) menunjukkan belum ada upaya yang fokus pada pemulihan prasarana dasar tersebut selama dua tahun setelah bencana. Artinya, realisasi pemulihan prasarana dari RENAKSI RR Pasca Letusan Merapi perlu lebih difokuskan ke pemulihan prasarana dasar tersebut dan akses warga terhadapnya.

2.2. ATL

Hasil upaya pemulihan prasarana --jalan, jembatan, akses ke transportasi umum, akses ke sarana telekomunikasi, dan akses ke pasar terdekat-- mengalami penurunan 94,12% dari sesaat setelah bencana sampai saat survei (terhadap penurunan 12,76% dari sebelum bencana di mana keadaan prasarana justru sangat baik) menunjukkan tidak ada upaya yang fokus pada pemulihan prasarana tersebut setelah bencana, sehingga justru terjadi tingkat kerusakan prasarana yang lebih parah dibanding sesaat setelah bencana. Artinya, realisasi pemulihan prasarana dari RENAKSI RR Pasca Letusan Merapi perlu lebih difokuskan ke pemulihan prasarana dasar tersebut dan akses warga terhadapnya.

2.3. ATLH

Tidak terjadi pemulihan prasarana (0%) dari sesaat setelah bencana sampai saat survei (terhadap penurunan 19,75% dari sebelum bencana),

46 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 75: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

RANGKUMAN: Indeks Pemulihan Bencana Kawasan Merapi | 47

karena tidak terjadi tingkat kerusakan prasarana yang berarti akibat letusan Merapi, sehingga tidak memerlukan program pemulihan.

3. SEKTOR EKONOMI PRODUKTIF

3.1. ATLL

Hasil upaya pemulihan sektor ekonomi produktif --lapangan pekerjaan dan pendapatan rumah tangga-- baru mencapai 60,05% dari sesaat setelah bencana (terhadap penurunan sebesar 71,18% dari sebelum bencana) menunjukkan selama dua tahun setelah bencana, belum ada upaya serius pemulihan atas hilangnya pendapatan dan pekerjaan yang sangat berat. Artinya, upaya berbagai pihak dan realisasi RENAKSI RR Pasca Letusan Merapi di ATLL ini perlu lebih disesuaikan dengan kebutuhan pemulihan pendapatan dan pekerjaan korban bencana.

3.2. ATL

Hasil upaya pemulihan sektor ekonomi produktif --lapangan pekerjaan dan pendapatan rumah tangga-- sudah mencapai 54,08% dari sesaat setelah bencana (terhadap penurunan 33,07% dari sebelum bencana) menunjukkan selama dua tahun setelah bencana, belum ada upaya serius pemulihan atas hilangnya pendapatan dan pekerjaan yang agak parah. Artinya, upaya berbagai pihak dan realisasi Renaksi RR Pasca Erupsi Merapi di wilayah ATL perlu lebih diarahkan ke kebutuhan pemulihan pendapatan dan pekerjaan korban bencana.

3.3. ATLH

Hasil upaya pemulihan sektor ekonomi produktif --lapangan pekerjaan dan pendapatan rumah tangga-- sudah mencapai 33,96% dari sesaat setelah bencana (terhadap penurunan 9,36% dari sebelum bencana) menunjukkan selama dua tahun setelah bencana, upaya belum fokus pada pemulihan hilangnya pendapatan dan pekerjaan warga, sekalipun tidak separah di ATLL. Artinya, upaya berbagai pihak dan realisasi RENAKSI RR Pasca Letusan Merapi di ATLH perlu lebih difokuskan ke kebutuhan pemulihan pendapatan dan pekerjaan korban bencana.

4. SEKTOR SOSIAL

4.1. ATLL

Hasil upaya pemulihan sektor sosial --akses korban bencana pada

Page 76: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

sarana pelayanan kesehatan dan pendidikan, perbaikan kesehatan fisik dan kesehatan mental, serta status bersekolah atau tingkat partisipasi anak-anak usia sekolah-- baru membaik 17,07% dari sesaat setelah bencana sampai saat survei (terhadap penurunan 31,36% dari sebelum bencana) menunjukkan setelah dua tahun belum banyak perhatian ditujukan ke akses korban bencana pada sarana pelayanan kesehatan dan pendidikan, pemulihan kesehatan fisik dan kesehatan mental, dan status bersekolah anak-anak usia sekolah. Artinya, sampai tahun 2012, upaya berbagai pihak dan realisasi anggaran pemulihan dari RENAKSI RR Pasca Letusan Merapi ke sektor sosial ini belum menjadi program prioritas, sekalipun tingkat keparahan sektor ini akibat bencana nisbi tidak terlalu tinggi.

4.2. ATL

Hasil upaya pemulihan sektor sosial --akses korban bencana pada sarana pelayanan kesehatan dan pendidikan, perbaikan kesehatan fisik dan kesehatan mental, serta status bersekolah atau tingkat partisipasi anak-anak usia sekolah-- baru membaik 67,91% dari sesaat setelah bencana sampai saat survei (terhadap penurunan 28,60% dari sebelum bencana) menunjukkan belum adanya upaya serius mengatasi gangguan akses korban bencana ke sarana pelayanan sosial dasar ini, sehingga perlu prioritas program aksi ke sektor ini.

4.3. ATLH

Hasil upaya pemulihan sektor sosial --akses korban bencana pada sarana pelayanan kesehatan dan pendidikan, perbaikan kesehatan fisik dan kesehatan mental, serta status bersekolah atau tingkat partisipasi anak-anak usia sekolah-- baru membaik 57,31% dari sesaat setelah bencana sampai saat survei (terhadap penurunan 20,35% dari sebelum bencana) menunjukkan belum adanya upaya serius mengatasi gangguan akses korban bencana ke sarana pelayanan sosial dasar ini, sehingga perlu prioritas program aksi ke sektor ini.

5. LINTAS SEKTOR

5.1. ATLL

Hasil upaya pemulihan lintas sektor --pelatihan kebencanaan, pemulihan luas lahan pertanian desa, pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan, akses ke kantor pos atau pengiriman barang, dan akses ke lembaga keuangan-- baru membaik 24,54% dari sesaat setelah bencana (terhadap penurunan 28,28% dari sebelum bencana) menunjukkan

48 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 77: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

bahwa selama dua tahun setelah letusan, pemulihan lintas sektor ini baru mencapai sedikit kemajuan saja. Artinya, upaya berbagai pihak dan realisasi Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Letusan Merapi masih belum sepenuhnya menjawab kebutuhan warga untuk menerima berbagai pelatihan menghadapi bencana, pemulihan luas lahan pertanian desa, pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan, akses ke kantor pos, dan akses ke bank atau lembaga keuangan.

5.2. ATL

Hasil upaya pemulihan lintas sektor --pelatihan kebencanaan, pemulihan luas lahan pertanian desa, pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan, akses ke kantor pos atau pengiriman barang, dan akses ke lembaga keuangan-- sudah membaik 118,56% dari sesaat setelah bencana (terhadap penurunan 10,4% dari sebelum bencana) menunjukkan bahwa selama dua tahun setelah letusan, pemulihan lintas sektor ini sudah berangsur pulih. Artinya, upaya berbagai pihak dan realisasi Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Letusan Merapi sudah memadai, karena memang tidak terjadi gangguan yang serius pada akses warga pada berbagai pelatihan menghadapi bencana, pemulihan luas lahan pertanian desa, pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan, akses ke kantor pos, dan akses ke bank atau lembaga keuangan.

5.3. ATLH

Hasil upaya pemulihan lintas sektor --pelatihan kebencanaan, pemulihan luas lahan pertanian desa, pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan, akses ke kantor pos atau pengiriman barang, dan akses ke lembaga keuangan-- sudah pulih 23,05% dari sesaat setelah bencana (terhadap penurunan 29,81% dari sebelum bencana) menunjukkan bahwa selama dua tahun setelah letusan, pemulihan lintas sektor ini belum juga pulih. Artinya, upaya berbagai pihak dan realisasi Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Letusan Merapi masih belum serius untuk mengatasi gangguan akses warga pada berbagai pelatihan menghadapi bencana, pemulihan luas lahan pertanian desa, pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan, akses ke kantor pos, dan akses ke bank atau lembaga keuangan.

Adapun perkembangan DRI per sektor dan keseluruhan sektor antara sebelum, sesaat setelah, dan saat survei menurut kabupaten, adalah

RANGKUMAN: Indeks Pemulihan Bencana Kawasan Merapi | 49

Page 78: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

TABEL 20: DRI Sektor dan Keseluruhan Sektor antara Sebelum, Sesaat Setelah dan Saat Survei per Kabupaten Terdampak Bencana Merapi 2010

Sektor BOYOLALI KLATEN MAGELANG SLEMAN KONTROL

SEBELUM BENCANA

Perumahan 75,69 82,05 77,50 93,69 64,06

Prasarana 83,67 94,75 79,50 82,17 77,33

Ekonomi Produktif 97,22 85,13 89,82 89,09 85,45

Sosial 78,82 88,30 91,57 89,03 88,65

Lintas Sektor 77,33 50,99 62,25 90,00 64,00

DRI Keseluruhan 83,44 81,76 81,12 89,13 75,90

SESAAT SETELAH BENCANA

Perumahan 76,04 82,27 68,23 47,60 67,66

Prasarana 53,33 85,44 73,50 61,89 77,33

Ekonomi Produktif 67,87 66,65 31,44 40,08 81,24

Sosial 61,16 60,92 67,39 58,79 82,75

Lintas Sektor 53,56 45,36 54,67 62,40 64,83

DRI Keseluruhan 64,22 70,20 57,64 52,15 74,93

SEKARANG (SAAT SURVEI)

Perumahan 76,04 84,22 80,15 89,78 67,66

Prasarana 45,33 75,69 79,50 57,00 77,33

Ekonomi Produktif 83,43 74,20 76,38 65,74 71,96

Sosial 81,13 80,94 77,72 70,47 73,31

Lintas Sektor 44,67 56,94 58,25 60,61 80,67

DRI Keseluruhan 68,68 75,68 75,57 70,37 73,28

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

sebagai berikut:

Tabel di atas menunjukkan bahwa sektor ekonomi produktif adalah sektor dengan nilai DRI tertinggi (97,22) di Kabupaten Boyolali, disusul oleh sektor prasarana (94,75) di Kabupaten Klaten, sektor perumahan ((93,69) di Kabupaten Sleman, sektor sosial (91,57) di Kabupaten Magelang, dan lintas

50 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 79: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

sektor (90,00) di Kabupaten Sleman. Nilai tertinggi peringkat kedua dan ketiga mulai bervariasi pada setiap kabupaten, sementara nilai terendah adalah lintas sektor di Kabupaten Magelang (50,99) dan Kabupaten Klaten (62,25), lalu sektor perumahan (77,33) di Kabupaten Boyolali. Hal ini mengindikasikan --menurut persepsi warga masyarakat setempat-- bahwa dalam keadaan tidak ada bencana, sektor ekonomi produktif merupakan sektor yang umumnya dianggap baik keadaannya, kemudian sektor prasarana, perumahan, dan sosial.

Sesaat setelah bencana, nilai DRI hampir semua sektor di semua kabupaten mengalami penurunan. Penurunan paling tajam --yang paling terpengaruh oleh bencana letusan Merapi 2010-- adalah sektor ekonomi produktif di Kabupaten Magelang (menurun sampai 31,44%) dan Kabupaten Sleman (menurun sampai 40,08%), lintas sektor di Kabupaten Klaten (menurun sampai 45,36%), dan sektor perumahan di Kabupaten Sleman (menurun sampai 47,60%). Hal ini mengindikasikan dampak bencana letusan dan lahar hujan Merapi 2010 tidak merata di tiap kabupaten, cenderung lebih bersifat fisik (dan non-fisik) di Kabupaten Klaten dan Magelang serta bersifat fisik di Kabupaten Boyolali dan Sleman.

Saat survei ini dilaksanakan, nilai rata–rata DRI semua sektor pada semua kabupaten sudah mulai membaik, tetapi belum pulih seperti keadaan sediakala. Keadaan sektor perumahan di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Klaten adalah yang paling tinggi (masing-masing 89,78 dan 84,22%), disusul oleh sektor ekonomi produktif (83,43%) di Kabupaten Boyolali. Yang paling rendah --dan menarik karena justru menjadi lebih rendah lagi dibanding sesaat setelah bencana-- adalah sektor prasarana (45,33%, lebih rendah dibanding sesaat setelah bencana yang masih mencatat nilai 53,33%) dan lintas sektor (44,67%, juga lebih rendah dibanding sesaat setelah bencana yang masih 53,56%) di Kabupaten Boyolali. Lintas sektor di semua kabupaten adalah yang terendah dibanding sektor-sektor lainnya di setiap kabupaten yang bersangkutan.

Walhasil, secara umum, keadaaan perkembangan atau pergerakan nilai DRI setiap kabupaten dari sebelum, sesaat setelah bencana, dan saat ini (saat survei) menunjukkan kecenderungan mulai membaik kembali setelah semuanya mengalami penurunan cukup tajam sesaat setelah bencana (lihat juga kembali Grafik-2, pada halaman 41). Seperti tampak pada Tabel 20 tadi dan Grafik-2, Kabupaten Boyolali adalah daerah terdampak yang paling rendah bilai DRI-nya saat ini (66,68%), sementara yang tertinggi adalah Kabupaten Klaten (75,68%) dan Kabupaten Magelang (75,57%). Secara keseluruhan, tingkat kepulihan setiap kabupaten adalah sebagai berikut:

RANGKUMAN: Indeks Pemulihan Bencana Kawasan Merapi | 51

Page 80: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

52 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

TABEL 22: DRI per Sektor Sebelum, Sesaat Setelah, dan Saat Survei per Kabupaten Terdampak Bencana Merapi 2010

Sektor BOYOLALI KLATEN MAGELANG SLEMAN KONTROL

PERUMAHAN

Sebelum Bencana 75,69 82,05 77,50 93,69 64,06

Sesaat Setelah Bencana 76,04 82,27 68,23 47,60 67,66

Sekarang (Saat Survei) 76,04 84,22 80,15 89,78 67,66Pulih dari bencana 0,00 89,86 128,66 91,51 n.a

PRASARANA

Sebelum Bencana 83,67 94,75 79,50 82,17 77,33

Sesaat Setelah Bencana 53,33 85,44 73,50 61,89 77,33

Sekarang (Saat Survei) 45,33 75,69 79,50 57,00 77,33

Pulih dari bencana -26,37 -104,73 100,00 -24,11 0,00

TABEL 21: Perubahan DRI Keseluruhan Sektor dan Tingkat Pemulihannyaper Kabupaten Terdampak Bencana Merapi 2010

Semua Sektor BOYOLALI KLATEN MAGELANG SLEMAN KONTROL

DRI Sebelum Bencana 83,44 81,76 81,12 89,13 75,90

DRI Sesaat Setelah Bencana 64,22 70,20 57,64 52,15 74,93

DRI Sekarang (Saat Survei) 68,68 75,68 75,57 70,37 73,28

Pulih dari bencana 23,18 47,40 76,58 49,27 n.a

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)n.a = not available

Tabel di atas menunjukkan sudah terjadi pemulihan dari penurunan sesaat setelah bencana sampai saat survei dilaksanakan pada semua kabupaten. Kabupaten Magelang mencapai tingkat pemulihan tertinggi sebesar 76,58%, menyusul Kabupaten Sleman sebesar 49,27%, Kabupaten Klaten sebesar 47,40%, dan Kabupaten Boyolali sebesar 23,18%. Implikasinya adalah bahwa semua sektor di semua kabupaten pada dasarnya masih perlu program pemulihan, karena tingkat kepulihan kehidupan keseluruhan sektor di empat kabupaten tersebut belum mencapai 100%.

Adapun perkembangan DRI per sektor antara sebelum, sesaat setelah, dan saat survei menurut kabupaten, adalah sebagai berikut:

Page 81: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

RANGKUMAN: Indeks Pemulihan Bencana Kawasan Merapi | 53

Tabel di atas menunjukan hasil upaya pemulihan tiap sektor di masing-masing kabupaten, sebagai berikut:

1. SEKTOR PERUMAHAN

1.1. Kabupaten Boyolali

Tidak ada hasil upaya pemulihan (0%) pada sektor perumahan --yakni perbaikan dinding dan lantai rumah, sanitasi, dan sarana air bersih-- dari sesaat setelah bencana sampai saat survei. Hal ini karena memang sektor perumahan di Kabupaten Boyolali tidak mengalami kerusakan berarti, bahkan terjadi kenaikan, meskipun sangat kecil (dari 75,69 menjadi 76,04%) segera setelah bencana sampai saat ini. Artinya tanpa ada program pemulihan khusus sektor perumahan, para warga korban bencana berprakarsa dan secara swadaya segera membersihkan rumah-rumah mereka dari debu vulkanik dan menempatinya kembali.

1.2. Kabupaten Klaten

Hasil upaya pemulihan sektor perumahan --perbaikan dinding dan lantai rumah, sanitasi, dan sarana air bersih-- sudah mencapai 89,86% dari sesaat setelah bencana sampai saat survei (terhadap peningkatan

EKONOMI PRODUKTIF

Sebelum Bencana 97,22 85,13 89,82 89,09 85,45

Sesaat Setelah Bencana 67,87 66,65 31,44 40,08 81,24

Sekarang (Saat Survei) 83,43 74,20 76,38 65,74 71,96

Pulih dari bencana 53,00 40,88 77,00 52,36 -2,20

SOSIAL

Sebelum Bencana 80,35 89,32 92,91 90,04 89,58

Sesaat Setelah Bencana 61,16 60,92 67,39 58,79 82,75

Sekarang (Saat Survei) 81,13 80,94 77,72 70,47 73,31Pulih dari bencana 113,08 73,06 42,73 38,62 n.a

LINTAS SEKTOR

Sebelum Bencana 77,33 50,99 62,25 90,00 64,00Sesaat Setelah Bencana 53,56 45,36 54,67 62,40 64,83

Sekarang (Saat Survei) 44,67 56,94 58,25 60,61 80,67Pulih dari bencana -37,40 205,68 47,23 -6,49 n.a

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)n.a = not available

Page 82: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

54 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

0,22% dari sebelum bencana) menunjukkan upaya pemulihan rumah korban bencana selama dua tahun setelah bencana sudah melampaui keadaan sebelum bencana, karena memang tidak terjadi kerusakan berarti. Sama halnya dengan di Kabupaten Boyolali, hanya dengan sedikit sentuhan program saja, para warga korban bencana segera membersihkan rumah-rumah mereka dari debu vulkanik dan menempatinya kembali.

1.3. Kabupaten Magelang

Hasil upaya pemulihan sektor perumahan --perbaikan dinding dan lantai rumah, sanitasi, dan sarana air bersih-- sudah mencapai 128,66% dari sesaat setelah bencana sampai saat survei (terhadap penurunan 9,27% dari sebelum bencana) menunjukkan upaya pemulihan rumah korban bencana selama dua tahun setelah bencana sudah melampaui keadaan sebelum bencana, karena memang tidak terjadi kerusakan berarti. Artinya, tanpa ada program khusus pemulihan sektor perumahan, para warga korban bencana sudah dapat menempati rumah mereka kembali.

1.4. Kabupaten Sleman

Hasil upaya pemulihan sektor perumahan --perbaikan dinding dan lantai rumah, sanitasi, dan sarana air bersih-- sudah mencapai 91,51% dari sesaat setelah bencana sampai saat survei (terhadap penurunan 46,09% dari sebelum bencana) menunjukkan upaya pemulihan rumah korban bencana selama dua tahun setelah bencana sudah berhasil mendekati keadaan hampir sama dengan sebelum bencana. Artinya, upaya berbagai pihak dan realisasi RENAKSI RR Pasca Letusan Merapi untuk sektor perumahan sudah menunjukkan tercapainya pemulihan walaupun belum sepenuhnya seperti keadaan sediakala sebelum bencana.

2. SEKTOR PRASARANA

2.1. Kabupaten Boyolali

Hasil upaya pemulihan sektor prasarana --perbaikan jalan, jembatan, akses ke transportasi umum, akses ke telekomunikasi dan akses ke pasar terdekat-- semakin menurun 26,37% dari sesaat setelah bencana sampai saat survei (terhadap penurunan 30,33% dari sebelum bencana di mana kondisi prasarana dasar nisbi kurang baik) menunjukkan belum ada upaya serius pada pemulihan prasarana dasar tersebut selama dua tahun setelah bencana. Artinya, realisasi pemulihan prasarana dari

Page 83: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

RENAKSI RR Pasca Letusan Merapi perlu lebih difokuskan.

2.2. Kabupaten Klaten

Hasil upaya pemulihan prasarana --perbaikan jalan, jembatan, akses ke transportasi umum, akses ke telekomunikasi dan akses ke pasar terdekat-- sudah menurun 104,73% dari sesaat setelah bencana sampai saat survei (terhadap penurunan 9,31% dari sebelum bencana di mana keadaan prasarana dasar nisbi lebih baik dari tiga kabupaten lainnya) menunjukkan upaya pemulihan prasarana dasar tersebut selama dua tahun setelah bencana belum diprioritaskan sehingga tingkat kerusakannya semakin meningkat dari sesaat setelah bencana.

2.3. Kabupaten Magelang

Hasil upaya pemulihan prasarana --perbaikan jalan, jembatan, akses ke transportasi umum, akses ke telekomunikasi dan akses ke pasar terdekat-- sudah mencapai 100% dari sesaat setelah bencana sampai saat survei (terhadap penurunan 6% dari sebelum bencana di mana keadaan prasarana tersebut memang sudah kurang baik) menunjukkan tidak perlu upaya ekstra untuk pemulihannya, karena tingkat kerusakannya akibat bencana memang nisbi ringan, sehingga sudah pulih seperti sediakala.

2.4. Kabupaten Sleman

Hasil upaya pemulihan prasarana lebih memburuk 24,10% dari sesaat setelah bencana sampai saat survei (terhadap penurunan 20,28% dari sebelum bencana di mana keadaan prasarana tersebut umumnya memang sudah kurang baik) menunjukkan belum ada upaya yang fokus pada pemulihan prasarana selama dua tahun setelah bencana. Artinya, realisasi pemulihan prasarana dari RENAKSI RR Pasca Letusan Merapi perlu lebih difokuskan.

3. SEKTOR EKONOMI PRODUKTIF

3.1. Kabupaten Boyolali

Hasil upaya pemulihan sektor ekonomi produktif --pendapatan dan pekerjaan warga-- mencapai 53,00% dari sesaat setelah bencana sampai saat survei (terhadap penurunan 29,35% dari sebelum bencana) menunjukkan selama dua tahun setelah bencana belum ada upaya serius pemulihan atas hilangnya pendapatan dan pekerjaan warga terdampak bencana. Artinya, upaya berbagai pihak dan realisasi RENAKSI RR Pasca Letusan Merapi perlu lebih diprioritaskan ke

RANGKUMAN: Indeks Pemulihan Bencana Kawasan Merapi | 55

Page 84: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

56 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

kebutuhan pemulihan pendapatan dan pekerjaan warga korban bencana.

3.2. Kabupaten Klaten

Hasil upaya pemulihan sektor ekonomi produktif --pendapatan dan pekerjaan warga-- mencapai 40,88% dari sesaat setelah bencana sampai saat survei (terhadap penurunan 18,48% dari sebelum bencana) menunjukkan selama dua tahun setelah bencana telah ada upaya pemulihan atas hilangnya pendapatan dan pekerjaan korban bencana sekalipun belum optimal. Artinya, upaya berbagai pihak dan realisasi RENAKASI RR Pasca Letusan Merapi perlu ditingkatkan untuk mempercepat pulihnya pendapatan dan pekerjaan warga korban bencana.

3.3. Kabupaten Magelang

Hasil upaya pemulihan sektor ekonomi produktif --pendapatan dan pekerjaan warga-- sudah mencapai 77,00% dari sesaat setelah bencana sampai saat survei (terhadap penurunan sebesar 58,38% dari sebelum bencana) menunjukkan selama dua tahun setelah bencana belum ada upaya serius pemulihan atas hilangnya pendapatan dan pekerjaan yang sangat berat. Artinya, upaya berbagai pihak dan realisasi RENAKSI RR Pasca Letusan Merapi perlu lebih diprioritaskan ke kebutuhan pemulihan pendapatan dan pekerjaan warga korban bencana.

3.4. Kabupaten Sleman

Hasil upaya pemulihan sektor ekonomi produktif baru mencapai 52,36% dari sesaat setelah bencana sampai saat survei (terhadap penurunan 49,00% dari sebelum bencana) menunjukkan selama dua tahun setelah bencana belum ada upaya serius pemulihan atas hilangnya pendapatan dan pekerjaan yang sangat berat. Artinya, upaya berbagai pihak dan realisasi RENAKSI RR Pasca Letusan Merapi perlu lebih diprioritaskan ke kebutuhan pemulihan pendapatan dan pekerjaan korban bencana.

4. SEKTOR SOSIAL

4.1. Kabupaten Boyolali

Hasil upaya pemulihan sektor sosial --akses ke pelayanan kesehatan dan pendidikan, perbaikan kesehatan fisik dan kesehatan mental, serta status bersekolah anak-anak usia sekolah-- sudah membaik lebih dari 113,08 % dari sesaat setelah bencana sampai saat survei (terhadap

Page 85: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

RANGKUMAN: Indeks Pemulihan Bencana Kawasan Merapi | 57

penurunan 17,66% dari sebelum bencana) menunjukkan sudah adanya upaya serius mengatasi gangguan akses warga korban ke sarana pelayanan kesehatan dan pendidikan, sehingga tinggal melanjutkan saja program aksi di sektor ini. Artinya, realisasi pemulihan sektor sosial dari RENKASI RR Pasca Letusan Merapi sudah membuahkan hasil optimal, bahkan lebih baik dari sebelum bencana.

4.2. Kabupaten Klaten

Hasil upaya pemulihan sektor sosial --pendapatan dan pekerjaan warga-- sudah membaik 73,06% dari sesaat setelah bencana sampai saat survei (terhadap penurunan 27,38% dari sebelum bencana) menunjukkan sudah adanya upaya serius mengatasi gangguan akses warga korban bencana ke sarana pelayanan kesehatan dan pendidikan, sehingga perlu ditingkatkan program aksi ke sektor ini. Artinya, realisasi pemulihan sektor sosial dari RENAKSI RR Pasca Letusan Merapi sudah membuahkan hasil sekalipun belum optimal, masih perlu upaya lebih fokus ke inti persoalan.

4.3. Kabupaten Magelang

Hasil upaya pemulihan sektor sosial --pendapatan dan pekerjaan warga-- baru membaik 42,73% dari sesaat setelah bencana sampai saat survei (terhadap penurunan 24,18% dari sebelum bencana) menunjukkan belum adanya upaya serius mengatasi gangguan akses korban bencana ke sarana pelayanan kesehatan dan pendidikan, sehingga perlu prioritas program aksi ke sektor ini. Artinya, realisasi pemulihan sektor sosial dari RENAKSI RR Pasca Letusan Merapi belum cukup efektif, masih perlu upaya lebih fokus ke inti persoalan.

4.4. Kabupaten Sleman

Hasil upaya pemulihan sektor sosial --pendapatan dan pekerjaan warga-- baru membaik 38,62% dari sesaat setelah bencana sampai saat survei (terhadap penurunan 30,24% dari sebelum bencana) menunjukkan belum adanya upaya serius mengatasi gangguan akses korban bencana ke sarana pelayanan kesehatan dan pendidikan, sehingga perlu prioritas program aksi ke sektor ini. Artinya, realisasi pemulihan sektor sosial RENAKSI RR Pasca Letusan Merapi belum cukup efektif, masih perlu upaya lebih fokus ke inti persoalan.

5. LINTAS SEKTOR

5.1. Kabupaten Boyolali

Hasil upaya pemulihan lintas sektor --pelatihan kebencanaan,

Page 86: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

pemulihan luas lahan pertanian desa, pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan, akses ke kantor pos atau pengiriman barang, dan akses ke lembaga keuangan-- menurun 37,40% dari sesaat setelah bencana sampai saat survei (terhadap penurunan 23,77% dari sebelum bencana) menunjukkan belum adanya upaya serius mengatasi gangguan akses warga ke berbagai sarana lintas sektoral, sehingga perlu prioritas program aksi ke sektor ini. Artinya, realisasi pemulihan lintas sektor dari RENAKSI RR Pasca Letusan Merapi, masih belum fokus ke kebutuhan pemulihan yang dibutuhkan warga.

5.2. Kabupaten Klaten

Hasil upaya pemulihan lintas sektor --pelatihan kebencanaan, pemulihan luas lahan pertanian desa, pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan, akses ke kantor pos atau pengiriman barang, dan akses ke lembaga keuangan-- sudah mencapai 205,68% dari sesaat setelah bencana sampai saat survei (terhadap penurunan 5,63% dari sebelum bencana) menunjukkan upaya mengatasi gangguan akses korban bencana ke berbagai sarana lintas sektoral sudah melampaui keadaan sebelum bencana, karena memang tidak terjadi kerusakan berarti. Artinya, realisasi pemulihan lintas sektor dari RENAKSI RR Pasca Letusan Merapi sudah cukup berhasil.

5.3. Kabupaten Magelang

Hasil upaya pemulihan lintas sektor --pelatihan kebencanaan, pemulihan luas lahan pertanian desa, pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan, akses ke kantor pos atau pengiriman barang, dan akses ke lembaga keuangan-- sudah membaik 47,23% dari sesaat setelah bencana sampai saat survei (terhadap penurunan 7,6% dari sebelum bencana) menunjukkan sudah adanya upaya mengatasi gangguan akses korban bencana ke berbagai sarana lintas sektoral, karena pada dasarnya memang tidak terjadi kerusakan berarti. Artinya, realisasi pemulihan lintas sektor dari RENAKSI RR Pasca Letusan Merapi hanya perlu ditingkatkan intensitasnya.

5.4. Kabupaten Sleman

Hasil upaya pemulihan lintas sektor --pelatihan kebencanaan, pemulihan luas lahan pertanian desa, pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan, akses ke kantor pos atau pengiriman barang, dan akses ke lembaga keuangan-- lebih memburuk 6,49% dari sesaat setelah bencana sampai saat survei (terhadap penurunan 27,6% dari sebelum bencana) menunjukkan belum adanya upaya serius mengatasi gangguan akses korban bencana ke berbagai sarana lintas sektoral tersebut, sehingga

58 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 87: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

perlu prioritas program aksi ke sektor ini. Artinya, realisasi pemulihan lintas sektor dari RENAKSI RR Pasca Letusan Merapi, masih belum fokus ke kebutuhan pemulihan.v

PUSTAKA

Anonymous (2007), User’s Guide Stata. Lakeway Drive College Station, Texas: StataCorp.

Chris Christie & Richard E. Constable (2012), “New Jersey Community Development Block Grant Disaster Recovery Program”. NJ CDBG-DR Program Department of Community Affairs.

DANIDA ESP (t.t.), “Penyusunan Indeks Kualitas Lingkungan Indonesia: Metode Dan Kerangka Analisis”; Output Number 3.2. Economic Instrument in Environmental Management. DANIDA Environmental Support Programme.

DFID (1998), “Assistance for basic infrastructure provision is most effective when it is part of a broader plan for improving the effectiveness and coherence of government.’ London: DFID.

DFID (t.t), “Sustainable Livelihoods Guidance Sheets: Vulnerability Context”. London: DFID.

Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2011), “Peta Wilayah Perencanaan - Rencana Rinci Tata Ruang Kawasan Gunung Merapi. Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum.

Eko Teguh Paripurno (2012), “Matriks Sandingan Perundang-Undangan Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana”. Paparan capaian RENAKSI BPBD DIY dan BPBD Jateng. 21-22 November.

Gardoni, P. & C. Murphy (2008), “Recovery From Natural And Man-Made Disasters As Capabilities Restoration And Enhancement”, Journal of Sustainable Development Plan, Vol. 3, No. 4 (2008) 317-333.

International Strategy for Disaster Reduction (2005), “Hyogo Framework for Action 2005-2015: Building the Resilience of Communities to Disaster”. Extract from the final report of the World Conference on Disaster Reduction A/CONF.206/6)

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2010), “Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat”. Jakarta: KEMENKES RI.

-------------- (2011), “Peta Wilayah Perencanaan - Rencana Rinci Tata Ruang Kawasan Gunung Merapi”. Jakarta: Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia.

Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia (t.t), “Kebijakan Tata Ruang pada Kawasan Rawan Bencana”. Jakarta: Direktorat Jenderal Penataan Ruang & Badan Geologi Kementerian ESDM.

NIRA Report (2011), “Indexes for Recovery and Reconstruction following the Great East Japan Earthquake” September 2011; Tokyo: National Institute for Research Advancement (NIRA)(URL:http://www.nira.or.jp/english)

RANGKUMAN: Indeks Pemulihan Bencana Kawasan Merapi | 59

Page 88: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi (2011), “Peta Kawasan Rawan Bencana dan Area Terdampak Erupsi Gunung Merapi”. Jakarta: PVMBG.

Siswanto Budi Prasodjo (2011), “Mengukur Tingkat Pemulihan Komunitas Pasca Bencana Gunung Merapi”. Paparan BNPB pada Lokakarya Rencana Implementasi Longitudinal Study dalam Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana Erupsi Gunung Merapi, Kerjasama Badan Nasional Penanggulangan Bencana & United Nations Development Programme.

Solihin, Dadang (2012), “Overview dan Pencapaian Implementasi Good Governance di Indonesia dari Sudut Pandang Pemerintah”. Jurnal Analisis Sosial, Vol.17 No.1, September.

Straus, J., et.al. (2004). Indonesian Living Standards Before and After the Financial Crisis: Evidence from the Indonesia Family Life Survey. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Syaifullah (2010), “Pengenalan Metode AHP (Analytical Hierarchy Process)”. Wordpress.com.

Tim Gabungan BAPPENAS-BNPB (2011), “Dokumen Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana Erupsi Gunung Merapi Provinsi DI Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah 2011-2013.

UNCHS Habitat (2001), “Guidelines for Operational Programme Formulation in Post Disaster Situations: A Resource Guide”. The United Nations Centre for Human Settlements (UNCHS) Habitat, Risk and Disaster Management Unit.

Widyaningrum, Nurul (2012), “Meninjau Kembali Partisipasi dalam Konteks Good Governance”. Jurnal Analisis Sosial, Vol.17 No.1, September.

TAPAKMAYAhttp://www.solopos.com/2011/08/03/relokasi-korban-erupsi-merapi-diserahkan-

pemerintah-pusat-109619http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/

news/2013/01/17/141946/Kesempatan-Relokasi-Korban-Merapihttp://www.solopos.com/2013/01/16/recovery-jalur-evakuasi-merapi-pemk-

ab-boyolali-gelontor-rp79-m-369252http://www.bisnis-jateng.com/index.php/2011/04/warga-korban-merapi-

tolak-relokasi/http://www.oneworld.org/odi/keysheets/)http://www.kr.co.id: 21/09/2011

60 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 89: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

DESA MRIYAN, MUSUK, BOYOLALI, JAWA TENGAH, 28 November 2011. Seorang ibu tua melintasi jalan desanya yang masih menyisakan endapan debu letusan Merapi. “Saya akan tetap tinggal di sini,” tegasnya.

<FOTO: BETA PETTAWARANIE, TRK INSIST>

Page 90: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

DUSUN TURGO, PURWOBINANGUN, SLEMAN , YOGYAKARTA, 27 Janari 2013. Salah satu daerah pemukiman terdekat ke Gunung Merapi, terlindungi oleh satu bukit kecil membelakangi lereng selatan-barat Merapi yang tampak di latar belakang. Setelah tiga tahun, rumah-rumah warga praktis sudah terbangun kembali. Masalahnya: apakah mereka tetap aman dan diizinkan bermukim di sana?

<FOTO: BETA PETTAWARANIE, TRK INSIST>

Page 91: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Bencana letusan Merapi 2010 dan lahar hujan menyebabkan belasan ribu orang meninggalkan tempat tinggalnya dan hidup di pengungsian

untuk sementara sampai keadaan aman, atau sampai ada perbaikan rumah-rumah mereka yang rusak. Menurut Undang-undang (UU) Penanggulangan Bencana Nomor 24 Tahun 2007, pasal 58 ayat 1c, salah satu bentuk upaya rehabilitasi pasca bencana adalah pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat. Pemberian bantuan perbaikan perumahan pasca letusan dan lahar hujan Merapi diberikan, antara lain, melalui Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi oleh pemerintah dan melalui program-program bantuan pemulihan pasca bencana dari pihak-pihak non-pemerintah.

Bagian ini akan menggambarkan keadaan perumahan warga di wilayah yang disurvei pada waktu sebelum dan sesudah bencana. Hal-hal yang diuraikan di sini, antara lain, tentang penguasaan tempat tinggal, luas lantai tempat tinggal, sarana MCK dan prasarana lainnya serta upaya-upaya rehabilitasinya.

n Tentang Rumah

Dalam UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman, disebutkan bahwa rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya.1

PERUMAHAN, PERMUKIMAN & RELOKASI

SEKTOR 1

1 UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Bab I Pasal 1 ayat 7.

F. Asisi S.Widanto

63

Page 92: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

64 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Dengan demikian, fungsi dan makna rumah dari aspek sosial, ekonomi, dan budaya mendapat pengakuan dari negara. Pengakuan ini merupakan pemenuhan hak rakyat atas perumahan, yakni hak untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak. Pengakuan ini memiliki dasar konstitusional. Dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945, Pasal 28H ayat (1), dinyatakan bahwa “...setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Sementara itu, dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 40, juga dinyatakan bahwa “...setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.” Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman menyatakan bahwa “...setiap warganegara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.” Lebih mutakhir, Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya melalui UU Nomor 11 Tahun 2003, di mana Pasal 11 ayat (1) mengakui “...hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus- menerus.”

Bagi warga Merapi, rumah merupakan bangunan yang menjadi tempat tinggal mereka yang melindungi mereka dari panas, hujan, dan dinginnya lereng gunung. Selain merupakan salah satu aset terpenting, rumah bagi warga Merapi juga memiliki fungsi dan makna sosial dan budaya, faktor pengikat yang semakin erat dengan lokasi tempat tinggal mereka. Rumah, bagi sebagian besar warga lereng Merapi adalah tempat bagi warganya menjalani siklus kehidupan, mulai dari kelahiran, masa akil balik, perkawinan hingga kematian. Semua ritual perjalanan hidup dilakukan di rumah. Dalam konteks permukiman, jaringan antar rumah telah menemukan hubungan-hubungan dan kedekatan-kedekatan antar tetangga yang telah terbiasa saling membantu dan bekerjasama dalam keadaan apapun.

Di dalam rumah mereka, warga Merapi melakukan berbagai kegiatan produksi maupun reproduksi. Karena itu, rumah dibuat dan dikelola agar nyaman dan aman bagi para penghuninya untuk melakukan kegiatan-kegiatan tersebut. Persoalan ‘nyaman’ dan ‘aman’ inilah yang mendorong warga di kawasan Merapi untuk membangun dan mengembangkan rumah mereka selama ini. ’Impian’ sebagian besar warga Merapi adalah membangun rumah tembok atau permanen. Pada tahun 2008, jumlah rumah permanen di daerah ancaman Merapi adalah 40.054 unit, semi

Page 93: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

SEKTOR 1: Perumahan, Permukiman & Relokasi | 65

permanen (separuh tembok) 7.866 unit, dan tidak permanen (tanpa bahan dan konstruksi tembok) adalah 9.652 unit. Jumlah ini cukup besar. Karena itu, jika terjadi bencana seperti letusan Merapi 2010, risiko jumlah kerugian yang terancam ditanggung oleh warga sangatlah besar.

Dalam survei ini, beberapa parameter tentang keadaan rumah menggunakan tolok-ukur yang digunakan oleh BPS dalam mengidentifikasi kemiskinan terkait dengan [pe]rumah[an], yakni: (1) luas lantai bangunan; (2) jenis lantai tempat tinggal; (3) jenis dinding tempat tinggal; (4) ada-tidaknya fasilitas buang air besar; (5) sumber penerangan rumah tangga; dan (6) sumber air minum.2 Parameter ini digunakan untuk keadaan normal (tidak ada bencana).

Untuk keadaan pasca bencana, BNPB telah menerbitkan pedoman tatacara pemberian bantuan pemenuhan kebutuhan dasar, termasuk perumahan. Menurut Peraturan Kepala (PERKA) BNPB Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Tatacara Pemberian Bantuan Pemenuhan Kebutuhan Dasar, bantuan penampungan/hunian sementara diberikan dalam bentuk tenda-tenda, barak, atau gedung fasilitas umum/sosial seperti tempat ibadah, gedung olah raga, balai desa, dan sebagainya, yang memungkinkan untuk digunakan sebagai tempat tinggal sementara. Yang terpenting adalah bahwa tempat-tempat tersebut memenuhi standar minimal:

(a) Berukuran 3 (tiga) meter persegi per orang;

(b) Memiliki persyaratan keamanan dan kesehatan;

(c) Memiliki aksesibititas terhadap fasilitas umum;

(d) Menjamin privasi antar jenis kelamin dan berbagai kelompok usia.

Dengan demikian pembangunan hunian sementara maupun hunian tetap bagi para korban bencana, seharusnya juga memerhatikan ukuran baku tersebut.

2 Kriteria kemiskinan dari segi rumah dan sarananya, menurut BPS adalah: [1] Luas lantai bangunan kurang dari 8 m2 per orang; [2] Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan; [3] Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas murah/tembok tanpa diplester; [4] Tidak memiliki fasilitas buang air besar/ bersama-sama dengan rumah tangga lain; [5] Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik; [6] Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.

Page 94: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

n Karakter Tempat Tinggal Warga MerapiDalam HFA (Hyogo Framework for Action), isu perumahan dan permukiman termasuk di dalam prioritas aksi keempat, yakni meredam faktor-faktor risiko yang mendasari, terutama dalam kegiatan pokok (aktivitas kunci) ketiga.

HFA – Prioritas Aksi Keempat – Aktivitas Kunci Ketiga

Perencanaan Penggunaan Lahan dan Tindakan-tindakan Teknis Lainnya:(n) Memasukkan penjajakan risiko bencana ke dalam perencanaan perkotaan dan pengelolaan permukiman yang rentan terhadap bencana, terutama wilayah-wilayah padat penduduk dan permukiman yang dengan cepat menjadi wilayah urban. Masalah-masalah tentang perumahan informal atau non-permanen dan lokasi rumah di wilayah dengan risiko tinggi harus ditanggapi sebagai prioritas, termasuk dalam kerangka kerja pengentasan kemiskinan wilayah urban dan program-program perbaikan kawasan kumuh. (p) Mengembangkan, memperbaiki, dan mendorong penggunaan pedoman dan alat-alat monitoring dalam peredaman risiko bencana dalam konteks kebijakan dan perencanaan penggunaan lahan.(q) Memasukkan penjajakan risiko bencana ke dalam perencanaan dan pengelolaan pembangunan pedesaan, terutama berkaitan dengan wilayah-wilayah pegunungan dan dataran banjir di wilayah pantai, termasuk melalui identifikasi zona-zona lahan yang tersedia dan aman bagi permukiman manusia.(r) Mendorong revisi atau mengembangkan aturan pendirian bangunan, standar-standar serta praktik-praktik rehabilitasi dan rekonstruksi yang baru pada tingkat nasional atau lokal sebagaimana mestinya, dengan tujuan untuk membuatnya lebih bisa diterapkan dalam konteks lokal, terutama dalam permukiman manusia yang informal dan marginal, dan memperkuat kapasitas untuk melaksanakan, memonitor dan menegakkan aturan-aturan tersebut melalui suatu pendekatan yang berbasis konsensus dalam rangka mengembangkan struktur yang tahan terhadap bencana.

66 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 95: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Berdasarkan amanah HFA tersebut, dapat dikatakan bahwa salah satu indikator ketangguhan masyarakat adalah soal rumah yang lebih aman untuk bertahan terhadap ancaman bencana.3

Ancaman bencana Gunung Merapi adalah ancaman primer --yakni awan panas, udara panas, dan lontaran material berupa abu sampai ukuran besar-- dan ancaman sekunder --yakni lahar hujan. Karena itu, seharusnya pembangunan perumahan dan permukiman memperhitungkan ancaman-ancaman itu semua. Terlebih lagi, siklus atau rentang waktu (interval) letusan Merapi nisbi singkat dan sudah dapat dipradugakan, yakni antara tiga sampai enam tahun, sehingga upaya-upaya pengurangan risiko bencana dapat diterapkan di sektor perumahan dengan memerhatikan gejala-gejala letusan. Misalnya, pertimbangan jarak antara permukiman dengan puncak Merapi atau daerah-daerah rawan bencana.

Selain itu, juga teknis pembangunan rumah. Atap genteng lebih menguntungkan ketimbang dengan atap seng atau plastik, karena struktur atap genteng lebih kuat dan lebih dingin apabila harus menerima hujan abu atau pasir panas Merapi. Pintu rumah sebaiknya membelakangi Merapi, agar --ketika harus melakukan evakuasi-- para penghuni tidak langsung terpapar oleh hembusan awan panas karena masih ada bangunan rumah sebagai pelindung. Daun pintu dan jendela membuka ke arah luar, bukan ke arah dalam rumah, agar mengurangi risiko masuknya hembusan awan panas ke dalam rumah. Tentu saja bahan dinding dan pintu-jendela juga penting untuk dipertimbangkan. Selain itu, untuk mengantisipasi ancaman lahar hujan, pembangunan perumahan seharusnya memperhitungkan jarak dengan sungai-sungai yang menjadi jalur lahar hujan.

Berikut ini adalah keadaan perumahan di kawasan terpapar bencana Merapi 2010, dilihat dari beberapa aspek:

1. Status Penguasaan Rumah

2. Luas Lantai Tempat Tinggal

3. Jenis Dinding

3 ADPC 2006, ‘Critical Guidelines: Community-based Disaster Risk Management’ (Bangkok: ADPC; www.adpc.net) h.25. Sementara itu, dalam PERKA BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh, soal perumahan masuk ke dalam komponen keenam tentang penyelenggaraan Penanggulangan Bencana: “kegiatan-kegiatan mitigasi fisik struktural dan non-fisik; sistem peringatan dini; kesiapsiagaan untuk tangggap darurat, dan segala upaya pengurangan risiko melalui intervensi pembangunan dan program pemulihan, baik yang bersifat struktural-fisik maupun non-struktural.”

SEKTOR 1: Perumahan, Permukiman & Relokasi | 67

Page 96: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

4. MCK yang Memadai

5. Letak Sumber Utama Air Minum Rumah Tangga

6. Fasilitas Jamban/Kakus

7. Jenis Kloset yang digunakan

8. Pembuangan Air Limbah Rumah Tangga

8. Ada Tidaknya Genangan Air di Sekitar Tempat Tinggal

10. Keamanan Dapur

n Status Penguasaan RumahUmumnya tingkat kepemilikan warga di seputaran Merapi sangat tinggi. Hampir seluruh rumah tangga (keluarga pati) menjadi pemilik atas bangunan yang sekarang ini mereka tempati, yakni lebih dari 80% rumah tangga di semua kategori wilayah cacah.

Namun, pasca bencana letusan 2010 dan lahar hujan yang menyusulnya, terjadi perubahan dari status penguasaan tersebut. Di wilayah ATLL, sebelum erupsi 2010 dan lahar hujan, 92,78% dari responden adalah pemilik tempat tinggal mereka, di ATL 83,33%, di ATLH 80,33%, dan di wilayah pembanding (kontrol) adalah 83,33%. Sebagian kecil dari rumah tangga menyatakan bahwa mereka hanya menempati tempat tinggal mereka waktu itu, dengan rincian di wilayah ATLL 7,22% menyatakan hanya menempati, di wilayah ATL 15,00%, di wilayah ATLH 18,00% dan di wilayah pembanding 16,67%. Sementara itu, persentase lebih kecil lagi adalah status sewa yang hanya ada di wilayah ATL dan ATLH, masing-masing sebesar 16,67%. (Selengkapnya, lihat kembali Tabel 11 pada halaman 31).

Rendahnya persentase status sewa ketimbang status menempati, pada tempat tinggal yang bukan milik sendiri, tampaknya berhubungan dengan keadaan di daerah pedesaan yang menjadi karakter umum wilayah survei, bahwa hubungan kekerabatan menjadi nilai yang penting sehingga antar warga bisa mempersilakan orang lain untuk menempati rumah-rumah mereka.

Sebagaimana terbaca pada Tabel 11 tersebut, terjadi perubahan angka atau persentase status penguasaan bangunan tempat tinggal pasca bencana. Di wilayah ATLL, sebagian rumah tangga terpaksa tinggal di bangunan yang bukan milik mereka. Hal ini dapat dilihat dari menurunnya persentase rumah tangga dengan status ’milik sendiri’ baik di wilayah ATLL maupun

68 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 97: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

ATL menjadi 80,56% dan 79,58%. Di wilayah ATLL, sebagian dari mereka sekarang menjadi berstatus ’menempati’. Di wilayah ATL, sebagian mereka menjadi berstatus menempati saja, sebagian lagi menyewa, sementara itu sebanyak 2,92% tinggal di barak pengungsian dan sebagian kecil (0,28) berstatus ’lainnya’.

Secara umum, sebagian besar warga masih menempati rumah tinggal mereka sendiri. Sebagian kecil dari mereka sekarang ini menempati lokasi yang bukan milik mereka sendiri (19.44%). Jumlah ini mengalami peningkatan lebih dari dua kali lipat dari sebelum bencana yang semula hanya 7.22% saja di wilayah ATLL. Di wilayah ATLH, perubahan yang terjadi adalah persentase rumah tangga yang semula berstatus memiliki mengalami peningkatan 0,67%, sementara persentase yang semula berstatus menempati mengalami penurunan 0,67%. Apakah ini berarti bahwa, setelah bencana, keluarga yang semula ‘menempati’ (menumpang) pada rumah milik orang lain akhirnya (mampu) memiliki rumah sendiri?

n Luas Lantai Tempat TinggalLuas lantai rerata rumah hunian warga sebelum letusan 2010 dan lahar hujan yang menyusulnya adalah 101,12 m2. Karena setiap rumah umumnya dihuni oleh rata-rata tiga orang, maka luasan lantai setiap rumah untuk setiap orang adalah lebih dari 30 m2 per orang. Luas lantai yang dimiliki warga pada umumnya memang cukup luas, mengingat rumah-rumah mereka juga memiliki fungsi-fungsi sosial budaya, misalnya selalu terdapat ruang yang cukup besar untuk acara-acara komunal dengan para tetangga.

TABEL 23: Rata-rata Luas Lantai Rumah Wargadi Kawasan Terpapar Bencana Merapi 2010 (m2)

Luas lantai rumah rata-rata sebelum & sesudah bencana ATLL ATL ATLH KONTROL

Luas kurang dari rata-rata

Sebelum Bencana = 101,12 m2 51,57 64,72 66.00 70.00

Saat Survei= 91,30 m2 82,22 66,81 67,00 70,00

Luas lebih atau sama dengan rata-rata

Sebelum Bencana= 101,12 m2 48,33 35,28 34,00 30,00

Saat Survei = 91,30 m2 17,78 33,19 33,00 30,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

SEKTOR 1: Perumahan, Permukiman & Relokasi | 69

Page 98: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Sementara itu, menurut Kementerian Pekerjaan Umum, untuk memenuhi standar rumah sederhana dan sehat, maka kebutuhan ruang per orang sekurang-kurangnya adalah 9 m2 dengan penghitungan ketinggian rata-rata langit-langit adalah 2,8 m. Kebutuhan ruang per orang tersebut berdasarkan kegiatan dasar penghuninya yang meliputi tidur, makan, duduk, mencuci, memasak, bekerja, dan ruang gerak lainnya.4

4 Departemen Pekerjaan Umum (t.t), Pedoman Rumah Sederhana & Sehat.

TABEL 24: Kebutuhan Luas Minimum Bangunan & LahanRumah Sederhana & Sehat (m2)

Standar per jiwa (m2)

Luas (m2) untuk 3 jiwa Luas (m2) untuk 4 jiwa

Unit Rumah

Lahan (L) Unit Rumah

Lahan (L)

Minimal Efektif Ideal Minimal Efektif Ideal

Ambang-batas = 7,2 21,6 60,0 72-90,0 200,0 28,8 60,0 72-90,0 200,0

Indonesia = 9,0 27,0 60,0 72-90,0 200,0 36,0 60,0 72-90,0 200,0

Internasional = 12, 0 36,0 60,0 -- -- 48,0 60,0 -- --

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (t.t.)

Rata-rata jumlah anggota rumah tangga di semua kategori wilayah cacah adalah 3-4 orang, sementara itu luas rata-rata lantai rumah sebelum bencana adalah 101,12 m2. Dengan demikian, luasan rumah-rumah warga di seluruh kategori wilayah cacah adalah di atas standar per jiwa untuk setiap meter perseginya. Pasca letusan dan lahar hujan, terjadi penurunan rata-rata luas lantai tempat tinggal dari 101,12 m2 menjadi 91,30 m2 setelah bencana dan upaya pemulihan (yakni pada saat studi ini dilakukan). Penurunan tersebut karena sebagian warga terpaksa harus mengungsi dari hunian tempat tinggal mereka dan menempati hunian-hunian sementara.

Luas lantai semakin berkurang, baik yang semula kurang dari rata-rata maupun yang semula lebih dari dan sama dengan rata-rata. Berkurangnya ini boleh jadi karena terjadinya kerusakan-kerusakan akibat bencana, sehingga warga harus tinggal di tempat pengungsian sementara (HUNTARA) yang luasan lantainya sangat terbatas. Ukuran HUNTARA standar pemerintah adalah 6 x 6 m (DIY) atau 8 x 8 m (Jawa Tengah).

70 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 99: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

5 http://health.kompas.com/read/2010/12/18/05590327/www.kompas.com6 http://www.pikiran-rakyat.com/node/1473237 http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=3695

Meski demikian, ada juga bantuan dari non-pemerintah yang memiliki ukuran berbeda, misalnya 4,8 x 3,8 m (dari ACT),5 8 x 8 m (UGM/Bazis),6 dan 4 x 6 m (UGM/GPAnsor).7

n Dinding Bangunan Tempat TinggalSeperti halnya di tempat-tempat lain, warga di wilayah cacah juga cenderung membangun atau mengembangkan bangunan tempat tinggal mereka dengan menggunakan dinding tembok. Sebelum bencana, sebagian besar dinding rumah mereka adalah dinding tembok. Di wilayah ATLL sebanyak 89,44% rumah warga berdinding tembok, di ATL 89,31%, di ATLH 62,22%, dan di wilayah pembanding 86,98%. Sementara itu sebagian yang lain menggunakan anyaman bambu (gedheg) dan kayu.

TABEL 25: Jenis Dinding Rumah Warga di Kawasan Merapi,Sebelum Bencana & Sekarang

Jenis Dinding Rumah ATLL ATL ATLH KONTROL

TEMBOK

Sebelum Bencana 80,44 89,31 62.22 86.98

Sekarang (Saat Survei) 62,78 85,97 89,00 64,44

KAYU

Sebelum Bencana 1,11 3,61 3,67 33,33

Sekarang (Saat Survei) 2,78 3,61 3,33 32,22BAMBU

Sebelum Bencana 9,44 6,81 8,33 4,44Sekarang (Saat Survei) 30,56 10,00 7,00 3,33

SENGSebelum Bencana n.a 0,14 n.a n.aSekarang (Saat Survei) 1,11 0,14 0,00 0,00

LAINNYASebelum Bencana n.a 0,14 0,67 n.aSekarang (Saat Survei) 2,78 0,28 0,67 0,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah) n.a = not available

SEKTOR 1: Perumahan, Permukiman & Relokasi | 71

Page 100: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Secara umum boleh dikatakan bahwa dinding tembok lebih aman dihadapkan pada ancaman-ancaman letusan maupun lahar hujan ketimbang jenis dinding yang lain. Dinding tembok lebih tahan suhu tinggi dari awan panas dan lebih kokoh menahan terjangan lahar hujan.

Namun, pasca bencana, terjadi penurunan jumlah rumah dengan dinding tembok di seluruh wilayah penelitian, termasuk di wilayah pembanding. Sebaliknya, jumlah rumah dengan dinding jenis kayu, bambu, dan seng bertambah di wilayah ATLL dan ATL. Hal ini bisa terjadi karena sementara ini mereka tinggal di rumah-rumah sementara berbahan bukan tembok sebelum akhirnya mereka membangun kembali dinding rumah mereka dengan bahan tembok.

n Letak Sumber Utama Air Minum Rumah TanggaAir minum diakses oleh RT dari berbagai sumber, antara lain berupa air dalam kemasan, air isi ulang, mobil tangki keliling, ledeng, pompa, sumur terlindung, sumur tak terlindung, mata air terlindung, mata air tak terlindung, dan air hujan. Letak sumber utama air minum rumah tangga tersebut sebagian di dalam rumah dan sebagian lain di luar rumah.

TABEL 26: Letak Sumber Air Utama dari Rumah Warga di Kawasan Merapi,Sebelum Bencana & Sekarang

Letak Sumber Air Utama ATLL ATL ATLH KONTROL

DI DALAM RUMAH

Sebelum Bencana 56,67 60,14 54.00 37.78

Sekarang (Saat Survei) 50,00 64,72 56,33 45,56

DI LUAR RUMAH

Sebelum Bencana 43,33 39,86 46,00 62,22

Sekarang (Saat Survei) 50,00 35,28 43,67 54,44

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Sementara itu, sumber air utama untuk keperluan MCK diakses dari mobil tangki keliling, ledeng, pompa, sumur, mata air, sungai, dan air hujan. Pemanfaatan mata air untuk sumber air utama keperluan MCK masih menjadi prioritas bagi sebagian besar rumah tangga warga di wilayah cacah, terutama di wilayah ATLL. Sebanyak 91,67% rumah warga di ATLL menggunakan mata air terlindung.

72 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 101: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

TABEL 27: Persentase Rumah Warga Pengguna Sumber Air Utamauntuk Keperluan MCK di Kawasan Merapi,

Sebelum Bencana & Sekarang

Sumber Air Utama (untuk MCK, bukan untuk minum) ATLL ATL ATLH KONTROL

TANGKI KELILING

Sebelum Bencana 0,56 1,53 n.a n.a

Sekarang (Saat Survei) 10,00 2,78 n.a n.a

LEDENG

Sebelum Bencana 2,78 2,50 12,33 3,33

Sekarang (Saat Survei) 3,89 1,94 12,33 10,00POMPA

Sebelum Bencana 1,11 7,64 0,67 6,67Sekarang (Saat Survei) 15,56 12,36 1,67 7,78

SUMUR TERLINDUNGSebelum Bencana n.a 30,42 35,00 41,11Sekarang (Saat Survei) 1,11 27,64 33,67 38,69

SUMUR TAK TERLINDUNGSebelum Bencana 1,11 4,86 6,67 4,44Sekarang (Saat Survei) 1,11 4,86 7,00 3,33

MATA AIR TERLINDUNGSebelum Bencana 91,67 39,72 22,33 15,56Sekarang (Saat Survei) 64,44 38,06 24,00 14,44

MATA AIR TAK TERLINDUNGSebelum Bencana n.a 3,89 1,67 n.aSekarang (Saat Survei) 0 4,17 1,33 n.a

AIR SUNGAISebelum Bencana 0,56 7,08 13,00 8.89Sekarang (Saat Survei) 1,11 6,67 11,67 5,56

AIR HUJAN Sebelum Bencana n.a 0,69 n.a n.aSekarang (Saat Survei) 0,00 0,14 0,00 0,00

LAINNYASebelum Bencana 2,22 1,67 8,33 20,00Sekarang (Saat Survei) 2,78 1,39 8,33 20,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah) n.a = not available

SEKTOR 1: Perumahan, Permukiman & Relokasi | 73

Page 102: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Sementara itu, untuk wilayah ATL, pemanfaatan jenis-jenis sumber air utama nisbi merata, karena rupanya ragam jenis sumber air utama lebih banyak. Banyak masyarakat yang menggunakan sumur terlindung, mata air terlindung, pompa, sungai. Untuk wilayah ATLL dan ATL, karena tempatnya sebagian adalah dataran tinggi, maka untuk saat-saat tertentu memerlukan pasokan air dari luar (dropping). Untuk wilayah ATLH, pemanfaatan sungai untuk sumber air utama cukup tinggi, selain ledeng, sumur terlindung, mata air terlindung, dan sumber-sumber lainnya. Perbedaan tiga wilayah ini dalam pemanfaatan sumber air utama dapat dimengerti karena sumber-sumber air seringkali tergantung pada keadaan lingkungan sekitar permukiman.

Namun pasca bencana, di wilayah ATLL terjadi penurunan yang cukup signifikan rumah tangga pemanfaat mata air terlindung menjadi hanya 64,44%. Hal ini terjadi kemungkinan karena jumlah mata air terlindungi di sana berkurang karena rusak dan/atau para penggunanya telah mengungsi di mana mereka menggunakan sumber air utama yang lain.

n MCK yang Memadai

Salah satu kelengkapan rumah adalah fasilitas MCK. Adanya letusan Merapi 2010 dan lahar hujan ternyata memberikan perubahan positif yang cukup signifikan terhadap persentase MCK yang memadai.

Hampir semua rumah tangga di wilayah ATLL memiliki MCK yang memadai, yakni 92,8%; sementara itu di wilayah ATL sebesar 74,31%, di ATLH 60%, dan di wilayah pembanding 55,56%.

TABEL 28: Rumah Warga yang Memiliki MCK Memadai di Kawasan Merapi,Sebelum Bencana & Sekarang

Rumah yang Memiliki MCK Memadai ATLL ATL ATLH KONTROL

Sebelum Bencana 92,80 74,31 60.00 55.56

Sekarang (Saat Survei) 97,22 77,46 61,67 62,22

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Angka persentase kepemilikan MCK yang memadai ini mengalami kenaikan setelah terjadinya bencana di seluruh wilayah cacah, baik di wilayah ATLL, ATL, ATLH maupun di wilayah pembanding. Kenaikan persentase yang paling tinggi justru terjadi di wilayah pembanding, yakni sebesar 6,66%, lebih tinggi ketimbang di ATLL 4,42%, ATL 3,05%,

74 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 103: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

dan di ATLH 1,67%. Hal ini diperkirakan bahwa ‘kampanye’ sanitasi yang dilakukan di daerah ATL(L/H) menyebar juga sampai ke daerah pembanding.

Salah satu sarana MCK rumah tangga yang penting adalah jamban. Sebagian besar rumah warga di semua kategori wilayah cacah memiliki jamban sendiri. Sebelum bencana, di wilayah ATLL ada 83,33% rumah warga memiliki jamban sendiri, di ATL sebanyak 69,31%, di ATLH 54,67%, dan di wilayah pembanding 54,44%.

Namun, meskipun sebagian besar rumah warga di semua kategori wilayah memiliki jamban sendiri, tetap masih ada rumah di seluruh kategori wilayah yang justru tidak memiliki jamban. Persentase rumah warga yang tidak memiliki jamban di wilayah ATLL adalah yang paling rendah dibandingkan dengan wilayah lain, dan di wilayah pembanding adalah yang paling tinggi.

TABEL 29: Jenis Jamban di Kawasan Merapi,Sebelum Bencana & Sekarang

Jenis Jamban ATLL ATL ATLH KONTROL

JAMBAN SENDIRI

Sebelum Bencana 83,33 69,31 54,67 54,44

Sekarang (Saat Survei) 88,89 72,92 56,33 61,11

JAMBAN BERSAMA

Sebelum Bencana 12,22 8,75 11,33 6,67

Sekarang (Saat Survei) 8,89 7,92 11,67 5,56JAMBAN UMUM

Sebelum Bencana 0,56 4,17 5,33 6,67Sekarang (Saat Survei) 1,11 3,47 6,33 6,67

TIDAK PUNYA JAMBANSebelum Bencana 3,89 17,78 28,67 32,22Sekarang (Saat Survei) 1,11 15,69 25,67 26,67

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Pasca bencana, terjadi perkembangan yang positif dengan adanya peningkatan kepemilikan atau akses terhadap jamban.

Untuk jenis jamban sendiri, terjadi peningkatan jumlah persentase kepemilikan dari sebelum bencana hujan sampai dengan sekarang. Di ATLL terjadi peningkatan 5,56%, di ATL mengalami peningkatan 3,61%,

SEKTOR 1: Perumahan, Permukiman & Relokasi | 75

Page 104: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

di ATLH meningkat 1,66%, dan di wilayah pembanding mengalami peningkatan 6.67% (yang adalah peningkatan tertinggi dibandingkan dengan kategori wilayah yang lain). Naiknya persentase jamban sendiri tersebut dibarengi dengan menurunnya angka persentase jamban bersama. Sementara itu, jumlah persentase rumah tangga yang tidak memiliki jamban juga mengalami penurunan.

Pada umumnya, jamban di wilayah cacah menggunakan kloset jenis ‘leher angsa’ yang merupakan jenis lebih sehat dibandingkan dengan jenis-jenis yang lain. Artinya, kesadaran masyarakat terkait dengan sanitasi ini sudah bagus. Persentase tertinggi untuk penggunaan kloset leher angsa adalah di daerah ATLH dan wilayah pembanding. Besar kemungkinan hal ini terkait dengan kemudahan akses terhadap air.

TABEL 30: Jenis Kloset yang Digunakan di Kawasan Merapi,Sebelum Bencana & Sekarang

Jenis Jamban ATLL ATL ATLH KONTROL

LEHER ANGSA

Sebelum Bencana 87,86 85,81 97,66 96,72

Sekarang (Saat Survei) 88,89 88,47 97,76 93,94

PLENGSENGAN

Sebelum Bencana 9,83 10,14 0,93 1,64

Sekarang (Saat Survei) 7,87 8,57 0,90 3,03CEMPLUNG (CEBLUK)

Sebelum Bencana 2,31 3,55 1,40 1,64Sekarang (Saat Survei) 2,25 2,47 1,35 3,03

TIDAK ADASebelum Bencana n.a 0,51 n.a n.aSekarang (Saat Survei) 0,00 0,49 0,00 0,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah) n.a = not available

Peningkatan penggunaan kloset jenis plengsengan dan cemplung menjadi leher angsa tampak pada kategori wilayah ATLL dan ATL, masing-masing mengalami kenaikan dari 87,86% dan 85,81% menjadi 89,89% dan 88,47%. Di wilayah pembanding, justru terjadi penurunan persentase pengguna jenis leher angsa, dari 96,72% menjadi 93,94%.

76 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 105: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

TABEL 31: Pembuangan Air Limbah Rumah Tangga di Kawasan Merapi,Sebelum Bencana & Sekarang

Tempat Pembuangan Air Limbah Rumah Tangga ATLL ATL ATLH KONTROL

SELOKAN

Sebelum Bencana 11,22 20,08 31,38 18,63

Sekarang (Saat Survei) 10,84 20,90 31,60 19,42

SUNGAI

Sebelum Bencana 2,93 16,99 29,23 8,82

Sekara Sekarang (Saat Survei) 0,99 16,26 27,91 8,74

LUBANG TANAH

Sebelum Bencana 29,27 17,50 6,15 11,76Sekarang (Saat Survei) 27,59 16,90 6,75 11,65

SEPTIC TANK

Sebelum Bencana 26,34 20,72 18,77 17,65Sekarang (Saat Survei) 36,95 22,97 20,25 18,45

LAINNYA

Sebelum Bencana 30,24 24,71 14,46 43,14Sekarang (Saat Survei) 23,65 22,97 13,50 41,75

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

n Pembuangan Air Limbah Rumah TanggaPembuangan air limbah rumah tangga seharusnya memenuhi beberapa tolok-ukur dasar, karena air limbah rumah tangga dapat merugikan kesehatan manusia. Air limbah ini, selain tidak bersih, juga mengandung zat-zat yang membahayakan kesehatan. Air limbah rumah tangga (domestic waste water) umumnya terdiri dari ekskreta (tinja dan urine), air bekas cucian, air bekas dari dapur, air bekas kamar mandi.

Survei ini menunjukkan bahwa pembuangan limbah rumah tangga beragam dan berimbang antara satu tempat pembuangan dengan tempat pembuangan yang lain. Untuk wilayah ATLH, sebagian besar masyarakat membuang air limbah rumah tangga mereka ke selokan atau ke sungai, karena wilayah ATLH sebagian besar memang berada di dekat aliran sungai. Apa yang menarik adalah terjadinya pembuangan air limbah rumah tangga ke tangki septik mengalami peningkatan setelah bencana, yakni sebesar 10,61% di ATLL, 2,25% di ATL, 1,48% di ATLH, dan 0,8% di wilayah pembanding.

SEKTOR 1: Perumahan, Permukiman & Relokasi | 77

Page 106: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

SALURAN TERBUKA

Sebelum Bencana 36,41 32,21 33,01 18,56

Sekarang (Saat Survei) 27,57 30,85 31,27 16,33

TANPA SALURAN

Sebelum Bencana 14,13 14,02 14,05 39,18Sekarang (Saat Survei) 17,30 13,53 12,70 35,71

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

TABEL 33: Genangan Air Sekitar Rumah Warga di Kawasan Merapi,Sebelum Bencana & Sekarang

Genangan Air Sekitar Rumah Warga ATLL ATL ATLH KONTROL

TERLIHAT

Sebelum 8,89 6,81 5,00 2,22

Sekarang (Saat Survei) 7,22 6,67 5,33 1,11

TIDAK TERLIHAT

Sebelum 91,11 93,19 95,00 97,78

Sekarang (Saat Survei) 92,78 93,33 94,67 98,89

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Rumah tangga di semua wilayah cacah masih banyak yang tidak dilengkapi dengan saluran pembuangan air limbah rumah tangga. Hal ini terjadi baik sebelum maupun setelah bencana. Persentase tertinggi ada di wilayah pembanding, yakni 39,18% sebelum bencana dan 35,71% setelah bencana.

Dengan tidak adanya saluran pembuangan air limbah, dapat menyebabkan air tidak mengalir dengan lancar dan timbul genangan-genangan air yang menimbulkan bau menyengat. Hal ini diperkuat dengan pengamatan di lapangan di mana ditemukan genangan-genangan air limbah tersebut di sekitar rumah-rumah warga.

TABEL 32: Saluran Pembuangan Limbah Rumah Tangga di Kawasan Merapi,Sebelum Bencana & Sekarang

Jenis Saluran Pembuangan ATLL ATL ATLH KONTROL

SALURAN TERTUTUP

Sebelum Bencana 49,46 53,77 52,94 42,27

Sekarang (Saat Survei) 55,14 55,62 56,03 47,96

78 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 107: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

TABEL 34: Persepsi Bangunan Dapur Aman di Kawasan Merapi,Sebelum Bencana & Sekarang

Persepsi Bangunan Dapur Aman ATLL ATL ATLH KONTROL

AMAN

Sebelum Bencana 100,00 95,42 91,33 94,44

Sekarang (Saat Survei) 93,89 94,86 92,57 93,33

TIDAK AMANSebelum Bencana n.a 2,50 3,67 1,11Sekarang (Saat Survei) 1,67 2,64 4,67 5,56

TBSebelum Bencana n.a 2,08 5,00 4,44Sekarang (Saat Survei) 1,67 2,64 4,67 5,56

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah) n.a = not available

n Keamanan DapurKeamanan bangunan dapur rupanya menjadi prioritas bagi para warga di seluruh wilayah cacah. Semua warga menyatakan bahwa dapur mereka merupakan bagian bangunan yang aman. Hal ini mengindikasikan bahwa dapur merupakan bagian yang penting bagi mereka, mengingat di wilayah pedesaan, sebagian kegiatan rumah tangga juga dilakukan di dalam dapur. Dapur juga merupakan ruang sosialisasi bagi semua anggota keluarga.

Di wilayah ATLL, semua rumah tangga (100%) menyatakan bahwa bangunan dapur mereka aman pada waktu sebelum bencana dan hanya mengalami penurunan sedikit pada saat penelitian ini dilakukan (93,89%). Sementara itu, di ATL 95,42% menyatakan aman, di ATLH 91,33%, dan di wilayah pembanding 95,04%. Setelah bencana, persentase ini mengalami sedikit penurunan dibandingkan dengan keadaan sebelumnya.

Kejadian letusan Merapi 2010 dan lahar hujan yang menyusulnya, ternyata telah menjadi momentum bagi warga yang terpapar bencana untuk memikirkan kembali soal keamanan rumah mereka, khususnya dapur. Boleh jadi juga, mutu bangunan di bagian dapur, bagi mereka yang baru membangun kembali rumahnya, ternyata tidak dapat dibangun seaman seperti sebelum bencana.

SEKTOR 1: Perumahan, Permukiman & Relokasi | 79

Page 108: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

TABEL 35: Persepsi Lokasi Rumah Warga Berdasarkan Kategori Kawasan Rawan Bencana (KRB) Merapi

Kategori Kawasan Rawan Bencana Merapi ATLL ATL ATLH KONTROL

KRB I (kerawanan rendah) 11,11 20,00 27,00 37,78

KRB II (kerawanan sedang) 23,33 32,78 23,67 0,00KRB III (kerawanan tinggi) 51,11 18,89 14,00 0,00Tidak Tahu 14,44 28,33 35,33 62,22

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

n Rumah dalam Konteks (Bencana) MerapiDalam konteks kebencanaan, keterpaparan merupakan salah satu unsur dalam menghitung tingkat risiko. Karena itu, dalam konteks bencana letusan dan lahar hujan Gunung Merapi, studi ini melihat rumah dalam hubungannnya dengan: (1) KRB; (2) jarak dengan puncak; (3) arah dari puncak; dan (4) jarak dengan sungai.

Gunung Merapi merupakan salah satu gunung berapi yang paling aktif di dunia saat ini. Dalam rentang waktu tertentu, gunung berapi termuda di selatan Pulau Jawa ini meletus dengan berbagai tingkatan dan intensitas. Sebagai satuan kawasan yang memiliki tingkat kerawanan terjadinya bencana, maka daerah di sekitar Merapi juga sudah dipetakan kawasan-kawasan yang rawan terhadap bencana gunung tersebut.

Berdasarkan Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi, ada tiga kawasan berdasarkan tingkat kerawanannya: KRB I (tingkat terendah), KRB II (tingkat sedang), dan KRB III (tingkat tertinggi, paling rawan).

Tabel di atas menunjukkan bahwa lebih dari separuh rumah tangga warga (51,11%) di wilayah ATLL memang tinggal di wilayah KRB III yang merupakan kawasan seputar Merapi yang memiliki tingkat ancaman tertinggi. Wilayah KRB III ini sebelumnya disebut sebagai ‘Daerah Terlarang’ dalam Peta Bahaya Gunung Api. Sebagian lain yang juga tinggal di KRB III adalah para warga di kategori wilayah ATL (18,89%) dan ATLH (14,00%). Dalam KRB II dan KRB I, juga banyak terdapat warga yang tinggal. Sebenarnya sebagian besar warga yang terdampak letusan atau lahar hujan (ATLL, ATL dan ATLH) mengetahui bahwa lokasi tempat tinggal mereka berada di kawasan rawan bencana. Dengan demikian mereka telah mengetahui risiko yang dapat terjadi pada tempat tinggal mereka.

80 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 109: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Gunung Merapi merupakan gunung yang wilayah sekitarnya memiliki tingkat hunian yang cukup tinggi, ditandai dengan banyaknya permukiman di lereng-lerengnya yang merupakan daerah rawan bahaya letusan. Di wilayah ATLL, 48,89% rumah warga ternyata bertempat tinggal di lokasi yang berjarak kurang dari 5 kilometer dari puncak gunung. Lebih jauh lagi, di kategori wilayah yang sama, masih ada 48,89% rumah tangga yang tinggal di rentang jarak 6-10 km dari puncak Merapi.

TABEL 36: Jarak & Arah Lokasi Rumah Warga dari Puncak MerapiSaat Letusan 2010 dan Lahar Hujan yang Menyusulnya

Jarak Rumah Warga dari Puncak Merapi ATLL ATL ATLH KONTROL

0-5 kilometer 48,89 8,19 9,33 0,00

6-10 kilometer 48,89 14,44 1,33 0,00

11-15 kilometer 2,22 28,33 6,67 0,00

16-20 kilometer 0,00 28,47 29,33 0,00

21-25 kilometer 0,00 6,39 26,00 1,11

26-39 kilometer 0,00 4,17 8,00 0,00

> 39 kilometer 0,00 10,00 19,33 98,89

Arah Lokasi Rumah Warga dari Puncak Merapi

Utara 0,00 1,39 1,67 8,89

Timur Laut 1,11 1,94 0,67 12,22

Timur 1,67 6,81 1,33 12,22

Tenggara 0,00 1,67 0,33 27,78

Selatan 96,67 61,94 36,00 4,44

Barat Daya 0,00 9,58 29,67 5,56

Barat 0,56 14,58 29,67 25,56

Barat Laut 0,00 2,08 0,67 3,33

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Sebagian besar rumah tangga yang terdampak langsung letusan tinggal di sebelah selatan Gunung Merapi, yakni 96,67%. Sebagian kecil lainnya tinggal di arah timur laut, timur, dan barat. Sejak semula, pemerintah --melalui BPPTK-- telah memperkirakan bahwa arah letusan 2010 akan dominan ke sektor selatan dan tenggara --yakni wilayah Kabupaten Sleman dan Klaten-- ketimbang ke sektor lain. Pasca letusan 2010, pemerintah memperkirakan bahwa arah letusan yang akan datang masih

SEKTOR 1: Perumahan, Permukiman & Relokasi | 81

Page 110: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

akan lebih banyak ke sektor selatan dan timur. Karena itu, arah lokasi tempat tinggal terhadap puncak Gunung Merapi menjadi penting untuk bahan pertimbangan pemerintah dan warga masyarakat sendiri.

Sementara itu, jarak rata-rata rumah warga yang tinggal di kawasan terdampak lahar hujan dengan sungai-sungai besar --sebagai saluran utama luberan atau banjir lahar Merapi-- adalah 324,5 meter. Jarak ini berada di dalam radius kawasan penyangga (buffer zone) yang disarankan oleh pemerintah, yakni pada bentangan antara 300-500 meter dari bantaran sungai-sungai besar seperti Kali Opak, Kali Kuning, Kali Gendol, dan Kali Putih.

TABEL 37: Jarak Rerata Lokasi Rumah Warga dari Bantaran Sungai-sungai Besar Saluran Utama Banjir Lahar Merapi

Jarak Rerata Rumah Warga dari Bantaran Sungai Besar ATLL ATL ATLH KONTROL

Jarak rata-rata (meter) 1.039,62 1.988,16 324,59 24.073,89

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Tabel tersebut memperlihatkan bahwa rumah warga di wilayah ATLH adalah yang paling dekat dengan bantaran sungai-sungai besar saluran lahar Merapi, yakni 324,6 meter, sehingga sebenarnya berada dalam kawasan penyangga yang disarankan oleh pemerintah untuk bebas dari hunian penduduk. Di tiga kategori kawasan lainnya (ATLL, ATL, dan wilayah pembanding), rumah-rumah warga rerata berada lebih dari 1 kolmeter dari bantaran sungai-sungai besar, sudah berada di luar kawasan penyangga.

Berdasarkan jarak lokasi rumah mereka dengan bantaran sungai-sungai besar tersebut, sebagian besar rumah warga di wilayah ATLL (51,67%), ATL (51,11%), dan ATLH (52,67%) menyadari bahwa lokasi tempat tinggal mereka memang tidak aman terhadap bencana. Sebaliknya, di wilayah pembanding, hanya sebagian kecil (16,67%) warga yang berpendapat bahwa lokasi tempat tinggal mereka juga termasuk tidak aman.

TABEL 38: Persepsi Warga tentang Aman Tidaknya Lokasi Rumah Merekadari Bencana Lahar Merapi

Persepsi Warga ATLL ATL ATLH KONTROL

Ya (Aman) 48,33 48,99 47.33 83,33

Tidak Aman 51,67 51,11 52,67 16,67

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

82 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 111: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Terbukti, pada kejadian letusan 2010 dan lahar hujan yang menyertainya, daerah-daerah yang rawan tersebut terkena ancaman-ancaman primer maupun sekunder. Wilayah yang paling banyak terkena adalah ATLL, disusul ATL, ATLH, dan terakhir wilayah pembanding yang juga terkena hujan kerikil, hujan pasir, dan hujan abu.

TABEL 39: Jenis Ancaman Bencana Merapi yang Menimpa Rumah-rumah Warga pada Peristiwa Letusan 2010 & Banjir Lahar yang Menyusulnya

Jenis Ancaman ATLL ATL ATLH KONTROL

Awan Panas 94,44 8,89 0.33 0,00

Lahar Panas 30,00 8,33 0,00 0,00

Lahar Hujan 15,00 19,03 20,33 0,00

Hujan Kerikil 80,00 76,94 69,33 3,33

Hujan Pasir 92,78 90,00 96,33 22,22

Hujan Abu 100,00 100,00 100,00 85,56

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

n Penyelematan Rumah sebagai Aset &Gangguan Akses ke/dari RumahDalam upaya penanggulangan bencana, aset merupakan hal pokok yang menjadi perhatian. Pengurangan risiko bencana pada dasarnya adalah pengurangan risiko terhadap aset. Studi ini juga ingin mengetahui bagaimana persepsi warga terpapar bencana Merapi tentang prioritas penyelamatan asset mereka.

TABEL 40: Persepsi Warga di Kawasan Merapi tentang Aset Terpenting Mereka untuk Diselamatkan Saat Bencana Terjadi

Jenis Aset ATLL ATL ATLH KONTROL

Anggota keluarga 55,83 60,94 60.81 60,35

Aset ekonomi 35,69 35,83 36,83 33,58

Rumah dan prasarana 8,13 2,22 1,71 2,24

Aset sosial budaya 0,35 0,55 0,43 0,75

Lingkungan hidup sekitar 0,00 0,46 0,00 0,31

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

SEKTOR 1: Perumahan, Permukiman & Relokasi | 83

Page 112: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Saat menjelang terjadinya letusan dan lahar dingin, para warga menempatkan rumah dan prasarana sebagai prioritas ketiga untuk diselamatkan. Aset lain yang lebih penting adalah nyawa dan aset ekonomi. Termasuk di dalam aset ekonomi ini adalah ternak dan barang-barang lainnya. Namun demikian, karena rumah memiliki dimensi sosial ekonomi dan budaya, maka tetap diperlukan upaya-upaya untuk pengurangan risikonya. Rumah tidak dapat dipindah-pindahkan. Yang dapat dilakukan adalah memperkuat rumah sehingga mampu menghadapi ancaman-ancaman. Tentu saja rumah tidak dapat diharapkan mampu menghadapi gelontoran lahar panas maupun lahar dingin, namun masih dapat diandalkan --jika struktur dan bahannya cukup kuat dan baik-- untuk berlindung dari hujan abu, hujan kerikil, dan hujan pasir.

n Gangguan Akses ke/dari Permukiman

Letusan Merapi 2010 dan lahar hujan yang menyusulnya telah menyebabkan terganggunya akses dari dan ke wilayah terdampak. Di wilayah ATLL, 95,56% warga merasakan terputusnya akses dari dan ke wilayah permukiman mereka, terutama disebabkan oleh timbunan material letusan dan pohon-pohon yang roboh. Di wilayah ATL, 51,25% warga menyatakan bahwa keterjangkauan (aksesibilitas) dari/ke wilayah permukiman mereka sempat terputus karena timbunan material dan pepohonan tumbang.

TABEL 41: Gangguan Akses ke/dari Permukiman Warga Terpapar Bencana Letusan Merapi 2010

Gangguan Akses & Penyebabnya ATLL ATL ATLH KONTROL

Sempat Terputus 95,56 51,25 68.00 0,00

PENYEBAB:

Jalan tertimbun 42,21 37,30 23,14 0,00

Jalan terhalang pohon tumbang 47,75 51,23 38,84 0,00

Tanah longsor 5,88 4,51 2,89 0,00

Lain-lain 4,15 6,97 35,12 0,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

84 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 113: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

n Meninggalkan Tempat Tinggal Menuju Pengungsian

Pada saat letusan Merapi 2010 dan lahar hujan yang menyusulnya, seluruh anggota keluarga warga di wilayah ATLL mengungsi. Sebanyak 41,67% melakukan pengungsian di luar kecamatan, 19,01% melakukan pengungsian di dalam wilayah desa, 27,86% melakukan pengungsian ke luar desa. Pola yang sama juga terjadi di wilayah ATL. Dengan demikian, kecamatan-kecamatan tertentu menjadi kecamatan penyangga atau penampung pengungsi. Di wilayah ATLH, sebagian besar warga melakukan pengungsian masih di dalam wilayah kecamatan yang sama. Adanya kecamatan atau desa penyangga penting untuk diperhitungkan dalam perencanaan evakuasi dalam setiap rencana darurat (contingency plan) menghadapi bencana.

TABEL 42: Daerah Tujuan Pengungsian Warga Terpapar Bencana Letusan Merapi 2010

Daerah Tujuan ATLL ATL ATLH KONTROL

Dalam desa sendiri 19,01 10,84 10,98 0,00

Luar Desa 27,86 10,15 13,72 0,00

Luar Kecamatan 41,67 46,31 9,45 0,00

Luar Kabupaten 8,07 14,57 7,62 0,00

Provinsi Lain 3,39 5,72 53,05 0,00

Tidak ada yang mengungsi 0,00 5,72 53,05 100,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Di mana para pengungsi tinggal untuk sementara?

Di wilayah ATLL, warga pengungsi umumnya (38,10%) terpusat di gedung-gedung umum --perkantoran atau sekolah-sekolah-- dan barak-barak khusus pengungsian yang sudah disiapkan oleh pemerintah (34,52%). Di wilayah ATL, pengungsian warga umumnya adalah di rumah-rumah keluarga atau kerabat (36,69%) dan gedung-gedung perkantoran atau sekolah setempat (36,69%). Hanya sebagian kecil di barak pengungsian (11,61%). Berbeda halnya di wilayah ATLH di mana sebagian terbesar (61,62%) mengungsi di rumah keluarga, baik di desa yang sama maupun di luar desa, dan sedikit sekali yang tinggal di barak pengungsian (4,11%).

SEKTOR 1: Perumahan, Permukiman & Relokasi | 85

Page 114: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

TABEL 43: Tempat Tinggal Sementara Pengungsian Warga Terpapar Bencana Letusan Merapi 2010

Tempat Pengungsian ATLL ATL ATLH KONTROL

Ada tempat 100,00 87,00 57,94 0,00

TEMPAT PENGUNGSIAN

Rumah keluarga 7,44 36,69 61,64 0,00

Rumah teman/tetangga 3,27 4,11 1,37 0,00

Rumah lainnya 10,12 6,52 5,48 0,00

Tempat ibadah 5,06 2,41 5,48 0,00

Kantor/sekolah 38,10 36,69 19,18 0,00

Tenda penampungan 0,89 0,57 0,00 0,00

Barak pengungsian 34,52 11,61 4,11 0,00

Tenda di luar penampungan 0,00 0,28 1,37 0,00

Ruang terbuka 0,30 0,42 1,37 0,00

Kos/kontrak 0,30 0,71 0,00 0,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Dari seluruh pengungsi, hanya sedikit yang melakukan pengungsian di barak pengungsian. Di ATLL hanya 34,52%, di ATL hanya 11,61%, dan di ATLH hanya 4,11%. Mengingat luasan area terdampak dan jumlah pengungsi yang luar biasa besar, barak pengungsian memang tidak dapat menampung keseluruhan pengungsi. Selain itu, selera warga untuk tinggal sementara tidak dapat dipaksakan.

n Rehabilitasi & RekonstruksiBencana letusan Merapi 2010 dan lahar hujan yang menyusulnya telah mengakibatkan kerusakan dan kerugian sebesar Rp 3,6 triliun dengan rincian: DI Yogyakarta sebesar Rp 2,1 triliun dan Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp 1,5 triliun, termasuk kerusakan dan kerugian di bidang permukiman sebesar Rp 580,8 miliar di DIY dan Rp 1,5 miliar di Provinsi Jawa Tengah.

86 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 115: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

TABEL 44: Perhitungan Kerusakan dan Kerugian Bencana Merapi 2010di DI Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah (Rp)

Sektor ProvinsiDI Yogyakarta

ProvinsiJawa Tengah

Permukiman 580.820.540.000 45.830.600/000

Prasarana 215.292.790.000 491.179.310.000

Ekonomi Produktif 803.551.990.000 888.959.180.000

Sosial 51.243.610.000 61.228.590.000

Lintas Sektor 479.539.000.000 75.000.000.000

JUMLAH 2.141.437.930.000 1.487.272.680.000

Sumber: BNPB (2010)

Kerugian di sektor permukiman mencakup kerusakan rumah warga sejumlah 2.613 unit. Di wilayah DIY, rumah warga yang rusak berat adalah 368 unit dengan nilai kerugian sebesar Rp 555.820.554.000.

TABEL 45: Jumlah Rumah Warga yang Rusak Akibat Bencana Merapi 2010di DI Yogyakarta & Povinsi Jawa Tengah menurut Kabupaten

Kabupaten Rusak Berat Rusak Sedang Rusak Ringan

AKIBAT LETUSAN

Sleman 2.613 156 632

Magelang 368 745 2.121

Klaten 117 54 12

Boyolali 21 90 221

AKIBAT LAHAR HUJAN

Sleman 0 0 0

Magelang 664 0 0

Klaten 0 0 0

Boyolali 0 0 0

JUMLAH 3.783 995 2.986

Sumber: BNPB (2010)

SEKTOR 1: Perumahan, Permukiman & Relokasi | 87

Page 116: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Sementara itu, berdasarkan data kerusakan akibat letusan, jumlah rumah rusak yang diusulkan untuk direlokasi adalah sebanyak 2.856 unit, baik di wilayah DIY maupun Jawa Tengah. Secara khusus, studi ini menunjukkan bahwa bencana letusan dan lahar hujan telah menyebabkan sebagian rumah di wilayah cacah mengalami kerusakan. Di wilayah ATLL, 76,11% rumah mengalami kerusakan berat atau hancur, sementara 21,11% mengalami kerusakan ringan. Di wilayah ATL, 8,47% mengalami rusak berat dan 32,78% mengalami rusak ringan.

TABEL 46: Persentase Rumah Warga yang Rusak Akibat Bencana Merapi 2010menurut Kategori Wilayah Terdampak

Tingkat Kerusakan ATLL ATL ATLH KONTROL

Rusak Berat/Hancur 75,11 8,47 0,33 0,00

Rusak Ringan 21,11 32,78 6,33 4,44

Tidak Rusak 2,78 58,75 93,33 95,56

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

n Kebijakan & Program Perumahan dan Permukiman

Di dalam dokumen rencana rehabilitasi dan rekonstruksi dikatakan bahwa pokok-pokok kebijakan yang terkait dengan perumahan dan permukiman meliputi:

(a) Penetapan Kawasan Rawan Bencana (KRB) Erupsi Gunung Merapi yang ditetapkan menurut tingkat kerawanan tinggi (KRB III), sedang (KRB II), dan rendah (KRB I), meliputi wilayah-wilayah yang terkena dampak langsung letusan Gunung Merapi pada bulan Oktober dan November 2010 maupun yang berpotensi terkena dampak letusan Gunung Merapi;

(b) Penyesuaian Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang termasuk dalam Kawasan Rawan Bencana Letusan Gunung Merapi;

(c) Pengalihan status pemanfaatan ruang wilayah pada Kawasan Rawan Bencana --yang terkena dampak langsung dan tidak langsung letusan Gunung Merapi-- menjadi kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Merapi dalam upaya pengurangan risiko bencana;

(d) Relokasi penduduk dari wilayah Kawasan Rawan Bencana (KRB) III

88 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 117: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

yang terkena dampak langsung letusan Gunung Merapi dan telah ditetapkan sebagai kawasan tidak layak huni;

(e) Pembangunan perumahan dan permukiman pada lokasi relokasi yang telah ditetapkan untuk menampung masyarakat korban bencana letusan Gunung Merapi;

(f) Pembangunan prasarana publik pada lokasi relokasi.

Namun demikian, dalam praktiknya ada banyak tantangan dalam pelaksanaan di lapangan. Misalnya, dalam wilayah KRB III tidak disarankan untuk digunakan sebagai kawasan hunian tetap dan pada keadaan terjadi peningkatan status bahaya Merapi, warga di KRB III diprioritaskan untuk mengungsi. Namun sampai saat laporan ini disusun, masih ada ratusan keluarga yang memilih tetap tinggal di kawasan terlarang tersebut. BNPB sendiri mencatat sampai 31 Desember 2012, di wilayah DIY --khususnya di Kabupaten Sleman-- masih ada 656 kepala keluarga yang menolak relokasi. Sedangkan di wilayah Jawa Tengah, masih tercatat 238 keluarga di Kabupaten Magelang dan 165 keluarga di Kabupaten Klaten yang menolak rencana relokasi mereka.8

8 http://www.aktual.co/nusantara/090702bnpb-warga-lereng-merapi-menolak-relokasi-harus-ikuti-konsep-living-in-harmony

Usulan Rencana RelokasiLokasi hunian tetap di DI Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah direkomendasikan untuk memenuhi kriteria sebagai berikut:1. Kriteria Utama:

a. Aman dari kerawanan bencana gunung api (berdasarkan Peta Kawasan Rawan Bencana yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM).

b. Lahan mempunyai kemiringan maksimum 30%.c. Berada di kawasan budidaya di luar permukiman dan tanah

garapan aktif (sawah, perkebunan, dan lain-lain) yang ditetapkan di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten terdampak.

d. Berada di kecamatan yang sama (pertimbangan karakteristik sosial ekonomi).

SEKTOR 1: Perumahan, Permukiman & Relokasi | 89

Page 118: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

2. Kriteria Penunjang:a. Tersedianya air baku.b. Tersedianya jaringan prasarana.c. Kemudahan pembebasan lahan.d. Tersedianya luasan lahan minimal untuk perumahan.

Berdasarkan kebijakan penataan ruang terhadap kawasan rawan bencana, maka kebijakan relokasi merupakan pendekatan rehabilitasi dan rekonstruksi dengan mempertimbangkan aspek sebagai berikut:1. Masyarakat harus difasilitasi untuk berdialog dengan

pemerintah sebagai regulator dan pengambil keputusan.2. Kebijakan ganti rugi lahan harus ditetapkan sebelum berdialog

dengan masyarakat.3. Masyarakat, melalui pertimbangan yang seksama berdasarkan

keselamatan, masih diperkenankan menggarap lahan miliknya pada KRB III.

4. Lokasi hunian tetap (pada daerah relokasi) masih diperkenankan pada KRB II dengan tetap memerhatikan daya dukung, daya tampung, dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam mitigasi bencana.

5. Delineasi hunian tetap diperluas dengan memerhatikan daya dukung, daya tampung dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam mitigasi bencana.

6. Sumber pendanaan relokasi dan ganti rugi lahan diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat.

7. Relokasi diselenggarakan dengan memerhatikan kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.

Sampai dengan pelaksanaan studi ini, lebih dari separuh rumah yang rusak berat/hancur di wilayah ATLL telah atau sudah diperbaiki (54,29%), di wilayah ATL sebanyak 75,42%, di wilayah ATLH sebanyak 75%, dan di wilayah pembanding sebanyak 50%. Upaya perbaikan rumah ini sebagian terbesar dilakukan dengan dukungan dari pemerintah (41,67%), sebagian yang lain dilakukan bersama-sama dengan masyarakat setempat (27,86%), dan dilakukan sendiri (19,01%). Sementara itu dukungan dari LSM, baik lokal maupun internasional, masing-masing sebanyak 8,07% dan 3,39%.

90 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 119: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Untuk rumah-rumah yang tidak atau belum diperbaiki, kemungkinan karena memang belum tersentuh program rekonstruksi perumahan.

TABEL 47: Rumah Warga yang Sudah Diperbaiki di Kawasan Bencana Merapi 2010 dan Pihak yang Memberikan Dukungan Bantuan

Rumah yang Diperbaiki & Pihak yang Mendukung ATLL ATL ATLH KONTROL

Rumah yang diperbaiki 54,29 75,42 75,00 50,00

PIHAK YANG MEMBANTU:

Sendiri (swadaya) 19,01 11,50 23,38 14,40

Warga setempat 27,86 10,76 29,02 16,55

Pemerintah 41,67 49,13 20,13 44,62

LSM lokal 8,07 15,46 16,23 13,78

LSM internasional 3,39 13,16 11,04 10,65

Lembaga internasional lainnya 0,00 0,00 0,00 0,00

Lainnya 0,00 0,00 0,00 0,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Peran masyarakat dalam upaya perbaikan perumahan mendapat dukungan dengan adanya modal sosial berupa gotong royong. Di seluruh wilayah terdampak, kebiasaan gotong royong masih dilakukan dengan tingkat keikutsertaan warga yang cukup tinggi. Sebagian besar warga di seluruh wilayah terdampak mengatakan bahwa mereka sangat sering ataupun sering mengikuti kegiatan gotong royong.

TABEL 48: Tingkat Keikutsertaan Warga dalam Gotong royong Membangun Kembali Rumah Rusak di Kawasan Bencana Merapi 2010

Tingkat Keikutsertaan ATLL ATL ATLH KONTROL

Sangat sering 17,22 12,38 14,67 16,57

Sering 68,89 77,75 72,33 67,78

Jarang 12,78 7,51 11,67 8,89

Sangat jarang 0,00 0,56 0,33 2,22

Tidak pernah 1,11 1,81 1,00 4,44

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

SEKTOR 1: Perumahan, Permukiman & Relokasi | 91

Page 120: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Selain itu, tingkat kerelawanan warga dalam tindakan kemanusiaan juga cukup tinggi, baik sebelum maupun pada saat bencana terjadi. Memang terjadi penurunan kerelawanan dalam tindakan kemanusiaan tersebut, namun tampaknya tidak cukup signifikan.

TABEL 49: Keadaan Kerelawanan Warga di Kawasan Bencana Merapi 2010

Keadaan Kerelewanan ATLL ATL ATLH KONTROL

DIBANDING SEBELUM BENCANA LETUSAN 2010

Meningkat 35,56 31,25 32,33 31,11

Sama saja 46,11 63,06 62,33 64,44

Menurun 18,33 5,69 5,33 4,44

DIBANDING SAAT BENCANA LETUSAN 2010

Meningkat 42,22 32,64 28,67 23,33

Sama saka 35,67 58,89 66,67 76,67

Menurun 21,11 8,47 4,67 0,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Adanya modal sosial berupa gotong royong ini cukup berharga dalam upaya-upaya pembangunan kembali perumahan warga korban bencana.

TABEL 50: Kegiatan/Pekerjaan yang Biasanya Dilakukan dengan Gotong royong Warga di Kawasan Bencana Merapi 2010

Kegiatan/Pekerjaan ATLL ATL ATLH KONTROL

Pembangunan prasarana dan sarana umum 21,61 18,82 17,53 16,25

Pembangunan rumah warga 14,51 14,79 17,60 16,25

Pernikahan warga desa 14,67 15,43 15,39 16,25

Pemakaman warga desa 14,51 17,33 17,53 17,75

Pembersihan lingkungan 24,45 21,83 20,40 21,00Peringatan hari besar nasional dan agama 9,94 11,34 11,49 12,25

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

92 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 121: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

SEKTOR 1: Perumahan, Permukiman & Relokasi | 93

n Pemberian Bantuan HunianMenurut PERKA BNPB Nomor 7 Tahun 2008, hunian merupakan salah satu bantuan yang harus diberikan untuk pemenuhan kebutuhan dasar.

TABEL 51: Jenis Bantuan dari Semua Pihak yang Pernah Diterima Wargadi Kawasan Bencana Merapi 2010

Jenis Bantuan ATLL ATL ATLH KONTROL

Sandang 34,21 38,62 23,84 0,00

Bahan pangan 35,41 45,79 35,34 0,00

Bahan perumahan 27,78 8,04 6,94 0,00

Lainnya 0,40 0,75 2,08 0,00

Tidak pernah ada bantuan 0,20 6,69 30,79 100,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Seperti terbaca pada tabel di atas, ada satu desa di wilayah ATLL yang belum menerima bantuan sama sekali (20%). Seluruh desa di wilayah pembanding tidak pernah menerima bantuan sama sekali. Khusus untuk jenis bantuan bahan bangunan atau perumahan, pernah diterima oleh 12,13% atau sekitar 285 dari total 1.290 keluarga. Terbanyak di ATLL, yakni 148 keluarga, karena tingkat kerusakan perumahan warga di wilayah ATLL memang paling banyak dan paling menonjol.

Pada umumnya, bantuan-bantuan tersebut diterima warga masyarakat dengan mudah. Di wilayah ATLL, 94,97% warga mengatakan bahwa bantuan mudah diterima, di wilayah ATL 96,67%, dan di wilayah ATLH 95,21%. Lebih dari itu, 93,30% warga di ATLL, 86,69% di wilayah ATL, dan 88,02% di ATLH mengatakan bahwa bantuan tersebut memang dibutuhkan oleh warga.

Program Rehabilitasi dan Rekonstruksi telah tersalurkan ke 66,67% desa di wilayah ATLL dan terdapat 33,33% desa yang mendapatkan bantuan perumahan. Sementara itu, di ATL ada 19,05% desa mendapatkan bantuan program rehabilitasi dan rekonstruksi, 4,76% di antaranya adalah dalam bentuk bantuan bahan bangunan atau perumahan. Di ATLH, terdapat 12,50% desa mendapatkan bantuan perumahan.

Page 122: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

TABEL 52: Persentase Desa yang Menerima Bantuan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Perumahan dari BNPB/BPBD di Kawasan Bencana Merapi 2010

Jenis Bantuan ATLL ATL ATLH KONTROL

Ada program RR dari BNPB/BPBD 66,67 19,05 0,00 0,00

Ada bantuan rehabilitasi & rekonstruksi rumah warga 33,33 4,76 12,50 0,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

n Saran-saran1. Pembangunan perumahan pasca bencana harus memperhitungkan

aspek-aspek ketangguhan dengan menyadari bahwa lokasi tempat tinggal ada di daerah rawan bencana gunung api dan lahar hujan.

2. Perlunya penguatan bangunan rumah warga yang ada di wilayah rawan bahaya gunung berapi, sehingga aset-aset penting warga yang berada di dalam rumah dapat lebih terlindungi.

3. Pentingnya peningkatan kapasitas bagi warga untuk upaya-upaya kesiapsiagaan, mengingat ada sebagian besar warga yang bertempat tinggal di wilayah yang rawan bencana.

4. Perlunya meningkatkan sumberdaya masyarakat, terutama pengembangan kebiasaan gotong royong, untuk mendukung upaya kesiapsiagaan dan pemulihan pasca bencana. v

94 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 123: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

SEKTOR 1: Perumahan, Permukiman & Relokasi | 95

Usaha swadaya warga bergotong royong mengumpulkan dan mengangkut bahan-bahan bangunan untuk membangun kembali rumah-rumah mereka yang rusak akibat bencana Merapi 2010 di dua desa yang termasuk paling parah terpapar bencana tersebut.

GAMBAR ATAS: Di Dusun Keningar, Kecamatan Dukun, Magelang, Jawa Tengah, di sisi barat laut Gunung Merapi.<FOTO: SALEH ABDULLAH, TRK INSIST>

GAMBAR BAWAH: Di Desa Balerante, Kecamatan Kemalang, Klaten, Jawa Tengah, di sisi tenggara Gunung Merapi.<FOTO: SUMINO MANTO, TRK LPTP>

Page 124: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

PEMULIHAN TERCEPAT

Memanfaatkan bahan-bahan bekas yang ada, hanya dalam waktu 4 hari, pembangunan kembali rumah Mbah Ngatemin --seorang kakek tunanetra warga Dusun Keningar, Dukun, Magelang, Jawa

Tengah (GAMBAR KIRI BAWAH PADA HALAMAN SEBELAH)-- berhasil dirampungkan. Segera setelah kembali dari pengungsian, pada bulan

April 2011, puluhan lelaki dewasa warga dusun itu bergiliran setiap hari membongkar dan membangun kembali rumah Mbah Ngatemin.

Hasilnya adalah satu ‘rumah baru’ yang sangat layak (GAMBAR ATAS DAN KANAN BAWAH PADA HALAMAN SEBELAH), jauh lebih

baik dari rumah lama yang rusak akibat letusan Merapi pada bulan Oktober 2010 (GAMBAR ATAS).

<FOTO-FOTO: EDI KUSMAEDI, TRK INSIST>

96 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 125: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

SEKTOR 1: Perumahan, Permukiman & Relokasi | 97

Page 126: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

DESA SINDUMARTANI, KALASAN, SLEMAN, YOGYAKARTA, 29 Januari 2012. Tampakan dari udara (aerial view) saluran pengairan sekunder dan jalan desa sepanjang saluran tersebut di salah satu dusun yang telah diperbaiki dan berfungsi kembali setelah sempat rusak dan tertutup endapan debu letusan Merapi 2010. Selain jalan dan jembatan, saluran pengairan adalah prasarana dasar yang paling penting dipulihkan di satu daerah bencana.

<FOTO: BETA PETTAWARANIE, TRK INSIST>

Page 127: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

PRASARANA DASAR

Istiarsi Saptuti Sri KawuryanEdy PurwantoNaibul Umam Eko Sakti

SEKTOR 2

99

Berdasarkan hasil Penilaian Kerusakan dan Kerugian per tanggal 31 Desember 2010, bencana letusan Merapi 2010 telah menimbulkan

kerusakan dan kerugian di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp 3,6 triliun. Khusus untuk sektor prasarana dasar, kerugiannya mencapai Rp 707,4 miliar atau 19,49% dari total kerugian. Kerusakan terutama terjadi pada prasarana transportasi darat (jalan dan jembatan) dan sumberdaya air (bendungan dan saluran irigasi). Untuk pemulihan sektor prasarana dasar ini dibutuhkan dana sebesar Rp 417,6 miliar, masing-masing Rp 102,3 miliar untuk Daerah Istimewa Yogyakarta dan Rp 315,3 miliar untuk Provinsi Jawa Tengah.

Rata-rata kerugian dan kerusakan atau penurunan sektor prasarana di empat kabupaten terdampak mencapai 13,18%, tertinggi di Kabupaten Boyolali (30,34%) dan terendah di Kabupaten Magelang (6%). Dengan kata lain, bencana letusan Merapi 2010 tidak menghancurkan seluruh prasarana dasar di empat kabupaten tersebut, hanya sekitar seperlimanya saja. Namun, pada saat survei ini dilaksanakan, pemulihan sektor prasarana dasar tersebut di empat kabupaten baru mencapai 25,27%. Hal ini menunjukkan bahwa sekalipun upaya pemulihan prasarana sudah banyak dilakukan, namun warga korban bencana umumnya menilai upaya pemulihan tersebut belum berhasil.

Pelaksanaan program atau bantuan untuk pemulihan prasarana transportasi darat (jalan dan jembatan), paling banyak dilakukan di ATLL (66,67%). Bandingkan dengan wilayah ATL (47,62%) dan ATLH (12,50%). Pelaksanaan program bantuan untuk pemulihan prasarana air dan sanitasi terbanyak di lakukan di ATLL (33,33%), lebih besar dibandingkan dengan di ATL (28,57%), sementara di ATLH nihil (0,00%). Adapun pelaksanaan program atau bantuan pemulihan prasarana sumberdaya air berupa bendungan paling besar diterima di ATLH (25,00%), kemudian di ATL (14,29%) dan ATLL nihil (0,00%).

Berikut adalah gambaran umum pelaksanaan program bantuan pemulihan sektor prasarana di empat kabupaten terdampak.

Page 128: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

100 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

n Kabupaten SlemanProgram pemulihan prasarana dasar di kabupaten ini meliputi rehabilitasi jalan provinsi (2 ruas), rehabilitasi jembatan provinsi (3 unit), rehabilitasi jalan kabupaten (6 ruas), rehabilitasi jaringan irigasi, perbaikan sungai (6 lokasi), pengadaan pipa transmisi diameter 100-150 mm, dan pengadaan pipa tersier diameter 50-75 mm.

Hasil upaya pemulihan prasarana dasar tersebut baru membaik 24,11% (dari sesaat setelah bencana --yang merosot 20,28% dari sebelum bencana-- sampai saat survei dilaksanakan) menunjukkan bahwa selama dua tahun setelah letusan Merapi 2010, prasarana dasar di wilayah terdampak justru belum membaik. Artinya realisasi pemulihan prasarana dari Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Letusan Merapi di Kabupaten Sleman belum membuahkan hasil sehingga perlu dikaji secara lebih komprehensif penyebabnya.

n Kabupaten MagelangDari 20 pekerjaan konstruksi pemulihan prasarana dasar di kabupaten ini, hasilnya sampai saat survei ini dilaksanakan adalah: 12 pekerjaan sudah mencapai 100%, 7 pekerjaan antara 50-100%, dan 1 pekerjaan masih kurang dari 50%. Sehingga, rata-rata penyelesaiannya adalah 93,75%. Semuanya adalah pekerjaan perbaikan jalan dan jembatan, terdiri dari 15 pekerjaan perbaikan jalan dan 5 pekerjaan perbaikan jembatan.

Hasil upaya pemulihan prasarana ini, secara umum, dapat dikatakan sudah mencapai 100% (dari sesaat setelah bencana --yang menurun hanya 6% dari sebelum bencana-- sampai saat survei dilaksanakan) menunjukkan tingkat kerusakan prasarana di kabupaten ini memang nisbi ringan, sehingga lebih mudah dan dengan cepat pula dapat dipulihkan seperti sediakala.

n Kabupaten KlatenUpaya pemulihan prasarana dasar di kabupaten ini mencakup sembilan paket pekerjaan konstruksi. Secara keseluruhan, kemajuan penyelesaian pekerjaannya mencapai rata-rata 17,62%. Kemajuan penyelesaian pekerjaan yang sangat rendah ini terutama karena keterlambatan pengadaan bahan dan peralatan, sehingga pekerjaan praktis baru dimulai awal September 2012. Tetapi, karena tingkat kerusakan prasarana di kabupaten ini nisbi kecil, hanya sekitar 6% (sama seperti Magelang), maka hasil upaya pemulihan prasarana tersebut pada dasarnya sudah

Page 129: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

SEKTOR 2: Prasarana Dasar | 101

mencapai 100%. Dengan kata lain, secara umum keadaan prarasana dasar di kabupaten ini sudah pulih seperti sediakala.

n Kabupaten BoyolaliAda sembilan paket pekerjaan konstruksi dalam upaya pemulihan prasarana dasar di kabupaten ini. Kemajuan penyelesaiannya adalah rata-rata 62,84%. Secara lebih rinci, satu pekerjaan sudah selesai, sementara perbaikan jembatan (7 lokasi) dan perbaikan jalan (1 lokasi) rata-rata sudah selesai kurang dari 50%. Perbaikan Jembatan Taring Jalur Evakuasi Kecamatan Cepogo baru mencapai 17,12%.

Secara keseluruhan, upaya pemulihan prasarana dasar di kabupaten ini baru mencapai 26,37% (dari sesaat setelah bencana --yang menurun 30,34% dari sebelum bencana-- sampai saat survei dilaksanakan) menunjukkan tingkat kerusakan prasarana yang terjadi memang cukup berat, sehingga belum sepenuhya pulih seperti sediakala.

n Hasil Pemantauan Menurut Kategori Area TerdampakPemantauan upaya pemulihan prasarana dasar menurut kategori area terdampak adalah meliputi proporsi desa yang menyatakan adanya kerusakan jalan, jembatan, bendungan, dan saluran irigasi. Selain keadaan atau tingkat kerusakan (berat, sedang, ringan), pemantauan ini juga mengamati keadaan pemulihannya, yakni prasarana yang sudah diperbaiki pada setiap kategori area terdampak.

TABEL 53: Jenis Kerusakan Prasarana Dasardi Daerah Terdampak Bencana Merapi 2010

Jenis Prasarana

ATLL ATL ATLH KONTROL JUMLAH

n % kerusakan n %

kerusakan n % kerusakan n %

kerusakan n % kerusakan

Jalan 3 100,00 21 52,38 8 25,00 3 0,00 35 45,71

Jembatan 3 66,67 21 61,90 8 50,00 3 0,00 35 54,29

Bendungan 3 100,00 20 50,00 8 37,50 3 0,00 34 47,06

Saluran irigasi 1 100,00 19 57,89 8 37,59 3 0,00 31 48,39

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)Keterangan: Di ATLL, satu desa tidak memiliki saluran irigasi; di ATL, tiga desa tidak memiliki saluran irigasi dan satu desa tidak memiliki bendungan.

Page 130: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Tabel di atas menunjukkan dari semua desa yang disurvei ada 45,71% desa menyatakan adanya kerusakan jalan, 54,29% desa menyatakan adanya kerusakan jembatan, 47,06% desa menyatakan adanya kerusakan bendungan dan 48,39% desa menyatakan adanya kerusakan saluran irigasi.

Dari 45,71% desa yang menyatakan adanya kerusakan jalan, tertinggi di ATLL (100%), diikuti ATL (52,38%) dan ATLH (25%). Dari 54,29% desa yang menyatakan adanya kerusakan jembatan; tertinggi di ATLL (66,67%), di ATL (61,90%), di ATLH (50%). Hal tersebut mengindikasikan bahwa gangguan aksesibilitas --yang potensial mengganggu aktivitas bekerja, sekolah, dan layanan kesehatan-- yang tertinggi adalah di ATLL dibanding wilayah ATL dan ATLH. Karena itu, upaya pemulihan aksesibilitas di ATLL harusnya lebih tinggi dibanding ATL dan ATLH.

Sama halnya dengan kerusakan prasarana bendungan dan saluran irigasi. Dari 47,06% desa yang menyatakan adanya kerusakan bendungan, kerusakan tertinggi juga terjadi di ATLL (100%), diikuti ATL (50%), dan terendah di ATLH (37,5%). Dari 48,39% desa yang menyatakan adanya kerusakan irigasi, juga tertinggi di ATLL (100%), di ATL (57,89%), dan terendah di ATLH (37,5%). Dengan kata lain, terjadi gangguan serius dalam usaha pertanian yang sumber pengairannya dari bendungan dan saluran irigasi rusak akibat letusan Merapi 2010 di ATLL dibanding di ATL dan ATLH. Sehingga, upaya pemulihan kehidupan terkait usaha pertanian di ATLL juga semestinya lebih tinggi daripada di ATL dan ATLH.

TABEL 54: Tingkat Kerusakan & Tingkat Pemulihan Prasarana Dasardi Desa-desa Kawasan Merapi yang Mengalami Kerusakan

Jenis Prasarana % kerusakan ringan

% kerusakan berat

% sudah diperbaiki

Jalan 8,77 14,03 10,17

Jembatan 6,80 30,54 15,46

Bendungan 7,63 26,23 4,03

Saluran irigasi 10,66 18,60 8,49

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

102 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 131: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Tabel di atas menunjukkan dari 45,71% desa yang menyatakan mengalami kerusakan prasarana jalan, 8,77% menyatakan tingkat kerusakannya ringan, 14,03% menyatakan tingkat kerusakannnya berat, dan 10,17% menyatakan kerusakannya sudah diperbaiki. Hal ini menunjukkan bahwa gangguan aksesibilitas dan komunikasi antar wilayah terkait kerusakan jalan masih nisbi tinggi. Demikian pula halnya dengan tingkat kerusakan prasarana jembatan. Dari 54,29% desa yang menyatakan mengalami kerusakan jembatan, 6,80% menyatakan tingkat kerusakannya ringan, 30,54% menyatakan tingkat kerusakannya berat, dan 15,46% menyatakan sudah diperbaiki. Bersamaan dengan tingkat kerusakan prasarana jalan tadi, maka tingkat kerusakan prasarana jembatan ini --yang juga nisbi masih tinggi-- adalah potensial menghambat upaya pemulihan kegiatan sosial, ekonomi, dan pemerintahan di desa-desa korban bencana letusan Merapi 2010.

Tabel tadi juga memperlihatkan bahwa dari 47,06% desa yang menyatakan adanya kerusakan prasarana bendungan, 7,63% menyatakan tingkat kerusakannya ringan, 26,23% menyatakan tingkat kerusakannya ringan, dan 4,03% menyatakan sudah diperbaiki. Selanjutnya, dari 48,39% desa yang menyatakan adanya kerusakan prasarana saluran irigasi, 10,66% menyatakan tingkat kerusakannya ringan, 18,60% menyatakan tingkat kerusakannya berat, dan 8,49% menyatakan kerusakannya sudah diperbaiki. Dengan kata lain, tingkat kerusakan prasarana bendungan saluran irigasi pada desa-desa terdampak bencana letusan Merapi 2010 sebenarnya masih nisbi tinggi, sehingga potensial masih menghambat pemulihan kehidupan sektor pertanian yang merupakan lapangan penghidupan utama penduduk setempat.

Secara keseluruhan terlihat bahwa tingkat kerusakan berat pada semua prasarana dasar tersebut memang lebih tinggi dibanding dengan tingkat kerusakan ringan yang dialaminya, sementara upaya pemulihannya (sudah diperbaiki) juga justru lebih rendah lagi. Upaya pemulihan tertinggi adalah prasarana jembatan (15,46%), sedangkan yang terendah adalah tingkat pemulihan prasarana bendungan (4,03%). Hal tersebut mengindikasikan bahwa kerusakan berat dan ringan empat jenis prasarana dasar di semua area terdampak baru sebagian kecil yang sudah diperbaiki, maka upaya pemulihan prasarana yang nisbi lambat ini berdampak pada tingginya gangguan pemulihan aksesibilitas penduduk yang terkait langsung dengan pemulihan sosial ekonomi mereka. Padahal, jelas sekali, upaya pemulihan aksesibilitas penduduk pada sumber penghidupan --yang tergantung pada perbaikan empat jenis prasarana dasar tersebut-- merupakan faktor utama penentu membaiknya ketahanan ekonomi

SEKTOR 2: Prasarana Dasar | 103

Page 132: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

penduduk terpapar bencana letusan Merapi 2010.

Secara lebih rinci, tingkat kerusakan dan tingkat pemulihan empat jenis prasarana dasar tersebut pada masing-masing kategori wilayah terdampak terlihat sebagai berikut:

Tabel di atas menunjukkan hampir semua desa di ATLL yang menyatakan mengalami kerusakan prasarana dasar, kerusakan tertinggi adalah pada prasarana bendungan (66,67%), jalan (56,67%) dan jembatan (53,33%); sementara tingkat pemulihan tertinggi adalah pada prasarana jalan (53,33%) dan jembatan (45,57%). Tingkat perbaikan prasarana bendungan dan saluran irigasi nisbi masih rendah (masing-masing 16,67%). Dengan kata lain, aksesibilitas ke dan dari desa-desa dalam kawasan ATLL secara keseluruhan baru pulih separuhnya, sementara potensi gangguan pada usaha pertanian warga setempat masih nisbi tinggi.

TABEL 55: Tingkat Kerusakan & Tingkat Pemulihan Prasarana Dasardi Desa-desa ATLL Bencana Merapi 2010 (n=3)

Jenis Prasarana% desa yang mengalami kerusakan

% kerusakan ringan

% kerusakan berat

% sudah diperbaiki

Jalan 100,00 8,33 56,67 53,33

Jembatan 66,67 13,33 53,33 45,57

Bendungan 100,00 6,66 66,67 16,67

Saluran irigasi 100,00 16,67 16,67 16,67

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

TABEL 56: Tingkat Kerusakan & Tingkat Pemulihan Prasarana Dasardi Desa-desa ATL Bencana Merapi 2010 (n=21)

Jenis Prasarana% desa yang mengalami kerusakan

% kerusakan ringan

% kerusakan berat

% sudah diperbaiki

Jalan 52,38 11,05 12,43 6,00

Jembatan 61,90 8,47 26,14 17,43

Bendungan 50,00 10,33 21,33 2,43

Saluran irigasi 57,89 12,52 19,09 9,14

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

104 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 133: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Tabel di atas menunjukkan sebagian besar desa di ATL yang menyatakan mengalami kerusakan prasarana dasar, kerusakan tertinggi adalah pada prasarana jembatan (26,14%) dan bendungan (21,33%); sementara tingkat pemulihan tertinggi adalah pada prasarana jembatan (17.43%) dan saluran irigasi (9,14%). Dengan kata lain, meskipun lebih ringan dibanding dengan desa-desa di ATLL, aksesibilitas ke dan dari desa-desa ATL ini pun secara keseluruhan belum sepenuhnya pulih, sementara potensi gangguan pada usaha pertanian warga setempat juga nisbi belum sepenuhnya teratasi.

TABEL 57: Tingkat Kerusakan & Tingkat Pemulihan Prasarana Dasardi Desa-desa ATLH Bencana Merapi 2010 (n=8)

Jenis Prasarana% desa yang mengalami kerusakan

% kerusakan ringan

% kerusakan berat

% sudah diperbaiki

Jalan 25,00 6,25 7,50 8,75

Jembatan 50,00 2,50 45,00 4,40

Bendungan 37,50 3,75 33,75 5,00

Saluran irigasi 37,50 7,50 25,00 6,88

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Tabel di atas menunjukkan sebagian kecil atau hampir separuh desa di ATLH yang menyatakan mengalami kerusakan prasarana dasar, kerusakan tertinggi adalah pada prasarana jembatan (45,00%) dan bendungan (33,775%), sementara tingkat pemulihan pada semua jenis prasarana dasar tersebut masih sangat rendah, semuanya di bawah 10%. Dengan kata lain, meskipun jauh lebih ringan dibanding di ATL dan ATLL, aksesibilitas ke dan dari desa-desa ATL ini pun secara keseluruhan belum sepenuhnya pulih, sementara potensi gangguan pada usaha pertanian warga setempat juga nisbi belum sepenuhnya teratasi.

Uraian data yang lebih rinci memperlihatkan bahwa keadaan prasarana dasar di semua kategori wilayah terdampak, pada dasarnya, memang belum sepenuhnya pulih seperti sediakala. Hal ini terutama akan tampak lebih jelas jika membandingkan antara tingkat kerusakan rata-rata setiap jenis prasarana dengan hasil upaya perbaikan (tingkat pemulihan) rata-rata dari setiap jenis prasarana dasar tersebut pada semua kategori wilayah terdampak.

SEKTOR 2: Prasarana Dasar | 105

Page 134: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Tabel di atas menunjukkan sebagian besar prasarana jalan yang rusak ringan maupun berat di semua kategori wilayah terdampak adalah di bawah rata-rata, sementara tingkat perbaikannya yang tertinggi juga masih berada di bawah rata-rata, kecuali di ATLL yang sudah mencapai 100%. Dengan kata lain, walaupun tingkat kerusakan prasarana jalan di semua kategori wilayah terdampak pada dasarnya nisbi ringan, namun hasil upaya pemulihannya juga nisbi masih rendah.

TABEL 58: Proporsi Rata-rata Tingkat Kerusakan & Tingkat Pemulihan Prasarana Dasar Jalan di Wilayah Terdampak Bencana Letusan Merapi 2010

Kategori Kerusakan &

Pemulihan

Proporsi(< atau > rata-rata)

ATLL ATL ATLH KONTROL JUMLAH

n % n % n % n % n %

Rusak ringan

< rerata 2 66,67 13 61,90 6 75,00 3 100,00 24 68,57

> rerata 1 33,33 8 38,10 2 25,00 0 0,00 11 31,43

jumlah 3 100,00 21 100,00 8 100,50 3 100,00 35 100,00

Rusak berat

< rerata 0 0,00 15 71,43 7 87,50 3 100,00 25 71,43> rerata 3 100,00 6 28,57 1 12,50 0 0,00 10 28,57

jumlah 3 100,00 21 100,00 8 100,00 3 100,00 35 100,00

Sudah diperbaiki

< rerata 0 0,00 18 85,71 7 87,50 3 100,00 28 80,00> rerata 3 100,00 3 14,29 1 12,50 0 0,00 7 20,00jumlah 3 100,00 21 100,00 8 100,00 3 100,00 35 100,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

TABEL 59: Proporsi Rata-rata Tingkat Kerusakan & Tingkat Pemulihan Prasarana Dasar Jembatan di Wilayah Terdampak Bencana Letusan Merapi 2010

Kategori Kerusakan &

Pemulihan

Proporsi(< atau > rata-rata)

ATLL ATL ATLH KONTROL JUMLAH

n % n % n % n % n %

Rusak ringan< rerata 2 66,67 14 66,67 7 87,50 3 100,00 26 74,29

> rerata 1 33,33 7 33,33 1 12,50 0 0,00 9 25,71jumlah 3 100,00 21 100,00 8 100,50 3 100,00 35 100,00

Rusak berat< rerata 1 33,33 15 71,43 4 50,00 3 100,00 23 65,71> rerata 2 66,67 6 28,57 4 50,00 0 0,00 12 34,29jumlah 3 100,00 21 100,00 8 100,00 3 100,00 35 100,00

Sudah diperbaiki

< rerata 1 33,33 16 76,19 7 87,50 3 100,00 27 77,14> rerata 2 66,67 5 23,81 1 12,50 0 0,00 8 22,86

jumlah 3 100,00 21 100,00 8 100,00 3 100,00 35 100,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

106 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 135: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Hampir sama keadaannya dengan prasarana jalan, tabel di atas menunjukkan sebagian besar jembatan yang rusak ringan maupun berat di semua kategori wilayah terdampak adalah di bawah rata-rata, kecuali di ATLL yang memang menonjol adalah di atas rata-rata, sementara tingkat perbaikannya juga umumnya masih di bawah rata-rata, kecuali di ATLL di mana perbaikan jembatan rusak berat sudah mencapai di atas rata-rata. Dengan kata lain, walaupun tingkat kerusakan prasarana jembatan di semua kategori wilayah terdampak pada dasarnya nisbi ringan, namun hasil upaya pemulihannya juga nisbi masih rendah.

TABEL 60: Proporsi Rata-rata Tingkat Kerusakan & Tingkat Pemulihan Prasarana Dasar Bendungan di Wilayah Terdampak Bencana Letusan Merapi 2010

Kategori Kerusakan &

Pemulihan

Proporsi(< atau > rata-rata)

ATLL ATL ATLH KONTROL JUMLAH

n % n % n % n % n %

Rusak ringan< rerata 2 66,67 16 76,19 7 87,50 3 100,00 28 80,00

> rerata 1 33,33 5 23,81 1 12,50 0 0,00 7 20,00jumlah 3 100,00 21 100,00 8 100,50 3 100,00 35 100,00

Rusak berat< rerata 1 33,33 16 76,19 5 62,50 3 100,00 25 71,43> rerata 2 66,67 5 23,81 3 37,50 0 0,00 10 28,57jumlah 3 100,00 21 100,00 8 100,00 3 100,00 35 100,00

Sudah diperbaiki

< rerata 2 66,67 20 95,24 7 87,50 3 100,00 32 91,43> rerata 1 33,33 1 4,76 1 12,50 0 0,00 3 8,57

jumlah 3 100,00 21 100,00 8 100,00 3 100,00 35 100,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Tabel di atas menunjukkan keadaan tingkat kerusakan dan tingkat pemulihan prasarana bendungan ini yang hampir sama dengan tingkat kerusakan dan tingkat pemulihan prasarana dasar jalan dan jembatan di semua kategori wilayah terdampak, kecuali di ATLL yang sebagian besar dari bendungan rusak berat berada di atas rata-rata. Sebagian besar bendungan yang mengalami tingkat kerusakan ringan maupun berat di semua wilayah adalah di bawah rata-rata, sementara tingkat pemulihannya juga masih di bawah rata-rata. Dengan kata lain, walaupun tingkat kerusakan prasarana bendungan di semua kategori wilayah terdampak pada dasarnya nisbi ringan, namun hasil upaya pemulihannya juga nisbi masih rendah.

SEKTOR 2: Prasarana Dasar | 107

Page 136: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

TABEL 61: Proporsi Rata-rata Tingkat Kerusakan & Tingkat Pemulihan Prasarana Dasar Saluran Irigasi di Wilayah Terdampak Bencana Letusan Merapi 2010

Kategori Kerusakan &

Pemulihan

Proporsi(< atau > rata-rata)

ATLL ATL ATLH KONTROL JUMLAH

n % n % n % n % n %

Rusak ringan< rerata 2 66,67 15 71,43 7 87,50 3 100,00 27 77,14

> rerata 1 33,33 6 28,57 1 12,50 0 0,00 8 22,86jumlah 3 100,00 21 100,00 8 100,50 3 100,00 35 100,00

Rusak berat< rerata 2 66,67 15 71,43 6 75,00 3 100,00 26 74,29> rerata 1 33,33 6 28,57 2 25,00 0 0,00 9 25,71jumlah 3 100,00 21 100,00 8 100,00 3 100,00 35 100,00

Sudah diperbaiki

< rerata 2 66,67 15 71,43 7 87,50 3 100,00 27 77,14> rerata 1 33,33 6 28,57 1 12,50 0 0,00 8 22,86

jumlah 3 100,00 21 100,00 8 100,00 3 100,00 35 100,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Tabel di atas menunjukkan keadaan tingkat kerusakan dan tingkat pemulihan prasarana saluran irigasi ini yang pada dasarnya hampir sama dengan tingkat kerusakan dan tingkat pemulihan tiga jenis prasarana dasar sebelumnya. Sebagian besar saluran irigasi yang mengalami tingkat kerusakan ringan maupun berat di semua wilayah adalah di bawah rata-rata, sementara tingkat pemulihannya juga masih di bawah rata-rata. Dengan kata lain, walaupun tingkat kerusakan prasarana saluran irigasi ini di semua kategori wilayah terdampak pada dasarnya nisbi ringan, namun hasil upaya pemulihannya juga nisbi masih rendah.

n Simpulan Umum & SaranWalhasil, secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa upaya pemulihan sektor prasarana dasar di semua kategori wilayah terdampak bencana letusan Merapi 2010, pada dasarnya, belum sepenuhnya mampu dipulihkan seperti sediakala. Walaupun dalam kenyataannya kehidupan sehari-hari warga setempat tampak mulai pulih, namun keadaan prasarana dasar yang belum sepenuhnya pulih tersebut sedikit banyak masih menimbulkan berbagai hambatan aksesibilitas.

Berdasarkan kategori kabupaten, maka tingkat pemulihan yang masih nisbi rendah adalah pada Kabupaten Sleman yang memang merupakan

108 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 137: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

SEKTOR 2: Prasarana Dasar | 109

daerah yang paling parah menderita kerusakan prasarana dasar dibanding tiga kabupaten lainnya (Klaten, Magelang, dan Boyolali). Dikaitkan dengan data berdasarkan kategori wilayah terdampak, tingkat pemulihan terendah adalah juga pada wilayah yang menderita dampak kerusakan terberat, yakni wilayah ATLL. Dengan kata lain, upaya pemulihan ke depan memerlukan prioritas perhatian pada wilayah ATLL di semua kabupaten dengan tekanan khusus pada wilayah ATLL di Kabupaten Sleman.

Dalam hal jenis prasarananya, perhatian penting perlu diberikan pada pemulihan prasarana dasar bendungan dan saluran irigasi yang tingkat pemulihannya nisbi masih jauh lebih rendah dibanding prasarana jalan dan jembatan. Meskipun prasarana jalan dan jembatan juga belum sepenuhnya pulih seperti sediakala, namun nisbi sudah cukup memadai saat ini dalam memulihkan kembali aksesibilitas desa-desa yang terdampak bencana. Dalam kenyataannya, tak ada lagi desa-desa tersebut yang benar-benar terisolir penuh akibat keadaan jalan dan jembatan yang rusak. Jika prasarana bendungan dan saluran irigasi tidak segera dipulihkan secepatnya seperti sediakala, akan sangat memengaruhi kelancaran kegiatan produksi pertanian di desa-desa terdampak bencana yang justru merupakan sumber utama penghidupan sebagian besar warga setempat. v

PUSTAKA

Affeltrnger, B., Alcedo., Amman,W.J., Arnold, M. (2006), Living with Risk: A Global Review of Disaster Reduction Initiatives; edisi Indoensia. Jakarta: MPBI (Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia).

Anonymous (2007), User’s Guide STATA. Lakeway Drive College Station, Texas: StataCorp.

International Strategy for Disaster Reduction (2004), Living with Risk: A Hundred Positive Examples of How People are Making The World Safer. Geneva: United Nation Publication.

Tearfund (2006), Mainstreaming Disaster Risk Reduction, A Tool for Development Organisation. Middlesex: Tearfund.

Tim Gabungan BAPPENAS-BNPB (2011), “Dokumen Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana Erupsi Gunung Merapi Provinsi DI Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah 2011-2013.

Undang-undang Nomer 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.Undang-undang Nomer 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Page 138: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

DESA KEMIREN, SUMBUNG, MAGELANG, JAWA TENGAH, 5 Januari 2013. Seorang petani remaja membersihkan sawahnya sambil memandang ke puncak Merapi yang sedang mengepulkan asap. Sempat terbengkalai selama dua musim tanam segera setelah letusan tahun 2010, sawah-sawah di salah satu desa terdekat dengan Merapi ini mulai pulih dan berproduksi kembali sejak akhir 2011....

<FOTO: BETA PETTAWARANIE, TRK INSIST>

Page 139: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

EKONOMI PRODUKTIF & PENGHIDUPAN WARGA

Bondan SikokiIstiarsi Saptuti Sri KawuryanEdy Purwanto

SEKTOR 3

Peraturan Kepala BNPB Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pedoman Rehabilitasi dan Rekonstruksi mengamanatkan prinsip pembangunan

yang lebih baik, prinsip pengurangan risiko bencana, dan prinsip keberlanjutan dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi.

Sektor ekonomi merupakan salah satu sektor terpenting yang perlu diperhatikan dalam pemulihan kehidupan dan ketahanan terhadap bencana pada masyarakat terdampak bencana. Letusan gunung Merapi tahun 2010 merupakan salah satu letusan yang terdahsyat dan membawa kerugian yang tidak ternilai, terutama pada sektor ekonomi. Seberapa jauh keadaan ekonomi dari masyarakat terdampak telah mengalami pemulihan akan dibahas dalam bagian ini.

n Realisasi Kebijakan PemulihanRencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Erupsi Merapi untuk sektor ekonomi produktif berisi pokok-pokok penting, sebagai berikut:

A. Arahan RegulasiPemulihan ekonomi dan mata pencaharian masyarakat korban bencana yang direlokasi diarahkan untuk ekonomi produktif --ternak dan penguatan modal usaha kecil dan menengah (UKM).

Kegiatan perekonomian masyarakat praktis terhenti karena kehilangan mata pencaharian akibat terhentinya proses produksi maupun potensi

111

DESA KEMIREN, SUMBUNG, MAGELANG, JAWA TENGAH, 5 Januari 2013. Seorang petani remaja membersihkan sawahnya sambil memandang ke puncak Merapi yang sedang mengepulkan asap. Sempat terbengkalai selama dua musim tanam segera setelah letusan tahun 2010, sawah-sawah di salah satu desa terdekat dengan Merapi ini mulai pulih dan berproduksi kembali sejak akhir 2011....

<FOTO: BETA PETTAWARANIE, TRK INSIST>

Page 140: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

pendapatan. Terbukti bahwa penurunan sektor ekonomi produktif (sesaat setelah bencana dibanding sebelumnya) mencapai 71% di ATLL, 33,7% di ATL, dan hampir 12% di ATLH. Kebutuhan pemulihan pada sektor ekonomi produktif ini diperkirakan mencapai Rp 223,01 miliar untuk mendukung pemulihan sub sektor pertanian, perikanan, UKM dan koperasi, pariwisata dan perdagangan.

Rata-rata penurunan sektor ekonomi produktif yang terjadi di empat kabupaten terdampak mencapai 32,67%, tertinggi di Magelang (58,68%) dan terendah di Klaten (20,17%). Namun, upaya pemulihan yang sudah dilaksanakan, sampai pada saat survei ini dilaksanakan, rata-rata baru mencapai 45,88%. Hal ini menunjukkan bahwa upaya-upaya tersebut belum sepenuhnya mampu memulihkan kembali ekonomi warga korban bencana. Saah satu faktor penyebab utamanya adalah jenis pekerjaan baru yang memerlukan waktu belajar untuk menguasai keterampilan yang tidak sama dengan keterampilan yang mereka miliki sebelum bencana.

Secara garis-besar, kegiatan-kegiatan pemulihan sektor ekonomi produktif ini di empat kabupaten --sebagaimana tercantum dalam Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Letusan Merapi-- dapat dilihat rinciannya pada Tabel-19 pada bagian Rangkuman (h.44-45).

B. Hasil PemantauanUntuk melihat seberapa jauh tingkat pemulihan sektor ekonomi produktif di kawasan terpapar bencana Merapi 2010, survei ini bertujuan menemukan dan membandingkan keadaan ekonomi rumah tangga sebelum dan sesaat setelah bencana dengan keadaannya sekarang. Pusat perhatian adalah pada keadaan pekerjaan, pendapatan, usaha tani dan bukan tani, serta besarnya bantuan-bantuan yang diterima oleh warga korban bencana pada aras rumah tangga.

1. PekerjaanHampir di semua wilayah cacah, persentase warga yang berstatus bekerja sesaat setelah bencana mengalami penurunan yang drastis, terutama di wilayah ATLL yang mencapai 85,2% dan hanya sekitar 20% yang masih berstatus bekerja sesaat setelah bencana. Demikian pula halnya di wilayah lain, meskipun persentase penurunannya tidak sebesar di wilayah ATLL, yaitu sekitar 30% di ATL dan 16% di ATLH.

112 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 141: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Tabel di atas memberikan gambaran hal yang sama, hanya di sini dilihat berapa banyak mereka yang kehilangan pekerjaan, yaitu mereka yang bekerja sebelum bencana, tetapi sesaat setelah bencana atau sekarang (saat survei) tidak bekerja lagi. Mereka yang menyatakan kehilangan pekerjaan sesaat setelah bencana, yang tertinggi adalah 66,93% di ATLL, sedangkan di ATL dan di ATLH adalah masing-masing 36,94% dan 27,92%. Akan tetapi, pada saat survei dilaksanakan, telah terjadi perbaikan karena mereka yang kehilangan pekerjaan menurun menjadi 32,55% di ATLL serta 28,54% di ATL dan 26,50% di ATLH. Hal ini juga sesuai dengan angka persentase rata-rata yang telah bekerja saat ini, yakni sekitar 60% di hampir semua wilayah.

Bagaimana upaya warga setempat memperbaiki keadaan ekonomi rumah tangga mereka sebagai tanggapan terhadap dampak bencana letusan Merapi 2010?

Mengingat keadaan lingkungan di mana mereka tinggal sebelum terjadinya letusan Merapi banyak mengalami perubahan --seperti lahan-lahan pertanian yang tertimbun lahar atau pasir, atau saluran irigasi yang tidak bisa digunakan-- banyak warga belum sepenuhnya dapat melakukan kegiatan ekonomi sama seperti yang mereka lakukan sebelum letusan. Sementara itu, sebagai akibat bencana, malah muncul beberapa kesempatan kerja baru --misalnya, dalam konstruksi bangunan, penambangan pasir, pariwisata, perdagangan-- sehingga sebagian warga akhirnya menyambut peluang baru tersebut, memutuskan alih profesi

SEKTOR 3: Ekonomi Produktif & Penghidupan Warga | 113

TABEL 62: Persentase Warga Usia Produktif (15-60 Tahun) yang Bekerja& Kehilangan Pekerjaan di Kawasan Bencana Merapi 2010

Status Pekerjaan ATLL ATL ATLH KONTROL

BEKERJA:

Sebelum bencana 85,16 78,81 72,51 73,11

Sesaat setelah bencana 20,05 48,73 56,4` 51,42

Sekarang (saat survei) 59,11 60,96 59,26 52,36

KEHILANGAN PEKERJAAN:

Sesaat setelah bencana 66,93 36,94 27,92 30,19

Sekarang (saat survei) 32,55 28,54 26,50 30,19

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Page 142: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

atau berganti pekerjaan. Untuk itu, perlu melihat perubahan lapangan pekerjaan warga sesaat setelah bencana dan saat ini (saat survei dilakukan) dibandingkan sebelum bencana. Dengan menggunakan klasifikasi baku lapangan pekerjaan (International Standard Industrial Classification, ISIC) mereka yang lapangan pekerjaannya tidak sama sesaat setelah bencana atau saat sekarang dengan sebelum bencana, dianggap telah mengalami perubahan pekerjaan. Untuk melihat keadaan sesaat setelah bencana dan sekarang (saat survei), maka hal yang sama dilakukan untuk lapangan pekerjaan sesaat setelah bencana dengan lapangan pekerjaan sekarang. Tabel berikut menunjukkan bahwa hampir 80% warga di wilayah ATLL telah beralih lapangan pekerjaan sesaat setelah bencana. Keadaan yang sama juga ditemui di wilayah ATL dan ATLH, hanya persentasenya lebih rendah, sekitar 59% dan 56%. Bahkan, pengamatan langsung di lapangan menunjukkan bahwa sampai sekarang (saat survei) pun masih terjadi alih lapangan kerja di kalangan warga setempat, terutama di wilayah ATLL. Keadaannya sudah lebih mantap (stabil) di wilayah ATL dan ATLH.

Ke sektor-sektor mana saja mereka beralih lapangan pekerjaan?

Beberapa tabel berikut menyajikan lapangan pekerjaan warga setempat sebelum, sesaat setelah bencana, dan sekarang (saat survei). Sebelum bencana letusan Merapi 2010, sektor pertanian, pertambangan, dan jasa kemasyarakatan merupakan sektor terbesar lapangan pekerjaan warga di semua kategori wilayah bencana, kemudian disusul oleh sektor-sektor perdagangan, rumah makan, dan penginapan, terutama di wilayah ATL dan ATLH. Membandingkan data pada beberapa tabel tersebut akan memperlihatkan bahwa peralihan lapangan kerja di wilayah terdampak bencana memang cukup dinamis, terutama sesaat setelah bencana dan, sampai tingkat tertentu, juga masih berlangsung sampai sekarang.

TABEL 63: Persentase Warga di Kawasan Merapi yang Beralih PekerjaanSesaat Sebelum, Setelah Bencana, dan Saat Ini

Alih Pekerjaan ATLL ATL ATLH KONTROL

Sebelum dibanding sesaat setelah bencana 79,69 58,93 55,56 54,25

Sesaat setelah bencana dibanding saat ini 59,90 52,75 51,14 52,36

Sebelum bencana dibanding saat ini 67,71 57,32 56,41 58,02

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

114 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 143: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

TABEL 64: Lapangan Pekerjaan Warga Kawasan Merapi Menurut SektorSesaat Sebelum, Setelah Bencana, dan Saat Ini

Sektor Lapangan Pekerjaan ATLL ATL ATLH KONTROL

PERTANIAN, PERKEBUNAN, KEHUTANAN, PERBURUAN

Sebelum bencana 43,12 42,55 37,72 37,42Sesaat setelah bencana 22,08 46,89 37,37 34,86Saat ini (saat survei) 40,53 43,42 40,14 34,23

PERIKANAN

Sebelum bencana 0,00 0,47 0,39 0,65Sesaat setelah bencana 0,00 0,38 0,25 0,00Saat ini (saat survei) 0,00 0,30 0,00 0,90

PERTAMBANGAN & PENGGALIANSebelum bencana 25,38 7,13 5,89 0,00Sesaat setelah bencana 1,30 5,83 7,32 0,00Saat ini (saat survei) 15,42 8,40 7,21 0,00

INDUSTRI PENGOLAHANSebelum bencana 0,92 6,35 11,79 13,55Sesaat setelah bencana 0,00 5,83 11,11 11,01Saat ini (saat survei) 0,44 5,36 11,54 8,11

PERDAGANGAN, RUMAH MAKAN, PENGINAPANSebelum bencana 8,26 17,95 19,45 19,35Sesaat setelah bencana 24,68 16,73 20,71 23,85Saat ini (saat survei) 12,78 16,60 21,15 21,62

ANGKUTAN, PERGUDANGAN, KOMUNIKASISebelum bencana 1.53 1.49 2,55 0,00Sesaat setelah bencana 3,90 1,39 2,78 0,00Saat ini (saat survei) 1,32 1,32 1,92 0,00

LEMBAGA KEUANGAN, REAL ESTATE, PERSEWAAN, JASA PERUSAHAAN

Sebelum bencana 1,53 1,65 1,57 1,94Sesaat setelah bencana 0,00 1,65 0,76 0,92Saat ini (saat survei) 2,64 1,72 1,68 2,70

LISTRIK, GAS, AIR MINUM

Sebelum bencana 0,00 0,39 0,20 1,29Sesaat setelah bencana 0,00 0,38 0,00 1,83Saat ini (saat survei) 0,00 0,30 0,24 1,80

KONSTRUKSI BANGUNAN

Sebelum bencana 3,36 5,88 3,14 10,97Sesaat setelah bencana 5,19 4,31 2,27 11,93Saat ini (saat survei) 4,85 6,17 3,61 13,51

SEKTOR 3: Ekonomi Produktif & Penghidupan Warga | 115

Page 144: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Sebagaimana terbaca pada tabel di atas, sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perburuan --merupakan lapangan kerja tradisional sebagian besar warga di semua kategori wilayah terdampak bencana-- mengalami penurunan yang signifikan di wilayah ATLL, tetapi kecil sekali di wilayah ATL dan ATLH. Hal ini dapat dimaklumi karena wilayah ATLL memang yang merupakan wilayah yang paling parah terpapar bencana segera setelah letusan terjadi. Namun, sekarang (saat survei), keadaannya mulai pulih kembali, dalam arti hampir semua warga di ATLL yang pernah beralih pekerjaan kini mulai kembali ke sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perburuan. Demikian pula halnya pada sektor pertambangan dan penggalian terjadi kecenderungan yang sama. Yang menarik adalah justru lebih banyaknya proporsi warga di ATL dan ATLH yang kini beralih ke sektor produksi primer (pertanian, perkebunan, kehutanan) dibanding sebelum bencana.

Perubahan mencolok juga terjadi di sektor perdagangan, rumah makan, dan penginapan. Sektor ini tampaknya merupakan penampung terbesar warga yang beralih dari sektor pertanian segera setelah bencana terjadi, terutama di ATLL. Meskipun kini terjadi penurunan kembali, namun jumlah warga yang masih bertahan di sektor ini masih tetap lebih besar dibanding sebelum bencana, sehingga boleh jadi sektor ini memang menawarkan imbalan pendapatan yang memadai atau mungkin justru lebih baik dibanding sektor lain, termasuk sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perburuan yang semula merupakan lapangan kerja utama sebagian besar warga.

Demikian pula halnya di sektor jasa kemasyarakatan, juga terutama di wilayah ATLL. Lonjakan jumlah warga yang beralih ke sektor produksi tersier ini malah lebih besar dibanding di sektor produksi sekunder (perdagangan, rumah makan, dan penginapan). Adapun di wilayah ATL dan ATLH, sektor ini tidak mengalami perubahan berarti.

JASA KEMASYARAKATANSebelum bencana 15,90 16,07 17,09 14,84Sesaat setelah bencana 42,86 16,60 17,42 15,60Saat ini (saat survei) 22,03 16,40 12,50 17,12

LAINNYASebelum bencana 0,00 0,00 0,20 0,00Sesaat setelah bencana 0,00 0,00 0,00 0,00Saat ini (saat survei) 0,00 0,00 0,00 0,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

116 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 145: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Selain pekerjaan utama, hampir semua warga di semua wilayah memiliki pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan keluarga mereka. Segera setelah bencana, sebagian besar mereka juga kehilangan lapangan kerja sampingan tersebut. Tabel di atas sekali lagi memperlihatkan bahwa warga di wilayah ATLL yang paling besar menderita kehilangan lapangan pekerjaan sampingan mereka. Saat ini, keadaan tampaknya sudah mulai membaik di mana kurang lebih dua pertiga warga di semua wilayah melaporkan memiliki kembali pekerjaan sampingan untuk membantu pemulihan tingkat ekonomi mereka, meskipun belum pulih seperti sebelum bencana.

2. PendapatanLetusan Merapi 2010 telah membawa dampak signifikan terhadap lapangan pekerjaan para warga di desa-desa yang terpapar bencana tersebut. Sebagian besar mereka sempat mengalami kehilangan pekerjaan. Namun, mereka berusaha mengatasinya dengan berganti lapangan pekerjaan serta mencari tambahan pendapatan dari pekerjaan sampingan. Tabel berikut akan menyajikan rata-rata pendapatan baik dari pekerjaan utama maupun pekerjaan sampingan mereka tersebut sebelum, sesaat setelah bencana, dan sekarang (saat survei).

TABEL 65: Persentase Warga Kawasan Merapi yang Memiliki Pekerjaan Sampingan Sesaat Sebelum, Setelah Bencana, dan Saat Ini

Pekerjaan Sampingan ATLL ATL ATLH KONTROL

Sebelum bencana 89,69 81,81 75,25 79,70

Sesaat setelah bencana 20,01 49,95 57,54 55,76

Saat ini (saat survei) 60,91 63,32 60,34 54,72

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

SEKTOR 3: Ekonomi Produktif & Penghidupan Warga | 117

TABEL 66: Rata-rata Penghasilan (Utama dan Sampingan) Warga Kawasan Merapi Sesaat Sebelum, Setelah Bencana, dan Saat Ini

Rata-rata Penghasilan(Rp/bulan) ATLL ATL ATLH KONTROL

Sebelum bencana 699.488 660.112 523.807 450.645

Sesaat setelah bencana 158.848 359.268 518.224 294.583

Saat ini (saat survei) 354.870 479.349 383.718 359.157

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Page 146: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Terlihat bahwa pada saat sebelum bencana, warga di ATLL berpenghasilan lebih tinggi terutama dibandingkan dengan warga di ATLH. Keadaannya berbalik seratus delapan puluh derajat sesaat setelah bencana. Rata-rata penghasilan warga di ATLL menurun menjadi kurang lebih seperempat dari pendapatan mereka sebelum bencana. Di ATL, penurunan yang terjadi hanya separuhnya, sedangkan di ATLH tidak banyak mengalami penurunan.

Bagaimana keadaan pendapatan mereka sekarang, apakah sudah pulih ke tingkat sebelum bencana?

Tabel di atas memperlihatkan bahwa ada peningkatan pendapatan warga di ATLL dan ATL saat ini dibanding sesaat setelah bencana, tetapi masih belum pulih sepenuhnya seperti sebelum bencana. Penurunan pendapatan warga di ATLL dan ATL nisbi lebih kecil saat ini dibanding sebelum bencana. Yang perlu mendapat perhatian juga adalah penurunan pendapatan sekarang dibanding sebelum bencana yang lebih tinggi daripada penurunan pendapatan sesaat setelah bencana. Kelihatannya pemulihan ekonomi di ATLL jauh lebih pesat daripada pemulihan ekonomi di wilayah ATLH. Hal ini perlu mendapatkan perhatian dalam penyususnan Rencana Aksi Pemulihan ke depan.

Penurunan penghasilan erat hubungannya dengan masalah kehilangan pekerjaan yang dialami warga, baik pada waktu sesaat setelah letusan maupun sekarang. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, warga berusaha meningkatkan pendapatan mereka dengan berganti pekerjaan peralihan atau mendapatkan pekerjaan sampingan. Analisis regresi antara penghasilan dengan kehilangan pekerjaan, perubahan lapangan pekerjaan, pekerjaan sampingan serta keterampilan yang dimiliki warga memang menunjukkan bahwa kehilangan pekerjaan (meskipun telah bekerja

TABEL 67: Perubahan Penghasilan Warga Kawasan MerapiSesaat Sebelum Bencana, Setelah Bencana, dan Saat Ini

Perubahan Penghasilan(Rp/bulan) ATLL ATL ATLH KONTROL

Sesaat setekah bencana dibanding sebelum bencana -540.646 -300.843 -5.583 156.061

Saat ini (saat survei) dibanding sesaat setelah bencana 196.028 120.080 -134.505 -64.547

Saat ini (saat survei) dibanding sebelum bencana -344.617 -180.763 -140.089 91.487

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

118 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 147: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

kembali) berhubungan erat dengan penurunan penghasilan. Selanjutnya hasil regresi juga menunjukkan banyaknya pekerjaan sampingan yang dimiliki sangat berhubungan dengan peningkatan penghasilan baik sesaat setelah bencana maupun sekarang. Pergantian pekerjaan memang berhubungan dengan peningkatan penghasilan, akan tetapi nisbi lebih rendah dibandingkan dengan pekerjaan sampingan. Demikian juga banyaknya keterampilan yang dimiliki berhubungan dengan peningkatan penghasilan, akan tetapi juga lebih rendah dibandingkan dengan jumlah pekerjaan sampingan. Jadi banyaknya pekerjaan sampingan yang paling berperan dalam peningkatan pendapatan warga.

TABEL 68: Hubungan antara Penghasilan dengan Kehilangan Pekerjaan,Pekerjaan Sambilan & Keterampilan Warga Kawasan Bencana Merapi

Penghasilan dengan:Sesaat Setelah

Bencana(Koefisien Regresi)

Sekarang (saat survei)

(Koefisien Regresi)

Kehilangan pekerjaan -219529,9 -115716,3

Pekerjaan sambilan/sampingan 565357,6 587398,6

Keterampilan warga 90101,1 76259,5

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

3. Usaha Tani Usaha tani yang diuraikan di sini adalah perubahan antara sebelum, sesaat setelah bencana, dan sekarang (saat survei dilaksanakan) tentang proporsi kepemilikan usaha lahan pertanian, rerata kepemilikan harta usaha tani, proporsi lahan pertanian yang tidak bisa diusahakan lagi, jenis pertanian yang diusahakan, dan kerugian harta pertanian pada aras rumah tangga menurut area terdampak bencana, sebagai berikut:

SEKTOR 3: Ekonomi Produktif & Penghidupan Warga | 119

TABEL 69: Perubahan Penghasilan Warga Kawasan MerapiSesaat Sebelum Bencana, Setelah Bencana, dan Saat Ini

Kepemilikan Usaha Lahan Pertanian (%) ATLL ATL ATLH KONTROL

Sebelum bencana 86,11 72,36 59,67 45,56

Sesaat setelah bencana 25,00 60,69 56,33 44,44

Saat ini (saat survei) 77,22 65,83 54,00 42,22

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Page 148: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Tabel di atas menunjukkan kepemilikan usaha lahan pertanian korban bencana --mencakup lahan milik sendiri, menyewa, bagi hasil atau tanah bengkok-- menunjukkan penurunan tertinggi di ATLL (52,06% dibanding dengan di wilayah pembanding atau kontrol) antara sebelum dan setelah bencana, namun sudah meningkat (80%) saat ini. Sedangkan di ATL menunjukkan penurunan (38,58% dibanding dengan di wilayah pembanding) antara sebelum dan setelah bencana, namun sudah meningkat (43,43%) dari saat penurunan dengan sekarang. Di ATLH menunjukkan penurunan (15,73% dibanding di wilayah pembanding) antara sebelum dan setelah bencana, namun sudah meningkat (0,9%) dari saat penurunan dengan sekarang.

TABEL 70: Rata-rata Luas Lahan Pertanian Warga Kawasan MerapiSesaat Sebelum, Setelah Bencana, dan Saat Ini

Rata-rata luas lahan ATLL ATL ATLH KONTROL

Sebelum bencana 2.830 1.340 874 906

Sesaat setelah bencana 2.572 1.341 799 907

Saat ini (saat survei) 2.490 1.320 802 821

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Tabel di atas menunjukkan rata-rata luas lahan pertanian warga di ATLL dan ATL menunjukkan tidak ada penurunan (0,00% dibanding di wilayah pembanding) antara sebelum dan setelah bencana, sehingga peningkatannya juga hanya sedikit (9,5%) dari sesaat setelah bencana dengan saat sekarang. Sedangkan di ATLH menunjukkan sedikit penurunan (2,38% dibanding di wilayah pembanding) antara sebelum dan setelah bencana, dan sudah meningkat (82%) dari sesaat setelah bencana dengan saat sekarang.

TABEL 71: Rata-rata Pemilikan Ternak (Sapi, Kambing, Unggas) Warga Kawasan Merapi Sesaat Sebelum, Setelah Bencana, dan Saat Ini

Rata-rata pemilikan ternak ATLL ATL ATLH KONTROL

Sebelum bencana 15,4 10,5 8,6 7,2

Sesaat setelah bencana 0,79 5,3 6,2 4,7

Saat ini (saat survei) 6,1 5,6 5,4 5,9

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

120 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 149: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Tabel di atas menunjukkan rata-rata kepemilikan ternak warga di ATLL mengalami penurunan (52,38% dibanding di wilayah pembanding) antara sebelum dan sesaat setelah bencana, namun sudah meningkat (94,88%) dari sesaat setelah bencana dengan sekarang. Di ATL mengalami penurunan juga (81,81% dibanding di wilayah pembanding) antara sebelum dan sesaat setelah bencana, namun sudah meningkat (51%) dari sesaat setelah bencana dengan sekarang. Di ATLH mengalami penurunan lebih kecil (7% dibanding di wilayah pembanding) antara sebelum dan sesaat setelah bencana, namun sudah meningkat (66,7%) dari sesaat setelah bencana dengan sekarang.

TABEL 72: Rata-rata Pemilikan Hasil Usaha Perikanan Warga Kawasan Merapi Sesaat Sebelum, Setelah Bencana, dan Saat Ini

Rata-rata pemilikan usaha perikanan ATLL ATL ATLH KONTROL

Sebelum bencana 2.793 535.005 211.750 49.762

Sesaat setelah bencana 0 101.009 128.900 8.388

Saat ini (saat survei) 6.250 211.868 79.622 10.112

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Tabel di atas menunjukkan rata-rata harta hasil perikanan warga di ATLL mengalami penurunan (82,1% dibanding di wilayah pembanding) antara sebelum dan sesaat setelah bencana, namun sudah meningkat (54%) dari sesaat setelah bencana dengan sekarang. Di ATL juga mengalami penurunan (80,91% dibanding di wilayah pembanding) antara sebelum dan sesaat setelah bencana, namun sudah meningkat (117%) dari sesaat setelah bencana dengan sekarang. Di ATLH mengalami penurunan jauh lebih kecil (25,6% dibanding di wilayah pembanding) antara sebelum dan sesaat setelah bencana, namun sudah meningkat (42,3%) dari sesaat setelah bencana dengan sekarang.

TABEL 73: Proporsi Rumah Tangga Warga Kawasan Merapi yang Lahannya Tidak Bisa Dimanfaatkan Sesaat Sebelum, Setelah Bencana, dan Saat Ini

Lahan yang tak bisa dimanfaatkan (%) ATLL ATL ATLH KONTROL

Sebelum bencana 0,60 0,59 0,62 0,00

Sesaat setelah bencana 59,75 13,56 5,10 0,00

Saat ini (saat survei) 10,63 6,79 8,92 0,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

SEKTOR 3: Ekonomi Produktif & Penghidupan Warga | 121

Page 150: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Tabel di atas menunjukkan proporsi rumah tangga warga di ATLL yang lahannya tidak bisa diusahakan lagi mengalami peningkatan (98,98% dibanding di wilayah pembanding) antara sebelum dan sesaat setelah bencana, namun sudah menurun (82,2%) dari sesaat setelah bencana dengan sekarang. Di ATL mengalami peningkatan juga (95,65% dibanding dengan di wilayah pembanding) antara sebelum dan sesaat setelah bencana, namun sudah menurun (49,93%) dari sesaat setelah bencana dengan sekarang. Di ATLH mengalami peningkatan sedikit lebih kecil (87,84% dibanding dengan di wilayah pembanding) antara sebelum dan sesaat setelah bencana, namun sudah meningkat lagi (60,8%) dari sesaat setelah bencana dengan sekarang.

TABEL 74: Jenis Usaha Tani yang Diusahakan Warga Kawasan MerapiSetelah Bencana (Saat Ini)

Jenis Usaha Tani yang Diusahakan (%) ATLL ATL ATLH KONTROL

Tanaman padi 0,10 22,75 25,27 13,29

Tanaman holtikultura 17,93 21,17 28,25 28,80

Tanaman keras 19,96 8,76 4,05 3,48

Buah-buahan 10,64 9,15 6,56 0,00

Ternak sapi 35,03 10,44 6,85 15.51

Ternak kambing 2,43 7,82 9,55 14,24

Ternak unggas 12,97 8,99 12,83 21,20

Perikanan 0,41 6,27 5,98 0,95

Lainnya 10,54 4,65 0,68 2,53

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Tabel di atas menunjukkan komposisi jenis pertanian yang diusahakan rumah tangga warga di ATLL yang tertinggi adalah ternak sapi (25,03%), kemudian tanaman keras (19,95%), dan tanaman hortikultura (17,93%). Pertanian padi dan perikanan adalah yang paling sedikit, karena kerusakan lahan pertanian akibat timbunan debu dan lahar letusan Merapi. Berbeda dengan di ATL dan ATLH di mana kerusakan lahan pertanian sawah dan kolam ikan memang tidak separah dengan di ATLL. Apalagi jika dibandingkan dengan wilayah pembanding (kontrol) di mana dampak kerusakan lahan pertanian akibat letusan Merapi memang nyaris tidak terlalu signifikan. Sehingga, sebenarnya sudah dapat diperkirakan bahwa tingkat kerugian warga di ATLL memang nisbi lebih besar dibanding di ATL dan ATLH, apalagi di wilayah pembanding.

122 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 151: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

4. Usaha Non-Tani Usaha non-tani yang diuraikan di sini adalah mengenai perubahan antara sebelum, sesaat setelah bencana letusan Merapi 2010, dan sekarang (saat survei), tentang rata-rata nilai usaha non-tani serta rata-rata kerugiannya, sebagai berikut:

TABEL 75: Rata-rata Nilai Kerugian Harta Usaha Tani per Rumah Tangga (Keluarga) Warga Kawasan Merapi Setelah Bencana

Rata-rata Kerugian (Rp)

ATLL ATL ATLH KONTROL

43.326.879 8.726.882 9.013.666 18.250.000

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

SEKTOR 3: Ekonomi Produktif & Penghidupan Warga | 123

TABEL 76: Nilai Usaha Non-Tani Warga Kawasan MerapiSesaat Sebelum, Setelah Bencana, dan Saat Ini

Rata-rata Nila Usaha Non-Tani Warga (Rp) ATLL ATL ATLH KONTROL

Sebelum bencana 6.767.303 5.290..145 3.305.533 1.692.422

Sesaat setelah bencana 2.389.569 4.765.025 3.898.280 1.627.439

Saat ini (saat survei) 8.074.033 3.873.483 3.967.388 1.577.544

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Tabel di atas menunjukkan rata-rata nilai usaha non-tani rumah tangga warga di ATLL mengalami penurunan (85% dibanding dengan di wilayah pembanding) antara sebelum dan sesaat setelah bencana, namun sudah meningkat (88,3%) dari sesaat setelah bencana dengan sekarang. Di ATL juga mengalami penurunan (12,8% dibanding dengan di wilayah pembanding) antara sebelum dan sesaat setelah bencana, namun sudah meningkat (27,15%) dari sesaat setelah bencana dengan sekarang. Di ATLH justru mengalami peningkatan (40,77% dibanding dengan di wilayah pembanding) antara sebelum dan sesaat setelah bencana, namun menurun kembali (5,4%) dari sesaat setelah bencana dengan sekarang.

TABEL 77: Rata-rata Nilai Kerugian Usaha Non-Tani per Rumah Tangga (Keluarga) Warga Kawasan Merapi Setelah Bencana

Rata-rata Kerugian (Rp)

ATLL ATL ATLH KONTROL

7.206.817 2.007.278 492.199 1.580.000

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Page 152: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Seperti juga halnya dengan usaha tani di mana warga di ATLL adalah yang menderita kerugian terbesar dibanding daerah lainnya (lihat kembali Tabel 77), tabel di atas menunjukkan urutan rata-rata kerugian usaha non- pertanian setelah bencana Merapi 2010 yang tertinggi adalah di ATLL, kemudian di ATLH dan di ATL.

5. Dampak pada Tingkat KomunitasDi antara sekian banyak dampak bencana letusan Merapi 2010, dampak pada kerusakan sumber-sumber utama penghidupan adalah yang paling penting diperhitungkan. Sebagian besar warga di daerah bencana Merapi adalah petani, sehingga dampak kerusakan lahan pertanian mereka merupakan faktor yang paling menentukan.

TABEL 78: Kerusakan Lahan Pertanian Warga Kawasan MerapiSesaat Sebelum, Setelah Bencana, dan Saat Ini

Kerusakan Lahan Pertanian (%) ATLL ATL ATLH KONTROL

Sawah 33,33 66.67 62,50 0,00

Lahan produktif lainnya 100,00 80,90 87,50 0,00

Salah satu atau keduanya 100,00 85,71 87,50 0,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Tabel di atas menunjukkan proporsi kerusakan sawah dan lahan produktif milik warga sangat parah (berkisar 80-100%) di semua kategori wilayah terdampak bencana, terutama jika dibandingkan dengan di wilayah pembanding (kontrol). Hal ini mengindikasikan kehilangan sumber pendapatan dari usaha pertanian adalah sumber gangguan ekonomi utama di semua wilayah terdampak bencana, ditandai dengan beralihnya lebih 30% warga ke pekerjaan non-pertanian yang memerlukan ‘set up cost’ mahal, sehingga penghasilan warga yang terdampak bencana itu pun belum bisa optimal kembali saat ini atau pulih seperti sediakala.

TABEL 79: Lahan Pertanian Warga Kawasan Merapi yang Sudah Pulih KembaliSetelah Bencana sampai Saat Ini

Kerusakan Lahan Pertanian (%) ATLL ATL ATLH KONTROL

Sawah 66,67 42.86 87,50 100,00

Lahan produktif lainnya 33,33 61,90 87,50 100,00

Salah satu atau keduanya 66,67 61,90 87,50 100,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

124 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 153: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Tabel di atas menunjukkan proporsi pulihnya sawah dan lahan produktif dari kerusakan parah sesaat setelah bencana baru mencapai 66,67% di ATLL, 61,9% di ATL, dan 87,5% di ATLH. Hal ini menguatkan data sebelumnya tentang sumber penghasilan dari usaha pertanian belum pulih sepenuhnya (lihat kembali Tabel 72 sampai Tabel 76), sehingga memaksa sebagian warga, terutama di ATLL, beralih pekerjaan di luar sektor pertanian ke sektor lain, terutama sektor jasa angkutan, jasa konstruksi, pertambangan dan lembaga keuangan (lihat kembali Tabel 65-66). Meskipun belum mampu memulihkan tingkat pendapatan mereka seperti sebelum bencana, namun berbagai lapangan kerja baru di sektor non- pertanian tersebut masih menjadi tumpuan penopang kebutuhan hidup sehari-hari sebagian warga korban bencana letusan Merapi 2010 sampai saat ini di empat kabupaten terdampak.

6. Gangguan Ekonomi LainnyaGangguan ekonomi lainnya yang diuraikan di sini adalah keadaan saat survei dilaksanakan (sekarang) tentang proporsi rumah tangga yang mengalami gangguan ekonomi lainnya, rata-rata kerugian, dan proporsi tindakan yang dilakukan rumah tangga warga untuk mengatasi kehilangan pendapatan, sebagai berikut:

TABEL 80: Gangguan Ekonomi dan Kerugian Rumah Tangga Warga Kawasan Merapi Setelah Bencana sampai Saat Ini

Gangguan Ekonomi (%) & Rata-rata Kerugian (Rp) ATLL ATL ATLH KONTROL

Gangguan ekonomi 82,78 62.08 53,67 34,44

Rata-rata kerugian 23.731.072 6.039.167 4.106.880 591.928

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Tabel di atas sekali lagi menunjukkan bahwa rumah tangga warga di ATLL adalah yang paling tinggi menderita gangguan ekonomi dengan rata-rata tingkat kerugian yang tertinggi pula. Gangguan ekonomi dan kerugian yang dialami tersebut adalah akibat berbagai faktor seperti kematian anggota keluarga, penyakit berat yang memerlukan pengobatan berkala, kehilangan pekerjaan, kegagalan usaha, dan gagal panen. Terutama dalam hal nilai kerugian yang diderita, warga di ATLL mengalami kerugian yang sangat jauh lebih besar dibanding warga di ATL dan ATLH, apalagi yang di wilayah pembanding (kontrol).

SEKTOR 3: Ekonomi Produktif & Penghidupan Warga | 125

Page 154: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Lantas, apakah yang mereka lakukan untuk mengatasi gangguan ekonomi dan kerugian tersebut?

TABEL 81: Tindakan Warga Kawasan Merapi Mengatasi Gangguan Ekonomi dan Kerugian Setelah Bencana sampai Saat Ini

Tindakan yang dilakukan ATLL ATL ATLH KONTROL

Menjual aset 9,13 12,58 10,90 15,38

Menggunakan tabungan 12,70 14,29 16,59 12,82

Meminjam 16,27 27,02 27,01 30,77

Tidak melakukan apapun 43,65 32,92 31,75 41,03

Lainnya 18,25 13,20 13,70 0,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Tabel di atas menunjukkan ternyata bagian terbesar warga yang terdampak bencana di semua wilayah justru tidak melakukan tindakan apapun untuk mengatasi gangguan ekonomi dan kerugian yang mereka alami. Hal ini mengindikasikan tingginya risiko keterpurukan ekonomi yang mereka alami, sehingga tidak terlalu banyak yang berani menempuh risiko melakukan pemulihan dengan cara meminjam, menggunakan tabungan, dan menjual aset. Dengan kata lain, sebagian besar mereka lebih mengandalkan bantuan dari pihak lain.

7. Bantuan KemanusiaanBantuan kemanusiaan yang diuraikan di sini adalah proporsi jenis bantuan yang pernah diterima warga korban bencana, sebagai berikut:

TABEL 82: Jenis Bantuan Kemanusiaan yang Pernah Diterima Warga Kawasan Merapi Setelah Bencana sampai Saat Ini

Jenis bantuan yang pernah diterima warga ATLL ATL ATLH KONTROL

ASKESKIN/JAMKESMAS 69,44 48,57 43,33 62,22

JAMPERSAL 6,11 6,67 8,67 13,33

RASKIN 93,89 78,19 82,67 92,22

PKH 2,78 1,67 1,67 1,11

BLT 28,22 27,08 32,33 52,22

PNPM 11,67 6,81 8,00 5,56

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

126 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 155: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Tabel di atas menunjukkan bantuan bahan pangan bersubsidi (‘beras miskin’, RASKIN) adalah jenis bantuan kemanusian terbesar yang pernah diterima warga korban bencana Merapi 2010 di semua kategori wilayah terdampak bencana. Kemudian menyusul bantuan biaya pengobatan (Asuransi Kesehatan Warga Miskin, ASKESIN, atau Jaminan Kesehatan Masyarakat, JAMKESMAS), Jaminan Persalinan (JAMPERSAL)serta bantuan uang tunai (Bantuan Langsung Tunai, BLT). Hal ini mengindikasikan sebagian besar rumah tangga korban bencana Merapi 2010 telah menambah jumlah keluarga miskin di wilayah berpenghasilan rendah.

TABEL 83: Sumber Bantuan yang Pernah Diterima Langsung Warga Kawasan Merapi Setelah Bencana sampai Saat Ini

Sumber bantuan yang pernah diterima langsung dari: ATLL ATL ATLH KONTROL

Pemerintah 98,33 90,56 85,67 86,67

Pihak non-pemerintah 84,44 58,06 52,33 1,11

Keluarga/kerabat 56,67 53,06 47,67 46,67

Tetannga/teman 31,11 24,86 19,00 25,56

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

8. Sumber & Penyaluran BantuanTabel di atas menunjukkan urutan warga korban letusan Merapi 2010 di semua kategori wilayah terdampak pernah menerima langsung bantuan terbesar dari pemerintah, tetapi bantuan langsung yang diterima dari sumber-sumber lain, terutama berbagai pihak non-pemerintah dan keluarga atau kerabat juga cukup besar atau sangat signifikan.

TABEL 84: Saluran Pemberian Bantuan yang Pernah Diterima Warga Kawasan Merapi Setelah Bencana sampai Saat Ini

Saluran bantuan melalui: ATLL ATL ATLH KONTROL

Pemerintah 2,22 15,69 16,33 35,56

Pihak non-pemerintah 4,44 16,39 20,67 17,78

Keluarga/kerabat 40,00 36,67 31,33 36,67

Tetangga/teman 24,44 25,42 25,00 38,89

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

SEKTOR 3: Ekonomi Produktif & Penghidupan Warga | 127

Page 156: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Tabel di atas menunjukkan bahwa sumber-sumber pemberi bantuan ternyata lebih memilih menyalurkan bantuan mereka kepada warga yang terdampak bencana melalui jalur keluarga atau kerabat serta tetangga atau teman. Kecenderungan ini terjadi di semua kategori wilayah terdampak, kecuali di wilayah pembanding (kontrol) yang masih cukup besar memercayai pemerintah sebagai saluran utama bantuan mereka.

TABEL 85: Rata-rata Nilai Bantuan yang Pernah Diterima Warga Kawasan Merapi Setelah Bencana sampai Saat Ini

Rata-rata nilai bantuan (Rp) yang pernah diterima dari: ATLL ATL ATLH KONTROL

Pemerintah 4.209.980 846.912 420.679 400.221

Pihak non-pemerintah 6.553.208 262.796 177.523 1.111

Keluarga/kerabat 621.992 628.074 512.515 969.806

Tetangga/teman 290.528 73.409 22.203 143.778

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Tabel di atas menunjukkan rata-rata nilai bantuan terbesar (uang, bahan pangan, dan barang) adalah yang disalurkan lewat pihak non-pemerintah, terutama di ATLL sebagai wilayah yang paling parah terdampak oleh bencana. Meskipun demikian, nilai bantuan terbesar dari pemerintah juga diterima warga di ATLL dibanding kategori wilayah terdampak lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa baik pihak pemerintah maupun non-pemerintah memang lebih memusatkan perhatian bantuan mereka kepada warga di wilayah yang paling parah menderita dampak bencana. Kecenderungan ini adalah hal yang memang wajar dan sudah semestinya, karena bantuan utama dan terbesar pada korban bencana di manapun selama ini memang selalu berasal dan melalui dua pihak tersebut (lembaga-lembaga pemerintah dan organisasi-organisasi non-pemerintah yang bergerak di bidang bantuan kemanusiaan). Hal ini dipertegas oleh data pada tabel yang menunjukkan nilai bantuan terbesar di wilayah pembanding (kontrol) adalah dari atau yang melalui keluarga dan kerabat.

n Simpulan Umum & SaranSecara umum terlihat bahwa upaya pemulihan di sektor ekonomi produktif dan penghidupan warga korban bencana Merapi 2010 juga belum sepenuhnya mencapai taraf kepulihan seperti sebelum bencana.

128 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 157: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Kepulihan sektor ini memang sangat ditentukan oleh kepulihan sektor lain yang menjadi prasyaratnya, yakni sektor permukiman --terutama kepulihan sarana perumahan dan kepastian relokasi-- serta prasarana dasar. Sebagaimana diuraikan pada bab-bab sebelumnya, tingkat kepulihan dua sektor utama tersebut memang belum optimal, sehingga dapat dimaklumi jika sektor ekonomi produktif dan penghidupan warga ini juga belum sepenuhnya pulih secara optimal. Karena itu, sangat disarankan agar upaya pemulihan sektor permukiman dan prasarana dasar tersebut mendapat perhatian yang lebih serius dan komprehensif dalam Rencana Aksi Pemulihan Dampak Bencana Merapi 2010 di semua kabupaten terdampak, terutama di ATLL. v

SEKTOR 3: Ekonomi Produktif & Penghidupan Warga | 129

PUSTAKA

Anonymous (2007), User’s Guide STATA. Lakeway Drive College Station, Texas: StataCorp.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2008), “Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pedoman Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana”. Jakarta: BNPB.

Benson, Charlotte, Jhon Twig & Tiziana Rossetto (2007), “Perangkat untuk Mengarusutamakan Pengurangan Resiko Bencana: Catatan Panduan bagi Lembaga lembaga yang bergerak dalam Bidang Pembangunan”. Geneva: International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies, the ProVention Consortium.

International Strategy for Disaster Reduction (2005), “Hyogo Framework for Action 2005-2015: Building the Resilience of Communities to Disaster”. Extract from the final report of the World Conference on Disaster Reduction A/CONF.206/6)

Straus, J., et.al. (2004). Indonesian Living Standards Before and After the Financial Crisis: Evidence from the Indonesia Family Life Survey. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Tim Gabungan BAPPENAS-BNPB (2011), “Dokumen Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana Erupsi Gunung Merapi Provinsi DI Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah 2011-2013.

Page 158: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

DUSUN SRUNEN, GLAGAHARJO, SLEMAN, YOGYAKARTA, 10 Mei 2012. Tiga murid SD Negeri Srunen membaca buku pelajaran sekolah mereka. Meski bangunan sekolah mereka masih darurat, namun kegiatan belajar-mengajar di sekolah ini sudah pulih dan berlangsung seperti biasa.

<FOTO: ARMIN HARI, TRK INSIST>

Page 159: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

PELAYANAN SOSIAL DASARSEKTOR 4

Bagian ini akan membahas sektor sosial dengan fokus pada sub sektor pendidikan dan kesehatan. Di sektor ini, letusan Merapi 2010 selain

telah menyebabkan kerusakan atau kerugian prasarana dan sarana persekolahan serta pusat-pusat kesehatan masyarakat, juga mengakibatkan terganggunya berbagai kegiatan dan akses sosial masyarakat. Pelayanan pendidikan anak-anak dan pelayanan kesehatan warga menjadi tersendat dan terganggu.

n Sektor PendidikanLetusan dahsyat Gunung Merapi pada bulan Oktober 2010 dan lahar hujan yang menyertainya telah mengakibatkan kerugian dalam jumlah besar di sektor pendidikan. Selain kerusakan prasarana dan sarana persekolahan, penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar juga terganggu. Survei longitudinal ini secara khusus juga menyorot kerugian dan dampak bencana tersebut pada sektor pendidikan, dalam hal ini adalah kerusakan prasarana dan sarana, gangguan pada akses, serta gangguan pada kegiatan pelayanan pendidikan, khususnya pendidikan dasar.

Secara umum, jumlah siswa sebelum bencana terjadi dan saat ini tidak banyak mengalami perubahan berarti. Hanya di kawasan ATLH yang mengalami peningkatan jumlah peserta didik yang nisbi lebih besar dibanding area lainnya, yakni dari 94,12% menjadi 94,96%.

131

Yugyasmono

Page 160: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Yang cukup mencolok dari data di atas adalah terjadi penurunan proporsi siswa perempuan dan penambahan proporsi siswa laki-laki di ATLL, sementara terjadi sebaliknya di ATLH. Sementara itu, proporsi siswa perempuan dan laki-laki di ATL sama-sama menurun, dan sama sekali tidak ada perubahan di wilayah pembanding (kontrol). Kemungkinan besar hal ini adalah akibat terjadinya ekstrapolasi di antara kawasan yang berbeda tersebut. Salah satu dari kemungkinan tersebut adalah bahwa siswa perempuan yang berkurang di ATLL dan ATL berpindah sekolah ke kawasan ATLH segera setelah bencana, karena kerusakan prasarana paling parah --termasuk prasarana persekolahan-- memang terjadi di ATLL dan ATL dibanding di ATLH.

1. Pemulihan Prasarana & SaranaPrasarana persekolahan beragam di setiap desa di semua kategori wilayah terdampak bencana. Tidak semua jenjang pendidikan tersedia prasarananya di setiap desa. Dibandingkan desa-desa di wilayah lain, jumlah rata-rata prasarana persekolahan di ATLH lebih banyak, yakni 5,4 unit per desa pada jenjang Taman Kanak-kanak (TK) atau Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), rata-rata 4 unit per desa pada jenjang Sekolah Dasar (SD), 1,5 unit per desa pada jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), dan rata-rata 0,9 unit per desa pada jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).

132 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

TABEL 86: Persentase Siswa Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Pertamadi Kawasan Merapi Sebelum Bencana dan Saat ini Menurut Jenis Kelamin

Jumlah Siswa (%) ATLL ATL ATLH KONTROL

PEREMPUAN

Sebelum bencana 92,31 97,74 96,55 96,43

Sekarang (saat survei) 88,46 96,99 98,28 96,43

LAKI-LAKI

Sebelum bencana 95,12 100,00 91,80 96,55

Sekarang (saat survei) 97,56 99,35 91,80 96,55

JUMLAH

Sebelum bencana 94,03 98,95 94,13 96,49

Sekarang (saat survei) 94,03 98,25 94,96 96,49

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Page 161: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Tabel di atas memperlihatkan ketersediaan prasarana pendidikan di ATLL adalah paling sedikit. Di tiap desa dalam wilayah ATLL, rata-rata terdapat 3,7 unit prasarana TK atau PAUD dan 2,3 unit prasarana SD. Untuk SLTP dan SLTA, jumlah rata-rata yang ada di tiap desa masing-masing adalah 0,7 unit SLTP dan 0,3 unit SLTA. Dari data tersebut dapat diasumsikan bahwa dari 3 desa di wilayah ATLL, hanya terdapat 2 unit SLTP dan hanya 1 unit SLTA.

Bencana Merapi 2010 telah membawa kerusakan dan ketidakberfungsian prasarana sekolah. Wilayah ATLL merupakah wilayah paling banyak kerusakan—kecuali prasarana pendidikan tingkat SLTP. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata prasarana pendidikan yang masih dapat berfungsi pada saat setelah bencana. Pada jenjang TK atau PAUD, dari rata-rata 3,7 unit di tiap desa, yang masih dapat difungsikan hanya 27% saja atau 1 unit di setiap desa. Prasarana SD juga mengalami penurunan sebesar 30% di mana dari rata-rata 2,3 unit hanya 1,6 unit yang dapat berfungsi. Adapun seluruh prasarana SLTA yang ada di wilayah ATLL ini, tak satu pun atau

SEKTOR 4: Pelayanan Sosial Dasar | 133

TABEL 87: Rata-rata Jumlah Prasarana Sekolah di Setiap DesaKawasan Merapi Sebelum, Sesaat Setelah Bencana, dan Saat Ini

Jumlah Sekolah ATLL ATL ATLH KONTROL

TAMAN KANAK-KANAK (PAUD)

Sebelum bencana 3,7 3,9 5,4 2,3

Sesaat setelah bencana 1,0 3,1 4,3 2,3

Sekarang (saat survei) 3,7 3,6 5,4 2,7

SEKOLAH DASAR (SD)

Sebelum bencana 2,3 3,4 4.0 2,3

Sesaat setelah bencana 1,6 2,7 3,4 2,3

Sekarang (saat survei) 1,7 3,4 4,0 2,0SEKOLAH LANJUTAN TINGKAT PERTAMA (SLTP)

Sebelum bencana 0,7 0,6 1,5 0,0

Sesaat setelah bencana 0,7 0,4 1,2 0,0

Sekarang (saat survei) 0,7 0,6 1,5 0,0SEKOLAH LANJUTAN TINGKAT ATAS (SLTA)

Sebelum bencana 0,3 0,3 0,9 0,0

Sesaat setelah bencana 0,0 0,2 0,8 0,0

Sekarang (saat survei) 0,0 0,3 0,9 0,0

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Page 162: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

semuanya (100%) tidak dapat berfungsi lagi segera setelah bencana terjadi. Dibanding dengan wilayah ATLL, ketidakfungsian prasarana pendidikan di wilayah ATL dan ATLH nisbi lebih sedikit, yakni antara 20-30% di ATL dan 10-20% di ATLH.

Setelah dua tahun terjadinya bencana, dapat diketahui jumlah prasarana pendidikan sebelum dan saat ini. Perbandingan jumlah pada dua masa berbeda itu sekaligus memperlihatkan bagaimana upaya dan hasil penerapan Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana Merapi 2010 di sektor pendidikan. Upaya rehabilitasi dan rekonstruksi (RR) tersebut meliputi dua hal, yakni pembangunan prasarana dan sekolah serta pemulihan kegiatan belajar-mengajar.

134 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

TABEL 88: Kerusakan Prasarana Sekolah dan Hasil Pemulihannya di Kawasan Merapi Sebelum, Sesaat Setelah Bencana, dan Saat Ini

Jumlah Sekolah per Jenjang ATLL ATL ATLH

TAMAN KANAK-KANAK (PAUD)

Sebelum bencana 11 82 43

Sesaat setelah bencana (Rusak) 8 16 9

Sekarang, saat survei (Hasil Pemulihan) 11 75 43

Persentase hasil pemulihan (RR) 100,00 56.00 100,00

SEKOLAH DASAR (SD)

Sebelum bencana 7 72 32

Sesaat setelah bencana (Rusak) 2 15 5

Sekarang, saat survei (Hasil Pemulihan) 5 71 32

Persentase hasil pemulihan (RR) 0,00 93,00 100,00

SEKOLAH LANJUTAN TINGKAT PERTAMA (SLTP)

Sebelum bencana 2 12 12

Sesaat setelah bencana (Rusak) 0 4 2

Sekarang (saat survei) 2 12 12

Persentase hasil pemulihan (RR) 0,00 100,00 100,00SEKOLAH LANJUTAN TINGKAT ATAS (SLTA)

Sebelum bencana 1 6 7

Sesaat setelah bencana 1 1 1

Sekarang (saat survei) 0 7 7

0,00 100,00 100,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Page 163: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Di semua kategori wilayah terdampak, kerusakan prasarana pendidikan terbanyak terjadi pada jenjang TK/PAUD. Terbanyak di ATL, sehingga tingkat pemulihannya juga paling rendah. Meskipun demikian, persentase perbaikan prasarana TK/PAUD di semua wilayah adalah yang tertinggi dibanding jenjang sekolah lainnya. Bahkan ada dua prasarana SD dan satu SLTA di ATLL yang belum dipulihkan sama sekali. Pertanyaannya adalah mengapa pemulihan prasarana TK/PAUD yang lebih diprioritaskan?

Boleh jadi hal tersebut sejalan dengan ‘kebijakan’ pemerintah mengenai ‘sterilisasi’ wilayah ATLL sebagai permukiman warga. Sejurus dengan kebijakan tersebut, maka bisa dipastikan bahwa perbaikan dan pembangunan kembali prasarana TK/PAUD itu tidaklah bersumber dari anggaran pemerintah. Dalam kenyataannya selama ini, prasarana TK/PAUD umumnya memang dikelola oleh suatu lembaga atau yayasan yang didirikan oleh kelompok warga secara swadaya di tingkat pedusunan. Sehingga, perbaikan dan pembangunannya kembali banyak dimungkinkan berasal dari swadaya kelompok itu sendiri dan tanpa bantuan ataupun peran pemerintah. Berbeda dengan semua prasarana SD dan SMA di wilayah bencana yang merupakan sekolah negeri.

Berbanding lurus dengan hal tersebut di atas, di wilayah ATL justru ditemukan hal yang menarik di mana jumlah bangunan SMA lebih banyak dibanding sebelum bencana terjadi. Dari 6 unit yang ada sebelumnya, kini bertambah satu menjadi 7 unit. Boleh jadi ini merupakan hasil kebijakan pemindahan lokasi sekolah dari wilayah ATLL ke lokasi yang nisbi lebih aman, yakni di wilayah ATL.

Keadaan berbeda terjadi di wilayah ATLH. Di wilayah ini, kerusakan prasarana pendidikan berkisar 14-20% dari jumlah prasarana yang ada pada masing-masing jenjang. Tidak diketemukan adanya sekolah yang hilang akibat terjangan lahar hujan. Sebagian besar sekolah mengalami kerusakan ringan dalam konstruksi struktur dasarnya saja. Semua kerusakan telah dipulihkan. Artinya, 100% telah diperbaiki atau dibangun kembali dan kini telah berfungsi.

2. Gangguan Akses PelayananSelain dampak kerusakan prasarana sekolah, bencana Merapi 2010 juga menyebabkan terganggunya atau terhentinya penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar di sekolah. Tabel berikut menunjukkan persentase warga yang masih atau sedang bersekolah yang tidak bisa mengakses pelayanan pendidikan sebagai dampak dari letusan Merapi 2010.

SEKTOR 4: Pelayanan Sosial Dasar | 135

Page 164: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Anak-anak warga di ATL dan ATLL adalah yang paling banyak mengalami gangguan akses bersekolah akibat letusan Merapi 2010. Sebagian besar mereka malah sempat berhenti sekolah. Jika dirata-rata, anak-anak di ATLL mengalami gangguan bersekolah selama 42 hari, ATL selama 22 hari, dan ATLH selama 14 hari. Sedangkan waktu paling lama peserta didik terhenti mendapatkan pelayanan pendidikan terjadi di wilayah ATL juga, yakni 330 hari.

Selain mereka bertempat tinggal dan bersekolah di kawasan rawan bencana, terdapat tiga hal utama yang menyebabkan terganggunya pelayanan pendidikan atau kegiatan belajar-mengajar, yakni: (1) mengikuti orangtua yang memang harus mengungsi; (2) terpaksa diliburkan oleh pihak sekolah; dan (3) bangunan sekolah yang rusak dan tidak layak lagi dipergunakan untuk kegiatan belajar-mengajar. Di ATLH, selain rusaknya gedung sekolah dan mengikuti orangtua yang mengungsi, umumnya disebabkan oleh: (1) terputusnya akses jalan menuju sekolah; dan (2) lokasi sekolah yang berada dalam zona ancaman lahar hujan. Untuk penyebab terakhir ini, keputusan meliburkan sekolah sementara waktu memang merupakan suatu keniscayaan.

Data tersebut sekaligus memperlihatkan bahwa memang belum ada perencanaan kedaruratan atau sistem kesiapsiagaan di sektor pendidikan untuk menghadapi risiko bencana. Padahal, jenis bencana letusan dan banjir lahar hujan Merapi 2010 merupakan slow-on-set disaster di mana waktu kejadian dan besar dampaknya pun sebenarnya sudah dapat diperhitungkan dan diperkirakan sejak awal. Dengan kata lain, seharusnya ada langkah atau strategi bersengaja dan terencana --misalnya, dalam bentuk rencana kedaruratan, contingency plan-- untuk mengurangi gangguan dan dampak kerugian, setidaknya dalam rangka menjamin hak anak mendapatkan pelayanan pendidikan dasar jika bencana Merapi terjadi. Meskipun memang harus diakui bahwa memasuki minggu kedua di pengungsian, anak-anak sudah dapat kembali mendapatkan

TABEL 89: Gangguan Akses ke Sekolah yang Dialami Warga Kawasan Merapi Sebelum, Sesaat Setelah Bencana, dan Saat Ini

Gangguan Akses Sekolah ATLL ATL ATLH KONTROL

Mengalami gangguan (%) 90,3 92,4 40,6 17,8

Rata-rata hari terganggu (hari) 42 22 14 8

Maksimum hari terganggu (hari) 240 330 60 30

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

136 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 165: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

layanan pendidikan, baik sekolah formal maupun sekolah darurat yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun lembaga non-pemerintah. Sekolah-sekolah di sekitar titik pengungsian juga telah diperintahkan untuk menerima para siswa yang saat itu sedang mengungsi.

Selain itu, hal yang patut menjadi catatan menarik di sini adalah 8,7% warga yang diwawancarai berpendapat bahwa sekolah menjadi salah satu tempat titik kumpul mereka. Dari 92,9% rumah tangga warga di ATLL, ATL, dan ATLH, 36% mengungkapkan bahwa selama mengungsi mereka memilih dan tinggal sementara di gedung kantor atau sekolah terdekat yang tidak mengalami kerusakan. Hal ini berarti bahwa fungsi gedung sekolah sebagai titik kumpul dan tempat pengungsian perlu dijadikan wacana dan pertimbangan dalam perencanaan kedaruratan. Pelibatan pihak sekolah dan Dinas Pendidikan menjadi penting dan wajib, sehingga rancangan langkah yang diambil dan disepakati tidaklah mengganggu proses penyelenggaraan pelayanan pendidikan sekolah tersebut, selain memastikan hak anak untuk tetap mendapatkan pelayanan pendidikan dalam keadaan darurat bencana sekalipun.

3. Tata Kelola, Harapan, dan ManfaatWarga di daerah bencana menaruh harapan atas terselesaikannya rehabilitasi dan rekonstruksi gedung-gedung sekolah yang rusak atau hancur akibat letusan Merapi 2010. Sebanyak 33,33% warga yang diwawancarai menyatakan agar pembangunan kembali gedung-gedung sekolah anak-anak mereka sesegera mungkin diselesaikan sebagai salah satu prioritas upaya pemulihan. Namun, aparat pemerintahan desa setempat ternyata hanya mengetahui bahwa gedung-gedung sekolah yang rusak di desa mereka sudah diperbaiki dan dapat dipergunakan lagi. Mereka tidak banyak mengetahui tentang pelaksanaan Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi serta program-program bantuan pemulihan prasarana pendidikan di desa mereka. Survei ini bahkan menemukan bahwa semua aparat pemerintahan desa di ATLL dan ATLH menyatakan tidak ada program atau bantuan pemulihan sektor pendidikan di desa mereka. Di ATL, hanya 14,29% yang menyatakan mengetahui adanya rencana dan pelaksanaan pemulihan prasarana pendidikan di desa mereka, sementara selebihnya (85,71%) menyatakan tidak ada atau tidak mengetahui, sama seperti rekan-rekan mereka di ATLL dan ATLH.

Temuan ini menarik, karena dalam kenyataannya ada banyak program yang telah atau sedang dilaksanakan oleh dinas-dinas terkait sektor pendidikan di wilayah mereka. Temuan ini membuktikan bahwa prinsip

SEKTOR 4: Pelayanan Sosial Dasar | 137

Page 166: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

dan pendekatan good governance dalam tata kelola rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana --sebagaimana tertuang dalam dokumen Rencana Aksi Merapi 2011-2013-- tidak diterapkan dengan baik. Temuan ini telah memberikan gambaran tentang adanya kelemahan atau bahkan tidak adanya koordinasi dan komunikasi para pemangku kepentingan sektor pendidikan dengan pemerintahan desa setempat.

Dari hanya sedikit aparat pemerintahan desa di ATL yang mengetahui tentang program bantuan pemerintah dalam sektor pendidikan tersebut, teridentifikasi tiga manfaat yang dapat dirasakan langsung oleh warga setempat: (1) anak-anak dapat sekolah lagi; (2) membantu proses belajar-mengajar; dan (3) memperlancar penyelenggaraan pelayanan pendidikan.

n Sektor KesehatanSama seperti dampak yang diakibatkannya pada sektor pendidikan, letusan Merapi 2010 telah mengakibatkan kerugian dalam jumlah yang besar di sektor kesehatan, yakni kerusakan prasarana dan sarana pelayanan kesehatan serta terganggunya kesehatan mental dan fisik warga korban bencana. Selain dua hal tersebut, secara khusus, survei ini juga menyorot tingkat gangguan akses terhadap pelayanan kesehatan warga serta hasil program rehabilitasi dan rekonstruksi sektor kesehatan di wilayah terdampak bencana Merapi 2010.

1. Keadaan Kesehatan WargaSecara umum, survei ini telah mendapatkan gambaran keadaan kesehatan fisik dan mental warga korban bencana di wilayah Merapi, yakni dengan membandingkan keadaan kesehatan mereka saat ini (saat survei) dengan saat sebelum dan segera setelah bencana.

Kesehatan Fisik. Pada empat wilayah survei, sebagian besar warga yang diwawancarai menyatakatan tidak mengalami penurunan keadaan kesehatan fisik mereka saat ini (saat survei) dibandingkan dengan saat sebelum dan segera setelah bencana Merapi 2010 terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa bencana letusan Merapi 2010 secara keseluruhan tidak berdampak besar pada kesehatan fisik warga setempat.

Secara lebih rinci, terlihat dari persentase warga yang menyatakan keadaan kesehatan mereka lebih buruk hanya sebesar 17,3% di ATLL, 16,8% di ATL, dan 14,5% di ATLH.

138 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 167: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Namun di sisi lain, dampak kesehatan fisik yang lebih besar dirasakan oleh kelompok warga lanjut usia (lansia). Hal ini terlihat dari persentase lansia yang mengalami keadaan kesehatan lebih buruk, yakni sebesar 25,9% di ATLL, 38,7% di ATL, 34,8% di ATLH, dan 36,4% di wilayah pembanding (kontrol). Dampak terkecil dirasakan oleh kelompok bayi dan anak-anak yang mengalami keadaan fisik lebih buruk, yakni sebesar 0,6% ATLL, 7,5% ATL, 3,2% ATLH, dan 4,4% di wilayah pembanding.

Perubahan kesehatan fisik ke arah lebih baik paling tinggi terjadi di ATLL. Secara keseluruhan, persentase warga di ATLL yang menyatakan keadaan kesehatannya lebih baik adalah 41,8%. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya, yakni 30,8% di ATL, 23,4% di ATLH, dan 8,8% di wilayah pembanding. Hal yang sama juga terjadi pada kelompok bayi dan anak-anak, dewasa maupun lansia.

TABEL 90: Keadaan Umum Kesehatan Fisik Warga Kawasan MerapiSebelum, Sesaat Setelah Bencana, dan Saat Ini

Keadaan Kesehatan Warga ATLL ATL ATLH KONTROL

BAYI & ANAK-ANAKKesehatan fisik saat ini (saat survei) dibandingkan dengan saat sebelum bencana

Lebih buruk 5,6 7,5 3,2 4,4

Sama saja 51,9 68,8 60,2 60,9

Lebih baik 42,6 23,8 36,6 34,8

Kesehatan fisik saat ini (saat survei) dibandingkan dengan saat segera setelah bencanaLebih buruk 9,3 2,5 3,2 4,4Sama saja 44,4 66,3 64,5 60,8Lebih baik 46,3 31,3 32,3 34,8

DEWASAKesehatan fisik saat ini (saat survei) dibandingkan dengan saat sebelum bencana

Lebih buruk 19,0 16,0 13,2 18,9Sama saja 56,4 63,7 68,7 78,5Lebih baik 24,6 20,3 18,2 2,6

Kesehatan fisik saat ini (saat survei) dibandingkan dengan saat segera setelah bencana

Lebih buruk 10,1 10,7 10,2 15,3Sama saja 47,1 59,1 67,9 80,1Lebih baik 42,8 30,3 21,9 4,6

SEKTOR 4: Pelayanan Sosial Dasar | 139

Page 168: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Kesehatan mental (psikologis). Dampak penurunan keadaan kesehatan mental atau psikologis paling besar terjadi di ATLL. Sebanyak 26% warga yang diwawancarai menyatakan keadaan kesehatan mental/psikologis mereka lebih buruk saat ini dibanding sebelum dan segera setelah bencana terjadi. Hanya 11,8% warga di ATL, 9,7% di ATLH, dan 7,9% di wilayah pembanding (kontrol) yang menyatakan hal yang sama.

Dampak kesehatan mental/psikologis yang lebih besar dirasakan oleh kelompok warga dewasa. Sebanyak 29,7% dari mereka menyatakan hal tersebut. Hanya 13% warga dari kelompok bayi dan anak-anak serta 23,5% dari kelompok warga lansia yang menyatakan hal yang sama.

Meski dampak psikologis paling besar dirasakan oleh warga di ATLL, namun perubahan ke arah lebih baik juga terlihat paling besar di wilayah ini. Hal ini terlihat dari 39,1% warga di ATLL menyatakan keadaan kesehatan mental/psikologis mereka lebih baik saat ini dibanding saat setelah bencana. Hanya 31,1% warga di ATL, 2,2% di ATLH, dan 9,7% di wilayah pembanding yang menyatakan serupa. Hal ini terjadi pada semua kelompok, baik lansia, dewasa, bayi, dan anak-anak.

LANSIA

Kesehatan fisik saat ini (saat survei) dibandingkan dengan saat sebelum bencanaLebih buruk 25,9 38,7 34,8 36,4Sama saja 39,5 48,1 53,6 59,1Lebih baik 34,6 13,2 11,6 4,5

Kesehatan fisik saat ini (saat survei) dibandingkan dengan saat segera setelah bencana

Lebih buruk 24,7 26,7 25,3 38,6Sama saja 42,0 48,7 58,0 56,8Lebih baik 33,3 24,6 16,7 4,6

KESELURUHAN (SEMUA KELOMPOK USIA)

Kesehatan fisik saat ini (saat survei) dibandingkan dengan saat sebelum bencanaLebih buruk 17,2 16,8 14,5 16,5Sama saja 54,4 62,4 64,6 76,2Lebih baik 28,4 20,7 20,9 7,3

Kesehatan fisik saat ini (saat survei) dibandingkan dengan saat segera setelah bencana

Lebih buruk 11,0 11,0 10,7 14,7Sama saja 47,6 58,1 65,9 76,5Lebih baik 41,8 30,8 23,4 8,8

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

140 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 169: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

TABEL 91: Keadaan Umum Kesehatan Mental/Psikologis WargaKawasan Merapi Sebelum, Sesaat Setelah Bencana, dan Saat Ini

Keadaan Kesehatan Warga ATLL ATL ATLH KONTROL

BAYI & ANAK-ANAKKesehatan mental saat ini (saat survei) dibandingkan dengan saat sebelum bencana

Lebih buruk 13,0 8,8 1,1 0,0

Sama saja 57,4 68,1 75,0 82,6

Lebih baik 29,6 23,1 23,9 17,4

Kesehatan mental saat ini (saat survei) dibandingkan dengan saat segera setelah bencanaLebih buruk 3,7 3,8 1,1 0,0Sama saja 66,7 64,1 72,8 87,0Lebih baik 29,6 32,1 26,1 13,0

DEWASAKesehatan mental saat ini (saat survei) dibandingkan dengan saat sebelum bencana

Lebih buruk 29,7 11,9 10,9 7,7Sama saja 45,4 68,2 70,9 87,2Lebih baik 24,8 19,9 18,2 5,1

Kesehatan mental saat ini (saat survei) dibandingkan dengan saat segera setelah bencana

Lebih buruk 15,3 6,8 9,3 5,1Sama saja 44,1 61,6 66,2 87,8Lebih baik 40,6 31,6 24,5 7,2

LANSIAKesehatan mental saat ini (saat survei) dibandingkan dengan saat sebelum bencana

Lebih buruk 23,5 19,5 11,6 22,7Sama saja 53,1 71,2 72,5 70,5Lebih baik 23,5 9,3 15,9 6,8

Kesehatan mental saat ini (saat survei) dibandingkan dengan saat segera setelah bencanaLebih buruk 23,5 14,7 6,5 22,7Sama saja 33,3 63,4 71,7 70,5Lebih baik 43,2 21,9 21,7 6,8

KESELURUHAN (SEMUA KELOMPOK USIA)Kesehatan mental saat ini (saat survei) dibandingkan dengan saat sebelum bencana

Lebih buruk 26,0 11,8 9,7 7,9Sama saja 49,6 68,4 70,4 83,2Lebih baik 24,4 19,8 19,9 8,8

Kesehatan mental saat ini (saat survei) dibandingkan dengan saat segera setelah bencanaLebih buruk 14,4 7,0 7,3 6,5Sama saja 46,4 61,7 67,4 83,8Lebih baik 39,1 31,1 25,2 9,7

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

SEKTOR 4: Pelayanan Sosial Dasar | 141

Page 170: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

2. Sarana & Akses PelayananSarana Pelayanan. Ketersediaan sarana pelayanan kesehatan di setiap desa di semua wilayah terdampak bencana Merapi 2010, umumnya sudah cukup merata, baik yang dikelola oleh pemerintah maupun oleh pihak non-pemerintah. Namun, belum semua desa memiliki sarana pelayanan kesehatan yang dikelola oleh pemerintah, yakni Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS) atau PUSKEMAS Pembantu (PUSTU), hanya 66,7% yang sudah memiliki PUSKESMAS/PUSTU dan hanya 33,3% yang menyatakan ada tenaga dokter praktik yang siap di sana.

TABEL 92: Persentase Desa yang Memiliki Sarana Pelayanan Kesehatandi Wilayah Terdampak Bencana Merapi 2010

Sarana Pelayanan Kesehatan ATLL ATL ATLH KONTROL

PUSKESMAS/PUSTU 66,7 57,1 50,0 33,3

Poliklinik/Klinik Swasta, Balai Pengobatan, BKIA 100,0 28,6 37,5 33,3

Dokter praktik (umum, spesialis, dokter gigi, dokter keluarga)

33,4 28,6 25,0 0,0

Bidan Desa, Bidan Praktik, Perawat, Mantri 100,0 100,0 100,0 100,0

Praktik Tradisional (Dukun, Orang Pintar, Kyai, Shinse, Akupuntur, Tusuk Jari, dan sejenisnya).

100,0 71,4 62,5 100,0

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Khusus tentang sarana PUSKESMAS/PUSTU, seperti halnya di ATLL, tidak semua desa di ATL dan ATLH --juga di wilayah pembanding-- memiliki atau tersedia sarana pelayanan kesehatan oleh pemerintah ini.Padahal, sarana PUSKESMAS/PUSTU merupakan sarana pelayanan kesehatan oleh negara yang berfungsi sebagai pusat pelayanan kesehatan strata-I, yakni mencakup pelayanan kesehatan perseorangan dan warga secara keseluruhan.

Singkatnya, keberadaan sarana PUSKESMAS/PUSTU di tingkat desa adalah wujud penjaminan hak dasar warga negara akan pelayanan kesehatan oleh negara. Keberadaan sarana PUSKESMAS --yang diperkuat dengan sarana PUSTU dan PUSKESMAS Keliling-- di setiap pelosok negeri adalah salah satu persyaratan yang dibutuhkan untuk meningkatkan ketangguhan warga menghadapi bencana. Mutu kesehatan warga yang

142 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 171: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

buruk dan sulitnya mengakses sarana pelayanan kesehatan, jelas akan menjadi faktor yang semakin memperbesar tingkat atau derajat kerentanan masyarakat.

Dari tabel di atas terlihat bahwa praktik pengobatan tradisional merupakan fasilitas layanan kesehatan yang paling banyak digunakan oleh warga di semua wilayah (35,7% di ATL, 72,9% di ATL, 56,7% di ATLH, dan 72,7% di wilayah pembanding). Layanan kesehatan terbanyak setelah praktik tradisional adalah praktek paramedis swasta --bidan desa, bidan praktek, perawat dan mantri-- yaitu 21,4% di ATLL, 16,3% di ATL, 24,3% di ATLH, dan 18,2% di wilayah pembanding. Keberadaan tenaga paramedis tersebut bisa menjadi potensi (kapasitas) yang dimiliki komunitas desa. Mereka dapat berperan dalam upaya membangun ketangguhan masyarakat dalam ranah kesehatan, termasuk pada saat menghadapi bencana.

Aksesibilitas. Sarana pelayanan kesehatan yang paling sering diakses atau digunakan adalah PUSKESMAS, yakni 47,8% di ATLL, 49,1% di ATL, dan 51,7% di ATLH. Hal ini menunjukkan bahwa sudah tumbuh kesadaran untuk menggunakan sarana kesehatan yang disediakan oleh pemerintah.

Sarana kesehatan berikutnya yang paling sering diakses adalah dokter praktik swasta dan bidan desa. Hal ini memperkuat keyakinan bahwa masyarakat sudah sadar akan penggunaan sarana kesehatan yang berkualitas. Tingginya kunjungan ke bidan desa sangat berhubungan

TABEL 93: Persentase Sarana Pelayanan Kesehatandi Desa-desa Terdampak Bencana Merapi 2010

Sarana Pelayanan Kesehatan ATLL ATL ATLH KONTROL

PUSKESMAS/PUSTU 14,3 5,4 5,4 4,6

Poliklinik/Klinik Swasta, Balai Pengobatan, BKIA 21,4 2,7 4,1 4,6

Dokter praktik (umum, spesialis, dokter gigi, dokter keluarga)

7,1 2,7 8,1 0,0

Bidan Desa, Bidan Praktik, Perawat, Mantri 21,4 16,3 24,3 18,2

Praktik Tradisional (Dukun, Orang Pintar, Kyai, Shinse, Akupuntur, Tusuk Jari, dan sejenisnya).

35,7 72,9 56,7 72,7

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

SEKTOR 4: Pelayanan Sosial Dasar | 143

Page 172: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

dengan ketersediaan pelayanan bidan desa yang ada di setiap desa.

Jarak tempuh ke sarana kesehatan. Tabel 10 menyajikan tentang lokasi fasilitas kesehatan yang paling sering digunakan masyarakat. Dari tabel tersebut terlihat bahwa masyarakat di ATLL lebih sering menggunakan fasilitas kesehatan yang ada di dalam desa (53,3%). Hal ini menunjukkan bahwa di masyarakat di wilayah ini lebih mudah mendapatkan layanan kesehatan di dalam desanya masing-masing. Hal ini didukung dengan jumlah fasilitas kesehatan yang lebih banyak sebagaimana disebutkan dalam tabel sebelumnya.

TABEL 94: Persentase Sarana Pelayanan Kesehatanyang Paling Sering Diakses oleh Warga di Kawasan Bencana Merapi

Sarana Pelayanan Kesehatan ATLL ATL ATLH KONTROL

PUSTU 11,1 7,5 9,0 5,6

PUSKESMAS 47,8 49,1 51,7 52,2

Bidan Desa 16,1 13,0 8,3 3,3Bidan Swasta 3,9 6,2 4,3 8,9Mantri (Paramedis) 3,3 2,3 9,0 11,1Dokter praktik (swasta) 10,6 16,4 11,3 13,3Klinik swasta 0,6 0,6 0,3 0,0RS Swasta 6,1 2,5 1,0 1,1RS Pemerintah 0,0 1,9 4,7 3,3Lainnya 0,6 0,4 0,3 1,1

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

TABEL 95: Lokasi Sarana Pelayanan Kesehatanyang Paling Sering Diakses oleh Warga di Kawasan Bencana Merapi

Lokasi Sarana Pelayanan Kesehatan ATLL ATL ATLH KONTROL

Di dalam desa 53,3 42,8 30,7 43,3

Di luar desa, dalam kecamatan yang sama 31,1 46,1 49,7 45,6

Di luar kecamatan 15,6 11,2 19,7 11,1

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

144 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 173: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Akses Program Kesehatan. Upaya pemerintah menjamin dan mewujudkan pelayanan kesehatan dilaksanakan melalui berbagai program bantuan sosial langsung kepada masyarakat. Survei ini mencoba memotret enam program bantuan tersebut, yaitu: [1] Asuransi Kesehatan untuk Warga Miskin (ASKESKIN), Kartu Sehat, Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) dan Jaminan Kesehatan Derah (JAMKESDA); [2] Jaminan Persalinan (JAMPERSAL); [3] Beras Miskin (RASKIN); [4] Program Keluarga Harapan (PKH); [5] Bantuan Langsung Tunai (BLT); dan [6] Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).

Dari semua program bantuan sosial pemerintah tersebut, program RASKIN merupakan program yang jumlah penerima manfaatnya paling besar, baik sebelum bencana (93,9% di ATLL, 78,2% di ATL, 82,7% di ATLH, dan 92,2% di wilayah pembanding) maupun saat survei ini dilaksanakan (90,6% di ATLL, 74,2% di ATL, 80,3% di ATLH, dan 92,2% di wilayah pembanding). Program kedua yang penerima manfaatnya paling tinggi adalah ASKESKIN/Kartu Sehat/JAMKESMAS/JAMKESDA. Hal ini menunjukkan bahwa kedua program tersebut masih merupakan program yang sangat diharapkan oleh mayoritas masyarakat.

TABEL 96: Program Bantuan Sosial Pemerintah yang Pernah Diterima Wargadi Kawasan Bencana Merapi

Program Bantuan Sosial ATLL ATL ATLH KONTROL

ASKESKIN/Kartu Sehat/JAMKESMAS/JAMKESDA

Pernah menerima 69,4 48,5 43,3 62,2Masih menerima (saat survei) 62,2 34,4 33,3 52,2

JAMPERSALPernah menerima 6,1 6,7 8,7 13,3Masih menerima (saat survei) 3,9 4,3 3,3 6,7

RASKINPernah menerima 93,9 78,2 82,7 92,2Masih menerima (saat survei) 90,6 74,2 80,3 92,2

PKHPernah menerima 2,8 1,7 1,7 1,1Masih menerima (saat survei) 1,7 1,0 1,0 1,1

BLT (PKPS BBM-SLT)Pernah menerima 28,3 27,1 32,3 52,2Masih menerima (saat survei) 1,1 0,6 0,3 0,0

PNPMPernah menerima 11.7 6,8 8,0 5,6Masih menerima (saat survei) 9,4 4,3 5,0 2,2

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

SEKTOR 4: Pelayanan Sosial Dasar | 145

Page 174: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

3. Dampak Bencana pada Sarana KesehatanLetusan Merapi 2010 juga telah membawa dampak pada jumlah sarana pelayanan kesehatan di semua wilayah survei. Sebelum bencana, jumlah PUSKESMAS di desa-desa di ATLL adalah rata-rata 0,7 unit. Setelah bencana, berkurang menjadi rata-rata 0,4 unit saja. Jumlah poliklinik berkurang dari rata-rata 1 unit menjadi 0,7 unit per desa. Jumlah dokter praktik berkurang dari rata-rata 0,3 menjadi nihil sama sekali (0).

Dampak terbesar kedua dialami desa-desa di ATL. Jumlah PUSKESMAS berkurang dari rata-rata 0,6 menjadi 0,4 unit, dan jumlah dokter praktik berkurang dari rata-rata 0,3 menjadi 0,2.

Layanan bidan desa dan praktik pengobatan tradisional juga mengalami gangguan. Hal ini terjadi di ATL dan ALTH, namun tidak terjadi di ATLL.

TABEL 97: Jumlah Rata-rata Sarana Pelayanan Kesehatan di Setiap Desa Kawasan Merapi Sebelum Bencana dan Saat Ini (Saat Survei)

Sarana Pelayanan Kesehatan (unit per desa) ATLL ATL ATLH KONTROL

PUSKESMAS/PUSTU

Sebelum bencana 0,7 0,6 0,5 0,3Sesaat setelah bencana 0,4 0,4 0,4 0,3Saat ini (saat survei) 0,7 0,5 0,4 0,7

POLIKLINIK, KLINIK SWASTA, BALAI PENGOBATAN/BKIA

Sebelum bencana 1,0 0,3 0,4 0,3Sesaat setelah bencana 0,7 0,2 0,3 0,3Saat ini (saat survei) 0,7 0,3 0,4 0,3

DOKTER PRAKTIK (UMUM, SPESIALIS, DOKTER GIGI, DOKTER KELUARGA)

Sebelum bencana 0,3 0,3 0,8 0,0Sesaat setelah bencana 0,0 0,2 0,8 0,0Saat ini (saat survei) 0,0 0,3 0,1 0,0

BIDAN DESA, BIDAN PRAKTIK, PERAWAT, MANTRISebelum bencana 1,0 1,7 2,3 1,3Sesaat setelah bencana 1,0 1,4 1,4 1,3Saat ini (saat survei) 1,0 1,3 2,0 1,0

PRAKTIK PENGOBATAN TRADISIONAL

Sebelum bencana 1,7 7,7 5,3 5,3Sesaat setelah bencana 1,7 2,9 4,0 5,3Saat ini (saat survei) 1,7 7,3 4,9 5,3

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

146 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 175: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

4. Upaya Pemulihan Sarana Pelayanan KesehatanUpaya rehabilitasi dan rekonstruksi sektor kesehatan telah dilakukan dengan memfungsikan sarana pelayanan kesehatan, kemudahan pelayanan, dan program pemulihan kesehatan masyarakat. Meski demikian, dari 35 desa di wilayah survei ini diketahui bahwa program rehabilitasi dan rekonstruksi dari BNPB atau BPBD maupun pemangku kepentingan lain di sektor ini, belum selesai di semua area. Hal ini terutama tampak dari beberapa kerusakan sarana pelayanan kesehatan yang belum diperbaiki atau dibangun kembali (0%) seperti sarana poliklinik dan dokter praktik di ATLL, bidan desa di ATL, serta PUSKESMAS dan dokter praktik di ATLH.

Meskipun demikian, upaya pemulihan yang pernah dilaksanakan juga telah membuahkan hasil. Hal ini tampak pada telah selesainya rehabilitasi dan rekonstruksi beberapa sarana PUSKESMAS dan PUSTU di ATLL, poliklinik dan dokter praktik di ATL, dan poliklinik di ATLH. Hasil lain yang cukup menggembirakan terlihat pada rehabilitasi dan rekonstruksi sarana bidan desa di ATLH (71%) serta praktik pengobatan tradisional juga di ATLH (70%).

TABEL 98: Jumlah Kerusakan Sarana Pelayanan Kesehatan dan Hasil Pemulihannya di Kawasan Merapi Sebelum, Sesaat Setelah Bencana, dan Saat Ini

Sarana Pelayanan Kesehatan ATLL ATL ATLH

PUSKESMAS/PUSTU

Sebelum bencana 2 12 4

Sesaat setelah bencana (Rusak) 1 4 1

Sekarang, saat survei (Hasil Pemulihan) 2 11 3

Persentase hasil pemulihan (RR) 100,00 75, 00 0,00

RUMAH SAKIT SWASTA

Sebelum bencana 0 0 1

Sesaat setelah bencana (Rusak) 0 0 0

Sekarang, saat survei (Hasil Pemulihan) 0 0 1

Persentase hasil pemulihan (RR) 0,00 0,00 0,00

POLIKLINIK, KLINIK SWASTA. BALAI PENGOBATAN/BKIA

Sebelum bencana 3 6 3

Sesaat setelah bencana (Rusak) 1 2 1

Sekarang (saat survei) 2 6 3

Persentase hasil pemulihan (RR) 0,00 100,00 100,00

SEKTOR 4: Pelayanan Sosial Dasar | 147

Page 176: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

5. Manfaat dan Harapan WargaPara warga yang diwawancarai di wilayah survei menyatakan bahwa perbaikan atau pembangunan kembali sarana pelayanan kesehatan di desa-desa mereka sangat dirasakan langsung manfaatnya. Manfaat yang mereka sebutkan, antara lain: [1] mempermudah warga mengakses pelayanan kesehatan di desanya; [2] sarana Poliklinik Desa (POLINDES) sudah bisa digunakan kembali; [3] biaya kesehatan pasca bencana menjadi lebih murah; dan [4] adanya peningkatan pelayanan kesehatan untuk warga.

Paling tidak, ada dua hal yang selalu dinyatakan oleh warga sebagai harapan mereka. Pertama, adanya prasarana dan sarana pelayanan kesehatan yang lebih baik yang memungkinkan semakin optimalnya pelayanan kesehatan kepada semua warga. Selain kelaikan sarana gedung, ketersediaan peralatan kesehatan dan obat-obatan dirasakan masih cukup terbatas dan tidak cukup lengkap untuk mendukung pelayanan kesehatan kepada warga. Kedua, perlunya dibangun semakin banyak PUSTU, setidaknya 1 unit di setiap desa. Kebutuhan ini sangat beralasan, mengingat belum semua desa memiliki atau tersedia sarana pelayanan PUSKESMAS atau PUSTU (rata-rata 0,3-0,7 atau kurang dari 1 unit per desa). Dengan kata lain, pada beberapa desa, warga setempat masih harus memperoleh pelayanan kesehatan dari PUSKESMAS atau PUSTU di desa

DOKTER PRAKTIK (UMUM, SPESIALIS, DOKTER GIGI, DOKTER KELUARGA)Sebelum bencana 1 6 6Sesaat setelah bencana 1 1 5

Sekarang (saat survei) 0 6 1

Persentase hasil pemulihan (RR) 0,00 100,00 0,00BIDAN DESA, BIDAN PRAKTIK, PERAWAT, MANTRI

Sebelum bencana 3 36 18Sesaat setelah bencana 0 8 7Sekarang (saat survei) 3 28 16Persentase hasil pemulihan (RR) 0,00 0,00 71,00

PRAKTIK PENGOBATAN TRADISIONALSebelum bencana 5 161 42Sesaat setelah bencana 0 101 10Sekarang (saat survei) 5 154 39Persentase hasil pemulihan (RR) 0,00 93,00 70,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

148 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 177: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

lain, baik dalam kecamatan sendiri maupun yang berada di kecamatan lain.

n Simpulan Umum & SaranSecara keseluruhan, upaya pemulihan sektor pelayanan sosial dasar, khususnya sektor pendidikan dan kesehatan, di semua wilayah terpapar bencana letusan Merapi 2010 dapat dikatakan cukup baik. Upaya pemulihan yang dilaksanakan sudah merampungkan perbaikan atau pembangunan kembali prasarana dan sarana pelayanan pendidikan dan kesehatan yang sangat dibutuhkan warga korban bencana. Meskipun, belum sepenuhnya merata di semua desa.

Khusus untuk sektor pendidikan, perhatian masih perlu diberikan pada pemulihan prasarana persekolahan, khususnya SD dan SLTA di beberapa desa yang selama ini terkesan ‘tertunda-tunda’, antara lain, karena masih adanya perbedaan pendapat antara warga dan pemerintah tentang rencana relokasi tetap permukiman mereka. Dalam hal ini, sangat penting menekankan prinsip-prinsip keterbukaan dan good governance, sehingga warga merasa tidak hanya diperlakukan sebagai objek penerima bantuan, tetapi juga sebagai pelaku aktif yang terlibat sejak tahap perencanaan sampai pelaksanaan dan evaluasinya.

Untuk sektor kesehatan, paling tidak ada lima catatan dan saran penting untuk diperhatikan dalam upaya pemulihan selanjutnya di masa mendatang, yakni: [1] jaminan ketersediaan sarana pelayanan kesehatan; [2] jaminan ketersediaan obat-obatan; [3] jaminan ketersediaan peralatan kesehatan yang memadai; [4] mutu pelayanan kesehatan yang lebih baik; dan [5] pengadaan pelayanan rawat inap. v

SEKTOR 4: Pelayanan Sosial Dasar | 149

PUSTAKA

Inter Agency Network for Education in Emergencies (2010), Minimum Standards for Education: Preparedness, Response, Recover. INEE.

Konsorsium Pendidikan Bencana (2011), Kerangka Kerja Sekolah Siaga Bencana. Jakarta: KPB.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Keputusan Nomor 128/Menkes/SK/III/2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat.

-----------, Keputusan Nomor 279/Menkes/IV/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Upaya Keperawatan Kesehatan Masyarakat di PUSKESMAS.

Undang-undang Nomor 26 Tahun 2009 tentang KesehatanUndang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Page 178: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

DESA ARGOMULYO, CANGKRINGAN, SLEMAN, YOGYAKARTA, 12 November 2010. Dua orang ibu tua asal Kepuharjo di tempat pengungsian mereka. Tak ada sarana khusus untuk keperluan mereka sebagai warga lanjut usia. <FOTO: EDI KUSMAEDI, TRK INSIST>

Page 179: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

PERLAKUAN KHUSUS KELOMPOK RENTAN,AKSES PELAYANAN PUBLIK &PEMULIHAN LINGKUNGAN HIDUP

LINTAS SEKTOR

Penanggulangan dan pengurangan risiko bencana juga akan terkait dengan isu-isu lintas sektoral tentang perhatian khusus pada

kelompok rentan, akses pelayanan publik, dan pemulihan lingkungan hidup. Dalam pendekatan dan konsep penanggulangan bencana, pengakuan akan pengaruh dan keterkaitan isu-isu lintas sektoral ditegaskan dalam dokumen ’Kerangka Kerja Hyogo’ (Hyogo Framework for Action, HFA). Dokumen ini, misalnya, menyebut pentingnya mengarusutamakan (mainstreaming) isu-isu gender dan kelompok rentan dalam seluruh rangkaian upaya penanggulangan dan pengurangan risiko bencana. Disebutkan bahwa perspektif gender dan kelompok rentan harus diintegrasikan dalam seluruh kebijakan manajemen risiko bencana, perencanaan dan proses pengambilan keputusan, termasuk yang terkait dengan pengkajian risiko, sistem peringatan dini, manajemen informasi, serta pendidikan dan pelatihan.

Perhatian akan integrasi kelompok rentan dalam seluruh rangkaian penanggulangan bencana, juga sejalan dengan World Disaster Report 2007 yang menegaskan bahwa kerentanan bencana menjadi penjelas mengapa lebih banyak anak-anak, warga lanjut usia (lansia), dan perempuan selalu berada dalam daftar teratas kelompok yang terdampak bencana. Kurangnya perhatian pada kelompok rentan seringkali telah ada sebelum bencana, tetapi menjadi menguat dalam keadaan bencana atau krisis. Hal ini dapat terjadi karena terdapat kesenjangan akses dan kontrol sumberdaya untuk pemulihan pasca bencana yang menjadikan kelompok rentan semakin kesulitan memulihkan kehidupan mereka, sehingga lebih mungkin terpapar pada dampak bencana yang jauh lebih parah.

151

Dati FatimahNi Wayan Suriastini

Page 180: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Di Indonesia, isu kelompok rentan dalam penanganan bencana selama ini banyak dilihat dalam keterkaitannya dengan pentingnya perhatian akan keadaan mereka pada masa darurat. Dalam UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, khususnya dalam Pasal 26, disebutkan tentang perlakuan khusus dan prioritas bagi kelompok rentan yang berhak mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman. Ini menegaskan perlunya cara-cara penanganan khusus dan tepat untuk mengakomodasi kebutuhan kelompok rentan karena fakta adanya perbedaan keadaan fisik mereka, selain perbedaan jenis kelamin dan usia.

Recana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana Merapi 2010 juga menekankan pentingnya perhatian akan kelompok rentan, mencakup rehabilitasi dan perlindungan sosial anak, pembangunan panti asuhan, dan penyuluhan untuk pengarusutamaan gender, termasuk di dalamnya adalah mitigasi dengan memperhatikan akses bagi pelayanan kebutuhan dasar mereka yang khas. Penekanan ini merupakan kemajuan karena menggambarkan transisi dan pengakuan akan isu-isu khusus kelompok rentan yang perlu diperhatikan dalam penanggulangan bencana. Walaupun demikian, satu catatan penting yang masih tersisa dari kebijakan ini adalah belum munculnya pengakuan akan kapasitas dan keterlibatan kelompok rentan dalam manajemen risiko bencana di berbagai aras.

Bagian ini akan menyajikan analisis isu-isu yang berkaitan dengan kelompok rentan, akses pelayanan publik, dan pemulihan lingkungan hidup dalam keseluruhan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana Merapi 2010. Sebagai bagian yang menggali isu-isu lintas sektor, bagian ini sebetulnya menjadi bagian tak terpisahkan dari analisis yang sudah disajikan pada bagian-bagian sebelumnya tentang isu-isu sektoral, sehingga analisis pada bagian ini diharapkan akan melengkapi analisis yang sudah disajikan sebelumnya. Sebagai analisis terhadap isu-isu lintas sektoral, sebagian data yang sudah disajikan pada analisis sektoral sebelumnya, sangat mungkin ditampilkan lagi di bagian ini, namun dengan pendekatan dan cara analisis yang berbeda. Sebagai contoh, dalam analisis isu gender di bidang pendidikan, data keadaan pendidikan warga dan perubahannya akan ditampilkan kembali, tetapi fokus analisisnya lebih ditujukan secara lebih rinci pada perbedaan keadaannya antar jenis kelamin, kelompok umur dan juga kelompok berkebutuhan khusus. Lebih jauh, bagian ini juga akan menguraikan sejauh mana perubahan-perubahan yang terjadi memiliki hubungan (korelasi) dengan konstruksi sosial tentang kelompok-kelompok rentan tersebut, siapa yang menanggung dampak lebih berat, dan siapa yang mendapatkan manfaat

152 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 181: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

dari upaya-upaya pemulihan yang pernah dilaksanakan.

Dalam analisis tentang akses pelayanan publik, bagian ini akan merinci korelasinya dengan ketersediaan prasarana --yang sudah diuraikan pada bagian sebelumnya-- dengan tujuan pemenuhan hak warga secara keseluruhan, terutama pemenuhan kebutuhan khusus kelompok-kelompok rentan. Aksesibilitas fisik dan non-fisik (seperti informasi dan keterlibatan warga) sangat berkaitan dengan isu pemenuhan hak warga mendapatkan pelayanan publik dan pemenuhan kebutuhan dasar mereka.

Terakhir, bagian ini juga akan menganalisis upaya-upaya pemulihan lingkungan hidup yang terkait dengan upaya penanganan bencana. Dalam banyak hal, masalah-masalah lingkungan hidup ini sangat erat berkaitan dengan isu-isu kesehatan dan ketangguhan warga korban bencana untuk memulihkan penghidupan mereka dalam jangka panjang.

A. Perlakuan Khusus Kelompok RentanKelompok-kelompok rentan yang didefinisikan dalam survei ini mencakup warga bayi dan anak-anak, lansia, perempuan hamil dan kelompok difabel (penyandang disabilitas). Sebagai catatan, karena ketersediaan data yang ada, belum memungkinkan untuk memasukkan beberapa kelompok rentan yang lain seperti kelompok transgender di dalam analisis. Begitu pula untuk kelompok penyandang disabilitas, sebagian informasi dan data yang digali sudah menyajikan gambaran keadaan kelompok penyandang disabilitas ini walaupun informasinya masih terbatas.

1. Keterlibatan dalam Proses Pengambilan KeputusanSalah satu mekanisme terpenting dalam proses pembuatan kebijakan publik saat ini adalah Musyawarah Perencanaan Pembangunan (MUSRENBANG) yang dilaksanakan secara bertahap mulai dari aras terbawah (dusun, desa) sampai ke aras tertinggi (nasional). MUSRENBANG --yang diselenggarakan setiap tahun-- dimaksudkan sebagai wadah bagi seluruh warga untuk terlibat dalam proses-proses pembuatan kebijakan publik tentang kebutuhan pembangunan daerah mereka.

Survei ini menemukan bahwa di semua desa yang disurvei, sebanyak 23% warga di ATLL dan ATL menyatakan berpartisipasi dalam MUSRENBANG di desa mereka masing-masing. Keadaan ini jauh

LINTAS SEKTOR: Perlakuan Khusus, Akses Pelayanan Publik & Pemulihan Lingkungan Hidup | 153

Page 182: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

lebih tinggi dibandingkan dengan di ATLH dan wilayah pembanding yang hanya berkisar 5-7%. Sebanyak 60% warga di ATLL menyatakan MUSRENBANG membahas keperluan akan pengurangan risiko bencana, jauh lebih tinggi dibanding di daerah lain, bahkan hanya 13% warga di wilayah pembanding yang menyatakan hal yang sama. Partisipasi perempuan dalam MUSRENBANG juga tertinggi (sekitar 14%) di ATLL, sementara yang terendah (6%) adalah di ATLH. Meskipun demikian, secara keseluruhan, sebenarnya masih sangat rendah di semua daerah, karena semuanya masih di bawah 15%.

Partisipasi kelompok rentan lainnya, kaum difabel dan kelompok lansia, jauh lebih rendah lagi di semua daerah, kurang dari 2%. Keterbatasan fisik kaum difabel dan lansia ini merupakan penyebab utama. Karena itu, masih dibutuhkan adanya suatu strategi khusus pula yang memungkinkan tersedianya keramahan lingkungan fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan bagi mereka --sebagaimana tercantum dalam Rencana Aksi Madrid 2002 tentang Kelanjutusiaan-- agar dapat lebih terlibat dalam proses-proses MUSRENBANG.

Masih belum semua desa melakukan diskusi warga tentang kesiapan mereka terhadap bencana. Di ATLL, hanya 59% desa yang sudah melakukannya, sementara di daerah lain keadaaanya hampir sama. Ini mengisyaratkan bahwa perencanaan dalam bentuk dikusi antar warga masih jarang dilaksanakan. Partisipasi kelompok rentan dalam diskusi-diskusi antar warga tentang tanggap bencana yang pernah dilaksanakan tersebut, juga masih rendah. Di ATLL, partisipasi perempuan baru

TABEL 99: Partisipasi Kelompok Rentan dalam MUSRENBANG di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010

Partisipasi dalam MUSRENBANG ATLL ATL ATLH KONTROL

Ada MUSRENBANG membahas pengurangan risiko bencana 60,98 52,35 27,78 13,33

Anggota keluarga warga yang berpartisipasi: 22,78 23,61 18,00 16,67

Perempuan 13,89 8,33 6,00 8,99Penyandang Disabilitas (Difabel) 0,56 0,14 0,00 0,23Lansia 1,67 1,25 1,33 1,47

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

154 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 183: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

mencapai 33%, sedangkan partisipasi kaum lansia hanya sepertiganya, bahkan kaum difabel sama sekali tidak berpartisipasi. Di ATL, ATLH, dan wilayah pembanding, partisipasi kelompok rentan ini jauh lebih rendah lagi, bahkan di bawah 1%.

TABEL 100: Partisipasi Kelompok Rentan dalam Diskusi Tanggap Bencana di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010

Partisipasi dalamDiskusi Tanggap Bencana ATLL ATL ATLH KONTROL

Ada diskusi tanggap bencana di desa 58,89 29,31 30,00 32,33

Yang hadir dalam diskusi:

Perempuan 33,33 11,58 11,67 14,42

Penyandang Disabilitas (Difabel) 0,00 0,56 0,33 0,78

Lansia 11,67 3,61 4,67 5,19

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Sama halnya dengan penyelenggaraan pertemuan atau musyawarah mengenai potensi dampak risiko bencana. Selain masih sangat jarang dilaksanakan, partisipasi kelompok rentan di dalamnya juga masih sangat rendah. Bahkan, persentasenya di ATLL lebih rendah (hanya 7%) dibanding dengan partisipasi mereka dalam MUSRENBANG (lihat lagi Tabel 99).

TABEL 101: Partisipasi Kelompok Rentan dalam Pertemuan dan MusyawarahPotensi Dampak Risiko Bencana di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010

Partisipasi dalamPertemuan & Musyawarah ATLL ATL ATLH KONTROL

Ada pertemuan/musyawarah diselenggarakan di desa 63,89 34,31 29,67 35,81

Yang hadir dalam pertemuan/musyawarah:Perempuan 31,11 11,94 8,33 13,57Penyandang Disabilitas (Difabel) 0,56 0,42 0,33 0,62Lansia 6,67 3,19 4,67 4,11

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

LINTAS SEKTOR: Perlakuan Khusus, Akses Pelayanan Publik & Pemulihan Lingkungan Hidup | 155

Page 184: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Baru 31-37% desa-desa di wilayah terdampak bencana Merapi 2010 yang memiliki peraturan tentang penanggulangan bencana. Di ATLL dan ATLH, setiap pertemuan yang diadakan untuk membahas tentang penanggulangan bencana, selalu dihadiri oleh kaum perempuan, tetapi tidak ada yang mewakili kaum difabel dan kelompok lansia. Di ATL dan wilayah pembanding, perempuan yang hadir dalam pertemuan paling banyak dua pertiga dari jumlah pertemuan yang diadakan, tetapi selalu ada perwakilan kaum difabel dan kelompok lansia, meskipun juga tingkat keterwakilannya masih rendah (masing-masing 6-10% dan 3-5%).

TABEL 102: Partisipasi Kelompok Rentan dalam Pembentukan Peraturan Desa tentang Penanggulangan Bencana di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010

Partisipasi dalamPembentukan Peraturan Desa ATLL ATL ATLH KONTROL

Ada peraturan desa tentang penanggulangan bencana 33,33 33,33 37,50 31,43

Yang berpartisipasi:Perempuan 33,33 14,29 37,50 20,00Penyandang Disabilitas (Difabel) 0,00 4,76 0,00 2,86Lansia 0,00 9,52 0,00 5,71

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

2. Pendidikan & Penyebarluasan Infromasi Kebencanaan

Pendidikan dan pelatihan kebencanaan sangat penting dalam mempersiapkan warga menghadapi bencana. Pendidikan dan pelatihan kebencanaan ini adalah bagian yang tak bisa dipisahkan dari keseluruhan upaya penanggulangan bencana secara terpadu. Karena itu, keterlibatan kelompok rentan di dalamnya perlu mendapat perhatian khusus, karena merekalah sesungguhnya yang paling rawan menghadapi risiko setiap bencana.

Survei ini menemukan bahwa kegiatan pelatihan menghadapi bencana lebih banyak dilaksanakan di ATLL dibandingkan dengan di ATL, ATLH, dan wilayah pembanding. Sebanyak 64% warga yang diwawancarai di ATLL mengatakan pernah ada pelatihan kebencanaan di desa mereka sebelum terjadinya letusan Merapi 2010. Hanya berkisar 11-14% menyatakan hal yang sama di ATL dan ATLH, dan 20% di wilayah pembanding. Setelah bencana terjadi, penyelenggaraan pelatihan serupa

156 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 185: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

di ATLL justru berkurang sampai separuhnya, sementara di ATL justru bertambah dua kali lipat. Dibandingkan dengan saat pertemuan atau musyawarah, partisipasi perempuan dalam kegiatan pelatihan ini lebih rendah. Di ATLL, hanya 27% sebelum bencana terjadi dan hanya 5% setelah bencana. Sama halnya dengan partisipasi kaum difabel dan kelompok lansia. Pola atau kecenderungan yang sama juga ditemui di ATL, ATLH, dan wilayah pembanding.

TABEL 103: Partisipasi Kelompok Rentan dalam Pelatihan Menghadapi Bencana di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010

Partisipasi dalamPembentukan Peraturan Desa ATLL ATL ATLH KONTROL

Ada pelatihan menghadapi bencana diselenggarakan di desa:

Sebelum bencana 64,44 14,17 11,00 19,92Setelah bencana sampai sekarang 34,44 27,78 10,67 23,02

Yang berpartisipasi dalam pelatihan sebelum bencana:

Perempuan 27,22 4,58 4,33 7,75Penyandang Disabilitas (Difabel) 3,33 0,28 0,00 0,85Lansia 14,44 2,36 3,00 4,34

Yang berpartisipasi dalam pelatihan setelah bencana sampai sekarang:

Perempuan 5,00 9,58 2,00 6,67Penyandang Disabilitas (Difabel) 0,00 0,83 0,00 0,54Lansia 0,56 5,56 0,33 3,33

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Tim Siaga Bencana ditemukan ada di semua desa di ATLL, tetapi hanya 86-88% di desa-desa di ATL dan ATLH, sementara di wilayah pembanding hanya mencapai 67% desa. Informasi ini diberikan secara rinci oleh staf pemerintahan desa-desa tersebut, termasuk jumlah anggotanya masing-masing. Anggota Tim Siaga Bencana di setiap desa atau kategori wilayah terdampak bencana cukup beragam. Tim Siaga Bencana di desa-desa di ATLL mencatat jumlah terbanyak, mencapai 60 orang, disusul oleh desa-desa di ATLH sebanyak 42 orang. Jumlah anggota Tim Siaga Bencana di desa-desa ATL dan wilayah pembanding lebih sedikit, hanya berkisar 28-30 orang. Jumlah perempuan anggota Tim Siaga Bencana tertinggi di semua desa hanya sekitar 24-28%, terendah di desa-desa ATLH yang mencapai hanya 14%.

LINTAS SEKTOR: Perlakuan Khusus, Akses Pelayanan Publik & Pemulihan Lingkungan Hidup | 157

Page 186: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Penyebarluasan (diseminasi) informasi mengenai pengurangan risiko bencana tidak hanya dilakukan lewat media pertemuan masyarakat atau kegiatan-kegiatan komunal, tetapi juga dapat dilakukan lewat kegiatan-kegiatan khusus untuk kelompok rentan (perempuan, anak-anak, lansia, dan kaum difabel), misalnya, melalui kegiatan-kegiatan berkala tetap Kelompok Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Diseminasi informasi kebencanaan ke sekolah-sekolah merupakan media sosialisasi yang paling banyak dilakukan oleh staf pemerintahan desa. Namun, intensitasnya lebih rendah di ATL dan ATLH, hanya sekitar 50%, tidak sebanyak yang dilaporkan dilakukan di ATLL, sedangkan di wilayah pembanding hanya mencapai 33%. Diseminasi lewat kegiatan PKK hanya 36% di ATLL, 25% di ATL, 14% di ATLH, bahkan hanya 10% di wilayah pembanding.

TABEL 104: Partisipasi Warga dalam Tim Siaga Bencana Menurut Genderdi Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010

Partisipasi dalamTim Siaga Bencana ATLL ATL ATLH KONTROL

Ada Tim Siaga Bencana di desa 100,00 85,71 87,50 66,67

Anggota Tim:

Jumlah (dari total warga) 60,33 27,82 42,29 30,50Laki-laki 43,67 20,47 36,14 26,83Perempuan 16,67 6,76 5,86 7,62

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

TABEL 105: Penyebarluasan Informasi Kebencanaandi Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010

Sasaran Penyebarluasan Informasi ATLL ATL ATLH KONTROL

Sekolah-sekolah 100,00 47,62 50,00 33,33

Pertemuan Warga 60,56 27,78 37,33 13,33

Kelompok Pemuda 43,33 27,50 21,00 7,78

Kegiatan Keagamaan 51,11 37,22 28,67 16,67

Kelompok PKK 36,11 25,97 13,67 10,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

158 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 187: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

3. Peran Perempuan di Ranah Produktif & Domestik

Stereotip tentang peran kaum perempuan juga masih cukup kuat ditemukan di desa-desa yang disurvei. Di desa-desa ATLL, ATL, dan ATLH, 19-24% warga yang diwawancarai menyatakan bahwa hal-hal penting dalam keluarga masih diputuskan oleh kepala rumah tangga yang umumnya adalah lelaki. Terdapat 39-55% warga yang menyatakan keputusan keluarga diambil bersama oleh lelaki (suami) dan perempuan (istri). Di desa-desa wilayah pembanding, keadaannya kurang lebih sama di mana lelaki --sebagai kepala keluarga-- menentukan sebanyak 34-37% keputusan-keputusan yang terkait dengan pendidikan dan kesehatan keluarga, sementara 38-39% menyatakan dilakukan sebagai keputusan bersama. Dalam hal keputusan tentang waktu yang dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan kemasyarakatan dan untuk bekerja, keadaannya lebih memprihatinkan. Dalam hal ini, peran lelaki (suami) lebih dominan, hanya sekitar 21-25% diambil sebagai keputusan pasangan suami-istri di desa-desa di semua kategori wilayah terdampak bencana, kecuali di wilayah pembanding yang sedikit lebih besar, mencapai 37–44%.

TABEL 106: Pengambilan Keputusan dalam Keluarga Wargadi Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010

Pengambil Keputusan dalam Hal: ATLL ATL ATLH KONTROL

PENDIDIKANKepala keluarga (suami, bapak) 18,89 18,47 21,00 36,67

Pasangan kepala keluarga (istri, ibu) 5,00 3,61 3,33 3,33

Kepala keluarga & pasangannya 55,00 46,39 51,00 38,89

Bersama seluruh anggota keluarga 14,44 22,50 16,33 10,00Anggota lain keluarga (kakek-nenek,dll) 1,11 25,97 13,67 10,00

Bukan anggota keluarga pati (kerabat) 1,67 1,25 2,33 2,22Anggota keluarga masing-masing *) 3,89 5,28 3,67 4,44

KESEHATANKepala keluarga (suami, bapak) 24,4 19,17 19,33 34,44Pasangan kepala keluarga (istri, ibu) 6,11 6,11 5,67 5,56Kepala keluarga & pasangannya 52,78 49,58 55,33 37,78Bersama seluruh anggota keluarga 8,89 17,78 13,36 13,33Anggota lain keluarga (kakek-nenek,dll) 0,56 1,25 1,33 2,22Bukan anggota keluarga pati (kerabat) 2,22 1,39 1,00 4,44Anggota keluarga masing-masing *) 5,00 4,72 3,67 2,22

LINTAS SEKTOR: Perlakuan Khusus, Akses Pelayanan Publik & Pemulihan Lingkungan Hidup | 159

Page 188: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

WAKTU YANG DIGUNAKAN UNTUK KEGIATAN KEMASYARAKATANKepala keluarga (suami, bapak) 26,67 25,83 21,00 36,67Pasangan kepala keluarga (istri, ibu) 3,33 2,50 1,33 0,00Kepala keluarga & pasangannya 38,89 41,53 41,33 28,89Bersama seluruh anggota keluarga 7,22 9,44 11,67 4,44Anggota lain keluarga (kakek-nenek,dll) 0,00 0,56 0,67 1,11Bukan anggota keluarga pati (kerabat) 0,56 0,00 0,33 0,00Anggota keluarga masing-masing *) 23,3 20,14 23,67 28,89

SUAMI/ISTRI UNTUK BEKERJAKepala keluarga (suami, bapak) 25,00 25,28 29,00 44,44Pasangan kepala keluarga (istri, ibu) 1,11 1,81 0,67 1,11Kepala keluarga & pasangannya 52,22 54,86 48,67 33,33Bersama seluruh anggota keluarga 5,56 7,50 9,67 2,22Anggota lain keluarga (kakek-nenek,dll) 0,00 0,69 0,33 3,33Bukan anggota keluarga pati (kerabat) 0,56 0,42 1,33 2,22Anggota keluarga masing-masing *) 15,56 9,44 10,33 13,33

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)*) Dalam kasus jika dalam satu rumah terdapat beberapa keluarga pati

Peran perempuan di ranah produktif atau publik juga masih terbatas, umumnya hanya terlibat dalam hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan keperempuanan, misalnya, dalam Kelompok PKK. Dalam hal penyelenggaraan pemerintahan desa, perempuan umumnya lebih sering ditempatkan pada jabatan-jabatan stereotip pula, misalnya, sebagai Kepala Urusan (KAUR) Keuangan. Di desa-desa ATL dan ATLH, perempuan yang terlibat langsung dalam penyelenggaraan pemerintahan desa hanya mencapai 16–50%. Di ATLL dan wilayah pembanding, malah tak terlihat sama sekali.

TABEL 107: Komposisi Gender dalam Jabatan Publik Pemerintahan Desadi Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010

Jabatan Publikdalam Pemerintahan Desa ATLL ATL ATLH KONTROL

KEPALA DESALaki-laki 100,00 80,95 100,00 100,00

Perempuan 0,00 19,05 0,00 0,00

SEKRETARIS DESA

Laki-laki 100,00 100,00 100,00 100,00Perempuan 0,00 0,00 0,00 0,00

160 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 189: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

KEPALA SEKSI (KASI) PEMERINTAHANLaki-laki 100,00 100,00 100,00 100,00Perempuan 0,00 0,00 0,00 0,00

KEPALA SEKSI (KASI) KESEJAHTERAAN RAKYATLaki-laki 100,00 100,00 85,71 100,00Perempuan 0,00 0,00 14,29 0,00

KEPALA URUSAN (KAUR) PEMBANGUNANLaki-laki 100,00 100,00 100,00 100,00Perempuan 0,00 0,00 0,00 0,00

KEPALA URUSAN (KAUR) KEUANGANLaki-laki 100,00 68,75 50,00 100,00Perempuan 0,00 31,25 50,00 0,00

KEPALA URUSAN (KAUR) UMUMLaki-laki 100,00 84,21 75,00 0,00Perempuan 0,00 15,79 25,00 100,00

KETUA PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (PKK)Laki-laki 0,00 0,00 0,00 0,00Perempuan 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Salah satu yang diidentifikasi sebagai masalah yang paling sering dihadapi oleh kaum perempuan untuk berpartisipasi di ranah produktif adalah akses modal dari lembaga perbankan yang masih terbatas. Hal yang sama terlihat juga di desa-desa terpapar bencana Merapi 2010. Secara keseluruhan, rata-rata hanya sekitar 31-39% kaum perempuan dinyatakan bisa meminjam uang dari lembaga jasa keuangan tanpa persyaratan harus ada persetujuan suami terlebih dahulu, sementara yang bisa meminjam hanya jika ada persetujuan suami meningkat 18-25%.

TABEL 108: Akses Perempuan terhadap Sumber Modal Perbankandi Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010

Akses Perempuan untuk MeminjamModal Usaha dari Bank ATLL ATL ATLH KONTROL

Boleh meminjam tanpa syarat harus ada persetujuan suami 32,22 39,31 32,67 31,11

Boleh meminjam dengan syarat harus ada persetujuan suami 57,22 51,53 54,33 48,89

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

LINTAS SEKTOR: Perlakuan Khusus, Akses Pelayanan Publik & Pemulihan Lingkungan Hidup | 161

Page 190: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

4. Kelompok Rentan dalam Masa Darurat4.1. Pengambilan Keputusan Mengungsi

Salah satu langkah terpenting dalam keadaan darurat bencana adalah tindakan penyelamatan diri, termasuk di antaranya adalah keputusan yang sangat crucial untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman. Survei ini menemukan bahwa di tingkat rumah tangga, keputusan untuk mengungsi lebih banyak di tentukan bersama oleh lelaki (suami, ayah) dan perempuan (istri, ibu). Ini terjadi di semua kategori wilayah terpapar bencana, walaupun di wilayah pembanding angkanya berbanding tipis dengan keputusan yang ditentukan sepihak oleh suami atau kepala rumah tangga (38,89 dibandingkan 36,67%).

Adalah menarik bahwa proses pengambilan keputusan mengungsi tersebut bukan hanya melibatkan pasangan suami-istri (ayah-ibu), namun juga melibatkan anggota keluarga yang lain, termasuk anak-anak. Di semua desa yang disurvei, keputusan bersama seluruh anggota keluarga ini ternyata cukup tinggi, yaitu sebanyak 22,50%. Ini bisa menjadi indikasi bahwa proses konsultasi yang melibatkan anggota rumah tangga yang lain sudah mulai terbangun. Namun, di tiga wilayah yang lain, pengambilan keputusan bersama seluruh anggota keluarga ini belum terlampau banyak.

TABEL 109: Pengambilan Keputusan Keluarga untuk Mengungsidi Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010

Pengambil Keputusan Mengungsi atau Tidak Mengungsi ATLL ATL ATLH KONTROL

Kepala keluarga (suami, bapak) 18,89 18,47 21,00 36,67

Pasangan kepala keluarga (istri, ibu) 5,00 3,61 3,33 3,33

Kepala keluarga & pasangannya 55,00 46,39 51,00 38,89

Bersama seluruh anggota keluarga 14,44 22,50 16,33 10,00

Anggota lain keluarga (kakek-nenek,dll) 1,11 2,50 2,33 4,44

Bukan anggota keluarga pati (kerabat) 1,67 1,25 2,33 2,22

Anggota keluarga masing-masing *) 3,89 5,28 3,67 4,44

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)*) Dalam kasus jika dalam satu rumah terdapat beberapa keluarga pati

162 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 191: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

4.2. Prioritas Penanganan bagi Kelompok Rentan

Khususnya pada saat evakuasi, di sebagian wilayah yang disurvei, telah dilakukan upaya-upaya untuk mendahulukan kelompok rentan dalam proses evakuasi. Di ATLL, hampir semua warga (93,89%) menyatakan hal itu dan separuh warga (55,14%) di ATL menyatakan hal yang sama. Di ATLH, angkanya lebih kecil, kurang dari separuh warga (hanya 43,00%).

TABEL 110: Prioritas Kelompok Rentan dalam Evakuasi Bencanadi Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010

Prioritas Kelompok Rentan dalam Evauasi Bencana ATLL ATL ATLH KONTROL

Ada prioritas bagi kelompok rentan 93,89 55,14 43,00 53,95

Yang diberi prioritas utama:

Lanjut usia 98,33 88,47 92,00 89,38

Anak-anak 76,11 70,97 72,00 71,40

Perempuan 12,78 25,83 27,00 23,49

Penderita penyakit serius 8,33 15,14 12,33 13,49

Ibu hamil 51,11 32,92 16,67 30,54

Orang cacat 5,56 9,17 8,67 8,37

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Kelompok-kelompok yang dikategorikan sebagai kelompok rentan dan sudah mendapatkan prioritas perlakuan khusus, juga beragam di tiga kategori wilayah terdampak. Kelompok lansia dan anak-anak dinyatakan sebagai kelompok prioritas utama, tetapi para penderita penyakit serius, penyandang disabilitas, dan perempuan, belum mendapatkan prioritas yang memadai. Untuk para penyandang disabilitas, misalnya, prioritasnya masih sangat rendah, hanya 5,56% di ATLL, 9,17% di ATL, dan 8,67% di ATLH. Begitu juga dengan mereka yang menderita penyakit serius, hanya 8,33% di ATLL, 15,14% di ATL, dan 12,33% di ATLH. Sedikit berbeda adalah perlakuan untuk ibu hamil yang memperoleh prioritas jauh lebih tinggi, terutama di ATLL yang mencapai 51,11%, tetapi lebih rendah di ATL dan ATLH, masing-masing hanya 32,92% dan 16,67%.

4.3. Ketersediaan Sarana Khusus di Tempat Pengungsian

Aspek penting lain dari pengakuan akan pentingnya prioritas bagi kelompok rentan juga bisa dilihat dari ketersediaan prasarana dan sarana

LINTAS SEKTOR: Perlakuan Khusus, Akses Pelayanan Publik & Pemulihan Lingkungan Hidup | 163

Page 192: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

pendukung di tempat pengungsian untuk memenuhi kebutuhan khusus mereka.

TABEL 111: Ketersediaan Sarana Khusus di Tempat Pengungsian di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010

Sarana Khusus di Tempat Pengungsian ATLL ATL ATLH KONTROL

MCK laki-laki dan perempuan terpisah 28,33 18,89 7,33 16,20

MCK dianggap aman untuk perempuan 89,83 93,72 94,34 92,65

Ada tempat khusus untuk lansia 25,97 18,34 6,56 19,62

Ada tempat khusus ibu hamil/menyusui 32,58 23,87 6,56 24,65

Ada tempat khusus untuk anak-anak 29,78 20,85 9,84 22,29

Ada pelayanan kesehatan ibu hamil 92,13 73,62 44,26 75,98

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Tabel di atas memperlihatkan sebagian besar sarana MCK di tempat pengungsian belum dipisahkan antara MCK untuk laki-laki dan untuk perempuan. Hanya 28,33% sarana MCK di ATLL yang sudah dipisahkan, hanya 18,89% di ATL, dan hanya 7,33% di ATLH. Sedikitnya jumlah MCK yang terpisah ini berbanding terbalik dengan pandangan tentang seberapa aman MCK yang ada bagi perempuan. Sarana MCK yang tidak terpisah sering dihubungkan dengan meningkatnya risiko pelecehan seksual yang kerap dihadapi oleh perempuan. Hasil survei ini menunjukkan bahwa sebagian besar atau hampir semua warga di semua kategori wilayah terdampak bencana menyatakan bahwa MCK di tempat pengungsian mereka sudah aman bagi perempuan. Di ATLL, 89,83% warga menyatakan demikian, 93,72% di ATL, dan 94,34% di ATLH. Temuan yang cukup kontroversial ini perlu penggalian lebih lanjut, khususnya terkait dengan korelasi antara MCK dengan isu kekerasan dan pelecehan seksual bagi kaum perempuan. Dalam berbagai konteks, isu ini seringkali tidak serta merta bisa diuraikan hanya dengan satu pertanyaan tunggal. Isu keamanan dan pelecehan seksual bagi perempuan, seringkali perlu digali dengan berbagai pendekatan, karena umumnya masih dianggap sebagai masalah pribadi dan rahasia.

Temuan lain adalah kebutuhan akan sarana khusus untuk kelompok rentan lainnya. Di semua tempat pengungsian di semua kategori wilayah terpapar bencana, hanyalah ditemukan ketersediaan layanan kesehatan khusus bagi ibu hamil, sebanyak 92,13% di ATLL, 73,62% di ATL, dan hanya 44,26% di ATLH. Tidak cukup tersedia atau bahkan tak ada sama

164 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 193: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

sekali sarana khusus untuk kaum lansia, penderita disabilitas, dan juga anak-anak.

4.4. Dampak Bencana terhadap Kelompok Rentan

Juga penting dalam penanganan bencana adalah perhatian untuk mempertimbangkan dampak bencana yang dihadapi oleh kelompok rentan. Dampak ini seringkali menjadi lebih berat dan bahkan berlipat bagi kelompok rentan karena berbagai aspek kesenjangan dan keterpinggiran mereka selama ini dalam berbagai proses pengambilan keputusan. Berikut akan disajikan hasil survei yang menguraikan dampak bencana yang dihadapi oleh kelompok rentan, khususnya di sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi (lapangan kerja dan pendapatan) keluarga.

Dampak bencana bagi anak-anak bisa terjadi baik karena aspek fisik dan biologisnya (secara alamiah, anak-anak masih dalam tahap bertumbuh dan secara fisik belum sekuat orang dewasa), maupun karena aspek non-fisik (seperti terbatasnya keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan). Hal yang sama juga bisa ditemui pada kelompok usia remaja, karena dianggap belum cukup dewasa dan belum bisa mewakili dirinya sendiri dalam berbagai proses pengambilan keputusan.

4.4.1. Pada Bayi (0-5 tahun)

Tabel berikut memperlihatkan dampak bencana pada kesehatan fisik bayi usia 0-5 tahun. Di ATLL, misalnya, lebih sedikit (29.17%) bayi dan balita yang kondisinya sekarang lebih baik dibanding sesaat setelah bencana. Sebaliknya, 37,50% orangtua mengaku keadaan bayi-bayi mereka sekarang lebih baik dari sebelum bencana. Di ATLH, hanya 34,04% orangtua mengakui hal yang sama, 42,55% justru mengaku bahwa keadaannya sekarang lebih baik dari dibanding sebelum bencana.

TABEL 112: Keadaan Kesehatan Fisik Bayi di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010

Keadaan Kesehatan Fisik ATLL ATL ATLH KONTROL

BAYI PEREMPUANKeadaan sekarang (saat survei) dibanding sebelum bencana:

Lebih buruk 4,17 4,17 2,17 7,14

Sama saja 58,33 70,83 67,39 64,29

Lebih baik 37,50 25,00 30,43 28,57

LINTAS SEKTOR: Perlakuan Khusus, Akses Pelayanan Publik & Pemulihan Lingkungan Hidup | 165

Page 194: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Keadaan sekarang (saat survei) dibanding sesaat setelah bencana:Lebih buruk 12,50 2,78 2,17 7,14Sama saja 58,33 63,89 67,39 64,29Lebih baik 29,17 33,33 30,43 28,57

BAYI LAKI-LAKIKeadaan sekarang (saat survei) dibanding sebelum bencana:

Lebih buruk 6,67 10,23 4,26 0,00Sama saja 46,67 67,05 53,19 55,56Lebih baik 46,67 22,73 42,55 44,44

Keadaan sekarang (saat survei) dibanding sesaat setelah bencana:Lebih buruk 6,67 2,27 4,26 0,00Sama saja 33,33 68,18 61,70 55,56Lebih baik 60,00 29,55 34,04 44,44

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Jumlah keluarga dengan balita bergizi buruk juga masih ditemukan di tiga wilayah survei, kecuali di wilayah pembanding. Memang angkanya sangat kecil, hanya 0,56% di ATLL yang memiliki balita dengan gizi buruk. Keadaan yang paling rendah adalah di ATL, hanya 0,14%.

TABEL 113: Jumlah Keluarga dengan Balita Bergizi Burukdi Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010

Keluarga dengan Bayi Bergizi Buruk ATLL ATL ATLH KONTROLYa (ada) 0,56 0,14 0,33 0,00Tidak (tidak ada) 39,44 37,10 42,33 33,33Tidak ada balita 60,00 62,75 57,33 66,67

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Dalam keadaan bencana, aspek kesehatan mental atau psikologis juga penting bagi bayi, terutama karena trauma dan keterbatasan ekspresi trauma mereka seringkali menjadi masalah yang tidak sederhana. Data dari empat wilayah survei menunjukkan keadaan kesehatan mental/psikologis para bayi sudah membaik, terkecuali bayi perempuan di ATLL serta bayi laki-laki di ATLH. Di ATLL, lebih sedikit (29,17%) bayi perempuan yang keadaan kesehatan mentalnya sudah membaik dibanding sesaat setelah bencana, justru lebih banyak (33,33%) yang keadaannya sekarang lebih baik dibanding sebelum bencana. Begitu juga bayi laki-laki di ATLH, lebih sedikit (31,91%) yang keadaannya sekarang membaik dibanding sesaat setelah bencana, lebih banyak (34,04%) yang keadaannya sekarang membaik dibanding sebelum bencana.

166 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 195: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

4.4.2. Pada Anak-anak & Remaja (6-15 tahun)

Perbaikan kesehatan fisik pada kelompok anak dan remaja (usia 6-15 tahun) juga ditemukan di semua wilayah survei, baik pada anak perempuan maupun laki-laki. Di ATLL, lebih banyak anak perempuan (37,84%) yang keadaan kesehatannya sekarang membaik dibanding sesaat setelah bencana, sedikit lebih baik dibanding 35,14% yang mengaku keadaan kesehatan fisik para remaja tersebut sekarang membaik dibanding sebelum bencana. Begitu juga pada anak-anak laki-laki, di mana lebih banyak (45,61%) yang mengaku keadaan kesehatan fisik mereka membaik dibanding sesaat setelah bencana, jauh lebih baik dibandingkan hanya 26,32% yang mengaku keadaannya membaik dibandingkan sebelum bencana. Yang agak mengkhawatirkan dan perlu mendapatkan perhatian adalah keadaan kesehatan fisik anak-anak perempuan di ATLH di mana

LINTAS SEKTOR: Perlakuan Khusus, Akses Pelayanan Publik & Pemulihan Lingkungan Hidup | 167

TABEL 114: Keadaan Kesehatan Mental/Psikologis Bayi di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010

Keadaan Kesehatan Mental ATLL ATL ATLH KONTROL

BAYI PEREMPUANKeadaan sekarang (saat survei) dibanding sebelum bencana:

Lebih buruk 12,50 6,94 2,22 0,00

Sama saja 54,17 69,44 84,44 92,86

Lebih baik 33,33 23,61 13,33 7,14Keadaan sekarang (saat survei) dibanding sesaat setelah bencana:

Lebih buruk 8,33 5,63 0,00 0,00

Sama saja 62,50 65,20 80,00 100,00

Lebih baik 29,17 28,17 20,00 0,00

BAYI LAKI-LAKIKeadaan sekarang (saat survei) dibanding sebelum bencana:

Lebih buruk 13,33 10,23 0,00 0,00

Sama saja 60,00 67,05 65,96 66,67

Lebih baik 26,67 22,73 34,04 33,33

Keadaan sekarang (saat survei) dibanding sesaat setelah bencana:

Lebih buruk 0,00 2,27 2,13 0,00

Sama saja 70,00 62,50 65,96 66,67

Lebih baik 30,00 35,23 31,91 33,33

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Page 196: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Pada kelompok anak-anak dan remaja 6-15 tahun, keadaan kesehatan mental/psikologis mereka juga sudah mengalami banyak perbaikan, terkecuali pada anak dan remaja laki-laki di wilayah pembanding yang lebih sedikit (11,90%) mengaku keadaannya sekarang membaik dibanding sesaat setelah bencana, justru lebih banyak (14,29%) yang mengaku keadaaanya sekarang lebih baik dibanding sebelum bencana.

168 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

lebih sedikit (25,93%) yang mengaku keadaannya sekarang membaik dibanding sesaat setelah bencana, sementara hanya 33,33% yang mengaku keadaannya sekarang membaik dibandingkan sebelum bencana.

TABEL 115: Keadaan Kesehatan Fisik Anak-anak & Remaja (6-15 tahun) di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010

Keadaan Kesehatan Fisik ATLL ATL ATLH KONTROL

ANAK-ANAK & REMAJA PEREMPUAN

Keadaan sekarang (saat survei) dibanding sebelum bencana:

Lebih buruk 5,41 5,67 4,94 5,71

Sama saja 59,46 66,49 61,73 85,71

Lebih baik 35,14 27,84 33,33 8,57

Keadaan sekarang (saat survei) dibanding sesaat setelah bencana:

Lebih buruk 2,70 3,61 4,94 5,71

Sama saja 59,46 58,76 69,14 82,86

Lebih baik 37,84 37,63 25,93 11,43

ANAK-ANAK & REMAJA LAKI-LAKI

Keadaan sekarang (saat survei) dibanding sebelum bencana:

Lebih buruk 12,28 6,28 13,64 0,00

Sama saja 61,40 67,26 57,95 83,33

Lebih baik 26,32 26,46 28,41 16,,67

Keadaan sekarang (saat survei) dibanding sesaat setelah bencana:

Lebih buruk 3,51 3,14 4,55 0,00

Sama saja 50,88 59,19 61,36 83,33

Lebih baik 45,61 37,67 34,09 16,67

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Page 197: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

4.4.3. Pada Warga Lanjut Usia (>60 tahun)

Kelompok rentan lainnya adalah warga lanjut usia (berumur lebih dari 60 tahun). Seperti juga kelompok umur rentan lainnya, keadaan kesehatan fisik warga lansia telah mengalami perbaikan, terkecuali pada warga lansia laki-laki di ATLL yang lebih sedikit (28,57%) mengaku keadaan kesehatan fisiknya sekarang lebih baik dibanding setelah bencana, bahkan lebih banyak (37,14%) yang mengaku keadaannya sekarang lebih baik dibandingkan sebelum bencana. Sama halnya dengan warga lansia perempuan di ATL, di mana lebih banyak perempuan (24,56%) yang mengaku bahwa keadaannya sekarang sudah membaik dibanding sesaat

TABEL 116: Keadaan Kesehatan Mental/Psikologis Anak & Remaja (6-15 tahun) di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010

Keadaan Kesehatan Mental ATLL ATL ATLH KONTROL

ANAK & REMAJA PEREMPUAN

Keadaan sekarang (saat survei) dibanding sebelum bencana:

Lebih buruk 16,22 6,19 7,4` 2,86

Sama saja 67,57 65,46 66,67 77,14

Lebih baik 16,22 28,35 25,93 20,00

Keadaan sekarang (saat survei) dibanding sesaat setelah bencana:

Lebih buruk 8,11 2,58 3,70 2,68

Sama saja 64,86 60,31 66,67 74,29

Lebih baik 27,03 37,11 29,63 22,86

ANAK & REMAJA LAKI-LAKI

Keadaan sekarang (saat survei) dibanding sebelum bencana:

Lebih buruk 24,56 5,83 7,95 2,38

Sama saja 52,63 68,61 62,50 83,33

Lebih baik 22,81 25,56 29,55 14,29

Keadaan sekarang (saat survei) dibanding sesaat setelah bencana:

Lebih buruk 10,53 3,14 3,41 2,38

Sama saja 49,12 60,99 65,91 88,71

Lebih baik 40,35 35,87 30,68 11,90

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

LINTAS SEKTOR: Perlakuan Khusus, Akses Pelayanan Publik & Pemulihan Lingkungan Hidup | 169

Page 198: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Keadaan kesehatan mental/psikologis warga lansia ini juga sudah menunjukkan perbaikan yang berarti. Di ATLL, lebih banyak warga lansia perempuan (39,13%) mengaku keadaan kesehatan mental mereka sekarang lebih baik dibanding sesaat setelah bencana, hanya 21,74% yang mengaku keadaannya sekarang lebih baik dibanding sebelum bencana. Begitu juga warga lansia laki-laki, lebih banyak (48,57%) yang mengaku keadaannya sekarang membaik dibanding sesaat setelah bencana, hanya 25,71% yang mengaku keadaannya sekarang lebih baik dibanding sebelum bencana.

TABEL 117: Keadaan Kesehatan Fisik Warga Lansia (>60 tahun) di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010

Keadaan Kesehatan Fisik ATLL ATL ATLH KONTROL

WARGA LANSIA PEREMPUAN

Keadaan sekarang (saat survei) dibanding sebelum bencana:

Lebih buruk 32,61 35,67 34,29` 29,63

Sama saja 34,78 51,46 54,29 66,67

Lebih baik 32,61 12,87 11,43 3,70

Keadaan sekarang (saat survei) dibanding sesaat setelah bencana:

Lebih buruk 21,74 25,73 22,86 33,33

Sama saja 41,30 49,71 61,43 62,96

Lebih baik 36,96 24,56 15,71 3,70

WARGA LANSIA LAKI-LAKI

Keadaan sekarang (saat survei) dibanding sebelum bencana:

Lebih buruk 17,14 41,98 35,29 47,06

Sama saja 45,71 44,44 52,94 47,06

Lebih baik 37,14 13,58 11,76 5,88

Keadaan sekarang (saat survei) dibanding sesaat setelah bencana:

Lebih buruk 28,57 27,78 27,94 47,06

Sama saja 42,86 47,53 54,41 47,06

Lebih baik 28,57 24,69 17,65 5,88

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

170 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

setelah bencana, hanya 12,87% yang mengaku keadaannya sekarang lebih baik dibanding sebelum bencana.

Page 199: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

TABEL 118: Keadaan Kesehatan Mental Warga Lansia (>60 tahun) di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010

Keadaan Kesehatan Mental ATLL ATL ATLH KONTROL

WARGA LANSIA PEREMPUAN

Keadaan sekarang (saat survei) dibanding sebelum bencana:

Lebih buruk 30,43 19,30 11,43` 22,22

Sama saja 47,83 67,93 74,29 74,07

Lebih baik 21,74 8,77 14,29 3,70

Keadaan sekarang (saat survei) dibanding sesaat setelah bencana:

Lebih buruk 28,26 15,20 5,71 22,22

Sama saja 32,61 63,16 74,29 74,07

Lebih baik 39,13 21,64 20,00 3,70

WARGA LANSIA LAKI-LAKI

Keadaan sekarang (saat survei) dibanding sebelum bencana:

Lebih buruk 14,29 19,75 11,76 23,53

Sama saja 60,00 70,37 70,59 64,71

Lebih baik 25,71 9,88 17,65 11,76

Keadaan sekarang (saat survei) dibanding sesaat setelah bencana:

Lebih buruk 17,14 14,20 7,35 23,53

Sama saja 34,29 63,58 69,12 84,71

Lebih baik 48,57 22,22 23,53 11,76

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Aspek lain yang perlu diperhatikan pada warga lansia adalah partisipasi mereka dalam angkatan kerja. Meskipun sudan lanjut usia, warga lansia di daerah bencana Merapi pada umumnya adalah petani yang masih tetap bekerja. Survei ini menemukan bahwa bencana letusan Merapi 2010 telah menurunkan partisipasi warga lansia di daerah ini dalam angkatan kerja. Di ATLL, partisipasi warga lansia perempuan dalam angkatan kerja turun dari 68,57% (sebelum bencana) menjadi hanya 6,52% sesaat setelah bencana. Keadaannya sudah membaik saat ini, sebanyak 63,04% telah kembali bekerja, walaupun belum sepenuhnya pulih kembali seperti sebelum bencana. Adapun warga lansia laki-laki, juga terjadi

LINTAS SEKTOR: Perlakuan Khusus, Akses Pelayanan Publik & Pemulihan Lingkungan Hidup | 171

Page 200: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

penurunan drastis dari 91,43% (sebelum bencana) menjadi hanya 22,86% sesaat setelah bencana. Sekarang. keadaannya mulai membaik, mencapai 74,29% yang kembali bekerja, meskipun angka ini juga masih lebih rendah dibandingkan sebelum bencana.

TABEL 119: Partisipasi Warga Lansia dalam Angkatan Kerjadi Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010

Partisipasi dalam Angkatan Kerja ATLL ATL ATLH KONTROL

WARGA LANSIA PEREMPUAN

Sebelum bencana 68,57 66,67 44,29 74,07

Segera setelah bencana 6,52 50,29 35,71 66,67

Sekarang (saat survei) 63,04 58,48 34,29 62,96

WARGA LANSIA LAKI-LAKI

Sebelum bencana 91,43 84,57 85,29 88,24

Segera setelah bencana 22,86 66,67 83,82 82,35

Sekarang (saat survei) 74,29 76,54 82,35 82,35

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Dalam hal pendapatan mereka, tampak adanya fluktuasi. Memang terdapat keadaan di mana pendapatan perempuan sudah jauh lebih rendah di bawah pendapatan warga laki-laki, bahkan sebelum bencana terjadi. Walaupun demikian, tidak terdapat keterangan apakah mereka melakukan pekerjaan yang sama atau tidak saat ini (untuk memeriksa apakah ada diskriminasi berbasis gender dalam pengupahan). Letusan Merapi 2010 justru menjadi berkah baik bagi warga perempuan maupun lelaki. Bagi perempuan di ATLL, pendapatan sekarang ini menunjukkan peningkatan (naik sebesar 26,23%) dibanding sebelum bencana banjir lahar, dengan catatan tidak tersedia data untuk pendapatan setelah banjir lahar. Namun, pendapatan laki-laki sesaat setelah bencana justru naik sangat tajam sebesar 224%, walaupun kemudian turun lagi sebesar 61,04%. Secara keseluruhan, pendapatan laki-laki saat ini memang masih lebih baik dibandingkan sebelum banjir lahar.

Di ATL, sesaat setelah bencana, warga perempuan mengalami kenaikan pendapatan sebesar 22,01%, namun kemudian turun lagi sebesar 44,77%, bahkan terus menurun saat ini sampai 37,5% dibandingkan pendapatan sebelum bencana. Laki-laki justru mengalami penurunan pendapatan sebesar 33,67% sesaat setelah bencana, tetapi sekarang bergerak naik

172 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 201: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

kembali sebesar 80,88%, lebih tinggi 19,95% dibandingkan pendapatan sebelum bencana.

Di ATLH, bencana telah mengakibatkan penurunan pendapatan yang dampaknya dirasakan lebih drastis oleh perempuan. Sebelum bencana, pendapatan mereka adalah rerata Rp 442.500 per bulan, sekarang hanya Rp 240.000 per bulan (tidak terdapat data pendapatan sesaat setelah bencana). Pada warga laki-laki, pendapatan sebelum bencana adalah rerata Rp 854.150 per bulan, kini menurun menjadi Rp 625.126 per bulan yang bertahan tetap hingga sekarang.

TABEL 120: Pendapatan Warga Lansiadi Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010

Penapatan Warga Lansia (Rp) ATLL ATL ATLH KONTROL

WARGA LANSIA PEREMPUAN

Sebelum bencana 713.680 536.131 442.500 320.142

Segera setelah bencana n.a 654.000 n.a 252.464

Sekarang (saat survei) 900.000 335.870 240.000 291.500

WARGA LANSIA LAKI-LAKI

Sebelum bencana 773.512 1.262.593 854.150 566.846

Segera setelah bencana 2.505.000 837.470 625.126 497.958

Sekarang (saat survei) 976.428 1.514.667 625.126 634.790

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)n.a = not available

5. Pelayanan Pasca BencanaKelompok rentan tidak hanya mengalami kerawanan lebih tinggi pada saat bencana, tetapi juga setelah bencana. Bukan hanya kehilangan secara fisik --seperti terluka badan, rumah rusak atau hancur, tanaman rusak, dan ternak mati-- tetapi juga mengalami guncangan psikologis dan trauma karena mendengar letusan, menyaksikan langsung terjangan lahar, lari menyelamatkan diri dari awan panas, berjalan menuju ke tempat pengungsian dan berada di tempat pengungsian. Karena itu, bantuan kemanusiaan kepada mereka juga harus mencakup pemulihan keadaan kejiwaan. Salah satunya adalah pelayanan pemulihan (trauma healing) atau bimbingan (counselling) pasca bencana.

LINTAS SEKTOR: Perlakuan Khusus, Akses Pelayanan Publik & Pemulihan Lingkungan Hidup | 173

Page 202: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Survei ini menemukan tidak ada perbedaan yang mencolok dalam partisipasi warga kelompok rentan, baik perempuan maupun laki-laki, dalam mengikuti atau menerima pelayanan pemulihan tersebut. Bahkan, di ATLL, partisipasi perempuan dalam program lebih tinggi dibandingkan dengan kaum laki-laki pada semua kelompok usia yang ada. Namun, dari segi umur memang ada perbedaan yang cukup signifikan. Mereka yang berada dalam kelompok umur 6-15 tahun, baik perempuan maupun laki-laki, dilaporkan paling banyak mengikuti program, mencapai rata-rata 54%. Meskipun jauh lebih kecil, kelompok anak-anak dan remaja ini adalah yang juga paling banyak mengikuti program di ATL dan ATLH. Sebaliknya, warga lansia, baik laki-laki maupun perempuan, adalah kelompok yang paling sedikit mengikuti program, hanya rerata sekitar 23% di ATLL, bahkan jauh lebih kecil lagi di ATL dan ATLH, semuanya di bawah 4%.

TABEL 121: Persentase Warga Mengikuti Program Pelayanan Pemulihandi Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010

Kelompok Warga(menurut gender dan usia) ATLL ATL ATLH

WARGA PEREMPUAN

0-5 tahun (bayi) 33,33 8,33 2,17

6-15 tahun (anak-anak & remaja) 52,35 13,92 2,47

16-59 tahun (dewasa) 34,22 7,95 2,71

>60 tahun (lansia) 28,25 3,51 1,43

WARGA LAKI-LAKI

0-5 tahun (bayi) 23,33 11,24 2,13

6-15 tahun (anak-anak & remaja) 56,14 14,35 6,82

16-59 tahun (dewasa) 28,88 6,28 3,19

>60 tahun (lansia) 17,14 3,70 2,94

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Namun, dalam hal jumlah kegiatan yang diikuti, terutama di ATLL, warga lansia justru lebih sering mengikuti program, rerata 7 kali per orang, dibanding dengan kelompok anak-anak dan remaja yang rerata hanya 5 kali per orang.

174 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 203: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

TABEL 122: Frekuensi Rata-rata Warga (per orang) Mengikuti Program Pelayanan Pemulihan di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010

Kelompok Warga(menurut gender dan usia) ATLL ATL ATLH

WARGA PEREMPUAN

0-5 tahun (bayi) 5,38 2,50 5,00

6-15 tahun (anak-anak & remaja) 5,42 3,89 1,50

16-59 tahun (dewasa) 4,61 3,34 2,89

>60 tahun (lansia) 8,08 7,80 2,00

WARGA LAKI-LAKI

0-5 tahun (bayi) 3,00 4,20 2,00

6-15 tahun (anak-anak & remaja) 5,56 3,13 3,33

16-59 tahun (dewasa) 3,85 4,04 4,36

>60 tahun (lansia) 3,67 2,50 2,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Program pelayanan pemulihan lainnya, khususnya untuk kelompok rentan, masih sangat terbatas. Pasca bencana, tidak ada program yang terkait dengan pelayanan sosial seperti rehabilitasi dan perlindungan sosial anak, atau pembangunan panti asuhan di semua wilayah terdampak, termasuk di wilayah pembanding (kontrol). Di ATL, dilaporkan ada program yang dilaksanakan oleh satu lembaga sosial di beberapa (4,76%) desa. Tetapi, program yang sepenuhnya diarahkan untuk kegiatan penyuluhan dan pengarusutamaan gender tersebut --dengan anggaran biaya Rp 300 juta-- hanya mampu dimanfaatkan oleh sekitar 20% keluarga warga setempat saja.

TABEL 123: Program Pemulihan Lintas Sektor yang Terkait dengan Perlindungan Kelompok Rentan di Wilayah Terpapar Bencana Merapi 2010

Program ATLL ATL ATLH KONTROL

Ada program (% desa): 0,00 4,76 0,00 0,00

Rehabilitasi & perlindungan sosial anak 0,00 0,00 0,00 0,00

Pembangunan panti asuhan 0,00 0,00 0,00 0,00

Penyuluhan & Pengarusutamaan gender 0,00 4,76 0,00 0,00Keluarga penerima manfaat (% dari total keluarga di desa yang bersangkutan) 0,00 20,00 0,00 0,00

Nilai bantuan (Rp juta) 0,00 300 0,00 0,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

LINTAS SEKTOR: Perlakuan Khusus, Akses Pelayanan Publik & Pemulihan Lingkungan Hidup | 175

Page 204: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

B. Akses Pelayanan PublikBagian ini akan membahas keadaan kepemerintahan lokal di wilayah survei, khususnya yang berkaitan dengan akses dan pelayanan publik, juga perubahan dan dampak bencana letusan Merapi 2010 terhadap layanan publik yang diberikan oleh pemerintah setempat.

1. Kegiatan Warga Sebelum dan Sesudah Bencana

Sebelum letusan Merapi 2010, bentuk-bentuk kegiatan yang melibatkan banyak warga di desa-desa yang terpapar bencana, antara lain, adalah pertemuan masyarakat, kerja bakti, kegiatan keagamaan, ronda kampung (atau yang lebih dikenal luas sebagai ‘Sistem Keamanan Lingkungan’, SISKAMLING), arisan, pelayanan kesehatan ibu dan anak di Pos Pelayanan Terpadu (POSYANDU), dan kegiatan kaum perempuan melalui kelompok-kelompok Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK --dalam hal ini ada perkecualian di ATLH). Semua bentuk kegiatan tersebut diikuti oleh sebagian besar warga (rata-rata lebih dari 50%). Bahkan, pada beberapa kegiatan, biasanya selalu diikuti oleh hampir semua warga, seperti kegiatan kerja bakti dan kegiatan keagamaan. Sementara itu, ada beberapa bentuk kegiatan yang nisbi tidak banyak diikuti oleh sebagian besar warga, sesuai dengan pengakuan warga sendiri yang menyatakan rata-rata kurang dari separuh warga saja yang selalu mengikutinya. Beberapa kegiatan tersebut adalah koperasi dan simpan-pinjam desa, kegiatan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), kegiatan kelompok pemuda, dan kegiatan kesenian.

Tingkat keterlibatan dan ketidakterlibatan warga dalam berbagai kegiatan tersebut memang beragam antar desa di setiap wilayah terpapar bencana, namun karakteristik dasarnya nisbi sama, yakni kesamaan umum dalam bentuk atau jenis kegiatan yang melibatkan banyak atau sebagian besar warga dan yang tidak terlalu banyak diikuti oleh warga.

TABEL 124: Kegiatan Warga & Pemerintah DesaSetelah Bencana Letusan Merapi 2010

Bentuk Kegiatan ATLL ATL ATLH KONTROL

PERTEMUAN-PERTEMUAN WARGA

Warga yang mengikuti (%) 86,67 68,89 65,67 70,85Warga tidak mengikuti lagi (%) *) 82,68 56,71 29,24 50,41

Lama bulan tidak mengikuti (rata-rata) 5,884122 2,676421 2,171811 3,373955

176 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 205: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

KEGIATAN KOPERASI

Warga yang mengikuti (%) 35,56 21,11 11,67 21,24

Warga tidak mengikuti lagi (%) *) 68,28 47,78 15,00 43,81

Lama bulan tidak mengikuti (rata-rata) 8,602862 3,944581 1,416667 5,230322

KERJA BAKTI

Warga yang mengikuti (%) 95,56 94,17 92,33 93,64

Warga tidak mengikuti lagi (%) *) 68,54 37,90 15,20 34,35

Lama bulan tidak mengikuti (rata-rata) 5,577322 1,907442 0,9488889 2,826993

KEGIATAN PNPM

Warga yang mengikuti (%) 24,44 21,94 16,00 20,93

Warga tidak mengikuti lagi (%) *) 54,41 25,27 12,62 24,92

Lama bulan tidak mengikuti (rata-rata) 7,972072 3,5189453 1,225 4,648187

KEGIATAN KELOMPOK PEMUDA

Warga yang mengikuti (%) 49,44 36,81 36,00 39,46

Warga tidak mengikuti lagi (%) *) 77,98 44,73 20,80 41,48

Lama bulan tidak mengikuti (rata-rata) 9,915522 3,211273 2,845745 5,103047

KEGIATAN KEAGAMAAN

Warga yang mengikuti (%) 98,33 92,22 91,33 91,94

Warga tidak mengikuti lagi (%) *) 64,25 55,74 36,58 49,02

Lama bulan tidak mengikuti (rata-rata) 6,305942 2,433417 1,356422 2,953178

KEGIATAN SIMPAN-PINJAM DESA

Warga yang mengikuti (%) 21,11 20,42 8,67 17,91

Warga tidak mengikuti lagi (%) *) 66,67 39,83 7,14 34,88

Lama bulan tidak mengikuti (rata-rata) 8,779675 3,928763 4,681818 5,38417

KEGIATAN RONDA KAMPUNG (SISKAMLING)

Warga yang mengikuti (%) 66,11 54,72 49,00 54,96

Warga tidak mengikuti lagi (%) *) 72,37 38,23 13,93 36,24

Lama bulan tidak mengikuti (rata-rata) 10,62212 5,046552 1,911905 6,587732

KEGIATAN KELOMPOK PKK

Warga yang mengikuti (%) 67,78 42,22 29,67 41,16

Warga tidak mengikuti lagi (%) *) 83,24 56,96 24,05 50,87

Lama bulan tidak mengikuti (rata-rata) 8,492593 3,172846 1,45614 4,366428

KEGIATAN POSYANDU

Warga yang mengikuti (%) 55,56 42,36 43,00 44,19

Warga tidak mengikuti lagi (%) *) 68,93 53,67 27,74 46,17

Lama bulan tidak mengikuti (rata-rata) 5,681831 2,266754 1,820988 2,916325

LINTAS SEKTOR: Perlakuan Khusus, Akses Pelayanan Publik & Pemulihan Lingkungan Hidup | 177

Page 206: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

KEGIATAN ARISAN

Warga yang mengikuti (%) 88,33 66,11 44,33 63,18

Warga tidak mengikuti lagi (%) *) 87,06 59,84 25,10 52,56

Lama bulan tidak mengikuti (rata-rata) 8,384685 2,897563 1,531746 4,114622

KEGIATAN OLAHRAGA

Warga yang mengikuti (%) 29,44 19,44 11,67 18,91

Warga tidak mengikuti lagi (%) *) 66,67 48,12 30,61 45,75

Lama bulan tidak mengikuti (rata-rata) 8,992424 5,886044 4,341667 6,538194

KEGIATAN KESENIAN

Warga yang mengikuti (%) 29,44 13,61 13,67 14,96

Warga tidak mengikuti lagi (%) *) 73,13 38,92 17,00 42,30

Lama bulan tidak mengikuti (rata-rata) 8,627551 6,069648 3,308824 6,905091

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

*) Persentase warga yang mengaku tidak mengikuti lagi kegiatan tersebut sejak November 2010, karena terganggu oleh letusan Merapi sejak Oktober 2010 dan banjir lahar yang menyertainya selama beberapa bulan berikutnya.

Peristiwa letusan Merapi 2010 --dan banjir lahar yang menyertainya kemudian selama beberapa bulan-- telah memberi pengaruh yang besar pada berbagai kegiatan komunal tersebut. Di ATLL, semua kegiatan kemasyarakatan tersebut mengalami gangguan cukup serius di mana sebagian besar warga mengakuinya. Rentang waktu ketergangguan ini beragam, mulai dari rerata 5,57 bulan (pada kegiatan kerja bakti) hingga 10,62 bulan (pada kegiatan ronda kampung).

Di ATL, sebagian kegiatan-kegiatan tersebut mengalami gangguan serius, sebagaimana diakui oleh lebih dari separuh (50%) warga. Kegiatan yang terutama terganggu adalah pertemuan-pertemuan warga, kegiatan keagamaan, kegiatan PKK, POSYANDU, dan arisan.

Di ATLH, tingkat ketergangguannya lebih rendah, sebagaimana diakui oleh lebih dari separuh (50%) warga yang menyatakan tidak terganggunya sebagian besar dari kegiatan-kegiatan tersebut oleh luapan banjir lahar yang menimpa desa-desa mereka selama beberapa waktu setelah letusan Merapi pada bulan Oktober dan November 2010. Rentang waktu ketergangguannya juga lebih pendek, berkisar antara rerata 1 hingga 3 bulan saja.

178 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 207: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

2. Aksesibilitas terhadap Sarana dan Layanan Umum

Betapa pun, letusan Merapi 2010 telah memengaruhi aksesibilitas warga terhadap berbagai sarana dan layanan umum seperti kantor pos, perbankan, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pasar, sarana komunikasi, dan pusat pemerintahan. Gangguan aksesibilitas ini ditentukan oleh beberapa faktor seperti ketersediaannya dan jarak untuk mengaksesnya, baik yang ada di desa maupun di luar desa warga.

2.1. Akses ke Kantor Pos

Akses ke sarana kantor pos atau kantor pengiriman barang terdekat, tidak mengalami perubahan di ATLL, ATL, dan ATLH, juga di wilayah pembanding. Di ATL malah terjadi peningkatan dari 9,52 menjadi 19,05%. Pada semua desa di mana sarana kantor pos tidak terletak dalam wilayah desa yang bersangkutan, praktis juga tidak dilaporkan adanya perubahan aksesibilitas terhadap sarana ini dibanding sebelum bencana terjadi.

TABEL 125: Ketersediaan dan Jarak ke Kantor Pos dari Desa-desa TerpaparBencana Letusan Merapi 2010

Ketersediaan dan Jarak ke Sarana ATLL ATL ATLH KONTROL

KETERSEDIAAN (ada dalam wilayah desa) (%)

Sebelum bencana 0,00 9,52 0,00 0,00

Sekarang (saat survei) 0,00 19,05 0,00 0,00

JARAK RATA-RATA DARI DESA (jika tak tersedia dalam wilayah desa) (km)

Sebelum bencana 6,7 4,0 3,4 7,3

Sekarang (saat survei) 6,7 4,1 3,4 7,3

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

2.2. Akses ke Bank (Lembaga Keuangan Resmi)

Keadaan yang sama juga ditemukan pada aksesibilitas warga ke lembaga-lembaga perbankan atau lembaga keuangan resmi. Praktis, tidak ada perubahan di semua wilayah terdampak bencana, kecuali hanya perubahan kecil di ATL yang meningkat dari 23,81 menjadi 28,57%.

LINTAS SEKTOR: Perlakuan Khusus, Akses Pelayanan Publik & Pemulihan Lingkungan Hidup | 179

Page 208: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

TABEL 126: Ketersediaan dan Jarak ke Bank (Lembaga Keuangan Resmi) dari Desa-desa Terpapar Bencana Letusan Merapi 2010

Ketersediaan dan Jarak ke Sarana ATLL ATL ATLH KONTROL

KETERSEDIAAN (ada dalam wilayah desa) (%)

Sebelum bencana 0,00 23,81 37,50 33,33Sekarang (saat survei) 0,00 28,57 37,50 33,33

JARAK RATA-RATA DARI DESA (jika tak tersedia dalam wilayah desa) (km)

Sebelum bencana 6,7 3,3 4,0 9,5Sekarang (saat survei) 6,7 3,3 4,0 9,5

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

2.3. Akses ke Sarana Transportasi Umum

Sebagian dari wilayah terpapar bencana letusan Merapi 2010 sudah memiliki sarana transportasi umum seperti terminal, halte bus, dan angkutan umum yang tidak terlampau buruk. Bahkan, di ATLH, 87,50% warga membenarkan bahwa desa-desa mereka selama ini sudah memiliki sarana transportasi umum yang cukup memadai. Namun, justru di ATLH inilah terjadi penuruan akses cukup tajam menjadi hanya 75,00% setelah bencana. Penurunan juga terjadi di ATL, dari 57,14 menjadi 52,38%. Di ATLL, aksesibilitasnya lebih rendah (hanya 66,56%), namun tidak mengalami penurunan setelah bencana. Tak ada perubahan sama sekali di wilayah pembanding, baik dalam ketersediaan sarana maupun jaraknya dari desa, rerata 7,3 km (terminal) dan 3,7 km (sarana angkutan umum).

TABEL 127: Ketersediaan Sarana Angkutan dan Jarak ke Terminal/Halte Bus Umum dari Desa-desa Terpapar Bencana Letusan Merapi 2010

Ketersediaan dan Jarak ke Sarana ATLL ATL ATLH KONTROL

KETERSEDIAAN TERMINAL/HALTE BUS (ada dalam wilayah desa) (%)Sebelum bencana 33,33 9,52 12,50 0,00Sekarang (saat survei) 0,00 14,29 12,50 0,00

JARAK RATA-RATA DARI DESA (jika tak tersedia dalam wilayah desa) (km)Sebelum bencana 10,5 5,8 3,8 7,3Sekarang (saat survei) 10,0 5,3 3,7 7,3

180 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 209: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

KETERSEDIAAN SARANA ANGKUTAN UMUM (ada dalam wilayah desa) (%)Sebelum bencana 66,67 57,14 87,50 0,00Sekarang (saat survei) 66,67 52,38 75,00 0,00

JARAK RATA-RATA DARI DESA (jika tak tersedia dalam wilayah desa) (km)Sebelum bencana 8,0 3,5 10,0 3,7Sekarang (saat survei) 8,0 4,2 5,5 3,7

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

2.4. Akses ke Pasar

Sebagian besar desa yang disurvei tidak atau belum memiliki sarana pasar, kecuali beberapa desa saja di ATL. Apa yang menarik adalah justru terjadi kenaikan jumlah (ketersediaan) pasar di wilayah ini setelah bencana, dari 42,86 menjadi 47,62%. Jarak terjauh ke pasar terdekat yang berada di luar wilayah desa dialami oleh warga di ATLL, meskipun jaraknya justru semakin dekat (dari rerata 9,3 km menjadi rerata 7,3 km). Jarak terdekat ke pasar adalah desa-desa di ATL dan ATLH (rerata dari 2,4 sampai 2,6 km), sementara tidak ada perubahan jarak di wilayah pembanding (3,3 km).

TABEL 128: Ketersediaan dan Jarak ke Pasardari Desa-desa Terpapar Bencana Letusan Merapi 2010

Ketersediaan dan Jarak ke Sarana ATLL ATL ATLH KONTROL

KETERSEDIAAN (ada dalam wilayah desa) (%)

Sebelum bencana 0,00 42,86 0,00 0,00Sekarang (saat survei) 0,00 47,62 12,50 0,00

JARAK RATA-RATA DARI DESA (jika tak tersedia dalam wilayah desa) (km)

Sebelum bencana 9,3 2,8 2,4 3,3Sekarang (saat survei) 7,3 2,6 2,6 3,3

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

2.5. Akses ke Sarana Telekomunikasi Umum

Sebelum bencana, sarana komunikasi seperti telepon umum dan warung telekomunikasi (WARTEL) tersedia di sebagian besar desa-desa di ATLL, ATL, dan ATLH. Hanya di desa-desa dalam wilayah pembanding belum tersedia sama sekali. Namun, setelah bencana, semua sarana tersebut tidak tersedia lagi di ATLL dan sangat berkurang di ATL (dari 38,10% menjadi

LINTAS SEKTOR: Perlakuan Khusus, Akses Pelayanan Publik & Pemulihan Lingkungan Hidup | 181

Page 210: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

19,05%) dan di ATLH (dari 62,50% menjadi 37,50%). Setelah bencana, jarak terjauh (rerata 10,5 km) ke sarana telekomunikasi yang masih tersedia adalah di ATLL. Namun, data ini perlu disandingkan dengan akses dan cakupan layanan telepon seluler (mobile phone) yang sekarang menjangkau semua wilayah terdampak bencana. Karena itu, perubahan akses ketersediaan dan jarak ke sarana telepon umum tampaknya hampir tidak memengaruhi sama sekali kelancaran kegiatan telekomunikasi para warga korban bencana.

TABEL 129: Ketersediaan dan Jarak ke Sarana Telekomunikasi Umumdari Desa-desa Terpapar Bencana Letusan Merapi 2010

Ketersediaan dan Jarak ke Sarana ATLL ATL ATLH KONTROL

KETERSEDIAAN (ada dalam wilayah desa) (%)

Sebelum bencana 33,33 38,10 62,50 0,00Sekarang (saat survei) 0,00 19,05 37,50 0,00

JARAK RATA-RATA DARI DESA (jika tak tersedia dalam wilayah desa) (km)

Sebelum bencana 10,5 5,8 2,8 5,3Sekarang (saat survei) 10,0 5,4 6,1 5,3

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

2.6. Akses ke Sarana Pelayanan Kesehatan

Sebelum bencana, hanya di beberapa desa di ATL dan ATLH terdapat sarana rumah sakit dalam wilayah desa yang bersangkutan. Tetapi, di hampir semua desa di semua wilayah terdapat sarana PUSKESMAS atau PUSTU dan sarana lainnya seperti POLINDES. Setelah bencana, tidak banyak perubahan berarti pada ketersediaan sarana kesehatan ini. Dari segi jarak, sarana kesehatan terdekat (rerata 3,8 km) adalah di ATL.

TABEL 130: Ketersediaan dan Jarak ke Sarana dari Desa-desa Terpapar Bencana Letusan Merapi 2010

Ketersediaan dan Jarak ke Sarana ATLL ATL ATLH KONTROL

KETERSEDIAAN RUMAH SAKIT (ada dalam wilayah desa) (%)

Sebelum bencana 0,00 4,76 12,50 0,00Sekarang (saat survei) 0,00 4,76 12,50 0,00

182 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 211: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

JARAK RATA-RATA DARI DESA (jika tak tersedia dalam wilayah desa) (km)

Sebelum bencana 10,0 7,8 10,0 16,6Sekarang (saat survei) 10,0 4,76 12,50 16,6

KETERSEDIAAN PUSKESMAS/PUSTU/POLINDES (ada dalam wilayah desa) (%)Sebelum bencana 66,67 52,38 75,00 33,33Sekarang (saat survei) 66,67 52,63 75,00 33,33

JARAK RATA-RATA DARI DESA (jika tak tersedia dalam wilayah desa) (km)Sebelum bencana 8,0 3,8 6,5 5,5Sekarang (saat survei) 8,0 3,8 6,5 5,5

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

2.7. Akses ke Sekolah

Kecuali hanya beberapa desa saja di ATLL, semua desa di semua wilayah terdampak bencana sudah memiliki sarana sekolah, khususnya Sekolah Dasar (SD). Saat bencana terjadi, sekolah-sekolah di beberapa desa memang mengalami kerusakan, bahkan ada yang hancur sama sekali, terutama di ATLL. Namun, hampir semua sekolah-sekolah tersebut telah diperbaiki atau dibangun kembali, sehingga sekarang tidak terjadi perbedaan aksesibilitas yang mencolok. Hanya beberapa sekolah di beberapa desa ATLL yang sampai sekarang belum diperbaiki atau dibangun kembali, sehingga mengurangi aksesibilitas warga sampai 33,33%.

Untuk SLTP, tersedia di hampir semua desa di semua wilayah. Sama seperti SD, praktis tidak ada perubahan berarti pada aksesibilitas anak-anak warga korban bencana pada sarana persekolahan tingkat menengah pertama ini di semua desa dan semua wilayah.

Pada tingkat SLTA, beberapa SMA di beberapa desa di ATLL hancur akibat bencana dan belum diperbaiki atau dibangun kembali sampai saat ini (saat survei), sehingga mengurangi aksesibilitas anak-anak warga di sana sampai nihil (0,00%). Hal ini juga mengakibatkan penambahan jarak tempuh ke SMA terdekat di luar desa, meskipun penambahannya tidak terlalu besar (dari rerata 4,3 km menjadi rerata 4,5 km). Penurunan aksesibilitas ke SLTA juga terjadi di beberapa desa di ATL, tetapi tidak terlalu besar seperti di ATLL tadi (dari 42,86 menjadi 23,81%) dengan perubahan jarak yang kecil sekali, malah semakin mendekat (dari rerata 4,1 menjadi 4,0 km). Yang menarik adalah temuan bahwa di semua desa dalam wilayah pembanding, sama sekali tidak tersedia sarana SLTP dan SLTA, baik sebelum bencana maupun saat ini.

LINTAS SEKTOR: Perlakuan Khusus, Akses Pelayanan Publik & Pemulihan Lingkungan Hidup | 183

Page 212: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

TABEL 131: Ketersediaan Sarana dan Jarak ke Sekolahdari Desa-desa Terpapar Bencana Letusan Merapi 2010

Ketersediaan dan Jarak ke Sarana ATLL ATL ATLH KONTROL

KETERSEDIAAN SD (ada dalam wilayah desa) (%)

Sebelum bencana 100,00 100,00 100,00 100,00Sekarang (saat survei) 66,67 100,00 100,00 100,00

JARAK RATA-RATA DARI DESA (jika tak tersedia dalam wilayah desa) (km)

Sebelum bencana 0.00 0.00 0.00 0.00Sekarang (saat survei) 0.00 0.00 0.00 0.00

KETERSEDIAAN SLTP (ada dalam wilayah desa) (%)Sebelum bencana 66,67 42,86 62,50 0,00Sekarang (saat survei) 66,67 42,86 62,50 0,00

JARAK RATA-RATA DARI DESA (jika tak tersedia dalam wilayah desa) (km)Sebelum bencana 6,0 3,0 1,6 4,7Sekarang (saat survei) 6,0 2,9 1,6 4,7

KETERSEDIAAN SLTA (ada dalam wilayah desa) (%)Sebelum bencana 33,33 42,86 62,50 0,00Sekarang (saat survei) 0,00 23,81 62,50 0,00

JARAK RATA-RATA DARI DESA (jika tak tersedia dalam wilayah desa) (km)Sebelum bencana 4,3 4,1 4,8 6,3Sekarang (saat survei) 4,5 4,0 4,8 6,3

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

3. Program Lintas Sektoral di Desa

Menurut warga di desa-desa terpapar bencana Merapi 2010, program lintas sektor tidak banyak dilakukan oleh pemerintah setempat. Hanya sedikit sekali (9,52%) warga yang menyatakan adanya program lintas sektor di desa mereka, yakni di ATL. Program tersebut adalah pembangunan kantor dan rumah dinas. Juga masih di ATL, beberapa warga saja (4,76%) menyatakan pernah ada program pelayanan jasa keuangan dan program khusus perlindungan kelompok rentan di desa mereka.

Bentuk-bentuk kegiatan lain yang bersifat lintas sektor --seperti kegiatan pengamanan desa dan pemulihan lingkungan hidup-- sama sekali tidak ada warga yang menyatakan pernah ada dan dilaksanakan di desa-desa mereka.

184 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 213: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

C. Pemulihan Lingkungan HidupIsu penting lintas sektoral berikutnya adalah pemulihan ligkungan hidup di daerah terpapar bencana. Setelah letusan Merapi 2010, hanya beberapa desa di ATLH dan ATL yang melaporkan terjadi penurunan luas wilayah desa mereka, misalnya, di satu desa di ATLH mengalami penurunan luas wilayah dari 354 hektare menjadi 343 hektare. Penurunan tersebut terjadi terutama dalam luas lahan pertanian produktif, dari

TABEL 132: Kegiatan-kegiatan Lintas Sektoral yang Pernah Diadakandi Desa-desa Terpapar Bencana Letusan Merapi 2010

Ketersediaan dan Jarak ke Sarana ATLL ATL ATLH KONTROL

KEPEMERINTAHAN

Pernah ada (%) 0,00 9,52 0,00 0,00Bentuk Kegiatan:

Pembangunan gedung pemerintah 0,00 90,48 0,00 0,00Perbaikan gedung pemerintah 0,00 4.76 0,00 0,00

Jumlah warga penerima manfaat (KK) 0 0 0 0Nilai kegiatan (Rp juta) 0,00 150,0 0,00 0,00PENGAMANAN & KETERTIBAN DESAPernah ada (%) 0,00 0,00 0,00 0,00PEMULIHAN LINGKUNGAN HIDUPPernah ada (%) 0,00 0,00 0,00 0,00PELAYANAN JASA KEUNGAN (PERBANKAN)Pernah ada (%) 0,00 4,76 0,00 0,00Bentuk Kegiatan:

Pemberian kemudahan akses meminjam 0,00 4,76 0,00 0,00Pemberian keringanan bunga pinjaman 0,00 4,76 0,00 0,00

Jumlah warga penerima manfaat (KK) 0 2 0,00 0,00Nilai kegiatan (Rp juta) 0,00 170,0 0,00 0,00PEERLINDUNGAN KELOMPOK RENTANPernah ada (%) 0,00 4,76 0,00 0,00Bentuk Kegiatan:

Penyantunan warga lansia 0,00 4,76 0,00 0,00Jumlah warga penerima manfaat (KK) 0 3 0,00 0,00Nilai kegiatan (Rp juta) 0,00 400,0 0,00 0,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

LINTAS SEKTOR: Perlakuan Khusus, Akses Pelayanan Publik & Pemulihan Lingkungan Hidup | 185

Page 214: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

187 hektare menjadi 175 hektare. Di ATLH, hal ini merupakan akibat langsung dari luapan banjir lahar hujan selama beberapa bulan setelah letusan. Demikian pula halnya di beberapa desa di ATL. Adapun desa-desa di ATLL, tidak mengalami perubahan luas wilayah, namun tetap juga mengalami perubahan luas lahan produktif yang cukup besar, dari 292 hektare menjadi 151 hektare. Sebagai pembanding, desa-desa di wilayah pembanding (kontrol) tidak mengalami perubahan apapun dalam luas wilayah maupun dalam luas lahan pertaniannya.

Dampak letusan Merapi pada lingkungan hidup di desa-desa yang terpapar bencana tersebut terutama disebabkan oleh hujan bahan-bahan gunung berapi (volcanic materials) seperti debu, pasir, dan kerikil. Curahan bahan-bahan gunung berapi ini dilaporkan paling banyak dialami oleh warga di desa-desa di ATLL dalam muatan (volume) dan intensitas yang sangat tinggi, sehingga ketebalan endapannya yang menutupi kawasan permukiman dan lahan pertanian mereka mencapai rata-rata 105 cm. Di desa-desa ATL, yang dilaporkan paling banyak menyebabkan kerusakan adalah awan panas. Sebagian besar (79%) warga melaporkan hal ini. Adapun di desa-desa ATLH, luapan banjir lahar hujan merupakan penyebab utama, dilaporkan oleh hampir separuh (41%) warga setempat. Walaupun warga di ATLH melaporkan frekuensi hujan bahan gunung berapi dengan frekuensi terbanyak, yaitu selama 10 hari, namun muatannya masih lebih sedikit dibandingkan dengan yang terjadi di ATLL atau ATL. Hal ini dapat dilihat dari ketebalan endapan bahan-bahan gunung berapi tersebut di desa-desa ATLH yang lebih tipis, hanya rata-

TABEL 133: Rata-rata Luas Wilayah dan Lahan Pertaniandi Desa-desa Terpapar Bencana Letusan Merapi 2010

Rata-rata Luas Wilayah dan Lahan ATLL ATL ATLH KONTROL

SEBELUM BENCANA

Luas wilayah desa (ha) 853,10 881,07 353,78 236,90Luas lahan pertanian (ha) 310,56 243,68 271,91 151,03

Luas lahan pertanian produktif (ha) 292,54 224,00 187,18 135,66SETELAH BENCANA

Luas wilayah desa (ha) 853,10 878,88 343,34 236,87Luas lahan pertanian (ha) 310,56 235,29 219,87 151,36Luas lahan pertanian produktif (ha) 151,36 211,22 175,44 142,93

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

186 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 215: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

rata sekitar 5 cm dibandingkan dengan di ATL yang mencapai rata-rata 20 cm, apalagi di ATLL yang mencapai rata-rata 105 cm.

TABEL 134: Bahan-bahan Vulkanik Letusan Merapi 2010dan Dampaknya pada Desa-desa yang Terpapar Bencana

Bahan-bahan Vulkanik Merapi& Dampaknya ATLL ATL ATLH KONTROL

Terkena awan panas (%) 94,44 8,89 0,33 0,00Terkena lahar panas (%) 30,00 8,33 0,00 0,00

Terkena lahar hujan (%) 15,00 19,03 20,33 0,00Terkena hujan kerikil (%) 80,00 76,94 69,33 3,33Terkena hujan pasir (%) 92,78 90,00 96,33 22,22Terkena hujan abu (%) 100,00 100,00 100,00 85,56Frekuensi rata-rata hujan bahan vulkanik yang menimpa kawasan permukiman (kali) 4,08 4,45 5,27 3,86

Lama rata-rata hujan bahan vulkanik menimpa kawasan permukiman (hari) 8,87 8,46 10,39 6,09

Ketebalan rata-rata endapan bahan vulkanik yang menutupi kawasan permukiman dan lahan pertanian (cm)

104,53 20,11 5,30 0,67

Jenis bahan vulkanik Merapi yang menyebabkan kerusakan paling parah:Awan panas (%) 79,33 5,92 0,00 0,00Lahar panas (%) 17,32 6,90 0,00 0,00Lahar hujan (%) 0,00 7,32 40,71 0,00Hujan kerikil (%) 0,00 3,38 1,43 0,00Hujan pasir (%) 0,00 6,76 7,50 7,32Hujan abu (%) 3,35 69,44 50,36 73,17Lainnya (%) 0,00 0,28 0,00 19,51

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Di desa-desa ATLL dan ATL, sawah yang rusak akibat tumpahan bahan-bahan vulkanik Merapi tersebut mencapai 49-50%, sehingga produktivitas hasil pertanian di daerah ini terganggu sampai 85-100%. Pada saat survei, produktivitasnya belum sepenuhnya pulih seperti sediakala. Secara keseluruhan, tingkat kepulihan produktivitas lahan pertanian di daerah ini baru mencapai kisaran 53-67%. Sejumlah faktor utama penyebabnya adalah masih banyaknya lahan sawah yang masih terkubur lahar, pasir, atau abu serta saluran irigasi yang rusak belum diperbaiki. Bukan hanya sawah yang mengalami kerusakan, tapi juga ladang dan pekarangan. Pola kerusakannya sama seperti lahan sawah. Kerusakan paling parah terjadi

LINTAS SEKTOR: Perlakuan Khusus, Akses Pelayanan Publik & Pemulihan Lingkungan Hidup | 187

Page 216: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

di ATLL, baik dalam hal cakupan (skala) luas lahan yang terdampak maupun dalam tingkat (derajat atau intensitas) kerusakannya.

TABEL 135: Dampak Bencana Merapi 2010 pada Lahan-lahan Pertaniandi Desa-desa yang Terpapar Bencana

Dampak ATLL ATL ATLH KONTROL

PADA LAHAN SAWAH

Tingkat kerusakan (%) 33,33 66,67 62,50 0,00

Proporsi luas yang rusak (%) 50,00 48,79 26,60 0,00

Produktivitas terganggu (%) 100,00 85,00 100,00 0,00

Rata-rata lama waktu terganggu (bulan) 4,67 3,47 3,13 0,00

Produktivitas yang telah pulih (%) 66,67 52,94 87,50 0,00

Penyebab belum pulih:

* Lahan belum bisa ditanami karena masih tertimbun endapan tebal lahar dingin* Saluran irigasi belum diperbaiki, masih banyak yang tertimbun pasir tebal* Belum dapat mengerahkan iuran warga, masih sibuk membangun kembali rumah* Bendungan belum diperbaiki* Rencana untuk memperbaiki masih dibayangi ancaman bahaya sekunder (luapan banjir lahar dingin, terutama pada musim hujan)

LAHAN PRODUKTIF LAINNYA (LADANG, TEGALAN, PEKARANGAN)

Tingkat kerusakan (%) 100,00 80,95 87,50 0,00

Proporsi luas yang rusak (%) 60,00 46,88 22,57 0,00

Produktivitas terganggu (%) 100,00 100,00 87,50 0,00

Rata-rata lama waktu terganggu (bulan) 3,67 4,55 3,29 0,00

Produktivitas yang telah pulih (%) 33,33 65,00 100,00 7,32

Penyebab belum pulih:

* Lahan masih tertimbun endapan tebal bahan vulkanik Merapi* Kekurangan air karena bendungan rusak belum diperbaiki, masih tertimbun endapan pasir tebal* Batang pohon-pohon salak banyak yang rusak* Masih menunggu semaian pembibitan baru* Warga belum bisa digerakkan kerja bakti karena masih sibuk membangun kembali rumah-rumah meraka yang rusak/hancur

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

188 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 217: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Semua keadaan itulah yang menyebabkan aparat pemerintahan desa-desa terpapar bencana menyimpulkan bahwa sebagian lahan-lahan pertanian di desa-desa mereka belum sepenuhnya dapat dimanfaatkan atau diolah kembali seperti sediakala. Secara keseluruhan, sekitar 33% lahan pertanian di ATLL, 24% di ATL, dan 62% di ATLH yang sampai sekarang (saat survei) masih dinilai kurang layak atau kurang baik untuk diolah kembali. Keadaan yang sama juga berlaku pada sebagian lahan perkebunan dan hutan produksi rakyat.

TABEL 136: Keadaan Pemanfaatan Lahan-lahan Pertanian dan Kehutanandi Desa-desa yang Terpapar Bencana Merapi 2010

Keadaan ATLL ATL ATLH KONTROL

SAWAH & LAHAN PRODUKTIF LAINNYA

Sebelum Bencana

Baik (%) 66,67 61,90 87,50 33,33

Cukup baik (%) 33,33 33,33 12,50 66,67

Kurang baik (%) 0,00 0,00 0,00 0,00

Tidak baik (%) 0,00 4,76 0,00 0,00

Sesudah bencana (saat ini, saat survei)Baik (%) 0,00 47,62 37,50 33,33

Cukup baik (%) 66,67 28,57 0,00 66,67

Kurang baik (%) 0,00 23,81 62,50 0,00

Tidak baik (%) 33,33 0,00 0,00 0,00

KAWASAN HUTAN (WANATANI)

Sebelum Bencana

Baik (%) 33,33 14,29 12,50 66,67

Cukup baik (%) 66,67 14,29 12,50 0,00

Kurang baik (%) 0,00 4,76 0,00 0,00

Tidak baik (%) 0,00 0,00 0,00 0,00

Tidak berlaku (%) 0,00 66,67 75,00 33,33

Sesudah bencana (saat ini, saat survei)

Baik (%) 0,00 4,76 0,00 66,67

Cukup baik (%) 66,67 14,29 0,00 0,00

Kurang baik (%) 0,00 9,52 25,00 0,00

Tidak baik (%) 33,33 4,76 0,00 0,00

Tidak berlaku (%) 0,00 66,67 75,00 33,33

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

LINTAS SEKTOR: Perlakuan Khusus, Akses Pelayanan Publik & Pemulihan Lingkungan Hidup | 189

Page 218: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Staf pemerintahan desa-desa terpapar bencana Merapi 2010 juga mengungkapkan baru sedikit desa yang memiliki peraturan tertulis terkait degan tata kelola lahan dan hutan. Di ATLL, ATL, dan ATLH, baru berkisar 25-33% saja. Bahkan, di wilayah pembanding belum ada satu desa pun yang memiliki peraturan tersebut. Di wilayah pembanding ini, peraturan tidak tertulis (konvensi adat dan kebiasaan lokal) lebih dominan, sekitar 47-75%.

TABEL 137: Keberadaan Peraturan Tata Kelola Lahan dan Kawasan Hutandi Desa-desa yang Terpapar Bencana Merapi 2010

Peraturan ATLL ATL ATLH KONTROL

Desa punya peraturan tertulis (%) 33,33 28,57 25,00 0,00

Desa punya peraturan tidak tertulis (%) 66,67 47,63 75,00 33,33

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Letusan Merapi 2010 tidak hanya membawa dampak pada lahan, tetapi juga pada sumber-sumber air. Di ATLL, sebanyak 67% warga mengatakan menggunakan sumber air yang berbeda setelah bencana, karena sumber-sumber air sebelumnya tidak berfungsi lagi. Di ATL juga demikian, meskipun jumlahnya jauh lebih kecil (hanya sekitar 5%). Sumber air yang dipergunakan oleh warga di daerah ATLL adalah mata air alam dan air sungai. Di ATL, selain mata air alam dan air sungai, warga juga menggunakan air sumur dan air ledeng.

TABEL 138: Keadaan Sumber-sumber Air dan Dampak Letusan Merapi 2010di Desa-desa yang Terpapar Bencana

Keadaan Sumber-sumber Air & Dampak Letusan Merapi ATLL ATL ATLH KONTROL

Sumber yang digunakan sekarang berbeda dengan sebelum bencana (%) 33,33 85,71 100,00 100,00

Alasan beralih sumber:

Sumber lama tidak berfungsi lagi 66,67 4,76 0,00 0,00

Sumber lama airnya tidak jenih lagi 33,33 4,76 0,00 0,00

Pipa-pipa penyalurnya rusak/hilang 100,00 100,00 100,00 100,00

Biaya perbaikannya cukup mahal 0,00 4,76 0,00 0,00

Sudah ada sarana air baru dari bantuan 100,00 100,00 100,00 100,00

190 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 219: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Sumber air utama yang digunakan sekarang:Air sumur (%) 0,00 4,76 0,00 0,00Air ledeng (%) 0,00 4.76 0,00 0,00Air sungai (%) 100,00 100,00 100,00 100,00Mata air alam (%) 66,67 9,52 0,00 0,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

D. Simpulan Umum & Saran1. Kelompok rentan yang perlu ditangani akibat bencana Merapi 2010

sangat besar, mencapai 21-24% dari jumlah seluruh warga yang terpapar bencana, terdiri dari balita 8-9%, lansia 11-13%, Ibu hamil 1%, difabel 1%.

2. Masih rendahnya partisipasi kelompok rentan dalam proses-proses pengambilan keputusan dalam rangka upaya pemulihan kawasan bencana Merapi 2010. Hal ini terutama terjadi pada kelompok warga lansia, khususnya di desa-desa ATLL. Partisipasi perempuan jauh lebih tinggi, meskipun secara keseluruhan --jika dibandingkan dengan partisipasi kaum lelaki-- pada dasarnya juga masih rendah.

3. Prioritas penanganan bagi kelompok rentan dalam masa darurat masih perlu ditingkatkan, meskipun sebenarnya sudah dicantumkan secara tersurat dalam dokumen-dokumen kebijakan pemulihan pasca bencana Merapi 2010. Langkah-langkah penting seperti penyediaan sarana yang memadai dan aman selama masa darurat, termasuk pemenuhan kebutuhan khusus mereka, perlu menjadi prioritas dalam manajemen kedaruratan.

4. Di sektor kesehatan, beberapa kemajuan telah dicapai, baik pada aspek kesehatan fisik maupun mental/psikologis para warga korban bencana Merapi 2010. Namun demikian, belum semuanya pulih, terutama keadaan kesehatan fisik kelompok bayi yang beberapa di antaranya menderita gizi buruk, terutama di beberapa desa di ATLL dan ATLH. Perhatian terhadap kondisi kesehatan fisik bayi dan anak-anak perlu menjadi prioritas, karena implikasi dari keterpurukan keadaan kesehatan mereka akan membawa dampak besar dalam jangka panjang. Prioritas perhatian yang sama juga perlu diberikan pada kelompok warga lansia.

LINTAS SEKTOR: Perlakuan Khusus, Akses Pelayanan Publik & Pemulihan Lingkungan Hidup | 191

Page 220: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

5. Letusan Merapi 2010 telah mengakibatkan gangguan yang serius bagi keberlangsungan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, pemerintahan lokal (desa) dan aksesibilitas warga terhadap sarana-sarana pelayanan umum. Meskipun sudah dicapai banyak kemajuan dalam pemulihan akses warga terhadap sarana-sarana dasar pelayanan publik, namun perhatian khusus perlu diberikan pada beberapa kasus khas, seperti perbaikan atau pembangunan kembali gedung-gedung sekolah yang masih belum tuntas di beberapa desa.

6. Banyak dari kegiatan lintas sektoral dalam upaya pemulihan pasca bencana Merapi 2010 selama ini, ternyata tidak diketahui sama sekali oleh warga setempat, bahkan juga oleh aparat pemerintahan desa. Terkesan kuat bahwa mereka selama ini lebih sering diperlakukan hanya sebagai objek pasif penerima bantuan. Padahal, proses-proses pemberian bantuan dan upaya pemulihan pasca bencana sesungguhnya merupakan suatu peluang sangat baik untuk mendorong tumbuhnya partisipasi aktif dan prakarsa warga serta aparat pemerintahan lokal untuk bangkit memulihkan diri mereka sendiri. Sangat disarankan agar warga dan aparat pemerintahan lokal, terutama pada tingkat desa, lebih dilibatkan sebagai pelaku aktif sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi program-program pemulihan pasca bencana Merapi di masa mendatang.

7. Dampak letusan Merapi 2010 pada lingkungan hidup sangat besar. Terjadi penurunan luas lahan pertanian dan tingkat produktivitasnya. Perhatian serius dibutuhkan untuk segera merampungkan perbaikan dan pemulihan prasarana dan sarana dasar usaha tani di desa-desa terpapar bencana, terutama perbaikan dan pembangunan kembali bendungan dan saluran irigasi yang masih banyak terbengkalai. Pada tingkat terakhir, pulihnya luasan lahan pertanian dan tingkat produktivitasnya akan paling menentukan keberhasilan semua upaya pemulihan lainnya, karena hal ini menyangkut langsung kebutuhan dasar produksi pangan dan energi, penyediaan lapangan kerja serta perbaikan pendapatan warga.

8. Perhatian khusus juga perlu diberikan pada pemulihan ekosistem lingkungan hidup di desa-desa terpapar bencana, terutama pemulihan sumber-sumber air dan kawasan hutan. v

192 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 221: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

HANYA SATU & TERBUKA UNTUK SEMUASarana MCK darurat di dua tempat pengungsian di wilayah Sleman, Yogyakarta: di Prambanan (KIRI) dan di Argomulyo, Cangkringan (KANAN). Selain tidak mencukupi dari segi jumlahnya --dibanding dengan puluhan pengungsi di tempat tersebut-- sarana ini juga jelas sangat tidak memenuhi syarat kesehatan dan keindahan, terlebih lagi syarat kenyamanan dan keamanan, terutama bagi kaum perempuan.

EDI KUSMAEDIBETA PETTAWARANIE

LINTAS SEKTOR: Perlakuan Khusus, Akses Pelayanan Publik & Pemulihan Lingkungan Hidup | 193

Page 222: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

DUSUN KENINGAR, DUSUN, MAGELANG, JAWA TENGAH, 25 November 2010. Dua orang ibu muda mengangkut bambu untuk membangun kembali rumah mereka setelah sekitar sebulan mengungsi di satu barak pengungsian dekat Kota Magelang.<FOTO: SALEH ABDULLAH, TRK INSIST>

Page 223: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

MEMBANGUN KETANGGUHAN WARGAMENGHADAPI BENCANA

Saleh AbdullahAris Sustiyono

TINJAUAN AKHIR

195

Dalam menghadapi ancaman bencana, hal pertama yang harus diperhatikan adalah bahwa ketangguhan suatu komunitas

menghadapi bencana itu adalah sesuatu yang ‘ideal’, karena pada kenyataannya tidak ada masyarakat yang benar-benar terbebas sama sekali dari risiko bencana, sekecil apapun. Apalagi bagi masyarakat yang tinggal di seputar wilayah gunung berapi teraktif di dunia, Merapi, dengan ancaman permanen (permanent hazard) yang terulang secara berkala (cyclical) pada rentang waktu tertentu. Apa yang mereka bisa lakukan adalah bagaimana mengurangi risiko ancaman bencana itu semampu mungkin.

Pengurangan Risiko Bencana (PRB) adalah suatu konsep yang nisbi baru. Konsep ini masih terus dikembangkan dan berkembang. Konteks sosial budaya dan cara berpikir (mindset) adalah dua dari sekian banyak hal yang menjadi pertimbangan penting dalam konsep PRB yang dinamis. Dalam pandangan budaya dan cara berpikir masyarakat di luar kawasan Merapi, misalnya, ada yang beranggapan agar orang lebih baik sedapat mungkin menghindari ancaman bahaya dan bencana. Tetapi, bagi warga masyarakat yang hidup di sekitar Merapi, mereka justru mengembangkan cara berpikir ‘bagaimana hidup berdampingan dengan Merapi’. Karena, dari Merapi, mereka bukan hanya mendapat berkah dan rezeki, tetapi juga pengetahuan dan kearifan tradisional. Kendati, pada sisi lain, Merapi juga memberikan kematian dan kehancuran dalam hitungan ringkas.

Page 224: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Selain konteks budaya tersebut, PRB juga akan sangat ditentukan oleh daya dukung kebijakan negara yang bekerja secara strategis dan sistematis dalam melakukan antisipasi (identifikasi dan analisis) dan tindakan-tindakan efektif. Peran negara sangat vital bagi lahirnya kebijakan-kebijakan dalam rangka mengurangi kerentanan (vulnerability) di semua sektor penghidupan (livelihood) masyarakat warganya. Tidak semata-mata pada hanya ketika bencana terjadi, tetapi yang lebih penting dan strategis justru adalah pada saat tidak ada bencana. PRB pada dasarnya bertujuan mengurangi kerentanan-kerentanan sosial ekonomi terhadap bencana dan menangani bahaya-bahaya lingkungan maupun bahaya lain yang menimbulkan kerentanan.1

Secara filosofis dan afirmatif, negara juga berkewajiban mendasari strategi dan program PRB pada satu landasan umum yang sudah disepakati secara internasional: bahwa dalam keadaan darurat bagaimanapun, negara berkewajiban memberikan perlindungan Hak untuk Hidup (Rights to Life) bagi warganya. Pandangan dasar yang berhadapan dengan budaya kekuasaan di Indonesia yang kental dengan dinamika ini, pada gilirannya memengaruhi proses-proses lahirnya suatu kebijakan, termasuk kebijakan-kebijakan terkait PRB.

Demikian pula halnya dengan ‘ketangguhan’ (resilience), suatu konsep yang padanan katanya saja sangat beragam dalam bahasa Indonesia. Hal itu menjelaskan tentang begitu banyak konsep, juga teori yang terkandung di dalamnya, yang belum begitu rampung disepakati. Kata itu sering diterjemahkan sebagai ‘daya pulih’, ‘daya lenting’, ‘daya bangkit’, ‘ketahanan’, ‘ketangguhan’, dan entah apa lagi. Perkembangan teori-teori mutakhir melihat bahwa resilience harus dilihat bukan hanya pada aspek kesiapan atau kapasitas masyarakat dalam berhadapan dengan ancaman bencana, tetapi juga pada hal-hal yang memengaruhi kerentanan, dalam skala lebih luas, dan akhirnya memengaruhi tingkat resilience mereka. Bagian ini akan membahas temuan-temuan survei pada aspek-aspek praktis kesiapsiagaan masyarakat dalam mengurangi risiko bencana Merapi.

Kendati, di balik temuan-temuan praktis tersebut, pada aras analisis, sangat bisa jadi ada soal-soal yang tidak praktis. Memerhatikan rentang waktu terjadinya letusan yang cukup sering, sudah seharusnya masyarakat yang berada di sekitar lereng Merapi mendapatkan informasi

1 John Twigg, dalam ‘Karakterisitik Masyarakat Yang Tahan Bencana’, draft untuk Kelompok Koordinasi Antar Lembaga Pengurangan Risiko Bencana. Jakarta: DFID, 2007.

196 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 225: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

dan pengetahuan yang cukup agar --saat terjadi lagi letusan-- mereka telah paham langkah-langkah apa saja yang perlu mereka lakukan. Pada peristiwa letusan Merapi 2010 lalu, luncuran awan panas dapat mencapai 18 km dari puncak gunung, sesuatu yang tidak diduga sebelumnya. Begitu pula ancaman sekundernya, yakni banjir lahar hujan yang mencapai radius 30 km dan berlangsung selama beberapa bulan setelah letusan besar pertama dan kedua pada akhir Oktober dan awal November 2010. Banjir lahar itu --yang berlangsung sepanjang musim hujan hingga awal tahun 2011-- mengalir hingga ke tengah Kota Yogyakarta, mengikuti aliran Kali Code yang membelah pusat kota, di mana puluhan rumah terkena dampaknya.

Survei longitudinal ini dilakukan sebagai piranti pengamatan dan pemantauan untuk melihat sejauh mana kesiapsiagaan di tingkat masyarakat sudah dilakukan, khususnya kesiapsiagaan mereka yang berada dan hidup di sekitar Merapi.

Sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 24 Tahun 2007, Bab I Ketentuan Umum, angka 7, kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Upaya kesiapasiagaan yang dimaksud, antara lain, adalah: [1] Penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana; [2] Pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem peringatan dini; [3] Penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar; [4] Pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan gladi tentang mekanisme tanggap darurat; [5] Penyiapan lokasi evakuasi; [6] Penyusunan data akurat, informasi, dan pemutakhiran prosedur tetap tanggap darurat bencana; serta [7] Penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan untuk pemenuhan pemulihan prasarana dan sarana.

Dari hasil survei yang dilakukan pada bulan September 2012, tampaknya ada hal-hal yang cukup penting untuk dipaparkan lebih dalam berdasarkan data yang diperoleh, khususnya yang menyangkut unsur (variabel) pengurangan risiko bencana. Data tersebut diperoleh baik dari perangkat pemerintahan desa maupun dari warga masyarakat sendiri secara acak (random sampling). Tercatat 1.290 warga korban bencana diwawancarai di 35 desa yang terbagi dalam tiga kategori wilayah terdampak (affected area): Area Terdampak Letusan Langsung (ATLL), Area Terdampak Langsung (ATL), dan Area Terdampak Lahar Hujan (ATLH). Sebagaimana laiknya suatu survei, lalu ditambahkan beberapa desa lain di luar tiga wilayah terdampak tersebut sebagai pembanding (control variable).

TINJAUAN AKHIR: Membangun Ketangguhan Warga Menghadapi Bencana | 197

Page 226: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Pelibatan WargaDalam kerangka pikir dan konsep membangun ketangguhan warga menghadapi bencana, hasil survei ini yang sangat penad (relevan) untuk dicermati adalah temuan-temuan tentang pengarusutamaan (mainstreaming) agenda atau isu-isu penanggulangan risiko bencana dalam keseluruhan upaya pemulihan pasca bencana Merapi 2010. Adalah sangat penting untuk melihat bukan hanya sejauh mana agenda-agenda PRB masuk dalam perencanaan, tetapi jauh lebih penting adalah sejauh mana pelibatan warga di dalamnya serta implikasinya pada alokasi anggaran dan praktik penerapan rencana-rencana tersebut senyatanya di lapangan.

Temuan-temuan survei ini menunjukkan bahwa pengarusutamaan isu-isu PRB dalam proses-proses pertemuan warga, terutama dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (MUSRENBANGDES), sebenarnya sudah dilakukan di semua wilayah terdampak, bahkan dengan angka persentase yang cukup tinggi, rata-rata di atas 60%. Masalahnya adalah peserta pertemuan-pertemuan MUSRENBANGDES tersebut umumnya masih didominasi oleh para elite desa. Selain itu, keterwakilan kelompok-kelompok rentan (perempuan, warga lanjut usia, dan para penyandang cacat fisik atau kaum difabel) masih sangat rendah. Padahal, mereka adalah kelompok warga yang seharusnya mendapatkan prioritas dan perlakuan khusus (affirmative action) dalam setiap upaya penanggulangan bencana dan pemulihan pasca bencana.

TABEL 139: Pengarusutamaan Isu PRB dan Keterwakilan Warga dalam MUSRENBANGDES di Desa-desa yang Terpapar Bencana Merapi 2010

Isu PRBdan Peserta MUSRENBANGDES ATLL ATL ATLH KONTROL

Masuknya isu-isu PRB dalam agenda MUSRENBANG di desa-desa terdampak bencana (%)

100,00 80,95 62,50 66,67

TINGKAT PARTISIPASI WARGA DALAM MUSRENBANGDES:

Pamong (perangkat) desa (%) 27,86 32,47 31,25 25,42Tokoh masyarakat (%) 26,43 30,08 28,75 23,73Kelompok pemuda & remaja (%) 22,14 20,12 24,38 20,34Kelompok perempuan (%) 17,86 11,95 11,25 22,03Warga lansia (%) 2,14 1,79 2,50 5,08Kaum difabel (%) 0,71 0,20 0,00 1,69

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

198 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 227: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Dalam keadaan bencana besar seperti letusan Merapi 2010, memang mungkin memaklumi mengapa pelibatan peranserta warga dalam proses-proses pertemuan adalah tidak mudah. Segera setelah peristiwa bencana terjadi, para warga biasanya lebih memusatkan seluruh perhatian, tenaga, dan waktu mereka melakukan kegiatan-kegiatan tanggap darurat untuk menata kembali kehidupan yang luluh lantak. Dalam keadaan sangat luar biasa tersebut, maka dapat dipahami jika para elite desa --para pamong dan tokoh masyarakat-- adalah pihak pertama dan terakhir yang merasa harus mengambil tanggungjawab penuh proses-proses pemulihan di desa mereka.

Kemungkinan tafsir tersebut memang masih tetap terbuka untuk diuji lanjut dan bisa diperiksa pada temuan-temuan lain dari survei ini. Namun, satu hal sebenarnya sudah sangat jelas, yakni pengetahuan tentang sifat cyclical letusan Merapi yang terjadi secara berkala dalam satu rentang waktu tertentu. Pengetahuan ini mestinya sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa proses-proses perencanaan pengurangan risiko bencana sudah dapat dilakukan jauh sebelum letusan Merapi terjadi lagi. Dengan kata lain, tidak ada alasan kuat untuk menyatakan bahwa rendahnya tingkat partisipasi warga --termasuk dan terutama kelompok-kelompok rentan-- dalam pertemuan-pertemuan penting seperti MUSRENBANGDES adalah karena para warga terlalu sibuk dengan kerja-kerja tanggap darurat saat bencana sudah terjadi.

Setidaknya, temuan-temuan survei ini menunjukkan bahwa pengetahuan dasar tersebut --dan beberapa pengetahuan dasar lainnya tentang Merapi-- dimiliki oleh sebagian besar warga desa-desa di wilayah terdampak.

TABEL 140: Pengetahuan Dasar Warga tentang Merapi, Tanda-tanda& Ancaman Bencananya di Desa-desa Yang Terpapar Bencana Merapi 2010

Pengetahuan Dasar Warga ATLL ATL ATLH KONTROL

Tentang siklus berkala 3-7 tahun letusan Merapi (%) 100,00 85,71 75,00 66,67

Tentang tempat-tempat pengungsian terdekat segera setelah letusan (%) 100,00 66,67 75,00 0,00

Tentang jalur-jalur evakuasi di dalam dan ke luar desa (%) 91,67 65,56 52,67 13,33

Tentang sistem peringatan dini di desa (%) 85,56 51,39 50,33 14,44Tentang daerah aman dampak letusan dan lahar hujan dalam kawasan Merapi (%) 48,33 48,89 47,33 83,33

TINJAUAN AKHIR: Membangun Ketangguhan Warga Menghadapi Bencana | 199

Page 228: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Tingkat KesiagaanFakta adanya sejumlah pengetahuan dasar yang dimiliki oleh warga tentang Merapi dan karakteristik kebencanaannya, jelas merupakan modal penting untuk membangun ketangguhan masyarakat di kawasan bencana tersebut. Tentu saja, pengetahuan dasar tersebut masih perlu lebih ditingkatkan dan diperkaya. Dalam hal inilah pendidikan kebencanaan menjadi sangat strategis.

Ikhtiar-ikhtiar pendidikan kebencanaan bagi warga di kawasan bencana Merapi pernah diselenggarakan di hampir semua desa yang disurvei, baik sebelum maupun sesudah bencana. Temuan menarik dari survei ini adalah bahwa kegiatan-kegiatan pendidikan tersebut justru semakin berkurang setelah bencana dibandingkan sebelum bencana. Bahkan, Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) --yang merupakan gabungan berbagai lembaga pemerintah, perguruan tinggi, dan organisasi-organisasi masyarakat sipil atau lembaga swadaya masyarakat (LSM)-- adalah salah satu yang paling sedikit menyelenggarakan kegiatan pendidikan kebencanaan tersebut.

Meskipun banyak pihak pernah berprakarsa dan terlibat, namun pemerintah desa dan Tim Siaga Bencana di setiap desa masih tetap merupakan pelaku utama yang paling sering menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pendidikan kebencanaan untuk warganya.

Tentang tanda-tanda awal akan terjadinya letusan Merapi:

Turunnya kawanan binatang liar dari puncak (%)

21,18 15,02 11,95 6,04

Suara gemuruh dari arah puncak (%) 20,77 17,25 20,35 17,93Peningkatan suhu udara (%) 19,96 21,32 20,29 18,60Terlihatnya pijar lava di puncak (%) 8,35 8,66 8,57 8,14Rentetan gempa vulkanik (%) 7,33 10,81 12,51 10,47Bau belerang yang menyengat (%) 7,13 4,15 3,61 0,00Semburan asap tebal di puncak (%) 5,09 9,11 8,23 13,95Guguran bahan vulkanik (%) 4,68 4,05 3,16 4,07Hujan abu (%) 4,07 7,66 11,27 14,53Ular-ular keluar dari lubangnya (%) 0,81 0,80 1,35 0,00Lainnya 0,61 1,10 1,80 3,49

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

200 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 229: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Betapapun, data ini menunjukkan bahwa pemerintah desa masih tetap merupakan sumber informasi utama bagi para warganya, termasuk dalam hal kebencanaan. Para warga yang diwawancarai di semua desa juga menegaskan hal tersebut.

TABEL 141: Penyelenggaraan Kegiatan Pendidikan Kebencanaan bagi Warga di Desa-desa yang Terpapar Bencana Merapi 2010

Penyelenggara Pendidikan Kebencanaandi Tingkat Desa ATLL ATL ATLH KONTROL

Sebelum bencana 64,44 14,17 11,00 6,67Pemerintah provinsi 2,30 2,86 0,00 0,00Pemerintah kabupaten 9,20 12,57 18,18 5,86Pemerintah desa 28,16 31,34 23,64 23,53BPPD/BNPB 10,92 6,29 3,64 11,76Tim Siaga Bencana Desa 20,69 14,86 30,91 11,76Forum PRB 1,15 2,29 0,00 5,88KESBANGLINMAS 2,30 4,57 1,82 11,76PMI 6,32 9,14 0,00 17,76LSM 5,75 6,29 7,27 17,65

Sesudah bencana (%) 34,44 27,78 10,67 3,33Pemerintah provinsi 2,74 2,06 0,00 0,00Pemerintah kabupaten 9,59 10,31 1,89 10,00Pemerintah desa 17,81 33,33 43,40 20,00BPPD/BNPB 8,22 7,56 16,98 10,00Tim Siaga Bencana Desa 27,40 12,03 11,32 10,00Forum PRB 0,00 6,53 3,77 10,00KESBANGLINMAS 1,37 2,06 0,00 10,00PMI 4,11 9,62 1,89 10,00LSM 10,96 3,44 5,66 20,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

TABEL 142: Pengetahuan Warga tentang Sumber Informai Kebencanaan di Desa-desa yang Terpapar Bencana Merapi 2010

Sumber Informasi Kebencanaan yang Paling Sering Dirujuk oleh Warga ATLL ATL ATLH KONTROL

INFORMASI UMUM KEBENCANAAN:BPPTK Yogayakarta 20,10 6,32 3,21 0,00Petugas Pos Pemandu Merapi 21,65 21,90 27,27 0,00Menara/Gardu Pandang Merapi 3,09 3,16 2,67 0,00

TINJAUAN AKHIR: Membangun Ketangguhan Warga Menghadapi Bencana | 201

Page 230: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Forum-forum PRB di tingkat desa, juga bisa menjadi ajang efektif bagi pertukaran pengetahuan, baik antar warga maupun antara warga dengan pihak-pihak lain --seperti relawan, LSM, atau lainnya-- secara lebih terorganisir.2 Dalam hal ini, menarik melihat tingkat pelembagaan para relawan, khususnya kaum muda, di tingkat desa dalam bentuk Tim Siaga Bencana (TSB) yang cukup tinggi di semua wilayah yang disurvei, dengan kisaran antara 85 hingga 100%.

Mungkin karena sifatnya yang sukarela, hanya sebagian saja dari semua TSB yang dibentuk itu berdasarkan Surat Keputusan (SK) Kepala Desa. Menariknya, justru TSB yang diketuai oleh perangkat desalah yang mempunyai legitimasi pembentukan berdasarkan SK Kepala Desa. Di ATLL, misalnya, 66,67% TSB yang dibentuk berdasarkan SK Kepala Desa, seluruhnya diketuai oleh perangkat (pamong) desa, sementara 33,33% TSB yang tidak diketuai oleh perangkat desa tidak memiliki SK resmi dari Kepala Desa. Sekilas, persoalan ini tampak sederhana saja. Tetapi, pada aras analisis, bisa menceritakan banyak hal.

Untuk meningkatkan kapasitas penanggulangan bencana, TSB menerima pelatihan-pelatihan yang dianggap relevan, baik sebelum kejadian letusan Merapi 2010 maupun setelahnya. Sebanyak 66,67% TSB menyatakan pernah menerima latihan. Tim-tim siaga bencana tersebut selanjutnya aktif terlibat dalam memperkuat kapasitas warga desa-desa mereka dalam menghadapi bencana.

Pemerintah provinsi 0,52 0,00 0,53 0,00Pemerintah kabupaten 2,58 3,16 1,60 6,67Pemerintah kecamatan 0,52 3,16 2,14 13,33Pemerintah desa 36,60 47,86 45,99 26,67

INFORMASI KHSUSUS TENTANG ANCAMAN BENCANA MERAPI:Tim Siaga Bencana Desa 16,94 12,51 12,47 0,00Pemerintah desa 34,27 33,80 40,46 6,12Pemerintah kabupaten/provinsi 3,63 2,78 1,53 0,00Media massa 19,76 36,26 33,59 68,37BPPTK Yogyakarta 20,16 3,32 2,80 0,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

2 Ini merupakan salah satu prinsip utama ‘penguatan ketangguhan secara melembaga’, (strengthen institutional resilience) dari delapan prinsip gerakan Kemitraan Global untuk Pengembangan Ketangguhan (Global Partners for Resilience), dalam ‘A New Vision for Community Resilience’, 2012.

202 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 231: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

TABEL 143: Keberadaan dan Profil Tim Siaga Bencana (TSB)di Desa-desa yang Terpapar Bencana Merapi 2010

Keberadaan TSB ATLL ATL ATLH KONTROL

Sudah ada (terbentuk) 100,00 85,71 87,50 66,67Dibentuk berdasarkan SK Kepala Desa 66,67 44,44 71,43 50,00Dibentuk tanpa SK Kepala Desa 33,33 55,56 28,57 50,00Diketuai oleh perangkat (pamong) desa 66,67 55,56 71,43 50,00Diketuai bukan oleh pamong desa 33,33 33,33 0,00 50,00Punya panduan (SOP) TSB 100,00 61,11 71,43 50,00Pernah menerima pelatihan khusus 66,67 66,67 57,14 100,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Sebagian besar desa yang disurvei di kawasan Merapi juga sudah memiliki sistem peringatan dini (early warning system) dan berfungsi dengan baik. Bahkan semua desa di ATLL dinyatakan sudah memiliki sistem tengara awal tersebut. Ketika terjadi letusan tahun 2010 lalu, 87,88% warga menyatakan sistem tersebut berfungsi baik. Sistem tersebut juga mudah didengar dan dipahami warga. Sebagian besar warga di semua desa yang memiliki sistem tersebut mengaku mematuhi tanda-tanda dari sistem peringatan dini di desa mereka, segera melakukan pegungsian ke tempat-tempat yang telah disepakati. Sayangnya, sekali lagi, tingkat keterlibatan warga dalam penyusunan mekanisme kerja sistem peringatan dini tersebut sangat rendah di semua desa, rerata di bawah 20%.

TABEL 144: Keberadaan Sistem Peringatan Dinidi Desa-desa yang Terpapar Bencana Merapi 2010

Keberadaan Sistem Peringatan Dini ATLL ATL ATLH KONTROL

Sudah ada (terpasang) dan berfungsi dengan baik 100,00 90,00 75,00 100,00

Warga mengetahui keberadaannya 100,00 98,24 100,00 66,67

Warga mematuhi peringatannya 100,00 95,00 75,00 100,00

Warga terlibat menyusun mekanisme kerjanya 11,69 17,57 20,53 23,08

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

TINJAUAN AKHIR: Membangun Ketangguhan Warga Menghadapi Bencana | 203

Page 232: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Sebagian besar warga di desa-desa yang disurvei juga sudah mengetahui pihak-pihak penting yang harus mereka kontak atau hubungi saat darurat atau ada peringatan dini akan kemungkinan terjadinya bencana. Mereka umumnya (87,14%) memiliki nomor-nomor telepon berbagai pihak penting tersebut. Tetapi, terdapat perbedaan cukup mencolok dalam pandangan warga tentang pihak yang paling penting dan pertama harus mereka kontak. Di ATLL, sebagian besar warga lebih memilih mengontak Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) kabupaten, sementara di ATL dan ATLH --juga desa-desa di wilayah pembanding-- lebih memilih mengontak aparat pemerintah kecamatan dan desa. Temuan ini menarik jika dikaitkan dengan data sebelumnya tentang rendahnya tingkat keterlibatan warga dalam penyusunan sistem peringatan dini dan penyusunan rencana-rencana PRB dalam MUSRENBANGDES.

TABEL 145: Pihak-pihak Penting dan Pertama yang Dikontak oleh Warga Saat Keadaan Darurat Bencana di Desa-desa yang Terpapar Bencana Merapi 2010

Pihak yang Dikontak Warga ATLL ATL ATLH KONTROL

Punya nomor kontak penting saat darurat 15,56 7,22 6,33 3,33

PILIHAN YANG DIKONTAK PERTAMA KALI:

Aparat pemerintahan desa/kecamatan 0,00 60,00 75,00 33,33

Kepala Dusun (Rukun Warga) 33,33 10,00 12,50 66,67

BPBD kabupaten 66,67 25,00 0,00 0,00

Komandan Posko Bencana di desa 0,00 5,00 0,00 0,00

Lainnya 0,00 0,00 12,50 0,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

Untuk keperluan evakuasi, banyak warga menyatakan bahwa desa mereka telah memiliki jalur dan alat angkut evakuasi yang cukup baik dan layak. Selain itu, sebagian besar mereka, terutama di desa-desa di ATLL (65,56%) juga menyatakan pernah mendapatkan pelatihan-pelatihan atau simulasi evakuasi. Mungkin karena merasa tidak terlalu perlu mengungsi, pelatihan atau simulasi evakuasi di desa-desa ATL, ATLH --dan juga di desa-desa pembanding-- sangat sedikit pernah dilakukan dan diikuti oleh warga setempat.

204 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 233: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa tingkat kesiagaan warga menghadapi bencana di desa-desa yang disurvei sebenarnya cukup memadai. Hampir semua prasyarat dasar --pengetahuan, organisasi, dan perangkat kerja-- sudah tersedia. Terlepas dari taraf kelayakan, kemampuan, dan mutu dari semua prasyarat tersebut --yang umumnya memang belum optimal-- namun basis suatu sistem telah terbentuk untuk lebih memungkinkan mereka merancang dan menerapkan tindakan-tindakan pengurangan risiko bencana. Karena itu, untuk mengoptimalkan semua prasyarat dasar tersebut, faktor berikutnya --yakni aturan dan kebijakan-- memegang peran penting dan menentukan.

Aturan & KebijakanPara pemikir atau pakar penanggulangan bencana, terutama mereka yang secara khusus mendalami persoalan ketangguhan (resilience), mempunyai pandangan yang sama bahwa faktor kebijakan (policy) merupakan salah

TABEL 146: Keberadaan Jalur dan Perangkat Dasar Evakuasi di Desa-desa yang Terpapar Bencana Merapi 2010

Keberadaan Jalur & Perangkat Dasar Evakuasi di Desa ATLL ATL ATLH KONTROL

Sudah ada jalur evakuasi 100,00 90,48 87,50 66,67Keadaannya baik 66,67 63,16 71,43 100,00Kelayakan/kemudahan dilalui 98,79 98,31 96,84 100,00

Kendaraan angkut evakuasi:Kendaraan roda dua (sepeda motor) 35,57 35,47 36,92 37,50Kendaraan roda empat (mobil) 37,64 35,71 31,28 34.38Jalan kaki 26,79 28,83 31,79 28,13

Pelatihan/simulasi evakuasi:Pernah diselenggarakan dan diikuti warga 65,56 36,39 19,33 3,33

Pilihan prioritas evakuasi:Warga lansia 36,20 35,47 39,32 35,59Anak-anak 28,02 28,45 30,77 32,20Perempuan 4,70 10,36 11,54 7,34Ibu hamil 18,81 13,20 7,12 8,47Penderita penyakit berat 3,07 6,07 5,27 7,34Penyandang cacat fisik (difabel) 2.04 3,67 3,70 3,39

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

TINJAUAN AKHIR: Membangun Ketangguhan Warga Menghadapi Bencana | 205

Page 234: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

satu kunci terpenting.3

Dalam kasus desa-desa di kawasan bencana Merapi, survei ini menemukan bahwa faktor aturan dan kebijakan juga nisbi masih lemah. Di semua desa yang disurvei, keberadaan Peraturan Desa (PERDES) tentang penanggulangan bencana, termasuk perspektif dan isu-isu pengurangan risiko bencana serta pembangunan ketangguhan warga, masih terbilang sedikit. Di desa-desa ATLL dan ATL, hanya 33,33% yang menyatakan sudah memiliki PERDES khusus tersebut, sementara di desa-desa ATLH juga hanya 37,50%. Sementara itu, masih sangat sedikit Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) yang terbentuk di tingkat desa. Di semua kategori wilayah yang disurvei, termasuk di desa-desa di wilayah pembanding-- keberadaan FPRB masih rerata di bawah 15%. Padahal, forum berbasis komunitas seperti itu --selain alasan-alasan kultural yang sangat kuat mendasarinya-- bisa menjadi wahana yang efektif untuk membangun suatu sistem ketangguhan warga setempat menghadapi bencana secara sistematis dan melembaga (systemic and institutionalized).

TABEL 147: Keberadaan Peraturan Desa tentang Kebencanaan & Forum Pengurangan Risiko Bencana di Desa-desa yang Terpapar Bencana Merapi 2010

Keberadaan Peraturan Desa ATLL ATL ATLH KONTROL

Sudah ada PERDES Kebencanaan 33,33 33,33 37,50 66,67

Sudah ada PERDES khusus pengelolaan kawasan desa sebagai bagian dari kawasan bencana Merapi

0,00 14,29 0,00 0,00

Unsur-unsur PRB sudah dibahas dalam MUSRENBANGDES dan dimasukkan dalam dokumen RPJM Desa

100,00 80,95 62,50 66,67

Sudah terbentuk FBRB Desa 27,78 9,86 12,67 0,00

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

206 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

3 Beberapa pakar memasukan aspek kebijakan, dengan seluruh legitimasi yang ada padanya, sebagai aspek terpenting penopang pengurangan risiko bencana bagi terwujudnya masyarakat tangguh (resilient community). Selain John Twigg, adalah Mark Pelling (2011), misalnya, dalam ‘Adaptation to Climate Change; From Resilience to Transformation; Cutter dkk, ‘A place-based model for understanding community resilience to natural disasters’, Global Environmental Change, Vol.8, 2008; Mercer, “Policy arena: Disaster risk reduction or climate change adaptation: Are we reinventing the wheel?”, Journal of International Development, Vol.22.

Page 235: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Masih lemahnya perangkat sistem kelembagaan inilah yang dapat menjelaskan mengapa masih banyak warga di desa-desa yang disurvei belum atau tidak mengetahui berbagai aturan dan kebijakan penting pemerintah desa mereka tentang kebencanaan. Salah satu dokumen kebijakan terpenting yang harus diketahui oleh semua warga adalah ‘Rencana Darurat’ (contingency plan) desa mereka. Survei ini menemukan bahwa masih cukup banyak warga yang belum mengetahui keberadaan dan isi dari dokumen penting desa mereka tersebut. Di ATLL, lebih dari separuh (66,67%) menyatakan mengetahuinya, di ATL malah kurang dari separuh (47,62%), di ATLH lebih sedikit lagi (37,50%), bahkan sama sekali tidak ada (0%) yang tahu di desa-desa dalam wilayah pembanding.

Dokumen penting lainnya yang tidak banyak diketahui warga adalah PERDES tentang Pengelolaan Lahan Desa sebagai bagian dari kawasan bencana Merapi. Sebagai dokumen informasi dan perencanaan tata ruang (spatial information and plan), dokumen ini sangat penting diketahui oleh warga, karena merupakan salah satu dokumen paling dasar dalam keseluruhan upaya penanggulangan dan pengurangan risiko bencana. Dalam UU Nomor 24/2007 tentang Kebencanaan, khususnya Pasal 23, semua rencana penanggulangan dan pengurangan risiko bencana wajib didasarkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) suatu daerah atau kawasan.

Temuan ini sejalan dengan temuan lainnya bahwa sosialisai isu-isu PRB --termasuk dan terutama dokumen-dokumen dasar terpenting yang mendasarinya-- kepada semua warga memang masih nisbi kurang di semua desa yang disurvei.

TABEL 148: Pengetahuan Warga tentang Dokumen Kebencanaan Terpenting dan Sosialiasinya di Desa-desa Yang Terpapar Bencana Merapi 2010

Keberadaan Dokumen Penting & Pengetahuan Warga ATLL ATL ATLH KONTROL

Keberadaan Rencana Darurat Desa dan pengetahuan warga tentangnya 66,67 47,62 37,50 0,00

Pengetahuan warga tentang PERDES pengelolaan kawasan desa sebagai bagian dari kawasan bencana Merapi

47,78 21,81 16,00 7,78

Sosialisasi dokumen-dokumen PRB desa kepada seluruh warga desa 58,33 36,25 28,67 3,33

Sumber: Data Dasar Survei Longitudinal (2012) (diolah)

TINJAUAN AKHIR: Membangun Ketangguhan Warga Menghadapi Bencana | 207

Page 236: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

208 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

DUSUN KLIDON, NGEMPLAK, SLEMAN, YOGYAKARTA, 26 Juni 2006. Hanya sebulan

setelah gempa bumi besar menghantam wilayah Bantul dan Klaten, satu keluarga (ayah, ibu, dan

anak) dengan sengaja berhenti dan duduk di tepi jalan kampung hanya untuk menyaksikan kepulan asap Merapi yang tak pernah berhenti

sejak semburan besar dua minggu sebelumnya, 9 Juni 2006. Letusan Merapi bisa bermakna

sangat beragam bagi warga sekitarnya, termasuk sebagai ‘tontonan’ yang memukau.

<FOTO: BETA PETTAWARANIE, TRK INSIST>

Simpulan Umum & SaranDengan segenap kelemahan dan kekurangannya yang masih tersisa, survei ini menemukan bahwa ikhtiar membangun suatu sistem ketangguhan menghadapi bencana di kawasan Merapi sudah mulai diletakkan dasarnya atau, paling tidak, sudah ‘tersedia lahannya’. Antara lain, justru karena pengalaman warganya sendiri menghadapi bencana Merapi yang bukan hanya sudah pernah terjadi beberapa kali di masa lalu, tetapi juga --sudah dapat dipradugakan-- masih akan tetap terjadi entah berapa kali lagi di masa depan.

Karena itu, temuan-temuan penting dari survei ini dapat dijadikan sebagai masukan berharga untuk memperbaiki semua kelemahan dan kekurangan yang masih ada. Ada tiga hal mendasar yang perlu dibenahi: [1] pelibatan warga dalam semua proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi tindakan-tindakan pemulihan dan PRB; [2] peningkatan kualitas semua perangkat dasar kesiagaan yang sudah ada, terutama pada aras desa; dan [3] penyempurnaan berbagai aturan dan kebijakan yang memungkinkan semua prasyarat dan perangkat dasar sistem ketangguhan berbasis warga benar-benar dapat diterapkan.

Seperti yang telah dikemukakan di awal, upaya-upaya PRB sebaik apapun tidak akan bisa seratus persen menyelamatkan warga dari ancaman bencana, apalagi untuk warga yang tinggal di sekitar Merapi. Tetapi kesiapsiagaan yang dipersiapkan lebih dini akan dapat mengurangi risiko

Page 237: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

kerusakan atau kehancuran yang bersifat fatal. Warga seputar Merapi punya caranya sendiri untuk memahami fenomena Merapi. Berdasarkan pengalaman sekian kali menghadapi dampak letusan Merapi dalam rentang waktu yang semakin dapat dipradugakan pula, survei ini juga menunjukkan dengan nyata kemauan mereka untuk terus belajar dan bersiap diri menghadapi bencana. Pemerintah, sebagai pembuat kebijakan, semestinya pula dapat belajar dari pengalaman warga seputar Merapi tersebut dan memanfaatkannya untuk membantu mereka membangun suatu sistem ketangguhan yang benar-benar handal.v

Page 238: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013
Page 239: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

LAMPIRAN

1 | Ikhtisar Peraturan Perundang-undangan dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana

2 | Gambaran Umum Realisasi Rencana Aksi Rehabilitasi & Rekonstruksi Pasca Bencana Merapi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah

3 | Tanggapan Umum Warga Korban Bencana Merapi terhadap Rencana Relokasi oleh Pemerintah

Page 240: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Lampiran 1PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA

No Hasil Kajian Dokumen Hukum Lembaga Terkait

1 Karena UU Pemerintah Daerah hadir sebelum UU Penanggulangan Bencana, maka undang-undang tersebut belum mengatur secara jelas mandat pemerintah daerah dalam penanggulangan bencana. Akibatnya, penanggulangan bencana belum menjadi “mandat pokok” pemerintah daerah.

* Undang-undang (UU) 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana

* UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah

* BNPB* Kementerian Dalam Negeri (KEMENDAGRI)

2 Implikasi dari hal tersebut di atas, pendanaan untuk kegiatan penanggulangan bencana menjadi “anak tiri” di dalam perimbangan keuangan pusat dan daerah.

* UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana

* UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

* BNPB* KEMENDAGRI

3 Korban bencana alam termasuk salah satu mandat dalam perlindungan sosial. Dalam pelaksanaannya, memungkinkan tumpang tindih. Perlu penegasan pembagian peran antara BNPB dan Kementerian Sosial (KEMENSOS)

* UU 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial

* UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana

* BNPB* KEMENSOS

4 Sebagai Peraturan Pemerintah (PP) yang lebih dulu hadir, PP 42/2007 menempatkan lembaga teknis daerah tidak mempunyai otoritas komando (Pasal 8) dan bertanggungjawab kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah, termasuk dalam urusan bencana (Pasal 22 ayat 5) Bencana merupakan unsur baru yang belum ada dalam organisasi perangkat daerah. Pembaruan peraturan juga belum dilakukan.

* PP 21/2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana

* PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah

* BNPB* KEMENDAGRI

5 Pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana sering dianggap belum jelas. Perlu keputusan bersama antara BNPB dan Menteri Dalam Negeri (MENDAGRI) untuk memastikan hal ini.

* PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah

* PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan

* BNPB* KEMENDAGRI

6 Pendanaan PB di daerah tidak masuk dalam prioritas utama. Perlu keputusan bersama antara BNPB dan MENDAGRI untuk memastikan hal ini.

* PP 22/2008 tentang Pendanaan Penanggulangan Bencana

* PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan

* BNPB* KEMENDAGRI

212 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 241: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

LAMPIRAN 1: Peraturan Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana | 213

7 BNPB ditempatkan sebagai lembaga teknis non departemen dengan Kepala BNPB setingkat Menteri. Ini berimplikasi pada kesulitan BNPB menjalankan mandat koordinasi antar lembaga teknis dan berbagi peran melakukan tindakan teknis dengan kementerian yang ada.

* PERPRES 47/2008 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara

* Peraturan Presiden (PERPRES) 8/2008 tentang Pembentukan BNPB

* BNPB * KEMENDAGRI

8 Bila dibandingkan dengan PERPRES 8/2008 yang menempatkan unsur pengarah BNPB “lebih rendah” dari BPLS (PERPRES 4/2007, revisi PERPRES 40/2009). Pada unsur pengarah dari masyarakat profesional, ada semacam “down grade”, mengingat unsur pengarah harus melewati uji kelayakan (fit and proper test) di DPR-RI. Adapun wakil pemerintah, unsur pengarah BNPB “hanya” diisi oleh eselon satu.

* PERPRES 59/2009 tentang Anggota Unsur Pengarah Penanggulangan Bencana dari Instansi Pemerintah

* PERPRES 24/2009 tentang Anggota Unsur Pengarah Penanggulangan Bencana dari Masyarakat Profesional

* BNPB

9 PERMENDAGRI memberikan pilihan pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dengan tingkat A atau B seperti lazimnya lembaga teknis daerah, serta tidak mewajibkan daerah membentuk BPBD. PERMENDAGRI yang “kadaluwarsa” kadang masih digunakan oleh aparat daerah di luar BPBD.

* PERMENDAGRI 46/2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja BPBD

* Peraturan Kepala (PERKA) BNPB 3/2008 tentang Pedoman Pembentukan BPBD.

* PERMENDAGRI 33/2006 tentang Pedoman Umum Mitigasi Bencana

* Keputusan Menteri Dalam Negeri (KEPMENDAGRI) 131/2003 tentang Pedoman Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi di Daerah

* BNPB* KEMENDAGRI

10 Berbeda pemaknaan istilah, tujuan, dan kegiatan sesuai dengan mandat sektor masing-masing. PERMENDAGRI 27/2007 belum mengacu pada UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.

* PERKA BNPB 17/2009 tentang Pedoman Standarisasi Peralatan Penanggulangan Bencana.

* PERMENDAGRI 27/2007 Pedoman Penyiapan Sarana dan Prasarana dalam Penanggulangan Bencana

* BNPB * KEMENDAGRI

Page 242: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

11 Indonesia sebagai kawasan rawan bencana sudah menjadi pertimbangan UU ini. Mitigasi bencana juga sudah menjadi pertimbangan tindakan. Namun, secara umum belum ada penyelarasan tata ruang pengelolaan kawasan rawan bencana sebagai bagian dari upaya penyelenggaraan pencegahan bencana.

* UU 26/2007 tentang Penataan Ruang

* UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana

* BNPB * Kementerian Pekerjaan Umum (KEMENPU)

12 Belum diselarasakan standar bangunan gedung dengan kecenderungan intensitas ancaman yang berhubungan dengan kehadirannya di dalam zona rawan ancaman yang berpengaruh langsung terhadap kerusakan gedung (gempa) atau pemanfaatan gedung untuk pengurangan risiko bencana (tsunami).

* UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana

* UU 28/2002 tentang Bangunan Gedung

* BNPB * KEMENPU

13 Belum diselaraskan pengelolaan sumberdaya air dari sisi negatif (ancaman), baik dari sisi kelebihan air (banjir) maupun kekurangan air (kekeringan) sebagai bagian dari upaya penyelenggaraan pencegahan bencana.

* UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana

* UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air

* BNPB* KEMENPU

14 Belum ada pemastian penggunaan uang negara untuk penanggulangan bencana seperti dalam sektor pendidikan.

* UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana

* UU 17/2003 tentang Keuangan Negara

* BNPB * Kementerian Keuangan (KEMENKEU)

15 Keuangan daerah yang selalu terbatas akan cenderung mengesampingkan kebutuhan akan penanggulangan bencana. Karena itu, perimbangan keuangan pusat dan daerah perlu ditetapkan dengan mempertimbangkan tingkat risiko masing-masing daerah

* UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana

* UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah

* BNPB* KEMENKEU

16 Kemiskinan merupakan akar masalah kerentanan bencana. Penanggulangan kemiskinan berorientasi pada pengurangan risiko. Padahal, masyarakat miskin merupakan masyarakat rentan. Berkenaan dengan hal tersebut, penanganan kemiskian di kawasan rawan bencana perlu dilakukan koordinasi dengan baik.

* PP 44/2012 tentang Dana Darurat

* PERPRES 13/2009 tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan.

* BNPB * Kementerian Kordinator Kesejahteraan Rakyat

(KEMENKESRA)

214 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 243: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

LAMPIRAN 1: Peraturan Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana | 215

17 Pemaknaan istilah yang berhubungan dengan bencana, terutama mitigasi bencana (Pasal 56) berbeda dengan yang tercantum pada UU 24/2007. Ini berimplikasi pada kemungkinan tindakan yang tumpang tindih.

* UU 27/2007 tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

* UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana

* BNPB * Kementerian Perikanan & Kelautan (KEMEN PK)

18 Masih perlu penjelasan yang mudah dipahami mengenai hubungan antara peta-peta hasil Badan Geologi Kementerian Energi & Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan Peta Risiko Bencana, serta posisi keduanya dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.

* PERKA BNPB 2/2012 tentang Pedoman Pengkajian Risiko Bencana

* Keputusan Menteri (KEPMEN) ESDM 15/2011 tentang Pedoman Mitigasi Bencana Gunung Api, Gerakan Tanah, Gempa Bumi, dan Tsunami.

* BNPB* Kementerian ESDM

19 PERPRES tentang Badan SAR Nasional (BASARNAS) walau mandatnya untuk pencarian dan pertolongan, namun tidak mengacu pada UU 24/2007 dan tidak ada satu pun kata “bencana” di dalam PERPRES tersebut. Perlu diatur peran antara BNPB dan BASARNAS dalam keadaan darurat.

* PERPRES 8/2008 tentang Pembentukan BNPB

* PERPRES 99/2007 tentang BASARNAS.

* BNPB* BASARNAS

20 Masing-masing PERKA ini menegaskan fungsi dan peran lembaganya sesuai UU di atasnya. Karena UU dan peraturan di atasnya tidak ada koordinasi, maka fungsi dan peran masing-masing yang muncul juga tidak menunjukkan hal tersebut.

* PERKA BNPB 1/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja BNPB* PERKA BASARNAS PER.KBSN-01/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja BASARNAS.

* BNPB* BASARNAS

Sumber: Eko Teguh Paripurno (2012).

Page 244: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Lampiran 2GAMBARAN UMUM REALISASI RENCANA AKSI REHABILITASI & REKONSTRUKSI (RENAKSI RR) PASCA BENCANA MERAPI 2010 di DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (DIY) dan JAWA TENGAH (JATENG)

No SEKTOR Realisasi Program Rencana Aksi di DI Yogyakarta

Realisasi Program Rencana Aksi di Jawa Tengah

1 PERUMAHAN

Dokumen Renaksi RR DIY dan Jateng

1.Perumahan2 Prasarana Lingkungan3 Pendampingan4 HRNA sektor perumahan5 Dukungan Pemulihan Perumahan dan Permukiman Rekompak (BNPB)6 Pembebasan Tanah Kas Desa

Paparan BPBD DIY & Jateng 21-22 Nov. 2012

KABUPATEN SLEMAN

* Penyediaan tanah: 1.907 kaveling* Rencana awal: 3.023 unit hunian tetap (HUNTAP)* Lolos kriteria: 2.721 unit.* Jumlah relokasi: 2.129 unit* (JRF/PSF: 1.378 unit; BNPB: 657 unit; lainnya: 94 unit)* Belum relokasi: 592 unit (27,81%)* HUNTAP selesai: 1.365 unit (50,17%); status 5/11/2012* Estimasi selesai s/d akhir Desember 2012: 2.034 unit

KABUPATEN MAGELANG

* Target relokasi: 746 KK* Jumlah relokasi: 427 KK (230 MK, 103 MP, 94 negosiasi calon lokasi)* HUNTAP di Desa Ngawen Kec. Muntilan = 1,2 ha untuk 72 KK (HUNTARA Macasan). Kemajuanfisik = 27,10%* Relokasi Dusun Mawe Desa Sukorini seluas1.2 Ha : direncanakan untuk 80 KK dari Desa Jumoyo dan Sirahan.* Tanah yang sudah di bayar:(a) MK: Jomboran Ngawen, Semawe Sukorini, Taman Agung Kec. Muntilan, dan Gambiran Kulon Kec. Salam seluas 25.877 m2(b) MP: Plosogede (4 KK) dan Gondosuli (4 KK) Kec.Ngluar;(c)Tanah Kas Desa dalam proses pelepasan): Seloboro dan Jumoyo Kec. Salam

KABUPATEN KLATEN

* Perkembangan 8 September 2012,165 KK menyatakan menolak relokasi di Dusun Tegalweru, hanya mau relokasi di Bendorejo, Desa Balerante, Kec.Kemalang.* Membuatkan jalur evakuasi * Membangun dan memperbaiki Tempat Evakuasi Sementara (TES)

216 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 245: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

LAMPIRAN 2: Realisasi Rencana Aksi Pemulihan Pasca Bencana Merapi 2010 | 217

* Memasang Early Warning System (EWS) * Penyediaan kebutuhan dasar pengungsi (kebutuhan air bersih dan lain-lain yang sifatnya sementara)* Jarak shelter permanen dengan desa asal ± 13 km* Shelter permanen Kebondalem Lor (5500 m2) Kec. Prambanan untuk menampung asal Desa Balerante* Shelter permanen Menden (3012 m2) Kec. Kebonarum untuk menampung asal Desa Sidorejo* Shelter permanen Demak Ijo (2800 m2) Kec.Karangnongko untuk menampung asal Desa Tegalmulyo* Lahan yang digunakan adalah tanah kas desa

Rp.146,23 miliar Rp.76,79 miliar

2 EKONOMI PRODUKTIF

Dokumen Renaksi RR DIY dan Jateng

* Kegiatan perekonomian masyarakat praktis terhenti karena kehilangan mata pencaharian akibat terhentinya proses produksi maupun potens pendapatan yang seharusnya diperoleh masyarakat* Kebutuhan pemulihan pada sektor Ekonomi Produktif diperkirakan mencapai Rp. 223,01 miliar yang diperuntukkan untuk mendukung pemulihan sub sektor pertanian, perikanan, UKM dan koperasi, pariwisata dan perdagangan.* Kebutuhan pendanaan pemulihan sektor ekonomi produktif di Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp.76,79 miliar sementara Provinsi DI Yogyakarta sebesar Rp.146,23 miliar

Paparan BPBD DIY & Jateng, 21-22 Nov. 2012

1. Pertanian & PerkebunanKABUPATEN SLEMAN

* Rehab jaringan irigasi tingkat petani (3 lokasi) selesai pada akhir Des. 2012* Pembuatan kebon bibit rakyat, selesai Des. 2012* Rehabilitasi terasering lahan pertanian* Pemeliharaan & pengayaan tanaman kawasan

KABUPATEN MAGELANG

* Bantuan pembelian pupuk dan benih tanaman salak (237 ha): penangkar menyediakan jumlah bibit, sesuai musim tanam bulan September-Desember. Kemajuan fisik dan keuangan: 37,97% * Pupuk organik dan benih tanaman kelapa, sudah selesai.

Page 246: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

KABUPATEN KLATEN

* Rehabilitasi tanaman jabon, sengon, duren, Acasia decurens, mindi, MPTS, sayuran, padi, jagung, kacang tanah baru terlaksana 100%.* Penyedian pompa air padi, pompa air jagung, hand sprayer padi, hand sprayer jagung masih terlaksana 100%

KABUPATEN BOYOLALI

* Bantuan bibit jabon, suren, sengon, acacia decurens, mindi, matoa, kesemek, kemiri sunan, padi, jagung, kobis, cabai, sawi, terong, tomat, buncis, wortel, labu siam, timun, bawang merah, bawang daun* Penyediaan pupuk: ZA, urea, NPK, organik, PPC, fungisida, Insektisida, sudah selesai* Kelompok penerima bantuan bibit pertanian (SK Bupati Boyolali) untuk 78 kelompok tersebar di Kec Selo (30), Kec.Cepogo (17), dan Kec. Musuk (31)* bantuan bibit cengkeh, nilam, pupuk organik, sudah selesai

2. PeternakanKABUPATEN SLEMAN

* Pembangunan kandang ternak sapi dan kelengkapannya (14 lokasi)* Pengadaan sapi perah (600 ekor), selesai akhir Des.2012

KABUPATEN MAGELANG

* Pengadaan kambing pejantan (80 ekor) dan betina (1200 ekor) sudah terlaksana 80%, sedangkan dan bantuan obat-obatan (40 paket) belum dilaksanakan.

KABUPATEN KLATEN

* Pemberian bantuan sapi potong dan sapi perah (kemajuan fisik: 100%) * Bantuan peralatan kandang kambing dan sapi (kemajuan fisik: 100%)* Bantuan bibit HPT dan pakan konsentrat (kemajuan fisik: 85%)

218 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 247: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

LAMPIRAN 2: Realisasi Rencana Aksi Pemulihan Pasca Bencana Merapi 2010 | 219

KABUPATEN BOYOLALI

* Penyediaan sapi potong sebanyak 260 ekor dan sapi perah sebanyak 50 ekor sudah terlaksana,* penyediaan kambing etawa jantan sebanyak 37 ekor, dan kambing etawa betina sebanyak 300 ekor

3. Usaha Kecil & MenengahKABUPATEN SLEMAN

* Rehab pasar (11 lokasi)* Belanja modal usaha bagi pedagang pasar (Pemulihan ekonomi Pasar Tradisional)* Sosialisasi dan Penataan Pedagang* Pameran/Gelar Potensi Produk Makanan Olahan dan Souvenir* Pelatihan usaha dan manajemen pemasaran* Pelatihan keterampilan teknologi pengolahan hasil pertanian* Pelatihan keterampilan Industri kecil mebel kayu* Temu usaha industri kecil makanan dengan Toko Oleh-oleh/Swalayan* Pendampingan manajemen usaha kelompok industri* Pelatihan keterampilan teknologi pengolahan ikan air tawar

KABUPATEN KLATEN* Pemberdayaan UKM melalui pelatihan dan fasilitasi bantuan investasi mesin/ peralatan produksi (21 paket) : di 13 pelatihan di ds. Kemalang dan 8 pelatihan di ds. Manisrenggo sudah selesai.

KABUPATEN BOYOLALI* Bantuan modal untuk 33 koperasi di Kec.Selo (13), Kec.Cepogo (10), dan Kec.Musuk (10). Sudah 11 koperasi memenuhi syarat Akta Pendirian, proposal dan sudah membuka rekening (kemajuan: 30%)

Rp.102,35 Miliar Rp 315,32 Miliar

3 PRASARANADokumen Renaksi RR DIY dan Jateng

* Kerusakan pada sarana dan prasarana transportasi darat (jalan dan jembatan) dan prasarama sumber daya air* Untuk pemulihan sektor iprasarana dibutuhkan dana sebesar Rp.417,67 Miliar, dengan rincian Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp 315,32 Miliar dan Provinsi DI Yogyakarta Rp.102,35 Miliar

Page 248: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Paparan BPBD DIY & Jateng 21-22 nov.’12

KABUPATEN SLEMAN

* Rehab jalan provinsi (2 ruas)* Rehab jembatan provinsi (3)* Rehab jalan kabupaten (6 ruas)* Rehab jaringan irgasi, perbaikan sungai (6 lokasi)* Pengadaan pipa transmisi diameter 100 - 150 mm* Pengadaan pipa tersier diameter 50 - 75 mm

KABUPATEN MAGELANG

* Kemajuan fisik 20 pekerjaan konstruksi: 12 pekerjaan sudah mencapai 100%, 7 pekerjaan antara 50-100%, dan 1 pekerjaan < 50%, sehingga rata-rata: 93,75%* Rehab Jalan dan 5 perbaikan jembatan

KABUPATEN KLATEN* Rata-rata kemajuan fisik 9 paket pekerjaan konstruksi = 17,62%, karena keterlambatan pengadaan dan pekerjaan dimulai awal September 2012.

KABUPATEN BOYOLALI

* Rata-rata progres fisik 9 paket pekerjaan konstruksi = 62,84%; 1 pekerjaan sudah selesai, rata-rata pekerjaan >50 %* Perbaikan Jembatan Taring Jalur Evakuasi Kec.Cepogo baru 17,12% * Perbaikan jembatan (7 lokasi), perbaikan jalan (1 ruas)

Rp.102,35 miliar Rp 315,32 miliar

4 LINTAS SEKTOR

Dokumen Renaksi RR DIY dan Jateng

1.Ketertiban dan Keamanan (TNI/POLRI)2 Lingkungan Hidup: 3 Kehutanan*)4 Keuangan dan Perbankan5 Pemerintahan 6 Pengurangan risiko bencana 7 Tim Pendukung Teknis

* sarana dan prasarana pemerintahan yang rusak* penguatan kapasitas penanggulangan bencana daerah* kerusakan vegetasi (di tingkat semai dan pancang), migrasi satwa (burung)* monyet ekor panjang, babi hutan, macan, dll) serta kerusakan ekosistem

220 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 249: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

LAMPIRAN 2: Realisasi Rencana Aksi Pemulihan Pasca Bencana Merapi 2010 | 221

* kebutuhan pemulihan sebagian besar diperuntukkan bagi insentif pembebasan lahan milik masyarakat; yang berada di kawasan terdampak langsung erupsi; yang akan dikonversi menjadi kawasan Taman Nasional Gunung Merapi dan hutan lindung.* kebutuhan pendanaan untuk pembebasan lahan seluas 10 ha di Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp.1,77 miliar, sementara kebutuhan pembebasan lahan seluas 1.300 ha di DI Yogyakarta sebesar Rp.257,51 miliar* diupayakan peningkatan pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat

KABUPATEN SLEMAN

* Pembangunan prasarana lingkungan kompleks perkantoran* Relokasi barak pengungsian (11 lokasi)* Revitalisasi Posko Utama (1 lokasi)* Pengadaan alat CCTV, radio komunikasi, dan perlengkapan kesiapsiagaan bencana* Festival Anak Merapi* Penyusunan panduan dokumen PRB* Penyusunan peta kontijensi Merapi tingkat kabupaten* Penyusunan SOP Penanggulangan Bencana dari tingkat dusun sampai tingkat kabupaten* Pelatihan PRB Masyarakat* Perbaikan sistem on-line desa* Pengadaan dan rehabilitasi repeater radio komunikasi* Pembangunan prasarana lingkungan komplek perkantoran Kec.Cangkringan

KABUPATEN MAGELANG

* Progres fisik dari 16 pekerjaan konstruksi masih rendah (<50%), karena pengadaan jasa konstruksi selesai September 2012 dan fisik selesai bulan Desember 2012.* Pembangunan TPA: sifatnya hanya penambahan fasilitas umum dan fasilitas sosial TPS/TPA.* Rehab/Rekon sarana pendukung pengungsi di TPA di 16 lokasi

Rp.257,51 miliar Rp.1,77 miliar

Sumber: Paparan Kemajuan/Capaian Renaksi BPBD DIY dan BPBD Jateng, 21-22 November 2012

Page 250: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

No Kabupaten Tanggapan Warga atas Kebijakan Relokasi Pasca Bencana Merapi 2010

1 Sleman:* Desa Glagaharjo (ATL), Kec.Cangkringan* Desa Kepuharjo (ATLL), Kecamatan Cangkringan

* “Menolak rencana relokasi warga lereng Merap karena selama ini kami tidak pernah diajak bicara oleh pemerintah, namun tiba-tiba kami dikejutkan dengan rencana relokasi ini.”* “Jika pengambilan kebijakan relokasi tersebut sepihak, maka sama dengan menempatkan warga sebagai objek saja tanpa ada sedikitpun aspirasi dari warga; sama sekali tidak pernah diajak bicara dan mereka juga tidak mau tahu apa sebenarnya yang kami inginkan, maka dengan tegas kami tidak akan menerima kebijakan relokasi itu,”* Penolakan lahan milik warga yang akan dijadikan sebagai hutan lindung juga dilakukan warga Dusun Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul dan Srunen di Desa Glagaharjo karena hanya menjadi petani dan peternak.* “Kami meminta anggota DPRD Sleman untuk memperhatikan nasib warga dan dilibatkan dalam kebijakan terkait sehingga bisa menghasilkan kebijakan yang tepat.”* “Warga Kaliadem di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, memang wajar jika minta relokasi, karena mereka terkena dampak letusan Merapi secara langsung dan lahan mereka hancur total. Kondisinya berbeda dengan dusun kami yang tidak terkena dampak langsung, seharusnya ada dialog dulu dengan warga yang tinggal di lereng Merapi.”

2 Sleman:Dusun Pelemsari, Desa Umbulharjo (ATLL), Kecamatan Cangkringan

* Warga desa berencana melakukan relokasi secara mandiri. Mereka telah membeli tanah seluas 10.844 m2 di Karang Kendal, Dusun Balong, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, untuk tempat tinggal yang baru dilandasi pada beberapa hal: keamanan, keberlangsungan roda ekonomi warga, keberlanjutan sosial budaya, dan terjaminnya pendidikan anak. * Setelah mengetahui kondisi tempat tinggal warga sudah tidak mungkin untuk dihuni kembali; tanah relokasi ini rencananya dibagi untuk 81 Kepala Keluarga (KK). Pendanaan untuk pengadaan lahan dan relokasi ini di antaranya berasal dari pengelolaan wisata yang selama ini dilakukan oleh masyarakat. Terlebih warga menyadari kondisi pasca letusan tersebut sudah sesuai dengan kebijakan pemerintah,

3 Magelang:Dusun Gempol, Desa Jumoyo, Salam, (ATLH)

* Warga yang menolak relokasi sebanyak 106 keluarga, sebagian warga yang menolak relokasi telah membangun rumah yang rusak akibat diterjang banjir lahar; warga Gempol kebanyakan bekerja di perusahaan pemecah batu maupun pembuatan adonan cor; kebanyakan telah meninggalkan hunian sementara

4 Boyolali: Kec. Selo & Cepogo (ATL & ATLH)

Pemulihan jalur evakuasi di lereng Gunung Merapi tahun ini menyasar pada 10 titik jalan yang biasa digunakan sebagai jalur evakuasi. Dari rencana 10 titik ini, tersebar di dua kecamatan, yakni Kecamatan Selo dan Cepogo.

Lampiran 3GAMBARAN UMUM TANGAPAN WARGA KORBAN BENCANA MERAPI terhadap RENCANA RELOKASI OLEH PEMERINTAH

222 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 251: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

LAMPIRAN 3: Tanggapan Warga Korban Bencana Merapi 2010 | 223

5 Klaten:Desa Balerante, Kec. Kemalang, (ATLL)

* Beberapa kali sosialisasi ternyata tak mampu menggoyahkan keinginan warga yang sudah memiliki tekad bulat untuk menempati rumah di Desa Balerante. Secara resmi, sikap penolakan warga juga sudah disampaikan dengan membuat surat pernyataan. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Klaten telah melakukan verifikasi terhadap surat pernyataan, hasilnya juga sudah dikirim ke pemerintah pusat. “Dengan adanya sikap penolakan relokasi yang disampaikan warga, maka Pemerintah Kabupaten Klaten tidak ingin terlalu ikut campur dalam melakukan relokasi. Apakah nanti warga mau pindah atau tidak itu tergantung kebijakan dari pemerintah pusat,” tegas Kepala KESBANGPOLINMAS Klaten. “Masih terdapat 10 kepala keluarga yang menempati shelter di Bumi Perkemahan Kepurun, Kecamatan Manisrenggo. Kendati demikian, sebagian warga yang masih tinggal di shelter berencana membuat rumah permanen di kampung asalnya di Desa Balerante, Kecamatan Kemalang; namun warga korban erupsi Merapi akan menurut keinginan pemerintah jika sewaktu-waktu terjadi bencana serupa,” papar Kepala Desa Balerante.* Rencana relokasi terhadap korban letusan Gunung Merapi di Desa Balerante, belum menemukan titik temu. Pasalnya, dari tiga lokasi yang dipilih warga Balerante masih terganjal peraturan.“Dalam penggunaan tanah kas desa itu terdapat beberapa tahapan yang perlu dilalui. Jika menaati peraturan yang ada, tentu tidak akan cukup waktu dalam memproses relokasi. Namun jika tidak melaksanakan pemerintah dihadapkan pada batas waktu untuk segera merelokasi,” ujar Asisten I Bidang Pemerintahan Kabupaten Klaten.* Untuk relokasi sendiri diberi deadline akhir Agustus harus sudah ada keputusan tempatnya mana. Sehingga dapat dilakukan jika boleh memilih warga sudah menentukan di Dusun Gondangrejo untuk tempat yang baru pembangunan rumah untuk korban erupsi Gunung Merapi. * “Dana yang disiapkan untuk program relokasi sebesar Rp 3,1 miliar masih tersimpan di BPBD Klaten, jadi peluang untuk mengikuti relokasi ke daerah yang aman masih terbuka,” kata KABID Rehabiliasi dan Rekonstruksi (RR) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Klaten* Dalam program rehabilitasi dan rekonstruksi pasca erupsi Merapi yang dicanangkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), memang telah disiapkan dana untuk relokasi bagi 165 KK yang tinggal di kawasan rawan bencana.* Saat ini, BPBD masih menunggu Rancangan Peraturan Presiden (RAPERPRES) tentang Kawasan Gunung Merapi yang akan menjadi dasar pemanfaatan lahan dan tata ruang di kawasan lereng Merapi. Di dalamnya akan diatur tentang lokasi yang boleh dijadikan permukiman dan mana yang harus dikosongkan.

Sumber:http://www.solopos.com/2011/08/03/relokasi-korban-erupsi-merapi-diserahkan-pemerintah-pusat-109619http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2013/01/17/141946/Kesempatan-Relokasi-Korban-Merapihttp://www.solopos.com/2013/01/16/recovery-jalur-evakuasi-merapi-pemkab-boyolali-gelontor-rp79-m-369252http://www.bisnis-jateng.com/index.php/2011/04/warga-korban-merapi-tolak-relokasi/www.kr.co.id, tanggal 21/09/2011

Page 252: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

INDEKS

air bersih 21, 23, 26, 45, 53, 54, 217anak-anak 48, 56, 131, 136-40, 151,

153, 158, 162-3, 165, 167-8, 174, 183, 191, 205

ancaman 31, 64, 67, 72, 89, 84, 136, 195-7, 208

primer 67, 83sekunder 67

bahaya 77, 80-1, 89, 94, 195-6permanent hazard 195

banjir 28, 66, 82, 136, 172, 178, 186, 194bantuan kemanusiaan 126, 128, 173Bantul 208baseline 9-10, 18, 24bayi, balita 139-40, 153, 165-7, 175, 191bendungan 99, 101-5, 107, 188, 192 berkelanjutan 12Boyolali xvii-viii, 4-8, 19, 34, 41, 50-7,

60-1, 99, 191, 109, 218-23

community-based 67cyclical 195

desa, pedesaanaparat, pamong 9, 11, 14, 137, 189,

192, 198-9, 202, 204pemerintahan 14, 137-8, 157-8, 160-7,

189, 192, 197, 200, 204 difabel 153-8, 191, 198, 204-5disabilitas 153, 163, 165dusun vii, 1, 5-9, 12-4, 34, 95-6, 99, 131,

135, 153, 194, 208

ekonomi 4, 6, 11, 13, 14-25, 31-2, 42-3, 47, 50-1, 55-6, 64, 84, 90, 111, 154, 165, 196

produktif 111-29enumerator 13evaluasi xix, 2-3, 12, 18, 149, 192, 208

gempa bumi 208gender 151-3, 158, 172, 175 gizi 2, 17, 166, 191

hak dasar 142hutan, kehuatanan xviii, 21, 48-9, 58, 86,

116, 189-90, 192

indekspemulihan bencana 14-5, 17-60pembangunan manusia 18, 20

indikator 2, 17-20, 22-5, 67

jalan xviii, xxi, 21, 46, 54-5, 61, 64, 98, 99-109, 135-6, 207-8

Jawa Tengah xviii, 1-2, 4, 16, 19, 28, 34, 60-1, 70, 86-9, 95-6, 99, 116, 195

jembatan 21, 46, 54-5, 61, 64, 98, 99-109,135-6, 207-8

KaliOpak 82Gendol 82Kuning 82Putih 82

keamanan 65, 68, 79, 164, 178, 193kebijakan publik 153, 225kebutuhan xvii, 1, 3, 25, 45, 47, 49, 56,

58-9, 65, 70, 93, 112, 125, 148, 152-3, 164, 191-2, 197

kekeringan 28, 214kelompok rentan

anak-anak 151, 153, 158, 162-3, 165, 167-8, 174, 183, 191

perempuan 151, 153-4, 156-67, 156-74, 176, 191, 193

lansia 139-40, 151, 153-8, 163, 165, 167-71, 174, 191

remaja 165, 167-8, 174keluarga xviii, 8-9, 21, 63-4, 68-9, 79, 85,

89, 93, 125, 127-9, 145, 158, 162, 165-6, 175-6, 208

kerugian xviii, 1, 65, 86-7, 99, 111, 119, 122-6, 131, 136, 138

kesehatanasuransi 126, 145fisik 21, 48, 56, 138-40, 152, 167-9, 191jaminan 127, 145, 149mental/psikologis 21, 48, 138, 148, 166,

191pelayanan 48, 57, 64, 131, 138, 142-3,

145-9, 176, 182prasarana/sarana 143-4. 146, 182

224 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 253: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

kesiapsiagaan 11, 94, 136, 196-7, 208Klaten xvii-viii, 19, 34, 41, 50-3, 55-8, 81,

89, 95, 100, 109, 112, 208kuisioner 13-4

lahanpertanian xviii, 21, 48-9, 58, 113,

119-20, 122, 124, 185-7, 189, 192kerusakan 122, 124

laharhujan 2, 4-5, 18-9, 35-6, 51, 63, 67-70,

72-4, 79-80, 82-3, 94, 131, 135-6, 186, 197

panas vi, xvii, 4, 11, 84lapangan kerja 114, 116-7, 165, 192lembaga internasional 2, 91lingkungan hidup 14, 30-1, 64, 151-3,

184-7, 192lintas sektor 20-1, 23-4, 42-3, 48-51, 57-9,

151-192 livelihood 59, 196

Magelang xvii-viii, 4, 19, 34, 41, 50-2, 54-8, 89, 95-6, 99, 100, 109-10, 112, 194

mata pencaharian 29, 111, 127MCK 36, 63, 68, 72, 74-5, 164, 193mitigasi 31, 59, 67, 90, 132, 213-5

pangan xviii, 64, 128, 192parameter 15, 20, 65partisipasi 11, 48, 153-5, 157, 161, 171,

174, 191-2, 199pelayanan

umum 192sosial dasar 14, 48, 131-149

pelecehan 164pemantauan 18, 101, 112, 192, 197, 208pemerintah

daerah 12, 28, 32, 212pusat 28, 31, 90, 212, 223

pemukiman xviii, 5, 63-94, 223pencegahan 12, 28, 214pendapatan 2,6, 11, 17, 21, 32, 47, 55-7,

112, 116-9, 124-5, 165, 17203, 192pendidikan

kebencanaan 200pelayanan 131, 135-9, 149prasarana/sarana 6, 23, 133-5, 137

penghidupan 9, 13-4, 103, 109, 124, 128-9, 153, 196

pengungsianjalur evakuasi iv, 29, 60, 67, 104,

163, 197, 204tempat 70, 86, 137, 150, 163-4, 173,

193perencanaanperempuan 16, 132, 151, 153-4, 156-67,

156-74, 176, 191, 193, 198peringatan dini 30, 67, 151, 197, 199, 203-4piroklasik 5

rawan bencanakawasan 5, 28, 59, 67, 80, 88-9, 136, 214

rehabilitasidan rekonstruksi xix, 1-3, 12, 17-9, 24-5,

30-2, 40, 49, 59, 63, 86, 93, 98, 100, 111-2, 129, 134, 137=8, 147, 152, 175

relawan, kerelawanan vi, 92, 202relokasi 30-1, 39, 60, 88-90, 111, 129, 149,

206, 222-3resilience 3, 14, 109, 129, 196, 202, 205-6risiko 1-3, 11-4, 17, 31, 65-7, 80, 83-4, 88,

111, 126, 136, 151-2, 154-8, 164, 195-200, 205-8, 214

rumah tangga 1-2, 4, 8-9,11, 13, 17, 34, 36-9, 47, 67-70, 72, 74-80, 112=3, 119, 122=3, 125, 127, 137, 159, 162

saluran irigasi 101-5, 108-9, 113, 187, 192sanitasi 21, 37, 45, 53-4, 75-6, 99Sleman vi, xvii-viii, 19, 34, 41, 50-2, 54-8,

81, 89, 98, 100, 108-9, 130, 150, 193, 208

swadaya 31, 53, 95, 135, 200

tanggap darurat 1, 9, 197, 199tata ruang 28, 30, 59, 88-9, 207, 223, 214 ternak xviii, 29, 84, 111, 121-2, 173, 218,

222Tim Siaga Bencana 157-8, 200, 202

Yogyakarta xvii-viii, 1, 4, 19, 28, 80-2, 86, 89, 99, 129-30, 150, 193, 197, 208,

INDEKS | 225

Page 254: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

PARA PENULIS(menurut abjad)

n ARIS SUSTIYONO. Direktur Yayasan Lestari Indonesia sejak tahun 2007 dan aktif sebagai Dewan Pengurus Forum Penanggulangan Risiko Bencana (FPRB) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) 2013-2016. Bekal kemampuan dan kapasitas sebagai pekerja sosial kemanusiaan dimulai sejak tahun 2003. Aktif dalam isu-isu penanggulangan bencana, khususnya sejak bencana gempa bumi DIY dan Jawa Tengah 2006. Pengalaman dalam kegiatan tanggap bencana lainnya adalah pada banjir Bengawan Solo di Surakarta, Blora, Lamongan dan Tuban pada tahun 2007-2008, banjir Sungai Yuwana Pati 2008, banjir Situbondo 2008, gempa bumi Jawa Barat 2009, dan letusan Merapi 2010.

n BONDAN SIKOKI. Pendiri dan Direktur pertama SurveyMeter, lembaga penelitian independen yang banyak melakukan survei panel rumah tangga dan komunitas berskala besar, antara lain, Indonesian Family Life Survey (IFLS) atau SAKERTI (Survei Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia) yang banyak digunakan oleh para akademisi dan para pembuat kebijakan. Pernah bekerja di Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LDUI) pada tahun 1976 dan mengajar di Fakultas Ekonomi UI sampai tahun 1982. Mengikuti suami pindah ke Nigeria, Afrika, mengajar di Faculty of Geography pada University of Science and Technology Minna sampai tahun 1989. Kemudian sebagai Asistant Director of Research and Training pada Consultancy Research and Development Centre University of Port Harcourt, AS, sekaligus sebagai konsultan RAND Coorporation sejak 1997. Menyelesaikan pendidikan di Fakultas Ekonomi UI dan program master Sosiologi, Population Studies, di University of Michigan, AS, 1979.

n DATI FATIMAH. Pendiri dan Direktur Eksekutif Aksara, organisasi non pemerintah di Yogyakarta yang memusatkan perhatian pada isu-isu kesetaraan gender dalam pengurangan risiko bencana dan kepemerintahan lokal. Aktif sebagai konsultan pada beberapa organisasi pembangunan internasional (seperti Karina, Caritas Germany, OXFAM, CAFOD, GiZ, dan UNDP) dan kembaga pemerintah (Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, BAPPEDA DIY, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat DIY). Sering menulis di media tentang tema-tema gender dalam penganggaran daerah dan korupsi sejak tahun 1999. Beberapa bukunya telah diterbitkan, antara lain, Perempuan dan Kerelawanan Dalam Bencana (Piramedia, 2008) dan Menolak Pasrah: Gender, Keagenan dan Kelompk Rentan dalam Bencana (Oxfam-Sasakawa Peace Foundation, 2012). Menyelesaikan studi di Fakultas Ekonomi UGM pada tahun 1999, kemudian pendidikan master di Jurusan Ilmu Politik UGM pada tahun 2012. Pernah mengambil semester musim semi di Department of Political Science, University of Oslo pada tahun 2009. Pada Agustus-September 2012, sebagai fellow di Residency Program - the Rockefeller Foundation di Italia.

n EDY PURWANTO. Staf senior SurveyMeter sejak awal berdirinya lembaga ini. Ketrampilan dan kemampuan dalam mengolah data mikro menggunakan program STATA, mendorongnya untuk bergabung dan mengambil peran dalam analisis data Survei Longitudinal Merapi. Kemampuan analisis ini diperoleh melalui perjalanan panjang dalam survei skala nasional Indonesia Family Life Survey (IFLS) mulai tahun 1997 sampai sekarang. Kemampuan ekonometrika yang diperoleh selama menyelesaikan studi di Magister Sains & Doktor Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada (2012).

226 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

Page 255: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

n F. ASISI S.WIDANTO. Salah seorang penggiat Pujiono Centre yang bergerak dalam bidang pengkajian pengurangan risiko bencana dan iklim. Pengalaman dalam upaya pemulihan awal dan rehabilitasi-rekonstruksi pasca bencana semenjak 2001 menjadi alasan bagi lulusan Antropologi UGM ini untuk untuk bergabung dalam kegiatan studi longitudinal ini. Pengalaman tersebut diperoleh ketika bergabung dengan berbagai organisasi kemanusiaan dan pembangunan pada masa konflik Timor Timur (2001), konflik Maluku (2001–2004), konflik Aceh dan pasca tsunami Aceh (2004-2006), pasca gempa DIY-Jawa Tengah (2006–2009), dan pasca letusan Merapi (2010–2012).

n ISTIARSI SAPTUTI SRI KAWURYAN. Dosen dan peneliti Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana (1984) dan Program Magister Fakultas Pasca Sarjana Teknik Sipil dan Perencanaan, Jurusan Planologi, Institut Teknologi Bandung (1991). Menekuni bidang advokasi kebijakan perencanaan pembangunan ekonomi dari dimensi tata ruang, prasarana, dan lingkungan, dan beragam masalah kesejahteraan masyarakat berpenghasilan rendah selama lebih dari dua dasawarsa. Sebagai ekonom dan planolog, berkomitmen mengembangkan instrumen pengukur dampak kebijakan, khususnya menyangkut kesejahteraan masyarakat berpenghasilan rendah, termasuk korban bencana letusan Merapi 2010.

n JULI EKO NUGROHO. Koordinator Penanggungjawab Pelaksanaan Survei Longitudinal Pasca Bencana Merapi 2010. Salah seorang aktivis yang aktif dalam pembentukan Forum Penanggulangan Risiko Bencana (FPRB) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan betugas sebagai pengurus Kelompok Kerja Advokasi Kebijakan dan Regulasi sampai 2012. Pernah menjabat sebagai anggota Dewan Pengurus Forum Lembaga Swadaya Masyarakat (Forum LSM) DIY tahun 2006-2009. Pernah menjadi relawan pasca bencana tsunami di Aceh tahun 2005-2006. Pendidikan formal di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) tahun 1987-1994.

n NAIBUL UMAM EKO SAPUTRO. Sosiolog, pernah melakukan penelitian pendataan pengungsi Merapi 2010 oleh Badan Penanggulangan Bencana Naional (BNPB), Survei Human Recovery Needs Assessment (HRNA) Pasca Banjir Lahar Hujan Merapi 2011 oleh United Nations Development Programme (UNDP), dan Survey Kebutuhan Minyak-tanah Jawa Tengah 2007 oleh Sucofindo.

n NI WAYAN SURIASTINI. Peneliti senior dan Direktur Eksekutif SurveyMeter. Sarjana statistika Institut Pertanian Bogor (IPB), lulusan program master kebijakan publik dari Sekolah Pasca Sarjana RAND tahun 2003 dan meraih doktor dalam kajian kependudukan di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Menjadi salah seorang yang paling berperan dalam perancangan dan kerja lapangan Survei Kehidupan Keluarga Indonesia (IFLS) dan pernah terlibat merancang, mengarahkan, dan menganalisis hasil-hasil kajian survei nasional seperti SUSENAS dengan Biro Pusat Statistik dan beberapa program kerjasama pemerintah Indonesia dengan Bank Dunia.

n SALEH ABDULLAH. Wakil Ketua Dewan Pengurus Indonesian Society for Social Transformation (INSIST) 2010-2014; Anggota Tim Pengarah Tim Relawan Kemanusiaan (TRK) INSIST; dan Kordinator Riset Program Pengurangan Risiko Bencana 2009-2010 serta Partnership for Resilience (PfR) 2010-2011 di kawasan rawan bencana Kerinci (Jambi), Ende (Flores), Sinjai (Sulawesi Selatan), dan Kepulaun Kei (Maluku Tenggara).

Para Penulis | 227

Page 256: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

n YUGYASMONO. Penggiat di Perkumpulan Lingkar Yogyakarta, lembaga yang bergiat di bidang pengurangan risiko bencana dan pembangunan berkelanjutan, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. Bergabung dalam kegiatan Studi Longitudinal Pasca Letusan Merapi 2010 berdasarkan pengalaman dari berbagai penelitian kebencanaan sebelumnya, antara lain, pada pasca gempa DIY dan Jawa Tengah (2006-2009), dan beberapa penelitian lain tentang penelitian tentang krisis sosial, jurnalisme dan pra-produksi film dokumenter.

228 | MERAPI: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010

DUSUN KLIDON, NGEMPLAK, SLEMAN, YOGYAKARTA, 24 Juni 2006.

Merapi, pada suatu pagi....

<FOTO: BETA PETTAWARANIE, TRK INSIST>

Page 257: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013
Page 258: UNDP Merapi Longitudinal Studi Latest Version 19 11 2013

Penerbitan laporan ini adalah kerjasama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan UNDP Indonesia, Disaster Risk Reduction Based Rehabilitation and Reconstruction (DR4)-Merapi Recovery Response (MRR) dengan:

n Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Daerah Istimewa Yogyakarta dan FPRB Jawa Tengah -- gabungan beberapa lembaga pemerintah, perguruan tinggi, dan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang terlibat dalam upaya-upaya pemulihan kehidupan warga korban bencana Merapi 2010.

n SurveyMeter -- satu lembaga penelitian yang berkedudukan di Yogyakarta, memusatkan perhatian pada pendataan longitudinal keadaan kehidupan warga di berbagai daerah di seluruh Indonesia, termasuk di kawasan Merapi.