21
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap orang. tingkat kesehatan akan berdampak pada peningkatan kual kesejahteraan, serta produktivitas kerja seseorang. Kesehatan tidak hanya diukur dari ada tidaknya penyakit dalam tubuh, menyeluruh meliputi aspek psikologis, sosial serta spiritual Suatupenyakit tidak hanya akan mempengaruhi keadaan fisik penderita, namun juga dapat berimbas pada psikologis, sosial serta ekonomi penderita dan akan menyebabkan perubahan pada hidup bahkan keluarga penderita. Salah satu penyakit ya pengaruh sangat besar terhadap kualitas hidup penderitanya adalah penyakit ginjal kronis. Penyakit ginjal kronis merupakan penyakit penurunan fungs secara bertahap dan permanen. Penyebab penyakit ginjal paling umum adalah tekanan darah tinggi yang tidak t diabetes. Berdasarkan tingkat keparahannya, penyakit ginjal menjadi lima stadium. Stadium kelima atau stadium terakhir d ginjal, pada fase tersebut fungsi ginjal hampir hilang secar sehingga penderita gagal ginjal memerlukan terapi hemodialis transplantasi ginjal agar tetap bertahan hidup (Kathuria, ! $emodialisa merupakan suatucara pengeluaran produk sisa metabolisme dalam darah sebagai kompensasi terhadap fu yang telah menurun (%arida, !"!#. Proseshemodialisa sangat bermanfaat untuk menunjang kehidupan pasien gagal ginj terkadang pasien gagal ginjal memerlukan terapi ini s hidupnya. Prosedur hemodialisa memerlukan biaya yang c dan dilakukan sampai & kali seminggu dengan biaya sekitar 'p )!.!!!,!! untuk setiap tindakannya dan setiap bulannya meme 1

unfiks gabungan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

gabungan file

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap orang. Tingginya tingkat kesehatan akan berdampak pada peningkatan kualitas hidup, kesejahteraan, serta produktivitas kerja seseorang. Kesehatan tidak hanya diukur dari ada tidaknya penyakit dalam tubuh, tetapi bersifat menyeluruh meliputi aspek psikologis, sosial serta spiritual.

Suatu penyakit tidak hanya akan mempengaruhi keadaan fisik penderita, namun juga dapat berimbas pada psikologis, sosial serta ekonomi penderita dan akan menyebabkan perubahan pada kualitas hidup bahkan keluarga penderita. Salah satu penyakit yang memiliki pengaruh sangat besar terhadap kualitas hidup penderitanya adalah penyakit ginjal kronis.

Penyakit ginjal kronis merupakan penyakit penurunan fungsi ginjal secara bertahap dan permanen. Penyebab penyakit ginjal kronis yang paling umum adalah tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol dan diabetes. Berdasarkan tingkat keparahannya, penyakit ginjal kronis dibagi menjadi lima stadium. Stadium kelima atau stadium terakhir disebut gagal ginjal, pada fase tersebut fungsi ginjal hampir hilang secara keseluruhan sehingga penderita gagal ginjal memerlukan terapi hemodialisa ataupun transplantasi ginjal agar tetap bertahan hidup (Kathuria, 2012 ).

Hemodialisa merupakan suatu cara pengeluaran produk sisa metabolisme dalam darah sebagai kompensasi terhadap fungsi ginjal yang telah menurun (Farida, 2010). Proses hemodialisa sangat bermanfaat untuk menunjang kehidupan pasien gagal ginjal sehingga terkadang pasien gagal ginjal memerlukan terapi ini selama seumur hidupnya. Prosedur hemodialisa memerlukan biaya yang cukup mahal dan dilakukan 2 sampai 3 kali seminggu dengan biaya sekitar Rp 650.000,00 untuk setiap tindakannya dan setiap bulannya memerlukan biaya Rp 5.200.000,00. Jumlah tersebut tentu sangat berat dan sulit dijangkau terutama bagi masyarakat yang tidak memiliki jaminan kesehatan dan tidak mampu dalam bidang keuangan sehingga ada kemungkinan penyakit gagal ginjal yang diderita tidak diterapi dengan optimal. Beban penyakit beserta beban besarnya pembiayaan tanpa adanya dukungan jaminan kesehatan akan memiliki pengaruh signifikan terhadap psikologis, status sosial ekonomi dan dinamika keluarga pasien gagal ginjal dengan terapi hemodialisa.

Provinsi Bali melalui program Bali Mandara memiliki program unggulan yaitu Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) yang bertujuan meningkatkan cakupan masyarakat Bali yang mendapat pemenuhan hak pelayanan kesehatan. Hal tersebut dapat dilihat dari sasaran program JKBM yakni penduduk Bali yang belum memiliki jaminan kesehatan. Penduduk Bali adalah setiap orang yang berdomisili di Bali, terdaftar dalam kartu keluarga dan memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Bali (Pemprov Bali, 2010) Dengan kriteria sasaran seperti yang telah disebutkan, maka akan sangat memungkinkan bagi hampir semua penduduk Bali untuk tersentuh oleh program jaminan kesehatan.

Pelayanan hemodialisa merupakan salah satu tindakan medis yang termasuk dalam cakupan layanan JKBM. Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali No. 6 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program JKBM, pelayanan hemodialisa ditanggung sebanyak enam kali oleh pemerintah Provinsi Bali. Program layanan hemodialisa JKBM pada tahun 2012 telah membantu meringankan beban 1.387 jiwa penduduk Bali yang membutuhkan terapi hemodialisa, namun terbatasnya tanggungan JKBM dapat menumbuhkan risiko putus terapi bagi pasien gagal ginjal yang kurang mampu dikarenakan pembiayaan yang mahal dan harus dilakukan rutin bahkan sampai seumur hidup. Berdasarkan pertimbangan terhadap risiko yang akan terjadi apabila putus terapi, pemerintah Provinsi Bali mengeluarkan kebijakan untuk memperbaharui program JKBM dengan menanggung biaya hemodialisa sesuai indikasi medis. Melalui pembaruan layanan JKBM mengenai hemodialisa, diharapkan beban ekonomi dan psikosial pengguna layanan hemodialisa dapat berkurang sehingga perlu adanya kajian mengenai pengaruh pembaruan layanan hemodialisa sebagai salah satu program JKBM terhadap aspek psikososial dan ekonomi pasien gagal ginjal di RSUP Sanglah.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaruh pembaruan layanan hemodialisa sebagai salah satu program JKBM terhadap aspek psikososial pasien gagal ginjal di RSUP Sanglah?

2. Bagaimanakah pengaruh pembaruan layanan hemodialisa sebagai salah satu program JKBM terhadap aspek ekonomi pasien gagal ginjal di RSUP Sanglah?

1.3 Tujuan

Penulisan ini mempunyai tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaruh pembaruan layanan hemodialisa sebagai salah satu program JKBM terhadap aspek psikososial pasien gagal ginjal di RSUP Sanglah.

2. Untuk mengetahui pengaruh pembaruan layanan hemodialisa sebagai salah satu program JKBM terhadap aspek ekonomi pasien gagal ginjal di RSUP Sanglah.1.4 Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari penulisan ini adalah:

1. Secara teoritis diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai program jaminan kesehatan yang berlaku di Bali.

2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan memberikan bahan pertimbangan bagi pemerintah Provinsi Bali dalam meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan bagi penduduk Bali dan sebagai pertimbangan kontinuitas layanan hemodialisa sebagai salah satu program JKBM.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Penyakit Ginjal Kronis

Penyakit ginjal kronis merupakan penurunan fungsi ginjal yang bertahap dalam waktu bulan hingga tahun dan bersifat permanen. Penurunan fungsi ginjal menyebabkan akumulasi cairan, zat hasil metabolisme dan substansi toksik yang seharusnya dikeluarkan oleh ginjal lewat urine. Keadaan tersebut akan menyebabkan masalah kesehatan lain seperti anemia, tekanan darah tinggi, peningkatan keasaman darah, peningkatan kolesterol dan penyakit tulang (Kathuria, 2012).

Penyebab penyakit ginjal kronis yang tersering adalah tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol dan diabetes. Hal lain yang menjadi penyebab penyakit ginjal kronis adalah peradangan pada ginjal, penyakit ginjal polikistik, batu ginjal, pengerasan arteri, penggunaan obat dan komplikasi dari penyakit lain seperti HIV, penyakit jantung, penyakit liver, pembesaran prostat, Systemic Lupus Erythematosus dan beberapa jenis kanker (Kathuria, 2012).

Berdasarkan tingkat keparahannya, penyakit ginjal kronis dibagi menjadi lima stadium. Stadium kelima atau stadium terakhir disebut gagal ginjal, penyakit ginjal tahap akhir atau end stage renal disease (ESRD). Pada kondisi gagal ginjal terjadi penurunan total fungsi ginjal sehingga untuk bertahan hidup penderita gagal ginjal memerlukan hemodialisa ataupun transplantasi ginjal (Kathuria, 2012 ).

Insiden pasien gagal ginjal bervariasi antara negara satu dengan negara lainnya. Di Indonesia, diperkirakan 350 orang setiap satu juta penduduk atau sekitar 70.000 kasus gagal ginjal dalam setahun. Provinsi Bali memiliki 1.200 kasus gagal ginjal baru yang muncul per tahunnya. (Bali post, 2013)

Tidak ada pengobatan yang dapat menyembuhkan gagal ginjal. Untuk menunda progresivitas penyakit terapi yang dapat dilakukan adalah hemodialisa dan transplantasi ginjal. Penderita dengan terapi dialisis (cuci darah) memiliki nilai survival rate 32% dalam waktu lima tahun. Penderita dengan penyakit diabetes dan berusia tua memiliki kemungkinan hidup yang lebih rendah. Dengan prosedur transplantasi ginjal menggunakan donor hidup, kemungkinan untuk bertahan hidup adalah lebih dari 90% dalam waktu 2 tahun sedangkan dengan donor yang telah meninggal kemungkinannya 88% (Kathuria, 2012). Transplantasi ginjal merupakan tindakan yang membutuhkan biaya yang mahal, sehingga umumnya penderita gagal ginjal menggunakan terapi hemodialisa.

2.2Hemodialisa

Hemodialisa merupalan tindakan medis yang dilakukan untuk mengganti sebagian fungsi ginjal dengan cara membuang bahan-bahan seperti air badan dan toksik uremik keluar dari tubuh melaui sistem peredaran darah (Farida, 2010). Hemodialisa ini dilakukan bila kerusakan ginjal sudah sampai tahap akhir atau gagal ginjal terminal biasanya terjadi apabila kerusakan ginjal sudah mencapai 85-90% dan tidak mampu lagi melakukan tugasnya menyaring racun dari darah.

Manfaat dari hemodialisa ini menjaga agar tubuh berada dalam keseimbangan dan membuang sisa-sisa metabolism dan kelebihan cairan agar tidak menumpuk di dalam tubuh. Selain itu, tindakan ini juga untuk menjaga level yang aman dari unsur-unsur kimiawi seperti potassium dan sodium juga untuk membantu mengontrol tekanan darah (The Indonesian Diatrans Kidney Foundation, 2011).

Proses hemodialisa dengan menggunakan ginjal buatan (dialyzer) yang digunakan untuk menyaring dan membuang sisa metabolism serta kelebihan cairan maupun unsur kimiawi lainnya dari dalam darah. Untuk mengalirkan darah penderita ke dialyzer diperlukan akses ke pembuluh yang dapat dilakukan dengan cara bedah minor di tangan maupun paha. Hemodialisa dilakukan 2-3 kali seminggu dengan lama tindakan sekitar empat sampai 5 jam. Biaya yang diperlukan untuk tindakan ini sekitar Rp 650.000,00 setiap tindakannya dan harus dilakukan seumur hidup (Bali post, 2013). Jadi pasien yang memerlukan tindakan hemodialisa membutuhkan biaya sekitar Rp 5.200.000,00 setiap bulannya.

Proses hemodialisa selain berdampak pada ekonomi, juga menimbulkan dampak fisik dan dampak psikososial pada pasien seperti mudah lelah dan lemah sehingga menimbulkan penurunan kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari, keterbatasan dalam bekerja dan keterbatasan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Dampak psikososial yang sering timbul pada pasien adalah kecemasan dan depresi yang dapat berdampak pada hubungan pasien dengan lingkungan sosial disekitarnya. (Canisti, 2008). Keadaan tersebut diperberat oleh dampak biopsikososial dari penyakit yang mendasari.

2.3Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM)

Provinsi Bali memiliki jamkesda berupa Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) yang berlaku di seluruh kabupaten di Bali yang melibatkan 108 Puskesmas non perawatan dan jejaring serta 22 Puskesmas yang mempunyai fasilitas rawat inap. JKBM juga melibatkan delapan Rumah Sakit Umum Daerah, Rumah Sakit Indera, Rumah Sakit Jiwa Bangli dan RSUP Sanglah Denpasar sebagai pusat rujukan (Pemprov Bali, 2010). JKBM merupakan suatu program jaminan kesehatan yang diberikan secara gratis kepada seluruh masyarakat Bali yang belum memiliki jaminan kesehatan seperti Askes, Jamsostek, Asabri ataupun jaminan kesehatan lainnya (DinKes Bali 2010). Jaminan kesehatan ini bersifat komperhensif sesuai dengan indikasi medis kecuali beberapa hal yang dibatasi atau tidak dijamin (Dinkes Klungkung, 2010).JKBM memiliki keunikan tersendiri dimana berdasarkan Pergub Bali nomor 22 tahun 2011 pasal 2 disebutkan bahwa peserta JKBM adalah penduduk Bali yang belum memiliki Jaminan Kesehatan. Penduduk Bali adalah setiap orang yang berdomisili di Bali, terdaftar dalam kartu keluarga dan memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Bali (Pemprov Bali, 2010). Hal tersebut memungkinkan bagi hampir semua penduduk Bali untuk tersentuh oleh program Jaminan Kesehatan. Sambutan warga Bali terhadapat program ini sangat positif. Dapat dilihat dari peningkatan kunjungan pasien JKBM selama 3 tahun terakhir pelaksanaannya dimana pada tahun 2010, kunjungan pasien JKBM tercatat sebanyak 2.535.886 jiwa, tahun 2011 sebanyak 2.936.886 jiwa dan pada tahun 2012 pasien yang menggunakan program ini mencapai 3.277.106 jiwa pasien (Pemprov Bali, 2013).

Alur pelayanan JKBM menganut sistem rujukan atau pelayanan yang berjenjang yaitu diawali dari Puskesmas dan jejaringnya dengan membawa KTP Bali. Dan bagi masyarakat yang berumur dibawah 17 dan belum memiliki KTP Bali dapat membawa Kartu Keluarga dan KTP orang tuanya. Jika Puskesmas tidak mampu menangani, maka akan dirujuk ke RS kabupaten/kota, RS Indera dan RS Jiwa dengan membawa surat rujukan dari Puskesmas. Bila membutuhkan penanganan lebih lanjut akan di rujuk ke RS Sanglah. Untuk kasus gawat darurat, pasien bisa langsung ke RS baik milik pemerintah atau swasta namun harus melengkapi syarat pelayanan JKBM dalam kurun waktu 2 x 24 jam. (Dinkes Klungkung, 2010)Sejak tanggal 1 Januari 2013, hemodialisa yang semula hanya ditanggung 6 kali kini ditanggung sesuai kebutuhan medis pasien. Bila hemodialisa dipandang perlu dilakukan seumur hidup oleh tim medis, maka hemodialisa tersebut akan ditanggung seumur hidup oleh pemerintah. Hal ini dinyatakan dalam Surat Edaran Gubernur Bali no. 440/525/XII.UPT.JKMB tanggal 27 Desember 2012, menurut poin lima yaitu terdapat perluasan manfaat layanan pada penderita yang membutuhkan hemodialisa sesuai kebutuhan medis pasien. Ini merupakan bagian dari program perluasan JKBM pada tahun 2013. Menurut data tahun 2012, jumlah pengguna hemodialisa di Bali tahun 2012 berjumlah 1387 dengan rincian di RSUD Buleleng 142 orang, RSUD Tabanan 187 orang, RSUD Badung 256 orang, RSUD Wangaya 103 orang, RSUD Sanjiwani 92 orang, RSUD Bangli 30 orang, RSUD Klungkung 29 orang dan RSUP Sanglah 548 orang.

BAB III

METODE PENULISAN

3.1Jenis dan Sumber Data

Menurut sifatnya, jenis data yang digunakan dalam penyusunan karya tulis ini adalah (Sugiyono, 2004) :

1. Data Kuantitatif

Data dalam bentuk angka-angka serta dapat dinyatakan dan diukur dalam satuan hitung atau data kualitatif yang diangkakan. Data kuantitatif yang digunakan dalam penyusunan karya tulis ini yaitu jumlah pengguna jaminan kesehatan di Bali, jumlah penderita gagal ginjal yang menggunakan JKBM di Bali dan biaya hemodialisa,

2. Data Kualitatif

Penulisan ini menggunakan metode kualitatif dengan pendeketan fenomenologi yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang pengalaman hidup yang dilihat dari sudut pandang partisipan untuk menggali dan memahami psikososial dan ekonomi yang dialami oleh partisipan. Menurut Riemen (1986 dalam creswell 1998) mengatakan bahwa jumlah partisipan yang ideal untuk penelitian fenomenologi adalah 6-10 orang.

3.2 Metode Pengumpulan DataMetode pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan karya tulis ini adalah Wawancara. Wawancara dilakukan pada delapan partisipan dan keluarganya yang telah memenuhi kriteria sebagai berikut (1). Pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisa di RSUP Sanglah (2). Menggunakan JKBM (3). Berumur 20-75 tahun (4). Bersedia dan dapat diwawancarai (anamesis ataupun heteroanamesis). Berdasarkan kriteria tersebut di dapat 8 partisipan yang memenuhi kriteria, antara lain:

a. Partisipan 1

Nama:Wayan Kapur

Umur: 73 tahun.

Alamat: Jalan Pulau Galang 1 no. 3b Br. Gunung- Pemogan, Denpasar

b. Partisipan 2

Nama: Made Remping

Umur: 71 tahun

Alamat: Desa Sibang Kaja Banjar Lateng

c. Partisipan 3

Nama:Nyoman Setianata

Umur: 23 tahun

Alamat: Jalan Kerta Negara Gang Taman Ayu no. 2 Dusun Poh Gading Ubung Kaja.

d. Partisipan 4

Nama: Wayan Suki

Umur: 49 tahun

Alamat: Jl. Bunut Sari gang Jempiring No. 3 Legian Kelod

e. Partisipan 5

Nama:Nyoman Budiarta

Umur:55 tahun

Alamat: Sanur Kaja

f. Partisipan 6

Nama:Nengah Suparsa

Umur:38 tahun

Alamat:Br. Tegal Suci Kelurahan Kubu Kecamatan Bangli Kabupaten Bangli

g. Partisipan 7

Nama:Nyoman Sujita

Umur:63 tahun

Alamat:Desa Sukawati Gianyar

h. Partisipan 8

Nama:Gusti Putu Wibawa

Umur:45 tahun

Alamat:Desa Sukawati Gianyar

3.3Waktu dan Tempat

Penulisan karya tulis ini dilakukan mulai tanggal 14 Maret 2013 sampai tanggal 10 April 2013. Lokasi pencarian data dimulai dari Kantor Humas Provinsi Bali, Kantor JKBM Bali, RSUP Sanglah dan rumah partisipan.3.4Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis melalui 3 tahapan yaitu tahapan intuitif, analisis dan deskriptif. Pada tahapan intuitif, penulis mengeksplorasi pengalaman partisipan yang mengalami hemodialisa sedangkan pada tahap analisis, penulis mengidentifikasi pengalaman partisipan yang menjalani hemodialisa berdasarkan hasil wawancara. Berdasarkan dari hasil analisis, pada tahap deskriptif disususun narasi yang mendalam mengenai fenomena yang dialami oleh partisipan.

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1Pengaruh JKBM Terhadap Aspek Psikososial Penderita Gagal Ginjal

Penyakit tidak hanya diartikan sebagai suatu penderitaan fisik akan tetapi juga mempengaruhi kondisi psikososial orang yang mengalaminya. Aspek psikosial menjadi penting diperhatikan karena perjalanan penyakit yang menahun (kronis) sering membuat penderita kehilangan harapan, ketakutan, frustasi dan timbul perasaan marah dalam dirinya. Hal ini juga dirasakan oleh pasien gagal ginjal yang menjadi partisipan dalam penulisan karya ini. Partisipan 1 merasa frustasi serta marah ketika divonis gagal ginjal dan harus menjalani terapi hemodialisa, sejak menderita gagal ginjal akibat asam urat menahun yang ia derita terjadi berbagai keterbatasan dalam kehidupan sehari-hari karena kini pergerakan ia dibantu oleh kursi roda. Hal serupa juga dialami oleh partisipan 2 yang setelah terserang stroke tahun 2011 dan gagal ginjal sejak Agustus 2012 kini terbebani dan pasrah pada penyakit yang ia derita. Partisipan 3 merasa kehilangan harapan karena sakit dalam umur produktif yaitu 23 tahun dan merasa menjadi beban keluarga besarnya. Partisipan 4 yang merasa khawatir dan stress ketika divonis gagal ginjal sejak tahun 2012.

Secara umum, perasaan depresi dan ketakutan yang dialami seluruh partisipan berhubungan dengan keseimbangan antara tuntutan dan sumber daya yang dimiliki oleh partisipan. Salah satu sumber daya yang berhubungan erat dengan depresi adalah ketidakmampuan akan pembiayaan pengobatan sehingga dengan adanya jaminan pembiayaan maka tingkat kekhawatiran penderita gagal ginjal.

Kepemilikan JKBM sebagai jaminan kesehatan telah membantu meringankan beban pikiran dan perasaan semua partisipan yang diwawancarai. Partisipan 1 pada saat divonis gagal ginjal dan harus memulai hemodialisa merasa cemas, bingung dan membayangkan berbagai hal buruk dan beban yang akan ia dan keluarganya tanggung. Namun sejak mengetahui bahwa JKBM menanggung hemodialisa sesuai indikasi medis dan ia menggunakan fasilitas tersebut, ia merasa bebannya dibebaskan. Hal tersebut tergambar dari kata-kata berikut:

saya sangat lega, awalnya saya kira akan sangat susah dan mahal. Sekarang saya merasa beban saya terbebaskanKeterbatasan fisik karena jatuh sakit dalam usia produktif menjadi beban psikologis tersendiri bagi partisipan 3. Adanya program JKBM membuat beban psikologis partisipan 3 karena merepotkan keluarga menjadi sedikit berkurang. Partisipan 3 merupakan pasien gagal ginjal yatim piatu yang kini menjadi tanggungan paman serta keluarga besarnya dan telah menderita gagal ginjal sejak tahun 2008. Partisipan 3 awalnya menggunakan jamkesmas dalam pengobatan, namun karena tahun ini ia tidak termasuk dalam kuota jamkesmas, maka partisipan 3 beralih menggunakan JKBM.

Partisipan 4 pada awal divonis menderita gagal ginjal pada tahun 2012 langsung menggunakan JKBM sebagai jaminan kesehatan, namun pada tahun 2012 terdapat pembatasan layanan JKBM sehingga timbul kekhawatiran baru mengenai kemungkinan putus terapi karena tidak ingin membebani keluarga. Untuk menanggulangi kekawatiran tersebut, keluarga partisipan berinisiatif untuk mengajukan permohonan bantuan pelayanan kesehatan khususnya layanan hemodialisa gratis kepada dinas sosial. Akan tetapi bantuan dari dinas sosial hanya didapatkan hingga akhir tahun 2012. Pada awal tahun 2013, keluarga partisipan memperoleh informasi mengenai JKBM yang menanggung hemodialisa sesuai indikasi medis sehingga kembali menggunakan JKBM.

Perpindahan dari satu jaminan sosial ke JKBM lain juga dialami oleh partisipan 5, 6, 7 dan 8. Partisipan 5, 7, 8 awalnya menggunakan jamkesmas sebagai jaminan kesehatan. Namun setelah tidak terdaftar lagi dalam kuota jamkesmas ataupun karena proses pengurusan jamkesmas dianggap rumit, maka mereka beralih menggunakan JKBM. Selain karena lebih mudah untuk mendapatkan JKBM, pembaruan layanan hemodialisa menjadi sesuai indikasi medis membukakan harapan baru bagi partisipan tersebut karena terapi hemodialisa merupakan prosedur yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan pasien gagal ginjal.

Kalau tidak ada JKBM, mungkin sekarang saya sudah mati.. (P7)

Saya sangat bahagia setelah menerima bantuan dari JKBM, sekarang saya tidak terlalu terbebani dengan cuci darah yang mahal, hanya memikirkan biaya transportasi saja (P6)

kalau saya sudah sesak, obatnya cuman cuci darah saja. Kalau tidak ada JKBM, saya tidak tahu harus bagaimana (P8)

Secara keseluruhan, semua partisipasan merasakan berbagai perubahan psikologis yang positif setelah menggunakan JKBM. Hal tersebut terlihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 1. Perubahan Psikologis yang dialami Pasien Gagal Ginjal Pemegang JKBM

NoPerubahan Psikologis P1P2P3P4P5P6P7P8

1Penurunan depresi--

2Penurunan kecemasan-

3Timbulnya perasaan lega

4Pengurangan beban kehidupan---

Keterangan: =ya -=tidak

Dukungan sosial merupakan hal yang sangat penting dalam menunjang kesehatan psikologis pasien gagal ginjal. Karena pasien dengan gagal ginjal memiliki keterbatasan dalam menjalankan aktifitas sosial setelah jatuh sakit, maka dukungan sosial paling mungkin dimiliki oleh penderita gagal ginjal berasal dari keluarga, teman dekat dan teman sesama penderita gagal ginjal.

Keluarga merupakan orang terdekat penderita gagal ginjal dan menjadi pendukung paling besar pada semua partisipan. Keluarga berperan dalam penyediaan transportasi ke tempat hemodialisa, menemani partisipan dalam menjalani terapinya bahkan secara bersama-sama membantu pembiayaan pengobatan dan terapi yang dijalani pasien gagal ginjal. Berdasarkan uraian tersebut dapat dilihat bahwa beban psikologis akibat penyakit penderita dan harus menjalani terapi yang rutin juga dialami oleh keluarga penderita gagal ginjal. Sebaliknya, penderita gagal ginjal juga merasakan perasaan menyesal karena telah merepotkan keluarga dalam hal pembiayaan pengobatan, transportasi, perawatan, bahkan hingga bersedia menggantikan peranan penderita gagal ginjal yang menjadi tulang punggung keluarga.

Adanya pembaruan program JKBM mengenai tanggungan hemodialisa menjadi sesuai indikasi medis yang tidak hanya membuat perasaan lega partisipan, namun juga keluarga partisipan. Pada awalnya ketika hemodialisa masih terbatas enam kali, keluarga dihadapkan pada dilema untuk melanjutkan terapi dengan kondisi keuangan terbatas atau memutus terapi dengan risiko kehilangan nyawa penderita gagal ginjal. Akan tetapi setalah mendapat informasi mengenai pembaruan program JKBM, kecemasan keluarga partisipan dapat diringankan. Hal tersebut tergambar pada pernyataan sebagai berikut:

seandainya tidak dibantu JKBM, mungkin saya akan pasrah dan membiarkan penyakit Bapak saya..tidak hanya saya, mungkin keluarga lain yang tidak mampu juga akan melakukan hal yang sama (keluarga P1)

..ya beginilah keadaan keluarga kami, kalau tidak ada bantuan pemerintah kami tidak tahu harus bagaimana. Untung pak gubernur mengeluarkan program JKBM (keluarga P2)

mengetahui keponakan saya bukan termasuk kuota jamkesmas, saya sangat khawatir. Untungnya setelah saya mengetahui JKBM telah menanggung hemodialisa sesuai kebutuhan, kekhawatiran saya dan keluarga sedikit berkurang (keluarga P3)

Dukungan terhadap keberlanjutan layanan hemodialisa sesuai indikasi medis sebagai salah satu program JKBM juga dilontarkan oleh seluruh partisipan. Karena program hemodialisa sangat mutlak diperlukan untuk mempertahankan hidup partisipan maupun ribuan penderita gagal ginjal yang dilayani oleh program JKBM. Beberapa pernyataan partisipan maupun keluarganya yang menunjukkan harapan atas kelanjutan layanan hemodialisa antara lain:

saya setuju program JKBM dilanjutkan, tapi saya kan tidak tahu kebijakan pemerintah nantinya (P1)

semoga program JKBM bisa dilanjutkan, supaya bapak saya bisa mendapatkan pengobatan yang layak dengan kondisi keuangan seadanya (Keluarga P2)

Program JKBM ini perlu dilanjutkan dan kalau bisa ketentuan sesuai indikasi ini terus dilanjutkan. Saya berterimakasih banyak pada Pemerintah Povinsi Bali (Keluarga P3)

Program JKBM perlu dilanjutkan karena sangat meringankan beban keluarga kami (Keluarga P4)

Program JKBM ini baik sekali, dengan adanya hemodialisa sesuai kebutuhan, saya tidak perlu lagi berhenti hemodialisa karena tidak ada biaya. Semoga program JKBM bisa terus dilanjutkan (P6)

Pembaruan layanan hemodialisa oleh JKBM disambut positif oleh seluruh partisipan dan keluarganya. Hal ini dikarenakan dengan ditanggungnya pelayanan hemodialisa sesuai dengan kebutuhan medis maka penderita gagal ginjal dapat terus melaksanakan terapi hemodialisa dan risiko putus terapi akan jauh berkurang. Pengurangan jumlah penderita gagal ginjal yang mengalami putus terapi akan menurunkan angka kesakitan dan kematian penderita gagal ginjal serta memberikan harapan hidup lebih lama mengingat hemodialisa merupakan terapi utama (selain transplantasi ginjal) yang dapat digunakan untuk menunjang kehidupan penderita gagal ginjal. Dengan memiliki harapan hidup lebih lama, maka penderita gagal ginjal memiliki waktu lebih untuk berkumpul dan menikmati hidup bersama dengan keluarganya.

4.2Pengaruh JKBM terhadap Status Ekonomi Penderita Gagal Ginjal

Perubahan status ekonomi merupakan hal yang paling ditakuti oleh seluruh penderita gagal ginjal tahap akhir. Hal tersebut dikarenakan terapi yang paling umum dan dapat digunakan ketika seseorang divonis gagal ginjal adalah hemodialisa. Terapi ini membutuhkan biaya yang besar dan harus dilakukan rutin sesuai indikasi medis dimana sekali hemodialisa dibutuhkan biaya Rp. 650.000,00 dan dilakukan dengan frekuensi 2-3 kali seminggu. Dengan demikian dibutuhkan biaya sekitar Rp. 5.200.000,00 setiap bulannya, belum lagi termasuk biaya obat dan biaya transportasi ke rumah sakit. Apabila penderita gagal ginjal tidak memiliki jaminan kesehatan yang menanggung biaya hemodialisa maka ada kemungkinan penderita gagal ginjal jatuh miskin karena besarnya biaya yang dikeluarkan.

Sejak awal tahun 2013 layanan hemodialisa sudah ditanggung sesuai indikasi medis oleh pemerintah Provinsi Bali. Hal ini dinyatakan dalam Surat Edaran Gubernur Bali no. 440/525/XII.UPT.JKMB tanggal 27 Desember 2012, menurut poin lima yaitu terdapat perluasan manfaat layanan pada penderita yang membutuhkan hemodialisa sesuai kebutuhan medis pasien. Mengetahui pembaruan program ini, semua partisipan menyatakan sangat bersyukur karena masalah ekonomi dapat teratasi dan tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk hemodialisa. Sebelum tahun 2013, program JKBM hanya menanggung biaya hemodialisa untuk 6 kali terapi, hal ini memungkinkan pasien tidak melanjutkan terapi karena terbentur masalah biaya. Bahkan anak dari partisipan 1 mengatakan apabila seandainya JKBM tidak menanggung biaya hemodialisa seumur hidup, mungkin ia hanya bisa pasrah dan membiarkan ayahnya putus terapi.

Pembaruan program JKBM mengenai layanan hemodialisa membuat seluruh partisipan dan keluarganya merasa sangat terbantu karena beban hidupnya menjadi lebih ringan, tidak perlu lagi memikirkan biaya hemodialisa hanya perlu memikirkan biaya obat diluar tanggungan JKBM dan transportasi saja. Partisipan mengatakan bahwa tanpa bantuan JKBM mereka tidak akan sanggup mengeluarkan biaya untuk melakukan hemodialisa. Kondisi fisik mereka yang sudah tidak mampu bekerja yang diakibatkan karena penyakit yang diderita tentu menjadi hambatan utama untuk mencari biaya pengobatan. Namun dengan adanya JKBM yang menanggung biaya hemodialisa sesuai indikasi medis membuat masalah ekonomi partisipan penderita gagal ginjal yang menjadi peserta JKBM tidak semakin memburuk. Jadi dengan adanya program JKBM, tingkat kemiskinan karena penyakit yang diderita dapat semakin berkurang.

Sebelum mengenal JKBM, partisipan 1 harus mengeluarkan biaya sebesar Rp. 5.515.000,00 untuk berobat di rumah sakit swasta. Biaya ini ditanggung oleh ketiga anaknya karena partisipan 1 sudah tidak produktif lagi. Ketika disarankan untuk melakukan hemodialisa, keluarga dari partisipan 1 merasa tidak mampu untuk membiayai pengobatan dan sempat tidak ingin melakukan terapi. Setelah mendengar informasi mengenai JKBM yang didapat dari sosialisasi di banjar dan kelurahan mengenai pelayanan hemodialisa yang ditanggung sesuai indikasi medis, maka partisipan 1 melakukan hemodialisa di RSUP Sanglah. Dengan adanya JKBM, stabilitas ekonomi partisipan 1 dan anak-anaknya tidak terganggu secara signifikan karena tidak perlu lagi memikirkan biaya hemodialisa.

Keluarga partisipan 2 juga memiliki pemikiran yang sama, yaitu tidak akan melakukan pengobatan seadanya jika tidak ditanggung oleh JKBM. Partisipan 2 mulai menjalani hemodialisa sejak Agustus 2012 dengan intensitas 2 kali seminggu, selama periode ini sempat terjadi putus terapi karena terbentur masalah biaya. Istri dari partisipan 2 sudah pasrah terhadap keadaan yang menimpa suaminya. Kini partisipan 2 dapat rutin menjalani hemodialisa gratis dan dalam sebulan hanya mengeluarkan Rp. 100.000,00 sebagai biaya untuk menebus obat yang ia konsumsi. Biaya obat Rp 100.000,00 yang harus dibayar ditanggung oleh anaknya. Biaya ini dirasa masih mampu ditanggung oleh keluarganya sehingga tidak terlalu berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi mereka.

Berbeda dengan partisipan 3, Partisipan ini telah menghabiskan banyak biaya untuk kesembuhannya karena ia sudah sakit sebelum ditetapkannya program JKBM. Pada awalnya, partisipan 3 terdaftar sebagai pasien umum di RSUD Wangaya dan telah menghabiskan biaya sekitar Rp. 20.000.000,00. Untuk menutupi biaya pengobatan, keluarga pasien harus menjual mobil karena beban biaya yang besar yang harus ditanggung, Partisipan 3 kemudian menggunakan jamkesmas untuk membantu pembiayaan hemodialisa yang ia lakukan. Namun sejak perubahan daftar penerima jamkesmas, partisipan menggunakan JKBM dan telah 2 kali menggunakan layanan hemodialisa. Pada saat pasien menggunakan layanan JKBM ia mengaku sangat mudah karena hanya diperlukan KTP, KK dan surat rujukan saja. Partisipan juga merasa sangat beruntung karena mendapat bantuan dari program JKBM. Bila tidak ada program ini, partisipan merasa bingung apa lagi yang bisa ia jual lagi untuk mengobati sakitnya karena ia sudah tidak bisa bekerja lagi.

Partisipan 4 sejak divonis Diabetes Melitus sudah tidak dapat melakukan pekerjaannya lagi sehingga semua biaya pengobatan ditanggung oleh adiknya. Sejak divonis menderita gagal ginjal tahun 2012, penderita melakukan hemodialisa di RSUP Sanglah dan harus mengeluarkan biaya untuk membeli obat yang cukup mahal sekitar Rp 1.000.000,00 setiap bulannya. Adik partisipan mengaku biaya ini sangat memberatkannya dan ia sangat berharap biaya obat bisa tanggung oleh pemerintah. Terlepas dari biaya obat, adik partisipan mengatakan kalau ide program ini sangat bagus dan berharap bisa terus dilanjutkan agar pasien yang sudah berobat menjadi tidak putus terapi.

Partisipan 5 yang semula bekerja sebagai supir kini harus berhenti bekerja karena menderita penyakit ginjal. Partisipan pernah merasakan menjadi pasien umum selama 2 bulan dimana saat itu ia harus membayar biaya terapi sebanyak Rp 650.000,00 sekali terapi. Saat itu kehidupan ekonominya menjadi sangat terguncang sampai ia harus menjual sapinya untuk membiayai pengobatan hemodialisa. Sejak mengetahui JKBM menanggung biaya hemodialisa sesuai indikasi medis, partisipan ini segera mempersiapkan berkas untuk membuat JKBM. Ia merasa sangat berterimakasih kepada Pemerintah Provinsi Bali karena masih ingat rakyat kecil seperti dirinya dengan menyediakan pelayanan tanpa harus membayar. Program JKBM ini membantu kehidupan ekonominya menjadi jauh lebih baik karena tidak perlu lagi mengeluarkan biaya yang besar untuk berobat mengingat ia sudah tidak bekerja lagi.

Kehidupan partisipan 6 tidak jauh berbeda dengan kehidupan partisipan 5. Ia merupakan pegawai kontrak di Pemerintahan Kabupaten Bangli yang harus berhenti bekerja karena menderita penyakit gagal ginjal. Keadaan ekonominya menjadi memburuk sejak ia berhenti bekerja dan semakin memburuk saat surat rekomendasi sosial yang semula menanggung biaya hemodialisa gratis sudah tidak menanggung biaya itu lagi sehingga ia harus berpindah menjadi pasien umum. Selama menjadi pasien umum, partisipan ini sering putus terapi karena terkendala masalah biaya. Ia hanya menjalani terapi hemodialisa bila memiliki uang saja karena selain membayar biaya hemodialisa beserta obatnya, partisipan ini harus menanggung transportasi dari Bangli ke Denpasar yang juga tidak sedikit. Apabila ditotal, jumlah yang harus ia keluarkan saat menjadi pasien umum adalah Rp. 1.000.000,00 untuk sekali hemodialisa. Jumlah tersebut merupakan jumlah yang sangat besar, belum lagi partisipan memerlukan biaya untuk menghidupi keluarganya dan pendidikan anak-anaknya. Sejak mengetahui program JKBM menanggung hemodialisa sesuai indikasi medis, partisipan ini mengaku sangat senang karena beban kehidupan ekonominya semakin berkurang. Biaya hemodialisa dan obat yang gratis membuatnya hanya perlu memikirkan biaya transportasi saja. Partisipan ini merasa sangat terbantu dengan adanya JKBM dan sangat berterimakasih kepada Pemerintah Provinsi Bali.

Partisipan 7 dan partisipan 8 mengaku tidak mengalami perubahan ekonomi sejak melakukan hemodialisa karena sejak awal hemodialisa sudah ditanggung oleh jamkesmas. Kedua pertisipan ini pindah ke JKBM karena sudah tidak terdaftar lagi sebagai peserta jamkesmas dan mereka merasa menggunakan JKBM jauh lebih mudah dibandingkan menggunakan jamkesmas karena berkas-berkasnya lebih mudah dipersiapkan. Mereka sangat bersyukur dengan adanya program JKBM ini karena bila tidak ada program ini mungkin mereka tidak akan melakukan pengobatan rutin karena terkendala masalah ekonomi.

Semua partisipan yang menggunakan JKBM mengaku sangat puas dengan adanya layananan ini. Mereka benar-benar merasa sangat terbantu karena pembiayaan hemodialisa yang cukup besar apabila dibandingkan dengan sumber daya keuangan yang dimiliki oleh partisipan. Apabila tidak ada program JKBM yang menanggung hemodialisa sesuai indikasi medis, maka besar kemungkinan partisipan dan penderita gagal ginjal lainnya untuk berhenti melakukan pengobatan dan membiarkan penyakitnya begitu saja. 19