142
UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH SUSUN DALAM PERSPEKTIF ITIKAD BAIK (KASUS RUMAH SUSUN PERMATA GANDARIA ANTARA NYONYA X DENGAN PT. PUTRA SURYA PERKASA) TESIS ARKIE V.Y.TUMBELAKA NPM 1006736356 Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum FAKULTAS HUKUM MAGISTER HUKUM EKONOMI SALEMBA, JAKARTA Juni 2012 Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

  • Upload
    dinhthu

  • View
    272

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

UNIVERSITAS INDONESIA

KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH SUSUN DALAM

PERSPEKTIF ITIKAD BAIK (KASUS RUMAH SUSUN PERMATA GANDARIA ANTARA NYONYA X DENGAN PT.

PUTRA SURYA PERKASA)

TESIS

ARKIE V.Y.TUMBELAKA

NPM 1006736356

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum

FAKULTAS HUKUM

MAGISTER HUKUM EKONOMI SALEMBA, JAKARTA

Juni 2012

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 2: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Universitas Indonesia

Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 3: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 4: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

KATA PENGANTAR

Berkat Kekuatan Kasih dan Berkat dari Allah Yang Maha Kuasa, Tesis yang

berjudul “Kajian Kontrak Baku Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan

Rumah Susun Dalam Perspektif Itikad Baik (Kasus Rumah Susun Permata

Gandaria Antara Nyonya X Dengan PT. Putra Surya Perkasa)” telah berhasil

diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan dan untuk

memperoleh gelar Magister Hukum (MH.) pada Program Pascasarjana Fakultas

Hukum Universitas Indonesia. Penulisan Tesis ini dilakukan untuk menganalisis

bagaimanakah perspektif asas itikad baik terhadap kontrak baku khususnya pada

perjanjian pengikatan jual beli satuan rumah susun dan bagaimanakah asas itikad

baik memberikan perlindungan bagi calon pembeli terkait dengan kontrak baku

yang terdapat dalam perjanjian pengikatan jual beli satuan rumah susun

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu

dalam penyusunan Tesis ini, yaitu sebagai berikut:

1. Puji dan syukur atas berkat, anugrah, kasih, cinta serta penyertaan Tuhan

Yesus Kristus yang selalu ada di dalam kehidupan penulis, yang selalu

menjadi sahabat penulis serta yang selalu membimbing dan menuntun

penulis dalam memulai hingga menyelesaikan Tesis ini.;

2. Orang Tua penulis (Bpk. Paulus Heru Tumbelaka, SH. *FHUI angkatan

1976* dan Ibu Lolita Sandra Tumbelaka, SH. *FHUI angkatan 1978*)

yang selalu mengasihi, merawat, mendidik, mendoakan, menjadi teladan

dan memberikan dukungan baik secara moril dan materiil untuk penulis

sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Hukum

Universitas Indonesia.;

3. Adik-adik penulis, Andrew Steven Raymond Tumbelaka dan Anastasia

Christina Gracia Tumbelaka, yang telah memberikan semangat dan doa

serta cinta kepada penulis untuk tekun mengerjakan Tesis ini;

4. Oma dan Opa penulis, Oma Lanita Puspa Tumbelaka, SH. dan alm.Opa

Victor Bernard Tumbelaka serta Oma Bertha (Ola) Montolalu dan

alm.Opa Albert Montolalu yang selalu memberikan kasih sayang,

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 5: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

semangat dan doa bagi penulis dalam setiap jenjang pendidikan hingga

penulis dapat memperoleh gelar Magister Hukum.

5. Jean Liatri Augustine Girsang, S.Psi yang selalu memberikan semangat,

perhatian dan kasih sayang sehingga Penulis dapat menyelesaikan Tesis

ini;

6. Bapak Kol (KH) Ir. Paruntungan Girsang, M.Sc., MA. dan Ibu Ediana

Hutabarat, BA. serta John Sebastian Girsang, Grace Naomi Girsang dan

Opung Berliana Tobing yang juga selalu memberikan doa, dukungan dan

semangat kepada Penulis;

7. Bapak Pradjoto, SH., MA. dan Ibu Kirana Prajoto, SH. yang memberikan

dukungan serta motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini;

8. Adhari Suryaputra, SH., MH. yang sangat membantu dan mendukung

Penulis terkait dengan penulisan Tesis ini;

9. Rekan-Rekan di Kantor Pradjoto and Associates yang selalu memberikan

masukan kepada Penulis terkait dengan penulisan Tesis ini;

10. Rekan-Rekan MHUI Angkatan 2010 dan Rekan-Rekan FHUI Angkatan

2003 yang selalu mendukung Penulis;

11. Ibu Prof. Dr. Rosa Agustina, SH., MH. selaku Pembimbing Tesis, atas

perhatian dan kesabarannya dalam membimbing penulis serta selalu

mendukung penulis dalam menyelesaikan Tesis ini;

12. Semua pihak yang belum disebutkan namanya satu per satu yang telah

memberikan bantuan, dukungan, doa dan semangat untuk penyusunan

Tesis ini baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih dan mohon maaf apabila ada

kata-kata yang kurang berkenan. Penulisan ini tentunya tidak terlepas dari segala

kekurangan baik dari segi materi maupun segi teknis penulisan. Semoga Tesis ini

dapat berguna bagi seluruh pihak yang akan membacanya. Tuhan memberkati.

Jakarta, Juni 2012

Penulis,

Arkie V.Y. Tumbelaka

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 6: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 7: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

ABSTRAK

Nama : Arkie V.Y. Tumbelaka Program Studi : Magister Hukum Ekonomi Judul : Kajian Kontrak Baku Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli

Satuan Rumah Susun Dalam Perspektif Itikad Baik (Kasus Rumah Susun Permata Gandaria Antara Nyonya X Dengan PT. Putra Surya Perkasa)

Tesis ini membahas mengenai bagaimanakah perspektif asas itikad baik terhadap kontrak baku khususnya pada Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun (PPJB SRS) serta bagaimanakah asas itikad baik dapat memberikan perlindungan bagi Calon Pembeli terkait dengan kontrak baku yang terdapat dalam PPJB SRS. Itikad Baik seharusnya memegang peranan penting dalam pembentukkan klausula kontrak baku dalam bentuk PPJB SRS, karena dengan adanya Itikad Baik yang diimplementasikan kepada klausula-klausula yang terdapat dalam PPJB SRS, kedudukan antara penjual sebagai pihak yang membuat PPJB SRS dan calon pembeli sebagai pihak yang akhirnya menyepakati PPJB SRS menjadi lebih setara dan lebih seimbang. Dengan adanya itikad baik, penjual tidak sewenang-wenang dan tidak menyalahgunakan posisi tawar yang dimiliki penjual dalam menyusun klausula dalam PPJB SRS tersebut. Pihak penjual pun harusnya memiliki keyakinan bahwa klausula-klausula yang terdapat dalam PPJB SRS yang berbentuk kontrak baku tersebut nantinya akan berguna dan menguntungkan bagi kedua belah pihak. Daya berlaku itikad baik haruslah meliputi seluruh proses perjanjian atau diibaratkan dengan “the rise and fall of contract”. Dengan demikian, itikad baik harus meliputi tiga fase proses perjanjian, yaitu pre contractuale fase (fase pra-kontrak), contractuale fase (fase kontrak); dan postcontractuale fase (fase post-kontrak). Akan tetapi dalam prakteknya seringkali klausula kontrak baku dalam bentuk PPJB SRS merugikan salah satu pihak yang dalam hal ini adalah pihak calon pembeli dan menguntungkan pihak yang lain yaitu pihak penjual. Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kepustakaan, penelitian ini juga merupakan penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang berupaya untuk memberikan gambaran mengenai urgensi dari perpektif asas itikad baik terhadap kontrak baku khususnya pada Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun.Tipe penelitian yang digunakan adalah normatif yuridis, dengan pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute-approach) dan pendekatan analitis (analytical approach). Jenis data yang digunakan adalah Data Sekunder yang meliputi Bahan Hukum Primer, Bahan Hukum Sekunder, dan Bahan Hukum Tersier. Penelitian yang akan dilakukan ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Kontrak yang akan dijadikan bahan studi adalah PPJB SRS Permata Gandaria antara Nyonya X dengan P.T. Putra Surya Perkasa, yang berbentuk kontrak baku. Kata kunci: Kontrak Baku, Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), Itikad Baik

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 8: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

ABSTRACT

Name : Arkie V.Y. Tumbelaka Program Study : Magister of Law on Economy Title : Review over Standard-form Contract upon the Agreement

Binding for Sale and Purchase of Condominium Within The Perspective of Good Faith (Case Study : Permata Gandaria Condominium, between by Ms. X and PT. Putra Surya Perkasa.)

The present thesis will discuss the perspective of the principle of good faith towards the standard form contracts in particular the Agreement Binding for Sale and Purchase of Condominium (unit of multi-story building) (Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun) “PPJB SRS” along with the elaboration on how the said principle can provide the Potential Buyer protection when dealing with the standardized form of the PPJB SRS. Good faith supposedly carries an important role in the process of formulating the standard-form clauses appear in the PPJB SRS, it is highly expected that by implementing such role, the (bargaining) position of the seller as the party constructing the PPJB SRS and the Potential Buyer which in the position to adhere to the standardized term in the PPJB SRS can be more or less equal or in balance. The presence of good faith will endorse the Seller to not exploit its “higher” bargaining position arbitrarily during the construction of the terms under the PPJB SRS. The seller also needs to be ascertain that the standardized term making part of the PPJB SRS shall be utile and expedient for both signatories to the contract. Good faith is expected to be applied throughout the whole process of the agreement, as it commonly phrased as the “rise and fall of a contract”. Following this idea, good faith necessarily needs to cover the three phases of the agreement namely the pre contractual phase, contractual phase, and post-contractual phase. Unfortunately however, it is not rare to find in practice that the formulation of standardized clauses within PPJB SRS is benefiting Seller in one hand while damaging the Buyer in the other hand. The research conducted for the present Thesis utilizes Library Research and under form of Descriptive Research methodology, whereas aiming to describe the urgency and perspective of the principle of good faith towards the standard form contracts in particular the Agreement Binding for Sale and Purchase of Condominium (or unit of multi-story building) (Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun). By using the normative juridical form of research the writer exercises the statute-approach altogether with the analytical approach. The research utilizes the secondary data consists of the primary, secondary, and tertiary legal materials. The research itself is a descriptive research with a qualitative approach. For the case study, the research examines a standardized-form of PPJB SRS Permata Gandaria signed by Ms. X and PT. Putra Surya Perkasa. Key words: Standard-form Contract, Agreement Binding for Sale and Purchase (PPJB), good faith

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 9: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ii

HALAMAN PENGESAHAN iii

KATA PENGANTAR iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

vi

ABSTRAK vii

ABSTRACT

DAFTAR ISI

viii

ix

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1. LATAR BELAKANG 1

1.2. POKOK PERMASALAHAN 6

1.3. TUJUAN PENELITIAN 6

1.4. MANFAAT PENELITIAN 6

1.5. METODE PENELITIAN

1.6. KERANGKA TEORI

7

9

1.7. KERANGKA KONSEPSIONAL 12

1.8. SISTEMATIKA PENELITIAN 14

BAB 2

KONTRAK BAKU DAN PERJANJIAN

PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

SUSUN

15

2.1. PENGERTIAN KONTRAK BAKU 15

2.2. DOKTRIN-DOKTRIN HUKUM TENTANG KONTRAK BAKU

2.3. PRINSIP-PRINSIP HUKUM KONTRAK YANG

MENDUKUNG KONTRAK BAKU

2.4. PENGERTIAN PERJANJIAN PENGIKATAN

JUAL BELI SATUAN RUMAH SUSUN

22

32

40

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 10: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

2.5. HUBUNGAN PERJANJIAN PENGIKATAN

JUAL BELI SATUAN RUMAH SUSUN

DENGAN KONTRAK BAKU

2.6. KEDUDUKAN HUKUM PENJUAL DAN CALON PEMBELI DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH SUSUN

2.7. HUBUNGAN PERJANJIAN PENGIKATAN

JUAL BELI SATUAN RUMAH SUSUN DAN

JUAL BELI

54

59

62

BAB 3 ITIKAD BAIK 65

3.1. PENGERTIAN ITIKAD BAIK

3.2. FUNGSI ITIKAD BAIK DALAM

PELAKSANAAN KONTRAK

3.3. KEDUDUKAN ITIKAD BAIK DALAM BUKU

III KUH PERDATA

65

70

71

3.4. ITIKAD BAIK SUBJEKTIF DAN OBJEKTIF

3.4.1 ITIKAD BAIK SUBJEKTIF

3.4.2 ITIKAD BAIK OBJEKTIF

3.5. ITIKAD BAIK DALAM TAHAP PRA-

KONTRAK

3.6. AKIBAT HUKUM TERKAIT KETIADAAN ITIKAD BAIK DALAM TAHAP PRA-KONTRAK

73

73

75

77

82

BAB 4

ANALISA PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH SUSUN PERMATA GANDARIA ANTARA NYONYA X DENGAN P.T. PUTRA SURYA PERKASA DALAM PERSPEKTIF ITIKAD BAIK 4.1. PARA PIHAK

4.2. HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK

4.3. ITIKAD BAIK DARI PARA PIHAK

4.4. ITIKAD BAIK DAN PERLINDUNGAN BAGI

CALON PEMBELI

88

88

92

105

116

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 11: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

BAB 5

PENUTUP 5.1. KESIMPULAN

5.2. SARAN

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

118

118

121

122

xii

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 12: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Selama perkembangannya Hukum Perjanjian Indonesia mengalami banyak

perubahan, antara lain sebagai akibat dari keputusan badan legislatif, keputusan

badan eksekutif serta pengaruh dari globalisasi.1 Di dalam praktek perjanjian,

dalam perkembangannya dilaksanakan suatu bentuk kontrak yang isinya telah

dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir yaitu kontrak baku.2 Kontrak

baku inilah yang saat ini banyak digunakan di dalam praktek bisnis.

Kontrak baku adalah suatu kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah

satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan sering kali kontrak tersebut sudah

tercetak (boilerplate) dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu

pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para

pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau

tanpa perubahan dalam klausula-klausulanya, dimana pihak lain dalam kontrak

tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk

menegosiasi atau mengubah klausula-klausula yang sudah dibuat oleh salah satu

pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah.3

Pihak yang diberikan kontrak baku tersebut dalam hal ini adalah pihak

pembeli yang pada dasarnya tidak mempunyai kesempatan untuk bernegosiasi dan

hanya berada pada posisi “Take it or leave it” terhadap kontrak baku yang

diberikan oleh pihak penjual. Sehingga terdapat keraguan ditinjau dari segi hukum

apakah di dalam kontrak baku terdapat suatu itikad baik serta unsur “Kata

1Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis (Bandung: Alumni, 1994), hal. 1. 2Sri Gambir Melati Hatta, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama : Pandangan

Masyarakat Dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia (Bandung: Alumni, 2000), hal. 146. 3Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) Buku Kedua

(Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 76.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 13: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Sepakat” yang merupakan salah satu syarat subjektif dari syarat sahnya suatu

kontrak. Agar suatu kontrak baku dapat dibatalkan maka tidak cukup hanya

ditunjukkan bahwa kontrak tersebut adalah kontrak baku, sebab kontrak baku an

sich adalah netral.

Untuk dapat membatalkannya maka unsur yang perlu untuk ditunjukkan

adalah apakah terjadi penggerogotan terhadap posisi tawar-menawar (bargaining

position) bagi salah satu pihak dalam kontrak baku tersebut sehingga eksistensi

unsur “Kata Sepakat” diantara para pihak sebenarnya tidak terpenuhi.

Syarat-syarat sahnya suatu kontrak baku harus ditinjau dari beberapa

unsur, yaitu4 : Syarat kausa yang halal terutama misalnya jika terdapat unsur

penyalahgunaan keadaan (misrepresentation); Syarat kausa yang halal terutama

jika terdapat unsur pengaruh yang tidak pantas (undue influence); Syarat

kesepakatan terutama jika ada keterpaksaan atau ketidakjelasan bagi salah satu

pihak.

Kontrak baku memiliki kelebihan dan kekurangan, kelebihan dari kontrak

baku yaitu bahwa kontrak baku lebih efisien; membuat praktek bisnis menjadi

lebih mudah dan sederhana, hal ini sangat menguntungkan terutama bagi kontrak-

kontrak yang dibuat secara masal atau dalam jumlah yang besar.

Kekurangan dari kontrak baku yaitu bahwa kurangnya kesempatan bagi

pihak lain dalam hal ini yaitu pihak pembeli untuk melakukan negosiasi atau

mengubah klausula-klausula dalam kontrak baku yang bersangkutan, sehingga

kontrak baku tersebut sangat berpotensi untuk menjadi kontrak yang berat

sebelah, yang nantinya akan merugikan pihak pembeli sebagai pihak yang

diberikan kontrak baku oleh pihak penjual, dalam hal ini itikad baik dari

pembuatan kontrak baku tersebut merupakan hal penting yang harus dicermati.

Dalam praktek bisnis, kontrak baku diperlukan untuk mempermudah

pelaksanaan bisnis dan mengurangi biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh para

pelaku bisnis, memang pada kenyataannya dari segi hukum kontrak baku

memiliki banyak masalah namun tetap dibutuhkan keberadaannya.

Karena itu, tidak mengherankan apabila dalam praktek bisnis ditemukan

begitu banyak kontrak baku, tidak terkecuali pada praktek Jual Beli Satuan

4Ibid., hal. 76.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 14: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Rumah Susun, dimana yang seringkali terjadi pada saat ini adalah penjualan

Satuan Rumah Susun dengan cara Pre Project Selling yaitu Penjualan Satuan

Rumah Susun yang masih dalam tahap pembangunan atau masih dalam tahap

perencanaan, dimana baik pihak penjual maupun pihak calon pembeli melakukan

penandatanganan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun

dihadapan Notaris.

Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun tersebut merupakan

kontrak baku, karena telah terlebih dahulu dicetak dalam bentuk formulir oleh

pihak penjual Satuan Rumah Susun tersebut. Perjanjian Pengikatan Jual Beli

Satuan Rumah Susun merupakan salah satu bentuk Perikatan dalam hukum

perdata yang merupakan Bagian dari Perikatan dengan ketentuan waktu yang

landasannya terdapat pada ketentuan pasal 1268 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata yang menyatakan bahwa “Suatu ketetapan waktu tidak menangguhkan

perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya.”

Dalam Perikatan dengan ketentuan waktu ini telah terjadi suatu perikatan,

namun pelaksanaan dari perikatan tersebut saja yang ditangguhkan pada waktu

tertentu.5 Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun merupakan suatu

perikatan tersendiri dimana dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah

Susun telah terdapat hak dan kewajiban yang lahir antara pihak penjual dan pihak

calon pembeli yang harus dipenuhi oleh kedua pihak dan jual beli sudah pasti

akan terjadi karena perikatan dengan ketentuan waktu tidak menangguhkan

perikatannya tetapi hanya menangguhkan pembuatan akta jual beli saja.

Dalam hal ini belum terjadi pemindahan hak atas Satuan Rumah Susun

karena Akta Jual Beli belum dibuat dan ditandatangani oleh kedua belah pihak,

dimana dalam hal ini unsur Penyerahan Benda Tidak Bergerak secara yuridis

(Juridische Levering) dan secara nyata (Feitelijke Levering) dalam hal ini Satuan

Rumah Susun sebagai benda tidak bergerak memegang peranan yang penting,

karena setelah ditandatanganinya Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah

Susun tidak berarti telah terjadi pemindahan hak milik dari pihak penjual kepada

pihak calon pembeli karena harus dilanjutkan dengan levering Satuan Rumah

5Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R.

Subekti dan R. Tjitro sudibio, cet.ke-8, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1976), ps. 1268.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 15: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Susun baik secara yuridis maupun secara nyata dari pihak penjual kepada pihak

calon pembeli.

Ketentuan mengatur mengenai Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan

Rumah Susun yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah

Susun, Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor: 11/KPTS/1994

tanggal 17 November 1994 tentang Pedoman Perikatan Jual Beli Satuan Rumah

Susun, yang berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 16 tahun 1985 tentang

Rumah Susun, Undang-Undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan

Pemukiman dan Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 1988 tentang Rumah

Susun.

Seperti halnya kontrak-kontrak baku lainnya, Perjanjian Pengikatan Jual

Beli Satuan Rumah Susun juga seringkali berat sebelah atau tidak seimbang yang

seringkali menguntungkan pihak penjual dan merugikan pihak calon pembeli,

terhadap hal ini perlu dilihat apakah pihak penjual menyusun Perjanjian

Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun tersebut dengan asas itikad baik atau

tidak.

Adapun hal-hal yang menyebabkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan

Rumah Susun hanya menguntungkan pihak penjual karena : Kurang adanya atau

bahkan tidak adanya kesempatan bagi salah satu pihak dalam hal ini pihak calon

pembeli untuk melakukan tawar-menawar, sehingga pihak yang kepadanya

diberikan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun tersebut tidak

banyak memiliki kesempatan untuk mengetahui isi dari Perjanjian Pengikatan Jual

Beli Satuan Rumah Susun tersebut, apalagi terdapat klausula dalam Perjanjian

Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun yang ditulis dengan huruf-huruf yang

sangat kecil dan sulit dimengerti; Karena penyusunan Perjanjian Pengikatan Jual

Beli Satuan Rumah Susun yang dilakukan secara sepihak, maka pihak penyedia

Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun dalam hal ini pihak penjual

biasanya memiliki cukup banyak waktu untuk memikirkan mengenai klausula-

klausula dalam dokumen Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun

tersebut, bahkan mungkin saja telah terlebih dahulu berkonsultasi dengan para

ahli, sedangkan pihak yang diberikan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan

Rumah Susun dalam hal ini pihak calon pembeli tidak banyak memiliki

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 16: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

kesempatan dan sering kali merasa awam atau tidak paham dengan klausula-

klausula tersebut; Pihak yang diberikan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan

Rumah Susun dalam hal ini pihak calon pembeli menempati kedudukan yang

tidak seimbang dibandingkan dengan kedudukan pihak penjual, sehingga hanya

dapat bersikap “Take it or leave it” terhadap Perjanjian Pengikatan Jual Beli

Satuan Rumah Susun tersebut.

Kontrak baku sudah merupakan kebutuhan dalam praktek dan banyak

dipergunakan dalam dunia bisnis sehari-hari dan akan menjadi persoalan hukum

manakala kontrak baku dalam hal ini Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan

Rumah Susun tersebut mengandung unsur-unsur yang tidak memperhatikan asas

itikad baik yaitu dengan tidak adil dan berat sebelah atau tidak seimbang yang

disatu sisi merugikan bagi salah satu pihak dalam hal ini yaitu calon pembeli

sedangkan disisi lain menguntungkan salah satu pihak dalam hal ini yaitu penjual.

Kontrak baku yang terdapat dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan

Rumah Susun seringkali tidak memperhatikan asas itikad baik dalam

pembentukkannya sehingga banyak terdapat penyelewengan dan pelanggaran

terhadap asas-asas hukum kontrak dalam pembentukkan Perjanjian Pengikatan

Jual Beli Satuan Rumah Susun yang dapat merugikan salah satu pihak. Karena

pada dasarnya asas-asas hukum kontrak mendukung kedudukan yang seimbang

diantara para pihak, sehingga sebuah kontrak akan bersifat stabil dan memberikan

keuntungan bagi kedua pihak.6

Kontrak yang akan dijadikan bahan studi adalah Perjanjian Pengikatan

Jual Beli Satuan Rumah Susun Rumah Susun Permata Gandaria antara Nyonya X

dengan P.T. Putra Surya Perkasa, yang berbentuk kontrak baku. Dimana dalam

Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun tersebut banyak

ketidakseimbangan atau keadaan yang berat sebelah dan banyak ketentuan-

ketentuan yang merugikan Nyonya X, sehingga dalam hal ini asas itikad baik

tidak dilaksanakan dengan seharusnya.

Peneliti ingin meneliti bagaimanakah perspektif asas itikad baik terhadap

kontrak baku khususnya pada Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah

Susun dan bagaimanakah asas itikad baik memberikan perlindungan bagi Calon

6Badrulzaman, op. cit., hal. 45.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 17: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Pembeli terkait dengan kontrak baku yang terdapat dalam Perjanjian Pengikatan

Jual Beli Satuan Rumah Susun. Beberapa hal inilah yang akan digali lebih lanjut.

1.2. POKOK PERMASALAHAN

Berdasarkan latar belakang permasalahan sebelumnya pokok

permasalahannya adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah perspektif asas itikad baik terhadap kontrak baku khususnya

pada Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun ?

2. Bagaimanakah asas itikad baik memberikan perlindungan bagi Calon Pembeli

terkait dengan kontrak baku yang terdapat dalam Perjanjian Pengikatan Jual

Beli Satuan Rumah Susun ?

1.3. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pokok permasalahan

sebelumnya, tujuan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Memberikan penjelasan bagaimanakah perspektif asas itikad baik terhadap

kontrak baku khususnya pada Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah

Susun

2. Memberikan penjelasan bagaimanakah asas itikad baik memberikan

perlindungan bagi Calon Pembeli terkait dengan kontrak baku yang terdapat

dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun

1.4. MANFAAT PENELITIAN

Adapun manfaat atau kegunaan yang hendak diperoleh dari penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Memberikan masukan kepada dunia hukum di Indonesia mengenai urgensi

dari perspektif asas itikad baik terhadap kontrak baku khususnya pada

Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 18: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

2. Memberikan masukan bagi bidang hukum perjanjian mengenai pentingnya

asas itikad baik dalam kaitannya untuk memberikan perlindungan bagi Calon

Pembeli terkait dengan kontrak baku yang terdapat dalam Perjanjian

Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun

1.5. METODE PENELITIAN

1.5.1. Tipe Penelitian

Mula-mula perlu dijelaskan bahwa penelitian yang akan dilakukan ini

merupakan penelitian kepustakaan. Di samping itu, penelitian ini juga merupakan

penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang berupaya untuk memberikan gambaran

mengenai urgensi dari perspektif asas itikad baik terhadap kontrak baku

khususnya pada Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun. Penelitian

ini juga akan menggambarkan mengenai pentingnya asas itikad baik dalam

kaitannya untuk memberikan perlindungan bagi Calon Pembeli terkait dengan

kontrak baku yang terdapat dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah

Susun, khususnya dalam kerangka hukum perjanjian di Indonesia.

1.5.2. Tipe Penelitian Hukum

Objek penelitian ini tidak lain merupakan objek yang dikenal dalam

hukum perjanjian, oleh karenanya tipe penelitian hukum yang akan digunakan

sudah tentu adalah penelitian hukum normatif yuridis, yaitu penelitian yang

difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam

hukum positif.7

Karena tipe penelitian hukum yang digunakan adalah normatif yuridis,

maka pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan perundang-undangan

(statute-approach). Di samping itu, untuk mendukung pendekatan perundang-

undangan tersebut, digunakan pula pendekatan analitis (analytical approach).

7 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet. 3, (Malang:

Bayumedia Publishing, 2007), hal. 295.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 19: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Pendekatan perundang-undangan digunakan karena dasar asas itikad baik

yang dijadikan pokok Penelitian ini adalah KUH Perdata. Di Indonesia, asas itikad

baik dalam pelaksanaan perjanjian pertama kali diperkenalkan oleh KUH Perdata,

sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1338 ayat (3). Dalam perjalanannya,

hakim mengukur asas itikad baik para pihak dalam sebuah perjanjian dengan

bertolak dari pasal ini.

Pendekatan analitis dipakai untuk mengetahui perkembangan makna asas

itikad baik dalam praktek perjanjian di Indonesia, terutama terkait dengan

Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun yang berbentuk kontrak

baku. Melalui pendekatan ini diupayakan untuk memperoleh makna baru dari asas

itikad baik, tidak hanya dalam konteks pelaksanaan perjanjian, namun juga dalam

tahap pra-kontrak.

1.5.3. Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data Sekunder yaitu data

yang diperoleh dari kepustakaan karena penelitian hukum yang dilakukan adalah

penelitian hukum normatif yuridis.

1.5.4. Bahan Hukum

Terkait dengan penggunaan Data Sekunder dalam penelitian ini, maka

Bahan Hukum yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi Bahan Hukum

Primer, Bahan Hukum Sekunder, dan Bahan Hukum Tersier.

Bahan Hukum Primer (primary sources) di dalam penelitian ini meliputi

Peraturan Perundang-undangan; Bahan Hukum Sekunder (secondary sources)

adalah bahan hukum yang paling banyak digunakan dalam penelitian ini, yaitu

Buku; Bahan Hukum Tersier (tertiary sources) yang akan digunakan, antara lain

Kamus-Kamus baik Kamus Besar Bahasa Indonesia maupun Kamus Hukum.

1.5.5. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum dilakukan dengan mengumpulkan

Bahan Hukum Primer, Bahan Hukum Sekunder dan Bahan Hukum Tersier yang

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 20: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

diperoleh berdasarkan klasifikasi topik yang sesuai dengan bahasannya untuk

kemudian dilakukan pengkajian secara komprehensif.

1.5.6. Metode Analisis Bahan Hukum

Penelitian yang akan dilakukan ini adalah penelitian deskriptif dengan

pendekatan kualitatif. Atau dengan kata lain, data yang akan diperoleh dalam

penelitian ini diolah dengan pendekatan kualitatif. Bahan hukum yang diperoleh

dalam penelitian kepustakaan untuk selanjutnya dianalisis atau disistematisasi,

dengan jalan membuat klasifikasi. Dalam penelitian yang akan dilakukan ini,

bahan-bahan hukum tersebut dipilah untuk memberikan gambaran mengenai asas

itikad baik. Kemudian, hasilnya dikonstruksi untuk memberikan pemahaman

terhadap asas itikad baik terutama dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan

Rumah Susun yang berbentuk kontrak baku.

1.6. KERANGKA TEORI

Dalam teori klasik hukum perjanjian, asas itikad baik hanya dapat

diterapkan dalam situasi dimana para pihak dalam perjanjian telah sepakat

mengenai hal tertentu. Ajaran ini tidak melindungi pihak yang menderita kerugian

dalam tahap pra-kontrak atau tahap perundingan karena dalam tahap ini para

pihak dalam perjanjian belum mencapai kesepakatan.8

Akan tetapi, teori perjanjian yang modern cenderung menghapuskan

syarat-syarat formal bagi kepastian hukum dan lebih menekankan kepada

terpenuhinya rasa keadilan. Jack Beatson dan Daniel Friedmann, dalam buku

Good Faith and Fault in Contract Law, menyebutkan bahwa

“Another tendency of modern contract law is to dilute formal requirements

and to attach greater weight to substantive fairness…”9

8 Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, cet. 1, (Jakarta: Kencana,

2004), hal. 2. 9 Jack Beatson dan Daniel Friedmann (ed.), Good Faith and Fault in Contract Law, (New

York: Oxford University Press Inc., 2001), hal. 15.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 21: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Disini nampaknya keadilan (fairness) menjadi patokan dan tujuan utama,

ketimbang mempertahankan kekakuan prinsip-prinsip dalam hukum perjanjian itu

sendiri.

Jika kembali kepada dasar dari keharusan beritikad baik, para pihak

sebenarnya dituntut untuk beritikad baik tak lain karena terdapat prinsip keadilan

yang harus dihormati oleh pihak-pihak dalam mengadakan perjanjian.

Pelaksanaan asas itikad baik pada hakikatnya merupakan bentuk

penghormatan terhadap keadilan. Keadilan merupakan kebajikan utama dalam

institusi sosial. Oleh karena itu, segala unsur kebajikan yang lain—termasuk

itikad baik—bersumber dari prinsip keadilan. Sebagai contoh, seorang hakim,

dengan berlandaskan pada asas itikad baik, mengubah suatu klausula dalam

perjanjian yang menetapkan bunga terlalu tinggi kepada pihak debitur, yang pada

intinya merupakan upaya sang hakim untuk menciptakan keadilan bagi para pihak

tersebut.10

Profesor Purnadi Purbacaraka dan Profesor Soerjono Soekanto

menyatakan bahwa tujuan dari kaedah hukum adalah kedamaian hidup antar

pribadi, yang meliputi ketertiban ekstern antar pribadi dan ketenangan intern

pribadi. Tujuan ini berkaitan erat dengan dwi-tunggal tugas hukum, yaitu

memberikan kepastian dan kesebandingan dalam hukum.11 Kesebandingan

(equity) tak dapat dipungkiri merupakan ungkapan lain dari keadilan (fairness),

bahwa masing-masing pihak harus menjalankan hak dan kewajibannya secara

proporsional (evenredigheid) dan adil (billijkheid) di hadapan hukum.

Itikad baik memberikan petunjuk bahwa suatu perjanjian harus

memperhatikan kepatutan. Setiap perjanjian harus didasarkan pretium iustum yang

mengacu kepada reason dan equity yang mensyaratkan adanya keseimbangan

antara kerugian dan keuntungan bagi kedua belah pihak dalam perjanjian. Hal ini

sejalan dengan tujuan hukum yang notabene berupaya merealisasikan keadilan.

10 Subekti, Hukum Perjanjian, cet. 19, (Jakarta: Intermasa, 2002), hal. 41. 11 Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka (b), Perihal Kaedah Hukum, cet. 6,

(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 50-51.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 22: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Itikad baik tak lain menjadi pedoman bahwa isi perjanjian harus memuat nilai-

nilai keadilan.12

Dalam perspektif keadilan, penerapan asas itikad baik sudah sewajarnya

tidak hanya diterapkan dalam pelaksanaan perjanjian, namun juga pada tahap pra-

kontrak. Hal ini karena secara rasional keadilan haruslah terjaga sejak tahap

negosiasi hingga pelaksanaan perjanjian. J.M. van Dunne berpendapat daya

berlaku itikad baik meliputi seluruh proses perjanjian atau diibaratkan dengan

“the rise and fall of contract”. Dengan demikian, itikad baik meliputi tiga fase

proses perjanjian, yaitu: pre contractuale fase, contractuale fase, dan

postcontractuale fase.13

Konsep itikad baik pada tahap pra-kontrak bersumber dari doktrin culpa in

contrahendo yang diajarkan oleh Rudolf von Jhering, seorang sarjana hukum

terkemuka di Jerman. Doktrin culpa in contrahendo merupakan sebuah upaya

hukum yang lahir untuk mengatasi persoalan hukum kebiasaan (gemeines recht)

saat itu yang memandang bahwa perjanjian hanya tunduk kepada teori kehendak,

sehingga tanggung jawab para pihak hanya diukur dari kehendak para pihak

semata, tanpa mempertimbangkan adanya kesalahan dalam penyampaian atau

pengungkapan kehendak tersebut. Konsep ini secara tidak adil telah melepaskan

tanggung jawab pihak yang melakukan kesalahan dengan dalil ketiadaan

kehendak.

Doktrin culpa in contrahendo mengkritisi pandangan ini dan mengajarkan

bahwa pihak yang bertanggung jawab atas kesalahan harus bertanggung jawab

terhadap kerugian yang diderita oleh pihak yang tidak bersalah, yang

mendasarkan tindakannya pada faulty impression of a binding contract.14

Ridwan Khairandy, dalam bukunya yang berjudul Itikad Baik dalam

Kebebasan Berkontrak, menjelaskan bahwa standar itikad baik dalam tahap pra-

kontrak didasarkan pada kecermatan dalam berkontrak. Dengan asas ini, para

12 Ridwan Khairandy, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, cet. 1, (Program

Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal. 35. 13 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak

Komersial, cet. 1, (Yogyakarta: LaksBang Mediatama, 2008), hal. 118. 14 Khairandy, op. cit., hal. 258-259.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 23: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

pihak masing-masing memiliki kewajiban untuk menjelaskan dan meneliti fakta

material yang berkaitan dengan perjanjian tersebut. Dengan standar tersebut,

perilaku para pihak dalam melaksanakan perjanjian dan penilaian terhadap isi

perjanjian harus didasarkan pada prinsip kerasionalan dan kepatutan.15 Ridwan

Khairandy dalam kesimpulannya memang berpendapat bahwa ajaran itikad baik

dalam tahap pra-kontrak belum terlalu mengkristal dalam praktek pengadilan di

Indonesia. Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri urgensinya dalam

perlindungan para pihak dalam perjanjian di tengah perkembangan hukum

perjanjian saat ini.

1.7. KERANGKA KONSEPSIONAL

Untuk menghindari kesimpangsiuran dan ketidaksamaan pengertian

mengenai istilah-istilah yang dipakai dalam Penelitian ini, berikut dijelaskan

definisi operasional dari istilah-istilah tersebut:

Asas adalah hukum dasar; dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir

dan pendapat).16

Perjanjian adalah “…suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada

seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu

hal.”17

Perjanjian Pengikatan Jual Beli adalah Perjanjian Jual beli secara pesan

lebih dahulu atau perjanjian jual beli pendahuluan.18

Tahap Pra-Kontrak adalah tahap proses perundingan (preliminary

negotiation), penyusunan perjanjian, atau suatu tahap lain dimana para pihaknya

belum mencapai suatu kesepakatan atau konsensus.

15 Ibid., hal. 348-349. 16 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta:

Pusat Bahasa, 2008), hal. 94. 17 Subekti , op. cit., hal. 1. 18 Lihat Lampiran Latar Belakang Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor

11/KPTS/1994 tentang Pedoman Perikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun tanggal 17 November

1994.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 24: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Janji Pra-Kontrak adalah janji yang disampaikan oleh salah satu pihak

dalam tahap perundingan (preliminary negotiation), penyusunan perjanjian, atau

suatu tahap lain dimana para pihaknya belum mencapai suatu kesepakatan atau

konsensus.

Konsensus adalah “…persamaan (kesatuan) pendapat, sepakat, yang

menjadi titik lahirnya perjanjian atau persetujuan.”19

Kontrak Baku adalah Suatu perjanjian tertulis yang dibuat hanya oleh

salah satu pihak dalam perjanjian tersebut, bahkan seringkali sudah tercetak dalam

bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak dan pihak lain tidak

mempunyai kesempatan untuk mengubah klausula-klausula yang terdapat dalam

perjanjian tersebut20

Rumah Susun adalah Bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam

suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara

fungsional dalam arah horisontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan

yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk

tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah

bersama21

Satuan Rumah Susun adalah unit rumah susun yang tujuan utamanya

digunakan secara terpisah dengan fungsi utama sebagai tempat hunian dan

mempunyai sarana penghubung ke jalan umum22

Doktrin adalah ajaran; asas-asas suatu aliran politik, keagamaan;

pendirian segolongan ahli ilmu pengetahuan, keagamaan, ketatanegaraan.23

Putusan adalah “…hasil atau kesimpulan suatu pemeriksaan perkara yang

didasarkan pada pertimbangan yang menetapkan apa yang [menjadi] hukum.”24

Yurisprudensi adalah putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum

tetap dan diikuti oleh hakim lainnya dalam perkara yang serupa.

19 Ibid.., hal. 72. 20 Munir Fuady, op. cit., hal. 77. 21 Lihat Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. 22 Lihat Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. 23 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., hal. 362. 24 Subekti, op. cit., hal. 95.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 25: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

1.8. SISTEMATIKA PENELITIAN

Penelitian ini terdiri dari lima bab yang berkaitan satu sama lain. Bab

Pertama menguraikan mengenai Pendahuluan yang berisi Latar Belakang

Masalah, Pokok Permasalahan, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode

Penelitian, Kerangka Teori, Kerangka Konsepsional, dan Sistematika Penelitian.

Bab Kedua menguraikan mengenai Kontrak Baku dan Perjanjian

Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun, yang terdiri dari Pengertian Kontrak

Baku, Doktrin-Doktrin Hukum Tentang Kontrak Baku, Prinsip-Prinsip Hukum

Kontrak Yang Mendukung Kontrak Baku, Pengertian Perjanjian Pengikatan Jual

Beli Satuan Rumah Susun, Hubungan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan

Rumah Susun dengan Kontrak Baku, Kedudukan Hukum Penjual dan Calon

Pembeli dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun, dan

Hubungan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun dan Jual Beli.

Bab Ketiga menguraikan mengenai Itikad Baik yang terdiri dari Pengertian

Itikad Baik, Fungsi Itikad Baik dalam Pelaksanaan Kontrak, Kedudukan Itikad

Baik Dalam Buku III KUHPerdata, Itikad Baik Subjektif dan Objektif, Itikad Baik

dalam Tahap Pra-Kontrak, Akibat Hukum Terkait Ketiadaan Itikad Baik dalam

Tahap Pra-Kontrak.

Bab Keempat menguraikan mengenai Analisa Perjanjian Pengikatan Jual

Beli Satuan Rumah Susun Permata Gandaria antara Nyonya X dengan P.T. Putra

Surya Perkasa Dalam Perspektif Itikad Baik, yang akan dipaparkan mengenai Para

Pihak, Hak dan Kewajiban Para Pihak, Itikad Baik dari Para Pihak, Itikad Baik

dan Perlindungan Bagi Calon Pembeli.

Bab Kelima menguraikan mengenai Penutup yang berisi Kesimpulan dan

Saran atas penelitian yang dilakukan.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 26: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

BAB 2

KONTRAK BAKU DAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI

SATUAN RUMAH SUSUN

2.1. PENGERTIAN KONTRAK BAKU

Kontrak yang saat ini banyak digunakan dalam praktek bisnis di

masyarakat yaitu kontrak baku, dimana kontrak baku tersebut seringkali terjadi

tanpa proses negosiasi yang seimbang diantara para pihak, tetapi kontrak tersebut

terjadi dengan cara pihak yang satu telah menyiapkan syarat-syarat baku dalam

suatu formulir perjanjian yang sudah dicetak dan kemudian diberikan kepada

pihak lainnya untuk diterima dan disetujui dengan hampir tidak memberikan

kebebasan sama sekali kepada pihak lainya untuk melakukan negosiasi atas

syarat-syarat yang diberikan tersebut.

Berikut ini adalah pendapat para ahli hukum mengenai definisi kontrak

baku:

1. Menurut Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, SH. bahwa suatu kontrak baku

adalah kontrak (perjanjian) yang hampir seluruh klausula-klausulanya

sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya

tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.

Yang belum dibakukan hanyalah beberapa hal saja, misalnya yang

menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu dan beberapa hal

lainnya yang spesifik dari obyek yang diperjanjikan.25

2. Menurut Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, SH. bahwa suatu kontrak

baku adalah kontrak yang isinya dibakukan atau dituangkan dalam bentuk

formulir. Baku artinya patokan atau ukuran.26

25Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi

Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia,

1993), hal. 66. 26Hatta, op. cit., hal. 146.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 27: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

3. Menurut Prof. Abdulkadir Muhammad, SH. bahwa suatu kontrak baku

adalah kontrak yang menjadi tolok ukur yang dipakai sebagai patokan atau

pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum

dengan pengusaha. Yang dibakukan dalam kontrak baku adalah meliputi

model, rumusan dan ukuran.27

4. Menurut Munir Fuady bahwa suatu kontrak baku adalah suatu kontrak

tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut,

bahkan sering kali kontrak tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam

bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini

ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya

mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa

perubahan dalam klausula-klausulanya, dimana pihak lain dalam kontrak

tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan

untuk menegosiasi atau mengubah klausula-klausula yang sudah dibuat

oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat

berat sebelah.28

5. Menurut Hondius bahwa suatu kontrak baku adalah konsep perjanjian

tertulis yang disusun tanpa membicarakan isinya dan lazimnya dituangkan

ke dalam perjanjian tidak terbatas yang sifatnya tertentu.29

6. Menurut Drooglever Fortuijn bahwa suatu kontrak baku adalah perjanjian

yang bagian pentingnya dituangkan dalam susunan perjanjian.30

Terdapat beberapa istilah yang sering dipergunakan untuk kontrak baku,

antara lain:31 Standard Contract (Bahasa Inggris); Standardized Contract (Bahasa

Inggris); Standardized Mass Contract (Bahasa Inggris); Standard Form Contract

(Bahasa Inggris); Pad Contract (Bahasa Inggris); Contract of Adhesion (Bahasa

Inggris); Adhesion Contract (Bahasa Inggris); Standaardregeling (Bahasa

27Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan

(Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti, 1992), hal. 6. 28Fuady, op. cit., hal. 76. 29Badrulzaman, op. cit., hal. 47. 30Ibid.. 31Fuady, op.cit., hal. 75.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 28: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Belanda); Algemene Voorwaarden (Bahasa Belanda); Algemeine Gesghafts

Bedingun (Bahasa Jerman); Standaardvertrag (Bahasa Jerman);

Standaardkonditionen (Bahasa Jerman); Yakkan (Bahasa Jepang); Futsu Keiyaku

Jokan (Bahasa Jepang); Gyomu Yakkan (Bahasa Jepang); Kontrak Baku (Bahasa

Indonesia); Kontrak Standar (Bahasa Indonesia).

Dalam era globalisasi pembakuan suatu kontrak merupakan suatu hal yang

tidak dapat dihindari, karena bagi pihak penjual sebagai pengusaha merupakan

cara untuk mencapai tujuan ekonomi yang efisien, praktis, dan cepat, tetapi bagi

pembeli sebagai konsumen justru merupakan pilihan yang tidak menguntungkan

karena hanya dihadapkan pada suatu pilihan untuk menerima walaupun dengan

berat hati. Dalam membuat suatu kontrak baku, pihak penjual selalu berada dalam

posisi yang kuat sedangkan pihak pembeli umumnya berada dalam posisi yang

lemah. Pihak pembeli hanya dihadapkan pada dua pilihan, yaitu:32

1. Jika pihak pembeli membutuhkan produksi atau jasa yang ditawarkan

kepadanya, maka pihak pembeli dapat menyetujui kontrak baku yang

diberikan oleh pihak penjual. Hal ini diungkapkan dengan istilah “take it”.

2. Jika pihak pembeli tidak setuju dengan kontrak baku yang diberikan, maka

pihak pembeli jangan membuat perjanjian dengan pihak penjual yang

bersangkutan. Hal ini diungkapkan dengan istilah “leave it”

Dalam hubungan hukum antara sesama pengusaha maka kontrak baku

hampir tidak menimbulkan masalah apa-apa karena mereka berpegang pada

prinsip ekonomi yang sama dengan menerapkan sistem bersaing secara sehat

dalam melayani konsumen. Tetapi dalam hubungan hukum antara pengusaha

dengan konsumen maka dapat timbul permasalahan utama, yaitu kemampuan

konsumen untuk memenuhi kontrak baku yang telah dibuat secara sepihak oleh

pihak pengusaha. Dalam hal ini, konsumen harus menerima segala akibat yang

timbul dari kontrak baku walaupun akibat tersebut seringkali merugikan

konsumen tanpa kesalahannya, dalam hal ini, konsumen dihadapkan pada satu

pilihan yaitu menerima dengan berat hati.33

32Muhammad, op. cit., hal. 2. 33Ibid., hal. 4.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 29: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, maka ciri-ciri dari

kontrak baku mengikuti dan menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat.

Ciri-ciri tersebut mencerminkan prinsip ekonomi dan kepastian hukum yang

berlaku di negara-negara yang bersangkutan.

Dengan adanya kontrak baku maka kepentingan ekonomi dari pihak

pengusaha lebih terjamin karena konsumen hanya menyetujui syarat-syarat yang

diberikan oleh pengusaha. Ciri-ciri dari kontrak baku, antara lain:34

1. Bentuknya Tertulis

Kata-kata atau kalimat pernyataan kehendak yang termuat dalam kontrak

baku dibuat secara tertulis berupa akta otentik atau akta di bawah tangan.

Karena dibuat secara tertulis, maka kontrak baku tersebut menggunakan kata-

kata atau susunan kalimat yang teratur dan rapi. Jika huruf yang digunakan

berbentuk kecil dan isinya sangat padat serta sulit dibaca dalam waktu yang

singkat maka hal ini merupakan kerugian bagi konsumen.

2. Format Yang Dibakukan

Format kontrak meliputi model, rumusan, dan ukuran. Format ini

dibakukan, artinya telah ditentukan model, rumusan, dan ukurannya, sehingga

tidak dapat diganti, diubah, atau dibuat dengan cara lain karena telah dicetak.

Model kontrak dapat berupa blanko naskah kontrak lengkap, atau blanko

formulir yang dilampiri dengan naskah syarat-syarat kontrak, atau dokumen

bukti kontrak yang memuat syarat-syarat baku. Rumusan syarat-syarat kontrak

dapat dibuat secara rinci dengan menggunakan nomor atau pasal-pasal, atau

secara singkat berupa klausula-klausula tertentu yang mengandung arti

tertentu yang hanya dipahami oleh pengusaha, sedangkan konsumen sulit atau

tidak memahaminya dalam waktu yang singkat. Hal ini merupakan kerugian

bagi konsumen.

3. Syarat-Syarat Kontrak Ditentukan Oleh Pengusaha

Syarat-syarat kontrak yang merupakan pernyataan kehendak ditentukan

sendiri secara sepihak oleh pengusaha. Karena syarat-syarat kontrak itu

dimonopoli oleh pengusaha maka sifat dari syarat-syarat kontrak tersebut

cenderung lebih menguntungkan pengusaha daripada konsumen. Hal ini

34Ibid., hal. 6.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 30: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

terlihat dalam klausula eksonerasi berupa pembebasan tanggung jawab

pengusaha dimana tangung jawab tersebut menjadi beban dari konsumen.

Pembuktian oleh pengusaha yang membebaskan diri dari tanggung jawab sulit

diterima oleh konsumen karena ketidaktahuannya. Penentuan secara sepihak

oleh pengusaha dapat diketahui melalui format kontrak yang telah siap pakai,

dimana apabila konsumen setuju maka konsumen dapat menandatangani

kontrak tersebut.

4. Konsumen Hanya Menerima Atau Menolak

Jika konsumen bersedia menerima syarat-syarat kontrak yang diberikan

kepadanya, maka konsumen dapat menandatangani kontrak tersebut.

Penandatanganan tersebut menunjukkan bahwa konsumen bersedia memikul

beban tanggung jawab walaupun mungkin konsumen tidak bersalah. Jika

konsumen tidak setuju dengan syarat-syarat perjanjian yang diberikan

kepadanya maka konsumen tidak dapat menawar syarat-syarat yang telah

dibakukan tersebut. Dimana menawar syarat-syarat baku berarti menolak

kontrak. Hal ini sesuai dengan istilah dalam Bahasa Inggris yaitu “take it or

leave it”.

5. Penyelesaian Sengketa

Dalam syarat-syarat kontrak terdapat klausula baku yang mengatur

mengenai penyelesaian sengketa. Jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan

kontrak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase. Tetapi jika ada

pihak yang menghendaki, tidak tertutup kemungkinan penyelesaian sengketa

melalui pengadilan. Namun di Indonesia, biasanya penyelesaian sengketa

terlebih dahulu dilakukan dengan cara musyawarah sebelum dilakukan di

arbitrase atau di pengadilan.

6. Kontrak Baku Menguntungkan Pengusaha

Dalam kontrak baku, syarat-syarat baku biasanya dimuat lengkap dalam

naskah perjanjian, atau ditulis sebagai lampiran yang tidak terpisah atau

merupakan satu kesatuan dengan formulir kontrak atau ditulis dalam dokumen

bukti kontrak.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa kontrak baku yang dirancang

secara sepihak oleh pengusaha akan menguntungkan pengusaha berupa:

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 31: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Efisiensi biaya, waktu dan tenaga; Praktis karena telah tersedia naskah yang

dicetak berupa formulir atau blanko yang telah siap untuk diisi dan

ditandatangani; Penyelesaian cepat karena konsumen hanya menyetujui dan

atau menandatangani kontrak yang diberikan kepadanya; Homogenitas

kontrak yang dibuat dalam jumlah yang banyak.

Menurut Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, SH. kontrak baku terdiri

dari empat jenis yaitu:35

1. Kontrak baku sepihak yaitu kontrak yang isinya ditentukan oleh pihak

yang kuat kedudukannya dalam kontrak tersebut.

2. Kontrak baku timbal balik yaitu kontrak baku yang isinya ditentukan

oleh kedua pihak, pihak-pihaknya terdiri dari pihak majikan dan pihak

lainnya yaitu pihak buruh.

3. Kontrak baku yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu kontrak baku yang

isinya ditentukan oleh pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum

tertentu.

4. Kontrak baku yang dipergunakan di lingkungan notaris atau advokat.

Permasalahan yang sekarang timbul adalah apakah yang menjadi dasar

berlakunya kontrak baku bagi konsumen atau apa yang menyebabkan konsumen

menjadi terikat dengan kontrak baku yang ditetapkan oleh pengusaha ?

Menurut Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H. ada tiga aspek yang dapat

dijadikan dasar berlakunya kontrak baku, yaitu:36

1. Aspek Hukum

Secara yuridis, masalah ini dapat diselesaikan melalui Pasal 1338 ayat (1)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian

yang dibuat dengan sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang

membuatnya. Berlaku sebagai undang-undang artinya mempunyai kekuatan

mengikat sama dengan undang-undang, sehingga terdapat kepastian hukum.

Konsekuensinya terdapat pada Pasal 1338 ayat (2) Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata yang menyatakan bahwa pihak dalam suatu perjanjian tidak

35Hatta, op. cit., hal. 146-147. 36Muhammad, op. cit., hal. 26-28.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 32: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

dapat membatalkan secara sepihak (tanpa persetujuan pihak lawannya)

perjanjian yang telah dibuat dengan sah itu. Keterikatan para pihak dapat

dibuktikan dengan penandatanganan kontrak baku atau penerimaan dokumen

kontrak baku.

2. Aspek Kemasyarakatan

Permasalahan filosofis yang timbul adalah apakah yang menjadi dasar

konsumen mau menandatangani kontrak baku atau menerima dokumen

kontrak baku tersebut ?

Zeylemaker mengemukakan ajaran penundukan kemauan

(wilsonderwerping) yang menyatakan bahwa orang mau tunduk karena ada

pengaturan yang aman dalam lalu lintas masyarakat, yang disusun oleh orang

yang ahli dalam bidangnya, dan tidak berlaku sepihak, sehingga orang tidak

dapat berbuat lain selain tunduk. Tetapi menurut Stein bahwa kebutuhan

praktis dalam lalu lintas masyarakatlah yang menyebabkan pihak lain terikat

pada semua syarat baku tanpa mempertimbangkan apakah dirinya memahami

syarat-syarat baku tersebut atau tidak, yang penting adalah dirinya dapat

mengetahui syarat-syarat baku tersebut. Tanggapan Hondius terhadap

Zeylemaker adalah bahwa pendapat beliau dapat dipakai sebagai dasar

keterikatan konsumen tetapi dengan ketentuan bahwa keterikatan itu

dilengkapi dengan alasan kepercayaan. Jadi, menurut Hondius penandatangan

atau penerima tidak hanya terikat karena dirinya mau saja melainkan juga

karena dirinya percaya pada pihak lain itu berdasarkan perhitungannya.

3. Aspek Ekonomi

Menanggapi permasalahan filosofis tadi, Zonderland menggunakan

pendekatan riil. Zonderland menyatakan bahwa keterikatan konsumen kepada

kontrak baku karena konsumen ingin menukar prestasi dan sekaligus

menerima apapun yang tercantum dalam kontrak baku dengan harapan dirinya

luput dari halangan, satu harapan yang dilihat secara statistik kemungkinan

besar terpenuhi. Jadi, pendekatan riil Zonderland ini adalah kebutuhan

ekonomi yang hanya akan terpenuhi jika mengadakan kontrak dengan

pengusaha, walaupun dengan syarat-syarat baku yang lebih berat berdasarkan

pengalaman yang senantiasa merugikan konsumen dan kalaupun memang

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 33: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

timbul suatu kerugian karena suatu halangan maka hal tersebut dianggap

merupakan suatu resiko.

2.2. DOKTRIN-DOKTRIN HUKUM TENTANG KONTRAK BAKU

Meskipun kontrak baku dibutuhkan dalam praktek, namun para ahli

hukum berbeda pendapat tentang eksistensi dari kontrak baku yaitu ada yang

mendukungnya dan ada juga yang menentangnya.

Beberapa ahli hukum yang mendukung eksistensi dari kontrak baku antara

lain:37

1. Stein, yang menyatakan bahwa suatu kontrak baku dapat diterima

berdasarkan fiksi tentang adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil

en vertrouwen), yakni kemauan dan kepercayaan para pihak untuk

mengikatkan diri ke dalam kontrak baku tersebut. Jika salah satu pihak

menerima dokumen kontrak tersebut, berarti pihak tersebut secara

sukarela setuju pada isi kontrak baku tersebut.

2. Asser-Rutten, yang menyatakan bahwa seseorang mengikat kepada

kontrak baku karena dia sudah menandatangani kontrak tersebut,

sehingga dia harus dianggap mengetahui, serta menghendaki dan

karenanya bertanggungjawab kepada isi dari kontrak tersebut. Jadi setiap

orang yang menandatangani kontrak, bertanggungjawab pada isi dan apa

yang ditandatanganinya, dimana jika ada seseorang yang membubuhkan

tanda tangan pada formulir kontrak baku maka tanda tangan tersebut akan

membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertandatangan mengetahui dan

menghendaki isi formulir yang ditandatangani. Tidak mungkin seseorang

menandatangani apa yang tidak diketahui isinya.

3. Hondius, yang menyatakan bahwa suatu kontrak baku mempunyai

kekuatan hukum yang mengikat berdasarkan kebiasaan (gebruik) yang

berlaku di dalam lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan.

Sedangkan beberapa ahli hukum yang melakukan kritik terhadap

eksistensi dari kontrak baku antara lain:38

37Fuady, op. cit., hal. 86.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 34: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

1. Sluijter, yang menyatakan bahwa kontrak baku sebenarnya bukanlah

kontrak, sebab kedudukan dari pihak yang membuat formulir kontrak

tersebut sudah menjadi seperti pembuat undang-undang swasta (legio

particuliere wetgever).

2. Pitlo, yang menyatakan bahwa kontrak baku sebagai kontrak paksa

(dwangcontract). Walaupun secara teoritis yuridis, kontrak baku tidak

memenuhi ketentuan undang-undang dan oleh beberapa ahli hukum

ditolak, namun dalam kenyataannya kebutuhan masyarakat berjalan dalam

arah yang berlawanan dengan keinginan hukum.

Menurut Hondius, terdapat empat cara atau metode dalam memberlakukan

syarat-syarat baku dalam suatu kontrak baku, yaitu:39

1. Penandatanganan Dokumen Kontrak

Dalam dokumen kontrak baku dimuat secara lengkap dan rinci syarat-

syarat baku. Ketika membuat kontrak, dokumen tersebut diberikan kepada

konsumen untuk dibaca dan ditandatangani. Dengan penandatanganan itu,

maka konsumen menjadi terikat pada syarat-syarat baku yang terdapat pada

kontrak baku tersebut. Dokumen kontrak tersebut dapat berupa naskah kontrak

dan juga formulir. Dalam dokumen kontrak baku tersebut dimuat syarat-syarat

baku terutama mengenai tanggung jawab konsumen atau eksonerasi dari

pengusaha.

2. Pemberitahuan Melalui Dokumen Kontrak

Menurut kebiasaan yang berlaku, syarat-syarat baku dicetak di atas

dokumen kontrak yang tidak ditandatangani oleh konsumen, misalnya surat

penerimaan, surat pesanan dan nota pembelian. Syarat-syarat baku tersebut

ditetapkan oleh pengadilan sebagai bagian dari isi kontrak yang diberitahukan

melalui dokumen kontrak. Dengan demikian, konsumen terikat pada syarat-

syarat baku tersebut. Dalam hal ini tidak dibedakan apakah dokumen kontrak

memuat naskah syarat-syarat baku atau hanya menunjuk kepada naskah

syarat-syarat baku. Agar konsumen terikat pada syarat-syarat baku, dokumen

38Ibid.. 39Muhammad, op. cit., hal. 24-26.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 35: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

kontrak harus sudah diserahkan atau dikirimkan kepada konsumen sebelum,

atau pada waktu, atau sesudah dibuat kontrak baku tersebut.

3. Penunjukkan Dalam Dokumen Kontrak

Dalam dokumen kontrak tidak dimuat atau tidak ditulis mengenai syarat-

syarat baku, melainkan hanya menunjuk kepada syarat-syarat baku, misalnya

dalam dokumen jual beli perdagangan ditunjuk suatu syarat penyerahan

barang secara free on board berarti syarat baku mengenai penyerahan barang

tersebut atas dasar free on board berlaku dalam kontrak tersebut.

4. Pemberitahuan Melalui Papan Pengumuman

Syarat-syarat baku dapat dijadikan bagian dari isi kontrak dengan cara

pemberitahuan melalui papan pengumuman. Melalui pemberitahuan itu maka

konsumen terikat pada syarat-syarat baku yang terdapat dalam kontrak yang

ditetapkan oleh pengusaha. Dalam hal ini papan pengumuman harus dipasang

di tempat yang jelas, mudah dilihat, dan ditulis dalam bentuk huruf dan bahasa

yang sederhana serta mudah dibaca sebelum kontrak dibuat. Papan

pengumuman ini dapat dijumpai pada perusahaan perbengkelan, perusahaan

pengangkutan, toko swalayan. Pemberitahuan melalui papan pengumuman

pada perusahaan-perusahaan yang telah disebutkan lebih sesuai karena

perusahaan-perusahaan tersebut berusaha di bidang pelayanan umum yang

melayani banyak orang dalam waktu yang bersamaan.

Suatu kontrak memiliki syarat agar kontrak tersebut dapat berlaku secara

sah, hal ini juga dimiliki oleh kontrak baku dimana syarat sahnya suatu kontrak

diatur berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dalam

Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan bahwa:

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1.sepakat

mereka yang mengikatkan dirinya; 2.kecakapan untuk membuat suatu

perikatan; 3.suatu hal tertentu; 4.suatu sebab yang halal.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 36: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Syarat pertama dan syarat kedua dari syarat sahnya suatu kontrak yaitu

“kesepakatan” dan “kecakapan” merupakan syarat subyektif sedangkan syarat

ketiga dan syarat keempat dari syarat sahnya suatu kontrak yaitu “suatu hal

tertentu” dan “suatu sebab yang halal” merupakan syarat obyektif. Dimana apabila

syarat subyektif tidak dipenuhi maka akan berakibat kontrak tersebut dapat

dibatalkan sedangkan apabila syarat obyektif tidak dipenuhi maka akan berakibat

kontrak tersebut batal demi hukum.

Dengan adanya praktek kontrak baku, terdapat beberapa Doktrin hukum

yang sangat potensial untuk dilanggar, yaitu:40

1. Doktrin Kontrak Baku An Sich41

Dengan doktrin kontrak baku an sich, maka suatu kontrak baku yang

mengandung klausula yang berat sebelah tidak pantas untuk diperkenankan

oleh hukum. Karena itu, terutama lewat perangkat perundang-undangan,

hukum harus melarang perbuatan kontrak baku yang berat sebelah tersebut.

Menurut doktrin kontrak baku an sich, suatu kontrak yang dibuat oleh salah

satu pihak dimana pihak lainnya tidak mempunyai atau terbatas kesempatan

untuk bernegosiasi terhadap klausula-klausulanya, jika kontrak tersebut berat

sebelah, maka kontrak tersebut atau sebagian kontrak tersebut batal demi

hukum atau dapat dibatalkan.

2. Doktrin Kesepakatan Kehendak Dari Para Pihak42

Karena tidak adanya atau terbatasnya kesempatan bagi salah satu pihak

untuk menegosiasikan klausula-klausula dalam kontrak baku tersebut, maka

meskipun pihak tersebut akhirnya menandatangani kontraknya, masih

disangsikan apakah isi kontrak tersebut memang benar seperti yang diinginkan

oleh pihak yang akhirnya menandatangani kontrak baku tersebut, sehingga

disangsikan juga apakah benar ada kata sepakat dari pihak yang akhirnya

menandatangani kontrak baku tersebut. Sebagaimana diketahui, bahwa kata

sepakat merupakan salah satu syarat sahnya kontrak sesuai dengan Pasal 1320

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

40Fuady, op. cit., hal. 79 41Ibid.. 42Ibid.,hal. 79-80.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 37: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

3. Doktrin Kontrak Tidak Boleh Bertentangan Dengan Kesusilaan43

Jika terdapat klausula yang berat sebelah dalam suatu kontrak baku,

apalagi jika pihak yang kepadanya diberikan formulir kontrak tersebut berada

dalam keadaan tidak berdaya, seperti kecilnya kesempatan memilih untuk

membuat kontrak dengan pihak lainnya, maka klausula tersebut dapat

dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip kesusilaan yang merupakan

salah satu syarat bagi sahnya suatu kontrak sesuai dengan Pasal 1337 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata.

Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa:

Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang,

atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum

Jadi, jika suatu kontrak baku yang berat sebelah, baik dengan klausula

eksonerasi atau tidak, terlepas dari ada atau tidaknya unsur pengaruh tidak

pantas, atau unsur penyalahgunaan keadaan, maka kontrak yang demikian

dianggap bertentangan dengan kesusilaan, sehingga kontrak seperti itu

dianggap batal demi hukum.

4. Doktrin Kontrak Tidak Boleh Bertentangan Dengan Ketertiban Umum44

Sama halnya dengan pertentangan dengan unsur kesusilaan, maka jika

suatu kontrak baku yang berat sebelah, baik dengan klausula eksonerasi atau

tidak, terlepas ada atau tidaknya unsur pengaruh yang tidak pantas, atau unsur

penyalahgunaan keadaan, sangat mungkin kontrak yang demikian dianggap

bertentangan dengan unsur ketertiban umum, sehingga kontrak seperti itu juga

dapat dianggap batal demi hukum. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata Indonesia, suatu kontrak tidak boleh bertentangan dengan prinsip

ketertiban umum. Jika terdapat klausula kontrak yang berat sebelah, apalagi

jika kontrak tersebut dipergunakan secara masal, maka klausula atau kontrak

yang berat sebelah tersebut sudah dapat dianggap bertentangan dengan

ketertiban umum (public policy), sehingga klausula atau kontrak yang

43Ibid.. 44Ibid., hal. 80-81.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 38: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

bersangkutan harus dianggap batal demi hukum, karena tidak memenuhi

syarat obyektif dari syarat sahnya suatu kontrak yaitu “suatu sebab yang halal”

dan hal ini diatur dalam Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

5. Doktrin Ketidakadilan (Unsconscionability)45

Doktrin ketidakadilan (unsconscionability) mengajarkan bahwa suatu

kontrak haruslah dinyatakan batal jika klausula tersebut tidak adil bagi salah

satu pihak, sehingga apabila dibiarkan akan sangat menyentuh rasa keadilan

atau suara hati dari masyarakat. Kontrak yang berat sebelah akan sangat

merugikan salah satu pihak, dan oleh karenanya akan sangat menyentuh rasa

keadilan masyarakat. Dengan demikian, menurut doktrin ketidakadilan,

kontrak tersebut harus dinyatakan batal.

6. Doktrin Pengaruh Tidak Pantas (Undue Influence)46

Doktrin pengaruh tidak pantas adalah suatu doktrin yang mengajarkan

bahwa suatu kontrak batal atau dapat dibatalkan dengan alasan tidak

tercapainya kesesuaian kehendak yang disebabkan adanya usaha oleh salah

satu pihak, karena kedudukan khususnya (seperti kedudukan yang lebih

dominan) dengan pihak lainnya dalam kontrak tersebut, dimana pihak yang

mempunyai kedudukan khusus tersebut telah menggunakan cara-cara

persuasif untuk mengambil keuntungan yang tidak fair dari pihak lainnya

tersebut. Kontrak baku dapat saja berisikan hal-hal yang merupakan pengaruh

tidak pantas.

7. Doktrin Kontrak Sesuai Dengan Itikad Baik47

Ketentuan hukum mengatakan bahwa kontrak, seperti juga perbuatan

hukum lainya, haruslah dibuat dengan itikad baik. Jika suatu kontrak baku

yang berat sebelah, baik dengan klausula eksonerasi atau tidak, terlepas dari

ada atau tidaknya unsur pengaruh tidak pantas, atau unsur penyalahgunaan

keadaan, sangat mungkin kontrak yang demikian dianggap dibuat tidak

dengan itikad baik, sehingga kontrak tersebut dapat dianggap batal demi

45Ibid., hal. 81. 46Ibid.. 47Ibid., hal. 82.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 39: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

hukum. Agar suatu kontrak sah, maka hukum mempersyaratkan agar kontrak

tersebut dibuat dengan itikad baik.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ketentuan seperti ini dapat

kita lihat dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata alinea

ketiga. Kontrak baku yang sengaja didesain untuk memberatkan salah satu

pihak, potensial untuk melanggar prinsip itikad baik ini. Di samping itu, suatu

kontrak baku yang dibuat dengan itikad tidak baik akan merupakan kontrak

yang tidak mengandung unsur “suatu sebab yang halal” yang merupakan

syarat obyektif dari syarat sahnya suatu kontrak sehingga dapat menyebabkan

kontrak baku tersebut batal demi hukum.

8. Doktrin Sebab Yang Halal48

Selain harus beritikad baik, ketentuan hukum mengatakan bahwa kontrak,

seperti juga perbuatan hukum lainnya, haruslah dibuat dengan sebab yang

halal. Jika suatu kontrak baku yang berat sebelah, terutama yang dibuat

dengan klausula eksonerasi, atau dengan unsur pengaruh tidak pantas, sangat

mungkin kontrak yang demikian dianggap dibuat tidak dengan itikad baik

sehingga dianggap dibuat tidak dengan sebab yang halal. Dengan demikian

kontrak seperti itu juga dapat dianggap batal demi hukum.

9. Doktrin Kontrak Sesuai Dengan Asas Kepatutan49

Keterikatan seseorang kepada suatu kontrak, tidak hanya kepada kata-kata

dalam kontrak tersebut, tetapi para pihak terikat juga kepada prinsip yang

patut terhadap kontrak yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan Pasal 1339

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa:

Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan

tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang

menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau

undang-undang

48Ibid.. 49Ibid., hal. 82-83.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 40: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Karena itu, suatu kontrak baku yang sangat berat sebelah sangat potensial

dianggap bertentangan dengan asas kepatutan tersebut.

10. Doktrin Perlindungan Konsumen (Consumer Protection)50

Suatu kontrak baku yang berat sebelah, khususnya yang menyangkut

orang banyak dapat juga dilakukan pendekatan dengan menggunakan kaidah-

kaidah hukum tentang perlindungan konsumen, yang di Indonesia diatur

dalam Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun

1999. Sehingga dalam hal ini, diharapkan bahwa pihak yang kepadanya

diberikan kontrak baku yang berat sebelah, yang juga merupakan pihak

konsumen, akan terlindungi kepentingannya oleh kaidah-kaidah hukum

tentang perlindungan konsumen.

11. Doktrin Larangan Terhadap Ketidakadilan Substantif (Substantive

Unfairness)51

Sering juga dikatakan bahwa kontrak baku yang isinya berat sebelah

merupakan suatu kontrak yang tidak adil secara substantif. Karena itu, kontrak

seperti ini menjadi sangat tidak layak.

12. Doktrin Larangan Terhadap Penipuan Konstruktif (Constructive Fraud)52

Adakalanya cara-cara yang dipakai dalam penandatanganan suatu kontrak

sedemikian rupa sehingga hal tersebut setara dengan suatu penipuan,

meskipun bukan penipuan dalam arti yang sebenar-benarnya. Karena itu,

tindakan seperti ini disebut dengan “penipuan konstruktif”. Ini merupakan

ketidakwajaran dalam penandatanganan suatu kontrak dalam tingkat yang

paling buruk, yaitu kontrak ditandatangani dengan kecenderungan salah satu

pihak menipu pihak lainnya, meskipun belum sampai berarti sudah melakukan

penipuan, tetapi sudah “setara” dengan penipuan, atau melanggar atau

menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan oleh pihak lainnya, yang dapat

melanggar ketertiban umum. Misalnya praktek pembuatan dan

penandatanganan kontrak secara tidak bermoral, melampaui batas, licik,

mengambil manfaat dari posisi pihak lain yang tidak menguntungkan, tidak

50Ibid., hal. 83. 51Ibid.. 52Ibid., hal. 83-84.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 41: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

membuka fakta material, atau dengan cara-cara tidak layak lainya yang tidak

disadari oleh pihak lainnya.

Perlindungan konsumen merupakan salah satu doktrin hukum yang berlaku

dalam hubungan antara pihak pengusaha dengan pihak konsumen. Dalam

hubungan dengan pihak konsumen, maka kontrak baku yang berat sebelah atau

yang dibuat dengan cara-cara yang tidak layak bertentangan dengan prinsip-

prinsip perlindungan konsumen sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Prinsip-prinsip perlindungan konsumen dalam hubungannya dengan kontrak

baku adalah sesuai dengan pengaturan dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan bahwa dalam

suatu kontrak baku dilarang dengan ancaman bahwa kontrak baku tersebut

menjadi batal demi hukum apabila dalam kontrak baku tersebut memuat hal-hal

sebagai berikut:53

1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali

barang yang dibeli konsumen;

3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali

uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh

konsumen;

4. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik

secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan

sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara

angsuran;

5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau

pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau

mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

53Indonesia, Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8, LN No. 42

tahun 1999, TLN No. 3821, ps.18.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 42: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan

baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat

sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa

yang dibelinya;

8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk

membebankan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap

barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Juga terhadap pencantuman klausula baku yang letak atau bentuknya sulit

terlihat atau tidak dapat terbaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit

untuk dimengerti.54

Keabsahan berlakunya kontrak baku tidak perlu dipersoalkan karena

kontrak baku eksistensinya sudah merupakan kenyataan yaitu dengan telah

dipakainya kontrak baku secara meluas dalam praktek bisnis sejak lebih dari

delapan puluh tahun lamanya.55 Kenyataan itu terbentuk karena kontrak baku

memang lahir dari kebutuhan masyarakat sendiri dimana dunia bisnis tidak dapat

berlangsung tanpa adanya kontrak baku. Kontrak baku dibutuhkan dan oleh

karena itu diterima oleh masyarakat.

Namun sekalipun keabsahan berlakunya kontrak baku tidak perlu

dipersoalkan, tetapi masih perlu dipersoalkan apakah kontrak baku tersebut tidak

bersifat “berat sebelah” dan tidak mengandung “klausula yang secara tidak wajar

sangat memberatkan bagi pihak lainnya”, sehingga kontrak baku tersebut

merupakan kontrak yang menindas dan tidak adil. “Berat sebelah” yang

dimaksudkan adalah bahwa kontrak itu hanya atau terutama mencantumkan hak-

hak salah satu pihak saja (yaitu pihak yang mempersiapkan kontrak baku tersebut)

tanpa mencantumkan apa yang menjadi kewajiban-kewajiban pihaknya dan

sebaliknya hanya atau terutama menyebutkan kewajiban-kewajiban pihak lainnya

sedangkan apa yang menjadi hak-hak pihak lainnya itu tidak disebutkan.56

Seringkali kontrak baku yang seperti ini kita jumpai dalam masyarakat.

54Fuady, op. cit., hal. 95. 55Sjahdeini, op. cit., hal. 70. 56Ibid., hal. 71.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 43: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Menurut Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, SH., keabsahan berlakunya

kontrak baku itu tidak perlu dipersoalkan tetapi perlu diatur aturan-aturan

dasarnya sebagai aturan-aturan mainnya agar klausula-klausula atau ketentuan-

ketentuan dalam kontrak baku tersebut baik sebagian maupun seluruhnya

mengikat pihak lainnya.57

2.3. PRINSIP-PRINSIP HUKUM KONTRAK YANG MENDUKUNG

KONTRAK BAKU

Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang

dimiliki oleh para pihak sebelum suatu kontrak dibuat menjadi suatu perikatan,

maka muncul-lah asas-asas dalam hukum kontrak yang merupakan pedoman atau

patokan, batasan atau yang menjadi rambu dalam mengatur dan membentuk

kontrak tersebut. Tujuannya yaitu agar kontrak tersebut kelak pada akhirnya akan

menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan

pelaksanaannya atau pemenuhannya.58

Asas-asas dalam hukum kontrak dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

asas-asas umum dan asas-asas menurut doktrin yang mengacu kepada undang-

undang, yang dalam hal ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan

menurut para ahli hukum.

Asas-asas umum dalam hukum kontrak, yaitu:

1. Asas Personalia

Asas ini diatur dalam Pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

yang menyatakan bahwa:

Pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama

sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya

sendiri.

57Ibid.. 58 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian,

(Jakarta: P.T. Rajagrafindo Persada, 2004), hal. 36.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 44: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Secara sederhana dikatakan bahwa ketentuan dalam Pasal 1315 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata tersebut menunjuk pada asas personalia,

namun lebih jauh dari itu menunjuk pada kewenangan bertindak dari

seseorang yang membuat atau mengadakan kontrak. Secara spesifik,

menunjuk pada kewenangan bertindak sebagai individu pribadi, subyek

hukum pribadi yang mandiri, yang memiliki kewenangan bertindak untuk dan

atas namanya sendiri. Sebagai seorang yang cakap bertindak dalam hukum,

maka setiap tindakan maupun perbuatan hukum yang dilakukan oleh orang

perorangan sebagai subyek hukum pribadi yang mandiri, akan mengikat

pribadi tersebut. Pada umumnya sesuai dengan asas personalia yang terdapat

dalam Pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, masalah

kewenangan bertindak seseorang sebagai individu dapat dibedakan ke

dalam:59 Untuk dan atas namanya serta kepentingan dirinya sendiri; Sebagai

wakil dari pihak tertentu; Sebagai kuasa dari orang atau pihak yang

memberikan kuasa, dalam hal ini berlaku ketentuan yang diatur dalam Bab

XVI Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, mulai dari Pasal 1792

sampai dengan Pasal 1819 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2. Asas Konsensualisme

Kata “konsensualisme” berasal dari suatu kata yaitu consensus, yang

berasal dari Bahasa Latin yang memiliki arti sepakat.60 Asas ini dapat

ditemukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang

merupakan unsur pertama dari syarat sahnya suatu kontrak yaitu sepakat. Hal

ini menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan

keinginannya (wil) yang menurutnya baik untuk membuat suatu kontrak, serta

asas ini sangat erat kaitannya dengan asas kebebasan berkontrak.61

Arti dari asas konsensualisme adalah pada asasnya kontrak dan perikatan

yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya sepakat.

Dengan perkataan lain, kontrak itu sudah sah apabila tercapai kata sepakat.62

59Ibid.. 60Subekti, op. cit., hal. 15. 61Badrulzaman, op. cit., hal. 42. 62Subekti, op. cit., hal. 15.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 45: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Terhadap asas ini terdapat pengecualian, yaitu dengan dikenal adanya

kontrak formil dan kontrak riil. Hal tersebut dikarenakan dalam kedua jenis

kontrak ini kesepakatan saja belum mengikat para pihak yang berjanji.63

Undang-undang menetapkan formalitas-formalitas tertentu untuk beberapa

macam kontrak, dan terdapat ancaman batalnya kontrak tersebut apabila

kontrak tersebut dalam pembuatannya tidak menuruti bentuk dan tata cara

yang dimaksud dalam undang-undang.

3. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu hal penting dari

pelaksanaan kehendak bebas yang merupakan Hak Asasi Manusia. Asas

kebebasan berkontrak ditarik dari Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata yang menyatakan bahwa:

Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-

undang bagi mereka yang membuatnya.

Pasal tersebut menerangkan bahwa segala perjanjian atau kontrak yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya. Makna yang terdapat dari pasal tersebut adalah bahwa setiap

perjanjian atau kontrak mengikat bagi kedua belah pihak yang mengikatkan

diri dalam perjanjian atau kontrak tersebut. Akan tetapi, dapat disimpulkan

bahwa orang dapat leluasa untuk membuat kontrak apa saja, asalkan tidak

melanggar ketertiban umum yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata mengenai Perikatan. Selain itu, juga tidak

bertentangan dengan kesusilaan.64

4. Asas Perjanjian Berlaku Sebagai Undang-Undang (Pacta Sunt Servanda)

Berkaitan dengan asas ini, maka perlu diperhatikan Pasal 1338 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa:

63Muljadi dan Widjaja, op. cit., hal. 36. 64J. Satrio, Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya, (Bandung: Alumni, 1993), hal.

36.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 46: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-

undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu

tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak

karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup

untuk itu Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad

baik.

Pada Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatas, terdapat

kata “semua” yang hendak ditunjukkan oleh pembentuk undang-undang

bahwa perjanjian yang dimaksud meliputi perjanjian bernama dan juga

perjanjian yang tidak bernama yang diatur dalam Pasal 1319 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa:

Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus

maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada

peraturan-peraturan umum, yang termuat di dalam bab ini dan bab

yang lalu.

Nama-nama yang dimaksud adalah nama-nama yang diberikan oleh

undang-undang, seperti jual beli, sewa-menyewa, perjanjian pemborongan,

dan perjanjian asuransi. Di samping undang-undang memberikan nama

tersendiri, undang-undang juga memberikan pengaturan secara khusus atas

perjanjian bernama65 berdasarkan jenis yang paling banyak terjadi sehari-hari.

Di luar perjanjian bernama, terdapat perjanjian tidak bernama, yaitu

perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata tetapi yang terdapat di masyarakat.66 Hal ini terjadi berdasarkan

kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomie yang berlaku di dalam

hukum perjanjian.67

65J. Satrio, Hukum Perjanjian, (Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti, 1992), hal. 115. 66Badrulzaman, op. cit., hal. 19. 67Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu,

(Bandung: Sumur Bandung, 1964), hal. 10.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 47: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Selanjutnya, istilah “secara sah” yang terdapat dalam Pasal 1338 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata hendak menunjukkan bahwa pembuatan

perjanjian atau kontrak harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Semua

persetujuan yang dibuat menurut hukum atau secara sah adalah mengikat

sebagai undang-undang terhadap para pihak. Dalam hal ini dapat dilihat

adanya realisasi dari asas kepastian hukum. Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata menunjukkan bahwa suatu perjanjian atau kontrak

tidak dapat ditarik secara sepihak namun hal ini diimbangi dengan Pasal 1338

ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana perjanjian atau

kontrak tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik. Hal ini memberikan

perlindungan bagi kedua belah pihak yang melakukan pembuatan perjanjian

atau kontrak.

Selain asas-asas umum dalam hukum kontrak terdapat juga asas-asas dalam

hukum kontrak menurut doktrin yang mengacu kepada undang-undang, yang

dalam hal ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan menurut para ahli

hukum. Asas-asas dalam hukum kontrak menurut doktrin yang mengacu kepada

undang-undang, yang dalam hal ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

dan menurut para ahli hukum, yaitu:

1. Asas Kepercayaan68

Seseorang yang mengadakan kontrak dengan pihak lain, harus dapat

menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak bahwa satu sama lain akan

memenuhi prestasinya di kemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan, maka

kontrak tersebut tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan

kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya kepada kontrak tersebut,

dimana kontrak tersebut mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-

undang bagi para pihak yang mengadakan kontrak tersebut.

2. Asas Kekuatan Mengikat69

Dalam suatu kontrak terkandung suatu asas kekuatan mengikat dimana

terikatnya para pihak pada apa yang diperjanjikan tidak semata-mata terbatas

pada apa yang diperjanjikan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain

68Badrulzaman, op. cit., hal. 42. 69Ibid..

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 48: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan, kepatutan serta moral. Dalam hal ini

moral, kepatutan dan kebiasaan juga mengikat bagi para pihak.

3. Asas Persamaan Hak70

Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada

perbedaan meskipun terdapat perbedaan warna kulit, bangsa, kepercayaan,

kekuasaan, jabatan, dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya

persamaan ini dan para pihak diharuskan untuk menghormati satu dengan

yang lain sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan.

4. Asas Keseimbangan71

Asas ini menghendaki para pihak untuk memenuhi dan melaksanakan

kontrak tersebut. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas

persamaan. Pihak yang satu mempunyai kekuatan untuk menuntut pelunasan

prestasi namun juga harus melaksanakan kontrak tersebut dengan itikad baik

serta pihak yang lain harus melaksanakan prestasi dan juga melaksanakan

kontrak tersebut juga dengan itikad baik. Dapat dilihat bahwa kedudukan para

pihak dalam hal ini adalah seimbang.

5. Asas Moral72

Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela

dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat

kontraprestasi dari pihak yang lain. Hal ini juga terlihat dalam

zaakwaarneming, dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan sukarela

(moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan

dan menyelesaikan perbuatannya, asas ini terdapat dalam Pasal 1339 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata. Faktor-faktor yang memberikan motivasi

pada yang bersangkutan untuk melakukan perbuatan hukum adalah

berdasarkan pada “kesusilaan” (moral) sebagai panggilan dari hati nuraninya.

6. Asas Kepatutan73

70Ibid., hal. 42-43. 71Ibid., hal. 43. 72Ibid.. 73Ibid., hal. 43-44.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 49: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, terkait dengan ketentuan mengenai isi dari kontrak. Asas kepatutan

harus dipertahankan karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan

ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.

7. Asas Kepastian Hukum74

Kontrak sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum,

dimana kepastian hukum ini terungkap dari kekuatan mengikat kontrak

tersebut yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.

Kontrak pada dasarnya harus memenuhi seluruh asas dalam hukum

kontrak, baik yang merupakan asas-asas umum maupun asas-asas yang menurut

doktrin yang mengacu kepada undang-undang, yang dalam hal ini adalah Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata dan menurut para ahli hukum, hal ini juga

berlaku bagi kontrak baku agar tidak terjadi masalah di kemudian hari apabila

kontrak baku tersebut tidak memenuhi asas-asas dalam hukum kontrak tersebut.

Selain itu, setelah diuraikan tentang beberapa prinsip hukum kontrak yang

sangat potensial untuk dilanggar oleh kontrak baku, ternyata terdapat beberapa

prinsip dalam hukum kontrak yang sangat mendukung eksistensi suatu kontrak

baku, menurut Munir Fuady, Prinsip-prinsip hukum yang mendukung eksistensi

kontrak baku tersebut yaitu:75

1. Prinsip Kesepakatan Kehendak Dari Para Pihak

Meskipun dalam suatu kontrak baku disangsikan adanya kesepakatan

kehendak yang benar-benar seperti yang diinginkan oleh para pihak, tetapi

kedua belah pihak akhirnya juga menandatangani kontrak tersebut. Dengan

penandatanganan tersebut, maka dapat diasumsikan bahwa kedua belah pihak

telah menyetujui isi kontrak tersebut, sehingga dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa kata sepakat sudah terjadi.

2. Prinsip Asumsi Resiko Dari Para Pihak

Dalam suatu kontrak, setiap pihak tidak dilarang untuk melakukan asumsi

resiko. Artinya bahwa jika ada resiko tertentu yang mungkin terbit dari suatu

kontrak, tetapi salah satu pihak bersedia menanggung resiko tersebut sebagai

74Ibid., hal. 44. 75Fuady, op. cit., hal. 84-85.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 50: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

hasil dari tawar-menawarnya, maka jika memang kemudian resiko tersebut

benar-benar terjadi, pihak yang mengasumsi resiko tersebutlah yang harus

menanggung resikonya. Dalam hubungan dengan kontrak baku, maka dengan

menandatangani kontrak yang bersangkutan, berarti segala resiko apapun

bentuknya akan ditanggung oleh pihak yang menandatanganinya sesuai isi

dari kontrak tersebut.

3. Prinsip Kewajiban Membaca (Duty To Read)

Sebenarnya dalam ilmu hukum kontrak diajarkan bahwa ada kewajiban

membaca (duty to read) bagi setiap pihak yang akan menandatangani kontrak.

Dengan demikian, jika seseorang telah menandatangani kontrak yang

bersangkutan, maka hukum mengasumsikan bahwa orang tersebut telah

membaca kontrak tersebut dan telah menyetujui apa yang telah dibacanya

dalam kontrak tersebut.

4. Prinsip Kontrak Mengikuti Kebiasaan

Memang telah menjadi kebiasaan sehari-hari bahwa banyak kontrak yang

dibuat secara baku. Karena kontrak baku tersebut menjadi terikat, antara lain

juga karena keterikatan suatu kontrak tidak hanya terhadap kata-kata yang ada

dalam kontrak tersebut, tetapi juga terhadap hal-hal yang bersifat kebiasaan.

Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata. Selain itu, kontrak baku merupakan suatu kebiasaan sehari-hari dalam

lalu lintas perdagangan dan sudah merupakan suatu kebutuhan masyarakat,

sehingga eksistensinya seharusnya tidak perlu dipersoalkan lagi.

Ternyata apabila ditinjau dari segi aplikasi kontrak baku, terdapat beberapa

masalah yuridis yang seringkali terjadi, antara lain:76

1.Sampai batas-batas tertentu, faktor keadilan menghendaki penafsiran

kontrak yang bertentangan dengan isi dari kontrak baku tersebut;

2.Isi klausula baku, yang dalam hal ini merupakan klausula konveksi

(sudah jadi) sering bertentangan dengan isi lainnya dari kontrak yang

merupakan hasil dari negosiasi;

76Ibid., hal. 85.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 51: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

3.Isi klausula baku, yang sebenarnya merupakan suatu corpus alienum

(bagian yang asing) terhadap kontrak tersebut secara keseluruhan, sehingga

klausula baku tersebut sering tidak berhubungan dengan isi kontrak secara

keseluruhan.

2.4. PENGERTIAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN

RUMAH SUSUN

Saat ini Undang-Undang Tentang Rumah Susun telah diubah, dari

Undang-Undang Nomor 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun menjadi Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rumah Susun).

Berdasarkan Pasal 118 UU Rumah Susun77, dinyatakan bahwa:

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

a. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 75, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3318) dicabut dan

dinyatakan tidak berlaku.

b. Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan

pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah

Susun dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum

diganti dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-

Undang ini.

Berdasarkan Pasal 118 UU Rumah Susun tersebut, maka semua peraturan

perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UU Nomor 16

tahun 1985 tentang Rumah Susun tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau

belum diganti atau belum dicabut dengan peraturan pelaksanaan yang baru sesuai

dengan UU Rumah Susun yang baru.

77 Indonesia, Undang-Undang Tentang Rumah Susun, UU No. 20, LN No. 108 tahun

2011, TLN No. 5252, ps.118.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 52: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Dalam hal ini ketentuan yang terdapat dalam Keputusan Menteri Negara

Perumahan Rakyat Nomor 11/KPTS/1994 tentang Pedoman Jual Beli Satuan

Rumah Susun tanggal 17 November 1994 masih berlaku sepanjang tidak

bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah

Susun dan juga karena belum ada pencabutan atau penggantian.

Definisi dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli adalah Perjanjian Jual Beli

secara pesan lebih dahulu atau perjanjian jual beli pendahuluan.78

Berdasarkan Pasal 42 ayat (1) UU Rumah Susun79 dinyatakan bahwa

Pihak Penjual sebagai pelaku pembangunan dapat melakukan pemasaran sebelum

pembangunan rumah susun dilaksanakan. Berdasarkan Pasal 42 ayat (2) UU

Rumah Susun80 dinyatakan bahwa dalam hal pemasaran dilakukan sebelum

pembangunan rumah susun dilaksanakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

pelaku pembangunan sekurang-kurangnya harus memiliki: Kepastian peruntukan

ruang (Kepastian peruntukan ruang ditunjukkan melalui surat keterangan rencana

kota yang sudah disetujui pemerintah daerah); Kepastian hak atas tanah

(Kepastian hak atas tanah ditunjukkan dengan sertifikat hak atas tanah); Kepastian

status penguasaan rumah susun (Kepastian status kepemilikan antara Sertifikat

Hak Milik Satuan Rumah Susun dan Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung

Satuan Rumah Susun harus dijelaskan kepada calon pembeli yang ditunjukkan

berdasarkan pertelaan yang disahkan oleh pemerintah daerah); Perizinan

pembangunan rumah susun (Izin pembangunan rumah susun ditunjukkan melalui

Izin Mendirikan Bangunan); dan Jaminan atas pembangunan rumah susun dari

lembaga penjamin (Dapat berupa surat dukungan dari bank atau nonbank).

Kemudian berdasarkan Pasal 43 ayat (3) UU Rumah Susun81 dinyatakan

bahwa apabila pemasaran terhadap rumah susun tersebut dilakukan oleh penjual

sebelum pembangunan rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka

78 Lihat Lampiran Latar Belakang Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor

11/KPTS/1994 tentang Pedoman Perikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun tanggal 17 November

1994. 79 Indonesia, Undang-Undang Tentang Rumah Susun, UU No. 20, LN No. 108 tahun

2011, TLN No. 5252, ps.42 ayat (1). 80 Ibid., Pasal 42 ayat (2). 81 Ibid., Pasal 42 ayat (3).

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 53: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

segala sesuatu yang dijanjikan oleh pelaku pembangunan dan/atau agen

pemasaran mengikat sebagai Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) bagi para

pihak.

Dalam hal ini, semua hal yang dijanjikan oleh penjual selaku pelaku

pembangunan dan/atau agen pemasaran mengikat bagi para pihak, dalam hal ini

pihak penjual dan pihak Calon Pembeli berdasarkan PPJB. Berdasarkan Pasal 43

ayat (1) UU Rumah Susun82 maka Proses jual beli satuan rumah susun sebelum

pembangunan rumah susun selesai dapat dilakukan melalui PPJB yang dibuat

dihadapan notaris

Akan tetapi PPJB tersebut dapat dilakukan setelah memenuhi persyaratan

sesuai dengan pengaturannya dalam Pasal 43 ayat (2) UU Rumah Susun83 yaitu

adanya kepastian atas :Status kepemilikan tanah; Kepemilikan IMB; Ketersediaan

prasarana, sarana, dan utilitas umum; Keterbangunan paling sedikit 20% (dua

puluh persen), yaitu 20% dari volume konstruksi bangunan rumah susun yang

sedang dipasarkan; dan Hal yang diperjanjikan yaitu Terkait dengan kondisi

satuan rumah susun yang dibangun dan dijual kepada konsumen yang dipasarkan,

termasuk melalui media promosi antara lain, lokasi rumah susun, bentuk satuan

rumah susun, spesifikasi bangunan, harga satuan rumah susun, prasaranan, sarana,

dan utilitas umum rumah susun, fasilitas lain serta waktu serah terima satuan

rumah susun.

Kemudian dalam pengaturan Pasal 44 ayat (1) UU Rumah Susun84

dinyatakan bahwa proses jual beli yang dilakukan sesudah pembangunan rumah

susun selesai, dilakukan melalui Akta Jual Beli (AJB). AJB dibuat dihadapan

Notaris PPAT untuk Sertifikat Hak Milik Satuan Rumah Susun dan Notaris untuk

Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung Satuan Rumah Susun sebagai bukti

peralihan hak.

Dalam Pasal 44 ayat (2) UU Rumah Susun85 dinyatakan bahwa

pembangunan rumah susun dinyatakan selesai apabila telah diterbitkan : Sertifikat

82 Ibid., Pasal 43 ayat (1). 83 Ibid., Pasal 43 ayat (2). 84 Ibid., Pasal 44 ayat (1). 85 Ibid., Pasal 44 ayat (2).

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 54: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Laik Fungsi; dan Sertifikat Hak Milik Satuan Rumah Susun atau Sertifikat

Kepemilikan Bangunan Gedung Satuan Rumah Susun.

Apabila kita melihat Undang-Undang yang lama mengenai Rumah Susun

yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun yang saat ini

sudah tidak berlaku lagi karena sudah terdapat Undang-Undang yang baru,

memang di dalam Undang-Undang lama tidak terdapat pengaturan secara spesifik

mengenai Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun, akan tetapi

terdapat beberapa Pasal yang dapat diperhatikan karena terkait dengan hal

tersebut.

Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor

16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun menyatakan bahwa:

Satuan Rumah Susun yang telah dibangun baru dapat dijual untuk

dihuni setelah mendapat izin kelayakan untuk dihuni dari Pemerintah

Daerah yang bersangkutan.

Selain itu, semua Satuan Rumah Susun (SRS) tersebut juga harus memiliki

sertipikat, baru kemudian dapat dijual untuk dihuni.

Untuk pertama kali semua sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun

(HMSRS) diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kotamadya

setempat atas nama penyelenggara pembangunan. Sertipikat tersebut harus

terlebih dahulu ada sebelum SRS dijual, sebab sertipikat HMSRS merupakan

syarat untuk dapat menjual SRS yang bersangkutan.86 Dengan demikian, jual beli

yang terjadi antara penyelenggara pembangunan atau developer dan pembeli

adalah perbuatan hukum pemindahan HMSRS dari penyelenggara pembangunan

atau developer kepada Pembeli. Dalam hal ini, pemindahan haknya harus

dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang daerah kerjanya

meliputi tempat letak rumah susun yang bersangkutan sesuai dengan Pasal 10

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.

86Arie S. Hutagalung, Condominium dan Permasalahannya, (Depok: Badan Penerbit

Fakultas Hukum Univrsitas Indonesia, 2002), hal. 60.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 55: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Akta yang dibuat oleh PPAT merupakan tanda bukti telah dilakukannya jual

beli SRS yang bersangkutan, dimana setelah akta tersebut ditandatangani, maka

HMSRS yang dijual itu berpindah kepada pembeli yang menjadi pemiliknya yang

baru.87

Jual beli yang telah dilakukan di depan PPAT agar perbuatan hukumnya

mengikat bagi pihak ketiga dan memenuhi syarat publisitas maka akta PPAT

tersebut wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kotamadya

setempat. Pendaftaran dilaksanakan dengan membubuhkan catatan mengenai jual

beli yang telah dilakukan itu pada buku tanah dan salinan buku tanah yang

merupakan bagian dari sertipikat HMSRS yang bersangkutan. Sertipikat yang

telah dibubuhi catatan pendaftaran diserahkan kepada pembeli selaku pemilik baru

SRS yang bersangkutan sebagai tanda bukti pemilikannya.88 Berdasarkan hal-hal

tersebut maka untuk dapat menjual SRS maka developer harus terlebih dahulu

mendapatkan izin layak huni dari pemerintah daerah sedangkan untuk

melaksanakan jual beli dilakukan di hadapan PPAT, terlebih dahulu harus

memenuhi persyaratan adanya akta pemisahan atas SRS-SRS untuk pembuatan

sertipikat HMSRS oleh Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kotamadya yang

bersangkutan. Meskipun telah disyaratkan dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun bahwa SRS baru dapat

diperjual belikan jika telah mendapat izin layak huni dari Pemerintah Daerah dan

sertipikat atas SRS-SRS tersebut telah selesai. Namun dalam kenyataannya telah

berkembang kebiasaan Penjualan dan Pemilikan atas SRS dalam suatu rumah

susun secara Pre-Project Selling dimana SRS-SRS tersebut dipasarkan terlebih

dahulu sebelum rumah susun tersebut selesai dibangun.

Menteri Negara Perumahan Rakyat (MENPERA) mengeluarkan Surat

Keputusan Nomor 11/KPTS/1994 tentang Pedoman Perikatan Jual Beli Satuan

Rumah Susun, yang dimaksudkan untuk mengamankan kepentingan para

penyelenggara pembangunan perumahan dan pemukiman serta para calon pembeli

SRS dari kemungkinan terjadinya wanprestasi dari para pihak terkait, sehingga

diperlukan adanya Pedoman Perikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun (PPJB SRS)

87Ibid.. 88Ibid., hal. 61.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 56: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

tersebut.89 Dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat

tersebut, maka dimungkinkan adanya suatu pemasaran atau penjualan SRS-SRS

sebelum rumah susun yang bersangkutan selesai pembangunannya. Hal tersebut

dapat dilakukan dengan pengikatan jual beli yang dilakukan antara pihak

developer dengan pihak calon pembeli.

Dalam latar belakang Keputusan MENPERA tersebut, dinyatakan bahwa

berkembangnya pemasaran rumah susun sebelum memenuhi persyaratan yang

ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun

adalah atas pertimbangan ekonomi, baik bagi pihak penyelenggara pembangunan

atau developer itu sendiri untuk memperlancar perolehan dana murah dan adanya

kepastian pasar sedangkan untuk pihak konsumen yaitu agar harga jual rumah

susun lebih rendah karena calon pembeli membayar sebagian dimuka.90

Langkah-langkah yang ditempuh oleh perusahaan pembangunan

perumahan dan pemukiman dan konsumen tersebut di atas menimbulkan adanya

jual beli secara pesan lebih dahulu, sehingga menyebabkan adanya perjanjian jual

beli pendahuluan (preliminary purchase), yang selanjutnya akan dituangkan

dalam akta perikatan jual beli satuan rumah susun.91

Dalam Keputusan MENPERA tersebut diberikan petunjuk mengenai

pengikatan jual beli satuan rumah susun yang dijadikan pedoman dalam

pembentukan perjanjian pengikatan jual beli satuan rumah susun. Inti dari

pengikatan jual beli tersebut adalah :92

1. Satuan Rumah Susun yang masih dalam tahap proses pembangunan dapat

dipasarkan melalui sistem pemesanan dengan cara jual beli satuan rumah

susun;

2. Pada hari pemesanan yang berminat memesan dapat menerima dan

menandatangani surat pesanan yang disiapkan oleh perusahaan

pembangunan perumahan dan pemukiman yang berisi sekurang-kurangnya

hal-hal sebagai berikut: Nama dan/atau nomor bangunan dan SRS yang

89Ibid., hal. 62. 90Ibid.. 91Ibid.. 92Ibid., hal. 63-65.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 57: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

dipesan; Nomor lantai dan tipe SRS; Luas SRS; Harga jual SRS;

Ketentuan pembayaran uang muka; Spesifikasi bangunan; Tanggal

selesainya pembangunan rumah susun; Ketentuan mengenai pernyataan

dan persetujuan untuk menerima persyaratan dan ketentuan-ketentuan

yang ditetapkan serta menandatangani dokumen-dokumen yang

dipersiapkan oleh perusahaan pembangunan perumahan dan pemukiman.;

3. Surat pesanan dengan gambar yang menunjukkan letak pasti SRS yang

dipesan disertai ketentuan tentang tahapan pembayaran;

4. Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kalender

setelah menandatangani surat pemesanan, pemesan dan perusahaan

pembangunan perumahan dan pemukiman harus menandatangani akta

perjanjian jual beli dan selanjutnya kedua belah pihak harus memenuhi

kewajibannya sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian pengikatan jual

beli HMSRS. Apabila pemesan lalai menandatangani perjanjian

pengikatan jual beli dalam jangka waktu tersebut, maka perusahaan

pembangunan perumahan dan pemukiman dapat tidak mengembalikan

uang pesanan kecuali jika kelalaian berada di pihak perusahaan

pembangunan perumahan dan pemukiman, pemesan dapat

memperlihatkan surat penolakan dari bank bahwa permohonan Kredit

Perumahan Rakyat (KPR) tidak disetujui atau hal-hal lain yang dapat

disetujui bersama antara perusahaan pembangunan perumahan dan

pemukiman serta calon pembeli dan uang pesanan akan dikembalikan 100

%;

5. Perjanjian Pengikatan Jual Beli, antara lain memuat hal-hal sebagai

berikut:

a. Obyek yang diperjualbelikan, yaitu HMSRS, yang meliputi pula

bagian bersama, tanah bersama, dan benda bersama berikut

fasilitasnya sesuai dengan nilai perbandingan proporsionalnya.

b. Pengelolaan dan pemeliharaan bagian bersama, benda bersama,

dan tanah bersama merupakan kewajiban seluruh penghuni,

sehingga calon pembeli harus bersedia menjadi anggota

perhimpunan penghuni.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 58: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

c. Kewajiban pengusaha pembangunan perumahan dan pemukiman,

yang harus dipenuhi:

1) Sebelum melakukan pemasaran perdana yaitu wajib

melaporkan kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah

Tingkat II dengan tembusan kepada MENPERA, dengan

melampirkan salinan surat persetujuan izin prinsip, salinan

surat keputusan pemberian izin lokasi, bukti pengadaan dan

pelunasan tanah, salinan surat izin mendirikan bangunan, dan

gambar denah pertelaan yang telah mendapat pengesahan dari

Pemerintah Daerah setempat.

2) Menyediakan dokumen pembangunan perumahan, seperti

sertipikat hak atas tanah; rencana tapak; gambar rencana

arsitektur yang memuat denah dan potongan beserta

pertelaannya yang menunjukkan dengan jelas batas secara

vertikal dan horisontal dari SRS; gambar rencana struktur

beserta perhitungannya; dan gambar rencana jaringan dan

instalasi beserta perlengkapannya.

3) Menyelesaikan bangunan sesuai dengan standar yang telah

diperjanjikan.

4) Memperbaiki kerusakan yang terjadi dalam jangka waktu 100

(seratus) hari setelah tanggal ditandatangani berita acara

penyerahan SRS, dari pengusaha kepada pemesan dengan

ketentuan: tanggung jawab pengusaha tersebut dibatasi oleh

desain dan spesifikasi SRS dan kerusakan-kerusakan yang

terjadi bukan disebabkan kesalahan pembeli.

5) Bertanggung jawab terhadap adanya cacat tersembunyi yang

baru dapat diketahui di kemudian hari.

6) Menjadi pengelola sementara rumah susun sebelum

terbentuknya perhimpunan penghuni dan membantu menunjuk

pengelola setelah perhimpunan penghuni terbentuk.

7) Mengasuransikan pekerjaan pembangunan tersebut selama

berlangsungnya pembangunan.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 59: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

8) Jika selama berlangsungnya pembangunan terjadi force

majeure yang diluar kemampuan para pihak, pengusaha dan

pembeli akan mempertimbangkan penyelesaiannya sebaik-

baiknya dengan dasar pertimbangan utama adalah dapat

diselesaikannya pembangunan SRS.

9) Menyiapkan akta jual beli SRS kemudian bersama-sama

dengan pembeli menandatangani akta jual belinya dihadapan

PPAT pada tanggal yang ditetapkan. Kemudian perusahaan

pembangunan perumahan dan pemukiman dan/atau PPAT yang

ditunjuk akan mengurus agar pembeli memperoleh sertipikat

HMSRS atas nama pembeli dan biayanya ditanggung oleh

pembeli.

10) Menyerahkan SRS termasuk fasilitas umum dan fasilitas sosial

secara sempurna pada tanggal yang ditetapkan dan jika

pengusaha belum dapat menyelesaikan pada waktu tersebut

diberi kesempatan menyelesaikan pembangunan tersebut dalam

jangka waktu 120 (seratus dua puluh) hari kalender, dihitung

sejak tanggal rencana penyerahan rumah susun tersebut.

Apabila ternyata masih tidak terlaksana sama sekali maka

pengikatan jual beli batal demi hukum dan kebatalan ini tidak

perlu dibuktikan atau dimintakan Putusan Pengadilan atau

Badan Arbitrase, kepada perusahaan pembangunan perumahan

dan pemukiman diwajibkan mengembalikan pembayaran uang

yang telah diterima dari pembeli ditambah dengan denda dan

bunga setiap bulannya sesuai dengan suku bunga bank yang

berlaku.

d. Kewajiban-kewajiban dari calon pembeli, yaitu :

1) Menyatakan bahwa calon pembeli telah membaca, memahami

dan menerima syarat-syarat dan ketentuan dari surat pesanan

dan pengikatan jual beli serta tunduk kepada syarat-syarat dan

ketentuan-ketentuan Anggaran Dasar perhimpunan penghuni

dan dokumen-dokumen lain yang terkait serta bahwa ketentuan

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 60: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

dari perjanjian-perjanjian dan dokumen-dokumen tersebut

mengikat pembeli.

2) Setiap calon pembeli setelah menjadi pembeli SRS wajib untuk

membayar biaya pengelolaan dan biaya utilitas dan jika

terlambat pembayarannya dikenakan denda yang besarnya

disesuaikan dengan keputusan perhimpunan penghuni.

3) Yang menjadi tanggung jawab dari calon pembeli meliputi:

Biaya pembayaran akta-akta yang diperlukan; Biaya jasa PPAT

untuk pembuatan akta jual beli SRS; Biaya untuk memperoleh

HMSRS, biaya pendaftaran jual beli atas SRS (biaya

pengalihan hak milik atas nama) di Kantor Badan Pertanahan

setempat.

4) Setelah akta jual beli ditandatangani, tetapi sebelum sertipikat

HMSRS diterbitkan oleh Kantor Badan Pertanahan setempat:

Jika SRS tersebut dialihkan kepada pihak ketiga dikenakan

biaya administrasi yang ditetapkan oleh perusahaan

pembangunan perumahan dan pemukiman yang besarnya tidak

lebih dari 1 % dari harga jual; jika SRS tersebut dialihkan

kepada anggota keluarga karena sebab apapun juga termasuk

karena pewarisan menurut hukum dikenakan biaya administrasi

untuk Notaris/PPAT yang besarnya sesuai dengan

ketentuannya.

5) Sebelum lunasnya pembayaran atas harga jual SRS yang

dibelinya, calon pembeli tidak dapat mengalihkan atau

menjadikan SRS tersebut sebagai jaminan utang tanpa

persetujuan tertulis dari perusahaan pembangunan perumahan

dan pemukiman.

e. Penyelesaian perselisihan yang terjadi sehubungan dengan

perjanjian jual beli pendahuluan SRS dilakukan melalui arbitrase

yang ditetapkan sesuai dengan aturan-aturan Badan Arbitrase

Nasional Indonesia (BANI) dengan biaya ditanggung renteng oleh

para pihak.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 61: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Jadi sebenarnya PPJB SRS tersebut sudah merupakan suatu perikatan dan

PPJB SRS tersebut diperlukan sebagai jaminan bagi kedua belah pihak. Dimana

dalam PPJB SRS tersebut telah terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi

oleh kedua belah pihak. Bagi pihak developer, PPJB SRS itu memberikan jaminan

bahwa SRS yang sudah dipesan akan dibayar lunas oleh calon pembeli dengan

tepat waktu, sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam PPJB SRS tersebut.

Bila calon pembeli melalaikan apa yang sudah dijanjikannya, developer dapat

mengenakan denda keterlambatan. Bagi pihak calon pembeli, PPJB SRS ini akan

memberikan jaminan kepadanya bahwa developer tidak akan menjual SRS yang

telah dipesannya kepada pihak lain dan developer akan menyelesaikan apa yang

sudah dijanjikannya serta menyerahkan SRS tersebut pada waktu yang sudah

ditentukan. Hal ini juga menjadi jaminan bagi calon pembeli SRS bahwa uang

yang sudah dibayar kepada developer tidak akan hilang begitu saja.

Mengenai bentuk dari PPJB SRS juga sampai saat ini masih terdapat

perbedaan pendapat yaitu apakah PPJB SRS merupakan bentuk perikatan dengan

syarat tangguh atau merupakan bentuk perikatan dengan ketentuan waktu.

Perikatan dengan syarat tangguh landasannya terdapat pada ketentuan

pasal 1263 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa :

Suatu Perikatan dengan suatu syarat tangguh adalah suatu perikatan

yang bergantung pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang

masih belum tentu akan terjadi, atau yang bergantung pada suatu hal yang

sudah terjadi tetapi tidak diketahui oleh kedua belah pihak

Perikatan dengan Syarat Tangguh ini baru akan terjadi jika syaratnya telah

dipenuhi dan belum tentu peristiwa yang digantungkan oleh perikatan tersebut

akan terjadi, sehingga dalam hal ini belum terdapat suatu perikatan.

Menurut Prof. Subekti, S.H. suatu perikatan bersyarat apabila ia

digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu

akan terjadi baik secara menangguhkan lahirnya perikatan hingga terjadinya

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 62: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

peristiwa semacam itu maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau

tidak terjadinya peristiwa tersebut.93

Menurut C. Asser suatu perikatan dengan syarat yang menangguhkan

adalah perikatan yang bersyarat yang pelaksanaannya ditangguhkan sampai

syaratnya dipenuhi.94

Perikatan dengan ketentuan waktu landasannya terdapat pada ketentuan

pasal 1268 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa :

Suatu ketetapan waktu tidak menangguhkan perikatan, melainkan

hanya menangguhkan pelaksanaannya.

Dalam Perikatan dengan ketentuan waktu telah terjadi suatu perikatan,

namun pelaksanaan dari perikatan tersebut saja yang ditangguhkan pada waktu

tertentu.

Menurut Prof. Subekti, S.H. bahwa perikatan dengan ketentuan waktu

tidak menangguhkan lahirnya suatu perjanjian atau perikatan, melainkan hanya

menangguhkan pelaksanaannya ataupun menentukan lama waktu berlakunya

suatu perjanjian atau perikatan.95

Menurut C. Asser suatu perikatan dengan ketentuan waktu yaitu suatu

perikatan yang pelaksanaan perikatannya ditangguhkan sampai suatu titik waktu

yang tentu akan tiba atau jikalau tibanya titik waktu yang telah ditentukan untuk

mengakhiri berlakunya perikatan.96 Ketentuan waktu mempunyai dua tujuan yaitu

menangguhkan berlakunya perikatan sampai titik waktu itu tiba (apa yang

dinamakan ketentuan waktu yang menangguh atau waktu mulai) dan ketentuan

waktu untuk mengakhiri berlakunya perikatan pada titik waktu yang ditentukan

(apa yang dinamakan ketentuan waktu yang mengakhiri atau waktu akhir).

93Subekti, op. cit., hal. 4. 94C. Asser, Pedoman Untuk Pengajian Hukum Perdata, (Jakarta: Dian Rakyat, 1991), hal.

195. 95Subekti, op. cit., hal. 6. 96C. Asser, op. cit., hal. 164.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 63: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Ketentuan waktu tidak menangguhkan perikatan namun hanya menangguhkan

pelaksanaannya.97

Terdapat beberapa perbedaan antara perikatan dengan syarat tangguh dan

perikatan dengan ketentuan waktu, yaitu:

1. Dalam perikatan dengan syarat tangguh belum terdapat suatu perikatan

karena perikatannya ditangguhkan oleh syarat-syarat tertentu, sedangkan

dalam perikatan dengan ketentuan waktu sudah terdapat suatu perikatan;

2. Dalam perikatan dengan syarat tangguh belum tentu atau belum pasti

apakah perikatan tersebut suatu waktu akan berlaku, sedangkan dalam

perikatan dengan ketentuan waktu sudah pasti bahwa perikatan tersebut

akan berlaku sepenuhnya.

Menurut pendapat penulis, PPJB SRS dapat masuk kedalam perikatan

dengan syarat tangguh maupun dapat masuk kedalam perikatan dengan ketentuan

waktu. Hal ini tergantung dari sudut pandang melihat aspek dari PPJB SRS

tersebut.

Apabila melihat dari aspek perjanjian jual beli dari SRS tersebut, maka

PPJB SRS merupakan perjanjian dengan syarat tangguh karena memang dalam

hal ini perikatan jual beli belum lahir sebelum suatu peristiwa yang dimaksudkan

terjadi atau syarat-syaratnya dipenuhi. Dalam PPJB SRS ini, perikatan yang akan

lahir kemudian adalah melalui perjanjian jual beli yang baru dibuat setelah suatu

peristiwa atau syarat yang dimaksudkan terjadi yaitu Bangunan Rumah Susunnya

telah ada dan telah adanya penerbitan Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah

Susun (HMSRS).

Namun, apabila melihat dari aspek PPJB SRS merupakan suatu perikatan

yang berdiri sendiri, maka PPJB SRS merupakan perikatan dengan ketentuan

waktu karena PPJB SRS dianggap merupakan suatu perikatan tersendiri dimana

telah terdapat hak dan kewajiban yang lahir antara penjual dan calon pembeli

yang harus dipenuhi oleh kedua pihak sebagaimana termuat dalam PPJB SRS dan

jual beli sudah pasti terjadi karena perikatan dengan ketentuan waktu tidak

menangguhkan perikatannya tetapi hanya menangguhkan pembuatan akta jual beli

97Ibid., hal. 167.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 64: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

saja, dimana akta jual beli nantinya pasti akan dibuat dan ditandatangani oleh

kedua belah pihak.

Menurut pendapat penulis, penulis lebih cenderung melihat PPJB SRS

sebagai Perikatan Dengan Ketentuan Waktu selain karena dalam PPJB SRS yang

telah ditandatangani oleh kedua belah pihak nantinya pasti dilanjutkan dengan

pembentukkan akta jual beli dan dalam hal ini telah terjadi dan telah lahir suatu

perikatan diantara kedua belah pihak baik dari pihak calon pembeli maupun dari

pihak penjual. Kemudian dalam hal ini tidak perlu lagi dibuat perjanjian jual beli

yang baru namun hanya diperlukan membuat akta jual beli dihadapan PPAT saja.

Apabila developer atau pihak penjual tidak membuat suatu akta jual beli

dihadapan PPAT maka dianggap melakukan wanprestasi karena PPJB sudah

dianggap merupakan suatu perikatan yang berdiri sendiri dimana perikatan dengan

ketentuan waktu tidak menangguhkan suatu perikatan namun hanya

menangguhkan pelaksanaan dari pembentukan akta jual beli saja.

Dalam hal ini belum terjadi pemindahan hak karena akta jual beli belum

dibuat dan ditandatangani oleh kedua belah pihak, dimana dalam hal ini unsur

penyerahan benda tidak bergerak secara yuridis (juridische levering) dan secara

nyata (feitelijke levering) dalam hal ini SRS sebagai benda tidak bergerak

memegang peranan yang penting, karena setelah ditandatanganinya PPJB SRS

tidak berarti telah terjadi pemindahan hak milik dari developer kepada calon

pembeli karena harus terjadi levering SRS baik secara yuridis maupun secara

nyata dari pihak developer kepada pihak calon pembeli. Levering secara yuridis

harus dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah yaitu terjadi pada saat penandatanganan akta jual beli SRS

tersebut antara pihak pembeli dan pihak penjual SRS tersebut yang dilakukan di

hadapan PPAT yang berwenang dengan dihadiri 2 saksi yang cakap menurut

hukum dan levering secara nyata harus dilakukan dengan tahapan penyerahan

kunci SRS dari pihak developer kepada pihak calon pembeli karena pada saat

PPJB SRS ditandatangani belum terjadi penyerahan kunci dari pihak developer

kepada pihak calon pembeli. Sehingga dalam hal ini belum terjadi pemindahan

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 65: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

hak atas SRS. Sehingga PPJB SRS menurut penulis merupakan Perikatan Dengan

Ketentuan Waktu.

2.5. HUBUNGAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN

RUMAH SUSUN DENGAN KONTRAK BAKU

Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun pada umumnya

memiliki bentuk berupa kontrak baku, dimana dalam Perjanjian Pengikatan Jual

Beli Satuan Rumah Susun hampir seluruh klausula-klausulanya sudah dibakukan

oleh pemakainya dalam hal ini adalah pihak penjual atau developer dan pihak

yang lain yang dalam hal ini adalah pihak calon pembeli pada dasarnya tidak

mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan dalam

Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun tersebut.

Yang belum dibakukan dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan

Rumah Susun hanyalah beberapa hal saja, misalnya yang menyangkut jenis,

harga, jumlah, warna, tempat, waktu dan beberapa hal lainnya yang spesifik dan

bersifat teknis dari obyek yang diperjanjikan yaitu Satuan Rumah Susun.

Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun dalam

pembentukkannya harus sesuai dengan UU Rumah Susun dan juga sesuai dengan

pedoman yang dikeluarkan oleh Menteri Negara Perumahan Rakyat (MENPERA)

melalui Surat Keputusan Nomor 11/KPTS/1994 tentang Pedoman Perikatan Jual

Beli Satuan Rumah Susun.

Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun pada umumnya

memenuhi ciri-ciri dalam kontrak baku, yaitu:

1. Bentuknya Tertulis

Kata-kata atau kalimat pernyataan kehendak yang termuat dalam

Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun tersebut dibuat secara

tertulis berupa akta otentik atau akta di bawah tangan. Karena dibuat secara

tertulis, maka Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun tersebut

menggunakan kata-kata atau susunan kalimat yang teratur dan rapi. Jika huruf

yang digunakan berbentuk kecil dan isinya sangat padat serta sulit dibaca

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 66: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

dalam waktu yang singkat maka hal ini merupakan kerugian bagi calon

pembeli.

2. Format Yang Dibakukan

Format kontrak meliputi model, rumusan, dan ukuran. Format Perjanjian

Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun ini pada umumnya dibakukan,

artinya telah ditentukan model, rumusan, dan ukurannya, sehingga tidak dapat

diganti, diubah, atau dibuat dengan cara lain karena telah dicetak dalam

jumlah yang banyak. Model Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah

Susun dapat berupa blanko naskah kontrak lengkap, atau blanko formulir yang

dilampiri dengan naskah syarat-syarat kontrak, atau dokumen bukti kontrak

yang memuat syarat-syarat baku. Rumusan syarat-syarat dalam Perjanjian

Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun dapat dibuat secara rinci dengan

menggunakan nomor atau pasal-pasal, atau secara singkat berupa klausula-

klausula tertentu yang mengandung arti tertentu yang hanya dipahami oleh

developer, sedangkan calon pembeli sulit atau tidak memahaminya dalam

waktu yang singkat. Hal ini merupakan kerugian bagi calon pembeli Satuan

Rumah Susun tersebut.

3. Syarat-Syarat Kontrak Ditentukan Oleh Developer

Syarat-syarat dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun

yang merupakan pernyataan kehendak ditentukan sendiri secara sepihak oleh

developer. Karena syarat-syarat dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan

Rumah Susun itu dimonopoli oleh developer maka sifat dari syarat-syarat

dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun tersebut

cenderung lebih menguntungkan developer daripada calon pembeli. Hal ini

dapat terlihat dalam klausula eksonerasi berupa pembebasan tanggung jawab

developer dimana tangung jawab tersebut menjadi beban dari calon pembeli.

Pembuktian oleh developer yang membebaskan diri dari tanggung jawab sulit

diterima oleh calon pembeli karena ketidaktahuannya. Penentuan secara

sepihak oleh developer dapat diketahui melalui format kontrak yang telah siap

pakai, dimana apabila konsumen setuju maka konsumen dapat

menandatangani kontrak tersebut.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 67: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

4. Calon Pembeli Hanya Menerima Atau Menolak

Jika calon pembeli bersedia menerima syarat-syarat dalam Perjanjian

Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun yang diberikan kepadanya, maka

calon pembeli dapat menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan

Rumah Susun tersebut. Penandatanganan tersebut menunjukkan bahwa calon

pembeli bersedia memikul beban tanggung jawab walaupun mungkin calon

pembeli tidak bersalah. Jika calon pembeli tidak setuju dengan syarat-syarat

perjanjian yang diberikan kepadanya dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli

Satuan Rumah Susun tersebut maka calon pembeli tidak dapat menawar

syarat-syarat yang telah dibakukan tersebut. Dimana menawar syarat-syarat

baku dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun tersebut

berarti menolak Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun tersebut.

Hal ini sesuai dengan istilah dalam Bahasa Inggris yaitu “Take it or leave it”.

5. Penyelesaian Sengketa

Dalam syarat-syarat Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun

terdapat klausula baku yang mengatur mengenai hal penyelesaian sengketa.

Jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli

Satuan Rumah Susun tersebut, maka penyelesaiannya dilakukan melalui

arbitrase. Tetapi jika ada pihak yang menghendaki, tidak tertutup

kemungkinan penyelesaian sengketa tersebut dilakukan melalui pengadilan.

Namun di Indonesia, biasanya penyelesaian sengketa terlebih dahulu

dilakukan dengan cara musyawarah sebelum dilakukan di arbitrase atau di

pengadilan.

6. Kontrak Baku Menguntungkan Developer

Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun, syarat-syarat

baku biasanya dimuat lengkap dalam naskah Perjanjian Pengikatan Jual Beli

Satuan Rumah Susun tersebut, atau ditulis sebagai lampiran yang tidak

terpisah atau merupakan satu kesatuan dengan formulir Perjanjian Pengikatan

Jual Beli Satuan Rumah Susun atau ditulis dalam dokumen bukti Perjanjian

Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun tersebut. Dengan demikian, dapat

diketahui bahwa Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun yang

dirancang secara sepihak oleh developer akan menguntungkan developer

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 68: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

berupa: Efisiensi biaya, waktu dan tenaga; Praktis karena telah tersedia naskah

yang dicetak berupa formulir atau blanko yang telah siap untuk diisi dan

ditandatangani; Penyelesaian cepat karena calon pembeli hanya menyetujui

dan atau menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah

Susun yang diberikan kepadanya; Homogenitas kontrak yang dibuat dalam

jumlah yang banyak.

Kontrak baku dalam hal ini yang terdapat dalam Perjanjian Pengikatan

Jual Beli Satuan Rumah Susun dibutuhkan dan oleh karena itu diterima oleh

masyarakat.

Keabsahan berlakunya Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah

Susun tidak perlu dipersoalkan, tetapi masih perlu dipersoalkan apakah Perjanjian

Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun tersebut tidak bersifat “berat sebelah”

dan tidak mengandung “klausula yang secara tidak wajar sangat memberatkan

bagi pihak lainnya”, sehingga Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah

Susun tersebut merupakan kontrak yang menindas dan tidak adil. “Berat sebelah”

yang dimaksudkan adalah bahwa Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah

Susun itu hanya atau terutama mencantumkan hak-hak salah satu pihak saja (yaitu

pihak yang mempersiapkan kontrak baku tersebut dalam hal ini adalah developer)

tanpa mencantumkan apa yang menjadi kewajiban-kewajiban pihaknya dan

sebaliknya hanya atau terutama menyebutkan kewajiban-kewajiban pihak lainnya

sedangkan apa yang menjadi hak-hak pihak lainnya dalam hal ini adalah calon

pembeli tidak disebutkan.

Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun sangat berkaitan erat

dengan asas kebebasan berkontrak, dimana asas kebebasan berkontrak merupakan

perwujudan dari kehendak bebas yang merupakan Hak Asasi Manusia. Asas

kebebasan berkontrak ditarik dari Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata yang menyatakan bahwa:

Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-

undang bagi mereka yang membuatnya.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 69: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Pasal tersebut menerangkan bahwa segala perjanjian atau kontrak yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya,

termasuk dalam hal ini adalah Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah

Susun. Makna yang terdapat dari pasal tersebut adalah bahwa setiap perjanjian

atau kontrak mengikat bagi kedua belah pihak yang mengikatkan diri dalam

perjanjian atau kontrak tersebut. Akan tetapi, dapat disimpulkan bahwa orang

dapat leluasa untuk membuat kontrak apa saja, termasuk Perjanjian Pengikatan

Jual Beli Satuan Rumah Susun asalkan tidak melanggar ketertiban umum yang

diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai Perikatan.

Selain itu, juga tidak bertentangan dengan kesusilaan.98

Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun yang berbentuk

suatu kontrak baku juga berkaitan erat dengan itikad baik, dimana para pihak

dalam suatu kontrak memiliki kewajiban untuk menjelaskan dan meneliti fakta

material yang berkaitan dengan kontrak tersebut. Standar itikad baik pelaksanaan

kontrak adalah standar obyektif, dimana dengan standar ini perilaku para pihak

dalam melaksanakan dan melakukan penilaian terhadap isi kontrak harus

didasarkan pada prinsip kerasionalan dan kepatutan serta kontrak tidak hanya

dilihat dari apa yang secara tegas diperjanjikan tetapi juga harus memperhatikan

faktor-faktor eksternal yang dapat mempengaruhi pelaksanaan dari kontrak

tersebut.99

Itikad baik dalam suatu kontrak memiliki tiga fungsi.100 Pertama, semua

kontrak harus ditafsirkan dengan itikad baik. Itikad baik juga memiliki fungsi

menambah suatu kewajiban kontraktual. Selain itu, itikad baik juga memiliki

fungsi membatasi dan meniadakan suatu kewajiban kontraktual. Dalam fungsi

yang pertama, penafsiran kontrak tidak hanya didasarkan kepada apa yang secara

jelas diperjanjikan atau kepada kehendak para pihak saja, namun juga harus

memperhatikan itikad baik. Bahkan, terhadap kontrak yang sudah jelas pun masih

dapat ditafsirkan dengan itikad baik. Dalam fungsinya yang kedua, berdasarkan

itikad baik, hakim dalam suatu perkara tertentu apabila terjadi sengketa dapat

98Satrio, op. cit., hal. 36. 99Khairandy, op. cit., hal. 348. 100Ibid..

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 70: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

menambah isi perjanjian atau bahkan ketentuan undang-undang. Dalam fungsinya

yang ketiga, manakala hakim dalam suatu perkara tertentu menentukan isi kontrak

yang bersangkutan sangat bertentangan dengan keadilan atau kepatutan, maka

hakim tersebut dapat mengurangi atau bahkan meniadakan suatu kewajiban

kontraktual.

2.6. KEDUDUKAN HUKUM PENJUAL DAN CALON PEMBELI DALAM

PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH SUSUN

Subyek Hukum adalah pemegang hak dan kewajiban dalam hukum, terdiri

dari dua macam yaitu:

1. Manusia atau Pribadi Kodrati, merupakan orang yang diberikan wewenang

dan berkedudukan sebagai subyek hukum;

2. Badan Hukum atau Pribadi Hukum, merupakan subyek hukum yang tidak

mempunyai wujud secara fisik, tetapi dalam hukum dianggap sebagai

sesuatu yang dapat memiliki hak dan kewajiban. Terdiri dari dua macam

yaitu: Badan Hukum Publik, contohnya Negara; dan Badan Hukum Privat,

contohnya Perseroan Terbatas, Koperasi, dan lain-lain.

Persamaan antara manusia atau pribadi kodrati dengan badan hukum atau

pribadi hukum yaitu :

1. Sama-sama merupakan subyek hukum;

2. Mempunyai wewenang untuk memperoleh, memiliki, menggunakan hak-

hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum.

Perbedaan antara manusia atau pribadi kodrati dengan badan hukum atau

pribadi hukum yaitu :

Manusia adalah makhluk berwujud dan merupakan individu sedangkan Badan

Hukum adalah kelompok orang (organisiasi), yang memiliki kekayaan terpisah

dan memiliki tujuan tertentu.

Para pihak dalam melakukan suatu kontrak harus memenuhi syarat-syarat

agar kontrak tersebut dapat berlaku secara sah, syarat sahnya suatu kontrak diatur

berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dalam Pasal 1320

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan bahwa:

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 71: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:1.sepakat

mereka yang mengikatkan dirinya; 2.kecakapan untuk membuat suatu

perikatan; 3.suatu hal tertentu; 4.suatu sebab yang halal.

Syarat pertama dan syarat kedua dari syarat sahnya suatu kontrak yaitu

“kesepakatan” dan “kecakapan” merupakan syarat subyektif sedangkan syarat

ketiga dan syarat keempat dari syarat sahnya suatu kontrak yaitu “suatu hal

tertentu” dan “suatu sebab yang halal” merupakan syarat obyektif. Dimana apabila

syarat subyektif tidak dipenuhi maka akan berakibat kontrak tersebut dapat

dibatalkan sedangkan apabila syarat obyektif tidak dipenuhi maka akan berakibat

kontrak tersebut batal demi hukum.

Dalam hal ini, baik pihak penjual maupun pihak calon pembeli yang

merupakan subyek hukum yang juga memegang dan memiliki hak dan kewajiban

dalam hukum haruslah memenuhi syarat sahnya suatu kontrak dalam membuat

atau mengadakan suatu kontrak.

Kedudukan antara kedua belah pihak, baik pihak penjual maupun pihak

calon pembeli adalah setara dan seimbang. Namun terkadang terdapat

ketidaksetaraan dalam hal prestasi sehingga menimbulkan ketidakseimbangan.

Jika kedudukan salah satu pihak lebih kuat dari pihak lainnya yang berpengaruh

terhadap hubungan prestasi satu dengan yang lainnya dan menyebabkan

kekacauan keseimbangan dalam suatu kontrak maka dalam hal ini bagi pihak yang

dirugikan merupakan alasan untuk mengajukan tuntutan ketidakabsahan kontrak

tersebut.101 Apabila kesepakatan antara kedua belah pihak telah tercapai maka

akan menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak.

Pada umumnya yang menjadi hak dan kewajiban bagi pihak penjual dan

pihak pembeli dalam jual beli sesuai dengan ketentuan Hukum Perdata yaitu:

101Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia Hukum

Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, (Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti, 2006),

hal. 318.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 72: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Hak bagi pihak penjual yaitu:102 Menerima harga benda yang telah dijualnya

dari pihak pembeli.

Kewajiban bagi pihak penjual yaitu:103

1. Menyatakan dengan tegas tentang jual beli tersebut;

2. Menyerahkan benda, dimana penyerahan benda adalah suatu pemindahan

benda yang telah dijual ke dalam kekuasaan dan kepunyaan si pembeli;

3. Kewajiban menanggung pembeli, kewajiban menanggung dari si penjual

adalah agar penguasaan benda secara aman dan tenteram serta agar apabila

terdapat cacat pada benda tersebut secara tersembunyi dapat diterbitkan

alasan untuk pembatalan (sesuai Pasal 1473 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata);

4. Kewajiban untuk menanggung terhadap cacat tersembunyi, meskipun

pihak penjual tidak mengetahui adanya cacat tersebut, kecuali

diperjanjikan;

5. Kewajiban untuk mengembalikan harga pembelian yang diterimanya, jika

penjual mengetahui benda yang telah dijual mengandung cacat, serta

mengganti segala biaya, kerugian, dan bunga kepada si pembeli;

6. Jika benda yang dijual musnah disebabkan karena cacat tersembunyi,

maka kerugian dipikul oleh penjual dan diwajibkan mengembalikan uang

harga pembelian dan kerugian.

Hak bagi pihak pembeli yaitu:104 Menerima benda yang telah dibelinya

baik secara nyata maupun secara yuridis.

Kewajiban bagi pihak pembeli yaitu:105

1. Membayar harga pembelian terhadap benda pada waktu dan tempat yang

telah ditentukan (sesuai Pasal 1513 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata);

2. Membayar bunga dari harga pembelian, jika benda yang dijual dan

diserahkan memberikan hasil (pendapatan).

102Salim H.S., op. cit., hal. 55. 103Ibid.. 104Ibid., hal. 56. 105Ibid., hal. 55-56.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 73: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun telah

ditentukan hal-hal apa saja yang menjadi hak dan kewajiban bagi pihak calon

pembeli serta hal-hal apa saja yang menjadi hak dan kewajiban bagi pihak

penjual.

Memang antara Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun yang

dibuat oleh developer yang satu dengan yang dibuat oleh developer lainnya tidak

memiliki kesamaan yang mengatur hak dan kewajiban yang sama secara mutlak,

namun pada umumnya memiliki garis besar yang hampir sama dalam hal

pengaturannya, yaitu sesuai dengan UU Rumah Susun dan juga pedoman yang

dikeluarkan oleh Menteri Negara Perumahan Rakyat (MENPERA) yaitu Surat

Keputusan Nomor 11/KPTS/1994 tentang Pedoman Perikatan Jual Beli Satuan

Rumah Susun.

Hal ini juga disebabkan berlakunya asas kebebasan berkontrak yang diatur

dalam Hukum Perdata dan didukung oleh asas-asas umum dalam hukum kontrak

serta asas-asas dalam hukum kontrak menurut doktrin yang mengacu kepada

undang-undang, yang dalam hal ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

dan menurut para ahli hukum.

2.7.HUBUNGAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN

RUMAH SUSUN DAN JUAL BELI

Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun atau agreement to

sell berbeda dengan Perjanjian Jual Beli atau sale agreement. Dimana Perjanjian

Pengikatan Jual Beli merupakan jual beli benda dimana pihak-pihak setuju bahwa

hak milik atas benda tersebut akan berpindah kepada pihak pembeli pada suatu

waktu yang akan datang sedangkan Perjanjian Jual Beli merupakan jual beli

dimana hak milik atas benda tersebut seketika berpindah kepada pihak pembeli.106

Di Inggris, perjanjian jual beli atau contract of sale diperbedakan dalam sale

dan agreement to sell. Perbedaan ini dapat dilihat dari ayat 3 pasal 1 dari Sale of

Goods Act, 1893.107 Apabila dalam suatu contract of sale pemindahan milik

106Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1980), hal. 243. 107R.Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, (Bandung: Alumni, 1976), hal. 21.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 74: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

terjadi serta-merta, maka perjanjiannya dinamakan sale; tetapi apabila

pemindahan hak milik itu saatnya terpisah dari saat terjadinya perjanjian atau

digantungkan pada suatu syarat atau condition tertentu di suatu waktu yang akan

datang, maka perjanjiannya dinamakan agreement to sell.108

Suatu sale adalah suatu perjanjian jual beli sekaligus dengan pemindahan

hak milik atau conveyance sehingga mirip dengan jual beli menurut Hukum Adat

yaitu riil dan tunai, sedangkan suatu agreement to sell adalah tidak lebih dari pada

suatu koop-overeenkomst biasa menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

yang bersifat obligatoir.109

Apabila dilihat dari aspek perjanjian, Perjanjian Pengikatan Jual Beli

Satuan Rumah Susun merupakan perjanjian pendahuluan yang dibuat oleh pihak

penjual atau developer dan pihak calon pembeli atas dasar kesepakatan, sebelum

akta jual beli ditandatangani dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, untuk

meminimalisir benih sengketa yang mungkin muncul di kemudian hari.

Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun merupakan perikatan

yang bersumber dari perjanjian yang dibuat berdasarkan kata sepakat diantara

para pihak dan tunduk pada ketentuan umum dalam buku III Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata.

Dengan dilakukannya Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah

Susun, hak milik atas obyek yang diperjanjikan yaitu Satuan Rumah Susun belum

berpindah.

Penjual atau developer dan calon pembeli hanya membuat persetujuan

bahwa hak milik atas Satuan Rumah Susun akan berpindah kepada calon pembeli

pada suatu waktu yang akan datang yaitu pada saat penandatanganan akta jual beli

dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, namun dalam Perjanjian Pengikatan Jual

Beli Satuan Rumah Susun ini telah terdapat perikatan antara pihak penjual atau

developer dengan pihak calon pembeli (merupakan perikatan dengan ketentuan

waktu) dan sudah pasti akan dilanjutkan dengan penandatanganan akta jual beli

dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, serta dalam Perjanjian Pengikatan Jual

Beli Satuan Rumah Susun ini juga terdapat kesepakatan yang berisi hak-hak dan

108Ibid., hal.21-22. 109Ibid..

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 75: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

kewajiban-kewajiban apa saja yang harus dilakukan oleh para pihak sebelum akta

jual beli ditandatangani oleh para pihak dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Dalam kenyataannya telah berkembang kebiasaan penjualan dan pemilikan

atas Satuan Rumah Susun dalam suatu rumah susun secara Pre-Project Selling

dimana Satuan Rumah Susun-Satuan Rumah Susun tersebut dipasarkan terlebih

dahulu sebelum rumah susun tersebut selesai dibangun. Untuk mengantisipasi hal-

hal tersebut, maka Menteri Negara Perumahan Rakyat (MENPERA)

mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 11/KPTS/1994 tentang Pedoman Perikatan

Jual Beli Satuan Rumah Susun. Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah

Susun dimaksudkan untuk mengamankan kepentingan pihak penjual atau

developer dan para calon pembeli SRS dari kemungkinan terjadinya wanprestasi

dari para pihak terkait.

Dengan pengikatan jual beli yang dilakukan antara pihak developer

dengan pihak calon pembeli melalui Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan

Rumah Susun, maka dimungkinkan adanya suatu pemasaran atau penjualan

Satuan Rumah Susun –Satuan Rumah Susun sebelum rumah susun yang

bersangkutan selesai pembangunannya.

Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun berguna bagi

developer itu sendiri untuk memperlancar perolehan dana dengan cara

menggalang dana dari pihak calon pembeli Satuan Rumah Susun yang telah

menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun untuk

membiayai pembangunan rumah susun tersebut, karena developer tidak dapat

hanya membiayai pembangunan rumah susun hanya dari kredit-kredit bank saja

dan adanya kepastian pasar sedangkan untuk pihak konsumen yaitu agar harga

jual rumah susun lebih rendah karena calon pembeli telah membayar sebagian

dimuka.

Jadi dalam praktek, diperlukannya Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan

Rumah Susun timbul karena akta jual beli belum dapat ditandatangani dihadapan

Pejabat Pembuat Akta Tanah karena belum semua persyaratannya dipenuhi oleh

pihak developer.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 76: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

BAB 3

ITIKAD BAIK

3.1. PENGERTIAN ITIKAD BAIK

Itikad Baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum

perjanjian.110 Dalam mengadakan dan melaksanakan perjanjian, setiap orang

dituntut untuk tidak meninggalkan norma-norma keadilan dan kepatutan.111 Pada

prinsipnya, itikad baik harus tercermin dalam setiap tahapan perjanjian, mulai dari

pembentukan, pelaksanaan, hingga pengakhiran perjanjian.

Dalam setiap perundingan (negosiasi) dan perjanjian, kedua belah pihak

akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh itikad

baik. Hubungan khusus ini membawa konsekuensi bahwa para pihak harus

bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak

lainnya. Setiap pihak yang hendak membuat perjanjian berkewajiban untuk

mengadakan penyelidikan—dalam batas-batas yang wajar—terhadap pihak

lawannya sebelum mereka menandatangani perjanjian. Di sisi lain, para pihak

harus pula melaksanakan perjanjian dengan itikad baik.112

Itikad baik dalam hukum perjanjian merupakan doktrin atau asas yang

berasal dari ajaran bona fides dalam Hukum Romawi.113 Itu sebabnya asas itikad

baik memang lebih memiliki kedekatan dengan Sistem Civil Law ketimbang

110 Rosa Agustina T. Pangaribuan, “Asas Kebebasan Berkontrak dan Batas-batasnya

dalam Hukum Perjanjian,” <http://www.pusatpenunjangprofesihukum.com/4k.htm>, diakses

tanggal 14 April 2012.

111 Ahmadi Miru, Kontrak dan Perancangan Kontrak, ed. 1, (Jakarta:

RajaGrafindoPersada, 2008), hal. 5.

112 Ibid..

113 Reinhard Zimmermann dan Simon Whittaker (ed.), Good Faith in European Contract

Law, (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), hal. 16.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 77: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

dengan Sistem Common Law. Fides berarti sumber yang bersifat religius, yang

bermakna kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lainnya, atau suatu

kepercayaan atas kehormatan dan kejujuran seseorang kepada orang lainnya.

Bona fides mensyaratkan adanya itikad baik dalam perjanjian yang dibuat oleh

orang-orang Romawi.114

Pada mulanya hukum perjanjian Romawi hanya mengenal iudicia stricti

iuris, yaitu perjanjian yang lahir dari perbuatan menurut hukum (negotium) yang

secara ketat dan formal mengacu pada ius civile (seperangkat hukum yang

mengatur hak dan kewajiban warga Romawi). Dalam hal hakim menghadapi suatu

kasus, hakim harus memutus sesuai dengan hukum dan apa yang dinyatakan

dalam perjanjian. Baru kemudian, berkembang pula apa yang disebut dengan

iudicia bonae fidei—suatu konsep yang bersumber dari ius gentium (hukum

alam)—yang mengajarkan bahwa seseorang dalam membuat dan melaksanakan

perjanjian harus sesuai dengan itikad baik. Ajaran ini berkembang seiring

diakuinya perjanjian informal sebagai perjanjian yang bersifat konsensual.115

Itikad baik dalam hukum kontrak Romawi mengacu kepada tiga bentuk

perilaku para pihak dalam kontrak, yaitu: Pertama, para pihak harus memegang

teguh janji atau perkataannya; Kedua, para pihak tidak boleh mengambil

keuntungan dengan tindakan yang menyesatkan terhadap salah satu pihak; Ketiga,

para pihak mematuhi kewajibannya dan berperilaku sebagai orang terhormat dan

jujur, walaupun kewajiban tersebut tidak secara tegas diperjanjikan.116

Pada awal perkembangan hukum perjanjian Romawi, perjanjian dipandang

sebagai sesuatu yang bersifat ritualistik. Perjanjian harus dibuat dalam suatu

bentuk ritual (kontrak formal). Sedangkan, kontrak informal, seperti perjanjian

jual-beli, sewa-menyewa, persekutuan perdata, dan pemberian mandat (kuasa),

pada awalnya hanya memiliki kekuatan moral. Baru lah dalam perkembangan

selanjutnya kontrak informal ini memperoleh pengakuan sebagai perjanjian

114 Khairandy, op. cit., hal. 130-133.

115 Ibid..

116 Zimmermann dan Whittaker, op. cit., hal. 94.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 78: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

konsensual, seiring dengan perkembangan ajaran itikad baik dalam masyarakat

Romawi.117

Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa itikad baik diperlukan karena

hukum tidak dapat menjangkau keadaan-keadaan di masa mendatang. Beliau

menjelaskan:

Tidak ada buah perbuatan orang-orang manusia yang sempurna. Oleh

karena peraturan-peraturan tersebut di atas hanya terbikin, oleh orang-

orang manusia saja, maka peraturan-peraturan itu tidak ada yang

sempurna. Peraturan-peraturan tersebut hanya dapat meliputi keadaan-

keadaan yang pada waktu terbentuknya peraturan-peraturan itu telah

diketahui akan kemungkinannya. Baru kemudian ternyata ada keadaan-

keadaan yang seandainya dulu juga sudah diketahui kemungkinannya,

tentu atau sekiranya dimasukkan dalam lingkungan peraturan. Dalam hal

keadaan-keadaan semacam inilah nampak penting faktor kejujuran dari

pihak yang berkepentingan.118

Selain itu, asas itikad baik sebenarnya merupakan gagasan yang dipakai

untuk menghindari tindakan beritikad buruk dan ketidakjujuran yang mungkin

dilakukan oleh salah satu pihak, baik dalam pembuatan maupun pelaksanaan

perjanjian.119 Pada akhirnya, asas ini sebenarnya hendak mengajarkan bahwa

dalam pergaulan hidup di tengah-tengah masyarakat, pihak yang jujur atau

beritikad baik patut dilindungi; dan sebaliknya, pihak yang tidak jujur, patut

merasakan pahit getir akibat ketidakjujuran tersebut.

Walaupun asas itikad baik dipahami sebagai salah satu asas yang penting

dan berpengaruh dalam hukum perjanjian, namun tidak ada definisi yang

117 Khairandy, op. cit., hal. 132.

118 Prodjodikoro, op. cit., hal. 56.

119 Charles Fried, Contract as Promise, (Cambridge: Harvard University Press, 1981),

hal. 74.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 79: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

komprehensif yang dapat menjelaskan pengertian itikad baik itu sendiri. Ridwan

Khairandy berpendapat bahwa salah satu permasalahan dalam kajian itikad baik

adalah keabstrakan maknanya, sehingga timbul pengertian itikad baik yang

berbeda-beda. Itikad baik tidak memiliki makna tunggal, dan hingga sekarang

masih terjadi perdebatan mengenai bagaimana sebenarnya makna atau arti itikad

baik.120 Bahkan James Gordley menyatakan dalam kenyataannya sangat sulit

untuk mendefinisikan itikad baik.121

Dalam Black’s Law Dictionary dijelaskan bahwa itikad baik (good faith)

adalah:

A state of mind consisting in (1) honesty in belief or purpose, (2)

faithfulness to one’s duty or obligation, (3) observance of reasonable

commercial standards of fair dealing in a given trade or business, or (4)

absence of intent to defraud or to seek unconscionable advantage.122

Charles Fried memahami itikad baik sebagai sebuah cara bertransaksi

dengan pihak lain dalam perjanjian dengan jalan jujur (honestly) dan baik

(decently).123 Sejalan dengan itu, Wirjono Prodjodikoro menyamakan istilah

itikad baik dengan kejujuran (goede trouw),124 seperti yang banyak pula tercatat

dalam literatur-literatur hukum.

Kesulitan untuk memberikan batasan terhadap itikad baik bukan hanya

merupakan persoalan dalam hukum perjanjian di Indonesia. Di Amerika Serikat,

keharusan untuk bertindak dengan itikad baik dalam the Uniform Commercial

120 Ibid.., hal. 129.

121 Zimmermann dan Whittaker, op. cit., hal. 93.

122 Bryan A. Garner (ed.), Black’s Law Dictionary, 8th edition, (St. Paul: Thomson West,

2004), hal. 713.

123 Fried, op. cit., hal. 75.

124 Prodjodikoro, op. cit., hal. 56.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 80: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Code juga tidak dijelaskan secara luas. Hakim disana pun tidak memberikan

definisi yang jelas ketika mereka mendasarkan putusannya pada itikad baik.

Profesor Robert S. Summers berpendapat bahwa itikad baik adalah “excluder”

(pengecualian) karena biasanya hakim menggunakan istilah itikad baik untuk

mengesampingkan perilaku tertentu. Itikad baik memiliki makna yang khusus dan

bervariasi dengan jalan membedakannya dengan berbagai makna itikad buruk,

yang oleh hakim dilarang.125 Oleh sebab itu, Summers kemudian memberi

pengertian itikad baik dengan jalan membuat antonim dari itikad buruk sebagai

berikut.126

Bad Faith

(Itikad Buruk)

Good Faith

(Itikad Baik)

1.

Seller concealing a defect in what

he is selling

(Penjual menyembunyikan cacat

barang yang ia jual

Fully disclosing material

facts

(Sepenuhnya mengungkapkan

fakta material)

2.

Builder willfully failing to

perform in full though otherwise

substantially performing

(Pembangun sengaja tidak

melakukan pekerjaan secara

maksimal)

Substantially performing

without knowingly deviating from

specifications

(Secara substansial

melakukan pekerjaan tanpa

mengetahui telah menyimpang

dari spesifikasi)

3.

Contractor openly abusing

bargaining power to coerce an

increase in the contract price

(Kontraktor menyalahgunakan

Refraining from abuse of

bargaining power

(Menahan diri untuk

menyalahgunakan posisi tawar)

125 Khairandy, op.cit., hal. 181.

126 Ibid., hal. 172.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 81: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

posisi tawar untuk memaksa kenaikan

harga kontrak)

4.

Hiring a broker and then

deliberately preventing him from

consummating the deal

(Mempekerjakan broker dan

kemudian sengaja mencegahnya

mencapai kesepakatan)

Acting cooperatively

(Bertindak kooperatif)

5.

Conscious lack of diligence in

mitigating the other party's damages

(Kurangnya kesadaran untuk

tekun mencegah kerugian pihak lain)

Acting diligently

(Bertindak tekun)

6.

Arbitrarily and capriciously

exercising a power to terminate a

contract

(Sewenang-wenang dan bertindak

plin-plan dalam melaksanakan

kekuasaan-nya untuk mengakhiri

perjanjian)

Acting with some reason

(Bertindak dengan alasan)

7.

Adopting an overreaching

interpretation of contract language

(Mengadopsi penafsiran yang

melam-paui batas dari bahasa

perjanjian)

Interpreting contract

language fairly

(Menafsirkan bahasa

perjanjian secara wajar)

8.

Harassing the other party for

repeated assurances of performance

(Melecehkan pihak lain untuk

Accepting adequate

assurances

(Menerima kepastian

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 82: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

kepastian pelaksanaan perjanjian

berulang-ulang)

pelaksanaan perjanjian secara

wajar)

Summers lebih memilih untuk mengeluarkan asas itikad baik dari

persoalan moral. Ketidakjujuran adalah perbuatan yang tidak bermoral, namun

ketiadaan itikad baik, seperti menyalahgunakan kekuatan posisi tawar,

melemahkan upaya pihak lain untuk melaksanakan perjanjian dan bertindak plin-

plan, boleh jadi bukan merupakan persoalan bermoral atau tidak bermoral.

3.2. FUNGSI ITIKAD BAIK DALAM PELAKSANAAN KONTRAK

Terdapat tiga fungsi utama dari itikad baik dalam pelaksanaan suatu

kontrak menurut Arthur S. Hartkamp dan Marianne M.M. Tillem, yaitu : 127

1. Fungsi yang mengajarkan bahwa perjanjian harus ditafsirkan menurut itikad

baik (itikad baik sebagai asas hukum umum).

Artinya, perjanjian harus ditafsirkan secara patut dan wajar (fair).

2. Fungsi menambah atau melengkapi (aanvullende werking van de geode

trouw).

Berdasarkan fungsi ini, itikad baik dapat menambah isi atau kata-kata

perjanjian apabila terdapat hak dan kewajiban yang timbul di antara para pihak

yang tidak secara tegas dinyatakan dalam perjanjian.

3. Fungsi membatasi atau meniadakan (beperkende en derogerende werking van

de geode trouw).

Fungsi ini hanya dapat diterapkan apabila terdapat alasan-alasan yang

amat penting (alleen in spreekende gevallen). Hoge Raad—dan juga Nieuwe

Burgerlijk Wetboek di Belanda—menerapkan fungsi ini hanya terhadap kasus-

kasus dimana pelaksanaan perjanjian dilakukan berdasarkan ketentuan dalam

perjanjian yang sungguh-sungguh tidak dapat diterima karena tidak adil.

Penerapan fungsi ini dapat dipahami sebagai bentuk penyimpangan

(pengecualian) terhadap asas pacta sunt servanda.

127 Hernoko, op. cit., hal. 122-123.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 83: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

3.3. KEDUDUKAN ITIKAD BAIK DALAM BUKU III KUH PERDATA

Kebanyakan ahli hukum mendasarkan kajian itikad baik dalam Pasal 1338

ayat (3), yang mengatur bahwa: “Persetujuan-persetujuan [perjanjian] harus

dilaksanakan dengan itikad baik.” Namun demikian, ayat ini sebenarnya bukan

satu-satunya ketentuan dalam KUH Perdata yang mengatur mengenai itikad baik.

Di samping itu, KUH Perdata sebenarnya memahami itikad baik dalam berbagai

bentuk; tidak hanya itikad baik yang dikenal dalam Pasal 1338 ayat (3) tersebut

saja.

Djaja S. Meliala, dalam bukunya yang berjudul Masalah Itikad Baik

dalam KUH Perdata, berpendapat bahwa itikad baik memiliki peranan yang amat

penting dalam hukum perdata, baik terkait dengan hak kebendaan (zakenrecht)

sebagaimana diatur dalam Buku II KUH Perdata, maupun hak perorangan

(persoonlijkrecht) sebagaimana diatur dalam Buku III KUH Perdata; bahkan,

tidak dapat pula diabaikan arti pentingnya dalam bidang hukum perorangan dan

keluarga dalam Buku I KUH Perdata.128 Oleh karena itu, dapat disimpulkan

bahwa itikad baik sesungguhnya tidak hanya ada dalam ranah Buku III KUH

Perdata semata, melainkan terkandung pula dalam Buku II dan Buku IV serta—

secara implisit—dalam Buku I KUH Perdata.

Itikad baik dalam KUH Perdata diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut.

1. Buku II Pasal 530

”Kedudukan demikian [bezit] ada yang beritikad baik, ada yang beritikad

buruk.”

2. Buku II Pasal 531

”Kedudukan itu [bezit] beritikad baik, manakala si yang memegang

memperoleh kebendaan tadi dengan cara memperoleh hak milik, dalam mana

tak tahulah dia akan cacat-cela yang terkandung di dalamnya”

128 Djaja S. Meliala, Masalah Itikad Baik dalam KUH Perdata, cet. 1, (Bandung:

Binacipta, 1987), hal. 6.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 84: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

3. Buku II Pasal 548

”Tiap-tiap kedudukan berkuasa yang beritikad baik, memberi kepada si

yang memangkunya, hak-hak atas keberadaan yang dikuasai, sebagai berikut:

1. bahwa ia sampai pada saat kebendaan itu dituntut kembali di muka hakim, sementara harus dianggap sebagai pemilik kebendaan;

2. bahwa ia karena daluwarsa dapat memperoleh hak milik atas kebendaan itu;

3. bahwa ia sampai pada saat penuntutan kembali akan kebendaan itu di muka hakim, berhak menikmati segala hasilnya;

4. bahwa ia harus dipertahankan dalam kedudukannya, bilamana diganggu dalam memangkunya, ataupun dipulihkan kembali dalam itu, bilamana kehilangan kedudukannya.”

4. Buku III Pasal 1338 ayat (3)

”Persetujuan-persetujuan [perjanjian] harus dilaksanakan dengan itikad

baik.”

5. Buku IV Pasal 1965

”Itikad baik selamanya harus dianggap ada, sedangkan siapa yang

menunjuk kepada suatu itikad buruk diwajibkan membuktikannya.”

6. Buku IV Pasal 1966

”Adalah cukup bahwa pada waktu benda atau piutang diperoleh, itikad

baik itu ada.”

Kemudian, secara eksplisit melindungi seorang pembeli benda bergerak

beritikad baik dalam Pasal 1977 ayat (1) KUH Perdata.

7. Buku IV Pasal 1977 ayat (1)

”Terhadap benda bergerak yang tidak berupa bunga maupun piutang yang

tidak harus dibayar kepada si pembawa maka barang siapa yang

menguasainya [dengan itikad baik] dianggap sebagai pemiliknya.”

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 85: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Menurut Profesor Subekti, itikad baik yang dipergunakan dalam pasal-

pasal tersebut berbeda maknanya. Itikad baik yang digunakan dalam istilah

“pemegang barang (bezitter)” dan “pembeli barang” berbeda dengan itikad baik

dalam hukum perjanjian atau sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH

Perdata. Dalam istilah yang pertama, itikad baik memiliki arti kejujuran atau

bersih. Pemegang barang (bezitter) atau pembeli barang yang beritikad baik

adalah orang yang jujur dan bersih. Yang bersangkutan tidak mengetahui tentang

adanya cacat-cacat yang melekat pada barang tersebut. Sedangkan, itikad baik

yang terkandung dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata mengandung pengertian

bahwa pelaksanaan perjanjian itu harus berjalan dengan mengindahkan norma-

norma kepatutan dan kesusilaan. Itikad baik yang pertama mengandung anasir

subjektif, sedangkan yang kedua mengandung anasir objektif.129 Oleh karena itu,

untuk selanjutnya akan dijelaskan mengenai pembedaan itikad baik subjektif dan

objektif.

3.4. ITIKAD BAIK SUBJEKTIF DAN OBJEKTIF

3.4.1. ITIKAD BAIK SUBJEKTIF

Terminologi pemegang barang (bezitter) yang beritikad baik,

pembeli barang yang beritikad baik atau lainnya, sebagai lawan dari

orang-orang yang beritikad buruk adalah itikad baik dengan anasir

subjektif. Seorang pembeli barang yang beritikad baik adalah orang yang

membeli barang dengan penuh kepercayaan bahwa si penjual sungguh-

sungguh pemilik dari barang yang dibelinya tersebut. Ia sama sekali

tidak mengetahui jika seandainya ia membeli dari orang yang tidak

berhak. Itu mengapa ia disebut sebagai seorang pembeli yang jujur.

Dalam anasir ini, itikad baik memiliki arti kejujuran atau bersih.130

129 Subekti , op. cit., hal. 41.

130 Ibid..

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 86: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Dalam konsep yang hampir sama, Wirjono Prodjodikoro memahami

itikad baik dalam anasir subjektif ini sebagai itikad baik yang ada pada

waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Itikad baik pada waktu

mulai berlakunya hubungan hukum biasanya berupa pengiraan dalam

hati sanubari yang bersangkutan, bahwa syarat-syarat yang diperlukan

bagi mulai berlakunya hubungan hukum itu sudah dipenuhi semua. Jika

kemudian ternyata bahwa sebenarnya ada syarat yang tidak terpenuhi,

maka pihak yang beritikad baik ini dianggap seolah-olah syarat tersebut

telah dipenuhi semua. Dengan kata lain, pihak yang beritikad baik ini

tidak boleh dirugikan sebagai akibat dari tidak dipenuhinya syarat

tersebut.131

Perwujudan itikad baik pada waktu mulai berlakunya perjanjian

dapat ditafsirkan dari berbagai putusan hakim. Salah satunya dapat

dilihat dalam sebuah yurisprudensi pada tahun 1950-an.132 Kasus ini

bermula ketika Nyonya V.J. Briet-Baumgarten, seorang istri yang

memperoleh warisan berupa sebuah bangunan rumah yang terletak di

Jalan Saidan No. 8, Yogyakarta, mengadakan kesepakatan dengan A.F.F.

Verboorn untuk mengadakan jual-beli rumah tersebut. Akan tetapi,

kemudian rumah tersebut oleh Nyonya Briet-Baumgarten justru dijual

kepada Mohammad Hasan. Oleh karena merasa dirugikan, A.F.F.

Verboorn menggugat Nyonya Briet-Baumgarten dan Mohammad Hasan,

dan meminta pengadilan untuk membatalkan perjanjian jual-beli rumah

antara Nyonya Briet-Baumgarten dan Mohammad Hasan tersebut.

Pengadilan Negeri lantas membatalkan jual-beli tanah itu. Hakim

berpendapat bahwa tanah sengketa tersebut telah dijual dengan sah oleh

Nyonya Briet-Baumgarten terlebih dahulu kepada A.F.F. Verboorn,

maka dengan sendirinya perjanjian jual-beli antara Nyonya Briet-

Baumgarten dengan Mohammad Hasan tidak sah dan harus dibatalkan.

131 Prodjodikoro, op. cit., hal. 56.

132 Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 251K/Sip/1958 tanggal 26 Desember 1958.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 87: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Putusan Pengadilan Negeri ini pun dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi

pada tingkat banding. Akan tetapi, karena merasa dirugikan, Mohammad

Hasan kemudian mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung R.I.

Dalam putusannya, Mahkamah Agung R.I. menyatakan bahwa hak

eigendom dari tanah sengketa tersebut telah selesai dibalik nama, yaitu

atas nama Mohammad Hasan, berdasarkan Akta Kantor Pendaftaran

Tanah Yogyakarta tanggal 30 Juli 1952 No. 23. Dengan demikian,

teranglah bahwa jual-beli tanah tersebut adalah sah dan dilaksanakan

dengan itikad baik (te goeder trouw).

Mahkamah Agung R.I. lebih lanjut berpendapat bahwa dalam jual-

beli tersebut Mohammad Hasan telah bertindak dengan itikad baik, dan

ia tidak tahu-menahu tentang hubungan antara Nyonya Briet-

Baumgarten dengan Verboorn sebelumnya. Tidak adil apabila atas

kesalahan dan kelalaian Nyonya Briet-Baumgarten, Mohammad Hasan,

selaku pembeli beritikad baik, dihukum untuk membatalkan perjanjian

jual-beli tanah tersebut, yang segala sesuatunya telah diselesaikan

dengan semestinya, bahkan telah dibalik nama. Oleh karenanya, hak-hak

pembeli harus dilindungi dan jual-beli tersebut harus dianggap sah.

Mahkamah Agung R.I. memutus bahwa jual-beli tanah antara

Nyonya Briet-Baumgarten dengan Mohammad Hasan adalah sah. Dan

menghukum Nyonya Briet-Baumgarten untuk membayar ganti rugi

kepada Verboorn.

3.4.2. ITIKAD BAIK OBJEKTIF

Anasir subjektif, sebagaimana dijelaskan dimuka, bukan lah yang

dimaksud oleh itikad baik yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH

Perdata. Apa yang dimaksud dengan “semua perjanjian harus

dilaksanakan dengan itikad baik”? Menurut Profesor Subekti, pasal ini

hendak memberi pesan bahwa pelaksanaan perjanjian harus lah berjalan

dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Ukuran-

ukuran objektif dipakai untuk menilai pelaksanaan perjanjian tersebut.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 88: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Profesor Subekti mengungkapkan bahwa pelaksanaan perjanjian harus

berjalan di “rel” yang benar.133

Jika ayat pertama dari Pasal 1338 KUH Perdata dapat dipandang

sebagai syarat atau tuntutan kepastian hukum—bahwa janji itu

mengikat—maka ayat ketiga ini harus dipandang sebagai suatu tuntutan

keadilan. Sebagaimana tujuan hukum itu sendiri, dimana hukum selalu

berupaya mencapai dua tujuan, yaitu menjamin kepastian hukum dan

memenuhi tuntutan keadilan. Kepastian hukum menghendaki supaya apa

yang dijanjikan harus dipenuhi (ditepati). Namun demikian, dalam

menuntut dipenuhinya janji itu, KUH Perdata menggariskan bahwa

janganlah orang lantas meninggalkan norma-norma keadilan atau

kepatutan. Dengan lain perkataan, dalam menuntut pemenuhan janji,

seseorang hendaknya tetap berlaku adil.134

Dalam konteks ini, tidak semua janji dapat dipenuhi atau tidak semua

janji memunculkan tanggung jawab hukum. Hanya ketika suatu janji

menimbulkan ketergantungan yang wajar, maka hakim dapat

menyatakan bahwa janji tersebut dapat dipegang.135

Ada perbedaan sifat antara itikad baik pada mulai berlakunya

hubungan hukum dengan itikad baik dalam hal pelaksanaan hak-hak dan

kewajiban-kewajiban dalam hubungan hukum. Itikad baik yang pertama

terletak pada keadaan jiwa seorang manusia pada suatu waktu, yaitu

pada waktu mulai berlakunya hubungan hukum. Lain halnya dengan

itikad baik dalam pelaksanaan hak dan kewajiban dalam hubungan

hukum. Disini pun itikad baik nampak pada tindakan yang akan

dilakukan oleh kedua belah pihak, khususnya tindakan sebagai

pelaksanaan perjanjian. Dalam melakukan tindakan inilah itikad baik

harus berjalan dalam sanubari seseorang berupa selalu mengingat bahwa

133 Subekti , op. cit.., hal. 41.

134 Ibid..

135 Hugh Collins, The Law of Contract, ed. 4, (London: LexisNexis, 2003), hal. 91.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 89: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

manusia itu sebagai bagian dari sebuah masyarakat harus jauh dari sifat

merugikan pihak lain dengan mempergunakan secara membabi buta

kata-kata yang dipakai pada mulai orang membentuk suatu perjanjian.

Kedua belah pihak harus selalu memperhatikan hal ini dan tidak boleh

mempergunakan kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri sendiri.

Dengan kata lain, itikad baik dalam melaksanakan hak dan kewajiban

pada hubungan hukum bersifat lebih dinamis. Sedangkan sifat dari

kejujuran pada waktu mulai berlakunya hubungan hukum lebih statis.136

Dalam hal suatu perjanjian dianggap melanggar asas itikad baik,

hukum memberikan kewenangan kepada hakim untuk mengubah atau

bahkan menghapus sebagian atau keseluruhan perjanjian. Asas itikad

baik juga memberikan petunjuk bahwa dalam melaksanakan perjanjian

hendaknya masing-masing pihak berlaku adil kepada pihak lainnya.

3.5. ITIKAD BAIK DALAM TAHAP PRA-KONTRAK

Asas itikad baik dapat diterapkan dalam situasi dimana perjanjian telah

mencapai kesepakatan. Akibatnya, hal ini tidak melindungi pihak yang menderita

kerugian dalam tahap pra-kontrak atau tahap perundingan karena pada tahap ini

perjanjian memang belum mencapai tahap kesepakatan.

Permasalahan hukum akan timbul jika sebelum perjanjian tersebut sah dan

mengikat para pihak, yaitu dalam proses perundingan atau negosiasi (preliminary

negotiation), salah satu pihak telah melakukan perbuatan hukum, seperti

meminjam uang atau membeli sesuatu, padahal di antara para pihak belum

tercapai kesepakatan final mengenai isi perjanjian bisnis yang tengah

dirundingkan. Hal ini dapat terjadi karena salah satu pihak begitu percaya dan

menaruh pengharapan terhadap janji-janji yang diberikan oleh rekan bisnisnya.

Jika pada akhirnya perundingan mengalami jalan buntu dan tidak mencapai

kesepakatan, misalnya tidak tercapai kesepakatan mengenai fees, royalti, atau

jangka waktu lisensi, maka pihak yang telah melakukan perbuatan hukum tersebut

136 Prodjodikoro, op. cit., hal. 61-62.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 90: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

tidak dapat menuntut ganti rugi atas segala biaya dan investasi yang telah

dikeluarkannya untuk kepentingan bisnis tersebut. Demikian pula janji-janji

pelaku usaha yang tercantum dalam brosur-brosur yang diedarkan sebagai iklan,

menurut teori klasik hukum perjanjian tidak dapat dituntut

pertanggungjawabannya karena janji-janji tersebut adalah janji-janji pra-kontrak

yang tidak tercantum dalam pengikatan jual-beli.137 Pemahaman ini tentu saja

tidak mencerminkan keadilan dan perlindungan bagi salah satu pihak, yang

bisanya merupakan pihak yang berada dalam posisi tawar (bargaining power)

lebih lemah, seperti konsumen atau debitur dalam perjanjian utang-piutang.

Di negara-negara maju yang menganut Sistem Civil Law, seperti Perancis,

Belanda, dan Jerman, pengadilan memberlakukan asas itikad baik bukan hanya

dalam tahap penandatanganan dan pelaksanaan perjanjian, tetapi juga dalam tahap

perundingan, sehingga janji-janji pra-kontrak memiliki akibat hukum dan dapat

dituntut ganti rugi jika janji tersebut diingkari.138

Di Belanda, begitu pentingnya asas itikad baik sehingga dalam

perundingan-perundingan atau perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak

akan berhadapan dalam suatu hubungan khusus yang dikuasai oleh itikad baik dan

hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak harus

bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain.

Sebagai contoh, bagi masing-masing calon pihak dalam perjanjian terdapat suatu

kewajiban untuk mengadakan penyelidikan dalam batas-batas yang wajar

terhadap pihak lawan sebelum menandatangani perjanjian atau masing-masing

pihak harus menaruh perhatian yang cukup dalam menutup perjanjian yang

berkaitan dengan itikad baik.139

Di Jerman, Mahkamah Agung disana mempertimbangkan bahwa apabila

ditetapkan syarat-syarat umum mengenai perjanjian, kebebasan berkontrak

137 Suharnoko, op. cit., hal. 1-5.

138Ibid..

139 J.M. van Dunne dan Gr. van der Burght, Perbuatan Melawan Hukum, (Ujung

Pandang: Dewan Kerja Sama Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia, 1998), hal. 15.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 91: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

dianggap ada sejauh kebebasan ini mengenai isi perjanjian menurut ukurannya

sendiri, yaitu berdasarkan itikad baik dengan kewajiban untuk memperhatikan

kepentingan-kepentingan pihak lawan dalam perjanjian pada awal penyusunan

syarat-syarat perjanjian tersebut. Apabila satu pihak hanya mengajukan

kepentingan-kepentingannya sendiri, maka ia telah menyalahgunakan kebebasan

dalam membuat perjanjian.140

J.M. van Dunne berpendapat bahwa daya berlaku itikad baik meliputi

seluruh proses perjanjian atau diibaratkan dengan “the rise and fall of contract”.

Dengan demikian, itikad baik meliputi tiga fase proses perjanjian, yaitu:141

1. pre contractuale fase (fase pra-kontrak),

2. contractuale fase (fase kontrak); dan

3. postcontractuale fase (fase post-kontrak).

Pemikiran bahwa itikad baik harus meliputi keseluruhan tahap perjanjian

juga nampak pada kesimpulan Simposium Hukum Perdata Nasional yang

diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), dimana itikad

baik hendaknya diartikan sebagai:142

1. kejujuran pada waktu membuat perjanjian;

2. pada tahap pembuatan ditekankan, apabila perjanjian dibuat di hadapan

pejabat, para pihak dianggap beritikad baik (meskipun atas pendapat ini masih

terdapat keberatan dari beberapa pihak);

3. sebagai kepatutan dalam tahap pelaksanaan, yaitu terkait suatu penilaian

terhadap perilaku para pihak dalam melaksanakan apa yang telah disepakati

dalam perjanjian, semata-mata bertujuan untuk mencegah perilaku yang tidak

patut dalam pelaksanaan perjanjian tersebut.

140 Ibid., hal. 6.

141 Hernoko, op. cit., hal. 118.

142 Badan Pembinaan Hukum Nasional dan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,

dalam Simposium Hukum Perdata Nasional, Yogyakarta, 21-23 Desember 1981, sebagaimana

dikutip dalam ibid., hal. 123.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 92: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Memang benar bahwa KUH Perdata, khususnya dalam Pasal 1338 ayat

(3), hanya mengatur itikad baik dalam tahap pelaksanaan perjanjian. Akan tetapi,

sebenarnya pengakuan itikad baik oleh KUH Perdata tidak lah sesempit itu. Tidak

benar jika dikatakan bahwa KUH Perdata hanya mengenal itikad baik pada tahap

pelaksanaan perjanjian saja.

KUH Perdata mengenal dua bentuk itikad baik, yaitu itikad baik dengan

anasir subjektif dan objektif. Serupa dengan itu, digunakan pula istilah itikad baik

pada waktu mulai berlakunya perjanjian dan itikad baik dalam hal pelaksanaan

hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam hubungan hukum. Jika dipahami secara

seksama, itikad baik subjektif atau itikad baik pada waktu mulai berlakunya

perjanjian tidak lain merupakan itikad baik yang ada pada tahap pra-kontrak.

Ridwan Khairandy menjelaskan bahwa standar itikad baik dalam tahap

pra-kontrak didasarkan pada kecermatan dalam berkontrak. Dengan asas ini, para

pihak masing-masing memiliki kewajiban untuk menjelaskan dan meneliti fakta

material yang berkaitan dengan perjanjian tersebut. Dengan standar tersebut,

perilaku para pihak dalam melaksanakan perjanjian dan penilaian terhadap isi

perjanjian harus didasarkan pada prinsip kerasionalan dan kepatutan.143 Dalam

teori itikad baik, kewajiban ini melahirkan predikat “beritikad baik”, atau

sebaliknya “beritikad buruk”, bagi pihak-pihak dalam perjanjian. Sebagai contoh,

pembeli yang telah meneliti secara seksama benda yang hendak dibelinya dan

secara jujur mengira bahwa si penjual adalah pemilik sah dari benda tersebut,

boleh dikatakan sebagai pembeli beritikad baik. Sedangkan, penjual yang

menyembunyikan cacat-cacat dari benda objek jual-beli disebut sebagai penjual

beritikad buruk. Kerangka ini tak lain adalah anasir subjektif dalam teori itikad

baik yang telah dijelaskan dalam Bab II. Dengan demikian, KUH Perdata di

Indonesia—dalam batas-batas tertentu—mengenal konsep itikad baik dalam tahap

pra-kontrak, walaupun memang benar tidak terdapat satu pasal pun di dalamnya

yang menyatakan secara tersurat bahwa itikad baik berlaku dalam setiap tahap

perjanjian.

143 Khairandy, op. cit., hal. 348-349.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 93: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Pemahaman mengenai itikad baik pada tahap pra-kontrak tidak dapat

dipisahkan dari doktrin culpa in contrahendo yang diajarkan oleh Rudolf von

Jhering, seorang sarjana hukum terkemuka di Jerman. Jhering merumuskan

doktrin culpa in contrahendo sebagai sebuah upaya hukum guna mengatasi

persoalan hukum kebiasaan yang saat itu yang memandang bahwa perjanjian

hanya tunduk kepada teori kehendak, sehingga tanggung jawab para pihak hanya

diukur dari kehendak para pihak semata, tanpa mempertimbangkan adanya

kesalahan dalam penyampaian atau pengungkapan kehendak tersebut. Doktrin

culpa in contrahendo mengkritisi pandangan ini dan mengajarkan bahwa pihak

yang bertanggung jawab atas kesalahan harus bertanggung jawab terhadap

kerugian yang diderita oleh pihak yang tidak bersalah, yang mendasarkan

tindakannya pada faulty impression of a binding contract.144

Ajaran ini kemudian diperluas dalam transaksi komersial modern untuk

membebankan kewajiban dan tanggung jawab kepada para pihak yang melakukan

hubungan pra-kontraktual.145 Dalam konteks pra-kontrak ini, Jhering menerapkan

doktrin culpa in contrahendo pada beberapa situasi antara lain:146

1. jika salah satu pihak membuat suatu penawaran, tetapi yang bersangkutan

tidak serius;

2. salah satu pihak melakukan kesalahan sepihak dalam menyampaikan

penawarannya;

3. salah satu pihak mengetahui atau seharusnya mengetahui hal yang ada tidak

mungkin dilakukan;

4. kesalahan-kesalahan tersebut kemudian menyebabkan pihak ini bertanggung

jawab atas negative interest dari pihak yang tidak bersalah yang didasarkan

pada keabsahan perjanjian.

144 Steven A. Mirmina, “A Comparative Survey of Culpa in Contrahendo, Focusing on Its

Origins in Roman, German, and French Law as well as Its Application in American Law,”

Connecticut Journal on International Law, vol. 8, 1992, hal. 81.

145 Ibid.

146 Ibid., hal. 83.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 94: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Sebagai perbandingan di negara-negara yang menganut sistem Anglo

Saxon terdapat juga Doktrin Promissory Estoppel untuk memberikan

perlindungan hukum kepada pihak yang dirugikan karena percaya dan menaruh

pengharapan (reasonaly relied) terhadap janji-janji yang diberikan lawannya

dalam tahap pra kontrak (preliminary negotiation).147 Dalam doktrin ini, diatur

bahwa seseorang percaya bahwa suatu kontrak akan terjadi kemudian melakukan

perbuatan hukum terkait dengan kontrak tersebut, akan tetapi kemudian dalam

proses negosiasi, pihak lawan “meninggalkan” orang tersebut secara tidak patut

(bad faith) padahal seharusnya proses negosiasi dilaksanakan dengan itikad baik

(good faith). Orang yang “ditinggalkan” dapat meminta ganti rugi kepada pihak

lawan yang “meninggalkan” dengan menggunakan doktrin ini. Dalam pra kontrak,

para pihak harus beritikad baik, karena jika tidak beritikad baik dan mengambil

keuntungan dengan itikad baik tersebut, maka pihak yang mengambil keuntungan

dengan itikad baik tersebut dapat digugat berdasarkan Perbuatan Melawan

Hukum.

3.6. AKIBAT HUKUM TERKAIT KETIADAAN ITIKAD BAIK

DALAM TAHAP PRA-KONTRAK

Ridwan Khairandy berpendapat standar itikad baik pada tahap pra-kontrak

didasarkan prinsip kecermatan dalam berkontrak. Dengan asas ini, para pihak

masing-masing memiliki kewajiban untuk menjelaskan dan meneliti fakta

material yang berkaitan dengan perjanjian tersebut.148

Dalam KUH Perdata sendiri diatur bahwa penjual berkewajiban

menanggung kenikmatan tenteram dan cacat-cacat tersembunyi.149 Kewajiban

untuk menanggung kenikmatan tenteram merupakan konsekuensi atas jaminan

147 Suharnoko, op. cit., hal. 3.

148 Khairandy, op. cit., hal. 348.

149 Pasal 1474 jo. 1491 KUH Perdata.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 95: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

yang diberikan penjual kepada pembeli bahwa benda yang dijual dan dialihkan

(lever) adalah sungguh-sungguh miliknya sendiri dan bebas dari beban atau

tuntutan dari pihak lain. Jika pembeli, karena suatu gugatan dari pihak ketiga,

berdasarkan putusan hakim dihukum untuk menyerahkan benda yang dibelinya

kepada pihak ketiga tersebut, maka penjual wajib memberikan ganti kerugian

kepada pembeli. Demikian pula, penjual juga harus menanggung segala cacat-

cacat tersembunyi pada benda tersebut—yang membuat benda tersebut tidak dapat

dipakai atau mengurangi kegunaannya—dan seandainya si pembeli mengetahui

cacat-cacat tersebut, ia tidak akan membelinya, kecuali dengan harga yang lebih

rendah.

Ridwan Khairandy berpendapat, penentuan ada atau tidaknya itikad baik

pada tahap pra-kontrak digantungkan pada tahu atau tidaknya pihak pembeli

terhadap cacat hukum yang terdapat dalam suatu transaksi. Jika ia mengetahui ada

cacat hukum dalam transaksi tersebut, tetapi ia tetap menutup perjanjian dengan

pihak penjual, maka ia dikategorikan sebagai pembeli yang beritikad buruk.

Sebaliknya, apabila ia tidak mengetahui adanya cacat hukum dalam proses

tersebut, maka ia dikategorikan sebagai pembeli beritikad baik. Namun demikian,

kriteria dari pihak pembeli ini lebih bersifat pasif karena pengadilan hanya

membebankan kewajiban pengungkapan fakta material kepada penjual semata.

Penjual memiliki kewajiban untuk menjelaskan fakta material yang berkaitan

dengan transaksi jual-beli tersebut. Fakta material ini antara lain adalah status

kepemilikan objeknya, ada atau tidaknya sengketa yang melingkupi objek, cacat-

cacat tersembunyi, syarat-syarat tertentu untuk melakukan transaksi, dan lain

sebagainya. Apabila penjual telah memenuhi kewajibannya, dan pembeli

meyakini kebenaran penjelasan tersebut—atau dengan kata lain pembeli tidak

mengetahui fakta yang sebenarnya—maka ia digolongkan sebagai pembeli

beritikad baik. Terlebih lagi, jika transaksi tersebut dilakukan di hadapan pihak

yang berwenang.150

150 Khairandy, op. cit., hal. 271.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 96: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, sebagaimana

tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 1816K/Pdt/1989 tanggal 22

Oktober 1992, mempertimbangkan bahwa:

…pembeli tidak dapat dikualifikasikan sebagai yang beritikad baik, karena pembelian dilakukan dengan ceroboh, ialah pada saat pembelian ia sama sekali tidak meneliti hak dan status para penjual atas tanah terperkara. Karena itu ia tidak pantas dilindungi dalam transaksi itu.151

Oleh sebab itu, pernyataan “even a very negligent buyer deserves more

protection than a fraud seller” sebenarnya tidak dapat disetujui sepenuhnya.

Kedua belah pihak selayaknya diberi kewajiban yang seimbang untuk meneliti

dan menjelaskan. Manakala pembeli lalai untuk meneliti benda yang hendak

dibeli, maka ia turut bertanggung jawab atas kelalaiannya itu, termasuk atas

kerugian dari pihak ketiga. Akan tetapi, jika penjual sengaja menyembunyikan

cacat-cacat benda tersebut, maka hakim dapat mempertimbangkan keberadaan

itikad baik dari pihak pembeli.

Dalam hukum perlindungan konsumen, formulanya justru sedikit berbeda.

Sebagaimana diketahui, hubungan konsumen dan pelaku usaha diwarnai dengan

ketimpangan, dimana konsumen memiliki keterbatasan kemampuan dalam

membuktikan kesalahan pelaku usaha. Memberikan beban kepada konsumen

untuk membuktikan haknya tentu tidak lah mudah.152 Oleh sebab itu, perspektif

hukum perlindungan konsumen adalah memberikan perlindungan yang lebih

besar kepada konsumen. Hubungan konsumen dengan pelaku usaha tidak dapat

dipandang sebagai suatu hubungan yang seimbang (equal).

Di Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah secara tegas

mewajibkan pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas, dan

151 Himpunan Kaidah Hukum Putusan Perkara dalam Buku Yurisprudensi Mahkamah

Agung R.I. Tahun 1969-2001, (Jakarta: Mahkamah Agung R.I., 2002), hal. 127.

152 Inosensius Samsul, Perlindungan Konsumen: Kemungkinan Penerapan Tanggung

Jawab Mutlak, cet. 1, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia,

2004), hal. 18.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 97: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa, serta memberi penjelasan

penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan atas barang atau jasa tersebut.153

Selaras dengan itu, pelaku usaha juga harus memberi kesempatan kepada

konsumen untuk menguji, mencoba barang atau jasa tersebut.154

Terdapat hal-hal yang terkait dengan ketiadaan itikad baik dalam tahap

pra-kontrak, antara lain:

1. Representation dan Misrepresentation

Sebuah pernyataan (representation) dari salah satu pihak pada saat tahap

pra-kontrak menjadi sebuah issue hukum yang signifikan ketika

pernyataan tersebut terbukti salah di masa mendatang. Dalam Sistem

Common Law, dikenal sebuah doktrin yang berkaitan erat dengan

tanggung jawab untuk mengungkapkan fakta material ini, yaitu doktrin

misrepresentation.

Malcolm Leder dan Peter Shears menjelaskan misrepresentation sebagai

“…a false statement of fact which induces the other party to enter into the

contract.”155 Misrepresentation dapat pula diartikan manakala “…one

party to contract is not given full or accurate information by the other

party about the contract subject matter.”156

Misrepresentation dapat terjadi dalam hal salah satu pihak, misalnya

penjual, membuat pernyataan yang tidak benar mengenai produk yang

dijual atau dalam hal yang bersangkutan gagal untuk mengungkapkan

informasi yang seharusnya disampaikan terkait produk tersebut.

153 Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 8 Tahun 1999, LN

Tahun 1999 Nomor 42, TLN Nomor 3821, Pasal 7 huruf b.

154 Ibid., Pasal 7 huruf e.

155 Malcolm Leder dan Peter Shears, Consumer Law, ed. 4, (London: Financial Times

Management, 1996), hal. 26.

156 Marianne M. Jennings, Business: Its Legal, Ethical, and Global Environment, ed. 7,

(Manson: Thomson West, 2006), hal. 549.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 98: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Hal yang juga patut dipahami terkait misrepresentation adalah pernyataan

yang disampaikan tersebut harus menyebabkan salah satu pihak setuju

untuk membuat perjanjian.

Merujuk pada prasyarat yang terakhir tersebut, adanya misrepresentation

harus dibuktikan dengan adanya keputusan dari salah satu pihak yang

diakibatkan oleh pernyataan pihak lain. Jelas sekali sebenarnya doktrin

atau lembaga dalam Sistem Common Law ini hendak melindungi pihak

yang mengadakan perjanjian karena terpengaruh pernyataan yang keliru.

Marianne M. Jennings mengungkapkan bahwa elemen-elemen yang harus

ada agar suatu pernyataan dapat dikatakan sebagai sebuah

misrepresentation adalah:157

1. merupakan pernyataan yang salah atas fakta material (atau tidak

mengungkapkan fakta material);

2. pembeli menggantungkan kepercayaan pada pernyataan yang salah

tersebut;

3. mengakibatkan kerugian bagi pihak pembeli.

Dalam penjelasan yang terakhir, Jennings menambahkan satu prasyarat,

yaitu pernyataan yang salah tersebut harus mengakibatkan kerugian bagi

salah satu pihak. Pernyataan tersebut merupakan fakta yang amat penting

yang mempengaruhi keputusan salah satu pihak untuk meneruskan atau

tidak meneruskan perjanjian, sehingga ketika kebenaran yang

sesungguhnya terungkap, yang bersangkutan merasa dirugikan.

Misrepresentation dalam pengertian yang lebih sempit dikenal pula

dengan istilah innocent misrepresentation karena dalam tindakan ini

seseorang yang melakukannya tidak memiliki maksud atau kesengajaan

tertentu. Misrepresentation sendiri memang dikategorikan menjadi

beberapa bentuk sesuai dengan tingkatan maksud dan kesengajaannya

sebagai berikut.158

157Ibid..

158 Leder dan Shears, op. cit., hal. 26-27.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 99: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

1. Innocent misrepresentation, yaitu suatu pernyataan salah (false

statement) yang dibuat secara jujur, dimana pihak yang membuat

pernyataan tersebut dapat menyangkal bahwa ia telah melakukan

kelalaian.

2. Negligent misrepresentation, yaitu suatu pernyataan salah (false

statement) dimana pembuatnya dapat membuktikan bahwa pada saat

melakukan negosiasi atau tahap pra-kontrak, yang bersangkutan

memiliki alasan yang wajar untuk meyakini bahwa fakta-fakta yang

diungkapkannya adalah benar.

3. Fraudulent misrepresentation, yaitu pernyataan salah yang dibuat

dengan curang, dimana tindakan ini dilakukan secara sadar. Sengaja

melakukan misrepresentation adalah sebuah fraud, yang dalam Sistem

Common Law dapat membuat pihak yang melakukannya harus

menanggung kerugian pihak lain dalam perjanjian tersebut.

2. Fraudulent Misrepresentation

Dalam fraudulent misrepresentation yang terjadi adalah salah satu pihak

memang berniat untuk mengungkapkan informasi yang salah atau secara

sadar mengetahui terdapat fakta material yang tidak ia ungkapkan. Pada

dasarnya, misrepresentation dan fraudulent misrepresentation adalah

sama, kecuali pada lembaga yang terakhir ini terdapat unsur tambahan,

yaitu adanya maksud atau pengetahuan mengenai adanya kesalahan.159

Jika diuraikan lebih lanjut, maka unsur-unsur fraudulent misrepresentation

adalah:160

1. mengetahui adanya kebohongan dan secara sembrono tidak peduli

terhadap kebenarannya;

2. adanya maksud agar pihak lain mempercayai kebohongan tersebut;

159 Jennings, op. cit., hal. 551-552.

160 David P. Twomey et. al., Anderson’s Business Law and the Legal Environment, ed.

18, (Ohio, West Legal Studies in Business, 2002), hal. 258.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 100: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

3. pihak yang lain mempercayai kebohongan itu; dan

4. pihak yang lain tersebut mengalami kerugian.

Misrepresentation yang dilakukan oleh salah satu pihak memungkinkan

pihak yang dirugikan menuntut pembatalan perjanjian, yang berarti

perjanjian tersebut dikesampingkan. Sedangkan, fraudulent

misrepresentation memberikan hak bagi pihak yang dirugikan untuk

menuntut pembatalan dan/atau ganti kerugian.161

161 Leder dan Shears, op. cit., hal. 27-28.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 101: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

BAB 4

ANALISA PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN

RUMAH SUSUN PERMATA GANDARIA ANTARA NYONYA X

DENGAN P.T. PUTRA SURYA PERKASA DALAM PERSPEKTIF

ITIKAD BAIK

4.1. PARA PIHAK

Dalam PPJB SRS Permata Gandaria yang berbentuk kontrak baku dengan

Nomor 035/Gandaria/PSP/VII/96 ditandatangani oleh para pihak pada hari Kamis

tanggal 12 Desember 1996, dimana yang menandatangani PPJB SRS tersebut

terdiri dari dua pihak.

Dua pihak itu terdiri dari pihak penjual (pihak pertama) dan pihak calon

pembeli (pihak kedua):

Pihak Penjual atau Pihak Pertama yang diwakili oleh Tuan HW (selaku

Wakil Direktur Utama I) yang bertempat tinggal di Jakarta, yang dalam hal ini

bertindak mewakili berdasarkan Surat Kuasa tertanggal 1 Mei 1996 selaku kuasa

dari Tuan TG, Direktur Utama P.T. Putra Surya Perkasa (P.T. PSP), suatu

Perseroan Terbatas yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Negara Republik

Indonesia yang berkedudukan dan berkantor pusat di Jakarta, Wisma Bank

Dharmala Lantai 20, Jalan Jendral Sudirman Kavling 28. (“Perseroan”). Meliputi

juga pada para ahli waris, pengganti dan penerus haknya yang sah.

Pihak Calon Pembeli atau Pihak Kedua yaitu Nyonya X yang berprofesi

sebagai ibu rumah tangga yang bertempat tinggal di Jalan DR. Nurdin I/20

RT/008 RW/007 Kelurahan Grogol, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta

Barat. Pemegang Kartu Tanda Penduduk yang dikeluarkan oleh Lurah Kelurahan

Grogol pada tanggal 21 Oktober 1994. Meliputi juga para ahli waris, pengganti

dan penerus haknya yang sah.

Para pihak masing-masing dalam kedudukannya tersebut diatas

menerangkan terlebih dahulu: Bahwa Pihak Penjual atau Pihak Pertama adalah

pemilik yang sah dan berhak atas bangunan-bangunan rumah susun (“Rumah

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 102: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Susun”) sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985

tentang Rumah Susun beserta peraturan pelaksanaannya sebagaimana diuraikan

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 1988, yang akan atau sedang atau

telah dibangun oleh Pihak Penjual atau Pihak Pertama diatas sebidang tanah

seluas lebih kurang 4.565 m2 yang terletak dalam Daerah Khusus Ibukota Jakarta

Raya wilayah Jakarta Selatan, Kelurahan Kramat Pela, Kecamatan Kebayoran

Batu, setempat yang dikenal sebagai Rumah Susun Permata Gandaria beserta

turutan-turutannya termasuk sarana dan fasilitas berupa air bersih, tenaga listrik

dan lain-lain yang disediakan oleh Pihak Penjual atau Pihak Pertama yang

selanjutnya disebut dengan Satuan Rumah Susun (SRS); Bahwa Pihak Calon

Pembeli atau Pihak Kedua bermaksud untuk membeli atau memiliki atas 1 unit

SRS Permata Gandaria termasuk dengan turutan-turutannya, sarana dan fasilitas

yang tersedia; Bahwa sehubungan dengan Sertipikat Hak Milik atas Satuan

Rumah Susun (SHMSRS) belum dilakukan pemecahannya oleh Kantor Badan

Pertanahan Nasional, maka jual beli SRS sebagaimana disyaratkan oleh ketentuan

perundang-undangan belum dapat dilaksanakan dihadapan Pejabat Pembuat Akta

Tanah (PPAT) yang berwenang; Maka oleh karena itu, maka para pihak telah

saling sepakat untuk membuat PPJB SRS ini.

Dalam PPJB SRS Permata Gandaria, baik pihak penjual maupun pihak

calon pembeli merupakan subyek hukum yang cakap untuk melakukan perbuatan

hukum yang dalam hal ini menandatangani PPJB SRS Permata Gandaria, karena

pihak penjual diwakili oleh Tuan HW yang merupakan Wakil Direktur Utama I

yang telah mendapatkan Surat Kuasa dari Tuan TG selaku Direktur Utama P.T.

PSP sehingga dalam hal ini Tuan HW memiliki kewenangan sebagai penerima

kuasa dari Tuan TG selaku Direktur Utama P.T. PSP untuk menandatangani PPJB

SRS Permata Gandaria, hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007162 tentang Perseroan Terbatas terutama

162 Indonesia, Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas, UU No. 40, LN No. 106

tahun 2007, TLN No. 4756.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 103: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Pasal 103163 jo. Pasal 98 ayat (1) 164 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007

Tentang Perseroan Terbatas (dahulu diatur dalam Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, terutama Pasal 89 jo. Pasal 82 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas) dimana direksi

mewakili Perseroan di dalam maupun di luar pengadilan namun direksi dapat

memberikan kuasa tertulis kepada satu orang karyawan Perseroan atau lebih atau

orang lain untuk dan atas nama Perseroan untuk melakukan suatu perbuatan

hukum tertentu, berdasarkan ketentuan ini maka dalam hal ini pihak penjual cakap

secara hukum untuk menandatangani PPJB SRS ini. Sedangkan pihak calon

pembeli yaitu Nyonya X juga telah memenuhi persyaratan untuk dapat dikatakan

sebagai subyek hukum yang cakap secara hukum karena telah memenuhi

persyaratan yang telah ditentukan sebagai subyek hukum yang cakap yaitu

persyaratan usia yang telah lebih dari 21 tahun yaitu usia yang dianggap telah

dewasa untuk membuat suatu perjanjian (berdasarkan Pasal 330 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata), tidak berada dibawah pengampuan dan bukan

merupakan orang yang dilarang oleh undang-undang untuk membuat suatu

perjanjian 165sehingga pihak calon pembeli cakap secara hukum untuk

menandatangani PPJB SRS ini.

Kedua pihak baik pihak penjual maupun pihak calon pembeli sepakat

untuk menandatangani PPJB SRS yang berbentuk kontrak baku, dimana PPJB

SRS yang berbentuk kontrak baku tersebut dibuat dengan cara pihak yang satu

yaitu pihak penjual telah menyiapkan syarat-syarat baku dalam suatu formulir

perjanjian yang sudah dicetak dan kemudian diberikan kepada pihak lainnya yaitu

163 Pasal 103 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

menyatakan : Direksi dapat meberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan Perseroan atau

lebih atau kepada orang lain untuk dan atas nama Perseroan melakukan perbuatan hukum

tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa.

164 Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

menyatakan : Direksi mewakili Perseroabn baik di dalam maupun di luar pengadilan. 165 Dengan asumsi bahwa Nyonya X dalam menyepakati dan menandatangani PPJB SRS

ini telah memperoleh persetujuan dari pihak suami Nyonya X ,serta dengan asumsi tidak terdapat

Perjanjian Pisah Harta diantara Nyonya X dan suaminya.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 104: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

pihak calon pembeli untuk diterima dan disetujui dengan hampir tidak

memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak lainya untuk melakukan

negosiasi atas syarat-syarat yang diberikan tersebut.

Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat dengan sah berlaku sebagai

undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, dimana berlaku sebagai

undang-undang artinya mempunyai kekuatan mengikat sama dengan undang-

undang, agar terdapat kepastian hukum. Konsekuensinya terdapat pada Pasal 1338

ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa pihak

dalam suatu perjanjian tidak dapat membatalkan secara sepihak (tanpa persetujuan

pihak lawannya) perjanjian yang telah dibuat dengan sah itu dimana keterikatan

para pihak dapat dibuktikan dengan penandatanganan kontrak baku atau

penerimaan dokumen kontrak baku, sehingga karena telah terdapat kesepakatan

dan penandatanganan PPJB SRS tersebut maka semua ketentuan yang tercantum

dalam PPJB SRS tersebut harus ditaati dan harus dilaksanakan oleh kedua pihak.

Pembakuan suatu kontrak termasuk PPJB SRS merupakan suatu hal

yang tidak dapat dihindari, karena bagi pihak penjual sebagai pengusaha

merupakan cara untuk mencapai tujuan ekonomi yang efisien, praktis, dan cepat,

tetapi bagi pihak calon pembeli sebagai konsumen justru merupakan pilihan yang

tidak menguntungkan karena hanya dihadapkan pada suatu pilihan untuk

menerima dengan segala resiko yang mungkin akan timbul di kemudian hari.

Dalam membuat suatu kontrak baku termasuk PPJB SRS ini, pihak

penjual selalu berada dalam posisi yang kuat sedangkan pihak calon pembeli

umumnya berada dalam posisi yang lemah. Pihak penjual cenderung dan

seringkali menghasilkan klausula dalam kontrak baku yang melindungi

kepentingannya sekaligus sangat membatasi dan seringkali merugikan

kepentingan pihak calon pembeli.166 Dalam hubungan hukum antara pihak penjual

dengan pihak calon pembeli dalam PPJB SRS dapat timbul permasalahan, yaitu

kemampuan dari pihak calon pembeli untuk memenuhi ketentuan yang terdapat

dalam PPJB SRS yang telah dibuat secara sepihak oleh pihak penjual. Dalam hal

166 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: PT. Citra

Aditya Bakti, 2010), hal. 15.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 105: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

ini, pihak calon pembeli harus menerima segala akibat yang timbul dari PPJB SRS

yang telah dibakukan walaupun akibat tersebut seringkali merugikan pihak calon

pembeli, dalam hal ini pihak calon pembeli dihadapkan pada satu pilihan yaitu

harus menerima dan melaksanakannya karena telah sepakat dan telah

menandatangani PPJB SRS tersebut.

Hal itikad baik merupakan hal yang sangat penting terkait dengan suatu

perjanjian, tidak terkecuali dalam PPJB SRS. Dimana itikad baik juga seharusnya

memegang peranan penting dalam pembentukan PPJB SRS, dalam hal ini baik

oleh pihak penjual maupun pihak calon pembeli. Akan tetapi perlu diperhatikan

terutama dari segi pihak penjual, karena pihak penjual lah yang secara sepihak

mengkonsep dan membentuk PPJB SRS, sehingga seharusnya itikad baik

tercermin dalam setiap klausula perjanjian yang terdapat dalam PPJB SRS

tersebut. Sedangkan pihak calon pembeli yang telah sepakat dan menandatangani

PPJB SRS juga harus dengan itikad baik menerima klausula-klausula PPJB SRS

tersebut. Pada prakteknya, banyak terjadi dimana pihak penjual tidak dengan

itikad baik dalam membuat secara sepihak klausula-klausula dalam PPJB SRS,

dimana klausula-klusula yang dibuat dalam PPJB SRS lebih menguntungkan

pihaknya dan sangat merugikan bagi pihak calon pembeli.

Para pihak, baik pihak penjual maupun pihak calon pembeli juga

seharusnya melaksanakan PPJB SRS tersebut dengan itikad baik, karena telah

terjadi kesepakatan antara para pihak tersebut dan telah menandatangani PPJB

SRS tersebut. Namun dalam praktek dan kenyataannya seringkali terjadi tidak

terdapat itikad baik dalam penyusunan dan pelaksanaan PPJB SRS tersebut baik

dari pihak penjual maupun pihak calon pembeli.

4.2. HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK

PPJB SRS ini merupakan suatu Perikatan dengan Ketentuan Waktu

sehingga terdapat hak dan kewajiban yang lahir antara para pihak baik pihak

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 106: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

penjual maupun pihak calon pembeli dan harus dipenuhi oleh para pihak

sebagaimana termuat dalam PPJB SRS.167

Karena dalam hal ini PPJB SRS telah menimbulkan suatu perikatan maka

dengan demikian timbul hak dan kewajiban dari para pihak baik dari pihak

penjual atau pihak pertama maupun dari pihak calon pembeli atau pihak kedua.

Berdasarkan klausula-klausula yang terdapat di dalam PPJB SRS Permata

Gandaria tersebut, Hak yang dimiliki oleh Pihak Penjual atau Pihak Pertama

antara lain:

1. Dibebaskan dari tuntutan atau gugatan pihak manapun apabila SRS tidak

dipergunakan oleh pihak calon pembeli sebagaimana mestinya yaitu sebagai

Rumah Tinggal (Pasal 2 ayat (4) PPJB SRS);

2. Mendapatkan hak dan kuasa untuk mematikan aliran listrik dan aliran air

bersih atau minum, sambungan telepon atau menutup tempat tersebut apabila

pihak calon pembeli menggunakan SRS tersebut untuk tujuan lain dari pada

Rumah Tinggal atau tujuan komersil termasuk tetapi tidak terbatas pada

kantor, restoran, toko, mini market, musik hidup, karaoke dan bar, dimana

pihak calon pembeli tidak dapat menuntut atas kerugian dalam bentuk apapun

apabila hal ini terjadi (Pasal 2 ayat (5) PPJB SRS);

3. Menerima pembayaran atas jual beli SRS sebesar US$182,543.00 (Seratus

delapan puluh dua ribu lima ratus empat puluh tiga Dollar Amerika Serikat)

dari pihak calon pembeli (Pasal 3 ayat (1) jo. Pasal 4 ayat (1) PPJB SRS);

4. Pembayaran yang dilakukan oleh pihak calon pembeli dengan

mempergunakan cek atau bilyet giro hanya dianggap sah oleh pihak penjual

apabila dananya telah dapat dicairkan atau dipindah-bukukan oleh pihak

penjual (Pasal 4 ayat (3) PPJB SRS);

167Jual beli sudah pasti terjadi karena perikatan dengan ketentuan waktu tidak

menangguhkan perikatannya tetapi hanya menangguhkan pembuatan akta jual beli saja, dimana

akta jual beli nantinya pasti akan dibuat dan ditandatangani oleh kedua belah pihak dihadapan

PPAT yang berwenang.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 107: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

5. Menerima pembayaran dari pihak calon pembeli di kantor pihak penjual atau

langsung kepada rekening pihak penjual pada bank yang telah ditunjuk oleh

pihak penjual (Pasal 4 ayat (5) PPJB SRS);

6. Uang muka sebesar 5 % dari Nilai Pengikatan yang telah dibayarkan oleh

pihak calon pembeli menjadi milik pihak penjual apabila pihak calon pembeli

terkena sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 7 PPJB SRS (Pasal 7 ayat

(2.3.1 a) PPJB SRS);

7. Memiliki hak dan kuasa yang tidak dapat dicabut kembali dan tidak berakhir

karena sebab-sebab sesuai Pasal 1813 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

untuk mengosongkan SRS tersebut dan apabila perlu dengan bantuan pihak

yang berwenang dan melakukan upaya hukum yang diperlaukan untuk

menguasai kembali SRS tersebut apabila dalam jangka waktu 1 bulan

terhitung sejak jatuh waktu pengosongan pihak calon pembeli masih belum

menyerahkan SRS dalam keadaan kosong dan baik kepada pihak penjual

(Pasal 7 ayat (2.6) jo. Pasal 7 ayat (2.5) PPJB SRS);

8. Menerima pembayaran biaya administrasi sebesar 10 % dari Nilai Pengikatan

antara pihak penjual dengan pihak calon pembeli pada tahun pertama dan

untuk tahun selanjutnya 5 % dari Nilai Pengikatan, dalam hal terjadi

pengalihan atas SRS tersebut kepada pihak lain (Pasal 8 ayat (1.2) PPJB SRS);

9. Menerima pemberitahuan secara tertulis dari pihak calon pembeli untuk setiap

tindakan hukum setelah ditandatanganinya akta PPAT (Pasal 8 ayat (3.1)

PPJB SRS);

10. Apabila pihak calon pembeli tidak memenuhi ketentuan untuk membayar

pajak-pajak dan biaya-biaya dalam jangka waktu 7 hari kalender terhitung dari

tanggal jatuh tempo pembayaran maka pihak penjual berhak untuk

menghentikan semua fasilitas ke dalam SRS termasuk tetapi tidak terbatas

mematikan aliran listrik, saluran telepon dan aliran air bersih atau minum

(Pasal 9 ayat (2) PPJB SRS);

11. Menunjuk PPAT yang berwenang dalam hal pembuatan Akta Jual Beli SRS

(Pasal 10 PPJB SRS);

12. Menetapkan Biaya Pengelolaan atau Pemeliharaan atau Perawatan SRS

kepada pihak calon pembeli (Pasal 11 ayat (1) PPJB SRS);

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 108: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

13. Mengadakan kerjasama dan menunjuk pihak lain dalam pelaksanaan

pengelolaan atas rumah susun tersebut (Pasal 11 ayat (2) PPJB SRS);

14. Membuat Perjanjian Pengelolaan dengan pihak calon pembeli dan Tata Tertib

Pengelolaan Rumah Susun Permata Gandaria yang harus ditaati oleh pihak

calon pembeli selama Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga

Perhimpunan Penghuni Rumah Susun belum terbentuk (Pasal 11 ayat (3)

PPJB SRS);

15. Meninjau kembali Biaya Pengelolaan dan Perawatan Rumah Susun Permata

Gandaria (Pasal 11 ayat (4) PPJB SRS);

16. Tidak akan melayani dan berhubungan dengan pihak lain yang menyatakan

mempunyai hak atas apa yang diperjanjikan dalam PPJB SRS ini dan hanya

mengakui hak-hak dan kepentingan-kepentingan pihak calon pembeli yang

timbul berdasarkan PPJB SRS ini (Pasal 14 PPJB SRS).

Kewajiban yang dimiliki oleh Pihak Penjual atau Pihak Pertama antara lain:

1. Menyerahkan SRS dan hak-hak yang melekat kepada SRS tersebut, yaitu hak

atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama dan segala sesuatu

yang ada diatasnya kepada pihak calon pembeli sesuai dengan pertelaan pada

waktunya apabila syarat-syarat dan ketentuan lain dalam PPJB SRS ini

dipenuhi oleh pihak calon pembeli (Pasal 2 ayat (1) PPJB SRS);

2. Menyerahkan SRS kepada pihak calon pembeli setelah pihak calon pembeli

telah melunasi seluruh Nilai Pengikatan, denda-denda, biaya administrasi dan

biaya-biaya lainnya yang terutang (jika ada), yang dibuktikan oleh tanda

terima yang ditandatangani oleh pihak penjual atau wakilnya yang sah dan jika

bangunan SRS nya telah selesai. Dengan ketentuan bahwa penyerahan

selambat-lambatnya akan dilaksanakan pada Maret 1997 yang dibuktikan

dengan Berita Acara Penyerahan yang dibuat dan ditandatangani oleh para

pihak atau wakil-wakilnya yang sah kecuali terjadi force majeure sesuai Pasa1

12 PPJB SRS ini (Pasal 5 ayat (1) PPJB SRS);

3. Memberikan jaminan bahwa SRS tersebut tidak dikenakan sesuatu sitaan dan

SRS tersebut adalah milik atau haknya pihak penjual dan hanya dapat dijual

atau dipindahtangankan oleh pihak penjual serta pihak calon pembeli tidak

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 109: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

akan mendapat sesuatu tuntutan dari pihak lain yang menyatakan mempunyai

hak terlebih dahulu atau turut mempunyai hak atasnya (Pasal 6 PPJB SRS);

4. Membayar denda kepada pihak calon pembeli kecuali apabila disebabkan oleh

force majeure dalam hal setiap keterlambatan atas penyerahan SRS oleh pihak

penjual yang melebihi 90 hari, dalam hal keterlambatan ini akan dikenakan

denda yaitu: Bagi paket pembayaran dalam US$ akan dikenakan denda

sebesar 0.75 % per bulan dihitung dari setiap hari keterlambatan dari jumlah

uang yang telah diterima oleh pihak penjual dari pihak calon pembeli;

sedangkan untuk paket pembayaran Rupiah akan dikenakan denda sebesar 2

% per bulan dihitung setiap hari keterlambatan dari jumlah uang yang telah

diterima oleh pihak penjual dari pihak calon pembeli. Dimana denda wajib

dibayarkan oleh pihak penjual kepada pihak calon pembeli pada saat serah

terima SRS dilaksanakan (Pasal 7 ayat (1) PPJB SRS);

5. Memberitahukan kepada pihak calon pembeli secara tertulis apabila terjadi

force majeure selambat-lambatnya 14 hari setelah terjadinya force majeure

tersebut (Pasal 12 ayat (4) PPJB SRS);

6. Memberitahukan secara tertulis apabila terjadi perpindahan alamat kepada

pihak lainnya selambat-lambatnya 7 hari kalender sejak saat kepindahan

tersebut (Pasal 13 ayat (2) PPJB SRS);

7. Mengakui hak-hak dan kepentingan-kepentingan hanya dari pihak calon

pembeli saja yang timbul berdasarkan PPJB SRS ini (Pasal 14 PPJB SRS);

8. Menandatangani semua lampiran dalam PPJB SRS ini menyatakan bersama-

sama dengan pihak calon pembeli bahwa segala perubahan terhadap lampiran

tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dari PPJB SRS ini

(Pasal 15 ayat (6) PPJB SRS);

9. Pada saat PPJB SRS ditandatangani maka semua ketentuan yang ada dan yang

dibaca serta ditandatangani dalam PPJB SRS ini oleh pihak penjual dan pihak

calon pembeli adalah mengikat bagi kedua belah pihak dan tidak ada

ketentuan lisan lainnya yang mengikat kedua belah pihak selain daripada

PPJB SRS ini (Pasal 15 ayat (7) PPJB SRS).

Hak yang dimiliki oleh Pihak Calon Pembeli atau Pihak Kedua antara lain:

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 110: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

1. Menerima penyerahan SRS dan hak-hak yang melekat kepada SRS tersebut,

yaitu hak atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama dan segala

sesuatu yang ada diatasnya dari pihak penjual sesuai dengan pertelaan pada

waktunya apabila syarat-syarat dan ketentuan lain dalam PPJB SRS ini

dipenuhi oleh pihak calon pembeli (Pasal 2 ayat (1) PPJB SRS);

2. Menerima penyerahan SRS dari pihak penjual setelah pihak calon pembeli

telah melunasi seluruh Nilai Pengikatan, denda-denda, biaya administrasi dan

biaya-biaya lainnya yang terutang (jika ada), yang dibuktikan oleh tanda

terima yang ditandatangani oleh pihak penjual atau wakilnya yang sah dan jika

bangunan SRS nya telah selesai. Dengan ketentuan bahwa penyerahan

selambat-lambatnya akan dilaksanakan pada Maret 1997 yang dibuktikan

dengan Berita Acara Penyerahan yang dibuat dan ditandatangani oleh para

pihak atau wakil-wakilnya yang sah kecuali terjadi force majeure sesuai Pasa1

12 PPJB SRS ini (Pasal 5 ayat (1) PPJB SRS);

3. Keterlambatan pembangunan SRS yang akan diserahterimakan kepada pihak

calon pembeli tidak dapat dikaitkan atau dihubungkan dengan cara

pembayaran yang wajib dilakukan oleh pihak calon pembeli (Pasal 5 ayat (2)

PPJB SRS);

4. Dapat langsung menghuni SRS terhitung sejak tanggal penyerahan SRS

tersebut dengan ketentuan bahwa terhitung sejak saat tersebut pihak calon

pembeli telah berkewajiban untuk menanggung biaya pemakaian listrik,

telepon, air bersih atau minum, biaya pengelolaan, pemeliharaan atau

perawatan, Pajak Bumi dan Bangunan serta iuran-iuran lainnya sehubungan

dengan kepemilikan SRS tersebut sesuai pasal 9 ayat (1) PPJB SRS ini (Pasal

5 ayat (4) PPJB SRS);

5. Menerima pembayaran denda dari pihak penjual kecuali apabila disebabkan

oleh force majeure dalam hal terjadi keterlambatan atas penyerahan SRS oleh

pihak penjual yang melebihi 90 hari maka bagi pihak penjual akan dikenakan

denda yang harus dibayarkan kepada pihak calon pembeli yaitu: Bagi paket

pembayaran dalam US$ akan dikenakan denda sebesar 0.75 % per bulan

dihitung dari setiap hari keterlambatan dari jumlah uang yang telah diterima

oleh pihak penjual dari pihak calon pembeli; sedangkan untuk paket

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 111: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

pembayaran Rupiah akan dikenakan denda sebesar 2 % per bulan dihitung

setiap hari keterlambatan dari jumlah uang yang telah diterima oleh pihak

penjual dari pihak calon pembeli. Dimana denda wajib dibayarkan oleh pihak

penjual kepada pihak calon pembeli pada saat serah terima SRS dilaksanakan

(Pasal 7 ayat (1) PPJB SRS);

6. Dalam hal pihak calon pembeli meninggal dunia sedangkan kewajiban-

kewajiban dalam PPJB SRS ini belum dilaksanakan seluruhnya, maka para

ahli waris dan atau pengganti hak dari pihak calon pembeli yang sah menurut

Undang-Undang dalam jangka waktu 40 hari sejak saat meninggalnya pihak

kedua maka wajib ditunjuk dan diberikan kuasa kepada salah seorang

diantaranya atau penerus dan atau pengganti haknya yang sah untuk mewakili

meneruskan kewajiban hukum atau memperoleh hak berdasarkan PPJB SRS

ini dengan bukti berupa keterangan warisan dari pihak yang berwenang (Pasal

8 ayat (2.2) PPJB SRS);

7. Diakui sebagai counter part oleh pihak penjual serta diakui juga mengenai

hak-hak dan kepentingan-kepentingan dari pihak calon pembeli oleh pihak

penjual yang timbul dalam PPJB SRS ini (Pasal 14 PPJB SRS)

Kewajiban yang dimiliki oleh Pihak Calon Pembeli atau Pihak Kedua antara

lain:

1. Hanya diperkenankan menggunakan SRS sebagaimana yang dimaksud dalam

PPJB SRS ini khusus untuk Rumah Tinggal (Pasal 2 ayat (3) PPJB SRS);

2. Membebaskan pihak penjual dari tuntutan atau gugatan pihak manapun

apabila SRS tidak dipergunakan oleh pihak calon pembeli sebagaimana

mestinya yaitu sebagai Rumah Tinggal (Pasal 2 ayat (4) PPJB SRS);

3. Membayar harga atas jual beli SRS sebesar US$182,543.00 (Seratus delapan

puluh dua ribu lima ratus empat puluh tiga Dollar Amerika Serikat)kepada

pihak penjual (Pasal 3 ayat (1) jo. Pasal 4 ayat (1) PPJB SRS);

4. Melunasi pembayaran uang muka dan memenuhi syarat-syarat yang

ditetapkan oleh bank apabila pembayaran kepada pihak penjual akan

dilaksanakan melalui Kredit Pemilikan Rumah Susun (KPRS) melalui bank

yang ditunjuk oleh pihak penjual (Pasal 4 ayat (2) PPJB SRS);

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 112: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

5. Pembayaran yang dilakukan oleh pihak calon pembeli dengan

mempergunakan cek atau bilyet giro hanya dianggap sah oleh pihak penjual

apabila dananya telah dapat dicairkan atau dipindah-bukukan oleh pihak

penjual (Pasal 4 ayat (3) PPJB SRS);

6. Melakukan pembayaran di kantor pihak penjual atau langsung kepada

rekening pihak penjual pada bank yang telah ditunjuk oleh pihak penjual

(Pasal 4 ayat (5) PPJB SRS);

7. Mencantumkan nama pembeli dan nomor unit dan memberikan salinan bukti

transfer kepada pihak penjual yang berwenang dan/atau yang ditunjuk oleh

pihak penjual dalam setiap pembayaran yang dilakukan melalui transfer (Pasal

4 ayat (6) PPJB SRS);

8. Pembayaran harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam

PPJB SRS ini, dimana pembayaran yang tidak dilakukan sesuai dengan

ketentuan yang tercantum dalam PPJB SRS ini dianggap tidak pernah

dilaksanakan dan pihak calon pembeli bertanggung jawab atas segala resiko

yang timbul sebagai akibat dari tindakannya tersebut (Pasal 4 ayat (7) PPJB

SRS);

9. Dalam jangka waktu 14 hari kerja terhitung sejak penyerahan SRS, pihak

calon pembeli harus menyampaikan daftar secara tertulis kepada pihak penjual

yang memuat permohonan mengenai bagian-bagian atau pekerjaan yang harus

diperbaiki oleh pihak penjual, apabila dalam jangka waktu tersebut pihak

calon pembeli tidak menyampaikan daftar tersebut maka pihak calon pembeli

dianggap telah menerima dengan baik SRS tersebut (Pasal 5 ayat (3) PPJB

SRS);

10. Terhitung sejak tanggal penyerahan SRS tersebut dengan ketentuan bahwa

terhitung sejak saat tersebut pihak calon pembeli telah berkewajiban untuk

menanggung biaya pemakaian listrik, telepon, air bersih atau minum, biaya

pengelolaan, pemeliharaan atau perawatan, Pajak Bumi dan Bangunan serta

iuran-iuran lainnya sehubungan dengan kepemilikan SRS tersebut sesuai pasal

9 ayat (1) PPJB SRS ini (Pasal 5 ayat (4) PPJB SRS);

11. Semua perubahan dan atau penambahan yang dilakukan atas SRS setelah

tanggal penyerahan harus memperoleh persetujuan tertulis terlebih dahulu dari

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 113: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

pihak penjual dan harus dilaksanakan oleh pihak yang ditunjuk oleh pihak

penjual dengan ketentuan bahwa semua biaya yang timbul sehubungan dengan

perubahan dan atau penambahan tersebut menjadi resiko dan harus dibayar

oleh pihak calon pembeli, dengan ketentuan bahwa perubahan dan atau

penambahan tersebut tidak menimbulkan gangguan atau merugikan penghuni

SRS lainnya (Pasal 5 ayat (5) PPJB SRS);

12. Segala resiko dan akibat hukum yang timbul sehubungan dengan perubahan

dan atau penambahan yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih

dahulu dari pihak penjual adalah menjadi resiko dan tanggung jawab pihak

calon pembeli sendiri sepenuhnya, dan sehubungan dengan hal ini maka pihak

calon pembeli sekarang untuk nanti pada waktunya akan membebaskan pihak

penjual dari tuntutan pihak manapun juga mengenai hal tersebut (Pasal 5 ayat

(6) PPJB SRS);

13. Dalam hal pihak calon pembeli dengan alasan apapun tidak melaksanakan

setiap kewajiban untuk membayar angsuran tepat pada waktunya sebagaimana

tersebut dalam Pasal 4 ayat (1) PPJB SRS ini, maka untuk setiap

keterlambatan pembayaran yang melebihi 7 hari, pihak calon pembeli

dikenakan denda sebagai berikut: untuk paket pembayaran dalam US$, denda

akan dikenakan sebesar 0.3 0/00 (nol koma tiga permil) per hari keterlambatan

dari jumlah uang yang harus dibayarkan oleh pihak calon pembeli kepada

pihak penjual dengan maksimum keterlambatan selama 30 hari sedangkan

untuk paket pembayaran dalam Rupiah, denda akan dikenakan sebesar 1 0/00

(satu per mil) per hari keterlambatan dari jumlah uang yang harus dibayarkan

oleh pihak calon pembeli kepada pihak penjual dengan maksimum

keterlambatan selama 30 hari. Pembayaran denda wajib dibayarkan oleh pihak

calon pembeli selambat-lambatnya pada angsuran berikutnya (Pasal 7 ayat

(2.2.1) PPJB SRS);

14. Tanpa mengurangi berlakunya ketentuan mengenai denda, apabila pihak calon

pembeli masih tetap tidak melaksanakan kewajiban untuk membayar

angsuran, iuran-iuran atau pembayaran-pembayaran lainnya yang wajib

dibayar oleh pihak calon pembeli dalam PPJB SRS ini sebanyak 2 kali

berturut-turut atau 3 kali tidak berturut-turut maka PPJB SRS ini menjadi batal

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 114: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

demi hukum. Dalam hal terjadinya pembatalan tersebut para pihak sepakat

untuk melepaskan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1266 dan

Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Pasal 7 ayat (2.2.2) PPJB

SRS);

15. Sehubungan dengan pembatalan PPJB SRS ini, maka pihak calon pembeli

berkewajiban untuk mengosongkan SRS tersebut dalam jangka waktu 14 hari

terhitung sejak pihak calon pembeli menerima surat pemberitahuan

pembatalan yang harus dibuktikan secara tertulis atau tanda penerimaan yang

selayaknya (Pasal 7 ayat (2.4) PPJB SRS);

16. Apabila dalam jangka waktu 14 hari terhitung sejak pihak calon pembeli

menerima surat pemberitahuan pembatalan yang harus dibuktikan secara

tertulis atau tanda penerimaan yang selayaknya, pihak calon pembeli tidak

melaksanakan pengosongan maka pihak calon pembeli akan dikenakan denda

sebesar US$ 250.00 per hari keterlambatan, terhitung jatuh waktu sampai

dipenuhinya kewajiban tersebut (Pasal 7 ayat(2.5) PPJB SRS);

17. Selama pihak calon pembeli belum menandatangani akta PPAT, pihak calon

pembeli tidak berhak mengalihkan dengan cara apapun juga atau menyewakan

kepada pihak lain SRS tersebut tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari

pihak penjual (Pasal 8 ayat (1.1) PPJB SRS);

18. Membayar biaya administrasi sebesar 10 % dari Nilai Pengikatan antara pihak

penjual dengan pihak calon pembeli pada tahun pertama dan untuk tahun

selanjutnya 5 % dari Nilai Pengikatan, dalam hal terjadi pengalihan atas SRS

tersebut kepada pihak lain (Pasal 8 ayat (1.2) PPJB SRS);

19. Jika pihak calon pembeli melakukan pelanggaran dalam hal pengalihan dan

pengoperan hak maka PPJB SRS ini menjadi batal dan terhadap pihak calon

pembeli dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 7

ayat (2.2.3) sampai Pasal 7 ayat (2.2.6) PPJB SRS ini (Pasal 8 ayat (1.5) PPJB

SRS);

20. Segala biaya yang timbul karena hal pewarisan adalah beban dari ahli waris

atau pengganti dari pihak calon pembeli (Pasal 8 ayat (2.3) PPJB SRS);

21. Setiap tindakan hukum setelah ditandatanganinya akta PPAT, pihak calon

pembeli harus menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 115: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

kepada pihak penjual atau Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (Pasal 8 ayat

(3.1) PPJB SRS);

22. Terhitung sejak diserahkannya SRS oleh pihak penjual kepada pihak calon

pembeli, maka sejak saat tersebut pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan

(PBB) adalah kewajiban pihak calon pembeli yang akan dibayarkan secara

langsung oleh pihak calon pembeli kepada pihak yang berwenang sesuai

dengan ketentuan PBB. Demikian juga semua iuran dan pajak-pajak lainnya

yang timbul berkaitan dengan SRS, biaya pemakaian listrik, telepon, air bersih

atau minum, biaya pengelolaan, pemeliharaan atau perawatan juga harus

dibayar oleh pihak calon pembeli (Pasal 9 ayat (1) PPJB SRS);

23. Pembayaran premi asuransi menjadi tanggung jawab pihak calon pembeli

sepenuhnya (Pasal 9 ayat (3) PPJB SRS);

24. Penandatanganan akta jual beli dihadapan PPAT dilaksanakan dengan syarat

pihak calon pembeli telah melaksanakan seluruh kewajiban pembayaran

beserta denda-denda serta biaya administrasi dan biaya-biaya lainnya yang

terhutang pada pihak penjual yang dibuktikan dengan tanda-tanda penerimaan

uang yang sah dari pihak penjual dan pihak calon pembeli telah

menandatangani Berita Acara Penyerahan SRS (Pasal 10 ayat (1) PPJB SRS);

25. Pada saat akta jual beli ditandatangani dihadapan PPAT, pihak calon pembeli

wajib menyerahkan kembali asli dari PPJB SRS ini kecuali AD/ART dan

Perjanjian Pengelolaan dan Tata Tertib (Pasal 10 ayat (2) PPJB SRS);

26. Mengikatkan diri dan tunduk pada AD dan ART dari PPRS termasuk dengan

penentuan Biaya Pengelolaan atau Pemeliharaan atau Perawatan yang

ditetapkan oleh pihak penjual (Pasal 11 ayat (1) PPJB SRS);

27. Setuju secara mutlak menunjuk pihak penjual sebagai Badan Pengelola

Rumah Susun Permata Gandaria sampai terbentuknya PPRS (Pasal 11 ayat (2)

PPJB SRS);

28. Tunduk dan taat pada Tata Tertib Pengelolaan Rumah Susun yang dibuat oleh

pihak penjual, dimana Tata Tertib tersebut dapat diubah dan atau ditambah

sewaktu-waktu (Pasal 11 ayat (3) PPJB SRS);

29. Wajib membayar dimuka biaya Pengelolaan dan Perawatan Rumah Susun

Permata Gandaria kepada pihak penjual sebesar US$ 1 per meter persegi per

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 116: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

bulan untuk 12 bulan terhitung dari tanggal serah terima dilaksanakan,

dihitung secara proporsional berdasarkan luas SRS dan harus dibayar untuk

jangka waktu 3 bulan sekaligus selambat-lambatnya setiap tanggal 10 dari

bulan berjalan (Pasal 11 ayat (4) PPJB SRS);

30. Apabila terjadi force majeure maka pihak calon pembeli harus

memberitahukan secara tertulis kepada pihak penjual selambat-lambatnya 14

hari setelah hal tersebut terjadi (Pasal 12 ayat (4) PPJB SRS);

31. Apabila terjadi perubahan alamat dari pihak calon pembeli maka pihak calon

pembeli wajib memberitahukan secara tertulis kepada pihak penjual selambat-

lambatnya 7 hari kalender sejak saat kepindahan tersebut (Pasal 13 PPJB

SRS);

32. Menandatangani semua lampiran dalam PPJB SRS ini dan menyatakan segala

perubahan merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dari PPJB SRS

ini (Pasal 15 ayat (6) PPJB SRS);

33. Mengikatkan diri dengan semua ketentuan yang ada dan yang dibaca dan

ditandatangani dalam PPJB SRS serta tidak ada ketentuan lisan lainnya yang

mengikat selain dari apa yang telah diperjanjikan dalam PPJB SRS ini (Pasal

15 ayat (7) PPJB SRS).

Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas terdapat 16 hak yang dimiliki

oleh pihak penjual dan 9 kewajiban yang dimiliki oleh pihak penjual sedangkan

hanya terdapat 7 hak yang dimiliki oleh pihak calon pembeli dan 33 kewajiban

pihak calon pembeli.

Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat ketimpangan dan

ketidaksetaraan antara pihak penjual dan pihak calon pembeli, dimana pihak

penjual memiliki hak yang lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan hak

yang dimiliki oleh pihak calon pembeli dan pihak calon pembeli memiliki

kewajiban yang lebih banyak daripada kewajiban yang dimiliki oleh pihak

penjual. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam PPJB SRS ini terjadi

ketidaksetaraan serta terdapat keadaan yang berat sebelah yang lebih

menguntungkan pihak penjual dan merugikan pihak calon pembeli, dalam hal ini

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 117: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

terjadi ketidakseimbangan antara kedudukan pihak penjual dengan pihak calon

pembeli.

Selain itu, hal-hal yang seringkali menyebabkan PPJB SRS berat sebelah

atau tidak seimbang yang seringkali menguntungkan pihak penjual dan merugikan

pihak calon pembeli, yaitu : Kurang adanya atau bahkan tidak adanya kesempatan

bagi salah satu pihak dalam hal ini pihak calon pembeli untuk melakukan tawar-

menawar, sehingga pihak calon pembeli tidak banyak memiliki kesempatan dan

waktu untuk mengetahui isi dari PPJB SRS tersebut. Apalagi, terdapat klausula

dalam PPJB SRS yang ditulis dengan perkataan yang sulit dimengerti. Karena

penyusunan PPJB SRS yang dilakukan secara sepihak, maka pihak penyedia PPJB

SRS dalam hal ini pihak penjual biasanya memiliki cukup banyak waktu untuk

memikirkan mengenai klausula-klausula dalam dokumen PPJB SRS tersebut,

bahkan mungkin saja telah terlebih dahulu berkonsultasi dengan para ahli.

Sedangkan, pihak yang diberikan PPJB SRS dalam hal ini pihak calon pembeli

tidak banyak memiliki kesempatan dan sering kali merasa awam atau tidak paham

dengan klausula-klausula tersebut. Pihak calon pembeli menempati kedudukan

yang tidak seimbang dibandingkan dengan kedudukan pihak penjual, sehingga

hanya dapat bersikap “Take it or leave it” terhadap PPJB SRS tersebut.

Pihak calon pembeli harus menyepakati dan menandatangani PPJB SRS

tersebut dan menerima segala hal yang telah “diatur” oleh pihak penjual dalam

PPJB SRS tersebut yang tentunya sangat menguntungkan pihak penjual sebagai

pembuat dari kontrak baku dalam PPJB SRS tersebut apabila hendak membeli

SRS Permata Gandaria tersebut.

Dalam hal ini menarik untuk diperhatikan keberadaan itikad baik baik dari

pihak penjual sebagai pihak yang membuat klausula-klausula dalam PPJB SRS.

Karena apabila dilihat dari uraian diatas, seakan-akan pihak penjual kurang

memiliki itikad baik dalam menyusun klausula-klausula PPJB SRS tersebut,

karena terdapat ketimpangan dan ketidakseimbangan dalam pengaturannya.

Dengan demikian, kedudukan pihak calon pembeli menjadi dirugikan dalam

beberapa klausula PPJB SRS tersebut.

Itikad baik dari pihak calon pembeli pun juga merupakan hal yang penting,

terutama dalam melaksanakan PPJB SRS tersebut. Seorang calon pembeli dapat

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 118: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

dikatakan beritikad baik tergantung pada tahu atau tidaknya calon pembeli

mengenai cacat hukum dalam transaksi tersebut. Jika yang bersangkutan

mengetahui adanya cacat hukum dalam transaksi itu namun ia tetap menutup

perjanjian, maka ia dikategorikan sebagai calon pembeli yang beritikad buruk.168

Barulah, misalkan, apabila ia hendak membeli suatu barang dengan penuh

kepercayaan bahwa si penjual sungguh-sungguh pemilik dari barang yang

dibelinya, maka ia disebut calon pembeli beritikad baik.169

Namun demikian, yurisprudensi Mahkamah Agung yang lebih baru

menunjukkan adanya pemikiran dari para hakim untuk membebani--tidak hanya

penjual--tetapi juga calon pembeli terkait pengungkapan fakta material.170 Di sini,

calon pembeli diwajibkan pula untuk terlebih dahulu secara cermat meneliti fakta-

fakta material. Konsep ini secara adil membagi tanggung jawab antara penjual dan

calon pembeli dalam suatu transaksi. Calon pembeli tidak lagi dipandang sebagai

pihak yang pasif, melainkan ia diharuskan meneliti fakta-fakta material. Manakala

calon pembeli lalai meneliti benda yang hendak dibeli, maka ia turut bertanggung

jawab atas kelalaiannya itu.

4.3. ITIKAD BAIK DARI PARA PIHAK

Itikad Baik seharusnya memegang peranan penting dalam pembentukkan

PPJB SRS, karena dengan adanya Itikad Baik yang diimplementasikan kepada

klausula-klausula yang terdapat dalam PPJB SRS, kedudukan antara penjual

sebagai pihak yang membuat PPJB SRS dan calon pembeli sebagai pihak yang

akhirnya menyepakati PPJB SRS menjadi lebih setara dan lebih seimbang.

168 Khairandy, op. cit., hal. 271.

169 Subekti, op. cit., hal. 41. 170 Lihat Putusan MARI No. 4340/K/pdt 1986 tanggal 28 Juni 1998 dan Putusan MARI

No. 1816/K/Pdt/1989 tanggal 22 Oktober 1992.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 119: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

J.M. van Dunne berpendapat bahwa daya berlaku itikad baik meliputi

seluruh proses perjanjian atau diibaratkan dengan “the rise and fall of contract”.

Dengan demikian, itikad baik meliputi tiga fase proses perjanjian, yaitu:171

1. pre contractuale fase (fase pra-kontrak),

2. contractuale fase (fase kontrak); dan

3. postcontractuale fase (fase post-kontrak).

Terdapat dua jenis itikad baik, yaitu :

1. Itikad Baik Subjektif

Itikad Baik yang memiliki arti kejujuran atau bersih, juga

merupakan Itikad Baik pada waktu mulai berlakunya hubungan hukum

dimana biasanya berupa pengiraan dalam hati sanubari yang

bersangkutan, bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi mulai

berlakunya hubungan hukum itu sudah dipenuhi semua.172

2. Itikad Baik Objektif

Itikad Baik yang memiliki pengertian menurut Profesor Subekti

bahwa pelaksanaan perjanjian itu harus berjalan dengan mengindahkan

norma-norma kepatutan dan kesusilaan. ukuran-ukuran objektif

dipakai untuk menilai pelaksanaan perjanjian tersebut, serta bahwa

pelaksanaan perjanjian harus berjalan di “rel” yang benar173

Dalam kenyataannya, kontrak baku yang terdapat dalam PPJB SRS

seringkali tidak memperhatikan itikad baik dalam pembentukkannya sehingga

banyak terdapat penyelewengan dan pelanggaran dalam pembentukkan PPJB SRS

yang dapat merugikan salah satu pihak.

Dalam PPJB SRS Permata Gandaria ini, perlu untuk dianalisa beberapa

klausula yang mencerminkan apakah terdapat asas Itikad baik atau tidak dalam

171 Hernoko, op. cit., hal. 118.

172 Prodjodikoro, op. cit., hal. 56.

173 Subekti , op. cit., hal. 41.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 120: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

klausula-klausula tersebut baik dari pihak penjual maupun dari pihak calon

pembeli.

Klausula-klausula yang menjadi kajian berikut ini mencerminkan

pemenuhan itikad baik oleh karena ketentuan-ketentuan tersebut merupakan

refleksi dari pelaksanaan itikad baik para pihak khusunya pada tahap penyusunan

kontrak (fase pra-kontrak)

Klausula-Klausula dalam PPJB SRS Permata Gandaria yang berpotensi di

dalamnya tidak terdapat Itikad Baik dari Pihak Penjual antara lain:

1. Pasal 7 ayat (1) PPJB SRS

Kecuali apabila disebabkan hal dalam Pasal 12 PPJB SRS, untuk setiap

keterlambatan atas penyerahan SRS oleh pihak pertama (penjual) kepada

pihak kedua (calon pembeli) maka keterlambatan SRS yang melebihi 90

(sembilan puluh) hari, pihak penjual akan dikenakan denda sebagai berikut : a.

Untuk paket pembayaran US$, denda dikenakan sebesar 0,75 % (nol koma

tujuh lima persen) per bulan keterlambatan dihitung setiap hari keterlambatan

dari jumlah uang yang telah diterima oleh pihak penjual dari pihak calon

pembeli dengan; b. Untuk pembayaran dengan Rupiah, denda dikenakan

sebesar 2% (dua persen) per bulan dihitung setiap hari keterlambatan dari

jumlah uang yang harus telah diterima oleh pihak penjual dari pihak calon

pembeli.

Klausula tersebut tidak mencerminkan adanya Itikad Baik Subjektif,

karena tidak mencakup adanya kejujuran atau suasana hati yang bersih dari

pihak penjual sebagai pihak yang membuat klausula ini karena penjual

sebenarnya dapat melakukan pengiraan dalam hati sanubarinya. Pihak Penjual

tidak sepenuhnya mengungkapkan mengenai fakta material terkait SRS

tersebut.Pihak penjual juga secara sewenang-wenang dan menyalahgunakan

posisi tawar dalam penentuan klausula tersebut. Hal ini nantinya akan

merugikan pihak calon pembeli, karena pihak penjual tidak sepenuhnya

mengungkapkan fakta material terkait waktu maksimum penyerahan SRS

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 121: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

tersebut, juga tidak mencantumkan kapan batas maksimum waktu dalam hal

keterlambatan penyerahan SRS tersebut kepada pihak calon pembeli.

Hal tersebut jelas mengindikasikan klausula ini dibuat dengan itikad yang

tidak baik, yang hanya menguntungkan pihak penjual dan tidak memberikan

kepastian bagi pihak calon pembeli dalam pre contractuale fase (fase pra-

kontrak);

2. Pasal 7 ayat (2.2.1) PPJB SRS

Dalam hal pihak kedua (calon pembeli), dengan alasan apapun tidak

melaksanakan setiap kewajiban untuk membayar angsuran tepat pada

waktunya sebagaimana tersebut dalam pasal 4.1, maka untuk setiap

keterlambatan pembayaran yang melebihi 7 (tujuh) hari, pihak kedua (calon

pembeli) dikenakan denda sebagai berikut : a. Untuk paket pembayaran US$,

denda dikenakan sebesar 0,3 0/00 (nol koma tiga permil) per hari

keterlambatan dari jumlah uang yang harus dibayar oleh pihak calon pembeli

dengan maksimum keterlambatan selama 30 (tiga puluh) hari; b. Untuk

pembayaran dengan Rupiah, denda dikenakan sebesar 1 0/00 (satu permil) per

hari keterlambatan dari jumlah uang yang harus dibayarkan oleh calon

pembeli dengan maksimum keterlambatan selama 30 (tiga puluh) hari.

Pembayaran denda wajib dibayarkan oleh pihak calon pembeli selambat-

lambatnya pada angsuran berikutnya.

Klausula tersebut tidak mencerminkan adanya Itikad Baik Subjektif,

karena tidak mencakup adanya kejujuran atau suasana hati yang bersih dari

pihak penjual sebagai pihak yang membuat klausula ini karena penjual

sebenarnya dapat melakukan pengiraan dalam hati sanubarinya bahwa

klausula ini akan merugikan calon pembeli. Pihak Penjual menyalahgunakan

posisi tawar dan sewenang-wenang dalam penentuan klausula tersebut. Hal

ini nantinya akan merugikan pihak calon pembeli, karena denda yang harus

dibayarkan oleh pihak calon pembeli apabila melakukan suatu kesalahan,

yaitu apabila tidak tepat waktu membayar angsuran jumlahnya lebih besar

(karena dihitung per hari keterlambatan) apabila dibandingkan dengan denda

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 122: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

yang harus dibayarkan oleh pihak penjual apabila terlambat dalam

menyerahkan SRS tersebut kepada pihak calon pembeli (karena dihitung per

bulan) berdasarkan Pasal 7 ayat (1) PPJB SRS.

Hal ini jelas menimbulkan kerugian bagi pihak calon pembeli, karena

sanksi berupa denda tidak seimbang antara kesalahan yang dilakukan oleh

pihak penjual dibandingkan dengan kesalahan yang dilakukan oleh pihak

calon pembeli, dimana jumlah denda yang harus dibayar oleh pihak calon

pembeli kepada pihak penjual jauh lebih besar daripada jumlah denda yang

harus dibayar oleh pihak penjual kepada pihak calon pembeli apabila masing-

masing pihak melakukan kesalahan, selain itu bagi pihak calon pembeli

ditentukan waktu maksimum keterlambatan pembayaran angsurannya yaitu 30

hari sedangkan bagi pihak penjual tidak ditentukan waktu maksimum kapan

SRS tersebut harus diberikan oleh pihak penjual kepada pihak calon pembeli.

Hal tersebut jelas mengindikasikan bahwa klausula ini dibuat dengan

itikad yang tidak baik, yang hanya menguntungkan pihak penjual dan

merugikan pihak calon pembeli dalam pre contractuale fase (fase pra-

kontrak);

3. Pasal 7 ayat (2.2.2) PPJB SRS

Bilamana pihak kedua (calon pembeli) masih tetap tidak melaksanakan

kewajiban untuk membayar angsuran, iuran-iuran atau pembayaran-

pembayaran lainnya yang wajib dibayar oleh pihak calon pembeli dalam

perjanjian ini sebanyak 2 (dua) kali berturut-turut atau 3 (tiga) kali tidak

berturut-turut, maka perjanjian ini menjadi batal demi hukum. Dalam hal

terjadinya pembatalan tersebut, Para Pihak sepakat untuk melepaskan

ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata

Klausula tersebut tidak mencerminkan adanya Itikad Baik Subjektif,

karena tidak mencakup adanya kejujuran atau suasana hati yang bersih dari

pihak penjual sebagai pihak yang membuat klausula ini karena penjual

sebenarnya dapat melakukan pengiraan dalam hati sanubarinya, bahwa

klausula tersebut nantinya akan merugikan pihak calon pembeli. Penjual

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 123: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

dengan sewenang-wenang dan menyalahgunakan posisi tawar dalam

menyusun klausula tersebut dengan ketentuan bahwa apabila calon pembeli

tidak melaksanakan pembayaran 2 kali berturut-turut atau 3 kali tidak

berturut-turut maka PPJB SRS ini langsung dapat menjadi batal demi hukum.

Padahal bisa saja terjadi bahwa pihak calon pembeli berada dalam keadaan

yang diluar kemampuan dan kehendaknya sehingga belum membayar

angsuran SRS tersebut atau misalnya ternyata calon pembeli telah membayar

sejumlah 75% dari total yang seharusnya dibayar, karena apabila batal demi

hukum maka keadaan akan kembali kepada keadaan semula dimana SRS

tersebut akan berpindah kembali kepada pihak penjual dan ini sangat

merugikan pihak calon pembeli yang telah membayar angsuran atas SRS

Permata Gandaria tersebut. Dengan adanya ketentuan untuk

mengenyampingkan dan melepaskan ketentuan-ketentuan yang tercantum

dalam Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 1267

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga akan merugikan pihak calon

pembeli karena pihak penjual dapat menyatakan PPJB SRS tersebut batal

tanpa perlu meminta pembatalan dari hakim dan juga pihak penjual dapat

langsung menyatakan PPJB SRS tersebut batal demi hukum. Pihak calon

pembeli pun terkait dengan klausula ini dapat kehilangan haknya untuk

membela haknya di muka pengadilan apabila menyetujui klausula PPJB SRS

ini, hal ini menunjukkan pihak penjual sewenang-wenang dalam menyusun

ketentuan klausula PPJB SRS ini

Hal tersebut jelas mengindikasikan klausula ini dibuat dengan itikad yang

tidak baik, yang hanya menguntungkan pihak penjual dan tidak memberikan

kepastian bagi pihak calon pembeli dalam pre contractuale fase (fase pra-

kontrak;

4. Pasal 7 ayat (2.6) PPJB SRS

Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak waktu

pengosongan, pihak kedua (calon pembeli) masih belum menyerahkan SRS

dalam keadaan kosong dan baik kepada pihak pertama (penjual), maka penjual

dengan ini diberi hak dan kuasa yang tidak dapat dicabut kembali dan tidak

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 124: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

akan berakhir karena sebab-sebab tersebut dalam Pasal 1813 KUHPerdata

untuk mengosongkan SRS tersebut dan apabila perlu dengan bantuan pihak

yang berwenang dan melakukan semua upaya hukum yang diperlukan untuk

menguasai kembali SRS tersebut, dengan ketentuan bahwa segala tanggung

jawab atas pembayaran biaya-biaya dan resiko yang timbul sehubungan

dengan pengosongan oleh pihak penjual menjadi tanggung jawab pihak calon

pembeli sepenuhnya

Klausula tersebut tidak mencerminkan adanya Itikad Baik Subjektif,

karena tidak mencakup adanya kejujuran atau suasana hati yang bersih dari

pihak penjual sebagai pihak yang membuat klausula ini karena penjual

sebenarnya dapat melakukan pengiraan dalam hati sanubarinya, bahwa

klausula tersebut nantinya akan merugikan pihak calon pembeli. Pihak penjual

menyalahgunakan posisi tawar dan sewenang-wenang kepada pihak calon

pembeli dengan menentukan bahwa apabila calon pembeli dalam waktu 1

(satu) bulan sejak waktu pengosongan masih belum menyerahkan SRS dalam

keadaan kosong, maka calon pembeli diwajibkan memberikan kuasa dan hak

kepada penjual untuk mengosongkan SRS tersebut, bahkan penjual dapat

meminta pihak ketiga untuk menguasai SRS tersebut bahkan dapat melakukan

segala penjual dapat melaukan upaya hukum yang diperlukan terkait

pengosongan SRS tersebut, serta semua biaya terkait pengosongan tersebut

menjadi tanggung jawab pihak calon pembeli, dalam hal ini terlihat kesemena-

menaan dari pihak penjual yang dengan seenaknya saja membuat klausula ini

tanpa mempertimbangkan kepentingan dari pihak calon pembeli

Hal tersebut jelas mengindikasikan bahwa klausula ini dibuat dengan

itikad yang tidak baik, yang hanya menguntungkan pihak penjual dan

merugikan pihak calon pembeli dalam pre contractuale fase (fase pra-

kontrak);

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 125: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

5. Pasal 15 ayat (1) PPJB SRS

Dalam hal terjadinya pembatalan perjanjian ini, para pihak setuju untuk

melepaskan atau mengenyampingkan ketentuan pasal 1266 dan 1267

KUHPerdata

Klausula tersebut tidak mencerminkan adanya Itikad Baik Subjektif,

karena tidak mencakup adanya kejujuran atau suasana hati yang bersih dari

pihak penjual sebagai pihak yang membuat klausula ini karena penjual

sebenarnya dapat melakukan pengiraan dalam hati sanubarinya. Pihak penjual

sewenang-wenang dan menyalahgunakan posisi tawar dalam menyusun

klausula ini karena dengan adanya ketentuan untuk mengenyampingkan dan

melepaskan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1266 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 1267 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata akan merugikan pihak calon pembeli karena pihak penjual

dapat menyatakan PPJB SRS tersebut batal tanpa perlu meminta pembatalan

dari hakim dan juga pihak penjual dapat langsung menyatakan PPJB SRS

tersebut batal demi hukum, sehingga keadaan akan kembali kepada keadaan

semula dimana SRS tersebut akan berpindah kembali kepada pihak penjual ;

Hal tersebut dengan jelas mengindikasikan bahwa klausula ini dibuat

dengan itikad yang tidak baik, yang hanya menguntungkan pihak penjual dan

merugikan pihak calon pembeli dalam pre contractuale fase (fase pra-

kontrak).

6. Pasal 15 ayat (2) PPJB SRS

Kelalaian-kelalaian para pihak dalam perjanjian ini cukup dibuktikan

dengan lewatnya waktu saja, sehingga teguran juru sita dan surat-suratnya

yang mempunyai kekuatan serupa tidak diperlukan lagi

Klausula tersebut tidak mencerminkan adanya Itikad Baik Subjektif,

karena tidak mencakup adanya kejujuran atau suasana hati yang bersih dari

pihak penjual sebagai pihak yang membuat klausula ini karena penjual

sebenarnya dapat melakukan pengiraan dalam hati sanubarinya, bahwa

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 126: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

klausula tersebut nantinya akan merugikan pihak calon pembeli. Penjual

dengan sewenang-wenang dan menyalahgunakan posisi tawar dalam

menyusun klausula tersebut karena penentuan waktu seringkali menjadi

permasalahan dan menjadi hal yang tidak jelas penentuannya sehingga

potensial menjadi permasalahan, selain itu terkadang terjadi kekhilafan

sehingga pihak calon pembeli lalai untuk membayar uang angsuran SRS dan

iuran-iuran serta pembayaran-pembayaran lainnya sehingga surat teguran dan

surat-surat lainnya juga diperlukan untuk memberikan peringatan kepada

pihak calon pembeli untuk melaksanakan kewajiban pembayarannya.

Hal tersebut jelas menunjukkan klausula ini dibuat dengan itikad yang

tidak baik, yang hanya menguntungkan pihak penjual dan merugikan serta

tidak memberikan kepastian kepada pihak calon pembeli dalam pre

contractuale fase (fase pra- kontrak).

Akan tetapi dalam PPJB SRS Permata Gandaria tersebut juga terdapat

Itikad Baik dari pihak Penjual yang secara jelas dan nyata dapat dilihat, antara

lain:

1. Pasal 6 PPJB SRS

Pihak pertama (penjual) menjamin bahwa SRS tersebut : a. Tidak

dikenakan suatu sitaan; b. Adalah milik dari pihak penjual dan hanya dapat

dijual/ dipindahtangankan oleh penjual, dan pihak kedua (calon pembeli) tidak

akan mendapat sesuatu tuntutan dari pihak lain yang menyatakan mempunyai

hak terlebih dahulu atau turut mempunyai hak atasnya

Klausula tersebut mencerminkan adanya Itikad Baik Subjektif, karena di

dalamnya terdapat kejujuran atau suasana hati yang bersih dari pihak penjual

sebagai pihak yang membuat klausula ini dimana penjual juga melakukan

pengiraan dalam hati sanubarinya, bahwa klausula tersebut nantinya akan

menguntungkan pihak calon pembeli. Pihak penjual dalam hal ini sepenuhnya

mengungkapkan informasi dan fakta material dengan baik terkait dengan

adanya jaminan bahwa SRS tersebut tidak dikenakan suatu sitaan dan tidak

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 127: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

akan ada tuntutan dari pihak lain terkait SRS tersebut. Jaminan ini merupakan

hal yang sangat penting bagi pihak calon pembeli. Jaminan tersebut dapat

memberikan rasa aman kepada pihak calon pembeli, sehingga apabila

kemudian calon pembeli menandatangani PPJB SRS tersebut maka dirinya

yakin bahwa SRS tersebut adalah hanya untuk calon pembeli tersebut dan

terbebas dari klaim dan gugatan dari pihak manapun.

Hal tersebut jelas menunjukkan klausula ini dibuat dengan itikad baik,

yaitu dengan memberikan kepastian dan rasa aman bagi pihak calon pembeli

dalam pre contractuale fase (fase pra-kontrak).

2. Adanya Lampiran Spesifikasi (lobby utama, unit hunian dan fasilitas gedung)

dan gambar denah yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan

dengan PPJB SRS

Adanya Lampiran Spesifikasi tersebut telah mencerminkan adanya Itikad

Baik Subjektif, karena di dalamnya terdapat kejujuran atau suasana hati yang

bersih dari pihak penjual sebagai pihak yang membuat lampiran ini dimana

penjual juga melakukan pengiraan dalam hati sanubarinya. Pihak Penjual

dalam hal ini mengungkapkan informasi dan fakta material dengan lengkap

dan baik, karena lampiran tersebut nantinya akan berguna bagi pihak calon

pembeli. Dengan adanya lampiran spesifikasi tersebut, maka calon pembeli

menjadi mendapatkan informasi secara menyeluruh mengenai spesifikasi apa

saja yang akan didapat nantinya setelah PPJB SRS tersebut ditandatangani

oleh kedua belah pihak. Hal ini penting karena calon pembeli dapat menegur

dan memprotes pihak penjual apabila ternyata nantinya spesifikasi yang

diterima tidak sesuai dan tidak sama dengan apa yang tercantum dalam

lampiran spesifikasi PPJB SRS Permata Gandaria tersebut. Lampiran

spesifikasi inilah yang juga dapat dijadikan dasar bagi calon pembeli agar

penjual memenuhi kewajibannya menyediakan dan memasang barang-barang

sesuai dengan apa yang tercantum dalam Lampiran spesifikasi PPJB SRS

Permata Gandaria tersebut.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 128: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa Lampiran Spesifikasi ini dibuat

dengan itikad baik, karena Penjual memberikan informasi dan

mengungkapkan fakta material yang cukup lengkap terkait spesifikasi dari

lobby utama, unit hunian SRS dan failitas gedung Permata Gandaria yang

berguna demi kepentingan pihak calon pembeli. dalam pre contractuale fase

(fase pra-kontrak) .

3. Adanya Lampiran mengenai Harga Jual Beli SRS Permata Gandaria dan Cara

Pembayaran

Klausula tersebut mencerminkan adanya Itikad Baik Subjektif, karena di

dalamnya terdapat kejujuran atau suasana hati yang bersih dari pihak penjual

sebagai pihak yang membuat klausula ini dimana penjual juga melakukan

pengiraan dalam hati sanubarinya, bahwa klausula tersebut nantinya akan

berguna pihak calon pembeli. Pihak Penjual memberikan informasi dan fakta

material dengan baik dan lengkap karena dengan adanya lampiran mengenai

Harga Jual Beli SRS Permata Gandaria dan Cara Pembayaran tersebut, maka

calon pembeli menjadi mendapatkan informasi secara menyeluruh mengenai

Harga Jual Beli dan Cara Pembayaran. Karena hal ini seringkali menjadi

masalah bagi kedua belah pihak, yaitu ketidaksamaan persepsi dalam hal

Harga Jual Beli dan Cara Pembayaran. Dengan adanya Lampiran ini

diharapkan terjadi kesamaan persepsi dan juga mengurangi potensi konflik

yang mungkin terjadi antara pihak penjual dan pihak calon pembeli, karena

dalam Lampiran ini sangat detail dan jelas pengaturannya dan juga kapan

waktu pembayarannya.

Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa Lampiran Spesifikasi ini dibuat

dengan itikad baik, dimana penjual memberikan informasi dan

mengungkapkan fakta material dengan baik dan lengkap yang berguna demi

kepentingan pihak calon pembeli dalam pre contractuale fase (fase pra

kontrak).

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 129: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Itikad Baik tidak hanya dilihat dari pihak penjual saja, akan tetapi perlu

juga dilihat dari pihak calon pembeli, dimana apabila pihak calon pembeli sepakat

dan menandatangani PPJB SRS tersebut maka calon pembeli harus dengan itikad

baik melaksanakan klausula-klausula yang terdapat dalam PPJB SRS tersebut,

adapun hal yang dapat dilihat dari PPJB SRS Permata Gandaria yang

ditandatangani oleh pihak penjual dan pihak calon pembeli, yaitu :

Pihak Calon Pembeli meminta semua informasi dan pengungkapan seluruh

fakta material SRS dari pihak penjual, cermat meneliti fakta-fakta material

tersebut dan menyetujui semua klausula yang terdapat dalam PPJB SRS

Permata Gandaria

Hal tersebut mencerminkan adanya Itikad Baik Subjektif, karena di

dalamnya terdapat kejujuran atau suasana hati yang bersih dari pihak calon

pembeli untuk meminta semua informasi dan meminta penjual untuk

mengungkap seluruh fakta material dari SRS Permata Gandaria, calon pembeli

juga cermat meneliti fakta-fakta material tersebut serta calon pembeli juga

menyetujui klausula-klausula yang terdapat dalam PPJB SRS Permata

Gandaria. Calon pembeli juga melakukan pengiraan dalam hati sanubarinya

dalam meyakinkan diri untuk kiranya dapat memenuhi semua klausula yang

terdapat dalam PPJB SRS tersebut. Hal ini tercermin dari paraf yang terdapat

di tiap lembar PPJB SRS serta tandatangan dari pihak calon pembeli yang

merupakan tanda persetujuan untuk melaksanakan PPJB SRS Permata

Gandaria tersebut.

Hal tersebut jelas mengindikasikan bahwa pihak calon pembeli dengan

itikad baik meminta penjual untuk memberikan seluruh informasi dan

mengungkap seluruh fakta material, cermat meneiliti fakta material serta

setuju dan menandatangani PPJB SRS Permata Gandaria tersebut.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 130: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

4.4. ITIKAD BAIK DAN PERLINDUNGAN BAGI CALON PEMBELI

PPJB SRS erat kaitannya dengan itikad baik, dimana para pihak dalam

suatu kontrak memiliki kewajiban untuk menjelaskan dan meneliti fakta material

yang berkaitan dengan kontrak tersebut. Standar itikad baik pelaksanaan kontrak

adalah standar obyektif, dimana dengan standar ini perilaku para pihak dalam

melaksanakan dan melakukan penilaian terhadap isi kontrak harus didasarkan

pada prinsip kerasionalan dan kepatutan serta kontrak tidak hanya dilihat dari apa

yang secara tegas diperjanjikan tetapi juga harus memperhatikan faktor-faktor

eksternal yang dapat mempengaruhi pelaksanaan dari kontrak tersebut.174

Ketentuan hukum mengatakan bahwa kontrak dalam hal ini PPJB SRS

Permata Gandaria, seperti juga perbuatan hukum lainnya, haruslah dibuat dengan

itikad baik. Jika suatu kontrak baku yang terdapat dalam PPJB SRS tersebut berat

sebelah, terlepas dari ada atau tidaknya unsur pengaruh tidak pantas, atau unsur

penyalahgunaan keadaan, sangat mungkin PPJB SRS Permata Gandaria dianggap

dibuat tidak dengan itikad baik, sehingga PPJB SRS tersebut dapat dianggap batal

demi hukum. Agar suatu PPJB SRS sah, maka hukum mempersyaratkan agar

kontrak tersebut dibuat dengan itikad baik.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ketentuan seperti ini dapat

kita lihat dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata alinea ketiga.

PPJB SRS yang sengaja didesain untuk memberatkan salah satu pihak, potensial

untuk melanggar prinsip itikad baik. Di samping itu, suatu kontrak baku yang

terdapat dalam PPJB SRS yang dibuat dengan itikad tidak baik akan merupakan

kontrak yang tidak mengandung unsur “suatu sebab yang halal” yang merupakan

syarat obyektif dari syarat sahnya suatu kontrak sehingga dapat menyebabkan

kontrak baku dalam PPJB SRS tersebut batal demi hukum, sehingga dalam hal ini

posisi calon pembeli cukup terlindungi.175

Itikad baik sangat penting bagi calon pembeli, karena itikad baik

merupakan salah satu “perlindungan” yang dimiliki oleh calon pembeli terutama

apabila dikaitkan dengan klausula-klausula baku yang terdapat dalam PPJB SRS

174Khairandy, op. cit., hal. 348. 175 Fuady, op. cit., hal. 82.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 131: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

yang dibuat sepihak oleh pihak penjual. Dimana dengan adanya itikad baik, pihak

penjual lebih menggunakan kejujuran atau suasana hati yang bersih sebagai pihak

yang membuat klausula dalam PPJB SRS serta penjual sebenarnya dapat

melakukan pengiraan dalam hati sanubarinya, tidak dengan sewenang-wenang,

serta tidak menyalahgunakan posisi tawar yang dimiliki penjual dalam menyusun

klausula dalam PPJB SRS tersebut. Serta memiliki keyakinan bahwa klausula-

klausula yang terdapat dalam PPJB SRS yang berbentuk kontrak baku tersebut

nantinya akan berguna dan menguntungkan bagi kedua belah pihak, dapat

membuat kesetaraan dan keseimbangan kedudukan antara pihak penjual dan pihak

calon pembeli. Sehingga dalam hal ini terdapat perlindungan bagi pihak calon

pembeli, apabila dengan kesadaran diri penuh di pihak penjual untuk mematuhi

dan mengimplementasikan asas itikad baik dalam seluruh klausula-klausula PPJB

SRS yang berbentuk kontrak baku tersebut.

Dengan adanya itikad baik maka diharapkan penjual dapat lebih

memperhatikan kepentingan calon pembeli, lebih berhati-hati dan semakin

mengedepankan itikad baik dalam merancang dan membuat klausula-klausula

yang terdapat dalam PPJB SRS

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 132: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

BAB 5

PENUTUP

5.1. KESIMPULAN

Berdasarkan analisa hukum pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil

beberapa kesimpulan:

1. Mengenai perspektif asas itikad baik terhadap kontrak baku khususnya pada

Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun

Itikad Baik seharusnya memegang peranan penting dalam pembentukkan

klausula kontrak baku dalam bentuk PPJB SRS, karena dengan adanya Itikad

Baik yang diimplementasikan kepada klausula-klausula yang terdapat dalam

PPJB SRS, kedudukan antara penjual sebagai pihak yang membuat PPJB SRS

dan calon pembeli sebagai pihak yang akhirnya menyepakati PPJB SRS

menjadi lebih setara dan lebih seimbang. Dengan adanya itikad baik, penjual

tidak sewenang-wenang dan tidak menyalahgunakan posisi tawar yang

dimiliki penjual dalam menyusun klausula dalam PPJB SRS tersebut. Pihak

penjual pun harusnya memiliki keyakinan bahwa klausula-klausula yang

terdapat dalam PPJB SRS yang berbentuk kontrak baku tersebut nantinya akan

berguna dan menguntungkan bagi kedua belah pihak.

Selain itu, daya berlaku itikad baik haruslah meliputi seluruh proses

perjanjian atau diibaratkan dengan “the rise and fall of contract”. Dengan

demikian, itikad baik harus meliputi tiga fase proses perjanjian, yaitu pre

contractuale fase (fase pra-kontrak), contractuale fase (fase kontrak); dan

postcontractuale fase (fase post-kontrak). Selain itu Itikad Baik Subjektif juga

merupakan hal yang penting dalam pra kontrak serta Itikad Baik Objektif juga

penting dalam hal pelaksanaan PPJB SRS. Akan tetapi dalam prakteknya

klausula kontrak baku dalam bentuk PPJB SRS seringkali merugikan salah

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 133: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

satu pihak yang dalam hal ini adalah pihak calon pembeli dan menguntungkan

pihak yang lain yaitu pihak penjual.

Dalam PPJB SRS yang merupakan suatu perikatan dengan ketentuan

waktu, seringkali terjadi ketidaksetaraan atau ketidakseimbangan kedudukan

antara pihak penjual dengan pihak calon pembeli, dimana pihak penjual selalu

berada dalam posisi yang kuat sedangkan pihak calon pembeli umumnya

berada dalam posisi yang lemah, serta terdapat banyak klausula yang berat

sebelah dalam PPJB SRS yang lebih menguntungkan pihak penjual dan

merugikan pihak calon pembeli. Selain itu, hal-hal yang seringkali

menyebabkan PPJB SRS berat sebelah atau tidak seimbang yang seringkali

menguntungkan pihak penjual dan merugikan pihak calon pembeli, yaitu:

Kurang adanya atau bahkan tidak adanya kesempatan bagi salah satu pihak

dalam hal ini pihak calon pembeli untuk melakukan tawar-menawar atau

negosiasi atas klausula-klausula baku yang diberikan oleh pihak penjual

kepada pihak calon pembeli dalam PPJB SRS tersebut. Hal ini disebabkan

karena pihak penjual telah menyiapkan terlebih dahulu syarat-syarat dan

klausula-klausula baku dalam suatu formulir perjanjian yaitu PPJB SRS yang

sudah dicetak, sehingga pihak calon pembeli tidak banyak memiliki

kesempatan dan waktu untuk mengetahui isi dari PPJB SRS tersebut, apalagi

terdapat klausula dalam PPJB SRS yang ditulis dengan perkataan yang sulit

dimengerti. Karena penyusunan PPJB SRS yang dilakukan secara sepihak,

maka pihak penyedia PPJB SRS dalam hal ini adalah pihak penjual biasanya

memiliki cukup banyak waktu untuk memikirkan dan merancang mengenai

klausula-klausula dalam PPJB SRS tersebut, bahkan mungkin saja telah

terlebih dahulu berkonsultasi dengan para ahli, sehingga banyak klausula yang

terdapat dalam PPJB SRS tersebut yang menguntungkan pihak penjual

sedangkan pihak yang diberikan PPJB SRS dalam hal ini pihak calon pembeli

tidak banyak memiliki kesempatan dan sering kali merasa awam atau tidak

paham dengan klausula-klausula yang terdapat dalam PPJB SRS tersebut;

Pihak yang diberikan PPJB SRS dalam hal ini pihak calon pembeli hanya

dapat bersikap “Take it or leave it” terhadap PPJB SRS tersebut. Oleh karena

itu kesadaran oleh pihak penjual sebagai pihak yang membuat PPJB SRS

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 134: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

secara sepihak, untuk mematuhi dan mengimplementasikan itikad baik dalam

PPJB SRS tersebut merupakan hal yang sangat penting, sehingga kedudukan

antara pihak penjual dan pihak calon pembeli dapat setara dan seimbang.

2. Mengenai asas itikad baik memberikan perlindungan bagi Calon Pembeli

terkait dengan kontrak baku yang terdapat dalam Perjanjian Pengikatan Jual

Beli Satuan Rumah Susun

PPJB SRS berkaitan erat dengan itikad baik, dimana para pihak dalam

suatu kontrak memiliki kewajiban untuk menjelaskan dan meneliti fakta

material yang berkaitan dengan kontrak tersebut. Standar itikad baik

pelaksanaan kontrak adalah standar obyektif, dimana dengan standar ini

perilaku para pihak dalam melaksanakan dan melakukan penilaian terhadap isi

kontrak harus didasarkan pada prinsip kerasionalan dan kepatutan serta

kontrak tidak hanya dilihat dari apa yang secara tegas diperjanjikan tetapi juga

harus memperhatikan faktor-faktor eksternal yang dapat mempengaruhi

pelaksanaan dari kontrak tersebut.

Seringkali terdapat banyak pelanggaran terhadap asas-asas dalam hukum

kontrak dalam pembentukkan suatu PPJB SRS. Hal ini ditunjukkan dengan

banyaknya ketidaksetaraan dan ketidakseimbangan kedudukan diantara pihak

penjual dengan pihak calon pembeli dalam klausula-klausula PPJB SRS.

Dengan adanya asas itikad baik, diharapkan bisa menjadi “pelindung” bagi

pihak calon pembeli dalam hal pihak penjual lebih menggunakan kejujuran

atau suasana hati yang bersih, tidak sewenang-wenang dan tidak

menyalahgunakan posisi tawar yang dimiliki penjual, serta melakukan

pengiraan dalam hati sanubarinya dalam menyusun dan mengkonsep dalam

PPJB SRS tersebut. Selain itu penjual harus yakin bahwa klausula tersebut

nantinya akan berguna dan menguntungkan bagi kedua belah pihak, serta

dapat membuat kesetaraan dan keseimbangan kedudukan antara pihak penjual

dan pihak calon pembeli. Sehingga dalam hal ini terjadi perlindungan bagi

pihak calon pembeli, apabila dengan kesadaran diri penuh di pihak penjual

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 135: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

untuk mematuhi dan mengimplementasikan asas itikad baik dalam seluruh

klausula-klausula PPJB SRS yang berbentuk kontrak baku tersebut.

5.2. SARAN

1. Pembentuk undang-undang diharapkan untuk membentuk undang-undang

yang khusus mengatur mengenai kontrak baku, karena kontrak baku

merupakan kontrak yang banyak digunakan di dalam praktek bisnis, selain itu

kontrak baku memiliki banyak jenis dan variasi sehingga diperlukan suatu

undang-undang yang menjadi dasar atau pedoman dalam pembentukkan suatu

kontrak baku yang berfokus kepada kesetaraan, keseimbangan kedudukan

diantara para pihak dalam kontrak baku dan adanya itikad baik para pihak

terkait kontrak baku tersebut;

2. Diperlukan adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur secara

detail dan terperinci mengenai keharusan pembuatan kontrak apapun termasuk

di dalamnya PPJB SRS dengan itikad baik, karena sulit jika hanya

mengharapkan kesadaran, kejujuran, hati yang bersih, moral yang baik dan

pengiraan sanubari untuk mematuhi dan mengimplementasikan itikad baik

dalam klausula-klausula PPJB SRS yang berbentuk kontrak baku dari pihak

penjual semata. Diperlukan adanya peraturan perundang-undangan dengan

sanksi yang tegas dan memaksa agar setiap kontrak apapun termasuk di

dalamnya PPJB SRS dibuat dengan berdasarkan asas itikad baik sehingga

kedudukan antara para pihak dalam kontrak dapat setara dan seimbang.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 136: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Asser, C.. Pedoman Untuk Pengajian Hukum Perdata. Jakarta: Dian Rakyat,

1991.

Badrulzaman, Mariam Darus. Aneka Hukum Bisnis. Bandung: Alumni, 1994.

Beatson, Jack dan Daniel Friedmann (ed.). Good Faith and Fault in Contract

Law. New York: Oxford University Press Inc., 2001.

Budiono, Herlien. Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia Hukum

Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia. Bandung: P.T.

Citra Aditya Bakti, 2006.

Cahyadi, Antonius dan E. Fernando M. Manullang. Pengantar ke Filsafat Hukum.

cet. 2. Jakarta: Kencana, 2008.

Collins, Hugh. The Law of Contract. Ed. 4. London: LexisNexis, 2003.

Fuady, Munir. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) Buku Kedua.

Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti, 2003.

Fried, Charles. Contract as Promise. Cambridge: Harvard University Press, 1981.

H.S., Salim. Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar

Grafika, 2003.

Hasbullah, Frieda Husni. Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak Yang Memberi

Kenikmatan Jilid 1. Jakarta: Ind Hill-Co, 2002.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 137: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Hatta, Sri Gambir Melati. Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama :

Pandangan Masyarakat Dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia.

Bandung: Alumni, 2000.

Hernoko, Agus Yudha. Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak

Komersial. cet. 1. Yogyakarta: LaksBang Mediatama, 2008.

Himpunan Kaidah Hukum Putusan Perkara dalam Buku Yurisprudensi

Mahkamah Agung R.I. Tahun 1969-2001. Jakarta: Mahkamah Agung R.I.,

2002.

Huijbers, Theo. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. cet. 8. Yogyakarta:

Kanisius, 1995.

Hutagalung, Arie S.. Condominium dan Permasalahannya. Depok: Badan

Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002.

Ibrahim, Johnny. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet. 3. Malang:

Bayumedia Publishing, 2007.

Jennings, Marianne M. Business: Its Legal, Ethical, and Global Environment. Ed.

7. Manson: Thomson West, 2006.

Khairandy, Ridwan. Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak. Jakarta: Program

Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.

Leder, Malcolm dan Peter Shears. Consumer Law. Ed. 4. London: Financial

Times Management, 1996.

Mamudji, Sri. et. al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan

Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 138: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Meliala, Djaja S. Masalah Itikad Baik dalam KUH Perdata. Cet. 1. Bandung:

Binacipta, 1987.

Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo. Bab-bab tentang Penemuan Hukum. cet. 1.

Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993.

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. cet. 3. Yogyakarta:

Liberty, 2002.

Miru, Ahmadi. Kontrak dan Perancangan Kontrak. Ed. 1. Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2008.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni, 1980.

_____________________. Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan

Perdagangan. Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti, 1992.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian.

Jakarta: P.T. Rajagrafindo Persada, 2004.

Panggabean, H.P. Praktik Standaard Contract (Perjanjian Baku) Dalam

Perjanjian Kredit Perbankan. Bandung: Alumni, 2012.

Prodjodikoro, Wirjono. Azas-Azas Hukum Perikatan. Bandung: Mandar Maju,

2000.

____________________. Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan

Tertentu. Bandung: Sumur Bandung, 1964.

Samsul, Inosensius. Perlindungan Konsumen: Kemungkinan Penerapan

Tanggung Jawab Mutlak. Cet. 1. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, 2004.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 139: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Satrio, J.. Hukum Perjanjian. Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti, 1992.

__________.Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya. Bandung: Alumni,

1993.

Sidabalok, Janus. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung: PT.

Citra Aditya Bakti, 2010.

Sjahdeini, Sutan Remy. Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang

Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia.

Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993.

Soekanto, Soerjono. Masalah Kedudukan Dan Peranan Hukum Adat. Jakarta:

Academica, 1979.

Soekanto, Soerjono dan Purnadi Purbacaraka. Perihal Kaedah Hukum. cet. 6.

Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. Hukum Perdata : Hukum Benda. Yogyakarta:

Liberty, 2000.

Subekti, R. Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional. Bandung: Alumni, 1976.

___________. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 1978.

Suharnoko. Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus. cet. 1. Jakarta: Kencana,

2004.

Suryodiningrat, R.M.. Azas-Azas Hukum Perikatan. Bandung: Tarsito, 1982.

Sutedi, Adrian. Hukum Rumah Susun & Apartemen. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 140: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Twomey, David P. et. al...Anderson’s Business Law and the Legal Environment.

ed. 18. Ohio: West Legal Studies in Business, 2002.

van Dunne, J.M. dan Gr. van der Burght, Perbuatan Melawan Hukum. Ujung

Pandang: Dewan Kerja Sama Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia,

1998.

Zimmermann, Reinhard dan Simon Whittaker (ed.). Good Faith in European

Contract Law. Cambridge: Cambridge University Press, 2000.

KAMUS

Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary. St. Paul Minn:West Publishing

Co., 1979.

Ranuhandoko, I.P.M.. Terminologi Hukum Inggris-Indonesia. Jakarta: Sinar

Grafika, 1992.

Sudarsono. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 1992.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Bahasa Indonesia.

Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh

R. Subekti dan R. Tjitro sudibio, cet.ke-8. Jakarta : Pradnya Paramita,

1976.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. UU

No.5, LN No. 104 tahun 1960, TLN No. 2043.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 141: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

_________. Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen. UU No. 8, LN

No. 42 tahun 1999, TLN No. 3821.

_________. Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas. UU No. 40, LN No.

106 tahun 2007, TLN No. 4756.

_________. Undang-Undang Tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman. UU

No. 1, LN No. 7 tahun 2011, TLN No. 5188.

_________. Undang-Undang Tentang Rumah Susun. UU No.20, LN No. 108

tahun 2011, TLN No. 5252.

_________. Peraturan Pemerintah Tentang Rumah Susun, PP No. 4 Tahun 1988,

LN No. 7 tahun 1988, TLN No. 3372.

_________. Peraturan Pemerintah Tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 24 Tahun

1997, LN No. 59 tahun 1997, TLN No. 3696.

Menteri Negara Perumahan Rakyat, Keputusan Menteri Negara Perumahan

Rakyat Tentang Pedoman Perikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun,

Kepmen PERA No. 11/KPTS/1994.

JURNAL

Mirmina, Steven A. “A Comparative Survey of Culpa in Contrahendo, Focusing

on Its Origins in Roman, German, and French Law as well as Its

Application in American Law.” Connecticut Journal on International

Law. Vol. 8. 1992.

INTERNET

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012

Page 142: UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20301598-T30592...UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SATUAN RUMAH

Pangaribuan, Rosa Agustina T. “Asas Kebebasan Berkontrak dan Batas-batasnya

dalam Hukum

Perjanjian,”<http://www.pusatpenunjangprofesihukum.com/4k.htm>,

diakses tanggal 14 April 2012.

Universitas Indonesia Kajian kontrak..., Arkie V. Y. Tumbelaka, FH UI, 2012