Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
UNIVERSITAS INDONESIA
PELESTARIAN MANUSKRIP BERDASARKAN
KEARIFAN LOKAL DI KHP WIDYA BUDAYA
KERATON YOGYAKARTA
SKRIPSI
LARASATI PURWAHYUNINGTYAS
0806392741
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
PROGRAM STUDI ILMU PERPUSTAKAAN
DEPOK
JUNI 2012
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
PELESTARIAN MANUSKRIP BERDASARKAN
KEARIFAN LOKAL DI KHP WIDYA BUDAYA
KERATON YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Humaniora
LARASATI PURWAHYUNINGTYAS
0806392741
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
PROGRAM STUDI ILMU PERPUSTAKAAN
DEPOK
JUNI 2012
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
ii
SURAT BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan dibawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa
skripsi ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang
berlaku di Universitas Indonesia.
Jika kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan Plagiarisme, saya akan
bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh
Universitas Indonesia kepada saya.
Jakarta, 21 Juni 2012
Larasati Purwahyuningtyas
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
iii
HALAMAN PERNYATAAN ORSINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Larasati Purwahyuningtyas
NPM : 0806392741
Tanda Tangan :
Tanggal : 21 Juni 2012
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
iv
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
v
KATA PENGANTAR
Puji Syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat
Nya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pelestarian
Manuskrip Berdasarkan Kearifan Lokal di KHP Widya Budaya Keraton
Yogyakarta” sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana
Humaniora pada Program Studi Ilmu Perpustakaan, Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan dukungan selama masa
perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini, tentunya skripsi ini tidak akan selesai
tepat pada waktunya. Oleh karena itu pada kesempatan kali ini saya ingin
mengucapkan rasa terima kasih kepada :
1. Ibu Tamara A. Susetyo, sebagai pembimbing skripsi yang telah banyak
memberikan masukan, kritik, dan saran selama saya melakukan
penyusunan skripsi ini. Terima kasih atas bimbingan dan waktu yang telah
diluangkan. Terima kasih atas kesabaran dan semangat Ibu dalam
membimbing saya.
2. Ibu Indira Irawati, selaku pembaca dan penguji. Terima kasih telah banyak
meluangkan waktunya ditengah jadwal-jadwalnya yang sangat padat.
Terima kasih sudah banyak memberi masukan sehingga saya menyadari
masih banyak kekurangan pada skripsi ini.
3. Ibu Nina Mayesti, selaku pembaca dan penguji. Terima kasih atas
waktunya dan atas penjelasan tentang metode yang diberikan sehingga
saya belajar semakin giat dan berusaha untuk memperbaiki skripsi menjadi
lebih baik.
4. Ibu Utami Budi Rahayu, selaku pembimbing akademis. Terima kasih
sudah dengan sabar membimbing saya selama masa perkuliahan.
5. Sri Sultan Hamengkubuwono X dan GBHP.H. Prabukusumo, yang telah
mengizinkan saya meneliti tentang manuskrip di Keraton Yogyakarta.
6. Para abdi dalem di Keraton Yogyakarta maupun di KHP Widya Budaya,
khususnya Pak Rinta, Pak Pitoyo dan Pak Puji. Terima kasih telah
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
vi
memberikan informasi kepada saya dan mengizinkan saya mengikuti
kegiatan – kegiatan pelestarian manuskrip.
7. Kedua orang tua, Sri Wahyuni selaku ibu dari saya yang selalu
memberikan kasih sayang dan perhatian tiada henti kepada saya. Terima
kasih telah mengajarkan dan mengayomi saya sehingga saya menjadi anak
yang kuat dalam mental maupun fisik. I love you, ma! You are my idol.
Purwo Noer Wiyatno selaku ayah dari saya yang selalu memberikan
support kepada saya baik moril dan materi. Terima kasih telah
membimbing saya dalam penyelesaian skripsi dan menghadapi sidang.
Thank you,Pa! You are my hero.
8. Kedua adik saya, Kartika Purwahyuningrum dan Pratiwi
Purwahyudiningsih. Terima kasih telah melengkapi hidup saya. Saya jadi
belajar menjadi lebih dewasa atas kehadiran mereka.
9. Mbah Suwito Tukiran, selaku kakek saya. Need a lot of space to say thank
you to him. He is my angel dan selalu menjadi panutan.
10. Muktiallah Han. Terima kasih atas kasih sayang dan support yang selama
ini diberikan. Terima kasih telah membantu menyelesaikan skripsi ini
melalui sharing dan pengetahuannya mengenai teknik penulisan pada
Ms.Word. I love you and I always do.
11. Om Bayu Wardoyo yang berperan banyak sebagai teman, om, kakak dan
juga ayah. Terima kasih atas dukungan moril dan juga semangat yang
diberikan kepada saya.
12. Seluruh dosen Program Studi Ilmu Perpustakaan, atas ilmu dan
pengalamannya selama saya menjalani pendidikan. Tugas yang banyak
dan ber-deadline membuat saya menjadi mahasiswa yang tepat waktu dan
disiplin dalam mengerjakan tugas.
13. Revany Ramyandi Koestoer dan Riva Delviatma, sebagai sahabat yang
selalu menemani saya dan teman sharing selama masa perkuliahan.
14. Sannita dan Mitsalina Nisrinawati selaku teman dekat yang selalu
mendukung dan menyemangati saya dalam menyelesaikan skripsi
meskipun terpisah tempat yang cukup jauh. You always be my best friends.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
vii
15. Teman-teman seperjuangan JIP 2008 yang saya sayangi, Weni, Resa,
Yunitha, Cita, Fitria, Henny, Rizka, Uni, Amu, Arif dan lain – lain yang
tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima Kasih telah memberi masukan
dan juga sharing pengalamannya. Untuk teman – teman JIP 2008 yang
lain, terima kasih atas kebersamaan yang tidak akan terlupakan selama
menimba ilmu bersama di jurusan tercinta ini.
16. Teman-teman senior dan junior di Jurusan Ilmu Peprustakaan angkatan
2006, 2007, 2009, 2010, 2011 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
17. Pak Pomo yang menemani saya selama melakukan pengumpulan data dan
mengurus skripsi saya
18. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu hingga
keseluruhan skripsi ini dapat diselesaikan.
Akhir kata saya ucapkan terima kasih kepada semuanya semoga Allah
SWT membalas semua kebaikan-kebaikan yang telah diberikan seluruh pihak
dalam membantu kelancaran proses penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.
Depok, 21 Juni 2012
Larasati Purwahyuningtyas
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademika Universitas Indonesia,saya yang bertanda tangan
dibawah ini :
Nama : Larasati Purwahyuningtyas
NPM : 0806392741
Program Studi : Ilmu Perpustakaan
Departemen : Ilmu Perpustakaan dan Informasi
Fakultas : Ilmu Pengetahuan Budaya
Jenis Karya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty
Free Right) atas karya saya yang berjudul :
“Pelestarian Manuskrip Berdasarkan Kearifan Lokal di KHP Widya Budaya
Keraton Yogyakarta”
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihkan
media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat,
dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok
Tanggal : 21 Juni 2012
Yang menyatakan
(Larasati Purwahyuningtyas)
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
ix
ABSTRAK
Nama : Larasati Purwahyuningtyas
Program Studi : Ilmu Perpustakaan
Judul : Pelestarian Manuskrip berdasarkan Kearifan Lokal di KHP
Widya Budaya Keraton Yogyakarta
Kearifan lokal menjadi budaya bagi masyarakat Jawa, khususnya di Keraton
Yogyakarta. Skripsi ini menjelaskan bagaimana abdi dalem di KHP Widya
Budaya Keraton Yogyakarta melestarikan manuskrip dan bagaimana pihak
keraton menyikapi perkembangan budaya modern. Penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif dengan metode etnografi yang mana fokus kepada perlakuan
abdi dalem sebagai pelaku pelestari manuskrip. Hasil penelitian ini menunjukan
bahwa KHP Widya Budaya Keraton Yogyakarta masih eksis hingga kini dengan
cara kearifan lokal dan pihak keraton menerima adanya perkembangan budaya
modern tanpa meninggalkan budaya tradisional.
Kata Kunci :
Kearifan lokal, pelestarian manuskrip, abdi dalem di Keraton Yogyakarta,
preservasi, konservasi
ABSTRACT
Name : Larasati Purwahyuningtyas
Study Program: Ilmu Perpustakaan
Title : The Preservation of Manuscript based on Local Wisdom in KHP
Widya Budaya Keraton Yogyakarta
Local wisdom becomes a culture for Javanese peoples, mostly in Keraton
Yogyakarta. This mini - thesis describes about how abdi dalem preserving,
conserving the manuscript in KHP Widya Budaya Keraton Yogyakarta also how
abdi dalem responding the globalization. This research is qualitative etnography
method. The focus of this study is abdi dalem as a preservator and conservator.
The results suggest that KHP Widya Budaya Keraton Yogyakarta still exist until
now with local wisdom and keraton accept the globalization.
Keywords :
Local wisdom, manuscript conservation, abdi dalem in Keraton Yogyakarta,
preservation, conservation
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
SURAT BEBAS PLAGIARISME ....................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .......................... viii
ABSTRAK ............................................................................................................. ix
ABSTRACT ........................................................................................................... ix
DAFTAR ISI .......................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1. 1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1. 2 Rumusan Masalah .................................................................................... 4
1. 3 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 4
1. 4 Manfaat Penelitian ................................................................................... 5
1. 5 Metode Penelitian ..................................................................................... 5
1.5.1 Objek dan Subjek Penelitian ................................................................ 5
1.5.2 Metodologi Penelitian .......................................................................... 5
1. 6 Kerangka Berpikir .................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN LITERATUR ...................................................................... 7
2. 1 Kearifan Lokal ......................................................................................... 7
2. 2 Falsafah Hidup Jawa ................................................................................ 10
2. 3 Manuskrip ................................................................................................ 11
2. 4 Upaya Preservasi, Konservasi dan Restorasi Manuskrip ......................... 15
2.4.1 Preservasi ............................................................................................. 16
2.4.2 Konservasi ........................................................................................... 25
2.4.3 Restorasi .............................................................................................. 29
BAB III METODE PENELITIAN ...................................................................... 31
3. 1 Jenis Penelitian ......................................................................................... 31
3. 2 Informan ................................................................................................... 35
3. 3 Instrumen Penelitian ................................................................................. 37
3. 4 Teknik Pengumpulan Data ....................................................................... 38
3.4.1 Data Primer .......................................................................................... 38
3.4.2 Data Sekunder ...................................................................................... 39
3. 5 Teknik Analisis Data ................................................................................ 40
3. 6 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................... 41
BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS ........................................................ 42
4. 1 Sekilas Tentang Keraton Yogyakarta ....................................................... 43
4. 2 Kondisi Lingkungan Tepas KHP Widya Budaya Keraton Yogyakarta ... 47
4. 3 Kearifan Lokal Kehidupan di Tepas KHP Widya Budaya ...................... 59
4. 4 Manuskrip di Keraton Yogyakarta ........................................................... 63
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
xi
4. 5 Kearifan Lokal Preservasi ........................................................................ 64
4. 6 Kearifan Loka Konservasi ....................................................................... 79
4. 7 Perlakuan Modern di Tengah Kearifan Lokal .......................................... 87
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 99
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
1 Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia dengan berbagai suku bangsa mempunyai keanekaragaman
kearifan lokal, kearifan tradisional dan budaya yang mengandung nilai dan norma
bagi kehidupan. Nilai – nilai tersebut menyatu dalam kehidupan bermasyarakat
sehingga menjadi pedoman dalam berperilaku dan berinteraksi dengan hal di
sekitar mereka. Yogyakarta adalah salah satu kota di Indonesia yang masih
memiliki kearifan lokal dalam berperilaku dan berinteraksi, salah satu contohnya
adalah kegiatan dalam Keraton Yogyakarta yang tradisional dan berbudaya.
Semua hal dilakukan berdasarkan kearifan lokal seperti upaya melakukan
preservasi terhadap koleksi manuskrip.
Kegiatan preservasi dan konservasi merupakan kegiatan yang wajib
dilakukan terhadap naskah kuno atau biasa disebut manuskrip, oleh karena itu
nilai informatif dan nilai histori yang dikandung dapat terus digunakan sebagai
sumber informasi yang otentik. Terkait dengan keadaan manuskrip yang sudah
berumur ratusan tahun, maka kondisinya diasumsikan akan semakin memburuk,
bila tidak dirawat dengan baik. Menurut Razak (1992 : p.15-31) kerusakan pada
manuskrip dipengaruhi beberapa faktor, yaitu fisik, kimia, biota serta faktor
penggunaan dan penanganan yang salah, faktor bencana alam dan musibah.
Sedangkan Harvey berpendapat, berbagai faktor penyebab kerusakan kertas
adalah rendahnya kualitas kertas, semakin seringnya bahan pustaka dipergunakan,
pengaruh kemajuan teknologi, faktor lingkungan (polusi udara), bencana alam
(banjir, gempa bumi) juga sikap pemakai dan pengurus perpustakaan (1990 : p.7-
9). Terlebih lagi manuskrip yang ada di Keraton Yogyakarta umurnya berkisar
antara tahun 1700-an hingga 1900-an memerlukan penanganan khusus.
Manuskrip biasanya dapat berupa daun lontar yang berasal dari daun
siwalan atau daun tal, daluang yang merupakan kertas tradisional berserat kasar
dari kulit pohon; Kertas Eropa yang berasal dari pulp yang menggunakan serat
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
2
Universitas Indonesia
alami dan selulosa maupun papyrus yang merupakan sejenis tanaman air yang
dapat ditemukan pada zaman Mesir kuno.
Pentingnya nilai informatif dan juga nilai histori yang terkandung dalam
manuskrip merupakan hal terpenting yang harus dilestarikan. Penanganan yang
baik demi menjaga kondisi manuskrip agar tetap dalam kondisi yang baik
merupakan hal penting. Penanganan yang dilakukan dapat juga secara tradisional
ataupun secara modern. Namun, setiap cara yang dilakukan baik tradisional
maupun modern pasti memiliki kelebihan dan kekurangan.
Keraton Yogyakarta merupakan salah satu tempat bersejarah yang tentu
saja memiliki banyak manuskrip. Di dalam Keraton Yogyakarta, terdapat koleksi
manuskrip yang tahun pembuatannya berkisar abad ke-19 hingga abad ke- 20.
Namun ada juga naskah yang sudah ada sejak abad ke-17 hingga abad ke-18.
Koleksi tersebut merupakan karya yang dibuat langsung di Keraton Yogyakarta
dengan menggunakan aksara Jawa pada kertas daluang. Berdasarkan umur suatu
manuskrip tersebut, maka wajar saja bila banyak sekali kerusakan yang terjadi.
Pada umumnya kerusakan terjadi karena tinta yang mengelupas, jamur maupun
kelembaban pada suatu alat penyimpan. Sesuai dengan adat dan tradisi Keraton
Yogyakarta, maka para abdi dalam yang mengurus tempat penyimpanan naskah
hanya dapat melakukan perawatan secara tradisional. Sebelum adanya bantuan
dari pihak luar, para abdi dalem melakukannya secara tradisional menurut
kearifan lokal setempat. Tindakan kearifan lokal terhadap manuskrip tersebut
dipercaya tidak akan rusak atau dapat sedikit mempertahankan keadaan
manuskrip. Banyaknya manuskrip yang umurnya sudah ratusan tahun, sangat
diperlukan penanganan khusus agar nilai informatif tetap terjaga.
Keraton Yogyakarta sebagai pusat budaya juga sangat mempercayai hal –
hal yang sakral. Hal tersebut kemudian menjadi etika dan moral yang harus
tercermin dalam setiap kegiatannya. Dalam mencapai tujuan sebuah hal yang
sakral, maka biasanya orang di Keraton Yogyakarta melakukan kegiatan di luar
nalar seperti upacara adat tentang menjaga keselamatan.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
3
Universitas Indonesia
Terkait dengan hal – hal tersebut, dapat dikaji bagaimana abdi dalem di
Keraton Yogyakarta menyambungkan hal yang ilmiah dengan hal yang diluar
nalar atau hal yang tidak ilmiah. Selain itu, manuskrip sebagai artefak dan sebagai
benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud
pemikiran dan perilaku kehidupan manusia sehingga dirasa perlu untuk
melakukan pelestarian dengan berbagai cara.
Dalam Undang-Undang nomor 11 pasal 1 tahun 2010 disebutkan :
“ Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda
Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs
Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang
perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi
sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan
melalui proses penetapan.”
“ Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia,
baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok,
atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat
dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.”
Dalam undang-undang yang baru disahkan dan sedang disosialisasikan
tersebut dapat terlihat perlunya dan pentingnya memelihara benda budaya
dicagarkan. Kaitannya adalah benda cagar budaya atau dalam hal ini adalah
manuskrip perlu dilestarikan dan dilakukan perawatan karena memiliki nilai
penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan
melalui proses penetapan undang-undang dan memiliki hubungan erat dengan
kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.
Berkaitan dengan perawatan secara tradisional menurut kearifan lokal
setempat yang dilakukan para abdi dalam, tampaknya penting terlebih lagi sebagai
masyarakat Yogyakarta yang kental kebudayaannya, harus turut melestarikan cara
yang tradisional. Dengan cara yang tradisional tidak selalu memberikan hasil yang
kurang maksimal. Penelitian awal yang dilakukan terlihat adanya penggunaan
beberapa alat-alat yang tradisional oleh para abdi dalem.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
4
Universitas Indonesia
1.2. Rumusan Masalah
Naskah adalah tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran
dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau (Barried, 1994 : p.55).
Menurut Venny Indria Ekowati dalam artikel berjudul “Pelestarian Budaya dan
Pemerkasaan Bahasa Jawa melalui Kajian Manuskrip Klasik”, untuk
mengungkapkan pikiran dan perasaan, pada abad ke-9 suku bangsa Jawa memulai
tradisi menulis. Melalui manuskrip klasik, akan didapatkan berbagai sumber
pengetahuan yang menggambarkan tentang peradaban masa lampau sehingga
manuskrip perlu dilestarikan keberadaannya.
Keraton Yogyakarta adalah salah satu tempat yang menggunakan naskah
sebagai alat untuk menyimpan ungkapan pikiran. Kebiasaan tersebut sudah
membudaya, terbukti dari temuan manuskrip yang ada di Perpustakaan Keraton
Yogyakarta. Tidak hanya manuskrip yang menjadi suatu sumber budaya, cara
pemeliharaan manuskrip yang ada di Keraton Yogyakarta juga berdasarkan
kearifan lokal yang mana kearifan lokal tersebut adalah suatu kebiasaan turun
trmurun yang menjadi budaya yang mengakar. Walaupun adanya modernisasi di
jaman globalisasi, kearifan lokal di Keraton Yogyakarta tetap terjaga sehingga
akan dapat dibuktikan di kemudian hari bahwa kearifan lokal juga tetap perlu
dilakukan.
Secara umum yang menjadi studi dalam masalah ini adalah :
1. Bagaimana kearifan lokal yang tercermin dalam preservasi dan konservasi
manuskrip di KHP Widya Budaya?
2. Bagaimana pihak Keraton Yogyakarta dan abdi dalem dalam menyikapi
perkembangan budaya modern terhadap pelestarian manuskrip?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Memaparkan upaya preservasi dan konservasi berdasarkan kearifan lokal
yang dilakukan abdi dalem di KHP Widya Budaya
2. Memaparkan bagaimana pihak Keraton Yogyakarta dan abdi dalem
menyikapi perkembangan budaya modern terhadap pelestarian manuskrip
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
5
Universitas Indonesia
1.4. Manfaat Penelitian
Dalam bidang ilmu perpustakaan dan informasi, penelitian ini merupakan
pengamatan sub bidang preservasi dan konservasi yang memfokuskan terhadap
kearifan lokal setempat dalam melakukan pelestarian manuskrip. Kearifan lokal
merupakan cara sederhana yang dapat dijadikan pedoman dalam pelestarian dan
perawatan manuskrip. Diharapkan dengan adanya penelitian ini, akan ada pihak
yang dapat memberikan tindakan preventif guna membantu melestarikan cagar
budaya berbentuk manuskrip. Selain itu, pedoman pelestarian manuskrip secara
sederhana ini dapat disebarkan pada masyarakat umum atau kolektor benda
bersejarah yang bukan profesional dalam menangani koleksi bahan pustaka.
1.5. Metode Penelitian
Metode penelitian ini dikelompokan lagi dalam : objek dan subjek
penelitian, metodologi yang digunakan dalam penelitian dan teknik pengumpulan
data.
1.5.1 Objek dan Subjek Penelitian
Adapun objek yang menjadi penelitian adalah pelestarian terhadap
kearifan lokal. Subjek nya adalah abdi dalem yang melakukan pelestarian
manuskrip.
1.5.2 Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode
etnografi. Metode etnografi merupakan pendekatan kualitatif yang cocok
digunakan untuk penelitian suatu kebudayaan. Menurut Suwardi Endraswara
(2006 : p.50) metode etnografi adalah penelitian untuk mendeskripsikan
kebudayaan sebagaimana adanya. Kebudayaan yang terkait dalam penelitian ini
adalah kebudayaan atau tradisi pemeliharaan manuskrip secara kearifan lokal di
Keraton Yogyakarta. Model etnografi berupaya mempelajari peristiwa kultural
yang menyajikan pandangan hidup subjek sebagai objek studi. Dengan kata lain,
etnografi mengamati dan melihat berbagai artefak dan objek alam dan juga
menyelidiki makna yang diberikan oleh orang – orang terhadap berbagai objek itu
(Spradley, 1997). Metode etnografi dianggap lebih mampu menjelajah susunan
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
6
Universitas Indonesia
pemikiran rakyat. Susunan yang sistematis adalah dengan mengetahui hal yang
dikatakan orang lalu hal yang dilakukan si pelaku kebudayaan dan adanya artefak
sebagai pendukung. Dalam buku yang berjudul Metode Penelitian Kualitatif,
Deddy Mulyana (2001) menjelaskan etnografi yang akarnya adalah ilmu
antropologi pada dasarnya adalah kegiatan penelitian untuk memahami cara
orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena teramati kehidupan
sehari-hari. Menurut pemikiran yang dirangkum oleh Deddy Mulyana ini,
etnografi bertujuan menguraikan suatu budaya secara menyeluruh, yakni semua
aspek budaya baik yang bersifat material, seperti artefak budaya dan yang bersifat
abstrak, seperti pengalaman, kepercayaan norma, dan sistem nilai kelompok yang
diteliti.
1.6. Kerangka Berpikir
Manuskrip Keraton Yogyakarta sebagai sumber informasi
dan benda cagar budaya yang di pelihara berdasarkan kearifan lokal
Perlakuan berdasarkan kearifan lokal yang tercermin dalam preservasi
Dan konservasi
Pengaruh modernisasi terhadap proses pelestarian
manuskrip di KHP Widya Budaya
Usulan Pelestarian Berdasarkan Kearifan Lokal dan modern untuk melestarikan
manuskrip di KHP Widya Budaya
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
7 Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN LITERATUR
2.1. Kearifan Lokal
Kearifan lokal adalah cara – cara dan praktik yang dikembangkan oleh
sekelompok masyarakat yang berasal dari pemahaman mendalam mereka akan
lingkungan setempat, yang terbentuk dari tinggal ditempat tersebut secara turun
temurun (Baumwoll, J., 2008). Kearifan lokal berasal dari dalam masyarakat
sendiri, disebarluaskan secara non-formal, dimiliki secara kolektif oleh
masyarakat bersangkutan, dikembangkan selama beberapa generasi dan mudah
diadaptasi serta serta tertanam di dalam cara hidup masyarakat sebagai sarana
untuk bertahan hidup (Baumwoll, J., 2008).
Pengertian kearifan lokal sendiri, menurut budayawan Saini KM, adalah
sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola
lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya-
tahan dan daya-tumbuh di dalam wilayah di mana komunitas itu berada. Dengan
kata lain, kearifan lokal adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografis-
geopolitis, historis, dan situasional yang bersifat lokal. Terminologi lain untuk
kearifan lokal yang sering ditemukan dalam berbagai literatur akademis adalah
pengetahuan asli (indigenous knowledge), pengetahuan lokal (local knowledge),
pengetahuan tradisional (traditional knowledge) dan lain-lain. Apapun
terminologinya, kearifan lokal pada dasarnya merujuk pada pengetahuan
tradisional dan unik yang ada dalam dan dikembangkan sekitar kondisi spesifik
masyarakat di area geografis tertentu (Grenier, 1998).
Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari 2 kata :
kearifan (wisdom) dan lokal (local). Secara umum kearifan lokal bisa diartikan
sebagai kearifan setempat yang mengandung arti kebijaksanaan, penuh kearifan,
bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat. Menurut I Ketut
Gobyah dalam Berpijak pada Kearifan Lokal (//http:balipos.co.id), mengatakan
bahwa kearifan lokal adalah kebenaran yang telah menjadi tradisi atau ajeg dalam
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
8
Universitas Indonesia
suatu daerah. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut
secara terus menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi
nilai yang terkandung didalamnya dianggap sangat universal. S.Swarsi Geriya
dalam Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali dalam IUN mengatakan bahwa
secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijakan
manusia yang bersandar pada filosofi nilai – nilai, etika, cara – cara dan perilaku
yang melambangkan secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap
baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan
melembaga.
Pemilihan secara tradisional berdasarkan kearifan lokal setempat pada para
abdi dalem keraton diasumsikan merupakan tindakan yang dianggap baik oleh
mereka sehingga dilakukan secara turun menurun dari generasi ke generasi.
Kearifan lokal merupakan suatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya
tertentu dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu (Shaw, R.,
2008). Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat.
Ada beberapa cirri kearifan lokal menurut Alwasilah, et al., (2009) yaitu :
1. Berdasarkan pengalaman
2. Teruji setelah berabad-abad
3. Dapat diadaptasi dengan kultur kini
4. Padu dalam praktek keseharian masyarakat dan lembaga
5. Lazim dilakukan oleh individu atau masyarakat secara keseluruhan
6. Bersifat dinamis dan terus berubah
7. Sangat terkait dengan sistem kepercayaan
Keraton Yogyakarta merefelkesikan kearifan lokal dan mendapatkan
manfaat dari kearifan lokal itu sendiri sehingga memutuskan untuk melakukan
kearifan lokal sebagai cara dalam melestarikan koleksi manuskrip. Kearifan lokal
sama sekali tidak bisa diperoleh melalui suatu pendidikan formal dan informal.
Semua hal yang menyangkut kearifan lokal hanya bisa dipahami dan
direalisasikan melalui suatu pengamatan langsung. Kearifan lokal lahir dari
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
9
Universitas Indonesia
learning by experience yang tetap dipertahankan dan diturunkan dari generasi ke
generasi (Pattinama, M.J, 2009).
Kebudayaan merupakan usaha manusia, perjuangan setiap orang atau
kelompok dalam menentukan dari depannya. Kebudayaan merupakan aktivitas
yang dapat diarahkan dan direncanakan (Van Peursen, 1976 : p.10-11). Paham
kebudayaan berkaitan dengan preservasi yang dijelaskan Harvey (1990 : p.119)
bahwa preservasi harus terintegrasi. Semua hal harus dijalankan sesuai rencana
dan terintegrasi agar pengelolaannya benar dan tidak merusak koleksi manuskrip.
Menurut Prof. Nyoman Sirtha dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk
Ajeg Bali”, bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa nilai, norma,
etika, kepercayaan, adat istiadat, hokum adat, dan aturan – aturan khusus. Oleh
karena bentuknya yang bermacam – macam dan ia hidup dalam aneka budaya
masyarakat maka fungsinya menjadi bermacam – macam.
Balipos terbitan 4 September 2003 memuat tulisan tentang “ Pola Perilaku
Orang Bali Merujuk Unsur Tradisi”, antara lain memberikan informasi tentang
beberapa fungsi dan makna kearifan lokal, yaitu :
1. Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam
2. Berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia
3. berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan,
misalnya pada upacara saraswati, kepercayaan dan pemujaan pada pura
Panji
4. berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan
5. bermakna sosial, misalnya upacara integrasi komunal atau kerabat
6. bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian
7. bermakna etika dan moral yang terwujud dalam upacara ngaben dan
penyucian roh leluhur
8. bermakna politik, misalnya upacara ngangkuk merana dan kekuasaan
patron client
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
10
Universitas Indonesia
Berdasarkan penjelasan fungsi – fungsi diatas tampak betapa luas ranah
kearifan lokal, mulai dari yang sifatnya sangat teologis sampai yang pragmantis
dan teknis.
Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam
masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus menerus dalam mengatur
kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral
sampai yang profane (Jurnal Filsafat, Agustus 2004, Nomor 2).
Kebudayaan dipandang sebagai manufestasi kehidupan setiap orang atau
kelompok orang yang selalu mengubah alam. Kebudayaan merupakan usaha
manusia, perjuangan setiap orang atau kelompok dalam menentukan hari
depannya. Kebudayaan merupakan aktivitas yang dapat diarahkan dan
direncanakan (Van Peursen, 1976 : p.10-11). Oleh sebab itu diperlukan adanya
kemampuan, kreatifitas dan penemuan – penemuan baru. Manusia tidak hanya
membiarkan diri dalam kehidupan lama melainkan dituntut mencari jalan baru
dalam mencapai kehidupan yang lebih manusiawi (Sartini, 2004).
Dengan adanya sistem kearifan lokal, bukan berarti pihak Keraton
Yogyakarta tidak menerima adanya globalisasi. Globalisasi bisa dijalankan secara
bersamaan dengan kearifan lokal. Tanpa melepaskan proses kearifan lokal,
globalisasi atau modernisasi tetap berjalan. Dengan demikian bila suatu Negara
mempunyai identitasi lokal tertentu, dalam hal ini kearifan lokal, ia tidak mungkin
lepas dari pengaruh globalisasi ini (Seabrook, 2004).
2.2. Falsafah Hidup Jawa
Usaha mencari keselamatan (hidup) pada masyarakat Jawa sudah
berlangsung sejak sebelum mereka mengenal teologi sebagaimana yang
didapatkan dalam teologi agama – agama formal. Konsep tentang ketuhanan dan
kekuasaan yang bersifat Ilahi sangat penting bagi orang Jawa tradisional, karena
dengan konsep tadi orang Jawa akan menyesuaikan diri pada alam raya, entah
alam itu merupakan ciptaaan atau hasil emanasi Tuhan itu sendiri (Saksono, 2012
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
11
Universitas Indonesia
: p.15). Menurut orang Jawa, tidak ada norma kebenaran yang obyektif dan
absolut. Apa yang benar, baik, dan tepat adalah apa yang cocok yang mampu
mempertahankan harmoni dan menghindari konflik (Dwiyanto, 2012 : p.20).
Sebagian orang Jawa dapat dikatakan masih percaya adanya setan atau
hantu yang mengganggu manusia (Endraswara, 2003 : p.9). Orang Jawa sangat
mempercayai adanya tempat – tempat yang sakral termasuk tempat yang wingit
atau angker. Agar teetap selamat dan terhindar dari marabahaya maka aba
berbagai sajen yang diberikan di tempat – tempat yang angker sesuai permintaan
dhanyang setempat. Bahkan ditempat – tempat tertentu perlu diberi sajen pada
hari – hari tertentu (Saksono, 2012 : p.13).
Dasar dan arah yang dituju menjadi kerangka dasar dalam strategi
kebudayaan (Ali Moertopo, 1978 : p.12). Dengan melihat kearifan lokal sebagai
bentuk kebudayaan maka ia akan mengalami reinforcement secara terus menerus
menjadi lebih baik.
2.3. Manuskrip
Manuskrip (manuscript: manu scriptus) adalah dokumen kuno tertulis
yang ditulis tangan. Manuskrip juga biasa disebut naskah kuno. Manuskrip atau
naskah kuno merupakan dokumen dari berbagai jenis yang ditulis dengan tangan
tetapi lebih mengkhususkan kepada bentuk yang asli sebelum dicetak (Purnomo,
2010: p.1). Barried mengatakan bahwa naskah merupajkan semua bentuk tulisan
tangan berupa ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa pada
masa lampau (Barried, 1985: p.54).
Manuskrip bisa diartikan suatu benda yang berhubungan antara filologi
dan arkeologi karena manuskrip termasuk artefak. Namun, karena suatu teks
selalu dituliskan pada suatu benda tertentu, maka dapat terjadi pertemuan dengan
arkeologi, karena benda itu adalah artefak juga (Edi Sedyaadi, 2010: p.210).
Selain itu manuskrip memiliki dua pendekatan dalam mengkaji warisan
kebudayaan selalin filologi, yaitu kodikologi. Keduanya saling berkaitan. Filologi
jika diartikan secara umum yaitu ilmu yang mempelajari kebudayaan suatu bangsa
berdasarkan bahasa dan kesusastraannya beberapa aksara dan bahasa naskah
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
12
Universitas Indonesia
Indonesia sedangkan kodikologi adalah cabang ilmu pernaskahan yang tidak
mempelajari apa yang tertullis dalam naskah, tetapi kodikologi merupakan cabang
ilmu yang mempelajari seluk beluk berbagai aspek pembuatan naskah (Titik
Pudjiati, 2006 : p.10). Filologi dan kodikologi biasanya selalu dikaitkan satu sama
lain. Bila filologi mengkhususkan pada pemahaman isi teks kemudian kodikologi
mengkhususkan membahas segala tetntang sejarahnya. Mulai dari bahan naskah,
tempat penulisan, gambar atau ilustrasi dan hiasan atau illuminasi. Dalam
mengkaji dan juga meneliti tentang pelestarian suatu naskah, diperlukan beberapa
hal yang terkait seperti filologi dan kodikologi sebagai satu perbandingan dan juga
informasi sehingga bisa menghasilkan informasi lainnya.
Manuskrip adalah suatu bentuk informasi yang unik karena di dalamnya
terkandung informasi mengenai sejarah yang penulisannya berbeda-beda. Setiap
tempat yang memiliki manuskrip pasti memiliki cara penulisan yang berbeda
namun unik. Ada yang berbentuk macapat dengan aksara jawa, tulisan
sangsekerta dan hanya lukisan yang dihiasi dengan motif-motif kebudayaan.
Menurut Titik Pudjiastuti (2006, p.9) mengungkapkan bahwa naskah merupakan
bahan tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan rasa dan pikiran hasil
budaya masa lampau yang mengandung nilai historis sedangkan Library and
Information Science, naskah merupakan semua barang tulisan tangan yang ada
pada koleksi perpustakaan atau arsip, seperti surat-surat atau buku harian
seseorang. Sedangkan menurut Feather (1997 : p.280), manuskrip adalah
dokumen dari berbagai macam jenis yang ditulis dengan tangan, tetapi lebih
mengkhususkan kepada bentuk asli sebelum dicetak. Kata tersebut juga bisa
berarti karangan, surat, dan sebagainya yang masih ditulis dengan tangan.
Naskah atau manuskrip juga termasuk dalam sumber informasi yang ada
dalam masyarakat yang berisi nilai, pengetahuan, adat istiadat, bahasa, kesenian
dan tata cara hidup yang tertuang di dalam tulisan dalam bentuk naskah dan
tersimpan didalam memori masyarakat dalam bentuk ingatan yang diturunkan
secara turun termurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Naskah yang
dimaksud adalah teks yang mengandung nilai-nilai yang menyentuh berbagai
aspek kehidupan masyarakat sebagai gambaran kehidupan manusia pada masa
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
13
Universitas Indonesia
silam serta kebudayaannya. Nilai-nilai ini merupakan informasi kepada kita
tentang bagaimana mereka hidup, pekerjaan sehari-hari, apa yang dirasakan dan
bagaimana hidup mereka (Ikram, 1983).
Manuskrip atau naskah kuno merupakan cagar budaya yang harus
dilindungi. Keberadaannya harus dilestarikan dan dipelihara dari kepunahan
ataupun kerusakan. Manuskrip juga memiliki Undang-undang agar keberadaannya
jelas dan pemeliharaannya dapat dilakukan terkait dengan kewajiban peliharaan
seperti yang tertera pada Undang-Undang nomor 11 tahun 2010 tentang cagar
budaya. Menurut Undang-Undang Cagar Budaya, yang termasuk benda cagar
budaya adalah benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar
budaya, situs cagar budaya serta kawasan cagar budaya di darat dan diair.
Kriterianya adalah yang berusia 50 tahun atau lebih, memiliki masa gaya paling
singkat berusia 50 tahun, memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan,
pendidikan, agama, dan atau kebudayaan, memiliki nilai budaya bagi penguat
kepribadian bangsa.
Bukti dari manuskrip merupakan benda cagar budaya yang kental akan
budayanya adalah seperti yang dikemukakan Edi Sedyawati dalam Budaya
Indonesia (2010), Prasasti dan naskah merupakan benda yang bersifat tangible
karena sifat budaya yang melekat padanya. Perekaman maupun upaya memupuk
kehidupannya agar tetap aktual.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa naskah kuno merupakan
hasil pemikiran masyarakat pada masa lampau, baik berupa nilai, kebiasaan,
sejarah, adat istiadat, perkembangan bahsa, ilmu pengetahuan maupun kesenian
yang dituangkan dalam bentuk tulisan dan berusia lebih dari 50 tahun yang harus
dilestarikan.
Manuskrip Indonesia tidak hanya berada di Yogyakarta, namun ada di
berbagai provinsi lainnya atau provinsi yang memiliki kerajaan yang merupakan
pusat sejarah. Cirebon dan Bali merupakan contoh daerah yang memiliki cukup
banyak manuskrip. Jika di Cirebon banyak masyarakat yang memiliki manuskrip
berbahan daluang sedangkan di Bali masih banyak ditemukan manuskrip
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
14
Universitas Indonesia
berbahan daun lontar. Manuskrip tersebut biasanya merupakan baca-bacaan doa
atau kitab suci masyarakat Bali yang beragama Hindu. Ada banyak jenis
manuskrip lainnya yang dimiliki Indonesia, contoh lainnya adalah manuskrip
yang terbuat dari daun nipah, kulit sapi muda dan papyrus. Bahasa atau aksara
yang tertera pada manuskrip juga berbagai macam, misalnya dengan aksara dan
bahasa Jawa, Arab, Madura, Bugis, dan ada juga yang mengunakan bahasa
Sangsekerta. Pada masing-masing tradisi dikembangkan system aksara yang khas.
Secara normative tentunya awal penciptaan atau penggunaan suatu sistem aksara
adalah juga akhir dari masa prasejarah bagi kebudayaan yang bersangkutan (Edi
Sedyawati, 2010 ; p.216-217).
Perjalanan peradaban masyarakat Yogyakarta meninggalkan banyak
sejarah dan peninggalan budaya. Salah satunya manuskrip. Peninggalan sejarah
yang terkenal dan tertuang dalam naskah adalah Babad Giyanti atau Perjanjian
Giyanti. Selain peninggalan sejarah, terdapat peninggalan budaya salah satunya
adalah Serat Bharatayuda. Serat Bharatayuda isinya tentang tokoh perwayangan
yang dipercaya merupakan tokoh Jawa yang ceritanya sangat terkenal
(http://www.kerajaan nusantara.com/id/Yogyakarta-hadiningrat).
Apabila membaca naskah sastra Jawa, dapat dirasakan bahwa tradisi
sastra Jawa masih bertahan karena ada semangat untuk menulisnya kembali.
Berbagai cara ditempuh untuk menghadirkan karya klasik itu agar aktual. Usaha
menghidupkan kembali karya-karya sastra itu dimaksudkan untuk melestarikan
karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dirasakan tetap relevan dengan
tantangan zaman (Edi Sedyawati, 2010).
Didalam Keraton Yogyakarta Hadiningrat, yaitu istana kesultanan di
Yogyakarta terdapat 2 koleksi naskah-naskah tulisan tangan, berbahasa dan
beraksara Jawa. Tempat pertama adalah Kawedanan Ageng Punakawan Widya
budaya yang terletak di sudut tenggara kompleks induk keraton dan yang kedua
adalah Kawedanan Ageng Punakawan Krida Mardawa yaitu sebuah instansi
pemerintah keraton yang berurusan dengan segala macam seni (Lindsay, 1984 :
p.250).
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
15
Universitas Indonesia
Naskah-naskah Widya Budaya berjumlah sekitar 450 buah. Hampir
seluruh koleksi dihasilkan di Keraton Yogyakarta sendiri selama abad ke-19 dan
abad ke-20. Ada pula beberapa naskah yang lebih kuno, misalnya esksemplar Al-
Quran yang dihiasi indah yang merupakan hasil seorang carik di Keraton
Surakarta pada tahun 1797 (Ricklefs 1981: p.109). Koleksi Widya Budaya terdiri
atas naskah yang berisi aneka ragam teks sastra, sejarah, silsilah, agama dan
kesenian Sedangkan naskah kuno koleksi Krida Mardawa terbatas pada kesenian
yang berdangkutan dengan tari, musik dan wayang. Kebanyakan naskah tersebut
berisi 250 buah (Lindsay, 1984: p.250). Koleksi naskah yang ada di Keraton
Yogyakarta rata-rata berupa macapat atau puisi bertembang karena pembacaan
dan wacana tersebut dengan ditembangkan berdasarkan titilaras ‘notasi’ yang
sesuai dengan pola metrumnya (Saputra, 2001: p.103).
Menurut Edi Sedyawati (2010, p.162-163), warisan budaya tangible
(kebudayaan yang berwujud) diluar yang terdapat pada benda-benda konkret yang
juga memerlukan upaya pelestarian adalah sastra yang digolongkan berdasarkan
(1) lisan dan tulisan, (2) prosa atau puisi, (3) jenis isinya seperti mitos, legenda,
dongeng, cerita, paparan kefilsafatan dan paparan pengetahuan. Keraton
Yogyakarta memiliki semua konsep manuskrip yang menjadi standar dalam
kepemilikan manuskrip.
Jika menilik kepada jejak sejarah, banyak manuskrip yang dihasilkan
Keraton Yogyakarta. Dengan adanya perang dan akhirnya banyak benda pusaka
yang diambil atau dijajah. Maka tidak sedikit pula benda pusaka tersebut hilang.
Benda pusaka tersebut adalah manuskrip asli dan dibuat pada abad ke-17. Akan
tetapi, manuskrip tersebut sudah aman di British Council. Perawatan yang
seharusnya diterima oleh sebuah manuskrip yang umumnya berusia lebih dari
seratus tahun,seperti ruangan ber-AC dan pengatur kelembaban udara serta bahan-
bahan kimia tertentu untuk melindungi dari rayap (Suryadi,2007).
2.4 Upaya Preservasi, Konservasi dan Restorasi Manuskrip
Christopher Clarkson mengatakan di dalam bukunya Harvey (1990) bahwa
preservasi meliputi setiap aspek kehidupan perpustakaan, preservasi, merupakan
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
16
Universitas Indonesia
tindakat preventif yang harus diperhatikan oleh setiap orang yang berkecimpung
dengan atau bekerja di perpustakaan sedangkan konservasi adalah tindakan
penyelamatan khusus dalam batas tertentu untuk menjadikan bahan pustaka dapat
berguna untuk masa atau periode tertentu, untuk restorasi merupakan istilah yang
agak luas maknanya karena meliputi usaha membina kembali dan mengganti
bahan pustaka tertentu dengan bahan – bahan lain yang modern dalam suatu
periode tertentu, untuk menjaga agar dimasa depan bahan pustaka tersebut dapat
dipergunakan kembali.
Hal di atas diperjelas dengan membedakan ketiga istilah tersebut dengan
mengaitkan terhadap bidang operasional yaitu restorasi mengandung arti
perubahan besar, konservasi bermakna perubahan minimal dan preservasi tidak
mengandung makna perubahan sama sekali (Harvey, 1990 : p.2)
2.4.1 Preservasi
Yogyakarta memiliki budaya elite yang bersumber dari keraton
mempunyai ciri: 1). pemilik budaya tetap menjadi pelaku atau subyek budaya; 2)
pelaku tidak mengalami alienasi dan jati dirinya tetap; 3) pelaku mengalami
pencerdasan. Dalam budaya elite pemilik budaya menjadi orang yang utuh, tidak
tenggelam dalam budayanya. Ia berhak menafsirkan apa yang dialaminya sendiri.
Ia juga akrab dengan kehidupan sehingga pelaku akan mendapatkan
kebijaksanaan yang menjadikannya lebih pandai dari sebelumnya (Kuntowijoyo,
1997; p. 54-55). Budaya elite yang dimaksud adalah bagaimana caranya budaya
tersebut tidak hilang sehingga menjadi suatu kearifan lokal.
Demi tetap menjaga kelestarian suatu manuskrip, petugas preservasi harus
berupaya dengan melakukan cara apapun agar manuskrip tetap terjaga. Walau
tidak melakukan preservasi dengan cara yang modern, preservasi secara kearifan
lokal juga dapat dilakukan. Seperti yang dikatakan Sulistyo Basuki (1993, p.271)
dalam buku Pengantar Ilmu Perpustkaaan, preservasi atau pelestarian mencakup
semua aspek usaha melestarikan bahan pustaka dan arsip, termasuk didalamnya
kebijakan pengelolaan, keuangan, sumber daya manusia, metode dan teknik
penyimpanannya. Dalam melakukan preservasi, abdi dalem selaku preservator
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
17
Universitas Indonesia
harus melaksanakan aspek usaha dalam melestarikan bahan pustaka walau secara
kearifan lokal sekalipun. Menurut Tamara A.Susetyo pada Kompas (23 Oktober
2008),
“Kemajuan teknologi memang terus berkembang dalam pelestarian
manuskrip secara moderen. Namun untuk ini butuh biaya besar dan
menuntut penggunaan secara konsisten dan benar. Hanya saja dalam
praktiknya, tingginya biaya atau anggaran penggunaan teknologi modern
tersebut menyebabkan tidak memungkinkannya penggunaan teknologi
tersebut secara terus-menerus. Bahkan di instansi yang seharusnya
berkomitmen merawat koleksi manuskrip ini, pada akhirnya tidak
menjalankan kebijakan ini.Sehingga para pemilik manuskrip tetap
melestarikan manuskrip walau dengan kearifan lokal.”
Preservasi adalah kegiatan yang terencana dan terkelola untuk memastikan
agar koleksi perpustakaan dapat terus dipakai selama mungkin. Menurut Dureau
dan Clement (1990: p.1), preservasi bahan pustaka menyangkut usaha yang
bersifat preventif, kuratif, dan juga mempermasalahkan faktor-faktor yang
mempengaruhi bahan pustaka tersebut.
Kerusakan pada bahan pustaka terjadi pada berbagai faktor. Faktor
penyebabnya terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Seperti yang
diungkapkan oleh Razak (1996 : p.9) bahwa :
“Bahan pustaka mudah mengalami kerusakan oleh dua faktor yaitu faktor
internal dan faktor eksternal”.
Oleh karena itu, agar bahan pustaka tetap bisa digunakan maka diperlukan
upaya preservasi dan sebelum melakukan preservasi harus melihat faktor
kerusakan terlebih dahulu agar tidak salah melakukan penanganan.
Kerusakan pada kertas dapat disebabkan oleh asam. Asam pada kertas
terjadi karena proses pembuatan itu sendiri yang didalamnya mengandung zat
kimia yang menyebabkan kertas selalu bersifat asam (Razak, 1992 : p.11). Jika
kertas sudah menjadi asam, ada kemungkinan muncul foxing. Foxing terjadi
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
18
Universitas Indonesia
karena asam organik yang dihasilkan oleh jamur akan bereaksi dengan partikel –
partikel besi yang terdapat dalam kertas dan membentuk noda yang berwarna
merah kecoklatan, noda ini sulit dihilangkan (Razak, 1992 : p..21).
Spora jamur selalu ada dalam udara. Spora ini akan tumbuh jika,kondisi
memungkinkan. Kondisi yang hangat dengan temperatur antara 32o-35
o dan
kelembaban di atas 70% RH, gelap dan sedikit sirkulasi udara, jamur akan tumbuh
dengan subur. Menurut Harvey (1990 : p.36), secara umum tingkat kehangatan
udara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan jamur adalah 25o atau lebih dengan
kelembaban 75% atau lebih, ditambah dengan kegelapan sirkulasi udara yang
buruk dan jamur dapat mengakibatkan kertas pada buku menjadi lemah dan
suram. Jamur ini akan melemahkan kertas dan menimbulkan noda permanen.
Jamur juga bisa menyebabkan foxing. Gejala foxing terjadi karena asam organik
yang dihasilkan jamur akan bereaksi dengan partikel – partikel besi yang terdapat
dalam kertas dan membentuk noda yang berwarna merah kecoklatan (Razak, 1992
: p.21).
Serangga dan binatang pengerat memakan serat dan bahan organik lainnya
pada bahan pustaka. Serangga yang biasa menyerang bahan pustaka adalah
kacoa,silverfish, book lice, book worm dan rayap. Serangga ini memilih hidup di
tempat-tempat yang hangat, gelap dan lembab. Serangga ini memakan bahan
pustaka pada malam hari pada saat tidak ada orang. Kerusakan yang ditimbulkan
biasanya tidak dapat dikembalikan seperti semula, karena ada bagian-bagian yang
hilang atau berlubang. binatang pengerat merusak bahan pustaka karena dimakan
dan dipakai untuk membuat sarang. Binatang ini biasanya meninggalkan kotoran
yang menyebabkan bahan pustaka menjadi kotor. Menurut Tamara A. Susetyo
pada Kompas (23 Oktober 2008) dalam penelitian manuskrip di Cirebon,
melindungi manuskrip dengan materi yang berwarna kuning diyakini memiliki
kekuatan menghalau serangga yang akan mendekati manuskrip. Selain itu, cara
mencegah datangnya serangga atau hewan lainnya adalah diupayakan ruangan
tetap selalu bersih, susunan buku dalam rak-rak ditata secara rapi, sehingga ada
sirkulasi udara udara, rak harus dibuat dari bahan yang tidak disukai oleh
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
19
Universitas Indonesia
serangga ( kayu jati/logam), pada rak diberikan bahan yang berbau dan tidak
disukai oleh serangga, seperti kamper, naftalen, dll.
Menurut Harvey (1990: p.119), program pelestarian harus terintegrasi
kedalam aspek manajemen perpustakaan dan dalam setiap prosedur perpustakaan
seperti preservasi merupakan tanggung jawab manajemen, semua koleksi
memerlukan rencana preservasi, pelestarian harus menjadi pusat perhatian semua
staf perpustakaan pada setiap level dan menjadi bagian dari semua kegiatan rutin
di perpustakaan; preservasi bukan hanya menjadi garapan spesialis teknis di
laboratorium tersendiri.
Menurut J.M.Dureau dan D.W.G Clement dalam bukunya yang berjudul
The Principle for The Preservation and Conservation of Library Materials,
menyebutkan bahwa pelestarian (preservation) mempunyai arti yang lebih luas,
yaitu mencakup unsur-unsur pengelolaan dan keuangan, termasuk cara
penyimpanan dan alat-alat bantunya dan taraf tenaga kerja yang diperlukan,
kebijakan, teknik dan metode yang diterapkan untuk melestarikan bahan-bahan
pustaka serta informasi yang dikandungnya, Dengan demikian, tujuan preservasi
adalah melestarikan informasi yang direkam dalam bentuk fisiknya atau dialihkan
pada media agar dapat dimanfaatkan oleh pengguna. Unsur-unsur dalam
preservasi bahan pustaka meliputi :
1. Pengelolaan, meliputi kegiatan bagaimana mengelola bahan pustaka
agar dapat dimanfaatkan oleh pengguna baik tanpa mengabaikan
kelestarian bahan pustaka tersebut.
2. Keuangan, meliputi seberapa besar anggaran yang diubutuhkan untuk
kegiatan pelestarian bahan pustaka sehingga dengan jelas dalam
mengalokasikan biaya untuk kegiatan tersebut.
Menurut Hazen yang dikutip oleh Garjito (1991: p.91), istilah pelestarian
meliputi 3 ragam kegiatan, yaitu :
1. Kegiatan yang di tujukan untuk mengontrol lingkungan perpustakaan
agar dapat memenuhi syarat – syarat pelestarian bahan – bahan pustaka
yang tersimpan di dalamnya
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
20
Universitas Indonesia
2. Berbagai kegiatan yang berkaitan dengan usaha – usaha untuk
memperpanjang umur bahan pustaka, misalnya dengan cara
deadifikasi, restorasi atau penjilidan ulang
3. Seluruh kegiatan yang berkaitan dengan usaha untuk mengalihkan isi
informasi dari bentuk format atau matrik ke bentuk lain. Setiap
kegiatan menurut kategori – kategori tersebut itu tentu saja masih
dapat dikembangkan lagi ke dalam berbagai aktivitas lain yang lebih
khusus dan rinci.
Tujuan utama program preservasi bahan pustaka adalah mengusahakan
agar koleksi bahan pustaka selalu sedia dan siap pakai. Hal ini dapat dilakukan
dengan melestarikan bentuk fisik bahan pustaka, melestarikan kandungan
informasi kedalam media lain atau yang biasa disebut alih media. Seperti yang
dijelaskan Sulistyo Basuki (1990 : p.271), bahwa salah satu cara pelestarian
bahan-bahan pustaka itu adalah dengan cara mengalih bentuknya, dari bentuk
media yang satu ke bentuk media yang lain untuk keperluasn masa kini maupun
masa mendatang. Pernyataan tersebut didukung oleh Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia dengan melaksanakan pelestarian kandungan informasi bahan
pustaka melalui alih media ke media baru (Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia, 2001 : p.45).
Dalam melakukan pelestarian suatu manuskrip tentu saja terdapat
hambatan atau permasalahan yang mungkin terjadi. Masalah yang sering terjadi
dalam melakukan pelestarian atau preservasi adalah terbatasnya anggaran dana
(http//kompas-online.com). Menurut Martoadmojo (1991) unsur penting atau
sarana manajemen yang perlu diperhatikan dalam pelestarian bahan pustaka
adalah manajemennya, tenaga kerja, laboraturium dan dana. Dana untuk
keperluan kegiatan harus diusahakan dan dimonitor dengan baik sehingga
pekerjaan pelestarian tidak akan mengalami gangguan. Pendanaan ini tergantung
dari lembaga tempat perpustakaan bernaung.
Permasalahan pelestarian lainnya adalah permasalahan dasar yang
dihadapi oleh perpustakaan sekitar awal 1930 secara sederhana adalah kondisi
fisik bahan pustaka yang cepat rapuh sehingga sulit untuk ditangani. British
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
21
Universitas Indonesia
library dan juga American Library menaruh perhatian yang cukup serius pada
awal dekade tersebut, mereka mencoba untuk mengenali implikasi dari masalah
tersebut dan mulai membuat suatu program yaitu dengan mengalihmediakan
koleksi yang berkategori bahaya ke bentuk microfilm (Fearther, 1991 : p.4)
Pelestarian atau preservasi pada fisik juga sangat penting mengingat umur
manuskrip yang sudah ratusan tahun dan mengingat ketahanannya yang tidak
dapat bertahan lebih lama, maka alih media dibutuhkan. Alih media ke digital
merupakan teknik yang digunakan di era globalisasi. Pelestarian pada isi
manuskrip jika fisik naskah memadai. Artinya, jika tintanya masih bisa terlihat
dan masih bisa terbaca, maka manuskrip bisa didigitalisasikan.
Pada tahun 1980-an hingga akhir tahun 1990-an, upaya pembuatan salinan
naskah dilakukan melalui media microfilm. Seiring dengan perkembangan
teknologi digital, aktivitas alih media naskah pun mengalami revolusi penting
pada awal milenium kedua, yakni dengan digunakannya teknologi digital dalam
pembuatan salinan naskah, baik melalui kamera digital maupun mesin scanner.
Alih media naskah ke dalam bentuk microfilm pun mulai ditinggalkan, karena
dianggap tidak efisien lagi, baik dalam tahap pembuatan maupun penggunaannya
oleh pembaca, meski sebetulnya daya tahan sebuah microfilm akan jauh lebih
baik ketimbang foto digital (Oman Faturahman, 2009).
Digitalisasi menurut Lee (2001 : p.3) adalah “digitalization is the
conversion of an analog or code into a digital signal or code” atau digitalisasi
adalah konversi dari bentuk analog atau manual ke bentuk digital. Namun, proses
digitalisasi terkadang menghasilkan gambar dengan kualitas tidak baik. Selain
tergantung pada kualitas tinta manuskrip, tergantung juga pada penentuan kualitas
gambar dalam bentuk digital. Menurut Garjito (2002 : p.17), kualitas yang tinggi
dari gambar bitmap akan merekam seluruh detail penting dari teks maupun
gambar.
Digitalisasi dapat digunakan sebagai salah satu penyebaran informasi.
Melalui hal tersebut, fungsi pelestarian menjadi yang utama, sehingga terdapat
dua prinsip utama dari pelestarian yang menjadi perhatian, yaitu isi informasi
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
22
Universitas Indonesia
(content) dan wadah atau media informasi (container) (Sudarsono, 2006 : p.338).
Pentingnya alih media juga dinyatakan oleh Garjito (2001 : p.12), apabila tidak
ada kebijakan pemerintah untuk mengalihkan informasi yang sangat bernilai
historis tinggi tersebut akan musnah dimakan usia. Sutarno NS (2004 : p.105)
mendefinisikan kebijakan perpustakaan yang meliputi hal – hal pokok yaitu untuk
menghimpun informasi, memelihara dan sumber – sumber informasi; mengemas,
memberdayakan dan melayankan informasi; memanfaatkan seluruh asset
perpustakaan, dan memberikan kesenangan dan kepuasan pemakai karena
keinginannya terpenuhi dengan cepat, tepat, murah dan sederhana.
Menurut Martoadmojo (1993), tujuan pelestarian bahan pustaka ini adalah
:
1. Menyelamatkan nilai informasi dokumen
2. Menyelamatkan fisik dokumen
3. Mengatasi kendala kekurangan ruang
4. Mempercepat perolehan informasi
Secara singkat Lee (2002 : p.93) menjelaskan tujuan alih media adalah
mengusahakan agar koleksi selalu tersedia dan siap pakai untuk jangka waktu
yang lama. Hal ini dapat dilakukan dengan melestarikan informasi yang
terkandung dalam koleksi dengan mengalihmediakan atau melestarikan kedua –
duanya.
Namun, proses alih media ke digital memiliki prioritas. Menurut Seadle
(2004 : p.119), prioritas penting untuk memilih alih media kedalam bentuk digital
bahan pustaka terlihat dari tiga kriteria, yaitu :
1. Apakah bahan pustaka merupakan bahan pustaka yang rusak dan
berharga
2. Apakah prosedur digitalisasi bahan pustaka ini sesuai dengan standar
yang ada
3. Apakah hak cipta memberikan akses untuk tujuan pendidikan dan
penelitian
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
23
Universitas Indonesia
Selain debu, suhu dan kelembaban juga berpengaruh dalam kerusakan
bahan pustaka. IFLA menetapkan standar suhu udara sekitar 20o
- 22o celcius
dengan kelembaban udara sekitar 40% - 45%, Arsip Nasional Amerika Serikat
(United States national Archives) merekomendasikan kelembaban relatif antara
40% sampai dengan 50% sedangkan Canadiaan Council of Archives (1990 : p.16)
menyebutkan suhu dan kelembaban ideal adalah 18o – 20
o C dan 45% - 65%. Jika
tidak terdapat alat pengatur suhu atau pendingin ruangan maka bisa juga
menggunakan cara sederhana agar tidak terjadi fluktuasi udara. Menurut Tamara
A.Susetyo dalam Kompas (23 Oktober 2008), menyimpan manuskrip dalam peti
kayu, koper dan lemari jati diasumsikan dapat menurunkan fluktuasi udara yang
tak teratur.
Kelembaban niosbi atau relative humidity dapat didifinisikan sebagai
perbandingan antara berat uap air yang terkandung dalam udara pada volume
tertentu dengan kandungan uap air maksimum yang dapat diserap oleh udara pada
volume dan temperatur yang sama. Udara panas dapat menyerap lebih banyak uap
air. Jika dibandingkan dengan udara dingin. Oleh sebab itu kelembaban udara
akan naik jika temperatur turun dan sebaliknya kelembaban udara akan turun jika
temperatur naik selam kandungan uap air tidak berubah. Jumlah kandungan uap
air dalam udara sangat penting diketahui karenadengan adanya uap air ini akan
menambah kecepatan reaksi yang akan memacu kecepatan pelapukan bahan
pustaka. Seperti hidrolisa asam dalam kertas akan bertambah cepat jika temperatur
dan kelembaban tinggi. Kelembaban udara yang terlalu tinggi atau terlalu rendah
akan menimbulkan beberapa masalah. Kombinasi antara temperatur yang tinggi
dan kelembaban yang tinggi akan menyuburkan pertumbuhan jamur dan serangga.
Pada keadaan kelembaban yang terlalu tinggi akan menyebabkan tinta yang larut
dalam air akan menyebar dan kertas pada buku akan saling menempel, yang akan
sulit dilepas pada saat kering. Sebaliknya jika kelembaban udara terlalu rendah,
menyebabkan kertas menjadi kering dan garis serta sampul yang terbuat dari kulit
akan menjadi keriput.Perubahan temperatur akan menyebabkan perubahan
kelembaban. Fluktuasiyang sangat drastis akan besar pengaruhnya terhadap
kerusakan kertas, karena kertas akan mengendor dan menegang. Jika hal ini
terjadi berulang kali, akan memutuskan ikatan rantai kimia pada serat selulosa.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
24
Universitas Indonesia
Setiap kenaikan 10o suhu udara, maka kadar aktifitas kimiawi diperkirakan dapat
menjadi dua kali lipat. Panas merupakan salah satu penyebab utama rusaknya
koleksi karena akan mempercepat terjadinya reaksi kimia dan secara langsung
berdampak buruk kepada struktir fisik buku (Harvey, 1990).
Cahaya atau energi radiasi juga mempunyai efek pada bahan
pustaka.Cahaya akan mempercepat oksidasi dari melekul selulosa sehingga rantai
ikatan kimia pada moleksul tersebut terputus. Cahaya mempunyai pengaruh
pengelantang,menyebabkan kertas menjadi pucat dan tinta memudar. Karena
pengaruh cahaya ini, lignin pada kertas akan bereaksi dengan komponen lain
sehingga kertas berubahmenjadi kecoklatan.Sinar tampak dalam cahaya dapat
merusak bahan pustaka, akan tetapi sinar ultra violet yang tidak tampak lebih
reaktif dan lebih merusak. Radiasi ultra violetdengan panjang gelombang antara
300-400 nanometer menyebabkan reaksifotokimia, radiasi ultra violet ini berasal
dari cahaya matahari (25%) dan lampu TL(3-7%). Kerusakan karena cahaya
sangat tergantung dari panjang gelombang danmakin lama waktu pencahayaan
kertas makin cepat rusak. (Harvey, 1990 : p.34). Menurut Tamara A.Susetyo pada
Kompas (23 Oktober 2008), pantulan halus sinar matahari pagi dan sore hari
sebelum matahari terbenam diasumsikan dapat menghambat perkembangan
mikroorganisme.
Kecerobohan pengguna yang menimbulkan kehausan pada bahan pustaka.
Hal ini sesuai dengan pendapat Sulistyo Basuki (1992: p41) yang mengatakan
bahwa :
“ kerusakan fisik seperti dokumen kotor, goresan pada foto dan rekaman,
halaman koyak dan coretan pada sokumen sering terjadi bila unit
informasi terbuka untuk umum”
Pemustaka dapat menjadi lawan atau juga kawan dalam usaha pelestarian
bahan pustaka. Hal ini didukung dengan pernyataan Sulistyo Basuki (1990 : p272)
bahwa :
“ Manusia dalam hal ini pemakai perpustakaan dapat merupakan lawan
atau juga kawan. Pemakai perpustakaan menjadi kawan bilamana dia
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
25
Universitas Indonesia
membantu pengamatan buku dengan cara menggunakan bahan pustaka
secara cermat dan hati – hati. Pemustaka akan menjadi musuh bilamana
dia memperlakukan buku dengan kasar sehingga sobek dan rusak”
Kerusakan bahan pustaka termasuk pustakawan turut menjadi sebab pada
faktor kerusakan koleksi. Harvey (1990: p.37) mengatakan bahwa peranan
manusia baik sebagai petugas maupun pemakai lebih dominan dibanding dengan
faktor – faktor penyebab kerusakan koleksi buku lainnya. Artinya bila manusia
salah menangani pelestarian, maka koleksi tersebut bisa digolongkan sebagai
perusak koleksi. Selain itu bentuk penyalahgunaan bahan pustaka adalah bentuk
tindakan pemanfaatan yang salah dari bahan pustaka perpustakaan.
2.4.2 Konservasi
Konservasi bisa memiliki arti yang banyak. Sebagai contoh, seperti yang
digunakan oleh Badan Penasehat Konservasi Nasional (USA) pada tahun 1983,
istilah konservasi bermakna umum yaitu meliputi eksaminasi (pemeriksaan
terhadap bahan pustaka), preservasi (tindakan yang dilakukan untuk mencegah
kerusakan, melalui pengawasan terhadap lingkungan dan/atau perawatan atas
struktur bahan pustaka), dan restorasi adalah tindakan yang dilakukan untuk
sedapat mungkin mengembalikan suatu bentuk bahan pustaka yang telah rusak ke
bentuk aslinya dengan tidak begitu merusak nilai estetika dan integritas historinya
(Harvey, 1990 : p.1).
J.M. Dureau& D.W.G. Clements, mempunyai arti yang lebih luas, yaitu
mencakup unsur - unsur pengelolaan, keuangan, cara penyimpanan, tenaga, teknik
dan metode untuk melestarikan informasi dan bentuk fisik bahan pustaka.
Sedangkan konservasi adalah teknik yang dipakai untuk melindungi bahan
pustaka dari kerusakan dan kehancuran. Akan tetapi menurut sumber lain yang
menyangkup pelestarian bahan pustaka, kata konservasi mempunyai arti yang
lebih luas. Prinsip-prinsip konservasi yang ditulis dalam buku “Introduction to
Conservation” terbitan Unesco tahun 1979, ada beberapa tingkatan dalam
kegiatan konservasi, yaitu : Prevention of deterioration, Consolidation,
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
26
Universitas Indonesia
Restoration dan Reproduction yang masing - masing dapat diterjemahkan sebagai
berikut :
Pervention of deteroration adalah tidakan preventif utnyuk melindungi
bahan pustaka dengan mengendalikan kondisi lingkungan dan melindungi bahan
pustakadari kerusakan lainnya, termasuk cara penanganan.
Preservation adalah penanganan yang berhubungan langsung dengan
bahan pustka. kerusakan oleh udara lembab, faktor kimiawi, serangga dan
mikroorganismeharus dihentikan untuk menghindari kerusakan lebih lanjut.
Consolidation adalah memperkuat bahan yang sudah rapuh dengan
memberi perekat (sizing) atau bahan penguat lainnya.
Restoration adalah memperbaiki koleksi yang telah rusak dengan jalan
menambal menyambung, memperbaiki jilidan dan mengganti bagian yang hilang
agar bentuknya mendekati keadaan semula
Reproduction membuat kopi dari bahan asli, termasuk membuat bentuk
mikro dan foto reproduksi.
Kata ini mempunyai arti yang sama, yaitu pelestarian yang selanjutnya
pelestarian ini akan meliputi kegiatan pemeliharaan, perawatan, pengawetan,
perbaikan dan reproduksi.
Konservasi adalah seni menjaga sesuatu agar tidak hilang, terbuang dan
rusak atau dihancurkan. Konservasi manuskrip adalah perlindungan, pengawetan
dan pemeliharaan. Conservation atau pengawetan terbatas pada kebijakan serta
cara khusus dalam melindungi bahan pustaka dan arsip untuk kelestarian koleksi
tersebut. Konservasi merupakan konsep proses pengolahan suatu tempat atau
ruang ataupun objek agar makna kultural yang terkandung didalamnya terpeliara
dengan baik. Menurut Wendy Smith dari The National Library of Australia
membuat definisi yang lebih sederhana tentang konservasi, bahwa konservasi
adalah kegiatan yang meliputi perawatan, pengawetan dan perbaikan bahan
pustaka oleh konservator yang profesional.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
27
Universitas Indonesia
Menurut Teygeler (2001, p.34) dalam TANAP “Conservation Methods”,
terdapat 4 komponen piramida preservasi yang mencakup konservasi yaitu
preventive conservation, passive conservation, active conservation dan
restoration. Pertama adalah preventive conservation. Preventive conservation
adalah uapaya pelestarian bahan pustaka baik secara langsung maupun tidak
langsung, yang diikuti dengan mengoptimalkan kondisi lingkungan tempat
penyimpanban untuk memperpanjang kelangsungan hidupnya. Kedua adalah
passive conservation. Passive conservation adalah kegiatan-kegiatan yang
berkenaanb dengan survei terhadap kondisi fisik bahan pustaka. Pengawasan
terhadap kebersihan lingkungan, udara, dan sterilisasi tempat penyimpanan juga
termasuk ke dalam komponen ini. Ketiga adalah active conservation. Active
conservation mencakup seluruh tindakan baik secara langsung maupun tidak
langsung yang tertuju langsung pada objek konservasi untuk memperpanjang
kelangsungan bahan pustaka tersebut. Yang terakhir adalah restoration. Restorasi
adalah kegiatan memperbaiki bahan pustaka yang rusak hingga kembali kepada
bentuk aslinya dengan menggunakan berbagai macam bahan dan peralatan serta
teknik yang sesuai.
Dalam Burra Charter, konsep konservasi adalah semua kegiatan
pelestarian sesuai dengan kesepakatan yang dirumuskan pada piagam Burra
Charter yang mengartikan konservasi secara umum adalah pelestarian, namun
dalam khasanahnya sangat banyak pengertian yang ada dan berbeda implikasinya.
Menurut Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (1992 : p.2),
perawatan merupakan bagian dari Conservation yaitu pengawetan. Pengawetan
merupakan kebijaksanaan dan cara tertentu yang dipakai untuk melindungi bahan
pustaka dan arsip dari kerusakan dan kehancuran termasuk metode dan tenik yang
ditetapkan oleh petugas teknis.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
28
Universitas Indonesia
Upaya yang dapat dilakukan dalam melakukan proses konservasi atau
perawatan adalah :
1. Pembersihan terhadap noda
Noda yang terjadi pada kertas akan memberikan kesan kotor dan tentunya
akan menumbulkan zat asam yang kemudian menjadi foxing. Menurut
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (1992 : p.28) hal – hal yang
menyebabkan noda adalah :
a. Debu (Partikel Padat)
Debu merupakan partikel padat yang berasal dari berbagai zat. Partikel
logam misalnya, bila teroksidasi akan menimbulkan bercak – bercak kuning pada
permukaan bahan. Debu ini dapat dibersihkan dengan kuas atau sikat, penghapus
karet, busa atau vacuum cleaner. Noda terjadi hendaknya dibersihkan dengan air
karena air akan menyebabkan noda meresap masuk kedalam serat kertas dan akan
tinggal selamanya.
b. Zat Cair
1) Minyak
Minyak akan meresap dan menjalar sesuai dengan sifat zat cair. Noda yang
dihasilkan ditandai dengan perubahan warna kertas menjadi lebih tua dari warna
aslinya.
2) Air
Air yang meresap dan mengalir pada kertas sekaligus akan membawa kotoran ke
batas alir air sehingga noda lebih Nampak didaerah tepi alir air. Sedangkan di
daerah alirannya sendiri lebih bersih
3) Tinta yang luntur
Noda yang disebabkan oleh tinta yang luntur hanya terjadi pada permukaan saja
4) Asam
Terjadinya asam pada bahan disebabkan karena beberapa hal, misalnya karena
lingkungan, partikel debu, pengaruh usia atau dari proses pembuatan kertas itu
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
29
Universitas Indonesia
sendiri. Asam dapat menimbulkan noda di atas permukaan bahan yaitu
berubahnya warna bahan menjadi kecoklatan
2. Fumigasi
Fumigasi berasal dari kata fumigation atau to fumigate yang artinya
mengasapi atau mengasap. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (1995 :
p.75) menyatakan bahwa fumigasi merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
mengasapi bahan pustaka dengan menggunakan uap atau gas pembasmi serangga
atau jamur yang menyerang bahan pustaka yang ada di perpustakaan.
3. Menghilangkan keasaman pada kertas
Keasaman yang terkandung pada kertas menyebabkan kertas itu cepat
lapuk, terutama kalau kena polusi. Bahan pembuat kertas merupakan bahan
organic yang mudah bersenyawa dengan udara luar. Agar pengaruh udara tersebut
tidak berlanjut, maka bahan pustaka perlu dilaminasi.
Untuk menghilangkan keasaman pada kertas juga bisa melakukan
deadifikasi. Metode yang dikembangkan William Barrow pada tahun 1940 adalah
cara untuk menetralkan asam yang merusak kertas dan memberi bahan penahan
untuk melindungi kertas. Menurut Harvey (1990, p.109) deadifikasi dilakukan
secara lembar perlembar dengan cara basah.
4. Laminasi
Laminasi adalah suatu proses pelapisan dua permukaan kertas dengan
bahan penguat. Laminasi maksudnya adalah menutupi satu lembar diantara dua
lembar bahan penguat (PERPUSNAS, 1995 : p.93).
2.4.3 Restorasi
Restorasi dilakukan jika setelah melakukan konservasi. Restorasi adalah
cara dalam mengembalikan bentuk naskah menjadi lebih kokoh. Untuk
melakukan restorasi harus melihat keadaan manuskrip tersebut, karena setiap
kerusakan fisik perlu ditangani dengan cara yang berbeda. Hal ini dikarenakan
cara manuskrip yang rusak memiliki penyebab yang berbeda. Restorasi adalah
kegiatan memperbaiki bahan pustaka yang rusak hingga kembali kepada bentuk
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
30
Universitas Indonesia
aslinya dengan menggunakan berbagai macam bahan dan peralatan serta teknik
yang sesuai (Teygeler, 2001 : p.34).
Untuk melalukan restorasi harus melihat keadaan fisiknya terlebih dahulu.
Karena setiap keadaan fisik berbeda-beda dan harus ditangani dengan cara yang
berbeda – beda. Dalam power point berjudul “Studi Kasus tentang Pengalaman
Yayasan Sastra yang disampaikan pada Pelatihan Digitalisasi Naskah dan
Pengembangan Portal Naskah Nusantara Juni 2009 di Surakarta, langkah –
langkah melakukan restorasi pada nasakah kuno antara lain :
1. Membersihkan dan melakukan fumigasi
2. Melapisi dengan kertas khusus (doorslagh) pada lembaran naskah yang
rentan
3. Memperbaiki lembaran naskah yang rusak dengan bahan arsip
4. Menempatkan didalam tempat aman (almari)
5. Menempatkan pada ruangan ber-AC dengan suhu udara teratur
Namun ada beberapa pendapat lain yang mengemukakan bahwa menambal,
menyambung dan penjilidan termasuk dalam restorasi.
Menurut Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (1995, p.89)
menambal atau menutup bagian yang berlubang dapat dilakukan dengan Kertas
Jepang dan perekat kanji. Menambal juga dapat dilakukan dengan bubur kertas
atau menggunakan tissue yang berperekat. Kegiatan restorasi lainnya adalah
menyambung. Menyambung dilakukan untuk merekat bagian yang sobek atau
lemah karena lipatan, biasanya diperkuat dengan potongan kertas dari jenis
tertentu agar bagian yang sobek tidak melebar. Menurut Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia (1995 : p.91) ada beberapa cara dalam menyambung bahan
pustaka yang telah sobek. Selanjutnya yang terakhir adalah penjilidan. Penjilidan
adalah suatu cara untuk menghimpun atau menggabungkan beberapa lembaran
kertas menjadi satu serta dilapisi oleh sampul. Penjilidan dibagi menjadi 2 bagian
( PERPUSNAS, 1995 : p.3), (1) Dengan sampul lunak (soft cover) yaitu menjilid
dengan sampul tipis atau kertas yang mempunyai berat antara 165 gram sampai
320 gram. (2) Dengan sampul kertas (hard cover) yaitu menjilid dengan sampul
tebal atau karton yang mempunyai berat di atas 320 gram.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
31 Universitas Indonesia
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode
etnografi. Etnografi berasal dari kata ethno (bangsa) dan graphy (menguraikan
atau menggambarkan) jadi etnografi jika digabungkan adalah ragam pemaparan
penelitian budaya untuk memahami cara orang – orang berinteraksi dan
bekerjasama melalui fenomena teramati dalam kehidupan sehari – hari. Studi
etnografi merupakan salah satu dari lima tradisi kualitatif (Creswell, 1998 : p.85)
yaitu biografi, fenomenologi, grounded theory, etnografi dan studi kasus.
Pendekatan kualitatif itu sendiri menurut Bogdan dan Taylor dalam
Moleong (2005 : p.4) adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata – kata tertulis atau lisan dari orang – orang dan perilaku
yang dapat diamati, menurut mereka penelitian diarahkan pada latar dan individu
tersebut secara holistik.
Model etnografi adalah penelitian untuk mendeskripsikan kebudayaan
sebagaimana adanya. Sebagaimana adanya yang dimaksud dalam model etnografi
adalah mampu menjelaskan atau menjelajah susunan pemikiran rakyat sebagai
subjek. Model ini berupaya mempelajari peristiwa kultural yang menyajikan
pandangan hidup subyek sebagai obyek studi (Suwardi Endraswara, 2006 : p.50).
Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan dengan tujuan
utama aktivitas ini adalah untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut
pandang penduduk asli, sebagaimana dikemukakan oleh Bronislaw Malinowski,
bahwa tujuan etnografi adalah “memahami sudut pandang penduduk asli,
hubungannya dengan kehidupan untuk mendapat pandangan tentang duniannya
(1922 : p.25).
Penelitian etnografi adalah kegiatan pengumpulan bahan keterangan atau
data yang dilakukan secara sistematik mengenai cara hidup serta berbagai
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
32
Universitas Indonesia
aktivitas social dan berbagai benda kebudayaan dari suatu masyarakat. Para
etnografer belajar dengan mengamati orang dengan cara berinteraksi dalam
keadaan wajar dan dengan berusaha menilai pola penyebaran, seperti perputaran
hidup, peristiwa dan topik kebudayaan (Walcott, personal communication, 10
oktober 1996 dalam Creswell, 1998 : p.59). Menurut James P. Spradley (1979),
etnografer mengamati tingkah laku, tetapi lebih dari itu dia menyelidiki makna
tingkah laku itu. Etnografer melihat berbagai artefak dan objek alam, tetapi lebih
dari itu, dia juga menyelidiki makna yang diberikan oleh orang – orang terhadap
berbagai objek.
Tujuan dari penelitian etnografi sehingga penelitian ini dapat dibedakan
dari penelitian kualitatif lainnya yaitu, pemahaman terhadap ketujuh karakteristik
berikut sudah sangat memadai.
1. Tema-Tema Kultural
Etnografer pada umumnya meneliti tema-tema budaya yang diadopsi dari
bidang antropologi kultural. Dalam etnografi tema kultural didefinisikan sebagai
sebuah pandangan umum yang didukung oleh sebuah masyarakat, baik secara
langsung atau tersirat (Creswell, 2008: p.480). Tujuan etnografer bukanlah
mencari pola-pola tingkah laku, keyakinan yang mungkin sudah terlihat tetapi
menambah pengetahuan tentang bagian-bagian dari kebudayaan dan meneliti
tema-tema kebudayaan yang spesifik.
Dalam penelitian ini, tema kultural atau tema kebudayaan yang diambil
adalah kearifan lokal masyarakat Keraton Yogyakarta dalam melakukan
pemeliharaan terhadap manuskrip.
2. Sebuah Kelompok Kultural
Etnografers pada umumnya meneliti suatu unsur budaya yang secara
bersama-sama dimiliki sekelompok individu pada sebuah lapangan penelitian
(seperti guru-guru bahasa Inggris SD di sebuah kecamatan, siswa sebuah kelas,
sekelompok mahasiswa yang sedang melaksanakan PPL). Dengan demikian,
partisipan yang diteliti biasanya terdiri dari beberapa individu yang terikat oleh
satu atau lebih unsur kebudayaan.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
33
Universitas Indonesia
Dalam penelitian ini, yang menjadi sebuat kelompok kulturan adalah para
abdi dalem yang ada di Keraton Yogyakarta sebagai pelaku pemelihara manuskrip
secara kearifan lokal.
3. Kepemilikan Bersama atas Pola-Pola Tingkah laku, Keyakinan, dan Bahasa
Etnografer bertujuan menemukan pola-pola tingkah laku, keyakinan, dan
bahasa yang dimiliki/diadopsi secara bersama-sama oleh sekelompok individu
dalam kurun waktu tertentu, yang dimaksud dengan tingkah laku dalam etnografi
adalah tindakan yang dilakukan oleh individu dalam sebuah latar kultural.
Sedangkan keyakinan berhubungan dengan bagaimana individu berpikir atau
memahami sesuatu dalam sebuah latar kultural. Dalam hal ini, para abdi dalem
meyakini dan mengadopsi beberapa keyakinan atau tingkah laku yang menjadi
pola hidup atau pedoman dalam melakukan suatu hal yang kemudian menjadi
budaya turun temurun.
4. Penelitian Lapangan
Penelitian lapangan dalam konteks etnografi berarti peneliti menjaring
data di lokasi tempat partisipan dan pola-pola kultural yang diteliti berada.
Etnografer menjaring data dengan cara tinggal bersama dengan para partisipan
untuk mengamati bagaimana mereka pola-pola yang mereka gunakan ketika
bekerja, bersantai, beribadah, dan lain-lain. Untuk memperoleh pemahaman yang
lebih mendalam, peneliti bisa turut serta bekerja, bermain, atau beribadah dengan
para partisipan. Pada penelitian ini, peneliti ikut serta masuk kedalam kebudayaan
Keraton Yogyakarta dari mulai melakukan beberapa tata cara, upacara dan juga
bagaimana cara kerja abdi dalem dalam melakukan perawatan terhadap
manuskrip. Peneliti juga ikut melakukan kegiatan dari awal KHP Widya Budaya
dibuka sampai ditutup.
5. Deskripsi, Tema-Tema, dan Interpretasi
Tujuan penelitian etnografi adalah menggambarkan dan menganalisis
budaya yang dimiliki bersama oleh sekelompok individu serta membuat
interpretasi tentang pola-pola yang terlihat maupun didengar. Sewaktu
mengumpulkan data, etnografer pada hakikatnya sudah mulai mengerjakan
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
34
Universitas Indonesia
penelitiannya karena pada saat itu dia telah melakukan analisis data untuk
mendeskripsikan para partisipan dan lapangan tempat budaya yang dimiliki
bersama itu berada. Pada saat yang sama peneliti juga secara simultan
menganalisis pola-pola tingkah laku, keyakinan, dan bahasa serta menarik
kesimpulan tentang makna yang diperoleh dari pengamatan terhadap partisipan
dan lapangan penelitian.
6. Konteks atau Latar
Dalam etnografi, konteks berarti latar, situasi, atau lingkungan yang
menaungi kelompok individu yang diteliti. Konteks ini dibentuk oleh berbagai
unsur yang saling berhubungan, seperti sejarah, agama, politik, ekonomi, dan
lingkungan sekitar. Konteks bisa berbentuk sebuah lokasi fisik (seperti wilayah
sebuah desa, gedung-gedung sebuah sekolah, warna tembok sebuah ruangan
kelas, dan sebagainya), konteks historis para individu dalam kelompok dimaksud
(seperti pengalaman sekelompok prajurit selama menjalani latihan perang di
sebuah hutan. Konteks yang diambil dalam penelitian ini adalah konteks berupa
fisik yaitu KHP Widya Budaya dan konteks historis yaitu kearifan lokal dalam
melakukan proses pemeliharaan manuskrip.
7. Refleksivitas Peneliti
Dalam etnografi, refleksivitas merujuk pada kesadaran dan keterbukaan
peneliti utuk membahas bagaimana dia dapat menjalankan perannya sambil tetap
menghargai dan menghormati lapangan dan para partisipan. Karena penelitian
etnografi menuntut peneliti tinggal dalam jangka waktu yang relatif lama di
lapangan, peneliti harus memikirkan dampaknya terhadap lapangan dan para
partisipan.
Penelitian ini diawali dengan mengetahui kebudayaan di Keraton
Yogyakarta dan perlakuan berdasarkan kearifan lokal dalam mmelakukan
preservasi dan konservasi. Melalui wawancara terhadap informan, dapat diketahui
simbol – simbol perlakuan yang bermakna sehingga dapat disamakan dengan
makna ilmiah yang sudah ada. Selain itu, melalui observasi dan wawancara juga
akan diketahui bagaimana abdi dalem sebagai pelaku budaya dapat menerima
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
35
Universitas Indonesia
perkembangan budaya. Dengan menggunakan teori etnografi, penelitian ini dapat
mengaitkan antara cara pemeliharaan, perawatan dan perbaikan manuskrip secara
kearifan lokal dan tinjauan literatur yang sudah ada sebelumnya sebagai teori. Hal
ini sejalan dengan konsep Marvin Harris (1992 : p.19) bahwa kebudayaan akan
menyangkut nilai, motif, peranan moral etik dan makna nya sebagai sebuah sistem
sosial dan digabungkan dengan pernyataan Spradley (1997 : p.5) yaitu etnografi
harus menyangkut hakikat kebudayaan yaitu sebagai pengetahuan yang diperoleh,
yang digunakan orang untuk menginterpretasi pengalaman dan melahirkan
tingkah laku sosial.
3.2. Informan
Informan memiliki lima syarat minimal (Spradley, 1997) yaitu :
enkulturisasi penuh, keterlibatan langsung, mengenal suasana budaya nya,
memiliki waktu yang cukup dan non analitis. Penentuan informan kunci juga
penting dalam penelitian etnografi. Informan kunci dapat ditentukan menurut
konsep Benard (1994 : p.166) yaitu orang yang dapat bercerita secara mudah,
paham terhadap informasi yang dibutuhkan, dan dengan gembira memberikan
informasi kepada peneliti. Menurut James P. Spradle, enkulturasi penuh
merupakan proses alami dalam mempelajari suatu budaya tertentu sehingga abdi
dalem yang menjadi informan dirasa tepat sebagai sumber penelitian.
Dalam hal ini, penelitian dilakukan dengan 6 orang abdi dalem selaku
orang yang bekerja dalam KHP Widya Budaya. Abdi dalem yang menjadi
informan adalah :
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
36
Universitas Indonesia
Tabel 3.1 Data Informan
Namun, secara umum Spradley (1997 : p.63) memberi batasan bahwa
informan paling tidak harus mempunyai keterlibatan dalam suasana budaya
selama satu tahun penuh. Berdasarkan dari batasan yang merupakan syarat
minimal yang dari Spradley, maka peneliti memilih ke-6 informan seperti yang
ada pada tabel di atas. Ke-6 informan di atas merupakan abdi dalem yang sudah
berada dan bekerja pada KHP Widya Budaya lebih dari satu tahun dan cukup
mumpuni dalam melakukan preservasi, konservasi maupun restorasi.
Pertama adalah KRT. Purwadiningrat, beliau adalah pengageng II KHP
Widya Budaya. Beliau merupakan abdi dalem yang mengetahui seluk beluk
tentang Keraton Yogyakarta. Beliau sudah lama menjadi abdi dalem sehingga
mengetahui sejarah Keraton Yogyakarta terutama informasi tentang manuskrip.
Kedua adalah KRT. Rinta Iswara. Beliau adalah carik KHP Widya Budaya
yang juga merupakan pensiunan guru sejarah yang memahami sejarah Keraton
NO Nama (Nama Keraton) Jabatan di Keraton
Yogyakarta
Pekerjaan
1 KRT. Purwadiningrat Pengageng II K.H.P Widya
Budaya
Pensiunan PNS
2 KRT. Rinta Iswara Sekertaris atau Carik KHP
Widya Budaya
Pensiunan Guru
Sejarah
3 R.Ry Widyahadibrata Pegawai KHP Widya Budaya Guru Ekonomi di
SMAN & Yogyakarta
4 MB. Widyasastra Pitaya Pegawai KHP Widya Budaya Pengelola Arsip di
BPAD Yogyakarta
5 KRT. Budya Pustaka Pegawai Restorasi KHP Widya
Budaya
Pensiunan Museum
Sono Budoyo
6 MP. Budyarusmandaru Pegawai Restorasi KHP Widya
Budaya
Pensiunan PNS
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
37
Universitas Indonesia
Yogyakarta tidak hanya dari sisi guru namun dari sisi abdi dalem yang melakukan
seluruh kegiatan kearifan lokal didalamnya.
Ketiga adalah R.Ry Widyahadibrata. Beliau masih aktif menjadi tenaga
pengajar ekonomi disalah satu SMA Negeri di Yogyakarta. Beliau bertugas
memelihara dan merawat koleksi manuskrip namun pada saat penelitian, beliau
sedang melakukan proses digitalisasi. Sejak ada bantuan digitalisasi dari
Universitat Leipzig, beliau bertugas melakukan digitalisasi. Keahliannya dalam
mendigitalisasi koleksi manuskrip dapat menjadi informasi yang penting dalam
melakukan penelitian ini.
Keempat adalah MB. Widyasastra Pitaya. MB Widyasastra Pitaya atau
yang biasa dipanggil Pak Pitoyo adalah tenaga ahli dari BPAD Yogyakarta yang
menjadi abdi dalem. Beliau masih aktif bekerja di BPAD dan juga menjadi abdi
dalem di Keraton Yogyakarta. Beliau bersedia menjadi abdi dalem di KHP Widya
Budaya karena beliau ditugaskan dari BPAD Yogyakarta dan beliau juga turut
ingin membantu dalam proses pemeliharaan dan perawatan koleksi manuskrip.
Kelima dan keenam adalah KRT. Budya Pustaka dan MP.
Budyarusmandaru. Kedua abdi dalem tersebut merupakan abdi dalem yang
bertugas merestorasi manuskrip yang sudah rusak. Mereka meminta untuk
memfokuskan diri dalam melakukan restorasi manuskrip agar pekerjaannya tidak
terbengkalai. Mereka memilih bekerja dalam KHP Widya Budaya dengan alasan
mereka merupakan pensiunan dari Museum Sono Budoyo sehingga ingin
melanjutkan mengabdikan diri dalam pekerjaan yang bersifat perawatan yang
berhubungan dengan budaya.
3.3. Instrumen Penelitian
Untuk membantu proses pengambilan data pada kondisi manuskrip agar
akurat, maka digunakan beberapa instrument sebagai pendukung penelitian.
1. ph indicator dan aquades. Cara penggunaannya : aquades diteteskan
pada tepi kertas, kemudian dibiarkan selama 5 menit. Perubahan warna
kertas yang ditetesi air selanjutnya dicocokan dengan kertas indicator
tentang keasamannya dan dicatat skala pH nya (Clap, 1987).
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
38
Universitas Indonesia
2. Digital Thermo-Hygrometer (alat pengukur suhu ruangan dan
kelembaban ruangan)
3. Camera Canon 1000D (alat untuk mengabadikan gambar yang ada
ditempat penelitian)
3.4. Teknik Pengumpulan data
Arikunto (2006 : p.129) mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan
sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh, untuk
mengidentifikasi sumber data dapat di klasidikasi menjadi tiga tingkatan yaitu dari
person (sumber data berupa orang), place (sumber data berupa tempat) dan paper
(sumber data berupa simbol). Menurut Moleong (2005 : p.11) mengungkapkan
bahwa data yang dihasilkan dari penelitian kualitatif adalah berupa kata – kata dan
bukan angka – angka. Dengan demikian penelitian ini berisi kutipan – kutipan
untuk memberikan gambaran penyajian laporan. Data dapat diperoleh dari
wawancara laporan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi dan foto.
Hal tersebut sejalan seperti yang dikatakan Suwardi Endraswara (2006,
p.50) bahwa etnografi pada dasarnya lebih memanfaatkan teknik pengumpulan
data pengamatan berperan serta (participant observation) karena etnografi
lazimnya bertujuan untuk menguraikan budaya tertentu secara hilostik. Metode
etnografi memiliki ciri unik yang membedakannya dengan metode penelitian
kualitatif lainnya, yakni: observatory participant sebagai teknik pengumpulan
data, jangka waktu penelitian yang relatif lama, berada dalam setting tertentu,
wawancara yang mendalam dan tak terstruktur serta mengikutsertakan interpretasi
penelitinya.
Berdasarkan teori di atas, penelitian ini membagi dua sumber data dalam
pengambilan data. Pertama data sekunder dan kedua adalah data primer.
3.5.1 Data Primer
Data primer merupakan data yang berasal langsung dari sumber data, yang
dikumpulkan secara khusus yang berhubungan dengan permasalahan penelitian
(Cooper & Emory, 1995).
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
39
Universitas Indonesia
Pengumpulan data primer dalam penelitian ini adalah dengan :
1. Observasi
Observasi merupakan teknik pengamatan dengan berdasarkan
pengalaman yang memungkinkan keberadaan data dengan cara
mengamati gejala – gejala yang nampak pada objek penelitian.
Peneliti mengamati keseharian abdi dalem yang berada dalam KHP
Widya Budaya dalam melakukan pengamatan secara langsung
kemudian mencatat perilaku dan kejadian atau proses pemeliharaan,
perawatan dan perbaikan serta upacara – upacara adat terhadap koleksi
manuskrip secara apa adanya yang terjadi di KHP Widya Budaya.
Peneliti juga melakukan pengamatan langsung pada koleksi manuskrip
dengan mengukur temperatur ruangan dan kelembaban relatif dengan
menggunakan digital thermohygrometer serta melakukan tingkat
keasaman kertas dengan menggunakan pH indicator.
2. In Dept Interview
In dept interview adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam
adalah teknik pengumpulan data dengan bertanya langsung kepada
informan yang bersangkutan dan keterangan untuk tujuan penelitian
Wawancara dilakukan dengan para abdi dalem selaku informan untuk
mendapat informasi yang dibutuhkan untuk tujuan penelitian.
3. Digital etnografi
Digital etnografi adalah teknik pengumpulan data dengan
menggunakan karena untuk memfoto kejadian – kejadian yang terjadi,
dalam penelitian ini adalah memfoto dan merekam kegiatan para abdi
dalem yang sedang melakukan kegiatan sehari – hari dalam
pelestarian, perawatan dan perbaikan koleksi manuskrip.
3.5.2 Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang bukan diperoleh sendiri melainkan dibantu
oleh pihak lain atau media lain (Marzuki, 1995). Data sekunder dapat diperoleh
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
40
Universitas Indonesia
melalui penelusuran studi – studi dokumen yang terdapat ditempat penelitian dan
yang ada hubungannya dengan masalah – masalah yang diteliti seperti data
statistik, literatur, artikel, studi kasus dan jurnal penelitian terlebih dahulu yang
sekiranya dibutuhkan dalam penelitian ini.
Data sekunder yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Netnografi adalah studi etnografi yang dikerjakan secara online atau
melalui internet. Sumber data untuk penelitian ini diambil melalui
internet browsing mengenai preservasi, konservasi dan restorasi.
2. Informasi yang didapat dari jurnal online ilmiah dan website – website
resmi tentang Keraton Yogyakarta
3. Informasi yang didapat dari literatur dan artikel tentang kebudayaan
masyarakat Yogyakarta
3.5 Teknik Analisis Data
Menurut Moleong (2005 : p.248) teknik analisis data adalah penyusunan
data agar dapat ditafsirkan menyusun data berarti menggolongkan dalam pola,
tema atau kategori. Tafsiran atau interpretasi artinya memberikan makna kepada
analisis menjelaskan pola atau kategori mencari hubungan antara berbagai konsep.
Ciri – ciri penelitian etnografi adalah analisis data yang dilakukan secara
holistik. Menurut Hutomo (Sudikan, 2001 : p.85-86), ciri – ciri yang merupakan
analisis data yang dilakukan secara holistik adalah : (1)Mencatat secara teliti
fenomena budaya yang dilihat, dibaca lewat apapun termasuk dokumen
resmi, kemudian mengkombinasikan, mengabstrakan, dan menarik
kesimpulan, (2) analisis bersifat induktif, (3) kebenaran harus dicek dengan
data lain.
1. Peneliti melakukan observasi dengan melihat hal – hal yang berkaitan dengan
keseharian para abdi dalem di KHP Widya Budaya,
2. Peneliti melakukan wawancara kepada para informan dan melakukan
penelitian pada sampel secara bersamaan,
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
41
Universitas Indonesia
3. Peneliti melihat kejadian – kejadian yang data dan menganalisis data yang
diperoleh dan melakukan wawancara mendalam kepada informan tentang
bahan bacaan yang diperoleh peneliti,
4. Melakukan transformasi data dari catatan – catatan yang diperoleh di lapangan,
5. Peneliti melakukan analisis terhadap tingkat kerusakan manuskrip berdasarkan
sampul manuskrip, kertas dan jilidan.
6. Mengkombinasikan antara hasil wawancara kepada para abdi dalem selaku
informan dengan bahan literatur yang diperoleh sebelum penelitian,
7. Peneliti mencari pola – pola umum, korelasi atau teori yang berhubungan
dengan penelitian untuk menyesuaikan data lain demi memeriksa kebenaran
dari data yang didapat.
3.6 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Keraton Yogyakarta tepatnya di Kawedanan
Ageng Punakawan Widya Budaya yang merupakan tempat penyimpanan naskah
milik Keraton Yogyakarta dengan berbagai subjek judul yang berada di sudut
tenggara kompleks induk Keraton Yogyakarta.
Penelitian ini dilakukan secara berkala. Pertama dilakukan pada bulan Desember
2011 selama kurang lebih dua minggu dan penelitan yang kedua dilakukan pada
Bulan Januari 2012 selama kurang lebih tiga minggu.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
42 Universitas Indonesia
BAB 4
PEMBAHASAN DAN ANALISIS
Pada bab pembahasan dan analisis ini, dipaparkan bagaimana kearifan
lokal pada kehidupan para abdi dalem yang tercermin dalam melakukan
pemeliharaan manuskrip. Pemeliharaan manuskrip tersebut mencakup preservasi
dan juga konservasi. Namun, restorasi secara modern juga akan dibahas karena
walaupun alat – alat canggih sudah masuk tapi pelaku restorasi adalah para abdi
dalem yang nota bene adalah orang yang tidak memiliki pendidikan khusus
dibidang manuskrip atau bidang preservasi dan konservasi. Dalam penelitian ini,
diambil enam judul manuskrip yang merupakan dua jenis kertas yang berbeda
tahun pembuatannya yang merupakan bukti atau cerminan perlakukan preservasi
dan konservasi berdasarkan kearifan lokal. Diharapkan akan terlihat bagaimana
pemeliharaan dan perawatan secara kearifan lokal setempat yang menjadi isu
dalam penelitian ini. Dengan modal suatu tradisi secara kearifan lokal setempat,
akan dibuktikan bahwa pemeliharaan dan perawatan yang sederhana dapat
menghasilkan pelestarian yang baik.
Dalam bab pembahasan dan analisis ini, pertama akan dibahas tentang
sekilas kehidupan di Keraton Yogyakarta. Melalui pembahasan ini, akan terlihat
bagaimana kehidupan di Keraton Yogyakarta beserta rakyat atau pelaku
kehidupan yaitu abdi dalem. Pada pembahasan ini, akan terlihat bagaimana abdi
dalem sebagai pelaku kebudayaan sangat menjunjung tinggi kearifan lokal. Kedua
akan dibahas tentang lingkungan Tepas KHP Widya Budaya sebagai tempat
penelitian. Melalui pembahasan ini, akan terlihat gambaran suasana dan
lingkungan tempat penelitian sebagai tempat penyimpanan manuskrip. Ketiga
akan dibahas tentang preservasi dan konservasi berdasarkan kearifan lokal di KHP
Widya Budaya. Melalui pembahasan ini akan terlihat bagaimana para abdi dalem
sebagai pelaku kebudayaan memperlakukan manuskrip dan melakukan upaya
perbaikan terhadap manuskrip yang rusak. Keempat, akan dibahas tentang
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
43
Universitas Indonesia
pengaruh modernisasi dan perlakuan modern di tengah kearifan lokal.
Pembahasan ini bertujuan untuk melihat sejauh mana pihak Keraton Yogyakarta
menerima globalisasi dengan adanya modernisasi. Selain itu, pembahasan ini juga
bertujuan untuk menganalisa bagaimana para abdi dalem melakukan kegiatan
menggunakan alat – alat yang sudah modern dengan keterbatasan pendidikan
tentang restorasi.
Melalui pembahasan tersebut, akan terlihat bagaimana keraton menjaga
budaya tradisionalnya di dalam lingkungan perpustakaan yang nota bene
merupakan lambang pengetahuan, logika dan nalar. Dalam penelitian ini, dapat
diketahui mengapa keraton tetap mempertahankan tradisinya dalam melakukan
preservasi dan konservasi dan bagaimana pengaruhnya terhadap kemajuan
teknologi yang kemungkinan akan membuat kondisi manuskrip lebih baik. Selain
itu, pembahasan ini bertujuan untuk mengetahui cara kearifan lokal apa saja yang
masih digunakan dan cara modern apa saja yang sedang berjalan atau digunakan.
4.1. Sekilas tentang Keraton Yogyakarta
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta merupakan
istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang berlokasi di Kota
Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Walaupun kesultanan
tersebut secara resmi telah menjadi bagian Republik Indonesia pada tahun 1950,
kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal sultan dan
rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kesultanan hingga saat ini
(Chamamah Soeratno et. Al., 2004). Keraton yang menghasilkan budaya adi
luhung 1 dengan ciri khasnya berusaha untuk dipertahankan dan disebarkan untuk
batas-batas tertentu. Diseminasi budaya keraton kepada masyarakat tidak
dilakukan apa adanya akan tetapi sebagian. Keraton masih perlu untuk
mempertahankan ciri khas budayanya untuk kalangan keraton sendiri.
Eksklusivitas budaya yang dijaga ini dapat dipandang dari dua sisi, yakni dari sisi
subyek bangsawan keraton dan kedua dari sisi obyek budaya keraton. Sementara,
dari sisi budayanya, eksklusifitas dapat dipahami karena untuk menjaga
1 Adi luhung adalah elite culture atau budaya elite. Dalam hal ini adalah kalangan bangsawan
dengan mutu tinggi.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
44
Universitas Indonesia
kemurnian (purification). Apabila semua budaya Keraton disebarkan maka
keaslian budaya akan kesulitan dilacak kembali. Dalam hal ini, penyebaran akan
berarti perubahan. Budaya dapat diibaratkan sebagai sebuah air yang akan
demikian mudah berubah mengikuti tempatnya. Konteks di sini adalah lingkungan
masyarakat yang menerima sebuah budaya. Dengan demikian tingkat kualitas dan
kuantitas penyebaran budaya keraton akan mengikuti pembagian wilayah keraton.
Semakin jauh dari pusat kebudayaan, yakni keraton, maka pengaruh budaya
keraton akan semakin menipis (Majalah Ilmiah Kebudayaan Volume I, Lembaga
Studi Jawa, 1997).
Dalam melakukan kebudayaan, penyebaran budaya dan interaksi sosial,
Keraton Yogyakarta memiliki pelaku budaya yaitu abdi dalem. Abdi dalem adalah
orang yang mengabdi pada keraton. Abdi dalem sendiri adalah pelaku budaya.
Terlihat pada saat penelitian, para abdi dalem sangat mencintai pekerjaannya dan
juga mencintai keraton. Semua itu terbukti dari bagaimana sikap dan sifat yang
selalu ramah kepada pengunjung yang hadir. Selain itu, sikap yang sopan dan
perlakuan yang tradisional tetap dijunjung tinggi para abdi dalem. Abdi dalem
merupakan orang yang mengabdikan dirinya untuk kerabat keraton dan
mengabadikan sepenuh hati untuk Raja Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat
dengan segala aturan yang ada. Keunikan abdi dalem terlihat dari pakaian yang
dikenakan. Abdi dalem identik dengan pakaian luriknya dengan garis corak lurik
tiga per empat biru, kancing di leher yang berjumlah enam, dan kancing lengan
tangan yang berjumlah lima. Begitu juga abdi dalem yang bekerja di tepas KHP
Widya Budaya, walaupun bekerja merawat manuskrip dan memperbaiki
manuskrip namun para abdi dalem tetap menggunakan pakaian khas abdi dalem
tersebut. K.R.T Rinta Iswara selaku carik dan juga informan mengatakan :
“Para abdi dalem mendapatkan gelar dari Keraton dan mendapatkan
pendidikan. Hal ini untuk menandakan bahwa mereka adalah benar-benar
abdi dalem Keraton Yogyakarta yang memahami segala adat dan peraturan
Keraton.”
KRT Rinta Iswara juga menambahkan,
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
45
Universitas Indonesia
“Bagi para abdi dalem, mengabdi pada keraton adalah panggilan jiwa.
Menjadi abdi dalem akan mendapatkan berkah dari Keraton, baik berkah
dalam kehidupan, rejeki, anak, dan lainnya.”
Selain itu, MB. Widyasastra Pitaya selaku abdi dalem yang bertugas
melakukan preservasi dan konservasi di KHP Widya Budaya juga mengatakan
bahwa :
“Setiap warga Yogyakarta ingin sekali menjadi abdi dalem keraton dengan
tulus dan ikhlas. Bahkan dengan gaji sekitar Rp.15.000 sampai Rp. 80.000,
kami tetap melakukan pekerjaan dengan ikhlas”
Keraton Yogyakarta yang tidak hanya melaksanakan fungsinya sebagai
wahana pelestarian budaya juga melakukan interaksi terhadap masyarakat sebagai
wujud rasa sosial yang tinggi, contoh nyatanya adalah hal- hal yang terjadi belum
lama ini, bahwa 40 ribuan warga melakukan pisowanan ageng ke Keraton
Yogyakarta. Menurut Gregorius Sahdan, pisowanan ageng ini merupakan tradisi
baru dalam konteks hubungan kawula lan gusti di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dari semua ini terlihat jelas bahwa Keraton Yogyakarta melaksanakan peran
sosialnya.
Secara fisik, Keraton Yogyakarta Sultan Yogyakarta memiliki tujuh
kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Hall Utara), Kamandhungan Ler
(Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan
Selatan (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Selatan (Hall selatan). Selain
itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik dalam bentuk
upacara dan benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, keraton juga
merupakan institusi tradisional lengkap dengan pemangku kepentingan adat.
Nilai-nilai filsafat serta mitologi mengelilingi Keraton Yogyakarta, sehingga
Keraton Yogyakarta menjadi pusat tradisi dan menjadi kiblat bagi masyarakat
sekitar untuk tetap menggunakan kearifan lokal dalam melakukan keseharian.
Tata kenegaraan yang berbentuk kerajaan muncul pertama kali di Indonesia dalam
satu perangkat dengan unsur-unsur budaya lain dari India seperti bahasa, aksara,
seni dan tata masyarakat pada umumnya. Konsep mengenai pemimpin Negara
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
46
Universitas Indonesia
yang demikian membawa pada pemusatan kekuasaan kenegaraan di dalam tokoh
raja (Edi Sedyawati, 2010).
Sumber : Buku Panduan Wisata Keraton Yogyakarta
Gambar 4.1 Denah Keraton Yogyakarta
Keraton Yogyakarta kini juga merupakan salah satu objek wisata di Kota
Yogyakarta. Sebagian kompleks keraton merupakan museum yang menyimpan
berbagai koleksi milik kesultanan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja
Eropa, replika pusaka keraton, manuskrip dan gamelan. Pusaka di Keraton
Yogyakarta disebut sebagai Kagungan Dalem (harfiah=milik Raja) yang dianggap
memiliki kekuatan magis atau peninggalan keramat yang diwarisi dari generasi-
generasi awal. Kekuatan dan kekeramatan dari pusaka memiliki hubungan dengan
asal usulnya, keadaan masa lalu dari pemilik sebelumnya atau dari perannya
dalam kejadian bersejarah. Dalam lingkungan keraton, pusaka dapat dalam bentuk
baik benda nyata ataupun pesan yang terdapat dalam sesuatu yang lebih abstrak
seperti penampilan. Baik nilai sejarah spiritual dan fungsional berdekatan dengan
Sultan dan kebijaksanaanya. Pusaka merupakan sebuah aspek budaya Keraton
Yogyakarta. Sebagai sebuah lembaga yang terdiri dari Sultan dan keluarganya,
termasuk keluarga besarnya yang disebut dengan trah, dan pejabat atau pegawai
kerajaan atau istana, keraton memiliki peraturan mengenai hak resmi atas orang
yang akan mewarisi benda pusaka. Pusaka memiliki kedudukan yang kuat dan
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
47
Universitas Indonesia
orang luar selain di atas tidak dapat dengan mudah mewarisinya. Keberadaaannya
sebanding dengan keraton itu sendiri.
Wujud benda pusaka di Keraton Yogyakarta bermacam-macam. Benda-
benda tersebut dapat dikelompokkan menjadi: (1) Senjata tajam; (2) Bendera dan
Panji kebesaran; (3) Perlengkapan Kebesaran; (4) Alat-alat musik; (5) Alat-alat
transportasi; (6) Manuskrip, babad (kronik) berbagai karya tulis lain; (7)
Perlengkapan sehari-hari; dan (8) Lain-lain (K.P.H Brongtodiningrat, dalam “Arti
Keraton Yogyakarta).
Ada satu contoh manuskrip yang kemudian menjadi benda pusaka yang
sangat keramat yaitu Manuskrip Suryo Rojo yang artinya adalah Suryo =
Matahari ; Rojo = Raja yang jika isinya adalah ajaran-ajaran raja. Manuskrip
tersebut merupakan manuskrip khusus yang pernah mengalami kejadian mistik
sebelumnya sehingga dijadikan benda pusaka.
Berbagai naskah kuno yang merupakan kekayaan budaya masa lampau
saat ini tersebar di seluruh Nusantara. Media yang dipergunakan untuk menulis
karya intelektual yang luar biasa tersebut adalah daun lontar, kertas daluang atau
dluwang, bambu atau kulit kayu. Dengan demikian, keberadaan kertas sebagai
media karya intelektual dalam kehidupan manusia cukup penting. Karena selain
sebagai dokumen pencatat ilmu pengetahuan, kertas juga berfungsi media untuk
promosi perdagangan, sarana untuk menyampaikan pikiran serta gagasan, dan lain
sebagainya. Di atas permukaannyalah terletak berbagai informasi yang ingin
disampaikan, misalnya tulisan atau gambar. Terkait dengan hal tersebut,
manuskrip yang ada di Keraton Yogyakarta khususnya yang dimiliki KHP Widya
Budaya Keraton Yogyakarta sangat menarik untuk diteliti dibandingkan dengan
tempat penyimpanan manuskrip lainnya karena banyaknya judul dari tema agama
sampai sastra dan dengan berbagai periodisasi manuskrip itu sendiri yang
membutuhkan perawatan beserta pelestarian khusus.
4.2. Kondisi Lingkungan Tepas KHP Widya Budaya Keraton Yogyakarta
Kawedanan Hageng Punakawan atau disingkat dengan KHP berada
dibawah pimpinan Kawedanan Hageng Punakawan Nitya Budaya. Kawedanan
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
48
Universitas Indonesia
Hageng Punakawan Widya Budaya merupakan tempat penyimpanan koleksi
manuskrip, arsip keraton dan buku – buku langka. Koleksi tersebut merupakan
koleksi milik Keraton, terutama manuskrip. Perpustakaan Keraton Yogyakarta
menyimpan berbagai khasanah budaya, antara lain berupa manuskrip-manuskrip
lama yang jumlahnya ratusan. Karya sastra tersebut masih jarang diteliti, sehingga
belum banyak dikenal dan diketahui isi kandungan atau pesan-pesan yang ada di
dalamnya. Manuskrip-manuskrip lama yang terdapat di perpustakaan Keraton
Yogyakarta itu diperlakukan sebagaimana benda-benda pusaka yang
dikeramatkan. Beberapa diantaranya bahkan tidak dapat diakses kecuali oleh
Ngarsa Dalem, seperti Naskah Surya Raja. Naskah ini mendapat gelar
kehormatan khusus dengan sebutan Kanjeng Kyai Surya Raja dan hanya
dikeluarkan setahun sekali pada bulan syura untuk diadakan upacara pasiraman
atau pembersihan. Naskah lain yang juga dikeramatkan seperti naskah Bratayuda
dan Kanjeng Kyai Al Qur’an (Santoso,2009).
Lingkungan KHP Widya Budaya merupakan tempat yang tersembunyi
dari hingar bingar pengunjung Keraton Yogyakarta. Wisatawan tidak
diperkenankan untuk masuk karema ditakutkan ada koleksi yang hilang tau rusak.
Menurut informan, hanya peneliti yang memiliki izin saja yang diperkenankan
masuk. Penjelasan tersebut didukung dengan adanya tulisan “DILARANG
MASUK” (lihat foto 4.1) pada pintu masuk.
Keramaian di Keraton Yogyakarta dimulai sekitar pukul 09.00 karena
Keraton Yogyakarta juga merupakan museum yang dibuka untuk umum. Abdi
dalem mulai tampak berseliweran sejak pukul 07.00. Suasana lingkungan KHP
Widya Budaya cenderung sunyi, bukan karena tidak banyak pengunjung yang
ingin melihat tempat tersebut tetapi karena ada larangannya. Ada beberapa abdi
dalem yang sengaja menjaga disekitar tempat tersebut agar tidak dimasuki
sembarang orang. Di balik kesunyiannya KHP Widya Budaya, tersimpan sumber
informasi dan nilai historis yang tinggi dengan adanya koleksi manuskrip, arsip
dan buku – buku langka.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
49
Universitas Indonesia
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.1 Pintu masuk KHP Widya Budaya
Berdasarkan sejarah pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono
ke-II, penjajah Inggris dibawah Gubernur Thomas Stamford Raffles menyerbu
Keraton Yogyakarta, akibatnya banyak benda pusaka yang dijarah seperti emas
dan kekayaan intelektual lainnya yaitu manuskrip dari masa Hamengkubuwono
ke-I dan Hamengkubuwoni ke-II yang kemudian dibawa ke Inggris pada tahun
1812.
Demi menjaga keamanan dan isi intelektual Keraton Yogyakarta, maka
KHP Widya Budaya kemudian tidak diperuntukan masyarakat umum yang tidak
memiliki kepentingan. Berdasarkan wawancara, abdi dalem yang bertugas di
bidang keamanan hanya masuk satu kali dalam dua bulan. Alasannya, karena
setiap menjaga keraton maka akan bertugas selama 24 jam penuh sehingga butuh
istirahat yang lama.
Meskipun abdi dalem tersebut bekerja di bidang keamanan, namun
penampilan dan kesopanan sama dengan abdi dalem lainnya. Pada saat penelitian
berlangsung, bertepatan dengan kedatangan salah satu kampus dari Maluku.
Beberapa mahasiswa penasaran ingin melihat gedung di dalam, namun dengan
sopan abdi dalem tersebut menegur dan memberi tahu bahwa area KHP Widya
Budaya tidak diperbolehkan untuk dimasuki.
Dilingkungan KHP Widya Budaya sendiri terdapat beberapa bangunan.
Bangunan pertama adalah tepas keamanan. Tepas keamanan merupakan kantor
para abdi dalam yang bekerja di bidang keamanan.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
50
Universitas Indonesia
Sumber :Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.2 Tepas Keamanan
Terlihat ada beberapa abdi dalem sedang memainkan gending dan juga
membersihkan alat musik tersebut. Selain itu ada beberapa abdi dalem yang
membersihkan peralatan keris dan juga senjata tradisional lainnya.
Untuk memasuki KHP Widya Budaya, terdapat pintu gerbang berwarna
hijau yang menjadi pemisah antara tepas keamanan dan KHP Widya Budaya.
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.3 Pintu Pemisah antara KHP Widya Budaya dan Tepas Keamanan
Ketika masuk ke area KHP Widya Budaya, terdapat sebuah bangunan
kecil yang merupakan tempat penyimpanan barang atau gudang. Letak bangunan
kecil ini tetap di tempat penyimpanan koleksi bahan pustaka.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
51
Universitas Indonesia
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.4 Gudang Depan
KHP Widya Budaya tidak berdiri sendiri, namun terdapat beberapa
bangunan lain yang mengelilinginya. Walaupun berada dalam satu lingkungan
namun sesungguhnya KHP Widya Budaya dan tepas keamanan merupakan
bangunan yang berbeda. Selain bangunan yang berbeda, keduanya adalah jenis
tepas yang berbeda. Namun karena KHP Widya Budaya tidak diperkenankan
untuk umum maka didampingi dengan tepas keamanan yang juga tidak
diperkenankan untuk umum.
Berdasarkan observasi, lingkungan KHP Widya Budaya merupakan
tempat yang sejuk. Terdapat beberapa pepohonan besar yang rindang dan juga
rumput – rumput yang membuat lingkungan KHP Widya Budaya sejuk dan
tentram. Pepohonan tersebut menguntungkan bagi tempat penyimpanan
manuskrip, karena pepohonan dapat membantu menetralkan fluktuasi udara.
Selain itu, pohon dan tanaman dapat menjadi pengganti kipas atau pendingin
ruangan karena pepohonan dapat membuat sejuk ruangan manuskrip yang berada
di depan.
Tepas KHP Widya Budaya Keraton Yogyakarta sesungguhnya adalah
perpustakaan Keraton Yogyakarta. KHP Widya Budaya merupakan tempat
penyimpanan manuskrip, arsip dan buku langka. Walaupun tersimpan media lain
selain manuskrip, namun orang – orang lebih mengenal bahwa KHP Widya
Budaya adalah tempat penyimpanan manuskrip. Kasanah perpustakaan Keraton
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
52
Universitas Indonesia
Yogyakarta dikelola oleh abdi dalem Keraton yang dipimpin oleh seorang
pengageng loro dengan pangkat Kanjeng Raden Tumenggung (KRT). Mereka
bukan pustakawan dan tidak mempunyai latar belakang pendidikan maupun
pelatihan kepustakawanan. Dengan demikian para abdi dalem tesebut tidak
mempunyai pengetahuan untuk mengelola sebuah perpustakaan. Para abdi dalem
yang kebanyakan usianya sudah tua-tua itu digaji sangat kecil sebagaimana para
abdi dalem yang lain.
KHP Widya Budaya bukan merupakan tempat umum atau tempat yang
dapat dikunjungi setiap orang. Hanya pengunjung yang memiliki izin yang
diperkenankan masuk. Pengunjung yang diperkenankan datang ke KHP Widya
Budaya kebanyakan adalah peneliti yang bertujuan ingin meneliti manuskrip dan
Keraton Yogyakarta. Menurut K.R.T Rinta Iswara, hal tersebut karena KHP
Widya Budaya merupakan pusat informasi. Selain merupakan tempat informasi,
KHP Widya Budaya merupakan tempat yang memili nilai historis karena
manuskripnya. KHP Widya Budaya merupakan tempat yang penting untuk
dikunjungi, karena selain memiliki manuskrip dan buku langka, tempat ini sangat
sejuk karena di kelilingi pepohonan yang rindang.
KHP Widya budaya merupakan tempat yang cukup megah namun tetap
terlihat sisi tradisional Jawa nya karena furniture yang digunakan. Bangunannya
cukup luas dan sangat nyaman. Posisi bangunan tersebut membelakangi matahari,
sehingga menjadi tempat yang cukup bagus dalam penyimpanan bahan pustaka
karena menurut Harvey (1990 : p.34) cahaya akan mempercepat oksidasi dari
molekul selulosa sehingga ikatan kimia pada molekul tersebut terputus.
KHP Widya budaya memiliki tiga ruangan berpintu dan satu ruangan tidak
berpintu. Ruangan berpintu maksudnya ruangan yang memiliki pintu sehingga
dapat dibuka dan ditutup sedangkan ruangan tidak berpintu adalah ruangan yang
tidak memiliki pintu namun diberi sekat sehingga memiliki pembatas
antara satu ruangan dengan ruangan lain. Berikut adalah denah ruangan
manuskrip.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
53
Universitas Indonesia
Sumber : Larasati, 2012
Gambar 4.2 Denah Ruangan Manuskrip
Keterangan :
X = pintu
= pembatas
KHP Widya Budaya memiliki ruang khusus untuk menyimpan manuskrip.
Ruang tersebut dirasa tetap diletakan di bagian depan karena berada di dekat
pepohonan dan depannya terdapat gudang sehingga dapat menjadi penghalang
matahari secara langsung. Selain itu, penggunaan kayu dengan desain jaman dulu
dapat menjadi kelebihan karena membuat ruangan menjadi sejuk.
Selain ruang penyimpanan koleksi manuskrip, terdapat ruang
penyimpanan peta (lihat gambar 4.5) yang merupakan tempat penyimpanan peta,
beberapa buku langka dan buku yang sudah didigitalisasi. Ruang tersebut diisi
dengan empat buah lemari kaca dan satu buah box kaca (lihat gambar 4.6).
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
54
Universitas Indonesia
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.5 Ruang Penyimpanan Peta
Ruang penyimpanan peta merupakan ruang yang tidak berpintu. Ruang
tersebut berukuran 4,5 m x 3 m. Di dalam ruang penyimpanan peta terdapat 2
buah lampu neon panjang yang berfungsi sebagai cahaya. Jika lampu tidak
dimatikan, maka keadaan ruangan sangat gelap karena tidak ada cahaya matahari
yang masuk.
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.6 Lemari Kaca dan Box Kaca
Seharusnya, ruang penyimpanan peta memiliki udara yang baik sehingga
tidak terlalu lembab. Menurut penelitian, ruangan ini terasa lembab dikarenakan
tidak banyak udara yang masuk dan selalu gelap. Namun, lemari kayu dan box
kaca sebagai tempat penyimpanan peta sudah cukup baik karena peletakan
koleksinya tidak bertumpuk dan disusun dengan rapi. Koleksi buku langka dan
buku yang sudah didigitalisasi diletakan berjarak dan tidak terlalu rapat sedangkan
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
55
Universitas Indonesia
peta dimasukan ke dalam tabung pipa yang terbuat dari plavon agar terhindar dari
silverfish.
KHP Widya Budaya memiliki dua ruang baca. Ruang pertama adalah
ruang baca inti. Ruang baca inti terletak di paling depan. Dulu ruang baca tersebut
digunakan untuk para abdi dalem atau tamu yang ingin membaca, namun ruang
tersebut kurang sejuk dan cukup panas karena letaknya tepat menghadap matahari.
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.7 Ruang Baca Inti
Selain sebagai tempat baca, ruang baca tersebut juga digunakan sebagai
tempat digitalisasi. Proses digitalisasi dilakukan di ruang tersebut karena ruang
tersebut sudah jarang digunakan.
Ruang baca inti merupakan ruang berpintu yang berukuran 7,5 cm x 5 cm
dengan dua pintu dan enam belas jendela kaca. Jendela kaca pada ruang ini
mengakibatkan suhu menjadi panas dan pengap. Selain itu, ruangan ini semakin
panas karena menghadap matahari dan tidak ada pendingin ruangan sehingga
menjadi lebih panas.
Ruang baca yang kedua adalah ruang inti. Sesungguhnya ruang tersebut
bukan merupakan ruang baca yang sesungguhnya. Namun abdi dalem maupun
tamu lebih nyaman duduk diruang ini karena udaranya yang sejuk dan tidak
panas.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
56
Universitas Indonesia
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.8 Ruang Inti
Ruang seluas 5 m x 7,5 m ini hanya dilapisi dengan karpet berwarna hijau
agar pengguna manuskrip dapat membaca dengan nyaman. Ruang ini dilengkapi
dengan enam lampu neon panjang dan satu kipas angin. Namun lampu tersebut
jarang dinyalakan. Ruang baca ini sangat sejuk karena letaknya ditengah dimana
semua pintu dibuka menghadap ke luar sehingga banyak udara dan angin yang
masuk.
Ruang baca yang baik seharusnya memiliki tingkat kenyamanan yang
tinggi. Selain sejuk, ruang baca tersebut harus memiliki suasana yang bagus. Dulu
ruang baca inti dibuat dengan beberapa kaca karena sebelumnya ruang baca
tersebut sering digunakan. Selain itu ruang baca inti terlihat mewah dengan kaca –
kaca dan ukiran dindingnya karena ruang baca inti tempat untuk menerima tamu
penting yang berkunjung untuk melihat koleksi manuskrip.
KHP WIdya Budaya memiliki ruang restorasi khusus yang mana sangat
dimanfaatkan dengan baik. Ruangan belakang yang berukuran 4,5 m x 4,5 m
memiliki 2 pintu yaitu depan dan belakang dan 1 jendela yang selalu dibuka.
Suhu di ruangan ini juga bergantung pada dibuka tutupnya pintu dan
jendela. Ruangan ini sangat sejuk karena tepatnya dibelakang dan banyak terkena
angin sepoi-sepoi dari pepohonan.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
57
Universitas Indonesia
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.9 Ruang Restorasi
Ruangan ini memiliki 4 buah lampu neon panjang sebagai penerangan.
Ruang ini sengaja dipisah agar dapat dikhususkan sebagai pusat restorasi.
KHP Widya Budaya sangat tepat memiliki ruang restorasi dan
mengkhususkan ruang tersebut. Ruang tersebut harus dibuat terpisah karena
banyak zat kimia yang kurang baik untuk koleksi bahan pustaka. Selain itu, alat –
alat yang ada untuk melakukan restorasi sudah cukup lengkap.
Di dalam lingkungan KHP Widya Budaya juga terdapat sebuah ruang
penyimpanan arsip statis (lihat gambar 4.10) dan gudang (lihat gambar 4.11)
penyimpanan barang yang sudah tidak terpakai. Letaknya terpisah dari gedung
utama namun masih merupakan wilayah KHP Widya Budaya. Kondisi ruangan
arsip statis terlihat tidak memenuhi standar karena tidak sesuai dengan
KEPUTUSAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 03 TAHUN 2000 TENTANGSTANDAR MINIMAL GEDUNG DAN
RUANG PENYIMPANAN ARSIP INAKTIF yang menyatakan bahwa :
“ 6.3.1 Untuk mengatasi masalah suhu dan kelembaban secara teknis dapat
dilakukan dengan cara : (6.3.1.1) Pemeriksaan secara periodik
menggunakan alat higrometer ; (6.3.1.2) Menjaga sirkulasi udara berjalan
lancar; (6.3.1.3) Menjaga suhu udara tidak lebih dari 27 0 C dan
kelembaban tidak lebih dari 60 %; (6.3.1.4) Rak arsip yang digunakan
harus dapat menjamin sirkulasi udara yang cukup; (6.3.1.5) Hindari
penggunaan rak yang padat; (6.3.1.6) Menjaga langit-langit, dinding dan
lantai tidak berlobang dan tetap rapat; (6.3.1.7) Pondasi didesain untuk
menjaga uap atau udara lembab naik ke tembok karena daya resapan
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
58
Universitas Indonesia
kapiler; (6.3.1.8) Hindari menanam pohon dan kayu-kayuan di dekat
gedung; (6.3.1.9) Menjaga ruang agar tetap bersih dari kontaminasi
gas/lingkungan agar tidak mudah timbul jamur yang akan merusak arsip”
Kelembaban ruang arsip lebih dari 60% dan sirkulasi udara tidak berjalan
lancar, namun kotak penyimpanan arsip sudah memenuhi persyaratan
KEPUTUSAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2000 TENTANG STANDAR BOKS ARSIP KEPALA
ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA yaitu arsip diletakan dirak dan
dimasukan ke dalam kotak kardus khusus arsip. Lubang ventilasi udara untuk
boks besar berdiameter 3 cm, untuk boks kecil berdiameter 2.5 cm.
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.10 Depo Arsip Statis
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.11 Gudang
Di KHP Widya Budaya, antara manuskrip dan arsip peletakkan nya
berbeda. Arsip Keraton Yogyakarta memiliki ruang khusus dalam
penyimpanannya. Berdasarkan wawancara dengan informan, penempatan arsip
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
59
Universitas Indonesia
harus dipisah karena arsip keraton sangat banyak dan umurnya sudah ratusan
tahun (terhitung dari abad ke-18). Selain itu, arsip harus disimpan pada kotak
kardus tersendiri.
Berdasarkan penelitian, suasana maupun kondisi di KHP Widya Budaya
sangat kental sekali dengan kebudayaan yang ada. Kondisi tersebut tercermin
pada kondisi bangunan di sekitar KHP Widya Budaya dan di dalam KHP Widya
Budaya itu sendiri. Cerminan tersebut juga didukung dengan bagaimana perilaku
abdi dalem dan abdi dalem yang bertugas di Keraton Yogyakarta sehingga
suasana tradisionalnya terlihat kental.
4.3. Kearifan Lokal Kehidupan di Tepas KHP Widya Budaya
Di dalam lingkungan Keraton Yogyakarta, yang juga menjadi tempat
tinggal Sri Sultan Hamengkubuwono X, budaya masyarakat zaman dulu dapat
terlihat secara luas. Hal itu karena para penghuni yang kebanyakan abdi dalem
masih mengusung dan melestarikan tradisi budaya Jawa kuno. Tradisi budaya
Jawa kuno kebanyakan berdasarkan kearifan lokal. Kearifan lokal di lingkungan
Keraton Yogyakarta merupakan penguat suatu kebudayaan dan pelindung suatu
lingkungan hidup. Kearifan lokal dianggap mampu menjadi pembatas dan juga
pengendali masuknya budaya modern. Undang – Undang PPLH No. 32 tahun
2009 juga mengakui bahwa kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku
dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola
lingkungan hidup secara lestari. Seperti contohnya melakukan proses perawatan
dan juga perbaikan terhadap manuskrip. Dalam melakukan pemeliharaan
manuskrip, para abdi dalem selaku pemelihara atau konservator dan preservator
menganggap dan memperlakukan manuskrip layaknya benda pusaka lainnya.
Sebelum melakukan pemeliharaan, abdi dalem biasanya melakukan suatu ritual
yaitu caos sedahar. Caos sedahar tersebut merupakan ritual mohon izin terhadap
penunggu manuskrip. Pelestarian alam dan kelangsungan kehidupan di muka
bumi yang senantiasa membutuhkan sinergi dan keberlangsungan yang
berkelanjutan, sangat mungkin diwujudkan dengan menguatkan pertalian antara
kearifan lokal dan kepentingan kehidupan modern manusia sekarang ini.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
60
Universitas Indonesia
Orang Jawa termasuk masyarakat di Keraton Yogyakarta percaya adanya
tempat – tempat yang sakral, termasuk tempat yang wingit (Ign.Gatut, 2012 :
p.13). Agar terlindung dari bencana dan juga mendapat keselamatan maka mereka
akan memberi sajen sesuai kesukaan dhanyang setempat. Dalam rangka menjaga
keselamatan, orang Jawa bisa minta tolong kepada dhanyang setempat dengan
memberi sajen secara berkala. Namun, bagi abdi dalem yang bertugas di KHP
Widya Budaya, ritual atau pemberian sajen adalah rasa hormat dan menghargai
untuk penjaga yang tidak nampak. Ini tidak berarti para abdi dalem tidak percaya
akan Tuhan, namun kebudayaan yang sudah turun temurun sehingga ritual – ritual
atau sajen dirasa perlu diberikan karena setiap tempat dan setiap benda ada nenek
moyang yang menunggu dan harus dihormati.
Pada wawancara dengan Pak Pitaya dan Pak Puji terkait dengan
pentingnya caos sedahar dan pemberian sajen maka mereka menjawab :
“Kami percaya di setiap titik di Keraton Yogyakarta dan di setiap benda
pasti ada penunggunya. Semua ini terbukti dengan adanya kejadian –
kejadian aneh. Contohnya ada manuskrip yang terbuka sendiri atau ada
kejadian mahasiswa yang sakit setelah membuka manuskrip tanpa izin.
Yah,percaya tidak percaya.”
Diperlukan komunikasi yang baik dan transfer informasi yang bijak
mengenai kajian kearifan lokal setiap masyarakat di mana pun komunitas tersebut
ada. Tujuannya agar terdapat informasi yang jelas maksud dan tujuan tentang
latar belakang munculnya suatu kearifan lokal dalam hal ini khususnya yang
menyangkut lingkungan hidup.(http://intenarsriani.wordpress.com/2011/10/23/kearifan-
lokal-bukan-tanpa-makna/).
Masing – masing abdi dalem yang bertugas di KHP Widya Budaya
berbeda latar pendidikannya dan juga latar pekerjaannya. K.R.T Rinta Iswara
yang juga seorang pensiunan guru bertugas mengawasi abdi dalem yang
melakukan preservasi hingga restorasi dan juga melakukan proses salin ulang
pada manuskrip yang sudah rusak, R.Ry Widya Hadibrata yang merupakan
seorang guru ekonomi melakukan perawatan terhadap manuskrip dan sesekali
melakukan digitalisasi, MB Widyasastra Pitaya yang seorang pegawai BPAD
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
61
Universitas Indonesia
melakukan preservasi dan konservasi pada manuskrip, sedangkan KRT Budya
Pustaka dan MP. Budyarusmandaru yang merupakan pensiunan dari Museum
Sono Budoyo melakukan restorasi.
Kegiatan di KHP Widaya Budaya dimulai pada pukul 09.00. Abdi dalem
mulai melakukan kegiatan dan tugas nya masing – masing dengan interaksi yang
khas dan membuat suasana tradisional terlihat. Dilatarbelakangi musik gending
jawa, para abdi dalem tersebut khusyuk melakukan tugasnya masing – masing.
Jika ada komunikasi yang dibutuhkan, maka mereka melakukan komunikasi
secara berdekatan. Seperti contohnya ketika ada manuskrip yang ingin
dikeluarkan. Pak Pitaya selaku abdi dalem yang memiliki tingkat yang lebih
rendah dari Pak Rinta menghampiri dengan sangat sopan. Pak Pitaya berjalan
jongkok sebanyak tiga langkah dan melakukan percakapan dengan nada suara
yang rendah dan menggunakan bahasa krama hinggil. Setelah pembicaraan
selesai, maka Pak Pitaya kembali bangun dan melakukan jalan jongkok sebanyak
tiga langkah dengan menghadap Pak Rinta kemudian berdiri meninggalkan Pak
Rinta.
Setiap melakukan komunikasi dengan yang lebih tua, sikap sungkan selalu
ada bagi abdi dalem yang lebih muda. Sikap sungkan tersebut juga terjadi setiap
saat seperti halnya mengeluarkan manuskrip.
Pada saat penelitian berlangsung, ada beberapa rangkaian acara yang akan
dibuat oleh Keraton Yogyakarta salah satunya adalah acara sekaten. Acara
tersebut merupakan rangkaian acara adat yang mana akan melibatkan banyak abdi
dalem dan juga benda – benda pusaka termasuk manuskrip. Upacara sekaten
berupa upacara sesaji selamatan atau permohonan keselamatan bagi roh leluhur.
Ciri khas yang sangat terlihat pada saat persiapan acara tersebut adalah bagaimana
mereka berkomunikasi satu sama lain. Pak Rinta terlihat sibuk mengetik dan
mempersiapkan acara tersebut. Persiapan tersebut mencakup birokrasi dan hal
yang berhubungan dengan surat menyurat. Sedangkan abdi dalem lain
menyiapkan alat – alat untuk upacara adat dan juga mengeluarkan beberapa
manuskrip untuk digunakan pada upacara grebeg dan siraman pusaka. Beberapa
manuskrip tersebut adalah Al – Quran, Serat Brantayuda dan beberapa Serat
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
62
Universitas Indonesia
Babad. Dikeluarkannya manuskrip – manuskrip tersebut secara tidak langsung
juga merupakan preservasi. Manuskrip tersebut di lap dan juga dijemur di luar
agar sampul nya tidak bau dan mendapat udara karena kebanyakan sampul
manuskrip tersebut adalah terbuat dari kulit sapi.
Tradisional dan kearifan lokal terlihat dari bagaimana cara mereka
berinteraksi hingga melakukan pelestarian terhadap koleksi manuskrip. Kearifan
lokal yang tercermin dalam pelestraian manuskrip secara turun temurun
dilakukan, meskipun ada beberapa perlakuan modern namun para abdi dalem
tidak meninggalkan ketradisionalan khas keraton. Kearifan lokal seolah – olah
sudah mendarah daging di kehidupan Keraton Yogyakarta. Para abdi dalem
percaya ada kehidupan antara Tuhan, manusia dan penunggu atau roh di dalam
Keraton Yogyakarta termasih KHP Widya Budaya sehingga apa yang dilakukan
mereka erat kaitannya dengan budaya Jawa dan hal mistis. Berdasarkan artikel
yang dikutip dalam Balipos (4 September 2003), terdapat informasi tentang
beberapa fungsi dan makna kearifan lokal yaitu :
1. berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam
2. berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia, misalnya
berkaitan dengan upacara daur hidup
3. berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan,
misalnya pada upacara saraswati, kepercayaan dan pemujaan pada pura
Panji
4. berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan
5. bermakna sosial, misalnya upacara integrasi komunal atau kerabat
6. bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian
7. bermakna etika dan moral yang terwujud dalam upacara ngaben dan
penyucian roh leluhur
8. bermakna politik, misalnya upacara ngangkuk merana dan kekuasaan
patron client
Delapan fungsi dan makna kearifan lokal tersebut sudah dicerminkan abdi
dalem di Keraton Yogyakarta terutama KHP Widya Budaya sebagai tempat
menyimpan manuskrip yang juga merupakan artefak.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
63
Universitas Indonesia
4.4. Manuskrip di Keraton Yogyakarta
Sebelum kertas ditemukan, manusia mengungkapkan perasaan, pikiran dan
gagasannya melalui bahasa gambar dan bahasa tulisan sehingga mereka berusaha
mencari permukaan-permukaan benda yang sekiranya cocok untuk
menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Awalnya, mereka mengungkapkan
perasaan dengan cara menggambar, seperti menggurat, mengukir, mentakik atau
menoreh di atas permukaan batu, tulang belulang, dan lain sebagainya (Bahari,
1995, diunduh tanggal 8 Maret 2012).
Menurut Venny Indria Ekowati dalam Pelestarian Budaya dan
Pemerkasaan Bahasa Jawa Melalui Kajian Manuskrip Klasik, masyarakat di Jawa
memulai tradisi menulis sejak abad ke-9. Masyarakat Yogyakarta termasuk suku
bangsa yang menyukai menulis dalam mengungkapkan cipta dan karsa. Keunikan
manuskrip yang ada di Keraton Yogyakarta adalah, semua penulisannya
merupakan prakarsa dari Sultan Hamengkubuwono yang ditulis dengan tangan
dengan bentuk macapat2. Keunikan lainnya juga terdapat pada corak manuskrip
tersebut dan warna-warna khas yang terdapat pada hampir seluruh koleksi yaitu
prada emas. Selain itu, materi pembuatan manuskrip beragam, ada yang berbahan
daluang dan Kertas Eropa. Jenis daluang yang digunakan juga berbeda yaitu
daluang halus dan daluang bergaris. Namun, kini lebih dari 7000 judul manuskrip
tersimpan di British Library sedangkan KHP Widya Budaya hanya memiliki
sisanya yaitu 363 manuskrip. Pengageng II KHP Widya Budaya KRT
Purwodiningrat mengatakan,
“Keraton Yogyakarta pernah meminta kepada British Library namun
kemudian hanya diberikan dalam bentuk microfilm. Inggris tidak bersedia
mengembalikan manuskrip karena takut kekayaan masa lalu rusak karena
penanganan naskah di Keraton Yogyakarta masih menggunakan
tradisional kearifan lokal setempat atau bisa dibilang tidak profesional.”
Di dalam Keraton Yogyakarta, terdapat dua koleksi manuskrip tulisan
tangan yang berbahasa Jawa. Satu disimpan di Kawedanan Ageng Punakawan
2 Macapat adalah puisi bertembang karena pembacaan wacana tersebut dengan ditembangkan
berdasarkan titilaras notasi yang sesuai dengan pola metrumnya (Saputra, 2001: p.103)
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
64
Universitas Indonesia
Widya Budaya dan satu lagi disimpan di Kawedanan Ageng Punakawan Krida
Mardawa. Hal yang membedakan dari dua tempat tersebut adalah terdapat pada
koleksi manuskripnya. Jika di Kawedanan Ageng Punakawan Widya Budaya isi
koleksinya tentang sejarah, agama, silsilah dan sastra sedangkan di Kawedanan
Ageng Punakawan Krida Mardawa adalah hanya seputar kesenian yaitu seni tari,
musik, wayang. Sebelum tahun 1921, koleksi yang ada di Kawedanan Ageng
Punakawan Widya Budaya terletak di kediaman Sri Sultan sendiri, namun setelah
tahun 1921 koleksi tersebut dipindahkan ke suatu tempat yang kemudian dinamai
Tepas KHP Kawedanan Ageng Punakawan agar koleksi dapat dibaca selain dari
keluarga Sultan sendiri.
Koleksi manuskrip yang ada di KHP Widya Budaya itu sendiri ada
berbagai macam jenisnya. Ada yang berupa codex yang terbuat dari pohon citron,
kertas daluang dengan berbagai jenis yaitu kertas gendhong, kertas tela, kertas
kop dan bergaris yang dijilid dengan menggunakan vellum dari kulit anak sapi
atau kerbau dan Kertas Eropa yang terbuat dari kapas. Umur dari manuskrip
tersebut beragam, yaitu dari tahun 17-an hingga awal 19-an. Contoh manuskrip
yang berasal dari tahun 17-an adalah Al-Quran yang dibuat oleh carik di Keraton
Yogyakarta yang dihiasi oleh prada dengan indahnya. Selain itu ada koleksi seri
yang merupakan sejarah maupun dongeng dan primbon atau ramalan yang dibuat
dengan aksara jawa dengan alur tulisan macapat .
4.5. Kearifan Lokal Preservasi
Sebagai tempat penyimpanan manuskrip, KHP Widya Budaya tidak
memiliki kebijakan tertulis untuk melakukan preservasi. Namun, perlakukan
preventif yang dilakukan para abdi dalem merupakan perlakuan turun-temurun
berdasarkan kearifan lokal setempat karena belum masuknya modernisasi pada
jaman dahulu. Sebelum mendapat bantuan dari Universitat Leipzig, Jerman, KHP
Widya Budaya mendapat bantuan dari PNRI yang hanya seputar digitalisasi agar
PNRI memiliki salinan sebagai koleksi dan keraton juga memiliki salinan yang
sudah di alih aksarakan. Dalam perjanjian yang telah dibuat, Universitas Leipzig
membantu dalam melakukan kodekologi, restorasi dan digitalisasi.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
65
Universitas Indonesia
Walaupun sekarang sudah masuk modernisasi seperti digitalisasi dan
restorasi, namun masih ada preservasi yang dilakukan berdasarkan kearifan lokal
setempat. Para abdi dalem masih menggunakan upacara caos sedahar. Caos
Sedahar merupakan upacara mohon izin yang dilakukan abdi dalem sebelum
koleksi manuskrip di bersihkan. Pertama-tama, disiapkan sesaji (lihat foto 4.12)
yang terdiri atas bunga-bungaan, buah, kopi atau makanan ringan yang
merupakan sajian untuk penunggu yang dipercaya adalah roh yang turut menjaga
koleksi. Tujuan utama dari ritual tersebut adalah, tetap menghargai suatu karya
karena biar bagaimanapun manuskrip adalah hasil dari sumber daya manusia.
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.12 Sesaji
Tidak ada dasar ilmiah dalam sesaji tersebut, namun menurut kepercayaan
orang Keraton Yogyakarta, setiap benda memiliki penunggunya atau penjaganya
sehingga patut dihormati. Selain itu pembakaran juga dilakukan untuk melengkapi
ritual tersebut. Berdasarkan wawancara yang dilakukan selama penelitian, Pak
Puji mengatakan,
“Dulu waktu Manuskrip Suryo Rojo diletakan di sini (widya budaya),
manuskrip tersebut kebuka sendiri dan halaman nya bolak balik sendiri.
Kami yakin memang setiap manuskrip punya penunggunya.”
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
66
Universitas Indonesia
Sajen yang digunakan abdi dalem untuk ritual caos sedahar berbeda
dengan sajen – sajen yang biasa ditemukan di tempat keramat. Menurut Ign. Gatut
Saksono dan Djoko Dwiyanto (2012 : p.13), sajen untuk menolak tuyul berbeda
dengan sajen untuk memberi makan dhanyang atau leluhur yang telah meninggal.
Dalam rangka menjaga keselamatan dari gangguan roh jahat, biasanya mereka
bisa minta tolong kepada dhanyang setempat.
Menurut Hartono dalam Faham Keselamatan dalam Budaya Jawa (2012,
67), dalam kosmologi Jawa ada tanggapan bahwa manusia mempunyai hubungan
yang tidak terpisahkan dengan alam semesta atau adikodrati yang dimanifestakan
ke dalam Tuhan. Upaya Manusia untuk menjaga kelestarian hubungan yang
harmonis adalah melalui upacara ritual, upacara adat atau upacara tradisional bagi
perorangan. Caos sedahar menjadi cerminan dan tindakan kepercayaan abdi
dalem dalam menjaga kelestarian hubungan yang harmonis.
Abdi dalem yang berada di KHP Widya Budaya sangat menjunjung tinggi
etika nya. Mereka melakukan ritual caos sedahar dengan waktu yang tepat dalam
arti tidak pernah meninggalkan ritual tersebut. Sesungguhnya sikap tidak peduli
akan ritual itu bisa saja muncul namun karena para abdi dalem tersebut sadar akan
kewajiban dan sadar akan sebab akibat yang diyakininya maka mereka melakukan
hal tersebut. Walaupun tidak ada dasar ilmiah seperti yang dikatakan informan,
namun menurut Tamara A. Susetyo dalam Kompas (23 Oktober 2008), sajen yang
berisi menyan diasumsikan dapat menghalau datangnya serangga dan faktor biota
lainnya.
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.13 Menyan
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
67
Universitas Indonesia
Foto di atas merupakan menyan sebelum dibakar. Menyan tersebut jika
dibakar mengeluarkan wewangian yang dapat digunakan juga untuk mengusir
serangga. Menyan menyeluarkan wangi yang menyengat, oleh karena itu dapat
mengusir serangga. Setelah dikumpulkan beberapa menyan, kemudian menyan
tersebut dibakar dan mulai dilakukan ritual caos sedahar (lihat foto 4.14).
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.14 Caos Sedahar
Pak Rinta menjelaskaan bagaimana cara melakukan caos sedahar dengan
menyuruh abdi dalem yang lain untuk melakukan ritual tersebut.
“Pertama disiapkan arang – arang begini. Arang – arang ini akan dicampur
dengan menyan supaya wangi. Ini ada bunga sama buah. Bunga itu harus.
Yang namanya sajen ya begini pasti ada bunganya.”
Ritual dilakukan beberapa saat dan setelah itu seluruh koleksi di ke
luarkan untuk dibersihkan. Cara perawatannya juga menggunakan alat-alat yang
biasa dalam arti bukan alat elektronik dan menggunakan bahan-bahan tradisional.
Perawatan dilakukan setiap hari Selasa Kliwon. Tidak ada alasan ilmiah mengapa
dilakukan setiap hari Selasa Kliwon, namun hari tersebut merupakan tanggal yang
baik untuk membersihkan koleksi. Pembersihan dilakukan dari pukul 10.00
sampai pukul 12.00 atau 13.00.
Walaupun ritual caos sedahar dilakukan di dalam KHP Widya Budaya,
namun suasananya tetap khidmat. Para abdi dalem tetap memperlakukan
manuskrip dengan baik dan menghargai manuskrip – manuskrip tersebut dengan
baik. Pada saat ritual caos sedahar dilakukan, suasana KHP Widya Budaya dalam
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
68
Universitas Indonesia
keadaan tenang tanpa ada suara musik. Berdasarkan observasi, setiap hari ada
musik gending yang dipasang abdi dalem. Musik gending tersebut merupakan
penyemangat para abdi dalem melakukan tugasnya. Rata – rata abdi dalem yang
bertugas di KHP Widya Budaya sudah tua, maka mereka menyukai musik
gending tersebut dari pada musik dangdut atau musik genre lain.
Kepercayaan lainnya selain ritual caos sedahar adalah manuskrip tidak
boleh difoto. Menurut abdi dalem, manuskrip memiliki hal – hal diluar nalar
manusia sehingga untuk menyentuhnya saja butuh kepercayaan dan butuh izin
terlebih lagi untuk memfoto. Namun, ada juga penjelasan ilmiah mengapa koleksi
naskah kuno tidak boleh difoto yaitu karena cahaya pada kamera akan
menimbulkan kerusakan. Cahaya pada kamera memiliki tingkat ketajaman yang
sangat tinggi. Cahaya atau energi radiasi juga mempunyai efek pada bahan
pustaka. Cahaya akan mempercepat oksidasi dari molekul selulosa sehingga rantai
ikatan kimia pada molekul tersebut terputus. Cahaya mempunyai pengaruh
pengelantang,menyebabkan kertas menjadi pucat dan tinta memudar (Harvey,
1990 : p.34).
Berdasarkan observasi, tidak terlihat ada perawatan khusus berdasarkan
bahan kertas dan kulit sampul, semua perawatan disamaratakan seperti sampul
yang dilap menggunakan lap kain, di keluarkan dan diletakan di luar untuk
dijemur sesaat agar tidak terlalu lembab. Abdi dalem juga menyimpan manuskrip
ke beberapa tempat penyimpanan yang berbeda. Terdapat tiga tempat
penyimpanan yang berbeda, yang pertama adalah kotak kaca (lihat foto 4.15) yang
dibuat dengan kayu jati, kedua adalah lemari kayu (lihat foto 4.16) dan ketiga
kotak kayu (lihat foto 4.17).
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
69
Universitas Indonesia
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.15 Kotak Kaca
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.16 Lemari Kayu
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.17 Kotak Kayu
Tempat penyimpanan manuskrip merupakan salah satu hal penting dalam
melakukan preservasi manuskrip. Tempat penyimpanan manuskrip dapat
menentukan tingkat kerusakan sebuah manuskrip. Namun, pemilihan tempat
penyimpanan diambil bukan berdasarkan kebijakan atau standar apapun.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
70
Universitas Indonesia
Pemilihan tempat penyimpanan koleksi manuskrip dibuat sama dengan tempat
penyimpanan benda-benda keraton yang lainnya.
Jika dilihat dari bentuk-bentuk penyimpanan manuskrip, tempat
penyimpanan sudah cukup baik. Kotak kaca dan lemari kaca terbuat dari kayu jati
anti rayap dan kacanya memiliki penghalang sinar ultraviolet yang terlihat akan
memantulkan cahaya. Menurut abdi dalem, kotak maupun lemari kaca dipercaya
dapat menghambat pertumbuhan jamur jika secara konsisten dilakukan
pembukaan pada waktu pagi hari sekitar pukul 9.00-10.00.
Tempat penyimpanan tersebut memiliki kelebihan yang berbeda – beda.
Abdi dalem memisahkan penempatan manuskrip tersebut. Kotak kaca digunakan
untuk menyimpan manuskrip yang besar dan juga tebal, lemari jati dan kotak kayu
digunakan untuk meletakkan kolofon3 atau mushaf
4. Kolofon naskah tersebut
dalam kondisi yang kurang bagus, jika diletakan dalam kotak kayu diasumsikan
akan mempertahankan keadaan kolofon karena terhindar dari cahaya secara
langsung dan dari kelembaban udara. Tidak ada dasar ilmiah yang diketahui oleh
abdi dalem terkait dengan cara penyimpanan tersebut, namun menurut Tamara A.
Susetyo dalam Kompas (23 Oktober 2008), menyimpan manuskrip dalam peti
kayu, koper dan lemari jati diasumsikan dapat menurunkan fluktuasi udara yang
tak teratur”.
Abdi dalem meletakan setidaknya dua koleksi manuskrip pada kotak kayu
agar tidak terlalu banyak tertumpuk. Namun, jika manuskrip tersebut sudah tua
dan termasuk yang sering dilihat dan digunakan maka diletakkan pada tempat
yang mudah dijangkau dan penyimpanannya gampang ditemukan.
Abdi dalem yang melakukan preservasi tersebut terlihat konsisten
melakukan kegiatan penyimpanan. Abdi dalem menyadari bahwa tidak adanya
sarana dan prasarana yang canggih tidak menjadi kendala namun membuat abdi
dalem menjadi telaten dalam melakukan tugasnya.
3 Kolofon adalah catatan penulis, umumnya pd akhir naskah atau terbitan, berisi keterangan
mengenai tempat, waktu, dan penyalin naskah
4 Mushaf bagian naskah Alquran yg bertulis tangan
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
71
Universitas Indonesia
Sebelum koleksi dimasukan ke dalam tempat penyimpanan, manuskrip
dibungkus menggunakan pembungkus bahan kain dan bahan kertas (lihat foto
4.20). Berdasarkan hasil wawancara (19 Januari 2012) tidak ada penjelasan ilmiah
mengapa penyimpanannya dibedakan, tetapi untuk serat yang penting dan khusus
maka lebih dikhususkan penyimpanannya. Pembungkusan dilakukan agar
manuskrip tidak terkena cahaya langsung dari matahari maupun lampu.
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.18 Pembungkus Manuskrip
Kain pembungkus berbahan kain depannya berwarna kuning dan
dalamnya berwarna putih. Bahannya terbuat dari satin (depan) dan kain katun
biasa (belakang). Kain pembungkus tersebut diasumsikan dapat melindungi
manuskrip dari debu dan dapat melindungi dari perubahan terhadap udara.
Menurut Tamara A. Susetyo pada Kompas (23 Oktober 2008) dalam penelitian
manuskrip di Cirebon, melindungi manuskrip dengan materi yang berwarna
kuning diyakini memiliki kekuatan menghalau serangga yang akan mendekati
manuskrip. Selain yang berbahan kain, ada juga yang berbahan kertas coklat.
Menurut Pak Rinta, kertas coklat tersebut juga merupakan penghalang masuknya
debu dan serangga.
Pada tahap pembungkusan pun, tidak sembarangan terbungkus atau yang
penting tertutup namun ada proses perataan kertas pembungkus. Setelah
dibungkus dengan kertas, koleksi tersebut dibungkus dengan kain. Jika peminjam
yang bukan merupakan abdi dalem meminjam maka pembungkusan dilakukan
oleh abdi dalem agar memastikan tidak ada kerusakan.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
72
Universitas Indonesia
Abdi dalem terlihat piawai dalam melakukan tahap pembungkusan
manuskrip. Tampak jelas bahwa abdi dalem menghargai manuskrip tersebut
karena proses pembungkusannya pun tidak berantakan. Berdasarkan penelitian,
terlihat abdi dalem melakukan sungkem sebelum menyentuh manuskrip tersebut.
Sungkem tersebut memiliki arti bahwa abdi dalem menghormati dan meminta izin
untuk menyentuh.
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.19 Tahap Pembungkusan Manuskrip
Setelah koleksi dibungkus dan dimasukan kembali ke dalam kotaknya
masing-masing, kemudian diberikan pewangi yang tidak menimbulkan serangga
atau jamur. Akar wangi biasanya digunakan sebagai pewangi suatu tempat
penyimpanan. Akar wangi juga dapat mengusir serangga.
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.20 Akar Wangi
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
73
Universitas Indonesia
Akar wangi merupakan tumbuhan yang dapat tumbuh sepanjang tahun.
Akar wangi merupakan famili dari serai dan padi, namun tumbuhan ini dapat
mengeluarkan wangi-wangian. Akarnya yang dikeringkan secara tradisional
dikenal sebagai pengharum lemari penyimpanan dan barang-barang penting
seperti keris dan batik. Aroma wangi yang dihasilkan pada tumbuhan ini berasal
dari minyak atsiri yang dihasilkan pada bagian akar.
Selain akar wangi, kapur barus juga digunakan abdi dalem agar tidak ada
serangga yang masuk. Namun, kapur barus tidak bertahan terlalu lama dan dapat
merusak kertas jika tidak adanya perawatan selanjutnya.
Perawatan tersebut dapat dikatakan preservasi rutin mengingat tidak
adanya perawatan secara modern sehingga semua dilakukan secara manual dan
dilakukan dengan sumber daya manusia yang terbatas.
Sesungguhnya berdasarkan observasi, suhu udara di ruangan tempat
penyimpanan naskah tidak cukup memenuhi syarat atau belum ideal seperti yang
ditetapkan IFLA. IFLA menetapkan standar suhu udara sekitar 20o - 22
o celcius
dengan kelembaban udara sekitar 40% - 45%, Arsip Nasional Amerika Serikat
(United States national Archives) merekomendasikan kelembaban relatif antara
40% sampai dengan 50% sedangkan Canadiaan Council of Archives (1990 : p.16)
menyebutkan suhu dan kelembaban ideal adalah 18o – 20
o C dan 45% - 65%.
Suhu dan kelembaban udara di KHP Widya Budaya adalah pada saat pukul 9.55,
suhu rata-rata adalah 29o C - 29,5
o C dengan kelembaban 59% - 75%, Pada pukul
11.15, suhu udara berkisar antara 28o C – 30
o C dengan kelembaban antara 60% -
69%. Pukul 13.00, suhu udara cenderung hampir sama dengan pukul 11.15 yaitu
antara 28,5o C – 30,5
o C dengan kelemban antara 60% - 74%. Di saat hujan, suhu
mencapai 27,5o
C – 28o
C. Untuk menyiasati kekurangan tersebut, abdi dalem
yang bertugas melakukan pemeriksaan terhadap suhu udara melakukan buka tutup
jendela.
KHP Widya Budaya juga tidak menggunakan pendingin ruangan (AC) dan
kipas sebagai pendingin dan pengontrol ruangan agar mendapatkan suhu ideal,
KHP Widya Budaya hanya mengandalkan udara yang masuk lewat beberapa
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
74
Universitas Indonesia
jendela (lihat foto 4.22). Untuk mecegah cahaya yang berlebihan, penempatan
ruang penyimpanan manuskrip diletakan di ruang depan yang cahaya nya
terhalang oleh bangunan depan dan pepohonan. Adanya pepohonan tertentu yang
rindang di sekitar pekarangan rumah diasumsikan dapat menghalau fluktuasi suhu
udara. Oleh karena itu, dengan adanya pepohonan di sekitar KHP Widya Budaya
akan menghalau fluktuasi udara. Selain itu, jendela ditutup dan lampu listrik yang
digunakan tidak terlalu terang atau redup. Jendela kaca juga dilapisi oleh kayu.
Seharusnya pihak KHP Widya Budaya menindak lanjuti tentang suhu
ruangan dan kelembaban udara agar mencapai standar, namun karena tidak
adanya kebijakan maupun anggaran untuk membeli fasilitas maka pihak KHP
Widya Budaya hanya mengandalkan perawatan pada naskah yang dilakukan rutin
agar kondisi naskah dapat tetap dalam kondisi baik walau suhu dan kelembaban
udara tidak mengikuti standart yang seharusnya. KHP Widya Budaya hanya
mengandalkan udara yang masuk lewat pintu yang terbuka dan ventilasi udara
agar cahaya dapat masuk.
Abdi dalem mengupayakan agar suhu dan kelembaban udara tidak terlalu
tinggi dengan memeriksa setiap jam kondisi ruangan. Jika terasa begitu lembab,
maka beberapa pintu akan dibuka. Harvey (1990: p.34) perubahan suhu udara
yang selalu cepat akan berakibat buruk bagi buku, bila suhu meningkat pesat,
buku (kertas) akan mengalami eskpansi (mengembang) dan bila suhu udara turun,
buku (kertas) akan mengalami kontraksi (penyusutan). Selain itu untuk menyiasati
agar cahaya tidak terlalu banyak masuk dan tidak mempengaruhi kertas, maka
lampu dimatikan dan penerangan cukup menggunakan cahaya yang sedikit masuk
agar tidak terlalu berlebihan mendapat cahaya.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
75
Universitas Indonesia
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.21 Jendela Ruang Manuskrip
Salah satu abdi dalem ditugaskan untuk memantau suhu ruangan dan
kelembaban udaranya. Tidak adanya pendingin ruangan atau alat pengontrol
ruangan juga yang mengharuskan ruangan dikontrol secara manual oleh orang
(lihat foto 4.22). Jika terjadi kelembaban yang tinggi, maka abdi dalem membuka
kotak penyimpanan naskah dan membuka kaca.
Biasanya abdi dalem membuka jendela pada siang hari sekitar pukul 11.00
hingga pukul 12.00 atau 13.00. Jika jendela dibuka terlalu lama, ditakutkan akan
banyak cahaya yang masuk sehingga merusak manuskrip.
Hygrometer milik KHP Widya Budaya merupakan hygrometer manual
dan di bawahnya adalah kertas yang isinya catatan tentang suhu dan kelembaban
udara agar dapat dipantau dan diketahui riwayat suhu dan kelembaban udaranya.
Selain penggunaan hygrometer, biasanya abdi dalem juga menggunakan
intuisinya dalam melakukan pengukuran suhu. Abdi dalem yang bertugas dalam
memeriksa suhu dan keembaban udara adalah Pak Pitaya. Pak Pitaya memeriksa
ruangan setiap jam dan jika terjadi fluktuasi udara maka Pak Pitaya melakukan
buka tutup jendela.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
76
Universitas Indonesia
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.22 Hygrometer Milik KHP Widya Budaya dan Kertas
Preservasi kearifan lokal lainnya adalah penggunaan kayu pada pintu.
Pintu kayu tersebut digunakan agar ruangan menjadi sejuk walau tanpa pendingin
ruangan, karena terdapat pepohonan di luar ruangan. Menurut Tamara A.Susetyo
pada Kompas (23 Oktober 2008), pantulan halus sinar matahari pagi dan sore hari
sebelum matahari terbenam diasumsikan dapat menghambat perkembangan
mikroorganisme.
Membersihkan ruangan secara teratur juga merupakan preservasi terhadap
kertas secara tidak langsung. Oleh karena jika ruangan bersih, maka tidak ada
serangga atau kotoran dan debu yang hinggap pada koleksi manuskrip.
Pembersihan ruangan juga bertujuan untuk mengurangi tingkat kerusakan koleksi
sebab ruangan yang bersih dari debu menghambat terjadinya akibat asam dan
hama. Tugas membersihkan ruangan ini juga dilakukan abdi dalem yang bertugas
di KHP Widya Budaya. Tidak ada anggaran dalam membersihkan ruangan dan
tidak ada peralatan yang modern. Mereka hanya menggunakan sapu dan lap pel.
Mesin penghisap debu yang dimiliki KHP Widya Budaya merupakan hibah dan
bukan anggaran yang dikhususkan.
Penggunaan manuskrip dengan baik juga merupakan preservasi terhadap
manuskrip. Memperlakukan dengan baik dapat memelihara kondisi manuskrip
yang sudah semakin rapuh.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
77
Universitas Indonesia
Pak Rinta menjelaskan tentang bagaimana abdi dalem membaca
manuskrip,
“Begini,pakai bantalan busa. Tapi dalemnya bulet – bulet. Mungkin ada
penghalang serangganya atau mungkin biar manuskrip nggak rusak.”
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.23 Etika Membaca Manuskrip
Jika dilihat dan dirasakan, bantalan itu berisi busa berbentuk bulat.
Diasumsikan, bantalan tersebut akan ramah terhadap manuskrip karena tidak ada
serat kayu dan tidak tajam.
Pak Rinta juga menambahkan,
“Ini kan juga etika ya. Kita harus menghormati etika itu. Manuskrip ini
kan benda pusaka,kita hargai juga”
Etika yang dianggap tidak penting bagi beberapa orang, namun bagi abdi
dalem etika sangat penting dan suatu keharusan. Segala properti yang berumur
ratusan tahun merupakan benda pusaka yang dipercaya memiliki dhanyang.
Semua perawatan secara tradisional dilakukan demi menjaga koleksi
manuskrip. Selain itu, bisa terlihat dari foto 4.22 bahwa penggunaan hygrometer
merupakan bukti bahwa Keraton Yogyakarta tetap menerima alat – alat yang
modern sebagai pendukung dari proses preservasi. Tanpa meningggalkan
kebudayaan yang masyarakat Keraton Yogyakarta miliki, mereka tetap menerima
masuknya modernisasi dengan tidak meninggalkan budaya yang ada.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
78
Universitas Indonesia
Proses kearifan lokal dalam preservasi dilakukan dengan teratur. Abdi
dalem terlihat cukup menguasai tugas mereka dalam melakukan perawatan
terhadap manuskrip yang ada. Kehidupan di Keraton Yogyakarta yang sangat
sederhana dan hidup berdasarkan kebudayaan secara turun temurun membuat
semua perawatan dilakukan secara manual namun tetap konsisten. Hal yang
menjadi kearifan lokal, bergantung pada pelaku budaya itu sendiri.
Alasan kuat yang membuat abdi dalem di KHP Widya Budaya tetap
mempertahankan kearifan lokal nya adalah keterbatasan dana. Namun
keterbatasan dana tersebut dianggap tidak menjadi kendala, tapi dianggap menjadi
keunikan. Walaupun tanpa dana, proses preservasi tetap berjalan berdasarkan cara
kearifan lokal yang dianggap mampu menjaga manuskrip. Selain itu, bantuan dari
PNRI maupun UIN yang pernah didapatkan tidak konsisten dan tidak bertahan
lama sehingga abdi dalem yang bertugas di KHP Widya Budaya memutuskan
untuk tetap konsisten melakukan perawatan secara kearifan lokal yang dipercaya
tetap akan membuat koleksi manuskrip dalam keadaan yang baik.
Berdasarkan wawancara (19 Januari 2012), kearifan lokal yang dilakukan
selain terkait masalah anggaran adalah masalah kebudayaan yang sudah turun
temurun yang dilakukan para abdi dalem sehingga sulit untuk meninggalkan
budaya tersebut. Selain itu dengan cara yang berbeda, mereka menjaga
berdasarkan apa yang sudah menjadi kebiasaan.
Interaksi antar abdi dalem yang terjadi pada saat melakukan preservasi
juga terlihat. Contohnya pada saat MB. Widyasastra Pitaya ingin melakukan
perbaikan terhadap manuskrip, maka MB. Widyasastra Pitaya meminta izin
kepada K.R.T Rinta Iswara menggunakan bahasa Jawa Krama khusus Keraton.
Sesungguhnya, jika melihat proses perbaikan secara modern tidak dibutuhkan izin
dari atasan karena jika ada koleksi yang rusak maka harus segera diperbaiki
namun izin tersebut semata – mata hanyalah kesopanan terhadap yang lebih tua.
Komunikasi khas juga terlihat selama penelitian yaitu abdi dalem melakukan
percakapan terkait perawatan menggunakan bahasa Jawa keraton.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
79
Universitas Indonesia
Para abdi dalem percaya akan kearifan lokal karena percaya akan kearifan
lokal dianggap etika terhadap suatu benda pusaka. Salah satu perbedaan yang
mencolok antara masyarakat barat dengan masyarakat Jawa pada tidak adanya
suatu mitologi religious secara umum di kalangan masyarakat barat dibanding
dengan adanya mitologi religius yang meresap di kalangan masyarakat Jawa. Hal
ini dapat dinyatakan sebagai sepasang lambang nasional dan kultural yang
menuntut adanya kesetiaan bersama secara umum (Saksono, 2012 : p. 46).
Di Keraton Yogyakarta, khususnya KHP Widya Budaya, karena alasan
sejarah dalam arti kearifan lokal preservasi masih tercermin suatu mitologi adat
yang ternyata memiliki intelektual yang mendalam. Contohnya rangkaian
perawatan yang dilakukan terkait dengan pembungkusan manuskrip. Abdi dalem
tidak tahu mengetahui maksud ilmiah dari penggunaan pembungkus manuskrip
tersebut, namun tanpa disadari ternyata memiliki hal ilmiah yang terkandung dari
perawatan tersebut.
4.6. Kearifan Lokal Konservasi
Konservasi naskah kuno adalah perlindungan, pengawetan dan
pemeliharaan naskah kuno atau dengan kata lain menjaga naskah kuno tersebut
dalam keadaan selamat atau aman dari segala yang dapat membuatnya hilang,
rusak, atau terbuang. Conservation atau pengawetan terbatas pada kebijakan serta
cara khusus dalam melindungi bahan pustaka dan arsip untuk kelestarian koleksi
tersebut. Menurut Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (1992 : p2),
perawatan merupakan bagian dari Conservation yaitu pengawetan. Pengawetan
merupakan kebijaksanaan dan cara tertentu yang dipakai untuk melindungi bahan
pustaka dan arsip dari kerusakan dan kehancuran termasuk metode dan tenik yang
ditetapkan oleh petugas teknis.
Menurut Pak Rinta, “konservasi penting untuk menyelamatkan manuskrip
karena manuskrip ini nantinya akan digunakan dan dilihat sebagai sejarah”.
Dalam KHP Widya Budaya, perbaikan atau konservasi manuskrip mencakup
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
80
Universitas Indonesia
penjilidan ulang, mengganti sampul yang rusak, melapisi kertas dengan tisu
hingga menyalin ulang manuskrip atau mengalihaksarakan manuskrip.
Abdi dalem di KHP Widya Budaya tetap melakukan konservasi
berdasarkan kearifan lokal meskipun adanya bantuan alat restorasi dari Universitat
Leipzig. Abdi dalem cukup mengerti tahap sistematis terkait konservasi terhadap
manuskrip yang rusak. Dalam melakukan konservasi pada manuskrip, abdi dalem
juga mengawali kegiatan tersebut dengan caos sedahar. Setelah melakukan hal
tersebut, mereka melakukan rangkaian kegiatan konservasi. Pertama mereka
melakukan survei terhadap koleksi manuskrip yang rusak lalu dipisahkan dan
dikategorikan berdasarkan kerusakan dan kemudian dilakukan konservaasi secara
prefentif. Terkait banyaknya koleksi yang berbahasa Arab dan Jawa kuno dan
bertema keagamaan, maka dalam melakukan konservasi biasanya mereka melihat
buku sebagai panduan melakukan konservasi. Buku tersebut adalah hibah dari
UIN Yogyakarta. Selain itu, para abdi dalem juga melakukannya secara manual
dengan peralatan yang minim namun cukup memperbaiki kondisi manuskrip yang
rusak. Alat – alat yang digunakan abdi dalem dalam melakukan konservasi juga
merupakan alat yang sederhana.
Koleksi manuskrip yang terdapat di KHP Widya Budaya sangat beragam
materialnya. Ada yang terbuat dari kertas daluang, Kertas Eropa maupun kertas
peralihan dari daluang ke kertas Eropa. Kerusakan yang biasanya sering terjadi
dan cukup mudah untuk dikonservasi biasanya pada kertas yang asam dan
kerusakan pada tinta yang kebanyakan terbuat dari jelaga. Tinta jelaga atau tinta
gentur diasumsikan sama dengan tinta karbon. Berdasarkan wawancara (19
Januari 2012), tinta ini dibuat menggunakan dua jenis bahan baku utama, yaitu
jelaga dan beras ketan. Jelaga diperoleh dengan cara membakar minyak tanah di
dalam kaleng bekas cat dan kemudian asapnya ditampung dengan menggunakan
kaleng yang lebih besar. Jelaga yang sudah terkumpul kemudian dihaluskan di
dalam sebuah tempat yang disebut dulang. Asam yang terbentuk sebagai hasil
oksidasi, seperti juga asam-asam klorida atau asam-asam sulfat, yang
ditambahkan ke dalam tinta untuk mencegah adanya gumpalan di dalam tinta,
sama-sama merusak kertas. Asam-asam tersebut bersifat membakar dan
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
81
Universitas Indonesia
membentuk lubang pada kertas yang selanjutnya dapat menembus lembaran
berikutnya.
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.24 Kerusakan Tinta
Tinta gentur banyak ditemukan pada kertas-kertas jaman dahulu.
Sesungguhnya tinta karbon tidak berbahaya bagi kertas, namun jika tidak
dilakukan perawatan pada manuskrip dan kertas pada manuskrip tetap dibiarkan
dalam kondisi asam makan akan mempercepat masa kerusakan.
Tindakan penanganan pada keadaan manuskrip yang seperti ini, biasanya
abdi dalem mengelap dan menghilangkan debu-debu dan zat-zat kimia yang
menempel dengan menggunakan lap halus atau kuas. Setelah itu kertas dilapisi
oleh kertas tipis atau kertas tisu lalu dilapisi oleh minyak. Minyak diasumsikan
dapat menghilangkan asam karena minyak memiliki zat yang stabil.
Setelah cukup kering, kemudian kertas tisu diangkat dan dikeringkan. Jika
sudah kering, manuskrip tersebut kemudian dipisahkan penempatannya dengan
manuskrip yang masih baik keadaannya dan diberikan keterangan.
Kerusakan selanjutnya yang biasanya terjadi adalah pada cover atau
sampul. Sampul yang semuanya berasal dari kulit tersebut sangat sulit untuk
direstorasi karena pembuatannya yang sulit dan pada saat ini sudah jarang atau
bahkan tidak ada yang menggunakan kulit kerbau muda sebagai sampul pada
buku. Namun untuk mensiasati kerusakan tersebut, abdi dalem mengganti sampul
dengan kertas karton (lihat foto 4.24) yang tebal dengan motif batik atau kertas
karton coklat biasa.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
82
Universitas Indonesia
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.25 Abdi Dalem Mengganti Sampul
Dengan sangat teliti abdi dalem melakukan proses mengganti sampul yang
sudah rusak menjadi sampul karton. Abdi dalem yang melakukan proses tersebut
adalah Pak Rusmandaru. Pak Rusmandaru mengerjakan dan juga menjelaskan
bagaimana cara melakukan proser tersebut,
“Pertama kan kartonnya setebel ini, lalu dipotong. Tapi hati – hati
potongnya. Saya juga nggak awas matanya. Tapi pelan – pelan aja.”
Lalu Pak Pitaya menambahkan,
“Itu bisa miring – miring atau jadi nggak rata. Jangan pake gunting, pake
cutter yang agak besar aja.”
Pak Rusmandaru terlihat bersungguh – sungguh melakukan pekerjaannya.
Bagi Pak Rusmandaru proses tersebut harus terlihat rapi meskipun memakan
waktu yang tidak sebentar.
Pemilihan karton yang tebal karena karton yang lebih tebal diasumsikan
mampu bertahan lama. Karton tersebut juga nantinya akan disampul sehingga
akan menambah ketahanan.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
83
Universitas Indonesia
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.26 Proses Transformasi Sampul
Foto diatas menunjukan bahwa abdi dalem cukup terampil dalam
mengganti sampul. Sampul tersebut dapat diubah walaupun tidak sama seperti
sebelumnya namun masih tetap layak untuk digunakan. Transformasi dari kulit
yang sudah kering, berkerak dan asam menjadi karton dan dengan keadaan yang
lebih baik paling tidak akan membantu menghambat proses keasaman pada kertas.
Kerusakan pada manuskrip beragam. Selain kerusakan pada sampul kulit,
kerusakan dapat terjadi pada kertas dan jilidan. Meskipun adanya preservasi,
namun karena umur dari manuskrip yang sudah tua maka sulit untuk menjaga dan
memastikan manuskrip dalam keadaan baik.
Untuk melakukan konservasi pada manuskrip yang mengalami kerusakan
pada jilidan (lihat foto 4.27), maka abdi dalem menggunakan lakban. Jika keadaan
manuskrip terlalu tebal biasanya mereka melekatkan menggunakan lakban.
Lakban tersebut tidak melekat pada kertas tapi hanya melekat pada sampul. Untuk
menyatukan kertasnya, tetap menggunakan tali atau benang sebagai pengikat.
Seharusnya, lakban perlu diperiksa keasamannya. Lakban yang digunakan harus
harus bebas asam sehingga tidak merusak manuskrip. Abdi dalem tidak
menggunakan steples atau lem karena ditakutkan akan merusak kertas.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
84
Universitas Indonesia
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.27 Kerusakan pada Jilidan
Abdi dalem melakukan proses tersebut berdasarkan inisiatif. Sulit untuk
mencari bahan lain karena abdi dalem hanya menggunakan bahan yang mereka
tahu. Mereka takut mencoba hal baru karena akan memperburuk keadaan
manuskrip. Proses konservasi terhadap jilidan yang rusak tersebut terlihat cukup
berhasil jika dilihat beberapa koleksi yang sudah rusak tetapi masih bisa
digunakan. Konservasi lainnya yang dilakukan adalah perbaikan terhadap
kerusakan kertas.
Kertas adalah benda yang cukup sulit untuk dirawat. Terlebih lagi kertas
yang umurnya sudah ratusan tahun. Sesungguhnya, kertas daluang yang banyak
terdapat di Keraton Yogyakarta cukup kuat dan memiliki ketahanan yang cukup
lama. Namun, kerusakan pada kertas dapat terjadi karena banyak kemungkinan.
Sebab – sebab yang memungkinkan yang terjadi pada manuskrip di KHP Widya
Budaya adalah zat asam, jamur, kotor dari bekas jari manusia dan kecerobahan
manusia yang menyebabkan robek.
Dalam memperbaiki kertas yang rusak, biasanya digunakan alat – alat
seperti busa (spon), karet, kertas tisu, minyak dan kuas. Robek pada kertas (lihat
foto 4.28) diperbaiki dengan cara menambal kertas tersebut. Alat yang dibutuhkan
adalah kuas, lem khusus kertas dan juga kertas tisu. Abdi dalem memperagakan
cara memberikan lem pada kertas tisu dan kemudian menempelkan ke kertas.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
85
Universitas Indonesia
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.28 Abdi dalem menambal kertas yang robek
Pertama, dipilih kertas yang sesuai dengan kondisi bahan pustaka dan juga
kertas tisu, kedua bagian tepi lubang atau potongan kertas yang hilang dikikis atau
di pertipis dengan menggunakan silet, ketiga diolesi perekat dengan hati – hati
pada bagian tepi lubang atau bagian yang terkikis, keempat kertas diletakkan
diatas lubang atau bagian kertas yang hilang dengan serat kemudian disesuaikan,
kelima kertas penambal yang terletak di luar bagian berlubang dikikis dengan
menggunakan silet dan yang terakhir kertas disatukan di atas bagian yang telah
ditambal dan sedikit ditekan agar melekat dengan baik.
Proses penambalan dan penyambungan kertas selain dengan kertas tisu
juga menggunakan bubur kertas. Bubur kertas tersebut dibuat dengan kertas yang
dilarutkan dengan air.
Selain itu dalam memperkuat dan menghilangkan debu yang ada pada
kertas daluang tersebut, biasanya digunakan minyak dan kuas serta lap untuk
membersihkan bekas minyak. Sebelum di olesi minyak pada kertas yang rapuh
dan berdebu, kertas dibersihkan dengan busa (spon) kemudian dilapisi dengan
kertas tisu. Setelah dilapisi kertas tisu, lalu diolesi minyak yang dipercaya dapat
menghilangkan asam dan juga memperkuat kertas daluang.
Abdi dalem juga mengenal penyiangan dan sudah mempraktikan proses
penyiangan. Penyiangan dilakukan pada koleksi manuskrip yang sudah rentan.
Proses penyiangannya setiap selasa kliwon setiap pukul 10.00. Proses penyiangan
yang dilakukan abdi dalem adalah menyingkirkan koleksi yang rusak dan
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
86
Universitas Indonesia
kemudian di serahkan ke bagian restorasi karena dirasa sudah tidak dapat
diperbaiki berdasarkan kearifan lokal. Jika ada koleksi manuskrip yang khusus
atau di spesialkan, maka manuskrip tersebut akan disalin ulang atau
dialihaksarakan. Proses tersebut dilakukan oleh Pak Rinta, karena Pak Rinta
adalah abdi dalem yang cukup mumpuni dalam menulis manuskrip beraksara
Jawa dengan aliran macapat.
Pak Rinta dengan sangat teliti menyalin ulang dan mengalihaksarakan.
Menurut beliau, proses tersebut juga penting dari pada hanya sekedar
mendigitalisasi karena manuskrip yang utuh adalah bukti nyata dan merupakan
hal yang unik. Selain itu, Pak Rinta juga berpendapat bahwa proses tersebut
merupakan tugas beliau dan beliau ikhlas melakukannya walau harus menyalin
banyak manuskrip.
Kegiatan konservasi yang dilakukan tidak berdasar pada ilmu tertentu.
Para pelaku budaya tersebut berpendapat, jika suatu kegiatan perbaikan akan
merusak manuskrip maka kemudian akan dihentikan tetapi jika kegiatan
perbaikan tidak merusak manuskrip maka akan dilanjutkan dan akan dibudayakan.
Walaupun terlihat sederhana dan biasa, namun ada satu konservasi yang dirasa
kurang tepat yaitu penggunaan air jeruk dalam mengelap sampul kulit. Air jeruk
mengandung zat asam, ditakutkan zat asam tersebut akan membuat noda pada
sampul atau membuat foxing pada kertas. Mereka terus melakukan hal tersebut,
karena tidak ada dampak negatif sehingga budaya tersebut dilanjutkan.
Meskipun konservasi manuskrip dilakukan berdasarkan kearifan lokal
menggunakan alat – alat yang sederhana, namun tidak menutup kemungkinan
dalam menggunakan alat – alat yang canggih atau modern. Bantuan dari
Universitat Leipzig merupakan keuntungan untuk pihak Keraton Yogyakarta
khususnya KHP Widya Budaya karena akan memaksimalkan proses perbaikan
dan juga pemeliharaan. Etika dan moral yang terwujud dalam berbagai
pemeliharaan manuskrip merupakan fungsi dan makna dari kearifan lokal itu
sendiri.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
87
Universitas Indonesia
4.7. Perlakuan Modern di Tengah Kearifan Lokal
Pihak Keraton Yogyakarta dari Sultan hingga abdi dalem tidak menutup
mata akan globalisasi. Bantuan yang didapat merupakan sebuah keuntungan agar
KHP Widya Budaya dapat terus memiliki manuskrip yang baik. Meskipun sudah
masuk alat – alat modern, namun yang menggunakan alat – alat tersebut adalah
abdi dalem. Hal yang membuat unik adalah pelaku nya dalam melakukan
konservasi dan restorasi modern yaitu abdi dalem.
Menurut wawancara dengan Pak Rinta terkait dengan alat – alat modern
yang digunakan,
“Kami juga sudah melakukan fumigasi dan membersihkan debu dengan
vacuum cleaner”.
Pak Rinta juga menambahkan,
“Kami melakukan hal tersebut ya karena kalau sekedar di pel atau disapu
kayaknya kurang maksimal, berhubung ada hibah yaudah kami pake
secara maksimal”
Alat – alat tersebut juga harus dikuasai oleh abdi dalem, karena yang wajib
melakukan adalah abdi dalem. Jika ada pekerja yang ingin melakukan pekerjaan
tersebut harus menjadi abdi dalem. Tidak bisa sembarangan orang yang masuk ke
area KHP Widya Budaya terlebih melakukan perbaikan secara langsung terhadap
koleksi – koleksi yang ada. Menurut Pak Puji terkait dengan alat modern yang
harus digunakan abdi dalem adalah,
“Mau nggak mau kami harus bisa. Kami kan belajar. Saya aja mau nggak
mau harus ngerti tentang Picasa dan alat – alat yang berhubungan dengan
digitalisasi.”
Meskipun tidak memiliki latar pendidikan tentang restorasi atau
digitalisasi, namun para abdi dalem dituntut untuk mampu dan dapat bekerja
sesuai proses dan memberi hasil yang baik. Menurut Pak Puji, kebudayaan di
Yogyakarta tidak akan luntur terutama di Keraton Yogyakarta.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
88
Universitas Indonesia
“Kami mampu bertahan dan harus bertahan terhadap budaya luar. Kami
mampu mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli. Jadi
walau ada alat – alat sumbangan dari universitas dari Jerman, tetap aja
kami bisa memberi arahan pada perkembangan budaya.”
Individu dan kelompok masyarakat biasanya menganut nilai sendiri –
sendiri. Bila terjadi pertemuan diantaranya dan satu dengan yang lain Nampak
tidak cocok, maka pihak yang satu biasanya merasa benar dan menyalahkan pihak
lain (Sartini, 20004). Namun yang terjadi di KHP Widya Budaya, jika perlakuan
itu diharuskan dan menurut Universitat Leipzig perlu maka mereka melakukan
dengan hati – hati dengan cara yang sudah dianjurkan.
Restorasi yang dilakukan para abdi dalem di KHP Widya Budaya adalah
mengawetkan kertas dengan kertas washi dan tylose. Proses restorasi tidak
sepenuhnya modern, karena sebagian alat modern yang harus dipakai tetapi tidak
digunakan meskipun alat – alat tersebut memadai.
Bantuan dalam melakukan restorasi diberikan pihak Universitat Leipzig
dengan barter. Pihak Universitat Leipzig berhak melakukan kodikologi dan
membuat katalog manuskrip. Bahan dan alat yang diberikan Universitat Leipzig
juga cukup memadai dan banyak.
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.29 Alat untuk Menekan atau Press pada Kertas
Foto di atas merupakan alat penekan kertas atau press kertas. Jika ada
kertas yang direstorasi, untuk menempelkan tisu Jepang atau kertas washi
diharuskan menggunakan alat ini. Namun alat ini sudah tidak terpakai lagi karena
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
89
Universitas Indonesia
menurut abdi dalem yang melakukan restorasi, alat tersebut diasumsikan akan
merusak kertas karena jika dilakukan penekanan yang terlalu keras malah akan
membuat kertas menjadi rapuh.
Untuk mengganti alat tersebut menjadi alat yang lebih ramah terhadap
kertas, maka abdi dalem yang bertugas menjadi petugas restorasi mengganti
dengan penjepit baju, logam yang cukup berat atau gelas yang berisi arklirik yang
cukup berat. Penjepit baju tersebut akan menjepit pinggiran kertasnya saja dan
tidak membuat kertas menjadi panas.
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.30 Penjepit Baju
Jika kertas sudah dilapisi oleh kertas tisu Jepang atau kertas washi, maka
kertas tersebut dijepit dan kemudian menggunakan logam berat (lihat foto 4.30)
atau gelas berisi arklirik untuk penahan.
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.31 Logam Berat
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
90
Universitas Indonesia
Logam berat tersebut cukup untuk menahan kertas agar merekat pada
kertas washi. Kertas washi yang dipilih adalah tisu yang paling tipis. Tisu tersebut
digunakan untuk memperbaiki kertas. Mereka menggunakan tylose powder atau
gum atau bahan perekat yang dilarutkan dengan air.
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.32 Tylose
Pak Rusmandaru yang bertugas dibagian restorasi melakukan pembuatan
tylose dan pencampuran tylose dengan air yang akan direkatkan dengan kertas
tisu.
Beliau menjelaskan roses pembuatan perekat kertas dan washi :
“ Pertama, tylose diambil dari tempat nya kemudian di ambil kurang lebih
sekitar 10 liter , lalu di larutkan air dengan tylose yang sudah diukur terus
diaduk pakai kuas . Setelah saya pindahkan ke tempat yang lebih kecil lalu
ditutup supaya nggak kering.”
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.33 Proses Pencairan Tylose
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
91
Universitas Indonesia
Sebelum tylose dibuat, sebaiknya disiapkan kertas washi nya terlebih
dahulu dan kertas manuskrip yang ingin di restorasi. Tylose tidak dapat bertahan
terlalu lama. Tylose mudah kering dan jika kering tidak dapat di urai kembali
menjadi cair.
Tisu yang ingin digunakan, diukur terlebih dahulu. Sebelum digunakan,
kertas washi biasanya diletakan di suatu tempat tersusun agar tidak terlipat atau
tidak basah.
Setelah manuskrip sudah dipersiapkan untuk direstorasi, kemudian siapkan
tisu Jepang yang ingin digunakan. Pertama ukur secara pasti sesuai kertas
menggunakan penggaris dan alasnya yang berguna sebagai pengukur dan
memudahkan untuk pemotongan. Kedua, dilakukan pemotongan washi
menggunakan cutter.
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.34 Pengukuran dan Pemotongan Tisu Jepang
Setelah kertas washi sudah siap digunakan, maka kemudian buat tylose
cair dan memulai proses restorasi pada kertas.
Restorasi yang dilakukan abdi dalem ini sudah cukup rapi. Walau tidak
ada sekolah atau pelatihan khusus, namun mereka mampu melakukan restorasi
dengan baik. Terlebih lagi, sumber daya yang melakukan restorasi hanya 2 orang
dan bukan berasal dari bidang kearsipan atau perpustakaan.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
92
Universitas Indonesia
Pak Rusmandari juga menjelaskan dan mempraktikan proses restorasi
pada kertas yang rusak akibat tinta dan juga kertas yang robek :
“Kita samakan dulu washinya dan kertas yang akan dilapisi washi kayak
begini. Kertas tersebut merupakan kertas yang rusak dan akan ditutupi
dengan tisu.”
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.35 Restorasi Tahap 1
“Setelah itu rekatkan washi menggunakan tylose yang sudah dicairkan.
Perekatan dilakukan bersamaan dengan penahanan atau press pada kertas
menggunakan logam”
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.36 Restorasi Tahap 2
“Setelah melakukan perekatan, kemudian kertas tersebut di satukan dan
ditahan menggunakan penjepit”
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
93
Universitas Indonesia
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.37 Restorasi Tahap 3
”Nah,sekarang sudah selesai begini, kemudian dikeringkan dan washi
tersebut akan merekat pada kertas”
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.38 Restorasi Tahap 4 / Hasil Restorasi
Pihak Universitat Leipzig memberikan kebijakan khusus dalam
merestorasi koleksi manuskrip. Kebijakan tersebut ditempel di ruang restorasi
agar dapat selalu dilihat petugas restorasi KHP Widya Budaya.
Dalam memberi kuas atau melakukan perekatan, abdi dalem menggunakan
kuas yang beda tergantung pada seberapa kerusakan yang ingin diperbaiki.
Restorasi dilakukan setelah melakukan konservasi. Restorasi
diperpustakaan difahami sebagai cara dalam mengembalikan bentuk naskah
menjadi lebih kokoh. Untuk melakukan restorasi harus melihat keadaan
manuskrip tersebut, karena setiap kerusakan fisik perlu ditangani dengan cara
yang berbeda. Hal ini dikarenakan cara menangani manuskrip yang rusak
memiliki penyebab yang berbeda. Restorasi adalah kegiatan memperbaiki bahan
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
94
Universitas Indonesia
pustaka yang rusak hingga kembali kepada bentuk aslinya dengan menggunakan
berbagai macam bahan dan peralatan serta teknik yang sesuai (Teygeler, 2001 :
p.34).
Proses restorasi terhadap manuskrip dilakukan dengan cukup baik.
Restorasi pada koleksi manuskrip di Keraton Yogyakarta perlu dilakukan
sehingga Keraton Yogyakarta masih memiliki wujud asli manuskrip tersebut. Jika
digitalisasi tidak melihat koleksi manuskrip secara nyata, maka dengan melakukan
restorasi paling tidak dapat mempertahankan manuskrip yang jumlahnya tidak
banyak.
Lain hal nya dengan restorasi, penggunaan alat – alat modern yang lebih
sulit adalah proses digitalisasi. Tindakan preventif untuk menjaga dan
melestarikan isi kandungan suatu manuskrip adalah dengan mengalih mediakan
suatu koleksi manuskrip. Alih media yang dilakukan oleh KHP Widya Budaya
awalnya mendapat bantuan dari Perpustakaan Nasional, namun bantuan tersebut
tidak bertahan lama. Bantuan alih media kemudian dilanjutkan oleh Universitas
dari Jerman yaitu Universitat Leipzig. Menurut KRT Rinta Iswara,
“Universitas ini memberikan bantuan alih media dan juga restorasi. Semua
hasil dari alih media dan restorasi akan menjadi milik Keraton Yogyakarta
dan sebagian hasil digitalisasi akan menjadi milik Universitat Leipzig.”
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.39 Proses Digitalisasi Manuskrip
Keraton Yogyakarta melakukan perjanjian dalam penanganan naskah kuno
dengan Universitat Leipzig 6 bulan yang lalu (terhitung dari Januari 2012).
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
95
Universitas Indonesia
Sebelum nya, Universitat Leipzing pernah melakukan digitalisasi di Aceh
terhadap naskah-naskah yang ada di UIN Aceh. Setelah Proyek Aceh yang selesai
pada akhir 2010, Leipzig University, berkerja sama dengan Keraton Jogjakarta,
UIN Jogjakarta, dan Manassa, akan melanjutkan proyek sejenis untuk koleksi
naskah Keraton Jogjakarta dan Surakarta (http://www.manassa.org, 2009)
Sebelum ada bantuan untuk melakukan digitalisasi, biasanya abdi dalem
melakukan konservasi dengan menulis ulang, menyalin atau mengalih aksarakan
dari bahasa Jawa kuno ke bahasa latin.
Pertama, koleksi manuskrip dipilih yang mana yang penting untuk
dialihmediakan. Alih media proses alih media ke digital memiliki prioritas.
Menurut Seadle (2004 : p119), prioritas penting untuk memilih alih media ke
dalam bentuk digital bahan pustaka terlihat dari tiga kriteria, yaitu :
4. Apakah bahan pustaka merupakan bahan pustaka yang rusak dan berharga
5. Apakah prosedur digitalisasi bahan pustaka ini sesuai dengan standar yang
ada
6. Apakah hak cipta memberikan akses untuk tujuan pendidikan dan
penelitian
Jika ada manuskrip yang sudah dikonservasi, maka manuskrip tersebut
yang didahulukan agar masih dapat dialihmediakan. Kemudian, isi manuskrip
tersebut di scan per lembar dan dimasukan ke dalam dokumen komputer yang
nantinya akan dikirim ke Universitat Leipzig atau diprint membentuk buku.
Untuk menyimpan dokumen yang berformat JPG dan PNG, mereka
mengolah menggunakan Picasa2. Picasa2 merupakan software untuk menyimpan
gambar dan mengedit gambar. Picasa2 dipilih karena lebih mudah dalam
mengoperasikannya. Orang yang melakukan proses digitalisasi tetap abdi dalem.
Abdi dalem yang bertugas adalah Pak Puji atau R.Ry Widyahadibrata. Pak Puji
terlihat piawai menggunakan computer. Keterbiasaan melakukan proses
digitalisasi membuat Pak Puji tidak merasa kesulitan. Meskipun terjadi kerusakan
teknik, namun sejauh ini kerusakan tersebut dapat diatasi.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
96
Universitas Indonesia
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.40 Hasil Digitalisasi
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.41 Hasil Alih Media Berbentuk Buku
Melalui pelatihan proses alih media yang sebentar, abdi dalem yang
melakukan tugas tersebut dapat melalukan dalam kurun waktu yang cukup cepat
dan dilakukan dengan baik. Terbukti dari hasil alih media nya. Foto diatas
merupakan foto digitalisasi buatan abdi dalem. Hasilnya cukup memuaskan
meskipun masih ada beberapa tulisan yang tidak terlihat.
Para abdi dalem menyadari betul akan pentingnya manuskrip-manuskrip
tersebut dilestarikan. Melakukan preservasi tidaklah cukup, namun perlu adanya
konservasi secara tradisional maupun alih media secara modern yaitu digitalisasi
sebagai tindakan preventif.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
97
Universitas Indonesia
Berdasarkan wawancara dengan Pak Puji, Pak Puji mengatakan
“…. sampai saat ini, koleksi manuskrip yang sudah didigitalisasi sudah
mencapai 270 buah.”
Dengan memanfaatkan teknologi alih media atau digitalisasi secara tepat
dan cermat kita optimistis bahwa warisan budaya bangsa akan terhindar dari
kerusakan, kepunahan, dan dirampas oleh pihak-pihak lain yang tidak
bertanggung jawab. Berdasarkan penelitian, abdi dalem yang bertugas dalam
melakukan proses digitalisasi sudah cukup baik. Abdi dalem tersebut melakukan
proses digitalisasi seperti para profesional. Abdi dalem tersebut juga mengerti
bagaimana cara menggunakan software dan dapat menangani masalah apabila
terjadi masalah pada komputer atau software tersebut.
Beberapa keunggulan format digital diantaranya adalah sebagai berikut.
Pertama, long distance service, artinya pengguna dapat menikmati layanan
sepuasnya, kapanpun dan dimanapun. Kedua, akses yang mudah. Akses lebih
mudah karena pengguna tidak perlu mencari di katalog dengan waktu yang lama.
Ketiga, murah (cost efective). Mendigitalkan koleksi perpustakaan lebih murah
dibandingkan dengan membeli buku. Keempat, mencegah duplikasi dan plagiat.
Format digital lebih aman, sehingga tidak akan mudah untuh diplagiat. Bila
penyimpanan koleksi perpustakaan menggunakan format PDF, koleksi
perpustakaan hanya dapat dibaca oleh pengguna, tanpa dapat mengeditnya.
Kelima, publikasi karya secara global. Karya-karya dapat dipublikasikan secara
global ke seluruh dunia dengan bantuan internet.
Dengan adanya koleksi yang didigitalisasi, diharapkan dapat menjadi
informasi yang dapat dimanfaatkan secara luas dan umum. Hasil alih media juga
dapat digunakan masyarakat umum karena tidak menggunakan manuskrip yang
asli yang sudah rapuh. Alih media juga membuat diversifikasi bentuk dan layanan
bahan pustaka karena kemampuannya dalam menampilkan secara lebih menarik,
halaman tak terbatas, portabel, interaktif dan tahan lama. Alih media digital pada
saat ini menjadi suatu fenomena baru yang mulai banyak diperhatikan dan
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
98
Universitas Indonesia
dibutuhkan dalam penyebaran informasi maupun pelestarian informasi itu sendiri,
sehingga akses informasi menjadi cepat dan efisien.
Alih media digital terutama bahan dokumen tercetak merupakan dasar
dalam membangun suatu koleksi digital yang nantinya akan dapat dipergunakan
untuk berbagai macam keperluan akses informasi maupun penyebaran informasi.
Seharusnya Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dan Arsip
Nasional ikut membantu secara konsisten dalam melakukan preservasi dan
konservasi, karena manuskrip Keraton Yogyakarta termasuk naskah nusantara
yang akan menjadi sumber informasi sejarah di kemudian hari. Jika PERPUSNAS
dan ARSIPNAS turut membantu, maka akan membantu kondisi manuskrip yang
ada di Keraton Yogyakarta.
Dalam perjalanannya, budaya nusantara baik yang masuk kawasan istana
atau diluar istana, tidak statis. Ia bergerak sesuai dengan perkembangan jaman.
Dengan adanya kontak budaya, difusi, assimilasi, akulturasi sebagaimana
dikatakan sebelumnya, Nampak bahwa perubahan budaya di masyarakat akan
cukup signifikan (Sartini dalam Menggali Kearifan lokal, 2004). Globalisasi
nampaknya tidak dianggap momok oleh pihak Keraton Yogyakarta dan abdi
dalem yang melakukan pelestarian terhadap manuskrip di KHP Widya Budaya
tampak siap dengan berbagai kemajuan teknologi. Alat – alat yang modern
tersebut juga memiliki hal positif bagi manuskrip. Disamping itu, perspektif
mengenai perubahan yang terjadi juga menjadi peluang tersendiri untuk
menelusuri pengaruh lintas budaya dan globalisasi.
KHP Widya Budaya menerima adanya perubahan terhadap beberapa
proses pelestarian. Meskipun segala hal baru yang masuk tetap disaring terlebih
dahulu, namun antara budaya kearifan lokal dan hal modern tetap bisa seimbang.
Pihak Keraton Yogyakarta sudah cukup bijak melihat adanya difusi budaya
modern dan tetap berusaha melestarikan kearifan lokal yang ada. Tanpa
meninggalkan mitos – mitos, regili dan kebudayaan yang tercermin dalam ritual,
abdi dalem di KHP Widya Budaya berusaha mencampur dua kebudayaan yang
berbeda tersebut.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
99 Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh di lapangan, maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Manuskrip Keraton Yogyakarta dikelola oleh abdi dalem yang tidak
mempunyai latar belakang pendidikan maupun pelatihan
kepustakawanan. Dengan demikian para abdi dalem tesebut tidak
mempunyai pengetahuan untuk mengelola sebuah perpustakaan. Tidak
adanya pendidikan mengenai perpustakaan tidak menghentikan proses
pemeliharaan manuskrip di Keraton Yogyakarta. Proses tersebut tetap
dilakukan berdasarkan kearifan lokal.
2. Ruang penyimpanan manuskrip masih belum memiliki suhu yang ideal
karena tidak adanya alat pendingin atau alat pengatur suhu udara,
namun terkadang sudah mencapai kelembaban ideal seperti yang
ditetapkan oleh IFLA.
3. KHP Widya Budaya tidak mendapat bantuan pemeliharaan manuskrip
dari Perpustakaan Nasional maupun Arsip Nasional secara konsisten,
namun ada satu program lembaga pendidikan yang sedang berjalan
yaitu program bantuan dari Universitat Leipzig, Jerman
4. Pihak Keraton Yogyakarta maupun abdi dalem menerima adanya
perkembangan budaya dengan pengaplikasian alat – alat modern yang
merupakan bantuan dari lembaga luar keraton.
5. KHP Widya Budaya Keraton Yogyakarta tetap eksis hingga kini
dengan cara kearifan lokal yang ada.
Sebagai tindak lanjut dalam penelitian ini, ada beberapa saran yang dapat
dilakukan yaitu :
1. Para abdi dalem harus lebih memerhatikan suhu maupun kelembaban
udara pada ruangan karena dua hal tersebut merupakan inti dari setiap
kerusakan. Kerusakan yang disebabkan suhu dan kelembaban udara
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
100
Universitas Indonesia
dapat berdampak bagi kerusakan lainnya. Diusahakan untuk membuat
suhu udara dan kelembaban udara pada ruangan menjadi ideal atau
sesuai standar yang ditetapkan yaitu suhu udara sekitar 20o - 22
o
celcius dengan kelembaban udara sekitar 40% - 45%
2. Kearifan lokal perlu dipertahankan, namun ada baiknya jika ruangan
diberikan pendingin ruangan agar suhu ruangan bisa dikendalikan dan
dapat memudahkan abdi dalem untuk melakukan tugas perawatan
manuskrip
3. Perlu adanya bantuan dalam bentuk anggaran secara konsisten agar
mempermudan proses preservasi dan konservasi, khususnya pihak
pemerintahan dalam hal ini Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
dan Arsip Nasional terhadap pelestarian manuskrip karena manuskrip
termasuk benda cagar budaya yang wajib dilestarikan.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
101 Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Agrawal, O. (1999). Preservation of Art Object and Library Materials. New Delhi:
National Book Trust.
Cresswell, J. W. (2010). Research Design : Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan
Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dureau, J., & Clements, D. (1990). Dasar - Dasar Pelestarian dan pengawetan
Bahan Pustaka . Jakarta: Perpustakaan Nasional.
Endraswara, S. (2003). Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta : Cakrawala
Endraswara, S. (2006). Metode Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Fathurahman, Oman (2009). Digitalisasi Naskah Indonesia. Dari
http://www.manassa.org/main/sb/index.php?detail=20091230093750 .
Diakses pada Maret 10,2012.
Fuad Hassan, “Pokok-pokok Bahasan Mengenai Budaya Nusantara Indonesia” ,
Dari http://kongres.budpar.go.id/news/article/Pokok_pokok_bahasan.htm.
Diakses pada Maret 10,2012.
Garjito. (1991). Preservation and Conservation of Library Materials in Tropical
Countries with Particular Reference to The National Library of Indonesia.
Harvey, R. (1993). Preservation in Libraries : A Reader . London: Bowker.
Kerajaan Nusantara. Dari Kerajaan Nusantara: http://kerajaannusantara.com/id/Yogyakarta-
hadiningrat. Diakses pada Februari 18, 2012
Kumar, A. S. (2009). Preservation of Library Materials: Problems and
Perspective. DESIDOC Journal of Library & Information Technology, 37-
40.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
102
Universitas Indonesia
Razak, M. (1992). Pelestarian Bahan Pustaka dan Arsip . Jakarta: Program
Pelestarian Bahan Pustaka dan Arsip.
Razak, M. (1995). Petunjuk Teknis Pelestarian Bahan Pustaka. Jakarta:
Perpustakaan Nasional RI.
Saksono, Ign, Gatut dan Djoko Dwiyanto. (2012). Keselamatan dalam Budaya
Jawa. Yogyakarta : Ampera Utama
Saksono, Ign, Gatut. (2007). Paranormal, Peran dan Tanggung Jawab Moralnya.
Yogyakarta : Yayasan Pustaka Nusantara
Sartini (2004). Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati. Dari
Balipos: http://balipos.co.id. Diakses pada Maret 20,2012.
Sedyawati, E. (2010). Budaya Indonesia : Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah.
Jakarta: Rajawali Pers.
Spradley. (1979). The Etnographic Interview. California : Wadsworth Publishing
Company
Sulistyo-Basuki. (1991). Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Gramedia.
Sulistyo-Basuki. (1991). Teknik dan Jasa Dokumentasi. Jakarta: Gramedia.
Susetyo, Tamara (2008).Selamatkan Manuskrip dengan Kearifan Lokal. Dari
http://www.kompas-online.com. Diakses pada Maret 20, 2012.
Undang Undang Republik Indonesia : Cagar Budaya. (2010). Indonesia.
Wibiaksa (2011). Analisis Serat Ambiya. Dari
http://wibiaksa.blogspot.com/2011/01/analisis-serat-ambiya-jilid-halaman.html. Diakses
pada Maret 15, 2012 .
Yudha,Asep. Ragam dan Unsur Spiritualitas pada Ilustrasi Naskah Nusantara
1800-1900an. Dari http://asepyudha.staff.uns.ac.id . Diakses pada Maret
10, 2012.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
1
Universitas Indonesia
Lampiran 1. Bukti Fisik Manuskrip melalui Pemeliharaan Berdasarkan Kearifan
Lokal
Foto Sampul Manuskrip dalam Kondisi Baik
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 20120
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 20120
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
2
Universitas Indonesia
Foto Kertas Pada Manuskrip dalam Kondisi Baik
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 20120
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 20120
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
3
Universitas Indonesia
Lampiran 2. Wawancara Etnografi
E : etnografer
R : Pak Rinta
Wawancara Analisis dan Interpretasi
E : Selamat siang, Pak.
R : Selamat siang. Namamu siapa?
E : Saya Laras,Pak. Mau Tanya – Tanya
nih pak tentang manuskrip disini
sekalian car a pelestariannya
R : Iya tanyakan apa?
E : sebelumnya saya mau tanya tentang
abdi dalem disini pak.
R : saya jelaskan mudah – mudahan
informasinya terpenuhi. Jadi abdi dalem
itu adalah kepuasan hati bagi paa abdi
dalem. Mereka bersedia mengabdi
bahkan mereka tidak melihat
bayarannya. Para abdi dalem
mendapatkan gelar dari keraton dan
mendapatkan pendidikan. Hal ini untuk
menandakan bahwa mereka adalah benar
– benar abdi dalem keraton yang
memahami segala adat dan peraturan
keraton.
Tutur kata dan cara bicara sangat ke
jawaan dalam arti dengan aksen jawa.
Pak rinta tampak berusaha ramah dan
menjelaskan informasi yang ada.
E : terus pak kalo mau jadi abdi dalem
gimana pak? Ada yang minta atau dia
menawarkan sendiri atau seperti
lowongan pekerjaan itu
R : (pak Rinta tertawa kecil). Yaaaa..
Bagi para abdi dalem, mengabdi pada
Pak rinta terlihat sangat menguasai
seluk beluk keraton dan tentang abdi
dalem. Beliau menjelaskan panjang
tentang abdi dalem
Pertanyaan ini berusaha didapat
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
4
Universitas Indonesia
keraton adalah panggilan jiwa. Menjadi
abdi dalem akan mendapatkan berkah
dari keraton, baik berkah dalam
kehidupan, rezeki, anak dan lainnya, ya.
Jadi ikhlas saja
E : tapi rata – rata yang jadi abdi dalem
udah pada tua ya pak?
R : ada yang masih muda tapi nggak
sebanyak yang tua. Mungkin kan
pemikiran juga berbeda.
jawabannya agar etnografer dapat
melakukan posisi yang sama seperti
abdi dalem yang melakukan penelitian
E : Pak, kok perpustakaan widya budaya
ini bukan untuk umum? Saya liat ada
tulisan dilarang masuk.
R : Iya, karena kalo dibuat untuk umum
nanti takut ada manuskrip yang ilang
atau buku yang ilang atau tempat jadi
kotor. Kalo bisa sih ruangan ini selalu
bersih
E : oia bener ya pak. Kan manuskrip itu
rentan jadi harus dalam keadaan bersih
biar nggak rusak
R : ya begitulah. Kadang juga suka ada
orang yang iseng – iseng ambil
Beliau berusaha menjelaskan tentang
kebiasaan buruk pengunjung namun
dengan cara yang sopan. Pak Rinta
juga menunjukan ketakutannya jika
ada manuskrip yang rusak karena
terlihat beliau sangat menghormati
semua benda yang ada di keraton
E : oia ya pak, abdi dalem yang disini
tenaga professional semua atau nggak
pak?
R : ya nggak juga.latar belakang kami
beda – beda. Itu yang di situ namanya
pak pitaya dia itu orang BPAD yang
ditugaskan membantu preservasi
Pak Rinta terlihat lebih komunikatif
dan menggunakan bahasa yang tidak
terlalu formal. Bahasa jawanya masih
sering terdengar.
Pak Rinta terlihat apa adanya dalam
menjawa pertanyaan.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
5
Universitas Indonesia
manuskrip disini, tapi ya dia juga harus
jadi abdi dalem supaya bisa ikut bekerja
disini
E : ooo,jadi semua nya yang bekerja
disisni itu abdi dalem. Nggak ada orang
luar pak?
R : nggak ada. Lah wong yang ngepel
juga abdi dalem.
E : Pak, kalo disini manuskripnya jenis
apa aja?
R : Manuskrip Yogya tercatat dalam
daluang. Jadi bahannya ya hanya itu.
Ropak,lontar atau tembaga sudah tidak
ada. Nah buku itu ditulis sejak HB V-8.
Kebanyakan berupa babad, ya. Dan
tertuang dalam macapat atau tembang.
Yaaaa,seperti puisi. Jadi bukan dalam
bentuk prosa, ya. Seperti puisi, ya.
Kebanyakan manuskrip disini bukunya
tebal – tebal. Dan nanti tak kasih liat,ya.
Dan ada juga yang sudah di alih
aksarakan ada yang belum, ya.
E : ooo,kalo alih aksara ada yang bantu
nggak pak?
R : Yo ada. Kan ada lembaga yang
dengan seizin Sultan yang mau dengan
ikhlas membantu.
E :Jadi mereka secara suka rela,Pak?
R : Iya dong. Wong ra ono anggaran.
E : Pak alih aksara itu ke bahasa
Indonesia?
Pak Rinta menjelaskan tentang
manuskrip yang ada di keraton dan
beliau juga bertanya dengan pak
pitaya.
Pak Rintya memancing pertanyaan
yang membuat Pak Rinta menjawab
the grand tour question “saya ingin
observasi dan berpartisipasi pak dalam
pelestarian manuskrip. Ya sambil liat –
liat koleksi manuskrip juga boleh pak
atau ukur keasaman nya dan lain –
lain. Saya juga mau ukur suhu supaya
semua ada korelasi antara perlakuan
dengan hasilnya”
Pak Rinta selalu menegaskan kata
tradisional karena pewatan yang
dilakukan apa adanya.
Pak Rinta berusaha menjelaskan
tentang kenalaran hal mistis namun
ada sedikit gap antar budaya yang
terjadi. Antara budaya modern dan
budaya jaman dulu
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
6
Universitas Indonesia
R : bukan loh, alih aksarakan jadi tulisan
latin lagi bukan tulisan jawa lagi.
E :terus penyimpanan nya?
R : ya disini masih tradisional. Jangan
dibandingkan ditempat lain.
Penyimpanan nya aja di lemari kayu.
E : kayu apa pak?
R : jati ada cendana juga mungkin ya.
Yang penting jangan yang cepet
dimakan rayap
E : Jadi masih tradisional banget ya pak
ya?
R : yaiya tradisional. Tapi disini sudah
ada fumigasi. Fumigasi toh yo mas
Pitaya? (bertanya dengan abdi dalem
lainnya)
Pitaya : Inggih fumigasi
R : Tapi ini bantuan dari luar keraton.
Mbak ini disini inginnya bagaimana
mbak? Apa mau liat manuskrip aja apa
mau liat apanya?
E :saya ingin observasi dan
berpartisipasi pak dalam pelestarian
manuskrip. Ya sambil liat – liat koleksi
manuskrip juga boleh pak atau ukur
keasaman nya dan lain – lain. Saya juga
mau ukur suhu supaya semua ada
korelasi antara perlakuan dengan
hasilnya
R : ya kebanyakan ya ini tradisional.
Dengan akar wangi atau kapur barus.
Tapi kapur barusnya juga nggak
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
7
Universitas Indonesia
bertahan lama juga sih
E :Ada kimianya juga kan ya pak kapur
barus
R : Iya,kertasnya juga jadi kuning saya
juga nggak tau itu dari kapur barus atau
apa toh
E : ada hal mistis nggak sih pak disini?
R : begini dek, benda benda dikeraton
ada benda benda yang biasa ada juga
benda – benda yang dikeramatkan
E : oh, kayak benda pusaka pak?
R : ya nggak pusaka tok. Benda pusaka
juga rata – rata disimpan ditempat
sultan. Itu nggak boleh dilihat orang
bahkan abdi dalem. Pokoknya sultan
saja lah. Tapi kalo dibersihkan atau
sudah dibersihkan ya boleh kami liat
E : maksudnya kami tu abdi dalem nya
atau umum?
R : ya abdi dalem saja
E : benda pusaka atau benda keramat itu
apa pak?
R : namanya suryo rojo. Itu isinya ajaran
– ajaran tentang kesultanan.
E : Saya mau foto boleh nggak pak?
R : wah nggak bisa mbak, tapi coba deh
ada nggak ya fotonya disini. Ono yo as
yo (bertanya dengan abdi dalem
lainnya).
Lalu abdi dalem tersebut mencari foto
manuskrip tersebut namun tidak
ditemukan.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
8
Universitas Indonesia
R : nggak ada mbak fotonya, tapi sama
kok mba dengan manuskrip lain.
E : kalo perawatan kayak preservasi
konservasi gitu pak itu gimana cara nya?
R : disini itu setiap mau dibersihin itu
harus ada ritual caos sedahar. Ya itu
seperti adat lah.
E : itu gunanya untuk apa pak?
R : saya juga sulit untuk
menyambungkan ke nalar setiap orang.
Tapi disini yakin setiap benda ada yang
punya atau yang nungguin
E : oo,saya juga percaya sih pak.
Ibaratnya setiap rumah aja punya
penunggunya.
R : Iya, makanya disini kita ada ritual
namanya caos sedahar.
E : caos sedahar itu kayak apa pak?
R : begini nih. Mas,mas tolong tunjukin
mbak nya alat – alatnya menyan sama
sajennya (berbicara dengan abdi dalem
lainnya dengan bahasa jawa). Nah, jadi
ini nih pertama – tama siapkan arang –
arang begini. Arang ini nanti akan
dicampur dengan menyan suapaya
wangi. Ini ada bunga sama buah. Bunga
itu harus kalo di sajen. Yang namanya
sajen mesti ada bunganya.
E : habis itu diapain lagi pak? Ini
memang selalu dilakukan atau gimana
pak?
R : yah dilakukan nya setiap selasa
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
9
Universitas Indonesia
kliwon. Setiap jam 10 sampe jam 12 ya.
Yang melakukan juga ganti – gentian.
E :kenapa harus selasa kliwon?
R : ya memang baiknya hari itu. Kita
kan nggak bisa jelasin alesan atau latar
belakangnya.memang hari baiknya
begitu loh
E :terus setelah itu diapain pak?
R : nah, ini nanti dikeluarin manuskrip –
manuskripnya. Terus setelah itu
dibungkus. Ini ada yang pake kain
kuning begini.
E : oo,ini halus ya pak?
R: iya mungkin ini kayak sutra kali ya?
E :mungkin pak. Kok tapi ini beda ya
sama yang satu lagi
R: oh,yang kertas ini untuk yang lebih
kecil sama yang biasa aja kan kalo al-
quran atau yang lain yang lebih besar
sama yang lebih lama dibungkusnya
pake ini (nunjuk bahan kain)
E : ini kenapa warna kuning pak?
R : ya nggak tau juga sih ya. Yang
penting terhindar dari serangga.
E : Pak Rinta, saya ada liat bantalan
busa. Yang kayak warna hijau itu pak
R : oh itu, kalo itu untuk baca
manuskrip. Begini, pakai bantalan busa.
Tapi dalemnya bullet – bullet. Mungkin
ada penghalang serangganya atau
mungkin biar manuskrip nggak rusak.
Ini yang dinamakan etika ya. Kita harus
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
10
Universitas Indonesia
menghormati etika itu. Manuskrip ini
kan benda pusaka jadi harus dihargai.
E :oj,jadi sebenernya biar nggak rusak
yah pak? Jadi kalo dibuka nggak
langsung kebuka semua. pak kalo
peralatan modernnya itu ada apa aja sih?
R : kan tadi ada fumigasi ya. Tapi itu
dilakuin selama 1 tahun sekali.
E : itu bantuan?
R : iya. Terus ini ada penghisap debu
atau vakum cleaner. Kami melakukan
hal itu karena kalo sekedar dip el atau
disapu kayaknya kurang maksimal,
berhubung ada hibah yaudah kami pake
secara maksimal
E : memangnya bantuan dari mana aja
sih pak?
R : dari universitas Leipzig. Sebetulnya
pernah ada bantuan dari UIN. Dari pnri
juga pernah tapi nggak konsisten.
Universitas jerman ini member bantuan
alih media dan restorasi. Semua hasil
alih media dan restorasi akan menjadi
milik Keraton Yogyakarta dan sebagian
hasil digitalisasi akan menjadi milik
universitat Leipzig.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
11
Universitas Indonesia
E : Etrnografer
PA : Bapak Pitaya
PI :Bapak Puji
RU : Bapak Rusmandaru
Wawancara Analisis
E : selam siang pak pitaya.
PA: Siang mbak, dengan mbak laras ya
tadi?
E : Iya pak.
PA : mbak, mau liat – liat sekeliling?
E : boleh pak. Saya mau liat dari sistem
penyimpanan, hal yang abdi dalem
lakuin sampe temperature – temperature
nya ya pak?
PA : boleh.
E : pak tapi saya ,mau tanya pandangan
pak pitoyo tentang abdi dalem
PA : abdi dalem itu menurut saya orang
yang bener – bener mengabdi di
keraton. Setiap warga Yogyakarta ingin
sekali menjadi abdi dalem keraton
dengan tulus. Bahkan dengan gaji
sekitar 15000 sampe 80000. Ini nih
saya kasih liat daftar gajinya
(menunjukan daftar gaji ke saya)
E : wah pak, kenapa murah banget ya
pak?
PA : ya namanya juga ngabdi. Jadi
keraton ini ibaratnya satu Negara ya.
Jadi kami-kami ini ya pegawainya. Tapi
Pak Pitaya menjelaskan tentang abdi
dalem namun jawabannya lebih
berstruktur.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
12
Universitas Indonesia
kebetulan kami kerja ya sukarela. Dan
ya kerja juga dengan alat atau fasilitas
seadanya
E : kayak preservasi konservasi ini ya
pak?
PA : ya untuk preservasi sama
konservasi masih pake tradisional ya.
Tapi kalo restorasi ibaratnya kami ingin
mengembalikan kebentuk asli ya sudah
kami pake yang modern. Kebetulan
12ana da bantuan dari universitas dari
jerman. Sini mbak mau liat apa nanti
saya keluarin
E : saya mau liat contoh – contoh
manuskrip dari kondisi yang paling
bagus sama yang rusak banget pak.
PA : (pak pitoyo mengeluarkan 6
contoh). Ini al-quran. Bagus ya?ini pake
prada.motif nya ini nih,suka dipake.
Belakangan ini dipake untuk undangan
nikahan keluarga sultan
E : kalo untuk menyentuh ini atau
melihat lihat boleh pak?
PA : kan sudah caos sedahar tadi. Boleh
saja asal jangan difoto.
E : terus ini apa pak? Kok bahannya
beda?
PA : mungkin itu yang mbak pegang
dari kertas eropa. Ini ada yang daluang
ada yang kertas eropa. Ini bedanya
disini.diseratnya
Pak pitaya sedikit memberikan
gambaran tentang perlakuan khusus.
Pak pitaya juga terlihat mndeskripsikan
secara jelas tentang manuskrip.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
13
Universitas Indonesia
E : berarti preservasinya gimana pak?
PA : ya disamakan. Ini yang paling
rusak ni
E : ini bahan apa pak?
PA : ini kertas eropa. Sayang sih kalau
begini.
E :baik deh pak, nanti saya coba
identifikasi. Saya tarok dimeja dulu ya
pak. Nggapapa kan pak?
PA : yaudah boleh.tapi jangan difoto
ya.
E: iya pak. Kalo perawatan naskah itu
hanya sebatas pemberian caos sedahar
saja atau gimana pak?
PA : sebenernya cara mengatur lampu,
pembukaan jendela juga sudah cukup
membantu sih ya. Memang berdampak
sih,terlihat kok. Saya juga memantau
ruangan ini, jadi kalo sudah agak
lembab saya buka aja jendelanya. Kan
takut manuskrip jadi asam ya mbak
E : bapak sepertinya ngerti sekali ya
pak?
PA : ya, mungkin karena sudah
kebiasaan ya mbak. Saya juga
perhatikan secara berkala, saya periksa
terus menerus. Ada dampak apa untuk
manuskripnya. Kan begitu.
E : jadi walau nggak ada alat –alat
canggih tapi tetep bisa terjaga ya pak?
PA : ya saya maunya begitu. Makanya
Pak pitaya terlihat mengerti tentang
cara teknis dalam melakukan perawatan
terhadap manuskrip
Pak Pitaya juga memancing pertanyaan
untuk melakukan mini grand tour
question
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
14
Universitas Indonesia
saya coba rawat. Yaa paling tidak saya
ngerti sedikit sedikit tentang ini karena
saya kalo di BPAD juga sedikit belajar
tentang ruangan
PA : kita ke ruang depan sekarang. Mau
liat digitalisasi nggak mbak nya?
E : boleh boleh pak
PA : ini pak puji. Beliau yang suka
digitalisasi. Tapi kadang suka bantu
bantu kegiatan lain juga
PI : mbak. (sambil menyapa dan
mengulurkan tangan untuk salaman).
Lagi neliti ya mbak?
E :iya pak. Buat skripsi nih pak. Mohon
bantuannya ya pak
PI : iya mbak. Insyaallah akan saya
bantu semaksimal saya
E: bapak lagi ngapain nih pak?
PI : oh ini saya lagi digitalisasi mbak.
Kan supaya manuskrip punya
kopiannya ya.
E :ini tugasnya dipilihin atau
bagaimana pak?
PI : ya nggak mba. Bisa pak pitoyo bisa
saya. Kebetulan belakangan ini saya
yang selalu kerjain. Karena saya
sempetnya ini. Jadi yaudah difokusin
satu – satu
E : udah berapa manuskrip nih pak
yang di digitalisasi
PI : saya kurang bisa mastiin mba, tapi
mungkin sampai saat ini, koleksi
Pak puji melakukan jawaban yang
sistematis sehingga etnografer dapat
mengikuti arah pertanyaan. Pak Puji
terlihat cukup menguasai sorfware yang
digunakan dan berusaha menjelaskan
tentang software tersebut meskipun
pengetahuan software tersebut hanya
60% berdasarkan pada apa yang
dipraktekan selama ini.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
15
Universitas Indonesia
manuskrip yang sudah di digitalisasi
sudah mencapai 270 buah.
E : sepertinya bapak udah jago ya pak
pake ini. Ini pake software apa ya pak?
PI : (tertawa kecil). Ya lumayan mbak.
Ini kebetulan picasa terbaru. Yang
kedua. Lebih mudah sih untuk
pemakaiannya. Sebenernya mau nggak
mau kami harus bisa mbak. Kami kan
juga belajar. Saya aja mau nggak mau
ngerti tentang picasa dan alat – alat
yang berhubungan dengan digitalisasi.
E : iya ya pak. Kalo bapak nggak bisa
nanti siapa lagi yang ngerjain.
PI : kami mampu bertahan dan harus
bertahan terhadap budaya luar. Kami
mampu mengintegrasikan unsure
budaya luar ke dalam budaya asli. Jadi
walau ada alat – alat sumbangan dari
universitas dari Jerman, tetep aja kami
bisa member arahan pada
perkembangan budaya.
E : terus ngerjainnya biasanya satu hari
dapet berapa manuskrip pak?
PI : nggak tentu. Tergantung kuatnya
mata saya. Pernah sampe malem
E : sampe mlem pak? Nggak takut pak
malem malem masih disini?
PI : ya, gimana ya. Dibilang nggak
takut tapi juga ada rasa ke khawatiran.
Tapi saya berdoa aja mudah mudahan
nggak ada apa apa
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
16
Universitas Indonesia
E : emang pernah ada kejadian mistis
ya pak?
PA : pernah si yam as puji ya?kalo
nggak salah ada tukang yang abis
nyerut kayu. Terus serbuknya dibawa
pulang. Besoknya dia sakit
PI : pernah juga ada anak yang lagi
datang kesini terus nabrak meja gitu.
Pas balik ke daerahnya, kayaknya jauh
ya mas pitoyo? Di sumatera kayaknya.
Terus kaki nya sakit
E : wah, kok bisa gitu sih pak? Memang
kenapa pak? Itu kayak ada
penunggunya atau gimana sih pak?
PI : kami percaya di setiap titik di
keraton dan setiap benda pasti ada
penunggunya. Semua ini terbukti
dengan adanya kejadian – kejadian
aneh. Kalo nggak asalah pernah ya ada
manuskrip yang kebuka sendiri.
PA : oh itu manuskrip suryo rojo itu loh
mbak. Pernah waktu ditarok disini terus
kebuka sendiri. Dulu waktu manuskrip
suryo rojo diletakan disini, manuskrip
itu kebuka sendiri dan halamannya
bolek balik sendiri. Kami yakin
memang setiap manuskrip punya
penunggunya
E : serem ya pak. Tapi saya penasaran
juga.
PA : nanti kalo penasaran malem –
malem kesini aja. Keliling daerah ini.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
17
Universitas Indonesia
(tertawa besar bersama)
E : kadang hal yang seperti itu jadi
menarik ya pak. Oia pak puji, ini nanti
setelah di digitalisasi terus
dikemanakan?
PI : bisa di save bisa juga di print. Itu
ka nada print tuh. Yang itu.
E : ngomong ngomong bapak nggak
gerah pak? Kan disini nggak ada ac.
PA: yah itulah kelebihan keraton. Kami
sudah terbiasa hidup dalam
kesederhanaan dan serba tradisional
begini.
E : tapi saya suka pak suasana disini.
Teduh, adem, seger, nyaman. Enak pak
rasanya. Saya betah. Apalagi kalau
hujan ya pak? Bau tanahnya enak pak
PA : itu yang restorasi sudah datang.
Mau lihat?
E : boleh pak. Sekalian jalan – jalan liat
– liat sebelum saya periksa semuannya.
PA : mas,saya tinggal dulu ya
(berbicara dengan pak puji)
E : terima kasih pak puji selamat
bekerja. Nanti saya akan ikut partisipasi
mendigitalisasi
Memasuki ruang restorasi terdengan
suara gending dari radio dengan volume
suara yang cukup keras. Namun
kebiasaan tersebut adalah hiburan yang
bisa didapat para abdi dalem
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
18
Universitas Indonesia
PA : nah ini bapak bapak yang juga
abdi dalem
E : wah gendingan ya pak?
R : iya nih mbak, memang setiap hari
begini
E : bapak – bapak ini memang bisa
dalam arti professional atau memang
dilatih atau otodidak?
PA : ya otodidak aja ya
E : kulo nuwon pak. Saya dengan laras
(salaman)
R : monggo mbak. Silahkan dilihat –
lihat
E : wah sepertinya bapak sudah mahir
ya pak
R : ya mungkin karena sudah terbiasa
ya. Jadi ya begini. Saya jadi sedikit
sedikit bisa lama lama bisa beneran
E : bapak itu dulu latar belakang
pekerjaannya apa?
R : saya itu pensiunan dari museum
sono bedoyo mbak.
E :oooo, berarti sedikit berhubungan ya
pak?
R :tapi disana saya nggak begini.
Nggak ngelem ngelem
E : bapak bisa kasih liat cara
restorasinya?
R : kalo ini saya lagi ngelem kertas
jepang ke kertas. Jadi seperti nemambal
begitu mbak. Ini juga ada bahan tylose
Pak Rusmandaru memberikan the
grand tour question. Itu secara mudah
mendeskripsikan hal yang dilakukan
ketika melakukan proses restorasi. Ada
satu lagi ikut melakukan proses
restorasi namun Pak Rusmandaru
tampak lebih ramah dan tidak sibuk.
Pernyataan pak rusmandaru
menciptakan suatu hipotesis bagi
etnografer
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
19
Universitas Indonesia
sebagai perektnya.
E : pertamanya diapakan dulu pak?
R : jadi ini pertama tylose. tylose
diambil dari tempat nya kemudian di
ambil kurang lebih sekitar 10 liter , lalu
di larutkan air dengan tylose yang
sudah diukur terus diaduk pakai kuas .
Setelah saya pindahkan ke tempat yang
lebih kecil lalu ditutup supaya nggak
kering. Kita samakan dulu washinya
dan kertas yang akan dilapisi washi
kayak begini. Kertas tersebut
merupakan kertas yang rusak dan akan
ditutupi dengan tissue. Setelah itu
rekatkan washi menggunakan tylose
yang sudah dicairkan. Perekatan
dilakukan bersamaan dengan
penahanan atau press pada kertas
menggunakan logam. Setelah
melakukan perekatan, kemudian kertas
tersebut di satukan dan ditahan
menggunakan penjepit. Nah,sekarang
sudah selesai begini, kemudian
dikeringkan dan washi tersebut akan
merekat pada kertas.
E: kok pake penjepit pak?
R : ya biar ramah lingkungan terus biar
simple mbak. Kan kalo begini jadi
mudah toh (tertawa ringan)
E: pak kalo kertas tebel itu buat apa?
R : yang mana mbak?
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
20
Universitas Indonesia
E : itu yang dipegang pak pitaya
R : itu buat ngganti sampul yang sudah
rusak sekali mbak. Jadi nanti kan karton
setebel ini dipotong ,mbak. Saya juga
motong nya suka pelan – pelan.
Mayanya sudah nggak awas
PA: itu bisa miring – miring gitu mbak
atau jadi nggak rata. Jangan pake
gunting, pake kater yang begini aja nih
mbak.
E : terima kasih ya pak,besok saya akan
bantuin bapak untuk merestorasi.
PA : (tertawa kecil). Sekedar mencoba
boleh mbak,tapi jangan semuanya.
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
21
Universitas Indonesia
Lampiran 3. Temperatur Udara Pada Saat Penelitian
Tanggal 16
Januari
17
Januari
18
Januari
19
Januari
20
Januari
21
Januari
22
Januari
23
Januari
24
Januari
09.55 29o C 29
o C 28
o C 29
o C 27,5
o C 29
o C 29,5
o C 29
o C 28,5
o C
11.55 30 o C 30
o C 28
o C 29,5
o C 28
o C 29,5
o C 29
o C 29,5
o C 29
o C
13.00 30,2o C 30,5
o C 29
o C 29
o C 28,5
o C 30,2
o C 30,2
o C 30
o C 29,5
o C
05.00 26o C 26
o C 27,5
o C 26
o C 26,5
o C 27
o C 26,5
o C 27
o C 27
o C
Tanggal 16
Januari
17
Januari
18
Januari
19
Januari
20
Januari
21
Januari
22
Januari
23
Januari
24
Januari
09.55 75% 72% 69,5% 68% 64% 74% 70% 60% 69%
11.55 69% 67% 68% 67% 60% 68% 65% 65% 68%
13.00 69% 69% 74% 74% 68% 64% 60% 74% 64%
05.00 75% 72% 70% 75% 75% 75% 72% 67% 69,5%
Waktu
Waktu
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012