88
UNIVERSITAS INDONESIA PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI MIKROKAPSUL NATRIUM DIKLOFENAK MENGGUNAKAN HPMCP HP-55 DAN EUDRAGIT L 100-55 SEBAGAI SEDIAAN LEPAS TUNDA SKRIPSI PURWINDA HERIN MARLIASIH 0706264936 FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM STUDI FARMASI DEPOK JULI 2011 Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

UNIVERSITAS INDONESIA PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI MIKROKAPSUL NATRIUM DIKLOFENAK ...lib.ui.ac.id/file?file=digital/20292503-S1471-Pembuatan... · universitas indonesia . pembuatan

  • Upload
    others

  • View
    17

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • UNIVERSITAS INDONESIA

    PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI MIKROKAPSUL

    NATRIUM DIKLOFENAK MENGGUNAKAN HPMCP HP-55

    DAN EUDRAGIT L 100-55 SEBAGAI SEDIAAN LEPAS

    TUNDA

    SKRIPSI

    PURWINDA HERIN MARLIASIH

    0706264936

    FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

    PROGRAM STUDI FARMASI

    DEPOK

    JULI 2011

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • ii

    UNIVERSITAS INDONESIA

    PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI MIKROKAPSUL

    NATRIUM DIKLOFENAK MENGGUNAKAN HPMCP HP-55

    DAN EUDRAGIT L 100-55 SEBAGAI SEDIAAN LEPAS

    TUNDA

    SKRIPSI

    Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    Sarjana Farmasi

    PURWINDA HERIN MARLIASIH

    0706264936

    FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

    PROGRAM STUDI FARMASI

    DEPOK

    JULI 2011

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • iii

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • iv

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • v

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

    berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi

    ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar

    Sarjana Farmasi pada Departemen Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu

    Pengetahuan Alam Universitas Indonesia.

    Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,

    dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi

    saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu saya mengucapkan terima

    kasih kepada :

    1. Sutriyo, M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan

    waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan

    skripsi ini;

    2. Prof. Dr. Yahdiana Harahap, M.S., Apt. selaku Ketua Departemen Farmasi

    FMIPA UI, yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan

    penelitian ini;

    3. Dr. Iskandarsyah M.S., Apt. selaku pembimbing akademik yang telah

    banyak memberikan bimbingan dan nasehat selama saya menempuh

    pendidikan di Departemen Farmasi, FMIPA UI;

    4. Amanah Amini, S. Farm., Apt. dan PT Jebsen & Jessen Chemicals

    Indonesia, PT. Kalbe Farma, serta PT Lawsim Zecha yang telah

    memberikan bantuan bahan baku untuk penelitian.

    5. Seluruh staf pengajar, karyawan dan laboran Departemen Farmasi FMIPA

    UI, terutama Mbak Deva, Pak Imi, Pak ma’ruf dan Pak Suroto yang telah

    banyak membantu saya selama pendidikan dan penelitian.

    6. Segenap cinta dan kasih sayang untuk Bapak dan Ibu, Singgih serta

    keluarga besar yang telah meluangkan waktu, perhatian, berusaha keras

    memperjuangkan pendidikan saya, memberikan bantuan dukungan materi

    dan moral hingga sampai ke perguruan tinggi. Semoga Allah memberikan

    yang terbaik untuk kita.

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • vi

    7. Sahabat-sahabat Ruang 111, Laboratorium Fisika Medis, Yakub, Melati,

    Evan, Diani, Kak Reta, dan Mbak Gati atas dukungan dan persahabatan

    yang diberikan selama saya menempuh pendidikan maupun penelitian.

    8. Khai, Tyas, Hana, Isna dan Mega yang telah menjadi teman-teman satu

    bimbingan, di Laboratorium Teknologi Farmasetika serta teman-teman

    Farmasi angkatan 2007 yang banyak memberikan bantuan kepada saya

    selama pendidikan maupun penelitian.

    9. Teman-teman kosan Kania No.7, Pondok Cina atas dukungan dan

    persahabatan yang telah diberikan selama penulis menempuh pendidikan.

    10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu yang telah

    memberikan bantuan hingga terselesaikannya skripsi ini.

    Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas

    segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa

    manfaat bagi pengembangan ilmu.

    Penulis

    2011

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • vii

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • viii Universitas Indonesia

    ABSTRAK

    Nama : Purwinda Herin Marliasih

    Program Studi : Farmasi

    Judul : Pembuatan dan Karakterisasi Mikrokapsul Natrium

    Diklofenak Menggunakan HPMCP HP-55 dan Eudragit L

    100-55 Sebagai Sediaan Lepas Tunda

    HPMCP HP-55 dan Eudragit L 100-55 adalah polimer sensitif pH yang dapat

    menahan pelepasan obat pada pH asam dan melepaskan obat pada pH diatas 5,5

    serta digunakan sebagai bahan penyalut dalam sediaan lepas tunda. Natrium

    diklofenak merupakan golongan antiinflamasi AINS yang memiliki efek samping

    mengiritasi mukosa lambung dipilih sebagai model obat. Mikrokapsul HPMCP

    HP-55 dibuat dengan metode penguapan pelarut sedangkan mikrokapsul Eudragit

    L 100-55 dengan metode semprot kering. SEM, PSA, sieve analizer, dan uji

    pelepasan obat secara in vitro digunakan untuk mengkarakterisasi mikrokapsul.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa mikrokapsul HPMCP HP-55 terdistribusi

    pada rentang 181-1180 µm dan mikrokapsul Eudragit L 100-55 pada rentang 0,4-20 µm. Uji pelepasan natrium diklofenak dari mikrokapsul HPMCP HP-55 dengan rasio 1:2 dan 1:3 menunjukkan pelepasan sebesar 7,31 dan 5,75% dalam

    medium HCl pH 1,2 serta 96,04% dan 93,27% dalam medium dapar fosfat pH

    6,8. Sedangkan mikrokapsul Eudragit L 100-55 pada rasio 1:1 menunjukkan

    pelepasan sebesar 0,47% dalam medium HCl pH 1,2 dan 88,75% dalam medium

    dapar fosfat pH 6,8. Dari hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa

    mikrokapsul HPMCP HP-55 rasio 1:2 dan 1:3 serta mikrokapsul Eudragit L 100-

    55 rasio 1:1, memenuhi persyaratan sebagai sediaan lepas tunda.

    Kata kunci : HPMCP HP-55, Eudragit L 100-55, natrium diklofenak,

    mikrokapsul, penguapan pelarut, semprot kering

    xv + 74 halaman : 24 gambar; 13 tabel; 7 lampiran

    Daftar acuan : 62 (1979-2010)

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • ix Universitas Indonesia

    ABSTRACT

    Name : Purwinda Herin Marliasih

    Program Study : Pharmacy

    Judul : Preparation and Characterization Microcapsules Diclofenac

    Sodium Using HPMCP HP-55 and Eudragit L 100-55 as

    Delayed Release Dosage Form

    HPMCP HP-55 and Eudragit L 100-55 are pH sensitive polymers which can

    retain drug release at acidic pH, releases drug at pH above 5.5 and used as coating

    material in the delayed release dosage form. Diclofenac sodium is an

    antiinflammatory NSAID which has side effect irritating gastric mucosa, was

    chosen as model drug. HPMCP HP-55 microcapsules prepared by solvent

    evaporation method, while Eudragit L 100-55 microcapsules by spray-dry

    method. SEM, PSA, sieve analyzer, and drug release test in vitro is used to

    characterize microcapsules. The results showed that HPMCP HP-55

    microcapsules distributed in range 181-1180 μm and microcapsules Eudragit L

    100-55 in range 0.4 to 20 μm. The release test of diclofenac sodium microcapsules

    HPMCP HP-55 with ratio 1:2 and 1:3 showed the release 7.31 and 5.75% in

    medium HCl pH 1.2, 96.04% and 93.27% in the medium buffer phosphate pH 6.8.

    Meanwhile, Eudragit L 100-55 microcapsules at ratio of 1:1 showed the release of

    0.47% in acid medium pH 1.2 and 88.75% at phosphat medium pH 6.8. From the

    results it is concluded that the HPMCP HP-55 microcapsules ratio 1:2 and 1:3 and

    Eudragit L 100-55 microcapsules ratio 1:1, qualify as delayed release dosage

    form.

    Keywords : HPMCP HP-55, Eudragit L 100-55, diclofenac sodium,

    microcapsules, solvent evaporation, spray dry

    xv + 74 pages : 24 figures; 13 tables; 7 appendices

    List of references : 62 (1979-2010)

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • x Universitas Indonesia

    DAFTAR ISI

    HALAMAN SAMPUL ...................................................................................... i

    HALAMAN JUDUL ......................................................................................... ii

    HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................ iii

    HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... iv

    KATA PENGANTAR ....................................................................................... v

    HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .................. vii

    ABSTRAK ......................................................................................................... viii

    ABSTRACT ....................................................................................................... ix

    DAFTAR ISI ...................................................................................................... x

    DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xii

    DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiv

    DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xv

    BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................. 1

    1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1

    1.2 Tujuan Penelitian ............................................................................... 3

    BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 4

    2.1 Mikroenkapsulasi .............................................................................. 5

    2.1.1 Morfologi Mikrokapsul ......................................................... 5

    2.1.2 Tujuan Mikroenkapsulasi ........................................................ 5

    2.2 Komponen Mikrokapsul .................................................................... 6

    2.2.1 Bahan Inti ................................................................................ 6

    2.2.2 Bahan Penyalut ........................................................................ 7

    2.2.3 Metode Pembuatan Mikrokapsul ............................................ 7

    2.3 Mekanisme Pelepasan Obat dari Mikrokapsul .................................. 10

    2.4 Evaluasi Mikrokapsul ........................................................................ 11

    2.4.1 Bentuk dan Ukuran Mikrokapsul ............................................ 11

    2.4.2 Distribusi Ukuran Partikel Mikrokapsul ................................. 12

    2.4.3 Penentuan Kandungan Zat Aktif (Drug Loading)................... 12

    2.4.4 Faktor Perolehan Kembali Proses ........................................... 13

    2.4.5 Uji Pelepasan Obat .................................................................. 13

    2.5 Natrium Diklofenak ........................................................................... 14

    2.6 Hidroksi Propil Metil Selulosa Ftalat (HPMCP) ............................... 14

    2.7 Eudragit L 100-55 ............................................................................. 17

    2.8 Sediaan Lepas Tunda ........................................................................ 19

    BAB 3 METODE PENELITIAN ..................................................................... 21

    3.1 Lokasi ............................................................................................... 21

    3.2 Bahan ................................................................................................ 21

    3.3 Alat ................................................................................................... 21

    3.4 Metode Pelaksanaan ......................................................................... 21

    3.4.1 Optimasi Proses Mikroenkapsulasi sebagai Uji Pendahuluan 21

    3.4.2 Pembuatan Mikrokapsul Kosong ........................................... 23

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • xi Universitas Indonesia

    3.4.3 Pembuatan Mikrokapsul Mengandung Natrium Diklofenak .. 23

    3.4.4 Pembuatan Mikrokapsul Eudragit L 100-55 Menggunakan

    Metode Semprot Kering ......................................................... 24

    3.4.5 Evaluasi Bentuk Mikrokapsul ................................................. 24

    3.4.6 Pembuatan Larutan Dapar Fosfat pH 6,8 ................................ 26

    3.4.7 Pembuatan Larutan Kalium Hidrogen Fosfat 0,2 M .............. 26

    3.4.8 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum dan Pembuatan

    Kurva Kalibrasi Natrium Diklofenak ..................................... 26

    3.4.9 Prosedur Uji Pelepasan Natrium Diklofenak secara In Vitro . 27

    BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 28

    4.1 Optimasi Proses Mikroenkapsulasi HPMCP HP-55 sebagai Uji

    Pendahuluan .................................................................................... 28

    4.1.1 Optimasi Konsentrasi Emulgator ............................................ 28

    4.1.2 Optimasi Kecepatan Pengadukan ........................................... 29

    4.1.3 Optimasi Lama Pengadukan ................................................... 29

    4.2 Pembuatan Mikrokapsul Kosong ..................................................... 31

    4.3 Pembuatan Mikrokapsul Mengandung Natrium Diklofenak ............ 31

    4.3.1 Formula Mikrokapsul ............................................................. 31

    4.3.2 Pembuatan Mikrokapsul Mengandung Natrium Diklofenak .. 31

    4.4 Pembuatan Mikrokapsul Eudragit L 100-55 Menggunakan Metode

    Semprot Kering ................................................................................ 32

    4.5 Evaluasi Mikrokapsul ........................................................................ 33

    4.5.1 Pemeriksaan Bentuk Fisik Mikrokapsul ................................ 33

    4.5.2 Faktor Perolehan Kembali Proses .......................................... 35

    4.5.3 Distribusi Ukuran Partikel Mikrokapsul ............................... 36

    4.5.4 Penentuan Efisiensi Penjerapan Kandungan Zat Inti dalam

    Mikrokapsul ........................................................................... 37

    4.5.5 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum dan Pembuatan

    Kurva Kalibrasi Natrium Diklofenak pada Medium Dapar

    Fosfat pH 6,8 ......................................................................... 38

    4.5.6 Uji Pelepasan Obat Secara In Vitro ........................................ 38

    BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 42

    5.1 Kesimpulan ........................................................................................ 42

    5.2 Saran ................................................................................................. 42

    DAFTAR ACUAN ............................................................................................ 43

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • xii Universitas Indonesia

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 2.1 Morfologi mikrokapsul .............................................................. 5

    Gambar 2.2 Skema alat spray dry .................................................................. 8

    Gambar 2.3 Skema metode penguapan pelarut .............................................. 10

    Gambar 2.4 Skema pelepasan obat pada mikrokapsul ................................... 11

    Gambar 2.5 Struktur kimia natrium diklofenak ............................................. 14

    Gambar 2.6 Struktur kimia HPMCP HP-55 ................................................... 16

    Gambar 2.7 Struktur kimia Eudragit L 100-55 .............................................. 17

    Gambar 2.8 Pelepasan obat dari polimer sensitif pH ..................................... 18

    Gambar 4.1 (a) Natrium diklofenak; (b) Eudragit L 100-55; (c)Hidroksi

    Propil Metil Selulosa Ftalat (HPMCP HP-55); (d) Mikrokapsul

    kosong HPMCP HP-55 ............................................................... 49

    Gambar 4.2 Hasil optimasi waktu pengadukan: (a) Selama 1 jam tanpa

    pemanasan; (b) Selama 2 jam tanpa pemanasan; (b) Selama 3

    jam tanpa pemanasan .................................................................. 50

    Gambar 4.3 Mikrokapsul mengandung natrium diklofenak : (a) HPMCP

    HP-55 F1 (b) HPMCP HP-55 F2 (c) HPMCP HP-55 F3 (d)

    Eudragit L 100-55 F1 (e) Eudragit L 100-55 F2 (f) Eudragit L

    100-55 F3 .................................................................................... 51

    Gambar 4.4 Hasil Scanning Electron Microscope (SEM) mikrokapsul F1 :

    (a) HPMCP HP-55 perbesaran 100 kali; (b) HPMCP HP-55

    perbesaran 500 kali; (c) HPMCP HP-55 perbesaran 1000 kali;

    (d) Eudragit L 100-55 perbesaran 1000 kali; (e) Eudragit L

    100-55 perbesaran 2000 kali; (f) Eudragit L .............................. 52

    Gambar 4.5 Hasil Scanning Electron Microscope (SEM) mikrokapsul F2 :

    (a) HPMCP HP-55 perbesaran 100 kali; (b) HPMCP HP-55

    perbesaran 500 kali; (c) HPMCP HP-55 perbesaran 1000 kali;

    (d) Eudragit L 100-55 perbesaran 1000 kali; (e) Eudragit L

    100-55 perbesaran 2000 kali; (f) Eudragit L 100-55 perbesaran

    3500 kali ..................................................................................... 53

    Gambar 4.6 Hasil Scanning Electron Microscope (SEM) mikrokapsul F3 :

    (a) HPMCP HP-55 perbesaran 100 kali; (b) HPMCP HP-55

    perbesaran 500 kali; (c) HPMCP HP-55 perbesaran 1000 kali;

    (d) Eudragit L 100-55 perbesaran 1000 kali; (e) Eudragit L

    100-55 perbesaran 2000 kali; (f) Eudragit L 100-55 perbesaran

    3500 kali ..................................................................................... 54

    Gambar 4.7 Spektrum serapan natrium dikloefenak pada panjang

    gelombang maksimum dengan konsentrasi 10 ppm dalam

    medium dapar fosfat pH 6,8 ....................................................... 55

    Gambar 4.8 Spektrum serapan kalibrasi natrium dikloefenak pada panjang

    gelombang maksimum dengan berbagai konsentrasi dalam

    medium dapar fosfat pH 6,8 ....................................................... 55

    Gambar 4.9 Kurva kalibrasi natrium diklofenak pada medium dapar fosfat

    pH 6,8 ......................................................................................... 56

    Gambar 4.10 Grafik distribusi ukuran partikel mikrokapsul Eudragit L 100-

    55 formula F1 ............................................................................. 57

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • xiii Universitas Indonesia

    Gambar 4.11 Grafik distribusi ukuran partikel mikrokapsul Eudragit L 100-

    55 formula F2 ............................................................................. 58

    Gambar 4.12 Grafik distribusi ukuran partikel mikrokapsul Eudragit L 100-

    55 formula F3 ............................................................................. 58

    Gambar 4.13 Grafik distribusi ukuran partikel mikrokapsul HPMCP HP-55 . 59

    Gambar 4.14 Grafik distribusi ukuran partikel mikrokapsul Eudragit L 100-

    55 ditinjau dari: (a) % volume (b) % luas permukaan ................ 59

    Gambar 4.15 Profil uji pelepasan natrium diklofenak pada mikrokapsul

    HPMCP HP-55 F1, F2 dan F3 dalam medium HCl pH 1,2

    selama 2 jam dan dapar fosfat pH 6,8 selama 1 jam. Setiap titik

    menggambarkan nilai rata-rata ± SD (n=3) ................................ 60

    Gambar 4.16 Profil uji pelepasan natrium diklofenak pada mikrokapsul

    Eudragit L 100-55 F1, F2 dan F3 dalam medium HCl pH 1,2

    selama 2 jam dan dapar fosfat pH 6,8 selama 1 jam. Setiap titik

    menggambarkan nilai rata-rata ± SD (n=3) ................................ 60

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • xiv Universitas Indonesia

    DAFTAR TABEL

    Tabel 2.1 Proses Mikroenkapsulasi dan Ukuran Partikel yang Dihasilkan .... 4

    Tabel 3.1 Formula Mikrokapsul HPMCP HP-55 ............................................ 24

    Tabel 3.2 Formula Mikrokapsul Eudragit L 100-55 ....................................... 24

    Tabel 4.1 Formula Mikrokapsul HPMCP HP-55 Sebelum Optimasi ............. 61

    Tabel 4.2 Formula Mikrokapsul HPMCP HP-55 Setelah Optimasi ............... 61

    Tabel 4.3 Uji Perolehan Proses Mikrokapsul HPMCP HP-55 ........................ 61

    Tabel 4.4 Uji Perolehan Proses Mikrokapsul Eudragit L 100-55 ................... 61

    Tabel 4.5 Data Kalibrasi Natrium Diklofenak pada Medium Dapar pH 6,8.... 62

    Tabel 4.6 Distribusi Ukuran Partikel Mikrokapsul HPMCP HP-55 ............... 63

    Tabel 4.7 Distribusi Ukuran Partikel Mikrokapsul Eudragit L 100-55 ........... 63

    Tabel 4.8 Penetapan Kandungan Zat Aktif pada Mikrokapsul HPMCP HP-

    55 ..................................................................................................... 64

    Tabel 4.9 Penetapan Kandungan Zat Aktif pada Mikrokapsul Eudragit L

    100-55 .............................................................................................. 64

    Tabel 4.10 Hasil Uji Pelepasan Obat pada Mikrokapsul HPMCP HP-55 dan

    Eudragit L 100-55 ........................................................................... 65

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • xv Universitas Indonesia

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran 1 Bagan Perhitungan Kurva Kalibrasi Larutan Natrium

    Diklofenak .................................................................................. 66

    Lampiran 2 Rumus Perhitungan Uji Pelepasan Natrium Diklofenak ............ 67

    Lampiran 3 Skema Alur Pelaksanaan Penelitian ........................................... 68

    Lampiran 4 Sertifikat Analisis Natrium Diklofenak ...................................... 69

    Lampiran 5 Sertifikat Analisis HPMCP HP-55 ............................................. 70

    Lampiran 6 Sertifikat Analisis Eudragit L 100-55 ......................................... 71

    Lampiran 7 Sertifikat Analisis Paraffin Cair ................................................. 73

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • 1 Universitas Indonesia

    BAB 1

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Pengembangan inovasi bentuk sediaan farmasi yang dapat menunda

    pelepasan obat merupakan hal yang mempunyai peluang besar, misalnya bentuk

    sediaan farmasi dengan teknologi penyalutan. Contoh yang penting dari bentuk

    sediaan ini adalah sediaan mikrokapsul (Chella, Yada, dan Vempati, 2010).

    Mikroenkapsulasi merupakan teknologi yang berkembang pesat karena

    menawarkan keuntungan dalam berbagai bidang diantarannya bidang farmasi,

    teknologi pangan, dan industri kertas. Mikroenkapsulasi adalah teknologi

    penyalutan yang tipis pada partikel-partikel kecil zat padat, cair maupun dispersi

    dengan ukuran sampai 5000 µm (Martin, Swarbrick, dan Cammarata, 1993). Pada

    bidang farmasetika, mikroenkapsulasi digunakan untuk menutupi rasa atau bau,

    memperpanjang waktu pelepasan obat, meningkatkan stabilitas molekul obat,

    memperbaiki bioavailabilitas dan sebagai bentuk sediaan multi partikel untuk

    memproduksi sistem penghantaran obat yang terkontrol dan menuju target

    (Lachman, Herbert, dan Kanig, 1994). Dalam metode mikroenkapsulasi, bahan

    obat akan disalut dengan bahan polimer penyalut yang sesuai (Banker dan

    Rhodes, 1989).

    Hidroksi Propil Metil Selulosa Ftalat (HPMCP) HP-55 dan Eudragit L

    100-55 adalah polimer sensitif pH yang biasa digunakan sebagai bahan penyalut

    yang mampu terlarut pada pH di atas 5,5 (Kamal, et al, 2008) serta dapat menahan

    pelepasan obat di lambung (Nair, Gupta, Kumria, Jacob, dan Attimarad, 2010).

    HPMCP HP-55 merupakan polimer turunan selulosa yang tidak larut dalam air

    dan secara luas digunakan dalam formulasi sediaan farmasi oral sebagai bahan

    penyalut enterik untuk tablet maupun granul (Wade dan Weller, 1994).

    Penggunaan campuran HPMCP HP-55, CAP dan Eudragit S 100 pada pembuatan

    mikrokapsul metronidazol mampu menahan pelepasan obat hingga 9,53% (Reddy,

    Gnanaprakash, Badarinath, dan Chetty, 2009) sedangkan pada pembuatan pelet

    yang mengandung tamsulosin hidroklorida, penambahan HPMCP HP-55 35%

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • 2

    Universitas Indonesia

    pada penyalut Surelease® mampu manahan pelepasan obat hingga 1,32% (Kim,

    et al, 2007).

    Eudragit L 100-55 merupakan kopolimer asam metakrilat, yang digunakan

    sebagai bahan penyalut sensitif pH untuk menahan pelepasan obat di lambung dan

    diprioritaskan pelepasannya di usus (Gangadhar, Sunder, Varma, Raju, dan Kiran,

    2010); (Reddy, Gnanaprakash, Badarinath, dan Chetty, 2009). Penelitian

    menunjukkan bahwa pada pembuatan mikrosfer indometasin, Eudragit L 100-55

    dapat menahan pelepasan obat pada medium HCl kurang dari 10% pada rasio

    penyalutan 1:1 (Gangadhar, Sunder, Varma, Raju, dan Kiran, 2010). Faktor

    penting yang mempengaruhi kinerja polimer adalah nilai pH terjadinya disolusi.

    Tidak ada pelepasan polimer pada pH rendah dalam lambung namun pelepasan

    terjadi pada deudenum sehingga Eudragit L 100-55 dipilih sebagai polimer

    penyalut (Rhom GmbH dan Co.KG, 2004). Hidroksi Propil Metil Selulosa Ftalat

    HPMCP HP-55 dan Eudragit L 100-55 digunakan sebagai bahan penyalut untuk

    mengurangi iritasi terhadap lambung.

    Natrium diklofenak merupakan obat golongan analgesik antiinflamasi non

    steroid (AINS) yang banyak dipakai untuk terapi penyakit inflamasi sendi seperti

    artritis rheumatoid, osteoarthritis, dan penyakit pirai baik untuk kronis maupun

    dalam keadaan akut. Narium diklofenak memiliki absorbsi yang lengkap dan

    cepat pada saluran gastrointestinal (Gunawan dan Wilmana, 2007), tapi dalam

    penggunaannya memiliki efek samping yaitu mengiritasi mukosa lambung,

    pendarahan lambung, hingga kematian (Chuasuwan, et al, 2009). Oleh karena itu

    pemakaian obat ini harus dibatasi terutama pada pasien yang memiliki riwayat

    tukak lambung (Gunawan dan Wilmana, 2007).

    Pada penelitian ini natrium diklofenak dimikroenkapsulasi agar dapat

    menahan pelepasan obat dilambung dan dilepaskan di usus sehingga mengurangi

    efek samping yang merugikan seperti iritasi terhadap lambung, khususnya pada

    penderita dengan riwayat penyakit persendian yang mendapatkan terapi dengan

    natrium diklofenak. Sistem pelepasan yang dikontrol oleh polimer tersebut

    diharapkan dapat mengatur pelepasan natrium diklofenak pada organ yang tepat

    yaitu pada usus.

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • 3

    Universitas Indonesia

    1.2 Tujuan Penelitian

    1. Membuat dan mengkarakterisasi mikrokapsul lepas tunda natrium

    diklofenak dengan penyalut HPMCP HP-55 dan Eudragit L 100-55.

    2. Membandingkan pelepasan natrium diklofenak dari mikrokapsul HPMCP

    HP-55 dan Eudragit L 100-55 secara in vitro.

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • 4 Universitas Indonesia

    BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Mikroenkapsulasi

    Mikroenkapsulasi adalah teknologi penyalutan partikel-partikel inti berupa

    padat, cair maupun dispersi menggunakan bahan penyalut yang dapat mengontrol

    pelepasannya dari pengaruh kondisi tertentu. Ukuran mikrokapsul berkisar dari

    satu sampai 5000 µm. Mikrokapsul yang dihasilkan berbeda-beda tergantung dari

    metode yang digunakan. Berikut ini ukuran mikrokapsul berdasarkan metode

    pembuatannya (Lachman, Herbert, dan Kanig, 1994).

    Tabel 2.1 Proses Mikroenkapsulasi dan Ukuran Partikel yang Dihasilkan

    Proses mikroenkapsulasi Ukuran partikel (µm)

    Suspensi udara 35-5000

    Pemisahan fase koaservasi 2-5000

    Lubang ganda sentrifugal 1-5000

    Penyalutan dalam panci 600-5000

    Penguapan pelarut 5-5000

    Semprot kering dan semprot beku 1-600

    [Sumber : Lachman, Herbert, dan Kanig, 1994]

    Mikroenkapsulasi dapat digunakan untuk mengubah cairan menjadi zat

    padat, mengubah sifat koloidal dan sifat-sifat permukaan, memberikan

    perlindungan terhadap lingkungan, serta mengontrol pelepasan obat. Keunikan

    dari mikroenkapsulasi adalah kecilnya partikel yang tersalut dan adaptasi terhadap

    berbagai bentuk takaran penggunaan produk, yang tadinya belum dapat

    dikerjakan. Partikel mikrokapsul yang kecil, mengakibatkan bagian-bagian obat

    dapat didistribusikan secara merata melalui saluran cerna, sehingga menaikkan

    potensi penyerapan obat (Lachman, Herbert, dan Kanig, 1994).

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • 5

    Universitas Indonesia

    2.1.1 Morfologi Mikrokapsul (Ghosh, 2006)

    Morfologi mikrokapsul yang dihasilkan terutama tergantung pada bahan

    inti dan proses pembentukan dinding mikrokapsul. Berdasarkan morfologinya,

    mikrokapsul dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe, yaitu mononuklear,

    polinuklear, dan matriks.

    Tipe mononuklear terdiri dari satu inti yang dikelilingi bahan penyalut

    (dinding mikrokapsul), sedangkan tipe polinuklear terdiri dari banyak inti dalam

    satu mikrokapsul. Pada tipe matriks, bahan inti terdistribusi secara homogen pada

    bahan penyalut.

    [Sumber : Ghosh, 2006]

    Gambar 2.1. Morfologi mikrokapsul (telah diolah kembali)

    2.1.2 Tujuan Mikroenkapsulasi (Deasy, 1984; Ghosh, 2006; Lachman, Herbert,

    dan Kanig, 1994)

    Proses mikroenkapsulasi memiliki beberapa tujuan, yaitu :

    a) Mengubah bentuk cairan menjadi padatan.

    b) Melindungi bahan inti yang sensitif atau tidak stabil dari pengaruh

    lingkungan.

    c) Memperbaiki kelarutan, kemampuan dispersi, dan sifat alir bahan inti.

    d) Menutupi rasa dan bau yang tidak enak.

    e) Mengatur pelepasan bahan inti.

    f) Mengurangi iritasi bahan inti terhadap lambung dan saluran

    pencernaan.

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • 6

    Universitas Indonesia

    Proses mikroenkapsulasi juga memiliki beberapa kerugian, antara lain

    sebagai berikut (Lachman, Herbert, dan Kanig, 1994; Deasy, 1984):

    a) Kadang-kadang penyalutan bahan inti oleh polimer kurang sempurna

    atau tidak merata sehingga akan mempengaruhi pelepasan zat inti dari

    mikrokapsul.

    b) Dibutuhkan teknologi mikroenkapsulasi.

    c) Harus dilakukan pemilihan polimer penyalut dan pelarut yang sesuai

    dengan bahan inti agar diperoleh hasil mikrokapsul yang baik.

    2.2 Komponen Mikrokapsul

    Komponen mikrokapsul terdiri dari bahan inti dan bahan penyalut.

    2.2.1 Bahan inti

    Bahan inti merupakan bahan spesifik yang akan disalut, dapat berupa

    padatan atau cairan (Ghosh, 2006; Lachman, Herbert, dan Kanig, 1994).

    Kemampuan memvariasikan komposisi bahan inti memungkinkan fleksibilitas

    yang jelas dan penggunaan karakteristik tersebut sering memberikan rancangan

    yang baik serta pengembangan sifat mikrokapsul yang diinginkan (Lachman,

    Herbert, dan Kanig, 1994).

    Inti zat padat dapat berupa campuran dari bagian-bagian yang aktif,

    stabilisator, pengencer, pengisi, dan penghambat atau pemacu pelepasan

    (Lachman, Herbert, dan Kanig, 1994). Inti zat cair dapat terdiri dari senyawa polar

    atau nonpolar sebagai bahan aktif atau sebagai media bagi bahan aktif dalam

    bentuk larutan, suspensi, atau emulsi (Lachman, Herbert, dan Kanig, 1994; Jacob,

    1999).

    Kompatibilitas dari bahan inti dengan bahan penyalut menjadi kriteria

    yang penting untuk meningkatan efisiensi mikroenkapsulasi. Bahan inti sebaiknya

    tidak larut dan tidak bereaksi dengan bahan penyalut dan pelarut yang digunakan.

    Ukuran bahan inti juga memegang peranan penting untuk difusi, permeabilitas,

    dan pengendalian pelepasan bahan inti (Ghosh, 2006; Swarbrick dan Boylan,

    1994). Mikrokapsul dapat mengandung bahan inti sampai 99% dihitung terhadap

    berat mikrokapsul (Lachman, Herbert, dan Kanig, 1994).

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • 7

    Universitas Indonesia

    2.2.2 Bahan penyalut

    Bahan penyalut adalah bahan yang digunakan untuk melapisi bahan inti.

    Bahan penyalut harus mampu memberikan suatu lapisan tipis yang kohesif

    dengan bahan inti, dapat bercampur secara kimia dan tidak dapat bereaksi dengan

    bahan inti, serta memberikan sifat penyalutan yang diinginkan, seperti kekuatan,

    fleksibilitas, impermeabilitas, sifat-sifat optik, dan stabilitas (Lachman, Herbert,

    dan Kanig, 1994). Umumnya bahan yang digunakan berasal dari karbohidrat,

    protein, polimer alam maupun sintetis (Ghosh, 2006).

    Jumlah polimer penyalut dapat bervariasi dari 1 hingga 70% dari berat

    mikrokapsul, biasanya antara 3 hingga 30% dengan ketebalan 0,1 hingga 60 nm

    (Swarbrick dan Boylan, 1994).

    2.2.3 Metode Pembuatan Mikrokapsul

    Ada banyak metode enkapsulasi yang dapat digunakan untuk membuat

    mikrokapsul. Metode pembuatan mikrokapsul yang paling sering diterapkan

    dalam bidang farmasi antara lain suspensi udara, pemisahan fase koaservasi,

    semprot kering dan pembekuan, penyalutan dalam panci, proses multi lubang

    sentrifugal, serta metode penguapan pelarut (Mathiowitz, Kreithz, dan Peppas,

    1999).

    2.2.3.1 Suspensi Udara (Lachman, Herbert, dan Kanig, 1994)

    Prinsip metode ini adalah partikel inti didispersikan ke dalam arus udara

    panas dan pada tempat-tempat tertentu mengalami penyalutan oleh larutan

    penyalut yang disemprotkan secara periodik. Inti yang digunakan harus tahan

    panas.

    2.2.3.2 Pemisahan Fase Koaservasi (Lachman, Herbert, dan Kanig, 1994)

    Secara garis besar, proses ini terdiri dari tiga tahapan. Pertama,

    pembentukan tiga fase kimia yang tidak tercampurkan, meliputi fase cairan

    pembawa, fase bahan inti, dan fase bahan penyalut. Kedua, fase penempatan

    (deposisi) penyalut. Hal ini dikerjakan dengan pencampuran fisik yang terkontrol

    dari bahan penyalut dan bahan inti pada cairan pembawa. Ketiga, pengerasan

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • 8

    Universitas Indonesia

    penyalut yang biasa dilakukan dengan teknik panas atau ikatan silang untuk

    membentuk suatu mikrokapsul.

    2.2.3.3 Semprot Kering dan Semprot Beku (Lachman, Herbert, dan Kanig, 1994;

    Thies, 1996)

    Proses pengeringan semprot dan pembekuan semprot sama-sama meliputi

    pendispersian bahan inti dalam bahan penyalut yang dicairkan dan

    menyemprotkan campuran inti-penyalut ke dalam suatu kondisi lingkungan

    sehingga terjadi pemadatan yang relatif cepat dan terbentuk mikrokapsul.

    Perbedaan kedua metode ini adalah cara dilaksanakannya pemadatan penyalut.

    Pada metode semprot kering, pemadatan penyalut dipengaruhi oleh penguapan

    pelarut, sedangkan pada metode semprot beku, pemadatan penyalut dilakukan

    dengan membekukan secara termal suatu bahan penyalut yang melebur.

    Keterangan : 1) Blower + penyaring udara; 2) kompresor; 3) pemanas udara; 4)pompa

    peristaltik; 5) pengontrol suhu; 6) inlet thermocouple ;7) alat penyemprot : a)

    penekan udara, b) bahan mikroenkapsulasi; 8) tabung pengering; 9) pengumpul

    produk yang telah kering

    [Sumber : Rattes dan Oliviera, 2007]

    Gambar 2.2 Skema alat spray dry (telah diolah kembali)

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • 9

    Universitas Indonesia

    2.2.3.4 Penyalutan dalam Panci (Deasy, 1984)

    Metode penyalutan dalam panci prinsipnya penyalut dilarutkan dalam

    pelarut organik yang mudah menguap. Larutan tersebut disebarkan pada

    permukaan partikel inti yang berada pada panci penyalut yang berputar, kemudian

    dikeringkan dengan udara panas.

    2.2.3.5 Proses Multi Lubang Sentrifugal (Lachman, Herbert, dan Kanig, 1994)

    Southwest Research Institute (SWRI) telah mengembangkan proses

    mekanik untuk memproduksi mikrokapsul yang menggunakan gaya sentrifugal

    untuk melingkari suatu bahan inti melalui suatu lapisan membran

    mikroenkapsulasi.

    2.2.3.6 Metode Penguapan Pelarut

    Metode penguapan pelarut merupakan metode mikroenkapsulasi yang luas

    penggunaanya dengan bahan inti berupa zat padat atau cairan (Deasy, 1984).

    Dalam metode ini bahan inti dilarutkan atau didispersikan dalam pelarut organik.

    Fase organik kemudian diemulsifikasikan dalam fase pendispersi yang

    mengandung surfaktan kemudian diaduk sehingga menghasilkan fase emulsi.

    Fase pendispersi harus tidak dapat bercampur dengan pelarut organik yang

    digunakan, biasannya berupa air yang mengandung koloid hidrofil atau surfaktan

    anionik. Pengadukan dilakukan dengan kecepatan tinggi dalam waktu yang lama

    untuk meguapkan pelarut organik (Tewes, Boury, dan Benoit, 2006).

    Pemanasan dapat dilakukan untuk mempercepat penguapan pelarut.

    Ukuran tetesan-tetesan kecil yang terbentuk selama pengadukan akan

    mempengaruhi ukuran mikrokapsul yang terbentuk (Deasy, 1984).

    Penguapan pelarut organik akan menyebabkan terbentuknya lapisan film

    di sekeliling inti, sehingga tetesan inti menjadi mikrokapsul. Mikrokapsul yang

    terbentuk dipisahkan dengan penyaringan dan dicuci dengan larutan tertentu

    untuk kemudian dikeringkan (Swarbrick dan Boylan, 1994).

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • 10

    Universitas Indonesia

    [Sumber : Benoit, Marchais, Rolland, dan Velde, 1996]

    Gambar 2.3 Skema metode penguapan pelarut (telah diolah kembali)

    2.3 Mekanisme Pelepasan Obat dari Mikrokapsul

    Pelepasan obat dari bentuk mikrokapsul dapat melalui berbagai cara, yaitu

    melalui proses difusi melewati lapisan polimer, erosi dari lapisan polimer, atau

    melalui kombinasi dari erosi dan difusi. Proses pelepasan obat yang umum terjadi

    pada mikrokapsul adalah proses difusi. Cairan dari saluran pencernaan berdifusi

    melalui membran ke dalam sel, kemudian obat akan berdifusi melalui membran

    dari daerah berkonsentrasi tinggi di dalam mikrokapsul ke daerah berkonsentrasi

    rendah pada cairan saluran pencernaan (Krowezynski, 1987).

    Kemampuan membran sebagai barrier untuk menahan difusi merupkan

    fungsi dari ketebalan dinding dan kandungan zat hidrofil dalam dinding. Semakin

    tebal dinding mikrokapsul, difusi semakin lambat, sehingga pelepasan obat juga

    menjadi lebih lambat. Demikian pula jika kandungan zat hidrofil dalam dinding

    semakin kecil, difusi semakin lambat, sehingga pelepasan obat juga menjadi lebih

    lambat (Yang dan Washington, 2006).

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • 11

    Universitas Indonesia

    Keterangan : A) Skema interpretasi pelepasan komponen terlarut dari dinding penyalut (B)

    Difusi obat melalui pori-pori yang telah terbentuk

    [Sumber : Krowezynski, 1987]

    Gambar 2.4 Skema pelepasan obat pada mikrokapsul

    2.4 Evaluasi Mikrokapsul

    Setiap produk yang dibuat, termasuk mikrokapsul, tidak lepas dari proses

    evaluasi untuk mengontrol kualitas produk dan mengetahui layak atau tidaknya

    produk yang dibuat untuk digunakan dan dipasarkan. Evaluasi yang dilakukan

    pada mikrokapsul meliputi pemeriksaan bentuk dan morfologi mikrokapsul,

    ukuran dan distribusi ukuran mikrokapsul, faktor perolehan kembali, penentuan

    kadar air, penentuan kandungan zat inti, efisiensi penjerapan, serta uji pelepasan

    obat secara in vitro.

    2.4.1 Bentuk dan Ukuran Mikrokapsul

    Bentuk mikrokapsul dapat memberikan gambaran tentang sifat aliran,

    selain itu juga dapat memberikan gambaran tentang penglepasan zat aktif.

    Mikrokapsul yang banyak mengandung pori atau lebih tipis selaput polimernya

    akan lebih cepat terurai dalam tubuh, oleh karena itu struktur mikrokapsul dan

    keadaan permukaan kapsul penting untuk diketahui. Bentuk mikrokapsul dapat

    diamati dengan mikroskop, sedangkan keadaan permukaan mikrokapsul dapat

    diamati dengan Scanning Electron Microscope (SEM) (Apparao, Shivalingam,

    Reddy, Sunitha, Jyothibasu, dan Shyam, 2010).

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • 12

    Universitas Indonesia

    2.4.2 Distribusi Ukuran Partikel Mikrokapsul

    Tujuan dari evaluasi sifat mikromeritik mikrokapsul adalah untuk

    memperkirakan distribusi kuantitatif ukuran mikrokapsul. Evaluasi ini dilakukan

    menggunakan sieve analyzer (Apparao, Shivalingam, Reddy, Sunitha, Jyothibasu,

    dan Shyam, 2010).

    2.4.3 Penentuan Efisiensi Penjerapan dan Penetapan Kadar Zat Aktif

    Penentuan efisiensi penjerapan obat dalam mikrokapsul dilakukan untuk

    mengetahui banyaknya zat aktif yang dapat terenkapsulasi. Mikrokapsul dapat

    mengandung bahan inti dihitung terhadap fraksi teoritis zat aktif dalam

    mikrokapsul. Metode yang dapat digunakan tergantung dari kelarutan bahan

    penyalut dan bahan inti. Jika bahan inti dan bahan penyalut larut dalam pelarut

    bukan air, maka penentuan kandungan mikrokapsul dilakukan dengan melarutkan

    mikrokapsul dalam pelarut organik yang sesuai dan kadar obat kemudian

    ditentukan dengan metode analisis yang sesuai. Jika bahan inti saja yang larut

    dalam air sedangkan bahan penyalutnya tidak larut maka dapat dilakukan

    pelarutan mikrokapsul dalam air dengan pengadukan kecepatan tinggi, sehingga

    bahan inti akan terlarut atau dapat pula dilakukan penggerusan mikrokapsul

    sehingga penyalut pecah dan ini dapat terlarut dalam pelarut yang sesuai. Setelah

    itu dilakukan penyaringan untuk menghilangkan polimer yang tidak larut. Bahan

    inti selanjutnya ditentukan kadarnya dengan metode analisa yang sesuai

    (Lachman, Herbert, dan Joseph, 1994).

    Hasil dari penentuan kandungan obat dalam mikrokapsul yang diperoleh

    dapat dihitung presentase zat aktif yang tersalut. Presentase zat aktif tersalut

    dihitung dengan membagi fraksi zat aktif sesungguhnya dalam mikrokapsul

    dengan fraksi teoritis zat aktif (Apparao, Shivalingam, Reddy, Sunitha,

    Jyothibasu, dan Shyam, 2010).

    (2.1)

    Keterangan :

    Fp = persentase zat aktif yang terlarut

    Fm = fraksi zat aktif sesungguhnya

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • 13

    Universitas Indonesia

    Ft = fraksi teoritis zat aktif

    2.4.4 Faktor Perolehan Kembali Proses

    Faktor perolehan kembali proses dilakukan untuk mengetahui besarnya

    efisiensi proses pada metode yang digunakan dan ditentukan menggunakan rumus

    sebagai berikut (Apparao, Shivalingam, Reddy, Sunitha, Jyothibasu, dan Shyam,

    2010) :

    (2.2)

    Keterangan :

    Wp = Faktor perolehan kembali proses

    Wm = Bobot mikrokapsul yang diperoleh

    Wt = Bobot bahan pembentuk mikrokapsul

    2.4.5 Uji Pelepasan Obat

    Uji pelepasan obat in vitro dilakukan untuk mengukur laju dan jumlah

    pelarutan obat dalam suatu medium, kemudian hasil uji disolusi tersebut dapat

    memberikan gambaran profil pelepasan obat dari sediaan di dalam tubuh. Hasil

    dari uji disolusi kemudian digunakan untuk mengetahui mekanisme pelepasan

    obat dari sediaan.

    Persamaan yang menggambarkan kecepatan pelepasan zat padat telah

    dikembangkan oleh Noyes dan Whitney, yaitu (Martin, Swarbrick, dan

    Cammarata, 1993) :

    (2.3)

    Keterangan :

    dM/dt = laju disolusi

    D = koefisien difusi zat yang terlarut dalam larutan

    S = luas permukaan zat padat yang menyentuh larutan

    h = ketebalan lapisan difusi

    Cs = kelarutan zat padat

    C = konsentrasi zat terlarut pada waktu t

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • 14

    Universitas Indonesia

    2.5 Natrium Diklofenak

    [Sumber : The United States Pharmacopeia 32th

    , 2008]

    Gambar 2.5 Struktur kimia natrium diklofenak (telah diolah kembali)

    Diklofenak sebagai garam natrium memiliki pemerian berwarna putih

    kekuningan, hampir tidak berbau, dan berupa serbuk kristal sedikit higroskopis,

    mudah larut dalam metanol, sedikit larut aseton, sedikit larut dalam air, sangat

    sedikit larut dalam asetonitril, tidak larut dalam kloroform dan dalam 0,1 N asam

    klorida. Berat molekulnya 318,14 (Galichet, 2005). Natrium diklofenak memiliki

    waktu paruh singkat yaitu sekitar 1-3 jam, namun dapat diakumulasi di cairan

    sinovial sehingga efek terapi di sendi jauh lebih panjang dari waktu paruh zat

    (Gunawan dan Wilmana, 2007).

    Natrium diklofenak adalah obat golongan antiinflamasi non steroid

    (AINS) turunan fenil asetat yang memiliki daya antiradang yang paling kuat

    dengan efek samping yang kurang keras dibandingkan obat lainnya seperti

    indometasin dan pirosikam (Tjay dan Rahardja, 2002). Natrium diklofenak

    ditunjukkan dalam pengobatan osteoarthritis, rheumatoid arthritis dan ankylosing

    spondylitis (Chuasuwan, et al, 2009).

    Diklofenak bekerja dengan menghambat kerja enzim siklooksigenase

    (COX-2). Siklooksigenase terlibat dalam produksi berbagai zat kimia dalam

    tubuh, beberapa diantaranya dikenal sebagai prostaglandin. Prostaglandin

    diproduksi sebagai respon terhadap luka, rangsangan kimiawi, mekanis ataupun

    fisika untuk menyebabkan rasa sakit, bengkak dan peradangan (Tjay dan

    Rahardja, 2002).

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • 15

    Universitas Indonesia

    Sediaan salut enterik cocok dipakai untuk natrium diklofenak karena

    mampu menahan pelepasan obat ketika melewati lambung dan melepaskan obat

    ketika di usus. Selain itu, dapat menurunkan efek samping seperti iritasi lambung

    apabila dipakai secara oral, sehingga pembuatan sediaan yang dapat menurunkan

    efek samping ini masih tetap diperlukan. Absorpsinya panjang pada saluran

    intestinal juga mendukung natrium dikofenak dibuat menjadi sediaan salut enterik

    (Bai, Guo, dan Chaubal, 2006).

    pH merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pelepasan obat.

    Lambung memiliki pH sekitar 1,2 sedangkan usus memiliki pH yang lebih tinggi.

    Pada duodenum pH antara 2-5, jejunum dan ileum 6,5-7,5, dan usus besar kira-

    kira 7,5 (Bai, Guo, dan Chaubal, 2006). Jika dilihat dari sifat fisikokimia natrium

    diklofenak dan keasaman pH saluran gastrointestinal, maka diperlukan polimer-

    polimer yang sesuai untuk pembuatan sediaan salut enterik.

    2.6 Hidroksi Propil Metil Selulosa Ftalat (HPMCP)

    Hidroksi Propil Metil Selulosa Ftalat (HPMCP HP-55) merupakan senyawa

    organik turunan derivat selulosa dengan substitusi gugus metoksi, gugus hidroksi-

    propoksi dan ftalil. HPMCP HP-55 merupakan polimer yang tidak larut dalam air

    yang secara luas digunakan dalam formulasi farmasi oral sebagai bahan penyalut

    enterik untuk tablet maupun granul. Pada pH rendah (1-3) dalam lambung,

    HPMCP HP-55 tidak terionisasi. Peningkatan pH menyebabkan gugus karboksil

    mengalami disosiasi dan polimer menjadi larut dalam air (Wade dan Weller,

    1994).

    HPMCP HP-55 berupa serbuk berwarna putih dan hampir tidak berasa.

    Secara umum HPMCP HP-55 praktis tidak larut dalam air dan etanol, larut dalam

    cairan alkali, campuran aseton dan metanol, campuran diklormetan dan metanol,

    serta larut dalam aseton. Ada tiga jenis HPMCP yaitu HP-50, HP-55, dan HP-55S.

    Perbedaan dari ketiganya berdasarkan kandungan gugus hidroksipropoksi,

    metoksi, ftalil serta berat molekulnya. Kode S pada HP-55S menunjukkan kelas

    berat molekul tinggi, yang menghasilkan penyalut dengan resistensi yang lebih

    besar untuk retak. Kandungan alkiloksi dan karboksibenzoilnya menentukan sifat-

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • 16

    Universitas Indonesia

    sifatnya dan kelarutannya pada pH tertentu (Wade dan Weller, 1994; Hogan,

    2002).

    [Sumber : Rowe, Sheskey, dan Owen, 2006]

    Gambar 2.6 Struktur Kimia HPMCP HP-55

    Tabel 2.2 Jenis HPMCP (Wade dan Weller, 1994)

    Jenis Kadar

    hidroksipropoksi

    Kadar

    metoksi

    Kadar

    ftalil

    Bobot

    molekul

    pH

    kelarutan

    Daya

    Rentang

    Film

    HP-50 6-10% 5-9% 5-9% 84.000 >/= 5,0 7,7

    HP-55 20-24% 18-22% 18-22% 78.000 >/= 5,5 7,9

    HP-55S 21-27% 27-35% 27-35% 132.000 >/= 5,5 8,5

    [Sumber : Wade dan Weller, 1994]

    Pada penelitian ini, HPMCP jenis HP-55 lebih cocok dipilih sebagai

    polimer salut enterik, karena mampu terlarut pada pH yang lebih tinggi dan lebih

    mendekati dengan pH cairan dalam usus. HP-55S merupakan polimer dengan

    viskositas yang paling tinggi serta memiliki daya rentang film yang paling besar,

    sehingga lebih cocok digunakan untuk mencegah cracking pada tablet atau granul

    yang rapuh (Rowe, Sheskey, dan Owen, 2006).

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • 17

    Universitas Indonesia

    HPMCP HP-55 digunakan sebagai pembentuk dinding mikrokapsul (wall

    former) yang dapat menghambat larutnya obat dalam cairan lambung. HPMCP

    HP-55 biasa digunakan sebagai polimer salut enterik karena sifatnya yang

    terdegradasi pada pH diatas 5,5 (Wade dan Weller, 1994). Penelitian sebelumnya

    menyebutkan bahwa HPMCP HP-55 yang dipakai sebagai penyalut pada sediaan

    salut enterik dengan metode semprot kering, dapat melindungi ketoprofen dengan

    baik dari pengaruh pH lambung serta dapat terdegradasi dengan cepat pada pH

    intestinal (Palmieri, Bonacucina, Martino, dan Martelli, 2002). Penelitian lain

    yang menggunakan HPMCP HP-55 sebagai polimer sediaan lepas tunda adalah

    mikroenkapsulasi metronidazol. Dalam penelitian ini, mikroenkapsulasi dibuat

    dengan metode emulsi penguapan pelarut dan hasilnya menunjukkan bahwa

    polimer HPMCP HP-55 dapat digunakan sebagai polimer sediaan lepas tunda dan

    menunjukkan kerapuhan yang relatif kecil (Reddy, Gnanaprakash, Badarinath,

    dan Chetty, 2009).

    2.7 Eudragit L 100-55

    [Sumber : Rowe, Sheskey, dan Owen, 2006]

    Gambar 2.7 Struktur Kimia Eudragit L 100-55

    Eudragit L 100-55 adalah polimer turunan metakrilat yang mengandung

    kopolimer anionik poli (asam metakrilat, etil akrilat) 1:1. Berbentuk serbuk

    berwarna putih dengan kandungan polimer 95%. Eudragit L 100-55 larut dalam

    metanol, etanol, isopropil alkohol dan aseton, serta praktis tidak larut dalam etil

    asetat, metilen klorida, petroleum eter dan air (Skalsky, Felisiak, dan Petereit,

    2009).

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • 18

    Universitas Indonesia

    Polimer penyalutan yang bergantung pH yang umum digunakan adalah

    kopolimer asam metakrilat, salah satunya dikenal sebagai Eudragit L 100-55

    (merek dagang terdaftar dari Rohm Farmasi, Darmstadt, Jerman) (Chourasia dan

    Jain, 2003; Hogan, 2002).

    Keterangan : (1) Perlindungan polimer terhadap obat (2) Kompleksasi polimer karena ikatan

    hidrogen diantara ikatan polimer (3) Pelepasan obat pada duodenum (4)

    Dekompleksasi dan pertambahan ukuran partikel yang terjadi karena pemutusan

    ikatan hidrogen pada pH lebih tinggi

    [Sumber : Peppas, Wood, dan Blanchette, 2004]

    Gambar 2.8 Pelepasan obat dari polimer sensitif pH (telah diolah kembali)

    Komposisi yang tepat pada derivat metakrilat digunakan untuk

    menargetkan pelepasan obat pada lapisan pH tertentu. Eudragit L 100-55

    dirancang untuk larut pada pH 5,5 di duodenum, Eudragit L 100 pada pH 6,0 di

    jejunum, Eudragit S 100 pada pH 6,0-7,0 di ileum dan Eudragit FS30D pada pH

    di atas 7,0 dirancang untuk pelepasan obat pada usus besar. Nilai-nilai ini

    mengasumsikan bahwa pasien memiliki nilai-nilai pH yang khas atau daerah dari

    saluran gastrointestinal yang mungkin diperlukan modifikasi untuk pasien tertentu

    (Peppas, Wood, dan Blanchette, 2004; Singh, 2007).

    Kopolimer asam metakrilat, juga diketahui digunakan sebagai bahan

    penyalut yang sensitif pH untuk menjaga obat dan di prioritaskan pelepasannya di

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • 19

    Universitas Indonesia

    usus. Faktor penting yang mempengaruhi kinerja dari polimer adalah nilai pH di

    mana terjadi disolusi. Pada lambung, polimer Eudragit L 100-55 tidak tererosi,

    namun erosi polimer terjadi pada deudenum (Dan, 2005).

    Turunan metakrilat dengan substitusi yang berbeda-beda dipersiapkan

    untuk evaluasi sebagai penyalut yang potensial untuk sistem penghantaran

    penargetan pada usus (Rodriguez, Vila Jato, dan Torres, 1998).

    2.8 Sediaan Lepas Tunda

    Obat-obat golongan antiinflamasi non steroid (AINS) sering dikaitkan

    dengan efek samping saluran pencernaan. Pengembangan obat AINS telah

    berusaha meningkatkan efikasi terapetik dan mengurangi keparahan atau efek

    samping melalui sediaan salut enterik (Davies, 1999). Hanya satu dari lima pasien

    yang menderita efek samping terhadap saluran pencernaan yang mendapatkan

    terapi dengan obat AINS. Tukak lambung dan perdarahan lambung terjadi sekitar

    1% terhadap pasien yang mendapatkan terapi selama 3-6 bulan dan 2-4% pasien

    yang menggunakan terapi selama satu tahun (Elizabeth, 2008).

    Formulasi terapetik pada umumnya bertujuan untuk mengurangi efek

    samping penggunaan obat, diantaranya adalah antiinflamasi non steroid yang

    biasa diformulasikan menjadi sediaan lepas tunda. Sediaan lepas tunda merupakan

    bagian dari sediaan pelepasan terkendali yang biasannya terdapat pada bentuk oral

    (Speers dan Bonnano, 1999), dan dapat melepaskan obat pada waktu tertentu

    setelah dikonsumsi (Malinowski dan Marroum, 1999).

    Secara umum, tujuan penyalutan ada beberapa hal. Pertama, untuk

    mengembangkan terapi yang memungkinkan pengiriman spesifik obat pada usus,

    misalnya untuk pengobatan kondisi seperti kolitis ulserativa. Kedua, adanya

    kemungkinan menggunakan usus sebagai tempat penghantaran untuk obat berupa

    polipeptida dan protein ke dalam sistem vaskular. Ketiga untuk mencegah iritasi

    terhadap lambung (Rhodes, 1952).

    Beberapa faktor fisikokimia yang mengontrol penghantaran zat aktif pada

    lokasi target dalam sediaan lepas tunda adalah (English dan Dang, 1999):

    1. pH lokal pada lokasi target

    2. Hidrofilisitas dan hidrofobisitas dari zat aktif

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • 20

    Universitas Indonesia

    3. Kelarutan zat aktif pada lingkungan target

    4. Kelarutan zat aktif dalam matriks pembawa

    5. Permeabilitas pembawa terhadap zat aktif

    6. Permeabilitas matriks pembawa terhadap zat aktif

    7. Biostabilitas dari matriks pembawa

    Multipartikulat sistem lepas tunda terdiri atas zat aktif sebagai inti, dan

    membran penyalut seperti derivat selulosa asetat serta turunan metakrilat yang

    telah banyak dikembangkan. Membran penyalut bersifat semipermeabel dan

    bersifat permeabel setelah bagian zat aktif terbasahi, kemudian terbentuk pori-

    pori pada penyalut yang menyebabkan tekanan gradien osmosis dan pemasukan

    air. Jadi pelepasan obat dapat dikontrol oleh inti dan penyalutnya (Bodmeier,

    1999).

    Sediaan salut enterik memberikan efek pelepasan yang tertunda, biasanya

    diaplikasikan untuk penyalutan yang tahan terhadap cairan lambung. Pada kasus

    ini, lapisan penyalut diaplikasikan dalam bentuk sediaan multipartikulat atau

    monolitik yang melindungi obat-obatan terhadap pengaruh cairan asam lambung.

    Polimer penyalut yang digunakan sensitif terhadap pH, ketika berada pada pH

    rendah tidak dapat tererosi, sedangkan pada pH tinggi seperti pada usus, dapat

    tererosi dan melepaskan obat (Siahboomi, 2003).

    Obat yang rentan terhadap hidrolisis asam lambung atau degradasi enzim

    pada lambung disarankan untuk dibuat sistem sediaan lepas tunda, yang paling

    tepat dengan penyalutan untuk mencegah pelepasan obat pada lambung dan lepas

    pada tempat yang lebih cocok yaitu usus. Pendekatan ini terbukti efektif untuk

    mencapai respon dinamik yang lebih stabil, tingkat penyerapan yang bervariasi

    dan stabilitas obat di berbagai wilayah saluran gastrointestinal. Faktor lain yang

    mendukung pelepasan obat di usus adalah obat yang tampak dari absorbsinya

    yang mampu menentukan pada daerah mana obat menjadi potensial untuk diserap.

    Waktu dan lokasi penyerapan obat diarahkan seefisien mungkin agar dapat lepas

    pada tempat yang cocok sehingga mencapai efek pencernaan yang memadai.

    Beberapa contoh formulasi oral menggunakan teknologi lepas tunda adalah

    aspirin, omeprazol dan eritromisin (Fix, 1999).

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • 21 Universitas Indonesia

    BAB 3

    METODE PENELITIAN

    3.1 Lokasi dan Waktu

    Lokasi penelitian adalah di Laboratorium Formulasi Tablet dan

    Laboratorium Farmasetika Departemen Farmasi Fakultas MIPA Universitas

    Indonesia Depok. Waktu pelaksanaan penelitian adalah bulan Februari-Mei 2011.

    3.2 Bahan

    Natrium diklofenak (Yung Zip Chemical, Taiwan), HPMCP HP-55

    (ShinEtsu, Jepang), Eudragit L 100-55 (Evonik, Jerman), aseton, etanol, n-

    Heksana, span 80 (diperoleh dari PT Brataco, Indonesia), paraffin cair (diperoleh

    dari PT Brataco, Indonesia), HCl (Merck, Jerman), NaOH (Merck, Jerman), dan

    KH2PO4 (Merck, Jerman).

    3.3 Alat

    Homogenizer (CKL Multimix, Amerika), penangas air (Maspion S-301,

    Indonesia), timbangan analitik (Mettler Toledo, Amerika), kertas saring,

    spektrofotometer UV-VIS (Shimadzu UV tipe 1800, Jepang), alat uji dissolusi

    (Electrolab TDT 08-L, Jerman), pH meter (Eutech Instrument pH 510), magnetic

    stirrer (IKA C-MAG HS 7, Cina), oven (Memmert, Jerman), termometer,

    Scanning Electron Microscope (JEOL-5310LV), Seive analyzer (Retsh, Jerman),

    pengaduk ultrasonik (Bronson 3200), alat spray dry (Buchi mini spray dryer B-

    290), mikroskop optik (Nikon Eclipse E200, Jepang), dan alat-alat gelas yang

    umum digunakan di laboratorium.

    3.4 Metode Pelaksanaan

    3.4.1 Optimasi Mikroenkapsulasi Sebagai Uji Pendahuluan

    3.4.1.1 Optimasi Konsentrasi Emulgator

    Optimasi konsentrasi emulgator dilakukan untuk mendapatkan konsentrasi

    emulgator yang paling optimal. Konsentrasi untuk optimasi yang digunakan

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • 22

    Universitas Indonesia

    adalah 1%, 2%, dan 3%. Kecepatan pengadukan yang digunakan untuk optimasi

    ini adalah 2000 rpm dan lama pengadukan 2 jam (Rahman, Islam, Sharmin,

    Chowdhury, dan Jalil, 2010). Kecepatan dan lama pengadukan dipilih berdasarkan

    literatur yang umum digunakan. Untuk optimasi, 2 gram HPMCP HP-55

    dilarutkan dalam 5 ml aseton, kemudian diemulsikan ke dalam 10 ml paraffin cair

    yang masing-masing mengandung emulgator sebanyak 1%, 2%, dan 3%. Setelah

    itu dilakukan pengadukan hingga terbentuk emulsi. Pengadukan dilakukan selama

    2 jam dengan kecepatan 2000 rpm, kemudian dilihat konsentrasi emulgator yang

    menghasilkan emulsi paling optimal.

    3.4.1.2 Optimasi Kecepatan Pengadukan

    Optimasi emulgator yang optimal dari poin 3.4.1.1, digunakan untuk

    melakukan optimasi konsentrasi kecepatan pengadukan. Dua gram HPMCP HP-

    55, dilarutkan dalam 5 ml aseton, kemudian diemulsikan ke dalam 10 ml paraffin

    cair yang mengandung emulgator optimum. Setelah itu dilakukan pengadukan

    dengan kecepatan 2000 rpm. Jika mikrokapsul belum mencapai bentuk yang

    optimum, maka kecepatan dapat dilakukan bervariasi dari rentang 500 rpm sampai

    3000 rpm, kemudian dilihat kecepatan yang mampu menghasilkan mikrokapsul

    paling optimal.

    3.4.1.3 Optimasi Lama Pengadukan

    Optimasi kecepatan pengadukan yang optimal dari poin 3.4.1.2, digunakan

    untuk melakukan optimasi lama pengadukan. Dua gram HPMCP HP-55,

    dilarutkan dalam 5 ml aseton, kemudian diemulsikan ke dalam 10 ml paraffin cair

    yang mengandung emulgator optimum. Setelah itu, dilakukan pengadukan dengan

    kecepatan yang diperoleh dari optimasi. Kemudian, diamati waktu pembentukan

    mikrokapsul dari rentang waktu 30 menit hingga 5 jam. Apabila mikrokapsul

    belum mencapai bentuk yang optimum, maka rentang waktu dapat ditingkatkan,

    kemudian dilihat waktu pengadukan yang mampu menghasilkan mikrokapsul

    paling optimal.

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • 23

    Universitas Indonesia

    3.4.2 Pembuatan Mikrokapsul Kosong

    HPMCP HP-55 dilarutkan dalam pelarut organik, kemudian diaduk hingga

    larut. Larutan polimer selanjutnya diemulsikan ke dalam paraffin cair yang

    mengandung span 80. Larutan diaduk dengan kecepatan dan waktu dari hasil

    optimasi, hingga pelarut seluruhnya menguap dan terbentuk mikrokapsul.

    Mikrokapsul yang terbentuk kemudian didekantasi dan dicuci dengan n-Heksana

    hingga paraffin cair hilang, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 40ºC

    selama satu jam. Selanjutnya dilakukan evaluasi mikrokapsul.

    3.4.3 Pembuatan Mikrokapsul Mengandung Natrium Diklofenak

    3.4.3.1 Formula Mikrokapsul

    Tabel 3.1 Formula mikrokapsul HPMCP HP-55

    Bahan F1 F2 F3

    HPMCP (HP-55) (g) 5 10 15

    Natrium diklofenak (g) 5 5 5

    Aseton (ml) 60 60 60

    Paraffin cair mengandung 2% span 80 (ml) 100 100 100

    Keterangan :

    F1 : Perbandingan HPMCP HP-55 dan natrium diklofenak (1:1)

    F2 : Perbandingan HPMCP HP-55 dan natrium diklofenak (1:2)

    F3 : Perbandingan HPMCP HP-55 dan natrium diklofenak (1:3)

    Tabel 3.2 Formula Mikrokapsul Eudragit L 100-55

    Bahan F1 F2 F3

    Natrium diklofenak (g) 8,00 4,00 2,67

    Eudragit L 100-55 (g) 8,00 8,00 8,00

    Amonia 0,037% (ml) 200 200 200

    Keterangan :

    F1 : Perbandingan Eudragit L 100-55 dan natrium diklofenak (1:1)

    F2 : Perbandingan Eudragit L 100-55 dan natrium diklofenak (1:2)

    F3 : Perbandingan Eudragit L 100-55 dan natrium diklofenak (1:3)

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • 24

    Universitas Indonesia

    3.4.3.2 Proses Pembuatan Mikrokapsul HPMCP HP-55 Mengandung Natrium

    Diklofenak (Najmuddin, Patel, Ahmed, Shelar, dan Khan, 2010;

    Dalmono, 2009)

    HPMCP HP-55 dilarutkan dalam aseton, kemudian diaduk hingga larut.

    Natrium diklofenak didispersikan dalam larutan polimer dan diaduk hingga

    homogen. Dispersi larutan HPMCP HP-55 dan natrium diklofenak selanjutnya

    diemulsikan ke dalam paraffin cair yang mengandung span 80 sebanyak 2%.

    Larutan diaduk dengan kecepatan dan waktu dari hasil optimasi hingga pelarut

    seluruhnya menguap dan terbentuk mikrokapsul. Mikrokapsul yang terbentuk

    kemudian didekantasi dan dicuci dengan n-Heksana untuk menghilangkan

    paraffin cair, kemudian dikeringkan dengan udara selama 24 jam. Selanjutnya

    dilakukan evaluasi mikrokapsul.

    3.4.4 Pembuatan Mikrokapsul Eudragit L 100-55 Menggunakan Metode

    Semprot Kering

    Eudragit L 100-55 dilarutkan dalam amonia 0,037% di dalam beaker

    dengan bantuan pengaduk magnetic stirrer selama 15 menit, kemudian natrium

    diklofenak dimasukkan ke dalam larutan Eudragit L 100-55 dan diaduk kembali

    selama 15 menit atau hingga tidak terlihat lagi gumpalan sisa natrium diklofenak.

    Larutan ini kemudian di masukkan dalam alat spray dry yang telah disetting

    dengan suhu masuk 150°C, suhu keluar 90°C dan diameter nozzle 2-30 µm (Cruz,

    et al, 2010).

    3.4.5 Evaluasi Mikrokapsul

    Secara umum evaluasi mikrokapsul meliputi pemeriksaan bentuk fisik,

    penentuan kandungan zat aktif, perhitungan persentase zat aktif yang tersalut,

    distribusi ukuran, pengukuran kecepatan aliran, dan uji disolusi.

    3.4.5.1 Bentuk Mikrokapsul (Apparao, Shivalingam, Reddy, Sunitha, Jyothibasu,

    dan Shyam, 2010)

    Bentuk mikrokapsul diamati dengan mikroskop, sedangkan morfologi

    permukaan mikrokapsul diamati dengan Scanning Electron Microscope (SEM).

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • 25

    Universitas Indonesia

    3.4.5.2 Distribusi Ukuran Partikel Mikrokapsul (Apparao, Shivalingam, Reddy,

    Sunitha, Jyothibasu, dan Shyam, 2010)

    Ukuran dan distribusi ukuran mikrokapsul dievaluasi dengan ayakan

    bertingkat (sieve shaker). Suatu seri dengan tujuh ayakan dengan nomor ayakan

    16; 25; 35; 45; 60; 80; dan 120 disusun secara menurun dari ukuran lubang

    ayakan yang paling besar. Lima gram mikrokapsul ditempatkan dalam ayakan

    yang paling atas, kemudian mesin pengayak dijalankan selama 20 menit. Masing-

    masing fraksi dalam ayakan ditimbang, dan dilakukan tiga kali tiap formula.

    Distribusi ukuran partikel dapat pula dilakukan dengan alat Particle Size Analyzer

    (PSA).

    3.4.5.3 Penentuan Penjerapan dan Kandungan Zat Inti dalam Mikrokapsul

    Sejumlah mikrokapsul dari formula yang terpilih digerus dan ditimbang

    secara seksama, kemudian dilarutkan dalam labu ukur 50,0 ml menggunakan

    larutan dapar fosfat, kocok hingga homogen. Sisanya ditampung dan diukur

    serapnnya dengan spektrofotometer pada 276 nm (Rahman, Islam, Sharmin,

    Chowdhury, dan Jalil, 2010).

    Penentuan kandungan zat inti dalam mikrokapsul yang telah diperoleh

    dapat dihitung presentase zat aktif yang tersalut. Presentase zat aktif tersalut

    dihitung dengan membagi fraksi zat aktif sesungguhnya dalam mikrokapsul

    dengan fraksi teoritis zat aktif (Apparao, Shivalingam, Reddy, Sunitha,

    Jyothibasu, dan Shyam, 2010).

    (3.1)

    Keterangan :

    Fp = persentase zat aktif yang terlarut

    Fm = fraksi zat aktif sesungguhnya

    Ft = fraksi teoritis zat aktif

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • 26

    Universitas Indonesia

    3.4.5.4 Uji Perolehan Kembali Proses (Apparao, Shivalingam, Reddy, Sunitha,

    Jyothibasu, dan Shyam, 2010)

    Uji perolehan kembali proses ditentukan dengan membandingkan jumlah

    mikrokapsul yang diperoleh terhadap semua bahan pembentuk mikrokapsul.

    Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut

    (3.2)

    Keterangan :

    Wp = Faktor perolehan kembali proses

    Wm = Bobot mikrokapsul yang diperoleh

    Wt = Bobot bahan pembentuk mikrokapsul

    3.4.6 Pembuatan Larutan Dapar Fosfat pH 6,8 (Departemen Kesehatan RI,

    1979)

    Sebanyak 50 ml KH2PO4 0,2 M, ditambah 22,4 ml NaOH 0,2 N kemudian

    diencerkan dengan air bebas CO2 hingga volumenya 200 ml.

    3.4.7 Pembuatan Larutan KH2PO4 0,2 M (Departemen Kesehatan RI, 1979)

    Sebanyak 27,218 gram KH2PO4 dilarutkan dalam air bebas CO2 kemudian

    dicukupkan volumenya hingga 1000 ml.

    3.4.8 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum dan Pembuatan Kurva

    Kalibrasi Natrium Diklofenak (The United States Pharmacopeia 32th

    ,

    2008)

    Ditimbang dengan seksama 50 mg standar natrium diklofenak, kemudian

    dimasukkan dalam labu ukur 50,0 ml dan ditambahkan 10 ml larutan dapar fosfat

    pH 6,8, kemudian dikocok hingga larut. Setelah larut, ditambahkan dapar fosfat

    pH 6,8 hingga didapatkan konsentrasi sebesar 1000 ppm. Larutan ini kemudian

    diencerkan hingga didapat konsentrasi sebesar 100 ppm dan dilakukan

    pengenceran kembali sehingga didapatkan konsentrasi: 4; 8; 10; 16; 20; 24; dan

    28 ppm. Masing-masing larutan diukur pada panjang gelombang 276 nm

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • 27

    Universitas Indonesia

    menggunakan spektrofotometer UV-VIS. Untuk pengukuran panjang gelombang

    maksimum, pengukuran serapan dilakukan dengan larutan konsentrasi 10 ppm.

    3.4.9 Prosedur Uji Pelepasan Natrium Diklofenak Secara In Vitro (Departemen

    Kesehatan RI, Farmakope Indonesia edisi Keempat, 1995; Apparao,

    Shivalingam, Reddy, Sunitha, Jyothibasu, dan Shyam, 2010)

    Uji pelepasan in vitro dilakukan menggunakan metode disolusi dayung

    dalam dua medium.

    3.4.9.1 Uji Pelepasan Natrium Diklofenak pada Medium HCl pH 1,2

    Uji pelepasan natrium diklofenak mula-mula dilakukan pada medium HCl

    pH 1,2. Dimasukkan 750 ml asam klorida 0,1 N ke dalam tabung dan dipasang

    alat. Kemudian, media dibiarkan hingga mencapai suhu 37º ± 0,5ºC dengan

    kecepatan pengadukan 50 rpm. Mikrokapsul yang setara dengan 25 mg natrium

    diklofenak dimasukkan ke dalam alat, kemudian tabung ditutup dan alat

    dijalankan selama 2 jam. Sepuluh mililiter sampel diambil dari dalam media

    disolusi dalam interval waktu 30, 60, 90, dan 120 menit kemudian larutan yang

    diambil diganti dengan medium HCl pH 1,2 dan diukur serapannya pada panjang

    gelombang maksimum menggunakan spektrofotometer UV-VIS. Setelah dua jam,

    dilanjutkan perlakuan pada medium dapar fosfat pH 6,8.

    3.4.9.2 Uji Pelepasan Natrium Diklofenak pada Medium Dapar Fosfat pH 6,8

    Uji pelepasan natrium diklofenak pada medium dapar fosfat pH 6,8

    dilakukan dengan cara adjust pH. Ditambahkan 250 ml larutan KH2PO4 0,2M ke

    dalam medium HCl pH 1,2 pada suhu 37º ± 0,5ºC dengan kecepatan 50 rpm. Jika

    perlu ditambahkan larutan HCl 2N atau larutan NaOH 2N hingga pH 6,8 ± 0,05.

    Alat kemudian dijalankan selama 45 menit. Sepuluh mililiter sampel diambil dari

    dalam media disolusi dalam interval waktu 5, 10, 15, 25, 35 dan 45 menit,

    kemudian larutan yang diambil diganti dengan medium dapar fosfat pH 6,8 dan

    diukur serapannya pada panjang gelombang maksimum menggunakan

    spektofotometer UV-VIS. Pengaturan pH tidak boleh lebih dari 5 menit.

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • 28 Universitas Indonesia

    BAB 4

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1 Optimasi Proses Mikroenkapsulasi HPMCP HP-55 Sebagai Uji

    Pendahuluan

    Sebelum melakukan pembuatan mikrokapsul, perlu dilakukan uji

    pendahuluan. Uji pendahuluan diperlukan untuk mengetahui kondisi paling

    optimum pembuatan mikrokapsul. Optimasi yang diperlukan diantaranya optimasi

    konsentrasi emulgator, kecepatan pengadukan, lama pengadukan serta

    perbandingan pelarut dengan polimer. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi

    keberhasilan pembentukan mikrokapsul dan hasil mikrokapsul yang diperoleh.

    4.1.1 Optimasi Konsentrasi Emulgator

    Tahap awal yang dilakukan adalah optimasi konsentrasi emulgator.

    Emulgator yang dipakai dalam pembuatan mikrokapsul ini adalah span 80. Span

    80 diketahui cukup kuat untuk memertahankan droplet-droplet yang telah

    terbentuk sehingga tidak meyatu lagi menjadi gumpalan polimer. Optimasi

    dilakukan untuk mendapatkan konsentrasi emulgator paling baik yang dapat

    mempertahankan droplet-droplet, dan sekecil mungkin menghindari busa yang

    terbentuk. Konsentrasi untuk optimasi yang digunakan adalah 1%, 2%, dan 3%.

    Kecepatan pengadukan yang digunakan adalah 2000 rpm, lama pengadukan 2 jam

    serta pelarut yang digunakan sebanyak 5 ml aseton (Rahman, Islam, Sharmin,

    Chowdhury, dan Jalil, 2010). Kecepatan, lama pengadukan dan banyaknya pelarut

    yang digunakan dipilih berdasarkan literatur.

    Hasil optimasi menunjukkan bahwa penggunaan span 80 1% kurang

    mampu mempertahankan droplet. Setelah pendiaman selama 2 jam, droplet

    mengendap, saling menyatu dan menempel di dasar beaker. Konsentrasi span 80

    2% menunjukkan hasil yang lebih baik dari konsentrasi span 80 1%. Setelah

    pendiaman selama dua jam droplet yang terbentuk tidak menyatu kembali dan

    busa yang terbentuk tidak terlalu banyak. Untuk konsentrasi emulgator 3%,

    droplet yang terbentuk dapat dipertahankan, namun busa yang terbentuk lebih

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • 29

    Universitas Indonesia

    banyak. Hal ini akan menyulitkan pengamatan pembuatan mikrokapsul selama

    proses pengadukan. Oleh karena itu, dari optimasi yang diperoleh, disimpulkan

    bahwa konsentrasi emulgator 2% merupakan konsentrasi yang terbaik untuk

    mempertahankan droplet mikrokapsul.

    4.1.2 Optimasi Kecepatan Pengadukan

    Konsentrasi span 80 sebesar 2% yang diperoleh dari uji pendahuluan

    konsentrasi emulgator, dipakai untuk optimasi kecepatan pengadukan. Kecepatan

    pengadukan mempengaruhi ukuran mikrokapsul yang terbentuk. Ukuran

    mikrokapsul dipengaruhi oleh pembentukan droplet pada saat pengadukan.

    Larutan polimer yang diemulsikan dalam paraffin cair diaduk dengan kecepatan

    tinggi sehingga larutan polimer membentuk droplet. Pembentukan droplet

    mengikuti teori pembentukan emulsi yaitu pemecahan polimer yang dipengaruhi

    oleh penggunaan energi mekanik, kecepatan penambahan fasa dan suhu. Energi

    mekanik merupakan salah satu faktor yang sangat dominan dalam pembentukan

    droplet mikrokapsul. Droplet yang telah terbentuk mengalami proses stabilisasi

    oleh agen pengemulsi yaitu span 80 (Eccleston, 2007). Waktu dan penambahan

    suhu pada saat pengadukan dimaksudkan untuk menguapkan aseton yang

    digunakan sebagai pelarut polimer.

    Pada pembuatan mikrokapsul, pengadukan dilakukan mulai dari kecepatan

    500; 1000; 1500; 2000 dan 3000 rpm. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa,

    pada pengadukan 500-1500 rpm, droplet mikrokapsul yang terjadi berbentuk bulat

    pipih dan berukuran lebih besar. Pada pengadukan dengan kecepatan 2000 rpm,

    mikrokapsul yang dihasilkan berbentuk bulat hingga lonjong dan ukurannya lebih

    kecil dari mikrokapsul dengan kecepatan pengadukan 500-1500 rpm, sedangkan

    pada pengadukan dengan kecepatan 3000 rpm, mikrokapsul yang dihasilkan

    berbentuk lonjong dengan ujung yang lebih runcing dan ukurannya lebih kecil

    daripada mikrokapsul dengan kecepatan pengadukan 2000 rpm. Berdasarkan hasil

    optimasi, mikrokapsul dengan kecepatan pengadukan 2000 rpm dianggap

    menghasilkan mikrokapsul dengan ukuran yang paling baik, karena ukurannya

    tidak terlalu kecil dan tidak terlalu besar serta memiliki bentuk yang paling baik

    yaitu lonjong hingga bulat.

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • 30

    Universitas Indonesia

    4.1.3 Optimasi Lama Pengadukan

    Hasil optimasi konsentrasi emulgator dan kecepatan pengadukan

    digunakan untuk melakukan optimasi lama pengadukan. Pengamatan terhadap

    waktu pembentukan mikrokapsul dilakukan dari rentang waktu 1 hingga 5 jam.

    Setelah dilakukan pengadukan selama satu jam, larutan polimer telah membentuk

    droplet-droplet. Hasil pengadukan dibiarkan selama satu jam sehingga droplet

    seluruhnya mengendap dan busa yang terbentuk hilang, kemudian didekantasi.

    Hasilnya, droplet yang terbentuk menggumpal dan menyatu. Hal ini dikarenakan

    aseton pada droplet belum seluruhnya menguap, sehingga permukaan droplet

    masih basah oleh aseton dan bersifat lengket. Akibatnya, ketika droplet

    bersentuhan dengan droplet yang lain, droplet-droplet tersebut akan menempel

    dan menyatu membentuk gumpalan yang lebih besar (Gambar 4.2).

    Waktu pengadukan mikrokapsul kemudian ditingkatkan menjadi dua, tiga

    dan empat jam. Waktu pengadukan ini ternyata masih belum cukup untuk

    menghasilkan mikrokapsul. Droplet yang terbentuk kembali menyatu membentuk

    gumpalan yang lebih besar. Waktu pengadukan mikrokapsul ditingkatkan menjadi

    lima jam. Setelah disaring, droplet yang terbentuk tidak menyatu dan terbentuk

    butir-butir mikrokapsul. Hasil optimasi menunjukkan bahwa waktu pengadukan

    selama lima jam dapat membentuk mikrokapsul.

    Pengadukan selama lima jam dianggap cukup lama. Untuk mempersingkat

    waktu, pengadukan dilakukan menggunakan pemanasan. Pertama, dilakukan

    pengadukan selama dua jam tanpa pemanasan kemudian ditambah satu jam

    pemanasan dengan suhu 50ºC. Sehingga total waktu yang diperlukan adalah tiga

    jam. Setelah tiga jam pengadukan terbentuk mikrokapsul dengan konsistensi yang

    kurang keras. Hal ini kemungkinan karena aseton pada polimer belum menguap

    sempurna, akibatnya mikrokapsul kurang kaku dan masih bersifat lembek. Kedua,

    dilakukan pengadukan selama tiga jam tanpa pemanasan kemudian ditambah satu

    jam pemanasan dengan suhu 50ºC, sehingga total waktu yang diperlukan adalah

    empat jam. Setelah empat jam pengadukan, terbentuk mikrokapsul dengan

    konsistensi yang cukup keras dan tidak lembek dengan bentuk lonjong hingga

    bulat, berwana putih serta ukuran yang hampir seragam. Hasil optimasi

    menunjukkan bahwa, waktu pengadukan selama tiga jam tanpa pemanasan

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • 31

    Universitas Indonesia

    ditambah dengan satu jam pemanasan dengan suhu 50ºC, menghasilkan

    mikrokapsul paling baik.

    4.2 Pembuatan Mikrokapsul Kosong

    Pada pembuatan mikrokapsul kosong HPMCP HP-55, bahan polimer

    HPMCP HP-55 yang digunakan sama seperti pembuatan mikrokapsul HPMCP

    HP-55 menggunkan natrium diklofenak. Proses pembuatannya mengacu seperti

    pada uji pendahuluan, yaitu konsentrasi emulgator span 80 sebesar 2%, dengan

    kecepatan pengadukan sebesar 2000 rpm dan waktu pengadukan selama tiga jam

    tanpa pemanasan ditambah satu jam dengan pemanasan dengan suhu 50°C.

    Mikrokapsul kosong yang terbentuk berwarna putih, dengan ukuran antara 250-

    355 µm. Hasil mikrokapsul kosong dapat dilihat pada Gambar 4.1.

    4.3 Pembuatan Mikrokapsul Mengandung Natrium Diklofenak

    4.3.1 Formula Mikrokapsul

    Mikrokapsul natrium diklofenak dibuat tiga formula dengan perbedaan

    rasio zat aktif dengan penyalut. Formula mikrokapsul dibuat dengan rasio 1:1; 1:2;

    dan 1:3. (Tabel 3.1 dan Tabel 4.1)

    4.3.2 Pembuatan Mikrokapsul HPMCP HP-55 Mengandung Natrium

    Diklofenak

    Pembuatan mikrokapsul mengandung natrium diklofenak diawali dengan

    optimasi kekentalan campuran larutan HPMCP HP-55 dan natrium diklofenak.

    Pada awal pembuatan, F1, F2 dan F3 masing-masing dibuat menggunakan aseton

    sebanyak 60 ml dengan konsentrasi polimer yang berbeda. Pada pembuatan F1,

    larutan polimer 8,3% tidak dapat mendispersikan natrium diklofenak dengan

    sempurna, melainkan membentuk gumpalan berwarna putih dan aseton terlihat

    terpisah. Hal ini kemungkinan dikarenakan larutan polimer yang terlalu encer,

    sehingga tidak mampu mendispersikan natrium diklofenak. Oleh karena itu,

    dilakukan optimasi kekentalan polimer dengan natrium diklofenak.

    Optimasi mikrokapsul mengandung natrium diklofenak F1 dengan

    konsentrasi larutan polimer sebesar 8,3% b/v, HPMCP HP-55 sebanyak satu gram

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • 32

    Universitas Indonesia

    dilarutkan dengan aseton sebanyak 12 ml. Kemudian larutan yang terbentuk

    ditambahkan natrium diklofenak sebanyak satu gram. Hasil yang terbentuk adalah

    larutan membentuk gumpalan dan tidak terdispersi dengan sempurna. Kemudian

    dilakukan lagi dengan konsentrasi 10%; 20%; dan 25%. Pada konsentrasi 10%

    dan 20%, hasil yang terbentuk adalah larutan masih membentuk gumpalan dan

    tidak terdispersi dengan sempurna serta masih ada sedikit aseton yang terpisah.

    Pada konsentrasi 25%, tidak terlihat gumpalan dan tidak terlihat lagi aseton yang

    terpisah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsentrasi larutan polimer 25%

    dapat digunakan untuk mendispersikan natrium diklofenak.

    Setelah didapatkan larutan polimer yang optimal, dilakukan pembuatan F1,

    F2 dan F3 dengan konsentrasi larutan polimer sebesar 25%. Campuran yang

    mengandung natrium diklofenak berwarna lebih putih dibandingkan dengan

    larutan polimer tanpa natrium diklofenak. Campuran ini selanjutnya dibuat

    mikrokapsul dengan metode dari hasil optimasi. Dihasilkan mikrokapsul yang

    berwarna putih kekuningan, berbentuk lonjong hingga bulat serta ukuran yang

    hampir seragam (Gambar 4.3). Setelah mikrokapsul terbentuk, selanjutnya

    dilakukan evaluasi mikrokapsul.

    4.4 Pembuatan Mikrokapsul Eudragit L 100-55 Menggunakan Metode

    Semprot Kering

    Pada rencana awal, mikrokapsul Eudragit L 100-55 dibuat menggunakan

    metode penguapan pelarut, tapi setelah dilakukan optimasi maupun pembuatan

    mikrokapsul dengan zat aktif menggunakan metode penguapan pelarut, droplet

    mikrokapsul tidak mampu terbentuk, melainkan membentuk gumpalan seperti

    karet. Hal ini disebabkan karena belum ditemukanya formulasi kekentalan,

    maupun campuran bahan yang sesuai untuk membentuk droplet mikrokapsul

    Eudragit L 100-55. Selanjutnya, untuk pembuatan mikrokapsul eudrgait, metode

    yang dipilih adalah semprot kering. Metode ini lebih mudah dan efisien, selain itu

    mampu menghasilkan pengeringan bahan dengan cepat tanpa merusak sifat bahan

    yang dikeringkan, juga dapat menghasilkan serbuk dengan ukuran sangat kecil

    (Deasy, 1984).

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • 33

    Universitas Indonesia

    Proses pembuatan mikrokapsul secara semprot kering dimulai dengan

    mendispersikan serta menghomogenkan polimer dan zat aktif dalam medium yang

    sesuai, dalam penelitian ini digunakan 0,037% NH4OH. Setelah itu, campuran

    polimer dan zat aktif mengalami proses atomisasi yaitu pengeringan pelarut

    dengan udara pemanas pada alat penyemprot. Serbuk yang telah kering

    dikumpulkan pada suatu wadah pengumpul (Deasy, 1984).

    Pada proses pembuatan, sebelumnya dilakukan orientasi terhadap suhu

    penyemprotan agar mikrokapsul yang dihasilkan cukup kering dan tidak saling

    menempel karena akan mengakibatkan aglomerasi partikel. Suhu masuk yang

    dipilih adalah 150oC dengan suhu keluar 90

    oC karena pada suhu ini dihasilkan

    serbuk yang cukup kering dan tidak saling menempel. Selain itu, diatur kecepatan

    penyemprotan 10 ml/menit dengan tekanan penyemprotan sebesar 4-6 bar.

    Kecepatan penyemprotan dan besarnya tekanan yang dipilih akan mempengaruhi

    kuantitas mikrokapsul yang diperoleh. Semakin tinggi kecepatan penyemprotan

    yang dipilih, maka kuantitas mikrokapsul yang dihasilkan akan semakin kecil

    walaupun waktu pengerjaan semakin cepat.

    Secara organolepstis, mikrokapsul Eudragit L 100-55 yang terbentuk dari

    metode semprot kering adalah berwarna putih, berbentuk serbuk serta tidak

    berbau. Ketika masih berbentuk campuran, larutan ini berbau NH4OH, namun

    setelah disemprot dengan suhu masuk 150°C, amoniak dapat menguap dan tidak

    meninggalkan bau lagi.

    4.5 Evaluasi Mikrokapsul

    Evaluasi mikrokapsul yang dilakukan adalah pemeriksaan bentuk fisik,

    penentuan perolehan kembali proses, penentuan efisiensi penjerapan dan

    kandungan zat aktif, distribusi ukuran, dan uji pelepasan obat secara in vitro.

    4.5.1 Pemeriksaan Bentuk Fisik Mikrokapsul (Apparao, Shivalingam, Reddy,

    Sunitha, Jyothibasu, dan Shyam, 2010)

    Secara organoleptis, mikrokapsul HPMCP HP-55 terlihat berbentuk

    lonjong hingga bulat, dan berwarna putih kekuningan. Perbedaan bentuk partikel

    kemungkinan dipengaruhi oleh banyaknya polimer yang digunakan. Pada

    Pembuatan dan..., Purwinda Herin Marliasih, FMIPA UI, 2011

  • 34

    Universitas Indonesia

    penyalutan menggunakan polimer yang lebih sedikit, mikrokapsul yang dihasilkan

    akan mengikuti bentuk partikel inti. Jika polimer yang digunakan semakin

    banyak, maka seluruh permukaan partikel inti dapat disalut oleh polimer dan

    mampu menutupi cekungan mikropartikel yang terdapat pada permukaannya

    sehingga bentuk mikrokapsul bisa bulat. Kemungkinan kedua, perbedaan bentuk

    partikel disebabkan karena perbedaan kecepatan penguapan pelarut. Pada satu sisi

    mikrokapsul, pelarut sudah menguap secara sempurna dan bersifat kaku, namun

    pada sisi lain masih ada kemungkinan pelarut belum sepenuhnya menguap. Pada

    proses pengadukan, bagian yang belum menguap sempurna masih bersifat

    reversibel, sehingga memungkinkan terjadinya perubahan bentuk menjadi lonjong

    atau oval.

    Bentuk dan morfologi mikrokapsul dianalisis menggunakan alat Scanning

    Electron Microscope (SEM). Hasil SEM menunjukkan dinding mikrokapsul

    HPMCP HP-55 pada formulasi F1 terlihat kasar, terdapat bentuk serat-serat

    panjang, dan terlihat lubang yang sangat jelas pada perbesaran 1000 kali.

    Sedangkan untuk formulasi F2 dan F3, dindingnya terlihat lebih halus dan merata.

    Untuk mikrokapsul F2, pada perbesaran 1000 kali terlihat adanya serat-serat pada

    permukaan mikrokapsul namun lebih sedikit, sedangkan pada F3, permukaan

    lebih halus dan hanya nampak sedikit serat-serat pendek yang menempel pada

    permukaan mikrokapsul. Semakin banyak polimer yang digunakan, serat-serat

    yang terlihat terlihat semakin sedikit dan permukaan mikrokapsul HPMCP HP-55

    semakin halus. Polimer yang lebih banyak mampu menutupi lubang-lubang serta

    serat yang terdapat pada permukaan mikrokapsul. Dari hasil yang diperoleh, dapat

    disimpulkan bahwa banyaknya jumlah penyalut mempengaruhi morfologi

    permukaan mikrokapsul.

    Secara organoleptis mikrokapsul Eudragit L 100-55, terlihat berbentuk

    serbuk berwarna putih dan tidak terlihat butiran seperti pada mikrokapsul H