Untitled

Embed Size (px)

Citation preview

Syaikh Muhammad Rasyid Ridha January 20, 2010 Posted by penailmuindonesia in Biograpi. trackback

2 Votes Sosok intelektual satu ini bernama lengkap Muhammad Rasyid ridha bin Ali Ridha bin Muhammad Syamsuddin Al-Qolamuny. Beliau lahir di daerah Qalamun (sebuah desa yang tidak jauh dari kota Tripoli, L ibanon) Pada tanggal 27 Jumadil Awal 1282 H bertepatan dengan tahun 1865 M. Muhammad rasyid Ridho dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga terhot mat dan taat beragama. Dalam sebuah sumber dikatakan bahwa Rasyid Ridho masih me miliki pertalian darah dengan Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu NabiMuhammad S AW, dan oleh karenanya nama beliau memakai istilah Sayyid (istilah khas keturunan Nabi SAW). Semasa kecilnya, Ridha dimasukkan oleh orang tuanya ke madrasah tradi sional di desanya, Qalamun, untuk belajar membaca Al-Quran, belajar menulis, dan berhitung. Berbeda dengan anak-anak seusianya, Ridha kecil lebih sering menghabi skan waktunya untuk belajar dan membaca buku daripada bermain, dan sejak kecil m emang ia telah memiliki kecerdasanyang tinggi dan kecintaan terhadap ilmu penget ahuan. Setelah menyelesaikan belajar baca tulisnya, dalam usia sekitar 17 tahun (1882), Ridha melanjutkan studinya ke Madrasah Al-Islamiyyah, yaitu sekolah milik pemer intah di kotaTripoli. Sekolah ini merupakan sekolah yang tergolong modern yang d idirikan oleh Asy-Syekh Al-Jisr, seorang alim ulama yang gagasan dan pemikiran k eagamaannya telah dipengaruhi ole hide-ide medernisme. Disini, Ridha belajar pen getahuan agama dan bahasa Arab (ilmu tata bahasa Arab seperti Nahwu, Sharaf) sec ara lebih mendalam. Selain itu, ia juga belajar ilmu bumi, ilmu berhitung, dan p engetahuanmodern lain, seperti bahasa Perancis dan Turki. Namun, Ridha tidak dapat lama belajar disekolah ini karena sekolah tersebut terp aksa ditutup setelah mendapat hambatan politik dari pemerintah Kerajaan Usmani. Untuk tetap melanjutkan studinya, Rasyid Ridha pun pindah ke salah satu sekolah agama yang ada di Tripoli. Meskipun sudah pindah sekolah, tetapi hubungan Ridha dengan guru utamanya saat di Madrasah Al-Wathaniyyah terus berlanjut. Guru inila h yang telah banyak berjasa dalam menumbuhkan semangat ilmiah dan ide pembaharua n dalam diri Ridha dikemudian hari. Diantara pikiran gurunya yang sangat berpengaruh adalah pernyataan bahwa satu-sa tunya jalan yang harus ditempuh umat Islam untuk mencapai kemajuan adalah memadu kan pendidikan agama dan pendidikan umum dengan metode modern. Hal tersebut dida sari kenyataan sekolah-sekolah yang didirikan bangsa Eropa saat ini banyak dimin ati anak pribumi, padahal tidak disajikan pelajaran agama didalamnya. Selaian menekuni pelajarannya di Madrasah Al-Wataniyyah, Rasyid Ridha juga rajin mengikuti beberapa perkembangan dunia Islam melalui surat kabar Al-Urwah Al-Wusq o (sebuah surat kabar berbahasa Arabyang dikelola oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, dan diterbitkan selama mereka dipengasingan, Paris). Melalui su rat kabar ini, Rasyid Ridha mengenal gagasan dua tokoh pembaharuyang sangat dika guminya, yaitu Jamaluddin Al-Afghani, seorang pemimpin pembaharu dari Afghanista n, dan Muhammad Abduh, seorang pembaharu dari Mesir. Ide-ide brilian yang dipubl ikasikan itu begitu berkesan dalam diri Ridha dan menimbulkan keinginan kuat unt uk bergabung dan berguru pada kedua tokoh itu. Keinginan untuk bertemu dengan Al-Afghani ternyata belum tercapai, karena tokoh ini lebih dahulu meninggal dunia. Namun ketika Muhammad Abduh dibuang ke Beirut pada akhir tahun 1882, Ridha berkesempatan untuk berjumpa dan berdialog serta sh aring ide dengan Abduh. Pertemuan dan dialog dengan Abduh semakin menumbuhkan se mangat juang dalam dirinya untuk melepaskan umat Islamdari belenggu keterbelakan

gan dan kebodohannya. Di Libanon, Ridha mencoba menerapkan ide-ide pembaharuan yang diperolehnya, namu n upayanya ini mendapat tantangan dan tekanan politik dari Kerajaan Turki Utsman i yang tidak menerima ide-ide pembaharuan. Akibat semakin besarnya tantanga itu, akhirnya pada tahun 1898, Rasyid Ridha pindah ke Mesir mengikuti gurunya, Abduh yang telah lama tinggal disana. Dikota ini Ridha langsung menemui Muhammad Abduh dan menyatakan keinginannya untuk menjadi murid dan pengikut setia Abduh. Sejak saat itu, Rasyid Ridha merupakan sosok muridyang paling dekat dan setia kepada Abduh. Disamping banyak memperdalam pengetahuan dan ide pembaharuan, Ridha pun mengusul kan kepada sang guru agar menerbitkan sebuah majalah yang akan menyiarkan ide-id e dan pikiran brilian mereka. Muncullah majalah yang kemudian begitu terkenal, y aitu majalah Al-manar (berarti : menara/petunjuk), sebuah nama majalah yang dius ulkan Ridha dan disetujui Abduh. Penerbitan majalah ini bertujuan melanjutkan misi majalah yang sebelumnya, Al-Ur wah Al-Wusqa, yaitu antara lain : (1) menyebarkan ide-ide pembaharuan dalam bida ng agama, sosial dan ekonomi (2) memajukan umat Islam dan menjernihkan ajaran Is lam dari segala paham yang menyimpang (3) membangkitkan semangat persatuan umat Islam dalam menghadapi berbagai intervensi dari luar. Dan perjalanannya majalah ini banyak mendapat sambutan, karena ide-ide pembaharuan. Setelah penerbitan itu berjalan, dan proses transformasi pikiran-pikiran pembaha ruan keislaman yang bersifat umum terus berlanjut, Rasyid Ridha juga masih sanga t aktif menulis dan mengarang berbagai buku dan kitab. Ridha sempat mengajukan s aran kepada gurunya agar menafsirkan kitab suci Al-Quran dengan penafsiranyang re levan dengan perkembangan zaman. Awalnya gagasan muridnya ini tidak segera ditanggapi secara serius, namun Rasyid Ridha terus mendesak hingga pada tahun 1899 Muhammad Abduh menyetujui ide penaf siran tersebut. Melalui kuliah tafsir yang rutin dilakukan di Universitas Al-Azh ar, Rasyid Ridha selalu mencatat ide-ide brilian yang muncul dalam kuliah yang d iberikan gurunya. Selanjutnya, catatan-catatan itu disusun secara sistematis dan diserahkan kepada sang guru untuk diperiksa kembali. Selesai diperiksa dan mend apat pengesahan, barulah tulisan itu diterbitkan dalam majalah Al-Manar. Kumpula n tulisan mengenai tafsiryang termuat dalam majalah Al-Manar inilah yang kemudia n dibukukan menjadi tafsir Al-Manar. Pengajaran tafsir yang dilakukan Abduh ini hanya sampai pada surat An-Nisa ayat 1 25, dan merupakan jilid ketiga dari seluruh Tafsir Al-Manar. Hal ini dikarenakan Muhammad Abduh telah dipanggil kehadirat Allah SWT. Pada tahun 1905, sebelum me nyelesaikan penafsiran seluruh isi Al-Quran. Maka untuk melengkapi tafsir tersebu t, Rasyid Ridha melanjutkan kajian tafsir sangguru hingga selesai. Selain dalam hal pemikiran modern, pada dasarnya arah pembaharuan pemikiran Ridh a tidak jauh berbeda dengan Muhammad Abduh. Rasyid Ridha juga seorang pengikut s ebuah tarekat, yaitu tarekat Naqsabandiah. Berdasarkan pengalaman tarekat ini, R idha berpendapat bahwa ajaran-ajaran tarekatyang berlebihan dalam cara beribadah dan pengkultusan seorang guru membuat seseorang mempunyai sikap statis dan pasi f, dan ini jelas merugikan umat Islam. Dalam hal pendidikan, Ridha pun berupaya memajukan ide pengembangan kurikulum de ngan muatan agama dan umum, dan sebagai bentuk kepeduliannya, Ridha mendirikan s ekolah di Kairo pada tahun 1912 yang memiliki tujuan untuk menandingi sekolah-se kolah misionaris Kristen. Sekolah itu bernama Madrasah Ad-Dawah wa Al-Irsyad. Par a lulusan hasil gemblengan sekolah dakwah ini dikirimkannya ke Negara-negara Isl amyang membutuhkan. Namun pada saat terjadi Perang Dunia I, sekolah ini terpaksa dihentikan kegiatannya. Ide-ide pembaharuan penting yang dikumandangkan Rasyid Ridha antara lain dalam b idang agama, bidang pendidikan dan politik. Dibidang agama, Ridha mengatakan bah wa umat Islam lemah karena mereka tidak lagi mengamalkan ajaran-ajaran Islam yan g murni seperti yang dipraktekkan pada masa Rasulullah SAW. Dan para sahabatnya, melainkan ajaran-ajaran yang menyimpang dan lebih banyak bercampur dengan bidah dan khurafat. Ridha menegaskan jika umat Islam ingin maju, mereka harus kembali berpegang kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Mereka tidak begitu terikat dengan pendapat ulama terdahuluyang tidak lagi sesuai dengan tuntutan hidup yang

lebih maju dan modern. Rasyid Ridha membedakan antara masalah peribadatan (yang berhubungan dengan Alla h SWT) dan masalah muamalah (yang berhubungan dengan manusia). Adapun masalah ya ng pertama menurut Ridha, telah tertuang dalam teks Al-Quran secara qati (pasti) d an hadits mutawatir (yang jelas riwayatnya hingga Nabi SAW). Ini merupakan keten tuan terperinci dan absolute yang harus dilaksanakan, tidak berubah meskipun sit uasi masyarakat terus berubah dan berkembang. Sedangkan untuk hal kedua, dasar d an prinsipnya telah diberikan, seperti keadilan, persamaan, dan hal lain, namun pelaksanaan dasar-dasar itu diserahkan kepada manusia untuk menentukan dengan po tensi akal pikiran dan melihat situasi dan kondisi yang dihadapi, sepanjang tida k menyimpang dari prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Rasyid Ridha menyoroti paham Fatalisme (semua diserahkan kepada Allah SWT, tanpa usaha) yang banyak menyelimuti umat Islam. Beliau berpendapat bahwa ajaran Isla m mengandung paham Dinamika, bukan Fatalisme, dan paham inilah yang membuat kala ngan Barat maju. Ridha menjelaskan lebih jauh bahwa paham dinamika dalam Islam m engambil bentuk kongrit, yaitu jihad yang memiliki pengertian kerja keras dan re la berkorban demi mencapai keridhaan Allah SWT. Etos kerja inilah yang mengantar kan umat Islam kepada kejayaan pada masa lalu. Hal lain yang menjadi perhatian a dalah masalah toleransi bermadzhab, sebab ia melihat fanatisme madzhab begitu ku at dan ini mengakibatkan perpecahan dan kekacauan. Dibidang pendidikan, Rasyid Ridha dangat perhatian terhadap dunia pendidikan dan menurutnya, umat Islam akan maju jika menguasai bidang ini. Oleh karenanya, Rid ha banyak menghimbau dan mendorong umat Islam untuk menggunakan kekayaannya bagi pembangunan lembaga-lembaga pendidikan. Beliau berhasil mendirikan sekolah di K airo yang mengajarkan ilmu agama, seperti Al-Quran, tafsir, akhlaq, hikmah al-tas yri (hikmah penetapan syariat), bahasa Eropa dan ilmu kesehatan. Melihat kesuksesa n Ridha para pemuka Islam India mengundang Ridha untuk mendirikan lembaga pendid ikan di India. Dalam bidang politik (Fiqh Siyasi), Ridha tertarik dengan ide Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam), sebab Ridha banyak melihat penyebab kemunduran Islam antar a lain karena perpecahan yang terjadi dikalangan mereka sendiri. Untuk itu, Rasy id Ridha menyeru umat Islam agar bersatu kembali dibawah satu keyakinan, satu si stem moral, satu sistem pendidikan, dan tunduk dalam satu sistem hukum dalam sat u kekuasaan yang berbentuk negara. Namun, negara yang diinginkan Rasyid Ridha bu kan seperti konsep Barat, melainkan negara dalam bentuk khilafah (kekhalifahan) seperti pada masa Al-khulafa ar-Rasyidin (empat khalifah besar setelah Nabi SAW). Ridha menganjurkan pembentukkan organisasi Al-jamiah al-Islamiyah (Persatuan Uma t Islam) dibawah naungan khalifah. Khalifah ideal menurut Ridha adalah sosok yang dapat memenuhi beberapa persyarat an, antara lain dari segi keadilan, kemampuan, sifat mengutamakan kepentingan ma syarakat diatas kepentingan pribadi. Lebih lanjut Ridha menyebutkan dalam bukuny a Al-khilafah, bahwa fungsi khalifah adalah menyebarkan kebenaran, menegakkan ke adilan, memelihara agama, dan bermusyawarah mengenai masalah yang tidak dijelask an nash. Kedudukan khalifah bertanggung jawab atas segala tindakannya di bawah p engawasan ahl al-halli wa al-aqdi yang anggotanya terdiri dari para ulama dan pem uka masyarakat. Tugas ahl al-halli wa al-aqdi selain mengawasi roda pemerintahan, juga mencegah terjadinya penyelewengan oleh khalifah, dan lembaga ini berhak me nindak khalifah yang berbuat dzalim dan sewenang-wenang. Khalifah harus ditaati sepanjang pemerintahannya dijalankan sesuai dengan ajaran agama. Ia merupakan kepala atau pemimpin umat Islam sedunia, meskipun tidak mem erintah secara langsung setiap negara anggota. Dan menurut Ridha, seorang khalif ah hendaknya juga seorang mujtahid besar yang dihormati. Dibawah khalifah sepert i inilah kesatuan dan kemajuan umat Islam dapat terwujud. Kiprah Rasyid Ridha dalam dunia politik secara nyata dapat dilihat dalam aktivit asnya. Ridha pernah menjadi Presiden Kongres Suriah pada tahun 1920, menjadi del egasi Palestina-Suriah di Jenewa tahun 1921. Rasyid Ridha juga pernah menjadi an ggota Komite Politik di Kairo tahun 1925, dan menghadiri Konferensi Islam di Mek kah tahun 1926 dan di Yerusalem tahun 1931. Karya-karya yang dihasilkan dalam pergulatan hidup Rasyid Ridha pun cukup banyak , mulai dari melanjutkan Tafsir Al-Manar, Tarikh Al-Ustadz Al-Imama Asy-Syaikh Ab

duh, Nida Li Al-Jins Al-Latif (Panggilan terhadap Kaum Wanita), Al-Wahyu Al-Muham mad (Wahyu Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW), Yusr Al-Islam wa Usul AtTasyri Al-Am (Kemudahan Agama Islam dan dasar-dasar umum penetapan hukum Islam), A l-Khilafah wa Al-Imamah Al-Uzma (ke Khalifahan dan Imam-imam besar), Muhawarah A l-Muslih wa Al-Muqallid (dialog antara kaum pembaharu dan konservatif), Zikra Al -Maulid An-Nabawiy (Peringatan Kelahiran Nabi Muhammad SAW), dan Haquq Al-Marah A s-Salihah (hak-hak wanita Muslim). Pengaruh pemikiran Rasyid Ridha dan juga para pemikir lainnya berkembang ke berb agai penjuru dunia, termasuk di Indonesia. Ide-ide pembaharu yang dikumandangkan banyak mengilhami semangat pembaharuan diberbagai wilayah. Banyak kalangan ulam a yang tertarik untuk membaca majalah Al-Manar dan mengembangkan ide yang diusun gnya. Nama besarnya terus dikenang hingga beliau menghadap ke haribaan Allah SWT, pada bulan Agustus 1935 M, bertepatan dengan tahun 1356 H.

o o o o

Home Tutorial HTML CSS Download E-Book Skripsi AboutMe Contact Tukarlink Follow Me KONSEP RELASI AGAMA DAN NEGARA DALAM ISLAM 20:05 harry No comments Antara relasi hubungan Agama dan Negara mengalami berbagai pedebatan yang cukup panjang dikalangan ulama Islam hingga kini. Berkenaan dengan hal tersebut maka p endapat para pakar berkenaan dengan relasi agama dan negara dalam Islam dapat di bagi atas tiga pendapat yakni paradigma integralistik, paradigma simbiotik, dan paradigma sekularistik. Berikut akan dijelaskan secara rinci : a. Paradigma Integalistik Paham ini merupakan pendapat atau konsep yang menggap negara dan agama adalah sa tu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Paham ini dianut oleh beberapa ulama-ul ama Islam diantaranya yang paling ekstrim adalah golongan syiah dengan teori Ima mah mereka. Dan juga ulama-ulama terkemuka lainya yakni, Al-Mawardi, Imam Al-Gha zali, Ibnu Khaldun, serta dikalangan ulama kontemporor seperti Rayid Ridho, kelo mpok-kelompok Ikhwanul Muslimin seperti Hasan Al-Bana, Syaid Qutub, dan lain seb againya. Mawardi berpendapat bahwa Allah mengangkat untuk umatnya seorang pemimpin sebaga i pengganti (khalifah) nabi, untuk mengamankan agama, dengan disertai mandat pol itik. Dengan demikian imam di satu pihak adalah pemimpin agama dan di lain pihak adalah pemimpin politik. Pemikiran ini tidak beranjak dari ilustrasinya tentang kepemimpinan pada masa Rasullulah dan Khalifah Ar-Rasyidin. Begitu juga yang ditegaskan Al Ghazali bahwa: Agama dan raja ibarat dua anak kembar; agama adalah suatu fondasi sedangkan sult an adalah penjaganya; sesuatu yang tanpa fondasi akan mudah runtuh, dan fondasi tanpa penjaga akan hilang. Keberadaan sultan merupakan keharusan bagi tertib aga ma, dan ketertiban agama merupakan keharusan bagi tercapainya kesejahteraan akhi rat nanti. Bagitu juga Ibnu Khaldun yang dengan memberikan uruaian tentang makna khalifah b ahwa khalifah adalah tanggung jawab umum yang dikehendaki oleh peraturan syariat untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat bagi umat dengan merujuk kepada nya. Karena kemaslahatan akhirat adalah tujuan akhir, maka kemaslahatan dunia se

luruhnya harus berpegang kepada syariat. Hakikatnya, sebagai pengganti fungsi pe mbuat syariat (Rasullulah, SAW) dalam memeliharaan urusan agama dan mengatur pol itik keduniaan. Dan Rasyid Ridha walawpun dia merupakan murid dari Muhammad Abduh yang berpemiki ran simbiotik namun Ridha memiliki ide yang berbeda dengan sang gurunya, menurut Ridha eksistensi syariat sangat penting dalam rangka penetapan hukum syariat Is lam. Bahwa Islam adalah agama kedaulatan, politik dan pemerintahan, maka bentuk pemeintahan yang lain (selain kekhalifahan) baginya tidak dapat menerpakan syari at Islam. Selanjutnya Al- Ikhwan Al-Muslimin yang dirikan Hasan Al-Bana di Kairo Mesir tah un 1928, yang mana perhatiannya pada mulanya hanya pada kegiatan-kegiatan reform asi moral dan sosial, namun dalam perkembangan berikutnya menjadi suatu organisa si keagamaan dan politik, hal ini terlihat jelas saat mereka mendabakan berdirin ya negara Islam di Mesir. Adapun pendapat tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin yang pal ing sentral adalah: Islam adalah suatu agama yang sempurna dan amat lengkap, yang meliputi tidak saj a tuntuan moral dan peribadatan, tetapi juga petunjuk-petunjuk mengenai cara men gatur segala aspek kehidupan, termasuk kehidupan politik, ekonomi sosial; oleh k arenanya untuk pemulihan kejayaan dan kemakmuran, umat Islam harus kembali kepad a agamanya yang sempurna dan lengkap itu, kembali kepada kitab sucinya, Al-Quran dan Sunah Nabi, mencontoh pola hidup rasul dan umat Islam generasi pertama, tida k perlu atau bahkan jarang meniru pola atau sistem politik, ekonomi dan sosial b arat. b. Paradigma Simbiotik Paham ini memahami bahwa agama dan negara adalah saling membutuhkan artinya memi liki hubungan timbal balik, perbedaanya dengan aliran integralistik adalah bahwa agama dan negara suatu etensitas yang berbeda, namun saling membutuhkan, bukany a menyatu seperti yang dimaksud pada paham integralistik. Pemikiran ini di anut kalangan-kalangan ulama Islam yakni Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh, Jamaludin AlAfghani, Yusuf Al-Qardawi dan lain-lain. Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan negara, maka agama tidak bisa tegak. Pendapat beliau meligitimasikan agama dan negara merupa kan dua etensitas yang berbeda, tetapi saling mebutuhkan. Oleh karenannya, konst usi yang berlaku dalam paradigma ini tidak hanya bersal dari adanya social conte ct, tetapi bisa saja diwarnai dengan hukum agama. Jamaludin Al-Afghani dalam membahas ketatanegaraan lebih menghendaki pemerintaha n republik dimana pemikiran beliau lebih dipengaruhi pemikiran barat, namun hal ini menurut beliau cukup ideal diterapkan pada pemerintahan, sebab di dalamnya t erdapat kekebasan berpendapat dan kepala negara harus tunduk kepada undang-undan g dasar, tetapi tidak lepas dari pemahaman beliau terhadap prisnsip-prinsip ajar an Islam. Selanjutnya pemikiran beliau dilanjutkan oleh murid beliau yakni Muham mad Abduh. Abduh tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan. Jika sistem khalifa h masih tetap menjadi pilihan sebagai model pemerintahan, maka bentuk demikianpu n harus sesuai perkembanga masyarakat dalam kehidupan materi dan kebebasan berpi kir, menurutnya lebih jelas lagi bahwa Islam tidak menentukan bentuk pemeritahan . Pemerintah dan rakyat mempunyai hak dan kewajiban yang sama memelihara dasar-d asar agama, dan menafsirkan selama ia berkaitan dengan masalah keduniaan. Produk dari pemahaman ini tidak bertentangan dengan salah satu pokok agama. Dalam kepa la meraka adalah bentuk pemerintahan. Artinya merekalah menentukan bagaimana ben tuk pemerintahan yang mereka kehendaki. Namun demikian tidak berari Muhammad Abd uh memisahkan antara urusan agama dan negara secara mutlak, namun menurutnya Isl am menetapkan hak-hak dan kewajiban kepada rakyat dan pemerintah, dan pemeritah wajib menegakan keadilan yang dituntut oleh agama dan rakyat. Demikian juga pendapat yang dikemukakan ulama kontemporer Yusuf Al-Qardawi bahwa : Ada yang mengatakan, karen demokrasi itu merupakan hukum bagi rakyat oleh rakyat , yang berarti harus menolak pendapat yang mengatakan kedaulatan pembuat hukum h anya miliki Allah, hal ini merupakan pendapat yang tidak bisa diterima. Prinsip hukum miliki rakyat, yang merupakan asas demokrasi, tidak bertentangan dengan pr

insip hukum milik Allah yang merupakan asas penetapan hukum dalam Islam. c. Paradigma Sekularistik Paradigma ini beranggapan bahwa ada pemisahan antara agama dan negara, agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bi dang masing-masing, sehingga keberadaanya harus dipisahkan. Hal ini dianut beber apa ulama kontemporer yakni Ali Abdul Raziq, Muhammad Husain Haikal dan lain-lai n. Menurut Raziq, pemerintahan Rasul bukanlah bagian dari tugas kerasulannya, melai nkan tugas terpisah dari dakwah Islamnya dan berada di luar tugas kerasulan. Ala sanya, bahwa Nabi Muhammad, SAW memang telah mendirikan negara di Madinah, akan tetapi sulit membuat kesimpulan bagaimana prosedur penetapan hukum yang ditempuh oleh Rasul, demikian pula tidak ada informasi yang cukup mengenai fungsi-fungsi pemerintahan lain, minsalnya masalah keungan dan wawasan, dan keamanan jiwa dan harta. Namun demikian, bagian-bagian tugas yang dilakukan oleh Nabi seperti eks pedisi militer untuk membeladiri, distribusi zakat, jizyah dan ghanimah, pendele glasian tugasnya kepada para sahabat untuk melaksanakanya. Jadi kegiatan kenegar aan merupakan keadaan nabi yang terpisah dari jabatan beliau sebagai Rasul, mela inkan merupakan tugas beliau sebagai pemimpin dalam dunia muamalah manusia biasa . Pendapat tesebut sealiran dangan pendapat Muhammad Husain Haikal dimana ia menya mpaikan bahwa : Sesungguhnya Islam tidak menetapkan sistem tertentu bagi pemerintah, dan akan te tapi ia melatakan kaidah-kaidah bagi tingkah laku dan muamalah dalam kehidupan a ntar manusia. Kaidah-kaidah itu menjadi dasar untuk menentukan sistem pemerintah an yang berkembang sepanjang sejarah.