unud-1450-1648467227-tesis sip

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    1/97

    1

    BAB 1

    PENDAHULUAN

    1.1.  Latar Belakang

     Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk

    optimalisasi peran yang dilakukan oleh apoteker terhadap pasien dalam

    melakukan terapi pengobatan sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan

     pasien. Apoteker berperan dalam memberikan konsultasi, informasi dan edukasi

    (KIE) terkait terapi pengobatan yang dijalani pasien, mengarahkan pasien untuk

    melakukan pola hidup sehat sehingga mendukung agar keberhasilan pengobatan

    dapat tercapai, dan melakukan monitoring hasil terapi pengobatan yang telah

    dijalankan oleh pasien serta melakukan kerja sama dengan profesi kesehatan lain

    yang tentunya bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (ISFI, 2000).

    Hal tersebut menegaskan peran apoteker untuk lebih berinteraksi dengan pasien,

    lebih berorientasi terhadap pasien dan mengubah orientasi kerja apoteker yang

    semula hanya berorientasi kepada obat dan berada di belakang layar menjadi

     profesi yang bersentuhan langsung dan bertanggungjawab terhadap pasien.

    Pelayanan kefarmasian mulai berubah orientasinya dari drug oriented  

    menjadi  patient oriented . Perubahan paradigma ini dikenal dengan nama

     Pharmaceutical care  atau asuhan pelayanan kefarmasian (Kemenkes RI, 2011).

     Pharmaceutical care atau  asuhan kefarmasian merupakan pola pelayanan

    kefarmasian yang berorientasi pada pasien. Pola pelayanan ini bertujuan

    mengoptimalkan penggunaan obat secara rasional yaitu efektif, aman, bermutu

    1

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    2/97

    2

    dan terjangkau bagi pasien (Depkes RI, 2008). Hal ini meningkatkan tuntutan

    terhadap pelayanan farmasi yang lebih baik demi kepentingan dan kesejahteraan

     pasien. Asuhan kefarmasian, merupakan komponen dari praktek kefarmasian yang

    memerlukan interaksi langsung apoteker dengan pasien untuk menyelesaikan

    masalah terapi pasien, terkait dengan obat yang bertujuan untuk meningkatkan

    kualitas hidup pasien (Kemenkes RI, 2011).

    Akibat dari perubahan paradigma pelayanan kefarmasian, apoteker

    diharapkan dapat melakukan peningkatan keterampilan, pengetahuan, serta sikap

    sehingga diharapkan dapat lebih berinteraksi langsung terhadap pasien. Adapun

     pelayanan kefarmasian tersebut meliputi pelayanan swamedikasi terhadap pasien,

    melakukan pelayanan obat, melaksanakan pelayanan resep, maupun pelayanan

    terhadap perbekalan farmasi dan kesehatan, serta dilengkapi dengan pelayanan

    konsultasi, informasi dan edukasi (KIE) terhadap pasien serta melakukan

    monitoring terkait terapi pengobatan pasien sehingga diharapkan tercapainya

    tujuan pengobatan dan memiliki dokumentasi yang baik (Depkes RI, 2008).

    Apoteker harus menyadari serta memahami jika kemungkinan untuk terjadinya

    kesalahan pengobatan ( Medication Error ) dalam proses pelayanan kefarmasian

    dapat terjadi sehingga diharapkan apoteker dapat menggunakan keilmuannya

    dengan baik agar berupaya dalam melakukan pencegahan dan meminimalkan

    masalah tentang obat ( Drug Related Problems) dengan membuat keputusan yang

    tepat dan profesional agar pengobatan rasional (Depkes RI, 2008).

    Standar tentang pelayanan kefarmasian di apotek telah disusun pada tahun

    2003 oleh Ditjen Pelayanan Farmasi Departemen Kesehatan melibatkan Ikatan

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    3/97

    3

    Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI). Tujuan dari penetapan standar pelayanan

    kefarmasian di apotek adalah digunakan acuan dalam melakukan pengawasan

    terhadap pelayanan kefarmasian oleh profesi apoteker, sebagai pembinaan serta

    meningkatkan mutu pelayanan farmasi di apotek, untuk melakukan perlindungan

    kepada pasien dari pelayanan yang tidak profesional, dan melakukan perlindungan

     profesi dari tuntutan pasien yang tidak wajar (Depkes RI, 2006). Berdasarkan hal

    tersebut, maka ditetapkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

     Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di

    Apotek. Dalam standar tersebut dipaparkan bahwa saat ini pelayanan kefarmasian

    mengacu pada  Pharmaceutical Care (Asuhan Kefarmasian) yang menuntut

    apoteker untuk bertanggungjawab penuh atas mutu obat yang diberikan kepada

     pasien disertai dengan informasi yang lengkap tentang cara pemakaian dan

     penggunaan, efek samping hingga monitoring penggunaan obat demi

    meningkatkan kualitas hidup pasien.

    Pelayanan kefarmasian selama ini dinilai oleh banyak pengamat masih

     berada di bawah standar. Kuncahyo (2004) menyebutkan bahwa apoteker belum

    melakukan fungsinya secara optimal dan tanggungjawab penuh apoteker dalam

    memberikan informasi obat kepada masyarakat, ternyata masih belum

    dilaksanakan dengan baik. Wiryanto (2005) juga mengungkapkan bahwa apotek

    telah berubah menjadi semacam toko yang berisi semua golongan obat baik obat

     bebas, obat keras, psikotropika dan narkotika dengan pelayanan yang tidak

    mengacu pada kaidah-kaidah profesi, karena tidak dilakukan oleh apoteker.

    Seperti halnya penelitian di DKI Jakarta pada tahun 2003 menunjukkan bahwa

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    4/97

    4

    APA yang berkerja tidak penuh waktu atau kurang dari 40 jam per minggu

    memberikan pelayanan masih cukup besar yaitu sebanyak 76,5% dan apotek yang

    apotekernya bekerja penuh hanya 23,5%. Frekuensi kehadiran apoteker yang tidak

     bekerja penuh antara lain 12,8% yang datang 2 kali per minggu; 57,4% hadir 1

    kali per minggu; 2,1% hadir 2 kali per bulan, 23,4% hadir 1 kali per bulan dan

    sisanya sebanyak 4,3% hadir 1 kali per dua bulan (Purwanti, dkk, 2004).

    Pelayanan kefarmasian masih belum mendapatkan perhatian yang serius

    dari pemerintah. Hal ini ditunjukkan dari penelitian yang menggambarkan dari

    4953 sarana pelayanan kesehatan dasar milik pemerintah di Indonesia, hanya 605

    yang memiliki apoteker sebagai penanggungjawab terhadap instalasi farmasinya

    (Kementrian Kesehatan RI, 2011). Penelitian tentang gambaran pelaksanaan

     pelayanan kefarmasian di apotek pernah dilakukan di DKI Jakarta pada tahun

    2003. Ditemukan bahwa 76,5% apotek tidak memenuhi standar pelayanan obat

    non resep, 98,5% apotek tidak memenuhi standar pelayanan KIE, 67,6% apotek

    tidak memenuhi standar pelayanan obat resep dan 5,8% apotek tidak memenuhi

    standar pengelolaan obat di apotek. Berdasarkan rata-rata keempat sub bidang

     pelayanan kefarmasian tersebut didapatkan nilai rerata 61,02 sehingga masuk

    dalam kategori yang kurang baik (Purwanti dkk, 2004). Penelitian serupa di Kota

    Padang (Monita, 2009) menemukan bahwa pelayanan kefarmasian di apotek di

    Kota Padang belum terlaksana baik, dengan kategori baik (≥85) sebesar 3%,

    sedang (65-85) 16%, dan kurang (≤65) 81%. Penelitian tersebut mengungkapkan

     bahwa beberapa faktor pendukung yang mendasari adalah: (1) motivasi apoteker

    dalam bekerja, (2) dukungan pemilik sarana apotik (PSA) dan staf, (3) komitmen

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    5/97

    5

    seluruh stakeholder (pembuat kebijakan/regulasi, instansi yang melakukan

    sosialisasi, monitoring dan pembinaan, perguruan tinggi dan organisasi profesi).

    Beberapa faktor penghambat yang ditemukan adalah (1) apoteker belum berperan

    di apotek, (2) lemahnya dukungan dan evaluasi oleh pihak manajemen apotek, (3)

     pengadaan sarana dan prasarana, (4) kurangnya sosialisasi, legislasi, dan

    lemahnya kontrol regulasi oleh aparat terkait.

    Belum maksimalnya pelayanan kefarmasian yang diberikan ditunjukkan

     pula dengan penelitian yang dilakukan di Provinsi NTB, tentang pelayanan

    kefarmasian pada Rumah Sakit Umum Daerah Kelas C di Propinsi Nusa Tenggara

    Barat tahun 2012. Penelitian ini menemukan bahwa pelayanan kefarmasian di

    rumah sakit tersebut belum terlaksana dengan baik. Persentase pencapaian standar

     pelayanan kefarmasian dari ketiga rumah sakit masih kurang dari 75%, yaitu

    52,17% untuk Rumah Sakit A, 54,78% untuk Rumah Sakit B dan 44,35% untuk

    Rumah Sakit C. Penelitian ini menemukan bahwa beberapa faktor penghambat

     pelaksanaan layanan kefarmasian yang optimal adalah (1) lemahnya dukungan

     pihak manajemen rumah sakit terhadap pelayanan farmasi, (2) pengadaan sarana

    dan prasarana penunjang pelayanan farmasi yang masih belum memadai, (3)

    kurangnya jumlah tenaga kefarmasian di instalasi farmasi, (4) sistem dokumentasi

    instalasi farmasi yang kurang baik, (5) kurangnya evaluasi yang terus menerus

    dalam upaya peningkatan kinerja instalasi farmasi dalam melaksanakan pelayanan

    farmasi (Sidrotullah, 2012).

    Penelitian di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung tentang kehadiran

    apoteker mendapatkan bahwa kehadiran apoteker di apotek masih sangat rendah.

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    6/97

    6

    Dari total 111 apotek wilayah Denpasar Utara, Denpasar Timur, Denpasar

    Selatan, Denpasar Barat, Kuta Utara, dan Kuta Selatan, hanya 24 apotek (26,64%)

    yang terdapat tenaga ahli apoteker pada saat dilakukannya survei (Gunawan dkk,

    2011). Berbagai penelitian yang telah dilakukan ditemukan beberapa faktor yang

     berhubungan dengan kualitas pelayanan kefarmasian meliputi kepemilikan modal,

    kehadiran Apoteker Pengelola Apotek (APA), peran Pemilik Modal Apotek

    (PMA), jabatan APA di luar apotik, motivasi APA untuk melakukan pelayanan

    kefarmasian dan omset dan omset apotek (Harianto, dkk, 2008).

    Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan kepada 4 (empat) orang

    apoteker di wilayah Kota Denpasar dan kabupaten Badung tentang kualitas

     pelayanan kefarmasian di apotek, diketahui bahwa keempat apotek tersebut

    tergolong dalam pelayanan kefarmasian yang buruk (skor pencapaian < 65).

    Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi pelayanan kefarmasian di apotek

    tersebut meliputi peran PMA, kepemilikan apotek, kehadiran APA, motivasi

    kerja, pengetahuan apoteker, sikap apoteker, status apoteker, omset apotek,

    ketenagaan, peranan IAI (Ikatan Apoteker Indonesia Bali), fasilitas apotek, gaji,

    situasi kerja, dan manajemen pengelolaan obat maupun alkes di apotek.

    Setelah sepuluh tahun pasca pengesahan standar pelayanan kefarmasian di

    Apotek diberlakukan, muncul pertanyaan apakah standar ini benar-benar

    diimplementasikan oleh apoteker dalam melaksanakan aktifitas profesi di

    masyarakat khususnya pada apotek di Kota Denpasar.  Pharmaceutical care

    menuntut apoteker untuk memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat

    sehingga apoteker harus mengalokasikan waktunya lebih banyak untuk

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    7/97

    7

    memberikan pelayanan, berkomunikasi, dan memberikan jasa konsultasi atau

    konseling kepada pasien. Pelayanan kefarmasian yang mengacu pada Kepmenkes

    Republik Indonesia Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 secara optimal akan

    meningkatkan citra dan posisi apoteker. Apoteker tidak lagi dilihat sebagai

     prasyarat berdirinya suatu apotek dan tidak hanya sebagai toko obat, namun

     bertanggungjawab penuh dalam menjamin mutu, memberikan informasi tentang

    efek samping, indikasi, penggunaan terhadap obat yang dikonsumsi oleh pasien

    guna meningkatkan derajat kesehatan hidup pasien.

    Penelitian tentang kualitas pelayanan kefarmasian di apotek Kota

    Denpasar dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pelayanan kefarmasian

    yang dilakukan oleh apoteker belum pernah dilakukan. Berdasarkan hal tersebut

     perlu dilakukan penelitian tentang kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek-

    apotek Kota Denpasar agar diketahui tingkat keberhasilannya, faktor pendorong

    dan faktor penghambat yang berpengaruh terhadap kualitas pelayanan

    kefarmasian di apotek. Penelitian ini dapat dipergunakan untuk kepentingan

    monitoring terhadap kebijakan pemerintah terkait dengan kualitas pelayanan

    kefarmasian di Apotek.

    1.2 Rumusan Masalah

    1.  Bagaimana kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek-apotek Kota

    Denpasar ?

    2.  Bagaimana pengaruh faktor kehadiran APA terhadap kualitas pelayanan

    kefarmasian di Apotek-apotek Kota Denpasar ?

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    8/97

    8

    3.  Bagaimana pengaruh faktor motivasi APA terhadap kualitas pelayanan

    kefarmasian di Apotek-apotek Kota Denpasar ?

    4.  Bagaimana pengaruh faktor status APA terhadap kualitas pelayanan

    kefarmasian di Apotek-apotek Kota Denpasar ?

    5.  Bagaimana pengaruh faktor kepemilikan apotek terhadap kualitas

     pelayanan kefarmasian di Apotek-apotek Kota Denpasar ?

    1.3 Tujuan

    1.3.1  Tujuan Umum

    Untuk mengetahui kualitas pelayanan kefarmasian dan faktor-

    faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pelayanan kefarmasian oleh

    apoteker di apotek-apotek Kota Denpasar.

    1.3.2 

    Tujuan Khusus

    Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui :

    1.  Gambaran kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek-apotek Kota

    Denpasar

    2.  Pengaruh faktor kehadiran APA terhadap kualitas pelayanan

    kefarmasian di Apotek-apotek Kota Denpasar.

    3.  Pengaruh motivasi APA terhadap kualitas pelayanan kefarmasian

    di Apotek-apotek Kota Denpasar.

    4.  Pengaruh status APA terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di

    Apotek-apotek Kota Denpasar.

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    9/97

    9

    5. 

    Pengaruh faktor kepemilikan apotek terhadap kualitas pelayanan

    kefarmasian di Apotek-apotek Kota Denpasar.

    1.4 Manfaat Penelitian

    1.4.1 Manfaat Teoritis

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi

    khususnya untuk ilmu manajemen farmasi terkait tentang kualitas

     pelayanan kefarmasian oleh apoteker di apotek, faktor pendorong dan

    faktor penghambat terhadap kualitas pelayanan kefarmasian yang sesuai

    standar.

    1.4.2 Manfaat Praktis

    1. 

    Masyarakat

    Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan peranan

    apoteker dalam melaksanan pelayanan kefarmasian di apotek sehingga

    masyarakat mendapatkan pelayanan yang memadai.

    2.  Ikatan Apoteker Indonesia (IAI)

    Mengetahui implementasi pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian

     pada Apotek di Kota Denpasar dan sebagai bahan pertimbangan bagi IAI

    khususnya IAI Bali untuk lebih memaksimalkan peran Apoteker di Kota

    Denpasar sehingga dapat meperbaiki dan ikut meningkatkan pelayanan

    sesuai dengan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    10/97

    10

    3. 

    Pemerintah

    Bagi pemerintah khususnya Dinas Kesehatan Kota Denpasar dapat

    memberikan gambaran dan untuk kepentingan monitoring tentang kualitas

     pelayanan kefarmasian di apotek, serta dapat digunakan sebagai bahan

    masukan untuk mengadakan pelatihan dan pembinaan pada Apotek-apotek

    di Kota Denpasar.

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    11/97

    11

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    2.1 Pelayanan Kefarmasian oleh Apoteker

    PP 51 Tahun 2009 menyatakan bahwa tenaga kefarmasian adalah tenaga

    yang melakukan pekerjaan kefarmasian. Tenaga kefarmasian terdiri atas apoteker

    dan tenaga teknis kefarmasian. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus

    sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker. Sedangkan

    tenaga teknis kefarmasian merupakan tenaga yang membantu Apoteker dalam

    menjalani pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas sarjana farmasi, ahli madya

    farmasi, analis farmasi, dan tenaga menengah farmasi/asisten apoteker. Dalam

    melakukan praktek profesinya di apotek seorang apoteker harus memiliki Surat

    Tanda Registrasi Apoteker (STRA) dan Surat Ijin Praktek Apoteker (SIPA).

    STRA adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada Apoteker yang

    telah diregistrasi. SIPA adalah surat izin yang diberikan kepada Apoteker untuk

    dapat melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian pada Apotek atau Instalasi Farmasi

    Rumah Sakit.

    Berdasarkan Kepmenkes Nomor : 1027/Menkes/SK/IX/2004 standar

    kompetensi yang harus dimiliki oleh apoteker untuk melakukan pelayanan

    kefarmasian, diantaranya

    1.  Dapat memberi serta menyediakan pelayanan yang baik.

    Apoteker berkedudukan sebagai pengelola apotek diharapkan dapat

    melakukan pelayanan kefarmasian yang profesional. Saat melakukan

    11

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    12/97

    12

     pelayanan kepada pasien, apoteker sebaiknya mampu untuk

    mengintegrasikan pelayanan yang diberikan pada sistem pelayanan

    kesehatan secara menyeluruh. Dengan hal tersebut, diharapkan dapat

    dihasilkan suatu sistem pelayanan kesehatan berkesinambungan.

    2.  Memiliki kemampuan dalam menentukan keputusan yang profesional.

    Sebagai apoteker, diharapkan untuk berkompeten dalam bidangnya

    dan terus mau untuk belajar sesuai profesinya, sehingga apoteker

    tersebut dapat melakukan pengambilan keputusan yang tepat sesuai

    dengan efikasi, efektifitas dan efisiensi terkait pengobatan maupun

     perbekalan kesehatan lain.

    3.  Dapat melakukan komunikasi yang baik.

    Salah satu kemampuan penting yang harus dimiliki oleh apoteker

    adalah mampu untuk melakukan komunikasi yang baik dengan pasien

    ataupun profesi kesehatan lainnya sehingga diharapkan pengobatan

    yang dilakukan tepat dan tujuan pengobatan dapat tercapai.

    4.  Mampu menjadi pemimpin

    Apoteker diharapkan bisa menjadi seorang pemimpin dalam suatu

    organisasi atau group. Apoteker harus mampu untuk mengambil suatu

    keputusan yang efektif dan tepat, dapat menyebarkan informasi

    tersebut dan dapat melakukan pengelolaan terhadap suatu hasil

    keputusan.

    5.  Apoteker diharapkan bisa dan memiliki kemampuan dalam mengatur

    dan mengelola sumber daya yang ada.

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    13/97

    13

    6.  Belajar sepanjang masa.

    Pengobatan akan selalu berkembang seiring perkembangan

     pengetahuan dan teknologi, sehingga diharapkan apoteker akan selalu

     belajar untuk mengikuti perkembangan tersebut, sehingga keilmuan

    yang dimiliki selalu berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu

     pengobatan.

    7.  Membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk

    meningkatkan pengetahuan.

    Berdasarkan PP 51 Tahun 2009 terkait pekerjaan kefarmasian disebutkan bahwa

    dalam melakukan pekerjaan kefarmasian di tempat pelayanan kefarmasian seperti

    apotek, rumah sakit dll, seorang apoteker dapat :

    a.  Memiliki seorang Apoteker Pendamping untuk menggantikan tugas

    Apoteker Pengelola yang telah di lengkapi dengan SIPA;

     b.  Melakukan penggantian obat bermerk dagang dengan obat generic dimana

    zat aktif yang terkandung dalam kedua obat tersebut adalah sama dan

    meminta persetujuan kepada pasien/ dan dokter; dan

    c.  Melakukan penyerahan obat keras, obat psikotropika dan obat narkotika

    kepada pasien atas resep dokter berdasarkan peraturan undang-undang

    yang berlaku.

    d.  Berdasarkan KepMenKes RI No. 1027/MenKes/SK/IX/2004, apoteker

    adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi yang telah

    mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    14/97

    14

    dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai

    apoteker.

    Apoteker merupakan tenaga kesehatan professional yang banyak

     berhubungan langsung dengan masyarakat sebagai sumber informasi obat. Oleh

    karena itu, informasi obat yang diberikan pada pasien haruslah informasi yang

    lengkap dan mengarah pada orientasi pasien bukan pada orientasi produk. Dalam

    hal sumber informasi obat seorang apoteker harus mampu memberi informasi

    yang tepat dan benar sehingga pasien memahami dan yakin bahwa obat yang

    digunakannya dapat mengobati penyakit yang dideritanya dan merasa aman

    menggunakannya. Dengan demikian peran seorang apoteker di apotek sungguh-

    sungguh dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat (Menkes RI, 2014).

    2.2 Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Berdasarkan Kep Men Kes

    Nomor: 1027/Menkes/SK/IX/2004

    Latar belakang dikeluarkannya Keputusan Menteri Kesehatan Nomor:

    027/Menkes/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di Apotek adalah

     pelayanan yang saat ini orientasinya telah bergeser dari obat kepada pasien yang

    disebut dengan asuhan kefarmasian ( Pharmaceutical Care). Dengan pergeseran

    orientasi tersebut, maka apoteker dituntut untuk lebih aktif dalam berinteraksi

    langsung dengan pasien dan memberikan pelayanan kefarmasian yang

     beriorientasi kepada pasien. Pelayanan kefarmasian antara lain pelayanan

    swamedikasi terhadap pasien, melakukan pelayanan obat, melaksnakan pelayanan

    resep, maupun pelayanan terhadap perbekalan farmasi dan kesehatan, serta

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    15/97

    15

    dilengkapi dengan pelayanan konsultasi, informasi dan edukasi (KIE) terhadap

     pasien serta melakukan monitoring terkait terapi pengobatan pasien sehingga

    diharapkan tercapainya tujuan pengobatan dan memiliki dokumentasi yang baik.

    Oleh karena itu, apoteker perlu untuk terus meningkatkan pengetahuan,

    keterampilan dan perilaku sehingga diharapkan dapat meningkatkan derajat

    kesehatan pasien (Depkes RI, 2008).

    Ditetapkannya standar pelayanan kefarmasian bertujuan untuk digunakan

    sebagai pedoman oleh apoteker dalam menjalankan praktek keprofesiannya,

    memberikan perlindungan kepada masyarakat dari pelayanan yang tidak

     profesional, serta melindungi profesi dalam menjalankan praktek. Apoteker

    dituntut untuk melakukan pelayanan kefarmamsian yang bertanggungjawab dan

     professional sehingga tujuan pengobatan pasien dapat tercapai dan kualitas hidup

     pasien meningkat (Depkes RI, 2008).

    Pelayanan resep adalah permintaan tertulis dokter, dokter hewan, dokter

    gigi kepada apoteker untuk menyiapkan dan memberikan obat kepada pasien

     berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku. Adapaun yang termasuk

    dalam pelayanan resep antara lain : skrining resep, penyediaan dan penyerahan

    sediaan farmasi serta perbekalan kesehatan kepada pasien. Pelayanan resep terdiri

    dari pelayanan resep obat (golongan keras, bebas terbatas, dan obat bebas),

     pelayanan resep obat yang mengandung psikotropika dan obat narkotika (Depkes

    RI, 2008).

    Pelayanan informasi obat merupakan suatu pelayanan kefarmasian oleh

    apoteker dimana apoteker harus dapat memberikan keterangan/informasi secara

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    16/97

    16

    tepat dan jelas kepada pasien sehingga tujuan pengobatan dapat tercapai. Promosi 

    merupakan suatu  kegiatan yang memberdayakan masyarakat dengan melakukan

    motivasi melalui pemberian inspirasi kepada masyarakat, sehingga diharapkan

    masyarakat termotivasi untuk dapat melakukan peningkatan kualitas hidupnya

    secara mandiri. Edukasi  merupakan suatu  kegiatan yang memberdayakan

    masyarakat melalui pemberian pengetahuan terkait tentang terapi pengobatan dan

    mengikutsertakan pasien dalam pengambilan keputusan, yang bertujuan agar

    tujuan pengobatan dapat tercapai secara optimal. Sedangkan, konseling adalah

    suatu proses yang sistematis untuk melakukan identifikasi sehingga dapat

    menyelesaikan masalah pasien terkait dengan terapi pengobatan yang dijalani oleh

     pasien (Depkes RI, 2008).

    Pengelolaan sediaan farmasi maupun perbekalan kesehatan merupakan

    suatu kegiatan manajemen yang dimulai dari merencanakan, mengadakan,

    menerima, menyimpan dan menyerahkan kepada pasien. Adapun dengan

     pengelolaan diharapkan dapat tersedia sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan

     jenis, jumlah, waktunya tepat dan memiliki kualitas yang baik (Depkes RI, 2008).

    2.3 

    Penelitian-penelitian di Indonesia tentang Pelayanan Kefarmasian

    Pelayanan kefarmasian ( Pharmaceutical Care) adalah pelayanan yang

     berorientasi kepada pasien. Pelayanan kefarmasian ini mengarahkan pasien

    tentang kebiasaan/pola hidup untuk mendukung tercapainya keberhasilan

     pengobatan, memberikan informasi tentang program pengobatan yang dijalani

    oleh pasien, memonitoring hasil pengobatan dan bekerja sama dengan profesi lain

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    17/97

    17

    untuk mendukung tercapainya kualitas hidup pasien yang lebih baik. Berdasarkan

    hal tersebut, untuk menjamin mutu pelayanan kefarmasian kepada masyarakat

    maka dikeluarkan KepMenKes Nomor : 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang

    Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Dalam standar tersebut menyebutkan

     bahwa yang berhak melakukan pelayanan kefarmasian adalah tenaga kefarmasian

    yaitu asisten apoteker sebagai tenaga teknis kefarmasian dan apoteker sebagai

     penanggungjawab dalam pengobatan kepada pasien. Walaupun standar mutu

     pelayanan kefarmasian telah ditetapkan sejak tahun 2004, namun sampai saat ini

    mutu pelayanan kefarmasian masih dibawah standar. Penelitian di Kota Padang

    (Monita, 2009) menemukan bahwa standar pelayanan kefarmasian dengan

    kategori baik hanya mencapai 3%, kategori sedang 16% dan kategori kurang 81%.

    Diketahui bahwa faktor pendukung pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian

    yaitu (1) motivasi apoteker dalam bekerja, (2) dukungan PSA dan seluruh staf di

    apotek, (3) dukungan dan komitmen bersama  stakeholder terkait yaitu pembuat

    kebijakan dan regulasi, (4) instansi yang melakukan sosialisasi, monitoring dan

     pembinaan, (5) perguruan tinggi, (6) organisasi profesi. Sedangkan faktor

     penghambat adalah (1) apoteker belum berperan di apotek, (2) lemahnya

    dukungan dan evaluasi oleh pihak manajemen apotek, termasuk pengadaan sarana

    dan prasarana, (3) kurangnya sosialisasi, legislasi, dan (4) lemahnya kontrol

    regulasi oleh aparat terkait.

    Penelitian di Provinsi NTB tahun 2012 tentang pelaksanaan standar

     pelayanan kefarmasian pada 3 Rumah Sakit Umum Daerah Kelas C menemukan

     bahwa persentase pencapaian standar pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    18/97

    18

    masih kurang dari 75%. Pencapaian standar pelayanan kefarmasian untuk Rumah

    Sakit A yaitu 52,17%, Rumah sakit B 54,78% dan Rumah Sakit C 44,35%.

    Beberapa faktor penghambat pelaksanaan pelayanan kefarmasian yang optimal

    adalah (1) lemahnya dukungan pihak manajemen rumah sakit terhadap pelayanan

    farmasi, (2) pengadaan sarana dan prasarana penunjang pelayanan farmasi yang

    masih belum memadai, (3) kurangnya jumlah tenaga kefarmasian di instalasi

    farmasi, (4) sistem dokumentasi instalasi farmasi yang kurang baik, (5) kurangnya

    evaluasi yang terus menerus dalam upaya peningkatan kinerja instalasi farmasi

    dalam melaksanakan pelayanan farmasi (Sidrotullah, 2012).

    Penelitian dilakukan di Jakarta tentang faktor-faktor yang berhubungan

    dengan pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian pada apotek di DKI Jakarta.

    Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran pelaksanaan Standar

    Pelayanan Kefarmasian di Apotek (SPKA) dan mengetahui hubungan antara

    kepemilikan apotek, omset apotek, kehadiran APA dengan perolehan skor

     pelaksanaan SPKA. Rancangan penelitian ini adalah cross sectional. Populasi

     penelitian adalah seluruh APA di Jakarta. Pada penelitian ini dilakukan analisis

    univariat tentang karakteristik subjek, analisis bivariat untuk melihat hubungan

    antara masing-masing variabel. dan analisis multivariate. Variabel bebas meliputi

    kepemilikan apotek, omset apotek, dan kehadiran APA, sedangkan variabel

    tergantung yaitu perolehan jumlah skor rerata pelayanan obat bebas, pelayanan

    KIE, pelayanan obat resep dan pengelolaan obat. Hasil penelitian ini

    menunjukkan rerata skor pelaksanaan SPKA pada apotek di DKI Jakarta termasuk

    dalam kategori kurang baik dengan skor terendah 39 dan skor tertinggi 88.

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    19/97

    19

    Terdapat hubungan bermakna antara kepemilikan apotek, omset apotek dan

    kehadiran APA terhadap pelaksanaan SPKA. Pelaksanaan SPKA dipengaruhi

    oleh kepemilikan apotek, omset apotek dan kehadiran APA. Apotek cenderung

    memiliki kualitas pelayanan kefarmasian yang lebih baik apabila APA sebagai

     pemilik seluruh atau sebagian modal apotek. APA yang lebih sering hadir di

    apotek mempunyai kualitas pelayanan kefarmasian yang lebih baik. Demikian

     pula pada omset apotek yang tinggi mempengaruhi perolehan skor rerata SPKA

    tinggi pula. Secara keseluruhan kepemilikan dan kehadiran APA sangat

     berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kefarmasian apotek.

    Penelitian dilakukan di Kota Medan tentang Penerapan Standar Pelayanan

    Kefarmasian di apotek tahun 2008. Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif

    dengan model penelitian survey dan bersifat cross-sectional . Data dikumpulkan

    dari 68 responden melalui pengisian angket, metode pengambilan sampel adalah

    stratifikasi sampling. Berdasarkan penelitian tersebut, diketahui bahwa rata-rata

    skor penilaian pelayanan kefarmasian di apotek Kota Medan tahun 2008 adalah

    47,63% yang termasuk dalam kategori kurang. Diketahui berdasarkan faktor

    kepemilikan apotek, sebesar 67,65% apotek milik PMA dan dari jumlah tersebut

    apoteker yang tidak hadir di apotek setiap hari sebanyak 52,94%. Persentase

    tertinggi kehadiran apoteker dengan status kepemilikan apotek milik APA yaitu

    sebesar 78,57%. Sedangkan persentase kehadiran apotek dihubungkan dengan

    status APA (pekerjaan lain APA), persentase kehadiran paling tinggi adalah APA

    dengan pekerjaan lain-lain (Ginting, 2009).

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    20/97

    20

    Berdasarkan penelitian-penelitian tentang pelayanan kefarmasian yang

     pernah dilakukan diketahui bahwa, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap

     pelayanan kefarmasian oleh apoteker di apotek yaitu kehadiran APA, motivasi

    APA, status APA dan kepemilikan apotek.

    a.  Kehadiran APA

    Apotek merupakan sarana pelayanan kefarmasian kefarmasian tempat

    dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker (Depkes RI, 2009). Apoteker

     bertanggung jawab terhadap setiap kegiatan di apotek mulai dar i

     pelayanan obat maupun resep, dispensing obat, memberikan KIE kepada

     pasien, pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan, kegiatan

    administrasi di apotek hingga melakukan monitoring terhadap obat yang

    diberikan kepada pasien sehingga tujuan pengobatan dapat tercapai (IAI,

    2014). Oleh karena itu, kehadiran apoteker menjadi salah satu

    faktor penting yang mempengaruhi kualitas pelayanan

    kefarmasian di sarana pelayanan kesehatan seperti apotek. APA

    yang lebih sering hadir di apotek mempunyai skor pelayanan

    kefarmasian lebih tinggi dibandingkan dengan APA yang jarang

    hadir di apotek. Semakin tinggi tingkat kehadiran APA di

    apotek, kualitas pelayanan kefarmasiannya semakin baik

    (Harianto, dkk., 2008).

     b.  Motivasi APA

    Motivasi APA merupakan alasan yang menjadikan dorongan APA untuk

    hadir dan melakukan pelayanan kefarmasian di apotek. Motivasi merupakan

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    21/97

    21

    kekuatan yang dapat membangkitkan dorongan seseorang. Motivasi berupa

    rangsangan keinginan dan pemberian daya penggerak yang menciptakan

    kegairahan kerja seseorang agar mau bekerja sama, bekerja efektif dan

    terintegrasi dengan segala upayanya untuk mencapai kepuasaan (Hasibuan,

    2007). Kurangnya motivasi karyawan dalam bekerja dapat mempengaruhi

     produktivitas, sehingga mengakibatkan karyawan bekerja tidak optimal dan

    tujuan perusahaan tidak tercapai. Dengan meningkatkan produktivitas

    diharapkan akan tercapai tujuan dari perusahaan serta dapat meningkatkan

     barang atau jasa yang dihasilkan (Adryanto, 2012).

    c.  Status APA

    Status APA merupakan status pekerjaan apoteker penanggungjawab

    apotek dalam menjalankan praktek profesinya dalam beberapa tempat atau

     posisi. Status APA dapat dikategorikan menjadi status APA merangkap dan

    APA tidak merangkap. Status APA adalah beberapa posisi dan tanggung

     jawab yang diduduki oleh apoteker, misalnya sebagai pegawai negeri,

    apoteker di apotek lain ataupun pegawai swasta. Jika APA melakukan

     pekerjaan profesinya sebagai apoteker di apotek lain atau APA memiliki

     pekerjaan lain selain sebagai penanggungjawab apotek, maka apoteker

    tersebut dikategorikan sebagai APA status merangkap. Sedangkan jika APA

    hanya melakukan praktek kefarmasiannya pada 1 apotek tanpa ada pekerjaan

    lain di luar pekerjaan profesinya maka dikategorikan sebagai APA tidak

    merangkap. Berdasarkan PP 51 tentang pekerjaan kefarmasian dinyatakan

     bahwa apoteker sebagai penanggungjawab hanya dapat melaksanakan praktik

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    22/97

    22

    di 1 (satu) Apotik, atau puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit.

    Sedangkan untuk apoteker pendamping dapat melaksanakan praktik paling

     banyak di 3 (tiga) Apotek, atau puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit

    (Depkes, 2009). Kualitas pelayanan kefarmasian pada kelompok APA yang

    tidak merangkap lebih baik dibandingkan dengan kualitas pelayanan

    kefarmasian pada APA yang merangkap (Handayani, 2006).

    d.  Kepemilikan Apotek

    Kepemilikan apotek merupakan status kepemilikan dari sarana dan

     prasarana yang ada di apotek. APA yang memiliki sebagian atau seluruh

    saham di apotek cenderung memiliki kualitas pelayanan kefarmasian lebih

     baik dibandingkan dengan apotek yang seluruhnya dimiliki olek pemilik

    modal (PMA) (Harianto, dkk., 2008). Struktur kepemilikan memiliki pengaruh

    secara signifikan terhadap kinerja perusahaan. Semakin meningkat proporsi

    kepemilikan saham perusahaan maka semakin baik kinerja perusahaan

    (Ardianingsih, 2010).

    2.4 Apotek sebagai Tempat Pelayanan Kefarmasian

    Fasilitas kesehatan merupakan sarana yang digunakan tenaga kesehatan

    untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan, termasuk di dalamnya adalah

    apotek. Apotek merupakan salah satu fasilitas kefarmasian yang digunakan

    sebagai tempat untuk melakukan pekerjaan dan pelayanan kefarmasian oleh

    apoteker atau tenaga teknis kefarmasian. Apotek adalah sarana farmasi dalam

    melakukan peracikan, pencampuran, pengubahan bentuk, maupun penyerahan

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    23/97

    23

    obat dan perbekalan farmasi yang diperlukan masyarakat secara meluas dan

    merata (Depkes RI, 2008).

    Berdasarkan PP 51 tahun 2009 pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan

    termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,

     penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat,

     pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan

    obat, bahan obat dan obat tradisional. Sedangkan pelayanan kefarmasian

    merupakan pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang

     berkaitan dengan sediaan Farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti

    untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Dalam melakukan pekerjaan

    kefarmasian diperlukan sarana dan prasarana kefarmasian yang biasanya disebut

    fasilitas kefarmasian (PP 51, 2009).

    Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 1027/MenKes/SK/IX/2004

    menyatakan bahwa apotek adalah tempat untuk melakukan pekerjaan kefarmasian

    dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat.

    Yang termasuk sediaan farmasi yaitu obat, bahan obat, obat tradisional dan

    kosmetik. Sedangkan perbekalan kesehatan adalah semua bahan selain obat dan

     peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Apotek

    dikelola dan dipertanggungjawabkan oleh seorang apoteker yaitu dalam hal ini

    adalah Apoteker Pengelola Apotek (APA). APA harus memiliki izin praktek

    untuk melakukan pelayanan dan pekerjaan kefarmasian di apotek. Selain memiliki

    Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA) untuk dapat melakukan pelayanan dan

     pekerjaan kefamasian di apotek, apotek harus dilengkapi dengan Surat Izin

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    24/97

    24

    Apotek (SIA) yang masa berlakunya disesuaikan dengan kontrak yang dilakukan

    antara APA dengan PMA (Pemilik Modal Apotek).

    2.5 Pekerjaan Kefarmasian oleh Asisten Apoteker

    Berdasarkan PP 51 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian, tenaga

    kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian. Yang

    termasuk dalam tenaga kefarmasian adalah apoteker dan tenaga teknis

    kefarmasian/Asisten Apoteker. Tenaga teknis kefarmasian terdiri atas sarjana

    farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi.

    Dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian di apotek, apoteker dapat dibantu oleh

    Apoteker Pendamping (APING) dan atau Asisten Apoteker. Dalam menjalankan

    tugasnya pada fasilitas pelayanan kesehatan seorang asisten apoteker harus

    memiliki Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian (STRTTK) yang

    merupakan bukti tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada Tenaga Teknis

    Kefarmasian yang telah diregistrasi. Selain harus teregistrasi, asisten apoteker

     juga harus memiliki Surat Ijin Kerja Asisten Apoteker (SIKAA). SIKAA adalah

     bukti tertulis yang diberikan pemegang Surat Izin Kerja Asisten Apoteker untuk

    melakukan pekerjaan kefarmasian di sarana kefarmasian. Sarana kefarmasian

    merupakan tempat yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian

    antara lain industri farmasi, instalasi farmasi, apotek dan toko obat (Depkes RI,

    2009).

    Pekerjaan kefarmasian yang dilakukan oleh asisten apoteker adalah

     pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    25/97

    25

     pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat atas resep dokter, pelayanan

    informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.

    Pekerjaan kefarmasian yang dilakukan oleh Asisten Apoteker dilakukan dibawah

     pengawasan apoteker (Depkes RI, 2003).

    2.6 Teori Perilaku

    Beberapa teori perilaku di bidang kesehatan diantaranya Teori ABC

    yang dicetuskan oleh Sulzer, Azaroff dan Mayer, Teori Reaction-action yang

    dicetuskan oleh Fesbein dan Ajzen, Teori Thought anf Feeling yang

    dirumuskan oleh WHO dan Teori Preced-Proceed   yang dicetuskan oleh

    Lawrence Green. Dari sekian banyak teori perilaku kesehatan yang ada, Teori

    Lawrence Green merupakan yang paling populer dan paling banyak digunakan

    karena mudah dimengerti. Teori Lawrence Green  membagi faktor yang

    mempengaruhi perilaku kesehatan masyarakat menjadi 3 faktor utama, faktor

     predisposisi (predisposing factor),  faktor pemungkin (enabling factor)  dan

    faktor penguat (reinforcing factor ) (Notoadmojo S, 2007). 

    Untuk menelaah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitas

     pelayanan kefarmasian di apotek teori yang sesuai adalah Teori  Lawrence

    Green  tentang perilaku kesehatan. Pelaksanaan pelayanan kefarmasian di

    apotek pada dasarnya merupakan perilaku dari orang-orang yang

     berkompenten dalam bidang farmasi dalam hal ini adalah apoteker yang

     bertanggungjawab atas obat-obatan yang diserahkan kepada pasien untuk

    meningkatkan kualitas hidup pasien. Kualitas pelayanan kefarmasian di apotek

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    26/97

    26

    sangat dipengaruhi oleh perilaku dari apotekernya, yaitu sejauh mana apoteker

    tersebut mau dan mampu untuk melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai

    dengan standar sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan pasien. 

    Apoteker memiliki peranan yang sangat penting untuk terciptanya

    kualitas pelayanan kefarmasian yang lebih baik. Apoteker yang memiliki

    tanggung jawab terhadap obat yang diserahkan kepada pasien. Apoteker juga

     berperan sentral di apotek yaitu sebagai pelaksana pelayanan resep, pelayanan

    obat, pelayanan KIE dan pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan

    kesehatan (Depkes RI, 2006).

    Berdasarkan teori sebelumnya, disebutkan bahwa faktor-faktor yang

    mempengaruhi kualitas pelayanan kefarmasian di apotek adalah kehadiran

    APA, status APA, motivasi APA dan kepemilikan apotek. Dari keempat

    faktor tersebut yang dapat dipengaruhi oleh perilaku apoteker yaitu faktor

    kehadiran APA, status APA dan motivasi APA. Dalam pendekatan

    menggunakan teori  Lawrence Green, kehadiran APA dipengaruhi oleh 3

    faktor yaitu faktor predisposisi yang meliputi gaji, sikap APA, dan

     pengetahuan APA; faktor pemungkin meliputi jarak ke apotek, peran PMA,

    ketenagaan di apotek, situasi dan hubungan kerja di apotek dan kelengkapan

    apotek; dan faktor penguat meliputi peraturan dan pelatihan tentang pelayanan

    kefarmasian, serta peran IAI. Motivasi APA dalam memberikan pelayanan

    dipengaruhi juga oleh 3 faktor yaitu faktor predisposisi meliputi pengetahuan,

    sikap dan gaji; faktor pemungkin meliputi omzet apotek, bonus, fasilitas

    apotek, jumlah pasien, jumlah lembar resep (LR), situasi dan hubungan kerja

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    27/97

    27

    di apotek; faktor penguat meliputi pelatihan, peraturan dan peran IAI.

    Sedangkan keputusan APA untuk merangkap atau tidak merangkap (status

    APA) dipengaruhi oleh faktor predisposisi yang meliputi pengetahuan, sikap

    dan gaji; faktor pemungkin meliputi peran Pemilik Modal Apotek (PMA) dan

    ketenagaan; faktor penguat meliputi pelatihan dan peraturan tentang pelayanan

    kefarmasian.

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    28/97

    28

    BAB III

    KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

    3.1  Kerangka Berpikir

    Pelayanan kefarmasian saat ini dikenal dengan  Pharmaceutical Care 

    dimana pelayanan kefarmasian yang lebih berorientasi kepada pasien. Saat ini,

    apoteker dituntut untuk lebih melakukan interaksi terhadap pasien. Dalam

     pemberian obat, harus selalu dilakukan konsultasi, informasi dan edukasi

    (KIE) terhadap pasien sehingga diharapkan pasien mendapatkan pengobatan

    yang rasional dan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.

     Namun sampai saat ini, dari berbagai studi diketahui bahwa banyak

     pelayanan kefarmasian yang masih dibawah standar. Penelitian di DKI Jakarta

    tahun 2013 menunjukkan bahwa sebanyak 76,5% apoteker yang kehadirannya

    kurang dari 40 jam per minggu dan 38,60% standar pelayanan di apoteknya

    masih dalam kategori pelayanan yang kurang baik. Di Kota Padang sebanyak

    81% apotek standar pelayanan kefarmasiannya termasuk dalam pelayanan

    yang kurang baik.

    Setelah sepuluh tahun pasca pengesahan standar pelayanan

    kefarmasian di apotek diberlakukan, muncul pertanyaan apakah standar

     pelayanan ini benar-benar diimplementasikan oleh apoteker dalam

    melaksanakan aktifitas profesi di masyarakat khususnya pada apotek. Ingin

    diketahui bagaimana gambaran kualitas pelayanan kefarmasian di apotek Kota

    28

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    29/97

    29

    Denpasar dan faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap kualitas

     pelayanan tersebut.

    Adapun yang menjadi kerangka berfikir dari penelitian ini adalah

    tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitas pelayanan

    kefarmasian oleh apoteker di apotek berdasarkan standar pelayanan

    kefarmasian di apotek yaitu Kepmenkes RI Nomor:1027/Menkes/SK/IX/2004.

    Yang termasuk dalam pelayanan kefarmasian berdasarkan Kepmenkes RI

     Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 adalah pelayanan resep, pelayanan obat,

     pelayanan KIE (konseling, informasi dan edukasi) serta pengelolaan sediaan

    farmasi dan perbekalan kesehatan.

    Penelitian ini dibuat berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya dan

    dikombinasikan dengan pendekatan dari teori  Lawrence Green. Berdasarkan

     penelitian sebelumnya diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi

    kualitas pelayanan kefarmasian oleh apoteker di apotek adalah kepemilikan

    apotek, kehadiran APA (Apoteker Pengelola Apotek), motivasi APA serta

    status APA.

    3.2 

    Konsep Penelitian

    Konsep pada penelitian adalah untuk memberikan gambaran tentang

    kualitas pelayanan kefarmasian di apotek kota Denpasar dan menjelaskan

    tentang faktor-faktor (variabel bebas) apa saja yang memiliki pengaruh

    terhadap kualitas pelayanan kefarmasian oleh apoteker di apotek sesuai

    dengan Kepmenkes RI Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 (variabel

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    30/97

    30

    tergantung). Adapun untuk kerangka konsepnya dapat dilihat pada Gambar 3.1

    tentang konsep penelitian.

    Gambar 3.1 Konsep Penelitian

    Faktor Predisposisi :1.  Gaji2.  Sikap

    3.  PengetahuanFaktor Pemungkin :

    1.  Jarak2.  Peran PMA

    3.  Ketenagaan4.  Situasi dan hubungan

    kerja

    5. 

    Kelengkapan apotekFaktor Penguat :

    1.  Peraturan

    2.  Peran IAI3.  Pelatihan

    1. 

    Kehadiran APA

    2. Motivasi APA

    Faktor Predisposisi :1.  Pengetahuan

    2.  Sikap3.  Gaji

    Faktor Pemungkin :1.  Omzet Apotek

    2.  Bonus3.

     Fasilitas apotek

    4.  Jumlah pasien5.  Jumlah LR

    6.  Situasi dan hubungankerja

    Faktor Penguat :1.  Pelatihan2.  Peraturan3.  Peran IAI

    3. Status APA

    Faktor Predisposisi :

    1.  Pengetahuan

    2. 

    Sikap3.  Gaji

    Faktor Pemungkin :1.  Peran PMA2.  Ketenagaan

    Faktor Penguat :

    1.  Pelatihan2.  Peraturan

    Kualitas

    Pelayanan

    Kefarmasian di

    A otek

    Keterangan :

    = variabel yang diteliti

    = variabel yang tidakditeliti

    4. Kepemilikan Apotek

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    31/97

    31

    Berdasarkan Gambar 3.1 dapat dijelaskan yang merupakan variabel

     bebas dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap

    kualitas pelayanan kefarmasian di apotek yaitu kehadiran APA, motivasi

    APA, status APA dan kepemilikan apotek. Variabel tergantung dalam

     penelitian ini yaitu kualitas pelayanan kefarmasian di apotek. Masing-masing

    variabel pada variabel bebas tersebut kemudiaan ditelaah kembali dengan

     pendekatan teori  Lawrence Green  untuk mengetahui secara lebih mendalam

    faktor-faktor yang berpengaruh terhadap variabel bebas (kepemilikan apotek,

    kehadiran APA, motivasi APA dan status APA). Dalam teori  Lawrence Green 

    diketahui terdapat 3 faktor meliputi : faktor predisposisi, faktor enabling dan

    faktor penguat.

    3.3 

    Hipotesis

    Berdasarkan konsep penelitian tersebut dapat dibuat hipotesis sebagai

     berikut :

    1.  Kehadiran APA berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di

    Apotek-apotek Kota Denpasar.

    2. 

    Motivasi APA berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di

    Apotek-apotek Kota Denpasar.

    3.  Status APA berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di

    Apotek-apotek Kota Denpasar.

    4.  Status kepemilikan apotek berpengaruh terhadap kualitas pelayanan

    kefarmasian di Apotek-apotek Kota Denpasar.

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    32/97

    32

    BAB IV

    METODE PENELITIAN

    4.1 Rancangan Penelitian

    Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat observasional dengan

    rancangan yang digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas

    terhadap variabel tergantung adalah cross-sectional  analitik. Keuntungan dari

     penggunaan rancangan penelitian ini adalah waktu yang diperlukan untuk

     pelaksanaan penelitian lebih singkat dan mengidentifikasi suatu faktor risiko.

    Sedangkan kelemahan dari rancangan ini adalah syarat hubungan temporal

    dalam mengidentifikasi faktor tidak terpenuhi karena antara variabel bebas

    dan tergantung diukur pada waktu yang bersamaan.

    4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

    Lokasi penelitian dilaksanakan pada apotek-apotek di Kota Denpasar

    dan waktu penelitian dilakukan selama 7 bulan dari Oktober tahun 2014  –  

    April tahun 2015.

    4.3 Ruang Lingkup Penelitian

    Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian kesehatan masyarakat

    khususnya pada bidang pelayanan obat-obatan (kefarmasian). Penelitian ini

    terbatas pada bagaimana gambaran dan faktor-faktor yang mempengaruhi

    32

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    33/97

    33

    kualitas pelayanan kefarmasian oleh apoteker di apotek sehingga berdampak

     pada peningkatan kesehatan dan kualitas hidup pasien.

    4.4 Penentuan Sumber Data

    Populasi pada penelitian adalah seluruh APA di apotek Kota

    Denpasar, Provinsi Bali. Pengambilan sampel dilakukan secara acak (random

     sampling)  dengan Systematic Random Sampling.  Data yang digunakan pada

     penelitian ini adalah data primer yang bersumber dari wawancara terstruktur

    dan  self-administered-questionnaires  yang dilakukan terhadap APA di Kota

    Denpasar. Jumlah sampel dihitung berdasarkan rumus besar sampel untuk uji

    hipotesis terhadap 2 proporsi (Sudigdo, 2011) sebagai berikut :

    2

    21

    2

    2211

    )(

    )2(

     P  P 

    Q P Q P  PQn

        

     

    Keterangan :

    n = Besar sampel untuk 1 kelompok

    α  = Batas kemaknaan yg diinginkan (5%)

    1-β = Kekuatan penelitian yg diinginkan (80%)

    Zα = Angka galat baku normal untuk α (1,96)

    Zβ = Angka galat baku normal untuk 1-β (0,84) 

    P2 = Proporsi apotek yang nilai standar pelayanan kefarmasiannya baik

    sesuai dengan KepMenkes Kepmenkes RI Nomor

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    34/97

    34

    1027/Menkes/SK/IX/2004 pada populasi. Berdasarkan penelitian

    Penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek di Kota Medan

    oleh Fakultas Farmasi Universitas Sumatra Utara di Medan didapatkan

     proporsi apotek yang pelayanan kefarmasiannya baik sebesar 10%.

    P1 = Proporsi apotek yang standar pelayanan kefarmasiannya baik pada

     populasi yang mengalami faktor risiko. Dilakukan estimasi (analogi)

     bahwa proporsi apotek yang pelayanan kefarmasiannya baik dengan

    status APA yang tidak merangkap sebesar 25% lebih tinggi

    dibandingkan P2 sehingga didapat P1 sebesar 35%.

    Q = 1 - P

    Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, jumlah sampel minimal untuk satu

    kelompok sebanyak 34. Sehingga total sampel sebanyak 68 APA.

    4.5 Variabel Penelitian

    Variabel Definisi OperasionalCara dan

    Alat UkurHasil Ukur Skala

    Variabel Tergantung

    Kualitas pelayanan

    kefarmasian

    di apotek

    Pelaksanaan standar

     pelayanan kefarmasian di

    apotek oleh APA sesuai

    dengan Kepmenkes RI

     Nomor

    1027/Menkes/SK/IX/2004

    meliputi : pelayanan

    resep, pelayanan obat,

     pelayanan KIE, dan

     pengelolaan obat.

     self-

    administered-

    questionnaires

     , observasi

    dan

    wawancara

    terstruktur  

    Penilaian skor

    kualitas

     pelayanan

    kefarmasian

    didasarkan

     pada nilai

    median, yang

    kemudian

    dibagi menjadi

    2 kategori,

    yaitu, untuk

     Nominal

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    35/97

    35

    nilai skor :

    61-100 = Baik

    20-60 = BurukVariabel Bebas 

    Kehadiran

    APA

    Datang atau tidaknya

    APA ke apotek untuk

    melakukan pelayanan

    kefarmasian di apotek

    yaitu pelayanan resep, pelayanan obat, pelayanan

    KIE, dan pengelolaan

    sediaan farmasi dan

     perbekalan kesehatan

    Wawancara

    Testruktur,

     self  

    administeredquisioner  

    dan

    observasi

    1 = Tidak

    hadir dan

    hadir tidak

    setiap hari,

    tidakmelakukan

     pelayanankefarmasian

    2 = hadir tidak

    setiap hari,melakukan

     pelayanan

    kefarmasian

    3 = hadir setiap

    hari,

    melakukan

     pelayanan

    kefarmasian

     Nominal

    Motivasi

    APA

    Alasan APA melakukan

     pelayanan kefarmasian di

    apotek

    Wawancara

    Terstruktur, self  

    administered

    quisioner  

    dan

    observasi

    1 = Motivasikurang

    2 = Motivasi

     baik

     Nominal

    Status APA

    Beberapa posisi dan

    tanggung jawab yang

    diduduki oleh apoteker,

    misalnya sebagai pegawai

    negeri, apoteker di apotek

    lain.

    Wawancara

    Terstruktur

    dan

    observasi

    1 = Merangkap2 = Tidak

    merangkap

     Nominal

    Kepemilikanapotek

    Status dari kepemilikan

    sarana dan prasarana

    apotek

    Wawancara

    Terstruktur

    1 = Milik PMA

    (Pemilik

    Modal

    Apotek)

    2 = Milik APA

     Nominal

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    36/97

    36

    4.5.1 Identifikasi Variabel

    Variabel bebas dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang berpengaruh

    terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di apotek yaitu kepemilikan apotek,

    kehadiran APA, motivasi APA dan status APA. Sedangkan variabel tergantung

    dalam penelitian ini yaitu kualitas pelayanan kefarmasian di apotek.

    4.6 Instrumen Penelitian dan Teknik Pengambilan Data

    Data-data variabel tergantung dan variabel bebas dikumpulkan dengan

    melakukan kunjungan ke apotek. Data variabel bebas dikumpulkan dengan

    melakukan wawancara terstruktur terhadap APA (terlampir : Form 1),  self

    administered quisioner   terhadap pegawai apotek (terlampir : Form 2) dan

    observasi (terlampir : Form 3). Data variabel bebas yang didapatkan pada form 1

    yaitu wawancara yang dilakukan terhadap APA dicocokkan dan digabungkan

    (validasi data) dengan data yang terdapat pada form 2 yang diisi oleh pegawai

    apotek serta disesuaikan dengan data observasi yang didapat.

    Data variabel tergantung dikumpulkan dengan memberikan angket

     penilaian pelayanan kefarmasian sesuai dengan Kepmenkes Nomor:

    1027/Menkes/SK/IX/2004) (terlampir : Form 2) kepada pegawai apotek untuk

    dilakukan pengisisian sendiri (self administered quisioner) sesuai dengan

    keadaan di apotek tersebut. Data variabel tergantung yang didapatkan, disesuaikan

    atau dilakukan validasi data dengan mengacu pada data form 1 (wawancara

    terhadap APA) dan form 3 (observasi) agar sesuai dengan keadaan di apotek.

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    37/97

    37

    4.7Analisis Data

    Data yang dikumpulkan dianalisis secara univariat, bivariat dan

    multivariat. Analisis unvariat (deskriptif) dilakukan untuk menggambarkan

    karakteristik subjek penelitian. Hasil analisis univariat ditampilkan dalam bentuk

    tabel distribusi ferkuensi.

    Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara masing-masing

    variabel bebas yaitu kehadiran APA, motivasi APA, status APA dan kepemilikan

    apotek sedangkan variabel tergantung yaitu jumlah skor pelayanan kefarmasian di

    apotek. Untuk mengetahui hubungan masing-masing variabel bebas dengan

    variabel tergantung terlebih dahulu dibuat tabulasi silang 2 x 2 dengan variabel

     bebas berada di row dan variabel tergantung berada di kolom. Kemudian dihitung

    odd ratio  (OR) yang merupakan ukuran asosiasi. Interpretasi terhadap odd ratio 

    adalah bila OR > 1 maka variabel bebas merupakan faktor yang meningkatkan

    resiko terjadinya variabel tergantung. Bila odd ratio  < 1 maka variabel bebas

    merupakan faktor pencegah terjadinya variabel tergantung. Apabila odd ratio = 0,

    maka interpretasinya tidak ada pengaruh antara varibel bebas dengan variabel

    tergantung. Uji statistik yang digunakan untuk menilai apakah hubungan tersebut

     bermakna atau tidak secara statistik adalah chi square test . Kemaknaan secara

    statistik dinilai menggunakan 95% Confidence Interval  (CI) dan nilai p. Bila nilai

     p ≤ 0,05 maka pengaruh tersebut dinyatakan bermakna secara statistik. Sedangkan

    apabila nilai p > 0,05 maka pengaruh tersebut dinyatakan tidak bermakna secara

    statistik.

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    38/97

    38

    Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui pengaruh murni

    (independent ) masing-masing variabel bebas terhadap variabel tergantung.

    Analisis multivariat dilakukan dengan cara memasukkan semua variabel bebas

    secara bersama-sama ke dalam model regresi logistik. Ukuran asosiasi yang

    didapat dari uji regresi logistik adalah adjusted odd ratio dimana interpretasinya

    sama dengan odd ratio  hasil uji bivariat. Kemaknaan secara statistik dinilai

    menggunakan 95% Confidence Interval  (CI) dan nilai p. Bila nilai p ≤ 0,05 maka

     pengaruh tersebut dinyatakan bermakna secara statistik. Sedangkan apabila nilai p

    > 0,05 maka pengaruh tersebut dinyatakan tidak bermakna secara statistik.

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    39/97

    39

    BAB V

    HASIL PENELITIAN

    5.1 Karakteristik Subjek Penelitian, Kehadiran APA, Motivasi APA, Status

    APA, Kepemilikan Apotek dan Kualitas Pelayanan Kefarmasian

    Dalam penelitian ini dilakukan survey terhadap 68 Apoteker Pengelola

    Apotek (APA) di Apotek Kota Denpasar dari jumlah keseluruhan apotek di Kota

    Denpasar sebanyak 241 apotek. Namun berdasarkan data yang didapatkan dari

    Dinas Perijinan Kota Denpasar tahun 2014, dari 241 apotek yang terdaftar banyak

    apotek yang ternyata sudah tidak beroperasi. Hal ini disebabkan karena apotek

    yang tutup atau pindah tidak melapor kembali ke Dinas Perijinan Kota Denpasar.

    Sebanyak 68 APA yang digunakan sebagai sampel diambil secara acak (random

     sampling) dengan systematic random sampling . Karena data yang didapatkan dari

    Dinas Perijinan Kota Denpasar tidak sesuai dengan jumlah apotek yang beroperasi

     pada saat itu, sehingga sempat menyulitkan peneliti dalam melakukan survey.

    Beberapa kali apotek yang dikunjungi tutup, alamatnya tidak sesuai atau tidak

    ditemukan dan banyak juga APA yang tidak mau dijadikan sampel penelitian.

    Secara keseluruhan gambaran karakteristik responden penelitian disajikan pada

    Tabel 5.1

    Uji univariat yang dilakukan terhadap karakteristik umur APA diketahui

     bahwa rentang umur APA di apotek Kota Denpasar yaitu 22-79 tahun. Jumlah

    APA paling tinggi terdapat pada kategori umur antara 20-35 tahun yaitu sebanyak

    42 APA (61,8%). Sedangkan jumlah paling sedikit terdapat pada kategori umur

    >50 tahun, yaitu sebanyak 9 APA (13,2%). Untuk kategori umur antara 36-50

    39

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    40/97

    40

    tahun terdapat sebanyak 17 APA (25%). Rata-rata umur APA 33 tahun (19%) SD

    (±13,4).

    Tabel 5.1

    Gambaran Karakteristik Subjek, Kehadiran APA, Motivasi APA, Status

    APA dan Kepemilikan Apotek

    Karakteristik Subjek (n=68) f %

    Umur APA

    20-35 tahun 42 61.8

    36-50 tahun 17 25

    >50 tahun 9 13.2Jenis Kelamin

    Laki-laki 27 39.7

    Perempuan 41 60.3

    Pendidikan

    S1+Profesi 58 85.3

    S1+ Profesi + S2 10 14.7

    Lama berprofesi Apoteker

    ≤10 tahun 45 66.2

    11-20 tahun 15 22.121-30 tahun 2 2.9

    >30 tahun 6 8.8Lama APA

    ≤10 tahun 58 85.311-20 tahun 7 10.3

    21-30 tahun 1 1.5

    >30 tahun 2 2.9

    Kehadiran APA

    Kehadiran 1 19 27.9

    Kehadiran 2 35 51.5

    Kehadiran 3 14 20.6

    Motivasi APA

    Kurang Baik 21 30.9

    Baik 47 69.1

    Status APA

    Merangkap 22 32.3

    Tidak Merangkap 46 67.7

    Kepemilikan ApotekMilik PMA 54 79.4

    Milik APA 14 20.6Kualitas Pelayanan Kefarmasian

    Baik 35 51.5

    Buruk 33 48.5

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    41/97

    41

    Distribusi terhadap karakteristik jenis kelamin APA, dimana kelompok

    APA yang berjenis kelamin perempuan (60,3%) lebih tinggi dibandingkan

    kelompok APA yang berjenis kelamin laki-laki (39,7%). Berdasarkan distribusi

     pendidikan APA, kelompok APA S1+Profesi (85,3%) dan kelompok APA dengan

     pendidikan selain itu, yaitu S2 sebanyak 14,7%.

    Untuk karakteristik lama berprofesi sebagai apoteker paling lama adalah

    36 tahun dan paling sedikit adalah 1 tahun. Rata-rata APA yang sudah berprofesi

    sebagai apoteker adalah 8 tahun (14,5%) dengan SD (±9,8). Jumlah APA yang

     paling tinggi telah lama berprofesi sebagai apoteker adalah

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    42/97

    42

    tidak melakukan pelayanan kefarmasian) dan kehadiran 2 (APA tidak hadir setiap

    hari dan melakukan pelayanan kefarmasian) masih belum memenuhi standar

    sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian yang baik. Namun hasil yang

    didapatkan, kehadiran 3 masih sangat rendah hanya 20,6% (14 APA)

    dibandingkan dengan kehadiran 1 sebanyak 27,9% (19 APA) dan kehadiran 2

    sebanyak 51,5% (35 APA).

    Untuk karakteristik motivasi APA menunjukkan kelompok APA yang

    memiliki motivasi baik untuk melakukan pelayanan kefarmasian lebih tinggi yaitu

    69,1% (47 APA) dibandingkan dengan APA dengan motivasi yang kurang baik

    yaitu 30,9% (21 APA).

    Distribusi berdasarkan status APA yaitu kelompok APA yang merangkap

    dan kelompok APA tidak merangkap, jumlah kelompok APA yang tidak

    merangkap lebih banyak yaitu 46 APA (67,7%) dibandingkan dengan dengan

    kelompok kelompok APA yang merangkap yaitu 22 (32,3%).

    Uji unvariat yang dilakukan terhadap karakteristik subjek berdasarkan

    status kepemilikan apotek diketahui distribusi apotek yang dimiliki sendiri oleh

    APA lebih kecil yaitu 20,6% (14 apotek) dibandingkan dengan apotek yang

    diberikan modal oleh PMA 79,4% (54 apotek).

    Distribusi kualitas pelayanan kefarmasian di apotek menunjukkan bahwa

    apotek yang memiliki kualitas pelayanan kefarmasian yang buruk di Kota

    Denpasar masih cukup tinggi sebesar 48,5% (33 apotek), walaupun apotek dengan

    kualitas pelayanan kefarmasian yang baik jumlahnya lebih banyak daripada

    apotek dengan kualitas pelayanan kefarmasian buruk yaitu 51,5% (35 apotek).

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    43/97

    43

    5.2 Uji Bivariat Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kualitas

    Pelayanan Kefarmasian oleh Apoteker di Apotek

    Seiring dengan terjadinya perubahan paradigma pelayanan kefarmasian

    dan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di apotek, maka

    telah dikeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

    1027/Menkes/SK/IX/2004 yang mengatur tentang standar pelayanan kefarmasian

    di apotek. Standar ini merupakan pedoman serta praktek apoteker dalam

    menjalankan profesi, melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak

     profesional, serta melindungi profesi dalam menjalankan praktek profesinya.

    Adapun kualitas pelayanan kefarmasian di apotek dipengaruhi oleh beberapa

    faktor, di antaranya kehadiran APA, kepemilikan apotek, motivasi APA dan status

    APA. Untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap kualitas

     pelayanan kefarmasian dilakukan uji bivariat.

    Uji bivariat dilakukan dengan terlebih dahulu membuat tabel silang

    kualitas pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan variabel bebas yang diteliti.

    Kualitas pelayanan kefarmasian berada di kolom sedangkan variabel bebas berada

    di row  kemudian disajikan dengan dalam persentase row. Kemudian dinilai

    hubungan variabel bebas dengan kualitas pelayanan kefarmasian dengan cara

    menghitung odd ratio  (OR). Adapun hasil analisis bivariat dapat dilihat pada

    Tabel 5.2.

    Dari uji bivariat yang telah dilakukan menunjukkan bahwa semakin tinggi

    kehadiran APA, maka APA akan lebih sering melakukan pelayanan kefarmasian

    di apotek sehingga kualitas pelayanan kefarmasian di apotek juga semakin baik.

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    44/97

    44

    Motivasi APA yang baik dan status APA yang dalam pekerjaanya tidak

    merangkap akan memberikan peluang untuk memberikan pelayanan kefarmasian

    yang lebih baik dibandingkan dengan motivasi APA yang kurang baik dan status

    APA yang merangkap dalam pekerjaannya. Untuk faktor kepemilikan, apotek

    yang dimiliki oleh APA sendiri, cenderung kualitas pelayanan kefarmasiannya

    lebih baik dibandingkan apotek yang tidak dimiliki oleh APA sendiri.

    Tabel 5.2

    Hasil Analisis Bivariat Pengaruh Faktor Kehadiran APA, Motivasi APA,Status APA dan Kepemilikan Apotek terhadap Kualitas Pelayanan

    Kefarmasian di Apotek

    Variabel

    Kualitas Pelayanan

    Kefarmasian OR 95%CI Nilai

     pKurang, n (%) Baik, n (%)

    Kehadiran APAKehadiran 1 15 (79.0) 4 (21.0) Ref

    Kehadiran 2 15 (42.9) 20 (57.1) 5.0 1.4 - 18.2 0.01Kehadiran 3 5 (35.7) 9 (64.3) 6.75 1.4 - 31.9 0.01

    Motivasi APAKurang 14 (66.7) 7 (33.3) Ref

    Baik 21 (44.7) 26 (55.3) 2.5 0.8 –  8.6 0.09

    Status APA

    Merangkap 15 (68.2) 7 (31.8) Ref

    Tidak Merangkap 20 (43.5) 26 (56.5) 2.8 0.9 –  9.6 0.05

    Kepemilikan Apotek

    Milik PMA 31 (57.4) 23 (42.6) Ref

    Milik APA 4 (28.6) 10 (71.4) 3.4 0.8 –  16.3 0.05

    Berdasarkan Tabel 5.2 di atas, pada faktor kehadiran, kehadiran 1 yaitu APA

    tidak hadir dan atau tidak hadir setiap hari dan tidak melakukan pelayanan

    kefarmasian proporsi kualitas pelayanan kefarmasian baik 21,0%. Untuk

    kehadiran 2 yaitu APA tidak hadir setiap hari dan melakukan pelayanan

    kefarmasian, proporsi kualitas pelayanan kefarmasian baik 57,1%. Pada kehadiran

    3 yaitu APA hadir setiap hari dan melakukan pelayanan kefarmasian, proporsi

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    45/97

    45

    kualitas pelayanan kefarmasian baik 64,3%. Semakin baik tingkat kehadiran APA

    maka peluang kualitas pelayanan kefarmasiannya juga semakin baik. Hal ini juga

    didukung dengan nilai OR-nya yang semakin meningkat. Peluang apotek untuk

    dapat memberikan kualitas pelayanan kefarmasian baik 5 kali lebih baik pada

    kehadiran 2 dibandingkan dengan kehadiran 1 dan peluang apotek untuk dapat

    memberikan pelayanan kefarmasian yang baik 6,75 kali lebih baik pada kehadiran

    3 dibandingkan dengan kehadiran 2 (p = 0,01).

    Pada uji bivariat pengaruh faktor motivasi APA terhadap kualitas pelayanan

    kefarmasian di apotek menunjukkan bahwa pada kelompok motivasi APA baik

    akan memberikan kualitas pelayanan kefarmasian lebih baik (55,3%)

    dibandingkan pada kelompok motivasi APA kurang (33,3). Peluang apotek untuk

    memberikan kualitas pelayanan kefarmasian yang baik pada kelompok motivasi

    APA baik 2,5 kali dibandingkan dengan kelompok motivasi APA yang kurang

    (p = 0,09).

    Untuk status APA, kelompok APA yang tidak merangkap akan memberikan

    kualitas pelayanan kefarmasian baik (56,6%) dibandingkan dengan kelompok

    APA merangkap (31,8%). Peluang apotek untuk memberikan pelayanan

    kefarmasian baik pada kelompok APA yang tidak merangkap 2,8 kali

    dibandingkan kelompok APA merangkap (p =0,05).

    Untuk pengaruh faktor kepemilikan apotek terhadap kualitas pelayanan

    kefarmasian menunjukkan bahwa pada apotek yang dimiliki oleh APA akan

    memberikan kualitas pelayanan kefarmasian yang lebih baik (71,4%)

    dibandingkan dengan kepemilikan apotek oleh PMA (42,6%). Apotek yang

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    46/97

    46

    dimiliki langsung oleh APA berpeluang untuk dapat memberikan kualitas

     pelayanan kefarmasian yang lebih baik 3,4 kali dibandingkan dengan apotek milik

    PMA (p = 0,05).

    5.3 Uji Multivariat Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kualitas

    Pelayanan Kefarmasian oleh Apoteker di Apotek

    Analisis multivariat dilakukan dengan cara memasukkan semua variabel

     bebas secara bersama-sama ke dalam model regresi logistik. Analisis multivariat

    dilakukan untuk mengetahui pengaruh murni (independent ) masing-masing

    variabel bebas yaitu kehadiran APA, kepemilikan apotek, motivasi APA dan

    status APA terhadap variabel tergantung yaitu kualitas pelayanan kefarmasian di

    apotek.

    Sebelum dilakukan uji multivariat, terlebih dahulu dilakukan uji

    multikolinieritas untuk mengetahui apakah dalam model hasil analisis multivariat

    yang digunakan, antara variabel bebasnya mempunyai korelasi atau tidak. Untuk

    melihat korelasi antar variabel bebas dilakukan dengan uji  Kendalls Rank

    Correlation. Hasil yang diperoleh dari pengujian tersebut menunjukkan bahwa

    nilai r < 0,7. Hal tersebut menunjukkan bahwa hubungan korelasi ke empat

    variabel lemah dan tidak ada efek multikolinieritas antara variabel bebas.

    Sehingga ke empat variabel bebas tersebut dapat dilakukan uji multivariat.

    Adapun hasil uji multivariat dapat dilihat pada Tabel 5.3.

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    47/97

    47

    Tabel 5.3

    Hasil Analisis Multivariat Pengaruh Faktor Kehadiran APA, Kepemilikan

    Apotek, Motivasi APA dan Status APA terhadap Kualitas PelayananKefarmasian di Apotek

    Variabel OR 95%CI Nilai p

    Kehadiran APAKehadiran 2 3.3 0.8-13.3 0.09

    Kehadiran 3 3.3 0.6-17.4 0.16

    Motivasi APA

    Baik 3.3 0.9-12.5 0.07

    Status APA

    Tidak Merangkap 2.5 0.7-8.8 0.15

    Kepemilikan ApotekMilik APA 4.9 0.9-24.9 0.05

    Berdasarkan analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa kehadiran APA,

    kepemilikan apotek, motivasi APA dan status APA berpengaruh terhadap kualitas

     pelayanan kefarmasian di apotek. Hal tersebut ditunjukkan dari nilai OR ke empat

    variabel bebas tersebut yang lebih besar dari 1 (OR > 1) yang berarti memiliki

     pengaruh atau meningkatkan peluang. Sesuai dengan Tabel 5.3 untuk faktor

    kehadiran, peluang apotek untuk memberikan kualitas pelayanan kefarmasian baik

     pada kehadiran 2 (APA tidak hadir setiap hari dan melakukan pelayanan

    kefarmasian) 3,3 kali dibandingkan dengan kehadiran 1 (APA tidak hadir, dan

    atau tidak hadir setiap hari dan tidak melakukan pelayanan kefarmasian). Hal

    tersebut juga berlaku pada kehadiran 3 dengan nilai OR sama yaitu 3,3.

    Menunjukkan bahwa peluang apotek untuk memberikan pelayanan kefarmasian

     baik pada kehadiran 3 (APA hadir setiap hari dan melakukan pelayanan

    kefarmasian) 3,3 kali dibandingkan dengan kehadiran 2. Pengaruh faktor motivasi

    APA terhadap kualitas pelayanan kefarmasian memiliki peluang 3,3 kali pada

    kelompok APA dengan motivasi baik dibandingkan dengan kelompok APA

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    48/97

    48

    dengan motivasi kurang untuk memberikan pelayanan kefarmasian yang baik.

     Nilai OR pada status APA yaitu 2,5 menunjukkan bahwa peluang apotek untuk

    memberikan kualitas pelayanan kefarmasian baik pada kelompok APA tidak

    merangkap 2,5 kali dibandingkan kelompok APA merangkap. Berdasarkan nilai p

    diketahui bahwa faktor kehadiran APA, motivasi APA dan status APA tidak

     bermakna secara statistik dengan nilai p > 0,05. Variabel bebas yang bermakna

    secara statistik adalah variabel kepemilikan apotek dengan nilai p ≤ 0,05. Nilai

    OR pada faktor kepemilikan apotek memberikan peluang apotek untuk

    memberikan kualitas pelayanan kefarmasian yang lebih baik pada kelompok

    kepemilikan apotek oleh APA 4,9 kali dibandingkan dengan kelompok

    kepemilikan apotek oleh PMA.

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    49/97

    49

    BAB VI

    PEMBAHASAN

    6.1 Kualitas Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kota Denpasar

    Kota Denpasar merupakan kabupaten/kota yang memiliki kepadatan

     penduduk paling tinggi di provinsi Bali yaitu 6622,24 per km2. Jika dibandingkan

    dengan dengan kabupaten/kota yang kepadatan penduduknya tertinggi nomor 2

    yaitu Kabupaten Badung yang hanya 1407,29 per km2. Hal ini menunjukkan

     jumlah kepadatan penduduk di Kota Denpasar sangat padat. Tingginya jumlah

     penduduk di Kota Denpasar menyebabkan kebutuhan masyarakat terhadap sarana

    kesehatan maupun tenaga kesehatan terus meningkat.

    Salah satu sarana kesehatan di Kota Denpasar yang jumlahnya selalu

    mengalami peningkatan dari tahun ke tahun adalah apotek. Hal ini ditunjukkan

    dari data yang didapatkan dari Dinas Perijinan Kota Denpasar, dimana jumlah

    apotek di Kota Denpasar pada tahun 2008 sebanyak 185 apotek kemudian

    meningkat pesat menjadi 241 apotek pada tahun 2014 (Dinas Perijinan Kota

    Denpasar, 2014). Namun peningkatan jumlah apotek tidak dibarengi dengan

     peningkatan kualitas pelayanan kefarmasian di apotek Kota Denpasar.

    Pelayanan kefarmasian saat ini mengacu pada  Pharmaceutical care  yaitu

     pelayanan kefarmasian yang lebih mengacu kepada pasien ( Patient oriented).

    Pelayanan kefarmasian ini memerlukan peranan apoteker untuk dapat berinteraksi

    secara langsung kepada pasien dalam melakukan terapi pengobatan sehingga

    dapat meningkatkan derajat kesehatan pasien. Apoteker berperan dalam

    49

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    50/97

    50

    memberikan konsultasi, informasi dan edukasi (KIE) terkait terapi pengobatan

    yang dijalani pasien, mengarahkan pasien untuk melakukan pola hidup sehat

    sehingga mendukung agar keberhasilan pengobatan dapat tercapai, dan melakukan

    monitoring memonitor hasil terapi pengobatan yang telah dijalankan oleh pasien

    serta melakukan kerja sama dengan profesi kesehatan lain yang tentunya

     bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (ISFI, 2000). Interaksi

    langsung antara apoteker dan pasien, tentunya menuntut apoteker untuk hadir dan

    memberikan pelayanan di apotek.

    Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, kehadiran APA yang sesuai

    dengan standar masih sangat rendah yaitu hanya 20,6% sedangkan sisanya

    (79,4%) masih belum sesuai dengan standar. Penelitian lain yang dilakukan pada

    apotek di Kota Denpasar dan beberapa daerah di Badung tahun 2011

    menunjukkan bahwa kesadaran apoteker masih sangat rendah untuk hadir

    memberikan pelayanan kefarmasian di apotek. Dari total 111 apotek di wilayah

    Denpasar Utara, Denpasar Timur, Denpasar Selatan, Denpasar Barat, Kuta Utara,

    dan Kuta Selatan, hanya 26,64% yang terdapat tenaga ahli apoteker di apotek

     pada saat dilakukannya survey (Gunawan,. dkk, 2011). Kehadiran APA

     berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di apotek. Survey yang

    telah dilakukan pada 68 apotek di Kota Denpasar diketahui bahwa apotek yang

    kualitas pelayanan kefarmasian buruk masih cukup tinggi yaitu 48,5%, walaupun

    apotek yang kualitas pelayanan kefarmasian baik di Kota Denpasar cukup banyak

    yaitu 51,5% (35 apotek). Kualitas pelayanan kefarmasian buruk salah satunya

    disebabkan oleh kehadiran APA yang masih sangat rendah di apotek.

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    51/97

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    52/97

    52

    merupakan kabupaten/Kota yang jumlah kebutuhan maupun kekurangan tenaga

    apotekernya paling banyak dibandingkan kabupaten/kota di Provinsi Bali (Dinas

    Kesehatan Provinsi Bali, 2014).

    Kualitas pelayanan kefarmasian di daerah lain seperti Kota Medan dan

     Nusa Tenggara barat tidak jauh berbeda dengan kondisi pelayanan kefarmasian di

    Kota Denpasar, dimana kualitas pelayanan kefarmasiannya masih kurang baik dan

    masih perlu terus adanya peningkatan kualitas pelayanan. Rata-rata skor

     pelaksanaan pelayanan kefarmasian di Apotek di Kota Medan 47,63 yang

    termasuk dalam kategori pelayanan kefarmasian yang kurang baik. Pada apotek di

    Kota Medan, persentase terbesar yang melakukan pelayanan kefarmasian

    langsung dengan pasien adalah asisten apoteker sebesar 83,82%, apoteker dan

    tenaga non farmasi 16,18%. Hal ini disebabkan karena APA yang jarang hadir dan

    memberikan pelayanan di apotek, sehingga pelayanan kefarmasian lebih banyak

    dilakukan oleh asisten apoteker (Ginting, 2009).

    Kehadiran APA di apotek merupakan faktor penting dalam pelaksanaan

    kegiatan kefarmasian di apotek. Apoteker pengelola apotek seharusnya hadir di

    apotek untuk memberikan pelayanan kefarmasian yang dibutuhkan oleh pasien.

    APA dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku agar

    dapat melakukan interaksi langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut

    antara lain adalah melaksanakan pelayanan resep, pelayanan obat bebas, obat

     bebas terbatas, obat wajib apotek dan perbekalan kesehatan lainnya juga

     pelayanan informasi obat dan monitoring penggunaan obat agar tujuan

     pengobatan sesuai harapan dan terdokumentasi dengan baik. APA yang lebih

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    53/97

    53

    sering hadir di apotek cenderung memiliki kualitas pelayanan kefarmasian yang

    lebih baik (Harianto, dkk., 2008).

    Di Provinsi Nusa Tenggara Barat pelaksanaan standar pelayanan

    kefarmasian di Rumah Sakit Umum Daerah Kelas C belum terlaksana dengan

     baik. Persentase pencapain standar dari ke tiga rumah sakit masih kurang dari 75

    %. Persentase pencapain standar dari Rumah Sakit A (52,17%), Rumah Sakit B

    (54,78%) dan Rumah Sakit C (44,35%). Berdasarkan hasil wawancara, diketahui

     bahwa faktor penghambat pelaksanaan standar pelayanan farmasi adalah belum

    optimalnya dukungan pihak manajemen rumah sakit terhadap pelayanan farmasi

    yang dilakukan, pengadaan sarana dan prasarana penunjang pelayanan farmasi

    yang masih belum memadai, kurangnya jumlah tenaga kefarmasian di Instalasi

    Farmasi, sistem dokumentasi Instalasi Farmasi yang kurang baik serta kurangnya

    evaluasi yang terus menerus dalam upaya peningkatan kinerja Instalasi Farmasi

    dalam melaksanakan pelayanan farmasi (Sidrotullah, 2012). 

    6.2 Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kualitas Pelayanan

    Kefarmasian pada Apotek di Kota Denpasar

    Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa faktor

    kehadiran APA, kepemilikan apotek, motivasi APA dan status APA memiliki

     pengaruh terhadap kualitas pelayanan kefarmasian di apotek Kota Denpasar.

    Faktor-faktor tersebut memiliki pengaruh terhadap kualitas pelayanan kefarmasian

    dengan nilai OR yang tinggi (OR > 1). Secara statistika faktor kehadiran APA,

    kepemilikan APA dan status APA bermakna dengan nilai  p ≤ 0,05. Semakin baik

    tingkat kehadiran APA maka peluang kualitas pelayanan kefarmasiannya juga

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    54/97

    54

    semakin baik. Semakin tinggi tingkat kehadiran APA di apotek peluang apotek

    untuk dapat memberikan pelayanan kefarmasian yang baik semakin meningkat.

    Pada kelompok APA yang statusnya tidak merangkap dalam pekerjaannya

    memberikan peluang apotek untuk memberikan pelayanan kefarmasian yang lebih

     baik dibandingkan dengan kelompok APA yang statusnya merangkap. Apotek

    yang dimiliki langsung oleh APA memberikan peluang apotek untuk dapat

    memberikan pelayanan kefarmasian yang lebih baik dibandingkan dengan apotek

    yang pemiliknya bukan APA atau dimiliki oleh PMA. Walaupun faktor motivasi

    APA tidak bermakna secara statistika, namun faktor ini tetap memilki pengaruh

    terhadap kualitas pelayanan kefarmasian dilihat dari nilai OR = 2,5. Kelompok

    APA dengan motivasi baik akan memberikan peluang apotek untuk memberikan

    kualitas pelayanan kefarmasian yang baik 2,5 kali dibandingkan dengan kelompok

    APA dengan motivasi yang kurang baik .

    6.2.1 Pengaruh Faktor Kehadiran APA terhadap Kualitas Pelayanan

    Kefarmasian di Apotek

    Faktor kehadiran APA memiliki pengaruh terhadap kualitas pelayanan

    kefarmasian di apotek. Hasil penelitian yang dilakukan pada apotek di Kota

    Denpasar menunjukkan bahwa semakin baik tingkat kehadiran APA maka

     peluang kualitas pelayanan kefarmasiannya juga semakin baik. Semakin tinggi

    tingkat kehadiran APA di apotek peluang apotek untuk dapat memberikan

     pelayanan kefarmasian yang baik semakin meningkat. Peluang apotek untuk dapat

    memberikan kualitas pelayanan kefarmasian baik 5 kali lebih baik pada kehadiran

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    55/97

    55

    2 dibandingkan dengan kehadiran 1. Peluang apotek untuk dapat memberikan

     pelayanan kefarmasian yang baik 6,75 kali lebih baik pada kehadiran 3

    dibandingkan dengan kehadiran 2. Pada kehadiran 3 adalah kehadiran APA yang

     paling baik dimana pada kehadiran 3, APA datang setiap hari dan memberikan

     pelayanan kefarmasian. Kehadiran 3 adalah kehadiran APA yang paling sesuai

    dengan standar pelayanan kefarmasian.

    Faktor yang menyebabkan APA tidak hadir di apotek adalah karena gaji

    yang diberikan masih dibawah standar dan masih dirasa kurang cukup untuk

    memenuhi kebutuhan hidup (Gunawan dkk, 2011). Ketidakhadiran apoteker di

    apotek disebabkan karena kurangnya kompensasi yang dapat diberikan pihak

    apotek kepada apoteker jika apoteker tersebut harus  fulltime di apotek. Apoteker

    merasa tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup jika hanya bekerja pada 1 tempat.

    Oleh karena itu apoteker memilih tidak hadir di apotek untuk bisa bekerja di

    tempat lain sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup.

    Apabila kebutuhan pegawai tidak terpenuhi maka pegawai akan

    menunjukkan perilaku kecewa seperti kurang menaati aturan perusahaan.

    Sebaliknya jika pegawai sudah merasakan kebutuhannya terpenuhi maka pegawai

    tersebut akan cenderung memperlihatkan perilaku gembira seperti berusaha agar

    dapat mengikuti aturan perusahaan yang menunjukkan rasa puasnya. Perusahaan

    memberikan kompensasi kepada karyawannya bertujuan untuk meningkatkan

     prestasi kerja. Jika kompensasi yang diberikan sesuai dengan hasil kerja yang

    diperoleh, maka kepuasaan karyawan akan meningkat. Seiring dengan

     peningkatan kepuasaan, karyawan pun akan merasa nyaman dan senang bekerja di

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    56/97

    56

     perusahaan sehingga dengan meningkatnya prestasi kerja karyawan maka

     berpengaruh terhadap prestasi perusahaan tersebut (Sastrohadiwiryo, 2003).

    Imbalan yang diberikan merupakan salah satu faktor yang berkaitan pula

    dengan motivasi APA untuk hadir dan melakukan pelayanan kefarmasian di

    apotek. Apabila imbalan yang diberikan dari pihak apotek sesuai, kemungkinan

    APA akan lebih termotivasi untuk hadir dan memberikan pelayanan di apotek.

    Hal tersebut menunjukkan bahwa kehadiran apoteker dan motivasi APA memiliki

    hubungan yang dikaitkan karena faktor imbalan.

    Selain kehadiran dan motivasi APA, yang berhubungan dengan imbalan,

    status APA juga memiliki keterkaitan. Imbalan apoteker yang dirasa kurang,

    mendorong apoteker untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup dengan melakukan

     pekerjaan lain di luar APA, baik yang bersifat pekerjaan utama maupun pekerjaan

    sampingan. Status APA yang merangkap bekerja di tempat lain kemungkinan

    akan mempengaruhi kehadiran APA di apotek karena waktunya yang terbatas

    disebabkan bekerja pada 2 tempat yang berbeda.

    Ketidakhadiran apoteker di apotek juga dipengaruhi oleh faktor

    kepemilikan apotek. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada apotek di Kota

    Denpasar dan Kabupaten Badung dari wawancara diketahui ketidakhadiran APA

    di apotek disebabkan karena apotek tersebut bukan milik sendiri tetapi milik PMA

    (pemilik modal apotek). Pada penelitian tersebut sebanyak 81,25% apotek yang

    dilakukan survey adalah apotek milik PMA. Hal tersebut menunjukkan bahwa

    secara tidak langsung faktor kepemilikan apotek mempengaruhi tingkat kehadiran

    APA di apotek. Jika apotek tersebut merupakan langsung milik APA maka tingkat

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    57/97

    57

    kehadiran APA di apotek akan lebih tinggi dibandingkan dengan apotek milik

    PMA (Gunawan dkk, 2011).

    Hal yang senada digambarkan pada penelitian yang dilakukan pada apotek

    di Kota Medan tahun 2008. Penjabaran karakteristik apotek menunjukkan

     penerapan pelayanan kefarmasian di apotek belum dilaksanakan secara maksimal

    yang dipengaruhi oleh faktor kehadiran APA, dimana kehadiran APA pada apotek

    di Kota Medan yang cukup rendah berpengaruh terhadap kualitas pelayanan

    kefarmasian di Kota Medan. Kehadiran APA yang rendah juga disebabkan oleh

    faktor kepemilikan apotek. Secara umum apotek yang dikelola adalah apotek

    milik PMA dimana pemilik apotek cenderung mengutamakan untung atau sisi

     bisnis mereka dibandingkan dengan kualitas pelayanan yang diberikan. Selain itu,

    rata-rata resep yang setiap harinya kurang dari 20 lembar dan biasanya hanya ada

    resep pada jam tertentu sehingga pelayanan kefarmasian lebih banyak dilakukan

    oleh asisten apoteker (Ginting, 2009). Pergeseran fungsi apotek dari orientasi

    sosial semakin dominan ke orientasi bisnis. Adanya pergeseran ini mengakibatkan

     peranan apoteker kepada pasien dianggap tidak begitu penting, sepanjang usaha

    apotek yang dikelola terus berjalan sehingga kurangnya dukungan PMA dalam hal

    ini untuk menuntut bahwa apoteker dapat lebih berperan di apotek masih kurang.

    Akhirnya orientasi bisnis yang berlandaskan pelayanan tetap berjalan dengan

     pengeluaran jasa yang minimal serta harga obat yang murah sudah dinilai strategis

    untuk menuju keberhasilan bisnis bukan keberhasilan dalam memberikan

     pelayanan kefarmasian yang berkualitas bagi masyarakat.

  • 8/17/2019 unud-1450-1648467227-tesis sip

    58/97

    58

    Tidak adanya pengawasan yang ketat dari pemerintah tentang

    implementasi KepMenKes No.1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar

    Pelayanan Kefarmasian di Apotek juga merupaka