unud-407-1169356152-dr.desi.pdf

Embed Size (px)

DESCRIPTION

nm.,.m.,m

Citation preview

  • TESIS

    PEMBERIAN EKSTRAK PROPOLIS PERORAL MENURUNKAN KADAR F2-ISOPROSTAN

    DALAM URIN TIKUS PUTIH (RATTUS NOVERGICUS) JANTAN

    YANG MENGALAMI AKTIVITAS FISIK MAKSIMAL

    DESI HARDIANTY

    PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

    DENPASAR 2011

  • TESIS

    PEMBERIAN EKSTRAK PROPOLIS PERORAL MENURUNKAN KADAR F2-ISOPROSTAN

    DALAM URIN TIKUS PUTIH (RATTUS NOVERGICUS) JANTAN

    YANG MENGALAMI AKTIVITAS FISIK MAKSIMAL

    DESI HARDIANTY NIM 0990761009

    PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

    PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

    DENPASAR 2011

  • PEMBERIAN EKSTRAK PROPOLIS PERORAL MENURUNKAN KADAR F2-ISOPROSTAN DALAM URIN

    TIKUS PUTIH (RATTUS NOVERGICUS) JANTAN YANG MENGALAMI AKTIVITAS FISIK MAKSIMAL

    Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Ilmu Biomedik

    Program Pascasarjana Universitas Udayana

    DESI HARDIANTY NIM : 0990761009

    PROGRAM MAGISTER

    PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA

    UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

    2011

  • Lembar Pengesahan

    TESIS INI TELAH DISETUJUI

    PADA TANGGAL : 15 September 2011

    Pembimbing I Pembimbing II Prof. dr. Nyoman Agus Bagiada, Sp.BIOK Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc.,Sp.And NIP : 1302464501 NIP : 194402011964091001

    Mengetahui

    Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana

    Prof.Dr.dr.Wimpie Pangkahila,SpAnd, FAACS Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi,Sp.S NIP : 194612131971071001 NIP: 195902151985102001

  • Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai

    Oleh Panitia Penguji pada

    Program Pascasarjana Universitas Udayana

    Pada Tanggal : 15 September 2011

    Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana

    Nomor : 1125/UN14.4/HK/2011

    Tanggal : 22 Juni 2011

    Ketua : Prof. Dr. dr. Nyoman Agus Bagiada, Sp.BIOK

    Anggota : 1. Prof. Dr. dr. J.Alex Pangkahila, M.Sc.,Sp.And.

    2. Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS, AIF 3. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, MOH 4. Prof.Dr.dr.Wimpie Pangkahila, Sp.And.FAACS

  • UCAPAN TERIMA KASIH

    Penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan Allah SWT atas berkat,

    rahmat, bimbingan serta petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis

    yang berjudul : Pemberian Propolis Menurunkan Kadar F2-Isoprostan dalam Urin

    Tikus Putih Jantan (Rattus Novergicus) yang Mengalami Aktivitas Fisik Maksimal.

    Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih dan

    penghargaan yang tak terhingga kepada :

    1. Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp.PD sebagai Rektor Universitas Udayana atas

    kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan

    menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana.

    2. Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) atas kesempatan yang diberikan

    kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister Program

    Pascasarjana Universitas Udayana.

    3. Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, SpAnd, FAACS sebagai Ketua Program

    Studi Kekhususan Kedokteran Anti Penuaan atas ilmu yang diberikan yang telah

    memacu penulis untuk dapat berkarya bagi kemajuan ilmu pengetahuan

    khususnya Kedokteran Anti Penuaan, serta memberikan bimbingan, saran dan

    arahan yang sangat berarti dalam menyusun tesis ini.

    4. Prof. dr. N Agus Bagiada, SpBIOK, sebagai dosen pembimbing I yang dengan

    sabar memberikan ilmunya selama penulis mengikuti studi, serta bimbingan dan

    saran terutama dalam memahami ilmu kedokteran biomolekuler yang sangat

    besar manfaatnya dalam penyusunan tesis ini.

    5. Prof. Dr. dr.J Alex Pangkahila, MSc, SpAnd, sebagai dosen pembimbing II atas

    ilmu yang diberikan selama penulis mengikuti studi, yang selalu ada untuk

    memberikan ide, bimbingan dan saran terutama dalam teknis menulis ilmiah

    yang baku, serta memberi motivasi untuk menyusun tesis dan menyelesaikan

    studi.

  • 6. Prof. Dr. dr. N Adiputra, MOH, atas ilmu yang diberikan kepada penulis selama

    mengikuti studi, yang dengan kemurahan hati selalu bersedia memberikan

    bimbingan dan saran yang sangat berarti mengenai teknis menulis ilmiah yang

    baku, membantu penulis dalam memahami metodologi penelitian, serta selalu

    memberi motivasi sehingga terselesaikannya tesis ini.

    7. Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS, AIF, atas saran dan bimbingannya yang sangat

    bermanfaat mengenai teknis menulis ilmiah yang baku, serta motivasi selama

    penyusunan tesis.

    8. Prof. dr. I Gusti Made Aman, SpFK, selaku Koordinator Laboratory Animal

    Unit, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah

    banyak membantu dalam menyediakan fasilitas tempat, peralatan, dan bantuan

    teknisi bagi terlaksananya penelitian, serta bimbingannya dalam memahami

    perhitungan dosis yang benar.

    9. Prof. Drh. Nyoman Mantik Astawa, Ph.D, dari bagian Virologi Fakultas

    Kedokteran Hewan Universitas Udayana yang telah banyak membantu dalam

    penelitian terutama bimbingan dan masukan dalam menggunakan kit penelitian.

    10. I Gede Wiranatha, S.Si, dari bagian Animal Unit Farmakologi Fakultas

    Kedokteran Universitas Udayana, yang telah banyak membantu dalam

    penelitian terutama bimbingan serta masukan dalam proses pemeliharaan dan

    pengelolaan hewan uji.

    11. Drs.I Ketut Tunas, M.Si. yang telah banyak membantu dalam penelitian dan

    penyusunan tesis ini terutama saran, ide, masukan dan bimbingan dalam bidang

    statistik.

    12. Khamdan Khalimi SP., M.Si dari laboratorium Biopestisida Universitas

    Udayana yang telah banyak membantu dan memberikan saran dan bimbingan

    terutama dalam proses pengolahan ekstrak propolis untuk penelitian.

    13. dr. Desak Wihandani, Mkes, dari bagian Biokimia Fakultas Kedokteran

    Universitas Udayana, atas ilmu yang diberikan selama penulis mengikuti studi,

    serta saran, bimbingan dan motivasi dalam penyusunan tesis ini.

  • 14. Staf Ilmu Biomedik Kedokteran Antipenuaan serta teman-teman mahasiswa

    Program Magister Ilmu Biomedik atas motivasi yang diberikan kepada penulis.

    Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih

    yang tulus kepada keluarga tercinta, yakni: kedua orang tua Bapak Harbudi dan Ibu

    Zubaida, kakak dan adik, serta suami terkasih Ricky Wijaya dan anak tersayang

    Raihan Danendra Wijaya yang senantiasa memberikan doa, dan dukungan moril

    yang tiada hentinya dalam menyelesaikan program magister ini.

    Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini jauh dari sempurna, untuk itu

    penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaikinya.

    Akhir kata semoga tesis ini bermanfaat bagi masyarakat serta kemajuan ilmu

    pengetahuan, khususnya Ilmu Kedokteran Anti Penuaan.

    Denpasar, September 2011

    Penulis

  • ABSTRAK

    PEMBERIAN EKSTRAK PROPOLIS PERORAL MENURUNKAN KADAR F2-ISOPROSTAN DALAM URIN

    TIKUS PUTIH (RATTUS NOVERGICUS) JANTAN YANG MENGALAMI AKTIVITAS FISIK MAKSIMAL

    Aktivitas fisik maksimal menyebabkan terjadinya peningkatan produksi radikal

    bebas disebabkan oleh peningkatan konsumsi oksigen 10-20 kali, dan 100-200 kali pada serat otot yang berkontraksi. Di samping itu akan memicu pelepasan radikal bebas superoksida, serta terjadinya reperfusion injury yang menyebabkan kerusakan pada jaringan lain yang mengalami iskemia, dan bersifat ireversibel. Bila kadar radikal bebas melebihi kemampuan antioksidan yang ada dalam tubuh untuk menetralisir radikal bebas maka akan menimbulkan stres oksidatif. Stres oksidatif jangka panjang telah terbukti dapat menimbulkan berbagai penyakit degeneratif. Penggunaan antioksidan dapat mencegah terbentuknya radikal bebas. Salah satu antioksidan yang banyak ditemukan di masyarakat adalah Propolis Trigona sp yang dihasilkan oleh lebah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penurunan kadar f2-isoprostan dalam urin tikus wistar yang diberikan ekstrak propolis dengan air setelah mengalami aktivitas fisik maksimal. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan pre-test post-test control group design yang dilakukan pada 18 ekor tikus wistar jantan, berumur 2 3 bulan, berat badan 150- 200 g. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar pada bulan Juli-Agustus 2011. Pemeriksaan F2-isoprostan dilakukan di Laboratorium Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Denpasar. Data dianalisis dengan uji One Way ANOVA.

    Berdasarkan hasil analisis sesudah perlakuan didapatkan bahwa rerata kadar f2-isoprostan kelompok kontrol adalah 4,471,80 ng/ml, rerata kelompok ekstrak propolis 0,3 g adalah 2,900,70 ng/ml, dan kelompok ekstrak propolis 0,6 g adalah 1,400,66 ng/ml. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa rerata kadar f2-isoprostan pada ketiga kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p

  • ABSTRACT

    ORAL ADMINISTRATION OF PROPOLIS EXTRACT REDUCES THE LEVEL OF F2-ISOPROSTANE

    IN URINE MALE WHITE RATS (RATTUS NOVERGICUS) EXPERIENCE THE MAXIMAL PHYSICAL ACTIVITY

    Maximal physical activity causes increased production of free radicals due to

    an increase of 10-20 times body oxygen consumption, and 100-200 times of the affected muscle fibers, that will trigger the release of superoxide free radicals, as well as the occurrence of reperfusion injury of ischaemic tissue factors. The level of free radicals exceeds the amount of antioxidants in the body will cause oxidative stress. Long-term oxidative stress has been shown to cause various degenerative diseases. The use of antioxidants can prevent and quenced the formation of free radicals. One of substance that have high antioxidants capacity is Trigona sp propolis produced by bees. The purpose of this study was to determine the decreased of f2-isoprostane levels in rats urine that were treated with water propolis extract after having a maximal physical activity.

    This study is an experimental research using pre-test post-test control group design that was conducted on 18 male wistar rats, aged 2-3 months, weight 150-200 g. Research conducted at the Laboratory of Pharmacology Faculty of Medicine Udayana University, Denpasar in July-August 2011. F2-isoprostan examination performed at the Laboratory of the Veterinary Faculty of Veterinary Medicine, Udayana University, Denpasar. Data were analyzed with One Way ANOVA.

    Based on the results of this experiment study after treatment it was found that the average of f2-isoprostane control group was 4.471.80 ng/ml, propolis extract 0.3 g group was 2.900.70 ng/ml, and propolis extract 0.6 g group was 1.400.66 ng/ml. Analysis of significance by One Way Anova test shows that the average levels of f2-isoprostane in all three groups after given different treatment was significantly different (p

  • DAFTAR ISI

    PRASYARAT GELAR.................................................................................... i LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI TES...................................................... iii UCAPAN TERIMAKASIH ........................................................................... iv ABSTRAK........................................................................................................ vii DAFTAR ISI..................................................................................................... ix DAFTAR TABEL............................................................................................ xi DAFTAR GAMBAR........................................................................................ xii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiii DAFTAR SINGKATAN .. xiv BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang........................................................................................ 1 1.2. Rumusan Masalah.................................................................................. 8 1.3. Tujuan Penelitian.................................................................................... 8 1.4. Manfaat Penelitian.................................................................................. 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Penuaan.................................................................................................... 10 2.2. Anti Penuaan............................................................................................ 15 2.3. Radikal Bebas.......................................................................................... 16 2.4. Aktivitas Fisik Maksimal........................................................................ 29 2.5. Antioksidan.............................................................................................. 33 2.6. Propolis.................................................................................................... 36 2.7. Hewan Coba............................................................................................. 52 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, HIPOTESIS 3.1. Kerangka Berpikir.................................................................................... 55 3.2. Konsep............................................................................................... ...... 58 3.3. Hipotesis Penelitian.................................................................................. 58 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian................................................................................ 59 4.2. Tempat dan Waktu Penelitian.................................................................. 60 4.3. Populasi dan Besar Sampel...................................................................... 60 4.4. Variabel Penelitian................................................................................... 62 4.5. Prosedur Penelitian................................................................................... 64 4.6. Analisis Data............................................................................................ 72

  • BAB V HASIL PENELITIAN 5.1. Uji Normalitas Data Kadar F2-isoprostan Sebelum dan Sesudah

    Perlakuan ................................................................................................ 73 5.2. Uji Homogenitas Varians Kadar F2-isoprostan Antar Kelompok Sebelum

    dan Sesudah Perlakuan............................................................................ 74 5.3. Uji Komparabilitas Kadar F2-isoprostan.................................................. 74

    5.3.1. Analisis Efek antar Kelompok Sebelum Perlakuan........................ 74 5.3.2. Analisis Efek antar Kelompok Sesudah Perlakuan...................... 75 BAB VI PEMBAHASAN 6.1. Subjek Penelitian.................................................................................... 78 6.2. Pemberian Aktivitas fisik Maksimal...................................................... 79 6.3. Pemberian Ekstrak propolis.................................................................... 80 6.4. Pengaruh Ekstrak propolis terhadap Kadar F2-isoprostan...................... 82 6.5. Manfaat Propolis terhadap Ilmu kedokteran Antipenuaan..................... 85 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan................................................................................................ 87 7.2. Saran...................................................................................................... 88 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 89 LAMPIRAN...................................................................................................... 95

  • DAFTAR TABEL

    Halaman 2.1. Antioxidants Activities of Bee Products (Nakajima et al., 2009).............. 47 5.1. Hasil Uji Normalitas Kadar F2-isoprostan Sebelum dan Setelah Perlakuan 74 5.2. Uji Homogenitas Varians Kadar F2-isoprostan Antar Kelompok Sebelum dan Sesudah Perlakuan................................................................. 74 5.3. Rerata Kadar F2-isoprostan Antar Kelompok Sebelum Diberikan

    Perlakuan............................................................................................. ...... 75 5.4. Perbedaan Rerata Kadar F2-isoprostan Antar Kelompok Sesudah Diberikan Perlakuan................................................................................... 76 5.5. Analisis Komparasi F2-Isoprostan Sesudah Perlakuan antar Kelompok.... 77

  • DAFTAR GAMBAR

    Halaman 2.1. Korelasi hubungan antioksidan dalam sistem biologi.................................. 36 2.2. Lebah Penghasil Propolis ............................................................................ 38 2.3. Propolis Trigona sp ..................................................................................... 39 2.4. Chemical structures of the most important flavonoids found in honey and Propolis........................................................................................................ 40 3.1. Bagan konsep penelitian......................................................................... .... 58 4.1. Rancangan Penelitian................................................................................... 59 4.2. Bagan alur penelitian.................................................................................... 69 5.1. Grafik Perubahan Isoprostan Antara Sebelum dengan Sesudah Perlakuan Masing-masing Kelompok .......................................................................... 76

  • DAFTAR LAMPIRAN

    Halaman Lampiran 1. Foto-foto Penelitian .................................................................... 95 Lampiran 2. Nilai Konversi Dosis Obat Hewan Coba dengan Manusia......... 101 Lampiran 3. Uji Normalitas Data.................................................................... 102 Lampiran 4. Uji Oneway ANOVA Data Sebelum dan Sesudah Perlakuan .. 103 Lampiran 5. Post Hoc Tests............................................................................. 104

    DAFTAR SINGKATAN AAM = Anti Aging Medicine AGES = Advanced Glycation End Products CAPE = Caffeic Acid Phenethyl Ester COX = Cyclooxygenase DMBA = Dimethylbenz (a) anthracene EEP = Ethanol Extract of Propolis GGPD = Glucose-6-Phospate KAP = Kedokteran Anti Penuaan MDA = Malondialdehid NAC = N-Acetyl-Cystein SOD = Superoksida Dismutase SOR = Senyawa Oksigen Reaktif TBARS = Thiobarbituric Acid Reactive Substance UV = Ultraviolet WEP = Water Extract of Propolis

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Penuaan adalah suatu proses yang akan dialami semua makhluk hidup, tidak

    terkecuali manusia. Semua manusia, terutama kaum wanita, senang jika dirinya terlihat

    lebih muda dari usia biologisnya. Banyak cara dilakukan untuk memperpanjang usia

    harapan hidup, serta menjalani masa tua dengan kualitas hidup yang lebih baik.

    Setelah mencapai usia dewasa, secara alamiah seluruh komponen tubuh tidak

    dapat berkembang lagi, melainkan terjadi penurunan karena proses penuaan

    (Pangkahila, 2007). Jaringan tubuh secara perlahan akan kehilangan kemampuan untuk

    memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak

    dapat bertahan serta memperbaiki kerusakan yang diderita (Darmojo, 1999). Banyak

    faktor yang menyebabkan seseorang menjadi tua, yang kemudian menyebabkan sakit,

    dan akhirnya membawa kepada kematian. Pada dasarnya penyebab penuaan

    dikelompokkan menjadi faktor internal dan eksternal. Beberapa faktor internal ialah

    radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem

    kekebalan yang menurun dan genetik. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup

    tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres dan kemiskinan

    (Pangkahila, 2007).

    Perkembangan ilmu Kedokteran Anti Penuaan (KAP) atau Anti Aging Medicine

    telah membawa konsep baru. Pertama, penuaan dapat dianggap sama dengan suatu 1

  • penyakit yang dapat dicegah, diobati bahkan dikembalikan ke keadaan sewaktu muda.

    Kedua, manusia bukanlah orang hukuman yang terperangkap dalam takdir genetiknya.

    Ketiga, manusia mengalami keluhan atau gejala penuaan karena kadar hormonnya

    menurun, bukan kadar hormon menurun karena manusia menjadi tua. Bila berbagai

    faktor penyebab penuaan dapat dihindari, proses penuaan tentu dapat dicegah,

    diperlambat, bahkan mungkin dihambat, dan kualitas hidup dapat dipertahankan,

    sehingga usia harapan hidup menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang lebih

    baik (Pangkahila, 2007). Ada puluhan teori penuaan yang telah dikemukakan oleh

    pakar, dan teori radikal bebas mendapat perhatian lebih besar sejak penggunaan

    antioksidan diyakini dapat menghambat kerusakan akibat radikal bebas (Goldman and

    Klantz, 2003).

    Teori radikal bebas merupakan salah satu teori yang menerangkan tentang

    terjadinya proses penuaan, yang diperkenalkan oleh Gerschman kemudian

    dikembangkan oleh Denham Harman. Teori ini menekankan bahwa radikal bebas

    dapat merusak sel-sel tubuh manusia (Goldman and Klantz, 2003). Radikal bebas

    (free radical) adalah suatu senyawa atau molekul yang mengandung satu atau lebih

    elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya, bersifat sangat reaktif, dengan cara

    menyerang dan mengikat atau menarik elektron molekul yang berada di sekitarnya

    (Soeatmaji, 1998). Hal ini mengakibatkan terbentuknya senyawa radikal baru,

    sehingga akan terjadi reaksi rantai (chain reactions) (Sadikin, 2001; Winarsi, 2010).

    Radikal bebas akan merusak membran sel, DNA, protein. Beribu-ribu studi

    mendukung ide bahwa radikal bebas mempunyai kontribusi yang besar pada terjadinya

  • penyakit yang berhubungan dengan proses penuaan seperti kanker, penyakit jantung

    dan proses penuaan (Bagiada, 2001).

    Dengan meningkatnya usia seseorang, pembentukan radikal bebas juga

    meningkat. Secara endogenus, hal ini berkaitan dengan laju metabolisme, sedangkan

    secara eksogenus, kemungkinan tubuh terpapar dengan polutan juga semakin tinggi,

    seiring dengan meningkatnya usia seseorang. Kedua faktor tersebut secara sinergis

    meningkatkan jumlah radikal bebas dalam tubuh (Winarsi, 2010). Beberapa sumber

    internal radikal bebas antara lain mitokondria, fagositosis, xantin oksidase, reaksi yang

    melibatkan logam transisi seperti Fe dan Cu, latihan fisik, inflamasi, reperfusion

    injury. Beberapa sumber eksternal radikal bebas diantaranya asap rokok, polusi

    lingkungan, radiasi, sinar ultraviolet, obat-obatan tertentu, pestisida (Langseth, 1996).

    Secara normal tubuh dapat mengatasi efek buruk radikal bebas, namun jika radikal

    bebas yang dihasilkan melebihi antioksidan dapat menyebabkan stres oksidatif

    (Wiyono, 2003).

    Stres oksidatif adalah suatu keadaan ketika jumlah antioksidan tubuh kurang dari

    yang diperlukan untuk meredam efek buruk radikal bebas yang dapat merusak

    membran sel, protein dan DNA, dan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup sel atau

    jaringan. Jika hal ini terjadi dalam waktu yang berkepanjangan, maka akan terjadi

    penumpukan hasil kerusakan oksidatif di dalam sel dan jaringan yang akan

    menyebabkan sel atau jaringan tersebut kehilangan fungsinya dan akhirnya mati

    (Bagiada, 2001). Olahraga berat atau olahraga yang melampaui batas kelelahan dapat

  • menyebabkan peningkatan laju pembentukan radikal bebas, yang dapat menimbulkan

    stres oksidatif (Cooper, 2001).

    Pada olahraga berat atau olahraga yang melampaui batas kelelahan, radikal

    bebas terbentuk melalui dua cara. Pertama, olahraga berlebihan menyebabkan

    terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh tubuh 10-20 kali atau lebih. Di dalam

    serat otot yang berkontraksi penggunaan oksigen dapat meningkat 100-200 kali di atas

    kebutuhan normal (Clarkson, 2000; Cooper, 2001; Sauza, 2005). Peningkatan oksigen

    yang luar biasa memicu pelepasan radikal bebas, terutama radikal superoksida. Kedua,

    karena terjadinya reperfusion injury, saat berolahraga berat, darah yang mengalir

    dalam tubuh keluar dari berbagai organ yang tidak terlibat secara aktif dalam proses

    olahraga. Namun darah dialirkan ke otot skelet. Selama pengalihan aliran darah,

    sebagian atau seluruh bagian organ tubuh yang tidak terlibat dalam olahraga akan

    mengalami kekurangan oksigen secara tiba-tiba (hipoksia). Proses iskemia yang terjadi

    menyebabkan perubahan enzim xantin dehidrogenase menjadi xantin oksidase, yang

    bersifat ireversibel. Setelah berolahraga terjadi proses reperfusi, dimana darah

    bergerak kembali dengan cepat ke berbagai organ yang kekurangan aliran darah

    sehingga oksigen terpenuhi kembali, reaksi yang terjadi dipengaruhi oleh xantin

    oksidase. Reaksi ini menghasilkan radikal bebas sehingga menimbulkan reperfusion

    injury (injury yang terjadi setelah terjadinya reperfusi setelah mengalami iskemia)

    (Langseth, 1996; Cooper, 2001).

    Beberapa cara untuk mengurangi radikal bebas yang timbul akibat aktivitas

    fisik maksimal antara lain dengan pemberian antioksidan dan istirahat. Antioksidan

  • adalah senyawa yang mampu menangkal atau meredam dampak negatif oksidan dalam

    tubuh. Antioksidan, termasuk enzim - enzim dan protein - protein pengikat logam

    bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat

    oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut dihambat (Winarsi, 2007;

    Pangkahila, 2007).

    Propolis atau lem lebah merupakan produk alami dari lebah madu yang

    mempunyai potensi antioksidan yang tinggi (Gheldof et al., 2002). Propolis

    mempunyai aktivitas antioksidan yang paling kuat dalam melawan oksidan dan radikal

    bebas (radikal H2O2, O2-, OH) dibandingkan dengan hasil produk lebah lainnya

    (Nakajima et al., 2009). Kandungan flavonoid di dalamnya dapat meredam efek buruk

    radikal bebas (Mot et al., 2009).

    Penelitian di Jepang menunjukkan bahwa kandungan Caffeic acid yang ada di

    dalam propolis mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi, yang dapat

    meningkatkan ekspresi glucose-6-phospate dehydrogenase (G6PD) yang didapat dari

    ekspresi gen antioksidan, lebih kuat dibandingkan vitamin E. Caffeic acid mempunyai

    aktivitas antioksidan 4-6 kali lebih kuat terhadap oksidan dan H2O2 dan radikal bebas

    O2-, dibandingkan vitamin C dan N-acetyl-cystein (NAC) (Nakajima et al., 2009).

    Manfaat propolis selain sebagai antioksidan adalah antibakteri, antiinflamasi, antiviral,

    hepatoprotektif, antitumor, mencegah terjadinya ulkus dan vasodilator (Viuda et al.,

    2008; Nakajima et al., 2009).

    Hasil penelitian uji sitotoksik serbuk propolis dan madu propolis terhadap sel

    kanker rahim dan payudara, menunjukkan propolis dapat menghambat sel kanker

  • HeLa (sel kanker serviks), Siha (sel kanker uterus), T47D dan MCF7 (sel kanker

    payudara). Nilai LC50 adalah 15,625-62,5 g/ml. Artinya, propolis dosis 15,625-62,5

    g/ml dapat menghambat aktivitas 50% sel kanker dalam kultur (Yuliati, 2009).

    Sejalan dengan temuan itu, uji potensi propolis dalam pengobatan tumor payudara

    pada tikus betina galur Sprague dawley yang diinduksi 7,12-

    dimethylbenz(a)anthracene (DMBA), menunjukkan bahwa propolis mampu mengobati

    tumor payudara melalui pengecilan diameter nodul. DMBA dilarutkan dalam minyak

    jagung dan diinduksikan pada tikus dengan dosis 20 mg/kg bobot tubuh. Dosis

    propolis yang diberikan adalah 2,5 ml/kgbb, diberikan dua kali per hari selama satu

    bulan. Hasil penelitian itu membuktikan adanya pengecilan nodul dari diameter 1,8 cm

    menjadi 0,6 cm setelah satu bulan pemberian propolis (Astuti and Widyarini, 2009).

    Uji toksisitas membuktikan bahwa propolis sangat aman dikonsumsi berulang.

    Dalam uji praklinis, LD50 propolis mencapai lebih dari 10.000 mg. LD50 adalah lethal

    dosage, yaitu dosis yang mematikan separuh hewan percobaan. Jika dikonversi, dosis

    itu setara 7 ons sekali konsumsi untuk manusia dengan berat badan 70 kg. Faktanya,

    dosis konsumsi propolis di masyarakat sangat rendah, hanya 1-2 tetes dalam segelas

    air minum. Efek konsumsi jangka panjang, tidak menimbulkan kerusakan pada darah,

    organ hati, dan ginjal. Penentuan toksisitas subkronik pada 21 ekor mencit

    menunjukkan pemberian propolis dosis 5.000 mg/kgbb dan 10.000 mg/kgbb setiap

    hari selama 30 hari, tidak menimbulkan kematian mencit, tidak mempengaruhi berat

    badan, tidak mengganggu jumlah sel-sel darah dan kadar hemoglobin, tidak

    mengganggu fungsi hati dan ginjal (tidak mempengaruhi kadar SGOT, SGPT,

  • kreatinin dan asam urat), tidak mempengaruhi kualitas sel-sel hati, ginjal dan lambung

    (Sarto and Saragih, 2009).

    Propolis merupakan salah satu sumber antioksidan alami yang terdapat di

    Indonesia. Untuk mengetahui secara pasti perubahan yang terjadi secara in vivo,

    diperlukan suatu biomarker. Biomarker didefinisikan sebagai suatu karakteristik yang

    secara objektif dapat diukur dan dievaluasi sebagai indikator normal terhadap proses

    biologi, patologi atau respon farmakologi terhadap intervensi terapeutik (Dalle-Donne,

    et al., 2006). Salah satu biomarker yang dipakai untuk menentukan stres oksidatif

    adalah kadar f2-isoprostan, yang merupakan hasil akhir peroksidasi lipid di dalam

    tubuh akibat radikal bebas (Cadenas, et al., 2002 (a) (b)). F2-isoprostan merupakan

    gold standart daripada pemeriksaan stres oksidatif, karena prosedur dan tehniknya

    lebih mudah dimana sampel dapat diambil dari urin, sehingga tidak memerlukan

    tindakan invasif. Sejauh ini belum ada penelitian yang melaporkan apakah ekstrak

    propolis dapat menurunkan kadar f2-isoprostan dalam urin tikus wistar, untuk itu

    diperlukan penelitian lebih lanjut.

    1.2 Rumusan Masalah

    Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dibuat rumusan masalah

    penelitian sebagai berikut:

  • 1. Apakah pemberian ektrak propolis peroral dosis 0,3 gram dapat menurunkan

    kadar f2-isoprostan dalam urin tikus putih (Rattus Novergicus) jantan, yang

    mengalami aktivitas fisik maksimal?

    2. Apakah pemberian ekstrak propolis peroral dosis 0,6 gram dapat menurunkan

    kadar f2-isoprostan dalam urin tikus putih (Rattus Novergicus) jantan, yang

    mengalami aktivitas fisik maksimal?

    1.3 Tujuan Penelitian

    1.3.1 Tujuan Umum : Untuk mengetahui pemberian propolis sebagai

    antioksidan dapat menurunkan kerusakan oksidatif yang terjadi.

    1.3.2 Tujuan Khusus :

    1. Untuk mengetahui bahwa pemberian ekstrak propolis peroral dosis 0,3

    gram dapat menurunkan kadar f2-isoprostan dalam urin tikus putih (Rattus

    Novergicus) jantan yang mengalami aktivitas fisik maksimal.

    2. Untuk mengetahui bahwa pemberian ekstrak propolis peroral dosis 0,6

    gram dapat menurunkan kadar f2-isoprostan dalam urin tikus putih (Rattus

    Novergicus) jantan yang mengalami aktivitas fisik maksimal.

    1.4 Manfaat Penelitian

  • 1. Manfaat ilmiah : Hasil penelitian diharapkan dapat menguatkan teori

    tentang potensi propolis sebagai antioksidan dalam upaya mencegah

    terjadinya stres oksidatif sebagai salah satu penyebab proses penuaan.

    2. Manfaat sosial : Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan

    informasi kepada masyarakat umum tentang potensi propolis sebagai

    antioksidan, untuk mencegah salah satu penyebab proses penuaan, sehingga

    diharapkan dapat meningkatkan konsumsi propolis di masyarakat dan nilai

    jualnya di pasaran.

  • BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    2.1 PENUAAN

    2.1.1 Definisi

    Menua (aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan

    kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti diri dan mempertahankan

    struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan serta memperbaiki

    kerusakan yang diderita. Dengan begitu manusia secara progresif akan kehilangan

    daya tahan terhadap infeksi, dan semakin banyak distorsi metabolik dan struktural,

    yang disebut sebagai penyakit degeneratif (seperti hipertensi, aterosklerosis, diabetes

    melitus, dan kanker), yang akan menyebabkan kita mengakhiri hidup dengan episode

    terminal yang dramatik seperti stroke, infark myokard, koma asidotik, metastasis

    kanker dan sebagainya (Darmojo, 1999).

    2.1.2 Penyebab Penuaan

    Banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua melalui proses penuaan,

    yang kemudian menyebabkan sakit, dan akhirnya membawa kepada kematian. Pada

    dasarnya faktor itu dikelompokkan menjadi faktor internal dan eksternal. Beberapa

    faktor internal ialah radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi,

    apotosis, sistem kekebalan yang menurun, dan genetik. Faktor eksternal yang utama

    ialah gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres,

    dan kemiskinan (Pangkahila, 2007).

    10

  • 2.1.3 Teori Proses Penuaan

    Banyak teori yang menjelaskan mengapa manusia mengalami proses penuaan.

    Tetapi, pada dasarnya semua teori itu dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu wear

    and tear theory dan programmed theory (Goldmann and Klatz, 2003).

    2.1.3.1 Wear and Tear Theory

    Teori wear and tear pada prinsipnya menyatakan tubuh menjadi lemah lalu

    meninggal sebagai akibat dari penggunaan dan kerusakan yang terus menerus. Teori

    ini telah lama diperkenalkan oleh Dr. August Weismann, seorang ahli biologi dari

    Jerman pada tahun 1882. Menurut teori ini, tubuh dan selnya menjadi rusak karena

    terlalu sering digunakan dan disalahgunakan. Kerusakan tidak terbatas pada organ,

    melainkan juga terjadi di tingkat sel (Goldmann dan Klatz, 2003).

    Hal ini berarti walaupun seseorang tidak pernah merokok, minum alkohol, dan

    hanya mengonsumsi makanan alami, dengan menggunakan organ tubuh secara biasa

    saja, pada akhirnya terjadi kerusakan. Penyalahgunaan organ tubuh membuat

    kerusakan lebih cepat. Karena itu, tubuh menjadi tua, sel merasakan pengaruhnya,

    terlepas dari seberapa sehat gaya hidupnya. Pada masa muda sistem pemeliharaan dan

    perbaikan tubuh mampu melakukan kompensasi terhadap pengaruh penggunaan dan

    kerusakan normal berlebihan (Goldmann dan Klatz, 2003).

    Dengan menjadi tua, tubuh kehilangan kemampuan memperbaiki kerusakan

    karena penyebab apa pun. Banyak orang tua meninggal karena penyakit yang pada

    masa mudanya dapat ditolak. Teori ini meyakini pemberian suplemen yang tepat dan

    pengobatan yang tidak terlambat dapat membantu mengembalikan proses penuaan.

  • Mekanismenya dengan merangsang kemampuan tubuh untuk melakukan perbaikan

    dan mempertahankan organ tubuh dan sel (Goldman dan Klatz, 2003).

    Teori wear and tear meliputi:

    1. Teori Kerusakan DNA

    Tubuh mempunyai kemampuan untuk memperbaiki diri (DNA

    repair). Proses penuaan sebenarnya berarti proses penyembuhan yang

    tidak sempurna dan sebagai akibat penimbunan kerusakan molekul

    yang terus menerus (Darmojo, 1999). Kerusakan DNA menumpuk

    dalam waktu lama, yang mencapai suatu keadaan dimana basis molekul

    sebanarnya sudah rusak berat. Kerusakan molekuler dapat terjadi

    karena faktor dari luar, seperti radiasi, polutan, asap rokok dan mutagen

    kimia (Pangkahila, 2007).

    2. Teori Penuaan Radikal Bebas

    Teori radikal bebas merupakan salah satu teori tentang penuaan,

    yang diperkenalkan oleh Gerschman kemudian dikembangkan oleh

    Denham Harman. Teori ini menekankan bahwa radikal bebas dapat

    merusak sel sel tubuh manusia (Goldman dan Klantz, 2003).

    Radikal bebas adalah suatu molekul yang mempunyai satu atau lebih

    elekron yang tidak berpasangan pada orbital luarnya, bersifat sangat

    reaktif, dengan cara menarik elektron molekul yang ada disekitarnya,

    mengakibatkan terbentuknya senyawa radikal baru, sehingga akan

    terjadi reaksi rantai (Soeatmadji, 1998; Sadikin, 2001).

  • Kerusakan yang ditimbulkan akibat radikal bebas dimulai ketika

    lahir dan terus berlanjut hingga meninggal dunia. Ketika masih muda

    dampak yang ditimbulkan bersifat minor karena tubuh memiliki

    mekanisme perbaikan dan penggantian yang masih berfungsi baik

    untuk mempertahankan sel dan organ dalam keadaan sehat. Dengan

    bertambahnya usia akumulasi kerusakan akibat radikal bebas akan

    mengganggu metabolisme sel, menyebabkan mutasi sel yang dapat

    menimbulkan kanker dan kematian (Goldmann and Klatz, 2003).

    3. Glikosilasi

    Glikosilasi merupakan salah satu proses biokimia dalam tubuh yang

    menyebabkan perubahan fisik yang dramatis. Glikosilasi adalah reaksi

    non enzimatik antara senyawa glukosa dengan senyawa protein,

    menghasilkan glikotoksin atau Advanced Glycation End Product

    (AGEs), yang merupakan radikal bebas yang akan merusak jaringan

    tubuh. Proses ini semakin sering terjadi saat kita menua, terjadi tanpa

    bantuan enzim spesifik, yang menyebabkan glikosilasi menjadi sangat

    berbahaya (Roizen and Oz, 2009).

    2.1.3.2 Programmed Theory

    Teori ini menganggap di dalam tubuh manusia terdapat jam biologik, mulai

    dari proses konsepsi sampai ke kematian dalam suatu model terprogram (Darmojo,

    1999). Peristiwa ini terprogram mulai dari sel sampai embrio, janin, masa bayi, anak-

    anak, remaja, dewasa, menjadi tua dan akhirnya meninggal (Pangkahila, 2007).

  • 1. Teori Terbatasnya Replikasi Sel

    Pada ujung chromosome strands terdapat struktur khusus yang

    disebut telomer. Setiap replikasi sel telomer memendek pada setiap

    pembelahan sel. Setelah sejumlah sel pembelahan sel, telomer telah

    dipakai dan pembelahan sel berhenti. Menurut Hayflick, mekanisme

    telomere tersebut menentukan rentang usia sel dan pada akhirnya juga

    rentang usia organisme itu sendiri (Pangkahila, 2007).

    2. Proses Imun

    Rusaknya sistem imun tubuh seperti: mutasi yang berulang atau

    perubahan protein pasca translasi, dapat menyebabkan berkurangnya

    kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri (self

    recognition). Jika mutasi somatik menyebabkan terjadinya kelainan

    pada antigen permukaan sel, maka hal ini dapat menyebabkan sistem

    imun tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan tersebut

    sebagai sel asing dan menghancurkannya. Perubahan inilah yang

    menjadi dasar terjadinya peristiwa autoimun. Salah satu bukti yang

    ditemukan ialah bertambahnya prevalensi auto antibodi pada orang

    lanjut usia (Darmojo, 1999).

    3. Teori Neuroendrokin

    Teori ini diperkenalkan Vladimir Dilman, PhD, berdasarkan

    peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh. Pada usia muda

    berbagai hormon bekerja dengan baik mengendalikan berbagai fungsi

  • organ tubuh, sehingga fungsi berbagai organ tubuh sangat optimal.

    Akan tetapi, ketika manusia menjadi tua, tubuh hanya mampu

    memproduksi hormon lebih sedikit sehingga kadarnya menurun.

    Akibatnya berbagai fungsi tubuh terganggu (Darmojo, 1999; Goldman

    dan Klatz, 2003). Terapi sulih hormon membantu untuk

    mengembalikan fungsi hormon tubuh sehingga dapat memperlambat

    proses penuaan (Goldman dan Klatz, 2003).

    2.2 ANTI PENUAAN

    Anti Aging Medicine (AAM) pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan

    oleh American Academy of Anti-Aging Medicine (A4M) pada tahun 1993. Anti Aging

    Medicine adalah bagian ilmu kedokteran yang didasarkan pada penggunaan ilmu

    pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini untuk melakukan deteksi dini,

    pencegahan, pengobatan, dan perbaikan ke keadaan semula berbagai disfungsi,

    kelainan, dan penyakit yang berkaitan dengan penuaan, yang bertujuan untuk

    memperpanjang hidup dalam keadaan sehat (Pangkahila, 2007).

    Perkembangan ilmu Kedokteran Anti Penuaan (KAP) atau Anti Aging Medicine

    telah membawa konsep baru yang menyebabkan perubahan paradigma di dunia

    kedokteran.

    1. Penuaan dapat dianggap sama dengan suatu penyakit yang dapat dicegah, diobati

    bahkan dikembalikan ke keadaan semula.

    2. Manusia bukanlah orang hukuman yang terperangkap dalam takdir genetiknya.

  • 3. Manusia mengalami keluhan atau gejala penuaan karena kadar hormonnya

    menurun, bukan kadar hormon menurun karena manusia menjadi tua

    (Pangkahila, 2007).

    Bila berbagai faktor penyebab penuaan dapat dihindari, proses penuaan tentu

    dapat dicegah, diperlambat, bahkan mungkin dihambat, dan kualitas hidup dapat

    dipertahankan, sehingga usia harapan hidup menjadi lebih panjang dengan kualitas

    hidup yang baik (Pangkahila, 2007).

    Jika radikal bebas dapat diatasi dengan antioksidan, salah satu penyebab proses

    penuaan sudah dihambat. Jika gaya hidup tidak sehat ditinggalkan, diet tidak sehat

    dihindari, dan hormon yang berkurang diatasi dengan pengobatan, maka proses

    penuaan yang penting dapat disingkirkan (Pangkahila, 2007).

    2.3 RADIKAL BEBAS

    2.3.1 Definisi Radikal Bebas

    Radikal bebas (free radical) adalah suatu senyawa atau molekul yang

    mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya, dapat

    bereaksi dengan molekul lain menimbulkan reaksi rantai yang sangat dekstruktif

    (Soeatmadji, 1998; Goldmann and Klatz, 2003). Pengertian radikal bebas dan oksidan

    sering dianggap sama karena keduanya memiliki kemiripan sifat, serta memiliki

    aktivitas yang sama dan memberikan akibat yang hampir sama, meskipun melalui

    proses yang berbeda (Suryohudoyo, 2000; Winarsi, 2010).

  • 2.3.2 Sifat-sifat Radikal Bebas

    Radikal bebas memiliki reaktifitas tinggi, adanya satu atau lebih elektron tidak

    berpasangan pada orbital luarnya, menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif

    mencari pasangan, dengan cara menyerang atau menarik elektron molekul yang berada

    di sekitarnya (Soeatmaji, 1998). Hal ini mengakibatkan terbentuknya senyawa radikal

    baru, dengan kata lain radikal bebas dapat mengubah suatu molekul atau senyawa

    menjadi suatu radikal bebas baru, dan seterusnya sehingga akan terjadi reaksi rantai

    (chain reactions) (Sadikin, 2001; Winarsi, 2010).

    Pemahaman radikal bebas sebagai oksidan memang tidak salah. Sifat radikal

    bebas yang mirip dengan oksidan terletak pada kecenderungannya untuk menarik

    elektron. Pengertian oksidan dalam ilmu kimia adalah, senyawa penerima elektron

    (electron acceptor), yaitu senyawa yang dapat menerima atau menarik elektron,

    disebut juga oksidator, misalnya ion ferri (Fe +++)

    Fe3+ + e- Fe2+

    Jadi sama halnya dengan oksidan, radikal bebas adalah penerima elektron. Itulah

    sebabnya dalam kepustakaan kedokteran, radikal bebas digolongkan dalam oksidan.

    Namun perlu diingat bahwa radikal bebas adalah oksidan tetapi tidak setiap oksidan

    adalah radikal bebas. Radikal bebas lebih berbahaya, dibandingkan dengan senyawa

    non radikal (Halliwell and Gutteridge, 1985; Suryohudoyo, 2000; Winarsi, 2010).

    Reaktivitas dari radikal bebas baru akan berhenti bila ada peredam atau diredam

    (quenched) oleh senyawa yang bersifat antioksidan, seperti glutation (Winarsi, 2010).

    GSH dengan OH

  • OH + GSH H2O + GS (Radikal glutation)

    GS + GS GSSG

    2.3.3 Sumber Oksidan

    Oksidan yang dapat merusak sel berasal dari berbagai sumber (Halliwell dan

    Gutteridge, 1985) yaitu :

    1. Yang berasal dari tubuh sendiri, yaitu senyawa-senyawa yang sebenarnya berasal

    dari proses-proses biologik normal (fisiologis), namun oleh suatu sebab

    terdapat dalam jumlah besar.

    2. Yang berasal dari proses peradangan

    3. Yang berasal dari luar tubuh, seperti misalnya : obat-obatan dan senyawa

    pencemar (polutan).

    4. Radiasi.

    Tanpa disadari, dalam tubuh kita terbentuk radikal bebas secara terus menerus,

    baik melalui proses metabolisme sel normal, peradangan, kekurangan gizi, dan respon

    terhadap pengaruh dari luar, seperti polusi lingkungan, ultraviolet (UV), asap rokok

    dll. Dengan meningkatnya usia seseorang, pembentukan radikal bebas juga meningkat.

    Secara endogenus, hal ini bekaitan dengan laju metabolisme seiring dengan

    betambahnya usia. Bertambahnya glikolisis juga akan menyebabkan peningkatan

    oksidasi glukosa dalam siklus asam sitrat sehingga radikal bebas akan terbentuk lebih

    banyak. Secara eksogenus, kemungkinan tubuh terpapar dengan polutan juga semakin

    tinggi, seiring dengan meningkatnya usia seseorang. Kedua faktor tersebut secara

    sinergis meningkatkan jumlah radikal bebas dalam tubuh (Winarsi, 2010).

  • 2.3.4 Tahap Pembentukan Radikal Bebas

    Secara umum, tahapan reaksi pembentukan radikal bebas melalui tiga tahapan

    reaksi berikut

    1. Tahap inisiasi, yaitu awal pembentukan radikal bebas, menjadikan senyawa non

    radikal menjadi radikal. Misalnya:

    Fe ++ + H2O2 Fe +++ + OH- + OH

    R1 _H + OH R1 + H2O

    2. Tahap propagasi, yaitu pemanjangan rantai radikal, dimana reaksi berantai

    radikal bebas diperluas sehingga membentuk beberapa radikal bebas baru.

    R2_H + R1 R2 + R1_H

    R3_H + R2 R3 + R2_H

    3. Tahap terminasi, yaitu pembentukan non radikal dari radikal bebas,

    bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain atau dengan penangkap

    radikal, sehingga potensi propagasinya rendah..

    R1 + R1 R1_R1

    R2 + R1 R2_R1

    R2 + R2 R2_R2 dan seterusnya (Winarsi, 2010) :

    2.3.5 Senyawa Oksigen Reaktif

    Pada dasarnya radikal bebas dapat terbentuk melalui dua cara, yaitu secara

    endogen (sebagai respon normal proses biokimia intrasel maupun ekstrasel) dan secara

    eksogen (misalnya dari polusi, makanan, serta injeksi ataupun absorpsi melalui kulit)

    (Supari, 1996).

  • Teraktivasinya oksigen dapat menyebabkan terbentuknya radikal bebas oksigen,

    yang disebut anion superoksida (O2 ). Secara invitro senyawa radikal ini akan

    membentuk kompleks dengan senyawa organik. Banyak faktor yang menyebabkan

    senyawa tersebut membentuk kompleks, antara lain adanya sifat permukaan membran,

    muatan listrik, sifat pengikatan makromolekul, dan bagian enzim, substrat, maupun

    katalisator. Senyawa kompleks ini dapat terjadi pada berbagai sel yang masih normal

    maupun tidak normal atau telah teraktivasi (Belleville-Nabet, 1996).

    Radikal bebas, yang sering disebut senyawa oksigen reaktif (SOR), dapat

    dibentuk melalui jalur enzimatis ataupun metabolik. Senyawa oksigen reaktif juga

    dapat diproduksi oleh sel dalam kondisi stres ataupun tidak stres. Pada kondisi tidak

    stres, terdapat keseimbangan antara proses pembentukan dan pemusnahan senyawa

    oksigen reaktif. Sementara pada kondisi stres oksidatif, pembentukan senyawa oksigen

    reaktif lebih tinggi dibandingkan dengan pemusnahannya. Akibatnya, sistem

    pertahanan tubuh terpacu untuk bekerja lebih keras untuk memusnahkan senyawa

    oksigen reaktif. Salah satu sistem pertahanan tubuh itu adalah sistem antioksidan

    enzimatis dan non enzimatis, yang bekerja menekan senyawa oksigen reaktif yang

    berlebihan. Oksigen teraktivasi juga dapat terbentuk karena fungsi enzim atau sistem

    transfer elektron terganggu. Sebagai akibatnya adalah gangguan metabolik yang

    mengakibatkan stres oksidatif (Winarsi, 2010).

    Senyawa oksigen reaktif berasal dari oksigen (O2), yaitu senyawa yang sangat

    dibutuhkan oleh organisme aerob seperti halnya manusia. Senyawa oksigen ini

  • digunakan organisme aerob untuk menghasilkan energi berupa ATP, melalui proses

    fosforilasi oksidatif dalam mitokondria, dengan reaksi sebagai berikut.

    2NADH + 2H+ + O2 2NAD+ + 2H2O + energi

    ADP + energi ATP

    Dalam proses ini, 1 molekul oksigen akan tereduksi menjadi 2 molekul air

    menurut reaksi sebagai berikut.

    O2 + 4H+ + 4e- 2H2 O

    Reduksi satu molekul oksigen menjadi dua molekul air terjadi dengan

    memindahkan empat elektron. Namun dalam keadaan tertentu, proses pemindahan

    elektron ini tidak terjadi secara sempurna, sehingga mengakibatkan terjadinya senyawa

    oksigen reaktif. Adapun tahapan pembentukan senyawa oksigen reaktif adalah sebagai

    berikut.

    O2 + e - O2-

    O2 + e- + H+ OOH

    O2 + 2e- + 2H + H2O2

    O2 + 3e- + 3H + OH + H2O

    O2 + 4e - + 4H + 2H2O

    Dari tahapan reaksi tersebut, tampak bahwa radikal ion superoksida, radikal

    peroksil, hidrogen peroksida, dan radikal hidroksil terbentuk sebagai akibat

    pemindahan elektron yang kurang sempurna dalam proses reduksi oksigen (Winarsi,

    2010).

  • Radikal bebas dan senyawa oksigen reaktif menyebabkan stres oksidatif yang

    mengakibatkan berbagai penyakit. Kejadian ini diawali oleh reaksi oksidasi dalam

    tubuh. Bahkan meningkatnya kejadian penyakit kardiovaskuler, aterosklerosis,

    diabetes melitus, dan kanker diyakini berkorelasi positif dengan tingginya radikal

    bebas dan senyawa oksigen reaktif dalam tubuh (Winarsi, 2010).

    2.3.5.1 Radikal Ion Superoksida (O2)

    Radikal ion superoksida disebut juga anion superoksida. Senyawa ini

    diproduksi di beberapa tempat yang memiliki rantai transpor elektron. Oksigen

    teraktivasi dapat terjadi dalam berbagai bagian sel, termasuk mitokondria, kloroplas,

    mikrosom, glikosom, peroksisom, dan sitosol (Elstner, 1991).

    Pembentukan radikal ion superoksida ini melalui beberapa mekanisme sebagai

    berikut (Cadenas and Packer, 2002 (a)):

    1. Reaksi samping dalam reaksi yang melibakan Fe++, misalnya dalam proses:

    a. Fosforilasi oksidatif

    b. Oksigenasi hemoglobin

    c. Hidroksilasi oleh enzim monooksigenase (dalam sitokrom P450 dan

    sitokrom b4)

    d. Fe++ + O2 Fe +++ + O2-

    2. Reaksi dalam mitokondria dan granulosit yang dikatalisis oleh NADH/NADPH

    oksidase.

    NADH + O2 NAD+ + H+ + O2-

    NADP + O2 NADP+ + H + + O2-

  • 3. Reaksi yang dikatalisis oleh xantin oksidase (XO)

    XH + H2O + 2 O2 XO X-OH + 2 O2- + 2 H+ Xantin Asam urat

    Dalam keadaan normal, di dalam sel mamalia tidak terdapat enzim xantin

    oksidase. Enzim ini berasal dari enzim xantin dehidrogenase (XD) yang mengalami

    proteolisis dan berubah menjadi xantin oksidase (XO), ketika terjadi iskemia atau

    hipoksia.

    XD XO + peptida Xantin oksidase

    Perubahan xantin dehidrogenase menjadi xantin oksidase bersifat irreversibel. Artinya

    bila suplai oksigen kembali normal maka akan terbentuk senyawa lain, yaitu ion

    superoksida yang lebih reaktif yang mengakibatkan kerusakan jaringan.

    2.3.5.2 Radikal Peroksil (OOH)

    Sebetulnya ion superoksida tidak terlalu reaktif bila dibandingkan dengan bentuk

    perubahannya yang berupa radikal peroksil.

    O2- + H+ OOH Radikal peroksil

    Radikal peroksil ini sangat reaktif, dan akan membentuk radikal baru melalui

    reaksi sebagai berikut.

    OOH + XH X + H2O2

    Dari reaksi ini terlihat bahwa radikal peroksil lebih berbahaya daripada H2O2 (Cadenas

    and Packer, 2002 (a); Winarsi, 2007).

    2.3.5.3 Hidrogen Peroksida (H2O 2)

  • Hidrogen peroksida (H2O2) terbentuk karena aktivitas enzim-enzim oksidase

    yang mengkatalisis reaksi dalam retikulo endoplasmik (mikrosom) dan peroksisom.

    RH2 + O2 R + H2O2

    Hidrogen peroksida merupakan senyawa oksidan yang sangat kuat dan dapat

    mengoksidasi berbagai senyawa dalam sel, seperti glutation.

    2GSH + H2O2 GSSG + 2H2O

    Hidrogen peroksida tidak hanya bersifat sebagai oksidator, melainkan juga dapat

    membentuk radikal bebas, bila bereaksi dengan logam transisi seperti Fe++ dan Cu+

    dalam reaksi Fenton.

    Fe++ + H2O2 Fe+++ + OH- + OH

    Cu+ + H2O2 Cu ++ + OH- + OH

    Efek negatif yang lain dari oksidator hidrogen peroksida adalah kemampuannya

    untuk membentuk ion hipoklorit (ClO-) melalui reaksi yang dikatalisis oleh enzim

    mieloperoksidase dalam sel inflamasi, seperti granulosit, monosit, dan makrofag

    (Cadenas and Packer, 2002 (a)).

    H2O2 + Cl- H2O + ClO-

    R + ClO- RO + Cl-

    2.3.5.4 Radikal Hidroksil (OH)

    Keberadaan senyawa H2O2 dapat berbahaya bila bersama-sama ion superoksida

    karena akan membentuk radikal hidroksil (OH) melalui reaksi Haber-Weiss berikut.

  • O2- + H2O2 O2 + OH- + OH

    Reaksi Haber-Weiss memerlukan ion Fe+++ atau Cu++ dan terjadi melaui dua

    tahap.

    Fe+++ + O2- Fe++ + O2

    Fe+++ + H2O2 Fe+++ + OH- + OH

    Dari berbagai bentuk senyawa oksigen reaktif tersebut, radikal hiroksil

    merupakan senyawa yang paling reaktif dan berbahaya. Radikal hidroksil bukan

    merupakan produk primer proses biologis, melainkan berasal dari H2O2 dan O2-

    (Cadenas and Packer, 2002 (a); Winarsi, 2007).

    2.3.5.5 Singlet Oksigen (1O2)

    Singlet oksigen merupakan bentuk oksigen yang memiliki reaktivitas jauh lebih

    tinggi dibandingkan dengan oksigen bentuk ground state. Senyawa ini akan terbentuk

    melaui reaksi yang dikatalisis oleh enzim-enzim (Cadenas and Packer, 2002 (a);

    Winarsi, 2007):

    a. Enzim monooksigenase yang menggunakan sitokrom P450 dengan substrat

    peroksida.

    b. Enzim prostaglandin endoperoksida sintetase, yaitu suatu enzim yang bekerja

    dalam pembentukan prostaglandin dalam asam arakidonat.

    c. Enzim mieloperoksidase, yang mengkatalisis reaksi hipoklorit dengan H2O2.

    2.3.6 Stres Oksidatif

    Tubuh dapat mengatasi radikal bebas, namun jika radikal bebas yang dihasilkan

    melebihi antioksidan dapat menyebabkan stres oksidatif (Wiyono, 2003). Stres

  • oksidatif adalah suatu keadaan ketika jumlah antioksidan tubuh kurang dari yang

    diperlukan, untuk meredam efek buruk radikal bebas, yang dapat merusak membran

    sel, protein dan DNA, dan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup sel atau jaringan.

    Jika hal ini terjadi dalam waktu yang berkepanjangan, maka akan terjadi penumpukan

    hasil kerusakan oksidatif di dalam sel dan jaringan yang akan menyebabkan sel atau

    jaringan tersebut kehilangan fungsinya dan akhirnya mati (Bagiada, 2001).

    2.3.6.1 Dampak Negatif Senyawa Oksigen reaktif

    Senyawa oksigen reaktif merusak komponen sel, sehingga ketahanan integritas

    dan kehidupan sel terganggu. Dampak dari senyawa oksigen reaktif sangat luas dan

    mekanisme molekulernya masih belum terkuak secara jelas (Bagiada, 2001).

    2.3.6.2 Dampak Negatif Radikal Hidroksil

    Radikal hidroksil merupakan senyawa yang paling berbahaya. Merusak tiga

    jenis senyawa. yang penting untuk mempertahankan integritas sel (Halliwel dan Cross,

    1994), yaitu:

    a. Asam lemak tak jenuh yang merupakan komponen penting fosfolipid

    penyusun membran sel.

    b. DNA, yang merupakan perangkat genetik

    c. Protein, yang memegang berbagai peran penting, seperti enzim,

    reseptor, antibodi dan penyusun matriks serta sitoskeleton.

    Dampak terhadap membran sel, dapat menyerang komponen penting membran

    sel seperti: asam linoleat, linolenat dan arakidonat, yang dapat menimbulkan reaksi

    rantai peroksidasi lipid. Terputusnya rantai asam lemak tidak jenuh menghasilkan

  • senyawa toksik seperti: aldehid, MDA, 9-OH noneal,etana, F2-Isoprostan dan lain-lain.

    Juga dapat membentuk ikatan silang (cross-linking) (Cadenas and Packer, 2002 (a)

    (b); Winarsi, 2007).

    Dampak terhadap DNA, hidroksilasi basa timin dan sitosin, pembukaan inti

    purin dan pirimidin serta terputusnya rantai fosfodiester DNA, replikasi sel terganggu.

    Terjadi mutasi, bila sistim perbaikan DNA terlampaui atau terjadi error prone (bila

    sistim perbaikan DNA salah) (Winarsi, 2007). DNA mitokondria (mtDNA) merupakan

    target utama senyawa oksigen reaktif (SOR). Paparan senyawa oksigen reaktif pada

    mtDNA, ditemukan pada penderita berbagai penyakit degeneratif yang berkaitan

    dengan aging. Akibatnya adalah penurunan fungsi mitokondria, dan bahkan kerusakan

    pada mtDNA. Kerusakan pada mitokondria , dapat digunakan sebagai biomarker pada

    penyakit-penyakit yang diakibatkan oleh senyawa oksigen reaktif (Yakes and Van

    Houten, 1997).

    Dampak terhadap protein, terjadi reaksi dengan asam amino penyusun protein

    dan yang paling rawan adalah sistein (SH)= ikatan sulf hidril

    RSH + OH RS + H2O

    RS. + RS. R-S-S-R

    Ikatan S-S (disulfida linkage), menyebabkan protein kehilangan aktivitasnya (Winarsi,

    2007)

    2.3.6.3 Dampak Positif

  • Melawan/membunuh organisme patogen yang dihasilkan oleh granulosit,

    makrofag dan monosit. Bila produksi oksidan berlebihan menimbulkan kerusakan

    jaringan (Bagiada, 2001).

    2.3.7 Pengukuran Peroksidasi Lipid

    Peroksidasi lipid terjadi dalam beberapa tahapan. Banyak teknik tersedia untuk

    mengukur tingkat peroksidasi, hilangnya substrat asam lemak penyebab terjadinya

    rantai peroksidasi lemak, sehingga prinsipnya secara sederhana pengukuran

    peroksidasi adalah untuk menguji hilangnya asam lemak, salah satunya dengan

    mengukur kadar f2-isoprostan, yang merupakan produk akhir yang toksik dari

    peroksidasi lipid (Cadenas and Packer, 2002 (b)).

    F2-isoprostan dapat ditemukan di jaringan dan cairan tubuh (termasuk urin)

    manusia dan hewan, yang mengandung f2-isoprostan dan metabolitnya dalam tingkat

    rendah ( 30-40 pg/mL di plasma segar manusia, 2 ng/mg kreatinin di urin manusia).

    Tingkat f2-isoprostan in vivo meningkat dalam kondisi stres oksidatif (misalnya dalam

    plasma dan urin perokok, dalam nafas penderita asma, pada penderita diabetes, dalam

    cairan paru yang terpapar O2 tinggi, dalam plasma tikus yang kelebihan beban besi,

    dan pada hewan yang diberi perlakuan dengan CCl4. Isoprostan juga dapat terbentuk

    dalam makanan, tetapi berkontribusi sedikit untuk kadar plasma pada manusia

    (Cadenas and Packer, 2002 (a) (b)).

    2.4 AKTIVITAS FISIK MAKSIMAL

    Olahraga harus menjadi pusat setiap rencana kerja antioksidan yang efektif.

    Alasannya tanpa olahraga yang teratur, pertahanan dalam tubuh terhadap radikal

  • bebas, termasuk antioksidan endogen, seperti superoksida dismutase, glutation

    peroksidase, dan katalase dapat menjadi terlalu rapuh, untuk mempertahankan efek

    yang optimal (Cooper, 2001).

    Namun penting melakukan jenis olahraga yang benar. Artinya mengandalkan

    olahraga dengan intensitas rendah, yang akan meminimumkan pengeluaran radikal

    bebas yang berlebihan saat latihan, dan pada saat yang sama meningkatkan jumlah

    enzim alami, atau antioksidan endogen (Cooper, 2001).

    2.4.1 Olahraga Berintensitas Rendah

    Olahraga dengan intensitas rendah adalah program olahraga hidup sehat yang

    paling efektif, termasuk membangun pertahanan melawan radikal bebas (Cooper,

    2001). Untuk mendapatkan hasil maksimal dan risiko minimal pada pelatihan

    diperlukan kondisi lingkungan yang memadai dan takaran pelatihan yang tepat untuk

    setiap individu meliputi FITT, yaitu Frequency, Intencity, Type, Time. Frekuensi yang

    dianjurkan tiga hingga lima kali per minggu dengan intensitas kurang lebih 60-85%

    dari denyut jantung maksimal: 220 umur (dalam tahun). Latihan didahului

    pemanasan selama 3-5 menit, dilanjutkan latihan inti 15-60 menit, diakhiri

    pendinginan 3-5 menit (Giam, 1993).

    2.4.2. Latihan Fisik Berlebih

    Pelatihan berlebih seringkali akibat dari (Hatfield, 2001):

    a. Volume latihan terlalu banyak.

    b. Intensitas pelatihan terlalu tinggi.

    c. Durasi pelatihan terlalu panjang.

  • d. Frekuensi pelatihan terlalu sering

    Saat ini, lebih banyak alasan untuk membatasi intensitas latihan, alasan utama

    pada bahaya yang disebabkan oleh kelebihan radikal bebas, yang mungkin terbentuk

    selama latihan fisik berat. Latihan dengan intensitas tinggi yang melelahkan dapat

    meningkatkan kemungkinan berbagai masalah kesehatan, seperti kanker, serangan

    jantung, katarak, penuaan dini, penurunan kekebalan, dan lain lain (Cooper, 2001).

    Dr. Ralph Paffenbarger melakukan studi terhadap 16.936 pria alumni Harvard,

    berusia 35 sampai 74 tahun. Menurut laporan yang dimuat dalam The New England

    Journal of Medicine, ditemukan angka kematian lebih rendah bagi pria yang

    melakukan aktivitas fisik secara teratur, dibandingkan pria yang tidak pernah

    melakukannya. Laju kematian lebih rendah pada pria yang menghabiskan 2000 kalori

    atau lebih per minggu. Akan tetapi, pada tingkat intensitas tinggi, olahraga kurang

    bermanfaat. Angka kematian mulai meningkat diantara pria yang menghabiskan lebih

    dari 3000 kalori per minggu (Cooper, 2001).

    2.4.3 Hubungan Latihan Berlebihan dan Kerusakan karena Radikal bebas

    Pada keadaan normal, radikal bebas terbentuk secara amat perlahan, kemudian

    dinetralisasi oleh antioksidan dalam tubuh. Namun jika laju pembentukan radikal

    bebas sangat meningkat karena dipicu latihan yang berlebihan, jumlah radikal akan

    melebihi kemampuan sistem pertahanan tubuh, menyerang membran sel, sehingga

    terjadi kerusakan sel-sel pada otot dan tulang. Kerusakan dan peradangan jaringan

    yang sering menyertai olahraga yang menghabiskan tenaga, merupakan tanda paling

    jelas adanya kegiatan radikal bebas (Cooper, 2001).

  • 2.4.4 Pembentukan Radikal Bebas Pada Latihan Fisik Berlebih

    Radikal bebas terbentuk selama berolahraga melalui dua cara:

    1. Pelepasan Elektron

    Saat berolahraga terjadi pelepasan elektron, olahraga berlebihan menyebabkan

    terjadi peningkatan konsumsi oksigen oleh tubuh 10-20 kali atau lebih. Dalam

    serat otot yang berkontraksi penggunaan oksigen dapat meningkat 100-200 kali

    di atas kebutuhan normal. Peningkatan oksigen yang luar biasa memicu

    pelepasan radikal bebas , terutama radikal superoksida (Clarkson, 2000; Cooper,

    2001; Sauza, 2005).

    2. Fenomena Reperfusion Injury

    Saat berolahraga berat, darah yang mengalir dalam tubuh keluar dari berbagai

    organ yang tidak terlibat secara aktif dalam proses. Namun darah dialirkan ke

    otot skelet. Selama pengalihan aliran darah, sebagian atau seluruh bagian organ

    tubuh yang tidak terlibat dalam olahraga akan mengalami kekurangan oksigen

    secara tiba-tiba (hipoksia). Proses iskemia yang terjadi menyebabkan perubahan

    enzim xantin dehidrogenase menjadi xantin oksidase, dimana perubahannya

    bersifat ireversibel. Setelah berolahraga terjadi proses reperfusi, dimana darah

    bergerak kembali dengan cepat ke berbagai organ yang kekurangan aliran darah

    sehingga oksigen terpenuhi kembali, reaksi yang terjadi dipengaruhi oleh xantin

    oksidase. Reaksi ini menghasilkan radikal bebas sehingga menimbulkan

    reperfusion injury (injury yang terjadi setelah terjadinya reperfusi setelah

    mengalami iskemia (Langseth, 1996; Cooper 2001)).

  • 2.4.5 Hasil Pengukuran Radikal Bebas Saat Berolahraga

    Saat ini tidak terdapat penanda diagnosis tunggal untuk latihan fisik berlebih.

    Pemeriksaan yang tersedia untuk memeriksa respon biomarker terhadap latihan

    (Margonis et al., 2007). Pengukuran radikal bebas terutama pada proses oksidasi

    lemak, yang dikenal sebagai peroksidasi lipid. Proses ini membentuk sisa

    metabolisme, salah satunya dikenal sebagai thiobarbituric acid reactive substance

    (TBARS) (Cooper, 2001; Cadenas and Packer, 2002 (a)), yang merupakan tes yang

    tertua untuk mengukur peroksidasi lipid, merupakan pengujian yang sederhana, tetapi

    kesederhanaan melakukan uji ini memungkinkan kompleksitas kimianya (Cadenas dan

    Packer, 2002 (a)).

    Pemeriksaan respon biomarker terhadap latihan ketahanan yang dilakukan pada

    12 orang laki-laki berusia 21 tahun, yang dilakukan selama 12 minggu, dimana latihan

    pada masing-masing sesi dilakukan selama tiga minggu. Pada sesi pertama dilakukan

    latihan dua kali seminggu. Sesi kedua delapan kali seminggu. Sesi ketiga 14 kali

    seminggu. Diikuti istirahat total selama tiga minggu. Sampel darah atau urin

    dikumpulkan pada keadaan basal dan 96 jam pascalatihan terakhir pada tiap sesi.

    Hasilnya menunjukkan adanya leukositosis, peningkatan isoprostan dalam urin (7-

    fold), TBARS (56%), katalase (96%), gluthatione peroxidase, serta gluthatione yang

    teroksidasi (GSSG) (25%). Sebaliknya terjadi penurunan gluthatione tereduksi (GSH)

    (31%), GSH/GSSG (56%), dan kapasitas total antioksidan. Dapat disimpulkan, latihan

    fisik berlebih merangsang respon terhadap biomarker stres oksidatif (Margonis et al.,

    2007).

  • 2.5 ANTIOKSIDAN

    2.5.1 Definisi Antioksidan

    Dalam pengertian kimia, senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi elektron

    (elektron donors). Secara biologis, pengertian antioksidan adalah senyawa yang

    mampu menangkal atau meredam dampak negatif oksidan dalam tubuh. Antioksidan

    bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat

    oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut dihambat (Winarsi, 2007),

    termasuk enzim - enzim dan protein - protein pengikat logam (Pangkahila, 2007).

    2.5.2 Klasifikasi antioksidan

    2.5.2.1 Klasifikasi antioksidan secara umum

    1. Antioksidan Enzimatis, misalnya enzim superoksida dismutase (SOD), katalase,

    dan glutation peroksidase.

    2. Antioksidan Non Enzimatis

    a. Antioksidan larut lemak, seperti -tokoferol, karotenoid, flavonoid,

    quinon, dan bilirubin.

    b. Antioksidan larut air, seperti asam askorbat, asam urat, protein pengikat

    logam, dan protein pengikat heme. (Miyazaki et al., 2000; Winarsi,

    2007).

    Antioksidan enzimatis dan non enzimatis tersebut bekerja sama memerangi

    aktivitas senyawa oksidan dalam tubuh. Terjadinya stres oksidatif dapat dihambat oleh

    kerja enzim-enzim antioksidan dalam tubuh dan antioksidan non enzimatik (Miyazaki

    et al, 2000; Winarsi, 2007).

  • 2.5.2.2 Klasifikasi berdasar mekanisme pencegahan dampak negatif oksidan

    1. Antioksidan pencegah ( preventive antioxidants).

    Pada dasarnya tujuan antioksidan jenis ini mencegah terjadinya radikal

    hidroksil, yaitu radikal yang paling berbahaya. Untuk membentuk radikal hidroksil

    diperlukan tiga komponen, yaitu : logam transisi Fe atau Cu, H2O2 dan O2 - Agar

    reaksi Fenton ((Fe++(Cu+) + H2O2 Fe+++ ( Cu++ ) + OH - + OH ))

    tidak terjadi, maka harus dicegah keberadaan ion Fe++ atau Cu+ bebas. Untuk itu

    berperan beberapa protein penting, yaitu :

    a. Untuk Fe transferin atau feritin

    b. Untuk Cu : seruloplasmin atau albumin

    Penimbunan O2 - dicegah oleh enzim superoksida dismutase (SOD) dengan

    mengkatalisis reaksi dismutasi O2-.

    2O2 - + 2H SOD H2O2 + O2

    Enzim SOD melindungi sel-sel tubuh dan mencegah terjadinya proses

    peradangan yang diakibatkan oleh radikal bebas.

    Penimbunan hidrogen peroksida (H2O2) dicegah melalui aktivitas dua enzim,

    yaitu :

    a. Katalase, yaitu enzim yang mengandung heme, yang mengkatalisis reaksi

    dismutasi H2O2 menjadi air dan oksigen, dimana katalase mampu

    mengoksidasi satu molekul hidrogen peroksida menjadi oksigen, kemudian

    secara simultan mereduksi molekul hidrogen peroksida kedua menjadi air.

    2H2O2 2H2O + O2

  • b. Peroksidase, yang mengkatalisis reaksi sebagai berikut :

    R + H2O2 RO + H2O

    Diantara berbagai peroksidase, yang paling penting adalah gluthation

    peroksidase (GSPx), yang mengkatalisis reaksi :

    2GSH + H2O2 GSSG + 2H2O

    Apabila radikal hidroksil masih saja terbentuk, masih ada sarana lain untuk

    meredamnya, tanpa memberi kesempatan untuk memulai reaksi rantai

    dengan melibatkan senyawa-senyawa yang mengandung sulhidril seperti

    gluthation dan sistein.

    Gluthation ( GSH ) :

    GSH + OH GS + H2O

    2GS GSSG

    Sistein ( Cys-SH ) :

    Cys-SH + OH Cys-S + H2O

    2 Cys Cys-S-S-Cys

    2. Antioksidan pemutus reaksi rantai ( chain-breaking antioxidants).

    Dalam kelompok antioksidan ini termasuk vitramin E (tokoferol), asam

    askorbat ( vitamin C ), karoten. Vitamin E dan -karoten bersifat lipofilik,

    sehingga dapat berperan pada membran sel untuk mencegah peroksidasi lipid.

    Sebaliknya, vitamin C, gluthation dan sistein bersifat hidrofilik, dan berperan

    dalam sitosol ((Frei, 1999; Milner, 2000; Murray et al., 2000).

  • Gambar 2.1 Korelasi hubungan antioksidan dalam sistem biologi (Yuji et al, 2010)

    2.6 PROPOLIS

    Propolis atau lem lebah adalah suatu zat yang dihasilkan oleh lebah madu,

    mengandung resin dan lilin lebah, bersifat lengket yang dikumpulkan dari sumber

    tanaman, terutama dari bunga dan pucuk daun, untuk kemudian dicampur dengan air

    liur lebah (Marcucci et al., 2001, Salatino et al., 2005; Nakajima et al., 2009). Asal

    tanaman penghasil propolis belum dapat diketahui semuanya, yang saat ini diketahui

    adalah berasal dari getah resin tanaman kelompok pinus dan akasia. Propolis

    digunakan untuk menutup sel-sel atau ruang heksagonal pada sarang lebah. Biasanya,

    propolis menutup celah kecil berukuran 4-6 mm, sedangkan celah yang lebih besar

    diisi oleh lilin lebah. Dahulu peternak lebah di Amerika Serikat menganggap propolis

    sebagai bahan pengganggu, sebab melekat di tangan, pakaian, dan sepatu ketika cuaca

    panas, serta berubah keras dan berkerak ketika dingin (Salatino et al., 2005).

  • Salah satu jenis lebah yang mampu menghasilkan propolis dalam jumlah

    banyak yaitu jenis Trigona sp (Sabir, 2009). Spesies lebah madu yang juga aktif

    mencari propolis adalah Apis Mellifera (Salatino et al., 2005).Hanya lebah betina

    pekerja yang bertugas mencari polen sebagai bahan baku propolis, mengolah propolis

    dari berbagai bahan seperti pucuk daun, getah tumbuhan, dan kulit beragam tumbuhan

    seperti akasia dan pinus. Lebah jantan tidak mempunyai kantong polen di bagian tibia

    atau tungkai kaki dan tanpa kelenjar malam, itulah sebabnya tidak mampu mencari dan

    mengangkut polen ke sarang. Lebah madu cenderung menyesuaikan jadwal

    penerbangannya pada saat bunga-bunga dari spesies yang dikunjungi mulai mekar dan

    menghasilkan serbuk sari, dan di luar itu tetap berada di sarang (Ensiklopedi

    Indonesia, 2003).

    Gambar 2.2. Lebah Penghasil Propolis (Sumber: Value Added Products of Beekeeping by R Krell, FAO)

  • Propolis

    2.6.1. Karakteristik Propolis

    Warna propolis bervariasi, dari kuning, hijau hingga coklat tua, tergantung pada

    sumber tumbuhannya, seperti propolis Brazil (Cuba) berwarna kehijauan (Salatino,

    2005). Propolis merupakan substansi resin alami yang mempunyai aroma wangi,

    sangat lengket pada suhu sarang saat baru dibentuk, mengeras pada suhu 150C, dan

    menjadi mudah pecah di bawah suhu 50C. Pada suhu 250-450 C, propolis bersifat

    lembut, elastis dan sangat lengket. Di atas suhu 450C, propolis semakin lengket seperti

    karet. Sementara pada suhu 600 dan 700-1000C propolis akan mencair (Krell, 1996).

    Gambar 2.3. Propolis Trigona sp

    2.6.2. Kandungan Propolis

  • Propolis terdiri dari resin (50%), wax (30%), essential oils (10%), pollen (5%),

    dan komponen organik (5%) (Gomez et al., 2006). Resin mengandung flavonoid,

    fenol, dan berbagai bentuk asam (Borelli et al., 2002). Salah satu ikatan fenol yang ada

    dalam propolis yaitu Caffeic Acid Phenethyl Ester (CAPE) (Viuda et al., 2008). CAPE

    merupakan sisi aktif flavonoid yang bekerja untuk memaksimalkan aktivitas scavenger

    terhadap radikal bebas, dengan cara menurunkan aktivitas radikal hidroksil (OH)

    sehingga tidak terlalu reaktif lagi (Cadenas and Packer, 2002 (c)).

    Propolis mengandung 16 asam amino essensial yang dibutuhkan untuk

    regenerasi sel. Dari semua asam amino yang terdapat dalam propolis, arginin dan

    prolin tergolong yang terbanyak, sekitar 45,8%. Propolis mengandung semua mineral,

    kecuali sulfur. Zat besi (Fe) dan seng (Zn) adalah kandungan yang terbanyak.

    Kandungan mineral ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat tumbuh tanaman.

    Propolis juga mengandung vitamin, di antaranya vitamin A, vitamin B (B1, B2, B6),

    vitamin C, vitamin E dan vitamin D (Krell, 1996; Wikipedia, 2010).

  • Gambar. 2.4. Chemical structures of the most important flavonoids found in honey and

    propolis (Viuda et al., 2008) .

    2.6.3. Jenis-Jenis propolis

    Berikut ini adalah beberapa bentuk propolis yang sudah diproduksi massal

    (Krell, 1996):

    1. Propolis mentah, yaitu propolis tanpa melalui proses pematangan (mentah), bisa

    langsung dikonsumsi. Umumnya berbentuk bongkahan atau dibekukan.

  • Bongkahan besar propolis murni dapat dikunyah, seperti permen karet. Namun

    sebaiknya dikonsumsi dalam jumlah sedikit, jika berlebihan menyebabkan

    gangguan pada perut. Selain itu ada propolis mentah yang dihancurkan hingga

    menjadi butiran halus. Butiran halus biasanya dimasukkan dalam kapsul atau

    dicampur dengan makanan dan minuman.

    2. Propolis cair, adalah propolis bentuk cair, yang telah diekstrak dengan jenis

    pelarut tertentu. Ada banyak jenis pelarut yang dapat digunakan, di antaranya

    etanol (alkohol), air, pelarut minyak sayur atau lemak hewan.

    3. Propolis bubuk (powder). Sebelum diproses menjadi bentuk bubuk atau powder,

    propolis mentah (raw propolis) terlebih dahulu diekstrak dengan alkohol, air,

    atau ekstrak glikol. Bentuk propolis bubuk di pasaran dapat ditemukan dalam

    bentuk tablet atau kapsul.

    4. Injeksi. Hingga kini ketersediaan propolis injeksi masih dalam penelitian.

    5. Pasta dan minyak propolis. Salah satunya adalah pasta gigi propolis, yang

    bermanfaat untuk mencegah karies, radang gusi, dan sariawan. Selain dalam

    bentuk pasta, propolis juga bisa dicampur dengan minyak atau krim untuk

    dioleskan.

    2.6.4.Ekstraksi Propolis

    Ekstraksi propolis membutuhkan pelarut. Pemilihan cairan pelarut tergantung

    pada tujuan penggunaan propolis dan tehnik yang ada. Selama ini, ekstraksi propolis

    menggunakan ethanol, propilen glikol, atau air. Ethanol dan glikol dapat melarutkan

    seluruh zat aktif.

  • Bahannya merupakan propolis mentah, untuk mengetahui propolis mentah yang

    masih berkualitas adalah dengan mencampur propolis sebanyak setengah sendok teh

    dengan secangkir susu, lalu biarkan selama empat hari pada suhu hangat. Jika susu

    tetap segar, berarti propolis masih baik. Sebaliknya jika fisik susu berubah, berarti

    propolis sudah tidak baik. Cara pertama dilakukan dengan membersihkan propolis dan

    kotoran yang tampak, juga dari lilin yang berlebihan. Caranya propolis dihaluskan

    menjadi butiran kecil atau bubuk halus. Jika propolis terlalu lengket dan sulit

    dihaluskan, sebaiknya propolis disimpan dahulu dalam freezer atau lemari es selama

    beberpa jam hingga menjadi keras dan rapuh. Propolis yang lengket, bisa dibuat setipis

    mungkin untuk menigkatkan kontak permukaan antara alkohol dengan propolis,

    sehingga pelarutan mudah dilakukan.

    Alat dan bahan yang digunakan untuk melakukan proses ekstraksi skala industri

    kecil sebagai berikut:

    1. Botol berkapasitas besar yang dapat ditutup rapat.

    2. Timbangan yang cukup sensitif untuk menimbang jumlah kecil.

    3. Kertas filter, kain katun berlapis, atau bola kapas sebagai saringan.

    4. Lemari es atau freezer, meski tidak terlalu pentng.

    5. Sumber panas, seperti perangkat destilasi, pengering vakum, atau pengering

    beku, berguna untuk menguapkan pelarut (Krell, 1996).

    2.6.5. Teknik Ekstraksi

    Hingga kini belum ada standarisasi tentang konsentrasi, metode ekstraksi, dan

    jenis pelarut yang akan dipakai.

  • Tehnik Ekstraksi Propolis Alkohol

    Ekstraksi propolis alkohol merupakan proses ekstraksi yang paling banyak

    dilakukan. Alkohol yang biasanya digunakan adalah etanol. Ekstrak propolis yang

    digunakan pada manusia, pemilihan jenis alkohol lebih berupa gin, rum, cachasa, arak

    atau cairan destilasi lainnya. Cairan alkohol ini memang mengandung kurang dari 70%

    alkohol, tetapi hasilnya tetap berkualitas .

    Berdasarkan penelitian, ekstraksi yang menghasilkan zat aktif terbanyak adalah

    propolis yang dilarutkan dalam alkohol 70%. Semakin lama direndam dalam alkohol,

    propolis akan semakin larut. Idealnya, lama waktu pelarutan maksimum 2-3 minggu.

    Prosedur ekstraksi dengan alkohol:

    a. Prosedur yang saat ini digunakan untuk industri skala kecil adalah dengan

    perbandingan propolis alkohol sebesar 5-10%. Artinya rasio berat propolis dengan

    berat pelarut berkisar 5-10%. Sementara itu, konsentrasi awal propolis yang akan

    diekstraksi tidak boleh lebih dari 30%, jika lebih ekstraksi akan kurang efisien dan

    kurang lengkap.

    b. Timbang jumlah propolis dan hitung volume alkohol yang digunakan. Sebaiknya,

    berat alkohol ditimbang agar dapat dibandingkan dengan berat propolis. Secara

    sederhana, 1 liter alkohol 100% beratnya 800 gram, dan 1 liter alkohol 70%

    beratnya 860 gram. Menimbang alkohol lebih dipilih daripada menghitung volume

    alkohol karena lebih akurat.

    c. Selanjutnya, alkohol dan propolis dimasukkan ke dalam satu wadah, tutup rapat,

    lalu kocok pelan-pelan. Pengocokan dilakukan sekali sampai dua kali setiap

  • harinya. Wadah disimpan dalam tempat yang gelap dan hangat, setidaknya selama

    tiga hari. Untuk hasil terbaik, biasanya ekstraksi memerlukan waktu 1-2 minggu.

    d. Untuk mempercepat proses ekstraksi, rebus campuran alkohol dengan propolis

    selama delapan jam untuk melarutkan semua resin yang ada. Namun untuk

    mendapat kualitas ekstrak propolis yang terbaik, pemanasan ini sebaiknya

    dihindari.

    e. Setelah disimpan, cairan disaring dengan kertas filter, kain halus, atau kapas. Kain

    dibuat berlapis agar penyaringan lebih efektif. Lebih baik lagi jika ditambahkan

    saringan lagi di bawahnya. Sisa saringan pertama masih bisa diekstrak lagi melalui

    prosedur yang sama. Untuk mendapat hasil yang maksimal, satu hari sebelum

    proses penyaringan, campuran propolis disimpan dalam lemari es, dengan suhu

    dibawah 4oC, tetapi jangan sampai membeku. Sebaiknya, saringan juga

    dibersihkan sebelum digunakan.

    f. Hasil penyaringan akan berupa cairan jernih, bebas dari pertikel, dan berwarna

    cokelat tua atau sedikit kemerahan. Simpan hasil penyaringan dalam botol bersih

    berwarna gelap dan hampa udara. Jika botol tidak berwarna gelap, letakkan saja

    botol di tempat gelap, dingin, atau dibungkus dengan kain atau kertas, lalu jauhkan

    dari cahaya matahari.

    Contoh:

    Untuk membuat propolis alkohol 10%, campurkan satu bagian propolis dengan

    sembilan bagian alkohol. Jadi untuk 100 gram propolis, diperlukan campuran pelarut

    alkohol sebanyak 900 gram. Begitu juga untuk 1kg propolis, perlu ditambahkan 9 kg

  • alkohol. Sementara, untuk membuat propolis alkohol 55, perbandingan yang

    dibutuhkan adalah satu bagian propolis dengan 19 bagian alkohol. Untuk mengatasi

    mahalnya harga pelarut, konsentrasi ekstrak awal dibuat lebih tinggi (sekitar 30%) dan

    baru diencerkan lagi, tergantung pada tujuan penggunaannya.

    Teknik Ekstraksi Propolis Glikol

    Metode ini hampir sama dengan metode ekstraksi propolis alkohol, hanya berbeda dari

    jenis pelarutnya, yaitu glikol dalam bentuk propylene glycol. Perbandingan atau

    konsentrasi yang dipakai sebaiknya tidak melebihi 10%. Kekurangan teknik ekstraksi

    ini adalah membutuhkan suhu yang lebih tinggi saat melakukan proses penguapan

    pelarut, yang tentunya dapat membuat komponen di dalam propolis mudah menguap.

    Harga glikol biasanya lebih murah dari alkohol. Sayangnya, glikol tidak mudah

    diperoleh di semua tempat.

    Teknik Ekstraksi Propolis Air

    Ekstraksi propolis dengan air dilakukan dengan cara melarutkan propolis dalam air

    selama beberapa hari atau merebusnya dalam air. Metode ekstraksi propolis air sama

    persis dengan ekstraksi alkohol. Terbatasnya pemanfaatan ekstraksi propolis alkohol,

    terutama untuk dikonsumsi ibu hamil dan anak, konsumsi di negara muslim, atau

    faktor kesehatan tertentu, membuat ekstraksi propolis air menjadi penting.

    Membuat Ekstrak Propolis di Rumah

    Ekstraksi zat aktif dalam propolis juga bisa dilakukan di rumah. Bahannya propolis

    mentah, Bahan lain yang dibutuhkan adalah pelarut, dapat berupa alkohol, propilen

    glikol atau air. Cara yang digunakan sama seperti membuat ekstraksi propolis untuk

  • skala industri, hanya peralatan untuk pembuatan ekstraksi propolis di rumah lebih

    sederhana (Krell, 1996).

    2.6.6 Manfaat dan Bukti Ilmiah Propolis

    Propolis dan hasil produk lebah lainnya seperti madu, pollen dan royal jeli,

    bermanfaat untuk kesehatan. Di antaranya bermanfaat sebagai antioksidan, antibakteri,

    antiinflamasi, hepatoprotektif, antitumor, dan vasodilator (Viuda et al., 2008;

    Nakajima et al., 2009).

    Manfaat Sebagai Antioksidan

    Propolis merupakan produk alami yang mempunyai potensi antioksidan yang

    tinggi (Gheldof et al., 2002). Propolis mempunyai aktivitas antioksidan yang paling

    kuat dalam melawan radikal bebas (radikal H2O2, O2-, OH) dibandingkan dengan hasil

    produk lebah lainnya (Nakajima et al., 2009). Kandungan flavonoid di dalamnya dapat

    meredam efek buruk radikal bebas, dengan menghambat peroksidasi lipid melalui

    aktivasi peroksidase terhadap hemoglobin, yang merupakan antioksidan endogen (Mot

    et al., 2009).

    Penelitian di Jepang menunjukkan bahwa kandungan Caffeic acid yang ada di

    dalam propolis mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi, yang dapat

    meningkatkan ekspresi glucose-6-phospate dehydrogenase (G6PD) yang dikenal

    sebagai gen antioksidan, lebih kuat dibandingkan vitamin E. Caffeic acid mempunyai

    aktivitas antioksidan 4-6 kali lebih kuat terhadap radikal H2O2 dan O2-, dibandingkan

    vitamin C dan N-acetyl-cystein (NAC) (Nakajima et al., 2009). Potensi kekuatan

    antioksidan ekstrak propolis dan polen secara berturut-turut, yaitu; ekstrak propolis air,

  • ekstrak propolis etanol, polen. Seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini (Nakajima

    et al.,2009).

    Tabel 2.1. Antioxidant activities of bee products (Nakajima et al., 2009)

    IC50 (95% confidence limit)

    Compounds H2O2 O2- HO Brazilian green propolis (g/ml) WEP 0.24 (0.150.34)

    0.91 (0.641.21) 4.12 (3.315.17)

    EEP 2.48 (1.654.05) 0.79 (0.56

    1.04) 5.83 (4.996.87)

    Other bee products (g/ml) Pollen 9.99 (8.0112.3)

    8.44 (6.6410.4) 57.6 (46.569.9)

    Royal jelly > 100 > 100 > 100

    Constituents of propolis (M) 3,4-di- O-Caffeoylquinic acid 0.52 (0.360.70)

    0.25 (0.180.32) 1.86 (1.502.31)

    3,5-di- O-Caffeoylquinic acid 0.33 (0.160.53) 0.18 (0.13

    0.24) 2.02 (1.513.07)

    3-Caffeoylquinic acid 0.22 (0.110.35) 0.16 (0.11

    0.22) 2.38 (1.833.19)

    Artepillin C 1.44 (1.161.76) 2.01 (1.38

    2.84) 51.9 (39.173.1)

    Baccharin > 100 > 100 > 100

    Coumaric acid > 100 > 100 59.4 (39.1102.7)

    Drupanin 7.35 (5.2810.0) 5.24 (3.20

    8.00) 26.4 (17.443.4)

    Caffeic acid 0.28 (0.220.36) 0.13 (0.11

    0.16) 1.82 (1.502.23)

    Quinic acid > 100 > 100 > 100

    (bersambung)

  • IC50 (95% confidence limit)

    Compounds H2O2 O2- HO

    Constituents of royal jelly (M) 10-Hydroxy decenoic acid > 100 > 100 > 100

    Antioxidants (M) Trolox 0.29 (0.110.59)

    0.36 (0.130.75) 1.30 (0.971.77)

    NAC 1.84 (1.024.37) 2.40 (1.46

    4.42) > 100

    Ascorbic acid (Vitamin C) 1.53 (1.381.70) 0.70 (0.50

    0.94) 2.07 (0.985.81)

    IC50: 50% inhibitory concentration, WEP: water extract of propolis, EEP: ethanol extract of propolis, NAC: N-acetyl cysteine.

    Manfaat Sebagai Antikanker

    Caffeic Acid Phenethyl Ester (CAPE), salah satu bahan aktif dalam propolis,

    terbukti menghentikan pertumbuhan sel kanker. Hasil penelitian uji sitotoksik serbuk

    propolis dan madu propolis terhadap sel kanker rahim dan payudara di Laboratorium

    Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) Universitas Gajah Mada (UGM),

    menunjukkan propolis dapat menghambat sel kanker HeLa (sel kanker serviks), Siha

    (sel kanker uterus), T47D dan MCF7 (sel kanker payudara). Riset ilmiah itu

    membuktikan bahwa nilai LC50 15,625-62,5 g/ml. Artinya, propolis dosis 15,625-

    62,5 g/ml dapat menghambat aktivitas 50% sel kanker dalam kultur. Dimana nilai

    LC50 serbuk propolis lebih kecil dibandingk