TESIS
PEMBERIAN EKSTRAK PROPOLIS PERORAL MENURUNKAN KADAR F2-ISOPROSTAN
DALAM URIN TIKUS PUTIH (RATTUS NOVERGICUS) JANTAN
YANG MENGALAMI AKTIVITAS FISIK MAKSIMAL
DESI HARDIANTY
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2011
TESIS
PEMBERIAN EKSTRAK PROPOLIS PERORAL MENURUNKAN KADAR F2-ISOPROSTAN
DALAM URIN TIKUS PUTIH (RATTUS NOVERGICUS) JANTAN
YANG MENGALAMI AKTIVITAS FISIK MAKSIMAL
DESI HARDIANTY NIM 0990761009
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2011
PEMBERIAN EKSTRAK PROPOLIS PERORAL MENURUNKAN KADAR F2-ISOPROSTAN DALAM URIN
TIKUS PUTIH (RATTUS NOVERGICUS) JANTAN YANG MENGALAMI AKTIVITAS FISIK MAKSIMAL
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana Universitas Udayana
DESI HARDIANTY NIM : 0990761009
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
2011
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL : 15 September 2011
Pembimbing I Pembimbing II Prof. dr. Nyoman Agus Bagiada, Sp.BIOK Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc.,Sp.And NIP : 1302464501 NIP : 194402011964091001
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana
Prof.Dr.dr.Wimpie Pangkahila,SpAnd, FAACS Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi,Sp.S NIP : 194612131971071001 NIP: 195902151985102001
Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai
Oleh Panitia Penguji pada
Program Pascasarjana Universitas Udayana
Pada Tanggal : 15 September 2011
Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
Nomor : 1125/UN14.4/HK/2011
Tanggal : 22 Juni 2011
Ketua : Prof. Dr. dr. Nyoman Agus Bagiada, Sp.BIOK
Anggota : 1. Prof. Dr. dr. J.Alex Pangkahila, M.Sc.,Sp.And.
2. Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS, AIF 3. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, MOH 4. Prof.Dr.dr.Wimpie Pangkahila, Sp.And.FAACS
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan Allah SWT atas berkat,
rahmat, bimbingan serta petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis
yang berjudul : Pemberian Propolis Menurunkan Kadar F2-Isoprostan dalam Urin
Tikus Putih Jantan (Rattus Novergicus) yang Mengalami Aktivitas Fisik Maksimal.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang tak terhingga kepada :
1. Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp.PD sebagai Rektor Universitas Udayana atas
kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana.
2. Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) atas kesempatan yang diberikan
kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister Program
Pascasarjana Universitas Udayana.
3. Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, SpAnd, FAACS sebagai Ketua Program
Studi Kekhususan Kedokteran Anti Penuaan atas ilmu yang diberikan yang telah
memacu penulis untuk dapat berkarya bagi kemajuan ilmu pengetahuan
khususnya Kedokteran Anti Penuaan, serta memberikan bimbingan, saran dan
arahan yang sangat berarti dalam menyusun tesis ini.
4. Prof. dr. N Agus Bagiada, SpBIOK, sebagai dosen pembimbing I yang dengan
sabar memberikan ilmunya selama penulis mengikuti studi, serta bimbingan dan
saran terutama dalam memahami ilmu kedokteran biomolekuler yang sangat
besar manfaatnya dalam penyusunan tesis ini.
5. Prof. Dr. dr.J Alex Pangkahila, MSc, SpAnd, sebagai dosen pembimbing II atas
ilmu yang diberikan selama penulis mengikuti studi, yang selalu ada untuk
memberikan ide, bimbingan dan saran terutama dalam teknis menulis ilmiah
yang baku, serta memberi motivasi untuk menyusun tesis dan menyelesaikan
studi.
6. Prof. Dr. dr. N Adiputra, MOH, atas ilmu yang diberikan kepada penulis selama
mengikuti studi, yang dengan kemurahan hati selalu bersedia memberikan
bimbingan dan saran yang sangat berarti mengenai teknis menulis ilmiah yang
baku, membantu penulis dalam memahami metodologi penelitian, serta selalu
memberi motivasi sehingga terselesaikannya tesis ini.
7. Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS, AIF, atas saran dan bimbingannya yang sangat
bermanfaat mengenai teknis menulis ilmiah yang baku, serta motivasi selama
penyusunan tesis.
8. Prof. dr. I Gusti Made Aman, SpFK, selaku Koordinator Laboratory Animal
Unit, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah
banyak membantu dalam menyediakan fasilitas tempat, peralatan, dan bantuan
teknisi bagi terlaksananya penelitian, serta bimbingannya dalam memahami
perhitungan dosis yang benar.
9. Prof. Drh. Nyoman Mantik Astawa, Ph.D, dari bagian Virologi Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Udayana yang telah banyak membantu dalam
penelitian terutama bimbingan dan masukan dalam menggunakan kit penelitian.
10. I Gede Wiranatha, S.Si, dari bagian Animal Unit Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana, yang telah banyak membantu dalam
penelitian terutama bimbingan serta masukan dalam proses pemeliharaan dan
pengelolaan hewan uji.
11. Drs.I Ketut Tunas, M.Si. yang telah banyak membantu dalam penelitian dan
penyusunan tesis ini terutama saran, ide, masukan dan bimbingan dalam bidang
statistik.
12. Khamdan Khalimi SP., M.Si dari laboratorium Biopestisida Universitas
Udayana yang telah banyak membantu dan memberikan saran dan bimbingan
terutama dalam proses pengolahan ekstrak propolis untuk penelitian.
13. dr. Desak Wihandani, Mkes, dari bagian Biokimia Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana, atas ilmu yang diberikan selama penulis mengikuti studi,
serta saran, bimbingan dan motivasi dalam penyusunan tesis ini.
14. Staf Ilmu Biomedik Kedokteran Antipenuaan serta teman-teman mahasiswa
Program Magister Ilmu Biomedik atas motivasi yang diberikan kepada penulis.
Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih
yang tulus kepada keluarga tercinta, yakni: kedua orang tua Bapak Harbudi dan Ibu
Zubaida, kakak dan adik, serta suami terkasih Ricky Wijaya dan anak tersayang
Raihan Danendra Wijaya yang senantiasa memberikan doa, dan dukungan moril
yang tiada hentinya dalam menyelesaikan program magister ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini jauh dari sempurna, untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaikinya.
Akhir kata semoga tesis ini bermanfaat bagi masyarakat serta kemajuan ilmu
pengetahuan, khususnya Ilmu Kedokteran Anti Penuaan.
Denpasar, September 2011
Penulis
ABSTRAK
PEMBERIAN EKSTRAK PROPOLIS PERORAL MENURUNKAN KADAR F2-ISOPROSTAN DALAM URIN
TIKUS PUTIH (RATTUS NOVERGICUS) JANTAN YANG MENGALAMI AKTIVITAS FISIK MAKSIMAL
Aktivitas fisik maksimal menyebabkan terjadinya peningkatan produksi radikal
bebas disebabkan oleh peningkatan konsumsi oksigen 10-20 kali, dan 100-200 kali pada serat otot yang berkontraksi. Di samping itu akan memicu pelepasan radikal bebas superoksida, serta terjadinya reperfusion injury yang menyebabkan kerusakan pada jaringan lain yang mengalami iskemia, dan bersifat ireversibel. Bila kadar radikal bebas melebihi kemampuan antioksidan yang ada dalam tubuh untuk menetralisir radikal bebas maka akan menimbulkan stres oksidatif. Stres oksidatif jangka panjang telah terbukti dapat menimbulkan berbagai penyakit degeneratif. Penggunaan antioksidan dapat mencegah terbentuknya radikal bebas. Salah satu antioksidan yang banyak ditemukan di masyarakat adalah Propolis Trigona sp yang dihasilkan oleh lebah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penurunan kadar f2-isoprostan dalam urin tikus wistar yang diberikan ekstrak propolis dengan air setelah mengalami aktivitas fisik maksimal. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan pre-test post-test control group design yang dilakukan pada 18 ekor tikus wistar jantan, berumur 2 3 bulan, berat badan 150- 200 g. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar pada bulan Juli-Agustus 2011. Pemeriksaan F2-isoprostan dilakukan di Laboratorium Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Denpasar. Data dianalisis dengan uji One Way ANOVA.
Berdasarkan hasil analisis sesudah perlakuan didapatkan bahwa rerata kadar f2-isoprostan kelompok kontrol adalah 4,471,80 ng/ml, rerata kelompok ekstrak propolis 0,3 g adalah 2,900,70 ng/ml, dan kelompok ekstrak propolis 0,6 g adalah 1,400,66 ng/ml. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa rerata kadar f2-isoprostan pada ketiga kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p
ABSTRACT
ORAL ADMINISTRATION OF PROPOLIS EXTRACT REDUCES THE LEVEL OF F2-ISOPROSTANE
IN URINE MALE WHITE RATS (RATTUS NOVERGICUS) EXPERIENCE THE MAXIMAL PHYSICAL ACTIVITY
Maximal physical activity causes increased production of free radicals due to
an increase of 10-20 times body oxygen consumption, and 100-200 times of the affected muscle fibers, that will trigger the release of superoxide free radicals, as well as the occurrence of reperfusion injury of ischaemic tissue factors. The level of free radicals exceeds the amount of antioxidants in the body will cause oxidative stress. Long-term oxidative stress has been shown to cause various degenerative diseases. The use of antioxidants can prevent and quenced the formation of free radicals. One of substance that have high antioxidants capacity is Trigona sp propolis produced by bees. The purpose of this study was to determine the decreased of f2-isoprostane levels in rats urine that were treated with water propolis extract after having a maximal physical activity.
This study is an experimental research using pre-test post-test control group design that was conducted on 18 male wistar rats, aged 2-3 months, weight 150-200 g. Research conducted at the Laboratory of Pharmacology Faculty of Medicine Udayana University, Denpasar in July-August 2011. F2-isoprostan examination performed at the Laboratory of the Veterinary Faculty of Veterinary Medicine, Udayana University, Denpasar. Data were analyzed with One Way ANOVA.
Based on the results of this experiment study after treatment it was found that the average of f2-isoprostane control group was 4.471.80 ng/ml, propolis extract 0.3 g group was 2.900.70 ng/ml, and propolis extract 0.6 g group was 1.400.66 ng/ml. Analysis of significance by One Way Anova test shows that the average levels of f2-isoprostane in all three groups after given different treatment was significantly different (p
DAFTAR ISI
PRASYARAT GELAR.................................................................................... i LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI TES...................................................... iii UCAPAN TERIMAKASIH ........................................................................... iv ABSTRAK........................................................................................................ vii DAFTAR ISI..................................................................................................... ix DAFTAR TABEL............................................................................................ xi DAFTAR GAMBAR........................................................................................ xii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiii DAFTAR SINGKATAN .. xiv BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang........................................................................................ 1 1.2. Rumusan Masalah.................................................................................. 8 1.3. Tujuan Penelitian.................................................................................... 8 1.4. Manfaat Penelitian.................................................................................. 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Penuaan.................................................................................................... 10 2.2. Anti Penuaan............................................................................................ 15 2.3. Radikal Bebas.......................................................................................... 16 2.4. Aktivitas Fisik Maksimal........................................................................ 29 2.5. Antioksidan.............................................................................................. 33 2.6. Propolis.................................................................................................... 36 2.7. Hewan Coba............................................................................................. 52 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, HIPOTESIS 3.1. Kerangka Berpikir.................................................................................... 55 3.2. Konsep............................................................................................... ...... 58 3.3. Hipotesis Penelitian.................................................................................. 58 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian................................................................................ 59 4.2. Tempat dan Waktu Penelitian.................................................................. 60 4.3. Populasi dan Besar Sampel...................................................................... 60 4.4. Variabel Penelitian................................................................................... 62 4.5. Prosedur Penelitian................................................................................... 64 4.6. Analisis Data............................................................................................ 72
BAB V HASIL PENELITIAN 5.1. Uji Normalitas Data Kadar F2-isoprostan Sebelum dan Sesudah
Perlakuan ................................................................................................ 73 5.2. Uji Homogenitas Varians Kadar F2-isoprostan Antar Kelompok Sebelum
dan Sesudah Perlakuan............................................................................ 74 5.3. Uji Komparabilitas Kadar F2-isoprostan.................................................. 74
5.3.1. Analisis Efek antar Kelompok Sebelum Perlakuan........................ 74 5.3.2. Analisis Efek antar Kelompok Sesudah Perlakuan...................... 75 BAB VI PEMBAHASAN 6.1. Subjek Penelitian.................................................................................... 78 6.2. Pemberian Aktivitas fisik Maksimal...................................................... 79 6.3. Pemberian Ekstrak propolis.................................................................... 80 6.4. Pengaruh Ekstrak propolis terhadap Kadar F2-isoprostan...................... 82 6.5. Manfaat Propolis terhadap Ilmu kedokteran Antipenuaan..................... 85 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan................................................................................................ 87 7.2. Saran...................................................................................................... 88 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 89 LAMPIRAN...................................................................................................... 95
DAFTAR TABEL
Halaman 2.1. Antioxidants Activities of Bee Products (Nakajima et al., 2009).............. 47 5.1. Hasil Uji Normalitas Kadar F2-isoprostan Sebelum dan Setelah Perlakuan 74 5.2. Uji Homogenitas Varians Kadar F2-isoprostan Antar Kelompok Sebelum dan Sesudah Perlakuan................................................................. 74 5.3. Rerata Kadar F2-isoprostan Antar Kelompok Sebelum Diberikan
Perlakuan............................................................................................. ...... 75 5.4. Perbedaan Rerata Kadar F2-isoprostan Antar Kelompok Sesudah Diberikan Perlakuan................................................................................... 76 5.5. Analisis Komparasi F2-Isoprostan Sesudah Perlakuan antar Kelompok.... 77
DAFTAR GAMBAR
Halaman 2.1. Korelasi hubungan antioksidan dalam sistem biologi.................................. 36 2.2. Lebah Penghasil Propolis ............................................................................ 38 2.3. Propolis Trigona sp ..................................................................................... 39 2.4. Chemical structures of the most important flavonoids found in honey and Propolis........................................................................................................ 40 3.1. Bagan konsep penelitian......................................................................... .... 58 4.1. Rancangan Penelitian................................................................................... 59 4.2. Bagan alur penelitian.................................................................................... 69 5.1. Grafik Perubahan Isoprostan Antara Sebelum dengan Sesudah Perlakuan Masing-masing Kelompok .......................................................................... 76
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Foto-foto Penelitian .................................................................... 95 Lampiran 2. Nilai Konversi Dosis Obat Hewan Coba dengan Manusia......... 101 Lampiran 3. Uji Normalitas Data.................................................................... 102 Lampiran 4. Uji Oneway ANOVA Data Sebelum dan Sesudah Perlakuan .. 103 Lampiran 5. Post Hoc Tests............................................................................. 104
DAFTAR SINGKATAN AAM = Anti Aging Medicine AGES = Advanced Glycation End Products CAPE = Caffeic Acid Phenethyl Ester COX = Cyclooxygenase DMBA = Dimethylbenz (a) anthracene EEP = Ethanol Extract of Propolis GGPD = Glucose-6-Phospate KAP = Kedokteran Anti Penuaan MDA = Malondialdehid NAC = N-Acetyl-Cystein SOD = Superoksida Dismutase SOR = Senyawa Oksigen Reaktif TBARS = Thiobarbituric Acid Reactive Substance UV = Ultraviolet WEP = Water Extract of Propolis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penuaan adalah suatu proses yang akan dialami semua makhluk hidup, tidak
terkecuali manusia. Semua manusia, terutama kaum wanita, senang jika dirinya terlihat
lebih muda dari usia biologisnya. Banyak cara dilakukan untuk memperpanjang usia
harapan hidup, serta menjalani masa tua dengan kualitas hidup yang lebih baik.
Setelah mencapai usia dewasa, secara alamiah seluruh komponen tubuh tidak
dapat berkembang lagi, melainkan terjadi penurunan karena proses penuaan
(Pangkahila, 2007). Jaringan tubuh secara perlahan akan kehilangan kemampuan untuk
memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak
dapat bertahan serta memperbaiki kerusakan yang diderita (Darmojo, 1999). Banyak
faktor yang menyebabkan seseorang menjadi tua, yang kemudian menyebabkan sakit,
dan akhirnya membawa kepada kematian. Pada dasarnya penyebab penuaan
dikelompokkan menjadi faktor internal dan eksternal. Beberapa faktor internal ialah
radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem
kekebalan yang menurun dan genetik. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup
tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres dan kemiskinan
(Pangkahila, 2007).
Perkembangan ilmu Kedokteran Anti Penuaan (KAP) atau Anti Aging Medicine
telah membawa konsep baru. Pertama, penuaan dapat dianggap sama dengan suatu 1
penyakit yang dapat dicegah, diobati bahkan dikembalikan ke keadaan sewaktu muda.
Kedua, manusia bukanlah orang hukuman yang terperangkap dalam takdir genetiknya.
Ketiga, manusia mengalami keluhan atau gejala penuaan karena kadar hormonnya
menurun, bukan kadar hormon menurun karena manusia menjadi tua. Bila berbagai
faktor penyebab penuaan dapat dihindari, proses penuaan tentu dapat dicegah,
diperlambat, bahkan mungkin dihambat, dan kualitas hidup dapat dipertahankan,
sehingga usia harapan hidup menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang lebih
baik (Pangkahila, 2007). Ada puluhan teori penuaan yang telah dikemukakan oleh
pakar, dan teori radikal bebas mendapat perhatian lebih besar sejak penggunaan
antioksidan diyakini dapat menghambat kerusakan akibat radikal bebas (Goldman and
Klantz, 2003).
Teori radikal bebas merupakan salah satu teori yang menerangkan tentang
terjadinya proses penuaan, yang diperkenalkan oleh Gerschman kemudian
dikembangkan oleh Denham Harman. Teori ini menekankan bahwa radikal bebas
dapat merusak sel-sel tubuh manusia (Goldman and Klantz, 2003). Radikal bebas
(free radical) adalah suatu senyawa atau molekul yang mengandung satu atau lebih
elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya, bersifat sangat reaktif, dengan cara
menyerang dan mengikat atau menarik elektron molekul yang berada di sekitarnya
(Soeatmaji, 1998). Hal ini mengakibatkan terbentuknya senyawa radikal baru,
sehingga akan terjadi reaksi rantai (chain reactions) (Sadikin, 2001; Winarsi, 2010).
Radikal bebas akan merusak membran sel, DNA, protein. Beribu-ribu studi
mendukung ide bahwa radikal bebas mempunyai kontribusi yang besar pada terjadinya
penyakit yang berhubungan dengan proses penuaan seperti kanker, penyakit jantung
dan proses penuaan (Bagiada, 2001).
Dengan meningkatnya usia seseorang, pembentukan radikal bebas juga
meningkat. Secara endogenus, hal ini berkaitan dengan laju metabolisme, sedangkan
secara eksogenus, kemungkinan tubuh terpapar dengan polutan juga semakin tinggi,
seiring dengan meningkatnya usia seseorang. Kedua faktor tersebut secara sinergis
meningkatkan jumlah radikal bebas dalam tubuh (Winarsi, 2010). Beberapa sumber
internal radikal bebas antara lain mitokondria, fagositosis, xantin oksidase, reaksi yang
melibatkan logam transisi seperti Fe dan Cu, latihan fisik, inflamasi, reperfusion
injury. Beberapa sumber eksternal radikal bebas diantaranya asap rokok, polusi
lingkungan, radiasi, sinar ultraviolet, obat-obatan tertentu, pestisida (Langseth, 1996).
Secara normal tubuh dapat mengatasi efek buruk radikal bebas, namun jika radikal
bebas yang dihasilkan melebihi antioksidan dapat menyebabkan stres oksidatif
(Wiyono, 2003).
Stres oksidatif adalah suatu keadaan ketika jumlah antioksidan tubuh kurang dari
yang diperlukan untuk meredam efek buruk radikal bebas yang dapat merusak
membran sel, protein dan DNA, dan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup sel atau
jaringan. Jika hal ini terjadi dalam waktu yang berkepanjangan, maka akan terjadi
penumpukan hasil kerusakan oksidatif di dalam sel dan jaringan yang akan
menyebabkan sel atau jaringan tersebut kehilangan fungsinya dan akhirnya mati
(Bagiada, 2001). Olahraga berat atau olahraga yang melampaui batas kelelahan dapat
menyebabkan peningkatan laju pembentukan radikal bebas, yang dapat menimbulkan
stres oksidatif (Cooper, 2001).
Pada olahraga berat atau olahraga yang melampaui batas kelelahan, radikal
bebas terbentuk melalui dua cara. Pertama, olahraga berlebihan menyebabkan
terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh tubuh 10-20 kali atau lebih. Di dalam
serat otot yang berkontraksi penggunaan oksigen dapat meningkat 100-200 kali di atas
kebutuhan normal (Clarkson, 2000; Cooper, 2001; Sauza, 2005). Peningkatan oksigen
yang luar biasa memicu pelepasan radikal bebas, terutama radikal superoksida. Kedua,
karena terjadinya reperfusion injury, saat berolahraga berat, darah yang mengalir
dalam tubuh keluar dari berbagai organ yang tidak terlibat secara aktif dalam proses
olahraga. Namun darah dialirkan ke otot skelet. Selama pengalihan aliran darah,
sebagian atau seluruh bagian organ tubuh yang tidak terlibat dalam olahraga akan
mengalami kekurangan oksigen secara tiba-tiba (hipoksia). Proses iskemia yang terjadi
menyebabkan perubahan enzim xantin dehidrogenase menjadi xantin oksidase, yang
bersifat ireversibel. Setelah berolahraga terjadi proses reperfusi, dimana darah
bergerak kembali dengan cepat ke berbagai organ yang kekurangan aliran darah
sehingga oksigen terpenuhi kembali, reaksi yang terjadi dipengaruhi oleh xantin
oksidase. Reaksi ini menghasilkan radikal bebas sehingga menimbulkan reperfusion
injury (injury yang terjadi setelah terjadinya reperfusi setelah mengalami iskemia)
(Langseth, 1996; Cooper, 2001).
Beberapa cara untuk mengurangi radikal bebas yang timbul akibat aktivitas
fisik maksimal antara lain dengan pemberian antioksidan dan istirahat. Antioksidan
adalah senyawa yang mampu menangkal atau meredam dampak negatif oksidan dalam
tubuh. Antioksidan, termasuk enzim - enzim dan protein - protein pengikat logam
bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat
oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut dihambat (Winarsi, 2007;
Pangkahila, 2007).
Propolis atau lem lebah merupakan produk alami dari lebah madu yang
mempunyai potensi antioksidan yang tinggi (Gheldof et al., 2002). Propolis
mempunyai aktivitas antioksidan yang paling kuat dalam melawan oksidan dan radikal
bebas (radikal H2O2, O2-, OH) dibandingkan dengan hasil produk lebah lainnya
(Nakajima et al., 2009). Kandungan flavonoid di dalamnya dapat meredam efek buruk
radikal bebas (Mot et al., 2009).
Penelitian di Jepang menunjukkan bahwa kandungan Caffeic acid yang ada di
dalam propolis mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi, yang dapat
meningkatkan ekspresi glucose-6-phospate dehydrogenase (G6PD) yang didapat dari
ekspresi gen antioksidan, lebih kuat dibandingkan vitamin E. Caffeic acid mempunyai
aktivitas antioksidan 4-6 kali lebih kuat terhadap oksidan dan H2O2 dan radikal bebas
O2-, dibandingkan vitamin C dan N-acetyl-cystein (NAC) (Nakajima et al., 2009).
Manfaat propolis selain sebagai antioksidan adalah antibakteri, antiinflamasi, antiviral,
hepatoprotektif, antitumor, mencegah terjadinya ulkus dan vasodilator (Viuda et al.,
2008; Nakajima et al., 2009).
Hasil penelitian uji sitotoksik serbuk propolis dan madu propolis terhadap sel
kanker rahim dan payudara, menunjukkan propolis dapat menghambat sel kanker
HeLa (sel kanker serviks), Siha (sel kanker uterus), T47D dan MCF7 (sel kanker
payudara). Nilai LC50 adalah 15,625-62,5 g/ml. Artinya, propolis dosis 15,625-62,5
g/ml dapat menghambat aktivitas 50% sel kanker dalam kultur (Yuliati, 2009).
Sejalan dengan temuan itu, uji potensi propolis dalam pengobatan tumor payudara
pada tikus betina galur Sprague dawley yang diinduksi 7,12-
dimethylbenz(a)anthracene (DMBA), menunjukkan bahwa propolis mampu mengobati
tumor payudara melalui pengecilan diameter nodul. DMBA dilarutkan dalam minyak
jagung dan diinduksikan pada tikus dengan dosis 20 mg/kg bobot tubuh. Dosis
propolis yang diberikan adalah 2,5 ml/kgbb, diberikan dua kali per hari selama satu
bulan. Hasil penelitian itu membuktikan adanya pengecilan nodul dari diameter 1,8 cm
menjadi 0,6 cm setelah satu bulan pemberian propolis (Astuti and Widyarini, 2009).
Uji toksisitas membuktikan bahwa propolis sangat aman dikonsumsi berulang.
Dalam uji praklinis, LD50 propolis mencapai lebih dari 10.000 mg. LD50 adalah lethal
dosage, yaitu dosis yang mematikan separuh hewan percobaan. Jika dikonversi, dosis
itu setara 7 ons sekali konsumsi untuk manusia dengan berat badan 70 kg. Faktanya,
dosis konsumsi propolis di masyarakat sangat rendah, hanya 1-2 tetes dalam segelas
air minum. Efek konsumsi jangka panjang, tidak menimbulkan kerusakan pada darah,
organ hati, dan ginjal. Penentuan toksisitas subkronik pada 21 ekor mencit
menunjukkan pemberian propolis dosis 5.000 mg/kgbb dan 10.000 mg/kgbb setiap
hari selama 30 hari, tidak menimbulkan kematian mencit, tidak mempengaruhi berat
badan, tidak mengganggu jumlah sel-sel darah dan kadar hemoglobin, tidak
mengganggu fungsi hati dan ginjal (tidak mempengaruhi kadar SGOT, SGPT,
kreatinin dan asam urat), tidak mempengaruhi kualitas sel-sel hati, ginjal dan lambung
(Sarto and Saragih, 2009).
Propolis merupakan salah satu sumber antioksidan alami yang terdapat di
Indonesia. Untuk mengetahui secara pasti perubahan yang terjadi secara in vivo,
diperlukan suatu biomarker. Biomarker didefinisikan sebagai suatu karakteristik yang
secara objektif dapat diukur dan dievaluasi sebagai indikator normal terhadap proses
biologi, patologi atau respon farmakologi terhadap intervensi terapeutik (Dalle-Donne,
et al., 2006). Salah satu biomarker yang dipakai untuk menentukan stres oksidatif
adalah kadar f2-isoprostan, yang merupakan hasil akhir peroksidasi lipid di dalam
tubuh akibat radikal bebas (Cadenas, et al., 2002 (a) (b)). F2-isoprostan merupakan
gold standart daripada pemeriksaan stres oksidatif, karena prosedur dan tehniknya
lebih mudah dimana sampel dapat diambil dari urin, sehingga tidak memerlukan
tindakan invasif. Sejauh ini belum ada penelitian yang melaporkan apakah ekstrak
propolis dapat menurunkan kadar f2-isoprostan dalam urin tikus wistar, untuk itu
diperlukan penelitian lebih lanjut.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dibuat rumusan masalah
penelitian sebagai berikut:
1. Apakah pemberian ektrak propolis peroral dosis 0,3 gram dapat menurunkan
kadar f2-isoprostan dalam urin tikus putih (Rattus Novergicus) jantan, yang
mengalami aktivitas fisik maksimal?
2. Apakah pemberian ekstrak propolis peroral dosis 0,6 gram dapat menurunkan
kadar f2-isoprostan dalam urin tikus putih (Rattus Novergicus) jantan, yang
mengalami aktivitas fisik maksimal?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum : Untuk mengetahui pemberian propolis sebagai
antioksidan dapat menurunkan kerusakan oksidatif yang terjadi.
1.3.2 Tujuan Khusus :
1. Untuk mengetahui bahwa pemberian ekstrak propolis peroral dosis 0,3
gram dapat menurunkan kadar f2-isoprostan dalam urin tikus putih (Rattus
Novergicus) jantan yang mengalami aktivitas fisik maksimal.
2. Untuk mengetahui bahwa pemberian ekstrak propolis peroral dosis 0,6
gram dapat menurunkan kadar f2-isoprostan dalam urin tikus putih (Rattus
Novergicus) jantan yang mengalami aktivitas fisik maksimal.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat ilmiah : Hasil penelitian diharapkan dapat menguatkan teori
tentang potensi propolis sebagai antioksidan dalam upaya mencegah
terjadinya stres oksidatif sebagai salah satu penyebab proses penuaan.
2. Manfaat sosial : Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan
informasi kepada masyarakat umum tentang potensi propolis sebagai
antioksidan, untuk mencegah salah satu penyebab proses penuaan, sehingga
diharapkan dapat meningkatkan konsumsi propolis di masyarakat dan nilai
jualnya di pasaran.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 PENUAAN
2.1.1 Definisi
Menua (aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti diri dan mempertahankan
struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan serta memperbaiki
kerusakan yang diderita. Dengan begitu manusia secara progresif akan kehilangan
daya tahan terhadap infeksi, dan semakin banyak distorsi metabolik dan struktural,
yang disebut sebagai penyakit degeneratif (seperti hipertensi, aterosklerosis, diabetes
melitus, dan kanker), yang akan menyebabkan kita mengakhiri hidup dengan episode
terminal yang dramatik seperti stroke, infark myokard, koma asidotik, metastasis
kanker dan sebagainya (Darmojo, 1999).
2.1.2 Penyebab Penuaan
Banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua melalui proses penuaan,
yang kemudian menyebabkan sakit, dan akhirnya membawa kepada kematian. Pada
dasarnya faktor itu dikelompokkan menjadi faktor internal dan eksternal. Beberapa
faktor internal ialah radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi,
apotosis, sistem kekebalan yang menurun, dan genetik. Faktor eksternal yang utama
ialah gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres,
dan kemiskinan (Pangkahila, 2007).
10
2.1.3 Teori Proses Penuaan
Banyak teori yang menjelaskan mengapa manusia mengalami proses penuaan.
Tetapi, pada dasarnya semua teori itu dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu wear
and tear theory dan programmed theory (Goldmann and Klatz, 2003).
2.1.3.1 Wear and Tear Theory
Teori wear and tear pada prinsipnya menyatakan tubuh menjadi lemah lalu
meninggal sebagai akibat dari penggunaan dan kerusakan yang terus menerus. Teori
ini telah lama diperkenalkan oleh Dr. August Weismann, seorang ahli biologi dari
Jerman pada tahun 1882. Menurut teori ini, tubuh dan selnya menjadi rusak karena
terlalu sering digunakan dan disalahgunakan. Kerusakan tidak terbatas pada organ,
melainkan juga terjadi di tingkat sel (Goldmann dan Klatz, 2003).
Hal ini berarti walaupun seseorang tidak pernah merokok, minum alkohol, dan
hanya mengonsumsi makanan alami, dengan menggunakan organ tubuh secara biasa
saja, pada akhirnya terjadi kerusakan. Penyalahgunaan organ tubuh membuat
kerusakan lebih cepat. Karena itu, tubuh menjadi tua, sel merasakan pengaruhnya,
terlepas dari seberapa sehat gaya hidupnya. Pada masa muda sistem pemeliharaan dan
perbaikan tubuh mampu melakukan kompensasi terhadap pengaruh penggunaan dan
kerusakan normal berlebihan (Goldmann dan Klatz, 2003).
Dengan menjadi tua, tubuh kehilangan kemampuan memperbaiki kerusakan
karena penyebab apa pun. Banyak orang tua meninggal karena penyakit yang pada
masa mudanya dapat ditolak. Teori ini meyakini pemberian suplemen yang tepat dan
pengobatan yang tidak terlambat dapat membantu mengembalikan proses penuaan.
Mekanismenya dengan merangsang kemampuan tubuh untuk melakukan perbaikan
dan mempertahankan organ tubuh dan sel (Goldman dan Klatz, 2003).
Teori wear and tear meliputi:
1. Teori Kerusakan DNA
Tubuh mempunyai kemampuan untuk memperbaiki diri (DNA
repair). Proses penuaan sebenarnya berarti proses penyembuhan yang
tidak sempurna dan sebagai akibat penimbunan kerusakan molekul
yang terus menerus (Darmojo, 1999). Kerusakan DNA menumpuk
dalam waktu lama, yang mencapai suatu keadaan dimana basis molekul
sebanarnya sudah rusak berat. Kerusakan molekuler dapat terjadi
karena faktor dari luar, seperti radiasi, polutan, asap rokok dan mutagen
kimia (Pangkahila, 2007).
2. Teori Penuaan Radikal Bebas
Teori radikal bebas merupakan salah satu teori tentang penuaan,
yang diperkenalkan oleh Gerschman kemudian dikembangkan oleh
Denham Harman. Teori ini menekankan bahwa radikal bebas dapat
merusak sel sel tubuh manusia (Goldman dan Klantz, 2003).
Radikal bebas adalah suatu molekul yang mempunyai satu atau lebih
elekron yang tidak berpasangan pada orbital luarnya, bersifat sangat
reaktif, dengan cara menarik elektron molekul yang ada disekitarnya,
mengakibatkan terbentuknya senyawa radikal baru, sehingga akan
terjadi reaksi rantai (Soeatmadji, 1998; Sadikin, 2001).
Kerusakan yang ditimbulkan akibat radikal bebas dimulai ketika
lahir dan terus berlanjut hingga meninggal dunia. Ketika masih muda
dampak yang ditimbulkan bersifat minor karena tubuh memiliki
mekanisme perbaikan dan penggantian yang masih berfungsi baik
untuk mempertahankan sel dan organ dalam keadaan sehat. Dengan
bertambahnya usia akumulasi kerusakan akibat radikal bebas akan
mengganggu metabolisme sel, menyebabkan mutasi sel yang dapat
menimbulkan kanker dan kematian (Goldmann and Klatz, 2003).
3. Glikosilasi
Glikosilasi merupakan salah satu proses biokimia dalam tubuh yang
menyebabkan perubahan fisik yang dramatis. Glikosilasi adalah reaksi
non enzimatik antara senyawa glukosa dengan senyawa protein,
menghasilkan glikotoksin atau Advanced Glycation End Product
(AGEs), yang merupakan radikal bebas yang akan merusak jaringan
tubuh. Proses ini semakin sering terjadi saat kita menua, terjadi tanpa
bantuan enzim spesifik, yang menyebabkan glikosilasi menjadi sangat
berbahaya (Roizen and Oz, 2009).
2.1.3.2 Programmed Theory
Teori ini menganggap di dalam tubuh manusia terdapat jam biologik, mulai
dari proses konsepsi sampai ke kematian dalam suatu model terprogram (Darmojo,
1999). Peristiwa ini terprogram mulai dari sel sampai embrio, janin, masa bayi, anak-
anak, remaja, dewasa, menjadi tua dan akhirnya meninggal (Pangkahila, 2007).
1. Teori Terbatasnya Replikasi Sel
Pada ujung chromosome strands terdapat struktur khusus yang
disebut telomer. Setiap replikasi sel telomer memendek pada setiap
pembelahan sel. Setelah sejumlah sel pembelahan sel, telomer telah
dipakai dan pembelahan sel berhenti. Menurut Hayflick, mekanisme
telomere tersebut menentukan rentang usia sel dan pada akhirnya juga
rentang usia organisme itu sendiri (Pangkahila, 2007).
2. Proses Imun
Rusaknya sistem imun tubuh seperti: mutasi yang berulang atau
perubahan protein pasca translasi, dapat menyebabkan berkurangnya
kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri (self
recognition). Jika mutasi somatik menyebabkan terjadinya kelainan
pada antigen permukaan sel, maka hal ini dapat menyebabkan sistem
imun tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan tersebut
sebagai sel asing dan menghancurkannya. Perubahan inilah yang
menjadi dasar terjadinya peristiwa autoimun. Salah satu bukti yang
ditemukan ialah bertambahnya prevalensi auto antibodi pada orang
lanjut usia (Darmojo, 1999).
3. Teori Neuroendrokin
Teori ini diperkenalkan Vladimir Dilman, PhD, berdasarkan
peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh. Pada usia muda
berbagai hormon bekerja dengan baik mengendalikan berbagai fungsi
organ tubuh, sehingga fungsi berbagai organ tubuh sangat optimal.
Akan tetapi, ketika manusia menjadi tua, tubuh hanya mampu
memproduksi hormon lebih sedikit sehingga kadarnya menurun.
Akibatnya berbagai fungsi tubuh terganggu (Darmojo, 1999; Goldman
dan Klatz, 2003). Terapi sulih hormon membantu untuk
mengembalikan fungsi hormon tubuh sehingga dapat memperlambat
proses penuaan (Goldman dan Klatz, 2003).
2.2 ANTI PENUAAN
Anti Aging Medicine (AAM) pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan
oleh American Academy of Anti-Aging Medicine (A4M) pada tahun 1993. Anti Aging
Medicine adalah bagian ilmu kedokteran yang didasarkan pada penggunaan ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini untuk melakukan deteksi dini,
pencegahan, pengobatan, dan perbaikan ke keadaan semula berbagai disfungsi,
kelainan, dan penyakit yang berkaitan dengan penuaan, yang bertujuan untuk
memperpanjang hidup dalam keadaan sehat (Pangkahila, 2007).
Perkembangan ilmu Kedokteran Anti Penuaan (KAP) atau Anti Aging Medicine
telah membawa konsep baru yang menyebabkan perubahan paradigma di dunia
kedokteran.
1. Penuaan dapat dianggap sama dengan suatu penyakit yang dapat dicegah, diobati
bahkan dikembalikan ke keadaan semula.
2. Manusia bukanlah orang hukuman yang terperangkap dalam takdir genetiknya.
3. Manusia mengalami keluhan atau gejala penuaan karena kadar hormonnya
menurun, bukan kadar hormon menurun karena manusia menjadi tua
(Pangkahila, 2007).
Bila berbagai faktor penyebab penuaan dapat dihindari, proses penuaan tentu
dapat dicegah, diperlambat, bahkan mungkin dihambat, dan kualitas hidup dapat
dipertahankan, sehingga usia harapan hidup menjadi lebih panjang dengan kualitas
hidup yang baik (Pangkahila, 2007).
Jika radikal bebas dapat diatasi dengan antioksidan, salah satu penyebab proses
penuaan sudah dihambat. Jika gaya hidup tidak sehat ditinggalkan, diet tidak sehat
dihindari, dan hormon yang berkurang diatasi dengan pengobatan, maka proses
penuaan yang penting dapat disingkirkan (Pangkahila, 2007).
2.3 RADIKAL BEBAS
2.3.1 Definisi Radikal Bebas
Radikal bebas (free radical) adalah suatu senyawa atau molekul yang
mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya, dapat
bereaksi dengan molekul lain menimbulkan reaksi rantai yang sangat dekstruktif
(Soeatmadji, 1998; Goldmann and Klatz, 2003). Pengertian radikal bebas dan oksidan
sering dianggap sama karena keduanya memiliki kemiripan sifat, serta memiliki
aktivitas yang sama dan memberikan akibat yang hampir sama, meskipun melalui
proses yang berbeda (Suryohudoyo, 2000; Winarsi, 2010).
2.3.2 Sifat-sifat Radikal Bebas
Radikal bebas memiliki reaktifitas tinggi, adanya satu atau lebih elektron tidak
berpasangan pada orbital luarnya, menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif
mencari pasangan, dengan cara menyerang atau menarik elektron molekul yang berada
di sekitarnya (Soeatmaji, 1998). Hal ini mengakibatkan terbentuknya senyawa radikal
baru, dengan kata lain radikal bebas dapat mengubah suatu molekul atau senyawa
menjadi suatu radikal bebas baru, dan seterusnya sehingga akan terjadi reaksi rantai
(chain reactions) (Sadikin, 2001; Winarsi, 2010).
Pemahaman radikal bebas sebagai oksidan memang tidak salah. Sifat radikal
bebas yang mirip dengan oksidan terletak pada kecenderungannya untuk menarik
elektron. Pengertian oksidan dalam ilmu kimia adalah, senyawa penerima elektron
(electron acceptor), yaitu senyawa yang dapat menerima atau menarik elektron,
disebut juga oksidator, misalnya ion ferri (Fe +++)
Fe3+ + e- Fe2+
Jadi sama halnya dengan oksidan, radikal bebas adalah penerima elektron. Itulah
sebabnya dalam kepustakaan kedokteran, radikal bebas digolongkan dalam oksidan.
Namun perlu diingat bahwa radikal bebas adalah oksidan tetapi tidak setiap oksidan
adalah radikal bebas. Radikal bebas lebih berbahaya, dibandingkan dengan senyawa
non radikal (Halliwell and Gutteridge, 1985; Suryohudoyo, 2000; Winarsi, 2010).
Reaktivitas dari radikal bebas baru akan berhenti bila ada peredam atau diredam
(quenched) oleh senyawa yang bersifat antioksidan, seperti glutation (Winarsi, 2010).
GSH dengan OH
OH + GSH H2O + GS (Radikal glutation)
GS + GS GSSG
2.3.3 Sumber Oksidan
Oksidan yang dapat merusak sel berasal dari berbagai sumber (Halliwell dan
Gutteridge, 1985) yaitu :
1. Yang berasal dari tubuh sendiri, yaitu senyawa-senyawa yang sebenarnya berasal
dari proses-proses biologik normal (fisiologis), namun oleh suatu sebab
terdapat dalam jumlah besar.
2. Yang berasal dari proses peradangan
3. Yang berasal dari luar tubuh, seperti misalnya : obat-obatan dan senyawa
pencemar (polutan).
4. Radiasi.
Tanpa disadari, dalam tubuh kita terbentuk radikal bebas secara terus menerus,
baik melalui proses metabolisme sel normal, peradangan, kekurangan gizi, dan respon
terhadap pengaruh dari luar, seperti polusi lingkungan, ultraviolet (UV), asap rokok
dll. Dengan meningkatnya usia seseorang, pembentukan radikal bebas juga meningkat.
Secara endogenus, hal ini bekaitan dengan laju metabolisme seiring dengan
betambahnya usia. Bertambahnya glikolisis juga akan menyebabkan peningkatan
oksidasi glukosa dalam siklus asam sitrat sehingga radikal bebas akan terbentuk lebih
banyak. Secara eksogenus, kemungkinan tubuh terpapar dengan polutan juga semakin
tinggi, seiring dengan meningkatnya usia seseorang. Kedua faktor tersebut secara
sinergis meningkatkan jumlah radikal bebas dalam tubuh (Winarsi, 2010).
2.3.4 Tahap Pembentukan Radikal Bebas
Secara umum, tahapan reaksi pembentukan radikal bebas melalui tiga tahapan
reaksi berikut
1. Tahap inisiasi, yaitu awal pembentukan radikal bebas, menjadikan senyawa non
radikal menjadi radikal. Misalnya:
Fe ++ + H2O2 Fe +++ + OH- + OH
R1 _H + OH R1 + H2O
2. Tahap propagasi, yaitu pemanjangan rantai radikal, dimana reaksi berantai
radikal bebas diperluas sehingga membentuk beberapa radikal bebas baru.
R2_H + R1 R2 + R1_H
R3_H + R2 R3 + R2_H
3. Tahap terminasi, yaitu pembentukan non radikal dari radikal bebas,
bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain atau dengan penangkap
radikal, sehingga potensi propagasinya rendah..
R1 + R1 R1_R1
R2 + R1 R2_R1
R2 + R2 R2_R2 dan seterusnya (Winarsi, 2010) :
2.3.5 Senyawa Oksigen Reaktif
Pada dasarnya radikal bebas dapat terbentuk melalui dua cara, yaitu secara
endogen (sebagai respon normal proses biokimia intrasel maupun ekstrasel) dan secara
eksogen (misalnya dari polusi, makanan, serta injeksi ataupun absorpsi melalui kulit)
(Supari, 1996).
Teraktivasinya oksigen dapat menyebabkan terbentuknya radikal bebas oksigen,
yang disebut anion superoksida (O2 ). Secara invitro senyawa radikal ini akan
membentuk kompleks dengan senyawa organik. Banyak faktor yang menyebabkan
senyawa tersebut membentuk kompleks, antara lain adanya sifat permukaan membran,
muatan listrik, sifat pengikatan makromolekul, dan bagian enzim, substrat, maupun
katalisator. Senyawa kompleks ini dapat terjadi pada berbagai sel yang masih normal
maupun tidak normal atau telah teraktivasi (Belleville-Nabet, 1996).
Radikal bebas, yang sering disebut senyawa oksigen reaktif (SOR), dapat
dibentuk melalui jalur enzimatis ataupun metabolik. Senyawa oksigen reaktif juga
dapat diproduksi oleh sel dalam kondisi stres ataupun tidak stres. Pada kondisi tidak
stres, terdapat keseimbangan antara proses pembentukan dan pemusnahan senyawa
oksigen reaktif. Sementara pada kondisi stres oksidatif, pembentukan senyawa oksigen
reaktif lebih tinggi dibandingkan dengan pemusnahannya. Akibatnya, sistem
pertahanan tubuh terpacu untuk bekerja lebih keras untuk memusnahkan senyawa
oksigen reaktif. Salah satu sistem pertahanan tubuh itu adalah sistem antioksidan
enzimatis dan non enzimatis, yang bekerja menekan senyawa oksigen reaktif yang
berlebihan. Oksigen teraktivasi juga dapat terbentuk karena fungsi enzim atau sistem
transfer elektron terganggu. Sebagai akibatnya adalah gangguan metabolik yang
mengakibatkan stres oksidatif (Winarsi, 2010).
Senyawa oksigen reaktif berasal dari oksigen (O2), yaitu senyawa yang sangat
dibutuhkan oleh organisme aerob seperti halnya manusia. Senyawa oksigen ini
digunakan organisme aerob untuk menghasilkan energi berupa ATP, melalui proses
fosforilasi oksidatif dalam mitokondria, dengan reaksi sebagai berikut.
2NADH + 2H+ + O2 2NAD+ + 2H2O + energi
ADP + energi ATP
Dalam proses ini, 1 molekul oksigen akan tereduksi menjadi 2 molekul air
menurut reaksi sebagai berikut.
O2 + 4H+ + 4e- 2H2 O
Reduksi satu molekul oksigen menjadi dua molekul air terjadi dengan
memindahkan empat elektron. Namun dalam keadaan tertentu, proses pemindahan
elektron ini tidak terjadi secara sempurna, sehingga mengakibatkan terjadinya senyawa
oksigen reaktif. Adapun tahapan pembentukan senyawa oksigen reaktif adalah sebagai
berikut.
O2 + e - O2-
O2 + e- + H+ OOH
O2 + 2e- + 2H + H2O2
O2 + 3e- + 3H + OH + H2O
O2 + 4e - + 4H + 2H2O
Dari tahapan reaksi tersebut, tampak bahwa radikal ion superoksida, radikal
peroksil, hidrogen peroksida, dan radikal hidroksil terbentuk sebagai akibat
pemindahan elektron yang kurang sempurna dalam proses reduksi oksigen (Winarsi,
2010).
Radikal bebas dan senyawa oksigen reaktif menyebabkan stres oksidatif yang
mengakibatkan berbagai penyakit. Kejadian ini diawali oleh reaksi oksidasi dalam
tubuh. Bahkan meningkatnya kejadian penyakit kardiovaskuler, aterosklerosis,
diabetes melitus, dan kanker diyakini berkorelasi positif dengan tingginya radikal
bebas dan senyawa oksigen reaktif dalam tubuh (Winarsi, 2010).
2.3.5.1 Radikal Ion Superoksida (O2)
Radikal ion superoksida disebut juga anion superoksida. Senyawa ini
diproduksi di beberapa tempat yang memiliki rantai transpor elektron. Oksigen
teraktivasi dapat terjadi dalam berbagai bagian sel, termasuk mitokondria, kloroplas,
mikrosom, glikosom, peroksisom, dan sitosol (Elstner, 1991).
Pembentukan radikal ion superoksida ini melalui beberapa mekanisme sebagai
berikut (Cadenas and Packer, 2002 (a)):
1. Reaksi samping dalam reaksi yang melibakan Fe++, misalnya dalam proses:
a. Fosforilasi oksidatif
b. Oksigenasi hemoglobin
c. Hidroksilasi oleh enzim monooksigenase (dalam sitokrom P450 dan
sitokrom b4)
d. Fe++ + O2 Fe +++ + O2-
2. Reaksi dalam mitokondria dan granulosit yang dikatalisis oleh NADH/NADPH
oksidase.
NADH + O2 NAD+ + H+ + O2-
NADP + O2 NADP+ + H + + O2-
3. Reaksi yang dikatalisis oleh xantin oksidase (XO)
XH + H2O + 2 O2 XO X-OH + 2 O2- + 2 H+ Xantin Asam urat
Dalam keadaan normal, di dalam sel mamalia tidak terdapat enzim xantin
oksidase. Enzim ini berasal dari enzim xantin dehidrogenase (XD) yang mengalami
proteolisis dan berubah menjadi xantin oksidase (XO), ketika terjadi iskemia atau
hipoksia.
XD XO + peptida Xantin oksidase
Perubahan xantin dehidrogenase menjadi xantin oksidase bersifat irreversibel. Artinya
bila suplai oksigen kembali normal maka akan terbentuk senyawa lain, yaitu ion
superoksida yang lebih reaktif yang mengakibatkan kerusakan jaringan.
2.3.5.2 Radikal Peroksil (OOH)
Sebetulnya ion superoksida tidak terlalu reaktif bila dibandingkan dengan bentuk
perubahannya yang berupa radikal peroksil.
O2- + H+ OOH Radikal peroksil
Radikal peroksil ini sangat reaktif, dan akan membentuk radikal baru melalui
reaksi sebagai berikut.
OOH + XH X + H2O2
Dari reaksi ini terlihat bahwa radikal peroksil lebih berbahaya daripada H2O2 (Cadenas
and Packer, 2002 (a); Winarsi, 2007).
2.3.5.3 Hidrogen Peroksida (H2O 2)
Hidrogen peroksida (H2O2) terbentuk karena aktivitas enzim-enzim oksidase
yang mengkatalisis reaksi dalam retikulo endoplasmik (mikrosom) dan peroksisom.
RH2 + O2 R + H2O2
Hidrogen peroksida merupakan senyawa oksidan yang sangat kuat dan dapat
mengoksidasi berbagai senyawa dalam sel, seperti glutation.
2GSH + H2O2 GSSG + 2H2O
Hidrogen peroksida tidak hanya bersifat sebagai oksidator, melainkan juga dapat
membentuk radikal bebas, bila bereaksi dengan logam transisi seperti Fe++ dan Cu+
dalam reaksi Fenton.
Fe++ + H2O2 Fe+++ + OH- + OH
Cu+ + H2O2 Cu ++ + OH- + OH
Efek negatif yang lain dari oksidator hidrogen peroksida adalah kemampuannya
untuk membentuk ion hipoklorit (ClO-) melalui reaksi yang dikatalisis oleh enzim
mieloperoksidase dalam sel inflamasi, seperti granulosit, monosit, dan makrofag
(Cadenas and Packer, 2002 (a)).
H2O2 + Cl- H2O + ClO-
R + ClO- RO + Cl-
2.3.5.4 Radikal Hidroksil (OH)
Keberadaan senyawa H2O2 dapat berbahaya bila bersama-sama ion superoksida
karena akan membentuk radikal hidroksil (OH) melalui reaksi Haber-Weiss berikut.
O2- + H2O2 O2 + OH- + OH
Reaksi Haber-Weiss memerlukan ion Fe+++ atau Cu++ dan terjadi melaui dua
tahap.
Fe+++ + O2- Fe++ + O2
Fe+++ + H2O2 Fe+++ + OH- + OH
Dari berbagai bentuk senyawa oksigen reaktif tersebut, radikal hiroksil
merupakan senyawa yang paling reaktif dan berbahaya. Radikal hidroksil bukan
merupakan produk primer proses biologis, melainkan berasal dari H2O2 dan O2-
(Cadenas and Packer, 2002 (a); Winarsi, 2007).
2.3.5.5 Singlet Oksigen (1O2)
Singlet oksigen merupakan bentuk oksigen yang memiliki reaktivitas jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan oksigen bentuk ground state. Senyawa ini akan terbentuk
melaui reaksi yang dikatalisis oleh enzim-enzim (Cadenas and Packer, 2002 (a);
Winarsi, 2007):
a. Enzim monooksigenase yang menggunakan sitokrom P450 dengan substrat
peroksida.
b. Enzim prostaglandin endoperoksida sintetase, yaitu suatu enzim yang bekerja
dalam pembentukan prostaglandin dalam asam arakidonat.
c. Enzim mieloperoksidase, yang mengkatalisis reaksi hipoklorit dengan H2O2.
2.3.6 Stres Oksidatif
Tubuh dapat mengatasi radikal bebas, namun jika radikal bebas yang dihasilkan
melebihi antioksidan dapat menyebabkan stres oksidatif (Wiyono, 2003). Stres
oksidatif adalah suatu keadaan ketika jumlah antioksidan tubuh kurang dari yang
diperlukan, untuk meredam efek buruk radikal bebas, yang dapat merusak membran
sel, protein dan DNA, dan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup sel atau jaringan.
Jika hal ini terjadi dalam waktu yang berkepanjangan, maka akan terjadi penumpukan
hasil kerusakan oksidatif di dalam sel dan jaringan yang akan menyebabkan sel atau
jaringan tersebut kehilangan fungsinya dan akhirnya mati (Bagiada, 2001).
2.3.6.1 Dampak Negatif Senyawa Oksigen reaktif
Senyawa oksigen reaktif merusak komponen sel, sehingga ketahanan integritas
dan kehidupan sel terganggu. Dampak dari senyawa oksigen reaktif sangat luas dan
mekanisme molekulernya masih belum terkuak secara jelas (Bagiada, 2001).
2.3.6.2 Dampak Negatif Radikal Hidroksil
Radikal hidroksil merupakan senyawa yang paling berbahaya. Merusak tiga
jenis senyawa. yang penting untuk mempertahankan integritas sel (Halliwel dan Cross,
1994), yaitu:
a. Asam lemak tak jenuh yang merupakan komponen penting fosfolipid
penyusun membran sel.
b. DNA, yang merupakan perangkat genetik
c. Protein, yang memegang berbagai peran penting, seperti enzim,
reseptor, antibodi dan penyusun matriks serta sitoskeleton.
Dampak terhadap membran sel, dapat menyerang komponen penting membran
sel seperti: asam linoleat, linolenat dan arakidonat, yang dapat menimbulkan reaksi
rantai peroksidasi lipid. Terputusnya rantai asam lemak tidak jenuh menghasilkan
senyawa toksik seperti: aldehid, MDA, 9-OH noneal,etana, F2-Isoprostan dan lain-lain.
Juga dapat membentuk ikatan silang (cross-linking) (Cadenas and Packer, 2002 (a)
(b); Winarsi, 2007).
Dampak terhadap DNA, hidroksilasi basa timin dan sitosin, pembukaan inti
purin dan pirimidin serta terputusnya rantai fosfodiester DNA, replikasi sel terganggu.
Terjadi mutasi, bila sistim perbaikan DNA terlampaui atau terjadi error prone (bila
sistim perbaikan DNA salah) (Winarsi, 2007). DNA mitokondria (mtDNA) merupakan
target utama senyawa oksigen reaktif (SOR). Paparan senyawa oksigen reaktif pada
mtDNA, ditemukan pada penderita berbagai penyakit degeneratif yang berkaitan
dengan aging. Akibatnya adalah penurunan fungsi mitokondria, dan bahkan kerusakan
pada mtDNA. Kerusakan pada mitokondria , dapat digunakan sebagai biomarker pada
penyakit-penyakit yang diakibatkan oleh senyawa oksigen reaktif (Yakes and Van
Houten, 1997).
Dampak terhadap protein, terjadi reaksi dengan asam amino penyusun protein
dan yang paling rawan adalah sistein (SH)= ikatan sulf hidril
RSH + OH RS + H2O
RS. + RS. R-S-S-R
Ikatan S-S (disulfida linkage), menyebabkan protein kehilangan aktivitasnya (Winarsi,
2007)
2.3.6.3 Dampak Positif
Melawan/membunuh organisme patogen yang dihasilkan oleh granulosit,
makrofag dan monosit. Bila produksi oksidan berlebihan menimbulkan kerusakan
jaringan (Bagiada, 2001).
2.3.7 Pengukuran Peroksidasi Lipid
Peroksidasi lipid terjadi dalam beberapa tahapan. Banyak teknik tersedia untuk
mengukur tingkat peroksidasi, hilangnya substrat asam lemak penyebab terjadinya
rantai peroksidasi lemak, sehingga prinsipnya secara sederhana pengukuran
peroksidasi adalah untuk menguji hilangnya asam lemak, salah satunya dengan
mengukur kadar f2-isoprostan, yang merupakan produk akhir yang toksik dari
peroksidasi lipid (Cadenas and Packer, 2002 (b)).
F2-isoprostan dapat ditemukan di jaringan dan cairan tubuh (termasuk urin)
manusia dan hewan, yang mengandung f2-isoprostan dan metabolitnya dalam tingkat
rendah ( 30-40 pg/mL di plasma segar manusia, 2 ng/mg kreatinin di urin manusia).
Tingkat f2-isoprostan in vivo meningkat dalam kondisi stres oksidatif (misalnya dalam
plasma dan urin perokok, dalam nafas penderita asma, pada penderita diabetes, dalam
cairan paru yang terpapar O2 tinggi, dalam plasma tikus yang kelebihan beban besi,
dan pada hewan yang diberi perlakuan dengan CCl4. Isoprostan juga dapat terbentuk
dalam makanan, tetapi berkontribusi sedikit untuk kadar plasma pada manusia
(Cadenas and Packer, 2002 (a) (b)).
2.4 AKTIVITAS FISIK MAKSIMAL
Olahraga harus menjadi pusat setiap rencana kerja antioksidan yang efektif.
Alasannya tanpa olahraga yang teratur, pertahanan dalam tubuh terhadap radikal
bebas, termasuk antioksidan endogen, seperti superoksida dismutase, glutation
peroksidase, dan katalase dapat menjadi terlalu rapuh, untuk mempertahankan efek
yang optimal (Cooper, 2001).
Namun penting melakukan jenis olahraga yang benar. Artinya mengandalkan
olahraga dengan intensitas rendah, yang akan meminimumkan pengeluaran radikal
bebas yang berlebihan saat latihan, dan pada saat yang sama meningkatkan jumlah
enzim alami, atau antioksidan endogen (Cooper, 2001).
2.4.1 Olahraga Berintensitas Rendah
Olahraga dengan intensitas rendah adalah program olahraga hidup sehat yang
paling efektif, termasuk membangun pertahanan melawan radikal bebas (Cooper,
2001). Untuk mendapatkan hasil maksimal dan risiko minimal pada pelatihan
diperlukan kondisi lingkungan yang memadai dan takaran pelatihan yang tepat untuk
setiap individu meliputi FITT, yaitu Frequency, Intencity, Type, Time. Frekuensi yang
dianjurkan tiga hingga lima kali per minggu dengan intensitas kurang lebih 60-85%
dari denyut jantung maksimal: 220 umur (dalam tahun). Latihan didahului
pemanasan selama 3-5 menit, dilanjutkan latihan inti 15-60 menit, diakhiri
pendinginan 3-5 menit (Giam, 1993).
2.4.2. Latihan Fisik Berlebih
Pelatihan berlebih seringkali akibat dari (Hatfield, 2001):
a. Volume latihan terlalu banyak.
b. Intensitas pelatihan terlalu tinggi.
c. Durasi pelatihan terlalu panjang.
d. Frekuensi pelatihan terlalu sering
Saat ini, lebih banyak alasan untuk membatasi intensitas latihan, alasan utama
pada bahaya yang disebabkan oleh kelebihan radikal bebas, yang mungkin terbentuk
selama latihan fisik berat. Latihan dengan intensitas tinggi yang melelahkan dapat
meningkatkan kemungkinan berbagai masalah kesehatan, seperti kanker, serangan
jantung, katarak, penuaan dini, penurunan kekebalan, dan lain lain (Cooper, 2001).
Dr. Ralph Paffenbarger melakukan studi terhadap 16.936 pria alumni Harvard,
berusia 35 sampai 74 tahun. Menurut laporan yang dimuat dalam The New England
Journal of Medicine, ditemukan angka kematian lebih rendah bagi pria yang
melakukan aktivitas fisik secara teratur, dibandingkan pria yang tidak pernah
melakukannya. Laju kematian lebih rendah pada pria yang menghabiskan 2000 kalori
atau lebih per minggu. Akan tetapi, pada tingkat intensitas tinggi, olahraga kurang
bermanfaat. Angka kematian mulai meningkat diantara pria yang menghabiskan lebih
dari 3000 kalori per minggu (Cooper, 2001).
2.4.3 Hubungan Latihan Berlebihan dan Kerusakan karena Radikal bebas
Pada keadaan normal, radikal bebas terbentuk secara amat perlahan, kemudian
dinetralisasi oleh antioksidan dalam tubuh. Namun jika laju pembentukan radikal
bebas sangat meningkat karena dipicu latihan yang berlebihan, jumlah radikal akan
melebihi kemampuan sistem pertahanan tubuh, menyerang membran sel, sehingga
terjadi kerusakan sel-sel pada otot dan tulang. Kerusakan dan peradangan jaringan
yang sering menyertai olahraga yang menghabiskan tenaga, merupakan tanda paling
jelas adanya kegiatan radikal bebas (Cooper, 2001).
2.4.4 Pembentukan Radikal Bebas Pada Latihan Fisik Berlebih
Radikal bebas terbentuk selama berolahraga melalui dua cara:
1. Pelepasan Elektron
Saat berolahraga terjadi pelepasan elektron, olahraga berlebihan menyebabkan
terjadi peningkatan konsumsi oksigen oleh tubuh 10-20 kali atau lebih. Dalam
serat otot yang berkontraksi penggunaan oksigen dapat meningkat 100-200 kali
di atas kebutuhan normal. Peningkatan oksigen yang luar biasa memicu
pelepasan radikal bebas , terutama radikal superoksida (Clarkson, 2000; Cooper,
2001; Sauza, 2005).
2. Fenomena Reperfusion Injury
Saat berolahraga berat, darah yang mengalir dalam tubuh keluar dari berbagai
organ yang tidak terlibat secara aktif dalam proses. Namun darah dialirkan ke
otot skelet. Selama pengalihan aliran darah, sebagian atau seluruh bagian organ
tubuh yang tidak terlibat dalam olahraga akan mengalami kekurangan oksigen
secara tiba-tiba (hipoksia). Proses iskemia yang terjadi menyebabkan perubahan
enzim xantin dehidrogenase menjadi xantin oksidase, dimana perubahannya
bersifat ireversibel. Setelah berolahraga terjadi proses reperfusi, dimana darah
bergerak kembali dengan cepat ke berbagai organ yang kekurangan aliran darah
sehingga oksigen terpenuhi kembali, reaksi yang terjadi dipengaruhi oleh xantin
oksidase. Reaksi ini menghasilkan radikal bebas sehingga menimbulkan
reperfusion injury (injury yang terjadi setelah terjadinya reperfusi setelah
mengalami iskemia (Langseth, 1996; Cooper 2001)).
2.4.5 Hasil Pengukuran Radikal Bebas Saat Berolahraga
Saat ini tidak terdapat penanda diagnosis tunggal untuk latihan fisik berlebih.
Pemeriksaan yang tersedia untuk memeriksa respon biomarker terhadap latihan
(Margonis et al., 2007). Pengukuran radikal bebas terutama pada proses oksidasi
lemak, yang dikenal sebagai peroksidasi lipid. Proses ini membentuk sisa
metabolisme, salah satunya dikenal sebagai thiobarbituric acid reactive substance
(TBARS) (Cooper, 2001; Cadenas and Packer, 2002 (a)), yang merupakan tes yang
tertua untuk mengukur peroksidasi lipid, merupakan pengujian yang sederhana, tetapi
kesederhanaan melakukan uji ini memungkinkan kompleksitas kimianya (Cadenas dan
Packer, 2002 (a)).
Pemeriksaan respon biomarker terhadap latihan ketahanan yang dilakukan pada
12 orang laki-laki berusia 21 tahun, yang dilakukan selama 12 minggu, dimana latihan
pada masing-masing sesi dilakukan selama tiga minggu. Pada sesi pertama dilakukan
latihan dua kali seminggu. Sesi kedua delapan kali seminggu. Sesi ketiga 14 kali
seminggu. Diikuti istirahat total selama tiga minggu. Sampel darah atau urin
dikumpulkan pada keadaan basal dan 96 jam pascalatihan terakhir pada tiap sesi.
Hasilnya menunjukkan adanya leukositosis, peningkatan isoprostan dalam urin (7-
fold), TBARS (56%), katalase (96%), gluthatione peroxidase, serta gluthatione yang
teroksidasi (GSSG) (25%). Sebaliknya terjadi penurunan gluthatione tereduksi (GSH)
(31%), GSH/GSSG (56%), dan kapasitas total antioksidan. Dapat disimpulkan, latihan
fisik berlebih merangsang respon terhadap biomarker stres oksidatif (Margonis et al.,
2007).
2.5 ANTIOKSIDAN
2.5.1 Definisi Antioksidan
Dalam pengertian kimia, senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi elektron
(elektron donors). Secara biologis, pengertian antioksidan adalah senyawa yang
mampu menangkal atau meredam dampak negatif oksidan dalam tubuh. Antioksidan
bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat
oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut dihambat (Winarsi, 2007),
termasuk enzim - enzim dan protein - protein pengikat logam (Pangkahila, 2007).
2.5.2 Klasifikasi antioksidan
2.5.2.1 Klasifikasi antioksidan secara umum
1. Antioksidan Enzimatis, misalnya enzim superoksida dismutase (SOD), katalase,
dan glutation peroksidase.
2. Antioksidan Non Enzimatis
a. Antioksidan larut lemak, seperti -tokoferol, karotenoid, flavonoid,
quinon, dan bilirubin.
b. Antioksidan larut air, seperti asam askorbat, asam urat, protein pengikat
logam, dan protein pengikat heme. (Miyazaki et al., 2000; Winarsi,
2007).
Antioksidan enzimatis dan non enzimatis tersebut bekerja sama memerangi
aktivitas senyawa oksidan dalam tubuh. Terjadinya stres oksidatif dapat dihambat oleh
kerja enzim-enzim antioksidan dalam tubuh dan antioksidan non enzimatik (Miyazaki
et al, 2000; Winarsi, 2007).
2.5.2.2 Klasifikasi berdasar mekanisme pencegahan dampak negatif oksidan
1. Antioksidan pencegah ( preventive antioxidants).
Pada dasarnya tujuan antioksidan jenis ini mencegah terjadinya radikal
hidroksil, yaitu radikal yang paling berbahaya. Untuk membentuk radikal hidroksil
diperlukan tiga komponen, yaitu : logam transisi Fe atau Cu, H2O2 dan O2 - Agar
reaksi Fenton ((Fe++(Cu+) + H2O2 Fe+++ ( Cu++ ) + OH - + OH ))
tidak terjadi, maka harus dicegah keberadaan ion Fe++ atau Cu+ bebas. Untuk itu
berperan beberapa protein penting, yaitu :
a. Untuk Fe transferin atau feritin
b. Untuk Cu : seruloplasmin atau albumin
Penimbunan O2 - dicegah oleh enzim superoksida dismutase (SOD) dengan
mengkatalisis reaksi dismutasi O2-.
2O2 - + 2H SOD H2O2 + O2
Enzim SOD melindungi sel-sel tubuh dan mencegah terjadinya proses
peradangan yang diakibatkan oleh radikal bebas.
Penimbunan hidrogen peroksida (H2O2) dicegah melalui aktivitas dua enzim,
yaitu :
a. Katalase, yaitu enzim yang mengandung heme, yang mengkatalisis reaksi
dismutasi H2O2 menjadi air dan oksigen, dimana katalase mampu
mengoksidasi satu molekul hidrogen peroksida menjadi oksigen, kemudian
secara simultan mereduksi molekul hidrogen peroksida kedua menjadi air.
2H2O2 2H2O + O2
b. Peroksidase, yang mengkatalisis reaksi sebagai berikut :
R + H2O2 RO + H2O
Diantara berbagai peroksidase, yang paling penting adalah gluthation
peroksidase (GSPx), yang mengkatalisis reaksi :
2GSH + H2O2 GSSG + 2H2O
Apabila radikal hidroksil masih saja terbentuk, masih ada sarana lain untuk
meredamnya, tanpa memberi kesempatan untuk memulai reaksi rantai
dengan melibatkan senyawa-senyawa yang mengandung sulhidril seperti
gluthation dan sistein.
Gluthation ( GSH ) :
GSH + OH GS + H2O
2GS GSSG
Sistein ( Cys-SH ) :
Cys-SH + OH Cys-S + H2O
2 Cys Cys-S-S-Cys
2. Antioksidan pemutus reaksi rantai ( chain-breaking antioxidants).
Dalam kelompok antioksidan ini termasuk vitramin E (tokoferol), asam
askorbat ( vitamin C ), karoten. Vitamin E dan -karoten bersifat lipofilik,
sehingga dapat berperan pada membran sel untuk mencegah peroksidasi lipid.
Sebaliknya, vitamin C, gluthation dan sistein bersifat hidrofilik, dan berperan
dalam sitosol ((Frei, 1999; Milner, 2000; Murray et al., 2000).
Gambar 2.1 Korelasi hubungan antioksidan dalam sistem biologi (Yuji et al, 2010)
2.6 PROPOLIS
Propolis atau lem lebah adalah suatu zat yang dihasilkan oleh lebah madu,
mengandung resin dan lilin lebah, bersifat lengket yang dikumpulkan dari sumber
tanaman, terutama dari bunga dan pucuk daun, untuk kemudian dicampur dengan air
liur lebah (Marcucci et al., 2001, Salatino et al., 2005; Nakajima et al., 2009). Asal
tanaman penghasil propolis belum dapat diketahui semuanya, yang saat ini diketahui
adalah berasal dari getah resin tanaman kelompok pinus dan akasia. Propolis
digunakan untuk menutup sel-sel atau ruang heksagonal pada sarang lebah. Biasanya,
propolis menutup celah kecil berukuran 4-6 mm, sedangkan celah yang lebih besar
diisi oleh lilin lebah. Dahulu peternak lebah di Amerika Serikat menganggap propolis
sebagai bahan pengganggu, sebab melekat di tangan, pakaian, dan sepatu ketika cuaca
panas, serta berubah keras dan berkerak ketika dingin (Salatino et al., 2005).
Salah satu jenis lebah yang mampu menghasilkan propolis dalam jumlah
banyak yaitu jenis Trigona sp (Sabir, 2009). Spesies lebah madu yang juga aktif
mencari propolis adalah Apis Mellifera (Salatino et al., 2005).Hanya lebah betina
pekerja yang bertugas mencari polen sebagai bahan baku propolis, mengolah propolis
dari berbagai bahan seperti pucuk daun, getah tumbuhan, dan kulit beragam tumbuhan
seperti akasia dan pinus. Lebah jantan tidak mempunyai kantong polen di bagian tibia
atau tungkai kaki dan tanpa kelenjar malam, itulah sebabnya tidak mampu mencari dan
mengangkut polen ke sarang. Lebah madu cenderung menyesuaikan jadwal
penerbangannya pada saat bunga-bunga dari spesies yang dikunjungi mulai mekar dan
menghasilkan serbuk sari, dan di luar itu tetap berada di sarang (Ensiklopedi
Indonesia, 2003).
Gambar 2.2. Lebah Penghasil Propolis (Sumber: Value Added Products of Beekeeping by R Krell, FAO)
Propolis
2.6.1. Karakteristik Propolis
Warna propolis bervariasi, dari kuning, hijau hingga coklat tua, tergantung pada
sumber tumbuhannya, seperti propolis Brazil (Cuba) berwarna kehijauan (Salatino,
2005). Propolis merupakan substansi resin alami yang mempunyai aroma wangi,
sangat lengket pada suhu sarang saat baru dibentuk, mengeras pada suhu 150C, dan
menjadi mudah pecah di bawah suhu 50C. Pada suhu 250-450 C, propolis bersifat
lembut, elastis dan sangat lengket. Di atas suhu 450C, propolis semakin lengket seperti
karet. Sementara pada suhu 600 dan 700-1000C propolis akan mencair (Krell, 1996).
Gambar 2.3. Propolis Trigona sp
2.6.2. Kandungan Propolis
Propolis terdiri dari resin (50%), wax (30%), essential oils (10%), pollen (5%),
dan komponen organik (5%) (Gomez et al., 2006). Resin mengandung flavonoid,
fenol, dan berbagai bentuk asam (Borelli et al., 2002). Salah satu ikatan fenol yang ada
dalam propolis yaitu Caffeic Acid Phenethyl Ester (CAPE) (Viuda et al., 2008). CAPE
merupakan sisi aktif flavonoid yang bekerja untuk memaksimalkan aktivitas scavenger
terhadap radikal bebas, dengan cara menurunkan aktivitas radikal hidroksil (OH)
sehingga tidak terlalu reaktif lagi (Cadenas and Packer, 2002 (c)).
Propolis mengandung 16 asam amino essensial yang dibutuhkan untuk
regenerasi sel. Dari semua asam amino yang terdapat dalam propolis, arginin dan
prolin tergolong yang terbanyak, sekitar 45,8%. Propolis mengandung semua mineral,
kecuali sulfur. Zat besi (Fe) dan seng (Zn) adalah kandungan yang terbanyak.
Kandungan mineral ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat tumbuh tanaman.
Propolis juga mengandung vitamin, di antaranya vitamin A, vitamin B (B1, B2, B6),
vitamin C, vitamin E dan vitamin D (Krell, 1996; Wikipedia, 2010).
Gambar. 2.4. Chemical structures of the most important flavonoids found in honey and
propolis (Viuda et al., 2008) .
2.6.3. Jenis-Jenis propolis
Berikut ini adalah beberapa bentuk propolis yang sudah diproduksi massal
(Krell, 1996):
1. Propolis mentah, yaitu propolis tanpa melalui proses pematangan (mentah), bisa
langsung dikonsumsi. Umumnya berbentuk bongkahan atau dibekukan.
Bongkahan besar propolis murni dapat dikunyah, seperti permen karet. Namun
sebaiknya dikonsumsi dalam jumlah sedikit, jika berlebihan menyebabkan
gangguan pada perut. Selain itu ada propolis mentah yang dihancurkan hingga
menjadi butiran halus. Butiran halus biasanya dimasukkan dalam kapsul atau
dicampur dengan makanan dan minuman.
2. Propolis cair, adalah propolis bentuk cair, yang telah diekstrak dengan jenis
pelarut tertentu. Ada banyak jenis pelarut yang dapat digunakan, di antaranya
etanol (alkohol), air, pelarut minyak sayur atau lemak hewan.
3. Propolis bubuk (powder). Sebelum diproses menjadi bentuk bubuk atau powder,
propolis mentah (raw propolis) terlebih dahulu diekstrak dengan alkohol, air,
atau ekstrak glikol. Bentuk propolis bubuk di pasaran dapat ditemukan dalam
bentuk tablet atau kapsul.
4. Injeksi. Hingga kini ketersediaan propolis injeksi masih dalam penelitian.
5. Pasta dan minyak propolis. Salah satunya adalah pasta gigi propolis, yang
bermanfaat untuk mencegah karies, radang gusi, dan sariawan. Selain dalam
bentuk pasta, propolis juga bisa dicampur dengan minyak atau krim untuk
dioleskan.
2.6.4.Ekstraksi Propolis
Ekstraksi propolis membutuhkan pelarut. Pemilihan cairan pelarut tergantung
pada tujuan penggunaan propolis dan tehnik yang ada. Selama ini, ekstraksi propolis
menggunakan ethanol, propilen glikol, atau air. Ethanol dan glikol dapat melarutkan
seluruh zat aktif.
Bahannya merupakan propolis mentah, untuk mengetahui propolis mentah yang
masih berkualitas adalah dengan mencampur propolis sebanyak setengah sendok teh
dengan secangkir susu, lalu biarkan selama empat hari pada suhu hangat. Jika susu
tetap segar, berarti propolis masih baik. Sebaliknya jika fisik susu berubah, berarti
propolis sudah tidak baik. Cara pertama dilakukan dengan membersihkan propolis dan
kotoran yang tampak, juga dari lilin yang berlebihan. Caranya propolis dihaluskan
menjadi butiran kecil atau bubuk halus. Jika propolis terlalu lengket dan sulit
dihaluskan, sebaiknya propolis disimpan dahulu dalam freezer atau lemari es selama
beberpa jam hingga menjadi keras dan rapuh. Propolis yang lengket, bisa dibuat setipis
mungkin untuk menigkatkan kontak permukaan antara alkohol dengan propolis,
sehingga pelarutan mudah dilakukan.
Alat dan bahan yang digunakan untuk melakukan proses ekstraksi skala industri
kecil sebagai berikut:
1. Botol berkapasitas besar yang dapat ditutup rapat.
2. Timbangan yang cukup sensitif untuk menimbang jumlah kecil.
3. Kertas filter, kain katun berlapis, atau bola kapas sebagai saringan.
4. Lemari es atau freezer, meski tidak terlalu pentng.
5. Sumber panas, seperti perangkat destilasi, pengering vakum, atau pengering
beku, berguna untuk menguapkan pelarut (Krell, 1996).
2.6.5. Teknik Ekstraksi
Hingga kini belum ada standarisasi tentang konsentrasi, metode ekstraksi, dan
jenis pelarut yang akan dipakai.
Tehnik Ekstraksi Propolis Alkohol
Ekstraksi propolis alkohol merupakan proses ekstraksi yang paling banyak
dilakukan. Alkohol yang biasanya digunakan adalah etanol. Ekstrak propolis yang
digunakan pada manusia, pemilihan jenis alkohol lebih berupa gin, rum, cachasa, arak
atau cairan destilasi lainnya. Cairan alkohol ini memang mengandung kurang dari 70%
alkohol, tetapi hasilnya tetap berkualitas .
Berdasarkan penelitian, ekstraksi yang menghasilkan zat aktif terbanyak adalah
propolis yang dilarutkan dalam alkohol 70%. Semakin lama direndam dalam alkohol,
propolis akan semakin larut. Idealnya, lama waktu pelarutan maksimum 2-3 minggu.
Prosedur ekstraksi dengan alkohol:
a. Prosedur yang saat ini digunakan untuk industri skala kecil adalah dengan
perbandingan propolis alkohol sebesar 5-10%. Artinya rasio berat propolis dengan
berat pelarut berkisar 5-10%. Sementara itu, konsentrasi awal propolis yang akan
diekstraksi tidak boleh lebih dari 30%, jika lebih ekstraksi akan kurang efisien dan
kurang lengkap.
b. Timbang jumlah propolis dan hitung volume alkohol yang digunakan. Sebaiknya,
berat alkohol ditimbang agar dapat dibandingkan dengan berat propolis. Secara
sederhana, 1 liter alkohol 100% beratnya 800 gram, dan 1 liter alkohol 70%
beratnya 860 gram. Menimbang alkohol lebih dipilih daripada menghitung volume
alkohol karena lebih akurat.
c. Selanjutnya, alkohol dan propolis dimasukkan ke dalam satu wadah, tutup rapat,
lalu kocok pelan-pelan. Pengocokan dilakukan sekali sampai dua kali setiap
harinya. Wadah disimpan dalam tempat yang gelap dan hangat, setidaknya selama
tiga hari. Untuk hasil terbaik, biasanya ekstraksi memerlukan waktu 1-2 minggu.
d. Untuk mempercepat proses ekstraksi, rebus campuran alkohol dengan propolis
selama delapan jam untuk melarutkan semua resin yang ada. Namun untuk
mendapat kualitas ekstrak propolis yang terbaik, pemanasan ini sebaiknya
dihindari.
e. Setelah disimpan, cairan disaring dengan kertas filter, kain halus, atau kapas. Kain
dibuat berlapis agar penyaringan lebih efektif. Lebih baik lagi jika ditambahkan
saringan lagi di bawahnya. Sisa saringan pertama masih bisa diekstrak lagi melalui
prosedur yang sama. Untuk mendapat hasil yang maksimal, satu hari sebelum
proses penyaringan, campuran propolis disimpan dalam lemari es, dengan suhu
dibawah 4oC, tetapi jangan sampai membeku. Sebaiknya, saringan juga
dibersihkan sebelum digunakan.
f. Hasil penyaringan akan berupa cairan jernih, bebas dari pertikel, dan berwarna
cokelat tua atau sedikit kemerahan. Simpan hasil penyaringan dalam botol bersih
berwarna gelap dan hampa udara. Jika botol tidak berwarna gelap, letakkan saja
botol di tempat gelap, dingin, atau dibungkus dengan kain atau kertas, lalu jauhkan
dari cahaya matahari.
Contoh:
Untuk membuat propolis alkohol 10%, campurkan satu bagian propolis dengan
sembilan bagian alkohol. Jadi untuk 100 gram propolis, diperlukan campuran pelarut
alkohol sebanyak 900 gram. Begitu juga untuk 1kg propolis, perlu ditambahkan 9 kg
alkohol. Sementara, untuk membuat propolis alkohol 55, perbandingan yang
dibutuhkan adalah satu bagian propolis dengan 19 bagian alkohol. Untuk mengatasi
mahalnya harga pelarut, konsentrasi ekstrak awal dibuat lebih tinggi (sekitar 30%) dan
baru diencerkan lagi, tergantung pada tujuan penggunaannya.
Teknik Ekstraksi Propolis Glikol
Metode ini hampir sama dengan metode ekstraksi propolis alkohol, hanya berbeda dari
jenis pelarutnya, yaitu glikol dalam bentuk propylene glycol. Perbandingan atau
konsentrasi yang dipakai sebaiknya tidak melebihi 10%. Kekurangan teknik ekstraksi
ini adalah membutuhkan suhu yang lebih tinggi saat melakukan proses penguapan
pelarut, yang tentunya dapat membuat komponen di dalam propolis mudah menguap.
Harga glikol biasanya lebih murah dari alkohol. Sayangnya, glikol tidak mudah
diperoleh di semua tempat.
Teknik Ekstraksi Propolis Air
Ekstraksi propolis dengan air dilakukan dengan cara melarutkan propolis dalam air
selama beberapa hari atau merebusnya dalam air. Metode ekstraksi propolis air sama
persis dengan ekstraksi alkohol. Terbatasnya pemanfaatan ekstraksi propolis alkohol,
terutama untuk dikonsumsi ibu hamil dan anak, konsumsi di negara muslim, atau
faktor kesehatan tertentu, membuat ekstraksi propolis air menjadi penting.
Membuat Ekstrak Propolis di Rumah
Ekstraksi zat aktif dalam propolis juga bisa dilakukan di rumah. Bahannya propolis
mentah, Bahan lain yang dibutuhkan adalah pelarut, dapat berupa alkohol, propilen
glikol atau air. Cara yang digunakan sama seperti membuat ekstraksi propolis untuk
skala industri, hanya peralatan untuk pembuatan ekstraksi propolis di rumah lebih
sederhana (Krell, 1996).
2.6.6 Manfaat dan Bukti Ilmiah Propolis
Propolis dan hasil produk lebah lainnya seperti madu, pollen dan royal jeli,
bermanfaat untuk kesehatan. Di antaranya bermanfaat sebagai antioksidan, antibakteri,
antiinflamasi, hepatoprotektif, antitumor, dan vasodilator (Viuda et al., 2008;
Nakajima et al., 2009).
Manfaat Sebagai Antioksidan
Propolis merupakan produk alami yang mempunyai potensi antioksidan yang
tinggi (Gheldof et al., 2002). Propolis mempunyai aktivitas antioksidan yang paling
kuat dalam melawan radikal bebas (radikal H2O2, O2-, OH) dibandingkan dengan hasil
produk lebah lainnya (Nakajima et al., 2009). Kandungan flavonoid di dalamnya dapat
meredam efek buruk radikal bebas, dengan menghambat peroksidasi lipid melalui
aktivasi peroksidase terhadap hemoglobin, yang merupakan antioksidan endogen (Mot
et al., 2009).
Penelitian di Jepang menunjukkan bahwa kandungan Caffeic acid yang ada di
dalam propolis mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi, yang dapat
meningkatkan ekspresi glucose-6-phospate dehydrogenase (G6PD) yang dikenal
sebagai gen antioksidan, lebih kuat dibandingkan vitamin E. Caffeic acid mempunyai
aktivitas antioksidan 4-6 kali lebih kuat terhadap radikal H2O2 dan O2-, dibandingkan
vitamin C dan N-acetyl-cystein (NAC) (Nakajima et al., 2009). Potensi kekuatan
antioksidan ekstrak propolis dan polen secara berturut-turut, yaitu; ekstrak propolis air,
ekstrak propolis etanol, polen. Seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini (Nakajima
et al.,2009).
Tabel 2.1. Antioxidant activities of bee products (Nakajima et al., 2009)
IC50 (95% confidence limit)
Compounds H2O2 O2- HO Brazilian green propolis (g/ml) WEP 0.24 (0.150.34)
0.91 (0.641.21) 4.12 (3.315.17)
EEP 2.48 (1.654.05) 0.79 (0.56
1.04) 5.83 (4.996.87)
Other bee products (g/ml) Pollen 9.99 (8.0112.3)
8.44 (6.6410.4) 57.6 (46.569.9)
Royal jelly > 100 > 100 > 100
Constituents of propolis (M) 3,4-di- O-Caffeoylquinic acid 0.52 (0.360.70)
0.25 (0.180.32) 1.86 (1.502.31)
3,5-di- O-Caffeoylquinic acid 0.33 (0.160.53) 0.18 (0.13
0.24) 2.02 (1.513.07)
3-Caffeoylquinic acid 0.22 (0.110.35) 0.16 (0.11
0.22) 2.38 (1.833.19)
Artepillin C 1.44 (1.161.76) 2.01 (1.38
2.84) 51.9 (39.173.1)
Baccharin > 100 > 100 > 100
Coumaric acid > 100 > 100 59.4 (39.1102.7)
Drupanin 7.35 (5.2810.0) 5.24 (3.20
8.00) 26.4 (17.443.4)
Caffeic acid 0.28 (0.220.36) 0.13 (0.11
0.16) 1.82 (1.502.23)
Quinic acid > 100 > 100 > 100
(bersambung)
IC50 (95% confidence limit)
Compounds H2O2 O2- HO
Constituents of royal jelly (M) 10-Hydroxy decenoic acid > 100 > 100 > 100
Antioxidants (M) Trolox 0.29 (0.110.59)
0.36 (0.130.75) 1.30 (0.971.77)
NAC 1.84 (1.024.37) 2.40 (1.46
4.42) > 100
Ascorbic acid (Vitamin C) 1.53 (1.381.70) 0.70 (0.50
0.94) 2.07 (0.985.81)
IC50: 50% inhibitory concentration, WEP: water extract of propolis, EEP: ethanol extract of propolis, NAC: N-acetyl cysteine.
Manfaat Sebagai Antikanker
Caffeic Acid Phenethyl Ester (CAPE), salah satu bahan aktif dalam propolis,
terbukti menghentikan pertumbuhan sel kanker. Hasil penelitian uji sitotoksik serbuk
propolis dan madu propolis terhadap sel kanker rahim dan payudara di Laboratorium
Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) Universitas Gajah Mada (UGM),
menunjukkan propolis dapat menghambat sel kanker HeLa (sel kanker serviks), Siha
(sel kanker uterus), T47D dan MCF7 (sel kanker payudara). Riset ilmiah itu
membuktikan bahwa nilai LC50 15,625-62,5 g/ml. Artinya, propolis dosis 15,625-
62,5 g/ml dapat menghambat aktivitas 50% sel kanker dalam kultur. Dimana nilai
LC50 serbuk propolis lebih kecil dibandingk
Recommended