Urgensi Hadits Dalam Agama

  • Upload
    mus-eih

  • View
    200

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Urgensi hadits dalam agama Islam Posted: April 23, 2011 by gotherectoverso in Kritik Hadis 0 Dua istilah yang populer. Untuk menyebut apa yang bersumber dari Nabi Muhammad saw, ada dua istilah yang berkembang dikalangan masyarakat Islam, pertama: Hadits, dan kedua Sunnah. Dua istilah ini terkadang masih dianggap kurang definitif sehingga perlu dipertegas lagi menjadi hadits Nabi atau hadits Nabawi, dan Sunnah Nabi atau Sunnah Rasul.Di luar itu, masih ada ostolah lain, yaitu Khabar (berita), dan Atsar )pe ninggalan ). Namun kedua istilahini tidak berkembang. Dilihat dari sudut kebahasaan (etimologi), kata hadits aslinya tertulis hadith atau hadits, berarti baru. Arti ini dimaksudkan sebagai lawan dari kata qodim (lama,dulu) yang menjadi sifat Kalam Allah (Al Quran), karena Hadits sebagai sabda Nabi saw memiliki sifat baru, yaitu didahului oleh sifat tidak ada .Sementara Kalam Allah (Al Quran ) tidak demikian,ia tidak didahului dengan tidak ada. Sedangkan kata Sunnah, secara etimologi berarti tata cara. Menurut Syammar, yaitu kelompok kabilah-kabilah Arab Yaman ,kata sunnah pada mulanya berarti membuat jalan, yaitu jalan yang dibuat oleh orang orang dahulu kemudian dilalui oleh orang-orang yang datang sesudahnya . Sementara Al Razy, penulis Kamus Muhtar As Shahih menuturkan bahwa sunnah secara kebahasaan berarti tata cara dan perilaku hidup(at Tariqoh was Sirah).Dari pengertian ini kemudian timbul ungkapan Sunnah Islam atau Sunnah saja, sebagai lawan dari bidah (tata cara yang tidak dikenal dalam Islam).Dan belakangan muncul ungkapan Sunnah sebagai lawan dari Syiah misalnya tentang imbauan perlunya dialog Sunnah Syiah . Kata Sunnah dalam ungkapan terakhir ini sebenarnya merupakan kependekan dari Ahl al Sunnah, atau lengkapnya, Ahl Sunnah wal Jamaah,yaitu kelompok mayoritas umat Islam yang mengikuti tradisi Nabi saw dan para sahabat beliau. Hadits dan Sunnah Dari sudut terminologis, para ahli hadits tidak membedakan antara Hadits dan Sunnah.Menurut mereka, Hadits atau Sunnah adalah hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad saw baik berupa perkataan,perbuatan,penetapan,maupun sifat-sifat beliau,dan sifat-sifat ini baik berupa sifat-sdifat pisik, moral, maupun perilaku,dan haal itu baik sebelum beliau menjadi Nabi maupun

sesudahnya. Sementara para pakar Ilmu Ushul Fikih membedakan antara Haditsdan Sunnah. Menurut mereka, Sunnah adalah perkataan, perbuatan,dan penetapan Nabi saw.Sedangkan Hadits adalah perkataan, perbuatan,penetapan dan sifat-sifat Nabi saw.Jadi mereka tidak menganggap sifat-sifat Nabi saw. itu sebagai sunnah, melainkan sebagaiHadits .Berbeda dengan para pakar Hadits yang menganggap sifat-sifatNabi saw juga sebagai Sunnah. Perbedaan definisi ini berangkat dari perbedaan mereka dalam memandang Hadits sebagai sumber hukum dan moral dalam Agama Islam. Para Pakar Ilmu Usul Fikih, karena pekerjaan mereka adalah menggali hukum Islam dari Al Quran dan Hadits, maka bagi mereka,hal hal yang berasal dari Nabi saw dan dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam itu adalah perkataan, perbuatan, dan penetapanbeliau. Sedangkan sifat-sifat beliau tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam. Sementara para ulama hadits melihat bahwa sdosok pribadi Nabi saw adalah seorang pemimpin dan pemberi petunjuk kepada umatnya, dimana perkataan, perbuatan, penetapan, dan sifat-sifat beliau perlu dijadilan contoh dan aturan bagi mereka. Karenanya, para ulama Hadits tidak membedakan, apakah hal itu berkaitan dengan hukum atao moral. Jadi menurut para Ulama Hadits, semua yang berasal dari Nabi saw menjadi sumber aturan-aturan dalam agama Islam. Terlepas dari perbedaanitu, istilah Sunnah tampaknya lebih mendominasi perselisihan kalangan pakar Ushul Fikih, sementara istilah Hadits lebih banyak dipergunakan oleh ahli-ahli Hadits. Sunnah dan Orientalis. Dalam melakukan kajian hadits,kalangan orientalis agaknya tidak puasdengan terminologi yang dibuat oleh para ahli Hadits.Karenanya mereka ramai-ramai membikin definisi sendiri tentang Sunnah, dimana hal itu sangat berbeda dengan definisi yang diberikan para ahli hadita . Joseph Schact misalnya, ia mengatakan, The classical theory of Muhammadan law defines sunna as the model behaviour of the PropethBut sunna means, stricty speaking, nothing than precendent, way oflife .)teori klasik tentang Fikih Islam mendefinisikan Sunnah adalah perbuatan yang ideal dari Nabi saw..Tetapi pengertian sunnah secara tepat adalah tidak lebih dari perbuatan masa lalu yang semisal pandangan hidup. Sementara Ignaz Goldziher berpendapat bahwa Sunnah itu istilah animisme. Schacht menuturkan, Goldziher has shown that this originally pagan term was taken over and adapted. (Goldziher telah menjelaskan bahwa kata sunnah itu pada mulanya adalah istilah animisme yang

kemudian diambil alih dan diadaptasi oleh Islam). Margoliouth bahkan berkesimpulan lebih radika. Kata Schacht Margoliouth has concluded that sunna as a principle law meant originally the ideal or normative usage of the community, and only later acquired the restricted of precedents set by the Prophet . (Margoliouth berkesimpulanbahwa Sunnah sebagai sebuah sumber hukum, semula berarti contoh atau norma yang dikenal dalam masyarakat. Hanya pada masabelakangan saja pengertian Sunnah itu terbatas pada perbuatan-perbuatan Nabi saw. Karenanya, Shcacht akhirnya berkesimpulan bahwa konotasi Sunnah dalam masyarakat Islam pada masa pasa awal adalah the customary or generaly agreed practice (hal-hal yang sudah menjadi tradisi atau perbuatan yang telah disepakati secara umum/telah memasyarakat . Dari batasan-batasan Sunnah yang diberikan para Orientalis itu jelas sekali bahwa mereka tidak mengaitkan(menisbahkan) Sunnah kepada Nabi saw .Pengaitan Sunnah kepada Nabi saw seperti kata Margoliouth adalah terjadi pada masa belakangan. Ini artinya, bahwa Sunnah seperti yang dikonotasikan oleh umat Islam selama ini sebagai perbuatan atau perkataan Nabi saw itu tidak pernah ada. Fungsi dan kedudukan Hadits . Untuk mengetahui secara kongkrit fungsi dan kedudukan hadits dalam Islam, kita perlu mengetahui lebih dulu tentang tugas-tugas yang dibebankan kepada Nabi Muhammad saw .Dalam Al Quran kita dapati bahwa Nabi saw mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut. 1. Menjelaskan Kitabullah (Al Quran). Tugas ini berdasarkan firman Alolah, 44 / Dan Kami turunkan kepadamu al Dzikr (al Quran) agar kamu menerangkan kepada manusia tenbtang apa yang diturunkan kepada mereka .(al Nahl 44) .Penjelasan Nabi saw terhadap al Quran itu dapat berupa perkara beliau,dan dapat pula berupa perbuatan beliau .Dua hal ini merupakan bagian terbesar dari apa yang disebut Hadits Nabawy. Karenanya, penolakan terhadap Hadits sebenarnya juga merupakan penolakan terhadap al Quran, karena Hadits yang berfungsi sebagai penjelas al Quran tadi telah memperoleh ligitimasi dari al Quran.Bahkan Hadits merupakan konsekuensi logis dari al Quran.

2. Memberikan teladan. Tugas ini berdasarkan firman Allah / Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (Al-Ahzab, 21) Nabi SAW bertugas memberikan suri teladan kepada umatnya, sementara umatnya wajib mencontoh dan meniru teladan-teladan itu. Suri teladan yang diberikan Nabi SAW itu berupa perkataan, perbuatan, bahkan juga berupa sifat-sifat atau karakter beliau. Dan semua unsur ini merupakan bagian dari apa yang disebut Hadis Nabawi. Karenanya, berdasarkan ayat tadi, seorang muslim tidak mungkin memperoleh ridha Allah tanpa mencontoh perilaku Nabi SAW. Atau dengan kata lain, karena perilaku yang dicontohkan Nabi itu adalah Hadis, maka seorang muslim tidak akan diridhai Allah apabila ia tidak mencontoh Hadis dalam perilaku hidupnya. 3. Nabi SAW wajib ditaati Kehadiran Nabi SAW tidak sekedar sebagai penyampai ajaran Allah, dimana nasihat-nasihat dan saran-sarannya dibiarkan begitu saja menguap di udara tanpa ada ketaatan dari umatnya. Seseorang tidak akan disebut beriman manakala ia tidak mengaplikasikan ajaran-ajaran Allah dalam kehidupannya sehari-hari. Ketika Nabi SAW masih hidup, ajaran-ajaran Allah itu tercermin dalam kehidupan beliau seharihari. Sementara sesudah beliau wafat, ajaran-ajaran Allah tercermin dalam hadis yang beliau tinggalkan. Karenanya, seorang muslim disamping dituntut untuk loyal kepada Allah, ia juga dituntut loyal kepada Rasul-Nya. Tuntutan loyal itu berdasarkan firman Allah. Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya (Al-Anfal, 20). Dan Siapa yang taat kepada Rasul, berarti ia taat kepadsa Allah (Al-Nisa, 80)

Dalam konteks kehidupan sekarang taat kepada Allah berarti taat kepada ajaran-ajaran yang termaktub dalam al-Quran, sementara taat kepada Rasul berarti taat kepada ajaran-ajaran yang terhimpun dalam hadis Nabawi. Karenanya, tidak mungkin seorang muslim memisahkan apa yang berasal dari Nabi SAW (Hadis) dari apa yang datang dari Allah (al-Quran). Karena memisahkan hadis dari al-Quran sama artinya dengan memisahkan al-Quran dari kehidupan manusia. 4. Menetapkan hukum Dalam hal-hal tertentu yang tidak ada ketentuannya dalam al-Quran, Nabi SAW dianugerahi otoritas untuk menetapkan hukum secara independen. Al-Quran telah memberikan otoritas kepada Nabi SAW : .. Rasul / Nabi menghalalkan bagi mereka segala hal yang baik, dan mengharamkan bagi mereka segala hal yang buruk (Al-Araf, 157) Otoritas itu bahkan diperkokoh dengan ayat yang lain. 7 / Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah (Al-Hasyr, 7). Karenanya menolak hukum-hukum yang telah ditetapkan secara independen oleh Nabi SAW sebenarnya merupakan penolakan terhadap ayat-ayat Al-Quran yang memberikan otoritas kepada Nabi SAW..Dan itulah empat fungsi dan kedudukan hadis dalam agama Islam, dimana apabila hal itu disimak, maka tidak ada hal-hal yang bersumber dari Nabi SAW. baik perkataan, perbuatan, penetapan, maupun sifat-sifat beliau yang tidak menjadfi sumber dalam agama Islam.

Pelecehan Al-Quran Empat fungsi dan kedudukan hadis di atas adalah menurut pandangan ahli-ahli hadis. Sementara ahli-ahli Ushul Fiqih yang merasa berkewajiban untuk menggali Hukum Islam dari sumbersumbernya, maka menurut mereka, fungsi Sunnah sebagai salah satu sumber hukum Islam hanya ada tiga. Pertama sebagai pendukung hukum-hukum yang terdapat dalam al-Quran, kedua, sebagai perinci atau penjelas hukum-hukum yang terdapat dalam al-Quran dan ketiga sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri. Dalam memandang Sunnah atau hadis sebagai sumber agama Islam, sekilas terdapat perbedaan antara ahli-ahli hadis dan ahli-ahli Usahul Fiqih. Karena ahli-ahli hadis memandang hadis dengan segala bagiannya (perkataan, perbuatan, penetapan, dan sifat Nabi SAW) menjadi sumber agama Islam sesudah al-Quran, sementara ahli-ahli Ushul Fiqih hanya melihat tiga bagian saja dari hadis (perkataan, perbuatan, dan penetapan Nabi SAW) yang dapat dijadikan sumber syariat Islam. Namun perbedaan itu sebenarnya tidak ada, karena para ahli hadis melihat bahw hadis dengan empat bagiannya itu menjadi sumber agama Islam yang mencakup aspek-aspek aqidah, hukum dan akhlak, sementara ahli-ahli ushul fiqih hanya melihatnya dari aspek hukum saja. Di pihak lain, para ahli Ushul Fiqih juga tetap menjadikan sifat-sifat Nabi SAW sebagai sumber akhlak mereka. Oleh karena itu, yang ada sebenarnya hanyalah konsensus bahwa hadis dan sunnah tidak dapat dilepaskan dari agama Islam. Karena keberadaan hadis telah memperoleh justifikasi dari alQuran. Bahkan al-Quran sendiri memerintahkan kaum muslimin untuk mengikuti hadis. Karenanya, setiap upaya atau pemikiran untuk melepaskan hadis dari agama Islam, sebenarnya hal itu tidak lebih dari pelecehan terhadap al-Quran itu sendiri, dan pada gilirannya nanti hal itu akan berupaya untuk memisahkan al-Quran itu sendiri, dan pada gilirannya nanti hal itu akan berupaya untuk memisahkan al-Quran dari kehidupan umat Islam. Begitulah urgensi hadis dalam agama Islam. Namun begitu, sejarah mencatat bahwa ada sementara orang yang karena faktor-faktor tertentu ingin memisahkan hadis dari agama Islam. Menurut dia, agama Islam sudah cukup dengan al-Quran saja. Pemikiran yang kemudian lazim dikenal dengan Ingkar Sunnah ini telah muncul pada zaman klasik, kemudian pada zaman modern bersamaan datangnya tiga sekawan, yaitu kolonialisme, orientalisme, dan missionarisme. Sumber :Ali Mustofa Yacub