Upload
vannga
View
247
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
VALUASI EKONOMI DAMPAK PENCEMARAN LINGKUNGAN TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PESISIR DI
KECAMATAN MEDANG KAMPAI KOTA DUMAI
K U S N A N D A R C251020241
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2008
RINGKASAN
K u s n a n d a r C251020241. Valuasi Ekonomi Dampak Pencemaran Lingkungan Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Pesisir Di Kecamatan Medang Kampai Kota Dumai Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI dan SUZY ANNA. Penilaian secara ekonomi terhadap dampak yang ditimbulkan oleh pihak pertama masih jarang dilakukan. Padahal, akibat dari dampak yang ditimbulkan ini telah menyebabkan menurunnya tingkat kepuasan masyarakat dalam mengkonsumsi suatu barang, maupun tingkat kenyamanan masyarakat menjadi terganggu. Akibatnya pihak pertama cenderung akan melakukan suatu kegiatan yang berlebihan demi memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Dengan tidak memasukkan biaya-biaya sosial dan lingkungan dalam penetapan nilai jual dari suatu barang, menyebabkan terjadinya kegagalan pasar. Dengan menggunakan metode valuasi ekonomi dan analisa persepektif, dalam penelitian ini dapat diketahui seberapa besar dampak pencemaran lingkungan terhadap tingkat kesejahteraan (kesehatan dan pendapatan) masyarakat Ada tidaknya keinginan masyarakat untuk menanggung atau membayar untuk perbaikan lingkungan. Jika ada, seberapa besar biaya yang mau dikeluarkan masyarakat untuk keperluan perbaikan lingkungan? Bagaimana persepsi masyarakat terhadap kebijakan pengelolaan kedepan limbah industri yang ada? Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Medang Kampai Kota Dumai dari Bulan Juli sampai September 2006, dimana pada lokasi ini terdapat banyak pabrik-pabrik yang berskala besar sebagai sumber pencemaran yang potensil menjadi sumber penyakit bagi masyarakat. Hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata masyarakat tidak mau membayar sejumlah uang untuk memperbaiki lingkungan yang sudah tercemar, WTP individu masyarakat sebesar Rp. 4.192,29 per tahun. Faktor yang perlu menjadi prioritas dalam pengelolaan dan pengendalian lingkungan ke depan berdasarkan persepsi masyarakat adalah: Faktor Peran dan keterlibatan masyarakat, Penegakan aturan dan sanksi, Peningkatan Pengawasan lingkungan, Transparansi pengelolaan manajemen lingkungan, Rehabilitasi lingkungan, Peningkatan jaminan pendidikan, sosial dan kesehatan, terutama untuk masyarakat pesisir yang terkena maupun yang potensial terkena dampak pencemaran.
Kata kunci: Pencemaran, Valuasi Ekonomi, Kesejahteraan
ABSTRACT
K u s n a n d a r C251020241. Economics Valuation Of Environment Pollution Effect Into Community Coastal Welfare in Medang Kampai Sub District, Dumai Municipality. Supervisor by AKHMAD FAUZI dan SUZY ANNA. In conventional economics, valuating by economy effect of pollution into community is rare to do. Some people tend over to do activity to get more benefit. Social cost and environment cost is not include into total cost production, it is make market failure in marketing a product. With economy valuation method in this research to find perception of community about pollution into themselves and environment. Beside that, this research want to know how much failure of community by the pollution. This research located in Medang Kampai Sub district of Dumai Municipality, start from July until September 2006. In this location, there are many activity that used machine to be source of pollution that potential to be decease for community. Result of economy valuation that were done, were founded that all of community is not want to give some money for environment reclamation, personal WTP is Rp.4.192,29 per year. The main factor to be priority in environment managing for the future are people participatory, low enforcement, environment monitoring, transparency of environment management, environment rehabilitation, education insurance, social and health for coastal community that effected and potential to effected pollution.
Key woods: Pollution, Economic Valuation, Welfare
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul : VALUASI EKONOMI DAMPAK PENCEMARAN LINGKUNGAN TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN MEDANG KAMPAI KOTA DUMAI merupakan gagasan dan hasil penelitian tesis saya sendiri, dengan pembimbingan para Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Maret 2008
Nama : Kusnandar NRP : C251020241.
VALUASI EKONOMI DAMPAK PENCEMARAN LINGKUNGAN TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PESISIR DI
KECAMATAN MEDANG KAMPAI KOTA DUMAI
KUSNANDAR C251020241.
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PS-SPL)
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2008
Judul Tesis : Valuasi Ekonomi Dampak Pencemaran Lingkungan
Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Pesisir di Kecamatan Medang Kampai Kota Dumai
Nama : Kusnandar NIM : C251020241
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PS-SPL)
Disetuji
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. H. Akhmad Fauzi, M.Sc Ketua
Dr. Suzy Anna, M.Si Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 29 Pebruari 2008 Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 25 November 1965 sebagai anak ke-7
dari tujuh bersaudara Keluarga R. Sulaeman. Penulis menyelesaikan Sekolah
Menengah Atas di SMA Kartika Chandra I Bandung pada tahun 1984 dan
melanjutkan sekolah Starata satu di Departemen Teknik Perminyakan ITB, dan
selesai tahun 1990. Pada Tahun 2002 penulis melanjutkan sekolah di Pasca`
Sarjana pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL)
Angkatan IX. Saat ini penulis bekerja sebagai Inspektur Migas di Direktorat
Teknik dan Lingkungan Direktorat Jenderal minyak dan Gas`Bumi Departemen
Energi dan Sumber daya Mineral dari tahun 1993.`
UCAPAN TERIMA KASIH
Dengan selesainya Penulisan Tesis ini, penulis menyampaikan puji syukur
ke Hadirat Allah SWT, karena semua ini dapat dilakukan atas perkenan-Nya.
Selain itu, penelitian dan penulisan Tesis ini tidak terlepas juga dari bantuan dan
dorongan baik dari keluarga, dosen pembimbing mau pun teman-teman ikut
membantu selama proses penelitian dan penulisan Tesis ini.
Pertama-tama ingin penulis sampaikan penghargaan dan ucapan terima
kasih yang tiada taranya kepada Prof.Dr.Ir.H.Akhmad Fauzi,MSc dan Dr.Suzy
Anna, Msi selaku Komisi Pembimbing dalam membimbing serta memberikan
arahan dalam penyelesaian laporan tesis ini.
Tidak lupa penulis sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan
kepada Dr. Ir. Menofatria Boer,DEA selaku Ketua Program Studi serta seluruh
Staf Pengajar Program Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PS-SPL)
yang telah memberi kesempatan seluas-luasnya bagi penulis untuk menimba ilmu
serta memberi pencerahan pengetahuan selama masa perkuliahan. Teman-teman
seangkatan dan seperjuangan di PS-SPL.
Ucapan terma kasih, penulis haturkan kepada, Ayahanda, Ibunda, Kakak,
Adik serta seluruh keluarga atas dukungan moril, materil dan spirituil kepada
penulis selama ini, apa yang telah diberikan pada penulis selama ini mungkin
tidak akan mampu terbalas.
Akhir kata, penulis berharap semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi kita
semua dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan dapat diaplikasikan
bagi kemaslahatan hidup dimasa yang akan datang, amin.
PRAKATA
Bissmillahirrahmanirrahim. Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah
SWT atas segala limpahan rahmat, petunjuk dan hidayah-Nya, sehingga
senantiasa dapat melaksanakan segala aktivitas keseharian dalam ridho-Nya,
begitu pula dengan penyusunan Tesis “Valuasi Ekonomi Dampak Pencemaran
Lingkungan Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Pesisir di Kecamatan Medang
Kampai Kota Dumai” bisa terselesaikan.
Pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan, menjadi sebuah keharusan
untuk menuju kesejahteraan masyarakat. Penilaian secara ekonomi dari dampak
yang ditimbulkan oleh pihak pertama kepada pihak kedua menjadi penting
dilakukan mengingat dampak yang ditimbulkannya bisa memberikan keuntunan
bagi pihak pertama, dan bisa juga memberikan kerugian. Dalam tesis ini
menggambarkan pendekatan valuasi dampak dari pencemaran terhadap perubahan
pola konsumsi masyarakat di Kecamatan Medang Kampai Kota Dumai
Akhirnya penulis berharap bahwa dengan penulisan Tesis ini dapat
dijadikan sebagai bahan acuan kebijakan pengelolaan dampak lingkungan agar
tidak merugikan masyarakat disekitarnya, meskipun masih terdapat banyak
kekurangan yang membutuhkan banyak penyempurnaan.
Bogor, Maret 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI............................................................. .................. DAFTAR TABEL .................................................... .................. DAFTAR GAMBAR ................................................ .................. I. PENDAHULUAN
Latar Belakang .............................................. .................. 1 Rumusan Masalah .......................................... .................. 2 Tujuan Penelitian ........................................... .................. 3 Manfaat Penelitian ......................................... .................. 3
II. TINJAUAN PUSTAKA
Pencemaran Lingkungan, Implikasi Eksternalitas Ekonomi ......................................................... .................. 4 Pengendalian Pencemaran Lingkungan ......... .................. 8 Pendekatan Valuasi Ekonomi ....................... .................. 10 Valuasi Biaya ................................................ .................. 13 Valuasi Manfaat ............................................ .................. 14 Willingness To Pay ........................................ .................. 15 Konsep Ekonomi Tentang Nilai..................... .................. 17 Surplus Konsumen ......................................... .................. 19 Kesejahteraan ................................................ .................. 20 Analisa Prospektif Partisipatif (Participatory prospective Analysis/PPA) ................................................ .................. 22 Penelitian Terdahulu ..................................... .................. 24
III. KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Konseptual ..................................... .................. 26 Kerangka Operasional.................................... .................. 27
IV. METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian dan waktu penelitian.......... .................. 30 Metode Penelitian .......................................... .................. 31 Jenis Sumber dan Teknik Pengambilan Data. .................. 31 Teknik Penentuan Sampel Responden ........... .................. 33 Teknik Analisa Data....................................... .................. 33
Analisis Dampak Pencemaran Vs Kondisi Kesejahteraan ........................................... .................. 33 Analisis Keinginan Berpartisipasi Masyarakat ........... 34 Pengujian Model Regresi Logit ............... .................. 35 Analisis Faktor Kunci Pengendalian Pencemaran ...... 36
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Keadaan umum Kota Dumai ......................... .................. 39
Karakteristik Masyarakat ............................... .................. 41 Jenis Penyakit Akibat Pencemaran ................ .................. 42
HASIL DAN PEMBAHASAN
DAMPAK PENCEMARAN LINGKUNGAN................. 44 Biaya Kesehatan............................................. .................. 44 Valuasi Biaya Kesehatan ............................... .................. 45 Penurunan Pendapatan ................................... .................. 46 Partisipasi Dalam Pengendalian Pencemaran .................. 48 Besarnya Nilai WTP oleh Masyarakat........... .................. 54 Total WTP Masyarakat Untuk Pencemaran .. .................. 58 Strategi Pengendalian Pencemaran ............... .................. 60
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ................................................... .................. 65 Saran .............................................................. .................. 66
DAFTAR PUSTAKA ............................................... .................. 68 LAMPIRAN.................................................................................. 69
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Kandungan Bahan Pencemar di Perairan Selat Rupat ........... 2
2. Sumber dan Jumlah Pencemaran ......................... .................. 6
3. Renking Kepekaan Lingkungan Pesisir dan Laut Terhadap
Pencemaran Minyak............................................. .................. 7
4. Jenis Data dan Metode Pengambilan Data........... .................. 32
5. Pedoman Penilaian Metode PPA. ........................ .................. 38
6. Pengaruh Langsung Antar Faktor ....................... .................. 38
7. Sepuluh Jenis Penyakit Tertinggi di Puskesmas Pembantu
Jaya Mukti Kecamatan Dumai Timur Tahun 2004................. 42
8. Hasil Regresi Biaya Pengobatan Masyarakat Pesisir.............. 45
9. Rata-rata Biaya Pengobatan Setelah di Counfounding dan
Discounting .......................................................... .................. 46
10. Rata-rata Pendapatan Masyarakat Setelah Counfounding dan
Discounting .......................................................... .................. 48
11. Total WTP Masyarakat Untuk Perbaikan Lingkungan........... 59
12. Koefisien Regresi WTP Masyarakat untuk Perbaikan
Kualitas Lingkungan. ........................................... .................. 60
13. Faktor Penting untuk Pengendalian Pencemaran dan
Pengelolaan Lingkungan Kedepan....................... .................. 61
14. Kandungan Bahan Pencemar di Perairan Selat Rupat ............ 63
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Penurunan Kepuasan Akibat Pendapatan............. .................. 14
2. Manfaat Ekonomi Dari Program Kegiatan .......... .................. 15
3. Surplus Konsumen dan Surplus Produsen ........... .................. 18
4. Total Surplus Konsumen ..................................... .................. 20
5. Pemetaan pengaruh dan etrgantungan faktor........................... 24
6. Persepsi Masyarakat Terhadap Gangguan Debu Kilang ........ 26
7. Kerangka Pemikiran ............................................ .................. 29
8. Lokasi Penelitian……………………………………………. 30
9. Struktur Pekerjaan Masyarakat Kota Dumai........ .................. 41
10. Diagram Pengaruh dan Ketergantungan faktor.... .................. 41
11. Struktur Pekerjaan Masyarakat Kota Dumai Tahun 2006 ...... 40
12. Total Pendapatan Masyarakat Kecamatan Medang Kampai .. 46
13. Rata-rata Nilai Kehilangan Pendapatan Masyarakat Medang
Kampai Selama Sakit ........................................... .................. 47
14. Peluang Masyarakat Untuk Mau Membayar Perbaikan
Lingkungan Akibat Pencemaran .......................... .................. 51
15. Peta Penyebaran Factor Kunci ............................. .................. 62
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Peta Lokasi Penelitian .......................................... .................. 70
2. Tabel Definisi Variabel dalam Persamaan Regresi Logig ...... 71
3. Hasil Regresi Logit .............................................. .................. 72
4. Koefisien Regresi Biaya Pengobatan Masyarakat .................. 74
5. Koefisien Regresi WTP Masyarakat ................... .................. 75
6. Kuesioner Penelitian ............................................ .................. 75
.
BAB 1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kawasan pesisir merupakan kawasan yang memiliki produktivitas yang cukup
tinggi dan memegang peranan penting bagi kehidupan baik di perairan laut dan pantai
maupun di darat. Berbagai jenis biota dan ekosistemnya berada di kawasan pesisir dan
tergantung pada kondisi kawasan tersebut, misalnya berbagai jenis ikan, mangrove,
terumbu karang, lamun dan lain-lain (Clark, 1998). Kekayaan dan keunikan kawasan
pesisir menjadikannya sebagai penyedia barang dan jasa yang memiliki potensi yang
cukup besar bagi kehidupan manusia terutama sektor ekonomi (Alexander, at all. 1998).
Potensi tersebut menjadi daya tarik berbagai pihak (masyarakat, pemerintah dan swasta)
untuk memanfaatkan dengan berbagai bentuk pemanfaatan, misalnya perikanan,
transportasi (pelabuhan), pariwisata, industri migas, perdagangan dan lain-lain.
Kecamatan Medang Kampai di Kota Dumai merupakan salah satu daerah pesisir
Indonesia yang memiliki kekayaan sumberdaya alam dan posisinya yang sangat strategis
yaitu jalur perdagangan internasional Selat Malaka. Berbagai aktifitas pemanfaatan
tumbuh dan berkembang dengan pesat sehingga menjadikan kawasan tersebut sebagai
salah satu pusat perekonomian di Kota Dumai, misalnya industri pengilangan minyak
Pertamina, industri pengolahan minyak kelapa sawit, pelabuhan perdagangan dan
pelabuhan publik.
Aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam telah memberikan kontribusi besar bagi
perekonomian masyarakat, daerah maupun negara. Akan tetapi di sisi lain kegiatan
industri juga berpotensi menyebabkan pencemaran lingkungan akibat pembuangan limbah
dari hasil aktifitasnya. Limbah bisa berasal dari aktifitas industri yang ada di kawasan
maupun di luar kawasan pesisir Medang Kampai akibat pembuangan limbah melalui
sungai yang bermuara di sekitar Medang Kampai. Sehingga kawasan Medang Kampai
termasuk ke dalam kawasan pemantauan lingkungan oleh pihak Pertamina, yang
dilakukan secara rutin karena kawasan tersebut termasuk kawasan yang sangat rentan
tercemar. Berdasarkan hasil pemantauan Pertamina tahun 2007 yang mengambil sampel
kualitas air sumur, air sungai, air laut, udara dan suara menunjukkan bahwa kondisi
lingkungan (perairan dan udara) di kawasan pesisir Medang Kampai telah tercemar dan
2
sudah melebihi baku mutu lingkungan berdasarkan Kep-Men LH 51/2004 dan
PER.MEN.KES. No.416/MENKES/PER/IX/1990.
Pencemaran lingkungan pesisir akan menimbulkan penurunan kualitas dan
produktivitas lingkungan dan ekosistem yang ada di pesisir. Jika terus terjadi akumulasi
pencemaran maka secara langsung maupun tidak langsung akan mengganggu kesehatan
masyarakat yang tinggal dan atau beraktifitas di kawasan tersebut. Sehingga cepat atau
lambat akan mengancam keberlanjutan aktifitas perekonomian di kawasan tersebut
(Alexander, at all. 1998; Cincin-Sain and Robert, 1998; Cantlon.J.E. 1999).
Masyarakat pesisir terutama nelayan merupakan obyek penderita langsung selain
biota dan ekosistemnya akibat pencemaran lingkungan, karena kerusakan lingkungan akan
menyebabkan penurunan hasil tangkap. Dalam upaya mempertahankan atau meningkatkan
hasil tangkapan maka nelayan harus mengeluarkan biaya yang lebih tinggi dan resiko yang
dihadapi juga akan semakin besar. Selain menurunkan pendapatan, masyarakat pesisir
juga sangat rentan terkena berbagai macam penyakit, misalnya penyakit yang kulit
maupun penyakit yang tergolong Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) yang
memerlukan biaya pengobatan dan pencegahan. Sehingga hal tersebut akan meningkatkan
biaya pengeluaran masyarakat, pada saat yang bersamaan masyarakat yang menderita sakit
akan mengalami kehilangan pendapatan (Anonims. 2004).
Besarnya dampak yang diakibatkan oleh pencemaran tersebut menuntut kesadaran
semua pihak (pengusaha, pemerintah dan masyarakat) untuk mengendalikan pencemaran
dan merehabilitasi kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pencemaran. Sebagai
langkah awal adalah mengidentifikasi kondisi dan dampak pencemaran. Salah satunya
adalah dampak pencemaran terhadap perekonomian masyarakat pesisir. Selanjutnya
adalah mengidentifikasi respons dan persepsi masyarakat sebagai penderita dalam
merehabilitasi kerusakan lingkungan yang tercemar di sekitar kawasan Madang Kampai.
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka rumusan permasalahan yang perlu menjadi
perhatian dan fokus kajian adalah:
1. Seberapa besar dampak pencemaran lingkungan terhadap tingkat kesejahteraan
(kesehatan dan pendapatan) masyarakat?
2. Ada tidaknya keinginan masyarakat untuk menanggung atau membayar untuk
perbaikan lingkungan?
3
3. Jika ada, seberapa besar biaya yang mau dikeluarkan masyarakat untuk keperluan
perbaikan lingkungan?
4. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap kebijakan pengelolaan ke depan limbah
industri yang ada?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui dampak pencemaran lingkungan terhadap tingkat kesejahteraan
masyarakat
2. Mengetahui ada tidaknya keinginan (respon) masyarakat untuk ikut menanggung biaya
perbaikan lingkungan.
3. Mengetahui besarnya biaya yang mau ditanggung masyarakat untuk perbaikan kondisi
lingkungan
4. Merumuskan kebijakan pengelolaan limbah industri berdasarkan persepsi masyarakat.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan
ilmu pengetahuan, menjadi masukan bagi para pengusaha dan masyarakat hak dan
kewajiban dalam pengelolaan usaha, serta pemerintah sebagai bahan pertimbangan dalam
pengambil kebijakan yang terkait dengan perindustrian dan lingkungan hidup.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Pencemaran Lingkungan; Implikasi eksternalitas Ekonomi
Masalah pencemaran lingkungan pesisir dan lautan telah banyak terjadi di
mana-mana, terutama di negara-negara maju dan berkembang. Pencemaran
tersebut disebabkan karena masuknya zat-zat asing kedalam lingkungan, sebagai
akibat dari tindakan manusia yang menyebabkan perubahan fisik, kimia dan
biologis lingkungan (Cheevaporn V., Piamsak M. 2003; Suparmoko dan Maria R.
Suparmoko, 2000). Berdasarkan UU No. 23/1997, pencemaran lingkungan hidup
didefinisikan sebagai peristiwa masuknya mahluk hidup, zat, energi dan atau
komponen lain kedalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh
kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun
sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak
dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya. Dengan kata lain bahwa
limbah yang menyebabkan pencemaran lingkungan merupakan eksternalitas
negatif dari suatu akifitas.
Pencemaran pesisir dan lautan pada umumnya terjadi karena adanya
pemusatan penduduk, pariwisata, dan industrialisasi di daerah pesisir. Faktor-
faktor tersebut secara langsung dan tidak lansung telah banyak menyebabkan
gangguan kehidupan organisme (termasuk manusia) di darat maupun perairan
(Supriharyono, 2000; Clark, 1998; Costanza, 1999). Banyak anggapan bahwa laut
merupakan ”tempat sampah” yang cukup praktis dan ideal, baik berupa sampah
domestik, maupun limbah industri. Laut yang luas diasumsikan akan mampu
menampung, menghancurkan dan melarutkan setiap bahan-bahan yang dibuang ke
perairan laut.
Seringkali kita lupa bahwa perairan laut merupakan suatu sistem yang
memiliki batasan kemampuan dalam melarutkan dan mengurai limbah. Akibatnya
terjadi penumpukan yang menyebabkan perubahan fisik, kimia dan biologis
(Dahuri, 1996). Perubahan kualitas lingkungan pesisir dan laut tersebut secara
lambat laun akan menyebabkan ketidakberlanjutan aktifitas ekonomi dan yang
lebih fatal lagi mengancam keselamatan manusia itu sendiri. Salah satu
5
contohnya yang cukup fenomenal adalah kasus Minamata di Jepang sekitar tahun
1950-an, yang telah menyebabkan berbagai organisme mati termasuk manusia
(Supriharyono, 2000).
Berkaitan dengan pengaruh bahan pencemar lingkungan pesisir dan laut,
Williams (1979) mengelompokkan bahan pencemar menjadi tiga tipe, yaitu bahan
patogenik, estetik dan ekomorpik. Bahan pencemar yang bersifat patogen
(pathogenic pollutants) adalah bahan pencemar yang dapat menyebabkan
penyakit pada menusia, misalnya pencemaran logam berat. Bahan pencemar yang
berkaitan dengan nilai keestetikan (aesthetic pollutants), yaitu bahan pencemar
yang menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan yang tidak nyaman untuk
indera mata, telinga atau hidung, misalnya tumpukan sampah atau limbah organik.
Sedangkan bahan pencemar yang ekomorfik (ecomorphic pollutants) adalah
bahan pencemar yang menghasilkan perubahan sifat-sifat fisik lingkungan,
misalnya limbah air panas, minyak.
Berdasarkan sumber limbah yang menyebabkan pencemaran lingkungan
pesisir dapat dibedakan menjadi empat, yaitu limbah domestik/rumah tangga,
limbah pertanian, limbah radioaktif dan limbah Industri. Limbah Industri
walaupun sudah diproses di IPAL, kualitas buangan limbah masih di atas baku
mutu lingkungan, sehingga permasalahan lingkungan masih sering muncul di
daerah sekitar kawasan Industri tersebut (Russo, 2002.).
Sebagian limbah industri bersifat sulit larut air, cenderung mengapung di
permukaan air. Berdasarkan sifat fisik-kimia limbah, tingkah laku limbah di
perairan, pengaruhnya terhadap organisme, dan jenis limbah maka limbah industri
dapat dikelompokkan menjadi lima kelompok, yaitu: (1) Bahan Organik yang
terlarut, termasuk bahan beracun, tahan urai (persisten) dan dapat diurai secara
biologis (biodegradable); (2) Bahan-bahan anorganik, termasuk unsur hara; (3)
Bahan-bahan organaik yang tidak terlarut; (4) Bahan-bahan anorganik yang tidak
terlarut; dan (5) Bahan-bahan radioaktif (Supriharyono, 2000).
Selanjutnya yang akan banyak dikutip sebagai referensi sumber
pencemaran lingkungan pesisir adalah pencemaran oleh limbah dari akifitas
industri minyak, karena sesuai dengan kondisi lokasi penelitian yaitu kota Dumai.
Kota Dumai merupakan salah satu kota di Indonesia yang geliat pembangunan
6
ekonominya sebagian besar bertumpu pada industri terutama minyak, baik
industri pengolahan minyak kelapa sawit dan pengilangan minyak bumi.
Minyak bumi merupakan campuran komponen-komponen bahan organik
alami yang sangat komplek. Minyak dibentuk dari hasil perombakan hewan dan
tumbuh setelah waktu geologis yang cukup panjang. Minyak bumi terdapat dalam
bentuk gas (gas alam), cair (minyak mentah), padat (aspal, tar, bitumen) dan
kombinasi bentuk-bentuk tersebut. Minyak bumi mengandung beribu-ribu
komponen kimia yang berbeda dan lebih dari 50 % berupa hidrokarbon. Sebagian
besar dari hidrokarbon tidak dapat diurai secara biologis tapi relatif tidak beracun.
Selain senyawa-senyawa hidrokarbon, minyak bumi juga mengandung komponen
organik lainnya, yaitu komponen yang mengandung belerang, nitrogen, oksigen
dan logam. Sebagian besar dari komponen-komponen yang bukan senyawa
hidrokarbon dapat terurai secara biologis. Akan tetapi kemampuan dan kecepatan
penguraian sangat tergantung dari kondisi lingkungan sekitarnya (Antti Pasila.
2004; Ryder, et all. 2004; Supriharyono, 2000).
Menurut GESAMP dalam Supriharyono (2000) pencemara perairan pesisir
dan laut oleh limbah minyak bumi dapat berasal dari 4 sumber yang berbeda,
yaitu: (1) kecelakaan dan tumpahan selama proses produksi, transportasi dan
penggunaan; (2) melalui limbah domestik dari industri; (3) presipitasi dari
atmosfer dan (4) rembesan alamiah dari dasar laut (Tabel 2).
Tabel 2. Sumber-sumber pencemaran minyak yang terjadi di pesisir dan lautan.
Tahun 1973 * Tahun 1978 ** Sumber Pencemaran
(Juta Ton) % (Juta Ton) %
Kecelakaan Tengker 0,20 3,3 0,30 6,1 Oprasi tengker 1,33 21,8 0,98 19,8 Akifitas transportasi lain 0,60 9,8 010 2,0 Run-Off melalui sungai dan urban 1,90 31,1 1,80 36,4 Fasilitas pantai (pabrik, pelabuhan) 0,80 13,1 0,51 10,3
Produksi minyak lepas 0,08 1,3 0,06 1,2 Jatuhan dari atmosfer 0,60 9,8 0,60 12,1 Rembesan dari alam 0,60 9,8 0,60 12,1 Total 6,11 100 4,95 100 Sumber: * NAS (1975); ** Cormack (1983)
7
Pencemaran minyak sangat berbahaya bagi organisme, ekosistem pesisir
termasuk manusia. Pada organisme dan ekosistem pesisir, pencemaran minyak
bersifat lethal (mematikan) maupun sublethal (menghambat pertumbuhan,
reproduksi dan proses fisiologi lainnya) (Cho, et all. 2004; Dana, et all. 2004;
Katayama, et all. 2003; ).
Tabel 3. Ranking kepekaan lingkungan pesisir dan laut terhadap pencemaran minyak
Ekosistem Ranking Sifat Kepekaan
Terumbu Karang 1 Medium-High Mangrove 2 High Estuari 3 High Intertidal 4 High Padang Lamun 5 Medium-High Zona Upwelling 6 Low Pantai Berpasir 7 Low-Medium Pantai Berbatu 8 Low
Sumber: API (1985)
Selain pencemaran minyak, industri juga banyak menghasilkan buangan
limbah logam berat. Karena pada umumnya logam berat digunakan dalam proses
industri. Limbah logam berat di duga sebagai bahan penyebab pencemaran air
yang cukup berbahaya. Menurut Bryen (1976) ada 18 unsur logam yang
dipertimbangkan sebagai penyebab pencemaran air, misalnya merkuri (Hg),
Timbal (Pb), Cadmium (Cd) dan lain-lain.
Secara umum sumber pencemaran logam berat dapat dibagi dua, yaitu
dari alam dan buangan akifitas manusia. Logam berat dari alam bersumber:
• Masukan dari pantai (coastal supply), yang berasal dari sungai-sungai dari
hasil abrasi pantai oleh akifitas gelombang.
• Masukan dari laut dalam (deep sea supply), meliputi logam-logam yang
dihasilkan dari akifitas gunung berapi laut dandari proses kimiawi dasar laut.
• Masukan dari lingkungan darat dekat pantai termasuk logam berat yang di
bawa angin sebagai debu.
Sedangkan sumber logam akibat akifitas manusia sebagian besar
dihasilkan dari akifitas industri, misalnya industri pemurnian minyak (Cd, Cr, Cu,
Fe, Pb, Zn, Ni), industri kertas (Cr, Cu, Hg, Pb, Ni, Zn). Sebagian besar industri
8
menggunakan berbagai macam logam berat dalam proses produksi, hal tersebut
menyebabkan kesulitan dalam melacak asal sumber pencemaran tersebut. ini
dikarenakan rasio logam berat yang digunakan oleh setiap industri adalah tidak
sama (Takarina, et all., 2004).
Logam berat pada umumnya memiliki sifat mudah larut dalam air. Sifat
kelarutan tersebut menyebabkan logam berat sangat berbahaya bagi organisme
dan ekosistem pesisir termasuk manusia. Pengaruh logam berat terhadap
organisme laut dan manusia dapat bersifat lethal (mematikan) dan sublethal
(menghambat reproduksi, penyakit) (Cheung, et all., 2002; Grande, et all.,
2003;). Daya racun logam biasanya dinyatakan dalam Median Lethal
Concentration (LC50). berdasarkan berbagai penelitian maka daya racun logam
berat dapat di urutkan sebagai berikut Cu>Cd>Be>Sb>Ni>V>Pb>Ti>U>Zr>Mo.
Daya racun logam berat tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik, kimia dan
biologis lingkungan sekitarnya.
Logam berat dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui rantai
makanan, inhalasi pernapasan, maupun penetrasi kulit. Kemudian logam tersebut
akan terakumulasi di dalam tubuh sehingga menimbulkan efek yang berbahaya
bagi tubuh tersebut. misalnya logam Cromium (Cr) yang menyebabkan imfeksi
saluran pernafasan atas (ISPA) yang dapat menimbulkan kanker pada organ
pernapasan, seperti yang terjadi di masyarakat Pulau Hokkaido Jepang yang
menderita kanker paru-paru akibat debu logam Cr4+ dari pabrik Kiryama (Russo,
2002; Wittmann, 1979;).
Pengendalian Pencemaran Lingkungan
Dalam Teori Ekonomi Sumberdaya Alam, ada empat solusi yang bisa
dilakukan untuk mengurangi pencemaran atau eksternalitas negatif tersebut.
Pertama, dengan menginternalisasi biaya eksternalitas tersebut ke dalam biaya
produksi perusahaan. Hal ini akan menyebabkan biaya produksi dari perusahaan
menjadi lebih tinggi, dan harga jual produk yang dihasilkan menjadi lebih tinggi.
Sehingga hasil penjualan dari produk tersebut dapat dikompensasikan untuk
mengurangi dampak eksternalitas dari perusahaan tersebut (Anonims. 2004;
Alexander, et all., 1998).
9
Kedua, adalah dengan Coasian bargaining. Cara ini menurut Coase, antara
masyarakat sekitar dengan pemilik perusahaan harus melakukan perundingan
antara kedua belah pihak. Masyarakat meminta secara langsung kompensasi atas
derita yang diterima akibat akifitas yang dilakukan perusahaan. Dan perusahaan
harus membayar sebesar kerugian yang diterima oleh masyarakat tersebut. Solusi
ini dianggap paling efisien karena masyarakat bisa meminta sesuai dengan yang
dideritanya tanpa melalui perantara pihak ketiga (pemerintah). Dan perusahaan
juga bisa menawar sesuai dengan kemampuannya kepada masyarakat secara
langsung tanpa melalui pemerintah (Cantlon, 1999).
Selama ini, negosiasi yang dilakukan oleh pemerintah yang
mengatasnamakan masyarakat dengan pemerintah dianggap tidak efisien. Karena
kompensasi yang diberikan pihak perusahaan kepada masyarakat tidak
sepenuhnya diberikan kepada masyarakat. Dengan alasan biaya administrasi atau
biaya negosiasi, uang jasa atau uang apapun namanya, kompensasi tersebut
dipotong sepihak oleh oknum pemerintah tersebut (Anonims. 2004; Cantlon.
1999). Dengan demikian, kompensasi yang diterima masyarakat tidak sebanding
dengan penderitaan yang mereka terima. Bahkan bisa jadi masyarakat tidak
menerima kompensasi apapun jika masyarakat tidak mampu menuntut haknya.
Masyarakat pada umumnya tidak memiliki posisi tawar yang kuat. Atau
bahkan tidak tahu jika mereka memiliki hak kompensasi atas eksternalitas negatif
yang ditimbulkan pihak perusahaan. Kondisi ini akan semakin memperparah
keadaan masyarakat. Justru kesempatan ini dimanfaatkan oleh oknum-oknum
yang tidak bertanggungjawab untuk memperkaya diri sendiri (Cantlon. 1999).
Ketiga yaitu melalui Govenrment Intervention dan Command and Control
(CAC). Cara ini yang umumnya terjadi di Indonesia. Pemerintah yang selalu
mengatasnamakan masyarakat untuk memperjuangkan nasib masyarakat sekitar.
Cara ini dianggap kurang efisien, karena sebagaimana yang telah disinggung di
atas, hasilnya tidak bisa maksimal sampai kepada masyarakat. Cara ini dianggap
tidak efisien karena memerlukan birokrasi yang panjang, yang tentu saja
berpengaruh terhadap biaya yang besar. Biaya ini selain dibebankan kepada
negara, juga berpeluang menggunakan ”uang” hasil negosiasi.
10
Keempat yaitu yang disebut dengan Pigovian Tax. Cara ini menurut Pigou,
pajak yang seharusnya dibayarkan kepada pemerintah, harus diserahkan kepada
masyarakat sekitarnya yang terkena dampak eksternalitas tersebut. Dana tersebut
menurut Pigou harus diserahkan langsung kepada masyarakat sebesar pajak yang
seharusnya dibayarkan perusahaan kepada negara. Cara ini juga dianggap lebih
efisien karena jumlah yang dibayarkan bisa dihitung sebesar pajak yang harus
dibayarkan kepada masyarakat.
Pendekatan Valuasi Ekonomi
Pemikiran mengenai valuasi ekonomi sebenarnya bukanlah hal yang baru.
Konsep ini sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1902 ketika Amerika
melahirkan Undang-Undang River and Harbor Act of 1902 yang mewajibkan para
ahli untuk melaporkan tentang keseluruhan manfaat dan biaya yang ditimbulkan
oleh proyek-proyek yang dilakukan di sungai dan pelabuhan. Konsep ini
kemudian lebih berkembang setelah perang dunia kedua dimana konsep manfaat
dan biaya lebih diperluas ke pengukuran yang sekunder atau tidak langsung dan
yang tidak nampak (intangible).
Pendekatan valuasi dapat dilakukan dengan empat pendekatan: Pertama,
Perubahan produksi, ini terdiri dari produksi apa saja, misalnya produksi
pertanian, perikanan, produksi air. Selain itu, perubahan tingkat kesehatan (health)
dalam masyarakat yang menyebabkan produktivitas dari masyarakat tersebut
menurun. Selain itu juga opportunity cost (alternatif yang hilang) juga bisa
menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas, misalnya perubahan dari sopir
taxi menjadi sopir bajai. Jadi sopir taksi tersebut tidak ada alternatif lagi kecuali
hanya menjadi sopir taxi. Disebut juga biaya korbanan karena harus
mengorbankan tidak menjadi sopir bajai. Makin banyak alternatif bagi manusia
maka pilihan alternatif adalah pilihan yang terdekat yang dipilih. Contoh lain,
misalnya sebelum sekolah pendapatan 1 juta, setelah sekolah uang 1 juta tersebut
hilang, ini yang disebut dengan oportunity cost. Kedua, Nilai Property (Hedonic
approach, nilai lahan, beda pendapatan/upah). Terjadi perubahan pendapatan.
Misalnya tadinya sebagai petani, sekarang menjadi tukang batako. Ketiga, metode
survey (Survey method) seperti Contingan Valuation Method/WTP, dilakukan
11
dengan mensurvey sekelompok orang untuk mengukur seberapa besar mereka
mau membayar. Kempat, Pasar pengganti (surrogate market) atau disebut juga
dengan travel cost.
Menurut Barbier et. al. (1997), ada 3 jenis pendekatan penilaian sebuah
ekosistem alam yaitu (1) impact analysis, (2) partial analysis dan (3) total
valuation. Pendekatan impact analysis dilakukan apabila nilai ekonomi ekosistem
dilihat dari dampak yang mungkin timbul sebagai akibat dari akifitas tertentu,
misalnya akibat reklamasi pantai terhadap ekosistem pesisir. Sedangkan partial
analysis dilakukan dengan menetapkan dua atau lebih alternatif pilihan
pemanfaatan ekosistem. Sementara itu, total valuation dilakukan untuk menduga
total kontribusi ekonomi dari sebuah ekosistem tertentu kepada masyarakat. Nilai
ekonomi (economic value) dari suatu barang atau jasa diukur dengan
menjumlahkan kehendak untuk membayar (CVM, Willingness To Pay,/WTP) dari
banyak individu terhadap barang atau jasa yang dimaksud. Pada gilirannya, CVM
merefleksikan preferensi individu untuk suatu barang yang dipertanyakan. Jadi
dengan demikian, VE dalam konteks lingkungan hidup adalah tentang pengukuran
preferensi dari masyarakat (people) untuk lingkungan hidup yang baik
dibandingkan terhadap lingkungan hidup yang jelek. Valuasi merupakan
fundamental untuk pemikiran pembangunan berkelanjutan (sustainable
development). Hal yang sangat penting untuk dimengerti adalah, apa yang harus
dilakukan dalam melaksanakan VE.
Hasil dari valuasi dinyatakan dalam nilai uang (money terms) sebagai cara
dalam mencari preference revelation, misalnya dengan menanyakan "apakah
masyarakat berkehendak untuk membayar?". Lebih lanjut dinyatakan bahwa
penggunaan nilai uang memungkinkan membandingkan antara "nilai lingkungan
hidup (environmental values)" dan "nilai pembangunan (development values)".
Pada prinsipnya VE bertujuan untuk memberikan nilai ekonomi kepada
sumberdaya yang digunakan sesuai dengan nilai riil dari sudut pandang
masyarakat. Dengan demikian dalam melakukan VE perlu diketahui sejauh mana
adanya bias antara harga yang terjadi dengan nilai riil yang seharusnya ditetapkan
dari sumberdaya yang digunakan tersebut. Selanjutnya adalah apa penyebab
terjadinya bias harga tersebut. Ilmu ekonomi sebagai perangkat melakukan VE
12
adalah ilmu tentang pembuatan pilihan-pilihan (making choices). Pembuatan
pilihan-pilihan dari alternatif yang dihadapkan kepada kita tentang lingkungan
hidup adalah lebih kompleks, dibandingkan dengan pembuatan pilihan dalam
konteks; barang-barang privat murni (purely private goods).
Dalam konteks lingkungan hidup, apa yang harus dibandingkan adalah
satu barang dengan harga (priced good, private good), dan satu barang tanpa
harga (unpricedgood, public good), misalnya ketika menentukan untuk investasi
dalam pengendalian polusi, ketimbang kapasitas output ekonomi baru. Tetapi
mungkin pula kita membandingkan dengan lebih dari dua barang tanpa harga
(misalnya kualitas udara v.s. kualitas air). Dalam konteks pilihan ini diperlukan
untuk memperhitungkan suatu nilai (inpute to a value) untuk barang atau jasa
lingkungan (environmental good or service).
Dalam pasar, individual mempraktekkan pilihan dengan membandingkan
KUM mereka dengan harga produk. Mereka akan membeli barang apabila KUM-
nya melebihi harga, dan tidak berlaku sebaliknya. Perhitungan nilai (inputing
values) melibatkan temuan beberapa ukuran dari KUM untuk kualitas lingkungan.
Inilah secara esensial sebagai proses dari VE yaitu melibatkan temuan suatu
ukuran KUM dalam menghadapi hambatan di mana kegagalan pasar tidak dapat
memberikan harga secara langsung.
Salah satu tantangan yang dihadapi oleh para pembuat kebijakan adalah
bagaimana menilai suatu sumberdaya alam secara komprehensif. Dalam hal ini
tidak saja market value dari barang yang dihasilkan dari suatu sumberdaya
melainkan juga jasa yang ditimbulkan oleh sumberdaya tersebut. Pertanyaan yang
sering timbul misalnya bagaimana mengukur, atau menilai jasa tersebut adalah
konsumen tidak mengkonsumsinya secara langsung, bahkan mungkin tidak
pernah mengunjungi tempat dimana sumberdaya alam tersebut berada. Salah satu
cara untuk melakukan valuasi ekonomi adalah dengan menghitung Nilai Ekonomi
Total (TEV).
Nilai Ekonomi Total (NET) adalah nilai-nilai ekonomi yang terkandung
dalam suatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang
harus diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaannya sehingga alokasi
dan alternatif penggunaannya dapat ditentukan secara benar dan mengenai
13
sasaran. Nilai Ekonomi Total ini dapat dipecah-pecah ke dalam suatu set bagian
komponen. Sebagai ilustrasi misalnya dalam kontek penentuan alternatif
penggunaan lahan dari ekosistem terumbu karang. Berdasarkan hukum biaya dan
manfaat (a benefit - cost rule), keputusan untuk mengembangkan suatu ekosistem
terumbu karang dapat dibenarkan (justified) apabila manfaat bersih dari
pengembangan ekosistem tersebut lebih besar dari manfaat bersih konservasi. Jadi
dalam hal ini manfaat konservasi diukur dengan NET dari ekosistem terumbu
karang tersebut. NET ini juga dapat diinterpretasikan sebagai NET dari perubahan
kualitas lingkungan hidup.
Valuasi Biaya
Dalam ekonomi non pasar, opportunity cost dari tenaga kerja dibagi
menjadi dua bagian yaitu biaya langsung dan biaya tidak langsung. Biaya
langsung adalah sejumlah biaya dari hilangnya output, ditambah dengan
berubahnya kebiasaan mereka bekerja. Biaya tersebut merupakan biaya yang
harus diberikan kompensasi sebagai ganti rugi atas hilangnya kesempatan buruh
untuk bekerja. Sedangkan biaya tidak langsung adalah jika waktu bekerja dari
buruh berkurang akibat adanya penambahan teknologi baru seperti mesin baru,
sehingga menyebabkan kapasitas produksi menjadi meningkat, (Abelson, 1980).
Lebih lanjut Abelson (1988) mengatakan bahwa, bentuk dari biaya
eksternal adalah apabila sebuah perusahaan dalam melakukan produksi
menimbulkan polusi terhadap air, sehingga menyebabkan biaya yang dikeluarkan
oleh perusahaan untuk mengembalikan kualitas air menjadi meningkat. Untuk
mengestimasi atau mengukur biaya eksternal ini relatif sulit, tetapi pada
prinsipnya biaya ini dapat dimasukkan ke dalam biaya produksi perusahaan
tersebut. Masalahnya adalah tidak adanya nilai harga pasar yang jelas untuk
mengestimasi biaya tersebut. Serta metode untuk mengestimasi biaya dari barang-
barang yang tidak terdapat di pasar juga cukup rumit. Yang bisa dipergunakan
untuk mengestimasi harga dari barang-barang yang tidak terdapat di pasar tersebut
adalah melalui keinginan masyarakat untuk membayar (willingness to pay;WTP).
Sebab setiap orang tidak menginginkan barang-barang tersebut punah, baik untuk
kebutuhan rekreasi ataupun untuk kebutuhan lainnya. Nilai tersebut kemudian
14
dijadikan kompensai kepada masyarakat. Kemudian cara lain untuk mengestimasi
biaya eksternal tersebut adalah melalui penyesuaian atau assesment dari harga-
harga tersebut sebagai sebuah aset milik masyarakat. Gambar 1 di bawah ini
mengilustrasikan WTP terhadap tingkat kepuasan suatu rumah tangga:
Valuasi Manfaat
Menurut Abelson (1988), manfaat dari suatu program kegiatan, termasuk
manfaat yang dikonsumsi oleh masyarakat dan manfaat eksternal dapat dibagi
menjadi tiga kelompok yaitu (a) menurunnya biaya produksi, (b) nilai dari barang-
barang yang terdapat di pasar, (c) nilai dari barang-barang yang tidak terdapat di
pasar. Dalam situasi kerjasama, manfaat ini diperoleh melalui pengurangan biaya
produksi dari suatu perusahaan. Kemudian biaya tersebut dapat disimpan sebagai
manfaat bagi perusahaan. Manfaat bersih dari barang-barang tersebut oleh
Abelson (1988) ditunjukkan oleh area A antara kurva permintaan dan biaya
marginal di bawah ini (Gambar 2):
10,09,60
The utility of income
11.0 Income Rp.000.p.a.
x
x
Gambar 1 Penurunan Kepuasan Akibat Pendapatan
15
Untuk mengestimasi manfaat kotor dengan barang-barang yang ada di
pasar, analisa biaya manfaat dapat menjawab hal tersebut dengan (a) memprediksi
manfaat yang akan dijual di pasar, (b) menyesuaikan dengan harga pasar dari
biaya yang ingin dikeluarkan oleh masyarakat (WTP) atau membutuhkan
penyesuaian dengan nilai yang berlaku dalam suatu rumah tangga. Manfaat dari
barang-barang yang tidak terdapat di pasar direpresentasikan oleh area dibawah
garis kurva permintaan, A+B dalam Gambar di atas.
Willingness To Pay
Berbagai macam teknik penilaian dapat digunakan untuk
mengkuantifikasikan konsep nilai. Konsep dasar dalam penilaian ekonomi yang
mendasari semua teknik adalah kesediaan membayar dari individu untuk jasa-jasa
lingkungan atau sumberdaya, Munasinghe (1993) dalam Djijono (2002).
Sedangkan teknik penilaian manfaat, didasarkan pada kesediaan konsumen
membayar perbaikan atau kesediaan menerima kompensasi dengan adanya
kemunduran kualitas lingkungan dalam system alami serta kualitas lingkungan
sekitar (Hufschmidt et al., 1987). Kesediaan membayar atau kesediaan menerima
merefleksikan preferensi individu, kesediaan membayar dan kesediaan menerima
adalah ‘bahan mentah’ dalam penilaian ekonomi (Pearce dan Moran, 1994).
Pearce dan Moran (1994) menyatakan kesediaan membayar dari rumah
tangga ke i untuk perubahan dari kondisi lingkungan awal (Q0) menjadi kondisi
Q0
Harga Rp.
P1
P0 A E
Marginal biaya penawaran
Jumlah barang yang dijual
Kurva permintaan WTP Q0
Gambar 2 Manfaat Ekonomi Dari Program Kegiatan
16
lingkungan yang lebih baik (Q1) dapat disajikan dalam fungsi berikut:
),( ,,,,,01 iisubiowni SPPQQfWTP −=
dimana: WPTi = Kesediaan membayar dari individu ke i Pown = Harga dari penggunaan sumberdaya lingkungan P sub,i, = Harga substitusi untuk penggunaan sumberdaya lingkungan Si, = Karateristik sosial ekonomi individu
Keinginan membayar juga dapat diukur dalam bentuk kenaikan
pendapatan yang menyebabkan seseorang barada dalam posisi indifferent terhadap
perubahan eksogenous. Perubahan eksogenous ini bisa terjadi karena perubahan
harga (misalnya akibat sumberdaya makin langka) atau karena perubahan kualitas
sumberdaya. Dengan demikian konspe WTP ini terkait erat dengan konsep
Compensating Variation dan Equivalent Variation dalam teori permintaan. WTP
juga dapat diartikan sebagai jumlah maksimal seseorang mau membayar untuk
menghindari terjadinya penurunan terhadap sesuatu.
Sisi lain pengukuran nilai ekonomi dapat juga dilakukan melalui
pengukuran WTP yang tidak lain adalah jumlah minimum pendapatan seseorang
untuk mau menerima penurunan sesuatu. Dalam praktik pengukuran nilai
ekonomi, WTP bukan pengukuran yang berdasarkan insentif (insentive based)
sehingga kurang tepat untuk dijadikan studi yang berbasis perilaku manusia
(behavioral model).
Lebih jauh lagi Garrod dan Willis (1999) serta Hanley dan Splash (1993)
menyatakan bahwa meski besaran WTP dan WTA sama, namun selalu terjadi
perbedaan pengukuran, dimana umumnya besaran WTA berada pada kisaran 2
sampai 5 kali lebih besar daripada besaran WTP. Secara faktual, karena WTP
terkait dengan pengukuran Contingen Valuation (CV) dan Economic Valuation
(EV), maka WTP lebih tepat diukur berdasarkan permintaan Hicks (kurva
permintaan terkompensasi) karena harga daerah di bawah kurva permintaan Hicks
relevan untuk mengukur kompensasi. Dengan demikian jika terjadi perubahan
harga dari P0 ke −
P akibat perubahan lingkungan, maka WTP didefinisikan sebagai
berikut:
17
( )∫−
=P
p
h dPuPXWTP0
, (1.1)
),(),( 0 uPMuPM −=−
Dimana ),( uPM−
adalah pendapatan setelah terjadi perubahan dengan
utilitas konstrain dan ),( 0 uPM adalah pendapatan awal. Persamaan di atas
mengGambarkan bahwa WTP merupakan daerah (diGambarkan dengan tanda
integral) di bawah kurva permintaan Hicks yang dibatasi oleh harga pada kondisi
baseline (P0) dan harga akibat perubahan (P). Berdasarkan teori ekonomi neo-
klasik, ini setara dengan selisih pendapatan (M) yang dibutuhkan agar utilitas
seseorang tetap setelah adanya perubahan.
Konsep Ekonomi Tentang Nilai
Secara umum, nilai ekonomi didefinisikan sebagai pengukuran jumlah
maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh
barang dan jasa lainnya. Secara formal, konsep ini disebut keinginan membayar
(Willingnes To Pay:WTP) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan
oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan menggunakan pengukuran ini,
nilai ekologis ekosistem bisa ”diterjemahkan” ke dalam bahasa ekonomi dengan
mengukur nilai moneter barang dan jasa, (Fauzi, 2004).
Dalam paradigma neoklasik, nilai ekonomi (economic values) dapat dilihat
dari sisi kepuasan konsumen (preferences of consumers) dan keuntungan
perusahaan (profit of firms). Dalam hal ini konsep dasar yang digunakan adalah
surplus ekonomi (economic surplus) yang diperoleh dari penjumlahan surplus
oleh konsumen (consumers surplus:CS) dan surplus oleh produsen (producers
surplus: PS) (Grigalunas and Conger, 1995: Freeman III, 2003) dalam Adrianto
(2006).
Lebih lanjut Adrianto (2006) mengatakan, surplus konsumen terjadi
apabila jumlah maksimum yang mampu konsumen bayar lebih besar dari jumlah
yang secara actual harus dibayar untuk mendapatkan barang atau jasa. Selisih
jumlah tersebut disebut consumers surplus (CS) dan tidak bibayarkan dalam
konteks memperoleh barang yang diinginkan. Sementara itu, surplus produser
18
(PS) terjadi ketika jumlah yang diterima oleh produsen lebih besar dari jumlah
yang harus dikeluarkan untuk memproduksi sebuah barang atau jasa.
Secara grafik, kedua konsep CS dan PS tersebut dapat dilihat pada Gambar
3 berikut:
Sementara itu, Freeman III (2003) dalam Adrianto (2006) menyebutkan
bahwa pengetian “value” dapat dikategorikan ke dalam dua pengertian besar yaitu
nilai interinsik (intrinsic value) atau sering juga disebut sebagai Kantian value
dan nilai instrumental (instrumental value). Secara garis besar, suatu komoditas
memiliki nilai intrinsic apabila komoditas tersebut bernilai di dalam dan untuk
komoditas itu sendiri. Artinya, nilainya tidak diperoleh dari pemanfaatan dari
komoditas tersebut, tetapi bebas dari penggunaan dan fungsi yang mungkin terkait
dengan komoditas lain. Komoditas yang sering disebut memiliki intrinsic value
adalah komoditas yang terkait dengan alam (the nature) dan lingkungan (the
environments). Sedangkan instrumental value dari sebuah komoditas adalah nilai
yang muncul akibat pemanfaatan komoditas tersebut untuk kepentingan tertentu.
Dalam konteks tipologi nilai seperti tersebut diatas, Freeman III (2003)
dalam Adrianto (2006) berargumentasi bahwa konsepsi instrumental value lebih
mampu menjawab persoalan yang terkait dengan pengelolaan lingkungan wilayah
pesisir dan laut, daripada konsepsi intrinsic value. Untuk mengetahui nilai
instrumental dari alam, tujuan spesifik dari upaya tersebut harus disusun. Dalam
konteks ini, nilai ekonomi sumberdaya alam (the value of nature) lebih condong
pada konsepsi tujuan untuk kesejahteraan manusia (human welfare). Dengan kata
Demand curve
P
Q
Suplay curve Comsumers Surplus
Produsers Surplus
Gambar 3. Surplus Konsumen dan Surplus Produsen
19
lain, sebuah komponen alam akan bernilai tinggi apabila kontribusinya terhadap
kesejahteraan manusia juga tinggi. Sebuah pemikiran anthroposentris yang
memang melekat erat dengan disiplin ilmu ekonomi ortodoks. Konsep-konsep
seperti individual welfare, individual preferences, dan lain-lain menjadi
komponen utama bagi penyusunan konsep nilai ekonomi ini, seperti yang telah
dijelaskan melalui konsep CS dan PS di atas.
Dalam pandangan ecological economics, tujuan valuation tidak semata
terkait dengan maksimisasi kesejahteraan individu, melainkan juga terkait dengan
tujuan keberlanjutan ekologi dan keadilan distribusi, Constanza and Flke, (1997)
dalam Adrianto (2006). Bishop (1997) dalam Adrianto (2006) juga menyatakan
bahwa valuation berbasis pada kesejahteraan individu semata tidak menjamin
tercapainya tujuan ekologi dan keadilan distribusi tersebut. Dalam konteks ini,
Constanza (2001) dalam Adrianto (2006) menyatakan bahwa perlu ada ketiga
nilai tersebut yang berasal dari tiga tujuan dari penilaian itu sendiri.
Surplus Konsumen
Sebagaimana yang telah disinggung di atas bahwa surplus konsumen
merupakan perbedaan antara jumlah yang dibayarkan oleh pembeli untuk suatu
produk dan kesediaan untuk membayar, Samuelson dan Nordhaus, 1990;
Pomeroy, (1992) dalam Djijono (2002). Surplus konsumen timbul karena
konsumen menerima lebih dari yang dibayarkan dan bonus ini berdasarkan pada
hukum utilitas marginal yang semakin menurun. Sebab timbulnya surplus
konsumen, karena konsumen membayar untuk tiap unit berdasarkan nilai unit
terakhir. Surplus konsumen mencerminkan manfaat yang diperoleh karena dapat
membeli semua unit barang pada tingkat rendah yang sama, Samuelson dan
Norhaus (1990). Pada pasar yang berfungsi dengan baik, harga pasar
mencerminkan nilai marginal, seperti unit terakhir produk yang diperdagangkan,
Pomeroy (1992). Secara sederhana, surplus konsumen dapat diukur sebagai
bidang yang terletak diantara kurva permitaan dan garis harga, Samuelson dan
Nordhaus, 1990 dalam Djijono (2002).
Konsumen mengkonsumsikan sejumlah barang M. Seorang akan mau
membayar harga yang mencerminkan faedah marginal pada tingkat konsumsi itu.
20
Dengan melihat perbedaan dalam jumlah yang dikonsumsikan, kemauan
seseorang akan membayar berdasarkan fungsi faedah marginal dapat ditentukan.
Hasilnya adalah kurva permintaan individu untuk Q (Gambar 2). Karena faedah
berlereng turun ke kanan (negative), maka demikian pula kurva permintaannya.
Kurva permintaan ini dikenal dengan nama kurva permintaan Marshal
(Hufschmidt et al., 1987). Digunakannya kurva permintaan Marshal, karena kurva
permintaan tersebut dapat diestimasi secara langsung, Johansson (1987) dan
mengukur kesejahteraan melalui surplus konsumen, sedangkan kurva permintaan
Hicks mengukur kesejahteraan melalui kompensasi pendapatan, Turner, Pearce
dan Bateman, (1994) (Gambar 4).
Bidang di bawah kurva permintaan atau di atas garis harga merupakan
surplus konsumen. Girgalunas dan Congar (1995) dalam Adrianto (2006)
menyebutkan bahwa alat ukur yang baik untuk menghitung manfaat ekonomi bagi
konsumen adalah surplus konsumen, yaitu perbedaan antara keinginan masyarakat
untuk membayar dan apa yang dibayarkan. Pada kasus ini, surplus konsumen
adalah keinginan konsumen untuk membayar.
Kesejahteraan
Pengertian mengenai kesejahteraan berbeda-beda antara yang satu dengan
yang lainnya, sehingga keadaan sejahtera yang dialami oleh seseorang belum
tentu berarti sejahtera bagi yang lainnya. Kesejahteraan tidak saja menyangkut
aspek yang bersifat lahiriah atau material, tetapi juga yang bersifat bathiniah atau
spritual. Dalam ekonomi mikro, indicator yang digunakan untuk mengetahui
apakah seseorang itu dikatakan sejahtera atau tidak adalah melalui tingkat
D
R P
N
0
E
Q Q
Garis harga
Gambar 4 Total Surplus Konsumen (Djijono, 2002)
Surplus konsumen
21
kepuasan. Apabila seseorang mengaku puas dalam mengkonsumsi suatu barang
atau jasa, maka orang tersebut dapat dikatakan sejahtera. Menurut Sukirno (1985)
dalam Wiwit (2005) kesejahteran adalah suatu yang bersifat subyektif dimana
setiap orang mempunyai pedoman, tujuan dan cara hidup yang berbeda-beda
terhadap faktor-faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan.
Menurut Sawidak (1985), kesejahteraan merupakan sejumlah kepuasan
yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima,
namun tingkatan dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat
relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil
mengkonsumsi pendapatan tersebut. Konsumsi sendiri pada hakekatnya bukan
hanya sesuatu yang mengeluarkan biaya, karena dalam beberapa hal konsumsi
pun dapat dilakukan tanpa menimbulkan biaya bagi konsumennya.
BPS (1991) menyatakan bahwa kesejahteraan bersifat subyektif, sehingga
ukuran kesejahteraan bagi setiap individu atau keluarga berbeda satu sama lain.
Pada prinsipnya kesejahteraan dari individu atau keluarga tersebut sudah tercapai.
Kebutuhan dasar erat kaitannya dengan kemiskinan. Apabila kebutuhan dasar
belum terpenuhi oleh individu atau keluarga, maka dikatakan bahwa individu atau
keluarga berada dibawah garis kemiskinan.
Menurut BPS (1996), pendapatan per kapita sering digunakan untuk
mengukur tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat. Ekonomi masyarakat yang
makmur ditunjukkan oleh pendapatan per kapita yang tinggi, dan sebaliknya
ekonomi masyarakat yang kurang makmur ditunjukkan oleh pendapatan per
kapita yang rendah.
Kesejahteraan rakyat mempunyai aspek yang sangat kompleks dan tidak
memungkinkan untuk menyajikan data yang mampu mengukur semua aspek
kesejahteraan. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan
indikator kesejahteraan yang dipergunakan Badan Pusat Statistik dalam Susenas
1991, indikator tersebut adalah:
1) Pendapatan per kapita per tahun
2) Konsumsi rumah tangga per tahun
3) Keadaan tempat tinggal
4) Fasilitas tempat tinggal
22
5) Kesehatan anggota rumah tangga
6) Kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan dan medis
7) Kemudahan memasukkan anak ke jenjang pendidikan
8) Kemudahan mendapatkan fasilitas transportasi
9) Kehidupan beragama
10) Perasaan aman dari tindakan kejahatan
11) Perasaan aman dari tindakan kejahatan
Tingkat kesejahteraan sosial diukur dengan pendekatan pengeluaran rumah
tangga yang didasarkan pada pola pengeluaran untuk pangan, barang dan jasa,
rekreasi, bahan bakar dan perlengkapan rumah tangga. Pendekatan pengamatan
dilakukan terhadap kondisi perumahan, kesehatan, pendidikan, dan pola
pengeluaran rumah tangga. Penilaian terhadap kondisi perumahan didasarkan
pada jenis dinding rumah, jenis lantai, jenis atap serta status kepemilikan.
Pendekatan untuk menilai kondisi kesehatan berdasarkan kondisi sanitasi
perumahan serta kondisi perlengkapan air minum, air mandi, cuci dan kakus (BPS
1991).
Tinjauan kesejahteraan masyarakat dapat pula dilihat melalui kondisi maupun
fasilitas yang dimiliki suatu tempat tinggal. Perumahan (papan) adalah salah satu
kebutuhan dasar yang sangat penting selain makan (pagan) dan pakaian (sandang)
dalam pencapaian kehidupan yang layak. Kesehatan dapat juga sebagai ukuran
kesejahteraan seseorang, karena faktor yang mempengaruhi kesehatan antara lain
konsumsi makanan yang bergizi, sarana kesehatan serta keadaan sanitasi
lingkungan yang tidak memadai. Gizi merupakan indikator utama dalam
komponen gizi dan konsumsi yang digunakan dalam mengGambarkan taraf hidup.
Penyebab kekurangan gizi adalah tingkat pendidikan yang masih rendah, dan daya
beli masyarakat yang rendah, serta dikatakan bahwa tingkat ekonomi yang masih
rendah menyebabkan masyarakat belum mampu memperoleh pelayanan kesehatan
(BPS 1993).
Analisis Prospektif Partisipatif (Participatory Prospective Analysis/PPA)
Prosepektif Partisipatif Analisis merupakan suatu metode yang digunakan dalam
permasalah suatu sistem dimana pakar atau tokoh stakeholder terlibat dalam
23
pengambilan keputusan (Saur, 1991). Hatem, Caze, dan Roubelat (1993, p.18)
memberikan penjelasan secara filosofis bahwa analisis prospektif merupakan ”
melihat masa depan untuk menerangi saat saat ini”. Metode ini suadah di akui dan
gunakan secara formal sejak 1990an oleh para peneliti dan praktisi pemabngunan
Prancis (Godet, 1991).
Analisis Prospektif bukan metode yang fokus untuk mengoptimasi solusi tapi
untuk menetapkan pilihan-pilihan yang dibutuhkan dalam pengambillan
keputusan. Analisis prospektif merupakan suatu metode
Secara filosofi prinsip metode PPA adalah: (1)
• Efektif; Metode ini didesain untuk keperluan implemetasi yang memrlukan
waktu yang singkat. Total waktu yang dibutuhkan untuk persiapan sampai
implemetasi metode hanya 20-40 hari kerja.
• Partisipasi; Metode PPA merupakan metode yang menggali dan melibatkan
secara utuh stakeholder yang terlibat dengan sistem dalam merancang masa
depan.
• Konsistensi; metode PPA di implementasikan berdasarkan tahapan-tahapan
yang sistematis dan saling terkait tiap tahapan pelaksanaan, sehingga
menghasilkan suatu keputusan yang koherens.
• Reproducibility; metode ini dapat digunakan dimanapun dan kapanpun,
dengan kata lain metode ini tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
• Transparansi; metode ini bukan suatu ”kotak hitam” atau manipulasi dalam
implementasinya, seperti hipotesis atau formula model yang disembunyikan.
Semua tahapan merupakan dokumen yang jelas dan detai dalam
pelaksanaannya dan kesimpulannnya merupakan kesimpulan bersama
stakeholder yang terlibat.
• Aktual/Relevan; metode ini dibangun berdasarkan kebutuhan stakeholder
dalam menyelesaikan suatu permasalahan, sehingga hasil yang diperoleh
merupakan suatu yang diharapkan dan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi.
Metode PPA merupakan pengembangan dari program Delphi yang menggunakan
pendapat atau aspirasi stakeholder untuk pengambilan keputusan. Adapun tahapan
dalam implementasi metode PPA adalah: (1) mendefinisikan batasan sistem, (2)
mengidentifikasi faktor yang terkat dengan permasalahan, (3) Menjelaskan
24
variabel kunci,(4) Analisi pengaruh setiap faktor dengan memberikan skor, dan
(5) interpretasi pengaruh atau ketergantungan (Gambar 5)
Gambar 5. pemetaan pengaruh dan ketergantungan faktor
Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Whittington D. Dan J. Davis, data
yang diperoleh dikumpulkan dengan menggunakan teknik CVM dan dugunakan
untuk memperkirakan sebuah ”fungsi penilaian”, hubungan fungsional antara
kemampuan membayar responden terhadap barang atau jasa dengan karakteristik
sosial ekonomi dan demografi responden. Penelitian ini dilakukan di Lugazi,
Uganda selama bulan Juli 1994. Survei rumah tangga digunakan untuk
mendapatkan informasi tentang penggunaan air dan sanitasi responden saat ini,
karakteristik sosial ekonomi dan demografi, dan kemampuan membayar untuk
perbaikan air dan sanitasi. Penyesuaian masyarakat digunakan untuk mendapatkan
persepsi responden terhadap air dan sanitasi yang sudah ada, dan untuk
menyediakan informasi tentang kemungkinan jenis-jenis perbaikan. Dalam kasus
ini perbedaan antara survei rumah tangga dan penyesuaian masyarakat tidak
menghasilkan perbedaan yang signifikan.
Data yang diperoleh dengan penggunaan WTP sangat kuat bahwa range
dari pencarian tiap penilaian pertanyaan adalah kecil, bahkan dengan adanya
pengurangan ukuran contoh yang lebih dari 70%. Penilaian ini merupakan
langkah awal perbandingan pendekatan penelitian participatory yang berbeda.
Faktor Bebas UNUSED
Ketergantungan
Pengaruh
Faktor Terikat OUTPUT
Faktor Penentu INPUT
Faktor PenghubungSTAKE
25
Penelitian tambahan diperlukan untuk menentukan jika sistematik yang berbeda
sering digunakan, dimana data yang dikumpulkan menggunakan teknik yang
berbeda dan jika pendekatan secara khusus menghasilkan keakuratan dan
informasi yang reliabel bagi peneliti.
Penelitian selanjutnya yang dilakukan juga oleh Whitington (1995)
adalah penelitian mengenai besarnya kemampuan penduduk di kota Semarang
untuk membayar perbaikan sistem saluran pembuangan kotoran dengan
menggunakan konsep CVM. Responden yang diteliti sekitar 42 rumah tangga di
tiga kelurahan yang dipilih secara sengaja.
Hasil survei menunjukkan bahwa rumah tangga yang memiliki saluran
air pribadi merupakan jumlah yang minoritas. Beberapa rumah tangga tanpa
saluran pribadi medapatkan air untuk minum dan memasak dari publik, dimana
yang lainnya membayar lebih tinggi dari penjual air. Kebanyakan rumah tangga
yang memiliki saluran air pribadi, mempunyai sumur sendiri. Hasil wawancara
menunjukkan bahwa kemampuan membayar rumah tangga untuk sistem
pembuangan sangatlah rendah. Secara umum, hasilnya yang diperoleh mengenai
perrmintaan rumah tangga untuk perbaikan sanitasi pembuangan air sangat tinggi
ketidakpastiannya, masyarakat di kota Semarang terlihat tidak begitu memberikan
perhatian khusus akan perbaikan saluran pembuangan air.
Menurut data Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian
Universitas Riau tahun 2005 menyebutkan bahwa secara umum eksternalitas yang
terjadi di Kota Dumai mengaku tidak merasa terganggu terhadap adanya
pencemaran yang terjadi di kota Dumai. Untuk lebih jelas, dapat dilihat pada
Gambar 6 berikut:
26
Persepsi Masyarakat Terhadap Gangguan Debu Kilang
Pertamina UP II DUmai Tahun 2005
010203040
San
gat
terg
angg
u
Terg
angg
u
Kur
ang
terg
angg
u
Tida
k
terg
angg
u
Tingkat Gangguan
Jum
lah
Series1
Persepsi masyarakat Terhadap Gangguan Kebisingan Aktivitas Kilang Tahun 2005
0102030405060
Sangatterganggu
Terganggu Kurangterganggu
Tidakterganggu
Tingkat Gangguan
Jum
lah
Series1
Persepsi Terhadap Bau yang Ditimbulkan Kilang Pertamina UP II Dumai Tahun 2005
010203040506070
Sangat terganggu Terganggu Kurangterganggu
Tidak terganggu
Tingkat Gangguan
Jum
lah
Sumber: Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian Universitas
Riau tahun 2005 Gambar 6. Persepsi Masyarakat Terhadap Gangguan Debu Kilang Pertamina UP
II Dumai Tahun 2005
BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN
Keberadaan dan peningkatan aktivitas industri pengolahan akan
memberikan kontribusi yang cukup besar bagi perekonomian daerah. Karena
aktivitas industri akan meningkatkan lapangan pekerjaan, peningkatan pendapatan
masyarakat, tumbuhnya berbagai aktivitas ekonomi sekala kecil sebagai
pendukung industri, dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta
meningkatnya pembangunan imfrastruktur wilayah (kesehatan, pendidikan,
transportasi dan lain-lain).
Akan tetapi jika pengelolaan industri kurang memperhatikan lingkungan
terutama dalam pengelolaan limbah hasil aktivitas maka aktifitas tersebut akan
memberikan dampak negatif yang bersifat multieffect juga terhadap lingkungan
dan masyarakat sekitarnya. Pengolahan limbah yang tidak memperhatikan
lingkungan akan menyebabkan pencemaran air, udara, tanah maupun suara.
Pencemaran tersebut akan mengganggu keseimbangan ekosistem terutama
ekosistem pesisir sebagai muara dari buangan limbah tersebut.
Masyarakat di sekitar kawasan pesisir merupakan komponen penderita
utama akibat pencemaran lingkungan tersebut. Pencemaran lingkungan akan
menimbulkan berbagai penyakit, antara lain Infeksi Saluran Pernapasan Atas
(ISPA), diare, penyakit kulit, dan lain-lain. Penderitaan tersebut secara otomatis
akan meningkatkan biaya pengeluaran yang dialokasikan untuk pengobatan.
Masyarakat yang menderita sakit juga akan akan mengalami kehilangan
pendapatan. Pencemaran juga akan menyebabkan menurunnya kualitas dan
kuantitas sumber pendapatan terutama bagi masyarakat yang tergantung pada
sumberdaya alam pesisir seperti nelayan. Dengan kata lain bahwa pencemaran
akan menurunkan produktivitas lingkungan dan masyarakat di sekitar kawasan
yang terkena pencemaran.
Penurunan produktivitas lingkungan dan masyarakat secara langsung
maupun tidak langsung akan mengancam dan menghambat keberlanjutan aktivitas
industri dan perekonomian daerah secara umum. Karena sumberdaya lingkungan
merupakan penyedia kebutuhaan bahan mentah industri dan masyarakat
28
merupakan pemeroses untuk menghasilkan produk suatu aktivitas industri.
Sehingga keberadaan dan keseimbangan lingkungan serta kesejahteraan
masyarakat merupakan salah satu kunci utama untuk keberlanjutan aktivitas
industri dan perekonomian daerah.
Untuk mengetahui seberapa besar dampak yang ditimbulkan dari aktivitas
industri di kawasan ini, maka diperlukan suatu penilaian secara ekonomi melalui
metode valuasi ekonomi. Valuasi ekonomi ini diperlukan untuk mengetahui
dampak dari pencemaran lingkungan yang terjadi di kawasan pesisir terutama
dampak pencemaran terhadap kondisi kesejahteraan masyarakat. Valuasi ini
dilakukan sebagai upaya untuk penegakan keadilan terhadap masyarakat yang
notabene tergolong masyarakat miskin. Selain itu, respons (keinginan
berpartisipasi) masyarakat dalam upaya perbaikan kondisi lingkungan.
Salah satu pendekatan yang banyak digunakan dalam valuasi ekonomi
sumberdaya alam adalah metode kontingan (Contingant Valuation Method
:CVM) merupakan pendekatan secara langsung, yang pada dasarnya menanyakan
kepada masyarakat berapa besarnya maksimum Willingness To Pay (WTP) untuk
manfaat tambahan dan atau berapa besarnya maksimum Willingness To Accept
(WTA) sebagai konpensasi dari kerusakan barang lingkungan. CVM memiliki
kemampuan untuk mengestimasi nilai non pengguna. Dengan CVM seseorang
mungkin dapat mengukur utilitasnya dari penggunaan keberadaan barang
lingkungan, bahkan jika mereka sendiri tidak menggunakannya secara langsung
(Fauzi, A., 2004).
29
Gambar 7. Kerangka pemikiran
Aktivitas Industri
Kesejahteraan Masyarakat
Partisipasi Masyarakat
Kualitas Lingkungan
Ada/tidaknya keinginan /WTP
Besarnya Nilai keinginan /WTP
Limbah
IV. METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini di laksanakan di kawasan pesisir Kecamatan Medang Kampai Kota
Dumai (Gambar 8). Pengumpulan data dilakukan selama 1 bulan pada bulan Maret 2006.
Waktu tersebut seluruhnya digunakan untuk melakukan pengambilan data primer di
sekitar lokasi penelitian. Sedangkan pengumpulan data sekunder dilakukan sebelum dan
sesudahnya.
Gambar 8. Lokasi penelitian di Kawasan Pesisir Kecamatan Medang Kampai, Kota Dumai.
31
Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.
Menurut Nazir (1983), metode deskriptif merupakan metode yang digunakan untuk
meneliti status sekelompok manusia, obyek, set kondisi, sistem pemikiran ataupun suatu
kelas peristiwa pada masa sekarang (current condition). Adapun tujuan penggunaannya
adalah untuk memberikan diskripsi, gambaran, fakta-fakta, sifat serta hubungan antar
fenomena yang diselidiki.
Dalam pelaksanaan penelitian ini metode deskriptif yang digunakan adalah
pendekatan survei dan studi korelasi. Studi survei bertujuan untuk mengumpulkan
informasi-informasi di lapangan yang terkait dengan fenomena yang diteliti. Sedangkan
studi korelasi berdasarkan Consuelo (1988) dalam Umar (2004) merupakan studi yang
bertujuan untuk memberikan gambaran adanya hubungan antar variabel, dalam hal ini
adalah variabel kesejahteraan masyarakat (kesehatan dan pendapatan) dengan
pencemaran lingkungan, variabel kondisi sosial ekonomi (pendidikan, umur, pendapatan,
pekerjaan) dengan keinginan masyarakat untuk berpartisipasi (membayar/ willingness to
pay) dalam pengendalian lingkungan yang sudah tercemar dan perbaikan lingkungan.
Dengan demikian, peneliti dapat mmengetahui ada tidaknya pengaruh dan seberapa besar
pengaruh variabel pencemaran terhadap variabel kondisi kesejahteraan mesyarakat
(kesehatan dan pendapatan) dan untuk mengetahui ada tidaknya dan seberapa besar
keinginan masyarakat untuk membayar dalam pengendalian dan perbaikan kondisi
lingkungan yang tercemar.
Jenis, Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan sebagai bahan analisis penelitian ini terdiri atas data
kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif terdiri atas data kondisi kesehatan, biaya
pengeluaran kesehatan, pendapatan masyarakat serta data pendukung lain tentang kondisi
masyarakat yang berada di sekitar kawasan yang tercemar lingkungan. Sedangkan data
kualitatif terdiri atas respon atau keinginan masyarakat untuk berpartisipasi membayar
(willinsness to pay), dan persepsi masyarakat tentang pengendalian lingkungan dan
pengelolaan kedepan.
Berdasarkan sumber data, data dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan
data sekunder. Menurut Umar (2004), data primer merupakan data yang didapat dari
32
sumber pertama yaitu individu, kelompok masyarakat atau dari objek secara langsung,
melalui wawancara, kuesioner, pengamatan atau pengukuran.sedangkan data sekunder
didefenisikan sebagai data primer yang sudah diolah lebih lanjut dan ditampilkan oleh
pihak pengumpul data primer atau pihak lain. Data sekunder digunakan sebagai
pendukung data primer untuk membantu tahap analisis tujuan penelitian.
Data primer diperoleh melalui survei, observasi langsung ke lokasi penelitian,dan
wawancara dengan responden. Data primer yang dikumpulkan adalah data karakteristik
sosial ekonomi seperti umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan,
kondisi kesehatan, biaya kesehatan, jumlah tanggungan keluarga responden. Selain itu
juga data mengenai persepsi responden tentang pengendalian, rehabilitasi lingkungan
tercemar dan pengelolaan lingkungan kedepan.
Sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi-instansi pemerintah dan
lembaga-lembaga terkait di Kecamatan Medang Kampai dan Kota Dumai. Data sekunder
berupa kondisi sosial ekonomi masyarakat di lokasi penelitian, citra satelit lokasi
penelitian (Tabel 4).
Tabel 4. Jenis, Metode dan Tujuan Pengambilan Data.
NO DATA METODE TUJUAN
A Data Primer
1.
kondisi sosial ekonomi masyarakat (pendidikan pekerjaan, pendapatan, jumlah tanggungan, dll).
Wawancara, Kuisioner
Untuk mengetahui variabel-variabel yang mempengaruhi respon masyarakat.
2. Respon masyarakat Wawancara & kuisisoner
Untuk mengetahui respon masyarakat dalam bentuk WTP
3. Aspirasi masyarakat Wawancara & kuisioner
Untuk mengetahui aspirasi masyarakat tetang faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan lingkungan kedepan
B Data Sekunder
4. Data kondisi sosial ekonomi dan lingkungan
Monografi kecamatan, BPS Kota Dumai & penelitian terdahulu
Untuk mengetahui gambaran umum lokasi penelitian
5. Data kesehatan masyarakat
Buku Kesehatan Puskesmas
Untuk mengetahui kondisi kesehatan masyarakat
6. Citra Satlit Landsat 2006 Bakorsurtanal Untuk pemetaan lokasi kegiatan
33
Teknik Penentuan Sampel Responden
Responden dalam penelitian ini adalah kelompok-kelompok masyarakat
berdasarkan pekerjaan yang ada di lokasi penelitian, yaitu kelompok nelayan, pedagang,
pegawai negeri, buruh industri, swasta, tani, peternak, dan pengerajin. Teknik
pengambilan sampel responden dalam penelitian ini dilakukan secara comvinience
sampling dan purposive sampling. Comvinience sampling yaitu pengambilan responden
yang mudah di temui dan mempunyai kemampuan sebagai responden (Nazir,1988).
Metode ini digunakan untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi masyarakat, dengan
jumlah responden 10 % dari jumlah populasi masing-masing kelompok masyarakat.
Sedangkan teknik purposive sampling yaitu pengambilan sempel responden berdasarkan
pertimbangan tertetu (tokoh, dan tau tetang kondisi lokasi) dan merupakan perwakilan
dari masing-masing kelompok masyarakat.
Teknik penentuan jumlah sampel dari masing-masing kelompok masyarakat
tersebut adalah dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Ridwan, 2004):
12 +=
NdNn
Dimana: n = jumlah sampel responden yang akan diukur N = jumlah populasi dalam masing-masing kelompok masyarakat d = presisi yang ditetapkan ( 10 % mengacu pada Umar, 2004)
Teknik Analisa Data
Analisis Dampak Pencemaran Vs Kondisi Kesejahteraan
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya serta besarnya dampak
pencemaran lingkungan terhadap kondisi kesejahteraan masyarakat yang tinggal dan
melakukan aktivitas di kawasan di sekitar kawasan pesisir yang terkena pencemaran
lingkungan. Dalam hal ini variabel kesejahteraan yang digunakan adalah perubahan
kondisi kesehatan, perubahan pengeluaran biaya kesehatan dan perubahan pendapatan
masyarakat sebelum terjadi pencemaran dengan saat ini dan beberapa tahun kedepan.
Metode analisis yang digunakan adalah metode valuasi ekonomi dengan
pendekatan Contingan Valuation Methode (CVM). Formulasi yang umum digunakan
untuk mengetahui perubahan tingkat kesejahteraan masyarakat adalah sebagai melalui
pendekatan fungsi permintaan dari WTP masyarkat dengan formulasi sebagai berikut,
Adrianto (2006):
34
33221
110 XXXWTPn
ii ββββ +++= ∑
=
Sedangkan untuk mengetahui nilai uang kompensasi di masa lalu dilakukan
dengan compounding dengan formulasi trCF
)1(1+
= dan masa nilai uang kompensasi
yang akan datang dilakukan discounting dengan formulasi trDF )1( += . Untuk data yang tidak bisa diperoleh dari responden mengenai dampak kerugian
dari pencemaran tersebut adalah dengan menggunakan proxy harga pasar, yaitu
memberikan penilaian melalui nilai harga pasar yang berlaku pada saat itu dan berlaku di
lokasi masyarakat berada.
Metode biaya pengobatan (Cost of Illness) digunakan untuk memperkirakan
biaya morbiditas akibat perubahan yang menyebabkan orang menderita sakit. Total biaya
dihitung baik secara langsung maupun tidak langsung. Biaya langsung yaitu mengukur
biaya yang harus disediakan untuk perlakukan penderita lain meliputi: biaya berobat di
puskesmas atau rumah sakit, biaya perawatan selama penyembuhan, biaya obat-obatan,
atua biaya pelayanan kesehatan lainnya.
Biaya tidak langsung mengukur nilai kehilangan produktivitas akibat seseorang
menderita sakit. Biaya tidak langsung diukur melalui penggandaan upah oleh kehilangan
waktu karena tidak bekerja. Taksiran biaya tidak termasuk rasa sakit yang diderita dan
biaya penderitaannya sendiri. Umumnya digunakan untuk menilai dampak polusi udara
terhadap morbiditas.
Analisis Keinginan Berpartisipasi Masyarakat
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya keinginan masyarakat
untuk ikut berpartisipasi (keinginan membayar/WTP) dalam pengendalian pencemaran
dan pengelolaan lingkungan. Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis Regresi Logit, mengacu pada Ramanathan, (1998). Regresi Logit merupakan
suatu analisis regresi yang didasarkan pilihan responden, dalam hal ini adalah ada
tidaknya keinginan masyarakat untuk berpartisipasi/membayar (WTP). Sehingga hasil
akhirnya adalah probabilitas masyarakat untuk berpartisipasi (WTP) dalam pengendalian
pencemaran dan pengelolaan lingkungan kedepan. Adapun formula regresi logit, sebagai
berikut:
35
kk
XX
XXee kk
βββ
βββ
++++===
+++
...(1 )X I 1 (Y E P
110
...
ii
110
Dimana :
Pi = sebuah kemungkinan dengan Yi=1 β° = Intersep X1 = Kenyamanan di kawasan pesisir Medang Kampai X2 = Usia X3 = Tingkat pendidikan X4 = Jenis pekerjaan X5 = Rata-rata pendapatan per/bulan X6 = Banyaknya tanggungan keluarga K = Banyaknya X e = Exp (β) = Odd ratio Li = ln
Persamaan tersebut di atas disebut dengan persamaan logistik/logit. Dimana Li
dikenal dengan logit, yang merupakan logaritma dari rasio sebelumnya dan linear dalam
variabel independen dan parameter. Metode estimasinya adalah Maximum Likelihood
Estimator (MLE) dan koefisien yang didapatkan konsisten.
Pengujian Model Regresi Logit
Uji Wald
Uji Wald digunakan untuk menguji perbedaan pengaruh antara taraf atribut yang
peubah bonekanya bernilai 1 dengan taraf lain dari atribut yang semua peubahnya
bernilai nol.
H0:βi = 0 H1:βi ≠ 0
Dimana : βi = Vektor koefisien dihubungkan dengan penduga (koefisien X). SE (βi) = Galat kesalahan dari βi
Odd Ratio
Odd ratio merupakan kemunculan dari peubah respon (Y=1) sebesar exp (β) kali
jika taraf atribut yang peubah bonekanya bernilai 1 muncul, dibandingkan dengan taraf
atrtibut tersebut yang semua peubah bonekanya bernilai 0 muncul. Dengan kata lain, odd
ratio merupakan interpretasi dari sebuah peluang.
36
Kebaikan Model
Berbeda dengan regresi linear, dalam regresi logit, tingkat kebaikan model dapat
dilihat secara langsung dari Percentge Correct dalam Clasification Table. Semakin besar
persentase nilai yang muncul, semakin bagus model yang digunakan.
Omnibus Test of Model Coefficient
Omnibus Test Coefficient digunakan untuk melihat apakah model yang
digunakan nyata atau tidak. Dalam metode pengujian ini terdapat nilai Chi-square yang
merupakan rasio likelihood antara ’model dengan variabel’ dengan ’model tanpa
variabel’.
Interpretasi Koefisien
Jika koefisien bertanda (+) maka odd ratio akan lebih dari 1. jika variabelnya
merupakan skala nominal (dummy) maka Dummy=1 memiliki kecenderungan untuk Y=1
sebesar exp (β) kali dibandingkan dengan Dummy=0. jika variabelnya bukan Dummy
maka semakin besar X maka exp (β) ≥1. sehingga semakin besar pula kecenderungan
untuk Y = 1.
Analisis Nilai Partisipasi Masyarakat
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui nominal partisipasi (keinginan
membayar/WTP) masyarakat dalam rangka pengendalian pencemaran dan pengelolaan
lingkungan kedepan. Metode yang digunakan dalam analisis ini adalah Contingent
Valuation Method (CVM) dengan pendekatan referendum tertutup (dichotomous choice)
(Hanley dan Spash, 1993). Pendekatan ini digunakan karena metode ini di lapangan lebih
memudahkan responden memahami maksud dan tujuan dari penelitian dibandingkan
metode yang lain. Penelitian ini akan terfokus pada besarnya WTP dari responden
masyarakat Dumai khususnya masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi kilang minyak.
Analisis Faktor Kunci Pengelolaan Lingkungan
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui dan merumuskan skenario pengendalian
pencemaran dan pengelolaan lingkungan ke depan berdasarkan persepsi masyarakat.
37
Metode yang digunakan dalam analisis ini adalah metode analisis prospektif partisipatif
(Participatory Prospective Analysis/PPA). Metode PPA digunakan untuk
memprediksikan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan
berdasarkan respon dan aspirasi stakeholder dalam hal ini adalah kelompok-kelompok
masyarakat pesisir di kecamatan Medang Kampai Dumai. Kegunaan analisis prospektif
adalah untuk: 1) memperediksikan tindakan strategis yang perlu dilakukan dan 2)
melihat apakah perubahan dibutuhkan dimasa depan atau tidak. Analisis prospektif
sangat tepat digunakan dalam analisis strategi kebijakan (Bourgoise, 1999; Hardjomijojo,
2003).
Metode PPA merupakan pengembangan dari program Delphi yang menggunakan
pendapat atau aspirasi stakeholder untuk pengambilan keputusan. Dalam penelitian ini
stakeholder yang akan menjadi responden adalah perwakilan stakeholder yang paham
tentang kondisi lingkungan di kawasan yang tercemar. Dalam penelitian ini adalah
tokoh-tokoh dari masing-masing kelompok masyarakat, yaitu nelayan, pedagang,
peternak, Pegawai Negeri, Buruh Pabrik, Petani, Pengrajin dan Pengusaha.
Adapun tahapan dalam metode PPA berdasarkan Bourgoise (1990) dan Godet
(2000) dalam Hardjomijojo, (2003) adalah:
1) Definisi permasalahan dan tujuan sistem yang dikaji, dengan tujuan untuk
memeprmudah masyarakat memahami permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai.
2) Identifikasi faktor yang berpengaruh terhadap tujuan tersebut yang akan dicapai,
dengan melakukan kajian literatur dan analisi kebutuan menurut masyarakat
berdasarkan hasil wawancara atau kuesisoner.
3) Penilaian pengaruh langsung antar faktor. Semua faktor yang teridentifikasi akan
dinilai pengaruh langsung antar faktor sebagaimana disajikan pada Tabel 2 dan Tabel
3. Hasil matriks gabungan persepsi masyarakat diolah dengan perangkat lunak
analisis prospektif dengan menggunakan teknik statistika untuk menghitung
pengaruh langsung global, ketergantungan global, kekuatan global dan kekuatan
global tertimbang (Tabel 9).
38
Tabel 5. Pedoman penilaian metode PPA.
Skor Keterangan
0 Tidak ada pengaruh
1 Berpengaruh kecil
2 Berpengaruh sedang
3 Berpengaruh sangat kuat
Tabel 6. Pengaruh langsung antar faktor
Dari ↓
Terhadap →
A
B
C
D
E
F
G
A
B
C
D
E
F
G
Hasil perhitungan divisualisasikan dalam Diagram Pengaruh dan Ketergantungan antar
faktor seperti terlihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Diagram pengaruh dan ketergantungan sistem.
Faktor Bebas UNUSED
Ketergantungan
Pengaruh
Faktor Terikat OUTPUT
Faktor Penentu INPUT
Faktor PenghubungSTAKE
V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Keadaan Umum Kota Dumai
Pada tahun 1999, Kota Administratif Dumai berubah status menjadi
Kotamadya Daerah Tingkat II Dumai sesuai dengan undang-undang nomor 16
Tahun 1999 Tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Dumai, wilayah
Kotamadya Daerah Tingkat II Dumai mempunyai batas-batas sebagai berikut: a.
Sebelah utara berbatasan dengan Selat Rupat; b. Sebelah timur berbatasan dengan
Kecamatan Bukit Batu Kabupaten Daerah Tingkat II Bengkalis; c. Sebelah selatan
berbatasan dengan Kecamatan Mandau dan Kecamatan Bukit Batu Kabupaten
Daerah Tingkat II Bengkalis; d. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan
Tanah Putih dan Kecamatan Bangko Kabupaten Daerah Tingkat II Bengkalis.
Mayoritas atau sekitar 82,9 persen luas lahan ditanami kelapa sawit yang
diyakini punya nilai ekonomis tinggi. Selama tahun 2002, 46.000 ton kelapa sawit
dipanen dan kemudian dikirim ke Kabupaten Rokan Hilir untuk diolah di
Pengolahan Kelapa Sawit (PKS). Walaupun telah ada pabrik penghasil minyak
sawit mentah atau crude palm oil, kota yang iklimnya dipengaruhi oleh laut ini tak
mempunyai PKS. Oleh sebab itu, petani sawit terpaksa mengirim hasil panen
sawit ke daerah tetangga, Kabupaten Rokan Hilir, untuk diolah. Dengan tingkat
produksi sawit sebesar itu semestinya diperlukan kehadiran dua pengolahan
kelapa sawit berkapasitas sekitar 8.000 ton per hari. Nantinya, petani tak perlu lagi
ke luar kota, dan kemudian dikirim kembali ke Dumai untuk diolah di tiga pabrik
pengolahan inti sawit. PT Bukit Kapur Raya, pabrik berkapasitas produksi
terbesar dan memperkerjakan 175 pegawai, mampu menghasilkan tak kurang dari
2 juta ton minyak sawit mentah per tahun yang dikirim ke Eropa, Amerika
Selatan, dan juga berbagai negara di Asia.
Belum cukup dengan tiga pabrik besar penghasil CPO, Pemerintah Kota
masih mengharapkan para pemodal menanamkan investasinya di kota yang
memiliki jenis tanah rawa bergambut, terutama di bidang agroindustri. Harapan
ini tak berlebihan mengingat industri diimpikan menjadi bagian dari tulang
punggung perekonomian serta dukungan pasokan bahan baku dari daerah sekitar
40
yang berfungsi wilayah belakang. Untuk merealisasikan harapan ini, pemerintah
kota menyediakan setidaknya tiga kawasan industri di Lubuk Gaung, Kecamatan
Sungai Sembilan, 1.450 hektar, di Pelintung, Kecamatan Medang Kampai, 500
hektar, dan di Bagan Besar, Kecamatan Bukit Kapur, 500 hektar. Hanya saja,
pembenahan infrastruktur seperti jalan harus dilakukan. Contoh nyata, kondisi
jalan ke Pelintung buruk dan sukar dilewati saat hujan turun. Di samping itu,
konflik antara manusia dan binatang liar yang sering terjadi di lokasi kawasan
industri harus segera dicari jalan keluarnya. Daya tarik utama investor sebenarnya
adalah pelabuhan yang berakses langsung ke jalur Selat Malaka, serta terlindung
oleh Pulau Rupat milik Kabupaten Bengkalis. Tak hanya menjadi senjata utama,
pelabuhan bahkan telah menjadi jantung perekonomian.
Partisipasi aktivitas ini terhadap nilai perekonomian total, 24,11 persen di
tahun 2001. Nilai yang cukup tinggi dibandingkan lapangan usaha lainnya. Lebih
dari itu, tempat labuh merupakan bagian sejarah terpenting dari daerah yang
memiliki 16 sungai ini, yang dimulai saat PT Caltex Pacifix Indonesia (CPI)
memindahkan pelabuhannya ke kota ini. Jalan tembus dari daerah penghasil
minyak di Kabupaten Bengkalis, Duri, ke pantai yang berjarak 93 mil dari
Malaysia ini segera dibangun. Pipa-pipa raksasa untuk mengalirkan minyak
mentah membentang sepanjang 900 kilometer di tepi jalan raya. Tahun 1959,
pelabuhan minyak selesai didirikan dan mulai digunakan. Melihat perkembangan
positif yang terjadi, Pertamina UP II pun memanfaatkan wilayah sekitar
pelabuhan sebagai lokasi pengilangan minyak, Kilang Minyak Putri Tujuh.
Dampak langsung keberadaan pelabuhan ini adalah meningkatnya sektor
tersier perdagangan dan jasa. Dengan memanfaatkan pelabuhan, tempat keluar
masuk manusia serta bongkar muat barang, rezeki pun diraup. Apalagi komoditas
perdagangan yang ada cukup beragam, mulai dari sembako hingga pengiriman
minyak mentah. Sepanjang tahun 2002, penjualan minyak mentah yang dibukukan
oleh dua perusahaan besar minyak di salah satu gerbang Sumatera bagian timur
ini nilainya 2 miliar dollar AS. Jumlah itu adalah nilai dari hampir 103 juta barrel
minyak jenis low sulphur waxy residue, Sumatera light crude, Duri crude oil, dan
green coke. Jutaan barrel minyak ini dikirim ke berbagai negara antara lain
41
Amerika Serikat, Australia, Cina, Korea Selatan, Filipina, Malaysia, dan
Singapura.
Karakterisik Masyarakat
Dari struktur sosial masyarakat di lokasi penelitian, kehidupan masyarakat
di daerah ini masih berbasis pada sumberdaya agraris yaitu sektor pertanian dan
nelayan. Secara umum ditemukan tiga kelompok sumber pendapatan masyarakat
Kecamatan Medang Kampai Kota Dumai antara lain, 987 orang bekerja di sektor
perdagangan, 368 orang bekerja di sektor informal dan sebanyak 416 orang
bekerja sebagai montir bengkel. Namun secara lebih rinci lagi, kelompok
masyarakat Kota Dumai dibagi menjadi sepuluh kelompok pekerjaan, yaitu
kelompok petani, nelayan, peternak, pedagang, guru/PNS/ABRI, buruh, buruh
tani, BUMD/BUMN/swasta, pengerajin, dan kelompok pekerja lainnya. Dari
kelompok masyarakat tersebut, yang paling dominan di lokasi penelitian adalah
masyarakat yang berprofesi sebagai buruh, seperti yang terlihat pada gambar
berikut:
05
10152025303540
petan
i
nelaya
n
peter
nak
peda
gng
guru/
PNS/ABRI
buruh
buruh
tani
BUMD/BUMN/S
wasta
Penge
rajin
Lainny
a
jumlah
Gambar 9 Struktur Pekerjaan Masyarakat Kota Dumai Tahun 2006
Kelompok masyarakat di atas merupakan kelompok masyarakat yang
menjadi responden dalam penelitian ini. Sampel yang diambil sebagai responden
dalam penelitian ini semuanya berjumlah 30 orang, dimana sampel tersebut
ditentukan secara purposive sampling dengan kriteria yang telah ditetapkan
sebelumnya.
42
Kelompok masyarakat inilah yang terkena langsung dampak dari adanya
pencemaran di Kecamatan Medang Kampai Kota Dumai. Umumnya mereka
tinggal di daerah pesisir pantai Kecamatan Medangka Kampai. Karakteristik
responden yang diamati adalah tingkat pendidikan, rata-rata tingkat pendapatan
perbulan, jenis kelamin, tingkat umur, jenis pekerjaan, jumlah tanggungan dalam
keluarga.
Jenis Penyakit Akibat Pencemaran
Akibat terjadinya pencemaran di sekitar pesisir Kecamatan Medang
Kampai, telah menimbulkan beberapa jenis penyakit yang diderita masyarakat
sekitarnya. Menurut data Puskesmas Pembantu Jaya Mukti dan Puskesmas Dumai
Timur, terdapat sepuluh jenis penyakit tertinggi di Puskesmas tersebut antara lain
penyakit ISPA, Hipertensi, Febris, Kulit Alergi, dan penyakit lainnya yang
muncul akibat adanya pencemaran. Data dari kedua Puskesmas ini menjadi
gambaran penyakit-penyakit yang diderita masyarakat di Kota Dumai, termasuk
di Kecamatan Medang Kampai. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 7 Sepuluh Jenis Penyakit Tertinggi di Puskesmas Pembantu Jaya Mukti Kecamatan Dumai Timur Tahun 2004
Puskesmas Puskesmas Dumai Timur Puskesmas Pembantu Jaya Mukti
No. Jenis Penyakit Jumlah (%) Jenis Penyakit Jumlah (%) 1 ISPA 6,213 (38,9) ISPA 3.638 (24,70)2 Hipertensi 3,170 (19,64) Gasritis 2.604 (17,68)3 Febris 1,580 (4,79) Infeksi Kulit 1.394 (9,47)4 Kulit Alergi 1,140 (7,06) Rheumatik 1.392 (9,45)5 Rhematik 1,112 (6,89) Asma 1.304 (8,86)6 Gasritis 862 (5,35) Hipertensi 1.128 (7,66)7 Diare 774 (4,79) Alegri Kulit 1.118 (7,59)8 Kulit Infeksi 665 (4,12) Jamur 863 (5,86)9 Asma 322 (1,99) Scabies 649 (4,41)
10 Diabetes 303 (1,87) Cacar air 635 (4,31) Jumlah 16,141.00 (100) Jumlah 14.725 (100)
Sumber: Puslit. Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian Universitas Riau (2005) Dari jenis penyakit yang diderita oleh masyarakat tersebut kemudian
diambil beberapa sampel untuk dijadikan responden dalam penelitian ini. Tetapi
tidak semua jenis penyakit dijadikan sampel mengingat keterbatasan waktu dan
43
dana dalam penelitian ini. Sehingga yang dijadikan sampel adalah penyakit yang
mayoritas diderita oleh masyakat dan telah dipastikan disebabkan oleh
pencemaran lingkungan. Dalam penelitian ini, ada juga masyarakat yang terkena
penyakit namun tidak berobat ke dokter dan hanya menggunakan obat tradisional.
Namun dalam penelitian ini, tetap dilakukan valuasi untuk mengetahui tingkat
kerugian rata-rata masyarakat, bukan mengetahui kerugian ekonomi secara total.
BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
DAMPAK PENCEMARAN LINGKUNGAN
Biaya Kesehatan
Biaya-biaya yang dikeluarkan responden untuk pengobatan yang disebabkan oleh
pencemaran. Adapun jenis penyakit yang dominan diderita masyarakat Kecamatan
Medang Kampai antara lain ISPA, Diare, dan penyakit kulit. Umumnya masyarakat
melakukan pengobatan ke Rumah Sakit Umum, Puskesmas, Dokter Spesialis,
pengobatan tradisional, ditambah dengan ongkos angkutan menuju ke lokasi pengobatan,
atau berobat sendiri dengan menggunakan ramuan sendiri. Semua biaya-biaya ini
diakumulasi sehingga diperoleh total biaya pengobatan yang dikeluarkan oleh responden
(Gambar 11). Dalam satu tahun, ada masyarakat yang hanya terkena sekali sakit dan
hanya satu jenis penyakit saja. Namun ada pula yang kena penyakit lebih dari sekali dan
lebih dari satu jenis penyakit.
Nilai biaya kesehatan dalam penelitian ini diperoleh melalui pendekatan fungsi
permintaan, dimana Y sebagai variabel dependen dipengaruhi oleh lamanya masyarakat
mengalami sakit dan jenis penyakit yang dideritanya. Sehingga jika dimasukkan ke
dalam fungsi permintaan adalah Y=10.550551+(0.37127536x0,47)+(0.0167282x2,75),
dari persamaan tersebut diketahui rata-rata biaya pengobatan individu sebesar nilai Y
yaitu 10,77 atau setelah dikembalikan ke persamaan awal menjadi 47.630,27, maka dari
nilai tersebut diketahui biaya pengobatan akibat pencemaran yaitu sebesar Rp.47.630,27
per orang selama satu tahun. Setelah dikalikan dengan jumlah populasi (yang sudah
terkena dan yang potensial terkena penyakit akibat pencemaran) sebesar 7.000 orang,
maka diketahui total biaya penyakit sebesar Rp. 333.411.863,36 per tahun. Total inilah
biaya pengobatan yang harus mendapatkan kompensasi dari pihak pertama atas
pencemaran yang ditimbulkannya. Di bawah ini adalah output hasil regresi dari
persamaan di atas (Tabel 8):
45
Tabel 8. Hasil Regresi Biaya Pengobatan Masyarakat Pesisir Kecamatan Medang Kampai, Kota Dumai
Coefficients Standard Error t Stat P-value F R2
Intercept 10.550551 0.1664018 63.4040886 1.499047Jumlah penyakit 0.3712753 0.1328665 2.7943489 0.006292
Lama sakit 0.0167282 0.0566873 0.29509628 0.768565
4.153639
0.0804
Ln Biaya pengobatan = 10,77 Biaya Pengobatan (Rp.) = 47.630,27 Jumlah Populasi (orang) = 7.000,00 Total biaya pengobatan (Rp) = 333.411.863,36
Dari Tabel di atas terlihat bahwa lamanya masyarakat mengalami sakit akibat
pencemaran dan jenis penyakit yang dideritanya berpengaruh positif terhadap biaya
pengobatan atas penyakit tersebut. Diketahui bahwa koefisien lamanya kena penyakit
sebesar 0.0167282 dan koefisien jumlah penyakit yang diderita sebesar 0.3712753 yang
berarti bahwa semakin banyak jenis penyakit yang diderita masyarakat, maka semakin
tinggi pula biaya yang dikeluarkan. Begitu juga dengan lamanya masyarakat menderita
penyakit, semakin lama sakit maka semakin tinggi biaya yang dikeluarkan.
Untuk mengetahui sejauh mana tingkat signifikansi dari model yang menjelaskan
hubungan nyata atau biaya pengobatan dengan faktor-faktor yang mempengarhuinya,
maka model regresi di atas diuji dengan menggunakan uji F. berdasakan uji statistik,
hasil uji F menunjukkan F hitung sebesar 1.899849 lebih kecil dari F table. 5,69 pada
selang kepercayaan 95 persen. Nilai F hitung lebih kecil dari F tabel ini menunjukkan
bahwa peubah bebas yang terdapat dapat fungsi permintaan model log berganda tersebut
berpengaruh tidak signifikan dalam menjelaskan hubungan antara lamanya sakit,
banyaknya jenis penyakit yang diderita terhadap tingkat besarnya biaya yang dikeluarkan
untuk pengobatan.
Dengan menghitung Coufounding dan Discounting maka diperoleh bahwa
perbandingan nilai riel uang di masa lalu dengan nilai riel di masa sekarang dan masa
yang akan datang. Nilai uang sebesar Rp.76.708,59 pada masa lima tahun lalu sama
artinya dengan Rp. 47.630,00 di masa sekarang. Dan nilai tersebut pada lima tahun
kedepan akan sama nilai dengan Rp.29.574,48 (tabel 9). Hal ini diasumsikan terjadi
karena dipengaruhi oleh tingkat inflasi. Dengan demikian, jika dilakukan kompensasi
46
pada tahun tertentu, maka nilai kompensasinya ditentukan oleh tingkat bunga yang
berlaku dan tahun kapan akan dibayarkan.
Tabel 9. Rata-rata Biaya Pengobatan Setelah di Counfounding dan Discounting
Sumber: data primer diolah
Penurunan Pendapatan
Penurunan pendapatan masyarakat dipengaruhi oleh frekuensi kerja dari
masyarakat menurun akibat gangguan kesehatan. Hal ini akan berpengaruh pada upah
yang diperoleh masyarakat sehingga akan berpengaruh terhadap tingkat konsumsi
masyarakat.
-200,000.00400,000.00600,000.00800,000.00
1,000,000.001,200,000.001,400,000.001,600,000.001,800,000.00
Pend
apat
an (R
p)
Nelayan
Peternak
Pedagng
PN BuruhBuruh tani
Swasta
Kelompok Masyarakat
Total Pendapatan tahun 2007
Gambar 12. Total Pendapatan Masyarakat Kecamatan Medang Kampai
Akibat penyakit yang dideritanya menyebabkan hilangnya kesempatan
masyarakat untuk bekerja, sehingga kesempatan untuk mendapatkan uang menjadi
Tahun DF/CF Biaya pengobatan Nilai dulu & Sekarang 5 1.61051 47.630,00 76.708,59 4 1.4641 47.630,00 69.735,08 3 1.331 47.630,00 63.395,53 2 1.21 47.630,00 57.632,30 1 1.1 47.630,00 52.393,00 0 1 47.630,00 47.630,00 1 0.909090909 47.630,00 43.300,00 2 0.826446281 47.630,00 39.363,64 3 0.751314801 47.630,00 35.785,12 4 0.683013455 47.630,00 32.531,93 5 0.620921323 47630,00 29.574,48
47
hilang karena mereka tidak bekerja. Dari hasil valuasi yang dilakukan diperoleh bahwa
masyarakat yang paling besar kesempatan kehilangan pendapatan adalah kelompok
masyarakat peternak yaitu rata-rata sebesar Rp.75.000/hari, dan yang paling rendah
adalah kelompok BUMD/BUMN/Swasta yaitu sebesar Rp.40.714,29 (Gambar 13).
Rata-rata Pengeluaran Masyarakat untuk Berobat
-10,000.0020,000.0030,000.0040,000.0050,000.0060,000.0070,000.0080,000.00
Nelaya
n
Peterna
k
Pedag
ng
Guru/P
NS/ABRI
Buruh
Buruh
tani
BUMD/BUMN/S
wasta
Series1
Gambar 13. Rata-rata nilai kehilangan pendapatan Masyarakat Kecamatan Medang
Kampai selam sakit.
Besarnya kerugian tersebut yang seharusnya diperoleh oleh masyarakat yang
terkena dampak pencemaran tersebut dari pihak pencemar. Akibat dari penyakit-penyakit
ini menyebabkan kesempatan untuk bekerja menjadi hilang. Sehingga pendapatan yang
seharusnya diperoleh dari bekerja tersebut menjadi hilang. Kehilangan pendapatan
tersebut ditentukan melalui jumlah hari tidak bekerja dikalikan dengan pendapatan
perhari.
Sebagai dasar dalam memberikan kompensasi, dapat dilakukan dengan mengukur
nilai uang dimasa lalu, masa kini dan dimasa yang akan datang. Nilai uang tersebut
otomatis akan mengalami penurunan dari waktu ke waktu karena dipengaruhi oleh
tingkat inflasi. Tinggi rendahnya tingkat penurunan tersebut diukur dengan fluktuasi
tingkat bunga yang berlaku. Tabel dibawah ini menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan
masyarakat pesisir Medang Kampai lima tahun lalu Rp.1.211.244,49 per bulan, terus
mengalami penurunan akibat inflasi yang terjadi sebesar 10 persen. Artinya, terjadi
penurunan sebesar 10 persen nilai pendapatan rata-rata masyarakat setiap tahun. Berikut
adalah perubahan nilai uang dari pendapatan masyarakat setelah dilakukan discounting
dan counfounding (Tabel 10):
Nilai kehilangan pendapatan masyarakat selama sakit
48
Tabel 10. Rata-rata Pendapatan Masyarakat Setelah di Counfounding dan Discounting
Tahun DF/CF 10% Rata-rata Pendapatan/bulan
Nilai dulu & sekarang
5 1.61051 1.211.244,49 1.950,721,36 4 1.4641 1.211.244,49 1.773,383,06 3 1.331 1.211.244,49 1.612,166,42 2 1.21 1.211.244,49 1.465,605,83 1 1.1 1.211.244,49 1.332,368,94 0 1 1.211.244,49 1.211,244,49 1 0.909090909 1.211.244,49 1.101,131,35 2 0.826446281 1.211.244,49 1.001,028,50 3 0.751314801 1.211.244,49 910.025,91 4 0.683013455 1.211.244,49 827.296,28 5 0.620921323 1.211.244,49 752.087,53
Sumber: data primer diolah
Tabel di atas menunjukkan bahwa perbandingan nilai riel uang di masa lalu
dengan nilai riel di masa sekarang dan masa yang akan datang. Nilai uang sebesar
Rp.1.950,721,36 pada masa lima tahun lalu sama artinya dengan Rp.1.211.244,49 di
masa sekarang. Dan nilai tersebut pada lima tahun kedepan akan sama nilai dengan
Rp.752.087,53. Hal ini diasumsikan terjadi karena dipengaruhi oleh tingkat inflasi.
Dengan demikian, jika dilakukan kompensasi pada tahun tertentu, maka nilai
kompensasinya ditentukan oleh tingkat bunga yang berlaku dan tahun kapan akan
dibayarkan.
Partisipasi Dalam Pengendalian Pencemaran
Keinginan masyarakat untuk mau membayar atau Willingness to pay merupakan
pengukuran jumlah maksimum masyarakat Kecamatan Medang Kampai untuk
membayar sejumlah uang guna memperoleh kualitas lingkungan yang lebih baik akibat
pencemaran oleh perusahaan-perusahaan disekitarnya, atau sejumlah uang yang
dikeluarkan untuk menghindari terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Persyaratan
WTP yang harus dipenuhi menurut Haab dan McConner (2002) dalam Fauzi (2004)
adalah apabila WTP tidak melebihi batas atas yang negatif, batas atas WTP tidak boleh
melebihi pandapatan, dan adanya konsistensi atara keacakan pendugaan dan keacakan
penghitungannya.
49
Dalam bahasan ini menjelaskan tentang keinginan dari masyarakat yang menjadi
responden untuk membayar biaya perbaikan lingkungan akibat dari pencemaran.
Sedangkan berapa jumlah yang ingin dibayar oleh responden akan dibahas selanjutnya
setelah pembahasan ini. Hasil regresi logit menunjukkan sebagai berikut:
Tingkat Pendidikan Responden (A3)
Tingkat pendidikan responden sangat berpengaruh terhadap mau atau tidaknya
responden membayar atas kerusakan lingkungan yang terjadi atas pencemaran
lingkungan. Karena tingkat pendidikan pada umumnya akan mempengaruhi cara berpikir
responden menyangkut logis atau tidaknya keputuasn yang akan diambil. Jika tingkat
pendidikannya tinggi, maka keinginan responden untuk membayar relative tinggi dan
akan memberikan penilaian yang tinggi atas biaya perbaikan kualitas lingkungan
tersebut. Dan sebaliknya, responden yang memiliki pendidikan lebih rendah, umumnya
kurang menyadari dampak dari adanya pencemaran bagi kesehatannya.
a. SLTP Sederajat (A3 (1))
Responden yang berpendidikan SLTP sederajat tidak memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap keinginan untuk membayar biaya perbaikan lingkungan. Pada taraf
alpa 10 persen, nilai signifikansi yang didapat lebih besar dari 0,10 yaitu sebesar 0,938.
Hal ini berarti responden yang berpendidikan SLTP sederajat tidak mempengaruhi
keinginan untuk membayar biaya perbaikan lingkungan. Nilai koefisien yang diperoleh
A3 (1) sebesar 12,754 menunjukkan bahwa nilainya bertanda positif. Hal ini berarti
bahwa responden yang berpendidikan SLTP sederajat mempunyai peluang lebih besar
untuk tidak mau membayar dibanding responden yang hanya berpendidikan SD
sederajat. Dengan nilai beta sebesar 345947.9 berarti bahwa responden yang
berpendidikan SLTP sederajat mempunyai peluang untuk tidak mau membayar sebesar
345947.9 kali responden yang memiliki pendidikan SD sederajat. Hal ini berarti bahwa
semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, peluang untuk mau membayar semakin
kecil.
b. SLTA Sederajat (A3 (2))
Pada variabel pendidikan dengan jenjang SLTA sederajat tidak memberikan
pengaruh yang sifnifikan terhadap keinginan untuk membayar biaya perbaikan
lingkungan pada taraf alpa sebesar 10 persen, karena nilai sifnifikansinya yang didapat
50
lebih besar dari 0.10 yaitu sebesar 0.950. Hal ini berarti bahwa responden yang
berpendidikan SLTA Sederajat tidak mempengaruhi keinginan untuk membayar biaya
perbaikan kualitas lingkungan.
Nilai koefiesien yang diperoleh A3 (2) sebesar 10.398 menunjukkan angka
positif. Hal ini berarti bahwa responden yang memiliki pendidikan SLTA Sederajat
mempunyai peluang lebih besar untuk membayar kerusakan lingkungan dibandingkan
dengan responden yang berpendidikan SD Sederajat. Dengan nilai beta sebesar
32789.039 bararti bahwa responden yang berpendidikan SLTA Sederajat mempunyai
peluang untuk tidak mau membayar sebesar 32789.039 kali responden yang memiliki
pendidikan SD Sederajat.
c. Akademi / Perguruan Tinggi (A3 (3))
Sedangkan pada variabel pendidikan dengan jenjang Akademi/Perguruan Tinggi
tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap keinginan untuk membayar biaya
perbaikan kualitas lingkungan pada taraf α = 10 persen, karena nilai signifikansi yang
didapat lebih besar dari 0.10 yaitu sebesar 0.957. Hal ini berarti bahwa responden yang
berpendidikan Akademi/Perguruan Tinggi tidak mempengaruhi keinginan untuk
membayar biaya perbaikan kualitas lingkungan.
Nilai koefisien/slope yang diperoleh A3 (3) sebesar 8.949. Terlihat bahwa
nilainya bertanda positif. Hal ini berarti bahwa responden yang memiliki pendidikan
Akademi/Perguruan Tinggi mempunyai peluang lebih besar untuk tidak mau membayar
dibanding responden yang berpendidikan SD sederajat. Dengan nilai Exp (β) sebesar
7703.575 berarti responden yang berpendidikan Akademi/Perguruan Tinggi mempunyai
peluang untuk tidak mau membayar sebesar 7703.575 kali responden yang memiliki
pendidikan SD sederajat (Gambar 14).
51
Peluang Masyarakat Untuk Mem bayar
-
100,000.00
200,000.00
300,000.00
400,000.00
sltp slta PT
Gambar 14. Peluang Masyarakat Untuk Mau Membayar Perbaikan Lingkungan Akibat
Pencemaran
Dari Gambar di atas menunjukkan bahwa makin rendah tingkat pendidikan
masyarakat, maka peluang masyarakat untuk mau membayar sejumlah uang untuk
memperbaiki kualitas lingkungan akibat adanya pencemaran semakin tinggi. Pada
tingkat pendidikan yang lebih tinggi, masyarakat semakin sadar bahwa untuk
memperbaiki kualitas lingkungan bukan kewajiban masyarakat, melainkan kewajiban
dari pihak yang melakukan pencemaran.
6.1.2 Tingkat Pendapatan
Tingkat pendapatan juga berpengaruh terhadap keinginan responden untuk
membayar biaya kerusakan lingkungan. Hal ini berkaitan dengan kemampuan responden
dalam memenuhi kebutuhan rumah sebagai prioritas utama yang harus dipenuhi.
1. Pendapatan Antara Rp 750.000; s/d Rp 1.000.000; (C1(1))
Pada variabel pendapatan yang berkisar antara Rp 750.000; s/d Rp 1.000.000; ini
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap keinginan untuk membayar biaya
perbaikan kualitas lingkungan pada taraf alpa sama dengan 10 persen, karena nilai
signifikansi yang didapat lebih kecil dari 0.10 yaitu sebesar 0.092. Hal ini berarti bahwa
responden yang memiliki pendapatan antara Rp 750.000; s/d Rp 1.000.000;
mempengaruhi keinginan untuk membayar biaya perbaikan kualitas lingkungan.
Sedangkan nilai slope/koefisien yang diperoleh bertanda negatif yaitu -4.571. Hal
ini dapat diinterpretasikan bahwa responden yang memiliki pendapatan antara Rp
750.000; s/d Rp 1.000.000; berpeluang lebih kecil untuk tidak mau membayar dibanding
responden yang memiliki pendapatan kurang dari Rp 750.000;. Nilai Exp (β) yang
52
diperoleh sebesar 0.010, yang berarti bahwa responden yang memiliki pendapatan antara
Rp 750.000; s/d Rp 1.000.000 mempunyai peluang untuk tidak mau membayar sebesar
0.010 kali responden yang memiliki pendapatan kurang dari Rp 750.000;.
6.2.3. Jumlah Tanggungan Keluarga (C2)
a) Sama dengan 5 orang (C2(1))
Pada variabel jumlah tanggungan keluarga sebanyak 5 orang tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap keinginan untuk membayar biaya perbaikan kualitas
lingkungan pada taraf α = 10%, karena nilai signifikansi yang didapat lebih besar dari
0.10 yaitu sebesar 0.797. Hal ini berarti bahwa responden yang menanggung 5 orang
dalam keluarganya tidak mempengaruhi keinginan untuk membayar biaya perbaikan
kualitas lingkungan.
Nilai koefisien/slope yang diperoleh C2 (1) sebesar 11.868. Terlihat bahwa
nilainya bertanda positif. Hal ini berarti bahwa responden yang memiliki tanggungan
keluarga sebanyak 5 orang mempunyai peluang lebih besar untuk tidak mau membayar
dibanding responden yang memiliki tanggungan keluarga >5 orang. Dengan nilai Exp (β)
sebesar 142669.9 berarti responden yang memiliki tanggungan keluarga sebanyak 5
orang mempunyai peluang untuk tidak mau membayar sebesar 142669.9 kali responden
yang memiliki tanggungan keluarga lebih dari lima orang.
b) Kurang dari 5 orang (C2(2))
Pada variabel jumlah tanggungan keluarga sebanyak kurang dari 5 orang tidak
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap keinginan untuk membayar biaya
perbaikan kualitas lingkungan pada taraf alpa sama dengan 10 persen, karena nilai
signifikansi yang didapat lebih besar dari 0.10 yaitu sebesar 0.134. Hal ini berarti bahwa
responden yang menanggung kurang dari 5 orang dalam keluarganya tidak
mempengaruhi keinginan untuk membayar biaya perbaikan kualitas lingkungan.
Nilai koefisien/slope yang diperoleh C2 (2) sebesar 1.761. Terlihat bahwa
nilainya bertanda positif. Hal ini berarti bahwa responden yang memiliki tanggungan
keluarga sebanyak kurang dari 5 orang mempunyai peluang lebih besar untuk tidak mau
membayar dibanding responden yang memiliki tanggungan keluarga lebih besar dari 5
orang. Dengan nilai Exp (β) sebesar 5.821 berarti responden yang memiliki tanggungan
keluarga sebanyak kurang dari 5 orang mempunyai peluang untuk tidak mau membayar
53
sebesar 5.821 kali responden yang memiliki tanggungan keluarga lebih besar dari 5
orang.
6.2.3. Tingkat Umur (A2)
a) Umur 21 – 30 tahun (A2 (1))
Variabel tingkat umur yang berkisar 21 - 30 tahun tidak memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap keinginan untuk membayar biaya perbaikan kualitas lingkungan
pada taraf alpa sama dengan 10 persen, karena nilai signifikansi yang didapat lebih besar
dari 0.10 yaitu sebesar 0.970. Hal ini berarti bahwa usia yang berkisar 21 – 30 tahun
yang dimiliki oleh responden tidak mempengaruhi keinginan untuk membayar biaya
perbaikan kualitas lingkungan.
Nilai koefisien/slope yang diperoleh A2 (1) sebesar -6.146. Terlihat bahwa
nilainya bertanda negatif. Hal ini berarti bahwa responden yang berumur 21 – 30 tahun
mempunyai peluang lebih kecil untuk tidak mau membayar dibanding responden yang
memiliki umur 15 – 20 tahun. Dengan nilai Exp (β) sebesar 0.002 berarti responden yang
berumur 21 – 30 tahun mempunyai peluang untuk tidak mau membayar sebesar 0.002
kali responden yang berumur 15 – 20 tahun.
b) Umur 31 - 40 tahun (A2 (2))
Pada variabel tingkat umur yang berkisar 31 - 40 tahun tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap keinginan untuk membayar biaya perbaikan kualitas
lingkungan pada taraf alpa sama dengan 10 persen, karena nilai signifikansi yang didapat
lebih besar dari 0.10 yaitu sebesar 0.963. Hal ini berarti bahwa usia yang berkisar 31 - 40
tahun yang dimiliki oleh responden tidak mempengaruhi keinginan untuk membayar
biaya perbaikan kualitas lingkungan.
Nilai koefisien/slope yang diperoleh A2 (2) sebesar -7.652. Terlihat bahwa
nilainya bertanda negatif. Hal ini berarti bahwa responden yang berumur 31 - 40 tahun
mempunyai peluang lebih kecil untuk tidak mau membayar dibanding responden yang
memiliki umur 15 – 20 tahun. Dengan nilai Exp (β) sebesar 0.000 berarti responden yang
berumur 31 - 40 tahun mempunyai peluang yang sama untuk tidak mau membayar yaitu
0.000 kali responden yang berumur 15 – 20 tahun.
54
c) Umur 41 - 50 tahun (A2 (3))
Pada variabel tingkat umur yang berkisar 41 - 50 tahun tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap keinginan untuk membayar biaya perbaikan kualitas
lingkungan pada taraf alpa sama dengan 10 persen, karena nilai signifikansi yang didapat
lebih besar dari 0.10 yaitu sebesar 0.950. Hal ini berarti bahwa usia yang berkisar 41 - 50
tahun yang dimiliki oleh responden tidak mempengaruhi keinginan untuk membayar
biaya perbaikan kualitas lingkungan.
Nilai koefisien/slope yang diperoleh A2 (3) sebesar -10.402. Terlihat bahwa
nilainya bertanda negatif. Hal ini berarti bahwa responden yang berumur 41 - 50 tahun
mempunyai peluang lebih kecil untuk tidak mau membayar dibanding responden yang
memiliki umur 15 – 20 tahun. Dengan nilai Exp (β) sebesar 0.000 berarti responden yang
berumur 41 - 50 tahun mempunyai peluang yang sama untuk tidak mau membayar yaitu
0.000 kali responden yang berumur 15 – 20 tahun.
d) Umur diatas 50 tahun (A2 (4))
Sedangkan pada variabel tingkat umur yang diatas 50 tahun, juga tidak
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap keinginan untuk membayar biaya
perbaikan kualitas lingkungan pada taraf alpa sama dengan 10 persen, karena nilai
signifikansi yang didapat lebih besar dari 0.10 yaitu sebesar 0.944. Hal ini berarti bahwa
usia yang lebih dari 50 tahun yang dimiliki oleh responden tidak mempengaruhi
keinginan untuk membayar biaya perbaikan kualitas lingkungan.
Nilai koefisien/slope yang diperoleh A2 (4) sebesar -11.467. Terlihat bahwa
nilainya juga bertanda negatif. Hal ini berarti bahwa responden yang berumur lebih dari
50 tahun mempunyai peluang lebih kecil untuk tidak mau membayar dibanding
responden yang memiliki umur 15 – 20 tahun. Dengan nilai Exp (β) sebesar 0.000 berarti
responden yang berumur lebih dari 50 tahun mempunyai peluang yang sama untuk tidak
mau membayar yaitu 0.000 kali responden yang berumur 15 – 20 tahun.
Besarnya Nilai WTP oleh Masyarakat
Range terendah besarnya WTP yang ditawarkan kepada responden adalah antara
Rp.0,- hingga Rp.2.500,-, sedangkan range tertinggi yaitu sebesar Rp.10.000,-, sehingga
stelah dilakukan regresi logit diperoleh koefisien sebagai berikut:
55
6.3.1. Jenis Kelamin (Laki-laki / A1(1))
Pada tabel 3 di atas, variabel jenis kelamin (laki-laki) tidak memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap besarnya nilai WTP responden pada taraf α = 10%, karena nilai
signifikansi yang didapat lebih besar dari 0.10 yaitu sebesar 0.714. Hal ini berarti bahwa
responden yang berjenis kelamin laki-laki tidak mempengaruhi besarnya nilai WTP.
Nilai koefisien/slope yang diperoleh A1(1) sebesar -0.309. Terlihat bahwa nilainya
bertanda negatif. Hal ini berarti bahwa responden yang berjenis kelamin laki-laki
mempunyai peluang lebih kecil dengan nilai WTP Rp 0; - Rp 2.500; dibanding
responden yang berjenis kelamin perempuan. Dengan nilai Exp (β) sebesar 0.734 berarti
responden laki-laki mempunyai peluang untuk memiliki nilai WTP Rp 0; - Rp 2.500;
sebesar 0.734 kali responden perempuan.
6.3.2. Jenis Pekerjaan (A4)
a. Nelayan (A4 (1))
Pada responden yang bermatapencaharian sebagai nelayan tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap besarnya nilai WTP responden pada taraf alpa sama
dengan 10 persen, karena nilai signifikansi yang didapat lebih besar dari 0.10 yaitu
sebesar 0.270. Hal ini berarti bahwa responden yang menjadi nelayan tidak
mempengaruhi besarnya nilai WTP.
Nilai koefisien/slope yang diperoleh A4 (1) sebesar 1.643. Terlihat bahwa
nilainya bertanda positif. Hal ini berarti bahwa responden yang bekerja sebagai nelayan
mempunyai peluang lebih besar dengan nilai WTP Rp 0; - Rp 2.500; dibanding
responden yang bekerja sebagai petani. Dengan nilai Exp (β) sebesar 5.168 berarti
responden yang bekerja sebagai nelayan mempunyai peluang untuk memiliki nilai WTP
Rp 0; - Rp 2.500; sebesar 5.168 kali responden yang bekerja sebagai petani.
b. Pedagang (A4 (2))
Pada responden yang bekerja sebagai pedagang tidak memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap besarnya nilai WTP responden pada taraf alpa sama dengan 10
persen karena nilai signifikansi yang didapat lebih besar dari 0.10 yaitu sebesar 0.773.
Hal ini berarti bahwa responden yang menjadi pedagang tidak mempengaruhi besarnya
nilai WTP.
Nilai koefisien/slope yang diperoleh A4 (2) sebesar 0.392. Terlihat bahwa
nilainya bertanda positif. Hal ini berarti bahwa responden yang bekerja sebagai pedagang
56
mempunyai peluang lebih besar dengan nilai WTP Rp 0; - Rp 2.500; dibanding
responden yang bekerja sebagai petani. Dengan nilai Exp (β) sebesar 1.479 berarti
responden yang bekerja sebagai pedagang mempunyai peluang untuk memiliki nilai
WTP Rp 0; - Rp 2.500; sebesar 1.479 kali responden yang bekerja sebagai petani.
c. PNS/Pensiunan (A4 (3))
Pada responden yang bekerja sebagai PNS / pensiunan tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap besarnya nilai WTP responden pada taraf alpa sama
dengan 10 persen karena nilai signifikansi yang didapat lebih besar dari 0.10 yaitu
sebesar 0.874. Hal ini berarti bahwa responden yang menjadi PNS/pensiunan tidak
mempengaruhi besarnya nilai WTP.
Nilai koefisien/slope yang diperoleh A4 (3) sebesar -9.081. Terlihat bahwa
nilainya bertanda negatif. Hal ini berarti bahwa responden yang bekerja sebagai
PNS/pensiunan mempunyai peluang lebih kecil dengan nilai WTP Rp 0; - Rp 2.500;
dibanding responden yang bekerja sebagai petani. Dengan nilai Exp (β) sebesar 0.000
berarti responden yang bekerja sebagai PNS/pensiunan mempunyai peluang yang sama
untuk memiliki nilai WTP Rp 0; - Rp 2.500; sebesar 0 kali responden yang bekerja
sebagai petani.
d. Buruh (A4 (4))
Pada responden yang bekerja sebagai Buruh tidak memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap besarnya nilai WTP responden pada taraf alpa sama dengan 10
persen, karena nilai signifikansi yang didapat lebih besar dari 0.10 yaitu sebesar 0.926.
Hal ini berarti bahwa responden yang menjadi Buruh tidak mempengaruhi besarnya nilai
WTP.
Nilai koefisien/slope yang diperoleh A4 (4) sebesar -9.280. Terlihat bahwa
nilainya bertanda negatif. Hal ini berarti bahwa responden yang bekerja sebagai Buruh
mempunyai peluang lebih kecil dengan nilai WTP Rp 0; - Rp 2.500; dibanding
responden yang bekerja sebagai petani. Dengan nilai Exp (β) sebesar 0.000 berarti
responden yang bekerja sebagai Buruh mempunyai peluang yang sama untuk memiliki
nilai WTP Rp 0; - Rp 2.500; sebesar 0 kali responden yang bekerja sebagai petani.
e. BUMN / BUMD / Swasta (A4 (5))
Pada responden yang bekerja sebagai BUMN / BUMD / Swasta tidak
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap besarnya nilai WTP responden pada alpa
57
sama dengan 10 persen, karena nilai signifikansi yang didapat lebih besar dari 0.10 yaitu
sebesar 0.887. Hal ini berarti bahwa responden yang menjadi BUMN / BUMD / Swasta
tidak mempengaruhi besarnya nilai WTP.
Nilai koefisien/slope yang diperoleh A4 (5) sebesar 0.160. Terlihat bahwa
nilainya bertanda positif. Hal ini berarti bahwa responden yang bekerja sebagai BUMN /
BUMD / Swasta mempunyai peluang lebih besar dengan nilai WTP Rp 0; - Rp 2.500;
dibanding responden yang bekerja sebagai petani. Dengan nilai Exp (β) sebesar 1.174
berarti responden yang bekerja sebagai BUMN / BUMD / Swasta mempunyai peluang
untuk memiliki nilai WTP Rp 0; - Rp 2.500; sebesar 1.174 kali responden yang bekerja
sebagai petani.
f. Pengrajin (A4 (6))
Pada responden yang bekerja sebagai pengrajin tidak memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap besarnya nilai WTP responden pada taraf alpa sama dengan 10
persen, karena nilai signifikansi yang didapat lebih besar dari 0.10 yaitu sebesar 0.926.
Hal ini berarti bahwa responden yang menjadi pengrajin tidak mempengaruhi besarnya
nilai WTP.
Nilai koefisien/slope yang diperoleh A4 (4) sebesar -9.280. Terlihat bahwa
nilainya bertanda negatif. Hal ini berarti bahwa responden yang bekerja sebagai
pengrajin mempunyai peluang lebih kecil dengan nilai WTP Rp 0; - Rp 2.500; dibanding
responden yang bekerja sebagai petani. Dengan nilai Exp (β) sebesar 0.000 berarti
responden yang bekerja sebagai pengrajin mempunyai peluang yang sama untuk
memiliki nilai WTP Rp 0; - Rp 2.500; sebesar 0 kali responden yang bekerja sebagai
petani.
g. Lain-lain (A4 (7))
Pada responden yang bekerja diluar jenis pekerjan yang diklasifikasikan (diluar
nelayan, pedagang, PNS/pensiunan, Buruh, BUMN / BUMD / swasta) tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap besarnya nilai WTP responden pada alpa sama
dengan 10 persen, karena nilai signifikansi yang didapat lebih besar dari 0.10 yaitu
sebesar 0.893. Hal ini berarti bahwa responden yang bekerja diluar nelayan, pedagang,
PNS/pensiunan, Buruh, BUMN / BUMD / swasta tidak mempengaruhi besarnya nilai
WTP.
58
Nilai koefisien/slope yang diperoleh A4 (7) sebesar 9.435. Terlihat bahwa
nilainya bertanda positif. Hal ini berarti bahwa responden yang bekerja diluar nelayan,
pedagang, PNS/pensiunan, Buruh, BUMN / BUMD / swasta mempunyai peluang lebih
besar dengan nilai WTP Rp 0; - Rp 2.500; dibanding responden yang bekerja sebagai
petani. Dengan nilai Exp (β) sebesar 12514.709 berarti responden yang bekerja diluar
nelayan, pedagang, PNS/pensiunan, Buruh, BUMN / BUMD / swasta mempunyai
peluang untuk memiliki nilai WTP Rp 0; - Rp 2.500; sebesar 12514.709 kali responden
yang bekerja sebagai petani.
Total WTP Masyarakat Untuk Pencemaran
Metode valuasi kontingan adalah metode yang digunakan untuk mengestimasi
nilai yang diberikan oleh individu terhadap sesuatu barang/jasa. Penilaian dengan
menggunakan teknik CVM dilakukan untuk fungsi barang/jasa yang tidak ada dalam
struktur pasar (non-marketed goods and services) Barton (1994) menyebutkan bahwa
CV digunakan pada kondisi dimana masyarakat tidak mempunyai preferensi terhadap
suatu fungsi barang karena tidak ada dalam sistem pasar.
CV menduga nilai ameniti melalui artificial/hyphotetical market dengan metode
survey terhadap unit populasi tertentu untuk mengetahui willingness to pay (WTP) atau
willingness to accept (WTA). Dengan demikian “survey” menjadi metode riset utama
dalam valuasi ekonomi dengan menggunakan teknik CV. Metode survey adalah
pengamatan dan penyelidikan yang kritis untuk mendapatkan keterangan yang baik
terhadap suatu persoalan tertentu di daerah atau lokasi tertentu
Dari hasil pengumpulan data responden diperoleh regresi WTP dari fungsi
permintaan sebagai berikut Ln WTP=β0+ β1X1+β2X2+β3X3 sehingga diperoleh koefisien
WTP sebesar 8,34, setelah dikembalikan ke dalam bentuk aslinya maka diketahui WTP
individu sebesar Rp. 4.192,29 per tahun. WTP individu dapat diestimasi dengan
memasukkan nilai-rata-rata variabel model di atas sebesar Rp. 4.192,29. Dengan total
populasi jumlah penderita penyakit dan yang potensial menderita akibat pencemaran
sebesar 7.000 orang, maka total WTP diketahui sebesar Rp. 29.346.049,57 per tahun
(Tabel 11).
59
Tabel l1. Total WTP Masyarakat untuk Perbaikan Lingkungan
Ln WTP = 8,34WTP = 4.192,29Populasi = 7.000WTP total = WTP x PopulasiTotal WTP = 29.346.049,57
Rata-rata pendapatan
Rata-rata jumlah tanggungan
Rata-rata umur
13,94 0,95 3,62
Dari hasil valuasi menggunakan metode contingant valuation method diketahui
keinginan masyarakat untuk membayar (willingness to pay;WTP) individu untuk
memperbaiki kualitas lingkungan sebesar Rp. 4.192,29 per tahun. Nilai ini menunjukkan
kesediaan masyarakat untuk menjaga lingkungan agar tetap bersih dan tidak
mengganggu kesehatan masyarakat akibat pencemaran.
Nilai tersebut diperoleh melalui hasil pengalian antara jumlah masyarakat yang
terkena penyakit akibat pencemaran dengan rata-rata keinginan masyarakat setelah
dilakukan regresi sederhana. Jumlah masyarakat yang terkena penyakit akibat
pencemaran sebanyak 7.000 orang. Jumlah masyarakat tersebut kemudian dikalikan
dengan WTP induvidu sebesar Rp.4.192,29 (setelah dikembalikan kebentuk aslinya dari
bentuk logaritma). Sehingga diperoleh nilai WTP total sebesar Rp.29.346.049,57 per
tahun. Range nilai WTP yang ditawarkan kepada masyarakat untuk dipilih telah
ditentukan sebelumnya di dalam kuesioner. Range terendah yaitu antara Rp.0 sampai
dengan Rp.2.500, sedangkan range tertinggi yaitu senilai Rp.2.500 sampai dengan
Rp.5000.
Berdasarkan analisis regresi anatara pendapatan, pekerjaan dan umur asyarakat
menunjukkan bahwa makin tinggi tingkat pendapatan masyarakat akan berpengaruh
positif terhadap keinginan masyarakat untuk membayar perbaikan lingkungan. Berbeda
halnya dengan tingikat pekerjaan responden dan tingkat umur responden. Makin tinggi
tua umur masyarakat, keinginan masyarakat untuk membayar perbaikan lingkungan
makin kecil (Tabel 11). Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien umur yang bertanda
negatif sebesar -0.0490883. Hal ini berarti bahwa kesadaran masyarakat akan pentingnya
lingkungan yang bebas dari pencemaran untuk kesehatan cukup tinggi. Sedangkan R2
sebesar 0,007 menunjukkan bahwa sebesar 0,07 persen dari keinginan masyarakat
60
dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, dan Umur responden (Tabel 12). Sedangkan
sisanya 93 persen dipengaruhi oleh faktor lain di luar persamaan fungsi permintaan
tersebut. Adapun faktor lain tersebut seperti hobi, jenis penyakit, maupun jenis kelamin
masing-masing responden.
Tabel 12. Koefisien Regresi WTP Masyarakat untuk Perbaikan Kualitas Lingkungan
Coefficients Standard Error t Stat F R2
Intercept 7.5560889 0.929643049 8.127946 Pendapatan 0.0431037 0.061352142 0.702563 Pekerjaan -0.0068966 0.070480052 -0.09785 Umur -0.0490883 0.100453359 -0.48867
0.243435 0.00771
Nilai antara WTP dengan WTA (willingness to accept) seharusnya tidak ada
perbedaan yang signifikan, karena antara WTP dengan WTA merupakan cerminan dari
kesediaan masyarakat untuk tidak memanfaatkan sumberdaya tersebut pada saat
sekarang. Nilai WTP umumnya lebih kecil dari pada WTA karena pada WTP,
masyarakat yang harus membayar. Siapapun jika diminta untuk mengeluarkan uang
untuk kepentingan bersama, cenderung nilai uang yang dia mau keluarkan kecil. Akan
teapi jika mereka ditawarkan untuk diberikan uang, cenderung mereka menginginkan
nilai yang lebih besar.
Strategi Pengendalian Pencemaran
Analsis prospektif bertujuan untuk mengeksplorasi tindakan-tindakan strategis
masa depan dengan cara menetukan faktor-faktor kunci yang berperan penting dalam
pengendalian pencemaran dan pengelolaan lingkungan kedepan. Dengan adanya factor
kunci yang merupakan yang diperoleh secara partisipatif dari stakeholder kawasan
pesisir maka akan memeprmudah dalam pembuatan kebijakan kedepan. Tiga tahapan
yang di lakukan dalam analisis prospektif, yaitu: 1) mengidentifikasi faktor kunci
berdasarkan persepsi masyarakat; 2) memberi penilaian (scoring) terhadap faktor
berdasarkan tingkat pengaruh factor terhadap factor lain dan 3) memetakan dan
mendiskripsikan faktor yang akan menjadi prioritas untuk pembuatan kebijakan dan
strategi pengendalian pencemaran dan pengelolaan lingkungan kedepan.
61
Berdasarkan analisis kebutuhan diperoleh 36 atribut yang perlu diperhatikan
dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang untuk pengembangan wisata selam (Tabel
13).
Tabel 13. Faktor Penting untuk Pengedalian Pencemaran dan Pengelolaan Lingkungan
Kedepan. No Atribut Keterangan
1 Pengawasan lingkungan Riset dan pengawasan kualitas lingkungan di sekitar kawasan yang sudah terkenan dan rentan terkena pencemaran
2 Transparansi Menegemen
Tranparansi proses produksi dan mekanisme pengolahan limbah
3 Rehabilitasi kerusakan lingkungan
Rehabilitasi lingkungan yang mengalami pencemaran serta mengurangi perluasan dampak
4 Penyebab Polusi Minimalisasi penyebab polusi air, udara, tanah dan suara
5 Tata ruang Mengevaluasi dan merevitalisasi tata ruang yang selama ini ada dan diimplementasikan
6 Jam produksi Membatasi jam produksi perhari sehingga tidak mengganggu jam-jam istirahat masyarakat
7 Peran masyarakat Pelibatan dan peran masyarakat dalam proses produksi maupun pemberdayaan lingkungan
8 Koordinasi stakeholder Koordinasi dengan berbagai stakeholder terkait: masyarakat, LSM, pemerintah maupun akademisi
9 Jaminan sosial, kesehatan dan pendidikan
Alokasi dana untuk kegiatan sosial, kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat
10 Aturan dan sanksi Aturan dan sanksi dalam pengelolaan limbah untuk meminimalisir pencemaran lingkungan
11 Teknologi ramah lingkungan
Penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dalam rangka meminimalisir pencemaran
12 Jalur hijau Jalur hijau atau kawasan hijau untuk mengurangi pencemaran atau polusi.
Hasil pemetaan pengaruh dan ketergantungan faktor-faktor kebutuhan untuk
pengelolaan lingkungan pesisir kedepan terkait dengan pencemaran limbah industri,
maka dapat diketahui faktor yang menjadi penentu pengelolaan ke depan, faktor
penghubung dan faktor terikat (gambar 15). Adapun yang menjadi faktor penentu adalah
(1) peran masyarakat dan (2) aturan dan sanksi. Yang termasuk dalam faktor
penghubung adalah (1) pengawasan lingkungan dan (2) tansparansi pengelolaan limbah.
Faktor yang termasuk dalam kategori faktor terikat adalah (1) rehabilitasi lingkungan, (2)
jaminan pendidikan, sosial dan kesehatan dan (3) revitalisasi tata ruang. Sedangkan yang
62
termasuk dalam kategori faktor bebas, yaitu (1) pembatasan jam produksi, (2)
penggunaan teknologi ramah lingkungan dan (3) perluasan jalur hijau.
Gambar 15. Peta penyebaran factor berdasarkan tingkat pengaruh dan ketergantungan
terhadap factor lain dalam pengelolaan
Dalam pengelolaan lingkungan pesisir kedepan terkait dengan dampak
pencemaran industri diperlukan strategi yang memprioritaskan faktor-faktor kebutuhan
yang memiliki pengaruh yang cukup tinggi sehingga nantinya menjadi motor pengerak
faktor lain yang akan mengefisien sumberdaya serta efektif dalam pencapaian sasaran.
Dalam hal ini adalah faktor-faktor yang termasuk dalam kategori faktor penentu, yaitu
(1) keterlibatandan peran masyarakat dan (2) aturan dan sanksi.
Aturan dan sanksi industri dalam pengelolaan limbah tercantum jelas pada
AMDAL dan perundang-undangan, akan tetapi dalam implementasinya yang seringkali
kurang jelas dan kurang tegas. Sehingga masih terdapat dan terjadi pembuangan limbah
yang belum diolah secara maksimal sebelum dibuang kelingkungan. Hal tersebut
dibuktikan dengan tingginya kandungan Total Suspendied Solied (TSS), Tembaga(Cu),
Magnesium(Mg) dan Cadmium(Cd) serta Zing (Zn) yang sudah melebihi baku mutu
lingkungan Kep-Men LH 51/2004 (tabel 13).
63
Tabel 14. Kandungan Bahan Pencemar di Perairan Selat Rupat tahun 2005
Tingginya kandungan bahan tersebut akan menyebabkan gangguan pada
ekosistem pesisir dan kesehatan masyarakat yang ada disekitarnya. Dengan kata lain
bahwa lingkungan dan masyarakat pesisir menjadi obyek penderita dari aktivitas industri
baik yang ada dihulu dan di kawasan pesisir (selat Rupat) sendiri yang membuang
limbah. Oleh karen itu diperlukan kejelasan dan ketegasan dalam pelaksanaan aturan dan
sanksi yang berlaku. Dengan kejelasan dan ketegasan implementasi aturan-sanksi yang
berlaku maka secara otomatis pencemaran yang menyebabkan kerusakan, kerugian dan
mengancam keselamatan dapat diminimalisir.
Penegakan aturan sanksi dalam pengelolaan lingkungan industri tidak akan
berjalan secara maksimal jika masyarakat terutama yang ada dan tergantung pada
sumberdaya pesisir tidak dilibatkan. Keterlibatan dan peran masyarakat yang selama ini
hanya sebatas karyawan ( ± 44 %) dan sebagaian besar masyarakat pesisir sebagai obyek
penderita terkena dampak. Dengan keterlibatan masyarakat dalam proses industri
terutama pengelolaan dan pengawasan lingkungan mengefesiensikan alokasi dana untuk
pengawasan lingkungan dan serta akan mengefektifkan sasaran penaggulangan dan
rehabilitasi lingkungan serta alokasi dana jaminan sosial, pendidikan dan kesehatan.
Pencemaran limbah industri membuat produktivitas lingkungan dan
kesejahteraan masyarakat pesisir (tingkat kesehatan dan pendapatan) terus mengalami
penurunan dari tahun-ketahun. Penurunan produktivitas lingkungan pesisir akan
berdampak pada menurunanya kemelimpahan sumberdaya pesisir terutama perikanan,
yang menjadi sumber kehidupan masyarakat pesisir. Sehingga diperlukan suatu upaya
rehabilitasi kerusakan lingkungan dan meencegah penyebaran pencemaran.
Pencemaran juga akan menyebabkan penurunan tingkat kesejahateraan penduduk
terutama dilihat dari kondisi kesehatan, biaya kesehatan, meningkatnya pengeluaran
Parameter Konsentarasi Baku Mutu
TSS 141.25 mg/l < 80 mg/l
Mg (mg/l) 0.0024 mg/l < 0.002 mg/l
Cd (mg/l) 0.0046 ml/l < 0.001 mg/l
Cu (mg/l) 0.0423 mg/l < 0.01 mg/l
Zn (mg/l) 0.0401 mg/l <0.01 mg/l
64
masyarakat dan semakin menurunya pendapatan. Dengan demikian diperlukan alokasi
dana kesehatan, pendidikan dan sosial bagi masyarakat yang terkena dan rentan terkena
pencemaran, sebagai kompensasi terhadap dampak yang telah ditimbulkan oleh aktivitas
yang menyebabkan pencemaran.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Kondisi lingkungan pesisir Medang Kampai sudah mengalami pencemaran
dan rata-rata kualitasnya di atas baku mutu lingkungan. Sehingga pencemaran
lingkungan di pesisir Medang Kampai telah menyebabkan penurunan tingkat
kesejahteraan masyarakat, dilihat dari tingkat kesehatan dan pendapatan.
Pencemaran lingkungan telah menimbulkan berbagai macam penyakit
terutama diare dan penyakit kulit, peningkatan biaya pengeluaran masyarakat
terutama untuk kesehatan, menurunnya tingkat pendapatan masyarakat.
2. Secara umum keinginan masyarakat untuk berpartisipasi dalam perbaikan
lingkungan dalam bentuk ikut menanggung biaya untuk perbaikan lingkungan
adalah sangat kecil. Hal ini disebabkan karena pencemaran lingkungan tidak
disebabkan oleh masyarakat secara langsung. Tingkat keinginan
berparrtisipasi masyarakat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan jenis
propesi. Semakin tinggi pendidikan maka semakin kecil keinginan untuk ikut
berpartisipasi. Profesi nelayan merupakan profesi yang paling besar keinginan
untuk berpartisipasi menanggung biaya perbaikan lingkungan di banding
profesi lainnya.
3. Besarnya nilai partisipasi (WTP) individu masyarakat sebesar Rp. 4.192,29
per tahun, sehingga total WTP masyarakat sebesar Rp. 29.346.049,57 per
tahun.
4. Faktor yang perlu menjadi prioritas dalam pengelolaan dan pengendalian
lingkungan ke depan berdasarkan persepsi masyarakat adalah: Faktor peran
dan keterlibatan masyarakat, Penegakan aturan dan sanksi, Peningkatan
Pengawasan lingkungan, Transparansi pengelolaan manajemen lingkungan,
Rehabilitasi lingkungan, Peningkatan jaminan pendidikan, sosial dan
kesehatan, terutama untuk masyarakat pesisir yang terkena maupun yang
potensial terkena dampak pencemaran.
66
Saran
Akibat dari pencemaran lingkungan yang ditimbulkan dari aktivitas
perusahaan-perusahaan yang ada di sekitar Pesisir Kecamatan Medang Kampai,
telah menyebabkan kenyamanan hidup dan tingkat kepuasan masyarakat dalam
konsumsi berkurang. Dengan demikian diperlukan kebijakan yang tegas dari
pemerintah terhadap pihak yang menyebabkan pencemaran. Sehingga
kesejahteraan masyarakat yang terkena dampak tidak terganggu, dan pemerintah
harus memfasilitasi masyarakat untuk menuntut kompensasi kepada pihak-pihak
yang menyebabkan pencemaran.
Selain itu, diperlukan pengkajian yang lebih jauh mengenai kontribusi
pencemaran lingkungan dari masing-masing perusahaan yang berada di Kota
Dumai, khususnya di Kecamatan Medang Kampai. Supaya biaya ekskternal yang
harus ditanggung oleh masing-masing perusahaan bisa lebih jelas.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008. Pelaksanaan RKL dan RPL Tahun 2007. PT Pertamina Unit Pengolahan II. PT Pertamina Dumai Riau Indonesia
Abelson, P., (1980). Cost Benefit Analysis and Environmental Problems. Itchen Printers Limited, Southampton, England
Adrianto,L., 2006. Pengenalan Konsep dan Metodologi Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut. PKSPL IPB Bogor 2006
Alexander A. M., John A. L, Michael M, Ralph C. d’Arge. 1998. METHOD; A method for valuing global ecosystem services. Ecological Economics 27 (1998) 161–170
Anonims. 2004. Impacts of pollution on coastal and marine ecosystems including coastal and marine fisheries and approach for management: a review and synthesis. Marine Pollution Bulletin 48 (2004) 624–649
Antti Pasila. 2004. A biological oil adsorption filter. Marine Pollution Bulletin. xxx (2004) xxx–xxx
Ardianto,L. (2006). Pengenalan Konsep dan Metodologi Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor.
Barbier, R., E. B. M.Acreman, and D. Nowler. (1997). Economic Valuation of Wetland: A Guide for Makers and Planners. RAMSAR Convention Berau, Gland. Swizeland.
Barry C. Field, and Martha K. Field. (2002). Environmental Economics, An Introduction. McGraw-Hill Companies, Inc
Blackmore. G. 1998. An overview of trace metal pollution in the coastal waters of Hong Kong. The Science of the Total Environment 214_1998.21]48
Bourgeois, R., Franck.J. 2002. Participatory Prospective Analysis; Exploring and Anticipating Challenges with Stakeholders. CAPSA Monograph No. 46.
Borton, D. N. (1994). Economic Factors and Valuation of Trpical Coastal Resources. Universteit I Bergen. Senter for miljo-Og Ressrsstudier. Norway.
Bryan, G.W. 1976. Heavy Metal Contamination in The Sea. In Johnston, R. (Ed.) Marine Pollution, Academic Press Inc., London.
Cantlon.J.E. 1999. Herman E. Koenig. 1999. ANALYSIS; Sustainable ecological economies. Ecological Economics 31 (1999) 107–121
Costanza. R. 1999. ANALYSIS; The ecological, economic, and social importance of the oceans. Ecological Economics 31 (1999) 199–213
Cheevaporn V., Piamsak M. 2003. Water pollution and habitat degradation in the Gulf of Thailand. Marine Pollution Bulletin 47 (2003) 43–51.
68
Cheung. S.G., K.K. Tai,C.K. Leung,Y.M. Siu. 2002. Effects of heavy metals on the survival and feeding behaviour of the sandy shore scavenging gastropod Nassarius festivus (Powys). Marine Pollution Bulletin 45 (2002) 107–113
Cho, K.J., Kiyonori Hiraoka c, Tetsuo Mukai a, Wataru Nishijima a, Kazuto Takimoto a, Mitsumasa Okada. 2004. Effects of oil spill on seawater infiltration and macrobenthic community in tidal flats In-Young Chung. Marine Pollution Bulletin xxx (2004) xxx–xxx
Cincin-Sain,B. and Robert W. Knechh. 1998. Integrated Coastal and Management, Consepts and Practise. Island Press. Washington DC and Covelo California.
Clark, J.R. 1998. Coastal Seas The Conservation Challenge. USA
Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Dana L. Wetzel 1, Edward S. Van Vleet. 2004. Accumulation and distribution of petroleum hydrocarbons found in mussels (Mytilus galloprovincialis) in the canals of Venice, Italy. Marine Pollution Bulletin 48 (2004) 927–936
DiGiacomo P.M.,L. Washburn., Benjamin H., Burton H. Jones. 2004. Coastal pollution hazards in southern California observed by SAR imagery: stormwater plumes, wastewater plumes, and natural hydrocarbon seeps. Marine Pollution Bulletin xxx (2004) xxx–xxx
Djijono, (2002). Valuasi Ekonomi Menggunakan Metode Travel Cost Taman Wisata Hutan di Taman Wan Abdul Rachman, Provinsi Lampung. (Makalan Pengantar Falsapah Sains (PPS702)). Institut Pertanian Bogor 2002.
Fauzi, A. (2004). Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Teori dan Aplikasi. PT Gramedia, Jakarta
Fauzi, A. dan Anna,S (2005). Permodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan, untuk Analisis Kebijakan. PT Gramedia, Jakarta
Grande. J.A.., J. Borrego. J.A. Morales., M.L. de la Torre. 2003. A description of how metal pollution occurs in the Tinto–Odielrias (Huelva-Spain) through the application of cluster analysis. Marine Pollution Bulletin 46 (2003) 475–480
Hanley, N and CL Spash. (1993). Cost Benefit Analysis and The Environment. Edward Elgar Publistion Limited. Northampton, MA. USA.
Hufsemidt, MM et.al. (1987). Lingkungan Sistem Alami dan Pembangunan: Pedoman Penilaian Ekonomis. Alih Bahasa: Reksohadiprojo, S. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Kusumastanto, T., Adrianto,L., Wahyudin, Y. (2005). Valuasi Ekonomi Sumberdaya Perikanan. Institut Pertanian Bogor
Nasir, M. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Nicholson Shaun., Piotr Szefer. 2003. Accumulation of metals in the soft tissues, byssus and shell of the mytilid mussel Perna viridis (Bivalvia: Mytilidae) from polluted
69
and uncontaminated locations in Hong Kong coastal waters. Baseline / Marine Pollution Bulletin 46 (2003) 1035–1048
Katayama, Y,. Tetsu Oura, Mihoko Iizuka. Izumi Orita. KyungJin Cho. Mitsumasa Okada. 2003. Effects of spilled oil on microbial communities in a tidal flat In Young Chung. Marine Pollution Bulletin 47 (2003) 85–90
Kr€ogera S., Sergey Piletskyb, Anthony P.F. Turner. Biosensors for marine pollution research, monitoring and control. Marine Pollution Bulletin 45 (2002) 24–34
Mayer-Pinto. M., A.O.R. Junqueira. 2003. Effects of organic pollution on the initial development of fouling communities in a tropical bay, Brazil. Marine Pollution Bulletin 46 (2003) 1495–1503
Pertamina PT (Persero) (2005). Pemantauan Lingkungan Kilang PT Pertamina UP II Dumai tahun 2005. Dumai
Russo R.C.. 2002. Development of marine water quality criteria for the USA.. Marine Pollution Bulletin 45 (2002) 84–91
Ramanathan, R. 1998. Introductory Econometrics: with Applications. The Dryden Press. University of California. San Diego. Fourth Edition.
Ryder K., A. Temara., D.A. Holdway. 2004. Avoidance of crude-oil contaminated sediment by the Australian seastar, Patiriella exigua (Echinodermata: Asteroidea). Marine Pollution Bulletin xxx (2004) xxx–xxx
Salim,E. (2004). Jurnal Ekonomi Lingkungan. Edisi XV Desember 2004
Singarimbun (1987). Metode Penelitian Survai. LP3ES
Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. PT. Gramedia Putaka Utama. Jakarta
Takarina, N.D., David R. B., Michael J.R. 2004. Speciation of heavy metals in coastal sediments of Semarang, Indonesia. Baseline / Marine Pollution Bulletin 49 (2004) 854–874
Ukwe C.N., C.A. Ibe., B.I. Alo K.K. Yumkella. 2003. Achieving a paradigm shift in environmental and living resources management in the Gulf of Guinea: the large marine ecosystem approach. Marine Pollution Bulletin 47 (2003) 219–225
Wittmann, G.T.W. 1979. Toxic Metal. In Forstner, U., and G.T. Wittmann (Eds.) Metal Pollutions in The Aquatic Environment. Spinger-Verlag.
Yap, C.K., A. Ismail, S.G. Tan. 2003. Cd and Zn concentrations in the straits of Malacca and intertidal sediments of the west coast of Peninsular Malaysia. Baseline / Marine Pollution Bulletin 46 (2003) 1341–1358
Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian
71
Lampiran 2: Tabel Definisi Variabel dalam Persamaan Regresi Logit
Nama Variabel
Deskripsi
Variabel Independent (variabel respon) B1 Keinginan untuk membayar biaya perbaikan kualitas lingkungan
0: Tidak Mau Membayar 1: Mau Membayar B2 Besarnya nilai WTP dari responden
0: 0 – Rp 2.500,- 1: Rp. 2.500,- - Rp. 5.000,- dan Rp. 10.000,- Variable Dependen (Variabel penjelas) A1 Jenis Kelamin
0: Perempuan 1: Laki-laki A2 Tingkat Umur
1: 15-22 tahun 2: 23-28 tahun 3: 28-50 tahun A3 Tingkat Pendidikan
1: SD/sederajat 2: SLTP/sederajat 3: SLTA/sederajat dan PT A4 Jenis pekerjaan
1: Karyawan, Buruh, Pegawai 2: Pedagang, Petani, Montir, Wiraswasta 3: Mahasiswa dan Pengangguran/Tidak bekerja
C1 Tingkat Pendapatan 1: < 500.000,- 2: Rp. 500.000,- s/d Rp. 1.000.000,- 3: >Rp.1.000.000,-
C2 Biaya tanggungan keluarga 1: > orang 2: 5 orang 3: < 5 orang
72
Lampiran 3 Hasil Analisa Regresi Logit (1)
REGRESI LOGISTIK
Hasil Analisis Regresi Logit (1) Tabel 1.
Variabel Β (Koefisien) Exp (Β) Signifikansi A2
A2 (1) (2) (3) (4)
A3 A3 (1) (2) (3) C1 (1)
C2 C2 (1) (2)
Konstanta
-6.146 -7.652 -10.402 -11.467
12.754 10.398 8.949 -4.571
11.868 1.761 2.020
0.002 0.000 0.000 0.000
345947.9 32789.039 7703.575
0.010
142669.9 5.821 7.538
0.462 0.970 0.963 0.950 0.944 0.447 0.938 0.950 0.957 0.092 0.318 0.797 0.134 0.993
-2 Loglikelihood untuk Block Number = 0 49.961 -2 Loglikelihood untuk Block Number = 1 26.088 R2(Nagelkerke) 0.642 Keterangan : A2 : Tingkat Umur A2 (1) : 21 – 30 tahun
(2) : 31 – 40 tahun (3) : 41 – 50 tahun (4) : > 50 tahun
A3 : Tingkat Pendidikan A3 (1) : SLTP sederajat
(2) : SLTA sederajat (3) : Akademi / Perguruan Tinggi
C1 : Pendapatan C1(1) : Rp. 750.000; s/d Rp. 1.000.000; C2 : Jumlah Tanggungan Keluarga C2(1) : 5 orang (2) : < 5 0rang
73
Lanjutan Lampiran 3
Variabel Β (Koefisien) Exp (Β) Signifikansi
A2
A2 (1)
(2)
(3)
(4)
A3
A3 (1)
(2)
(3)
C1 (1)
C2
C2 (1)
(2)
Konstanta
-6.146
-7.652
-10.402
-11.467
12.754
10.398
8.949
-4.571
11.868
1.761
2.020
0.002
0.000
0.000
0.000
345947.9
32789.039
7703.575
0.010
142669.9
5.821
7.538
0.462
0.970
0.963
0.950
0.944
0.447
0.938
0.950
0.957
0.092
0.318
0.797
0.134
0.993
-2 Loglikelihood untuk Block Number = 0 49.961
-2 Loglikelihood untuk Block Number = 1 26.088
R2(Nagelkerke) 0.642
Keterangan :
A2 : Tingkat Umur
A2 (1) : 21 – 30 tahun
(5) : 31 – 40 tahun
(6) : 41 – 50 tahun
(7) : > 50 tahun
A3 : Tingkat Pendidikan
A3 (1) : SLTP sederajat
(4) : SLTA sederajat
(5) : Akademi / Perguruan Tinggi
C1 : Pendapatan
C1(1) : Rp. 750.000; s/d Rp.
1.000.000;
C2 : Jumlah Tanggungan Keluarga
C2(1) : 5 orang
(2) : < 5 0rang
75