81
KAJIAN KOMITE NASIONAL PEDIDIKAN TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN TINGGI 1 Bagian I FILOSOFI PENDIDIKAN TINGGI A. ASPEK HISTORIS KONSTITUSIONALISASI PENDIDIKAN DALAM UNDANG- UNDANG DASAR. Indonesia sejak awal kemerdekaannya telah memberlakukan beberapa bentuk konstitusi. Setiap konstitusi mewakili era-era yang berbeda. Era tersebut yaitu masa berlakunya UUD 1945 yang pertama pasca kemerdekaan, Konstitusi RIS, UUDS 1950, serta kembali berlakunya UUD 1945 hingga setelah tahun 2002 menjadi Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan amandemen dari Undang-Undang Dasar 1945. Kesemua Undang-Undang Dasar itu memiliki pengaturan tersendiri mengenai pendidikan (atau pengajaran). Setiap bentuk Undang- Undang Dasar memiliki latar belakang pemikiran dan ruang lingkup pengaturan mengenai pendidikan dalam pasal-pasalmya. Hal ini penting untuk dikaji dalam rangka mengetahui mengenai keberpihakan konstitusi Indonesia terhadap pendidikan, lebih jauh lagi dapat memberikan gambaran mengenai pemikiran dasar tentang pendidikan di Indonesia. 1 Disusun oleh Alghiffari Aqsa, Dinda Nissa Yura, Yura Pratama, Fajri Siregar, Fajri Nursyamsi, dan Sulaiman Sudjono yang merupakan anggota Komite Nasional Pendidikan. 1 1

alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

KAJIAN KOMITE NASIONAL PEDIDIKAN

TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN TINGGI1

Bagian I

FILOSOFI PENDIDIKAN TINGGI

A. ASPEK HISTORIS KONSTITUSIONALISASI PENDIDIKAN DALAM UNDANG-UNDANG DASAR.

Indonesia sejak awal kemerdekaannya telah memberlakukan beberapa bentuk konstitusi.

Setiap konstitusi mewakili era-era yang berbeda. Era tersebut yaitu masa berlakunya UUD 1945

yang pertama pasca kemerdekaan, Konstitusi RIS, UUDS 1950, serta kembali berlakunya UUD

1945 hingga setelah tahun 2002 menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 yang merupakan amandemen dari Undang-Undang Dasar 1945.

Kesemua Undang-Undang Dasar itu memiliki pengaturan tersendiri mengenai pendidikan (atau

pengajaran). Setiap bentuk Undang-Undang Dasar memiliki latar belakang pemikiran dan ruang

lingkup pengaturan mengenai pendidikan dalam pasal-pasalmya. Hal ini penting untuk dikaji

dalam rangka mengetahui mengenai keberpihakan konstitusi Indonesia terhadap pendidikan,

lebih jauh lagi dapat memberikan gambaran mengenai pemikiran dasar tentang pendidikan di

Indonesia.

Berdasarkan konstitusi yang berlaku, maka pembahasan dapat diurutkan sebagai berikut:

1. Pra Kemerdekaan dan UUD 1945

Khusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus

menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun PPKI. Dalam perdebatan, pidato,

dan kesimpulan lembaga-lembaga tersebut banyak pendapat yang terangkat mengenai

pendidikan di Indonesia. Beberapa tokoh mengedepankan pendapatnya mengenai pentingnya

pendidikan di Indonesia.

1 Disusun oleh Alghiffari Aqsa, Dinda Nissa Yura, Yura Pratama, Fajri Siregar, Fajri Nursyamsi, dan Sulaiman Sudjono yang merupakan anggota Komite Nasional Pendidikan.

1

1

Page 2: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

Pendapat pertama dapat ditemukan pada catatan sidang pada 29 Mei 1945, tanggal ini

menunjukkan ini adalah rapat pada masa kerja Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan

Kemerdekaan (BPUPK). Pendapat tersebut diangkat dalam pidato oleh Soerio yang memberikan

informasi tentang gagasan pentingnya pendidikan bagi bangsa Indonesia ke depan. Dalam

pidatonya, Soerio menyampaikan tiga syarat yang harus dipenuhi untuk menuju kepada dasar

kemerdekaan Indonesia, yaitu:2

a. Kuat dan Sentausa.

b. Subur makmur.

c. Suci Abadi.

Menurut Soerio, suci abadi berarti harus berdasarkan persatuan lahir dan batin.

Perasaan persatuan tidak dapat diberikan atau diperintahkan, tetapi harus timbul dan tumbuh.

Namun, untuk mengubah perasaan bagi orang-orang dewasa sudah sukar. Jadi proses

perubahan harus dimulai dari anak-anak. Usaha-usaha yang praktis untuk mencapai suci abadi

ini menurut usulan Soerio adalah sebagai berikut:

a. Semua sekolahan, mulai rendah hingga tinggi harus dipersatukan: artinya, dijadikan sekolah Indonesia; jangan masih ada sekolah Jawa, Tionghoa, Arab dan sebagainya. Perlu upaya didikan pengajaran dapat dipersatukan dalam asas dan tujuannya.

b. Pada semua sekolahan, mulai rendah hingga tinggi, harus digabungkan internat atau asrama, di mana anak-anak muridnya dapat mengolah adat lembaganya serta tekadnya yang terpimpin. Hal ini kami pandang amat perlu sekali guna mencepatkan tercapainya persatuan perasaan dan tujuan, karena kita mengakui, betapa besar pengaruh rumah-tangga dan kampung, di atas jiwa anak-anak yang masih murni itu. Meskipun sekali-kali ta’ menacat, akan tetapi merasa bahwa persatuan tujuan tentu tidak akan lekas tercapai, apabila anak-anak murid masih setiap hari pulang ke rumahnya masing-masing. Dalam asrama itulah nanti akan terjadi penanaman semangat seperti kita cita-citakan dengan gampang dan cepat. Pun soal agama akan terkupas pula dalam hidup di asrama situ karena pengaruh dari luar akan menjadi tiada.

c. Juga harus diciptakan nama-nama baru buat anak-anak dalam asrama tersebut, nama persatuan Indonesia di samping nama lamanya. Ini adalah suatu usaha yang praktis guna mencepatkan datangnya persatuan perasaan tersebut. Karena kita tahu, bahwa nama Sudibyo senantiasa mengingatkan yang memakainya kepada

2 RM.A.B Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm. 107

2

2

Page 3: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

kebangsaannya Jawa; nama lama Liem Siem Hok kepada kebangsaannya Tionghoa dan sebagainya.3

Soesanto Tirtoprodjo juga turut menyatakan pentingnya pendidikan bagi negara

Indonesia merdeka. Menurut Soesanto, soko-guru negara Indonesia merdeka adalah sebagai

berikut:

a. Pemerintahan yang sesuai dengan kehendak rakyat. Ini berarti harus adanya Badan Perwakilan Rakyat atau Parlemen.

b. Badan Kehakiman yang satu untuk segenap penduduk dan bebas dari pengaruh Badan-Badan pemerintahan

c. Perekonomian yang teratur dan terbatas menurut kebutuhan masyarakat, ini berarti membuang pendirian liberalisme.

d. Pendidikan rohani dan jasmani seluas-luasnya dengan menjauhkan sifat-sifat intellectualisme dan materialisme.4

Peserta lain yang memberikan perhatian terhadap pendidikan adalah Roosseno. Dalam

rapat BPUPK tersebut, Roosseno menyampaikan kelemahan-kelemahan masyarakat dalam

membuat persiapan dan rancangan yang sistematis dan rasional. Kelemahan-kelemahan

tersebut adalah (1) dalam lapangan pendidikan dan pendidikan umum serta (2) dalam lapangan

perekonomian, teknik, dan politik internasional. Dalam pidatonya, dia juga mengusulkan supaya

pendidikan diurus oleh satu badan seperti Jawa Hookokai. Penggunaan contoh Jawa Hookokai

ini demi menunjang persatuan bahasa dan persatuan negara yang harus menjadi dasar

Indonesia Merdeka.5 Pendapat Roosseno ini kemudian dipertegas oleh M. Aris dengan

ungkapan yang singkat dan penuh semangat, ”Pendidikan pemuda harus mendapatkan

perhatian yang istimewa. Pendidikan teknik supaya diperluas dan diperdalam.”6

Pada sidang hari kedua 30 Mei 1945, A. Rahchim Pratalykrama menyampaikan delapan

butir penting, termasuk masalah pendidikan dengan menekankan kewajiban belajar. Delapan

hal tersebut sebagai berikut:

(1) Negara Indonesia: Kepala dipilih rakyat, punya Perdana Menteri dan Kebinet;

3Ibid., hlm. 107—1094Ibid., hlm. 1125Ibid., hlm. 115.6Ibid., hlm. 116.

3

3

Page 4: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

(2) Badan Perwakilan Rakyat: Majelis Luhur dan Majelis Rendah, yang anggotanya dipilih rakyat;

(3) Keluar: Satu Negara di dalam: Beberapa daerah pemerintahan dan kota-kota yang masing-masing otonomi dengan tunduk pada pimpinan Kepala Negara Indonesia;

(4) Pembelaan: Milisi umum sebelumnya itu diadakan gemblengan bagi rakyat dijuken-juken sebagai sekarang, buat menimbulkan semangat berkorban buat tanah air;

(5) Pendidikan: Kewajiban belajar; (6) Perekonomian: Ekonomi dalam arti seluas-luasnya perlu diperluas dan diperdalam

dan di segala lapangan misalnya nasionalisasi dari perusahaan-perusahaan. Aturan-aturan hak tanah-tanah komunal dihapuskan, tanah erfpacht dan opstal harus dikembalikan kepada rakyat via pemerintah;

(7) Dasar Negara: persatuan rakyat sekokoh-kokohnya. Agama Islam 95% dari penduduk beragama dan Kepala Negara harus seorang Muslimin. Islam sebagai Agama Negara dengan kemerdekaan seluas-luasnya bagi penduduk untuk memeluk agama yang bukan Islam; dan

(8) Permulaan pembangunan Negara harus minta bantuan kepada Dai Nippon berupa penasehat-penasehat Nippon dan lain-lain.7

Pada sidang hari ketiga pada 31 Mei 1945, pembicara pertama, Abdul Kadir, menyampaikan

bahwa dasar-dasar pembentukan negara baru adalah (1) Persatuan; (2) Pendidikan Rakyat; dan

(3) Pembangunan untuk memajukan ekonomi yang sehat agar rakyat menjadi makmur.8 Sampai

dengan masa reses sidang BPUPK pada 2 Juni hingga 9 Juli 1945, tidak ada lagi para pembicara

yang mengemukakan pendidikan. Pada rancangan undang-undang dasar sementara yang terdiri

atas 18 pasal, sebagaimana yang disampaikan kepada Zimukyokutyoo dari Dokuritsu Zyunbi

Tyoosakai tanggal 15 Juni 1945, belum juga terdapat adanya pasal khusus yang menerangkan

mengenai pendidikan. Baru pada rapat besar 10 Juli 1945 yang menghasilkan rancangan

undang-undang dasar menghasilkan sebuah pembukaan yang mengandung unsur pendidikan di

dalamnya, berikut kutipannya:

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negera Indonesia

7Ibid., hlm. 120.8Ibid., hlm. 122.

4

4

Page 5: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Setelah itu, pada beberapa rancangan batang tubuh sudah mulai terdapat ada pasal mengenai

pendidikan. Pembahasan dan pengaturan yang mencerminkan persepsi dari perumus UUD

tentang pendidikan dapat dilihat pada sidang 17 Juli 1945, dimana Subpanitia Pendidikan dan

Pengajaran Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPK) yang terdiri atas Ki Hajar Dewantara sebagai

Ketua, dengan anggotanya Prof. Dr. Husein Jayadiningrat, Prof. Dr. Asikin, Prof. Ir. Roosseno, Ki

Bagus Hadikusumo, dan K.H. Mas Mansur, telah berhasil merumuskan Garis-Garis Besar Soal

Pendidikan dan Pengajaran untuk diserahkan kepada Gunseikan Kakka pada 18 Juli 1945. Isi

Garis-Garis Besar Soal Pendidikan dan Pengajaran tersebut adalah sebagai berikut:9

I. Dengan Undang-Undang berkewajiban belajar, atau peraturan lain, jika keadaan suatu daerah memaksanya, Pemerintah memelihara pendidikan dan kecerdasan akal budi untuk segenap rakyat dengan cukup dan sebaik-baiknya, seperti ditetapkan Undang-Undang Dasar, Pasal 31.

II. Dalam garis-garis adab kemanusiaan, seperti terkandung di dalam segala pengajaran agama, maka pendidikan dan pengajaran nasional bersendi pada agama dan kebudayaan bangsa serta menuju ke arah keselamatan dan kebahagiaan masyarakat.

III. Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi daya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.

IV. Untuk dapat memperhatikan serta memelihara kepentingan-kepentingan khusus dengan sebaik-baiknya, teristimewa yang berdasarkan agama dan atau kebudayaan, maka pihak rakyat diberi kesempatan yang cukup luas untuk mendirikan sekolah-sekolah partikelir, yang penyelenggaraannya, sebagian atau sepenuhnya, boleh dibiayai oleh Pemerintah. Pengawasan dari Pemerintah atas usaha sekolah-sekolah partikelir itu, hanya mengenai syarat-syarat untuk menjamin kebaikan pelajaran dan ketenteraman umum.

V. Tentang susunan pelajaran pengetahuan umum harus ditetapkan suatu daftar pengajaran sedikit-dikitnya (minimum leerplan), yang menetapkan luas-tingginya

9Ibid., hlm. 458-4605

5

Page 6: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

pelajaran pengetahuan dan kepandaian umum, serta pula pendidikan budi pekerti, teristimewa pendidikan semangat bekerja, kekeluargaan, kebaktian, cinta tanah air, serta keprajuritan. Syarat-syarat itu diwajibkan untuk semua sekolah, baik kepunyaan negeri maupun partikelir.

VI. Susunan sekolah diatur sebagai berikut:1. Mulai tingkatan sekolah rakyat sampai tingkatan sekolah menengah tinggi diadakan

sekolah pengetahuan umum dan sekolah kepandaian khusus (vakschool).2. Untuk murid-murid yang tidak akan meneruskan pelajarannya, maka tiap-tiap

sekolah rakyat diadakan kelas sambungannya, yaitu ”kelas masyarakat” untuk mengajarkan permulaan kepandaian khusus yang sesuai dengan alam dan masyarakat di tempat kedudukan sekolah masing-masing, (pertanian di desa-desa, perdagangan dan pertukangan di dalam kota, pelajaran dan perikanan di keliling pantai dan sebagainya), dan pelajaran ilmu kemasyarakatan yang praktis.

3. Tiap-tiap sekolah pengetahuan umum mempunyai hubungan lanjutan dengan sekolah kepandaian khusus.

4. Sekolah-sekolah menengah dan menengah tinggi dibagi menjadi Bagian A (dari Alam) dan Bagian B (dari Budaya), untuk menyesuaikan pengajaran dengan pembawaan anak-anak murid.

5. Pada sekolah-sekolah menengah atau menengah tinggi putri daftar pelajarannya yang mengenai pengetahuan umum, sama dengan daftar pelajaran sekolah yang sejenis untuk anak-anak laki-laki.

6. Lamanya belajar di masing-masing tingkatan sekolah (pertama, rakyat, menengah dan menengah tinggi) ialah 3 tahun.

7. Tentang sekolah-sekolah khusus, yakni sekolah kepandaian (vakschool), maka untuk segala kepentingan masyarakat dan kebudayaan harus diadakan sekolah-sekolah khusus yang cukup. Misalnya, sekolah-sekolah tani, pertukangan, teknik dan sebagainya: juga sekolah-sekolah kesusasteraan, musik, pelukis, ukir-ukiran, dan sebagainya.

8. Sekolah-sekolah untuk mendidik guru-guru harus dipentingkan. Bahkan, untuk pengluasan pendidikan dan pengajaran yang sehebat-hebatnya, harus diadakan usaha-usaha mendidik guru dengan secara kilat. Baik untuk penyelenggaraan sekolah-sekolah guru biasa, maupun untuk pendidikan guru secara kilat, maka kegiatan rakyat

9. Untuk dapat tenaga-tenaga pemimpin penyelenggara segala kewajiban negeri dan masyarakat yang penting-penting, maka harus diadakan universiteit dan atau sekolah-sekolah tinggi yang cukup; jangan dilupakan sekolah-sekolah tinggi untuk keprajuritan.

10. Biaya belajar harus serendah-rendahnya, dengan pembebasan uang belajar untuk mereka yang tidak mampu.

VII. Tentang pelajaran bahasa dan kebudayaan, dengan mengingat Pasal-Pasal 32 dan 36

Undang-Undang Dasar dan Pasal III dalam Garis-Garis Besar ini sebagai berikut:

6

6

Page 7: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

1. Bahasa Indonesia diajarkan dengan cukup di segala sekolah di seluruh Indonesia dan dipakai sebagai bahasa perantaraan, mulai di sekolah rakyat sampai di sekolah tinggi.

2. Di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik, diwajibkan mengajarkan bahasa persatuan mulai kelas 3 pada sekolah pertama, dengan jaminan akan cukup pandainya anak-anak dalam bahasa Indonesia, bila mereka tamat belajar di sekolah-sekolah rakyat.

3. Bahasa Nippon sebagai bahasa asing yang terpenting di seluruh Asia, baik untuk keperluan hubungan negara-negara di Asia Timur Raya maupun untuk mudah mengambil kebudayaan Nippon, yang dapat memperkaya kebudayaan bangsa Indonesia, diajarkan mulai kelas 5 di sekolah rakyat, dengan jaminan akan cukup pandainya anak-anak dalam bahasa itu, bila mereka duduk di sekolah menengah.

4. Di sekolah menengah tinggi (SMA) bagian Budaya diajarkan bahasa Arab dan Sanskerta.

5. Bahasa asing, yang kelak diakui sebagai bahasa perantaraan sedunia, diajarkan mulai di sekolah menengah.

VIII. Selain di dalam sekolah-sekolah harus dipentingkan juga pendidikan rakyat dengan jalan

sebagai berikut:

1. Latihan-latihan keprajuritan untuk pemuda-pemuda, laki-laki dan perempuan.

2. Pendidikan yang ditujukan kepada orang-orang dewasa.

3. Pendidikan khusus kepada kaum wanita dengan mempergunakan Hunjinkai.

4. Memperbanyak bacaan dengan mamajukan perpustakaan, penerbitan surat-surat

kabar dan majalah-majalah.

IX. Mendirikan Balai Bahasa Indonesia.

X. Mengirimkan pelajar-pelajar ke seluruh dunia.

2. Masa 1949-1959

Masa berikutnya adalah masa 1949-1959. Pada masa ini terdapat pemberlakuan dua konstitusi,

yaitu Konstitusi RIS dan UUDS 1950. Konstitusi RIS walaupun sebentar merupakan bagian dari

warna sejarah Indonesia, walaupun tidak murni disusun oleh pihak Indonesia selama

perundingan KMB.

Rancangan Konstitusi RIS tersebut disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

(DPR RI) dengan seluruh anggota Bjeenkomst voor Federaal Overleg. Setelah pemulihan

7

7

Page 8: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

kedaulatan dilaksanakan di Amsterdam, kekuasaan pemerintah diserahkan di kota Jakarta pada

27 Desember 1949. Sejak itu Konstitusi RIS berlaku.10

Pada Konstitusi RIS, pendidikan termasuk di dalam Bagian V tentang Hak-Hak Kebebasan Dasar

Manusia pada Bab 1 tentang Negara Republik Indonesia Serikat. Berikut pasal-pasal pada

Konstitusi RIS:

Bab I

NegaraRepublikIndonesiaSerikat

Bagian V

Hak-Hak Kebebasan Dasar Manusia

(1) Mengadjar adalah bebas, dengan tidak mengurangi pengawasan penguasa jang dilakukan terhadap itu menurut peraturan-peraturan undang-undang.

(2) Memilih pengadjaran jang akan diikuti, adalah bebas.

Bagian VI

Asas-Asas Dasar

Penguasa melindungi kebebasan mengusahakan kebudajaan serta kesenian dan ilmu pengetahuan. Dengan melindungi asas ini, maka penguasa memadjukan sekuat tenaganja perkembangan kebangsaan dan kebudajaan serta kesenian dan ilmu pengetahuan.

(1) Penguasa wadjib memadjukan sedapat-dapatnja perkembangan rakjat baik rohani maupun djasmani, dan dalam hal ini teristimewa berusaha selekas-lekasnja menghapuskan buta-huruf.

(2) Di mana perlu, penguasa memenuhi kebutuhan akan pengadjaran umum jang diberikan atas dasar memperdalam keinsjafan kebangsaan, mempererat persatuan Indonesia, membangun dan memperdalam perasaan peri-kemanusiaan, kesabaran dan penghormatan jang sama terhadap kejakinan agama setiap orang dengan memberikan kesempatan dalam djam-peladjaran untuk mengadjarkan peladjaran agama sesuai dengan keinginan orang-tua murid.

(3) Murid-murid sekolah partikulir memenuhi syarat-sjarat kebaikan-kebaikan menurut undang-undang bagi pengadjaran umum, haknja sama dengan hak murid-murid sekolah umum

(4) Terhadap pengadjaran rendah, maka penguasa berusaha melaksanakan dengan lekaskewadjiban belajar jang umum.11

10Mohammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Djilid Ketiga, (Jakarta: Siguntang, 1960), hlm. 82 dalam Mahkamah Konstitusi, NASKAH KOMPREHENSIFPERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASARNEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002; Buku IX Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hlm. 25.

11W.A. Engelbrecht, Kitab-kitab Undang-Undang, Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan Serta Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, (Leiden: A.W. Sijthoff’s Uitgeversmij N.V., 1954), hlm. 18-18c dalam

8

8

Page 9: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

Pada lampiran Konstitusi RIS terdapat pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang

dibebankan kepada Republik Indonesia Serikat dan Daerah-Daerah Bagian, sesuai dengan bunyi

Pasal 51 Konstitusi RIS. Dalam lampiran tersebut, yang terkait dengan pendidikan disebutkan

sebanyak dua butir berikut ini:12

y. Institut dan organisasi ilmu-pengetahuan jang penting bagi Republik Indonesia serikat seluruhnya.

Kemudian pada butir selanjutnya:

d. Pengaturan pengadjaran tinggi dan djalan pengadjaran akademi jang berhubungan dengan itu, termasuk pedoman-pedoman tentang pendidikan-pendidikan jang memberi hak untuk masuk udjian-udjian akademi, dan akibat sipil idjazah pengadjaran tinggi.

Konstitusi RIS ini tidak berumur terlalu lama, yang kemudian digantikan dengan UUD Sementara

tahun 1950 (UUDS 1950). Bunyi UUDS tersebut yang terkait pendidikan adalah sebagai berikut:

Bab I

NegaraRepublikIndonesia

Bagian V

Hak-Hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia

(1) Tiap-tiap warga-negara berhak mendapat pengadjaran.

(2) Memilih pengadjaran jang akan diikuti, adalah bebas.

(3) Mengajar adalah bebas, dengan tidak mengurangi pengawasan penguasa jang dilakukan terhadap itu menurut peraturan perundang-undangan.

Bagian VI

Azas-azas Dasar

Penguasa melindungi kebebasan mengusahakan kebudajaan serta kesenian dan ilmu pengetahuan. Dengan mendjundjung azas ini maka penguasa memadjukan sekuat tenaganya perkembangan kebangsaan dalam kebudajaan serta kesenian dan ilmu pengetahuan

(1) Penguasa wadjib memadjukan perkembangan rakjat baik rohani maupun djasmani.

Mahkamah Konstitusi, NASKAH KOMPREHENSIFPERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASARNEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002; Buku IX Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hlm. 27.12Ibid., hlm. 27

9

9

Page 10: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

(2) Penguasa teristimewa berusaha selekas-lekasnja menghapuskan buta-huruf

(3) Penguasa memenuhi kebutuhan akan pengadjaran umum jang diberikan atas dasar memperdalam

Kedua konstitusi pada masa ini memiliki pernyataan yang jelas mengenai hak-hak atas

pendidikan. Perlindungan atas hak atas pendidikan ini termasuk di dalamnya hak-hak untuk

mengajar, mendapatkan pengajaran, dan memilih bentuk pengajaran. Terdapat jaminan

kebebasan bagi seorang pengajar untuk mengajar dalam koridor cita-cita bersama dari

Indonesia pada saat itu dan juga jaminan kebebasan memilih bentuk pengajaran sekaligus

dilengkapi dengan hak untuk mendapatkan pengajaran.

3. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Pada masa perubahan UUD 1945 hingga tahun 2002, beberapa isu kemudian muncul, salah

satunya mengenai anggaran pendidikan dalam kaitannya dengan hak atas pendidikan dan hak

atas pendidikan itu sendiri. Pengaturan pada UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

mengenai pendidikan terdapat pada:

Pasal 22D

- Pasal 22D ayat (2) dimana Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

- Pasal 22D ayat (3) dimana Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai pendidikan dan menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

Pasal 28C

1. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmupengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitashidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

2. Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknyasecara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.

Pasal 28E

10

10

Page 11: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhakkembali.

2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikirandan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

3. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Pasal 31

1. Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib

membiayainya.3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional,

yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.

4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Penekanan yang terlihat pada proses Amandemen UUD 1945 ini adalah penekanan pada

pandangan bahwa pendidikan adalah merupakan hak dari rakyat Indonesia yang

pemenuhannya dijamin oleh Negara. Hal ini dapat dilihat pada proses pembahasannya,

termasuk di dalamnya adalah pandangan-pandangan awal mengenai penetapan anggaran

minimal 20%. Salah satu pendapat awal mengaitkannya dengan kehendak GBHN Indonesia

tahun 1999 yang menghendaki kenaikan anggaran pendidikan.

Argumen tersebut diajukan oleh Soedijarto dari F-UG (Utusan Golongan, pen.)13. Di

dalam GBHN tersebut pada Bab IV tentang Arah Kebijakan pada huruf E tentang pendidikan

disebutkan bahwa:

1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti.

2. Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara

13Ibid., hlm. 7011

11

Page 12: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan.

3. Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan secara profesional.

4. Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai.

5. Melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manejemen.

6. Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk memantapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

7. Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu, dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya.

Dapat dilihat pada poin pertama dikehendakinya adanya peningkatan anggaran. Soedijarto

mengatakan:14

Yang ke tiga mengenai pendidikan saya sepakat karena saya orang pendidikan hanya kita orang bertanya kapan ketentuan yang ditetapkan itu diikuti dan dilaksanakan gitu ya. Karena GBHN tahun 1999 menetapkan anggaran pendidikan supaya dinaikan, secara berarti, malah turun. Padahal GBHN harus dibaca kan? Tapi kok turun. Jadi maksud saya kalau pasal-pasalnya ditambahin kalau dibaca sama saja. Karena saya ingin usul, kalau bisa Iptek masuk dalam pasal-pasal, tapi juga seperti Taiwan Pak. Di Taiwan itu anggaran belanja pendidikan pun ditetapkan. Undang-Undang Dasar Taiwan menetapkan pemerintah pusat mengalokasi 15% anggaran belanja untuk pendidikan, pemerintah propinsi 25%, pemerintah Kabupaten 35%. Jadi cepat perkembangannya. Kita itu tidak diberi uang suruh maju.

14Sekretariat Jenderal MPR-RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (1999-2002), Tahun Sidang 2000 Buku Dua (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2008), hlm. 532 dalam Mahkamah Konstitusi, NASKAH KOMPREHENSIFPERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASARNEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002; Buku IX Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hlm. 71

12

12

Page 13: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

Pada perkembangannya usulan ini yang memicu perdebatan dan penetapan anggaran 20%

untuk pendidikan pada UUD. Perdebatan lain adalah mengenai diskriminasi lembaga

pendidikan. Mengenai hal ini dapat diperhatikan penjelasan Azyumardi Azra yang memaparkan

mengenai diskriminasi anggaran berdasarkan status universitas negeri dan juga perbantuan

kepada pergurutan tinggi swasta.15

Beberapa kali terangkat, terutama mengenai perguruan tinggi adalah penjaminan pelaksanaan

sistem yang memastikan tidak hanyak rakyat berhak mendapatkan pendidikan, tetapi juga

mengenai negara yang berkewajiban menyelenggarakan. Diantara yang mengungkapkan

pendapat tersebut adalah Sapardi Djoko Damono16 dan Frans Magnis Suseno17.

Ada pendapat lain yang menarik mengenai pendidikan yang disampaikan oleh Retno Triani

Johan dari F-UD (Utusan Daerah, pen.), dan ini menjadi permasalahan yang muncul pada saat

ini:18

Jadi harus dimungkinkan pendidikan dasar tanpa bayar, sederhana sekali. Dan di situ kita tidak pada pertanyaan, tentu Bapak-Bapak yang banyak juga di DPR tahu betul bahwa kita tidak seenaknya bisa minta pengeluaran.

Jadi yang the have, mampu, mendapatkan pendidikan yang tinggi, yang bagus. Sebaliknya, yang kurang mampu menjadi tidak mendapat pendidikan tinggi yang bagus.

Yang saya ingin tanyakan, apakah dari pihak kementrian, Menteri Pendidikan sudah ada upaya untuk menyelesaikan hal ini? Karena terus terang saja saya mendapat titipan ini karena, mumpung ketemu dengan Bapak Menteri, yaitu tentang tidak adanya keseimbangan antara swasta sendiri dan juga swasta dengan Pemerintah, terutama

15Ibid., hlm. 69-7016‘Pemerintah memiliki kewajiban atau mempunyai kewajiban untuk melakukan itu. Keruwetan - keruwetan pemikiran di dalam hal yang kita bicarakan tadi adalah kata “wajib” dan kata “berhak”. Kita menyatakan menyelenggarakan, pemerintah “berhak” atau barangkali warga negara “berhak” mendapat pelajaran, tapi Pemerintah juga beberapa yang mengenai “wajib” belajar, saya lupa di mana tempatnya. Wajib belajar selama sekian tahun, begitu. Selama sembilan tahun. Nah, kalau ini masalahnya maka kewajiban itu paling tidak dituntut dari Pemerintah atau dari kita semua untuk menerapkan terhadap yang sembilan tahun itu. Jadi, yang sembilan tahun itu harus sepenuhnya merupakan kewajiban dari Pemerintah. Yang lain itu adalah hak dari masyarakat untuk mendapat pendidikan.’ Ibid., hlm. 28517‘Jadi harus dimungkinkan pendidikan dasar tanpa bayar, sederhana sekali. Dan di situ kita tidak pada pertanyaan, tentu Bapak-Bapak yang banyak juga di DPR tahu betul bahwa kita tidak seenaknya bisa minta pengeluaran.’ Ibid., hlm. 28818Ibid., hlm., 265-266

13

13

Page 14: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

pada pendidikan tinggi. Kalau dulu diibaratkan pada waktu Pemerintah tidak bisa menangani pendidikan tinggi sendiri maka mereka minta tolong swasta. Tetapi setelah sekarang, swasta berkembang demikian pesat, kemudian ada kebijakan-kebijakan yang merugikan swasta di antaranya adalah masalah extention dari Perguruan Tinggi Negeri.

Dan selanjutnya pada pendidikan tinggi juga dan ini nanti merupakan tugas Pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan yang adil dan merata, pemerintah bisa mendapat bantuan dari luar negeri. Dan saya kira itu sudah diperoleh soft loan dari luar negeri. Namun, soft loan itu diberikan pada perguruan tinggi swasta secara grant. Dan yang kebetulan mendapatkan grant itu adalah pendidikan tinggi swasta yang sudah mampu karena ada persyaratan-persyaratan dari luar negeri. Apakah ini tidak bisa diatur oleh pihak kementrian, sehingga pendidikan tinggi swasta yang kurang besar, kurang mampu, juga mendapatkan kesempatan untuk mendapat grant.

Dapat disimpulkan bahwa pada UUD 1945 setelah amandemen ini telah difokuskan perspektif

bahwa pendidikan adalah hak dan permasalahan mengenai akses juga anggaran telah dibahas

dalam proses amandemen. Hal ini setidaknya menggambarkan bahwa proses amandemen ini

telah melihat berbagai permasalahan yang mungkin terjadi terkait hak ada akses terhadap

pendidikan. Penekanan bahwa pendidikan adalah hak adalah hal terpenting merupakan fokus

terpenting dari amandemen UUD 1945 pada masa ini.

B. HAK ATAS PENDIDIKAN DALAM KERANGKA HAK ASASI MANUSIA.

Pendidikan merupakan bagian dari hak paling dasar atau hak asasi manusia, khususnya di

bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Hak atas pendidikan diakui oleh masyarakat internasional

melalui berbagai instrument internasional, yang juga diratifikasi oleh Indonesia. Sehingga,

Indonesia juga secara langsung mengakui dan berkomitmen dalam pemenuhan, perlindungan,

dan penghormatan atas hak atas pendidikan bagi setiap orang.

Hak Atas Pendidikan dalam Instrumen Hukum Internasional

Kutipan Terjemahan Pasal 26 Universal Declaration on Human Rights 1948:

Pasal 26

1. Setiap orang berhak mendapat pendidikan. Pendidikan harus gratis, setidak-tidaknya untuk tingkat sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan. Pendidikan teknik dan jurusan secara umum harus terbuka bagi semua orang, dan pengajaran tinggi harus secara adil dapat diakses oleh semua orang, berdasarkan kepantasan.

14

14

Page 15: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

2. Pendidikan harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi yang seluas luasnya serta memperkokoh rasa penghargaan terhadap hak-hak manusia dan kebebasan asasi. Pendidikan harus menggalakkan saling pengertian, toleransi dan persahabatan di antara semua bangsa, kelompok ras maupun agama, serta harus memajukan kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam memelihara perdamaian.

3. Orang-tua mempunyai hak utama untuk memilih jenis pendidikan yang akan diberikan kepada anak-anak mereka.

Kutipan Tejemahan Pasal 13 International Covenant on Economic, Social, and Cuktural

Rights:

Pasal 13

1. Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Mereka menyetujui bahwa pendidikan harus diarahkan pada perkembangan kepribadian manusia seutuhnya dan kesadaran akan harga dirinya, dan memperkuat penghormatan atas hak-hak asasi dan kebebasan manusia yang mendasar. Mereka selanjutnya setuju bahwa pendidikan harus memungkinkan semua orang untuk berpartisipasi secara efektif dalam suatu masyarakat yang bebas, meningkatkan rasa pengertian, toleransi serta persahabatan antar semua bangsa dan semua kelompok, ras, etnis atau agama, dan lebih memajukan kegiatan-kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memelihara perdamaian.

2. Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui bahwa untuk mengupayakan hak tersebut

secara penuh:

(c) Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar kemampuan, dengan segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap;

4. Tidak satupun ketentuan dalam Pasal ini yang dapat ditafsirkan sebagai pembenaran untuk mencampuri kebebasan individu dan badan-badan untuk mendirikan dan mengurus lembaga-lembaga pendidikan sepanjang prinsip-prinsip yang dikemukakan ayat 1 Pasal ini selalu diindahkan, dan dengan syarat bahwa pendidikan yang diberikan dalam lembaga-lembaga itu memenuhi standar minimum yang ditetapkan oleh Negara.

Apabila kita melihat dua kovenan internasional, jelaslah bahwa Pendidikan merupaka hak

asasi manusia, yang pelaksanaannya merupakan kewajiban dari Negara. Secara lebih spesifik,

untuk perguruan tinggi dapat kita lihat dari Kovenan Ekosob pasal13, 2.e. dimana jelas

dicantumkan perguruan tinggi harus dijamin ketersediaan dan keterjangkauannya untuk semua

orang, dengan pengadaan pendidikan tinggi yang cuma-cuma secara bertahap. Keberlakuan

Kovenan Eksosob ini adalah sama dan setara dengan Undang-undang, sejak diratifikasinya

15

15

Page 16: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

melalui UU No. 11 Tahun 2005. Artinya, semua pasal yang ada di Kovenan Ekosob bersiat

mengikat dan harus dipatuhi layaknya Undang-undang yang dibuat DPR dan Presiden.

Dengan demikian, kewajiban Negara terhadap penyediaan pendidikan, tidak hanya berhenti

pada pendidikan dasar atau menengah, namun juga pada pendidikan tinggi. Memang, kovenan

ini berkompromi terhadap kemampuan Negara, sehingga penyediaan pendidikan tinggi secara

cuma-cuma dilaksanakan secara bertahap. Meski demikian, kewajiban bagi Negara pihak untuk

mengusahakan pendidikan tinggi yang gratis itu jelas harus dilaksanakan. Dengan kata lain,

pemerintah sebagai mebuat kebijakan sama sekali tidak dapat membentuk kebijakan yang

justru menegasikan perannya dalam penyediaan pendidikan tinggi secara gratis, dan

mengalihkan tanggung jawab pendanaan pendidikan tinggi kepada masyarakat.

Berdasarkan Panduan Maastricht19 (Maastricht Guidliness on Violation of Economic, Social,

and Cultural Rights) kewajiban negara dalam Hak Ekosob meliputi kewajiban untuk memenuhi,

kewajiban untuk melindungi, dan kewajiban untuk menghormati. Menurut Panduan

Maastricht, kegagalan untuk menjalankan satu atau semua kewajiban tersebut merupakan

pelanggaran terhadap hak-hak EKOSOB.

Audrey R Chapman, salah seorang pakar hukum internasional yang ikut menyusun panduan

tersebut mengelaborasi ketiga dimensi kewajiban itu sebagai berikut20:

1. Kewajiban untuk menghormati (to respect) mengharuskan negara tidak campur tangan dalam pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Contohnya adalah dalam pemenuhan terhadap hak atas perumahan (hak atas standar kehidupan yang layak) dilanggar apabila Negara terlibat dalam pengusiran secara arbiter yang dilakukan dengan paksa.

2. Kewajiban untuk melindungi (to protect) mengharuskan Negara mencegah pelanggaran terhadap hak-hak tersebut oleh pihak ketiga. Dengan demikian, kegagalan untuk menjamin bahwa para pengusaha swasta tunduk pada standarstandar dasar perburuhan dapat mengakibatkan palanggaran atas hak untuk bekerja atau hak atas kondisi kerja yang adil dan menguntuntungkan.

3. Kewajiban untuk memenuhi (to fulfill) mengharuskan Negara untuk mengambil langkah-langkah yang tepat dalam hal legislatif administratif, anggaran negara, judisial serta

19 Audrey R Chapman. ”Indikator dan Standar Untuk Pemantauan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya”, Jurnal HAM vol 1 (Oktober 2005) hal 7220 ibid

16

16

Page 17: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

lainnya menuju terwujudnya realisasi sepenuhnya dari hak-hak tersebut. Oleh karena itu, kegagalan negara untuk menyediakan perawatan kesehatan dasar yang esensial bagi mereka yang membutuhkan dapat mengakibatkan sebuah pelanggaran.

Dari penjelasan Audrey P Chapman, dalam kaitannya dengan penghormatan hak atas

pendidikan:

1. Kewajiban untuk menghormati

Negara harus menghormati pilihan-pilihan masyarakat dalam hak atas pendidikan.

Sebagaimana terlihat dalam pasal 26 ayat (3) DUHAM, dan pasal 13 ayat (3) dan (4) Kovenan

Ekosob, bahwa Kebebasan untuk memilih institusi pendidikan bagi anak ada di tangan orang

tua atau wali yang sah. Sementara Negara wajib menghormati kebebasan tersebut. Selain itu,

Negara juga dilarang mencampuri kebebasan individu dan badan-badan untuk mendirikan dan

mengurus lembaga-lembaga pendidikan.

Dengan kata lain, Negara harus menghormati hak individu dan atau kelompok untuk memilih

sendiri sistem pendidikan yang dikehendaki juga meliputi hak individu dan atau kelompok

dalam mengembangkan sistem pendidikannya. Kedua aspek ini merupakan hak asasi dalam hak

atas pendidikan sebagaimana disebutkan di pasal 13 Kovenan EKOSOB.

2. Kewajiban untuk melindungi

Negara memiliki kewajiban untuk melindungi setiap orang dari pihak-pihak lain yang

menghalang-halangi atau menyebabkan orang tersebut kehilangan atau tidak bisa mengakses

hak atas pendidikannya.

3. Kewajiban untuk memenuhi

Dalam konteks memenuhi hak atas pendidikan, Negara memiliki kewajiban untuk memenuhi

hak atas pendidikan itu sendiri. Sebagaimana diatur dalam Kovenan Ekosob pasal 13 ayat (2)

huruf a sampai c, dimana Negara wajib menyediakan pendidikan secara gratis untuk pendidikan

dasar serta pengadaan pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi cuma-cuma secara bertahap.

Wujud pemenuhan hak tersebut adalah dengan menyediakan alokasi anggaran dan

mengupayakan agar pendidikan dapat diakses oleh siapa saja tanpa diskriminasi.

17

17

Page 18: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

Dengan demikian, terdapat dua dimensi kewajiban Negara, yang pertama adalah bahwa

kewajiban itu harus dilakukan dengan melakukan tindakan aktif. Sementara yang kedua, Negara

justru harus pasif dan tidak melakukan intervensi untuk menghormati hak atas pendidikan itu

sendiri. Sehingga, terdapat aspek dimana dibutuhkan campur tangan dan peran serta aktif

Negara dalam pemenuhan hak atas pendidikan. Namun, sebaliknya, terdapat aspek dimana

Negara hendaknya tidak melakukan intervensi dalam pelaksanaan hak atas pendidikan (pasif).

Jika dimensi kewajiban untuk memenuhi dan melindungi hak atas pendidikan menekankan

pada perlunya campur tangan Negara dalam penyelenggaraan pendidikan, maka dalam dimensi

kewajiban untuk menghormati, maka hendaknya peran Negara diupayakan seminimal mungkin.

Sebagai bagian dari kelompok hak-hak ekonomi sosial dan budaya, pelanggaran terhadap

hak atas pendidikan didefinisikan sebagai kegagalan pemerintah dari Negara peserta kovenan

untuk mematuhi kewajibannya yang tercantum dalam kovenan. Sebagaimana disebutkan

dalam The Limburg Priciples on The Implementation of The International Covenant on

Economic, Social and Cultural Rights21 kegagalan negara dalam pemenuhan hak atas pendidikan

dapat dikarenakan tindakan aktif (acts of commision) atau tindakan pasif (acts of ommisison)

dimana pelanggaran terjadi ketika negara tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan

sehingga hak tersebut tidak dapat diwujudkan.

Selain dimensi kewajiban Negara yang dirumuskan oleh Audrey P Chapman, dalam general

comments Kovenan Ekosob (generalcomments E/C.12/1999/10) juga tertuang mengenai empat

indikator untuk melihat keberhasilan atau kegagalan sebuah Negara dalam mewujudkan hak

atas pendidikan. Indikator tersebut antara lain:

a) Ketersediaan – menuntut berbagai lembaga dan program pendidikan harus

menyediakan sarana dan prasarana dalam kuantitas yang memadai seperti, bangunan

sebagai perlindungan fisik, fasilitas sanitasi untuk laki-laki dan perempuan, air minum

21 The Limburg Principles on The Implementation of The International Covenant on Economic, Social, and Cultural rights”. Human Quarterly vol 9 (1987). hal 121-135

18

18

Page 19: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

yang sehat, guru-guru yang terlatih dengan gaji yang kompetitif, materi – materi

pengajaran, serta tersedianya fasilitas perpustakaan,

b) Keterjangkauan - mengharuskan lembaga dan program pendidikan harus bisa diakses

oleh setiap orang, tanpa diskriminasi, di dalam yurisdiksi pihak negara. Aksesibilitas

mempunyai tiga dimensi umum yaitu :

- Non-diskriminasi – pendidikan harus bisa diakses oleh semua orang, terutama

golongan paling rentan, dalam hukum dan faktual, serta tanpa diskriminasi terhadap

bidang-bidang tertentu.

- Aksesibilitas fisik - pendidikan harus berada dalam jangkauan fisik yang aman,

mudah dijangkausecara geografis (misalnya, sekolah disekitar lingkungan tempat

tinggal) maupun teknologi informasi modern (misalnya, akses terhadap program

belajar jarak jauh).

- Aksesabilitas ekonomi - pendidikan harus bisa dijangkau oleh semua orang. Dimensi

aksesibilitas ekonomi ini meliputi : pendidikan dasar, pendidikan menengah maupun

pendidikan tinggi. Mengingat pendidikan harus tersedia “gratis untuk semua

kalangan’, pihak-pihak Negara perlu secara progresif mengusahakan pendidikan

menengah maupun pendidikan tinggi yang gratis.

c) Keberterimaan – menginginkan bentuk dan substansi pendidikan, termasuk kurikulum,

dan metode pengajaran harus mudah diterima (misalnya, relevan, tepat secara budaya,

dan berkualitas baik) untuk peserta didik dalam hal tertentu juga orang tua

d) Kebersesuaian – pendidikan harus fleksibel, supaya bisa mengadaptasi dengan

kebutuhan masyarakat dan komunitas yang selalu berubah serta selalu bisa merespon

kebutuhan peserta didik tanpa membedakan status sosial dan budayanya.

Empat aspek tersebut, yang juga dikenal dengan 4 A (Availability, Accessibility, Acceptability,

dan Adaptability) merupakan aspek yang harus dipenuhi oleh Negara, untuk membuktikan

pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan hak atas pendidikan sudah terpenuhi.tidak

19

19

Page 20: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

terwujudnya keempat aspek yang menjadi indikator tersebut jelas menunjukan bahwa Negara

gagal atau belum berhasil mewujudkan hak atas pendidikannya.

C. VISI PENDIDIKAN TINGGI

Hakikat Pendidikan

Pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan membuat orang

jadi beradab. Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih

luas lagi yaitu sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturisasi dan sosialisasi).

Peserta didik harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh dimensi dasar kemanusiaan.

Dimensi kemanusiaan itu mencakup tiga hal paling mendasar, yaitu:

(1) Afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi

pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis;

(2) Kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan

mengembangkan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan

(3) Psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis,

kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.

Fungsi pendidikan tidak berhenti pada individu, melainkan berpengaruh langsung terhadap

masyarakat. Prof. H.A.R Tilaar, M. Sc. Ed, melihat pendidikan merupakan sarana perubahan

sosial. Menurutnya, pendidikan adalah kunci dari semua aspek kehidupan sosial, budaya,

ekonomi, politik berkaitan dengan pendidikan. Perubahan sosial hanya bisa terjadi melalui

pendidikan, serta meningkatkan kapasitas manusia tidak dapat melalui kekuasaan, tetapi

pendidikan.22

Hal ini sejalan dengan pembukaan UUD 1945, dimana salah satu tujuan Negara adalah

mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, fungsi pendidikan tidak berhenti pada

individu, melainkan angat luas yang melibatkan seluruh masyarakat untuk menjadi cerdas.

Sementara para psikolog humanistis seperti Maslow dan Rogers berpendapat pendidikan

yang progresif adalah menyerukan penataan kembali masyarakat dan bangsa. Pembangunan 22Tuti alfiani Resensi buku Manajemen Pendidikan Nasional karya Prof. Dr. H.A.R Tilaar, M. Sc. Ed http://cair-resuman.blogspot.com/2010/06/resensi-buku-prof-tilaar.html

20

20

Page 21: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

sektor pendidikan harus menghasilkan sistem nilai yang mampu mendorong terjadinya

perubahan-perubahan positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.23 Dengan begitu,

pendidikan hendaknya dapat menjadi sarana pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya

sebagai subyek yang bermutu dan memberikan dampak pada perubahan sosial dan masyarakat

yang lebih baik.

Pendidikan Tinggi Sebagai Ruang Pengabdian Pada Masyarakat

Prof. H.A.R Tilaar, menyatakan24 Pendidikan Tinggi, dimana dunia akademik memiliki

peranan yang sangat strategis dalam menumbuh kembangkan kehidupan demokrasi atau

keterbukaan dan tidak hanya menjadi penonton atau mungkin pengritik kejadian-kejadian

sosial yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Perguruan Tinggi di masa depan agar

Lembaga perguruan tinggi dapat berfungsi sebagai mana suatu pranata sosial yang mendukung

pencapaian cita-cita untuk mewujudkan masyarakat yang terbuka yang adil dan makmur.

Sementara, dalam website dikti.go.id25, dirumuskan bahwa Pendidikan tinggi pada

hakekatnya merupakan upaya sadar untuk meningkatkan kadar ilmu pengetahuan dan

pengamalan bagi mahasiswa dan lembaga dimana upaya itu bergulir menuju sasaran - sasaran

pada tujuan yang ditetapkan. Perguruan tinggi sebagai lembaga merupakan komunitas hidup

dinamik dalam perannya menumbuh-dewasakan kadar intelektual, emosional dan spirirtual

para mahasiswa, bergumul dengan nilai - nilai kehidupan kemasyarakatan, mengejar dan

mendiseminasikan pengetahuan sebagai pengabdian bagi kemajuan masyarakat. Dalam posisi

dan perannya ini lembaga pendidikan tinggi merupakan mercu suar kebajikan dan

kemaslahatan, tidak seperti menara gading yang merupakan monumen mati sebagai simbol

belaka.

Dengan demikian, dapat dilihat bahwa fungsi pendidikan tinggi tidak semata-mata berhenti

pada pengembangan individu, melainkan berdampak secara langsung bagi masyarakat. Karena

itulah, kepentingan terhadap pendidikan tinggi yang berkualitas tidak hanya dimiliki oleh orang

23 Kajian BEMUI 2008 Badan Hukum Pendidikan24 Op.cit, Tuti Alfiani25 http://dikti.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=138&Itemid=231

21

21

Page 22: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

perorang saja. Pendidikan tinggi bukan sekotor jasa yang menghasilkan mahasiswa sebagai

produk siap pakai bagi perusahaan-perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja. Pendidikan

Tinggi merupakan tempat dimana ilmu pengetahuan didapatkan, diproses, dan dihasilkan,

untuk manfaat bagi masyarakat secara luas.

Perspektif yang melihat Pendidikan Tinggi sebagai pabrik untuk menghasilkan tenaga kerja

siap pakai, justru mengkerdilkan makna Pendidikan Tinggi itu sendiri. Mahasiswa sebagai

generasi penerus bangsa tidak bisa hanya disiapkan untuk berdaya saing dalam mendapatkan

pekerjaan. Merupakan kepentingan seluruh bangsa di dunia, untuk memiliki agent of change

yang sanggup memimpin dan membawa perubahan masyarakat menjadi lebih baik.

Bagi Kovenan Hak Ekosob, pendidikan harus diarahkan pada perkembangan kepribadian

manusia seutuhnya dan kesadaran akan harga dirinya, dan memperkuat penghormatan atas

hak-hak asasi dan kebebasan manusia yang mendasar. Pendidikan adalah proses pembebasan.

Bebas dari kemiskinan, bebas dari kebodohan, dan bebas dari kungkungan-kungkungan sosial,

politik, dan budaya. Dengan pendidikan, manusia mampu berpikir kritis, dan menentukan

hidupnya. Pendidikan juga merupakan suatu cara bagi manusia untuk mencapai mobilisasi

vertikal ke taraf hidup yang lebih baik.

Proses pembebasan tersebut tidak berhenti pada individu. Peran individu-individu sebagai

bagian dari masyarakat akan memberi dampak pada keseluruhan masyarakat, sehingga tercipta

masyarakat yang bebas dari kemiskinan, bebas dari kebodohan, dan bebas dari kungkungan-

kungkungan sosial, politik, dan budaya.

22

22

Page 23: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

Bagian III

KONDISI FAKTUAL PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA

A. PENDIDIKAN TINGGI SULIT DIAKSES

Pendidikan tinggi masih menjadi barang mewah di Indonesia. Hal tersebut terlihat dari

rendahnya angka partisipasi kasar pendidikan tinggi di Indonesia. Pada tahun 2010 Angka

Partisipasi Kasar Perguruan Tinggi sebesar 16.35, dan Angka Parsisipasi Murni Perguruan Tinggi

adalah 11.01.26 Pada tahun 2011, jumlah mahasiswa Indonesia baru mencapai 4,8 juta orang.

Bila dihitung terhadap populasi penduduk berusia 19-24 tahun, maka angka partisipasi kasarnya

baru 18,4 persen. Jumlah ini masih tertinggal dibandingkan negara-negara lain, terutama

negara maju.27

Rendahnya angka partisipasi tersebut menunjukkan rendahnya aksesibilitas untuk

mendapatkan pendidikan tinggi, terutama aksesibilitas ekonomi. Hal tersebut dikarenakan

biaya pendidikan tinggi di Indonesia masih sangat mahal akibat telah diprivatisasinya

pendidikan tinggi. Sebagaimana dikemukakan di Bab I, hak atas pendidikan merupakan salah

satu dari Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. Dalam pemenuhannya, berdasarkan Komentar

Umum Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya terdapat 4 indikator, yaitu Ketersediaan,

Keterjangkauan, Keberterimaan, dan Kebersesuaian. Untuk indikator keterjangkauan, salah

satunya adalah keterjangkauan ekonomi (aksesibilitas ekonomi). Indikator tersebut,

menunjukkan bahwa negara Indonesia belum memenuhi hak atas pendidikan warga negaranya

dalam mengakses pendidikan tinggi. Bahkan kebijakan privatisasi pendidikan semakin

memperburuk keadaan. Di Universitas Gadjah Mada, misalnya pada tahun 2002 sekurang-

26http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=28&notab=1 diunduh pada 3 Februari 2012

27 http://edukasi.kompas.com/read/2011/03/26/13202052/Mahasiswa.di.Indonesia.Cuma.4.8.Juta diunduh pada 3 Februari 2012

23

23

Page 24: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

kurangnya terdapat 1.000 calon mahasiswa yang mengundurkan diri karena tidak mampu

membiayai ongkos pendidikan.28

PENGALIHAN TANGGUNG JAWAB

B. PRIVATISASI PENDIDIKAN

Privatisasi PTN sebenarnya berawal dari krisis ekonomi yang mendera bangsa Indonesia

sejak pertengahan tahun 1997. Krisis ekonomi memaksa bansa Indonesia bekerja sama dengan

lembaga keuangan internasional (IMF). IMF bersedia member pinjaman dengan syarat adanya

berbagai macam kenaikan harga, seperti tarif listrik, bahan bakar mnyak, yang lalu diikuti

melambungnya berbagai macam kebutuhan harian masyarakat. Bagi dunia pendidikan, paling

nyata adalah privatisasi PTN.

Privatisasi PTN dituangkan dalam PP 61/1999 dan PP 153/2000 yang Mengubah status PTN

menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Privatisasi berarti pencabutan subsidi pendidikan

secara bertahap lima tahun terhitung semenjak 1999. Sejak itu perguruan tinggi dituntut

mencari dana secara mandiri untuk membiayai pendidikannya. Di dalam perkembangannya

persoalan ini kemudian menjadi pangkal atas persoalan komersialisasi dunia pendidikan dan

menjadikan dunia pendidikan semakin mahal untuk diakses warga ekonomi kelas rendah.29

Privatisasi pendidikan berdalih otonomi kemudian menghasilkan berbagai program

perguruan tinggi yang menghasilkan uang dari mahasiswa dan masyarakat, misalkan ujian

mandiri dan sumbangan pendidikan. Berdasarkan data penerimaan mahasiswa di PTN tahun

2008/2009, Sumbangan Pembangunan Pendidikan (SPP) yang dibebankan kepada para calon

mahasiswa sangat mahal. Di UI, sistem penerimaan mahasiswa UI-Program prestasi dan minat

mandiri mematok tariff Rp. 75 juta/calon mahasiswa. Di Undip, program pengembangan dan

kerja sama mematok tariff Rp. 25 juta hingga Rp. 250 juta per calon mahasiswa. UGM membuka

Program Penjaringan Kemitraan dengan tariff Rp. 15 juta hingga Rp. 10o juta per calon

28 (Muhammad Rifa’I, Sejarah Pendidikan Nasional, Cet. I. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011. Hal, 266)

29 Muhammad Rifa’I, Sejarah Pendidikan Nasional, Cet. I. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011. Hal, 26524

24

Page 25: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

mahasiswa. Kemudian, ITB melalui penelusuran minat, bakat, dan potensi mematok tarif Rp. 45

juta per calon mahasiswa.30

Privatisasi yang memiliki maksud baik membuat setiap PTN semakin mandiri dalam

kerangka kerja ilmunya, ternyata menyimpan bara ketidakadilan sosial, melanggengkan

kemiskinan dan mencabut hak-hak orang miskin atas pendidikan yang semestinya disediakan

oleh negara.

Berbicara tentang pengalihan tanggung jawab pendanaan dari Negara ke masyarakat, hal

itu menjadi masalah ketika kita melihat makna pendidikan itu sendiri. Bagi individu, pendidikan

merupakan suatu proses pembebasan. Bebas dari kemiskinan, bebas dari kebebasan, dan bebas

dari kungkungan-kungkungan sosial, politik, dan budaya. Dengan pendidikan, manusia mampu

berpikir kritis, dan menentukan hidupnya. Pendidikan juga merupakan suatu cara bagi manusia

untuk mencapai mobilisasi vertikal ke taraf hidup yang lebih baik.

Namun, fungsi pendidikan tidak berhenti hanya pada individu saja. Ada ungkapan yang

menyatakan bahwa harapan besar masyarakat terletak pada karakter tiap individu. Ungkapan

ini bila diartikan secara lebih luas mengandung makna bahwa tiap individu berperan dalam

pembangunan peradaban. Hal ini karena masyarakat sendiri terdiri dari individu sehingga untuk

membangun masyarakat, peran tiap individu sangat dibutuhkan. Dengan kata lain, masing-

masing individu memiliki peranan dalam membangun sebuah peradaban bangsa. Majunya

sebuah bangsa bergantung pada individu-individu yang ada untuk mendapatkan pendidikan

dan menentukan arah bangsa ini. Karena itu, Negara memiliki kepentingan akan pendidikan dan

kemajuan individu tersebut, yang akhirnya akan menjadi kemajuan kolektif yang

mempengaruhi kemajuan Negara.

Kesadaran itu tampaknya turut mendorong para pembentuk Undang-undang Dasarr 1945,

dimana merumuskan‘mencerdaskan kehidupan bangsa,’sebagai tujuan Negara. Hak atas

pendidikan juga secara tegas diatur di dalam batang tubuh UUD 1945, asal 28 C dan pasal 31

ayat (1).

30Ibid. Hal. 28225

25

Page 26: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

Tidak berhenti di UUD 1945, Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional juga menyatakan setiap warga Negara memiliki hak yang sama untuk mendapatkan

pendidikan yang bermutu. Indonesia bahkan berkomitmen dalam memajukan pendidikan

melalui konvenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob). Kovenan yang diratifikasi melalui

UU No. 11 Tahun 2005 menjadi sebuah dasar hukum yang mengikat, sama seperti Undang-

undang lainnya di Indonesia. Kovenan ini secara jelas menunjuk Negara sebagai pihak yang

bertanggung jawab untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati hak atas pendidikan.

Apabila kita tengok pasal 13 Kovenan Ekosob tersebut, jelas bahwa Negara melalui

pemerintahlah yang memiliki tanggung jawab dalam hak atas pendidikan. Tak hanya pendidikan

dasar, Negara juga wajib menyediakan pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi secara Cuma-

cuma secara bertahap. Kewajiban Negara tersebut, mencakup aspek ketersediaan,

keterjangkauan, keberterimaan, dan kebersesuaian. Keempat indikator tersebut menjadi tolak

ukur apakah sebuah Negara benar-benar melaksanakan tanggung jawabnya dalam hak atas

pendidikan atau tidak.

Inkonsistensi Pengaturan

Dengan demikian, munculnya konsep badan hukum pendidikan (dengan huruf kecil, karena

bukan hanya bentuk Badan Hukum Pendidikan, tapi juga bentuk badan hukum bagi pendidikan

lainnya), yang mengalihkan tanggung jawab pendanaan dari Negara ke masyarakat jelas

bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya. Secara nyata, dampak dari

pembadanhukuman lembaga pendidikan juga sudah bisa dilihat melalui institusi-institusi

pendidikan yang berbentuk badan hukum seperti UI. Polemik UI, yang muncul akibat berbagai

permasalahan, terutama persoalan biaya dan berbagai kebijakan mercusuar, justru diakibatkan

oleh kebijakan pendidikan di tataran nasional.

Karena itu, tidak mengherankan Mahkamah Konsitutusi (MK) melalui putusannya tanggal 3

Maret 2010, mencabut Undang-undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.

MK mencabut Undang-undang tersebut secara keseluruhan, bukan hanya pasal per pasalnya.

Karena, yang bertentangan dengan UUD 1945 bukan sekedar pengaturan di dalamnya, tetapi

konsep badan hukum secara keseluruhan.

26

26

Page 27: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

Mencermati permasalahan UI, dan juga lembaga pendidikan lainnya, yang harus kita

perhatikan adalah landasan hukum yang mengatur tata kelola pendidikan tinggi, termasuk

organ, sistem keuangan, status kepegawaian, dan isu-isu lainnya yang saat ini turut menjadi

polemik di UI. Hendaknya pendidikan tinggi yang diselenggarakan secara cuma-cuma meskipun

secara bertahap itu dapat terwujud. Kewajiban Negara harus dipahami dan dilaksanakan secara

komprehensif, baik untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati hak atas pendidikan.

Artinya, secara positif, Negara harus memenuhi dengan menyediakan pendidikan yang

bermutu, melalui anggara pendidikan yang memadai, serta melindungi warga Negara dari

pihak-pihak ketiga yang melakukan atau berpotensi melanggar hak atas pendidikan. Secara

negatif, kewajiban untuk menghormati mengharuskan Negara memberikan kewenangan

kurikulum, dan menjadikan institusi pendidikan berjalan independen tanpa intervensi Negara

dalam hal kegiatan belajar mengajar dan menciptakan ilmu pengetahuan.

C. KONDISI SOSIOLOGIS PENDIDIKAN TINGGI

Sejak tahun 2000 hingga saat ini, sbanyak tujuh perguruan tinggi negeri telah beralih status

menjadi Badan Hukum Milik Negara. BHMN memiliki perbedaan yang signifikan dibandingkan

PTN. Perbedaan ini terletak di sifat otonom, tidak hanya terkait kurikulum, atau akademis,

melainkan juga otonom dalam pengelolaan keuangan.

Kondisi UI sebagai Perguruan Tinggi BHMN

Universitas Indonesia (UI), sejak tahun 200 menjadi BHM melalui Peraturan Pemerintah No.

152 Tahun 2000. Status BHMN memberikan otoritas kepada UI untuk menentukan

kebijakannya, yang direncanakan oleh pimpinan Universitas (rektor) dengan persetujuan

Majelis Wali Amanat, serta dilaksanakan oleh badan rektor dan jajarannya. Semenjak menjadi

Universitas BHMN, kita menyaksikan sejumlah kebijakan terkait pembangunan fisik yang

membutuhkan pendanaan besar. Pembangunan fisik disertai ketidakmampuan UI dalam

mendapatkan sumber pendanaan, akhirnya membebankan mahasiswa untuk membayar lebih

besar. Melalui otonomi kebijakan, UI menghasilkan berbagai kebijakan pendanaan yang

membebabkan mahasiswa, antara lain melalui:

a. Admission Fee27

27

Page 28: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

Admission Fee di UI mulai berlaku sejak tahun 2004, yang tujuannya jelas untuk menambah

pemasukan UI. Admission fee dibayarkan oleh mahasiswa baru di awal tahun ketika masuk UI.

Besarnya admission fee berdasarkan fakultas, dengan jumlah antara Rp5 juta, Rp10 juta, dan

Rp25 juta.

b. Biaya Operasional Pendidikan Berkeadilan

Biaya Operasional Pendidikan Berkeadilan, disingkat BOP-B, merupakan suatu sistem yang

muncul ketika rektor ingin menaikkan BOP yang telah berlaku. BOP-B dirumuskan dengan

harapan bahwa mahasiswa yang masuk ke UI dapat membayar BOP dengan proporsional sesuai

dengan kemampuan financial yang dimiliki. Namun pada pelaksanaan di lapangan BOPB

menjadi sebuah sistem keringanan, untuk mahasiswa yang dianggap tidak mampu membayar

biaya operasional pendidikan sebesar Rp5 juta (untuk rumpun sosial), dan Rp7,5 juta (untuk

rumpun sains)

c. Ujian Mandiri UI sebagai jalur masuk S1 reguler

Tahun 2008, UI melaksanakan Ujian Mandiri Bersama dengan 4 Perguruan tinggi lainnya,

yaitu UI Jakarta, USU Medan, UIN Jakarta, UNJ Jakarta, dan Unhas Makassar. Dan pada tahun

2009 UI menyelenggarakan SIMAK UI yang merupakan jalan masuk UI program S1 reguler,

vokasi, dan non regular. Stigma yang berkembang di masyarakat bahwa ujian mandiri adalah

mahal, tentunya akan membatasi keberanian siswa/I SMA untuk memilih UI. Hal ini berarti

secara tidak langsung UI sudah menutup akses calon mahasiswa itu untuk masuk UI. Padahal,

Aksesibilitas merupakan salah satu indikator terpenuhinya hak pendidikan.

Selain itu, bentuk pendaftaran SIMAK yaitu secara online menjadi permasalahan tersendiri.

Tidak semua siswa/I SMA di Indonesia akrab dan bisa mengakses internet. Seperti yang kita

ketahui adalah bahwa salah satu ciri masyarakat miskin adalah memiliki keterbatasan atas

akses informasi, termasuk internet. Dari sini bisa kita lihat bahwa sejak awal, dengan

mekanisme SIMAK, UI sudah melakukan seleksi finansial bagi calon mahasiswanya.

d. Jalur Non Reguler

28

28

Page 29: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

Jika biasanya kita hanya mengenal S1 reguler, D3, dan Ekstensi, maka kini kita mengenal

jalur masuk baru yang bernama non regular. Di peraturan dikti sendiri dikatakan bahwa

nonreguler merupakan salah satu cara untuk menambah pemasukan. Adanya program non

regular di UI menunjukkan bahwa UI masih mengandalkan mahasiswa sebagai penyumbang

dana terbesar.

D. Kisruh pengelolaan perguruan tinggi.

Kisruh Tata Kelola UI

Kita tentu belum lupa dengan munculnya kontroversi pemberian penghargaan Honoris

Causa oleh UI kepada raja Saudi Arabia menjadi perdebatan yang muncul ke permukaan publik.

Tak tanggung-tanggung kecaman tidak hanya datang dari kalangan aktivis Buruh Migran yang

keberatan UI memberikan penghargaan bagi raja yang membiarkan pelanggaan HAM terhadap

Buruh Migran Indonesia terus terjadi di negaranya itu. Kecaman yang lebih banyak tertuju pada

rektor Universitas Indonesia tersebut justru dilancarkan oleh internal keluarga Universitas

Indonesia. Dari Guru Besar, pekerja, alumni, bahkan mahasiswa, seakakan bersaut-sautan

meneriakan rektor UI turun dari jabatannya.

Apabila kita telusuri lebih jauh, kecaman dari lingkungan UI bukan tanpa alasan. Pasalnya,

kesalahan Rektor UI tidak sebatas pemberian gelar Honoris Causa. Sederet kebijakan yang

dinilai tidak sesuai menjadi pemicu murkanya berbagai elemen di UI. Dari mahasiswa, dosen

dan karyawan, sampai Guru Besar, masing-masing bersuara berdasarkan kepentingannya.

Persoalan mahalnya biaya pendidikan, tidak adanya sistemnya check and balances, dan tidak

adanya status kepegawaian yang jelas, yang akhirnya memberikan dampak terhadap

ketidakjelasan hak yang mereka peroleh pula merupakan persoalan besar dari persoalan

lainnya yang membuat civitas akademika UI seolah meledak di momen ini.

Polemik di UI sudah menjadi api dalam sekam selama bertahun-tahun. Ketidakpuasan dari

berbagai elemen tidak muncul ketika UI yang dipimpin Gumilar Rusliwa Sumantri memberikan

gelar Dr Honoris Causa kepada raja Arab. Terhitung sejak tahun 1999, gejolak di UI sudah

29

29

Page 30: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

tercatat. Mahasiswa berdemo karena munculnya Dana Peningkatan Kualitas Pendidikan (DPKP),

yang berjumlah Rp750 ribu.

Menyusul kemudian, UI dibadanhukumkan, melalui Peraturan Pemerintah No. 152 Tahun

2000 tentang Penetapan Universitas Indonesia sebagai Badan Hukum Milik Negara. Sejak saat

itu, berbagai kebijakan yang terkait peningkatan biaya pendidikan terus muncul. Dari mulai

hadirnya admission fee sebesar Rp5 juta sampai Rp25 juta. Hingga kenaikan biaya operasional

pendidikan sebesar Rp5 juta dan Rp7,5 juta per semester.

Karena itu, persoalan di UI tentulah bukan sekedar pemberian gelar, bukan pula sekedar

tentang tata kelola yang dianggap bermasalah, karena Majelis Wali Amanah UI terancam

dibubarkan. Sebaliknya, permasalahan UI terkait erat dengan kebijakan nasional. Sehingga,

sangat relevan membicarakan keterkaitan polemic UI dengan rezim badan hukum pendidikan,

yang sangat mungkin akan terjadi di lembaga-lembaga pendidikan lainnya.

Hadirnya konsep BHMN, memang terkait erat dengan wacana membadanhukumkan semua

lembaga pendidikan, sebagaimana yang dituangkan dalam Undang-undang Badan Hukum

Pendidikan yang telah dicabut beberapa waktu yang lalu. UI, disusul oleh enam Perguruan

Negeri lainnya, harus menjadi laboratorium uji coba pemberlakukan badan hukum pendidikan

melalui status BHMN tersebut.

Lembaga Pendidikan sebagai Badan Hukum

Bentuk badan hukum bagi lembaga pendidikan muncul dari semangat otonomi pendidikan.

Berbagai permasalahan birokrasi menjadi alasan kebutuhan lembaga pendidikan untuk menjadi

otonom, baik dari segi tata kelola maupun keuangannya. Baik di PP 152 Tahun 2000, maupun

Undang-undang BHP menyatakan kekayaan awal Universitas berasal dari APBN berupa

kekayaan Negara yang dipisahkan. Itulah yang mengakibatkan lembaga pendidikan dengan

bentuk badan hukum tersebut dapat dipailitkan.

Masih terkait dengan keuangan, muncul pengalihan tanggung jawab pendanaan dari

Negara ke Universitas. Dengan status Perguruan Tinggi Negeri, Universitas mendapatkan

pembiayaan dari alokasi APBN. Namun, otonomi pendidikan memberikan taanggung jawab

30

30

Page 31: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

kepada universitas untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan di luar APBN. Sejalan dengan

kewenangan untuk merumuskan kebijakannya sendiri, yang terjadi di UI belakangan rektor

memilih pebangungan fisik sebagai prioritas.

Pembangunan fisik ini otomatis disertai dengan kebutuhan pendanaan yang cukup besar.

Masalahnya, jalan pencarian dana yang disediakan, misalnya dalam bentuk ventura tidak

memberikan hasil yang signifikan. Hal ini tidak mengherankan mengingat universitas didirikan

untuk tujuan pendidikan, menciptakan ilmu pengetahuan, bukan untuk pencarian dana.

Akibatnya, kebutuhan dana yang besar itu dibebankan kepada peserta didik. Kebijakan terkait

pembiayaan pendidikan yang kemudian keluar adalah melulu kenaikan biaya, dari mulai

munculnya admission fee, kenaikan BOP, dibukanya jalur Non Reguler, dan lain sebagainya.

E. PERGURUAN TINGGI RENTAN INTERVENSI

Di institusi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) kandidat rektor dinominasikan oleh senat.

Tiga kandidat yang menduduki peringkat paling tinggi akan dihadapkan ke Majelis Wali Amanat

untuk dilakukan pemilihan, tetapi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ikut di dalamnya dan

memiliki hak suara yang cukup besar, yaitu sebesar 35%. Sedangkan di institusi non BHMN,

kandidat dinominasikan oleh senat universitas yang kemudian dikirim dan direkomendasikan ke

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.31

Pemilihan rektor universitas sangat dipengaruhi oleh jaringan sosial politik. Setiap calon

rektor harus mendekati kekuasaan dan pengambil keputusan. Seringkali rektor harus

mendekati partai-partai yang dominan untuk menjadi mendapatkan posisi rektor, selain itu juga

dipengaruhi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang saat itu menjabat berasal dari

partai politik mana. Jika ada calon rektor yang berkualitas, namun tidak memiliki jaringan politik

yang bagus, maka jangan harap ia akan terpilih menjadi rektor. Akibat dari kondisi tersebut,

rektor menjadi tidak kritis terhadap kebijakan pemerintah dan justru jadi corong pemerintah

dengan mengabaikan kebenaran akademisnya.

31 Heru Nugroho, The Political Economy of Higher Education: The University As An Arena For The Struggle For Power. Hal.150

31

31

Page 32: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

Selain permasalahan pemilihan pimpinan universitas. Universitas di Indonesia saat ini masih

terpengaruh oleh struktur kebijakan Orde Baru. Struktur yang militeristik di jaman Orde Baru

mengakibatkan kampus berada di bawah komando dari pemerintah. Struktur komandonya

sebagai berikut: President, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Pendidikan Tinggi,

Rektor, Dekan atau Kepala Pusat Studi, Kepala Departemen/Program/Jurusan/Laboratorium,

Pengajar, dan Mahasiswa. Struktur tersebut merupakan piramida administrasi.32 Universitas

memliki kewenangan untuk membuat putusan terkait administrasi dalam departemen dan

fakultas, namun masih dalam pengaruh besar pemerintah. Promosi harus dibuat oleh Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan. Surat untuk pengukuhan professor pun harus ditandatangani

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan cenderung otoriter dalam kebijakannya, misalnya

adanya Surat Edaran No. 152/E/T/2012 tanggal 27 Januari perihal publikasi karya ilmiah untuk

mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 berlaku mulai kelulusan Agustus 2012. Isinya adalah mewajibkan

mahasiswa S-1 untuk menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah, mahasiswa S-2

menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal nasional, dan mahasiswa S-3 wajib menghasilkan

makalah yang terbit pada jurnal internasional. Demi meningkatkan produktivitas, Kementrian

Pendidikan dan Kebudayaan tidak memperhatikan bagaimana implementasi surat edaran

tersebut dan bagaimana kualitas makalah yang diterbitkan. Jika setiap tahunnya terdapat

100.000 calon lulusan S-1, S-2, dan S-3, perlu disediakan sejuta halaman jurnal ilmiah. Kalau

satu jurnal rata-rata 150 halaman dan terbit 12 kali setahun, yang harus disediaka adalah 555

jurnal ilmiah baru. Selain itu apakah Dikti bisa mengecek 1000.000 halaman makalah tersebut.

Dalam tulisannya Franz Magnis Suseno SJ mengkritisi kewajiban makalah, ia mengatakan

perguruan tinggi di Indonesia dipermainkan birokrat-birokrat yang wawasannya kadang-kadang

berkesan beyond hope, melampaui harapan.33

F. PERGURUAN TINGGI RENTAN PENYIMPANGAN ANGGARAN

Di tengah gencarnya pemberantasan korupsi, perguruan tinggi justru menjadi bagian dari

masalah. Otonomi yang diberikan berpotensi besar menimbulkan penyimpangan anggaran 32 Ibid, Hal. 154.33 Franz Magnis Suseno SJ, Dikti di Seberang Harapan?, Kompas, 8 Februari 2012, Hal. 6.

32

32

Page 33: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

sehingga memang diperlukan tata keuangan yang tersendiri terhadap perguruan tinggi. Kasus

dugaan penyimpangan tersebut dapat terlihat antara lain dalam beberapa kampus sebagai

berikut:

Universitas Gadjah Mada (UGM)

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit terhadap pengadaan barang dan jasa

serta rekening UGM. BPK menemukan 9 permasalahan signifikan dalam pengelolaan anggaran

di UGM dalam rentang tahun 2008-2010. Hal tersebut sesuai dengan surat BPK kepada Rektor

UGM dengan nomor 42/S/VIII/12/2011 per tanggal 30 Desember 2011. Sembilan permasalahan

tersebut adalah sebagai berikut:34

1) Penetapan volume pekerjaan dalam RAB tidak berdasar data faktual dan gambar

rencana pembangunan RSA UGM tahap II TA 2010 mengakibatkan kelebihan

pembayaran sebesar Rp 479.679.261,10.

2) Penetapan harga satuan pekerjaan dalam addendum kontrak pembangunan RSA UGM

tahap II TA 2010 melebihi harga penawaran mengakibatkan kelebihan pembayaran

sebesar Rp 2.066.210.452,50

3) Volume pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai kontrak minimal senilai Rp 262.464.789,40

4) Pelaksanaan pekerjaan pembangunan gedung RSA UGM tahap I dan II serta Fisipol tahap

II terlambat dan belum dikenakan sanksi denda sebesar Rp 3.489.722.071,00

5) Hasil pengadaan peralatan RSA UGM TA 2009 dan 2010 belum dapat dimanfaatkan dan

tidak dapat dilaksanakan uji fungsi sebagai syarat penyelesaian pekerjaan

mengakibatkan denda keterlambatan sebesar Rp 1.383.655.450,00

6) Prosedur pengadaan tanah untuk pembangunan RSA UGM tidak sesuai ketentuan

7) Pembayaran biaya langsung non personil atas pelaksanaan kontrak konsultan tidak

didukung bukti senilai Rp 1.102.790.000,00

34 http://www.detiknews.com/read/2012/02/02/100308/1832128/10/9-Temuan-BPK-Soal-Masalah-Keuangan-UGM diakses 3 Februari 2012

33

33

Page 34: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

8) Penilaian penawaran penyedia jasa pembangunan RSA UGM tahap II TA 2010 tidak

berdasarkan dokuen lelang mengakibatkan indikasi kerugian negara sebesar Rp

22.846.000.000,00

9) Penerimaan pendidikan dan non pendidikan UGM TA 2010 tidak disetorkan ke rekening

rektor sebesar Rp 336.832.693.470,38.

Institut Teknologi Bandung (ITB)

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit terhadap pengadaan barang dan jasa

serta rekening Institut Teknologi Bandung (ITB), dan menemukan BPK 5 permasalahan

signifikan dalam pengelolaan anggaran di ITB dalam rentang tahun 2008-2010. Hal tersebut

sesuai dengan surat BPK kepada Rektor ITB dengan nomor 35/S/VIII/12/2011 per tanggal 30

Desember 2011. Lima permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:35

1) Penyedia barang TA 2008,2009,2010 tidak dapat melaksanakan pekerjaan sesuai

kontrak dan tidak dikenakan sanksi senilai Rp 122.759.797,00

2) Addendum pengurangan volume pekerjaan tidak sesuai ketentuan sehingga tujuan

pengadaan barang tidak tercapai dan ITB tidak memperoleh barang yang dibutuhkan

senilai Rp 1.445.322.780,00

3) Addendum perubahan volume kotrak dan perpanjangan jangka waktu pelaksanaan

pekerjaan pada empat kontra senilai Rp 3.959.241.932,93 dibuat setelah jangka waktu

kontrak berakhir dan mendahului surat peringatan/teguran I

4) Pekerjaan pengadaan barang yang berasal dari sumber dana APBN terlambat

diselesaikan dan belum dikenakan denda keterlambatan Rp 191.560.560,00

5) Pekerjaan pengadaan barang yang berasal dari sumber dana masyarakat (DM) terlambat

diselesaikan dan belum dikenakan denda keterlambatan senilai Rp 29.763.515,00

Universitas Indonesia (UI)35 http://www.detiknews.com/read/2012/02/02/103743/1832153/10/5-Temuan-BPK-Soal-Masalah-Keuangan-ITB diakses pada 3 Februari 2012

34

34

Page 35: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menduga telah terjadi tindakan korupsi dengan potensi

kerugian negara sejumlah Rp. 41 miliar. Dugaan tersebut terkait alih fungsi lahan bekas asrama

Pegangsaan Timur (PGT) di daerah Cikini seluas 23.583 meter tanpa sepengetahuan Kementrian

Keuangan.36 Selain itu, Universitas Indonesia juga dinilai tidak transparan. Hal tersebut

tercermin dengan adanya permintaan informasi pengelolaan keuangan yang dimohonkan oleh

Indonesia Corruption Watch (ICW), namun tidak ditanggapi secara transparan. ICW pun

melakukan gugatan ke Komisi Informasi Publik (KIP).37

G. PENGARUH TREN KAPITALISASI GLOBAL

Berakhirnya perang dingin telah memberikan berbagai konsekuensi terhadap konstelasi

politik global. Salah satu dan mungkin yang paling penting adalah kemenangan demokrasi

liberal atas komunis Uni Soviet. Kemenangan oleh Fukuyama dimaknai oleh akhir dari sejarah

dimana kemenangan demokrasi liberal membuat nilainilai demokrasi liberal akan menyebar ke

seluruh dunia dan manusia akan hidup dalam kedamaian di bawah naungan nilai-nilai

demokrasi liberal. Hal tersebut menjadi konsekuensi yang logis dimana AS sebagai negara yang

menguasai konstelasi politik global, memiliki sebuah privilaged untuk menyebarkan nilai-nilai

yang dipegang oleh AS, dalam hal ini adalah nilai-nilai demokrasi liberal. Oleh sebab itu sejak

berakhirnya perang dingin demokrasi liberal disebarkan melalui berbagai institusi maupun

rezim, termasuk WTO, IMF, dan Bank Dunia, yang biasa disebut unholly trinity. Lewat kebijakan

stuctural adjustment program-nya, ketiga institusi tersebut menjadi ujung tombak penyebaran

nilai-nilai demokrasi liberal.

Indonesia sebagai sebuah entitas negara yang tidak terpisahkan dari konstelasi politik

global, juga tidak dapat menghindarkan diri dari penyebaran nilai-nilai demokrasi liberal. Dalam

konteks kebijakan pendidikan, maka keikutsertaan Indonesia dalam GATS menjadi awal mula

masuk-nya semangat liberal-kapitalisme di dunia pendidikan. Berdasarkan kesepakatan di

36http://www.bisnis.com/articles/korupsi-bpk-temukan-dugaan-korupsi-ui-rp41-miliar diakses 3 Februari

2012

37 http://nasional.vivanews.com/news/read/277158-icw-gugat-rektor-ui-ke-kip diakses pada 3 Februari 2012

35

35

Page 36: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

GATS, maka pendidikan dimasukkan sebagai salah satu sektor komoditas jasa, sehingga

Indonesai yang ikut menyepakati GATS, harus melakukan berbagai penyesuai struktural agar

sektor pendidikan menjadi sebuah sektor komoditas jasa. Berangkat dari kesepakatan tersebut,

maka Indonesia mengeluarkan berbagai kebijakan terkait pendidikan mulai dari UU Sisdiknas,

UU Guru dan Dosen, dan UU Badan Hukum Pendidikan yang akhirnya dicabut oleh MK. Seperti

yang kita ketahui, pasca dicabutnya UU BHP oleh MK, muncul Rancangan Undang-undang baru

yang mengatur tata kelola pendidikan tinggi. Prinsip otonomi mewarnai pengaturan dalam draft

RUU ini, sebagaimana diatur dalam UU BHP.

Berbagai perundangan-undangan tersebut membuat adanya perubahan secara struktur

makna pendidikan, dari sebuah majelis luhur tempat dilakukannya transfer wawasan, budaya,

dan nilai-nilai, menjadi sebuah sektor komoditas jasa yang mana dapat diperjual belikan

selayaknya barang ekonomi lainnya. Berbagai program telah diberikan oleh Bank Dunia agar

institusi pendidikan lebih siap dalam penyesuaian diri menjadi sebuah institusi sektor jasa,

seperti Higher Education for Compt Project (HECP) yang pada akhirnya dirubah menjadi

Indonesia Managing Higher Education for Relevance dan Efficiency (IMHERE). Bila kita melihat

secara sepintas judul dari program tersebut maka tujuan dari program tersebut adalah

terbentuknya sebuah pendidikan yang efisien.

Dalam konteks tersebut, maka pemikiran liberal percaya bahwa akan terjadi sebuah

efisiensi ketika peran negara diminimalisasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa program

tersebut merupakan sebuah ‘bantuan’ terhadap proses perubahan institusi pendidikan menjadi

sebuah institusi yang efisien. Pada akhirnya kita dapat melihat bahwa berbagai kebijakan yang

dikeluarkan oleh pemerintah dalam kaitannya dengan pendidikan menunjukkan adanya upaya

secara sistematis untuk mewujudkan sebuah pendidikan yang efisien tanpa adanya intervensi

dari pemerintah.

Dalam Dokumen Bank Dunia, Project Apprissal Document on a Proposed Loan In the

Amount of $50 millions, and a Propose Credit os SDR 19,85 millions ($ 0 millions equivalent) to

the Republic Indonesia for a Managing Higher Education for Relevant and efficiency Project ,

36

36

Page 37: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

terdapat beberapa hal yang menyebut-nyebut Badan Hukum Pendidkan. Badan Hukum

Pendidikan disebut2 sebagai salah satu Key Project Indicators, yaitu:

There are five key indicators for the development objectives of this project. These general indicators will guide project monitoring and evaluation and are discussed in detail in Annex 3. the foundation for a coherent legal structure and an overarching regulatory framework to support the effectiveness o f institutional autonomy.

The National Information System for Higher Education develops the capability to conduct and report on regular graduate tracer studies by 2010, thereby signaling significant The draft law on education institutions (BHP) is passed by 201 0, thereby putting in place

Apabila kita membaca naskah akademik RUU Pendidikan Tinggi versi 22 Maret 2011, kita

akan melihat inkosistensi yang nyata dari sikap pemerintah. Dalam naskah akademik tersebut

dinyatakan, “UUD 1945 pada esensinya menyatakan bahwa pendidikan nasional bukan bidang

usaha jasa untuk menghasilkan tenaga kerja terdidik, yang satu kategori dengan industri

pertambangan, perdagangan dan jasa perbankan dan keuangan serta jasa-jasa lainnya.”

Namun nyatanya, Naskah Akademik ini menghasilkan sebuah Undang-undang yang

menganut prinsip otonomi dalam pengelolaan pendidikan, yang mereduksi peran Negara dalam

menyelenggarakan pendidikan tinggi. Dalam draft terbaru, RUU yang diberi judul Tata Kelola

Pendidikan Tinggi ini tak lagi malu-malu menunjukan semangat otonomnya. Perguruan Tinggi

akan dibagi menjadi Perguruan Tinggi otonom, semi otonom, dan otonom terbatas. Jelas

bahwa Perguruan Tinggi yang tadinya berbentuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan swasta,

dimana PTN menjadi sepenuhnya tanggung jawab Negara, dilepaskan untuk berdiri sendiri,

dengan beban pengelolaan, termasuk pengelolaan keuangan.

RUU ini secara tegas memberikan kewajiban kepada mahasiswa untuk turut menanggung

biaya pendidikannya. Sementara, dana dari Negara hanya berbentuk bantuan. Dari sini kita

melihat bahwa konsep pendidikan tinggi yang dikehendaki bukanlah perguruan tinggi yang

diselenggarakan oleh Negara. Sehingga terlihat pergeseran pendidikan yang seharusnya

menjadi barang publik, masuk ke dalam sektor privat dimana campur tangan Negara dalam

penyelenggaraannya menjadi begitu minim.

Sebagaimana tertuang dalam draft tanggal 17 Maret 2012 , Pengelolaan Perguruan Tinggi

Otonom, memiliki otonomi baik dalam bidang akademik maupun nonakademik. PTN yang 37

37

Page 38: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

berstatus otonom dapat berbentuk badan hukum pendidikan yang bersifat nirlaba dan

berfungsi meningkatkan layanan pendidikan untuk memajukan PTN. Hal ini sejalan dengan apa

yang ‘diamanahkan’ Bank Dunia melalui IMHERE. Dalam dokumen IMHERE, tertuang:

A new BHP law must be passed to establish the independent legal status of all education institutions in Indonesia (public and private), thereby making BHMN HEIs a legal subset o f BHP.

Selain itu, peran pemerintah dalam bentuk pendanaan tereduksi dalam RUU ini. pelepasan

tanggung jawab tersebut paling parah terjadi untuk PTN otonomo. Pasalnya, dana yang

dikeluarkan oleh APBN hanya dialokasikan untuk membiayai investasi, operasional, dan

pengembangan PTN itu sendiri. Sementara untuk mahasiswa hanya berbentuk dukungan biaya

untuk mengikuti pendidikan tinggi, yang disalurkan dalam bentuk beasiswa; bantuan biaya

pendidikan; dan/atau pinjaman dana pendidikan.Sementara APBD hanya bisa dialokasikan

untuk perguruan tinggi daerah masing-masing, dalam bentuk bantuan.

Inkonsistensi pemerintah dalam melihat pendidikan juga dibuktikan dari keberadaan

IMHERE itu sendiri. Hingga saat ini, proyek IMHERE masih berjalan. Pemerintah juga

menerbitkan pedoman terkait proyek tersebut yang bisa diunduh di website resmi Dikti:

http://www.dikti.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=761&Itemid=316.

Sehingga, patut dicurigai bahwa hadirnya RUU Tata Kelola Pendidikan Tinggi adalah untuk

menggantikan UU BHP yang dicabut MK, dalam rangka menjalankan ‘amanah’ Bank Dunia,

melalui proyek IMHERE nya. Karena itulah konsep tata kelola pendidikan tinggi dalam RUU ini

tetap mengikuti pengaturan dalam UU BHP.

H. Anggaran yang minim untuk perguruan tinggi

Di tengah keterpurukan pendidikan tinggi di Indonesia, kebijakan negara justru tidak terlihat

untuk menyelamatkannya. Salah satu indikatornya, yaitu terlihat jelas dari postur anggaran

pendidikan tinggi dari tahun ke tahun. Walaupun anggaran pendidikan di Indonesia dinyatakan

telah melebihi 20% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), ternyata anggaran untuk

pendidikan tinggi justru sangat minim. Untuk tahun anggaran 2012, anggaran pendidikan

adalah 285 Triliun. Kurang lebih 137 Triliun dari 285 Triliun adalah untuk gaji. Sebanyak 100

Triliun lebih anggaran ditransfer ke daerah untuk BOS, dana bagi hasil, gaji guru, dan

38

38

Page 39: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

pembangunan sekolah. Sebanyak 50 Triliun untuk kementrian lainnya. Sebanyak 57,8 Triliun

anggaran dikelola Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, sementara anggaran untuk

pendidikan tinggi hanya 5 Triliun.38

Anggaran 5 Triliun sangatlah sedikit jumlahnya, karena jumlah perguruan tinggi di Indonesia

adalah 3150 perguruan tinggi. Tidak heran perguruan tinggi kemudian berlomba-lomba

membuat berbagai program pendidikan dan juga ujian masuk perguruan tinggi agar dapat

memenuhi kebutuhan belanjanya. Uang pangkal 5 s/d 250 juta rupiah setiap mahasiswa

menjadi lumrah. Mahasiswa/masyarakat kemudian menjadi korban dari kebijakan tersebut dan

dihadapkan oleh setidaknya tiga pilihan, yaitu tidak melanjutkan jenjang pendidikan tinggi,

membayar mahal untuk masuk perguruan tinggi dengan kemampuan ataupun memaksakan

kemampuan, atau masuk perguruan tinggi dengan mengharapkan beasiswa yang minim akses

dan jumlahnya.

Bagian IV

PERMASALAHAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN TINGGI

1. ASPEK FORMAL RUU PENDIDIKAN TINGGI

Pasca disahkan dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pada tanggal 7 April 2011,

Rancangan Undang-undang Pendidikan Tinggi resmi sebagai usulan inisiatif DPR untuk dibahas

bersama Pemerintah. Dalam Rapat Paripurna tersebut ditunjuk Komisi X sebagai alat kelengkapan

yang akan membahas RUU Pendidikan Tinggi ini.

Apabila melihat dari judulnya, RUU ini mengatur secara luas mengenai pendidikan tinggi.

Namun apabila dilihat pada substansinya, porsi pengaturan dalam RUU ini lebih dominan pada

pengaturan mengenai perguruan tinggi, khususnya tata kelola perguruan tinggi.1 Selain itu, dari

sejarah pembentukannya pun, yang tercantum dalam daftar Program Legislasi Nasional

(Prolegnas) tahun 2011 sebagai RUU prioritas, judul RUU ini adalah RUU Tata Kelola Pendidikan

38 Paparan Ketua Panja RUU Pendidikan Tinggi pada Audiensi Komnas Pendidikan Tinggi 5 Desember 2011 di Komisi X DPR RI.

39

39

Page 40: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

Tinggi. Namun kemudian melalui rapat internal di Komisi X DPR disepakati berubah menjadi RUU

Pendidikan Tinggi.

Kekosongan Hukum Pasca Putusan MK No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009

Dasar pemikiran munculnya RUU Pendidikan Tinggi ini adalah untuk merespon adanya Putusan

Mahkamah Konstitusi No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009, yang salah satu implikasinya adalah

menjadikan Undang-undang No. 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) secara

keseluruhan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Bahkan ada anggapan bahwa pasca UU

BHP “dibatalkan”, perguruan tinggi tidak memiliki dasar hukum dalam melakukan segala

aktivitasnya. Namun anggapan itu tidak sepenuhnya benar, karena pada dasarnya pengaturan dalam

UU BHP didasari oleh pengaturan dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional.

Adapun anggapan adanya kekosongan hukum lebih tepat ditujukan untuk satu aspek saja, yaitu

tata kelola perguruan tinggi, itupun hanya terpusat pada tata kelola perguruan tinggi yang

berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Hal ini disebabkan karena pasca pengesahan UU

BHP, Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi (PP 60/1999), dan

Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai

Badan Hukum (PP 61/1999) direvisi dengan Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2010 tentang

Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (PP 17/2010).

Dalam PP 17/2010 tersebut tidak mengatur perihal tata kelola perguruan tinggi, terutama

yang sudah terlanjur memiliki status badan hukum, karena dianggap sudah diatur dalam UU

BHP. Sehingga pasca putusan MK yang “membatalkan” UU BHP, ketentuan mengenai tata

kelola perguruan tinggi pun menjadi tidak memiliki kekuatan hukum mengikat lagi. Namun kondisi ini

tidak berlarut-larut, karena pada bulan September 2010, Pemerintah mengeluarkan

Peraturan Pemerintah untuk mengisi kekosongan hukum tersebut, yaitu Peraturan Pemerintah

No. 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas PP No. 17 tahun tentang 2010 Pengelolaan dan

Penyelenggaraan Pendidikan (PP 66/2010).Dalam PP 66/2010 memperjelas status tata kelola dari

perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi yang sudah terlanjur berstatus BHMN. Sehingga

40

40

Page 41: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

sebenarnya permasalahan terkait dengan kekosongan hukum dalam aspek tata kelola perguruan

tinggi sudah tidak relevan lagi untuk dijadikan argumentasi dibentuknya produk hukum baru

(termasuk RUU Pendidikan Tinggi).

Perang Kepentingan Pasca Pembentukan PP 66/2010

Solusi yang ditawarkan oleh PP 66/2010 ternyata tidak memuaskan semua pihak atau

stakeholder yang ada. Titik ketidaksepahaman ada pada pengaturan mengenai perubahan status

dari perguruan tinggi yang saat ini berstatus BHMN menjadi perguruan tinggi yang

diselenggarakan oleh Pemerintah, yang diatur dalam Pasal 220A ayat (4). Pergantian status itu

dianggap akan mengurangi otonomi yang dimiliki oleh perguruan tinggi saat ini.

Walaupun ada penolakan dari berbagai pihak, PP 66/2010 tetap berlaku. Hal ini lebih

dikarenakan adanya masa transisi yang diberikan oleh PP 66/2010, atau dengan kata lain perguruan

tinggi BHMN tidak perlu segera mengubah statusnya menjadi perguruan tinggi yang

diselenggarkaan oleh Pemerintah. PP 66/2010 memberikan masa waktu tiga tahun untuk

perguruan tinggi BHMN menyesuaikan statusnya.

Namun pengaturan ini ternyata memunculkan permasalahan baru, yaitu interpretasi yang tidak

jelas dari pengertian masa transisi tersebut. Ada yang beranggapan bahwa masa waktu tiga tahun

adalah perubahan yang dilakukan secara berangsur-angsur, namun dipihak lain ada pula yang

beranggapan bahwa selama tiga tahun perguruan tinggi BHMN tidak perlu melakukan

apapun, karena penyesuaian dapat dilakukan diakhir masa tiga tahun tersebut. Perbedaan

pendapat inilah yang kemudian menjadi pemicu konflik internal di UI antara Majelis Wali Amanat

(MWA) dengan Rektor.

Berbicara mengenai UU, tentu tidak hanya berkaitan dengan aspek substansi atau materiil

saja, tetapi juga ada aspek formil yang turut menentukan sah atau tidaknya UU tersebut. Dalam

menilai aspek formil dari UU tersebut dapat merujuk kepada Undang-undang No. 12 tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011), UU ini merupakan

perubahan dari Undang-undang No. 10 tahun 2004. Dalam Pasal 5 UU 12/2011 disebutkan

bahwa salah satu asas yang harus dipenuhi dalam pembentukan peraturan perundang-41

41

Page 42: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

undangan adalah kesesuaian antara jenis, hirearki, dan materi muatan.39 Dalam RUU Pendidikan

Tinggi, jelas jenis peraturan perundang-undangannya adalah UU, dimana dalam hirearki peraturan

perundang-undangan, Pasal 7 ayat (1), menempati urutan ketiga setelah UUD 1945 dan TAP MPR.

Pada pasal 10 ayat (1) UU 12/2011 diatur bahwa materi muatan yang harus diatur dalam UU berisi

pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945; perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang; pengesahan

perjanjian internasional tertentu; tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau

pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Dari kelima materi muatan diatas kemudian

dapat dianalisa, materi muatan manakah yang diatur dalam RUU Pendidikan Tinggi.

Pengaturan Lebih Lanjut Mengenai Ketentuan UUD 1945

Pengaturan mengenai sistem pendidikan nasioanl dalam UUD 1945 secara khusus diatur dalam

Pasal 31. Dalam Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa

“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam ran gka mencerdaskan kehidupan ba gsa, yang diatur dengan undang-undang”

Dari Pasal terebut dapat diketahui bahwa pengaturan mengenai sistem pendidikan nasional

diatur secara terpusat pada satu UU saja, dan UU tersebut sudah ada, yaitu UU 20/2003. Sehingga

dapat dikatakan bahwa materi muatan dari RUU Pendidikan Tinggi, yang juga merupakan bagian

dari sistem pendidikan nasional, bukanlah berasal dari ketentuan lebih lanjut dari UUD 1945.

Perintah Suatu UU Untuk Diatur Dengan Undang-Undang Lainnya

Materi muatan UU bisa juga berasal dari materi delegasian dari UU lainnya, atau secara sederhana

dapat dipahami sebagai ketentuan yang diamanatkan dari satu UU ke UU yang lain. Dalam konteks

RUU Pendidikan Tinggi, UU yang mungkin memberikan delegasian pengaturan adalah UU 20/2003,

karena substansi dari RUU tersebut merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional.

39 Asas lain yang harus dipenuhi peraturan perundang-undangan menurut Pasal 5 UU 12/2011 adalah kejelasan tujuan; kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan keterbukaan.

42

42

Page 43: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

Apabila dicermati satu per satu pasal dalam UU 20/2003, tidak satupun Pasal yang

mendelegasikan untuk membentuk UU baru terkait dengan Pendidikan Tinggi. Justru pendelgasian

untuk pengaturan mengenai pendidikan tinggi diberikan kepada Peratuan Pemerintah, bukan UU.

Dalam Pasal 24 ayat (3) UU 20/2003 disebutkan bahwa “Ketentuan mengenai penyelenggaraan

pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut

dengan peraturan pemerintah”. Adapun delegasian yang diberikan oleh UU 20/2003 kepada UU

lain adalah perihal pengaturan mengenai badan hukum pendidikan, dimana UU BHP sudah

dinyatakan tidak mengikat oleh MK pada akhir 2009 lalu.

Dari analisa diatas patut untuk dipertanyakan motif sebenarnya dari pembentukan RUU

Pendidikan Tinggi ini, yaitu apakah memang untuk menghidupkan kembali “roh” dari UU BHP?

Karena sejauh ini baik dari pihak DPR atau kalangan lain yang pro terhadap RUU Pendidikan Tinggi,

terkesan enggan untuk mengakui hal tersebut, mengingat citra UU BHP sudah terlanjur buruk di

mata masyarakat. Selain itu, dengan tidak ditemukannya pasal yang mengatur mengenai

pendelegasian ketentuan mengenai pendidikan tinggi untuk diatur dalam UU, maka dapat dipastikan

materi muatan dari RUU Pendidikan Tinggi bukan berasal dari perintah suatu UU untuk diatur

dengan UU lainnya.

Pengesahan Perjanjian Internasional Tertentu

Sebagai suatu negara, Indonesia tidak terlepas dari konstelasi global atau internasional, yang

dalam pergaulannya kerap membentuk perjanjian-perjanjian internasional. Namun sebagai negara

yang memiliki kedaulatan sendiri, perjanjian Internasional tidak langsung bisa berlaku di Indonesia,

harus terlebih dahulu di retifikasi dan dituankan dalam peraturan perundang-undangan.

Terkait dengan konteks RUU Pendidikan Tinggi, RUU ini tidak berkaitan secara langsung

dengan perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Dalam dasar hukum yang

tercantum dalam bagian “dasar mengingat” tidak ada dikutip satu perjanjian internasional pun.

Begitupun dengan bagian dasar yuridis dalam Naskah Akademik RUU Pendidikan Tinggi, yang tidak

sedikitpun membahas mengenai perjanjian internasional. Sehingga dapat dipastikan bahwa materi

muatan RUU Pendidikan Tinggi tidak berasal dari pengesahan perjanjian internasional.

43

43

Page 44: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

Tindak Lanjut Atas Putusan Mahkamah Konstitusi

Alasan paling mengemuka saat ini terkait dengan materi muatan RUU Pendidika Tinggi

adalah merupakan tindak lanjut dari Putusan MK, yaitu Putusan No.

11-14-21-126-136/PUU-VII/2009. Hal ini dijelaskan panjang lebar, baik dalam penjelasan umum

RUU Prndidikan Tinggi maupun Naskah Akademiknya. Namun, menjadi pertanyaan kemudian

apakah tepat bentuk tindak lanjut putusan tersebut dilakukan dengan pembentukan UU

Pendidikan Tinggi? Bukankah UU yang “dibatalkan” oleh Putusan tersebut adalah UU BHP?

Dua pertanyaan diatas perlu untuk dijawab dan dibuktikan terlebih dahulu, karena jangan

sampai pembentuk UU kemudian keliru menafsirkan Putusan MK tersebut. Dalam menjawab

kedua pertanyaan tersebut, pertama harus dijabarkan terlebih dahulu amar putusan dari Putusan

MK No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009, terutama yang terkait dengan tata kelola perguruan tinggi

dan UU BHP.

Dalam amar Putusan MK tersebut disebutkan bahwa UU BHP bertentangan dengan UUD

1945, sehingga kemudian dinyatakan tidak mengikat. Argumentasi hakim yang terjabarkan dalam

Putusan MK itu adalah karena istilah BHP diartikan sebagai satu status khusus, sehingga terjadi

pemaksaan penggunaan status badan hukum kepada seluruh institusi pendidikan, dimana hal

tersebut bertentangan dengan kebebasan berserikat yang dijamin UUD 1945.

Dari penjabaran amar putusan diatas terlihat bahwa MK hanya “membatalkan” UU BHP,

tidak termasuk substansi mengenai pendidikan tinggi dalam UU 20/2003. Sehingga keputusan poltiik

yang dibuat oleh DPR untuk membentuk RUU Pendidikan Tinggi adalah berlebihan, dan tidak

sesuai dengan kebutuhan yang ada. Hal itu sekaligus menkonfirmasi bahwa materi muatan dari

RUU Pendidikan Tinggi bukan hanya sekedar tindak lanjut dari Putusan MK, tetapi substansinya

sudah terlalu meluas.

Pemenuhan Kebutuhan Hukum Dalam Masyarakat

Kriteria materi muatan UU terakhir ini memang kerap menjadi pilihan bagi pembentuk UU

untuk mengakomodir kepentingannya dalam pembentukan UU, karena kriteria ini seakan mudah

44

44

Page 45: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

untuk dibuktikan, tanpa harus merujuk kepada peraturan perundang-undangan manapun. Oleh

karena itu, kriteria terakhir ini kerap disebut sebagai “tong sampah”. Namun dalam konteks

RUU Pendidikan Tinggi sudah seharusnya pembentuk UU memiliki argumentasi yang jelas

apabila ingin menggunakan argumentasi ini sebagai materi muatan RUU Pendidikan Tinggi. Dengan

kata lainm pembentuk UU harus mampu membuktikan bahwa memang RUU Pendidikan Tinggi

dibutuhkan masyarakat.

Kondisi yang terjadi saat ini, substansi dari RUU Pendidikan Tinggi hanya dibutuhkan, atau hanya

mengakomodir kepentingan sebagian pihak saja, yaitu mereka yang tidak menginginkan PP 66/2010

berlaku, dan menginginkan status BHMN atau sejenisnya tetap berlaku. Sedangkan kepentingan

stakeholders lain, seperti pegawai atau mahasiswa masih terabaikan.

2. KASTANISASI DAN OTONOMI KEBABLASAN

Bahwa otonomi keilmuan dalam pengelolaan pendidikan merupakan harga mati dan

menjadi bagian dari hak asasi manusia sebagaimana diatur oleh Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan

Budaya. Namun kami melihat otonomi yang diatur dalam RUU Pendidikan Tinggi merupakan

otonomi yang kebablasan dan menimbulkan kastanisasi perguruan tinggi. Otonomi tersebut

diatur dalam Pasal 77 RUU PT sebagai berikut:40

Paragraf 2Status Pengelolaan Perguruan Tinggi

Pasal 77(1) Status pengelolaan perguruan tinggi terdiri atas:

a. otonom terbatas;b. semi otonom, atau c. otonom.

(2) Status otonom terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan perguruan tinggi yang hanya memiliki otonomi pengelolaan bidang akademik.

(3) Status semi otonom sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan perguruan tinggi yang memiliki otonomi pengelolaan bidang akademik dan memiliki sebagian dari wewenang non akademik yang diberikan oleh Pemerintah atau badan penyelenggara.

(4) Status otonom sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan perguruan tinggi yang memiliki otonomi pengelolaan bidang akademik dan non akademik.

40 Draft RUU 17 Maret 201245

45

Page 46: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

(5) Sebagian dari wewenang non akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah wewenang pengelolaan keuangan secara mandiri.

(6) Pengelolaan keuangan secara mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan secara transparan dan akuntabel.

Adanya Pasal 77 ayat (1) merupakan bentuk kastanisasi terhadap perguruan tinggi,

sedangkan Pasal 77 ayat (4) merupakan bentuk dari privatisasi pendidikan tinggi, yaitu otonom

secara akademik dan non akademik. Pasal 77 ayat (4) tersebut tidak ubahnya PT BHMN yang

sudah ada sekarang dimana banyak terdapat permasalahan akuntabilitas dan pelanggaran

terhadap hak atas pendidikan warga negara karena sulitnya akses. Hal tersebut juga

dikonfirmasi oleh komentar dari Rektor Insitut Teknologi Bandung (ITB) yang mengatakan

bahwa Status Otonom tidak ubahnya PT BHMN yang ada saat ini.41 Rektor ITB juga

menyebutkan jika Status PTN Otonom tentunya akan berorientasi bisnis.

Alasan pemberian otonomi tidak kuat. Jumlah dan penyebaran institusi pendidikan tinggi di

Indonesia (3000 perguruan tinggi), tidak memiliki relevansi langsung dengan pemberian

otonomi itu sendiri. Lebih relevan apabila dikaitkan dengan otonomi di bidang kurikulum,

karena banyaknya institusi pendidikan tinggi di berbagai wilayah yang memiliki karakteristik dan

kebutuhan masing-masing. Apakah besarnya jumlah di sini dikaitkan dengan ketidakmampuan

pendanaan?. Selain itu, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya yang mencabut Undang-

undang No. 9 Tahun 2009 tetang Badan Hukum Pendidikan justru menyatakan bahwa otonomi

sebagaimana yang diatur di dalam UU BHP, dan RUU Pendidikan Tinggi tidak dibutuhkan dalam

Pendidikan. Dalam poin 3.7.3 pertimbangan hakim (halaman 387-389), Hakim mempertanyakan

apakah otonomi penting dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pasalnya, tidak ada

keterkaitan antara otonomi dengan nilai-nilai pendidikan berdasarkan pancasila.

3. TENAGA KEPENDIDIKAN

Naskah akademik RUU Pendidikan Tinggi mengatakan sebagai berikut:

Pegawai perguruan tinggi Pemerintah, baik dosen maupun tenaga kependidikan yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) merupakan hambatan bagi perguruan tinggi untuk

41 http://nasional.kompas.com/read/2012/03/26/20071160/PTN.BHMN.Ragu.Pilih diakses 26 Maret 2012 Pkl. 21.00

46

46

Page 47: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

mengembangkan dosen sebagai professional. Sebagian besar unsur manajemen sumber daya manusia mulai dari pengangkatan, penugasan, mutasi/promosi/demosi, hingga pemberhentian harus mengikuti manajemen pegawai negeri sipil yang dirancang bagi aparatur pemerintah, sehingga tidak sesuai dengan kebutuhan pengembangan kepegawaian di perguruan tinggi.

Bahwa Pasal 80 ayat (2) hurud e mengatakan PTN Otonom memiliki ketenagaan yang

diangkat oleh lembaganya. Hal ini semakin memperjelas bahwa PTN Otonom adalah layaknya

perguruan tinggi swasta/privat sehingga dosen tenaga kependidikannya bukan lagi Pegawai

Negeri Sipil, bahkan tidak menutup kemungkinan untuk tenaga kependidikan pergurruan tinggi

akan menggunakan tenaga outsourcing. Terkait status tersebut tentunya memiliki implikasi

bahwa hak-hak yang diterima oleh tenaga kependidikan menjadi minim dan jauh lebih rendah

dari pada PNS, bahkan lebih buruk jika menggunakan tenaga outsourcing.

Hal tersebut diatas kemudian diperkuat oleh Pasal 85 ayat (4) dan (6) yang mengatur

hubungan kerja dosen dan tenaga kependidikan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan

kerja bersama layaknya pekerja swasta. Bunyi Pasal 85 tersebut adalah sebagai berikut:

Ayat (4): Pengangkatan dan penempatan dosen dan tenaga kependidikan oleh badan penyelenggara atau Perguruan Tinggi yang memiliki status otonom dilakukan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Ayat (6): Badan penyelenggara atau Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib memberikan gaji pokok diatas kebutuhan hidup minimum atau diatas upah minimum regional, serta tunjangan lain kepada dosen dan tenaga kependidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

4. KERJA SAMA DUNIA USAHA DAN INDUSTRI

Dalam Pasal 105 ayat (1) RUU Pendidikan Tinggi dikatakan Pemerintah mendorong dunia

usaha dan dunia industri agar secara aktif memberikan bantuan dana kepada perguruan tinggi.

Tidak ada batasan yang jelas mengenai hal ini. Saat ini yang terjadi justru kerjasama perguruan

tinggi dengan pelaku industri dan juga daerah industri yang memasuki bidang akademis.

Misalnya UI yang melakukan kerjasama dengan pelaku industri dan daerah industri dengan

menerima perwakilan mahasiswa dari dua pihak tersebut. Hal ini tentunya sangat kebablasan, 47

47

Page 48: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

dimana di satu sisi mahasiswa menempuh tes yang sangat ketat masuk perguruan tinggi,

namun di sisi lain karena alasan kerja sama yang sifatnya ekonomis seseorang dapat masuk

dengan mudah di UI. Akibatnya tentu kualitas yang sangat rendah. Tidak jarang kerja sama

dengan daerah industri justru banyak diisi oleh anak atau kerabat kepala daerah.

5. TIDAK JELASNYA PERLINDUNGAN AKSES TERHADAP PENDIDIKAN TINGGI

Bahwa dalam RUU Pendidikan Tinggi memang terdapat ketentuan mengenai standar biaya

operasional pendidikan tinggi yang menurut Panja mampu melindungi mahasiswa yang tidak

mampu untuk tetap dapat menikmati pendidikan tinggi. Kedepan maka akan ada indeks

kemahalan biaya kuliah sesuai dengan Upah Minimum Provinsi setempat. Hal tersebut terdapat

dalam pasal 90 yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau perguruan tinggi berkewajiban memenuhi hak mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi agar dapat menyelesaikan studinya sesuai peraturan akademik.

(2) Pemenuhan hak mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:a. memberikan beasiswa kepada mahasiswa berprestasi; b. memberikan bantuan atau membebaskan biaya pendidikan kepada mahasiswa yang

tidak mampu secara ekonomi; atauc. memberikan dan/atau mengusahakan pinjaman dana kepada mahasiswa;

(3) Pinjaman dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diberikan tanpa bunga.(4) Pinjaman dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c wajib dilunasi oleh mahasiswa

setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan.(5) Perguruan tinggi atau penyelenggara perguruan tinggi menerima pembayaran yang ikut

ditanggung oleh mahasiswa untuk membiayai studinya sesuai dengan kemampuan mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak yang menanggungnya.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemenuhan hak mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Namun, kami kembali mengingatkan bahwa Pasal 13 ayat 2 huruf c Kovenan Hak-Hak

Ekonomi Sosial dan Budaya mengatur bahwa pendidikan tinggi mengarah ke cuma-cuma. Hal

tersebut tidak terlihat dalam RUU Pendidikan Tinggi, bahkan Undang-Undang No. 11 Tahun

2005 tentang Pengesahan Kovenan Ekosob tersebut sama sekali tidak dicantumkan oleh DPR.

Padahal Komnas Pendidikan pada 5 Desember 2011 dalam audiensinya dengan Panja Komisi X

telah mengingatkan Panja untuk memasukkan Kovenan Ekosob sebagai pertimbangan.

48

48

Page 49: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

Ketentuan mengenai standar satuan biaya operasional diatur dalam Pasal 107 yang

berbunyi sebagai berikut:

(1) Pemerintah menetapkan standar satuan biaya operasional pendidikan tinggi secara periodik berdasarkan: a. standar nasional pendidikan tinggi;b. jenis program studi; danc. indeks kemahalan wilayah perguruan tinggi.

(2) Standar satuan biaya operasional pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar untuk mengalokasikan anggaran dalam APBN kepada PTN

(3) Standar satuan biaya operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai dasar oleh PTN untuk menetapkan biaya yang ditanggung oleh mahasiswa.

(4) Biaya yang ditanggung oleh seluruh mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai kemampuannya dari biaya operasional PTN.

(5) Penetapan biaya pendidikan tinggi yang ditanggung oleh mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dengan persetujuan Menteri.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar satuan biaya operasional pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Penjelasan Pasal 107 Ayat (4) berbunyi sebagai berikut: Yang dimaksud “biaya yang

ditanggung oleh seluruh mahasiswa” adalah biaya penyelenggaraan pendidikan atau

sumbangan pembinaan pendidikan (SPP). Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana jika timbul

biaya lain yang dibebankan oleh perguruan tinggi? Dan siapakah yang akan menanggung beban

tersebut khususnya bagi mahasiswa tidak mampu? Seperti apa perlindungan pemerintah?

Kontradiksi kembali kami temukan di RUU Pendidikan Tinggi ini dengan munculnya

ketentuan mengenai pinjaman dana pendidikan yang diatur dalam Pasal 111 yang berbunyi

sebagai berikut:

(1) Alokasi anggaran untuk mahasiswa sebagaimana ketentuan yang di atur dalam Pasal 108 ayat (1) huruf c dapat diberikan dalam bentuk:a. beasiswa;b. bantuan biaya pendidikan; dan/atauc. pinjaman dana pendidikan.

(2) Ketentuan mengenai pemberian beasiswa, bantuan biaya pendidikan, dan/atau pinjaman dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Penjelasan:Ayat (1)Huruf a

49

49

Page 50: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

Yang dimaksud “beasiswa” adalah dukungan biaya pendidikan yang diberikan kepada mahasiswa untuk mengikuti dan/atau menyelesaikan pendidikan tinggi berdasarkan pertimbangan utama prestasi dan/atau potensi akademik.Huruf bYang dimaksud “bantuan biaya pendidikan” adalah dukungan biaya pendidikan yang diberikan kepada mahasiswa untuk mengikuti dan/atau menyelesaikan pendidikan tinggi berdasarkan pertimbangan utama keterbatasan kemampuan ekonomi.Huruf cPinjaman dana pendidikan dengan bunga rendah tanpa agunan yang diterima oleh mahasiswa untuk mengikuti dan/atau menyelesaikan pendidikan tinggi dengan kewajiban membayar kembali setelah lulus dan mendapatkan pendapatan yang cukup.

Kontradiksi terlihat pada ketentuan untuk memberikan bantuan biaya pendidikan bagi

mahasiswa yang memiliki keterbatasan ekonomi. Namun di sisi lain terdapat ketentuan

mengenai pinjaman dana pendidikan bagi mahasiswa untuk mengikuti dan/atau menyelesaikan

pendidikan tinggi dengan kewajiban membayar kembali setelah lulus dan mendapatkan

pendapatan yang cukup. Jadi mahasiswa yang tidak mampu bisa tidak digratiskan melainkan

diberikan hutang yang harus dibayar ketika ia bekerja. Sistem pinjaman seperti ini merupakan

bentuk lepas tanggungjawab negara/pemerintah untuk menjamin akses terhadap pendidikan

tinggi dan merupakan adopsi sistem pembiayaan pendidikan yang digunakan oleh negara

seperti Amerika Serikat atau negara liberal yang terbukti telah gagal untuk menegakkan hak

atas pendidikan warga negaranya. Kredit bagi mahasiswa seharusnya hanyalah digunakan

untuk membangkitkan jiwa wirausaha mahasiswa, tapi tidak untuk pembiayaan operasional

pendidikan.

6. SEMANGAT NKK/BKK

Semangat normalisasi kehidupan kampus sebagaimana yang ditanamkan oleh orde baru

dapat dilihat dari dua pasal berikut:

Pasal 15(1) Mahasiswa mengembangkan bakat, minat, potensi, dan kemampuan melalui kegiatan

kokurikuler dan ekstra kurikuler sebagai bagian dari proses pendidikan. (2) Kegiatan kokurikuler dan ekstra kurikuler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

dilaksanakan melalui organisasi kemahasiswaan.50

50

Page 51: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

(3) Ketentuan mengenai kegiatan kokurikuler dan ekstra kurikuler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Organisasi KemahasiswaanPasal 91

(1) Mahasiswa dapat membentuk organisasi kemahasiswaan yang diselenggarakan oleh, dari, dan untuk mahasiswa.

(2) Organisasi kemahasiswaan berfungsi:a. mewadahi kegiatan mahasiswa dalam mengembangkan bakat, minat, dan potensi

mahasiswa; b. mengembangkan kreatifitas, kepekaan, daya kritis, keberanian, dan kepemimpinan serta

rasa kebangsaan mahasiswa; danc. memenuhi kepentingan dan kesejahteraan mahasiswa.

(3) Organisasi mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan organisasi intra perguruan tinggi.

(4) Pengurus organisasi kemahasiswaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari, oleh, dan untuk mahasiswa.

(5) Perguruan tinggi menyediakan sarana dan prasarana serta dana untuk mendukung kegiatan organisasi kemahasiswaan.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi kemahasiswaan diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Organisasi Kemahasiswaan.” menjadi “Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi kemahasiswaan diatur oleh Perguruan Tinggi.”

Ketentuan Pasal 15 ayat (3) RUU Pendidikan Tinggi dan Pasal 91 ayat (4) dan (6) merupakan

bentuk pembatasan dan control terhadap kegiatan organisasi mahasiswa layaknya era orde

baru dengan ketentuan normalisasi kehidupan kampus. Kita masih banyak menemukan

pemberangusan organisasi mahasiswa oleh kampus seperti pembekuan BEM UI oleh rektorat

UI pada tahun 2009 lalu, pemecatan 3 orang mahasiswa STIE Hidayatullah karena mengikuti

organisasi Himpunan Mahasiswa Islam, pelarangan kuliah 31 mahasiswa AMIK LAKSI karena

mengikuti kegiatan organisasi dan menggunakan logo Bendera Merah Putih di jaket

almamaternya, dan berbagai kasus lain yang tidak terekspose ke publik. Hal tersebut

merupakan pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara untuk berserikat dan

berorganisasi sebagaimana diatur oleh Pasal 28 dan 28E UUD NRI 1945, Pasal 21 dan 22

Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Pasal 24 UU No. 39 Tahun 1999 tentang

HAM.

7. INTERNASIONALISASI

51

51

Page 52: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

RUU Pendidikan Tinggi mengatur mengenai internasionalisasi pada Pasal 52 yang berbunyi

sebagai berikut:

(1) Internasionalisasi merupakan proses bagi pendidikan tinggi di Indonesia untuk berperanan dalam pergaulan internasional tanpa kehilangan keindonesiaan guna meningkatkan kedaulatan dan martabat bangsa.

(2) Intenasionalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pengintegrasian dimensi internasional dan lintas budaya ke dalam kegiatan akademik.

(3) Internasionalisasi pendidikan tinggi diselenggarakan dalam mengaktualisasikan prinsip bebas dan aktif, solidaritas, toleransi, dan rasa saling menghormati dengan mempromosikan nilai-nilai dan standar keindonesiaan dan kemanusiaan yang memberikan manfaat bagi kesejahteraan, kemuliaan kehidupan dan peradaban.

(4) Internasionalisasi pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:a. pengembangan pusat kajian Indonesia dan budaya lokal di Perguruan Tinggi di dalam

negeri dan di luar negeri; b. penyelenggaraan pembelajaran yang bertaraf internasional; c. kerja sama internasional antara lembaga penyelengara pendidikan tinggi Indonesia dan

lembaga penyelenggara pendidikan tinggi negara lain; d. Kerjasama internasional dilakukan dengan kerjasama formal dengan Perguruan Tinggi

yang terakreditasi di negara asalnya; dane. Kerjasama internasional menganut dengan bersifat resiprokal.

(5) Kebijakan nasional mengenai Internasionalisasi pendidikan tinggi ditetapkan oleh menteri; (6) Kebijakan nasional mengenai internasionalisasi pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud

pada ayat (5) paling sedikit memuat:a. pembentukan komunitas ilmiah yang mandiri;b. pemberian wawasan pada sivitas akademika sebagai bagian dari masyarakat

internasional; danc. pemajuan nilai-nilai dan budaya bangsa Indonesia dalam pergaulan internasional.

Komnas Pendidikan mencatat bahwa internasionalisasi bukanlah jawaban sebagai alat

untuk meningkatkan kualitas dan daya saing dalam tingkat global. Internasionalisasi, khususnya

kerja sama dengan perguruan tinggi asing justru akan menggerus budaya lokal dan

menghambat akses masyarakat miskin untuk menikmati pendidikan tinggi yang berkualitas.

Tentunya kerja sama akan mengikuti sistem pembiayaan dan akademis perguruan tinggi

tersebut, terlebih lagi perguruan tinggi yang otonom/liberal dan mendapatkan sumber daya

keuangan dari biaya perkuliahan yang mahal.

8. BISNIS PENERIMAAN MAHASISWA BARU52

52

Page 53: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

Mengenai penerimaan mahasiswa baru diatur dalam Pasal 87 yang berbunyi sebagai

berikut:

(1) Penerimaan mahasiswa baru PTN untuk setiap program studi dapat dilakukan melalui pola penerimaan mahasiswa secara nasional atau bentuk lain.

(2) Pemerintah menanggung biaya kepada calon mahasiswa yang akan mengikuti pola penerimaan mahasiswa baru secara nasional.

(3) Calon mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang telah memenuhi persyaratan akademik wajib diterima oleh Perguruan Tinggi.

(4) Perguruan tinggi menjaga keseimbangan antara jumlah maksimum mahasiswa dalam setiap program studi dan kapasitas sarana dan prasarana, dosen dan tenaga kependidikan, serta layanan dan sumber daya pendidikan lainnya.

(5) Penerimaan mahasiswa baru PTS untuk setiap program studi diatur oleh masing-masing PTS atau dapat mengikuti pola penerimaan mahasiswa baru PTS dengan mengikuti pola penerimaan mahasiswa baru PTN secara nasional.

(6) Penerimaan mahasiswa baru merupakan seleksi akademis dan dilarang dikaitkan dengan tujuan komersial.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerimaan mahasiswa PTN diatur dalam Peraturan Menteri.

Kata bentuk lain dalam ayat (1) Pasal diatas melanggengkan praktek seleksi penerimaan

mahasiswa baru secara mandiri oleh Perguruan Tinggi Negeri sebagaimana kami ungkap di bab

sebelumnya di atas. Namun kami mengapresiasi bahwa pemerintah akan menanggung biaya

seleksi masyarakat yang tidak mampu dan penerimaan mahasiswa baru tidak untuk tujuan

komersil.

9. TIDAK ADA PERLINDUNGAN DAN SANKSI YANG TEGAS, MELANGGENGKAN MASALAH

FAKTUAL

Kami melihat bahwa RUU Pendidikan Tinggi ini tidak mampu menyelamatkan carut

marutnya pendidikan tinggi di Indonesia dengan segala permasalahannya, korupsi, kuliah

mahal, dualisme ketenagakerjaan, pelanggaran hak atas pendidikan, dll. Hal tersebut terlihat

dari tidak adanya sanksi yang tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh perguruan tinggi.

Misalkan, jika terdapat mahasiswa miskin yang tidak diberi kesempatan kuliah walaupun sudah

lolos seleksi apa sanksi pemerintah terhadap rektor? Begitu pula jika terdapat pelanggaran

53

53

Page 54: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

terhadap hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul atau pelanggaran terhadap

akuntabilitas, apa sanksi dari pemerintah? Bagaimana perlindungan terhadap mahasiswa,

dosen, dan tenaga kependidikan?

Bagian V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. KESIMPULAN

Dari keseluruhan analisa diatas dapat diketahui bahwa RUU Pendidikan Tinggi masih memiliki

permasalahan dalam aspek Formil perundang-undangannya, yaitu tidak memiliki materi muatan

yang sesuai dengan jenis dan hirarkinya. Sehingga sepenting apapun substansinya, tetap saja RUU ini

lemah dalam dasar hukumnya. Apabila RUU ini masih tetap dipaksakan untuk disahkan, bukan tidak

mungkin akan bernasib sama dengan “saudara tuanya” yaitu UU BHP, yang dinyatakan tidak

mengikat lagi oleh MK. Dalam konteks ruang lingkup pengaturan, RUU Pendidikan Tinggi dibuat

secara berlebihan, yang dampaknya menjadikan RUU ini tidak menjawab permasalahan yang ada,

bahkan cenderung menimbulkan permasalahan baru.

Selain itu kehadiran RUU Pendidikan hanya akan melanggengkan kondisi faktual pendidikan

yang ada, seperti otonomi yang kebablasan atau privatisasi pendidikan tinggi, kastanisasi

perguruan tinggi, pelanggaran akses masyarakat miskin atau miskinnya biaya kuliah, pelanggaran

hak mahasiswa untuk berorganisasi, privatisasi dosen dan tenaga kependidikan, bisnis penerimaan

mahasiswa baru, tidak transparannya kampus, internasionalisasi yang menggerus budaya dan

menimbulkan diskriminasi terhadap hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan tinggi yang

berkualitas, kerja sama dengan industri yang mengorbankan nilai dan kualitas peserta didik, dan

sebagainya. Walapun terdapat ketentuan yang dianggap melindungi masyarakat tidak mampu,

namun tidak ada jaminan sanksi terhadap perguruan tinggi yang melanggar. Tidak ada

perlindungan yang jelas terhadap hak-hak mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan yang tegas

diatur oleh UUD NRI 1945, UU HAM, UU NO. 11 Tahun 2005, UU No. 12 Tahun 2005 dan UU

Sisdiknas.

54

54

Page 55: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

B. REKOMENDASI

Berdasarkan hal tersebut kami mendesak beberapa hal sebagai berikut:

1. Hentikan pembahasan dan batalkan rencana pengesahan RUU Pendidikan Tinggi

2. Kembalikan status BHMN dan BLU Perguruan Tinggi menjadi Perguruan Tinggi Negeri.

Hentikan privatisasi pendidikan tinggi.

3. Hapuskan Dualisme Status Tenaga Pendidik dan Kependidikan

4. Wujudkan Hak Rakyat atas Pendidikan Tinggi dengan Menyediakan Pendidikan Tinggi

Negeri yang terjangkau tanpa diskriminasi bagi seluruh Rakyat Indonesia

5. Pemerintah dan DPR haruslah mengeluarkan aturan yang melindungi hak atas pendidikan

warga negara, hak atas kebebasan berserikat, memilih sendiri pendidikannya, hak atas

kesejahteraan tenaga pendidik, jaminan terhadap otonomi keilmuan, dan kontribusi

pengabdian perguruan tinggi yang konkrit kepada masyarakat. Peraturan tersebut

haruslah memiliki sanksi tegas kepada perguruan tinggi dan pihak-pihak yang melanggar

hak yang disebutkan diatas.

Bagian VI

PENUTUP

Demikian kajian ini kami buat tidak lain adalah dengan niatan tulus menyelamatkan

pendidikan tinggi di Indonesia dan mewujudkan pemenuhan hak asasi warga negara untuk

mengenyam pendidikan tinggi, serta menikmati hak lain yang melekat.

Hormat Kami,

KOMITE NASIONAL PENDIDIKAN

55

55

Page 56: alghif.files.wordpress.com · Web viewKhusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun

(Lembaga Bantuan Hukum/LBH Jakarta, Paguyuban Pekerja Universitas Indonesia/PPUI, Front Mahasiswa Universitas Islam Jakarta, Forum Mahasiswa Peduli Pendidikan/FMPP BSI, Front Mahasiswa Nasional/FMN, Formasi IISIP, Serikat Mahasiswa Indonesia/SMI, Lembaga

Advokasi Pendidikan Anak Marjinal/Lapam, Federasi Guru Independen Indonesia/FGII, Persatuan Guru-Swasta Seluruh Indonesia/PGSI, Ikatan Pelajar Muhammadyah/IPM,

Lembaga Bantuan Hukum Pendidikan/LBHP, Serikat Perempuan Indonesia/SPI, Perhimpunan Rakyat Pekerja/PRP, Education Forum/eF, Institut Sejarah Sosial Indonesia/ISSI, Indonesian

Human Rights Committee Social Justice/IHCS, Lembaga Bantuan Hukum/LBH Semarang, BEM UI, BEM Fisip UI, BEM UNJ, dan BEM FHUI)

56

56