Upload
trinhnhi
View
237
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
PERJUANGAN MENGHADAPI ANCAMAN
DISINTEGRASI BANGSA
(Berbagai Pergolakan di Dalam Negeri 1948-1965)MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata pelajaran Sejarah Indonesia
yang dibimbing oleh Dra. Anik Indriyani
PENYUSUN :
VINA HERLIANA (9771524914)
Jurusan Akuntansi Kelas XII Ak 4
SMK NEGERI 1 BOYOLANGUJl. Ki Mangunsarkoro VI/3
TULUNGAGUNGSemester 5 Tahun Ajaran 2015/2016
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
mencurahkan rahmat dan karunianya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul “Perjuangan Menghadapi
Ancaman Disintegrasi Bangsa”. Sebagai mata pelajaran Sejarah Indonesia.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Anik Indriyani selaku
pembimbing dalam pembuatan makalah ini. Kami juga mengucapkan terima kasih
kepada Kelompok IV atas partisipasinya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini tepat pada waktunya.
Dalam menyusun makalah ini, kami menemui beragam hambatan. Kami
menyadari bahwa karya tulis yang tersusun ini banyak kekurangan dan
kelemahan. Dan juga kami masih berstatus pelajar yang sangat minim akan
pengalaman dan pengetahuan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan
saran yang sifatnya membangun dan bermanfaat demi kesempurnaan makalah ini.
Hanya kepada Allah SWT kami memohon ampunan dan rahmat-Nya
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Tulungagung, Agustus 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL-------------------------------------------------------------------- i
KATA PENGANTAR------------------------------------------------------------------ ii
DAFTAR ISI----------------------------------------------------------------------------- iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah--------------------------------------------------------- 1
1.2 Rumusan Masalah---------------------------------------------------------------- 1
1.3 Tujuan------------------------------------------------------------------------------ 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Konflik dan Pergolakan yang Berkait dengan Ideologi--------------------- 3
2.1.1 Pemberontakan PKI (Partai Komunis Rakyat) Madiun-------------- 3
2.1.2 Pemberontakan DI/TII---------------------------------------------------- 4
2.1.3 Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI)------------------------------ 7
2.2 Konflik dan Pergolakan yang Berkait dengan Kepentingan---------------- 8
2.2.1 Pemberontakan APRA---------------------------------------------------- 8
2.2.2 Peristiwa Andi Aziz------------------------------------------------------- 8
2.2.3 Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)-------------------- 9
2.3 Konflik dan Pergolakan yang Berkait dengan Sistem Pemerintahan------ 10
2.3.1 Pemberontakan PRRI dan Permesta------------------------------------ 10
2.3.2 Persoalan Negara Federal dan BFO------------------------------------- 12
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan------------------------------------------------------------------------ 14
3.2 Kritik dan Saran------------------------------------------------------------------- 14
DAFTAR PUSTAKA------------------------------------------------------------------- 16
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Alangkah hebatnya bangsa kita sebenarnya. Indonesia adalah negeri
yang terdiri dari 17.500 pulau, lebih dari 300 kelompok etnik, 1.340 suku
bangsa, 6 agama resmi dan belum termasuk beragam aliran kepercayaan,
serta 737 bahasa. Kita harus bersyukur pada Tuhan YME, atas
keberuntungan bangsa kita yang hingga kini tetap bersatu dalam
keberagaman, meskipun berbagai kasus konflik dan pergolakan sempat
berlangsung di masyarakat. Hal inimisalnya dapat dilihat dari potongan
gambar berita di atas.Dalam sejarah republic ini, konflik dan pergolakan
dalam skala yang lebih besar bahkan pernah terjadi. Bila sudah begitu,
lantas siapa pihak yang paling dirugikan? Tak lain adalah rakyat, bangsa
kita sendiri. Karenanya, dalam bab berikut ini akan kalian pelajari beberapa
pergolakan besar yang pernah berlangsung di dalam negeri akibat
ketegangan politik selama rentang tahun 1948-1965. Tahun 1948 ditandai
dengan pecahnya pemberontakan besar pertama setelah Indonesia merdeka,
yaitu pemberontakan PKI di Madiun. Sedangkan tahun 1965 merupakan
tahun dimana berlangsung peristiwa G30S/PKI yang berusaha merebut
kekuasaan dan mengganti ideologi Pancasila. Mengapa penting hal ini kita
kaji, tak lain agar kita dapat menarik hikmah dan tragedi seperti itu tak
terulang kembali pada masa kini. Disinilah pentingnya kita mempelajari
sejarah.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, kita dapat menarik
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Membahas konflik dan pergolakan yang berkait dengan ideologi
2. Membahas konflik dan pergolakan yang berkait dengan kepentingan
(vested interest)
3. Membahas konflik dan pergolakan yang berkait dengan sistem
pemerintahan
1.3 Tujuan
Menambah wawasan para pembaca tentang perjuangan menghadapi
ancaman disintegrasi bangsa dan berbagai pergolakan yang terjadi tahun
1948-1965.
1. Mengetahui berbagai konflik dan pergolakan yang berkait dengan
ideologi
2. Mengetahui berbagai konflik dan pergolakan yang berkait dengan
kepentingan (vested interest)
3. Mengetahui berbagai konflik dan pergolakan yang berkait dengan sistem
pemerintahan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konflik dan Pergolakan yang Berkait dengan Ideologi
Termasuk dalam kategori ini adalah pemberontakan PKI Madiun,
pemberontakan DI/TII dan peristiwa G30S/PKI. Ideologi yang diusung oleh
PKI tentu saja komunisme, sedangkan pemberontakan DI/TII berlangsung
dengan membawa ideologi agama.
Perlu kalian ketahui bahwa menurut Herbert Feith, seorang akademisi
Australia, aliran politik besar yang terdapat di Indonesia pada masa setelah
kemerdekaan (terutama dapat dilihat sejak Pemilu 1955) terbagi dalam lima
kelompok : nasionalisme radikal (diwakili antara lain oleh PNI), Islam (NU
dan Masyumi), komunis (PKI), sosialisme demokrat (Partai Sosialis
Indonesia/PSI), dan tradisionalis Jawa (Partai Indonesia Raya/PIR,
kelompok teosofis/kebatinan, dan birokrat pemerintah/pamongpraja). Pada
masa itu kelompok-kelompok tersebut nyatanya memang saling bersaing
dengan mengusung ideologi masing-masing.
2.1.1 Pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) Madiun
Waktu : 1948, dengan memproklamasikan berdirinya
Negara Republik Soviet Indonesia
Latar Belakang : Hasil kesepakatan Renville
menguntungkan Belanda
Pemimpin : Muso
Cara Penumpasan : Pemerintah mengajak Rakyat untuk
menentukan sikap untuk memilih Sukarno-
Hatta atau Muso gerakan operasi Militer I
dan melakukan pembridelan terhadap
beberapa surat kabar berhaluan komunis
Hasil : Seluruh kekuatan pemberontak dapat
ditumpas dan kota Madiun dapat direbut
Munculnya PKI merupakan perpecahan pada tubuh SI (Sarikat
Islam) yang mendapat pengaruh ISDV (Internasionalisme Sosialisme
Democratise Vereeniging) yang didirikan oleh HJFM. Snevliet, dan
kawan-kawan pada bulan Mei 1914 di Semarang yang pada bulan
Desember diubah menjadi PKI.
Pada tanggal 13 Nopember
1926 melakukan pemberontakan
terhadap pemerintah Belanda.
Pada tanggal 18 September 1948
Muso memimpin pemberontakan
terhadap RI di Madiun. Tujuannya
ingin mengubah dasar negara
Pancasila menjadi dasar negara
komunis. Pemberontakan ini menyebar hampir di seluruh daerah Jawa
Timur namun berhasil di gagalkan dengan ditembak matinya Muso
sedangkan Semaun dan Dharsono lari ke Rusia.
2.1.2 Pemberontakan DI/TII
1. Jawa Barat
Waktu : 14 Agustus 1947
Latar Belakang : Tidak sejalan dengan pemerintah RI ketika
terjadi perundingan Renville yang dianggap
merugikan pemerintah Indonesia
Pemimpin : Sekarmaji Maridjan Kartosuwiryo
Cara Penumpasan : Melakukan Operasi Militer taktik pagar besi
menggunakan ratusan ribu tenaga rakyat
untuk mempersempit ruang gerak
Hasil : Pada tanggal 4 juni 1962 kartosuwiryo
berhasil ditangkap di gunung beber oleh
pasukan siliwangi
Dipimpin oleh Sekarmaji Marijan
Kartosuwiryo karena tidak setuju terhadap isi
perjanjian Renville. Sewaktu TNI hijrah ke
daerah RI (Yogyakarta) ia dan anak buahnya
menolak dan tidak mau mengakui Republik
Indonesia dan ingin menyingkirkan Pancasila
sebagai dasar negara. Untuk itu ia memproklamasikan berdirinya
Negara Islam Indonesia dengan nama Darul Islam (DI).
2. Jawa Tengah
Waktu : 23 Agustus 1949
Latar Belakang : Mengurus penggabungan laskar-laskar masuk
ke dalam TNI
Pemimpin : Amir Fatah
Cara Penumpasan : Pemerintah membentuk pasukan baru yang
disebut dengan bintang raiders
Hasil : Akhirnya dilakukan operasi guntur pada
tahun 1954 gerombolan dapat dicerai
beraikan
Dipimpin oleh
Amir Fatah dan
Kyai Sumolangu.
Selama Agresi
Militer Belanda ke
II Amir Fatah diberi
tugas
menggabungkan
laskar-laskar untuk masuk dalam TNI. Namun setelah banyak
anggotanya ia beserta anak buahnya melarikan diri dan menyatakan
bagian dari DI/TII.
3. Sulawesi Selatan
Waktu : 30 April 1950
Latar Belakang : Banyak pemuda Sulawesi yang tergabung
dalam PRI Sulawesi ikut bertempur untuk
mempertahankan kota Surabaya
Pemimpin : Kahar Muzakar
Cara Penumpasan : Dilakukan penyergapan oleh pasukan TNI
Hasil : Kahar Muzakar tertembak mati sehingga
pemberontakan DI/TII di Sulawesi dapat
dipadamkan
Dipimpin oleh Abdul Kahar
Muzakar. Dia berambisi untuk
menduduki jabatan sebagai
pimpinan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) dan
menuntut agar Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS)
dimasukkan ke dalam APRIS dengan nama Brigade Hasanuddin.
Tuntutan tersebut ditolak oleh pemerintah sebab hanya mereka yang
memenuhi syarat saja yang akan menjadi tentara maka terjadilah
pemberontakan tersebut.
4. Aceh
Waktu : 20 September 1953
Latar Belakang : Setelah proklamasi Kemerdekaan RI , di
Aceh terjadi pertentangan antara alim ulama
dengan para kepala asla
Pemimpin : Tengku Daud Beureuh
Cara Penumpasan : Pemberontakan Daud Beureuh ini dilakukan
dengan suatu “Musyawarah Kerukunan
Rakyat Aceh” pada bulan Desember1962 atas
prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda,
Kolonel Jendral Makarawong.
Hasil : Musyawarah ini mendapat dukungan dari
tokoh – tokoh masyarakat aceh dan berhasil
memulihkan keamanan .
Dipimpin oleh Daud Beureuh Gubernur
Militer Aceh, karena status Aceh sebagai
daerah Istimewa diturunkan menjadi sebuah
karesidenan di bawah propinsi Sumatera
Utara. Ia lalu menyusun kekuatan dan
menyatakan dirinya bagian dari DI/TII.
Pemberontakan ini dapat dihentikan dengan
jalan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh
(MKRA).
5. Kalimantan Selatan
Waktu : Oktober 1950
Latar Belakang : Terjadi pemberontakkan kesatuan masyarakat
tertindas
Pemimpin : Ibnu Hajar
Cara Penumpasan : Melakukan gerakan Operasi militer ke
Kalimantan selatan
Hasil : Pada tahun 1954 Ibnu Hajar di tangkap dan di
hukum mati pada 22 maret 1955
Ibnu Hajar, ia menyatakan dirinya
bagian dari DI/TII dengan memperjuangkan
kelompok rakyat yang tertindas. Ia dan anak
buahnya menyerang pos-pos kesatuan tentara
serta melakukan tindakan pengacauan yang
pada akhirnya Ibnu Hajar sendiri ditembak
mati.
2.1.3 Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI)
Pada tanggal 30 September 1965 jam03.00 dinihari PKI
melakukan pemberontakan yang dipimpin oleh DN Aidit dan berhasil
membunuh 7 perwira tinggi. Mereka punya tekad ingin menggantikan
Pancasila sebagai dasar negara dengan Komunis-Marxis. Setelah jelas
terungkap bahwa PKI punya keinginan lain maka diadakan operasi
penumpasan :
1. Menginsyafkan kesatuan-keasatuan yang dimanfaatkan oleh PKI
2. Merebut studio RRI dan kantor besar Telkom dipimpin Kolonel
Sarwo Edhy Wibowo dari RPKAD
3. Gerakan pembersihan terhadap tokoh-tokoh yang terlibat langsung
maupun yang mendalanginya
Akhirnya PKI dinyatakan sebagai partai terlarang dan tidak boleh lagi
tersebar di seluruh wilayah Indonesia berdasarkan SK Presiden yang
ditandatangani pengemban Supersemar Ltjen Soeharto yang
menetapkan pembubaran PKI dan ormas-ormasnya tanggal 12 Maret
1966.
2.2 Konflik dan Pergolakan yang Berkait dengan Kepentingan (vested
interest)
Termasuk dalam kategori ini adalah pemberontakan APRA, RMS dan
Andi Aziz.Vested Interest merupakan kepentingan yang tertanam dengan
kuat pada suatu kelompok. Kelompok ini biasanya berusaha untuk
mengontrol suatu sistem sosial atau kegiatan untuk keuntungan sendiri.
Mereka juga sukar untuk mau melepas posisi atau kedudukannya sehingga
sering menghalangi suatu proses perubahan. Baik APRA, RMS dan
peristiwa Andi Aziz, semuanya berhubungan dengan keberadaan pasukan
KNIL atau Tentara Kerajaan (di) Hindia Belanda, yang tidak mau menerima
kedatangan tentara Indonesia di wilayah-wilayah yang sebelumnya mereka
kuasai. Dalam situasi seperti ini, konflikpun terjadi.
2.2.1 Pemberontakan APRA
Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) dibentuk oleh Kapten
Raymond Westerling pada tahun 1949. Ini adalah milisi bersenjata
yang anggotanya terutama berasal dari tentara Belanda : KNIL, yang
tidak setuju dengan pembentukan Angkatan Perang Republik
Indonesia Serikat (APRIS) di Jawa Barat, yang saat itu masih
berbentuk negara bagian Pasundan. Basis pasukan APRIS di Jawa
Barat adalah Divisi Siliwangi. APRA ingin agar keberadaan negara
Pasundan dipertahankan sekaligus menjadikan mereka sebagai tentara
negara federal di Jawa Barat. Karena itu, pada Januari 1950
Westerling mengultimatum pemerintah RIS. Ultimatum ini segera
dijawab Perdana Menteri Hatta dengan memerintahkan penangkapan
terhadap Westerling. APRA malah bergerak menyerbu kota Bandung
secara mendadak dan melakukan tindakan teror. Puluhan anggota
APRIS gugur. Diketahui pula kemudian kalau APRA bermaksud
menyerang Jakarta dan ingin membunuh antara lain Menteri
Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX dan Kepala APRIS Kolonel
T.B. Simatupang. Namun semua itu akhirnya dapat digagalkan oleh
pemerintah. Westerling kemudian melarikan diri ke Belanda.
2.2.2 Peristiwa Andi Aziz
Waktu : 5 Januari 1950
Latar Belakang : Menyerang gedung tempat berlangsungnya
sidang kabinet
Pemimpin : Kapten Raymond Westerling
Cara Penumpasan : Pada tanggal 8 April 1950 dikeluarkan
ultimatum bahwa dalam waktu 4x24 jam
Andi Azis harus melaporkan diri ke Jakarta
untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya
Hasil : Pasukannya harus dikonsinyasi, senjata-
senjata dikembalikan, dan semua tawanan
harus dilepaskan
Beliau merupakan komandan kompi
APRIS yang menolak kedatangan TNI ke
Sulawesi Selatan karena suasananya tidak
aman dan terjadi demonstrasi pro dan kontra
terhadap negara federasi. Ia dan pasukannya
menyerang lapangan terbang, kantor telkom,
dan pos pos militer TNI. Pemerintah
mengeluarkan ultimatum agar dalam tempo 4
kali 24 jam ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
2.2.3 Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)
Waktu : 25 April 1950
Latar Belakang : Tidak puas dengan terjadinya proses kembali
ke NKRI
Pemimpin : Dr.Christian Robert Steven Soumokil
Cara Penumpasan : Diselesaikan secara damai dengan
mengirimlkan misi dipimpin Leimena gagal
sehingga kemudian dikrimkan pasukan
ekspedisi militer pimpinan Kawilarang
Hasil : Sisa-sisa kekuatan RMS banyak yang
melarikan diri ke pulau seram dan membuat
kekacauan akhirnya Soumokil dapat di
tangkap dan jatuhi hukuman mati
Pemberontakan ini dipimpin oleh Dr.
Christian Robert Stevenson Soumokil bekas
jaksa agung NIT (Negara Indonesia Timur).
Ia menyatakan berdirinya Republik Maluku
Selatan dan memproklamasikannya pada 25
April 1950. Pemberontakan ini dapat
ditumpas setelah dibayar mahal dengan
kematian Letkol Slamet Riyadi, Letkol S.
Sudiarto dan Mayor Abdullah.
2.3 Konflik dan Pergolakan yang Berkait dengan Sistem Pemerintahan
Termasuk dalam kategori ini adalah persoalan negara federal dan BFO
(Bijeenkomst Federal Overleg), serta pemberontakan PRRI dan Permesta.
Masalah yang berhubungan dengan negara federal mulai timbul ketika
berdasarkan perjanjian Linggajati, Indonesia disepakati akan berbentuk
negara serikat/federal dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). RI
menjadi bagian RIS. Negara-negara federal lainnya misalnya adalah negara
Pasundan, negara Madura atau Negara Indonesia Timur. BFO sendiri adalah
badan musyawarah negara-negara federal di luar RI, yang dibentuk oleh
Belanda. Awalnya, BFO berada di bawah kendali Belanda. Namun makin
lama badan ini makin bertindak netral, tidak lagi melulu memihak Belanda.
Pro-kontra tentang negara-negara federal inilah yang kerap juga
menimbulkan pertentangan.
Sedangkan pemberontakan PRRI dan Permesta merupakan
pemberontakan yang terjadi akibat adanya ketidakpuasan beberapa daerah di
wilayah Indonesia terhadap pemerintahan pusat.
2.3.2 Pemberontakan PRRI dan Permesta
Munculnya pemberontakan PRRI dan Permesta bermula dari
adanya persoalan di dalam tubuh Angkatan Darat, berupa kekecewaan
atas minimnya kesejahteraan tentara di Sumatera dan Sulawesi. Hal
ini mendorong beberapa tokoh militer untuk menentang Kepala Staf
Angkatan Darat (KSAD). Persoalan kemudian ternyata malah meluas
pada tuntutan otonomi daerah. Ada ketidakadilan yang dirasakan
beberapa tokoh militer dan sipil di daerah terhadap pemerintah pusat
yang dianggap tidak adil dalam alokasi dana pembangunan.
Kekecewaan tersebut diwujudkan dengan pembentukan dewan-dewan
daerah sebagai alat perjuangan tuntutan pada Desember 1956 dan
Februari 1957, seperti :
a. Dewan Banteng di Sumatra Barat yang dipimpin oleh Letkol
Ahmad Husein.
b. Dewan Gajah di Sumatra Utara yang dipimpin oleh Kolonel
Maludin Simbolan.
c. Dewan Garuda di Sumatra Selatan yang dipimpin oleh Letkol
Barlian.
d. Dewan Manguni di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Kolonel
Ventje Sumual.
Dewan-dewan ini bahkan kemudian mengambil alih kekuasaan
pemerintah daerah di wilayahnya masing-masing. Beberapa tokoh
sipil dari pusatpun mendukung mereka bahkan bergabung ke
dalamnya, seperti Syafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap
dan Mohammad Natsir.
KSAD Abdul Haris Nasution dan PM Juanda sebenarnya
berusaha mengatasi krisis ini dengan jalan musyawarah, namun gagal.
Ahmad Husein lalu mengultimatum pemerintah pusat, menuntut agar
Kabinet Djuanda mengundurkan diri dan menyerahkan mandatnya
kepada presiden. Tuntutan tersebut jelas ditolak pemerintah pusat.
Krisis pun akhirnya memuncak ketika pada tanggal 15 Februari 1958
Achmad Hussein memproklamasikan berdirinya Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang, Sumatera Barat.
Seluruh dewan perjuangan di Sumatera dianggap mengikuti
pemerintahan ini. Sebagai perdana menteri PRRI ditunjuk Mr.
Syafruddin Prawiranegara.
Bagi Syafruddin, pembentukan PRRI hanyalah sebuah upaya
untuk menyelamatkan negara Indonesia, dan bukan memisahkan diri.
Apalagi PKI saat itu mulai memiliki pengaruh di pusat. Tokoh-tokoh
sipil yang ikut dalam PRRI sebagian memang berasal dari partai
Masyumi yang dikenal anti PKI.
Berita proklamasi PRRI ternyata disambut dengan antusias pula
oleh para tokoh masyarakat Manado, Sulawesi Utara. Kegagalan
musyawarah dengan pemerintah, menjadikan mereka mendukung
PRRI, mendeklarasikan Permesta sekaligus memutuskan hubungan
dengan pemerintah pusat (kabinet Juanda).
Pemerintah pusat tanpa ragu-ragu langsung bertindak tegas.
Operasi militer dilakukan untuk menindak pemberontak yang diam-
diam ternyata didukung Amerika Serikat. AS berkepentingan dengan
pemberontakan ini karena kekhawatiran mereka terhadap pemerintah
pusat Indonesia yang bisa saja semakin dipengaruhi komunis. Pada
tahun itu juga pemberontakan PRRI dan Permesta berhasil
dipadamkan.
2.3.3 Persoalan Negara Federal dan BFO
Konsep Negara Federal dan “Persekutuan” Negara Bagian
(BFO/Bijeenkomst Federal Overleg) mau tidak mau menimbulkan
potensi perpecahan di kalangan bangsa Indonesia sendiri setelah
kemerdekaan. Persaingan yang timbul terutama adalah antara
golongan federalis yang ingin bentuk negara federal dipertahankan
dengan golongan unitaris yang ingin Indonesia menjadi negara
kesatuan.
Dalam konferensi Malino di Sulawesi Selatan pada 24 Juli 1946
misalnya, pertemuan untuk membicarakan tatanan federal yang diikuti
oleh wakil dari berbagai daerah non RI itu, ternyata mendapat reaksi
keras dari para politisi pro RI yang ikut serta. Mr. Tadjudin Noor dari
Makasar bahkan begitu kuatnya mengkritik hasil konferensi.
Perbedaan keinginan agar bendera Merah-Putih dan lagu
Indonesia Raya digunakan atau tidak oleh Negara Indonesia Timur
(NIT) juga menjadi persoalan yang tidak bisa diputuskan dalam
konferensi. Kabinet NIT juga secara tidak langsung ada yang jatuh
karena persoalan negara federal ini (1947).
Dalam tubuh BFO juga bukan tidak terjadi pertentangan. Sejak
pembentukannya di Bandung pada bulan Juli 1948, BFO telah
terpecah ke dalam dua kubu. Kelompok pertama menolak kerjasama
dengan Belanda dan lebih memilih RI untuk diajak bekerjasama
membentuk Negara Indonesia Serikat. Kubu ini dipelopori oleh Ide
Anak Agung Gde Agung (NIT) serta R.T. Adil Puradiredja dan R.T.
Djumhana (Negara Pasundan). Kubu kedua dipimpin oleh Sultan
Hamid II (Pontianak) dan dr. T. Mansur (Sumatera Timur). Kelompok
ini ingin agar garis kebijakan bekerjasama dengan Belanda tetap
dipertahankan BFO. Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II-
nya, pertentangan antara dua kubu ini kian sengit. Dalam sidang-
sidang BFO selanjutnya kerap terjadi konfrontasi antara Anak Agung
dengan Sultan Hamid II. Dikemudian hari, Sultan Hamid II ternyata
bekerjasama dengan APRA Westerling mempersiapkan
pemberontakan terhadap pemerintah RIS.
Setelah Konferensi Meja Bundar atau KMB (1949), persaingan
antara golongan federalis dan unitaris makin lama makin mengarah
pada konflik terbuka di bidang militer, pembentukan Angkatan Perang
Republik Indonesia Serikat (APRIS) telah menimbulkan masalah
psikologis. Salah satu ketetapan dalam KMB menyebutkan bahwa inti
anggota APRIS diambil dari TNI, sedangkan lainnya diambil dari
personel mantan anggota KNIL. TNI sebagai inti APRIS berkeberatan
bekerjasama dengan bekas musuhnya, yaitu KNIL. Sebaliknya
anggota KNIL menuntut agar mereka ditetapkan sebagai aparat negara
bagian dan mereka menentang masuknya anggota TNI ke negara
bagian (TaufikAbdullah dan AB Lapian, 2012.). Kasus APRA
Westerling dan mantan pasukan KNIL Andi Aziz sebagaimana telah
dibahas sebelumnya adalah cermin dari pertentangan ini.
Namun selain pergolakan yang mengarah pada perpecahan,
pergolakan bernuansa positif bagi persatuan bangsa juga terjadi. Hal
ini terlihat ketika negara-negara bagian yang keberadaannya ingin
dipertahankan setelah KMB, harus berhadapan dengan tuntutan rakyat
yang ingin agar negara-negara bagian tersebut bergabung ke RI.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kondisi NKRI secara nyata harus diakui oleh setiap warga negara bila
ditinjau dari kondisi geografi, demografi, dan kondisi sosial yang ada akan
terlihat bahwa pluralitas, suku, agama, ras dan antar golongan dijadikan
pangkal penyebab konflik atau kekerasan massal, tidak bisa diterima begitu
saja.
Pendapat ini bisa benar untuk sebuah kasus tapi belum tentu benar
untuk kasus yang lain. Namun ada kondisi-kondisi struktural dan kultural
tertentu dalam masyarakat yang beraneka ragam yang terkadang terjadi
akibat dari suatu proses sejarah atau peninggalan penjajah masa lalu,
sehingga memerlukan penanganan khusus dengan pendekatan yang arif
namun tegas walaupun aspek hukum, keadilan dan sosial budaya merupakan
faktor berpengaruh dan perlu pemikiran sendiri.
Kepemimpinan (leadership) dari tingkat elit politik nasional hingga
kepemimpinan daerah, sangat menentukan dalam rangka meredam konflik
yang terjadi saat ini. Sedangkan peredaman konflik memerlukan tingkat
profesionalisme dari seluruh aparat hukum dan instansi terkait secara
terpadu dan tidak berpihak pada sebelah pihak.
Sekilas permasalahan tersebuat nampak biasa saja, namun apabila hal
ini terus terjadi dan tidak ada usaha dari pemerintah untuk menyelesaikan
persoalan tersebut, bukan tidak mungkin disintegrasi yang selama ini
dikhawatirkan akan terwujud. Pemerintah harus dapat merumuskan
kebijakan yang tegas dan tepat dalam aspek kehidupan dan pembangunan
bangsa, yang mencerminkan keadilan bagi semua pihak dan semua wilayah.
3.2 Kritik dan Saran
Untuk mendukung terciptanya keberhasilan suatu kebijakan dan strategi pertahanan serta upaya-upaya apa yang akan ditempuh, maka disarankan beberapa langkah sebagai berikut :1. Pemerintah perlu mengadakan kajian secara akademik dan terus menerus
agar didapatkan suatu rumusan bahwa nasionalisme yang berbasis multi kultural dapat dijadikan ajaran untuk mengelola setiap perbedaan agar muncul pengakuan secara sadar/tanpa paksaan dari setiap warga negara atas kemejemukan dengan segala perbedaannya.
2. Setiap pemimpin dari tingkat desa sampai dengan tingkat tertinggi, dalam membuat aturan atau kebijakan haruslah dapat memenuhi keterwakilan semua elemen masyarakat sebagai warga negara.
3. Setiap warga negara agar memiliki kepatuhan terhadap semua aturan dan tatanan yang berlaku, kalau perlu diambil sumpah seperti halnya setiap prajurit yang akan menjadi anggota TNI dan tata cara penyumpahan diatur dengan Undang-undang.
DAFTAR PUSTAKA
https://drive.google.com/file/d/0B3m9Q_S6Q7PFVmpJT1Z4TFBMbmM/view?pli=1
http://shshomework.blogspot.com/2013/03/makalah-tentang-ancaman-
disintegrasi.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Amir_fatah_copy.jpg
https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Musso.jpg
https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Akmuzakkar.jpg
https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Teuku_Daud_Beureueh.jpg
https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Berkas:Ihadjar.jpg&filetimestamp=20110306015658&
https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:DNAidit.jpg
https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Raymond_Westerling.jpg
http://2.bp.blogspot.com/-fnzwGklthyo/UIDbI0qssFI/AAAAAAAAAGI/dzTeBywxA1E/
s1600/Chris_Soumokil.jpg
https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Kartosuwirjo_17_August_1950_KR.jpg