212
Vol. 8 No. 1 - April 2011 DAFTAR ISI Dari Redaksi ............................................................................ Abstrak Artikel: Reformasi Pajak di Indonesia Oleh: Fuad Bawazier .................................................................. Reformasi Perpajakan Sebagai Perlindungan Hukum Yang Seimbang Antara Wajib Pajak Dengan Fiskus Sebagai Pelaksanaan Terhadap Undang-Undang Perpajakan Oleh: Deden Sumantry .................................................................. Reformasi Peraturan Perundang-undangan dan Birokrasi Bidang Perpajakan Oleh: Andi Subri .............................................................................. Pengaturan Hukum Pidana di Bidang Perpajakan dan Hubungannya Dengan Hukum Pidana Umum dan Khusus Oleh: Mudzakkir .............................................................................. Epistemologi Pajak, Perspektif Hukum Tata Negara Oleh: A Ahsin Thohari ..................................................................... Pemeriksaan Terhadap Pajak Sebagai Bagian Dari Ruang Lingkup Keuangan Negara Menurut Teori Hukum Keuangan Publik Oleh: Dian Puji N. Simatupang ....................................................... Pembaharuan Sistim Perpajakan Daerah di Indonesia Oleh: Budi Sitepu ....................................................................... Pajak Melindungi Ketersediaan Air Tanah Oleh: Eka Sri Sunarti ..................................................................... Mengukur Konseptualitas Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Oleh: Mohammad Zamroni ............................................................. Formalin Dalam Kajian Undang-Undang Kesehatan; Undang-Undang Pangan dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Oleh: Agus Budianto ....................................................................... Informasi Pengundangan Biodata Penulis ISSN: 0216-1338 iii 1 - 12 13 - 28 29 - 42 43 - 68 69 - 78 79 - 98 98 - 116 117 - 138 139 - 150 151 - 172

Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

Vol. 8 No. 1 - April 2011

DAFTAR ISI

Dari Redaksi ............................................................................AbstrakArtikel:

Reformasi Pajak di IndonesiaOleh: Fuad Bawazier ..................................................................Reformasi Perpajakan Sebagai Perlindungan Hukum YangSeimbang Antara Wajib Pajak Dengan Fiskus SebagaiPelaksanaan Terhadap Undang-Undang PerpajakanOleh: Deden Sumantry ..................................................................Reformasi Peraturan Perundang-undangan dan BirokrasiBidang PerpajakanOleh: Andi Subri ..............................................................................Pengaturan Hukum Pidana di Bidang Perpajakan danHubungannya Dengan Hukum Pidana Umum dan KhususOleh: Mudzakkir ..............................................................................Epistemologi Pajak, Perspektif Hukum Tata NegaraOleh: A Ahsin Thohari .....................................................................Pemeriksaan Terhadap Pajak Sebagai Bagian Dari RuangLingkup Keuangan Negara Menurut Teori Hukum KeuanganPublikOleh: Dian Puji N. Simatupang .......................................................Pembaharuan Sistim Perpajakan Daerah di IndonesiaOleh: Budi Sitepu .......................................................................Pajak Melindungi Ketersediaan Air TanahOleh: Eka Sri Sunarti .....................................................................Mengukur Konseptualitas Pengujian Peraturan PemerintahPengganti Undang-UndangOleh: Mohammad Zamroni .............................................................Formalin Dalam Kajian Undang-Undang Kesehatan;Undang-Undang Pangan dan Undang-Undang PerlindunganKonsumenOleh: Agus Budianto .......................................................................

Informasi Pengundangan

Biodata Penulis

ISSN: 0216-1338

iii

1 - 12

13 - 28

29 - 42

43 - 68

69 - 78

79 - 98

98 - 116

117 - 138

139 - 150

151 - 172

Page 2: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

Vol. 8 No. 1 - April 2011

Page 3: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

DARI REDAKSI

DARI REDAKSI

Reformasi perpajakan merupakan hal yang perlu dan penting. Faktadi lapangan kekecewaan dan ketidak percayaan yang dirasakanmasyarakat terhadap pajak, mengharuskan Pemerintah berbenah diri.Langkah perbaikan ke arah perubahan tentu harus dilakukan dengancara reformasi perpajakan secara menyeluruh. Ada beberapa fungsi yangbisa diperoleh. Pertama tercapainya tingkat kepatuhan sukarela yangtinggi, kedua tercapainya kepercayaan pada administrasi perpajakan,dan ketiga tercapainya produktivitas aparat perpajakan. Tentunya jikareformasi bisa berjalan sesuai rencana, akan mendongkrak penerimaanpajak karena potensi penerimaan pajak di Indonesia masih cukup besar.

Kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan merupakan hal yangsangat penting dalam administrasi perpajakan yang pada akhirnya bisamenciptakan sistem perpajakan nasional yang baik. Kepatuhan tersebutmerupakan bagian dari reformasi perpajakan menuju sistemadministrasi perpajakan modern. Seluruh administrasi pajak yang adapada dasarnya untuk menjamin agar sesuai dengan hukum pajak.Ukuran administrasi pajak ini bisa dilihat melalui pelaksanaanadministrasi perpajakan dan bekerja sesuai dengan kebijakanperpajakan dinegara berkembang. Proses administrasi pajak adalahfungsi dimana input person, material, informasi, hukum, prosedurdigunakan untuk menghasilkan output pendapatan pemerintah,pembayaran pajak kekayaan, kesejahteraan sosial. Jadi jelas denganadanya administrasi perpajakan, kepatuhan wajib pajak dapatdilaksanakan sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku dankemudian menghasilkan peningkatan penerimaan pajak.

Edisi Jurnal Legislasi Indonesia Volume 8 Nomor 1 menyajikantema tentang “Reformasi Perpajakan di Indonesia”, yang di dalamnyamenyajikan artikel-artikel yang terkait dengan Reformasi Perpajakandi Indonesia: Reformasi Pajak di Indonesia; Reformasi Perpajakan sebagaiPerlindungan Hukum yang Seimbang antara Wajib Pajak dengan Fiskussebagai Pelaksanaan terhadap Undang-Undang Perpajakan; ReformasiPeraturan Perundangan dan Birokrasi Bidang Perpajakan; PengaturanHukum Pidana di Bidang Perpajakan dan Hubungannya Dengan HukumPidana Umum dan Khusus; Epistemologi Pajak, Perspektif Hukum TataNegara; Pemeriksaan Terhadap Pajak Sebagai Bagian Dari RuangLingkup Keuangan Negara Menurut Teori Hukum Keuangan Publik;

iii

Page 4: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

Vol. 8 No. 1 - April 2011

Pembaharuan Sistim Perpajakan Daerah di Indonesia; Pajak MelindungiKetersediaan Air Tanah; Mengukur Konseptualitas Pengujian PeraturanPemerintah Pengganti Undang-Undang; Formalin Dalam Kajian Undang-Undang Kesehatan; Undang-Undang Pangan dan Undang-UndangPerlindungan Konsumen.

Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isiJurnal Legislasi Indonesia masih diharapkan. Sumbangan tulisan daripembaca juga kami tunggu.

Salam Redaksi.

iv

Page 5: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

Kata kunci bersumber dari artikel.Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya

Bawazier, FuadReformasi Pajak di IndonesiaJurnal Legislasi Indonesia Vol. 8 No. 1 hlm.

Reformasi pajak di Indonesia dimulai tahun 1983 dengan memperkenalkan prinsipself assessment, menyederhanakan dan menurunkan tarif PPh danmemberlakukan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) sebagai pengganti PPn (PajakPenjualan). Setelah berjalan 10 tahun, reformasi pajak 1983 ini dilanjutkan denganreformasi pajak 1994 dan 1997 yang mengubah undang-undang sebelumnya danmembuat undang-undang baru. Dalam reformasi lanjutan ini, tarif PPh kembaliditurunkan dan mulai diperkenalkan PPh Final. Selain itu, pajak daerah danretribusi daerah untuk pertama kalinya ditata dalam sebuah undang-undang.Demikian juga PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dan BPHTB (Bea PerolehanHak Atas Tanah Dan Bangunan) masing-masing ditata dalam undang-undang.Reformasi pajak 1983, 1994, dan 1997 diterima baik oleh masyarakat dan suksesmencapai target atau sasarannya. Sedangkan reformasi-reformasi pajak pasca 1997,meski dengan biaya yang amat mahal, tetapi karena tidak direncanakan denganbaik dan bermuatan politis, memberikan indikasi kegagalan.Kata kunci: reformasi pajak, self assessment, penurunan tarif, PPh Final, dan

sukses tidaknya sebuah reformasi pajak.

Bawazier, FuadTax Reform in IndonesiaIndonesia Journal of Legislation Vol. 8 No. 1 p.

Tax reform in Indonesia initiated in 1983 by introducting principle of self assessmentand value added tax and lowering income tax rate. Having prevailed for 10 years, thereform continued in 1994 and 1997 by revising the tax laws and imposing some new taxlegislation. In these reforms, the tax rate was again reduced and final income tax wasintroduced to the system. The new tax laws were local tax and service charge, transfer oftitle on property, and government non tax revenues. The tax reforms of 1983, 1994 and1997 were considered successfully. On the contrary, the reforms after 1997 wereconsidered politically and financially expensive, and indicating some failures.Keywords: tax reform, self assessment, lower tax rate, final income tax, and successful

(failures) tax reform.

Page 6: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

Vol. 8 No. 1 - April 2011

Kata kunci bersumber dari artikel.Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya

Sumantry, DedenReformasi Perpajakan Sebagai Perlindungan Hukum Yang Seimbang Antara WajibPajak Dengan Fiskus Sebagai Pelaksanaan Terhadap Undang-Undang PerpajakanJurnal Legislasi Indonesia Vol. 8 No. 1 hlm.

Dalam menyelenggarakan kepentingan umum untuk mewujudkan kesejahteraankadangkala pemerintah melanggar hak-hak masyarakat terutama dalam pemungutanpajak, Hal ini dapat dihindari jika pemerintah menghayati dan menaati hukumpajak yang berlaku. Hukum harus dapat menjadi alat untuk mengadakanpembaharuan dalam masyarakat (social engineering), artinya hukum dapatmenciptakan kondisi yang harmonis dalam memperbaiki kehidupannya. Yangmenjadi sorotan dalam tulisan ini adalah Perlindungan Hukum Terhadap WajibPajak dan Fiskus dalam melaksanakan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sudah seimbang dan reformasiperpajakan dapat mewujudkan Perlindungan Hukum Terhadap Wajib Pajak danFiskus. Metode pendekatan yang digunakan adalah Yuridis Normatif yaitu penelitianhukum Deskriptif Analitis yang dilakukan dengan meneliti data sekunder berupabahan pustaka Hukum Positif di Indonesia dan pelaksanaannya dalam praktik.Hasil penelitiannya akan dianalisis secara kualitatif yuridis yaitu cara menganalisisterhadap data-data yang diperoleh tanpa menggunakan rumus-rumus statistik.Hasil penelitian ini adalah dalam pemungutan pajak, pemerintah harus menjunjungtinggi asas-asas, prinsip-prinsip, ajaran-ajaran, yang dianut dan berlaku di bidangIlmu Hukum. Reformasi Undang-undang Perpajakan bertujuan untuk mengadakankeseimbangan antara hak dan kewajiban antara Fiskus dan Wajib Pajak. Yangbertujuan membangun good and clean govermance, transparansi, serta akuntabilitasinstitusi. Perubahan struktur organisasi dari semula berdasarkan jenis pajakmenjadi berdasarkan fungsi, untuk menuju sistem administrasi pajak modern.Kata kunci: keseimbangan, perlindungan hukum, reformasi perpajakan

Sumantry, DedenTaxation Reform As Legal Protection Of Taxpayers Are Balanced With The ImplementationAs On Tax Authorities Law TaxationIndonesia Journal of Legislation Vol. 8 No. 1 p.

In conducting the public interest for the welfare of government sometimes violate therights of society, especially in tax collected, This can be avoided if the governmentappreciate and obey the tax laws and regulations. Laws should be able to be a tool tohold the renewal of society (social engineering), meaning the law can create a harmoniouscondition in improving their lives. Which was highlighted in this paper is the LegalProtection Against Taxpayers and tax authorities in implementing the Act No. 16 of 2009on General Provisions and Administration of Taxation has been balanced and tax reformsto realize the Legal Protection Against Taxpayers and tax authorities. The method usedis the Juridical Normative Descriptive Analytical legal research conducted by examiningsecondary data in the form of library materials in Indonesia Positive Law and itsimplementation in practice. Research results will be analyzed qualitatively to the juridicalnamely how to analyze data obtained without the use of statistical formulas. The resultsof this study is, tax collections, the government must uphold the principles, the principles,teachings, adopted and applied in the field of Legal Studies. Tax Reform Act aims tomade of balance between rights and obligations between the tax authorities and taxpayers.which aims to build a good and clean Governance, transparency, and accountability ofinstitutions. Changes from the previous organizational based of structure on the type oftax to be based on the function to go to a modern tax administration system.Keywords: balance, legal protection, tax reform

Page 7: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

Kata kunci bersumber dari artikel.Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya

Subri, AndiReformasi Peraturan Perundangan dan Birokrasi Bidang PerpajakanJurnal Legislasi Indonesia Vol. 8 No. 1 hlm.

Pajak berfungsi sebagai budgetair, penerimaan keuangan yang masuk melalui kasnegara, dan berfungsi mengatur bagi pemenuhan kebutuhan pembangunannasional dalam kerangka pembangunan masyarakat Indonesia. Kenyataannya tidakdemikian? Mengapa? Tiada lain karena kolusi – korupsi oleh Birokrat padaDirektorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai KementerianKeuangan membuktikan sebaliknya, sehingga penerimaan keuangan negaramenjadi tidak maksimal, dan cita-cita mensejahterakan dan memakmurkan rakyatjauh dari harapan. Terobosan harus dilakukan dan langkahnya adalah memperkuatdan menyederhanakan kinerja yang berhubungan dengan administrasi melaluiamandemen peraturan perundangan di bidang perpajakan dan reformasi birokrasiterhadap organisasi yang mengelola perpajakan dengan membentuk institusi baru:Badan Pajak dan Bea Cukai yang berkedudukan langsung di bawah Presiden.Kata Kunci: Amandemen Undang-Undang Pajak Dan Reformasi Birokrasi Pajak

Subri, AndiBureaucracy Reform Laws and Taxation DivisionIndonesia Journal of Legislation Vol. 8 No. 1 p.

Tax function as budgetair, financial receipts that go through the state treasury, and thefunction set to meet the needs of national development within the framework of thedevelopment of Indonesian society. The reality is not so? Why? No other because ofcollusion - corruption by bureaucrats at the Directorate General of Taxation and theDirectorate General of Customs and Excise, Ministry of Finance to prove otherwise, sothat the state financial revenue to be not optimal, and ideals-ideals welfare and prosperity ofthe people far from expectations. The breakthrough should be made and steps are tostrengthen and simplify the performance associated with the administration through theamendment of legislation on taxes and reform the bureaucracy of the organizations thatmanage taxation by establishing a new institution: the Tax and Customs Board which islocated directly under the President.Keywords: Amendment Law - Tax Law and Tax Reforms

Page 8: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

Vol. 8 No. 1 - April 2011

Kata kunci bersumber dari artikel.Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya

MudzakkirPengaturan Hukum Pidana di Bidang Perpajakan dan Hubungannya Dengan HukumPidana Umum dan KhususJurnal Legislasi Indonesia Vol. 8 No. 1 hlm.

Konstribusi pemasukan dana yang bersumber dari wajib pajak merupakan masukanpendapat yang berarti dan memiliki makna yang luas bagi pembangunan NegaraKesatuan Republik Indonesia. Hal yang harus menjadi perhatian adalah usahauntuk meningkatkan kesadaran wajib pajak untuk membayar pajak adalah intidari pengaturan dan pengenaan sanksi pidana di bidang perpjakan. Tindak pidanadi bidang perpajakan adalah termasuk tindak pidana di bidang hukum administrasi(administrative criminal law atau dependent crimes) yang dikenal sederhana danlentur dalam penegakan hukumnya, sepanjang tujuan dari hukum tersebuttercapai, yaitu wajib pajak mau membayar pajak sesuai dengan kewajibannya.Penggunaan hukum pidana pidana umum atau hukum pidana khusus terhadaptindak pidana di bidang perpajakan adalah tidak tepat dan dapat menimbulkanproblem hukum dan keadilan. Oleh sebab itu, tindak pidana umum atau tindakpidana khusus yang berkaitan dengan terjadinya tindak pidana perpajakan adalahberdiri sendiri dengan segala konsekuensi penegakan hukumnya. Terkait denganpenerapan tindak pidana korupsi dalam tindak pidana di bidang perpajakan, dapatdilakukan dua model, yaitu masing-masing berdiri sendiri dan tidak salingberkaitan, sebagaimana dimuat dalam Pasal 43A ayat (3) atau undang-undangperpajakan memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Kata Kunci: Tindak pidana perpajakan, administrasi, tindak pidana umum, tindak

pidana khusus

MudzakkirSettings in the Field of Taxation Criminal Law and Its Relation to General and SpecialCriminal LawIndonesia Journal of Legislation Vol. 8 No. 1 p.

Income funds contribution that coming from taxpayers is a significant input of opinionand have a broad significance for the development of the Unitary Republic of Indonesia.One must be concern is the effort to increase awareness of taxpayers to pay taxes andalso as the essence of the regulation and the imposition of criminal sanctions in the fieldof taxation. The criminal action in the field of taxation is included criminal law in the fieldof administration (administrative criminal law or crimes dependent) known simple andflexible in enforcing of the law, as long as the objective of law is reached, the taxpayerwould pay tax in accordance with its obligations. The use of criminal common law orpenal code/law dealing specifically with criminal acts in the field of taxation is inappropriateand can caused problems in law and justice. Therefore, public crime or specific crimerelated to the occurrence of a tax crime is a stand-alone with all the consequences ofenforcement. Related to the implementation of corruption in the criminal acts in the fieldof taxation, could be run by two models, which each stand alone and not related to eachother, as stipulated in Article 43 A paragraph (3) or tax laws contain provisions referredto in Article 14 Act Number 31 Year 1999 as amended by Act Number 20 Year 2001 onEradication of Corruption.Keywords: Crime of taxation, administration, general crime, especially crime

Page 9: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

Kata kunci bersumber dari artikel.Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya

Thohari, A. AhsinEpistemologi Pajak, Perspektif Hukum Tata NegaraJurnal Legislasi Indonesia Vol. 8 No. 1 hlm.

Bentangan sejarah perpajakan di dunia ini menghampar dari zaman piramida diMesir (3000 SM-2800 SM), Persia (500 SM), Babilonia (612 SM-539 SM), Romawi(27 SM-476 SM), India (500 SM-550 SM), Arab (abad ke-11), hingga zaman jejaringpertemanan di situs jaringan internet yang tercipta di abad informasi ini dengansegenap aspek dinamika, sofistikasi, dan penyesuaian-penyesuain terhadapkonteks zaman yang melingkupinya. Akan tetapi, sejarah perpajakan menemukanmomentum politiknya dan kemudian menjadi wacana dunia pada saat pemerintahankolonial Inggris secara sewenang-wenang memberlakukan pajak di negarajajahannya, yaitu Amerika Serikat. “No taxation without representation” (tiadapemungutan pajak tanpa perwakilan), demikian slogan yang pernah populer di13 (tiga belas) koloni Inggris pada 1750-1760 yang merupakan salah satu penyebabutama Revolusi Amerika dengan menentang kekuasaan Raja George III. Kurangnyaperwakilan langsung untuk koloni-koloni di Parlemen Inggris dianggap sebagaisebuah tindakan ilegal dan bagian dari tindakan pengingkaran atas hak-hak merekasebagai bagian dari orang Inggris (rights of Englishment), sehingga pemerintahkolonial tidak berwenang memungut pajak dari rakyat dalam bentuk apa pun juga.Slogan rekaan Jonathan Mayhew itu dipertajam oleh James Otis dengan kalimatyang lebih provokatif, “Taxation without representation is tyranny” (pemungutanpajak tanpa perwakilan adalah tirani). Singkatnya, pemungutan pajak olehpemerintah tanpa ditetapkan oleh lembaga perwakilan adalah sebentuk kekuasaanyang menindas (oppressive power). Dalam konteks Indonesia, pajak merupakankristalisasi dari iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang —sehingga dapat dipaksakan— dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung.Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biayaproduksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.Akan tetapi, dengan banyaknya karut-marut perpajakan dewasa ini, epistemologipajak semacam ini terasa jauh.Kata kunci: Hukum Tata Negara, Pajak

Thohari, A. AhsinTaxes Epistemology, Constitutional Law PerspectiveIndonesia Journal of Legislation Vol. 8 No. 1 p.

Span of the history of taxation in this world extend from the time of the pyramids inEgypt (3000 BC-2800 BC), Persian (500 BC), Babylon (612 BC-539 BC), Roman (27 BC-476 BC), India (500 BC-550 BC), Arabic (11th century), until the time of social network-ing wibesites are created in this information age with all aspects of the dynamics,sophistication, and the adjustments to the surrounding context. However, the history oftaxation finds political momentum, and then into the world of discourse, during Britishcolonial rule arbitrarily impose taxes in the country towns, namely the United States. “Notaxation without representation”, according to the ever popular slogan in the 13 (thirteen)British colony in 1750-1760 which is one of the main causes of the American Revolutionto resist the reign of King George III. The lack of direct representation for the colonists inthe distant British Parliament is considered as an illegal act and part of the act of denialof their rights as part of the rights of Englishmen), so the colonial government was notauthorized to collect taxes from people in the all form. The slogan created by JonathanMayhew was sharpened by James Otis with a more provocative phrase, “Taxation withoutrepresentation is tyranny”. In short, tax collection by the government without determinedby representative institutions is a form of oppressive power. In Indonesian context, the

Page 10: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

Vol. 8 No. 1 - April 2011

tax is the crystallization of people’s contributions to the state treasury under the lawsenforced, with no direct remuneration. Tax authorities levied based on legal norms tocover the cost of production of goods and services collectively to achieve common prosperity.However, with so many tax chaos today, this kind of tax epistemology seemed distant.Keyword: Taxes, Constitutional Law

Page 11: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

Kata kunci bersumber dari artikel.Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya

Simatupang, Dian Puji NPemeriksaan Terhadap Pajak Sebagai Bagian Dari Ruang Lingkup Keuangan NegaraMenurut Teori Hukum Keuangan PublikJurnal Legislasi Indonesia Vol. 8 No. 1 hlm.

Pemeriksaan terhadap pengelolaan pajak di Indonesia hakikatnya terkait dengansistem pemungutan pajak yang bersifat self-assessment. Dengan sistem tersebut,menurut peraturan perundang-undangan perpajakan, wajib pajak menghitung danmenentukan nilai pembayaran pajaknya. Konsep self-assessment mempengaruhisistem pemeriksaan pengelolaan pajak oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dimana BPK tidak dapat masuk ke dalam ranah administrasi negara tersebut. Akantetapi, dalam tanggung jawab pajak dan realisasi pajak sesuai dengan AnggaranPendapatan dan Belanja Negara (APBN), semestinya BPK memiliki kewenanganuntuk melakukan pemeriksaan sekaligus mengaudit untuk tujuan tertentu jikakebijakan perpajakan cenderung mengarah pada moral hazzard yang berpotensimerugikan keuangan negara.Kata kunci: Pemeriksaan, Pengelolaan Pajak

Simatupang, Dian puji NExamination Of Tax As Part Of Financial Scope of State According to the Theory of PublicFinance LawIndonesia Journal of Legislation Vol. 8 No. 1 p.

Audit for tax governance in Indonesia relating with self assessment system. BadanPemeriksa Keuangan (BPK) as the major duties of finansial audit institution can notsupervise and inspect to tax governance because as well as administration area.Furthemore, supervision tax governance as a authority by Finance Ministry and BadanPengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). But, for tax policy and rules orregulation strategies, BPK have a powerfull authority.Keyword: Audit, Tax Governance

Page 12: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

Vol. 8 No. 1 - April 2011

Kata kunci bersumber dari artikel.Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya

Sitepu, BudiPembaharuan Sistim Perpajakan Daerah di IndonesiaJurnal Legislasi Indonesia Vol. 8 No. 1 hlm.

Indonesia telah melalui beberapa pase dalam sistem perpajakan daerahnya, terakhirdituangkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerahdan Retribusi Daerah. Perubahan yang dilakukan dengan undang-undang tersebutcukup signifikan, mulai dari pembatasan jenis pajak daerah, penguatan local tax-ing power, perubahan sistem pengawasan, sampai pada pengaturan untukoptimalisasi pemungutan dan pemanfaatan hasil pajak daerah. Pembatasan jenispajak daerah dilakukan dengan menerapkan ‘closed-list’ sistem denganmenetapkan 16 jenis pajak yang dapat dipungut oleh daerah, yakni 5 jenis pajakprovinsi dan 11 jenis pajak kabupaten/kota. Penguatan local taxing power dilakukandengan memperluas objek pajak daerah, menambah jenis pajak daerah, menaikkantarif maksimum beberapa jenis pajak daerah, dan memberikan kewenangansepenuhnya kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak daerah. Sedangkanpengawasan pajak daerah dilakukan melalui pendekatan preventif dan korektif,yakni mengevaluasi rancangan peraturan daerah sebelum ditetapkan menjadiperaturan daerah (perda) dan membatalkan perda yang bertentangan denganperaturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sementara itu, optimalisasipemungutan dan pemanfaatan hasil pajak dilakukan dengan memperbaiki porsibagi hasil pajak provinsi kepada kabupaten/kota, menegaskan earmarking beberapajenis pajak provinsi, dan mengatur kembali pemberian insentif pemungutan.Pembaharuan sistem perpajakan daerah di Indonesia merupakan tuntutan dariimplementasi kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang dilakukandengan menyerahkan sumber-sumber pendapatan kepada daerah secara bertahap.Pengalihan jenis pajak provinsi tertentu dan sebagian jenis pajak pusat kepadakabupaten/kota merupakan pengaturan kembali sistem perpajakan nasional denganmenetapkan jenis-jenis pajak yang tepat untuk dipungut oleh pusat, provinsi,dan kabupaten/kota. Kondisi ekonomi dan potensi pajak yang dimiliki olehkabupaten/kota di Indonesia sangat bervariasi. Diperlukan strategi pemerintahuntuk memberikan asistensi dan fasilitasi bagi daerah tertentu agar pemungutanpajak daerah dapat berjalan lancar. Di sisi lain, evaluasi dan penyempurnaankebijakan perpajakan daerah perlu terus dilakukan untuk menciptakan sistemperpajakan daerah yang efisien dan efektif di Indonesia.Kata Kunci: sistem perpajakan daerah, local taxing power, closed-list system,

desentralisasi fiskal

Sitepu, BudiIndonesian Local Taxation ReformIndonesia Journal of Legislation Vol. 8 No. 1 p.

Indonesia has experienced a number of phases on its local taxation systems, the latestone was indicated by promulgation of Law No. 28 Year 2009 concerning local taxes andlocal charges. A significant changes has been made by the said law, such as limitation oflocal taxes, local taxing empowerment, improvement of control system, and optimalizationof tax collection and the use of local tax revenues. Limitation of local taxes is done bydetermining 16 type of local taxes (5 type provincial taxes and 11 type region/city taxes)and implementing a ‘closed-list’ systems. Local taxing empowerment is done by extendingthe tax object of several local taxes, introducing new taxes, increasing the maximum tarifof several local taxes, and full discreation of tariff determination to local government.Control system was changed to a preventive and corrective approach, by evaluating thedraft of local regulations before they are adapted as local regulation, besides provocating

Page 13: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

local regulation that is against the higher laws and regulations. Meanwhile, optimalizationof tax collection and the use of local tax revenues is done by improving the share ofprovincial tax revenues to regions/cities, introducing of earmarking on several localtaxes, and improving the arrangement of tax incentives. The local taxation reform wasdriven by the need for better implementation of local otonomy and fiscal decentralizationpolicies, by granting more revenue sources to local government gradually. Devolution ofa certain provincial tax and several central taxes to regions/cities can be seen as areformulation of national tax system by redetermining the type of national taxes, provincialtaxes, and region/city taxes. Economic condition and tax potential varies amongregions/cities in Indonesia. A special stragtegy is needed to assist and facilitate a certainregion/city in implementing the new local tax system. On the other hand, evaluation andimprovement of local tax policies needs to be done continuously to develope an efficientand effective local taxation system in Indonesia.Keywords: local taxation system, local taxing power, closed-list system, fiscal decen-

tralization

Page 14: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

Vol. 8 No. 1 - April 2011

Kata kunci bersumber dari artikel.Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya

Sunarti, Eka SriPajak Melindungi Ketersediaan Air TanahJurnal Legislasi Indonesia Vol. 8 No. 1 hlm.

Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasidalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dankeleluasaan kepada Daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Untukmendukung penyelenggaraan otonomi daerah diatur dan ditentukan sumber-sumberkeuangan Daerah, di antaranya Pajak Daerah yang diatur oleh Undang-UndangNomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Seiring denganlaju pertumbuhan penduduk dan industri, permintaan akan pemenuhan kebutuhanair bersih meningkat dengan pesat. Terkait penggunaan air permukaan telahterjadi penyedotan dan pengambilan air bawah tanah yang berlebihan, hal tersebutmenyebabkan permukaan tanah semakin menurun. Bagaimana kewenangan Negaradan Pemerintah Daerah dalam mengelola air tanah dan bagaimana seharusnyaPeraturan Daerah mengatur pengelolaan pajak air tanah dimasa yang akan datang.Dalam kontek penguasaan Sumber Daya Air dalam wilayah negara Indonesia,maka hak penguasaannya adalah ada pada negara. Negara dalam hal ini PemerintahDaerah bertanggungjawab terhadap persoalan atau permasalahan lingkungan,ekologis atau segala hal yang menyangkut kebijakan publik atas masalah lingkungandan sumber daya alam. Pajak mengenai air dapat dikenakan pada pajak propinsimaupun pajak kabupaten kota. Dengan adanya pemungutan pajak air tanah terhadapmasyarakat maka pola penggunaan air tanah akan dapat dibatasi. Fungsi perpajakanair tanah yaitu harus dibuat pola dan sistem pengenaan pajak air tanah yangdapat mengatur pola pemakaian dan pemanfaatan air bawah tanah sehinggaketersediaan air tanah dapat tetap terjaga.Kata kunci: Pajak, Air Tanah

Sunarti, Eka SriTax Protecting Ground Water AvailabilityIndonesia Journal of Legislation Vol. 8 No. 1 p.

Republic of Indonesia as a unitary State adheres to the principle of decentralization ingovernance, by providing the opportunity and flexibility to the regions to hold regionalautonomy. To support the implementation of regional autonomy is set and determinedthe financial resources of the Region, including Regional Tax regulated by Law Number28 of 2009 on Local Taxes and Levies. Along with population and industrial growth,demand for clean water needs increased rapidly. Related to the use of surface water hasbeen siphoned off and making excessive underground water, it caused the surface soildecreases. How State and Local Government authority to manage ground water and howshould the Local Rules governing the management of ground water tax in the future. Inthe context of mastery of Water Resources in the territory of Indonesia, the mastery isright there in the country. Countries in this Region Government shall be responsible forthe problems or environmental problems, ecological or any matters relating to publicpolicy on environmental issues and natural resources. Tax on water can be imposed onprovincial taxes or tax district of the city. With the taxation of ground water to the societythen the pattern of use of ground water will be limited. Taxation functions of groundwater that is to be made patterns and taxation systems that can regulate ground waterusage patterns and utilization of underground water so that soil water availability can bemaintained.Keyword: Tax, ground water

Page 15: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

Kata kunci bersumber dari artikel.Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya

Zamroni, MohammadMengukur Konseptualitas Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-UndangJurnal Legislasi Indonesia Vol. 8 No. 1 hlm.

Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, berdasarkan konstitusi Presidendiberikan hak untuk menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (yang sering disingkat dengan Perppu). Pada saat bersamaan, berdasarkanUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Perppu diposisikan sederajat atau sejajar dengan undang-undang. Olehkarena itu, maka penerbitan dan pelaksanaan Perppu harus diawasi secara ketatoleh DPR melalui mekanisme persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksuddalam konstitusi. Namun demikian, dalam prakteknya tidak jarang ditemui deviasiatau penyimpangan terhadap pelaksanaan mekanisme konstitusional Perppu ini.Di antaranya adalah mengenai inkonsistensi pelaksanaan waktu atau masapengajuan Perppu tersebut kepada DPR untuk disetujui atau ditolaknya Perppu.Di samping itu, mengenai status hukum Perpu pada saat Perppu tersebut ditolakoleh DPR secara yuridis formal juga menimbulkan persoalan. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka sudah selayaknya Perppu dapat dijadikan objek pengujianMahkamah Konstitusi demi tegaknya konstitusi dan prinsip negara hukum diIndonesia.Kata kunci: Konstitusi, Perppu, pengujian Perppu

Zamroni, MohammadMeasure Testing Konseptualitas Government Regulation in Lieu of LawIndonesia Journal of Legislation Vol. 8 No. 1 p.

In circumstances which forced the crisis, according to the constitution the president isgiven the right to establish government regulations in the legislation replacement (oftenabbreviated Perppu). at the same time, based upon Constitution of the Republic ofIndonesia Year 1945 and the law 10 of 2004 on Legislation Procedure, perppu the sameposition or in parallel with the law. Therefore, the issuance and execution perppu closelymonitored by the parliament through the mechanism of approval or rejection as definedin the constitution. However, in practice not uncommon in the deviation or deviation tothe implementation of constitutional mechanisms such perpu. of them is about theexecution time inconsistency or delivery to the House for approval or perppu perppurejection. in addition, concerning the legal status at the time was rejected by Parliamentperppu perppu formal justice also cause problems. based on these things, it must be theJudicial Review Perpu the constitutional court for the sake of the constitution and rule oflaw in Indonesia.Keywords: Constitution, Perppu, Judicial Review legislation of Perppu

Page 16: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

Vol. 8 No. 1 - April 2011

Kata kunci bersumber dari artikel.Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya

Budianto, AgusFormalin Dalam Kajian Undang-Undang Kesehatan; Undang-Undang Pangan danUndang-Undang Perlindungan KonsumenJurnal Legislasi Indonesia Vol. 8 No. 1 hlm.

Aksi tindakan bisnis pencampuran bahan makanan dan atau minuman dengancampuran bahan berbahaya formalin adalah kejahatan sebagaimana telah diaturdalam Undang-Undang Pangan, Undang-Undang Kesehatan, dan penerapkanperaturan Nomor 1168/Menkes/PER/X/1999. Kejahatan ini dipidana denganpidana penjara selama 5 (lima) tahun atau denda sebesar USD $ 600,000,000.00(enam ratus juta rupiah). Demikian juga, dapat dilakukan tuntutan terhadap badanusaha yang melakukan tindak pidana tersebut dengan instrumen Undang-UndangNomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.Kata kunci: formalin, penerapan peraturan, kejahatan makanan

Budianto, AgusFormalin In Review Health Act, Food Act and Consumer Protection ActIndonesia Journal of Legislation Vol. 8 No. 1 p.

Actions mixing business with food and / or drinks with a mixture of formalin hazardousmaterials is a crime as has been stipulated in the Food Act, Health Act, and implementingregulations No. 1168/Menkes/PER/X/1999. For the crime, is liable to imprisonment of5 (five) years and or a fine of USD $ 600,000,000.00 (six hundred million rupiah).Similarly, people can make claims against the business of committing criminal offensesin the food sector with the instrument of Law Number 8 of 1999 on Consumer Protection.Keywords: formalin, implementing regulations, food crimes

Page 17: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

1

ARTIKEL

REFORMASI PAJAK DI INDONESIATAX REFORM IN INDONESIA

Fuad Bawazier*

(Naskah diterima 3/3/2011, disetujui 30/3/2011)

AbstrakReformasi pajak di Indonesia dimulai tahun 1983 dengan memperkenalkanprinsip self assessment,menyederhanakan dan menurunkan tarif PPh danmemberlakukan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) sebagai pengganti PPn (PajakPenjualan). Setelah berjalan 10 tahun, reformasi pajak 1983 ini dilanjutkandengan reformasi pajak 1994 dan 1997 yang mengubah undang-undangsebelumnya dan membuat undang-undang baru. Dalam reformasi lanjutan ini,tarif PPh kembali diturunkan dan mulai diperkenalkan PPh Final. Selain itu,pajak daerah dan retribusi daerah untuk pertama kalinya ditata dalam sebuahundang-undang. Demikian juga PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) danBPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan) masing-masing ditatadalam undang-undang. Reformasi pajak 1983, 1994, dan 1997 diterima baikoleh masyarakat dan sukses mencapai target atau sasarannya. Sedangkanreformasi-reformasi pajak pasca 1997, meski dengan biaya yang amat mahal,tetapi karena tidak direncanakan dengan baik dan bermuatan politis,memberikan indikasi kegagalan.Kata kunci: reformasi pajak, self assessment, penurunan tarif, PPh Final, dan

sukses tidaknya sebuah reformasi pajak.

AbstractTax reform in Indonesia initiated in 1983 by introducting principle of self assessmentand value added tax and lowering income tax rate. Having prevailed for 10 years, thereform continued in 1994 and 1997 by revising the tax laws and imposing some newtax legislation. In these reforms, the tax rate was again reduced and final income taxwas introduced to the system. The new tax laws were local tax and service charge,transfer of title on property, and government non tax revenues. The tax reforms of 1983,1994 and 1997 were considered successfully. On the contrary, the reforms after 1997were considered politically and financially expensive, and indicating some failures.Keywords: tax reform, self assessment, lower tax rate, final income tax, and

successful (failures) tax reform.

A. PendahuluanReformasi pajak di Indonesia di mulai tahun 1983, yaitu dengan

diperkenalkannya prinsip self assessment dalam menghitung PPh (Pajak

* Mantan Menteri Keuangan Republik Indonesia Kabinet Pembangunan VII Tahun 1998.

Page 18: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

2

Vol. 8 No. 1 - April 2011

Penghasilan) sejak tahun 1984, dan diberlakukannya PPN (PajakPertambahan Nilai) menggantikan PPn (Pajak Penjualan) sejak tahun1985. Setelah itu reformasi pajak yang signifikan terjadi lagi pada tahun1994 dan 1997 melalui paket komprehensif perubahan atau penyusunanbaru undang-undang perpajakan. Reformasi 1994 dan 1997 ini masing-masing meliputi 4 dan 5 undang-undang dalam bidang perpajakan.

Pasca 1997 atau dalam orde reformasi, perubahan demi perubahandalam pengaturan perpajakan terus berlangsung meski terasa bernuansa“asal berubah” karena mulai kehilangan arah dan sasaran yang jelas.Perubahan pasca 1997 yang terakhir terjadi meliputi Undang-UndangNomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-UndangNomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, Undang-Undang Nomor16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah PenggantiUndang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat AtasUndang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum danTata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang, Undang-Undang Nomor42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor6 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa danPajak Penjualan Atas Barang Mewah, dan dialihkannya tanggung jawabpemungutan BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) dariPemerintah Pusat ke pemerintah daerah sejak tahun 2011.

Selain reformasi dalam peraturan perundang-undangan pajak,reformasi pasca 1997 dalam bidang perpajakan meliputi pula reformasibirokrasi dan remunerasinya, dan reorganisasi dalam lingkup DirektoratJenderal Pajak beserta informasi teknologinya. Reformasi pelengkap inidiperkenalkan dengan label reformasi birokrasi dan modernisasi kantordalam lingkungan Ditjen Pajak. Meskipun biaya reformasi inti(perubahan peraturan perundang-undangan dalam bidang perpajakan)dan reformasi suplemennya (perubahan birokrasi dan fasilitasnya,reorganisasi dan informasi teknologinya) terus melonjak, efektivitasreformasi-reformasi pasca 1997 justru dirasakan atau sekurang-kurangnya mengindikasikan kegagalan atau tidak mencapai sasarannya.

B. Perjalanan Reformasi Perpajakan1. Reformasi Pajak 1983

Sebelum reformasi pajak tahun 1983, besarnya pajak yang terutangoleh Wajib Pajak (WP) ditetapkan oleh negara melalui Kantor InspeksiPajak. Dengan semakin banyaknya jumlah WP serta semangat sebagaibangsa yang telah merdeka, sistem penetapan besarnya pajak yangterutang oleh Kantor Inspeksi Pajak diubah ke sistem self assessment

Page 19: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

3

(WP menghitung dan melaporkan sendiri besarnya pajak penghasilan yangterutang). Sejalan dengan itu, Kantor Inspeksi Pajak diubah menjadiKantor Pelayanan Pajak. Sedangkan untuk meningkatkan daya saing ekonomiIndonesia pada khususnya dan menunjang ekspor pada umumnya, sertauntuk meningkatkan efektivitas kontrol masyarakat dalam pemungutanpajak tidak langsung, PPn (Pajak Penjualan) diganti dengan PajakPertambahan Nilai (PPN). Selain 2 (dua) perubahan yang amat signifikanini (self assessment dan PPN), tarif PPh juga diturunkan dari 45% ke35% dan struktur tarif pajak penghasilan disederhanakan untuk WPorang pribadi ataupun WP perusahaan. Reformasi pajak 1983 ini dinilaiberhasil khususnya dalam meningkatkan penerimaan pajak dan menaikkanperannya dalam APBN. Sayangnya reformasi 1983 ini ditanganikonsultan-konsultan asing, meski sebenarnya tenaga-tenaga dalamnegeri mampu menanganinya, jika saja diberi kesempatan dan kepercayaan.

2. Reformasi Pajak 1994Tanpa mengurangi substansi reformasi pajak 1983, reformasi

perpajakan 1994 dan 1997 merupakan konsekuensi logis atau lanjutansebagai hasil dari evaluasi pelaksanaan reformasi sebelumnya,khususnya pelaksanaan prinsip self assessment. Sudah menjadi sifatWP di negara manapun untuk berupaya menghindari atau mengecilkankewajiban pajaknya. Bedanya, di negara-negara maju umumnya, upaya-upaya tersebut dijalankan WP dengan memanfaatkan peluang-peluanglegal yang tersedia serta perencanaan pembayaran kewajiban pajak yangbaik (healthy tax planning). Sedangkan di negara-negara berkembangtermasuk Indonesia, upaya penghindaran dan pengecilan pajak ditempuhdengan upaya yang legal maupun ilegal. Sementara sifat atau perilakupetugas pemungut pajak di negara maju umumnya lebih disiplin danbersih dibandingkan dengan pegawai pajak di negara berkembang yangumumnya justru aktif mencari peluang memperkaya diri denganmenyalahgunakan kewenangannya.

Dengan menyadari perilaku WP dan aparatur pajak yang umumnyabelum terpuji (kurang jujur) itu, efektivitas pelaksanaan prinsip selfassasesment, yakni WP menghitung sendiri besarnya pajak yang terutang,sedikit banyak agak terganggu. Reformasi 1994 antara lain dimaksudkanuntuk menjaga efektivitas pelaksanaan prinsip self assessment, yaitudengan meminimalkan interaksi aparatur pajak dengan WP. Selain itu,reformasi 1994 dimaksudkan untuk menerapkan seluas mungkin PPhFinal sepanjang syarat-syaratnya bisa terpenuhi, mampu meningkatkanpenerimaan pajak, dan bisa menutup kebocoran (korupsi, kolusi, dan

Reformasi Pajak Di Indonesia

Page 20: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

4

Vol. 8 No. 1 - April 2011

nepotisme) yang terjadi. Penerapan PPh Final telah terbukti efektif dandiminati WP karena selain sederhana dan mekanismenya mudah, jugamemberikan kepastian hukum dan rasa keadilan bagi WP denganpenghasilan yang sejenis. Sedangkan bagi Direktorat Jenderal Pajak,penerapan PPh Final selain memudahkan dalam perencanaan besarnyapenerimaan pajak, juga karena biaya pemungutannya yang sangatmurah, tetapi memberikan peningkatan penerimaan pajak yangsignifikan. PPh Final itu ibarat mengambil uang rakyat (pajak) tanpakeringat dan mereka yang diambil uangnya tidak mengeluh.

PPh Final antara lain diterapkan dalam pemungutan PPh ataspenghasilan bunga bank yang diterima masyarakat dari deposito,tabungan atau simpanannya di bank dengan tarif 20%. Sistem ini jugaditerapkan pada penghasilan dari penjualan tanah dan rumah dengantarif 5% dari harga jual atau nilai jual objek pajaknya Nilai Jual ObjekPajak (NJOP). PPh Final juga diterapkan terhadap transaksi penjualansaham di Bursa Efek Indonesia dengan tarif 1/1000 (satu permil) dariharga jual saham.

Dengan memahami latar belakang perilaku WP ataupun aparaturpajak itu, reformasi 1994 dimaksudkan untuk menjaga tegaknya prinsip-prinsip dalam reformasi pajak 1983, yaitu :

a. Sederhana, artinya kedua belah pihak (WP dan aparatur pajak) dapatmenjalankan hak dan kewajibannya dengan mudah dan murah;

b. Asas pemerataan dan keadilan dalam beban pajak yang harus dipikul;c. Kepastian hukum bagi kedua belah pihak (WP dan aparatur pajak);d. Menutup atau mengurangi peluang-peluang penyelundupan pajak

dan penyalahgunaan wewenang;e. Netralitas dalam pengenaan pajak untuk menjaga perilaku alami WP;f. Dapat digunakan sebagai instrumen tambahan untuk mendorong

pembangunan ekonomi di sektor atau daerah tertentu.

Reformasi pajak 1994 juga memperhatikan faktor globalisasi dansemangat persaingan tarif pajak dengan negara-negara ASEAN dalammemperebutkan investasi.

Reformasi pajak 1994 ini meliputi perubahan pada 4 (empat) undang-undang yaitu;

a. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan AtasUndang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan UmumDan Tata Cara Perpajakan.

b. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan AtasUndang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

Page 21: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

5

Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 7Tahun 1991.

c. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan AtasUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak PertambahanNilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

d. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan AtasUndang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi danBangunan.

Untuk lebih mewujudkan prinsip-prinsip pemungutan pajak sepertidisebutkan di atas, reformasi perpajakan tahun 1994 ini memberikanlandasan hukum yang lebih tegas untuk menjangkau seluruh lapisanmasyarakat dengan tarif PPh yang lebih progresif. Sebagai penajamandari prinsip kesederhanaan dan prinsip kepastian hukum, definisi ataucakupan dari subjek pajak dan obyek pajak, beserta pengecualian-pengecualiannya diberikan penegasan yang lugas agar terhindar darimultitafsir dalam pelaksanaannya. Penajaman ini juga meliputiperluasan objek-objek pajak baru atas penghasilan yang selama ini(1984-1994) belum termasuk ataupun yang timbul karena perkembangandari globalisasi. Misalnya, premi asuransi yang dibayarkan ke luarnegeri, penghasilan dan penjualan harta di Indonesia yang dinikmatiWP luar negeri, pengakuan pengeluaran atau beban atau ongkos untukpengembangan ilmu pengetahuan teknologi dan sumber daya manusia,serta pengeluaran atau biaya untuk pelestarian lingkungan dan ekosistem.

Prinsip kesetaraan antara WP dengan aparatur pajak mulaiditekankan. Prinsip keseimbangan atau kesetaraan antara WP danaparatur pajak antara lain dengan diberikannya bunga sebesar 2% per-bulan atas keterlambatan dalam pengembalian lebih bayar pajak olehnegara (Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994) ataupun sanksi yangmengatur bahwa pejabat pajak dapat dihukum pidana kurungan dandenda jika melanggar ketentuan rahasia jabatan. Selain itu, reformasipajak 1994 ini lebih menegaskan pelaksanaan prinsip bahwa peraturanperpajakan harus berlaku sama bagi setiap WP dengan situasi atau kasusyang sama, seperti PPh Final sebagaimana yang telah diuraikan di atas.

Tarif PPh tertinggi juga kembali diturunkan dari 35% menjadi 30%dan kembali terbukti bahwa penurunan tarif tidak menurunkanpenerimaan negara dari sektor perpajakan. Begitu pula dengan tax ratio(rasio penerimaan pajak terhadap PDB atau Pendapatan Domestik Bruto)yang tidak menunjukkan angka penurunan. Selain itu, masa kadaluarsapajak diperpanjang dari 5 tahun menjadi 10 tahun.

Reformasi Pajak Di Indonesia

Page 22: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

6

Vol. 8 No. 1 - April 2011

Faktor utama keberhasilan reformasi 1994 ini terletak pada 4 hal,yaitu;

a. Dukungan luas masyarakat sebagaimana yang terjadi padareformasi perpajakan 1983;

b. Penyederhanaan metode pengenaan pajak dan pemberiankepastian hukum sehingga dirasakan lebih mudah dan adil;

c. Semakin sempitnya ruang penyelundupan pajak;d. Tidak ada unsur politisasi pajak atau semangat mencari popularitas

politik atau propaganda dari kebijakan atau reformasi pajaksehingga praktis tidak menimbulkan hal yang kontroversial ataukontraproduktif dalam pelaksanaannya.

Di bidang PPN, setelah 9 tahun diberlakukan (1985 s/d 1993) dirasaperlu untuk menyempurnakan dan menata kembali berbagai isu pokokseperti :

a. Cakupan obyek pajak, saat dan tempat PPN terutang;b. PPN yang tidak dipungut atau dibebaskan oleh negar;c. PPN atas kegiatan membangun sendiri;d. PPN atas penyerahan barang yang menurut tujuan semula bukan

untuk diperjualbelikan;e. Restitusi PPN.

Sedangkan reformasi pajak 1994 dalam PBB hanya meliputi 2aspek, yaitu:

a. Diperkenalkannya besarnya NJOP tidak kena pajak untuk setiapWP-PBB, yaitu sebagai perwujudan keadilan bagi WP dengan hartatertentu (sedikit), tidak dikenakan PBB.

b. Memperjelas ketentuan mengenai upaya banding PBB ke badanperadilan pajak sebagaimana jenis-jenis pajak lainnya.

3. Reformasi Pajak 1997Reformasi pajak 1997 merupakan bagian dari reformasi pajak 1994

sehingga prinsip, dasar, dan tujuannya sama dengan reformasi pajak1994. Rentang waktu 3 tahun ini semata-mata karena faktor antrimenunggu giliran pembahasan di pemerintahan ataupun di DPR.Sebenarnya reformasi pajak 1983 dan 1994 telah mampu meningkatkanperan penerimaan pajak dalam APBN menjadi di atas 70%, dengan tulangpunggung utamanya dari PPh dan PPN. Sedangkan reformasi pajak 1997sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari paket reformasi pajak 1994,telah mengesahkan 5 buah undang-undang yaitu:

Page 23: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

7

a. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan PenyelesaianSengketa Pajak (BPSP).

b. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah danRetribusi Daerah.

c. Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan PajakDengan Surat Paksa.

d. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan NegaraBukan Pajak (PNBP).

e. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan HakAtas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Kelima undang-undang tersebut di atas dimaksudkan sebagaipenyempurna reformasi pajak 1983 dan 1994 khususnya untukmenertibkan penerimaan negara di tingkat pemerintah pusat danpemerintah daerah, serta untuk meningkatkan pelayanan kepadamasyarakat.

a. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang BadanPenyelesaian Sengketa Pajak (BPSP)Sebelum dibentuknya BPSP, banding pajak diputuskan oleh Majelis

Pertimbangan Pajak (MPP) yang anggota-anggotanya terdiri dari para ahliperpajakan senior dan hakim-hakim yang ditunjuk oleh MahkamahAgung. Dengan BPSP diharapkan lahirnya sebuah pengadilan pajak yangmurah, mudah, cepat, dan memberikan kepastian hukum baik bagi WPmaupun bagi penerimaan negara. Oleh karena itu, agar tidakdisalahgunakan oleh WP, banding pajak tidak menunda pembayaranpajak yang terutang. Putusan BPSP bukan keputusan pejabat tata usahanegara dan bersifat final. Hal ini dimaksudkan agar tidak menambahmenumpuknya perkara di Mahkamah Agung. BPSP harus memberikanputusan banding pajak dalam jangka waktu 1 (satu) tahun dan apabilamelampaui waktu itu, banding dinyatakan diterima. Hal penting lainnyabahwa dalam proses persidangan banding di BPSP, posisi WP danDirektorat Jenderal Pajak dijamin berada pada kedudukan yang sama.

b. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah DanRetribusi DaerahSebelum ditetapkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 ini,

terdapat banyak sekali jenis pungutan di daerah baik yang ditetapkanmelalui peraturan daerah (Perda) maupun dasar hukum lainnya.Pungutan-pungutan ini dapat diklasifikasikan sebagai pajak ataupunretribusi dan sering tumpang tindih dengan berbagai beban masyarakat/

Reformasi Pajak Di Indonesia

Page 24: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

8

Vol. 8 No. 1 - April 2011

investor lainnya sehingga perlu ditertibkan. Dengan argumentasi untukmeningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), seringkali pungutan-pungutan yang ada bukan saja tidak efisien dan tidak efektif, tetapi jugamengganggu arus lalu lintas barang antardaerah, menimbulkan rasaketidakadilan di masyarakat, dan mengganggu kenyamanan masyarakat.Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 dimaksudkan untuk menertibkanberbagai anomali tersebut di atas tanpa menurunkan pemasukan PAD,meski terjadi banyak pemangkasan pungutan-pungutan di daerah.

c. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan PajakDengan Surat PaksaUndang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 ini merupakan pelengkap

dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, antara lain perubahanorganisasi Ditjen Pajak ataupun dalam rangka kejelasan dan penegasandefinisi sita, lelang, sandera, dan sanggahan demi kelancaran dankemudahan pelaksanaan penagihan pajak dengan surat paksa.

d. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang PenerimaanNegara Bukan Pajak (PNBP)Selama belum ada undang-undang yang mengatur tentang

penerimaan negara bukan pajak (PNBP), terdapat ratusan jenis ataumacam pungutan negara yang tidak dimasukkan ke Kas Negara dankarena itu tidak termuat dalam anggaran pendapatan dan belanja negara(APBN). Karena di luar APBN (off budget), maka pemasukan danpenggunaan uang ini tidak mengikuti mekanisme pengesahan anggarandi DPR ataupun pengawasannya. Besarnya PNBP ini semakin lamasemakin signifikan dan praktis terdapat di semua kementerian ataupunlembaga pemerintah non kementerian. Karena off budget, PNBP inirentan terjadinya penyalahgunaan. PNBP inilah yang di kemudian haridikenal sebagai salah satu sumber utama terdapatnya rekening-rekening bank liar atau gelap milik pemerintah yang penertibannyasampai saat ini belum tuntas. Sebenarnya dalam Undang-Undang Nomor20 Tahun 1997 sudah ditegaskan bahwa semua PNBP tanpa kecualiharus utuh dan segera dimasukkan ke rekening Kas Negara dan danasaldo yang ada harus secepatnya dipindahkan ke Kas Negara. Undang-undang ini juga mengatur selambat-lambatnya dalam 5 tahun semuaPNBP sudah harus dikelola dan dialihkan ke Kas Negara/APBN.

e. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea PerolehanHak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB)BPHTB adalah jenis pajak baru. Sama seperti PBB, BPHTB meski

Page 25: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

9

dikelola dan dipungut oleh pemerintah pusat (Ditjen Pajak), tetapiseluruh hasilnya diserahkan ke pemerintah daerah sebagai pajak bagihasil. Pajak ini ditanggung atau dibayar oleh pembeli tanah danbangunan. Demi keadilan, terdapat jumlah/nilai tertentu dari objekpajak ini yang tidak dikenakan pajak. Untuk kemudahan dalampelaksanaannya, perhitungan besarnya BPHTB menggunakan dasarNJOP yang sudah lama dikenal dalam PBB, dengan tarif 5% dari NJOPsetelah dikurangi jumlah tertentu yang tidak kena pajak.

Mulai tahun 2011, atas tuntutan reformasi dan otonomi daerah,tanggung jawab pengelolaan dan pemungutan BPHTB dialihkan daripemerintah pusat (Ditjen Pajak) ke masing-masing pemerintah daerahsetempat. Sayangnya pemerintah daerah tidak mempersiapkanpengalihan ini dengan memadai sehingga sempat terjadi kemacetantransaksi jual beli tanah dan bangunan yang dikeluhkan notaris/PPATataupun masyarakat yang bertransaksi. Kemacetan ini selainmengganggu perekonomian dan bisnis, juga merugikan pemasukan kekas daerah (APBD). Di wilayah DKI yang pemdanya dianggap paling siapsekalipun terbukti baru bisa bertransaksi tanah dan bangunan di bulanFebruari 2011 atau sekurang-kurangnya tertunda sebulan. Itupun masihdibarengi dengan keluhan-keluhan notaris/PPAT dan masyarakat ataspelayanan yang belum profesional dan terkesan overacting dari petugaspemda yang sekarang bertanggung jawab atas BPHTB. Misalnya, untukvalidasi bukti pembayaran BPHTB, petugas DKI minta meninjau ke lokasiyang ditransaksikan, sesuatu yang amat merepotkan dan tidak terjadisaat masih ditangani Ditjen Pajak. Bila Pemda DKI saja belum benar-benar siap atau dipersiapkan mengambilalih BPHTB, sulit dibayangkantingkat kesiapan pemda-pemda lainnya.

Hal penting yang perlu dicatat bahwa reformasi pajak 1994 dan 1997sepenuhnya ditangani oleh pegawai Ditjen Pajak sendiri, tanpa konsultanasing dan praktis tanpa biaya kecuali sekedar honorarium untuk anggotatim penyusun RUU.

4. Reformasi Pajak Pasca 1997Setelah reformasi pajak tahun 1997, perubahan-perubahan masih

terus berlangsung baik dalam peraturan perundang-undangan dibidangperpajakan, reorganisasi Ditjen Pajak, maupun modernisasi informasiteknologi. Pada pengamatan penulis, perubahan-perubahan pasca tahun1997 ini telah kehilangan arah atau sasaran yang ingin dicapai karenabersifat asal-asalan dan sekedar trend politik dalam era reformasi.Banyak yang berpendapat perubahan-perubahan pasca tahun 1997 lebih

Reformasi Pajak Di Indonesia

Page 26: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

10

Vol. 8 No. 1 - April 2011

dilatarbelakangi motif politik atau ingin meninggalkan “kenangan” atausekadar cara untuk memperpanjang jabatan. Sebagian lagi berpendapatsekadar untuk menciptakan proyek politik dengan biaya yang amatmahal seperti proyek yang sedang berlangsung sekarang ini di DitjenPajak dengan nama PINTAR, yaitu proyek reformasi administrasi pajak(Tax Administration Reform) dengan dana pinjaman Bank Dunia sebesarUSD 145 juta dan ditangani konsultan-konsultan asing. Selain ditengaraiberbiaya amat mahal dan politis, perubahan-perubahan yang berlangsungsejak era reformasi hingga kini, baik dalam peraturan perundang-undangan, reorganisasi, modernisasi IT, maupun reformasi birokrasidengan remunerasi barunya dinilai tidak atau belum menunjukkanhasil yang berarti, seperti yang akan diuraikan pada bagian akhirmakalah ini.

Salah satu contoh mencolok dari politisasi pajak dalam reformasipasca 1997 dapat dilihat dari ambisi menambah jumlah Nomor PokokWajib Pajak (NPWP) dari dibawah 1 juta menjadi minimal 10 juta NPWP.Padahal penambahan jumlah NPWP belum tentu berarti penambahanjumlah WP, apalagi penambahan besarnya pajak yang diterima negara.Oleh karena itu, peningkatan jumlah NPWP yang mencapai lebih dari10 kali lipat tersebut tidak diikuti dengan penambahan riil jumlah WPataupun peningkatan penerimaan pajak yang signifikan. Peningkatanpenerimaan pajak yang terjadi adalah peningkatan normal atau rutin.Hal ini bisa dijelaskan karena sebagian besar NPWP baru tersebut berasaldari PNS/militer/polisi/pejabat negara yang pajaknya ditanggung negara.Penambahan NPWP juga berasal dari karyawan yang selama ini pajaknyatelah dibayar melalui pemotongan gaji/upah oleh majikan /tempatnyabekerja. Sebagian lagi berasal dari mereka yang terpaksa diberi NPWPatau mengambil NPWP karena keperluan sesaat padahal mereka bukanatau tidak akan menjadi subjek pajak yang efektif. Di lain pihak, kiniDitjen Pajak direpotkan dengan beban administrasi yang luar biasavolumenya atau yang biasa dikenal dengan nama WP-WP non-efektifatau WP nihil. Selain biaya administrasinya mahal, pengelolaan WP non-efektif atau WP nihil ini bisa mengakibatkan pengalihan perhatianpetugas pajak dari tugas-tugas memburu pajak dari WP besar atau tugas-tugas strategis lainnya.

Selain perubahan BPHTB seperti yang telah diuraikan sebelumnya,pokok-pokok perubahan yang terakhir adalah :

a. Perubahan Undang-Undang KUP yang mulai berlaku tahun 2008,meliputi antara lain, perubahan sistem keberatan dan banding,syarat-syarat bukti permulaan yang diperingan, dan ancaman

Page 27: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

11

sanksi bagi pegawai pajak yang diperberat.b. Perubahan pada Undang-Undang PPh yang mulai berlaku tahun

2010 di mana tarif PPh diturunkan dan tidak lagi progresif, bahkancenderung regresif karena WP emiten dikenakan tarif khusus yanglebih rendah dari tarif pajak WP lainnya. Sebenarnya untukmenurunkan tarif PPh sampai dengan serendah-rendahnya 25%tidak diperlukan lagi perubahan Undang-Undang PPh karena dalamUndang-Undang PPh telah ditetapkan bahwa pemerintah berwenangmenurunkan tarif PPh dari 30% menjadi serendah-rendahnya 25%.

c. Perubahan Undang-Undang PPN yang mulai berlaku April 2010 yangantara lain mengatur Restitusi PPN dan Barang Kena Pajak (BKP).

Pada hemat penulis target atau sasaran dari perubahan 3 (tiga)Undang-undang tersebut di atas pada hakikatnya dapat dicapai melaluiperangkat peraturan dibawah undang-undang.

Di samping perubahan inti pada undang-undang dibidangperpajakan, reformasi pajak pasca 1997 ini juga meliputi perubahan-perubahan suplemen, yakni reorganisasi, IT, dan remunerasi khususbagi pegawai Ditjen Pajak yang menimbulkan kecemburuan dari PNSpada umumnya. Semua perubahan-perubahan ini sempat dijadikanbarang propaganda oleh unit tertentu pemerintah sebagai proyekpercontohan reformasi birokrasi.

Meski belum dilakukan evaluasi atau penelitian sukses tidaknyareformasi pasca 1997, tetapi terdapat indikasi kuat bahwa reformasi initidak mengenai sasaran. Indikasi tersebut dapat dilihat dari hal-hal dibawah ini:

a. Ide-ide perubahan pasca 1997 datang dari pihak asing (Bank Duniadan IMF) dan dikerjakan oleh konsultan-konsultan asing. Idealnyaide perubahan datang dari pihak Indonesia dan dikerjakan olehtenaga-tenaga Indonesia.

b. Biaya perubahan yang amat mahal yang umumnya bersumber daridana pinjaman Bank Dunia.

c. Target penerimaan pajak pada umumnya tidak tercapai, kecualitahun 2008 yang tertolong karena pemasukan dari sunset policyyang pada hakekatnya adalah semi pengampunan pajak.

d. Tax ratio yang justru cenderung turun (11%-12%).e. Pembayaran-pembayaran pajak fiktif yang terus terjadi yang tidak

tertangkap oleh sistem baru yang mahal itu. Pembayaran pajakfiktif diketahui dari laporan WP atau masyarakat.

f. Dalam pemeriksaan pajak, aparatur pajak masih tetap

Reformasi Pajak Di Indonesia

Page 28: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

12

Vol. 8 No. 1 - April 2011

menggantungkan pada data yang diserahkan WP.g. Distribusi beban pekerjaan di lingkungan Ditjen Pajak yang

semakin timpang akibat reorganisasi yang salah arah atau asalberubah. Contohnya, dalam perkara PT. SAT, Gayus Tambunan yangsebenarnya adalah pegawai di Seksi Banding telah mengerjakantugas Humala Napitupulu seorang pegawai pada Seksi Keberatanyang kewalahan karena banyaknya keberatan pajak yang harusditanganinya. Humala Napitupulu menyerahkan tugasnya kepadaGayus Tambunan dan hanya menandatangani saja hasil kerja yangdisodorkan oleh Gayus Tambunan.

h. Semakin banyaknya skandal atau kasus-kasus korupsi pajak.i. Software data WP yang kabarnya kini dikuasai pihak konsultan

pajak swasta yang berpotensi melanggar prinsip kerahasiaan dataWP ataupun untuk tujuan penyalahgunaan lainnya.

j. Adanya kontroversi di masyarakat dan keluhan-keluhan pegawai(yang tidak mencuat) di lingkungan Ditjen Pajak bahwa merekatelah dijadikan objek politisasi dan komersialisasi.

Berbeda dengan reformasi pajak 1983 dan 1994 yang menekankanpada penurunan dan penyederhanaan tarif PPh dan struktur lapisan yangkena pajak, namun reformasi pajak pasca 1997 justru bekerjasebaliknya. Bahkan reformasi pajak pasca 1997, karena bermuatanpolitis, membedakan lagi tarif PPh antara WP orang pribadi dengan WPbadan hukum, yang berarti mengganggu prinsip netralitas dalampemungutan pajak ataupun perilaku pilihan WP.

C. PenutupPajak adalah sumber terpenting penerimaan negara, dan oleh

karena itu, reformasi pajak harus dilaksanakan secara objektif dengantarget dan sasaran yang jelas. Reformasi pajak juga harusmemperhatikan aspek keadilan, daya saing ekonomi di dalam negeriataupun dengan negara-negara pesaing, kelancaran dan kemudahandalam pelaksanaannya, serta dengan biaya yang efisien. Reformasi pajaktahun 1983, tahun 1994, dan tahun 1997 pada umumnya dinilai berhasildan bebas dari muatan politik. Keberhasilan ini dapat diukur daritercapai atau tidaknya target-target penerimaan pajak, tax ratio, danpenerimaan masyarakat WP terhadap perubahan-perubahan yang terjadi.Sebaliknya, reformasi pajak pasca 1997 lebih bernuansa propagandapolitik, dikerjakan dengan biaya yang amat mahal oleh konsultan asing,tetapi tidak atau belum memberikan indikasi keberhasilannya.

Page 29: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

13

REFORMASI PERPAJAKAN SEBAGAI PERLINDUNGAN HUKUM YANGSEIMBANG ANTARA WAJIB PAJAK DENGAN FISKUS SEBAGAIPELAKSANAAN TERHADAP UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

TAX REFORM AS A BALANCED LEGAL PROTECTION BETWEEN TAX-PAYERS AND THE TAX AUTHORITIES AS THE IMPLEMENTATION OF

TAXATION LAW Deden Sumantry*

(Naskah diterima 7/3/2011, disetujui 30/3/2011)

AbstrakDalam menyelenggarakan kepentingan umum untuk mewujudkan kesejahteraankadangkala pemerintah melanggar hak-hak masyarakat terutama dalampemungutan pajak, Hal ini dapat dihindari jika pemerintah menghayati danmenaati hukum pajak yang berlaku. Hukum harus dapat menjadi alat untukmengadakan pembaharuan dalam masyarakat (social engineering), artinya hukumdapat menciptakan kondisi yang harmonis dalam memperbaiki kehidupannya.Yang menjadi sorotan dalam tulisan ini adalah Perlindungan Hukum TerhadapWajib Pajak dan Fiskus dalam melaksanakan Undang-Undang Nomor 16 Tahun2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sudah seimbangdan reformasi perpajakan dapat mewujudkan Perlindungan Hukum TerhadapWajib Pajak dan Fiskus. Metode pendekatan yang digunakan adalah YuridisNormatif yaitu penelitian hukum Deskriptif Analitis yang dilakukan denganmeneliti data sekunder berupa bahan pustaka Hukum Positif di Indonesia danpelaksanaannya dalam praktik. Hasil penelitiannya akan dianalisis secarakualitatif yuridis yaitu cara menganalisis terhadap data-data yang diperoleh tanpamenggunakan rumus-rumus statistik. Hasil penelitian ini adalah dalampemungutan pajak, pemerintah harus menjunjung tinggi asas-asas, prinsip-prinsip, ajaran-ajaran, yang dianut dan berlaku di bidang Ilmu Hukum. ReformasiUndang-undang Perpajakan bertujuan untuk mengadakan keseimbangan antarahak dan kewajiban antara Fiskus dan Wajib Pajak. yang bertujuan membangungood and clean govermance, transparansi, serta akuntabilitas institusi. Perubahanstruktur organisasi dari semula berdasarkan jenis pajak menjadi berdasarkanfungsi, untuk menuju sistem administrasi pajak modern.Kata kunci: keseimbangan, perlindungan hukum, reformasi perpajakan

AbstractIn conducting the public interest for the welfare of government sometimes violate therights of society, especially in tax collected, This can be avoided if the governmentappreciate and obey the tax laws and regulations. Laws should be able to be a toolto hold the renewal of society (social engineering), meaning the law can create a

* Dosen tetap Yayasan Pendidikan Tinggi Pasundan dpk Fakultas Hukum Universitas Pasundan.

Page 30: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

14

Vol. 8 No. 1 - April 2011

harmonious condition in improving their lives. Which was highlighted in this paper isthe Legal Protection Against Taxpayers and tax authorities in implementing the ActNo. 16 of 2009 on General Provisions and Administration of Taxation has beenbalanced and tax reforms to realize the Legal Protection Against Taxpayers and taxauthorities.The method used is the Juridical Normative Descriptive Analytical legalresearch conducted by examining secondary data in the form of library materials inIndonesia Positive Law and its implementation in practice. Research results will beanalyzed qualitatively to the juridical namely how to analyze data obtained withoutthe use of statistical formulas. The results of this study is, tax collections, thegovernment must uphold the principles, the principles, teachings, adopted and appliedin the field of Legal Studies. Tax Reform Act aims to made of balance between rightsand obligations between the tax authorities and taxpayers. which aims to build agood and clean Governance, transparency, and accountability of institutions. Changesfrom the previous organizational based of structure on the type of tax to be based onthe function to go to a modern tax administration system.Keywords: balance, legal protection, tax reform

A. PendahuluanIndonesia sebagai negara hukum, bercirikan negara kesejahteraan

(Welfare State) yang berkehendak untuk mewujudkan keadilan bagisegenap rakyat Indonesia. Dalam negara kesejahteraan modern, tugaspemerintah dalam menyelenggarakan kepentingan umum menjadisangat luas dan kadangkala melanggar hak-hak masyarakat dalammelakukan pemungutan pajak. Hal ini dapat dihindari jika pemerintahmenghayati dan menaati hukum pajak yang berlaku. Pemungutan pajakdi Indonesia memiliki falsafah Panca Sila dan Undang-Undang Dasar1945, tepatnya dalamPasal 23-A UUD 1945 hasil amandemen ke 4 yangberbunyi:

“Pajak dan Pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluannegara diatur dengan undang-undang”

Bahwa pajak harus diatur dengan undang-undang mencerminkanbahwa pungutan pajak ditentukan bersama-sama rakyat melalui wakil-wakilnya di DPR termasuk penentuan besarnya tarif pajak. Dengandemikian reformasi berkelanjutan dilandasi falsafah Pancasila danUndang-Undang Dasar 1945, yang di dalamnya tertuang ketentuan yangmenjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajibanperpajakan sebagai kewajiban kenegaraan yang merupakan saranaperan-serta masyarakat dalam pembiayaan negara dan pembangunannasional.

Beberapa ahli memberikan pengertian tentang pajak sebagai berikut;

Page 31: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

15

P.J.A Adriani memberikan definisi pajak sebagai berikut:1

“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yangterutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak memdapat prestasi kembali, yang langsungdapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayaipengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negarauntuk menyelenggarakan pemerintahan”

Rochmat Soemitro memberi pajak pengertian sebagai berikut:2

“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yangterhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsungdapat ditunjukkan, dan gunanya adalah untuk membiayaipengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untukmenyelenggarakan pemerintahan.”

Menurut Black Law Dictionary, “tax is a monetary charge imposed bygovernment on persons, entreties, or property to yield publik revenue.”3

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan:

“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orangpribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang,dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakanuntuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Dari pengertian ke tiga pengertian di atas, dapat dilihat bahwa ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak adalah:4

1. Pajak dipungut berdasarkan/dengan kekuatan undang-undangserta aturan pelaksananya.

2. Dalam Pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanyakontraprestasi individual.

1 Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak Cetakan Ke XI, Refika Aditama, Bandung, hlm 4.2 Sumihar Sumirat, Mengapa Kita Membayar Pajak, Makalah, Berita Pajak No 1488 1 April 2003, hlm 1.3 Barner Brian A, Black Law Dictionary, 7 th Edition, West Publishing Co, Washington, D.C.USA, 1990.4 op.cit, hlm 7.

Reformasi Perpajakan Sebagai Perlindungan Hukum...

Page 32: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

16

Vol. 8 No. 1 - April 2011

3. Pajak dipungut oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupunpemerintah daerah.

4. Pajak diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah,yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakanuntuk membiayai Public Saving.

Berkenaan dengan adanya perubahan peraturan perundang-undangan di atas, Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan, usahapembaharuan hukum sebaiknya dimulai dengan konsepsi bahwahukum merupakan sarana pembaharuan masyarakat. Hukum harusdapat menjadi alat untuk mengadakan pembaharuan dalam masyarakat(social engineering), artinya hukum dapat menciptakan suatu kondisiyang mengarahkan masyarakat kepada keadaan yang harmonis dalammemperbaiki kehidupannya.5

Sejalan dengan pendapat Mochtar Kusumaatmadja di atas,Soenaryati Hartono berpendapat bahwa makna dari pembangunanhukum akan meliputi hal-hal sebagai berikut :6

1. Menyempurnakan (membuat sesuatu lebih baik)2. Mengubah agar menjadi lebih baik3. Mengadakan sesuatu yang sebelumnya belum ada, atau4. Meniadakan sesuatu yang terdapat dalam sistem lama, karena tidak

diperlukan dan tidak cocok dengan sistem baru.

Apabila konsep Mochtar Kusumaatmadja dan Sunaryati Hartonotersebut dikaitkan dengan masalah pajak, maka yang perlu diperbaharuitidak saja peraturan-peraturan yang mendasarinya, tetapi pola pikirmasyarakatnya juga harus dirubah menjadi pola pikir yang berpandanganjauh ke depan (futuristik), serta para penegak hukumnya juga perlu lebihmampu lagi menggali nilai-nilai keadilan yang ada di dalam masyarakatmelalui putusan-putusan yang dapat memberikan keseimbangan kepadapara pihak yang berperkara. Dengan demikian hukum harusmemberikan kepastian, keadilan dan perlindungan.

Sejak tahun 1983, pemerintah telah bertekad untuk lebihmenegakkan kemandirian dalam membiayai pembangunan nasionaldengan jalan mengerahkan segenap potensi dan kemampuan dalam

5 Mochtar Kusumaatmadja,1976, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Bina Cipta,Bandung, hlm 8-9.6 Sunaryati Hartono, 1999, C. F.G., Hukum Ekonomi Pembagunan Indonesia, BPHN, Jakarta, hlm 9.

Page 33: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

17

negeri, khususnya meningkatkan penerimaan negara melaluiperpajakan dari sumber-sumber di luar minyak bumi dan gas alam.Dalam upaya meningkatkan penerimaan negara, pemerintah bersamaDewan Perwakilan Rakyat mengadakan reformasi perpajakan dengandiundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentangKetentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), Undang-UndangNomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh 1984), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barangdan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN BM 1984).Dilanjutkan dengan Undang-undang No. 12 Tahun 1983 tentang PajakBumi dan Bangunan (UU PBB), dan Undang-undang Nomor 13 Tahun1983 tentang Bea Materai (UU BM). Reformasi undang-undang perpajakanini benar-benar mengganti perpajakan warisan Belanda seperti PajakPerseroan 1944. Sebelumnya, perubahan yang terjadi adalah perubahantambal sulam untuk keperluan fiskus itu sendiri.7

Sejak tahun 1984, model perpajakan kita telah up-to-date adalah:

1. UU KUP telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1994(perubahan pertama), Undang-Undang Nomor 16 tahun 2000(perubahan kedua), Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007(perubahan ketiga) dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16Tahun 2009 (perubahan ke empat).

2. Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 telah diubah denganUndang-Undang Nomor 7 tahun 1991 (perubahan pertama), Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 (perubahan kedua), Undang-UndangNomor 17 tahun 2000 (perubahan ketiga), dan terakhir Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (perubahan ke empat).

3. UU PPN BM 1984 telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11Tahun 1994 (perubahan pertama), Undang-Undang Nomor 18 Tahun2000 (perubahan kedua), dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (perubahan ketiga).

4. UU PBB telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994(perubahan pertama), dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000(perubahan kedua).

7 Raden Agus Suparman, 2007, Catatan praktek reformasi Perpajakan, Blog Pajak,[email protected].

Reformasi Perpajakan Sebagai Perlindungan Hukum...

Page 34: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

18

Vol. 8 No. 1 - April 2011

5. Undang–Undang Nomor 18 tahun 1997 Pajak Daerah dan RetribusiDaerah telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000(perubahan pertama) dan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009.Dalam Undang-undang ini juga diatur pergeseran undang-undangpajak bumi dan bangunan serta undang-undang Bea Perolehan hakatas tanah dan bangunan yang semula merupakan pajakpemerintah RI menjadi pajak daerah. Reformasi perpajakan di atasmembuahkan hasil dengan terjadinya peningkatan peran danfungsi penerimaan dari sektor pajak yang memperlihatkankenaikan yang cukup berarti pada tiap tahun anggaran. Di masadepan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan menyumbangkan(sekitar) 80% penerimaan dalam negeri di struktur penerimaanAPBN.8

Dalam rangka pelayanan kepada wajib pajak sejak tahun 2009Menteri Keuangan telah mencanangkan reformasi perpajakan jilid dua,yang intinya adalah program penyempurnaan sistem administrasiperpajakan untuk mendukung reformasi administrasi yang dilakukanDJP. Program ini mengadopsi “best practice” sistem administrasiperpajakan di dunia baik dalam aspek pelayanan perpajakan maupunpengawasan kepatuhan.9

Yang menjadi sorotan dalam tulisan ini adalah masih rendahnyarasa keadilan terhadap wajib pajak maupun terhadap fiskus dalammenjalankan kewajibannya. Menurut wajib pajak kewenangan fiskusdemikian kuatnya sehingga wajib pajak merasa tertekan, di lain pihakfiskus merasa mempunyai kewajiban dan wewenang untuk menjaminbahwa Law Enforcement dilaksanakan dalam koridor hukum yang telahditetapkan.

Berdasarkan uraian di atas, pelaksanaan undang-undangperpajakan masih terdapat ketidakseimbangan dalam perlindunganhukum antara Wajib Pajak dengan Fiskus sebagai penyelenggaraadministrasi perpajakan.

B. Identifikasi MasalahBerdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat penulis rumuskan

permasalahan sebagai berikut :

8 Ibid.9 Majalah Berita Pajak edisi 1 Juli 2009, “Reformasi Jilid Dua”.

Page 35: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

19

1. Apakah Perlindungan Hukum Terhadap Wajib Pajak dan Fiskusdalam melaksanakan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sudahseimbang ?

2. Bagaimanakah reformasi perpajakan dapat mewujudkanPerlindungan Hukum Terhadap Wajib Pajak dan Fiskus dalammelaksanakan Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan ?

C. Keseimbangan Hukum antara Wajib Pajak dan Fiskus dalammelaksanakan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentangKetentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sudah seimbang.Sistem pemungutan pajak yang dianut sekarang adalah Sistem

pemungutan pajak Self Assessment yaitu Wajib Pajak diberi kepercayaanuntuk menghitung, memperhitungkan dan menentukan kewajibanperpajakannya. Fiskus sebagai pihak yang mengawasi menurut sistempemungutan pajak berubah dari sistem pemungutan pajak OfficialAsessment System menjadi sistem pemungutan pajak Self Asessment Sys-tem yang artinya Wajib Pajak diberikan kepercayaan, kesempatan untukmenghitung sendiri jumlah pajak terhutang, memperhitungkan jumlahpajak yang sudah dibayar dan melaporkan sendiri kewajibanperpajakannya. Selain sistem pemungutan pajak Self Asessment terdapatpula sistem pemungutan pajak Tax Withholding yaitu sistem pemungutanpajak oleh pihak lain. Withholding System adalah suatu sistempemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga yaitubukan oleh Fiskus dan bukan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan untukmenentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Pajak Bumidan Bangunan dan Pajak Penghasilan Pasal 21, Pajak Penghasilan Pasal26, Pajak atas bunga deposito merupakan pajak yang menggunakansistem ini.

Agar pemungutan pajak berhasil dengan baik sehingga tercapaikeadilan, beberapa teori yang memberikan dasar pembenaran negaramemungut pajak, yaitu:10

1. Teori Asuransi

Negara dalam melaksanakan tugasnya mencakup pula tugasmelindungi jiwa raga dan harta benda perseorangan. Negara

10 Erly Suandy, 2002, Hukum Pajak (Dilengkapi Dengan Latihan Soal ), Salemba Empat, Jakarta, hlm 10.

Reformasi Perpajakan Sebagai Perlindungan Hukum...

Page 36: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

20

Vol. 8 No. 1 - April 2011

disamakan dengan perusahaan asuransi, sehingga untukmendapat perlindungan warga negara harus membayar pajaksebagai premi.

2. Teori Kepentingan

Pembayaran pajak mempunyai hubungan dengan kepentinganindividu yang diperoleh dari pekerjaan negara. Makin banyakindividu menikmati jasa dari pekerjaan pemerintah, makin besarpula pajaknya.

3. Teori Gaya Pikul

Pemungutan pajak harus sesuai dengan kekuatan membayar WajibPajak. Semua pajak harus sesuai dengan daya pikul Wajib Pajakdengan memperhatikan besar penghasilan dan kekayaan sertapengeluaran belanja Wajib Pajak.

4. Teori Bakti

Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyatdengan negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyatharus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah suatukewajiban.

5. Teori Asas Daya Beli

Menyelenggarakan kepentingan masyarakat dapat dianggapsebagai dasar bagi pemungutan pajak, bukan kepentingan individujuga bukan kepentingan negara, tetapi kepentingan masyarakatyang meliputi keduanya.

Dalam membiayai pembangunan adalah wajar bila pemerintahberusaha menjadikan penerimaan dari sektor perpajakan sebagaisumber utama penerimaan negara. Hal ini disebabkan penerimaan darisektor pajak ini:

1. Aman bagi negara karena tidak terlalu dipengaruhi gejolak hargapasar dunia.

2. Dapat diprediksi sebelumnya, baik menyangkut jumlahpenerimaannya maupun pengeluarannya.

3. Masih dapat dikembangkan, baik subjek pajaknya mau pun objekpajaknya.

Dalam usaha meningkatkan penerimaan negara dari sektorperpajakan, melalui cara intensifikasi dan melalui ekstensifikasipemungutan pajak, pemerintah harus tetap menjunjung tinggi asas-

Page 37: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

21

asas, prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran yang dianut dan berlaku dalamIlmu Hukum.

Amandemen terhadap Undang-undang Perpajakan bertujuan untuk:

(1) Menjanjikan keseimbangan antara hak dan kewajiban Fiskus danWajib Pajak. Dengan amandemen tersebut diharapkan kepatuhanmasyarakat terhadap pajak semakin meningkat, dengan begituakan meningkat pula jumlah penerimaan pajak.

(2) Perbaikan proses bisnis dan prosedur kerja, yang bertujuanmembangun good and clean govermance, transparansi, sertaakuntabilitas institusi beserta SDM.

(3) Meliputi penerapan sistem informasi teknologi, serta modernisasikantor pajak untuk mengurangi interaksi yang tidak perlu antaraWajib Pajak dengan petugas pajak, serta membangun mekanismecheck and balance dalam proses kerja untuk menghindari potensipenyelewengan dan penyalagunaan wewenang.

(4) Perbaikan kompetensi dan pendidikan Sumber Daya Manusia,termasuk pemberian remunerasi yang mencerminkan tingkattanggung jawab, risiko, serta nilai prestasi yang wajar dari parapegawai Direktorat Jenderal Pajak.

(5) Perubahan struktur organisasi dari semula berdasarkan jenis pajakmenjadi berdasarkan fungsi, untuk menuju sistem administrasipajak modern dari tingkat kantor pusat hingga unit pelayanan pal-ing bawah.

Hukum pajak adalah kumpulan peraturan yang mengaturhubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagaipembayar pajak.

Dengan perkataan lain hukum pajak memiliki objek perhatian sebagaiberikut11:

1. Siapa Wajib Pajak;2. Objek yang dikenakan pajak;3. Timbul dan hapusnya utang pajak;4. Kewajiban pajak terhadap pemerintah;5. Cara Penagihan pajak, dan6. Cara mengajukan keberatan dan banding pada peradilan pajak.

11 Ibid.

Reformasi Perpajakan Sebagai Perlindungan Hukum...

Page 38: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

22

Vol. 8 No. 1 - April 2011

Berbicara mengenai perlindungan hukum pada hakikatnyaberbicara mengenai upaya untuk menciptakan keadilan. Tujuan daripenegakan hukum secara umum adalah untuk menegakkan prinsip-prinsip Equality Before The Law.

Istilah penegakan hukum sering dipakai untuk istilah LawEnforcement yang merupakan serangkaian upaya, proses dan aktivitasuntuk menjadikan hukum berlaku sebagaimana harusnya. MenurutSatjipto Raharjo, penegakan hukum adalah suatu proses untukmewujudkan keinginan-keingin hukum mejadi kenyataan. Yang disebutkeinginan-keinginan hukum dalam hal ini tidak lain adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalamperaturan hukum tersebut.12 Dengan demikian apabila kitamembicarakan perlindungan hukum, pada hakikatnya membicarakanpenegakan ide-ide serta konsep-konsep yang abstrak. Dengan kata lain,perlindungan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkanide-ide keseimbangan dalam kenyataan. Proses mewujudkan ide-ideinilah yang merupakan hakikat dari penegakan hukum. Apabila kitamulai membicarakan mengenai perwujudan ide-ide yang abstrakmenjadi kenyataan maka sebetulnya kita sudah memasuki bidangmanajemen.13

Dari uraian tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa penegakanhukum merupakan serangkaian aktivitas, upaya dan tindakan melaluiorganisasi berbagai instrumen untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan oleh penyusun hukum tersebut. Perlindungan hukum tidakhanya diartikan sebagai tindakan memaksa orang atau pihak yang tidakmentaati ketentuan yang berlaku untuk menaati peraturan tersebut.Perlindungan hukum juga dapat diartikan sebagai tindakan untukmempengaruhi orang atau berbagai pihak yang terkait denganpelaksanaan ketentuan hukum, sehingga hukum tersebut dapat berlakusebagaimana mestinya.

Dalam pelaksanaan ketentuan bidang perpajakan diperlukanperubahan sikap atau perilaku dari Wajib Pajak, maupun Fiskus sebagaipenyelenggara administrasi perpajakan. Penegakan hukum administrasikurang memberikan penekanan pada subjek atau pelaku pelanggaran,

12 Satjipto Raharjo, Masalah Penegakkan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru, Bandung,1984, hlm 24.13 Ibid, hlm 34.

Page 39: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

23

melainkan lebih menekankan pada perbuatannya. Penegakan hukumadministrasi dilakukan aparat pemerintah di bidang pajak, jadi bukanmelalui peradilan umum. Dalam kaitan ini prosedur penegakan hukumdilakukan secara langsung oleh Fiskus tanpa melalui proses peradilan.Oleh karena itu, dalam penegakan hukum administrasi ini diperlukaninstrumen yang memungkinkan aparat yang melakukan penegakanhukum dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.

Instrumen tersebut dapat berupa ketentuan yang lebih jelas, uraianprosedur yang cukup rinci dan pasti. Dalam hal ini aturan yangdigunakan sebagai dasar pijakan dalam penegakan hukum administrasitidak hanya terbatas pada uraian mengenai jenis-jenis sanksi saja,melainkan perlu juga mengenai bagaimana sanksi itu dapat diterapkan.Penegakan hukum administrasi dapat ditujukan kepada pelakupelanggaran, baik sebagai Wajib Pajak mau pun Fiskus sebagai aparatpemerintah yang menjalankan tugasnya di bidang pajak.

Terhadap pelanggaran pajak selain penegakan hukum administrasi,penegakan hukum pidana dapat juga dilakukan dalam rangkapelaksanaan ketentuan peraturan perpajakan. Penegakan hukumpidana dilakukan melalui peradilan umum, dan dimungkinkan adanyakumulasi sanksi yaitu pengenaan sanksi administrasi dan sanksi pidanasecara sekaligus. Dalam hukum pajak tidak ada larangan untukmenerapkan sanksi administrasi bersama-sama dengan sanksi pidana.Dalam hal ini asas “ne bis in idem” tidak berlaku karena antara sanksiadministrasi dan sanksi pidana terdapat perbedaan, baik sifat mau puntujuannya.

Tetapi, sanksi kumulatif baru dapat diterapkan jika tindakan yangberupa pelanggaran atau kesalahan itu memenuhi kualifikasi sebagaitindak pidana. Yang dapat dikenakan sanksi pidana hanyalah tindakanpidana yang telah ditentukan sebelumnya menurut undang-undang yangberlaku. Hal yang perlu untuk dicermati adalah penerapan sanksi yangtidak dapat diterapkan secara bersama-sama. Sanksi pidana yangbersifat penghentian kegiatan tidak dapat dijatuhkan bersama-samadengan jenis sanksi administrasi yang juga bersifat penghentiankegiatan.

D. Reformasi Perpajakan sebagai bagian Perlindungan HukumTerhadap Wajib Pajak dan Fiskus dalam melaksanakanKetentuan Umum Tata Cara Perpajakan PerpajakanDalam rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat Wajib

Reformasi Perpajakan Sebagai Perlindungan Hukum...

Page 40: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

24

Vol. 8 No. 1 - April 2011

Pajak diperlukan adanya perbaikan administrasi perpajakan. Reformasiadministrasi perpajakan dibutuhkan untuk meningkatkankemampuan Direktorat Jenderal Pajak dalam mengawasi pelaksanaanketentuan perpajakan yang berlaku dengan prinsip-prinsip GoodGovernance. Dengan sistem administrasi perpajakan modern, yangdidukung Sumber Daya Manusia (SDM) yang profesional dan berkualitasserta mempunyai kode etik kerja yang baik diharapkan akan terciptaprinsip Good Corporate Governance yang dilandasi transparansi,akuntabel, responsif, independen dan adil. Hal ini pada gilirannya akanmendukung Visi Direktorat Jenderal Pajak yaitu Menjadi ModelPelayanan Masyarakat yang Menyelenggarakan Sistem dan ManajemenPerpajakan Kelas Dunia yang Dipercaya dan Dibanggakan olehMasyarakat.14

Dalam sistem baru ini organisasi yang dirancang berdasarkanfungsinya akan memungkinkan pemberian pelayanan prima karenaadanya Staf Pendukung Pelayanan khusus atau AccountRepresentatwe (AR) yang dipilih, dan bekerja secara profesional dengankompetensi tinggi yang disertai kompensasi yang memadai. Hal ini akanmembuat semua kegiatan pelayanan mulai dari Penyuluhan,Pembinaan, dan Pengawasan Wajib Pajak lebih terarah dan terukur.Penerapan sistem administrasi perpajakan modern akan membawakonsekuensi terjadinya perubahan yang mendasar baik menyangkutstruktur organisasi maupun paradigma pelayanan kepada Wajib Pajak.Struktur organisasi baru ini relatif lebih ramping, rentang kendali (spanof control) lebih singkat dimana KPP Madya juga menanganipemeriksaan, tidak seperti selama ini pemeriksaan ditangani oleh unityang berbeda seperti Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak atauKantor Wilayah DJP. Perbaikan mutu pelayanan secaraberkesinambungan merupakan hal yang mutlak harusdilakukan. Account Representative (AR) berfungsi untuk menjembataniantara KPP dengan Wajib Pajak serta mengoptimalkan fungsi bimbingan,konsultasi, dan pembinaan kepada Wajib Pajak. Dengan kata lain ARadalah pegawai yang ditunjuk sebagai liaison officer antara KPP denganWajib Pajak, yang bertanggung jawab dan berwenang untuk memberikanpelayanan secara langsung, edukasi, asistensi, serta mendorong dan

14 Liberty Pandiangan, 2008, Modernisasi dan Reformasi Pelayanan Perpajakan bedasarkan UU Terbaru,Gramedia, Jakarta, hlm 41.

Page 41: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

25

mengawasi pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak. Berbagaifasilitas untuk kemudahan dan kenyamanan pelayanan kepada WajibPajak dilakukan dengan mengoptimalkan pemanfaatan perkembangandan kemajuan Tekhnologi Informasi. Fasilitas tersebut antaralain Website, Call Centre, Complaint Centre, e-Filling, e-SPT, One-Line Pay-ment. Untuk memudahkan pelayanan dan pengawasan terhadap WajibPajak serta meningkatkan produktivitas aparat, diperlukan dukungansistem administrasi yang berbasis teknologi informasi. Secara bertahapsistem informasi baru ini, yaitu Sistem Informasi Direktorat JenderalPajak (SI-DJP) akan diterapkan. Sistem ini menerapkan Case Manage-ment (Manajemen Kasus) dan work flow system (alur kerja), sehinggamemungkinkan setiap proses kegiatan menjadi terukur dan terkontrol.

Karakteristik sistem administrasi perpajakan modem ini adalah:

1. Seluruh kegiatan administrasi dilaksanakan melalui sistemadministrasi yang berbasis teknologi terkini.

2. Seluruh Wajib Pajak diwajibkan membayar melalui kantorpenerima pembayaran secara on-line.

3. Seluruh Wajib Pajak diwajibkan melaporkan kewajibanperpajakannya dengan menggunakan media komputer (e-SPT).

4. Monitoring kepatuhan Wajib Pajak dilaksanakan secara intensifdengan pemanfaatan profit Wajib Pajak.

5. Wajib Pajak yang diadministrasikan di KPP Madya hanya wajib pajaktertentu saja, yaitu sekitar 500 WP.

Sejalan dengan komitmen pemerintah untuk menjalankanpemerintahan yang bersih dan berwibawa, Direktorat Jenderal Pajakberikut unit-unit di bawahnya akan menerapkan perangkat dan sistemuntuk mendukung terciptanya Good Corporate Governance. Perangkatyang tersedia yaitu Kode Etik Pegawai DJP, Komite Kode Etik untukmengawasi pelaksanaan kode etik, kerja sama dengan InspektoratJenderal Departemen Keuangan untuk meningkatkan intensitas danefektifitas pengawasan, konsolidasi internal secara berkesinambungan.Pegawai yang ditempatkan di lingkungan KPP Madya telah memenuhistandar atau kualifikasi tertentu berdasarkan beberapa tahapan seleksiyang dilakukan secara ketat. Dengan reformasi administrasi perpajakan,diharapkan Wajib Pajak dapat memperoleh manfaat antara lain: WajibPajak akan memperoleh pelayanan yang lebih baik karena didukungoleh pegawai yang profesional. Permasalahan perpajakan yang dihadapiWajib Pajak dapat diselesaikan secara lebih cepat sehingga kepastian

Reformasi Perpajakan Sebagai Perlindungan Hukum...

Page 42: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

26

Vol. 8 No. 1 - April 2011

hukum lebih terjamin. Hak dan Kewajiban perpajakan Wajib Pajakdilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Kantor Pelayanan Pajak Madya dilengkapi sarana dan prasaranayang mendukung pengembangan sistem dan prosedur yang modern.Pengembangan praktek-praktek Good Corporate Governance secarasungguh-sungguh, diharapkan dapat meningkatkan citra DirektoratJenderal Pajak serta menghindarkan terjadinya penyalahgunaanwewenang oleh aparat perpajakan.

E. PenutupKesimpulan1. Dalam usaha meningkatkan penerimaan negara dari sektor

perpajakan, melalui cara intensifikasi dan melalui ekstensifikasipemungutan pajak, pemerintah harus tetap menjunjung tinggiasas-asas, prinsip-prinsip, ajaran-ajaran, yang dianut dan berlakudi bidang Ilmu Hukum. Amandemen terhadap Undang-undangPerpajakan bertujuan untuk: (1) Mengadakan keseimbanganantara hak dan kewajiban Fiskus dan Wajib Pajak. Denganamandemen tersebut diharapkan kepatuhan masyarakat terhadappajak semakin meningkat, dan akan meningkat pula jumlahpenerimaan pajak. (2) Memperbaiki proses bisnis dan prosedurkerja, yang bertujuan membangun good and clean govermance,transparansi, serta akuntabilitas institusi beserta SDM. (3)Menerapkan sistem informasi teknologi, serta modernisasi kantorpajak untuk mengurangi interaksi yang tidak perlu antara WajibPajak dengan petugas pajak, serta membangun mekanisme checkand balance dalam proses kerja untuk menghindari potensipenyelewengan dan penyalagunaan wewenang.(4) Memperbaikikompetensi dan pendidikan Sumber Daya Manusia, termasukpemberian remunerasi yang mencerminkan tingkat tanggungjawab, risiko, serta nilai prestasi yang wajar dari para pegawaiDirektorat Jenderal Pajak. (5) Mengubah struktur organisasi darisemula berdasarkan jenis pajak menjadi berdasarkan fungsi. Halini untuk menuju sistem administrasi pajak modern dari tingkatkantor pusat hingga unit pelayanan paling bawah.

2. Dengan reformasi administrasi perpajakan, diharapkan Wajib Pajakdapat memperoleh manfaat antara lain: Wajib Pajak akanmemperoleh pelayanan yang lebih baik karena didukung olehpegawai yang profesional. Permasalahan perpajakan yang dihadapi

Page 43: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

27

Wajib Pajak dapat diselesaikan secara lebih cepat sehinggakepastian hukum lebih terjamin. Hak dan Kewajiban perpajakanWajib Pajak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.Kantor Pelayanan Pajak Madya dilengkapi sarana dan prasaranayang mendukung pengembangan sistem dan prosedur yang modern.Pengembangan praktek-praktek Good Corporate Governance secarasungguh-sungguh, diharapkan dapat meningkatkan citraDirektorat Jenderal Pajak serta menghindarkan terjadinyapenyalahgunaan wewenang oleh aparat perpajakan.

Saran-saran1. Pelanggaran-pelanggaran bidang pajak sebaiknya juga diselesaikan

menggunakan hukum pidana agar para pelaku jera. Jika tujuanperpajakan untuk secepatnya memasukan uang kepada negara,penerapan sanksi administrasi memang tepat, tetapi untukmemberi efek jera tehadap wajib pajak dan fiskus dapatdiberlakukan sanksi pidana.

2. Dalam Undang-Undang KUP disebutkan ada 4 tindak pidana dalamperpajakan. Apabila tindakan tersebut dilakukan dengan motifkriminal, sanksi yang dijatuhkan hendaknya tidak hanyahukuman denda saja, tetapi sebaiknya dijatuhi juga hukumanpidana yang lebih berat daripada sanksi administrasi.

Reformasi Perpajakan Sebagai Perlindungan Hukum...

Page 44: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

28

Vol. 8 No. 1 - April 2011

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Erly Suandy,2002, Hukum Pajak (Dilengkapi Dengan Latihan Soal), SalembaEmpat, Jakarta.

Liberty Pandiangan, 2008, Modernisasi dan rformasi Pelayanan Perpajakanbedasarkan UU Terbaru, Gramedia, Jakarta, hlm 41.

Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Pembinaan Hukum Dalam RangkaPembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung.

Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak Cetakan Ke XI, RefikaAditama, Bandung.

Sunaryati Hartono, 1999, C. F.G., Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia,BPHN, Jakarta.

Satjipto Raharjo, Masalah Penegakkan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis,Sinar Baru, Bandung, 1984.

B. Sumber lain

Barner Brian A,1990, Black Law Dictionary, 7 th Edition, West PublishingCo, Washington, D.C.USA.

Raden Agus Suparman, 2007, Catatan praktek reformasi Perpajakan,Blog Pajak, [email protected].

Majalah Berita Pajak edisi 1 Juli 2009, “Reformasi Jilid Dua”

Page 45: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

29

REFORMASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGANDAN BIROKRASI BIDANG PERPAJAKAN

LEGISLATION REFORM AND TAXATION DIVISION BUREAUCRACYAndi Subri *

(Naskah diterima 24/2/2011, disetujui 30/3/2011)

AbstrakPajak berfungsi sebagai budgetair, penerimaan keuangan yang masuk melaluikas negara, dan berfungsi mengatur bagi pemenuhan kebutuhan pembangunannasional dalam kerangka pembangunan masyarakat Indonesia. Kenyataannyatidak demikian? Mengapa? Tiada lain karena kolusi – korupsi oleh Birokratpada Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan CukaiKementerian Keuangan membuktikan sebaliknya, sehingga penerimaankeuangan negara menjadi tidak maksimal, dan cita-cita mensejahterakan danmemakmurkan rakyat jauh dari harapan. Terobosan harus dilakukan danlangkahnya adalah memperkuat dan menyederhanakan kinerja yangberhubungan dengan administrasi melalui amandemen peraturan perundangandi bidang perpajakan dan reformasi birokrasi terhadap organisasi yang mengelolaperpajakan dengan membentuk institusi baru : Badan Pajak dan Bea Cukaiyang berkedudukan langsung di bawah Presiden.Kata Kunci: Amandemen Undang-Undang Pajak Dan Reformasi Birokrasi Pajak

AbstractTax function as budgetair, financial receipts that go through the state treasury, andthe function set to meet the needs of national development within the framework ofthe development of Indonesian society. The reality is not so? Why? No other becauseof collusion - corruption by bureaucrats at the Directorate General of Taxation and theDirectorate General of Customs and Excise, Ministry of Finance to prove otherwise,so that the state financial revenue to be not optimal, and ideals-ideals welfare andprosperity of the people far from expectations. The breakthrough should be made†and steps are to strengthen and simplify the performance associated with theadministration through the amendment of legislation on taxes and reform the bureaucracyof the organizations that manage taxation by establishing a new institution: the Taxand Customs Board which is located directly under the President.Keywords: Amendment Law - Tax Law and Tax Reforms

A. PendahuluanEditorial Media Indonesia, Rabu 9 Februari 2011 bertajuk :

“Terpental dari skandal pajak” menarik perhatian penulis, intinya:

* Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama Jakarta

Page 46: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

30

Vol. 8 No. 1 - April 2011

“jangan heran bila data yang telah diserakan oleh Direktorat JenderalPajak Kementerian Keuangan kepada Polri berkaitan dengan kasusGayus Tambunan, di kemudian hari dinyatakan tidak ada perusahaanyang terlibat skandal pajak” walau perilaku kolusi – korupsi GayusTambunan dan mafia pajak benar adanya.

Pernyataan editorial di atas dapat dipahami dan lebih merupakanrefleksi pilihan publik (public choice) sehubungan perilaku korup GayusTambunan yang memperkaya diri (mungkin juga kelompok) denganmemanfaatkan celah-celah kewenangan-kewenangan yang diberikanoleh peraturan perundang-undangan.

Sementara itu, harian Republika Rabu 9 Februari 2011, halaman14 mengetengahkan perbedaan sikap terkait lingkup kerja KomisiPengawas Perpajakan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan(PMK) Nomor 133/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata KerjaSekretariat Komite Pengawas Perpajakan antara DPR dan KementerianKeuangan. Kementerian Keuangan berpandangan bahwa posisi DPR danPemerintah adalah sejajar, dan manakala terdapat perbedaan pendapat,maka permasalahan tersebut harus diputus oleh Mahkamah Agungdalam bentuk uji materil (judicial review). Pertimbangan lain MenteriKeuangan bahwa Peraturan Menteri Keuangan dimaksud adalahimplementasi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang KetentuanUmum dan Tata Cara Perpajakan.

Pandangan-pandangan sebagai pendapat umum tersebut di atas,memperkuat keyakinan penulis bahwa telah terjadi sesuatu yang“kurang beres” terhadap regulasi pajak dan pengelolaannya oleh sumberdaya manusia bidang perpajakan. Hal ini berdampak kepada tidaktercapainya target pendapatan negara dari sektor pajak. Mengapa?Karena perolehan pajak tersebut dikorup melalui kolusi antara pengelola(pejabat pajak dan wajib pajak), sebab ketentuan peraturan bidangperpajakan memungkinkan untuk itu karena adanya “celah” yang dapatmembuat perbuatan administrasi lolos dari jeratan hukum. Untuk itu,penulis berpandangan perlu amandemen peraturan perundangan bidangperpajakan dan reformasi birokrasi pada Direktorat Jenderal Pajak danDirektorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan.

B. Acuan Teoritik1. Telaah Peraturan Perundang-undangan di bidang Perpajakana. Prinsip dan Dasar Hukum Pengenaan Pajak

Prinsip, asas, dasar atau pondasi adalah suatu kebenaran yang

Page 47: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

31

menjadi sendi, tumpuan berpikir atau berpendapat1. Kaidah hukumsebagai aturan yang dibuat secara resmi oleh penguasa negara mengikatpada setiap orang dan pemberlakuannya “dapat dipaksakan” olehaparatur negara yang berwenang. Sifat memaksa tersebut haruslahdimaknai secara lebih dalam karena memaksa bukan berarti dapatdipaksakan.

Dasar hukum pengenaan pajak adalah Pasal 23 A Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa:“pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluannegara diatur dengan undang-undang”. Undang-undang yang dimaksudadalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umumdan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentangPajak Penghasilan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang PajakPertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah, Undang-UndangNomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai serta Undang-UndangNomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.

b. Penggolongan PajakSecara umum, pajak dapat digolongkan atas pajak langsung dan

pajak tidak langsung, pajak pusat dan pajak daerah, pajak subjektif danpajak objektif, serta pajak pribadi dan pajak badan hukum.

Dari penggolongan pajak sebagaimana tersebut di atas, akan didapatkriteria:

1. Siapa yang dikenakan pajak (subjek pajak)?2. Apa yang dikenakan pajak (objek pajak)?3. Berapa pajaknya (tarif pajak)?4. Bagaimana cara pengenaan pajak (siapa yang memungut pajak)?

Pajak yang diterapkan di Indonesia meliputi:

1. Pajak Penghasilan (PPh);2. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Penjualan atas

Barang Mewah;3. Pajak Bumi dan Bangunan;4. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;

1 Muchsin, Ikhitisar Ilmu Hukum (Jakarta: Badan Penerbit Iblam, 2006) hlm.43.

Reformasi Peraturan Perundang-undangan dan Birokrasi Bidang Perpajakan

Page 48: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

32

Vol. 8 No. 1 - April 2011

5. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB);6. Bea Materai.

c. Teori dan Asas Pemungutan PajakPrinsip pemungutan pajak merupakan alasan pembenar dalam

pemungutan pajak yang dilakukan oleh pejabat pajak. Pemugutan pajakpada umumnya bertumpu pada teori-teori sebagai berikut:

1. Teori Kepentingan, yang menyatakan bahwa negara berhakmemungut pajak terhadap warga masyarakat guna kepentingannegara. Ini berarti, semakin besar kepentingan warga negaraterhadap negara, maka semakin besar pula pajak yang harusdibayarkan kepada negara.

2. Teori Asuransi, yang menyatakan bahwa negara melindungisegenap rakyat dan karenanya rakyat membayar premi kepadanegara.

3. Teori Bakti, yang menyatakan bahwa warga negara terikat kepadanegara dan karenanya wajib membayar pajak kepada negarasebagai bakti terhadap negara.

4. Teori Gaya Pikul, yang menyatakan bahwa pemungutan olehnegara (pemerintah) harus memperhatikan gaya pikul wajib pajak.

5. Teori Gaya Beli, yang menyatakan bahwa pemungutan pajakbertumpu pada akibat pemungutan pajak, dalam artian pemungutanpajak adalah baik.

6. Teori Pembangunan, yang menyatakan bahwa pemungutan pajakdimaksudkan untuk pembangunan nasional dalam rangka menujumasyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.

Di samping itu, hal yang tidak kalah pentingnya adalah asaspemungutan pajak, yang meliputi:

1. Asas Yuridis, yang menyatakan bahwa semua pungutan pajak harusberdasarkan Undang-undang.

2. Asas Ekonomis, yang menyatakan bahwa pemungutan pajak tidakmengganggu atau menghalangi kegiatan ekonomi (produksi,distribusi, dan konsumsi) dan/atau mengganggu perekonomianrakyat.

3. Asas Financial, yang menyatakan bahwa pengeluaran untukmemungut pajak harus lebih rendah dari jumlah pajak yangdipungut.

Page 49: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

33

d. Prinsip Pemugutan PajakPajak yang dipungut pada dasarnya merupakan perwujudan peran

serta anggota masyarakat sebagai warga negara untuk membiayaikeperluan pemerintah dalam rangka menyeleng-garakan pembangunannasional. Setiap anggota masyarakat sebagai warga negara adalah subjekhukum, pendukung hak, dan kewajiban.

Oleh karena itu, anggota masyarakat sebagai wajib pajak diberikepercayaan untuk melaporkan dan membayar sendiri pajaknya yangterutang (self assessment). Ini berarti, tanggung jawab atas kewajiban-kewajiban pembayar pajak kepada negara/pemerintah sepenuhnyaberada pada anggota masyarakat sebagai wajib pajak. Sedangkanpemerintah hanya sebagai pelaksana dengan melakukan pemeriksaandan pengawasan terhadap kewajiban pajak dari setiap wajib pajak.

Prinsip di atas bermakna bahwa pemerintah memberikankepercayaan yang besar kepada anggota masyarakat sebagai wajib pajakuntuk menghitung kewajiban pajaknya secara sendiri. Denganmengetahui masa pajak, wajib pajak akan dapat menghitung jumlahpajak yang terutang, yang umumnya tahun pajak sama dengan tahuntakwin (tahun kalender).

Hak serta kewajiban anggota masyarakat sebagai wajib pajak secaraotomatis memberikan jaminan kepastian hukum bagi wajib pajak, yangakan menumbuhkan kesadaran hukum akan hak dan kewajibansebagai warga negara. Kesadaran hukum ini dapat menstimulankesadaran hukum anggota masyarakat lainnya untuk membayar pajakyang dibutuhkan oleh negara/pemerintah.

2. Telaah Organisasi, Manajemen, dan BirokrasiHicks menyatakan organisasi merupakan proses terstruktur

dimana orang-orang berinteraksi untuk mencapai sasaran-sasaran2.Setiap organisasi merupakan sebuah sistem3, walau tidak semua sistemmerupakan suatu organisasi, dan manusia merupakan elemen pokokbagi suatu organisasi.

2 J Winardi, Pemikiran Sistemik dalam bidang Organisasi dan Manajemen, (Jakarta : Raja GrafindoPersada, 2005) hlm.162.3 Ibid.

Reformasi Peraturan Perundang-undangan dan Birokrasi Bidang Perpajakan

Page 50: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

34

Vol. 8 No. 1 - April 2011

Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan CukaiKementerian Keuangan dapat disebut sebagai suatu organisasi besar,dan organisasi modern. Suatu organisasi besar, peran manajemensebagai tata kelola memegang peranan kunci. Timbul pertanyaan,sejauhmana organisasai sebesar Direktorat Jenderal Pajak danDirektorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan telah dikeloladengan baik? Mengapa? Karena manajemen dimaksudkan untukmenunjang produktivitas organisasi melalui penguranganketidakpastian dalam melaksanakan kegiatan organisasi, dan mengelolasangat berfokus kepada aktivitas-aktivitas manajerial yang banyakberhubungan dengan pengambilan keputusan (decision making).

Secara teori, manajemen bertumpu pada fungsi perencanaan danpengawasan walaupun lebih menekankan pada fungsi implementasi,terutama kebutuhan akan efisiensi. Fungsi perencanaan danpengawasan cenderung mencakup lebih banyak kegiatan manajerialyang terstruktur untuk pengambilan keputusan, sedangkan fungsiimplementasi bertanggung jawab terhadap kegiatan memimpin,komunikasi, dan koordinasi.

Timbul pertanyaan, mengapa organisasi sebesar DirektoratJenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai KementerianKeuangan selalu “bermasalah” sebagaimana dilansir oleh mas mediacetak dan elektronik? Penulis mencermati bahwa masalah tersebut dapatdiidentifikasi antara lain: indisipliner, inefisiensi, pembiaran ataskekeliruan, penyalahgunaan wewenang, arogansi kekuasaan, kolusi-korupsi dan nepotisme.

Jawaban atas pertanyaan di atas, menurut penulis hanya satu kata:mismanajemen (salah kelola) karena kepemimpinan yang korupterstruktur4. Bayangkan seorang Gayus Tambunan, sebagai seorang stafpada Direktorat Jenderal Pajak dapat berperan demikian besar danberani memanfaatkan kesempatan untuk berkolusi (baik dengan atasandan wajib pajak) bahkan menyalahgunakan wewenang. Siapa yangbertanggung jawab? Jelas dalam hal ini adalah perilaku individu-invidudalam organisasi, baik sebagai pelaksana dan terlebih lagi sebagaipimpinan (pemimpin). Sebab, implementasi proses manajemen, baik pada

4 Secara teori menurut penulis, Gayus Tambunan sebagai staf pada Direktorat Jenderal Pajak KementerianKeuangan tidak dapat menandatangani dan/atau menerbitkan surat ketetapan pajak karena harusberproses atau sesuai pendelegasian wewenang mulai dari pejabat eselon IV, III, II dan I.

Page 51: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

35

tingkat pengambilan keputusan, pemecahan masalah, pelaksanaankegiatan, maupun manajemen konflik5 telah tidak diberdayakan secaraefektif dan efisien6.

Organisasi (pemerintah) dan manajemen tidak dapat dipisahkandan ibarat uang logam yang bersisi sama, erat kaitannya dengan apayang disebut “birokrasi”. Konsep birokrasi di Jerman awal abad 19sebagaimana dikemukakan oleh Johan Gorres7 adalah tipologi klasiktentang pemerintahan yaitu unsur monarkis dan demokratis yangdigabungkan untuk mewujudkan kerja sama dan saling pengertianantara yang memerintah dan yang diperintah.

Birokrasi sebagai suatu konsep memberikan titik tekan pada duaaspek yaitu badan/institusi para birokrat, dan birokrasi yang merujukkepada prosedur-prosedur administrasi. Ini berarti, birokrasi terdiri dariaspek institusional dan aspek asosiasional.8 Gagasan tentang birokrasisangat terkait dengan perubahan-perubahan radikal, baik secara teorimaupun praktik administrasi.

Dalam perkembangan sejarah birokrasi abad ke 20, birokrasi lebihdilihat sebagai ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah. Esensibirokrasi tidak lebih sebagai hasrat dari pegawai negeri untukmencampuri urusan orang dan jauh sama sekali dari upayaprofesionalisme dalam kinerja.

Dari pandangan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa birokrasiadalah efisiensi administrasi dan inefisiensi administrasi. Efisiensiadministrasi dapat disimpulkan sebagai professionalism dalam kinerjasesuai tugas pokok dan fungsi. Sedangkan inefisiensi administrasidisimpulkan sebagai suatu pemborosan (inefisiency) dalam segala bentukdan dapat berupa penyimpangan-penyimpangan seperti penyalahgunaankewenangan, pelampauan batas kewenangan, sewenang-wenang,pembiaran atas kekeliruan, kolusi, korupsi, dan nepostisme. Kinisaatnya, birokrasi harus dipandang dengan dimensi institusional danefisiensi administrasi, dan menjadi tugas Kementerian NegaraPendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untukmembenahi birokrasi.

5 J Winardi, Manajemen Perilaku Organisasi,(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2007) hlm. 23.6 Ibid, hlm. 6.7 Martin Albrow, Burauecracy, terj M Rusli Karim, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1996) hlm.5.8 Ibid.

Reformasi Peraturan Perundang-undangan dan Birokrasi Bidang Perpajakan

Page 52: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

36

Vol. 8 No. 1 - April 2011

C. Kajian EmpirikSecara umum, penulis mengelaborasi peraturan perundang-

undangan di bidang perpajakan dan reformasi birokrasi, khususnya padaDirektorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan CukaiKementerian Keuangan yang selama ini menjalankan fungsi budgetair(anggaran) dan fungsi reguler (mengatur).9 Fungsi budgetair sebagaisumber dana bagi pemerintah untuk membiayai kegiatan perencanaanpembangunan nasional dan fungsi reguler sebagai alat atau saranauntuk mengatur dan melaksanakan kebijaksanaan sesuai dengan tugaspokok dan fungsi sebagaimana telah ditetapkan.

Penulis berpandangan bahwa masalah utama pada DirektoratJenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai KementerianKeuangan, khususnya bidang perpajakan adalah masalah sistem danetika. Sistem yang berlangsung di Direktorat Jenderal Pajak danDirektorat Jenderal Bea dan Cukai adalah membiarkan adanya konflikkepentingan10 dengan mengisolasi pegawai negeri sipil (karir). Isolasipegawai negeri sipil tersebut di atas tidak dimaksudkan untuk berkarirsecara profesional, tetapi lebih didorong untuk menggunakan jabatandan/atau kewenangan guna kepentingan-kepentingan pribadi dan ataukelompok. Buktinya Gayus Tambunan sebagai seorang staf walaupuntelah digaji sesuai dengan renumerasi dan cukup untuk ukuran pegawainegeri sipil sesuai dengan golongan, dalam kenyataannya dapat denganleluasa berlaku layaknya seorang pengambil keputusan dan suatu halyang mustahil tanpa kolusi dengan pihak atasan atau pihak wajib pajak.

Menurut penulis, pendekatan diskriftif11 terhadap sistem tidakdilakukan, sehingga tujuan sebagai ciri karakteristik dan analisisdikesampingkan. Contoh kasus Bahasyim disamping kasus GayusTambunan, dimana interaksi lebih diutamakan yang dalam praktiknyacenderung untuk tidak professional sesuai prosedur, tugas pokok danfungsi. Manejemen dalam konsep sistem pada praktiknya di DirektoratJenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidakmengintegrasikan problem-problem yang dihadapi. Sebagai contoh,penetapan pajak tanpa memperhatikan data yang disampaikan wajib

9 R Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Bandung : Eresco, 1995) hlm.205.10 Susan Rose-Ackerman, Corruption and Government, Causes, Consequences And Reform, terj. TunggulP Siagian (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2000) hlm. 105.11 J Winardi, Pemikiran sistemik dalam bidang organisasi dan manejemen, LocCit. hlm. 86.

Page 53: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

37

pajak, juga terhadap keberatan atas penetapan pajak. Apakah pemeriksapabean pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah bekerja denganbaik? Mengapa terjadi penyelundupan? Untuk itu, penulis dapat merujukatas penelitian yang dilakukan sebagaimana surat Kepala KantorPengawasan dan Pelayanan Tipe Madya Pabean Tanjung Emas SemarangNomor: S.151/WBC.09/KPP.MP.02/2009 tanggal 24 Juni 2009 perihaldugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentangKepabeanan. Pada umumnya problem yang dihadapi diselesaikan denganberkolusi, dan kolusi diprediksi akan berkelanjutan sampai pada tingkatpenyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidangpengadilan.

Kesan penulis, kegiatan aparat Direktorat Jenderal Pajak danDirektorat Jenderal Bea dan Cukai “kurang” memanfaatkan sumberdaya sebagai suatu masukan (input) begitu juga dengan penciptaan nilaisebagai suatu keluaran (output).

Etika, sebagai bagian dari falsafah sistem, berperan sangatmenentukan dalam penciptaan nilai karena berkaitan dengan “baik-buruk”. Prinsip dasar manajemen kinerja adalah menghargai kejujuran,memberikan pelayanan, tanggung jawab, dirasakan seperti bermain,adanya perasaan kasihan, adanya perumusan tujuan, terdapatkonsensus dan kerja sama, sifatnya berkelanjutan, terjadi komunikasidua arah dan mendapatkan umpan balik12.

Penulis mencermati kinerja PNS pada Direktorat Jenderal Pajakdan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai hanya memenuhi beberapa itemsaja dari manajemen kinerja tersebut diatas. Justru kejujuran sebagaipilar utama dalam bekerja merupakan titik lemah baik pada tingkatpimpinan (pihak atasan), tingkat pegawai sebagai pelaksana maupundan antar sesama teman kerja. Sehingga tidak aneh, bila ada ekspresipendapat yang tidak mendapat tempat dimata dan hati pimpinan, saatmenyampaikan fakta, pertimbangan dan saran bahkan ungkapanperasaan. Terbukti, ketidakjujuran pada akhirnya mengungkap adanyamafia pajak.

12 Wibowo, Manajemen Kinerja (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007) hlm.12.

Reformasi Peraturan Perundang-undangan dan Birokrasi Bidang Perpajakan

Page 54: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

38

Vol. 8 No. 1 - April 2011

Oleh karena itu kinerja yang berkaitan dengan adminitrasi13 perlupenyederhanaan di samping amandemen terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan seperti Undang-Undang Nomor 28 Tahun2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan (PPh), danUndang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilaidan Pajak Penjualan Barang Mewah dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995tentang Kepabeanan.

Kepastian hukum menjadi hal penting di samping rasa keadilan,mengingat masih ada penetapan pajak yang dibuat oleh pejabat pajak,bukan saja tidak tepat tetapi juga tidak adil, sehingga pengajuankeberatan atau banding selalu bermuara kepada pengadilan pajak.Sementara itu, pengadilan pajak sebagai pengadilan khusus harus puladitinjau sehubungan putusan pengadilan pada tingkat pertama danterakhir ada pada Mahkamah Agung, bukan pada pengadilan pajaksebagai pengadilan khusus.

Amandemen terhadap peraturan perundang-undangan di bidangperpajakan tersebut pada intinya mengubah tarif, subjek dan objek pajakagar lebih bersifat kompetitif. Hal lain adalah percepatan proses restitusi,memperpendek waktu penyimpanan dokumen dan penetapan waktuserta metode pembayaran.

Darmin Nasution14, Direktur Jenderal Pajak KementerianKeuangan ketika itu, berkeinginan merombak struktur organisasiDirektorat Jenderal Pajak. Pertimbangannya, bahwa struktur organisasiDirektorat Jenderal Pajak didasarkan pada jenis pajak dan tidakberdasarkan fungsi. Sebagai contoh Direktur PPh dapat memberikanpetunjuk arahan sampai ke bawah, demikian juga Direktur PPn karenaberdasarkan jenis pajak. Struktur organisasi “model” ini menyebabkantumpang tindih, sehingga tidak jelas siapa yang harus memeriksa dansiapa yang harus melayani yang dalam praktik dapat juga “menagih”.Kondisi tersebut di atas menyebabkan negosiasi antara aparat pajakdan wajib pajak berlangsung secara aman, dan kolusi-korupsi secaraadministrasi dan hukum relatif tidak diketahui oleh banyak pihak,karena tidak ada keuangan negara yang dirugikan. Sebagai ilustrasi,

13 Anggito Abimanyu, Melihat Arah Reformasi Perpajakan, Makalah pribadi, tanpa tahun.14 Darmin Nasution, Reformasi Perpajakan, Makalah Pribadi, 20 Agusutus 2009.

Page 55: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

39

misalnya wajib pajak harus membayar 100 milyar, tetapi cukupmembayar 50 milyar ke kas negara dan aparat pajak memperolehimbalan 2 milyar, tentu pilihan kolusi yang disepakati.

Pada struktur organisasi berdasarkan fungsi, diketahui denganjelas siapa yang harus melakukan pelayanan, pemeriksaaan, danpenagihan sesuai prosedur ketentuan peraturan yang berlaku dankarenanya kinerja dapat dilaksanakan secara optimal sesuai dengantugas pokok dan fungsi.

Terhadap usulan Darmin Nasution, penulis kurang sependapatkarena usulan Darmin Nasution tidak menyeluruh alias “setengah hati”(hanya struktur organisasi yang berdasarkan fungsi). Penulismengusulkan, Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Beadan Cukai lepas dari Kementerian Keuangan dan dibentuk badan baruberupa Badan Pajak dan Bea Cukai yang kedudukannya berada langsungdi bawah Presiden.

Pertimbangan penulis bahwa pajak berfungsi budgetair artinyamenggali dana dari masyarakat untuk digunakan bagi kepentinganpembangunan. Penulis yakin bahwa Badan Pajak dan Bea Cukai akanbekerja optimal, transparan dan profesional untuk menggali dana darimasyarakat. Badan baru dibawah Presiden tersebut dalam praktikdiawasi secara langsung oleh DPR sebagai representasi wakil rakyat.

Sedang fungsi mengatur dalam praktik selama ini penulis rasakankurang berjalan dengan baik, dalam artian Direktorat Jenderal Pajakdan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tunduk kepada atasannya(Menteri Keuangan) yang memiliki fungsi akuntansi. AkibatnyaDirektorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidakoptimal untuk menggali sumber dana sebagai pendapatan negara. Haltersebut akan menjadi berbeda apabila telah dibentuk Badan Pajak danBea Cukai sebagaimana diusulkan yang kedudukannya langsung dibawah Presiden, karena badan tersebut akan independen dalammelaksanakan tugas, profesional dalam bekerja, transparan dan diawasioleh DPR sebagai represesentasi wakil rakyat. Andai usulan ini disetujui,penulis yakin pajak untuk pembangunan negeri yang diperuntukan bagikesejahteraan masyarakat Indonesia dapat tercapai. Kini semuanyaberpulang kepada goodwill Pemerintah.

D. PenutupAtas hal-hal sebagaimana telah dikemukakan, dapat penulis

sampaikan kesimpulan dan saran-saran sebagai berikut:

Reformasi Peraturan Perundang-undangan dan Birokrasi Bidang Perpajakan

Page 56: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

40

Vol. 8 No. 1 - April 2011

1. Kesimpulan

a. Bahwa adalah suatu fakta bahwa peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dalam kenyataannyamengandung “kelemahan”, sehingga dimanfaatkan olehaparat pajak dan bea dan cukai untuk kolusi – korupsi yangmerugikan negara/pemerintah dari sektor pajak.

b. Bahwa adalah suatu fakta bahwa Direktorat Jenderal Pajakdan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai KementerianKeuangan tidak dapat menggali pendapatan negara secaraoptimal karena tunduk dan di bawah kendali MenteriKeuangan yang memiliki fungsi akutansi negara.

2. Saran-saran

a. Peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan perludi amandemen dan/atau penataan ulang secara sederhana,dan mudah dimengerti oleh rakyat Indonesia.

b. Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea danCukai Kementerian Keuangan “sebaiknya lepas” dariKementerian Keuangan dan dibentuk badan baru yaitu BadanPajak dan Bea Cukai yang kedudukannya langsung di bawahPresiden. Pertimbangannya adalah badan tersebut akanindependen dalam melaksanakan tugas, professional dalambekerja, transparan, dan diawasi oleh DPR sebagairepresentasi wakil rakyat. Petimbangan lain adalahpendapatan negara dari sektor pajak akan optimal, dan tingkatkebocoran dapat diminimalisir. Lebih jauh akan terciptakepastian hukum dan tumbuhnya kesadaran hukummasyarakat sehingga tingkat kepercayaan terhadap upaya-upaya penggalian dana untuk pendapatan negara/pemerintahakan semakin tinggi. Pada akhirnya, pajak akan dapatmensejahterakan dan memakmurkan rakyat Indonesia.

Page 57: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

41

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abimanyu, Anggito tanpa tahun, Melihat Arah Reformasi Perpajakan,Makalah pribadi, Jakarta.

Ackerman, Susan Rose, 2000, Corruption and Government, Causes,Consequences And Reform, terj. Tunggul P Siagian, Pustaka SinarHarapan, Jakarta.

Albrow, Martin, 1996, Burauecracy, terj M Rusli Karim, Tiara wacana,Yogyakarta

Brotodihardjo, R Santoso, 1995, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Eresco,Bandung.

Muchsin, 2006, Ikhitisar Ilmu Hukum, Badan Penerbit Iblam, Jakarta.

Nasution, Darmin, 2009, Reformasi Perpajakan, Makalah Pribadi, Jakarta.

Wibowo, 2007, Manajemen Kinerja, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Winardi J, 2007. Manajemen Perilaku Organisasi, Kencana PrenadaMedia, Jakarta.

________, 2005, Pemikiran Sistemik Dalam Bidang Organisasi DanManejemen, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 2008,Sekretariat Jenderal MPR, Jakarta.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum danTata Cara Perpajakan.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilaidan Pajak Penjualan Barang Mewah.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi danBangunan.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.

Page 58: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

42

Vol. 8 No. 1 - April 2011

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.

C. Sumber lain

Media Indonesia, Rabu 9 Februari 2011.

Republika, Rabu 9 Februari 2011.

Page 59: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

43

PENGATURAN HUKUM PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN DANHUBUNGANNYA DENGAN HUKUM PIDANA UMUM DAN KHUSUS

CRIMINAL JUSTICE REGULATION IN THE TAXATION FIELD CRIMINALAND ITS RELATION TO GENERAL AND SPECIAL CRIMINAL LAW

Mudzakkir*

(Naskah diterima 28/03/2011, disetujui....)

AbstrakKontribusi pemasukan dana yang bersumber dari wajib pajak merupakanmasukan pendapatan yang berarti dan memiliki makna yang luas bagipembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal yang harus menjadiperhatian adalah usaha meningkatkan kesadaran wajib pajak untuk membayarpajak adalah inti dari pengaturan dan pengenaan sanksi pidana di bidangperpajakan. Tindak pidana di bidang perpajakan adalah termasuk tindak pidanadi bidang hukum administrasi (administrative criminal law atau dependent crimes)yang dikenal sederhana dan lentur dalam penegakan hukumnya, sepanjangtujuan dari hukum tersebut tercapai, yaitu wajib pajak mau membayar pajaksesuai dengan kewajibannya. Penggunaan hukum pidana umum atau hukumpidana khusus terhadap tindak pidana di bidang perpajakan adalah tidak tepatdan dapat menimbulkan problem hukum dan keadilan. Oleh sebab itu, tindakpidana umum atau tindak pidana khusus yang berkaitan dengan terjadinyatindak pidana perpajakan adalah berdiri sendiri dengan segala konsekuensipenegakan hukumnya. Terkait dengan penerapan tindak pidana korupsi dalamtindak pidana di bidang perpajakan, dapat dilakukan dua model, yaitu masing-masing berdiri sendiri dan tidak saling berkaitan, sebagaimana dimuat dalamPasal 43A ayat (3) atau undang-undang perpajakan memuat ketentuansebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentangPemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Kata Kunci: Tindak pidana perpajakan, administrasi, tindak pidana umum,

tindak pidana khusus

AbstractIncome funds contribution that coming from taxpayers is a significant input of opinionand have a broad significance for the development of the Unitary Republic of Indonesia.One must be concern is the effort to increase awareness of taxpayers to pay taxesand also as the essence of the regulation and the imposition of criminal sanctions inthe field of taxation. The criminal action in the field of taxation is included criminallaw in the field of administration (administrative criminal law or crimes dependent)known simple and flexible in enforcing of the law, as long as the objective of law isreached, the taxpayer would pay tax in accordance with its obligations. The use of

* Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Page 60: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

44

Vol. 8 No. 1 - April 2011

criminal common law or penal code/law dealing specifically with criminal acts in thefield of taxation is inappropriate and can caused problems in law and justice. Therefore,public crime or specific crime related to the occurrence of a tax crime is a stand-alonewith all the consequences of enforcement. Related to the implementation of corruptionin the criminal acts in the field of taxation, could be run by two models, which eachstand alone and not related to each other, as stipulated in Article 43 A paragraph (3)or tax laws contain provisions referred to in Article 14 Act Number 31 Year 1999 asamended by Act Number 20 Year 2001 on Eradication of Corruption.Keywords: Crime of taxation, administration, general crime, especially crime

A. PendahuluanPajak merupakan sumber pendapatan negara yang memiliki

kontribusi yang signifikan sehingga sumber pendapatan pajak menjadiandalan bagi pembangunan nasional. Pajak dapat menjadi salah satuinstrumen bagi pemerintah untuk mengukur seberapa besar kesadaranmasyarakat untuk membayar pajak atau mendanai peyelenggaraannegara dan mengukur tentang nilai pendapatan dan kesejahteraan riilmasyarakat. Semakin tinggi kesadaran masyarakat dan semakinmeningkat jumlah wajib pajak menunjukkan bahwa tingkatkepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan negara semakintinggi dan sikap nasionalisme atau merasa memiliki negara jugasemakin tinggi.

Sebagai instrumen keberhasilan pembangunan dankesejahteraan, pajak yang dimenejemen secara profesional dapatberfungsi untuk menunjang dan mempercepat tercapainya suatu masyarakat yang adil dan makmur. Oleh sebab itu, dalam pemungutanpajak benar-benar memperhatikan beberapa hal, yaitu berdasarkanperaturan perundang-undangan yang jelas dan pasti, prinsip keadilandan proporsional berdasarkan kemampuan, dan prinsip pembangunanatau kegiatan ekonomi yang berkelanjutan (pajak tidak boleh mematikandunia usaha).

Dana yang bersumber dari pajak adalah dana amanah rakyat yangharus dikelola secara efektif dan efisien dan dikembalikan lagi kepadarakyat dalam bentuk program pembangunan nasional yang akhirnyamanfaatnya bisa langsung segera dirasakan dan dinikmati oleh rakyat.Akhir-akhir ini masalah mengenai manajemen pengelolaan dana pajak(pajak) menjadi problem nasional sehubungan dengan adanya beritatindak pidana terhadap dana wajib pajak yang menjadi topik utama dimedia masa yang melibatkan oknum petugas pajak, telah memberikandampak negatif secara luas terhadap masyarakat, terutama para wajibpajak.

Page 61: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

45

Problem hukum yang perlu menjadi perhatian di masa datangadalah pengaturan dan penegakan hukum mengenai penyelesaiansengketa pajak yang berpotensi merugikan terhadap pendapatan negaradan tindak pidana di bidang perpajakan serta penyalahgunaan dana yangbersumber dari pendapatan negara yang berasal dari pajak.

B. Kedudukan Sanksi Pidana dalam Undang-Undang PerpajakanDalam doktrin hukum, peraturan perundang-undangan mengenai

pajak termasuk ranah hukum administrasi negara sehingga problemhukum yang muncul terkait dengan pelanggaran peraturan perpajakandan penegakan hukumnya dilakukan melalui mekanisime penyelesaianhukum administrasi. Meskipun termasuk hukum administrasi,peraturan perundang-undangan tentang pajak memiliki ciri yang berbedadengan hukum administrasi yang lain, karena sifat hukum pajak adalahmemberikan wewenang secara luas kepada negara untuk memungutpajak dari wajib pajak. Negara memiliki wewenang untuk menentukanwajib pajak dan memaksa kepada wajib pajak untuk memenuhikewajibannya.

Meskipun negara memiliki wewenang yang luas, corak hukumadministrasi dan peraturan perundang-undangan tentang perpajakanmemberikan ruang bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatanterhadap pajak dibebankan kepada wajib pajak karena ada dugaanterjadinya kesalahan dalam perhitungan jumlah pajak yang harusdibayarkan. Jika tidak dapat selesaikan, maka perselisihan mengenaiperhitungan pajak tersebut dikenal sebagai sengketa pajak, dapatdiajukan ke Pengadilan Pajak. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002tentang Pengadilan Pajak dalam Pasal 1 angka 5 menentukan:

“Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidangperpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung pajak denganPejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusanyang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajakberdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasukgugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-UndangPenagihan Pajak dengan Surat Paksa”.

Mekanisme penyelesaian persengketaan pajak tersebutmenunjukkan kuatnya corak hukum adminisitrasi dari persengketaanperpajakan sehingga persoalan hukum adminisirasi perpajakandiselesaikan melalui mekanisme hukum adminisitrasi dengan pejabat

Pengaturan Hukum Pidana di Bidang Perpajakan dan Hubungannya...

Page 62: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

46

Vol. 8 No. 1 - April 2011

publik yang bersangkutan dan jika tidak dapat diselesaikan, dapatdiajukan ke Pengadilan Pajak.

Keberadaan Pengadilan Pajak yang diberi wewenangmenyelesaikan sengketa pajak, berfungsi sebagai:

1. mencegah dan mengontrol kemungkinan terjadinyapenyalahgunakan wewenang dalam perhitungan pajak;

2. menjamin adanya kepastian hukum bagi wajib pajak mengenaipajak yang harus dibayarkan; dan

3. meningkatkan kesadaran wajib pajak mengenai pajak yang harusdibayarkan.

Mengingat perhitungan pajak sebagai titik awal sengketa pajakdan segala bentuk pelanggaran hukum di bidang pajak yang melibatkandua pihak yaitu petugas pajak dan pihak wajib pajak, maka titik rawanterjadinya penyimpangan atau pelanggaran hukum adalah padahubungan antara kedua pihak tersebut. Dengan demikian, keberadaaanPengadilan Pajak yang independen, objektif, transparan, dan profesionalmutlak diperlukan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dansekaligus menjadi pintu masuk untuk mendeteksi gelagat terjadinyapenyimpangan atau pelanggaran hukum lain dalam perhitungan pajakdan pembayaran pajak.

Bagi wajib pajak yang beriktikad baik membayar pajak sesuaidengan kewajibannya, adanya Pengadilan Pajak dapat memberikanjaminan kepastian hukum mengenai jumlah pajak yang harusdibayarkan, sebaliknya wajib pajak yang tidak memiliki iktikad baikuntuk membayar pajak, melalui Pengadilan Pajak dapat dipergunakansebagai bentuk upaya untuk mengurangi jumlah pajak yang harusdibayar.

Wajib Pajak yang tidak membayar pajak sesuai dengan peraturanperundang-undangan di bidang pajak dapat dikenakan sanksi sesuaidengan tingkat pelanggarannya yakni dari sanksi administrasi, sanksipidana administrasi, sampai dengan sanksi pidana umum. Sedangkanpetugas pajak yang menyalahgunakan wewenangnya dapat dikenakansanksi berdasarkan undang-undang di bidang perpajakan dan sanksihukum pidana umum. Dengan demikian, keberadaan sanksi hukumbagi pelanggar peraturan perundang-undangan pajak diperlukan gunamendorong semua pihak, baik pihak wajib pajak dan petugas pajak,beriktikad baik menaati peraturan perundang-undangan di bidang pajak.

Page 63: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

47

B.1 Kedudukan Sanksi AdministrasiSebagaimana diiuraikan sebelumnya, corak hukum administrasi

yang khusus dari hukum pajak, keberadaan sanksi administrasidiperlukan agar wajib pajak sejak dini diperingatkan untuk memenuhikewajibannya secara administrasi memenuhi kewajibannya membayarpajak. Kewajiban untuk memenuhi persyaratan administrasi danpengenaan sanksi administrasi kepada pihak yang mengabaikannyaadalah bentuk penerapan sanksi administrasi dan memiliki kekuatanhukum yang mengikat. Kepada wajib pajak yang tidak memenuhipersyaratan administrasi dan telah diperingatkan dan dikenakan sanksiadministrasi, menurut hukum pidana, dapat dijadikan indikator apakahwajib pajak memiliki iktikad baik atau iktikad tidak baik untukmemenuhi kewajibannya membayar pajak.

Pengenaan sanksi administrasi kepada wajib pajak agar menaatiketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur bidangadministrasi perpajakan selanjutnya menjadi dasar penentuanperbuatan melawan hukum dan kesalahan dalam hukum pidana apabilawajib pajak tersebut melakukan perbuatan yang melanggar hukumpidana. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 ayat (3) yang intinyabahwa walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belumdilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yangdilakukan wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, terhadapketidakbenaran perbuatan wajib pajak tersebut tidak akan dilakukanpenyidikan, apabila wajib pajak dengan kemauan sendirimengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertaipelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnyaterutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150%(seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.

Dengan demikian, wajib pajak yang melanggar ketentuansebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 selama belum dilakukanpenyidikan, sekalipun telah dilakukan pemeriksaan dan wajib pajaktelah mengungkapkan kesalahannya dan sekaligus melunasi jumlahpajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupadenda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yangkurang dibayar, terhadapnya tidak akan dilakukan penyidikan. Namun,apabila telah dilakukan tindakan penyidikan dan mulainya penyidikantersebut diberitahukan kepada Penuntut Umum, kesempatan untukmembetulkan sendiri sudah tertutup bagi wajib pajak yang bersangkutan.

Pengaturan Hukum Pidana di Bidang Perpajakan dan Hubungannya...

Page 64: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

48

Vol. 8 No. 1 - April 2011

Ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Jo.Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Jo. Undang-Undang Nomor 16Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan mengatur:

Pasal 38

Setiap orang yang karena kealpaannya:

a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau

b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidakbenar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yangisinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugianpada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakanperbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimanadimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kalijumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar danpaling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidakatau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.

Berdasarkan ketentuan Pasal 38 yang dihubungkan denganketentuan Pasal 8 ayat (3) tersebut menunjukkan bahwa pengenaansanksi pidana sangat erat kaitannya dengan pelanggaran hukumadministrasi dan sebagian di antaranya karena tidak memenuhikewajibannya atau melaksanakan sanksi administrasi yangmenyebabkan wajib pajak tidak menyampaikan surat pemberitahuanatau menyampaikan surat pemberitahuan tetapi isinya tidak benar atautidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar,sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

Hal ini sesuai dengan doktrin hukum pidana mengenaipenggunaan ancaman sanksi pidana dalam hukum administrasi, yaitusebagai senjata terakhir atau pamungkas (ultimum remedium) manakalapengenaan ancaman sanksi administrasi tidak efektif atau tidakdiindahkan, baru kemudian dipergunakan senjata pamungkas berupapengenaan sanksi pidana.

B.2 Kedudukan Sanksi Pidana (Administrasi)Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, pengenaan sanksi

pidana (administrasi) sebagai senjata pamungkas dalam mengatasipelanggaran di bidang hukum administrasi, maka dalam menyelesaikansengketa perpajakan diutamakan dan dikedepankan penyelesaian

Page 65: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

49

secara administrasi. Sesuai dengan corak hukum perpajakan tersebut,tidak tepat jika penyelesaian perpajakan dengan mengedepankanhukum pidana dan mengabaikan atau menyampingkan penyelesaiansecara administrasi dengan dalih merugikan keuangan negara. Hukumperpajakan pada dasarnya memiliki karakteristik sendiri dibandingkandengan hukum yang lain, yakni negara butuh dana dari masyarakatdan masyarakat memiliki kewajiban secara hukum dan moral untukmembayar pajak kepada negara. Oleh sebab itu, segala bentuk persoalanhukum yang muncul dalam kaitannya dengan pelaksanaan pajak, padaintinya mendorong kesadaran wajib pajak untuk membayarkewajibannya, dengan pendekatan persuasif kepada wajib pajak melaluipenggunaan sarana hukum administrasi dan sanksi administrasi.Dengan pendekatan yang demikian, hal ini dimaksudkan untuk wajibpajak melakukan boikot dengan cara tidak membayar pajak dengan dalihpemerintah semena-mena (otoriter) terhadap wajib pajak.

Dalam hal wajib pajak tidak menaati kewajibannya setelahpenggunaan hukum administrasi dengan sanksi administrasi tetap tidakefektif mendorong wajib pajak untuk membayar pajak sesuai dengankewajibannya, maka penggunaan sanksi pidana menjadi pilihan yangtepat untuk dikenakan kepada wajib pajak. Pengenaan sanksi pidanatersebut sesuai dengan asas subsidiaritas yakni dipergunakan ancamansanksi yang paling ringan terlebih dahulu, dan jika tidak efektif barumenggunakan ancaman pidana yang ringan, berat, sampai kepada yangterberat.

Penegasan mengenai pengaturan sanksi administrasi dan sanksipidana dimuat dalam penjelasan Pasal 38 yaitu pelanggaran terhadapkewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, sepanjangmenyangkut tindakan administrasi perpajakan, dikenai sanksiadministrasi dengan menerbitkan surat ketetapan pajak atau SuratTagihan Pajak, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidangperpajakan dikenai sanksi pidana. Perbuatan atau tindakan sebagaimanadimaksud dalam pasal ini bukan merupakan pelanggaran administrasimelainkan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan. Denganadanya sanksi pidana tersebut, diharapkan tumbuhnya kesadaran WajibPajak untuk mematuhi kewajiban perpajakan seperti yang ditentukandalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Kealpaan yangdimaksud dalam pasal ini berarti tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati,atau kurang mengindahkan kewajibannya sehingga perbuatan tersebutdapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

Pengaturan Hukum Pidana di Bidang Perpajakan dan Hubungannya...

Page 66: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

50

Vol. 8 No. 1 - April 2011

Pembuat undang-undang sengaja menempatkan sanksi pidanadalam administrasi perpajakan sebagai sarana pendorong agar wajibpajak menaati kewajibannya, maka Wajib Pajak yang melanggar hukumadministrasi dan telah memenuhi kewajibannya termasuk kewajibankarena pengenaan sanksi administrasi, tidak akan dikenakan sanksipidana (administrasi) atau tidak diproses ke pengadilan (dihentikan).

Undang-Undang Perpajakan membagi tindak pidana yang dilakukanoleh wajib pajak dan petugas pajak ke dalam dua jenis yaitu pelanggarandan kejahatan.

B.3 Tindak Pidana PelanggaranTindak pidana yang termasuk kategori pelanggaran, dikenal

sebagai melanggar undang-undang, karena kekuatan pelarangan darisuatu perbuatan tertentu bersumber dari dan semata-mata karenaundang-undang. Jika undang-undang tidak melarang terhadap perbuatantersebut, maka perbuatan tersebut boleh dilakukan karena norma laintidak mengatur pelarangan terhadap perbuatan tersebut. Meskipundemikian, pelanggaran adalah suatu tindak pidana, tetapi termasukkategori yang ringan dengan ancaman sanksi pidana yang ringan.

Perbuatan pelanggaran peraturan perundang-undangan yangtermasuk kategori tindak pidana pelanggaran yaitu:

1. Wajib pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan suratpemberitahuan dan menyampaikan pemberitahuan tetapi tidakbenar atau tidak lengkap yang menimbulkan kerugian padapendapatan negara.

Pasal 38

Setiap orang yang karena kealpaannya:

a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau

b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidakbenar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yangisinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugianpada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakanperbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimanadimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kalijumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar danpaling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidakatau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.

Page 67: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

51

Perbuatan yang termasuk pelanggaran berkaitan dengankewajiban bagi wajib pajak salah satunya adalah untukmenyampaikan Surat Pemberitahuan dan kebenaran dankelengkapan dari Surat Pemberitahuan yang dapat menimbulkankerugian pada pendapatan negara. Pengenaan sanksi pidanaterhadap wajib pajak baru dapat dikenakan, menurut Pasal 13A,apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajakdan Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaranjumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupakenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yangkurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat KetetapanPajak Kurang Bayar.

Pasal 13A

Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SuratPemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapiisinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkanketerangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkankerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidanaapabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajakdan Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaranjumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupakenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yangkurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat KetetapanPajak Kurang Bayar.

Yang dimaksud dengan pengenaan sanksi pidana tersebut adalahsanksi pidana berupa pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulanatau paling lama 1 (satu) tahun, bukan sanksi pidana denda, karenabagi wajib yang pertama kali melanggar, kemudian telah membayarpajak yang terutang dan telah membayar sanksi administrasi tidakdikenakan sanksi pidana.

Adanya ketentuan yang mengatur penggunaan sanksi pidanaperampasan kemerdekaan berupa pidana kurungan sebagaialternatif penggunaan sanksi yang bersyarat atau sanksi terakhirtersebut sudah tepat, hal ini sesuai dengan maksud dan tujuandari kewajiban membayar pajak bagi Wajib Pajak dan jika pajaksudah dibayarkan berarti maksud dan tujuannya telah tercapai.

2. Pejabat karena kealpaannya tidak memenuhi kewajibanmerahasiakan mengenai informasi yang diterima mengenai WajibPajak.

Pengaturan Hukum Pidana di Bidang Perpajakan dan Hubungannya...

Page 68: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

52

Vol. 8 No. 1 - April 2011

Pasal 41

(1) Pejabat yang karena kealpaanya tidak memenuhi kewajibanmerahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahundan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima jutarupiah).

Ketentuan Pasal 34 mengatur mengenai perlindungan hukumterhadap Wajib Pajak khususnya mengenai kerahasiaan informasiyang diberikan kepada pejabat menjadi rahasia jabatan ataupekerjaan untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan ada jaminan kerahasiaan jabatantersebut, Wajib Pajak dapat secara bebas menyampaikan informasiperpajakan kepada pejabat pajak sehingga Wajib Pajak merasanyaman dan terlindungi.

Larangan ditujukan kepada pejabat, baik petugas pajakmaupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan,sedangkan perbuatan yang dilarang adalah mengungkapkankerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan,yaitu

a. Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain-lain yangdilaporkan oleh Wajib Pajak;

b. data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan;

c. dokumen dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yangbersifat rahasia;

d. dokumen dan/atau rahasia Wajib Pajak sesuai denganketentuan peraturan perundang-undangan yang berkenaan.

Pengungkapan rahasia wajib pajak dikecualikan untukkepentingan penegakan hukum.

Pelanggaran terhadap Pasal 41 ayat (1) termasuk sebagai delikaduan, maka pengungkapan rahasia Wajib Pajak tersebut diproseslebih lanjut apabila ada pengaduan dari Wajib Pajak yangbersangkutan yang kerahasiaanya dilanggar. Pengungkapanrahasia sebagai delik aduan ini menimbulkan problem hukumtersendiri. Kerahasiaan perpajakan ini berkaitan dengan hubunganantara pejabat pajak dengan Wajib Pajak dalam hubungan tersebutpejabat pajak sebagai posisi yang memeriksa administrasiperpajakan sedangkan wajib pajak dalam posisi terperiksa. Dengan

Page 69: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

53

demikian penempatan delik aduan ini menimbulkanketidaknyamanan bagi Wajib Pajak, jika melakukan pengaduankepada pejabat yang mengungkan rahasia perpajakan akanberakibat tidak menguntungkan bagi Wajib Pajak yangmengadukan pejabat pajak, khususnya mengenai persoalanperpajakan yang sedang dihadapinya.

Oleh sebab itu, perlu dipertimbangkan mengenai bagaimanamemberikan jaminan perlindungan hukum terhadap Wajib Pajakyang mengadukan pejabat pajak atas perbuatannya yang telahmengungkap rahasia Wajib Pajak yang menjadi rahasia jabatannya.

B.4 Tindak Pidana KejahatanDilihat dari sudut sikap batin atau rumusan kesalahan,

pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang perpajakantermasuk kategori tindak pidana pelanggaran dilakukan karenakealpaan (culpa), sedangkan sikap batin tindak pidana kejahatan adalahkesengajaan (dolus). Dikatakan sebagai kejahatan, menurut doktrinhukum, karena perbuatan tersebut sebagai pelanggaran yang berat,dicela oleh masyarakat, melanggar hukum dan keadilan, maka ancamanpidananya lebih berat. Pengulangan tindak pidana pelanggaranancamannya diperberat dan perbuatannya berubah menjadi tindakpidana kejahatan dan pengulangan tindak pidana kejahatan ancamanpidananya lebih diperberat.

Perbuatan pelanggaran terhadap Undang-Undang Perpajakan yangtermasuk kategori tindak pidana kejahatan terdiri dari:

1. Sengaja tidak memenuhi kewajiban administrasi perpajakan,menyalahgunakan NPWP, menolak dilakukan pemeriksaan,memperlihatkan pembukuan palsu atau tidak menyelenggarakanpembukuan, tidak menyimpan pembukuan, dan tidak menyetorkanpajak yang telah dipotong/dipungut sehingga menimbulkankerugian negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, denganancaman:

a. dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulandan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2(dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurangdibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutangyang tidak atau kurang dibayar

b. ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidanaapabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang

Pengaturan Hukum Pidana di Bidang Perpajakan dan Hubungannya...

Page 70: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

54

Vol. 8 No. 1 - April 2011

perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejakselesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan

c. penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua)tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusiyang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditanyang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlahrestitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi ataupengkreditan yang dilakukan untuk percobaan tindak pidanamenyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NomorPokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajaksebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, ataumenyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keteranganyang isinya tidak benar atau tidak lengkap, sebagaimanadimaksud pada ayat (1) huruf d, dalam rangka mengajukanpermohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajakatau pengkreditan pajak.

2. Sengaja menerbitkan atau menggunakan faktur, buktipemungutan/pemotongan/setoran tidak berdasarkan transaksiyang sebenarnya atau menerbitkan faktur yang belum dikukuhkan(Pasal 39A) dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun danpaling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kalijumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, buktipemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutanpajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

3. Pejabat sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yangmenyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat (Pasal 41 ayat(2)) dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan dendapaling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pelanggaran terhadap Pasal 41 ayat (2) termasuk sebagai tindakpidana kejahatan, tetapi proses penuntutannya memerlukan aduanatau termasuk delik aduan, maka pengungkapan rahasia wajibpajak tersebut diproses lebih lanjut apabila ada pengaduan dari wajibpajak yang bersangkutan yang kerahasiaanya dilanggar. Mengingatperbuatan dilakukan oleh pejabat dengan sengaja (kesengajaan),tetapi dimasukkan sebagai delik aduan sama seperti Pasal 41 ayat(1) yang dilakukan karena kealpaan. Oleh sebab itu, perlu adaketentuan yang berisi perlindungan hukum terhadap Wajib Pajakyang mengadukan pejabat pajak atas perbuatannya yang telah

Page 71: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

55

mengungkap rahasia Wajib Pajak yang menjadi rahasia jabatanya.

4. Sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberiketerangan atau bukti yang tidak benar dipidana dengan pidanakurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyakRp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).

5. Sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidanadi bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluhlima juta rupiah)

6. Instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain sengajatidak memberikan data dan informasi yang berkaitan denganperpajakan (Pasal 35A ayat (1)) dipidana dengan pidana kurunganpaling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyakRp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (Pasal 41C ayat 1)

7. Sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat danpihak lain memberikan data dan informasi yang berkaitan denganperpajakan (Pasal 35A ayat (1)) dipidana dengan pidana kurunganpaling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyakRp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). (Pasal 41C ayat 2).

8. Sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta olehDirektur Jenderal Pajak (Pasal 35A ayat 2) dipidana dengan pidanakurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyakRp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). (Pasal 41C ayat 3).

9. Sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan sehinggamenimbulkan kerugian kepada negara dipidana dengan pidanakurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyakRp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (Pasal41C ayat 4).

10. Tindak pidana dengan sengaja menghalangi atau mempersulitpenyidikan tindak pidana di bidang perpajakan (Pasal 41B).

11. Perluasan subjek hukum:

a. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal39A, berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak,atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut sertamelakukan, yang menganjurkan, atau yang membantumelakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

b. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A dan Pasal41B berlaku juga bagi yang menyuruh melakukan, yang

Pengaturan Hukum Pidana di Bidang Perpajakan dan Hubungannya...

Page 72: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

56

Vol. 8 No. 1 - April 2011

menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindakpidana di bidang perpajakan.

Dari semua ketentuan undang-undang di bidang perpajakan yangmenjadi subjek hukum tindak pidana di bidang perpajakan adalah

a. Wajib Pajakb. Pejabat pajak (fiskus)c. Pihak ketiga, yang bukan wajib pajak dan bukan pejabat pajak.

B.5 Kedudukan Sanksi Pidana UmumPerbuatan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan

di bidang pajak yang termasuk tindak pidana adalah tindak pidana dibidang perpajakan. Sesuai dengan karakteristik hukum perpajakan,tindak pidana perpajakan dikenal sebagai tindak pidana administrasidi bidang perpajakan dan menjadi domain hukum perpajakan.

Prinsip dasar penyelesaian perkara pelanggaran terhadap peraturanperundang-undangan di bidang perpajakan diselesaikan melaluimekanisme penyelesaian perkara dalam bidang perpajakan, baikpenyelesaian secara hukum administrasi maupun melalui proseshukum pidana, yaitu tindak pidana di bidang perpajakan yang termasukkategori tindak pidana di bidang administrasi (dependent crimes).Bagaimana jika dalam pelanggaran terhadap undang-undang di bidangperpajakan ditengarai adanya pelanggaran terhadap undang-undang lainyang termasuk kategori tindak pidana umum atau tindak pidana khusus?

Pelanggaran hukum yang termasuk tindak pidana di bidangperpajakan acapkali bersinggungan dengan pelanggaran bidang hukumlain yang termasuk kategori tindak pidana kejahatan, baik sebagaibentuk persiapan melakukan tindak pidana di bidang perpajakan,mempermudah atau memperlancar tindak pidana dalam bidangperpajakan, maupun sebagai usaha untuk menyelamatkan ataumempertahankan hasil (harta kekayaan) dari tindak pidana di bidangperpajakan. Tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana dibidang perpajakan tersebut tidak termasuk sebagai tindak pidana dibidang perpajakan, melainkan sebagai tindak pidana yang berhubunganatau berkaitan dengan tindak pidana perpajakan. Beberapa tindak pidanayang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan antara lain:

a. Tindak pidana yang dimuat dalam KUHP:

1. Tindak pidana memberikan keterangan palsu di atas sumpah(Pasal 242 KUHP).

Page 73: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

57

2. Tindak pidana pemalsuan Meterai (Pasal 253 KUHP).3. Tindak pidana pemalsuan Surat (Pasal 263 KUHP). 4. Tindak pidana membuka Rahasia (Pasal 322 KUHP).5. Tindak pidana penggelapan (Pasal 372 KUHP).6. Tindak pidana melakukan tipu muslihat (Pasal 387 KUHP)

b. Tindak pidana yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:

1. Tindak pidana suap kepada penyelenggara negara ataupegawai negeri dan penyelenggara negara atau pegawai negeriyang menerima suap (Pasal 5)

2. Tindak pidana suap kepada hakim dan hakim yang menerimasuap (Pasal 6)

3. Tindak pidana pegawai negeri atau orang selain pegawai negeriyang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umummenggelapkan uang atau surat berharga yang disimpankarena jabatannya (Pasal 8).

4. Tindak pidana pegawai negeri atau orang selain pegawai negeriyang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum memalsubuku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaanadministrasi (Pasal 9).

5. Tindak pidana pegawai negeri atau orang selain pegawai negeriyang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umummenggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuattidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yangdigunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di mukapejabat yang berwenang (Pasal 10 huruf a).

6. Tidnak pidana pegawai negeri atau orang selain pegawai negeriyang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umummembiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan,merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta,surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan ataumembuktikan di muka pejabat yang berwenang (Pasal 10huruf b).

7. Tindak pidana pegawai negeri atau orang selain pegawai negeriyang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umummembantu orang lain menghilangkan, menghancurkan,merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta,

Pengaturan Hukum Pidana di Bidang Perpajakan dan Hubungannya...

Page 74: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

58

Vol. 8 No. 1 - April 2011

surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan ataumembuktikan di muka pejabat yang berwenang (Pasal 10huruf c).

8. Tindak pidana pegawai negeri atau penyelenggara negara yangmenerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patutdiduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karenakekuasaan atau kewenangan yang berhubungan denganjabatannya, atau yang menurut pikiran orang yangmemberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan denganjabatannya (Pasal 11)

9. Tindak pidana pegawai negeri atau penyelenggara negara yangmenerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patutdiduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untukmenggerakkan agar melakukan atau tidak melakukansesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengankewajibannya (Pasal 12 huruf a)

10. Tindak pidana pegawai negeri atau penyelenggara negara yangmenerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwahadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkankarena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatudalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya(Pasal 12 huruf b)

11. Tindak pidana hakim yang menerima hadiah atau janji,padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janjitersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkarayang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 12 huruf c)

12. Tindak pidana seseorang yang menurut ketentuan peraturanperundang-undangan ditentukan menjadi advokat untukmenghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji,padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janjitersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yangakan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkankepada pengadilan untuk diadili (Pasal 12 huruf d)

13. Tindak pidana pegawai negeri atau penyelenggara negara yangdengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lainsecara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakankekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu,membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan,

Page 75: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

59

atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri (Pasal12 huruf e)

14. Tindak pidana pegawai negeri atau penyelenggara negaradianggap pemberian suap, apabila berhubungan denganjabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atautugasnya yang tidak melaporkan kepada KomisiPemberantasan Korupsi (Pasal 12B).

15. Tindak pidana secara melawan hukum melakukan perbuatanmemperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasiyang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomianNegara (Pasal 2 ayat 1)

16. Tindak pidana dengan tujuan menguntungkan diri sendiriatau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakankewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanyakarena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikankeuangan negara atau perekonomian Negara (Pasal 3).

c. Tindak pidana yang dimuat dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak PidanaPencucian Uang:

1. Tindak pidana menempatkan, mentransfer, mengalihkan,membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan,membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkandengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lainatas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganyamerupakan hasil tindak pidana di bidang Perpajakan (Pasal3).

2. Tindak pidana menyembunyikan atau menyamarkan asalusul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, ataukepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yangdiketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindakpidana di bidang perpajakan (Pasal 4)

3. Tindak pidana menerima atau menguasai penempatan,pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan,penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yangdiketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindakpidana di bidang perpajakan (Pasal 5 ayat 1)

Dalam penerapan tindak pidana umum atau tindak pidana khususyang terkait dengan tindak pidana perpajakan, perlu dilakukan secara

Pengaturan Hukum Pidana di Bidang Perpajakan dan Hubungannya...

Page 76: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

60

Vol. 8 No. 1 - April 2011

cermat dan hati-hati, mengingat dalam perbuatan pelanggaran tindakpidana di bidang perpajakan hampir selalu terkait dan tercakup rumusantindak pidana lain yang bersifat tindak pidana umum atau tindak pidanakhusus, tetapi penyelesaiannya dilakukan dengan menggunakan dasarhukum Undang-Undang Perpajakan. Norma tindak pidana di bidangperpajakan terdapat duplikasi (tercakup) pengaturannya dalam tindakpidana dimuat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan undang-undang lain, maka sesuai dengan asas-asas hukum pidana dan asaspenegakan hukum pidana, maka pelanggaran tersebut dikenakan tindakpidana di bidang perpajakan, karena sifat dari undang-undang tindakpidana yang khusus di bidang perpajakan dan kekhususan perbuatanpidana di bidang perpajakan.

Atas dasar pertimbangan tersebut, penggunaan tindak pidana umumdalam KUHP dan tindak pidana khusus ditujukan kepada tindak pidanayang terjadi yang tidak termasuk tindak pidana di bidang perpajakandan tidak tercakup ke dalam tindak pidana di bidang perpajakan. Adapuntindak pidana yang dapat dikenakan tindak pidana umum atau tindakpidana khusus yang terkait dengan perpajakan adalah tindak pidanayang dilakukan oleh Wajib Pajak, petugas pajak, atau pihak ketigaterkait yang dilakukan sebelum, pada saat, dan setelah terjadinya tindakpidana di bidang perpajakan yang dilakukan sebagai perbuatanpersiapan, mempermudah atau memperlancar, atau menyembunyikanatau mempertahankan hasil tindak pidana perpajakan.

B.6 Tindak pidana korupsi yang terkait dengan tindak pidana dibidang perpajakan.Dalam Undang-Undang Tindak Pidana di bidang Perpajakan secara

tegas menyatakan bahwa tindak pidana di bidang perpajakan adalah“dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara” yang maknanyaadalah tercakup dalam pengertian “dapat merugikan keuangan negaraatau perekonomian negara”. Sementara tindak pidana korupsisebagaimana yang dimuat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 juga

Page 77: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

61

merumuskan timbulnya akibat yaitu “dapat merugikan keuangannegara atau perekonomian negara”.

Jika keduanya sama-sama mengatur tentang tindak pidana yang“dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara” atau “dapatmerugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, maka sesuaidengan asas penerapan hukum pidana terhadap undang-undang yangmengatur tindak pidana dengan objek yang sama, diberlakukan hukumyang secara khusus mengatur materi tindak pidana tersebut. Oleh sebabitu, keuangan negara yang menjadi objek tindak pidana di bidangperpajakan adalah keuangan dalam bidang perpajakan, makadiberlakukan tindak pidana di bidang perpajakan. Adapun keuangannegara yang bersumber dari dana pajak yang telah masuk ke dalaminventaris keuangan negara (APBN/APBD) adalah keuangan negara(berarti sudah tidak ada sengketa pajak lagi), maka keuangan negaratersebut sudah tidak lagi menjadi domain dalam tindak pidanaperpajakan. Jadi, keuangan negara tersebut menjadi domain hukumpidana lain, misalnya tindak pidana KUHP dan tindak pidana khususlainnya sesuai dengan jenis dan bentuk tindak pidananya.

Terhadap keuangan negara yang sudah dibayarkan oleh Wajib Pajakdan sudah keluar dari inventaris Wajib Pajak yang bersangkutan, tetapitidak masuk ke dalam kas atau daftar inventaris keuangan negara,karena terjadi penyalahgunaan oleh Wajib Pajak (oknum pribadi atauoknum pejabat pada korporasi) atau oleh oknum pejabat pada kantorpajak yang mengakibatkan setoran pajak dari wajib pajak tidakdibayarkan sebagian atau seluruhnya ke kas atau inventaris Negara.Mengenai hal ini menurut penulis, tidak lagi menjadi domain hukumperpajakan saja, tetapi juga menjadi domain hukum pidana lain, baikyang bersifat umum maupun yang khusus. Atas dasar pemikiran tersebut,tindak pidana terhadap keuangan negara yang sudah dibayarkan olehWajib Pajak dan tidak dibayarkan seluruhnya atau sebagian tersebutdapat dikualifikasikan sebagai pengertian “kerugian keuangan negara”sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3.

Sehubungan dengan hal tersebut, dengan menggunakan argumenhukum sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 14dikutip selengkapnya:

Pasal 14

Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang

Pengaturan Hukum Pidana di Bidang Perpajakan dan Hubungannya...

Page 78: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

62

Vol. 8 No. 1 - April 2011

secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuanUndang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlakuketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.

Berdasarkan ketentuan Pasal 14 tersebut untuk menunjukkanperluasan cakupan tindak pidana korupsi dipersyaratkan adanyaketentuan yang menyatakan bahwa “pelanggaran terhadap ketentuanUndang-Undang ini sebagai tindak pidana korupsi” sebagaimanadimaksud dalam Pasal 14. Secara acontrario, tindak pidana yang diaturdalam undang-undang lain tidak dapat menjadi tindak pidana korupsiapabila dalam undang-undang tersebut tidak mencantumkan ketentuanyang menyatakan bahwa “pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi”, sebagaimana dimaksuddalam Pasal 14. Pemberlakuan Pasal 14 tersebut adalah baik hukumpidana materiil maupun hukum pidana formil tindak pidana korupsi.

Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telahdiubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang KetentuanUmum dan Tata Cara Perpajakan dimuat ketentuan yang isinya samadengan materi yang dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitudimuat dalam Pasal 43A, dikutip selengkapnya:

Pasal 43A

(1) Direktur Jenderal Pajak berdasarkan informasi, data, laporan,dan pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan buktipermulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan.

(2) Dalam hal terdapat indikasi tindak pidana di bidangperpajakan yang menyangkut petugas Direktorat JenderalPajak, Menteri Keuangan dapat menugasi unit pemeriksainternal di lingkungan Departemen Keuangan untukmelakukan pemeriksaan bukti permulaan.

(3) Apabila dari bukti permulaan ditemukan unsur tindak pidanakorupsi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang tersangkutwajib diproses menurut ketentuan hukum Tindak PidanaKorupsi.

(4) Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana dibidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan

Page 79: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

63

ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan MenteriKeuangan.

Ketentuan tersebut memuat prosedur pemeriksaan tindak pidanaperpajakan yang pelakunya adalah petugas pada Direktorat JenderalPajak terdapat indikasi tindak pidana korupsi dilakukan sebagai berikut:

1. Berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan, DirekturJenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan buktipermulaan sebelum dilakukan penyidikan terhadap tindak pidanadi bidang perpajakan.

2. Jika terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan yangdilakukan petugas Direktorat Jenderal Pajak, Menteri Keuangandapat menugasi unit pemeriksa internal di lingkunganKementerian Keuangan untuk melakukan pemeriksaan buktipermulaan.

3. Berdasarkan bukti permulaan tersebut ditemukan unsur tindakpidana korupsi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang tersangkutwajib diproses menurut ketentuan Undang-Undang tentangPemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4. Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidangperpajakan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan MenteriKeuangan

Apakah yang dimaksud dengan pengertian “wajib diproses menurutketentuan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi”? Apakah ketentuan Pasal 43A ayat (3) tersebut adalah rumusansebagaimana dimaksud dalam Pasal 14? Rumusan tersebut bukanrumusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, karena isi dariketentuan Pasal 43A ayat (3) tersebut hanya mengatur, apabila dalampemeriksaan permulaan terdapat indikasi unsur tindak pidana korupsi,maka wajib diproses menurut ketentuan hukum tindak pidana korupsi.Pemeriksaan terhadap dugaan terjadinya tindak pidana korupsi diprosesoleh aparat penegak hukum yang memiliki kompetensi melakukanpenyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi (polisi, Jaksa danKPK), sedangkan unit pemeriksa internal di lingkungan KementerianKeuangan untuk melakukan pemeriksaan bukti permulaan tidakberkompeten untuk memeriksa lebih lanjut tindak pidana korupsi. Jaditindak pidana korupsi tersebut tidak termasuk sebagai tindak pidana dibidang perpajakan yang termasuk sebagai tindak pidana korupsi (Pasal14), melainkan tindak korupsi yang dilakukan oleh petugas Direktorat

Pengaturan Hukum Pidana di Bidang Perpajakan dan Hubungannya...

Page 80: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

64

Vol. 8 No. 1 - April 2011

Jenderal Perpajakan yang bersifat berdiri sendiri. Hal yang sama jikaditemukan adanya dugaan terjadinya tindak pidana lain yang termasuktindak pidana umum yang diatur dalam Kitab Undang-Undang HukumPidana.

B.7 Tindak Pidana Pencucian Uang yang Terkait dengan TindakPidana PerpajakanBerbeda dengan tindak pidana korupsi dan tindak pidana umum,

tindak pidana pencucian uang yang terkait dengan tindak pidanaperpajakan terjadi setelah adanya tindak pidana di bidang perpajakanatau setelah adanya dugaan terjadinya tindak pidana di bidangperpajakan oleh pelaku Wajib Pajak atau korporasi, petugas/pejabatDirektorat Jenderal Pajak, dan pihak ketiga yang bukan Wajib Pajakdan bukan pejabat pajak.

Tindak pidana pencucian uang terkait dengan dana pajak yangbersumber dari Wajib Pajak yang wajib disetorkan ke kas negara. Potensiterjadinya tindak pidana pencucian uang dalam kaitannya dengan tindakpidana di bidang perpajakan adalah Wajib Pajak (individu atau korporasi)yang tidak mememuhi kewajibannya untuk membayar pajak atau pajakterutang, kemudian dana tersebut dialihkan atau disembunyikannya,sehingga Wajib Pajak tidak memenuhi kewajibannya. Dapat pula terjadiPetugas/pejabat pajak yang bekerja sama dengan Wajib Pajak yangmenyalahgunakan wewenangnya (atau melakuan perbuatan melawanhukum) yang mengurangi jumlah pajak yang menjadi kewajiban wajibpajak dan dana tersebut kemudian dialihkan atau disembunyikannya.Dapat juga terjadi petugas/pejabat pajak yang tidak menyetorkan danapajak yang bersumber dari Wajib Pajak ke dalam kas atau inventarisnegara, kemudian mengalihkan atau menyembunyikannya. Tindakpidana pidana pencucian uang adalah perbuatan menempatkan,mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan,menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubahbentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atauperbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patutdiduganya merupakan hasil tindak pidana di bidang perpajakan (Pasal3) atau menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi,peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnyaatas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakanhasil tindak pidana di bidang perpajakan (Pasal 4).

Page 81: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

65

C. Pengaturan Hubungan Antara Tindak Pidana di BidangPerpajakan Dengan Tindak Pidana Umum atau Tindak PidanaKhususPelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang

perpajakan yang termasuk kategori tindak pidana pajak telahmelahirkan kontroversi, terutama mengenai pelanggaran hukum pajakdengan sanksi pidana administrasi di bidang pajak dengan penggunaanhukum pidana umum atau hukum pidana khusus terhadap perbuatanpidana yang terkait dengan pajak. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal,yaitu:

1. Terkait dengan kewenangan dalam melakukan penyidikan antaratindak pidana di bidang perpajakan yang bercorak administratifdengan tindak pidana umum dan tindak pidana khusus yangmerupakan tindak pidana murni (generic crimes). Jika tindak pidanadi bidang perpajakan dipergunakan dengan hukum pidana umumatau hukum pidana khusus, bertentangan dengan corak hukumpidana perpajakan yang termasuk hukum pidana administrasi.

2. Terkait dasar hukum pengenaan sanksi pidana yaitu tindak pidanaadministrasi di bidang perpajakan yang bersumber dari Undang-Undang Pajak yang termasuk sebagai hukum administrasi dansanksi pidana di bidang hukum administrasi (dependent crimes),sedangkan tindak pidana umum dan khusus yang diatur dalamundang-undang yang mengatur hukum pidana umum dan hukumpidana khusus yang bercorak kejahatan yang bersifat independen(independent crimes). Atas dasar corak hukum perpajakan tersebut,maka dugaan terjadinya tidak pidana perpajakan dapat diselesaikanmelalui mekanisme administrasi, yaitu membayar kewajibanpajak yang terutang beserta dendanya dapat dijadikan alasan untuktidak melanjutkan perkara pidana.

3. Pelanggar tindak pidana di bidang perpajakan dilakukan oleh WajibPajak, petugas/pejabat pada Direktorat Jenderal Pajak, atau pihakketiga, sedangkan penyidikan dugaan terjadinya tindak pidana dibidang pajak hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai NegeriSipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberiwewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidangperpajakan. Sejak dimulainya penyidikan, memberitahukankepada penuntut dan menyampaikan hasil penyidikannya kepadapenuntut umum melalui penyidik pejabat Kepolisian NegaraRepublik Indonesia. Tidak dijelaskan mengenai kewenangan polisi

Pengaturan Hukum Pidana di Bidang Perpajakan dan Hubungannya...

Page 82: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

66

Vol. 8 No. 1 - April 2011

terhadap hasil penyidikan yang dilakukan oleh Pejabat PegawaiNegeri Sipil, apakah polisi memiliki wewenang untuk melakukanpenyidikan lanjutan atau cukup memeriksa dan jika kuranglengkap memberi petunjuk agar dilengkapi, atau cukup sebagaipintu masuk secara prosedural, tetapi tidak memiliki wewenangapapun terhadap hasil penyidikan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipiltersebut. Meskipun demikian, jika penyidik Pejabat Pegawai NegeriSipil di bidang perpajakan tersebut menemukan indikasi dugaanterjadinya tindak pidana umum yang dilakukan oleh Wajib Pajak,dapat menyerahkan wewenang penyidikannya kepada polisi ataupenyidik lain yang berkompeten.

Jika terdapat adanya indikasi tindak pidana yang dilakukanoleh petugas/pejabat pada Direktorat Jenderal Pajak, MenteriKeuangan dapat menugasi unit pemeriksa internal di lingkunganKementerian Keuangan untuk melakukan pemeriksaan buktipermulaan.

Proses pemeriksaan yang dilakukan oleh pemeriksa internaldi lingkungan Kementerian Keuangan terhadap indikasi tindakpidana dilakukan oleh petugas/pejabat pada Direktorat JenderalPajak tersebut dimaksudkan untuk memastikan tentangkebenaran atau ketidakbenaran indikasi tindak pidana. Hasilnya,jika benar ada indikasi tindak pidana, perkara diserahkan kepadapenyidik lain yang berkompeten untuk melakukan penyidikan danpenuntutan terhadap tindak pidana tersebut.

Ketentuan tersebut menyisakan keraguan terhadappemberian wewenang khusus terhadap unit pemeriksa internal dilingkungan Kementerian Keuangan untuk melakukanpemeriksaan terhadap bukti permulaan. Justru pada bagian inimenjadi titik rawan terhadap kemungkinan terjadinyapenyalahgunaan wewenang dan independensinya, karena orangyang hendak diperiksa adalah teman sejawat.

4. Dana yang bersumber dari wajib pajak adalah dana yang termasukkategori keuangan negara atau dana pendapatan keuangan negaradan tindak pidana terhadapnya dipastikan dapat merugikankeuangan negara, sedangkan tindak pidana yang dapat merugikankeuangan negara masuk sebagai unsur tindak pidana korupsi,tetapi dasar hukum pengenaan tindak pidana korupsi tidak adacantolannya dalam Undang-Undang di bidang perpajakan. Ada duakemungkinan di masa datang:

Page 83: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

67

a. Tindak pidana korupsi berkaitan dengan tindak pidana dibidang perpajakan adalah masing-masing berdiri sendiri dantidak saling berkaitan, sebagaimana dimuat dalam Pasal 43Aayat (3); atau

b. Tindak pidana korupsi berkaitan dengan tindak pidana dibidang perpajakan dan dalam Undang-Undang Perpajakanmemuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telahdiubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentangPemberantasan Tindak Pidana Korupsi., sehingga ada tindakpidana di bidang perpajakan yang diperiksa berdasarkanhukum perpajakan menjadi kompetensi dari Pejabat PegawaiNegeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajakdan ada tindak pidana perpajakan yang termasuk tindakpidana korupsi.

D. Kesimpulan1. Tindak pidana di bidang perpajakan adalah termasuk tindak pidana

di bidang hukum administrasi (administrative criminal law ataudependent crimes) yang dikenal sederhana dan lentur dalampenegakan hukumnya, sepanjang tujuan dari hukum tersebuttercapai, yaitu wajib pajak mau membayar pajak sesuai dengankewajibannya.

2. Sebagai corak hukum administrasi dan tindak pidana administrasi(yang dikriminalisasi), maka penggunaan hukum pidana pidanaumum atau hukum pidana khusus terhadap tindak pidana di bidangperpajakan adalah tidak tepat dan dapat menimbulkan problemhukum dan keadilan. Oleh sebab itu, tindak pidana umum atautindak pidana khusus yang berkaitan dengan terjadinya tindakpidana perpajakan adalah berdiri sendiri. Kecuali jika di masa datangdiadakan perubahan bahwa tindak pidana di bidang perpajakanadalah tindak pidana umum yang bersifat kejahatan atauindependen (independent crimes atau generies crimes) seperti halnyatindak pidana yang dimuat dalam KUHP.

3. Penerapan tindak pidana umum atau tindak pidana khusus (tindakkorupsi) yang terkait dengan tindak pidana di bidang perpajakanadalah berdiri sendiri, artinya adanya indikasi terjadinya tindakpidana umum atau tindak pidana khusus (korupsi atau pencucianuang) dalam proses pengurusan perpajakan atau dalam tindak

Pengaturan Hukum Pidana di Bidang Perpajakan dan Hubungannya...

Page 84: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

68

Vol. 8 No. 1 - April 2011

pidana di bidang perpajakan baik sebagai perbuatan persiapan,mempermudah/memperlancar, atau menyembunyikan ataumempertahankan hasil tindak pidana di bidang perpajakan.Wewenang penyidikan terhadap tindak pidana umum dan tindakkhusus di bidang perpajakan tersebut adalah polisi, jaksa, dankomisi pemberantasan tindak pidana korupsi.

4. Jika dalam perkembangan di masa yang akan datang hendakbermaksud mengubah tindak pidana perpajakan sebagai tindakumum yang masuk sebagai kejahatan yang bersifat independen(independent crimes), sebaiknya perlu dilakukan secara hati-hatidan dipikirkan secara cermat, mungkin dapat meningkatkanpendapatan negara dari sektor pajak secara efektif dan efisien,tetapi dapat menggangu aspek keadilan hukum bagi wajib pajakdan sekaligus hak hukum Wajib Pajak (masyarakat) secarakeseluruhan. Hal ini disebabkan penggunaan dana yang bersumberdari dana Wajib Pajak tidak efektif dan efisien untuk mencapaitujuan pembangun yang dicitakan, bahkan ada yangdiselewenagkan atau disalahgunakan untuk kepentingan lain yangbertentangan dengan tujuan dari pembangunan itu sendiri.Semestinya, yang menjadi prioritas adalah penegakan hukumterhadap penyalahgunakan dana pajak atau penggunaan dana yangbersumber dari pajak yang penggunaannya tidak efektif dan efisiendalam rangka mencapai tujuan pembangunan.

Page 85: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

69

EPISTEMOLOGI PAJAK, PERSPEKTIF HUKUM TATA NEGARATAXES EPISTEMOLOGY, CONSTITUTIONAL LAW PERSPECTIVE

A. Ahsin Thohari*

(Naskah diterima 9/3/2011, disetujui 30/3/2011)

AbstrakBentangan sejarah perpajakan di dunia ini menghampar dari zaman piramidadi Mesir (3000 SM-2800 SM), Persia (500 SM), Babilonia (612 SM-539 SM),Romawi (27 SM-476 SM), India (500 SM-550 SM), Arab (abad ke-11), hinggazaman jejaring pertemanan di situs jaringan internet yang tercipta di abadinformasi ini dengan dengan segenap aspek dinamika, sofistikasi, danpenyesuaian-penyesuain terhadap konteks zaman yang melingkupinya. Akantetapi, sejarah perpajakan menemukan momentum politiknya dan kemudianmenjadi wacana dunia pada saat pemerintahan kolonial Inggris secarasewenang-wenang memberlakukan pajak di negara jajahannya, yaitu AmerikaSerikat. “No taxation without representation” (tiada pemungutan pajak tanpaperwakilan), demikian slogan yang pernah populer di 13 (tiga belas) koloni Inggrispada 1750-1760 yang merupakan salah satu penyebab utama Revolusi Amerikadengan menentang kekuasaan Raja George III. Kurangnya perwakilan langsunguntuk koloni-koloni di Parlemen Inggris dianggap sebagai sebuah tindakanilegal dan bagian dari tindakan pengingkaran atas hak-hak mereka sebagaibagian dari orang Inggris (rights of Englishment), sehingga pemerintah kolonialtidak berwenang memungut pajak dari rakyat dalam bentuk apa pun juga. Slo-gan rekaan Jonathan Mayhew itu dipertajam oleh James Otis dengan kalimatyang lebih provokatif, “Taxation without representation is tyranny” (pemungutanpajak tanpa perwakilan adalah tirani). Singkatnya, pemungutan pajak olehpemerintah tanpa ditetapkan oleh lembaga perwakilan adalah sebentukkekuasaan yang menindas (oppressive power). Dalam konteks Indonesia, pajakmerupakan kristalisasi dari iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secaralangsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untukmenutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapaikesejahteraan umum. Akan tetapi, dengan banyaknya karut-marut perpajakandewasa ini, epistemologi pajak semacam ini terasa jauh.Kata kunci: Hukum Tata Negara, Pajak

AbstractSpan of the history of taxation in this world extend from the time of the pyramids inEgypt (3000 BC-2800 BC), Persian (500 BC), Babylon (612 BC-539 BC), Roman (27BC-476 BC), India (500 BC-550 BC), Arabic (11th century), until the time of socialnetworking wibesites are created in this information age with all aspects of the

* Bekerja di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak AsasiManusia Republik Indonesia; Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta; dan Penulis bukuKomisi Yudisial & Reformasi Peradilan (Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat/ELSAM, 2004).*

Page 86: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

70

Vol. 8 No. 1 - April 2011

dynamics, sophistication, and the adjustments to the surrounding context. However,the history of taxation finds political momentum, and then into the world of discourse,during British colonial rule arbitrarily impose taxes in the country towns, namely theUnited States. “No taxation without representation”, according to the ever popularslogan in the 13 (thirteen) British colony in 1750-1760 which is one of the maincauses of the American Revolution to resist the reign of King George III. The lack ofdirect representation for the colonists in the distant British Parliament is consideredas an illegal act and part of the act of denial of their rights as part of the rights ofEnglishmen), so the colonial government was not authorized to collect taxes frompeople in the all form. The slogan created by Jonathan Mayhew was sharpened byJames Otis with a more provocative phrase, “Taxation without representation is tyranny”.In short, tax collection by the government without determined by representativeinstitutions is a form of oppressive power. In Indonesian context, the tax is thecrystallization of people’s contributions to the state treasury under the laws enforced,with no direct remuneration. Tax authorities levied based on legal norms to cover thecost of production of goods and services collectively to achieve common prosperity.However, with so many tax chaos today, this kind of tax epistemology seemed distant.Keyword: Taxes, Constitutional Law

A. PendahuluanBentangan sejarah perpajakan di dunia ini menghampar dari

zaman piramida di Mesir (3000 SM-2800 SM), Persia (500 SM), Babilonia(612 SM-539 SM), Romawi (27 SM-476 SM), India (500 SM-550 SM), Arab(abad ke-11), hingga zaman jejaring pertemanan di situs jaringaninternet yang tercipta di abad informasi ini dengan dengan segenap aspekdinamika, sofistikasi, dan penyesuaian-penyesuain terhadap kontekszaman yang melingkupinya.

Akan tetapi, sejarah perpajakan menemukan momentumpolitiknya dan kemudian menjadi wacana dunia pada saat pemerintahankolonial Inggris secara sewenang-wenang memberlakukan pajak dinegara jajahannya, yaitu Amerika Serikat. “No taxation withoutrepresentation” (tiada pemungutan pajak tanpa perwakilan), demikianslogan yang pernah populer di 13 (tiga belas) koloni Inggris pada 1750-1760 yang merupakan salah satu penyebab utama Revolusi Amerikadengan menentang kekuasaan Raja George III. Kurangnya perwakilanlangsung untuk koloni-koloni di Parlemen Inggris (Jauh) dianggap sebagaisebuah tindakan ilegal dan bagian dari tindakan pengingkaran atas hak-hak mereka sebagai bagian dari orang Inggris (rights of Englishment),sehingga pemerintah kolonial tidak berwenang memungut pajak darirakyat dalam bentuk apa pun juga. Slogan rekaan Jonathan Mayhew itudipertajam oleh James Otis dengan kalimat yang lebih provokatif,“Taxation without representation is tyranny” (pemungutan pajak tanpaperwakilan adalah tirani). Singkatnya, pemungutan pajak oleh

Page 87: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

71

pemerintah tanpa ditetapkan oleh lembaga perwakilan adalah sebentukkekuasaan yang menindas (oppressive power).1

Oleh karena itu, setiap pajak yang ditetapkan oleh pemerintahselalu didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Ini bisa dilihatdari definisi umum istilah pajak. Kata pajak merupakan terjemahandari kata Inggris to tax atau Latin taxo yang berarti I estimate (sayamengira). To tax diartikan sebagai to impose a financial charge or otherlevy upon a taxpayer (an individual or legal entity) by a state or the functionalequivalent of a state such that failure to pay is punishable by law. Definisiumum pajak adalah pengenaan biaya keuangan atau pungutan lainnyapada seorang wajib pajak (orang perseorangan atau badan hukum) olehnegara dan pelanggaran terhadapnya dapat dikenakan pidana. Rumusanlain menyatakan bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada kas negaraberdasarkan undang-undang —sehingga dapat dipaksakan— dengantidak mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasaberdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menutup biaya produksibarang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.

B. Pajak dan Kesejahteraan UmumStudi mengenai sosiologi fiskal selalu menggambarkan bahwa pajak

merupakan sesuatu yang sentral dalam membangun negara (taxationwas central to state-building).2 Soeparman Soemahamidjajamenggarisbawahi bahwa pajak merupakan iuran wajib, berupa uangatau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-normahukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasakolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.3

Menurutnya, terdapat beberapa teori yang mendasari adanyapemungutan pajak, yaitu teori asuransi, yang mengandaikan negaramempunyai tugas untuk melindungi warganya dan segalakepentingannya baik keselamatan jiwanya maupun keselamatan hartabendanya. Untuk perlindungan tersebut diperlukan biaya sepertilayaknya dalam perjanjian asuransi diperlukan adanya pembayaranpremi. Pembayaran pajak ini dianggap sebagai pembayaran premi kepadanegara. Teori ini banyak ditentang karena negara tidak boleh disamakandengan perusahaan asuransi. Kedua, teori kepentingan yang

1 Tentang hal ini lihat misalnya Daniel A. Smith, Tax Crusaders and The Politics of Direct Democracy(New York: Routledge, 1998), hlm. 21-23.2 Michael L. Ross, Does Taxation Lead to Representation? (Cambridge: Cambridge University Press,2004), hlm. 231.3 R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Bandung: Refika Aditama, 1998), hlm. 5.

Epistemologi Pajak, Perspektif Hukum Tata Negara

Page 88: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

72

Vol. 8 No. 1 - April 2011

mengandaikan dasar pemungutan pajak adalah adanya kepentingan darimasing-masing warga negara. Termasuk kepentingan dalamperlindungan jiwa dan harta. Semakin tinggi tingkat kepentinganperlindungan, maka semakin tinggi pula pajak yang harus dibayarkan.Teori ini banyak ditentang, karena pada kenyataannya bahwa tingkatkepentingan perlindungan orang miskin lebih tinggi daripada orang kaya.Ada perlindungan jaminan sosial, kesehatan, dan lain-lain. Bahkanorang yang miskin justru dibebaskan dari beban pajak.

Kembali ke persoalan perwakilan. Begitu pentingnya perwakilandalam keabsahan pajak untuk suatu negara, Bagian 8 KonstitusiAmerika Serikat menegaskan bahwa “The Congress shall have power tolay and collect taxes, duties, imposts and excises, to pay the debts and providefor the common Defence and general Welfare of the United States”. Ketentuanini diperkuat oleh Amandemen ke-16 Konstitusi Amerika Serikat yangdengan tegas menyatakan bahwa “The Congress shall have power to layand collect taxes on incomes, from whatever source derived, withoutapportionment among the several States, and without regard to any censusor enumeration.” Pasal tersebut seperti memberikan konfirmasi bahwakekuasaan tertinggi untuk memungut pajak terletak di tangan Kongresdi mana pemungutan pajak ini selalu terkait dengan aspek yang sangatkrusial, yakni kesejahteraan masyarakat (social welfare).

Dalam konteks Indonesia, Pasal 3A Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “Pajak dan pungutan lain yangbersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.”Sebagai bentuk akomodasi atas maksim “tiada pemungutan pajak tanpaperwakilan”, Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak dan melakukan pengawasan ataspelaksanaan Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak (Pasal 22DPerubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945). Pajak yang ada di Indonesiamerupakan kristalisasi dari iuran rakyat kepada kas negaraberdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tiadamendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasaberdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksibarang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.

Sebagaimana dijelaskan halaman Wikipedia.org, ada berbagaimacam teori mengapa pajak harus ada dalam sebuah negara. P.J.A.Adriani, misalnya, menyatakan bahwa pajak adalah iuran masyarakatkepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajibmembayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang)dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk

Page 89: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

73

dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaranumum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.4

Dalam perspektif agak berbeda, Rochmat Soemitro menegaskanbahwa pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkanundang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasatimbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yangdigunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebutkemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalahperalihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayaipengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yangmerupakan sumber utama untuk membiayai public investment. 5

Sedangkan menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M.,dan Brock Horace R, pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektorswasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namunwajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu,tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintahdapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.6

Dari perspektif ekonomi pajak dipahami sebagai beralihnya sumberdaya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman inimemberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasimenjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalammenguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang danjasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalampenyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat.7

Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurutSoemitro merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanyaundang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negarauntuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara,negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebutdipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Pendekatanhukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harusberdasarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastianhukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajaksebagai pembayar pajak.8

4 Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak, diakses pada 7 Maret 2011.5 Ibid.6 Ibid.7 Ibid.8 Ibid.

Epistemologi Pajak, Perspektif Hukum Tata Negara

Page 90: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

74

Vol. 8 No. 1 - April 2011

Pada dasarnya fungsi pajak adalah sebagai sumber keuangannegara, namun ada fungsi lain yang juga penting, yaitu sumber keuangannegara (budgetair). Pemerintah memungut pajak sebagai sumberpenerimaan negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya baik bersifat rutin maupun pembangunan. Negaraseperti halnya rumah tangga yang memerlukan sumber-sumberkeuangan untuk membiayai kelanjutan hidupnya. Sebagai contoh,dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeridengan tujuan membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Selainitu, fungsi pengatur atau fungsi non-budgetair (regulerend) juga menjadisesuatu yang penting. Di samping usaha bahwa pajak sebagaipemasukan dana untuk kegunaan kas negara, pajak juga harusdimaksudkan sebagai usaha pemerintah yang merupakan alat untukmengatur, melaksanakan hukum di bidang sosial dan ekonomi sertasebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya diluar bidang keuangan, dan bilamana perlu pemerintah turut campurdalam mengatur serta mengubah susunan pendapatan dan kekayaandalam sektor swasta.9

Oleh karena itu, Pajak menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah“kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi ataubadan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidakmendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluannegara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

C. Kembali ke Asas Pemungutan PajakAsas pemungutan pajak sudah banyak dikemukakan oleh para ahli,

khususnya Adam Smith dalam magnum opus-nya, An Inquiry into the Natureand Causes of the Wealth of Nations atau yang biasa dikenal dengan TheWealth of Nations saja, yang secara khusus mengajarkan The FourMaxims (empat kaidah) pemungutan pajak yang berisi empat asaspenting. Pertama, equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atauasas keadilan) yang mengandaikan bahwa pemungutan pajak yangdilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan danpenghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatifterhadap wajib pajak. Kedua, certainty (asas kepastian hukum) yang

9 Achmad Tjahjono dan Muhammad Fakhri Husein, Perpajakan, (Yogyakarta: YKPN, 2000), hlm. 4-6.

Page 91: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

75

menentukan bahwa semua pungutan pajak harus berdasarkan undang-undang, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksihukum. Ketiga, convenience of payment (asas pemungutan pajak yangtepat waktu atau asas kesenangan), yang mengharuskan pajak harusdipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak (saat yang paling baik),misalnya di saat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah. Keempat, asas efficiency (asas efisienatau asas ekonomis), yang mewajibkan biaya pemungutan pajakdiusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutanpajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.10

Selain asas-asas tersebut, W.J. Langen juga memperkenalkan asaspemungutan pajak dalam perspektif yang agak berbeda. Pertama, asasdaya pikul, di mana besar kecilnya pajak yang dipungut harusberdasarkan besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggipenghasilan maka semakin tinggi pajak yang dibebankan. Kedua, asasmanfaat, di mana pajak yang dipungut oleh negara harus digunakanuntuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum.Ketiga, asas kesejahteraan, di mana pajak yang dipungut oleh negaradigunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Keempat, asaskesamaan, di mana dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yangsatu dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama(diperlakukan sama). Keempat, asas beban yang sekecil-kecilnya, dimana pemungutan pajak diusahakan sekecil-kecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandinglan sengan nilai obyek pajak, sehingga tidakmemberatkan para wajib pajak.11

Di sisi lain, Adolf Wagner mengemukakan asas-asas pemungutanpajak dalam angle yang agak berbeda. Pertama, asas politikfinansial yang menentukan bahwa pajak yang dipungut negarajumlahnya memadai sehingga dapat membiayai atau mendorong semuakegiatan negara. Kedua, asas ekonomi yang menentukan bahwapenentuan obyek pajak harus tepat, misalnya: pajak pendapatan, pajakbarang-barang mewah. Ketiga, asas keadilan yang menentukan bahwapemungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi dan untukkondisi yang sama diperlakukan sama pula. Keempat, asas administrasiyang menentukan bahwa pemungutan pajak harus dilakukan denganmempertimbangkan kepastian perpajakan (kapan dan di mana harusmembayar pajak), keluwesan penagihan (bagaimana cara

10 Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak, diakses pada 8 Maret 2011.11 Ibid.

Epistemologi Pajak, Perspektif Hukum Tata Negara

Page 92: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

76

Vol. 8 No. 1 - April 2011

membayarnya), dan besarnya biaya pajak. Keempat, asas yuridis yangmenentukan bahwa segala pemungutan pajak harus berdasarkanUndang-Undang.12

Aspek lain yang berkenaan dengan pemungutan pajak dan seringdigunakan oleh negara sebagai landasan untuk mengenakan pajakadalah asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence principle). Berdasarkan asas ini negara akan mengenakanpajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadiatau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan orang pribadi tersebutmerupakan penduduk (resident) atau berdomisili di negara itu atauapabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam kaitanini, tidak dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakanpajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini,sistem pengenaan pajak terhadap penduduk-nya menggabungkan asasdomisili (kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak ataspenghasilan, baik yang diperoleh di negara itu maupun penghasilan yangdiperoleh di luar negeri (world-wide income concept).13

Kedua, asas sumber. Negara yang menganut asas sumber akanmengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperolehorang pribadi atau badan hanya apabila penghasilan yang akan dikenakanpajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yangbersangkutan dari sumber-sumber yang berada di negara itu. Dalamasas ini, tidak menjadi persoalan mengenai siapa dan apa status dariorang atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yangmenjadi landasan pengenaan pajak adalah objek pajak yang timbul atauberasal dari negara itu. Contoh, bagi tenaga kerja asing bekerja diIndonesia, penghasilan yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajakoleh pemerintah Indonesia.14

Ketiga, asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut jugaasas kewarganegaraan (nationality/citizenship principle). Dalam asas ini,yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraandari orang atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan asasini, tidaklah menjadi persoalan dari mana penghasilan yang akandikenakan pajak berasal. Seperti halnya dalam asas domisili, sistempengenaan pajak berdasarkan asas nasionalitas ini dilakukan dengan

12 Ibid.13 Ibid.14 Ibid.

Page 93: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

77

cara menggabungkan asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajakatas world wide income.15

Keempat, terdapat beberapa perbedaan prinsipil antara asas domisiliatau kependudukan dan asas nasionalitas atau kewarganegaraan di satupihak, dengan asas sumber di pihak lainnya. Misalnya, pada kedua asasyang disebut pertama, kriteria yang dijadikan landasan kewenangannegara untuk mengenakan pajak adalah status subjek yang akandikenakan pajak, yaitu apakah yang bersangkutan berstatus sebagaipenduduk atau berdomisili (dalam asas domisili) atau berstatus sebagaiwarga negara (dalam asas nasionalitas). Di sini, asal muasal penghasilanyang menjadi objek pajak tidaklah begitu penting. Sementara itu, padaasas sumber, yang menjadi landasannya adalah status objeknya, yaituapakah objek yang akan dikenakan pajak bersumber dari negara ituatau tidak. Status dari orang atau badan yang memperoleh ataumenerima penghasilan tidak begitu penting. Selain itu, pada kedua asasyang disebut pertama, pajak akan dikenakan terhadap penghasilan yangdiperoleh di mana saja (world-wide income), sedangkan pada asas sumber,penghasilan yang dapat dikenakan pajak hanya terbatas padapenghasilan-penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber yang adadi negara yang bersangkutan.16

Kebanyakan negara tidak hanya mengadopsi salah satu asas saja,tetapi mengadopsi lebih dari satu asas, bisa gabungan asas domisilidengan asas sumber, gabungan asas nasionalitas dengan asas sumber,bahkan bisa gabungan ketiganya sekaligus. Dalam konteks Indonesia,dari ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 7Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-UndangNomor 10 Tahun 1994, khususnya yang mengatur mengenai subjekpajak dan objek pajak, dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganutasas domisili dan asas sumber sekaligus dalam sistem perpajakannya.Indonesia juga menganut asas kewarganegaraan yang parsial, yaitukhusus dalam ketentuan yang mengatur mengenai pengecualian subjekpajak untuk orang pribadi.17

Sebagai perbandingan, Jepang, misalnya, untuk individu yangmerupakan penduduk (resident individual) menggunakan asas domisili,yang berdasarkan asas ini seorang penduduk Jepang berkewajiban

15 Ibid.16 Ibid.17 Ibid.

Epistemologi Pajak, Perspektif Hukum Tata Negara

Page 94: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

78

Vol. 8 No. 1 - April 2011

membayar pajak penghasilan atas keseluruhan penghasilan yangdiperolehnya, baik yang diperoleh di Jepang maupun di luar Jepang.Sementara itu, untuk yang bukan penduduk (non-resident) Jepang, danbadan-badan usaha luar negeri berkewajiban untuk membayar pajakpenghasilan atas setiap penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumberdi Jepang. Sedangkan Australia, untuk semua badan usaha milik negaramaupun swasta yang berkedudukan di Australia, dikenakan pajak atasseluruh penghasilan yang diperoleh dari seluruh sumber penghasilan.Sementara itu, untuk badan usaha luar negeri, hanya dikenakan pajakatas penghasilan dari sumber yang ada di Australia.18

Beberapa aspek penting berkenaan dengan asas-asas dalampemungutan pajak di atas patut digelorakan kembali di tengah-tengahkrisis kredibilitas lembaga yang berwenang di bidang perpajakan akibatulah segilintir oknum dalam aktivitas mafia pajak yang terungkapbelakangan ini. Sebagai penutup, perlu dibangun kesadaran untukkembali menginsyafi bahwa pajak dipungut penguasa berdasarkannorma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang danjasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Epistemologi pajaksemacam ini patut menjadi benchmark kebijakan bagi siapa pun pihakyang dipercaya sebagai pengambil keputusan di bidang perpajakan.

DAFTAR PUSTAKA

Smith, Daniel A. Tax Crusaders and The Politics of Direct Democracy. NewYork: Routledge, 1998.

Ross, Michael L. Does Taxation Lead to Representation? Cambridge:Cambridge University Press, 2004.

Brotodihardjo, R. Santoso. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung: RefikaAditama, 1998.

wikipedia.org http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak, diakses pada 7 Maret2011.

Tjahjono Achmad, dan Muhammad Fakhri Husein. Perpajakan.Yogyakarta: YKPN, 2000.

16 Ibid.17 Ibid.18 Ibid.

Page 95: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

79

PEMERIKSAAN TERHADAP PAJAKSEBAGAI BAGIAN DARI RUANG LINGKUP KEUANGAN NEGARA

MENURUT TEORI HUKUM KEUANGAN PUBLIKTAX EXAMINATION AS A PART OF FINANCIAL

STATE BASED ON THE PUBLIC FINANCE THEORYDian Puji N. Simatupang*

(Naskah masuk 14/3/2011, disetujui 30/3/2011)

AbstrakPemeriksaan terhadap pengelolaan pajak di Indonesia hakikatnya terkait dengansistem pemungutan pajak yang bersifat self-assessment. Dengan sistem tersebut,menurut peraturan perundang-undangan perpajakan, wajib pajak menghitungdan menentukan nilai pembayaran pajaknya. Konsep self-assessmentmempengaruhi sistem pemeriksaan pengelolaan pajak oleh Badan PemeriksaKeuangan (BPK), di mana BPK tidak dapat masuk ke dalam ranah administrasinegara tersebut. Akan tetapi, dalam tanggung jawab pajak dan realisasi pajaksesuai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), semestinyaBPK memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan sekaligus mengaudituntuk tujuan tertentu jika kebijakan perpajakan cenderung mengarah padamoral hazzard yang berpotensi merugikan keuangan negara.Kata kunci : Pemeriksaan, Pengelolaan Pajak

AbstrakAudit for tax governance in Indonesia relating with self assesment system. BadanPemeriksa Keuangan (BPK) as the major duties of finansial audit institution can notsupervise and inspect to tax governance because as well as administration area.Furthemore, supervision tax governance as a authority by Finance Ministry and BadanPengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). But, for tax policy and rules orregulation strategies, BPK have a powerfull authority.Keyword: Audit, Tax Governance

A. PendahuluanDalam analisis ekonomi yang berbasiskan pada hukum,1 ada

beberapa aliran teori yang dapat dijadikan rujukan pembahasan

* Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia.1 Analisis ekonomi atas hukum (the economic analysis of Law) merupakan rekonstruksi perilakuekonomi yang didukung dengan ketentuan hukum. Pemahaman konsep analisis ekonomi atas hukumpada dasarnya mencerminkan teori yang memperkirakan dampak ketentuan hukum terhadap tindakanekonomi. Konsep tindakan ekonomi ini tidak hanya berada pada tataran mikro, tetapi makro sebagaimanatindakan ekonomi publik yang ditetapkan negara. Dengan kata lain, analisis ekonomi atas hukummerupakan standar hukum normatif untuk mengevaluasi suatu kebijakan atau hukum ekonomi yangditetapkan negara. Sebagai bahan diskusi dapat dibaca referensi Robert Cooter and Thomas Ulen, Lawand Economics (Masscahusetts: Addison-Wesley, 1997), hlm. 3-4.

Page 96: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

80

Vol. 8 No. 1 - April 2011

mengenai kewenangan lembaga pemeriksa negara terhadap pajaksebagai bagian dari ruang lingkup keuangan negara.2 Sementara dalamtelaah kultur filsafat hukum,3 pembahasan tersebut dapat diidentifikasisebagai diskursus antara postpragmatisme dan neo-konservatisme.Postpragmatisme4 memandang lembaga pemeriksa publik memilikikedudukan sebagai alat negara yang berwenang memeriksa uang publik5

yang telah dipungut negara terhadap rakyatnya, yang tercermin dalampelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negaranya. Namun, neo-konservatisme6 menelaah lembaga pemeriksa publik sebagai lembagayang harus mengaudit pungutan yang sedang, akan, dan telah dipungutnegara, dan telah dikatagorikan sebagai keuangan negara, termasukdi dalamnya pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa.

Di sisi lain, postpragmatisme memandang lembaga negara hanyamemeriksa tingkatan akhir dalam pemungutan pajak. Namun, neo-konservatisme menyatakan semua proses dalam pemungutan pajak harusdiperiksa oleh lembaga pemeriksa.

2 Lembaga pemeriksa keuangan negara di beberapa negara dikenal sebagai government accountingyang merupakan bagian integral dalam sistem pemerintahan negara yang memiliki tugas pokok dalamaudit terhadap tanggung jawab penggunaan keuangan publik. Uraian lebih lanjut dapat dibaca dalamRobert D. Lee and Ronald W. Johnson, Public Budgeting System (Baltimore: University Park Press,1975), p. 257.3 Kultur filsafat seringkali menjadi ideologi yang menjadi faktor determinasi suatu keputusan atautindakan. Lihat M.D.A. Freeman, Interoduction to Jurisprudence (London: Sweet & Maxwell Ltd., 2001).hlm. 2-4.4 Istilah postpragmatisme diadposi dari postmodernisme yang digagas oleh Harbermas sebagai bentukpencerahan atas institusi negara yang menggagas dan mengidealkan sebuah alat negara yang berfungsipada pemenuhan kebutuhan publik rakyat dan ditujukan untuk merealisasikan tujuan kenegaraan dankemasyarakatan. Postpragmatisme memandang alat negara merupakan administrasi negara yang rasionalyang menjalankan wewenangnya atas kebutuhan rasional atas peran negara, peran pemerintah, danperan masyarakat. Lihat F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas (Jakarta: Kanisius,2003), hal. 162. Sebagai bahan diskusi terkait lihat juga historis-filosofis lembaga audit dalam A.V.Dicey, Introduction to the Study of the Law and the Constitution (London: McMillan and Co., 1952),hlm. 354-357.5 Pembedaan uang publik (public finance) dan uang privat (privat finance) merupakan konsepfundamental yang seringkali memiliki kesulitan dalam menentukan kriterianya atau latar belakangnya.Padahal, tataran penentu utamanya adalah pada penggunaan uang tersebut pada sektor publik yangdilakukan negara dalam melayani publik dan bukan pada kegiatan negara untuk menjalankan aktivitasekonominya seperti dalam badan usaha milik negara. Lihat W. Thornhill, Public Administration (StEdmunds: St Edmundsbury Press, 1979), hlm. 67.6 Neokonservatisme dimaknai sebagai aliran filosofis yang mengadaptasi konsep mahzab hukum alamdari Hobbes yang menghendaki hukum sebagai wujud ketertiban dan kemauan yang dikehendakibeberapa kelompok, khususnya yang dimiliki negara. Aliran neokonsevatisme memandang negara sebagaiinstutusi mahakuasa terhadap warganegaranya. Oleh sebab itu, negara yang direpresentasikan olehalat-alat negara hanya mengejar kepunyaannya dengan menghiraukan kepunyaan lain. Lihat konsepsiini dalam Freeman, op.cit., hlm. 146-147.

Page 97: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

81

Adanya pembedaan pandangan ini pada dasarnya menunjukkankrisis rasionalitas dalam mengidentifikasikan kewenangan7 lembagapemeriksa publik terhadap pemungutan pajak. Neo-konservatismememandang pemungutan pajak sebagai suatu sistem secara holistiksehingga menumbuhkan kesadaran yang bersifat konkret dan subtanstifbagi penganut ini yang menyatakan pemungutan pajak adalah sistemdan bukan tahapan. Hal ini berarti rasionalitas neo-konservatismememandang pemungutan pajak sebagai keuangan negara secaraintegratif. Pandangan ini cenderung mereduksi pemahaman sistempemungutan pajak sebagai konsep yang bertahap dan transformatif.

Tesis neo-konservatisme yang menyatakan pajak sebagai suatusistem mengingatkan pada hipotesis potensi pajak termasuk keuangannegara, padahal sistem pemungutan pajak di Indonesia adalah self-assesment. Ada tiga indikator tesis paham neokonservatisme dalammemahami pemungutan pajak dan pemeriksaannya, yaitu:

1. negara sebagai faktor kekuasaan tertinggi dalam lapangankeuangan negara di manapun;

2. keharusan campur tangan organ negara terhadap mekanismepemeriksaan seluruh tahapan keuangan negara; dan

3. menguatnya pengaruh birokrasi negara dalam pemeriksaan sektorperpajakan.8

Jika ketiga indikator tersebut dipertahankan terus, yang terjadi adalahparadoks negara dalam sistem pemungutan pajak di Indonesia.9

Di Indonesia, menguatnya neokonservatisme terjadi dalammenjustifikasi pemeriksaan keuangan negara melalui konstitusinya,yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945

7 Kewenangan merupakan kekuasaan yang dilegitimasi hukum sehingga fungsi penyelenggaraanorgan negara ditetapkan berdasarkan inisiasi dan formulasi dalam peraturan perundang-undangan.Kewenangan dipahami juga sebagai otoritas yang merupakan penggunaan kekuasaan secara absah(legitimate authority). Kewenangan diciptakan karena terbiasa untuk membentuk peranan, sehinggamuncul haknya yang digunakan untuk mengorganisasi tindakan tertentu. Lihat dalam Guy Benveniste,Birokrasi [Bereaucracy], diterjemahkan oleh Sahat Simamora, (Jakarta: Rajawali Press, 1997), hlm. 42-43.8 Penguatan peranan negara dalam lapangan kekayaan dapat dikategorikan sebagai overloaded government dimana peranan pemerintahan negara mengambil alih peranan sektor apapun termasuk pajak yang masihdihitung oleh badan usaha swasta dan sektor masyarakat. Dalam kondisi ini alat-alat negaramengembangkan intervensi aktif dalam sektor pemungutan pajak dan kekayaan, sehingga peraturanperundang-undangannya merefleksikan kepentingan negara secara umum. Dalam konteks ini dapatdibahas paparan David Held, Models of Democracy (Oxford: Blackwell Publisher Ltd., 1997), hlm. 339.9 Tindakan ini dapat dikatagorikan sebagai konglomerasi negara dalam lapangan hukum kekayaan.Lihat Benvebiste, op.cit., hlm. 129.

Pemeriksaan Terhadap Pajak Sebagai Bagian Dari Ruang Lingkup Keuangan Negara...

Page 98: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

82

Vol. 8 No. 1 - April 2011

(UUDNRI Tahun 1945).10 Ketentuan Pasal 23 UUDNRI Tahun 1945 yangmengalami perubahan diimplementasikan dalam beberapa undang-undang yang saling menunjang atau saling menghadapi, yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara11 dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan danTanggung Jawab Keuangan Negara, serta Undang-Undang Nomor 15Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam undang-undang tersebut, alat negara yang menjalankan tugas pemeriksaankeuangan negara menjadi badan yang monopolistik melakukanpemeriksaan terhadap keuangan negara. Bahkan, cenderung menjadiundang-undang yang menciptakan policy shock bagi sektor perpajakan.12

Bagi penganut neopragmatisme, kebijakan memperluaskewenangan pemeriksaan keuangan negara dalam semua tahapanpemungutan pajak merupakan upaya untuk mengatasi kelangkaansumber (supply bottle necks) dalam keuangan negara yang akanmenyebabkan kemampuan penguasaan negara terhadap sumber-sumber keuangan menjadi meningkat.13 Secara teoritis, penguasaansumber keuangan tersebut harus diimbangi dengan perubahan sistempemungutan pajak. Di samping itu, berapa manfaat yang akan diperolehdan berapa kerugian yang harus ditanggung dari perubahan sistempemungutan pajak yang sebelumnya self-assement ? Di sinilah sangatterlihat terjadinya paradoks negara, khususnya dari aparatur negarayang melaksanakan fungsi penegakan hukum, dengan menetapkankesalahan perhitungan pembayaran pajak dalam sistem self-assesment

10 Pasal 23 ayat (5) UUDNRI Tahun 1945 Pra-Perubahan menyatakan untuk memeriksa tanggung jawabkeuangan negara diadakan suatu badan pemeriksa keuangan. Namun, perubahan ketiga UUD 1945menyatakan BPK memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Perubahan ini memonopolikewenangan pemeriksaan pre-audit dan post-audit dalam satu badan negara. Pengaturan tersebut kemudiandiikuti dengan tindakan pengontrolan terhadap semua lini keuangan, baik keuangan negara, keuangandaerah, keuangan BUMN.BUMD, dan keuangan privat dengan alasan tertentu. Monopoli kewenanganpemeriksaan tersebut cenderung menguatkan ketidakpastian sistem pemeriksaan keuangan negara.11 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menguatkan fungsi negara untukmelakukan kontrol terhadap keuangan negara dan keuangan di luar negara yang menggunakan fasilitas negaraatau keuangan yang memiliki keterkaitan baik langsung maupun tidak langsung dengan keuangan negara.12 Rencana BPK untuk melegitimasi pemeriksaan semua tahapan pemungutan pajak sebagai kewenanganpemeriksaannya dapat dikatagorikan sebagai perilaku koersif yang optimal bagi sektor perpajakan yangdilatarbelakangi perilaku monopoli untuk mengesampingkan institusi lain yang memeriksa keuangannegara. Perilaku koersif ini dilegitimasi konstitusi yang seharusnya mengawasi kemungkinan tindakandan perilaku koersif yang dapat dilakukan lembaga negara. Lihat perilaku koersif di lingkungan alatnegara sebagaimana diulas Richard A. Epstein, Skepticism and Freedom: A Modern Case for ClassicalLiberalism (New York: McGraw-Hill Book, 1978), hlm. 84. Lihat juga Alfred J. Marrow, David Bowers,and Seashore, Management by Participations (New York: Harper & Row, 1989), hlm. 55.13 Walter W. Helter menyebut tindakan seperti itu sebagai playing ignorant atau peran yang dilakukanuntuk melakukan sesuatu dengan mengabaikan aspek lain yang terkait. Lihat dalam Walter W. Helter,New Dimensions of Political Economy (New York: W.W. Norton & Co., 1976), hlm. 156.

Page 99: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

83

sebagai kerugian negara. Dengan demikian, peraturan perundang-undangan dan BPK memberikan proteksi yang berlebihan (overprotected)dan peraturan yang berlebihan (overregulated) dalam melindungi sektorkeuangan negara, khususnya sektor perpajakan.14 Kondisional inicenderung mereduksi kembali tatanan badan hukum yang ideal diIndonesia.

Kondisi demikian sulit menciptakan suatu kebijakan perpajakanyang bersifat melindungi pihak-pihak sebagai subjek hukum (individuallyrational), 15 khususnya sebagai subjek pajak. Meningkatnya perananpemeriksa publik tersebut sebagai lembaga pemeriksa keuangan negaradiwarnai oleh perluasan definisi keuangan yang menjadi objekpemeriksaan sehingga mengalami paradoks kepentingan (interestingparadox).16 Sebagai contoh, keuangan negara adalah keuangan yang adadalam lingkup kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layananumum pemerintahan negara yang melekat pada uang yang ada dikelolaBPK sebagai salah satu lembaga negara. Namun, uang negara tersebutdikelola dan diperiksa oleh akuntan publik yang merupakan lembagapemeriksa keuangan privat.

Dengan situasi demikian, terlihat meningkatnya peranan lembagapemeriksa publik menyebabkan terjadinya ketimpangan danketidakpastian dalam menentukan pilihan sarana pengawasanorganisasi,17 khususnya terhadap sektor perpajakan. Apalagi setelahPerubahan Pasal 23 ayat (5) UUDNRI Tahun 1945 menjadi Pasal 23Eayat (1) UUDNRI Tahun 1945, perlu ada rumusan yang sejalan mengenaikonsepsi konstitusional mengenai kewenangan organ pemeriksanegara. Tulisan ini pada prinsipnya diarahkan pada sistem, proses, dan

14 Bandingkan peranan ekonomi yang diambil Amerika Serikat yang membatasi dan membedakanaktivitas negara, yaitu pada fungsi dan tujuan yang dijalankan pemerintah dan kekuasan negara ataukemampuan fungsi instusional negara. Lihat Francis Fukuyama, State Building: Governance and WorldOrder in The Twenty-Fisrt Century (London: Profile Books Ltd., 2005), hlm. 9.15 Apabila perilaku monopoli pemeriksaan ini dikaitkan dengan tentangan monopoli usaha oleh AdamSmith dapat dikemukakan implikasi negatifnya adalah menyuburkan tingkah laku memperbudak danmenipu, dan pelayanan publik yang sia-sia. Justifikasi monopoli kewenangan justru lebih berbahayalagi karena menimbulkan kesewenang-wenangan yang absolut. Diadaptasi dari Mark Skousen, SangMaestro Teori-teori Ekonomi Modern [the Making of Modern Economic: the lives and Ideas of the GreatThinkers], diterjemahkan oleh Tri Wibowo Budi Santoso, (Jakarta: Prenada, 2005), hlm. 29.16 Istilah ini dipinjam dari Mark Moore dalam Robert d. Behn, Rethingking Democratic Accountability(Washington D.C.: Brookings Institution Press, 2001), hlm. 35.17 Ketimpangan demikian mengandung akibat yang berbahaya bagi kinerja BPK, yaitu kinerja pemeriksaanyang dilakukan lebih merupakan tugas rutinitas yang hanya dapat dikendalikan pada tingkat yangminimal, sehingga menimbulkan ketidakpastian. Dalam prinsip manajemen modern, keberadaan BPKyang menafikan lembaga pemeriksa lain menunjukkan BPK berada pada posisi organisasi yang tidaksehat dan cenderung mengabaikan peranan kerja sama antar-institusi. Lihat dalam Benveniste,op.cit.,hlm.90.

Pemeriksaan Terhadap Pajak Sebagai Bagian Dari Ruang Lingkup Keuangan Negara...

Page 100: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

84

Vol. 8 No. 1 - April 2011

kebijakannya18 dalam sektor perpajakan terkait dengan sistem selfassesment. Penelaahan terhadap hal itu dilakukan secara mendasarberdasarkan ketentuan konstitusi atau peraturan perundang-undangan.

Tulisan ini diharapkan dapat dipahami sebagai penguatankelembagaan dan kewenangan lembaga pemeriksa akan semakinbanyaknya pemahaman teori hukum dan pengenalan institusionalisasilembaga negara yang memeriksa keuangan negara, khususnya sektorperpajakan. Di sisi lain, juga untuk mengidentifikasi bentuk lembagapemeriksa keuangan negara dan ada formula hukum yang dapatmendekati lembaga ideal di Indonesia dalam rangka memeriksatanggung jawab perpajakan.19 Namun, mengingat situasionalkelembagaan Badan Pemeriksa Keuangan negara di Indonesiacenderung unik karena status hukumnya sebagai lembaga negara yangsederajat dengan lembaga negara lain semisal Presiden dan DewanPerwakilan Rakyat (DPR). Bahkan, yang sangat menarik, BPKmerupakan badan yang bebas dan mandiri20 yang ditegaskan dalam Pasal23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Mengenai hal ini, perlu ada persepsihukum yang sama untuk menjelaskan apakah makna ’bebas danmandiri’ tersebut Apakah sejalan dengan makna ’merdeka’ bagikekuasaan kehakiman (Pasal 24A ayat (1) UUDNRI Tahun 1945), atau“tetap dan mandiri” bagi Komisi Pemilihan Umum (Pasal 23E ayat (5)UUDNRI Tahun 1945)?21

Di samping itu, beberapa aturan yang diatur dalam UUD NRI Tahun1945 perihal lembaga pemeriksa pajak sangat berbeda dengan kondisidi beberapa negara. Hal demikian tentu akan menjadi bahanperbandingan yang komprehensif untuk menemukan kekurangan dankelebihan kelembagaan pemeriksa di Indonesia dan di beberapa negara

18 Perbandingan ini dilakukan dengan metode perbandingan yang lazim digunakan dalam penelitian.Lihat Gbriel A. Almond and G. Bingham Powell, Jr., System, Process, and Policy Comparative Politics(Boston: Little, Brown, and Company, 1978), hlm. 44.19 Perbandingan demikian disebut sebagai microcomparison yang ada dasarnya menggambarkanperbedaan spesifik dalam institusi hukum atau masalah yang dihadapinya dengan dasar hukum yangditetapkan dalam peraturan perundang-undangan serta kemungkinan adanya konflik kepentingan.Lihat, Konrad Zweigert and Hein Kotz, Introduction to Comparative Law (Oxford: Clarendon Press, 1992),hlm. 5.20 Istilah ‘bebas dan mandiri’ secara filosofis tidak tepat dirumuskan dalam konstitusi. Pencantumanfrasa tersebut mendangkalkan kedudukan konstitusi Indonesia sehingga menjadi sangat operasionalis.21 Menurut Dicey, konstitusi merupakan pedoman aturan dasar bagi panduan rakyat yang tidakditemukan dalam bentuk peraturan lainnya. Oleh sebab itu, konstitusi dilekati sifat sakralnya yangmengatur elemen legal dan bersifat prinsip. Dengan demikian, pembahasaannya terlihat strukturatisdan sistematis filosofis yang menggambarkan konstektualisasi arah tujuan bernegara. Sebagai bahandiskusi lihat Dicey, op.cit., hlm. 45-451. Lihat juga Brian Thompson, Textbook on Constitutional &Administrative Law (London: Blackstone Press Ltd., 1993), hlm. 4.

Page 101: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

85

lainnya.22 Berbagai perbandingan yang dilakukan tidak mengarah padastruktur mikro-organnya, tetapi tataran makro-kelembagaan yangbersifat microcomparising. Salah satu perbandingan yang kemudiandiambil adalah berdasarkan dua pilihan yang berkaitan, yaitu pertama,mengidentifikasi kelembagaan lembaga pemeriksa keuangan negaradi beberapa negara tersebut yang dikaitkan dengan objek pemeriksaanpajak. Kedua, menjelaskan akuntabilitas kelembagaan tersebutsehingga kemungkinan adanya moral hazard dalam pelaksanaan kinerjadapat dipertanggungjawabkan secara tersistem.23

Perbandingan demikian pada prinsipnya diarahkan terlebih dahuludalam konstitusi dan kemudian pada peraturan perundang-undangannyayang mengatur lembaga pemeriksa tersebut. Dengan demikian, secaraumum akan diperoleh konsep umum yang menggambarkankelembagaan pada lembaga pemeriksa keuangan negara di empat negarayang dibandingkan. Perbandingan demikian pada dasarnya memahamisecara esensial prinsip umum yang terkandung dalam pembentukanlembaga pemeriksa keuangan negara di setiap negara yang dibandingkan.24

Diambilnya pilihan terhadap lembaga pemeriksa di AmerikaSerikat, Inggris, Belanda, dan Thailand pada dasarnya disebabkan alasanperkembangan konsep lembaga pemeriksa di empat negara tersebutmengalami tahapan yang luar biasa. Di samping itu, lembaga pemeriksadi Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda mengandung konsepsi hukumyang konstruktif dalam mewujudkan kepercayaan masyarakat terhadaplembaga pemeriksa yang otonom.25

22 Harus diakui perbandingan ini dilakukan dengan berbeda latar belakang sistem hukum nasionalnya.Perbandingan ditujukan “... to compare the spirit and style of different legal system, the methods ofthought and procedures they use.” Lihat Zweigert and Kotz, op.cit., hlm. 4.23 Perbandingan pada kedua hal tersebut kemungkinan mendeskripsikan konsep hukum dan pengaruhpolitik di dalamnya, selain pengaruh politik-ekonomi yang mendasari objek pemeriksaan keuangannegara. Secara konsep, kedua pengaruh tersebut terlihat sangat akurat, sehingga wajar jika lembagapemeriksa keuangan negara juga merupakan formal political institutions yang menangani pemeriksaankeuangan negara berdasarkan sistem politik yang berbeda di setiap negara. Untuk uraian lebih mendalamdapat dilihat Roger Stacey and John Oliver, Public Administration: The Political Environment (London:Macdonal & Evans Ltd., 1980), hlm. 3.24 Perbandingan kelembagaan pemeriksa keuangan negara di empat negara yang dibandingkan sebagianbesar merupakan bagian dari aktivitas pemerintah atau parlemen. Berbeda dengan Indonesia, BPKmerupakan badan audit mandiri. Namun, perbedaan tersebut justru menjadi faktor determinan yangmenentukan faktor kelembagaan tersebut. Secara prinsip, kelembagaan ini akan ditujukan pada corak,bentuk, bangunan, dan struktur organisasi yang mencerminkan respon negara dan para pengambilkeputusan yang termuat dalam konstitusinya. Lihat pemahaman mengenai organisasi negara danpemerintahan tersebut dalam Jimly Asshiddiqie (a), Perkembangan & Konsolidasi Lembaga negara PascaReformasi (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 1-7.25 Perkembangan tersebut bermuara pada konstruktivisme kritis dalam mengembangkan hukum yangmengatur kelembagaan pemeriksa keuangan negara di empat negara yang dibandingkan.

Pemeriksaan Terhadap Pajak Sebagai Bagian Dari Ruang Lingkup Keuangan Negara...

Page 102: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

86

Vol. 8 No. 1 - April 2011

B. Kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pemungutan PajakKedudukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga

negara pada dasarnya tidak terlepas dari struktur ketatanegaraan zamanHindia Belanda, di mana saat itu terdapat Algemene Rekenkamer.26 Padasaat itu kedudukan Algemene Rekenkamer merupakan bagian darieksekutif,27 sedangkan BPK pada saat ini mempunyai kedudukan sebagailembaga negara,28 sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (5) UUD NRITahun 1945, yang menyatakan, “Untuk memeriksa tanggung jawabtentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan,yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang. Hasilpemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.”Penetapan BPK sebagai lembaga negara didasarkan pada filosofisobjektivitas, yakni BPK dapat menjalankan fungsi dan tugasnya setara,sejalan, dan terbebas dari pengaruh oleh kekuasaan lembaga negaralainnya yang menjadi salah satu objek pemeriksaannya.29 PenjelasanPasal 23 ayat (5) UUD 1945 Pra-Perubahan menegaskan:

“Cara Pemerintah mempergunakan uang belanja yang sudahdisetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat harus sepadan dengankeputusan tersebut. Untuk memeriksa tanggung jawab Pemerintahitu perlu ada satu Badan yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaanPemerintah. Suatu Badan yang tunduk kepada Pemerintah tidakdapat melakukan kewajiban yang seberat itu. Sebaliknya, badanitu bukanlah pula badan yang berdiri di atas Pemerintah.”30

Dengan landasan filosofis tersebut, pembentuk UUDNRI Tahun 1945memiliki konsep ideal agar kedudukan BPK sebagai lembaga negarahakikatnya setara dengan lembaga negara lain yang diperiksa.31 Konsep

26 Untuk pembahasan dan diskusi mengenai kedudukan Algemene Rekenkamer dapat dibaca dalamAtmadja (b), op.cit., hlm. 111-112.27 Lembaga Algemene Rekenkamer diberikan kewenangan Indische Staatregeling untuk melakukanpemeriksaan terhadap pengelolaan keuangan dan tanggung jawab keuangan (de wizje van beheer enverantwoording der geldmiddelen) yang didasari oleh falsafah keuangan negara penjajah dan tercemindalam hubungan keuangan intra-imperial. Lihat kembali Atmadja, Ibid.28 Sebagai lembaga negara, BPK melakukan pemeriksaan dan pengawasan keuangan negara yang padadasarnya merefleksikan pembagian kekuasaan negara yang diatur dalam UUDNRI Tahun 1945. Lihaturaian mengenai organ negara dalam Asshiddiqie (b), op.cit., hlm. 192.29 Konsep filosofis objektivitas ini disalahtafsirkan sebagai bebas dan mandiri dalam Pasal 23E ayat (1)UUDNRI Tahun 1945 Perubahan Ketiga. Bagi suatu lembaga pemeriksa keuangan, objektivitas kinerjalebih penting dibandingkan bebas dan mandiri dalam kelembagaan, tetapi dalam kinerja tetap subjektif.Lihat konsep filosofis objektivitas ini dalam kegiatan ekonomi sebagai bentuk rational opportunisticmodels yang diuraikan Alberto Alesina, Nouriel Roubini, and Gerald D. Cohen, Political Cycles and theMacroeconomy (Massachusetts: Massachusetts Institute of Technology, 1997), p. 22. Juga lihat kembaliLee Jr and Johson, op.cit., hlm. 254.30 Indonesia (a), Undang-undang Dasar 1945 sebelum Perubahan, Penjelasan Pasal 23.31 Arifin P. Soeria Atmadja (c), “Kedudukan dan Fungsi BPK dalam Struktur Ketatanegaraan RI,” dalam70 Tahun Prof. Dr. Harun Alrasid: Integritas, Konsistensi Seorang Sarjana Hukum (Depok: Pusat StudiHukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000), hlm. 78.

Page 103: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

87

objektivitas dalam pemeriksaan merupakan sesuatu yang sangat pentingguna menghindari kemungkinan terjadinya penyimpangan danpemborosan keuangan negara.32 Sebagai lembaga negara, BPK menurutPasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 tentang Badan PemeriksaKeuangan, mempunyai tugas memeriksa tanggung jawab pemerintahtentang keuangan negara dan memeriksa semua pelaksanaan APBN,yang hasilnya kemudian diserahkan kepada DPR.33

Jika ditinjau dari segi maknanya, BPK adalah “suatu badan yangkedudukan dan tugasnya lebih banyak dititikberatkan kepada tindakanyang bersifat represif.”34 Dalam memeriksa tanggung jawab keuangannegara (post-audit), BPK akan menilai berdasarkan dua segi, yaitu“pertama, apakah penggunaan anggaran itu telah mencapai manfaat yangdituju oleh anggaran itu (doelmatig) dan kedua, apakah penggunaannyaitu sesuai dengan peraturan undang-undang (rechtmatig).”35

Dalam menjalankan fungsinya tersebut, BPK juga merumuskanstandar audit pemerintahan (SAP) sebagai “standar pemeriksaan yangberlaku secara nasional bagi pemeriksa di lingkungan BPK, pemerintah,dan akuntan publik yang memeriksa keuangan negara.”36 Dengandemikian, sebenarnya, pemeriksaan BPK adalah didasarkan padadokumen anggaran, pembukuan anggaran, dan perhitungan anggaranyang ditinjau dari segi teknis anggaran (begroting technisch).37

Dengan mendasarkan pada fenomena tersebut, kedudukan BPKdalam Pasal 23 ayat (5) UUD 1945 Pra-Perubahan diarahkan pada tujuanmenciptakan struktur pengelolaan keuangan negara yang sesuai denganperencanaannya. Dalam konstekstualisasi ini, kedudukan BPK sangatpenting dalam mendorong realibilitas pemeriksaan tanggung jawab

32 Pendapat ini didukung pengalaman empiris sebagaimana dikemukakan mantan Ketua Badan PemeriksaKeuangan Umar Wirahadikusumah, “Pemeriksaan Keuangan Negara dalam Pelaksanaan,” Pemeriksa 3(Maret 1982): hlm. 52.33 Hasil pemeriksaan BPK yang diberitahukan kepada DPR disebabkan hasil pemeriksaan BPK dapatdijadikan dasar pengawasan DPR kepada pemerintah. DPR dapat meneruskan hasil pemeriksaan BPKkepada kepolisian atau badan lainnya. Lihat uraian mengenai hubungan BPK dan DPR dalam Asshiddiqie(a), op.cit., hal. 170-171; juga lihat Atmadja (b), op.cit., hlm. 34-35.34 Ditetapkannya BPK hanya memeriksa tanggung jawab keuangan disebabkan kedudukannya yangsangat tinggi dan diarahkan untuk melakukan pemeriksaan korektif-strategis terhadap penggunaanuang negara. Hal ini terjadi pula pada Dewan Pengawas Keuangan pada sistem ketatanegaraan berdasarkanUndang-undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950).35 Atmadja (b), op.cit., hlm. 107.36 Ibid., hal. 189.37 Atmadja (c), loc.cit.

Pemeriksaan Terhadap Pajak Sebagai Bagian Dari Ruang Lingkup Keuangan Negara...

Page 104: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

88

Vol. 8 No. 1 - April 2011

keuangan negara yang bertumpu pada nilai strategi keuangan negara.38

Proses pemeriksaan BPK pada dasarnya dilakukan dengan dua carasebagaimana ditetapkan dalam suatu standar pemeriksaan tanggungjawab keuangan negara. “Pertama, pemeriksaan dokumen yangmengandalkan pemeriksaan laporan tertulis mengenai keluar-masukanggaran yang dipergunakan dan kedua, pemeriksaan setempat, di manaproyek atau aktivitas yang dibiayai ditinjau dari berbagai segi.”39

Proses penilaian dan pengujian tanggung jawab keuangan negarapada dasarnya dilakukan BPK dengan mekanisme post-audit yangdimaknai sebagai:

“Pemeriksaan yang dilakukan setelah transaksi itu diselesaikandan dicatat. Pemeriksaan ini dilakukan beberapa saat setelahsebagian atau seluruh kegiatan itu selesai. Berdasarkan teori,fungsi penilaian/pemeriksaan harus dilakukan atas kegiatan-kegiatan yang telah diselesaikan (completed).”40

Dengan mendasarkan diri pada pemeriksaan tanggung jawab keuangannegara, BPK melakukan pemeriksaan sebagai “alat untuk dapat menilaipertanggungjawaban yang telah diberikan.”41 Menurut Undang-UndangNomor 5 Tahun 1973, pemeriksaan BPK diarahkan pada keuangannegara, yang kemudian dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 yang menyatakan:

“pemeriksaan yang dilakukan terhadap pertanggungan jawabkeuangan negara, termasuk antara lain pelaksanaan anggaranpendapatan dan belanja negara (baik anggaran rutin maupunpembangunan). Anggaran pendapatan dan belanja daerah sertaanggaran perusaan milik negara, hakekatnya seluruh kekayaannegara, merupakan pemeriksaan terhadap hal-hal yang sudahdilakukan atau sudah terjadi dan yang telah disusunpertanggungjawabnya (post audit), baik sebagian maupunseluruhnya.”42

38 Dalam fungsinya sebagai pemeriksa tanggung jawab keuangan negara, BPK diharapkan mampumenjaga kesinambungan anggaran negara yang sejalan dengan tujuan bernegara. Hal ini khususnyaditujukan pada APBN sebagai, stimulus bagi pertumbuhan dan instrumen pemerataan, juga berfungsisebagai instrumen pengendali bagi terciptanya kestabilan ekonomi makro negara. Selain itu, BPK perlumengawasi penggunaan anggaran negara yang diarahkan untuk mendorong kembali gairah berproduksi,menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan daya beli masyarakat, serta dana yang bertujuan untukmencapai harapan usaha pembangunan. Lihat Arifin P. Soeria Atmadja (d), “Mencari Format Baru SistemPemeriksaan (audit) Keuangan Publik oleh Internal Auditor,” (Makalah yang disampaikan dalam SeminarSehari Reinventing Auditor Internal Pemerintah yang diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan Akuntansidan Keuangan, Jakarta 7 Juni 2000), hlm. 4.39 Atmadja (b), op.cit., hlm. 108.40 Ibid., hlm. 92.41 Rohmat Soemitro, “Tanggung Jawab Keuangan Negara” Padjadjaran 2 (April-Juni 1981): 11.42 Indonesia (b), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, LN. Nomor39 Tahun 1973, TLN Nomor 3010, Penjelasan.

Page 105: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

89

Berdasarkan ketentuan tersebut, BPK mempunyai kewenanganyang luas terhadap tanggung jawab keuangan negara, yang tidak hanyaditujukan pada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).43

Fenomena demikian sebenarnya menempatkan BPK pada posisi yangkurang menguntungkan di mana rentang kendalinya (spent of control)menjadi sulit dilakukan. Selain itu, memperluas pemeriksaan keuangannegara terhadap aspek di luar APBN cenderung akan menyebabkan:

“…bahaya yang tersimpul dalam memperluas pengertian keuangannegara dengan memasukkan di dalamnya keuangan daerah dankeuangan badan usaha milik negara (BUMN). Pengertian keuangannegara seperti ini akan mengaburkan arti tanggung jawab daridaerah otonom dan kemandirian badan hukum.”44

Selain itu, memperluas keuangan negara menjadi meluas,menempatkan BPK sebagaimana halnya Algemene Rekenkamer di zamanHindia Belanda yang merupakan kepanjangan tangan pemerintahankolonial Belanda di Indonesia.45 Dengan kata lain, terjadikesalahkaprahan terhadap kewenangan BPK dalam UU Nomor 5 Tahun1973, padahal sesungguhnya sebagai lembaga tinggi negara:

“BEPEKA bukanlah Algemene Rekenkamer di zaman Hindia Belandayang merupakan verlengstuk eksekutif untuk memeriksa keuanganHindia Belanda (land geldemiddelen) yang dikelola GubernurJenderal dan mempunyai kewenangan peradilan (comptabelrechstspraak).”46

Sementara itu, sesuai dengan Pasal 23 ayat (5) UUD NRI Tahun1945 hasil pemeriksaan BPK diberitahukan kepada DPR untukditindaklanjuti. Pemberian hasil pemeriksaan kepada DPR sebenarnyamenegaskan kembali kedaulatan anggaran di tangan DPR.47 Selain itu,laporan tersebut juga akan dipergunakan sebagai bahan pertimbanganbagi proses persetujuan pembentukan Undang-Undang tentang APBN

43 APBN adalah, “rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan PerwakilanRakyat.” Lihat Indonesia (c), Undang-Undang tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 17Tahun 2003, LN Nomor 47 Tahun 2003, TLN Nomor 4287, Pasal 1 butir 7.44 Jusuf Indradewa, “Fenomena Harun Alrasid,” dalam 70 Tahun Prof. Dr. Harun Alrasid Integritas,Konsistensi Seorang Sarjana Hukum (Depok: Pusat Studi Hukum Universitas Indonesia, 2000), hlml. 6.45 BPK apabila menerapkan pasal ini berarti Indonesia mundur 173 tahun ke belakang, di manaIndische Staatregeling diundangkan. Lihat kritik berkaitan dengan perluasan kewenangan BPK dalamAtmadja (b), op.cit., hal. 107-110. Lihat juga Pidato Pengukuhan Gurubesar Arifin P. Soeria Atmadja (d),“Reorientasi Penertiban Fungsi Lembaga Pengawasan dan Pemeriksaan Keuangan Negara.” (PidatoPengukuhan Guru Besar Luar Biasa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 21 Juni 1997).46 Atmadja (c), op.cit., hlm. 10.47 Konsep kedaulatan anggaran (budget sovereignty) merupakan refleksi lembaga negara yang memberikanotorisasi anggaran negara. Di Indonesia, lembaga yang memberikanm otorisasi anggaran negara adalahDPR sebagai wakil rakyat.

Pemeriksaan Terhadap Pajak Sebagai Bagian Dari Ruang Lingkup Keuangan Negara...

Page 106: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

90

Vol. 8 No. 1 - April 2011

pada tahun anggaran mendatang. Juga, dapat dipergunakan oleh DPRsebagai, “bahan penilai apakah pemerintah dalam melakukankebijaksanaannya tidak melanggar apa yang telah ditetapkan dalamUndang-Undang tentang APBN.”48

Dalam perkembangan ketatanegaraan kemudian, Perubahan KetigaUUDNRI Tahun 1945 memberikan pergeseran yang signifikan terhadapBPK dalam kedudukan dan kewenangannya. Pasal 23E ayat (1) UUDNRITahun 1945 mengubah objek pemeriksaan BPK menjadi pemeriksaanpengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telahmemperluas ruang lingkup keuangan negara yang menjadi lingkuppemeriksaan BPK yang tidak hanya mengarah pada keuangan negara,tetapi mengarah pula pada pemeriksaan pengelolaan keuangan sektorprivat.

Kondisi demikian menyebabkan BPK memonopoli kewenanganpemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan dalam semuasektor publik dan privat.49

Monopoli BPK dalam pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawabkeuangan sektor privat menimbulkan tiga akibat, yaitu pertama tidakadanya prioritas dalam mengkonstruksikan pemeriksaan danpengawasan keuangan negara. Kedua, tidak ada strategi yangkomprehensif dalam mewujudkan kebijakan pemeriksaan danpengawasan keuangan negara. Ketiga, BPK akan bias hal menentukanterjadinya penyimpangan keuangan negara sebagai kerugian negara.50

Apabila mendeskripsikan akibat monopoli BPK tersebut, BPK tidakmemiliki perspektif makro dalam pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan. Kebijakan yang monopolistis dalam bentukpemeriksaan dan pengawasan cenderung dipaksakan (constrained),sehingga tidak mengandung kepastian hukum dan penghormatanterhadap doktrin badan hukum.51 Oleh sebab itu, muncul paradoks dalam

48 Atmadja (b), op.cit., hlm. 143.49 Sektor publik dan sektor privat lazimnya memiliki akuntabilitas yang berbeda standar akuntansinya.Dengan demikian, sangat diragukan kedua sektor ini diperika oleh badan pemeriksa yang sama.50 Diformulasikan dari beberapa bahan hukum. Kerugian negara adalah selisih uang negara yangdinyatakan kurang. Lihat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.51 Pemahaman mengenai badan hukum telah dikenal sejak abad ke-19, berbagai literatur mengemukakanbadan hukum sebagai lawan pribadi hukum yang cenderung memberikan hak dan kewajiban kepadasuatu badan/lembaga sebagaimana manusia dewasa. Pada prinsipnya, badan hukum merupakan badanatau perkumpulan yang dapat memiliki hak dan melakukan perbuatan sebagaimana pribadi manusiaserta memiliki kekayaan sendiri yang terpisah. Sebagai bahan diskusi dapat dibaca dalam buku Ali,op.cit., hlm. 18-20.

Page 107: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

91

mendesain konsep pemeriksaan dan pengawasan keuangan negara,yaitu di satu sisi BPK memperluas ruang lingkup pemeriksaan keuangannegara. Namun, di sisi yang lain, BPK tidak memperhatikan prinsipkehati-hatian yang luar biasa, terutama agar negara tidak melalaikankewajibannya, warga masyarakat tidak dirugikan haknya, dan badanhukum tidak diingkari kedudukannya.52

Namun, peraturan perundang-undangan53 dan kebijakan54 yangmengatur pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan diIndonesia cenderung mengabaikan prinsip kehati-hatian tersebut.Akibatnya, desain pemeriksaan dan pengawasan keuangan negaracenderung mengutamakan segi mikro-teknis. Untuk kepentinganjangka pendek, desain tersebut lebih merupakan alternatif taktis untukmembangun kepercayaan publik. Akan tetapi, untuk jangka panjang,bentuk kebijakan demikian tidak stategis dalam merumuskankebijakan yang mampu mendeteksi penyimpangan dan pemborosankeuangan negara.

Dalam kontekstualisasi seperti itu, tidak diragukan lagiirasionalitas dalam pengaturan pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara dalam praktiknya akan merugikan kedudukanhukum sektor privat sebagai domain yang berbeda dengan sektor publik.Hal demikian terjadi karena tidak ada batas-batas yuridis dalammenentukan kerugian keuangan negara sebagai bagian dari keuangannegara, keuangan daerah, keuangan badan usaha milik negara,keuangan badan usaha milik daerah atau keuangan swasta.55

52 Relevansi jaminan negara tidak dirugikan sebagai tujuan pembentukan arsitektur keuangan publikadalah agar negara tidak mengalami perubahan negatif dalam anggaran pendapatan dan belanja negaradisebabkan berkurangnya penerimaan keuangan negara secara luas.53 Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur atau memiliki korelasi dengan keuangannegara ada kecenderungan memperluas makna dan arti keuangan negara sebagai keuangan publiksecara keseluruhan. Hal ini berarti keuangan publik yang dimaknai sebagai keuangan negara itusendiri, keuangan daerah, keuangan badan usaha milik negara/daerah, atau keuangan swasta lainnyayang mengelola dan menerima uang negara dikatagorikan sebagai keuangan negara. Kecenderungandemikian memiliki karakteristik pengelolaan dan pertanggungjawaban yang terpisah. Masing-masingkeuangan negara tersebut memiliki status hukum yang berbeda dan sangat bergantung padaketerkaitannya dengan fungsi publik dan fungsi privat.54 Kebijakan merupakan kelaziman dalam lapangan hukum administrasi negara, di mana kebijakandipandang perannya sebagai pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Pengertian tersebut padadasarnya khusus lebih difokuskan pada posisinya terhadap pendistribusian (delivery) pelayanan publikyang dimiliki pemerintah. Apabila dikaitkan dengan keuangan negara tampak kebijakan diposisikansebagai alat untuk merealisasikan kebutuhan negara dalam membiayai pemerintahan dan pembangunan.Sebagai bahan diskusi wacana ini dapat dibaca dalam buku Prajudi Atmosudirdjo, Hukum AdministrasiNegara, cet. 10, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hal. 82. Lihat juga Richard J. Stillman II, PublicAdministration, ed. 7, (Boston: Hougton Mifflin, 2000), hlm. 222-223.55 Ketidakpahaman pembuat undang-undang dan kebijakan mengenai perbedaan prinsipil antarakeuangan negara, keuangan daerah, keuangan perusahaan negara, maupun perusahaan daerah, bahkankeuangan swasta telah memudarkan segi logika berpikir dalam memahami konsep keuangan publiksecara keseluruhan sebagai suatu arsitektur. Lihat pendapat ini dalam Atmadja (a), op. cit., hlm. 73-74.

Pemeriksaan Terhadap Pajak Sebagai Bagian Dari Ruang Lingkup Keuangan Negara...

Page 108: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

92

Vol. 8 No. 1 - April 2011

Ketidakmampuan kebijakan yang mengatur pemeriksaan dantanggung jawab keuangan dalam menentukan garis batas kepunyaannya(domain limitative) merupakan pertanda reinkarnasi manajemenkeuangan publik tradisional. Manajemen demikian pernah berkembangsebagai bentuk monopoli terhadap penguasaan dan pengaturan kekayaannegara yang berasal dari kekayaan swasta. Hal demikian pada dasarnyamenunjukkan gejala kemunduran dalam kebijakan pemberantasankorupsi yang beranjak pada tujuan dan skema bercirikan rentangkendali yang luas di Indonesia.56 Padahal, sejak abad ke-19, kepunyaanbadan hukum memiliki ketegasan batasan apakah termasuk kepunyaanpublik (domain public) atau kepunyaan privat (domain prive).57 Keduanyatidak mungkin tunduk pada peraturan perundang-undangan yang sama,baik dalam tata kelola dan tata tanggung jawabnya. Prinsip ini sejalandengan doktrin badan hukum yang mensyaratkan kekayaan/keuanganyang terpisah, sehingga badan hukum tersebut absah sebagai subjekhukum yang memiliki hak dan kewajiban.

Dengan demikian, sangat jelas dari perspektif hukum, kebijakanpemeriksaan dan pengawasan keuangan negara yang didesain di Indonesiatidak sejalan dengan doktrin hukum dan cenderung menimbulkanpermasalahan hukum yang serius dari tindakan negara tersebut.Identifikasi penyimpangan keuangan sektor privat sebagaipenyimpangan keuangan negara tidak memiliki argumentasi hukumyang memadai sebagai bagian dari pemeriksaan keuangan negara.58

Dalam hal pemeriksaan pajak, dalam mendesain konseppemeriksaan dan pengawasan sektor perpajakan oleh BPK di Indonesia,perlu ada keterkaitan antara teori hukum dan hukum positif yangmerupakan keterkaitan yang bersifat dialikatis. Hal demikiandisebabkan teori hukum yang merupakan teori gejala hukum positif(positieve rechtsverschijnsel) dalam kehidupan masyarakat tidak dapatdikesampingkan.59 Hal ini berarti, desain pemeriksaan pengelolaan pajakdan tanggung jawab pajak hendaknya tidak dipandang dari segi hukum

56 Pendekatan tradisional dalam manajemen keuangan publik yang lazimnya berdasarkan pada perluasanwewenang dengan meniadakan pembagian yang tegas dalam peraturan perundang-undangan tertulisdalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan publik serta tiada mempertimbangkan dinamikaperkembangan yang terjadi dalam praktik dalam lapangan administrasi negara. Dengan kata lain,pendekatan inilah yang akan menjadi sudut pandang terpenting dalam pembahasan mengenai arsitekturkeuangan publik.57 E. Utrecht, Hukum Administrasi Negara Indonesia (Jakarta: Ichtiar, 1956), hlm. 78.58 Persepsi badan hukum harus menjadi bagian integral dari konsep pemeriksaan dan pengawasankeuangan negara.59 Atmadja (a), op.cit., hlm 33.

Page 109: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

93

positif saja, tetapi juga dipandang dari segi teoretis hukumnya. Hal iniharus dibedakan karena konsep pengelolaan yang dimulai dari sistemperhitungan dan pemungutan tidak perlu dilakukan oleh BPK, sedangkankonsep strategis perpajakan dapat dilakukan secara konseptual danstrategis oleh BPK.

Dengan demikian, konsep kelembagaan pemeriksa keuangannegara di Indonesia justru menimbulkan paradoks, yaitu BPK mengambilposisi tunggal dalam pemeriksaan keuangan negara, termasuk sektorperpajakan, tetapi tidak memperhatikan sistem pemungutan pajak yangditerapkan di Indonesia.

Dengan pembedaan tersebut, BPK tidak memiliki kewenangandalam menentukan dan mengambil alih pemeriksaan keuanganterhadap sektor pajak pada tahapan pengelolaan. Hal demikiandisebabkan pengelolaan merupakan domain yang khusus dan bersifatadministratif memiliki keleluasaan untuk menentukan tata carapengelolaannya. Pengelolaan perpajakan memiliki domain tersendiridalam rangka memenuhi pertanggungjawaban keuangannya, yang tidakmungkin disamakan dalam, pemeriksaan tanggung jawabnya yangtergambarkan dalam APBN. Sektor pengelolaan pajak memilki tatakelolanya dalam rangka menentukan pemeriksaan perpajakan sesuaidengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, BPK telahmelakukan intervensi terlalu jauh dalam mewujudkan tata kelola sistemperpajakan yang baik (good corporate governance).

Dengan demikian, menjadi sangat berbahaya dan berisiko yangbesar jika pemeriksaan pengelolaan pajak dan tanggung jawab pajakdilakukan BPK dalam rangka memperluas aspek pemeriksaan keuangannegara, terkait dengan sistem self assessment.60 Negara tidak akanmemiliki kepastian hukum dalam menentukan kerugian negara dalamsektor pengelolaan perpajakan yang masih bersifat administratifdisebabkan dua fakta hukum. Pertama, penguasaan dan pengurusansektor pengelolaan pajak tunduk pada regulasi administratif. Kedua, BPKtidak mungkin mengidentifikasi kerugian negara pada kekayaan yang

60 Prinsipnya keuangan negara adalah segala sesuatu kegiatan atau aktivitas yang berkaitan eratdengan uang yang dibentuk oleh negara untuk kepentingan publik. Esensi yang ditarik adalah keuangannegara sama dengan kekayaan negara yang terdiri atas, aktiva dan passiva, semua barang yang mempunyainilai uang seperti tanah, kali, tambang, gunung, yang ada di wilayah Republik Indonesia dan juga semuasarana yang dimiliki negara RI, baik yang berasal dari pembelian maupun dari cara perolehan lainnyayang dibiayai dan dilakukan dalam proses oleh anggaran pendapatan dan belanja negara. Pemungutanpajak dengan sistem self assessment belum termasuk kegiatan dan aktivitas negara yang berkaitandengan uang untuk kepentingan publik karena masih dilakukan subjek pajak.

Pemeriksaan Terhadap Pajak Sebagai Bagian Dari Ruang Lingkup Keuangan Negara...

Page 110: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

94

Vol. 8 No. 1 - April 2011

masih secara hukum menjadi domain subjek hukum pajak, yang tidaktermasuk ruang lingkup keuangan negara.

Upaya memperluas objek pemeriksaan terhadap pengelolaan pajakdilakukan BPK dengan melakukan uji materil Undang-Undang Nomor28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan keMahkamah Konstitusi. Akan tetapi, Mahkamah Konstitusi berpendapatpemeriksaan pengelolaan pajak menjadi domain administratif di bawahMenteri Keuangan sebagai bendahara umum negara. Hal ini hakikatnyamerupakan implikasi hukum penerapan sistem self assessment dalamperhitungan pajak.

Secara prinsip Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tidakmembedakan konsep pengelolaan dan tanggung jawab perpajakansehingga sebaiknya diubah dalam hanya tanggung jawab perpajakan.Pada dasarnya, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003menyalahi pembedaan dan prinsip self assessment dalam perpajakan.Sesuai dengan sistem self assessment, Wajib Pajak mempunyai kewajibanuntuk mendaftarkan diri, melakukan sendiri penghitungan pembayarandan pelaporan pajak terutangnya. Hal ini berarti masih pada ruanglingkup privat.

Sistem self assessment tegas membedakan pengelolaan dantanggung jawab dalam perpajakan. Dalam perspektif hukum, pengelolaanpajak masih dalam ranah administrasi negara, sedangkan tanggungjawab berada pada ranah kewenangan BPK, yaitu memeriksapenggunaan uang pajak yang telah ditentukan sebagai milik negaradan disediakan (oleh negara) dipakai untuk kepentingan pelayananpublik fungsi pemerintahan dan tunduk pada peraturan perundang-undangan yang bersifat publik.61 Namun, pemerintah negara sebagaipengelola perpajakan berkedudukan sebagai subjek hukum administrasiyang tunduk pada ketentuan hukum administrasi negara (ketikamelakukan pelayanan dalam pengelolaan perpajakan) hal ini sejalandengan sistem self assessment.

Peraturan perundang-undangan dan putusan MahkamahKonstitusi telah menentukan pembedaan kedudukan pemeriksa negaradalam pengelolaan dan tanggung jawab perpajakan yang tunduk padaperaturan perundang-undangan. Lembaga pemeriksa negara tidakmemiliki keleluasan untuk mengeluarkan wewenang yang bersifat

61 Atmadja (a), op.cit., hlm. 85.

Page 111: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

95

publik dalam pengelolaan sektor perpajakan yang tata kelola dan tatatanggung jawabnya tunduk pada ketentuan hukum administrasi negara.Pembedaan ini merupakan konsep hukum modern yang sangatmembedakan imunitas hukum administrasi negara dengan maksudmenjelaskan batas-batas pajak sebagai bagian dari ruang lingkupkeuangan negara.

Dengan memperhatikan doktrin hukum keuangan publik, jelaslembaga pemeriksa negara dalam pengelolaan dan tanggung jawabperpajakan merupakan lembaga yang terpisahkan. Pengelolaan dalamsektor perpajakan yang memiliki domain hukum administrasi Negaradan peraturan perundang-undangan telah mengklasifikasikannya dalamsistem self assessment. Dalam regulasi pemeriksaan pengelolaan pajakdan tanggung jawab pajak, keduanya memiliki imunitas sendiri sesuaidengan kewenangannya dan ranah hukum masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA

A. Appadorai, The Subtance of Politics (Oxford: Oxford University Press,1974.

Alberto Alesina, Nouriel Roubini, and Gerald D. Cohen, Political Cyclesand the Macroeconomy (Massachusetts: Massachusetts Instituteof Technology, 1997).

Arifin P. Soeria Atmadja (a), Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum:Teori, Praktik, dan Kritik (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas HukumUniversitas Indonesia, 2005).

Arifin P. Soeria Atmadja (b), Mekanisme Pertanggungjawaban KeuanganNegara (Jakarta: Gramedia, 1989), hal. (Jakarta: Gramedia, 1989).

Arifin P. Soeria Atmadja (c), “Kedudukan dan Fungsi BPK dalam StrukturKetatanegaraan RI,” dalam 70 Tahun Prof. Dr. Harun Alrasid:Integritas, Konsistensi Seorang Sarjana Hukum (Depok: Pusat StudiHukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia,2000).

Arifin P. Soeria Atmadja (d), “Mencari Format Baru Sistem Pemeriksaan(audit) Keuangan Publik oleh Internal Auditor,” (Makalah yangdisampaikan dalam Seminar Sehari Reinventing Auditor Inter-

Pemeriksaan Terhadap Pajak Sebagai Bagian Dari Ruang Lingkup Keuangan Negara...

Page 112: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

96

Vol. 8 No. 1 - April 2011

nal Pemerintah yang diselenggarakan oleh Pusat PengembanganAkuntansi dan Keuangan, Jakarta 7 Juni 2000.

Arifin P. Soeria Atmadja (d), “Reorientasi Penertiban Fungsi LembagaPengawasan dan Pemeriksaan Keuangan Negara.” (PidatoPengukuhan Guru Besar Luar Biasa Fakultas Hukum UniversitasIndonesia, 21 Juni 1997).

Brian Thompson, Textbook on Constitutional & Administrative Law (London:Blackstone Press Ltd., 1993.

Chidir Ali, Badan Hukum (Bandung: Alumni, 2005.

David Held, Models of Democracy (Oxford: Blackwell Publisher Ltd., 1997).

E. Utrecht, Hukum Administrasi Negara Indonesia (Jakarta: Ichtiar, 1956).

Francis Fukuyama, State Building: Governance and World Order in TheTwenty-Fisrt Century (London: Profile Books Ltd., 2005.

Gbriel A. Almond and G. Bingham Powell, Jr., System, Process, and PolicyComparative Politics (Boston: Little, Brown, and Company, 1978).

Gouw Giok Siong, Pengertian tentang Negara Hukum (Jakarta: PenerbitanKeng Po, 1955).

Guy Benveniste, Birokrasi [Bereaucracy], diterjemahkan oleh SahatSimamora, (Jakarta: Rajawali Press, 1997).

Hans Kelsen, General Theory of Law and State (New York: Russel andRussel, 1971).

Ian Saphiro, Evolusi Hak dalam Teori Liberal [The Evolution of Rights inLiberal Theory], diterjemahkan oleh Masri Maris, (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, Freddom Institute dan Kedutaan BesarAmerika Serikat di Indonesia, 2006).

Indonesia (a), Undang-undang Dasar 1945 sebelum Perubahan.

Indonesia (b), Undang-undang tentang Badan Pemeriksa Keuangan, UUNo. 5 tahun 1973, LN. No. 39 tahun 1973, TLN No. 3010,Penjelasan.

Jimly Asshiddiqie (a), Perkembangan & Konsolidasi Lembaga negara PascaReformasi (Jakarta: Konstitusi Press, 2006).

Jimly Asshiddiqie (b), Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta:Konstitusi Press, 2006).

John Gilsen dan Frits Gorle, Sejarah Hukum: Suatu Pengantar [HistorischeInleiding tot het Recht], penyadur Freddy Tengker, penyuntingLili Rasjidi dan Aep Gunarsa, (Bandung: Refika Aditama, 2005).

Page 113: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

97

John W. Creswell, Research Design: Quantitative and Qualitative Approaches(AS: Sage Publication Inc., 1994).

Jusuf Indradewa, “Fenomena Harun Alrasid,” dalam 70 Tahun Prof. Dr.Harun Alrasid Integritas, Konsistensi Seorang Sarjana Hukum (Depok:Pusat Studi Hukum Universitas Indonesia, 2000).

Konrad Zweigert and Hein Kotz, Introduction to Comparative Law (Oxford:Clarendon Press, 1992).

Lihat F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas (Jakarta:Kanisius, 2003), hal. 162. Sebagai bahan diskusi terkait lihatjuga historis-filosofis lembaga audit dalam A.V. Dicey, Introductionto the Study of the Law and the Constitution (London: McMillan andCo., 1952).

Lihat juga Richard J. Stillman II, Public Administration, ed. 7, (Boston:Hougton Mifflin, 2000).

Lihat W. Thornhill, Public Administration (St Edmunds: St EdmundsburyPress, 1979).

M.D.A. Freeman, Interoduction to Jurisprudence (London: Sweet & MaxwellLtd., 2001).

Mark Skousen, Sang Maestro Teori-teori Ekonomi Modern [the Making ofModern Economic: the lives and Ideas of the Great Thinkers],diterjemahkan oleh Tri Wibowo Budi Santoso, (Jakarta: Prenada,2005).

Nicholas Henry, Administrasi Negara dan Masalah-masalah Kenegaraan[Administration and Public Affairs], diterjemahkan oleh LucianaD. Lontoh, (Jakarta: Rajawali Press, 1988).

Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, cet. 10, (Jakarta: GhaliaIndonesia, 1994).

Richard A. Epstein, Skepticism and Freedom: A Modern Case for ClassicalLiberalism (New York: McGraw-Hill Book, 1978).

Robert Cooter and Thomas Ulen, Law and Economics (Masscahusetts:Addison-Wesley, 1997).

Robert d. Behn, Rethingking Democratic Accountability (Washington D.C.:Brookings Institution Press, 2001).

Robert D. Lee and Ronald W. Johnson, Public Budgeting System (Baltimore:University Park Press, 1975).

Roger Stacey and John Oliver, Public Administration: The PoliticalEnvironment (London: Macdonal & Evans Ltd., 1980).

Page 114: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

98

Vol. 8 No. 1 - April 2011

Rohmat Soemitro, “Tanggung Jawab Keuangan Negara,” Padjadjaran 2(April-Juni 1981).

Severyn T. Bruyn, A Civil economy: Transforming the Market in The Twenty-First Century (Michigan: The University of Michigan Press, 2000).

Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan(Bandung: CV Utomo, 2006).

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum.

Stuart MacRae and Douglas Pitt, Public Administration: an Introduction(London: Pitman Books Ltd., 1980).

Umar Wirahadikusumah, “Pemeriksaan Keuangan Negara dalamPelaksanaan,” Pemeriksa 3 (Maret 1982).

W. Lawrence Neuman, Social Research Method: Qualitative and QuantitativeApproaches (Boston: Pearson Education Inc., 2003).

Walter W. Helter, New Dimensions of Political Economy (New York: W.W.Norton & Co., 1976).

Page 115: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

99

PEMBAHARUAN SISTIM PERPAJAKAN DAERAH DI INDONESIAINDONESIAN LOCAL TAXATION REFORM

Budi Sitepu*

(Naskah diterima 4/3/2011, disetujui 30/3/2011)

AbstrakIndonesia telah melalui beberapa fase dalam sistem perpajakan daerahnya,terakhir dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang PajakDaerah dan Retribusi Daerah. Perubahan yang dilakukan dengan undang-undangtersebut cukup signifikan, mulai dari pembatasan jenis pajak daerah, penguatanlocal taxing power, perubahan sistem pengawasan, sampai pada pengaturanuntuk optimalisasi pemungutan dan pemanfaatan hasil pajak daerah.Pembatasan jenis pajak daerah dilakukan dengan menerapkan ‘closed-list’sistem dengan menetapkan 16 jenis pajak yang dapat dipungut oleh daerah,yakni 5 jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak kabupaten/kota. Penguatanlocal taxing power dilakukan dengan memperluas objek pajak daerah, menambahjenis pajak daerah, menaikkan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah,dan memberikan kewenangan sepenuhnya kepada daerah untuk menetapkantarif pajak daerah. Sedangkan pengawasan pajak daerah dilakukan melaluipendekatan preventif dan korektif, yakni mengevaluasi rancangan peraturandaerah sebelum ditetapkan menjadi peraturan daerah (perda) dan membatalkanperda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebihtinggi. Sementara itu, optimalisasi pemungutan dan pemanfaatan hasil pajakdilakukan dengan memperbaiki porsi bagi hasil pajak provinsi kepadakabupaten/kota, menegaskan earmarking beberapa jenis pajak provinsi, danmengatur kembali pemberian insentif pemungutan. Pembaharuan sistemperpajakan daerah di Indonesia merupakan tuntutan dari implementasikebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang dilakukan denganmenyerahkan sumber-sumber pendapatan kepada daerah secara bertahap.Pengalihan jenis pajak provinsi tertentu dan sebagian jenis pajak pusat kepadakabupaten/kota merupakan pengaturan kembali sistem perpajakan nasionaldengan menetapkan jenis-jenis pajak yang tepat untuk dipungut oleh pusat,provinsi, dan kabupaten/kota. Kondisi ekonomi dan potensi pajak yang dimilikioleh kabupaten/kota di Indonesia sangat bervariasi. Diperlukan strategipemerintah untuk memberikan asistensi dan fasilitasi bagi daerah tertentuagar pemungutan pajak daerah dapat berjalan lancar. Di sisi lain, evaluasi danpenyempurnaan kebijakan perpajakan daerah perlu terus dilakukan untukmenciptakan sistem perpajakan daerah yang efisien dan efektif di Indonesia.Kata Kunci: sistem perpajakan daerah, local taxing power, closed-list system,

desentralisasi fiskal

* Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, KementerianKeuangan.

Page 116: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

100

Vol. 8 No. 1 - April 2011

AbstractIndonesia has experienced a number of phases on its local taxation systems, thelatest one was indicated by promulgation of Law No. 28 Year 2009 concerning localtaxes and local charges. A significant changes has been made by the said law, suchas limitation of local taxes, local taxing empowerment, improvement of control system,and optimalization of tax collection and the use of local tax revenues. Limitation oflocal taxes is done by determining 16 type of local taxes (5 type provincial taxes and11 type region/city taxes) and implementing a ‘closed-list’ systems. Local taxingempowerment is done by extending the tax object of several local taxes, introducingnew taxes, increasing the maximum tarif of several local taxes, and full discreation oftarif determination to local government. Control system was changed to a preventiveand corrective approach, by evaluating the draft of local regulations before they areadapted as local regulation, besides provocating local regulation that is against thehigher laws and regulations. Meanwhile, optimalization of tax collection and the useof local tax revenues is done by improving the share of provincial tax revenues toregions/cities, introducing of earmarking on several local taxes, and improving thearrangement of tax incentives. The local taxation reform was driven by the need forbetter implementation of local otonomy and fiscal decentralization policies, by grantingmore revenue sources to local government gradually. Devolution of a certain provincialtax and several central taxes to regions/cities can be seen as a reformulation ofnational tax system by redetermining the type of national taxes, provincial taxes, andregion/city taxes. Economic condition and tax potential varies among regions/cities inIndonesia. A special stragtegy is needed to assist and facilitate a certain region/cityin implementing the new local tax system. On the other hand, evaluation and improvementof local tax policies needs to be done continuously to develope an efficient and effectivelocal taxation system in Indonesia.

Keywords: local taxation system, local taxing power, closed-list system,fiscal decentralization

A. PendahuluanSejak Indonesia merdeka sampai dengan tahun 1997, perhatian

terhadap pembangunan sistem perpajakan daerah yang efisien danefektif dapat dikatakan sangat kurang, meskipun disadari bahwa pajakdaerah merupakan sumber penerimaan daerah yang penting. Hal inidisebabkan karena sistem pemerintahan dan sistem keuangan negarayang bersifat sentralistik, di mana kegiatan pelayanan dan pembangunandi daerah utamanya dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan BelanjaNegara yang pelaksanaannya dilakukan oleh kantor-kantor wilayahkementerian dan lembaga. Peran pajak daerah pada periode tersebutlebih bersifat pelengkap.

Perkembangan sistem perpajakan daerah di Indonesia sekurang-kurangnya telah melalui 4 (empat) fase, yaitu:

Page 117: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

101

1) Fase sebelum pembaharuan sistem perpajakan daerah (Pra LocalTax Reform), yaitu periode sejak Indonesia merdeka sampai dengantahun 1997, semasa diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah.

2) Fase penyempurnaan sistem perpajakan daerah (Local TaxationImprovement), yaitu periode 1997 sampai dengan tahun 2000,semasa diberlakukannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

3) Fase otonomi daerah, yaitu periode setelah tahun 2000, sejakdiberlakukannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentangPerubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997.

4) Fase pembaharuan sistem perpajakan daerah (Local Taxation Reform),yaitu periode 2010 sampai sekarang, sejak diberlakukannyaUndang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah danRetribusi Daerah.

Sistem perpajakan daerah pada masing-masing fase tersebut diatas memiliki warna tersendiri sesuai dengan kondisi dan tuntutanperkembangan ekonomi, sosial, dan politik.

Penyempurnaan sistem perpajakan daerah dilakukan pada tahun1997 dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997.Perubahan yang dilakukan lebih bersifat penertiban pungutan daerahdan mengarahkan agar pengenaan pajak daerah dilakukan denganmengikuti prinsip-prinsip pungutan yang baik. Dengan berlakunyaUndang-Undang Nomor 18 Tahun 1997, sebagian besar jenis pajak daerahdihapus dan tersisa hanya 9 jenis pajak daerah, yakni 3 jenis pajakdaerah tingkat I dan 6 jenis pajak daerah tingkat II. Pada periode ini,setiap penambahan jenis pajak daerah harus mendapat pengesahan daripemerintah pusat (sistem pengawasan preventif) untuk menjamin agarpemungutan pajak daerah tidak bertentangan dengan peraturanperundang-undangan dan/atau kepentingan umum.

Tujuan perbaikan sistem perpajakan daerah ini mengalami distorsiketika otonomi daerah mulai digulirkan pada tahun 2000. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota menuntut kewenangan yang lebih besar untuk dapat memungutpajak daerah yang sesuai dengan kondisi dan karakteristik daerahnyadengan tujuan utama meningkatkan pendapatan asli daerah. Dengandiberlakukannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, maka daerahmemiliki kewenangan untuk menciptakan jenis pajak daerah yang tidak

Pembaharuan Sistim Perpajakan Daerah di Indonesia

Page 118: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

102

Vol. 8 No. 1 - April 2011

tercantum dalam undang-undang sepanjang tidak melanggar rambu-rambu yang diatur dalam undang-undang tersebut.

Pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah di bidangperpajakan daerah acapkali tidak diikuti dengan tanggung jawab yangpenuh untuk mematuhi ketentuan yang diatur dalam Undang-UndangNomor 34 Tahun 2000. Sejumlah peraturan daerah yang mengatur pajakdaerah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebihtinggi, baik menyangkut objek, subjek, maupun tarifnya.

Banyaknya pungutan daerah yang bermasalah tersebut, antara laindisebabkan karena:

a) daerah diberi peluang untuk menciptakan pungutan baru di luaryang telah ditetapkan dalam UU.

b) daerah kurang memahami atau “mengabaikan” kriteria pungutandaerah yang baik;

c) prinsip “money follows function” belum berjalan dengan baik sehinggabanyak daerah berusaha untuk mendapatkan sumber penerimaanbaru untuk memenuhi kebutuhan pengeluarannya, namun kurangmemperhatikan kaedah-kaedah pungutan yang baik;

d) pengawasan perda dilakukan secara represif; dane) tidak adanya sanksi bagi daerah yang melanggar ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Meskipun pemerintah dapat membatalkan perda-perda yangbermasalah tersebut, namun tidak semua daerah segera menghentikanpemungutan pajak daerah meskipun perdanya telah dibatalkan olehpemerintah. Pungutan yang ‘bermasalah’ ini memberikan beban yangberlebihan bagi masyarakat dan menciptakan iklim investasi yangkurang kondusif di daerah. Berbagai langkah persuasif dilakukan olehpemerintah untuk mengendalikan pungutan daerah yang ‘bermasalah’tersebut, antara lain memberikan bimbingan, teguran, dan menyediakanpedoman penyusunan perda yang baku. Namun langkah-langkahtersebut, meskipun bermanfaat, efektivitasnya masih dirasa kurang.Langkah yang lebih diperlukan adalah melakukan pembaharuan sistemperpajakan daerah di Indonesia yang dapat memberikan kepastianhukum dalam rangka menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif.

Pada tanggal 15 September 2009, Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan RetribusiDaerah sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997juncto Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Kelahiran UU pajak daerah

Page 119: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

103

dan retribusi daerah yang baru ini memberikan warna baru dalam sistemperpajakan daerah di Indonesia. Perubahan yang signifikan terlihat padabeberapa prinsip yang sangat mendasar, seperti pembatasan kewenangandaerah dalam menentukan jenis pajak daerah (closed-list), peningkatankewenangan daerah di bidang perpajakan daerah (penguatan local taxingpower), peningkatan efektivitas pengawasan, dan menegaskan kembaliaturan pemanfaatan pendapatan pajak daerah.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 berlaku secara efektif sejaktanggal 1 Januari 2010. Berbagai langkah dilakukan oleh pemerintahuntuk mengimplementasikan undang-undang tersebut, termasukdiseminasi kebijakan melalui sosialisasi dan konsultasi tentang Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, peningkatan kapasitas daerah melaluiberbagai program pelatihan, bimbingan teknis, asistensi, fasilitasi, danpenyediaan e-learning. Khusus untuk jenis-jenis pajak daerah yang baru,kepada daerah juga diberikan pedoman pemungutan mulai dari contohperaturan daerah, contoh business process (standard operating procedures)dan sistem komputerisasi yang diperlukan.

Langkah-langkah yang dilakukan tersebut ternyata belum cukupmemadai untuk menjamin implementasi kebijakan perpajakan daerahyang baru tersebut dapat berjalan dengan lancar. Ada 2 (dua) indikatoryang dapat dipakai untuk melihat keberhasilan pembaharuan sistemperpajakan daerah, yaitu: (1) pendapatan asli daerah mengalamipeningkatan, dan (2) kualitas pelayanan kepada masyarakat wajib pajaktidak mengalami penurunan.

Untuk mengukur keberhasilan pembaharuan sistem perpajakandaerah tersebut diperlukan evaluasi dalam horison waktu yang memadai.Berdasarkan proyeksi yang dibuat, peningkatan pendapatan asli daerahdiperkirakan akan dapat dicapai. Sedangkan peningkatan kualitaspelayanan kepada wajib pajak dipengaruhi oleh berbagai faktor, antaralain potensi objek pajak daerah dan kesediaan daerah untukmerumuskan sistem pemungutan pajak daerah yang sederhana,transparan, dan mudah dilaksanakan. Dukungan teknologi informasiyang tersedia di pasar merupakan salah satu alternatif yang dapatdipertimbangkan oleh daerah dalam mengoptimalkan pemungutan pajakdaerah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

B. Kebijakan Perpajakan Daerah Perubahan mendasar dalam sistem perpajakan daerah yang baru

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 terdiri

Pembaharuan Sistim Perpajakan Daerah di Indonesia

Page 120: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

104

Vol. 8 No. 1 - April 2011

dari 4 hal, yaitu: (1) penerapan ‘Closed-List’ system, (2) penguatan localtaxing power, (3) perubahan sistem pengawasan, dan (4) perbaikanpengelolaan penerimaan pajak daerah. Secara ringkas, perubahantersebut dapat dijelaskan berikut ini:

1. Closed-List System

Kebijakan perpajakan daerah yang baru menganut prinsip ‘closed-list’ system, yakni daerah hanya boleh memungut jenis pajak daerahyang ditetapkan dalam undang-undang. Hal ini berbeda dengan kebijakanperpajakan daerah yang lama yang menganut sistem ‘open-list’ dimanadaerah dapat memungut berbagai jenis pajak daerah (meskipun jenispajak tersebut tidak tercantum dalam undang-undang) sepanjang tidakbertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturanperundang-undangan yang lebih tinggi.

Tujuan dari perubahan kebijakan tersebut adalah untukmeningkatkan efisiensi pemungutan pajak daerah dan memberikankepastian hukum bagi masyarakat mengenai jenis-jenis pajak daerahyang menjadi kewajibannya. Hal ini juga dimaksudkan untukmenciptakan iklim investasi yang lebih kondusif di daerah sehinggadapat memacu pertumbuhan ekonomi nasional.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 menetapkan 16 jenis pajakdaerah yang dapat dipungut oleh daerah, yang terdiri dari 5 jenis pajakprovinsi dan 11 jenis pajak kabupaten/kota, dengan rincian:

Pajak Provinsi, terdiri dari:

1) Pajak Kendaraan Bermotor;2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;4) Pajak Air Permukaan;5) Pajak Rokok.

Pajak Kabupaten/Kota, terdiri dari:

1) Pajak Hotel;2) Pajak Restoran;3) Pajak Hiburan;4) Pajak Reklame;5) Pajak Penerangan Jalan;6) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;7) Pajak Parkir;8) Pajak Air Tanah;9) Pajak Sarang Burung Walet;

Page 121: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

105

10) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan;11) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Baik provinsi maupun kabupaten/kota hanya boleh memungutjenis pajak sebagaimana tercantum dalam daftar di atas dan tidakdiperkenankan untuk menambah jenis pajak daerah baru.

2. Local Taxing Power

Dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah, kepadadaerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengoptimalkanpemungutan jenis pajak daerah yang ada. Peningkatan kewenangantersebut dilakukan dengan memperluas objek beberapa jenis pajak,menambah jenis pajak daerah, meningkatkan tarif maksimum beberapajenis pajak daerah, dan memberikan kewenangan sepenuhnya kepadadaerah untuk menetapkan tarif pajak daerah.

Perluasan objek pajak antara lain dilakukan dengan memperluasobjek pajak restoran sehingga mencakup juga katering/jasa boga,memperluas objek pajak hotel sehingga mencakup keseluruhanpersewaan ruangan di hotel, dan memperluas objek pajak hiburansehingga mencakup juga permainan golf dan bowling.

Penambahan jenis pajak daerah dilakukan denganmemperkenalkan jenis pajak daerah yang baru (pajak rokok untukprovinsi dan pajak sarang burung walet untuk kabupaten/kota),mengalihkan jenis pajak provinsi tertentu menjadi pajak kabupaten/kota (pajak air tanah), dan mengalihkan beberapa pajak pusat menjadipajak kabupaten/kota (PBB-PP dan BPHTB). Adapun karakteristik dandasar pertimbangan penambahan jenis pajak daerah tersebut adalahsebagai berikut:

a. Pajak rokok merupakan jenis pajak daerah baru di tingkat provinsiyang dapat dipungut mulai tanggal 1 Januari 2014. Pertimbanganutama menetapkan jenis pajak daerah baru ini adalah untukmenyediakan dana bagi upaya pemulihan kesehatan masyarakatsebagai akibat rokok, baik yang diderita oleh perokok aktif maupunperokok pasif. Dasar pengenaan pajak rokok adalah cukai rokokdan pemungutannya dilakukan oleh pemerintah sertadidistribusikan kepada provinsi berdasarkan komposisi jumlahpenduduk. Distribusi berdasarkan komposisi jumlah pendudukdidasarkan pada pertimbangan bahwa ratio jumlah penduduk yangmerokok dan tidak merokok di seluruh provinsi relatif sama dantidak berubah.

Pembaharuan Sistim Perpajakan Daerah di Indonesia

Page 122: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

106

Vol. 8 No. 1 - April 2011

b. Pajak sarang burung walet merupakan jenis pajak daerah baru dikabupaten/kota dan hanya dikenakan atas hasil pengelolaansarang burung walet yang tidak dikenakan Penerimaan NegaraBukan Pajak. Hal ini diperlukan untuk menghindarkan terjadinyapajak yang tumpang tindih, yakni satu objek pajak dipungut olehpusat dan juga dipungut oleh daerah. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, hasil pengelolaan sarang burungwalet merupakan objek Pajak Pertambahan Nilai. Jenis pajak inidapat dipungut oleh kabupaten/kota sejak 1 Januari 2010.

c. Pajak air tanah merupakan pengalihan dari pajak provinsi menjadipajak kabupaten/kota. Pertimbangan pengalihan jenis pajak inidari provinsi kepada kabupaten/kota utamanya adalah karena asaslokalitas, dimana objek pajak, yaitu air tanah, pada dasarnya beradapada satu kabupaten/kota dan tidak berpindah-pindah (immobile),sehingga lebih tepat ditetapkan sebagai pajak kabupaten/kota.Kabupaten/kota dapat memungut jenis pajak ini mulai tanggal 1Januari 2010 dan selambat-lambatnya tanggal 1 Januari 2011.

d. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-PP)merupakan pengalihan dari pajak pusat menjadi pajak kabupaten/kota. Beberapa pertimbangan yang mendasari pengalihan jenispajak ini adalah:

- Asas lokalitas, dimana objek pajak, yaitu tanah dan bangunan,berada pada satu kabupaten/kota dan tidak berpindah-pindah(im-mobile);

- Asas tax-benefit link, dimana pembayar pajak dan pihak yangmemperoleh manfaat pajak berada pada satu kabupaten/kota;

- Prinsip akuntabilitas, dimana daerah mempertanggungjawabkanpengelolaan hasil pajak daerah kepada masyarakat didaerahnya;

- Best-practice secara internasional, dimana hampir semuaNegara di dunia menempatkan property tax sebagai pajakdaerah.

Jenis pajak ini dapat dipungut oleh kabupaten/kota mulai tanggal1 Januari 2011 dan paling lambat tanggal 1 Januari 2014.

e. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakanpengalihan dari pajak pusat menjadi pajak kabupaten/kota.Pertimbangan pengalihan jenis pajak ini menjadi pajak daerahsama dengan PBB-PP, yaitu:

Page 123: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

107

- Asas lokalitas, dimana objek pajak berada pada satukabupaten/kota dan tidak berpindah-pindah (im-mobile);

- Asas tax-benefit link, dimana pembayar pajak dan pihak yangmemperoleh manfaat pajak berada pada satu kabupaten/kota;

- Prinsip akuntabilitas, dimana daerah mempertanggungjawabkanpengelolaan hasil pajak daerah kepada masyarakat didaerahnya;

- Best-practice secara internasional, dimana hampir semuaNegara di dunia menempatkan property transfer tax sebagaipajak daerah.

Jenis pajak ini dapat dipungut oleh kabupaten/kota mulai 1 Januari2011.

Kenaikan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah akanmemberikan ruang gerak yang lebih luas bagi daerah untukmeningkatkan pendapatan. Namun demikian, dalam memanfaatkanruang gerak tersebut, daerah harus memperhitungkan dampak darisetiap kenaikan tarif pajak daerah, baik dari sisi pendapatan daerah,daya pikul masyarakat, kondisi perekonomian daerah, dan lain-lain.Beberapa jenis pajak daerah yang mengalami kenaikan tarif maksimumadalah:

a. Pajak Kendaraan Bermotor, tarif maksimum naik dari 5% menjadi10%.

b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, tarif maksimum naik dari10% menjadi 20%.

c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, tarif maksimum naikdari 5% menjadi 10%.

d. Pajak Parkir, tarif maksimum naik dari 20% menjadi 30%.

e. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, tarif maksimum naikdari 20% menjadi 25%.

f. Pajak Hiburan, tarif maksimum naik dari 35% menjadi 75%.

Tarif efektif pajak daerah ditetapkan dalam peraturan daerah dantidak boleh melampaui tarif maksimum.

Penguatan local taxing power ini ditujukan untuk memberikankompensasi kepada daerah atas dibatasinya ruang gerak dalammenciptakan jenis pajak daerah baru di luar yang ditetapkan undang-undang. Dengan kompensasi ini diharapkan daerah dapatberkonsentrasi untuk mengupayakan optimalisasi pemungutan pajak

Pembaharuan Sistim Perpajakan Daerah di Indonesia

Page 124: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

108

Vol. 8 No. 1 - April 2011

daerah yang ada dalam rangka meningkatkan pendapat asli daerah tanpaperlu memikirkan kemungkinan pemungutan jenis pajak daerah baru.Melalui kebijakan ini, timbulnya perda-perda pungutan bermasalah(tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan) dapat dikurangiatau bahkan dihilangkan.

3. Sistem Pengawasan

Pajak daerah hanya dapat dipungut oleh daerah dengan menetapkanperaturan daerah. Oleh karena itu, pengawasan pajak daerah dapatdilakukan melalui mekanisme evaluasi atas rancangan peraturandaerah (raperda) dan peraturan daerah (perda) yang mengatur pajakdaerah. Untuk meningkatkan efektivitas pengawasan, masyarakat(individu dan lembaga) dan dunia usaha dapat menyampaikan informasikepada pemerintah mengenai praktik pemungutan pajak daerah yangdipandang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan denganmelampirkan perda yang digunakan sebagai dasar pemungutan.

Sistem pengawasan pajak daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 menganut pendekatan yang terdapatdalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yakni preventif dan korektif.Suatu raperda tentang pajak daerah yang telah disetujui bersama olehpemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah, sebelumditetapkan menjadi perda harus dievaluasi terlebih dahulu olehpemerintah. Untuk raperda provinsi, evaluasi dilakukan oleh MenteriDalam Negeri yang berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. Sedangkanuntuk raperda kabupaten/kota, evaluasi dilakukan oleh Gubernur yangberkoordinasi dengan Menteri Keuangan.

Pemerintahan provinsi, dalam menetapkan perda pajak daerah,harus mematuhi hasil evaluasi raperda yang dilakukan oleh MenteriDalam Negeri. Apabila daerah mengabaikan hasil evaluasi ataumenetapkan perda pajak daerah dengan mengabaikan hasil evaluasiMenteri Dalam Negeri, maka Menteri Dalam Negeri dapat membatalkanperda tersebut. Demikian juga halnya dengan pemerintahan kabupaten/kota. Hasil evaluasi gubernur harus digunakan untuk menyempurnakanrancangan perda. Apabila daerah mengabaikan hasil evaluasi tersebutatau tetap menetapkan perda PDRD dengan mengabaikan hasil evaluasigubernur, maka gubernur dapat membatalkan perda tersebut.Mekanisme ini disebut dengan pendekatan ‘preventif’.

Setiap perda pajak daerah yang ditetapkan oleh daerah harusdisampaikan kepada pemerintah, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri(sebagai pembina wilayah) dan Menteri Keuangan (sebagai pemegang

Page 125: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

109

otoritas fiskal). Menteri Keuangan melakukan evaluasi atas seluruhperda pajak daerah untuk menjamin agar pungutan yang dilakukan olehdaerah tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan/atauperaturan perundang-undangan. Apabila pengaturan yang terdapat dalamsuatu perda pajak daerah tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan/atau kepentingan umum, Menteri Keuanganmerekomendasikan pembatalan perda tersebut kepada Presiden melaluiMenteri Dalam Negeri. Dengan Peraturan Presiden, perda pajak daerahdimaksud dibatalkan. Mekanisme ini disebut dengan pendekatan‘korektif’

Pendekatan ‘preventif’ dan ‘korektif’ akan dapat mengurangitimbulnya pungutan ‘bermasalah’ dan meningkatkan rasa nyaman bagimasyarakat karena pungutan yang dilakukan oleh daerah benar-benarberdasarkan peraturan perundang-undangan. Pendekatan inidiharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat membayarpajak dan mendukung terciptanya iklim investasi yang lebih kondusifdi daerah.

Di samping mengatur mengenai mekanisme penetapan perda pajakdaerah dan retribusi daerah, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 jugamengatur ‘sanksi’ bagi daerah yang melakukan pelanggaran di bidangpajak daerah. Pengaturan lebih rinci mengenai mekanisme penerapansanksi tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.07/2010 tanggal 25 Januari 2010. Berdasarkan ketentuan ini,sanksi atas pelanggaran undang-undang pajak daerah dan retribusidaerah diatur sebagai berikut:

a) Pelanggaran yang bersifat administratif (seperti menetapkan perdatanpa melalui proses evaluasi raperda, tidak mematuhi hasilevaluasi pemerintah, dan tidak menyampaikan perda yang telahditetapkan kepada pemerintah) dapat dikenakan sanksi berupapenundaan penyaluran dana perimbangan (DAU atau DBH PajakPenghasilan).

b) Pelanggaran yang bersifat substantif (memungut pajak daerah atasdasar perda yang telah dibatalkan) dapat dikenakan sanksi berupapemotongan dana perimbangan (DAU atau DBH Pajak Penghasilan).

Dengan adanya sanksi tersebut, diharapkan pemerintah daerahdapat lebih ‘prudent’ dalam menetapkan perda pajak daerah danmematuhi peraturan perundang-undangan yang mengatur pajak daerah.

4. Pengelolaan Penerimaan Pajak Daerah

Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat membayar pajak

Pembaharuan Sistim Perpajakan Daerah di Indonesia

Page 126: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

110

Vol. 8 No. 1 - April 2011

daerah dan dalam rangka optimalisasi pemungutan pajak daerah,Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 mengatur beberapa hal terkaitdengan pengelolaan pendapatan pajak daerah, yaitu bagi hasil pajakprovinsi, earmarking, dan insentif pemungutan.

1) Bagi hasil pajak provinsi

Seluruh pendapatan pajak provinsi dibagihasilkan kepadakabupaten/kota yang berada di wilayah provinsi tersebut.Pembagian hasil pajak provinsi adalah sebagai berikut:

No. Jenis Pajak Provinsi Provinsi Kabupaten/Kota

1. Pajak Kendaraan Bermotor 70% 30%

2. Bea Balik Nama Kend Bermotor 70% 30%

3. Pajak Bahan Bakar Kend Bermotor 30% 70%

4. Pajak Air Permukaan 50% 50%

5. Pajak Rokok 30% 70%

2) Earmarking

Pendapatan dari jenis pajak tertentu dialokasikan untukmembiayai kegiatan yang secara langsung dirasakan manfaatnya olehpembayar pajak tersebut (earmarking). Terdapat 3 (tiga) jenis pajak yangsecara eksplisit di-earmark, yaitu:

a) 10% dari pendapatan pajak kendaraan bermotor harus dialokasikanuntuk pembangunan/perbaikan jalan dan transportasi umum,

b) sebagian pendapatan pajak penerangan jalan harus digunakanuntuk menyediakan penerangan jalan umum, dan

c) 50% dari pendapatan pajak rokok harus dialokasikan untukpeningkatan pelayanan kesehatan.

Dengan kebijakan ‘earmarking’ ini, para pembayar pajak akan dapatmerasakan manfaat dari pajak yang dibayar.

3) Insentif Pemungutan

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentangpajak daerah, diatur pemberian biaya pemungutan paling tinggi 5% daripendapatan pajak daerah. Dalam implementasinya, alokasi biayapemungutan tersebut dipandang kurang mencapai sasaran, sehinggadalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 dilakukan perbaikan.

Berdasarkan kebijakan pajak daerah yang baru, pemberian insentifpemungutan didasarkan atas pencapaian kinerja tertentu dan diberikansebagai tambahan penghasilan bagi aparatur pemungut pajak daerah.

Page 127: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

111

Hal ini ditujukan untuk merangsang petugas mengoptimalkanpemungutan pajak daerah. Untuk provinsi, besarnya insentifpemungutan ditetapkan paling tinggi 3% dan untuk kabupaten/kotapaling tinggi 5%. Untuk menghindarkan pemberian insentif pemungutanyang berlebihan, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010tentang tatacara pemberian dan pemanfaatan insentif pemungutanpajak daerah diatur batasan besarnya insentif pemungutan berdasarkankluster tertentu dengan batas paling tinggi 10 kali gaji pokok ditambahtunjangan yang mengikat untuk setiap bulannya.

C. Tindak Lanjut Untuk Implementasi Kebijakan Yang EfektifPerubahan kebijakan pajak daerah yang diatur dalam Undang-

Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentu saja memerlukan perubahan polapikir (‘mind-set’) dan perubahan cara kerja seluruh stakeholder di bidangpajak daerah. Pemerintah daerah harus benar-benar memperhatikanperaturan perundang-undangan dalam pemungutan pajak daerah agardapat menghimpun dana masyarakat untuk pembangunan tanpamemberikan beban yang berlebihan bagi masyarakat dan dunia usaha.Masyarakat harus benar-benar menaati kewajiban membayar pajakdaerah sebagaimana diatur dalam peraturan daerah agar pembangunandaerah dan pelayanan masyarakat dapat ditingkatkan. Pemerintah pusat(Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri) harus benar-benar melakukan pembinaan dan pengawasan untuk menjamin agarperaturan daerah tentang pajak daerah tidak melanggar peraturanperundang-undangan.

Beberapa langkah yang perlu dilakukan agar implementasi sistemperpajakan daerah yang baru dapat berjalan dengan baik antara lainadalah:

a. Melakukan sosialisasi UU pajak daerah dan retribusi daerah yangbaru secara intensif dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat,baik pemerintahan daerah (Pemda dan DPRD), dunia usaha,lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, instansi pusat,dan elemen masyarakat lainnya.

b. Memanfaatkan sarana komunikasi yang tersedia untukmenjangkau seluruh lapisan masyarakat, seperti pemanfaatanmedia komunikasi (bulletin, TV, radio) dan melakukan tatap muka(workshop, seminar, lokakarya, bimbingan teknis).

c. Memanfaatkan event-event tertentu untuk menginformasikankebijakan perpajakan daerah yang baru seperti rapat koordinasi

Pembaharuan Sistim Perpajakan Daerah di Indonesia

Page 128: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

112

Vol. 8 No. 1 - April 2011

yang dilaksanakan oleh lembaga pemerintah, swasta, lembagapendidikan, dan lembaga internasional.

d. Memberdayakan berbagai pranata sosial dan teknis yang tersediauntuk menyebarluaskan kebijakan perpajakan daerah yang baruserta memberikan fasilitasi dan asistensi kepada pihak yangmembutuhkan.

Melalui berbagai langkah dan cara tersebut di atas, sekurang-kurangnya pemahaman masyarakat tentang hak dan kewajibannya dibidang pajak daerah menjadi lebih baik. Hal ini akan mendorongpartisipasi masyarakat dalam upaya pengumpulan dana untukpembangunan daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

D. Peluang dan TantanganPenguatan local taxing power yang diatur dalam Undang-Undang

Nomor 28 Tahun 2009 memberikan peluang bagi daerah untuk dapatmeningkatkan pendapatan daerah. Kewenangan menetapkan kebijakanpajak daerah sepenuhnya berada pada daerah (ditetapkan dalamperaturan daerah), sehingga daerah dapat merumuskan objek, subjek,dan tarif pajak daerah sesuai kondisi dan potensi yang dimiliki. Sejalandengan itu, pemungutan dan pemanfaatan pajak daerah juga sepenuhnyamenjadi tanggung jawab daerah, termasuk penyediaan sarana danprasarana serta sumber daya yang diperlukan untuk pemungutan pajakdaerah. Di sisi lain, masyarakat dapat melakukan pengawasan yanglebih efektif terhadap penggunaan dana pajak daerah yang dipungut darimereka.

Dari sejumlah pajak daerah yang dapat dipungut oleh daerah, jenispajak yang memiliki peluang dan tantangan yang cukup besar adalahpemungutan PBB-PP dan BPHTB. Secara nasional, potensi PBB-PP danBPHTB yang dapat dipungut oleh pusat relatif cukup besar. Berdasarkandata tahun 2010, penerimaan kedua jenis pajak ini mencapai sekitarRp 14 triliun, yakni Rp 7 triliun untuk masing-masing jenis pajak. Padasaat daerah memungut kedua jenis pajak tersebut, maka pendapatanasli daerah akan mengalami peningkatan sekurang-kurangnya samabesar dengan yang dapat dipungut oleh pusat selama ini.

Namun apabila diteliti secara individu, terdapat ketimpangan yangtajam mengenai potensi BPHTB dan PBB-PP yang dimiliki olehkapupaten/kota di Indonesia. Berdasarkan data tahun 2009, potensi PBB-PP dan BPHTB pada kabupaten/kota dapat dikelompokkan sebagaiberikut.

Page 129: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

113

a. BPHTB

1 Tinggi 235 47,8 98,5(lebih dari 1 Milyar)

2 Sedang 61 12,4 1,0(500 juta – 1 Milyar)

3 Rendah(kurang dari 500 juta) 196 39,8 0,5JUMLAH 492 100,0 100,0

Jumlah Daerah % dari % dari TotalNo. Kategori (Kabupaten/Kota) Jumlah Penerimaan

Daerah BPHTB

1 Besar 303 70%

2 Sedang 95 20%

3 Kecil 67 10%

JUMLAH 492 100%

No. Kategori Jumlah Persentase dari(Kabupaten/Kota) Penerimaan PBB-PP

Sumber: Direktorat PDRD, Ditjen Perimbangan Keuangan.

Dari tabel di atas diperoleh gambaran bahwa sekitar 60,2%kabupaten/kota memiliki potensi BPHTB yang memadai (mewakili99,5% dari total penerimaan BPHTB). Sedangkan 39,8% kabupaten/kota lainnya memiliki potensi BPHTB yang rendah. Kelompokdaerah ini memungut hanya sekitar 0,5% dari total penerimaanBPHTB.

b. PBB-PP

Sumber: Direktorat PDRD, Ditjen Perimbangan Keuangan.

Gambaran mengenai ketimpangan potensi PBB-PP antarkabupaten/kota juga dapat dilihat pada tabel di atas. Hanya sekitar125 kabupaten/kota atau 25% dari jumlah kabupaten/kota diIndonesia memiliki potensi PBB-PP yang memadai. Namun PBB-PP yang dapat dipungut oleh daerah ini mencapai 90% dari potensiPBB-PP secara nasional. Sedangkan 369 kabupaten/kota lainnyaatau sekitar 75% dari jumlah kabupaten/kota di Indonesiamemiliki potensi PBB-PP yang relatif kecil dan memungut sekitar10% dari potensi PBB-PP secara nasional.

Pembaharuan Sistim Perpajakan Daerah di Indonesia

Page 130: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

114

Vol. 8 No. 1 - April 2011

Ketimpangan potensi BPHTB dan PBB-PP sebagaimana digambarkandi atas menimbulkan berbagai persepsi daerah dalam menerimakebijakan pengalihan kedua jenis pajak tersebut. Kabupaten/kota yangmemiliki potensi BPHTB dan PBB-PP yang besar cenderung menyambutkebijakan pengalihan kedua jenis pajak tersebut dengan antusias daningin segera memungutnya. Dengan memungut BPHTB dan PBB-PPmaka seluruh penerimaan kedua jenis pajak tersebut menjadi hakdaerah tanpa harus dibagikan kepada provinsi ataupun kabupaten/kotalainya.

Sebaliknya, kabupaten/kota yang memiliki potensi BPHTB dan PBB-PP yang relatif kecil cenderung menginginkan agar kedua jenis pajaktersebut tetap dijadikan pajak pusat, dipungut oleh pusat, dandidistribuskannya kembali kepada daerah dalam bentuk Dana BagiHasil, sebagaimana yang berlaku selama ini. Selain itu, di dalamkebijakan yang berlaku selama ini terdapat program pemerataan hasilpajak dan pemberian insentif bagi daerah yang mencapai targetpenerimaan pajak. Untuk daerah tertentu, jumlah dana yang diterimadalam bentuk pemerataan BPHTB dan PBB-PP serta insentif jauhmelebihi potensi BPHTB dan PBB-PP yang dimiliki daerah tersebut.

Dengan adanya perbedaan kondisi dan potensi pajak antarkabupaten/kota, pemerintah perlu menyusun strategi yang dapatmendorong daerah segera mempersiapkan pemungutan BPHTB dan PBB-PP. Secara formal, pemerintah telah menerbitkan Peraturan BersamaMenteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 186/PMK.07/2010dan 53 Tahun 2010 tentang tahapan pengalihan BPHTB menjadi pajakdaerah dan Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri DalamNegeri Nomor 213/PMK.07/2010 dan 58 Tahun 2010 tentang tahapanpengalihan PBB-PP menjadi pajak daerah. Dalam kedua peraturantersebut diatur tugas dan tanggung jawab Kementerian Keuangan,Kementerian Dalam Negeri, dan Pemerintah Daerah dalam prosespengalihan BPHTB dan PBB-PP dari pemerintah kepada daerah. Tahapanpengalihan yang diatur dalam peraturan tersebut terkait dengan masatransisi pengalihan BPHTB (1 tahun) dan PBB-PP (4 tahun).

Pengaturan tersebut di atas perlu diikuti dengan kebijakan khususdi bidang sarana dan prasarana yang dapat membantu daerah yangmemiliki potensi BPHTB dan PBB-PP kecil agar mampu melakukanpemungutan secara baik. Apabila suatu daerah tidak dapat memungutBPHTB dan PBB-PP pada waktunya, maka daerah tersebut akankehilangan pendapatan karena tidak lagi memperoleh Dana Bagi HasilBPHTB dan PBB-PP.

Page 131: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

115

Dalam jangka pendek, pendapatan BPHTB dan PBB-PPkemungkinan akan mengalami penurunan, antara lain karena BPHTBdan PBB-PP merupakan jenis pajak baru bagi daerah. Di samping itu,terdapat beberapa kebijakan baru yang pro-rakyat kecil (antara lainpeningkatan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak menjadi Rp60 juta) sehingga mengurangi potensi objek pajak. Namun dalam jangkapanjang, ketika daerah sudah memungut BPHTB dan PBB-PP, makapenetapan NJOP yang realistis dan tarif PBB-PP yang memenuhi dayapikul masyarakat akan dapat meningkatkan pendapatan melalui pro-gram ekstensifikasi dan intensifikasi.

E. PenutupPajak daerah memiliki peranan yang semakin besar dalam

membiayai fungsi-fungsi pelayanan masyarakat dan mempercepatpembangunan daerah. Hal ini sejalan dengan kebijakan otonomi daerahdan desentralisasi fiskal yang secara bertahap dilakukan olehpemerintah dengan menyerahkan sebagian sumber-sumber pendapatankepada daerah untuk dikelola sesuai dengan karakteristik dan kondisidaerah.

Pembaharuan sistem perpajakan daerah yang dituangkan dalamUndang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 merubah secara signifikankebijakan perpajakan daerah di Indonesia. Pembatasan jenis pajakdaerah yang disertai dengan peningkatan kewenangan daerah di bidangperpajakan serta perbaikan sistem pengawasan pajak daerah, akanmemberikan kontribusi nyata bagi peningkatan pendapatan asli daerahdan pelayanan masyarakat.

Disadari bahwa kondisi ekonomi daerah di Indonesia sangatbervariasi. Terdapat sejumlah daerah yang berkembang dengan pesatdan memiliki potensi pajak yang tinggi, namun sejumlah daerah lainnyamengalami perkembangan ekonomi yang lambat dan memiliki potensipajak yang rendah. Agar implementasi kebijakan perpajakan daerahyang baru dapat berjalan dengan lancar, pemerintah perlu menyusunstrategi khusus untuk memberikan asistensi dan fasilitasi pemungutanpajak daerah bagi yang membutuhkannya.

Di samping mengupayakan kelancaran implementasi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, perlu dilakukan evaluasi danpenyempurnaan secara terus menerus mengenai kebijakan perpajakandaerah untuk menciptakan sistem perpajakan daerah yang efisien danefektif di Indonesia.

Pembaharuan Sistim Perpajakan Daerah di Indonesia

Page 132: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

116

Vol. 8 No. 1 - April 2011

DAFTAR PUSTAKA

Mardiasmo, 2009, Perpajakan, Edisi Revisi 2009, Andi, Yogyakarta.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajakdaerah dan retribusi daerah.

______, Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang tatacarapemberian dan pemanfaatan insentif pemungutan pajak daerah.

______, Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010 tentang Jenis pajakdaerah yang dibayar sendiri dan berdasarkan penetapan kepaladaerah.

______, Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri DalamNegeri Nomor 186/PMK.07/2010 dan 53 Tahun 2010 tentangtahapan pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah danBangunan menjadi pajak daerah.

______, Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri DalamNegeri Nomor 213/PMK.07/2010 dan 58 Tahun 2010 tentangtahapan pengalihan PBB-Perdesaan dan Perkotaan menjadi pajakdaerah.

______, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.07/2010 tentangtatacara pengenaan sanksi atas pelanggaran ketentuan di bidangpajak daerah dan retribusi daerah.

Page 133: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

117

PAJAK MELINDUNGI KETERSEDIAAN AIR TANAHTAX PROTECTING GROUND WATER AVAILABILITY

Eka Sri Sunarti*

(Naskah diterima 9/3/2011, disetujui 30/3/2011)

AbstrakNegara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asasdesentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikankesempatan dan keleluasaan kepada Daerah untuk menyelenggarakan OtonomiDaerah. Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diatur danditentukan sumber-sumber keuangan Daerah, di antaranya Pajak Daerah yangdiatur oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah danRetribusi Daerah. Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan industri,permintaan akan pemenuhan kebutuhan air bersih meningkat dengan pesat.Terkait penggunaan air permukaan telah terjadi penyedotan dan pengambilanair bawah tanah yang berlebihan, hal tersebut menyebabkan permukaan tanahsemakin menurun. Bagaimana kewenangan Negara dan Pemerintah Daerahdalam mengelola air tanah dan bagaimana seharusnya Peraturan Daerahmengatur pengelolaan pajak air tanah dimasa yang akan datang. Dalam kontekpenguasaan Sumber Daya Air dalam wilayah negara Indonesia, maka hakpenguasaannya adalah ada pada negara. Negara dalam hal ini PemerintahDaerah bertanggungjawab terhadap persoalan atau permasalahan lingkungan,ekologis atau segala hal yang menyangkut kebijakan publik atas masalahlingkungan dan sumber daya alam. Pajak mengenai air dapat dikenakan padapajak propinsi maupun pajak kabupaten kota. Dengan adanya pemungutan pajakair tanah terhadap masyarakat maka pola penggunaan air tanah akan dapatdibatasi. Fungsi perpajakan air tanah yaitu harus dibuat pola dan sistempengenaan pajak air tanah yang dapat mengatur pola pemakaian danpemanfaatan air bawah tanah sehingga ketersediaan air tanah dapat tetapterjaga.Kata kunci: Pajak, Air Tanah.

AbstractRepublic of Indonesia as a unitary State adheres to the principle of decentralization ingovernance, by providing the opportunity and flexibility to the regions to holdregional autonomy. To support the implementation of regional autonomy is set anddetermined the financial resources of the Region, including Regional Tax regulatedby Law Number 28 of 2009 on Local Taxes and Levies. Along with population andindustrial growth, demand for clean water needs increased rapidly. Related to theuse of surface water has been siphoned off and making excessive undergroundwater, it caused the surface soil decreases. How State and Local Government

* Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Page 134: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

118

Vol. 8 No. 1 - April 2011

authority to manage ground water and how should the Local Rules governing themanagement of ground water tax in the future. In the context of mastery of WaterResources in the territory of Indonesia, the mastery is right there in the country.Countries in this Region Government shall be responsible for the problems orenvironmental problems, ecological or any matters relating to public policy onenvironmental issues and natural resources. Tax on water can be imposed on provincialtaxes or tax district of the city. With the taxation of ground water to the society thenthe pattern of use of ground water will be limited. Taxation functions of groundwater that is to be made patterns and taxation systems that can regulate groundwater usage patterns and utilization of underground water so that soil water availabilitycan be maintained.Keyword: Tax, ground water

A. PendahuluanMengacu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 (UUDNRI Tahun 1945), kesejahteraan masyarakat merupakantanggung jawab negara. Asshiddiqie mengemukakan dalam pidatopengukuhan bahwa “Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan RepublikIndonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), di samping sebagaikonstitusi politik juga dapat disebut sebagai konstitusi ekonomi”. Salahsatu cirinya yang penting adalah UUD NRI Tahun 1945 mengandung idenegara kesejahteraan (welfare state) yang tumbuh berkembang karenapengaruh sosialisme sejak abad 19. Ciri negara kesejahteraan initercermin antara lain dalam rumusan Pasal 23 ayat (3), Pasal 33 danPasal 34. Berkaitan dengan pendayagunaan sumber daya Air dari pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945 yang mengandung ide negara kesejahteraan,yang paling terkait adalah Pasal 33 ayat (3). Pada intinya pasal tersebutmengemukakan bahwa sumber daya alam (termasuk Sumber Daya Air),yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, dandigunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat1. Dalam kontekpenguasaan Sumber Daya Air dalam wilayah negara Indonesia, hakpenguasaannya adalah ada pada negara. Dalam hal ini negara adalahsebagai kuasa dan petugas bangsa Indonesia bukan sebagai pemilik.Tugas mengelola tersebut yang menurut sifatnya termasuk hukumpublik, tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh seluruh bangsaIndonesia.

1 R.Ismala Dewi, 2009,Sumber Daya Air Untuk Kesejahteraan Masyarakat Lokal: Kajian mengenaiPengusahaan Air di Kecamatan Cidahu – Sukabumi dan Polanharjo – Klatem, Disertasi Program StudiPascasrjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Depok , hlm.19.

Page 135: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

119

Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asasdesentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, denganmemberikan kesempatan dan keleluasaan kepada Daerah untukmenyelenggarakan Otonomi Daerah. Karena itu, Pasal 18 UUD NRITahun 1945, antara lain, menyatakan bahwa pembagian DaerahIndonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunanpemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang.

Dalam penjelasan pasal tersebut, antara lain, dikemukakan bahwa“oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesiatidak akan mempunyai Daerah dalam lingkungannya yang staat juga.Daerah Indonesia akan dibagi dalam Daerah Propinsi dan DaerahPropinsi akan dibagi dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerahyang bersifat otonom (streek en locale rechtgemeenschappen) atau bersifatadministrasi belaka, semuanya menurut aturan yang ditetapkan denganUndang-Undang”. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakanBadan Perwakilan Daerah. Oleh karena itu, di daerah pun pemerintahanakan bersendi atas dasar pemusyawaratan.2

Dengan demikian, Undang-Undang Dasar 1945 merupakanlandasan yang kuat untuk menyelenggarakan otonomi denganmemberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawabkepada daerah.

Propinsi Daerah Tingkat I menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun1974, dalam Undang-Undang 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor34 Tahun 2004 dijadikan Daerah Propinsi dengan kedudukan DaerahOtonom dan sekaligus Wilayah Administrasi, melaksanakankewenangan Pemerintah Pusat yang didelegasikan kepada Gubernur.Daerah Propinsi bukan merupakan daerah Pemerintah atasan dariDaerah Kabupaten dan Daerah Kota. Dengan demikian, Daerah OtonomPropinsi dan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak mempunyaihubungan hierarki. Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tersebutberkedudukan bersama Daerah Otonom yang mempunyai kewenangandan keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakanmenurut prakarsa dan aspirasi masyarakat.

Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah, diatur danditentukan sumber-sumber keuangan Daerah, misalnya Pajak Daerah

2 Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin, 2001, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahandi Daerah, Gramedia, Jakarta , hlm.1.

Pajak Melindungi Ketersediaan Air Tanah

Page 136: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

120

Vol. 8 No. 1 - April 2011

yang diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang PajakDaerah dan Retribusi Daerah. Selain itu mengenai pengaturanKeuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah juga telah diatur danmengacu pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 TentangPerimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah danRetribusi Daerah menetapkan ketentuan-ketentuan pokok yangmemberikan pedoman kebijakan dan arahan bagi Daerah dalampelaksanaan pemungutan pajak dan retribusi, sekaligus menetapkanpengaturan untuk menjamin penerapan prosedur umum PerpajakanDaerah dan Retribusi Daerah.

Pajak Daerah dibagi menjadi Pajak Propinsi dan Pajak Kabupaten/Kota. Jenis Pajak Propinsi ditetapkan sebanyak 5 jenis pajak yaitu:

1. Pajak Kendaraan Bermotor;2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;4. Pajak Air Permukaan;5. Pajak Rokok.3

Jenis Pajak Kabupaten/propinsi terdiri atas :

1. Pajak Hotel;2. Pajak restoran;3. Pajak hiburan;4. Pajak Reklame;5. Pajak Penerangan Jalan;6. Pajak Mineral bukan Logam dan Batuan;7. Pajak Parkir;8. Pajak Air Tanah;9. Pajak Sarang Burung Walet;10. Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan; dan11. Bea Perolehan hak Atas Tanah dan bangunan.

Walaupun demikian, Daerah Propinsi dapat tidak memungut salahsatu atau beberapa jenis pajak yang telah ditetapkan, apabila potensipajak di Daerah tersebut dipandang kurang memadai. Khususnya untukdaerah yang setingkat daerah propinsi tetapi tidak terbagi dalam daerah

3 Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, LNTahun 2009 Nomor 130 menggantikan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, LN Tahun 2000 Nomor246.

Page 137: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

121

Kabupaten/Kota seperti Daerah Khusus Ibukota Jakarta, jenis pajakyang dapat dipungut merupakan gabungan dari pajak untuk DaerahPropinsi dan Pajak untuk Daerah Kabupaten/Kota.

Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan keleluasaankepada daerah Kabupaten/Kota dalam mengantisipasi situasi dan kondisiserta perkembangan perekonomian daerah pada masa mendatang yangmengakibatkan perkembangan potensi pajak dengan tetapmemperhatikan kesederhanaan jenis pajak dan aspirasi masyarakatserta memenuhi kriteria yang telah ditetapkan.

Untuk pelaksanaan pemungutan pajak tersebut daerah diberikewenangan untuk membuat peraturan daerah mengenai pemungutanpajak di daerahnya dengan suatu Peraturan Daerah. Dengan PeraturanDaerah dapat ditetapkan jenis pajak Propinsi dan Kabupaten/Kota selainyang tersebut di atas. Peraturan Daerah Pajak Daerah dan RetribusiDaerah yang dibuat oleh Pemerintah Daerah harus memenuhi kriteriasebagai berikut:

1) Bersifat pajak dan bukan retribusi.

2) Obyek pajak terletak atau terdapat di wilayah Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukuprendah serta hanya melayani masyarakat di wilayah DaerahKabupaten/Kota yang bersangkutan.

3) Obyek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengankepentingan umum, yang berarti bahwa pajak tersebutdimaksudkan untuk kepentingan bersama yang lebih luas antarapemerintah dan masyarakat dan memperhatikan aspekketenteraman, dan kestabilan politik ekonomi, sosial, budaya,pertahanan dan keamanan.

4) Obyek pajak bukan merupakan obyek pajak Propinsi dan/atauobyek pajak pusat.

5) Potensinya memadai, yang berarti bahwa hasil pajak cukup besarsebagai salah satu pendapatan daerah dan laju pertumbuhannyadiperkirakan sejalan dengan laju pertumbuhan daerah.

6) Tidak memberikan dampak ekonomi yang negative, artinya pajaktidak mengganggu alokasi sumber-sumber ekonomi dan tidakmerintangi arus sumber daya ekonomi antar daerah maupunkegiatan ekspor impor.

7) Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat.Aspek keadilan, antara lain adalah obyek dan subyek pajak harus

Pajak Melindungi Ketersediaan Air Tanah

Page 138: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

122

Vol. 8 No. 1 - April 2011

jelas sehingga dapat diawasi pemungutannya, jumlah pembayaranpajak dapat diperkirakan oleh wajib pajak yang bersangkutan dantarif pajak ditetapkan dengan memperhatikan keadaan wajib pajaksedangkan kemampuan masyarakat adalah kemampuan subyekpajak untuk memikul tambahan beban pajak.

8) Menjaga kelestarian lingkungan, yaitu bahwa pajak harus bersifatnetral terhadap lingkungan, yang berarti bahwa pengenaan pajaktidak memberikan peluang kepada pemerintah Daerah danmasyarakat untuk merusak lingkungan yang akan menjadi bebanbagi Pemerintah Daerah dan masyarakat.4

Dalam kaitannya dengan kewenangan daerah otonom dalampelaksanaan pendayagunan sumber daya air, dapat dikemukakanketentuan pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 bahwa “Bumi dan airdan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negaradan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”,sehingga dapat dikatakan bahwa hak menguasai sumber daya airdikuasai oleh negara. Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) hal ini diatur dalamPasal 2 yang beraspek publik.5

Terkait pajak air permukaan telah terjadi penyedotan danpengambilan air bawah tanah yang berlebihan, yang menyebabkanpermukaan tanah semakin menurun. Kendati air tanah mengalamipenyedotan secara berlebihan akan tetapi pendapatan air bawah tanahternyata masih jauh di bawah target.6 Seiring dengan laju pertumbuhanpenduduk dan industri, permintaan akan pemenuhan kebutuhan airbersih meningkat dengan pesat. Hingga saat ini air tanah masih menjadiandalan utama untuk memenuhi kebutuhan air bersih tersebutdibandingkan dengan sumber air lainnya karena memiliki beberapakelebihan, antara lain: sebarannya luas, kualitas relatif lebih baik,infrastruktur yang dibutuhkan lebih sederhana, pengaturanpemanfaatannya lebih mudah, harga/biaya untuk memperolehnya lebihmurah serta ketidakmampuannnya sumber daya air lainnya untuk

4 Deddy Supriady, 2001, Bratakusumah dan Dadang Solihin : Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahandi Daerah, Gramedia, Jakarta, hlm.264.5 R.Ismala Dewi, op.cit , hlm.10.6 Pajak Air Bawah Tanah.com, Air Tanah Terkuras, Pendapatan Pajak Masih di Bawah Target,Http://www.tempo.Tempointeraktif.com/hg/layanan.publik/2009/03/03, diakses 19 April 2010.

Page 139: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

123

memenuhi kebutuhan air bersih domestik maupun industri, baik darisegi kualitas maupun kuantitas.

Daya tarik air tanah yang sangat besar tersebut, sangat tidaksebanding dengan proses pembentukan air tanah itu sendiri yang sangatkompleks dan7 membutuhkan waktu yang sangat lama. Keadaan inisecara cepat menimbulkan kerusakan seperti penurunan muka airtanah, terbentuknya cekungan-cekungan air tanah kritis di beberapawilayah, hingga dampak-dampak ikutan lainnya seperti penurunanmuka tanah (landsubsidence), intrusi air laut dan intrusi polutan sertaterjadinya kelangkaan air tanah yang semakin luas. Pengenaan pajakair tanah terhadap pemakaian air setelah sesuatu yang tepat danmerupakan salah satu upaya yang dapat ditempuh dalam rangkapemulihan kondisi air tanah ini. Salah satu upaya dari pemerintahdalam rangka penyediaan dana rehabilitasi air tanah ini adalah denganmenetapkan pajak pengambilan air tanah. Namun, kenyataannya saatini pajak air tanah belum dapat memberikan perimbangan terhadapupaya pemulihan air tanah yang optimal. Hal ini diperlihatkan dengantetap tingginya penggunaan air tanah yang menunjukan bahwa air tanahtetap menjadi pilihan warga pengguna air.8

Negara dalam hal ini Pemerintah Daerah bertanggungjawabterhadap persoalan atau permasalahan lingkungan, ekologis atau segalahal yang menyangkut kebijakan publik atas masalah lingkungan dansumber daya alam. Pertanggung jawaban yang bersifat akuntabel(accountability) adalah pertanggungjawaban aparatur pemerintah ataspenggunaan, pengelolaan dan kondisi-kondisi yang terjadi, baik internalataupun eksternal atas sumber daya alam yang menjadi bagian darikekuasaan negara. Negara bertanggung jawab dalam pengelolaanlingkungan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan (sustainabledevelopment). Asas tanggung jawab negara (state responsibility) demikian,sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun2004, memiliki pengertian yang cukup luas, termasuk pula denganmengkaitkan paradigma yang melibatkan peranserta masyarakat(community based management) tersebut. Pada pengelolaan lingkungan

7 Pajak Air bawah Tanah.com, Analisis Pengaruh Besaran Pajak Air tanah terhadap Pemulihan AirTanah dengan Pendekatan System Dynamics studi kasus Cekungan air Tanah Bandung, air tanah-terhadap-pemulihan-air tanah, diakses 19 April 2010.8 Siti Sundari Rangkuti,2005,Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, AirlanggaUniversity Press, Surabaya, hlm.2.

Pajak Melindungi Ketersediaan Air Tanah

Page 140: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

124

Vol. 8 No. 1 - April 2011

kita berhadapan dengan hukum sebagai sarana pemenuhankepentingan.9 Hukum lingkungan berhubungan erat dengankebijaksanaan lingkungan yang ditetapkan oleh penguasa yangberwenang di bidang pengelolaan lingkungan.

Dalam menetapkan kebijaksanaan lingkungan, penguasa inginmencapai tujuan tertentu. Pada tanggal 11 Maret 1982 telahdiberlakukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup(UULH) dandisempurnakan dengan UUPLH Nomor 23 Tahun 1997 tanggal 19September 1997. Hukum Lingkungan adalah hukum yang mengaturhubungan timbal balik antara manusia dengan mahluk hidup lainnyayang apabila dilanggar dapat dikenakan sanksi. Undang-undang barudimaksudkan untuk menyerap nilai-nilai yang bersifat keterbukaan,paradigma pengawasan masyarakat, asas pengelolaan dan kekuasaannegara berbasis kepentingan publik (bottom-up), akses publik terhadapmanfaat sumber daya alam dan keadilan lingkungan10. Undang-UndangNomor 23 Tahun 1997 menjadi dasar bagi semua pengelolaan lingkungan,misalnya di bidang sumber daya air dengan Undang-Undang Nomor 7Tahun 2004. Pembahasan mengenai perlindungan hukum dalampengelolaan lingkungan tersebut di atas telah mengungkapkan berbagaimasalah yang memerlukan kajian teoritik melalui Hukum LingkunganKetatanegaraan dan Administratif. Oleh karena itu, tanggungjawab negara,dapat dikaitkan dengan tugas-tugas dan fungsi semua aparat dalammenyelenggarakan pemerintahan yang baik (good governance).11

B. PermasalahanBerdasarkan apa yang telah diuraikan pada bab pendahuluan, ada

beberapa masalah yang harus dicermati yaitu bagaimana kewenanganNegara dan Pemerintah Daerah dalam mengelola air tanah? Bagaimanaseharusnya Peraturan Daerah mengatur pengelolaan pajak air tanah dimasa yang akan datang?

C. Konsep PemikiranBerbagai teori yang dikemukan oleh para ahli dan filsuf tentang

asal mula suatu Negara dan kedaulatan baik yang dikemukan oleh

9 Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, op.cit, hlm.3.10 Ibid, hlm.35.11 Siahaan, N.H.T.2008, “Hukum Lingkungan “, Pancuran Alam, Jakarta , hlm.141.

Page 141: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

125

Thomas Hobbes, John locke dan Jean Jacques Rousseau (Jenawa 1712-1778) pada akhirnya berkesimpulan bahwa jauh sebelum Romawi danYunani Kuno serta zaman Firaun di Mesir, telah ada suatu wadah yangmenguasai dan memerintah penduduk12. Teori itu dikenal dengan namateori Le Contract social. Teori ini mengemukakan bahwa sebagian darihak masyarakat diserahkan kepada suatu wadah yang akan menguruskepentingan bersama. Wadah tersebut yang kemudian berkembangmenjadi suatu negara. Suatu negara dapat menentukan pola-polahubungan yang bersifat tetap antara negara dan masyarakat atau antarasesama anggota masyarakat itu sendiri serta mempunyai tujuan yangjelas.13 Menurut Sjachran Basah adalah dimungkinkan administrasinegara (pemerintah) untuk menjalankan fungsinya dan melindungiwarga (termasuk wajib pajak) terhadap sikap tindakan administrasinegara (dalam arti mengatur kehidupan warganya dalam mengeluarkanketetapan-ketetapan yang menimbulkan akibat hukum bagi objek yangdiaturnya) serta melindungi pemerintah itu sendiri. Hukum pajak adalahhukum yang selalu mengalami perkembangan dan tentunya tidak dapatdilepaskan antara kepentingan negara dan kepentingan warga negara.14

Pajak merupakan alat yang ampuh di tangan pemerintah. Negara dapatmemungut pajak dari masyarakat karena adanya sebagian hak dariwarga masyarakat yang sudah diserahkan kepada wadah tadi yaitunegara. Hasil pajak yang dipungut dari masyarakat oleh pemerintahharus dipergunakan untuk kepentingan bersama. Kepentingan bersamadalam hal ini diantaranya mengelola dan menjaga ketersedian air tanah.

Pajak-pajak tidak hanya digunakan untuk memasukan uang kekas negara (fungsi budgeter), tetapi juga dapat digunakan sebagai alatuntuk mencapai tujuan politis atau tujuan yang ada di luar bidangkeuangan (fungsi mengatur). Menurut Nurmantu15 terdapat dua fungsipajak, yaitu fungsi budgetair dan fungsi regulerend. Fungsi pertamadisebut pula sebagai fungsi utama pajak, yang kerap disebut pula sebagaifiskal. Fungsi budgetair memandang pajak sebagai alat untukmemasukkan dana secara optimal ke kas negara berdasarkan undang-undang perpajakan. Fungsi budgetair disebut fungsi utama pajak karena

12 Nurmantu, Safri ,1994, Dasar- dasar Perpajakan, Jakarta : Ind-Hill-Co, Jakarta , hlm 1.13 Sofrin Sofyan dan Asyar Hidayat, 2004, “Hukum Pajak dan Permasalahannya”, PT. Refika Aditama,Jakarta, hlm. 3.14 Ibid , hlm.9.15 Safri Nurmantu, Dasar-dasar Perpajakan, op.cit, hlm. 26.

Pajak Melindungi Ketersediaan Air Tanah

Page 142: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

126

Vol. 8 No. 1 - April 2011

fungsi inilah yang secara historis pertama kali muncul denganpengenaan pajak. Fungsi kedua adalah fungsi regulerend (mengatur).Dengan fungsi ini pajak sebagai alat untuk mengatur ataumelaksanakan kebijakan pemerintah (daerah) dalam bidang sosial danekonomi. Fungsi ini dipandang sebagai fungsi tambahan dari pajak,karena fungsi ini merupakan pelengkap dari fungsi pertama dandigunakan untuk mencapai tujuan tertentu.

Dalam buku Asas dan Dasar perpajakan,16 Spiegelenbergmengatakan bahwa pajak-pajak tidak hanya digunakan untukpemasukan uang ke dalam kas negara, tetapi juga untuk mengatur,yaitu:

a. mengatur tingkat pendapatan sektor swasta;b. mengadakan redistribution pendapatan, dan;c. mengatur volume pengeluaran swasta.

Pokoknya, pajak dapat merupakan alat yang ampuh untukmencapai tujuan di berbagai sektor. Selanjutnya pajak dapat digunakansebagai alat/sarana untuk mencapai tujuan tertentu dalam masyarakatyang ada di luar bidang keuangan negara (fungsi mengatur)17. Untukdapat mencapai tujuan tersebut maka Fiscal policy sebagai suatu alatpembangunan harus didasarkan atas kombinasi tarif pajak yang tinggi(baik pajak langsung maupun pajak tidak langsung) dengan suatufleksibilitas yang lazim ada dalam sistem pengenaan pajak berupapembebasan pajak dan pemberian insentif (atau dorongan) untukmerangsang private investment yang diharapkan. Pajak-pajak di dalammasyarakat dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuanekonomi. Penggunaan hasil pajak, melalui pengeluaran pemerintah yangdapat diatur variasinya, dapat mempengaruhi bidang ekonomi. Jugapajak-pajak dapat digunakan untuk mendorong, meningkatkan,mengembangkan perekonomian masyarakat.

Dalam buku Ecological Economics Principles and Application, A.C.Pigoumengemukakan mengenai the problem of internalizing environmentalexternalities. The simple solution of imposing a tax equal to the marginalexternal cost. This would force the economic agent to account for all economiccosts, creating an equilibrium in which marginal social costs were equal to

16 Rochmat Soemitro ,1988, Asas dan Dasar Perpajakan , Indonesia, PT.Eresco, Jakarta, hlm.50.17 Ibid, hlm.51.

Page 143: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

127

marginal social benefits18. Teori yang dikemukakan oleh E.C.Pigoutersebut dikenal dengan sebutan Piguovian Taxes.

Menurut teori Pigouvian taxes , A Pigouvian tax essentially creates aproperty right to the environment for the state, using a liability rule. Firm canstill pollute, but they must now payfor the damages for their pollution.19

Fungsi mengatur dalam perpajakan adalah mengatur pola hidupatau kegiatan atau pola berpikir masyarakat. Hubungan fungsiperpajakan dengan air tanah yaitu bahwa pajak dapat mengatur polapemakaian dan pemanfaatan air bawah tanah. Dengan adanyapemungutan pajak air tanah terhadap masyarakat, pola penggunaan airtanah akan dapat dibatasi. Hal ini bertujuan agar ketersediaan air tanahdapat terjaga. Tujuan lain dari penerapan “teori mengatur” ini adalahditujukan kepada pemerintah daerah sebagai pemungut pajak air tanah.Pemerintah daerah dalam memungut pajak air tanah juga harusmemikirkan kelangsungan ketersediaan air tanah sehingga hasil yangdiperoleh dari pemungutan pajak dapat digunakan atau dialokasikanuntuk kemanfaatan, perbaikan dan pengelolaan terhadap ketersedianair tanah. Pajak air yang dipungut dari masyarakat harus dapatdigunakan kembali untuk menjaga ketersediaan air tanah sehinggamutu dan ketersediaan air tanah dapat tetap terjaga. Air tanah adalahsalah fase dalam daur hidrologi, yakni suatu peristiwa yang selaluberulang dari urutan tahap yang dilalui air dari atmosfir ke bumi dankembali ke atmosfir; penguapan dari darat atau laut dan air pedalaman,pengembunan membentuk awan, pencurahan, pelonggokan dalam tanahatau badan air dan penguapan kembali (kamus Hidrologi, 1987). Air tanahsesungguhnya adalah salah satu sumber daya alam yang tidak dapatdiperbaharui. Secara teoritis dan empirik pajak daerah terkait denganotonomi daerah yang tercipta dalam penyelenggaraan desentralisasi olehPemerintah di Negara Kesatuan.

D. Desentralisasi dan Otonomi DaerahPada hakikatnya negara merupakan organisasi. Seperti organisasi

lainnya, sejak lahir organisasi negara menganut sentralisasi.Sentralisasi berfungsi untuk menciptakan keseragaman dalampenyelenggaraan pemerintahan. Dengan asas sentralisasi terjadi

18 Herman E.Daily and Joshua Farley, 2004,Ecological Economic Principles and Applications, Washington:Island Press, Washington, hlm.376.19 Ibid, hlm. 377.

Pajak Melindungi Ketersediaan Air Tanah

Page 144: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

128

Vol. 8 No. 1 - April 2011

keseragaman, baik kebijakan dan hukum maupun pelaksanaannya diseluruh wilayah dan masyarakat negara yang bersangkutan. Dalamkaitan sentralisasi kerapkali dianut pula dekonsentrasi. Dalam asasini pembentukan kebijakan dan hukum secara terpusat padapemerintah, sedangkan pelaksanaannya dilimpahkan kepada aparaturpemerintah di berbagai wilayah.20

Bagi organisasi negara yang besar dilihat dari aspek penduduk danwilayah serta permasalahannya, kerapkali dianut pula desentralisasi.Desentralisasi berfungsi menciptakan keanekaragaman dalampenyelenggaraan pemerintahan. Dengan asas ini terjadikeanekaragaman kebijakan, hukum, dan pelaksanaannya sesuaidengan keanekaragaman masyarakat.

Desentralisasi dapat pula dipandang sebagai proses otonomisasisuatu masyarakat yang berada di wilayah tertentu. Proses tersebutmenghasilkan pembentukan daerah otonom. Daerah otonom adalahkesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah danotonomi, yaitu wewenang untuk membentuk dan melaksanakankebijakan sendiri berdasarkan prakarsa sendiri. Oleh karena itu,Rondinelli dan kawan-kawan21 berpendapat desentralisasi merupakanthe creation or strengthening financially or legally of subnational units ofgovernment, the activities of which are substantially outside the direct controlof central government. Sejalan dengan pendapat ini, Mawhood22 (1983:2)memaparkan desentralisasi adalah:…..the creation of bodies separated by law from the national centre, in whichlocal representatives are given formal power to decide on a range of publicmatthers. Their political base is the locallity and not as it is with commissionersand civil servants – The nation. Their area of authority is limited, but withinthat area their right to make decisions is entrenched by the law and can onlybe altered by new legislation. They have resources which, subject to the statedlimits, are spent and invested at their own decisions.

Penyelenggaraan otonomi daerah bertalian erat dengan keuanganotonomi daerah otonom. Pertama, daerah otonom merupakan badan

20 Bhenyamin Hoessein., 2005, Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah, dalam Pasang Surut OtonomiDaerah : Sketsa Perjalanan, 100 Tahun. Institut for Local Development dan Yayasan Tifa, Jakarta, hlm.198.21 Rondinelli, Dennis, A.John R.Nellis, & G.Shabbir Cheem., 1983, Decentralization in DevelopingCountries : A.Review of Recent Experience. Washington D.C. : World Bank, Washington, hlm.24 .dikutipdari Sunarti, Eka Sri, 2006, Analisis Konfigurasi Pajak Daerah di Kota Depok (tahun 2000-2004), Tesis,Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jakarta.22 Philip Mawhood, 1983, Local Government in the third World : The Experience of Tropical Africa.Chichester New York, Brisbane, Toronto, Singapure: John Wiley & Sons, Singapure, hlm. 2.

Page 145: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

129

hukum. Oleh karena itu, daerah otonom mempunyai keuangan yangterpisah dari keuangan Pemerintah. Kedua, kewenangan yangdiserahkan kepada daerah otonom oleh Pemerintah, termasukkewenangan dalam urusan keuangan. Ketiga, penyelenggaraan otonomidaerah menuntut dukungan sumber keuangan. Tanpa dukungankeuangan, otonomi daerah tidak akan terealisasikan. Rondinelli dankawan-kawan23 memandang otonomi keuangan merupakan jantungotonomi daerah. Hal tersebut nampak bahwa sejak decentralisatie wetditerapkan pada tahun 1903, hubungan keuangan sudah terjadi antaraPemerintah Pusat dengan daerah (gewest atau bagian-bagian dari gewest)yang dimungkinkan dibentuk daerah otonom. Namun saat itu belumjelas sistem, prinsip, bentuk dan jenis anggaran yang digunakan24. Suatudaerah dapat disebut otonom bila memenuhi beberapa kriteria sebagaiberikut:

1. sebagai suatu Zelfstandigestaatrechtelijke organisatie yangdicerminkan pada keuangan, pembiayaan dan dimilikinya DinasDaerah.

2. dari sisi hukum: adalah badan hukum (rechtspersoon), sehinggamemiliki kuasa untuk melakukan tindakan-tindakan mengenaikekayaan (vermogensrecht), kekuasaan hukum (rechtsbevoegd) dandapat bertindak (handelingsbekwaam).

3. Sebagai badan hukum dapat dituntut dan menuntut pihak lain dipengadilan, memiliki anggaran sendiri dengan rekening yangterpisah dari rekening pemerintah Pusat, memiliki wewenanguntuk mengalokasikan sumber-sumber yang substansuial.

4. mengemban multifungsi yang merupakan pembeda utama antaradaerah otonom dengan lembaga yang terbentuk dalam rangkadesentralisasi fungsional.

5. Penyelenggara desentralisasi adalah Pemerintah Pusat.25

Sesuai asas money follows function, penyerahan kewenangan daerahjuga dibarengi dengan penyerahan sumber-sumber pembiayaan yangada pada pengaturan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dipegang oleh

23 op.cit , hlm. 48.24 Jurnal Hukum dan Pembangunan, edisi Khusus Dies Natalies 85 Tahun Fakultas Hukum UniversitasIndonesia 28 Oktober 1924 – 28 Oktober 2009, Harsanto Nursadi, Perimbangan Keuangan antara Pusatdan daerah: Transfer Pusat ke Daerah, Pemerataan Keuangan Daerah dan Kapasitas Daerah, Jakarta:Badan Penerbit FHUI,2009, hlm.254.25 Ibid, hlm 257.

Pajak Melindungi Ketersediaan Air Tanah

Page 146: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

130

Vol. 8 No. 1 - April 2011

Pemerintah Pusat. Diharapkan daerah mampu untuk melaksanakansegala urusannya sendiri sebab sumber-sumber pembiayaan juga sudahdiserahkan. Jika mekanisme tersebut sudah terwujud maka cita-citakemandirian daerah juga dapat direalisasikan.26

E. Pajak DaerahSalah satu sumber keuangan sendiri dari daerah otonom adalah

pajak daerah. Soelarno27 mendefinisikan pajak daerah sebagai:

Pajak asli daerah atau pajak negara yang diserahkan kepadadaerah, yang pemungutannya diselenggarakan oleh daerah di dalamwilayah kekuasannya, yang gunanya untuk membiayai pengeluarandaerah di dalam wilayah kekuasaannya berhubung tugas dan kewajibanmengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Menurut Davey28 pajak daerah meliputi:

1) pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dengan dasarpengaturan dari Daerah itu sendiri.

2) pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional tetapipenetapan tarifnya dilakukan oleh Pemerintah Daerah.

3) Pajak yang ditetapkan dan dipungut oleh Pemerintah Daerah itusendiri.

4) Pajak yang dipungut dan di administrasikan oleh Pemerintah Pusattetapi hasil pemungutannya diberikan sebahagian atau dengankata lain bahwa pajak tersebut dibagihasilkan Pemerintah Pusatdengan Pemerintah Daerah (opsenten).

Berdasarkan hukum nasional, pajak daerah merupakan iuranwajib yang diberikan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah otonomtanpa imbalan langsung yang seimbang. Iuran tersebut dapat dipaksakanberdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Menurut James danNobes29 (1996:237), “A tax is a compulsory levy made by public authoritiesfor which nothing is received in return. Iuran tersebut digunakan untukmembiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunandaerah.

Jenis pajak provinsi bersifat limitatif. Provinsi tidak berwenangmemungut pajak di luar ke empat jenis pajak yang telah ditentukan

26 Ibid, hlm.260.27 Slamet Soelarno,1999, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Penerbit STIA-LAN, Jakarta, hlm.87.28 Kenneth J Davey, 1988, Pembiayaan Pemerintah daerah, UI Press, Jakarta, hlm.39-40.29 James Simon & Christopher Nobes, 1996, The Economic of Taxation Principles, Policy and PracticeEurope: Prentice Hall, hlm.237.

Page 147: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

131

oleh undang-undang. Sementara itu, jenis pajak kabupaten/kota tidakbersifat limitatif. Kabupaten/kota berwenang memungut pajak di luardari ketujuh jenis pajak yang telah ditentukan oleh undang-undangdengan kriteria tertentu30. Kriteria tersebut adalah:

a. bersifat pajak dan bukan retribusi;b. objek pajak terletak atau terdapat di wilayah kabupaten/kota yang

bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah, sertahanya melayani masyarakat di wilayah kabupaten/kota yangbersangkutan;

c. objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengankepentingan umum;

d. objek pajak bukan merupakan objek pajak provinsi dan/atau objekpajak pusat;

e. potensinya memadai.f. tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif;g. memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat;h. menjaga kelestarian lingkungan.

Pajak daerah merupakan salah satu sumber utama bagi PendapatanAsli Daerah (PAD) di samping sumber-sumber yang lainnya. Sebagaiperwujudan otonomi daerah, daerah harus mampu mengelola rumahtangganya sendiri. Untuk itu dibutuhkan dana yang cukup, yang berasaldari sumber-sumber yang mampu menghasilkan pendapatan secaraberkesinambungan. Pendapatan asli daerah sangat dibutuhkan untukmembiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan danpelayanan masyarakat. Oleh karena itu, ketersediaan sumber dana yangberasal dari pendapatan asli daerah secara berkelanjutan akan menjadifaktor yang menentukan bagi terwujudnya otonomi daerah.

Pemungutan pajak daerah selain didasarkan dan dilaksanakanberdasarkan asas-asas dan sistem perpajakan, juga harusmemperhatikan hal-hal seperti (1) keadilan, dalam arti pungutan ituharus bersifat umum, merata dan menurut kekuatan; (2) secaraekonomis dapat diterima, yakni pungutan tersebut tidak merusaksumber-sumber kemakmuran rakyat; (3) dapat dicapai tujuannya, dalamarti pungutan itu jangan sampai mengakibatkan adanya kemungkinan

30 Ning Rahayu, “Penerimaan Pajak Sebagai Salah Satu Sumber Pembiayaan Dalam Rangka OtonomiDaerah Dan Permasalahan-Permasalahan dalam Jurnal Bisnis & Birokrasi Nomor 02/Vol.XIII/Mei/2005., hlm 178-179.

Pajak Melindungi Ketersediaan Air Tanah

Page 148: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

132

Vol. 8 No. 1 - April 2011

penyelundupan atau pengurangan hasil karena tarifnya terlalu tinggi31.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah danRetribusi Daerah menetapkan ketentuan-ketentuan pokok yangmemberikan pedoman kebijakan dan arahan bagi Daerah dalampelaksanaan pemungutan pajak dan retribusi, pajak mengenai air dapatdikenakan pada pajak propinsi maupun pajak kabupaten kota.Pengaturan di wilayah propinsi maupun kabupaten/kota bermaknabahwa penggunaan air harus dikelola secara menyeluruh di wilayahIndonesia dan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintahpropinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Pemungutan pajak airjuga harus memikirkan untuk menjaga dan mengelola ketersediaanair di masa mendatang.

F. Air TanahDari seluruh air yang ada di bumi, hanya 2,35% saja yang

merupakan air tawar (fresh water), sisanya adalah air laut (salt water).Dari 2,35% air tawar tadi, dua pertiganya terperangkap dalam glasiersdan tertutup salju permanen. Sisa sepertiganya masih pula dikotoridengan polusi. Menurur data, ada sekitar 2 juta ton air segar setiap hariterbuang percuma karena polusi dan lain-lain32.

Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawahpermukaan tanah, termasuk pengertian ini air permukaan, air tanah,air hujan dan air laut yang berada di darat. Sumberdaya air mempunyaifungsi sosial, lingkungan hidup, ekonomi yang diselenggarakan dandiwujudkan secara selaras. Sumber daya air dikelola berdasarkan asaskelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dankeserasian, keadilan, kemandirian serta transparansi danakuntabilitas33. Sumber daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakanuntuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat34.

Air tanah adalah semua air yang terdapat di bawah permukaantanah pada lajur/zona jenuh air (zone of saturation). Air tanah terbentukair hujan dan air permukaan yang meresap (infiltrate) mula-mula kezona tak jenuh (zone of aeration) dan kemudian meresap makin dalam(percolate) hingga mencapai zona jenuh air dan menjadi air tanah.

31 Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin, 2001, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahandi Daerah, Gramedia, Jakarta , hlm.265.32 Hamid Chalid, 2009, Hak Asasi Manusia Atas Air : Studi tentang Hukum Air di Belanda, India danIndonesia, Disertasi, Depok : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm.1.33 Konrad Adenauer Stiftung, 2006, Air Perkotaan, jakarta; Adeksi, Jakarta, hlm.21.34 Ibid, hlm.21.

Page 149: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

133

Sedangkan pengertian air permukaan adalah semua air yang terdapatpada permukaan tanah. Definisi Air Tanah menurut Undang-UndangNomor 7 Tahun 2004 adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah ataubatuan di bawah permukaan air.35

Penggunaan air oleh masyarakat maupun industri juga menjaditopik dalam pembahasan internasional. Internasional mulai membahasmengenai air karena“…the movement of groundwater does not respect municipal boundaries, itmakes sense that the state is the entity that can regulate or restrictgroundwater use. New Hampshire’s Groundwater Protection Act (RSA 485C)is intended to ensure that new “large” groundwater withdrawals (those thatexceed 57,600 gallons over any 24 hour period) do not adversely impact thequality or quantity of groundwater or water resources such as neighboringwells, wetlands, streams, rivers and lakes. Since August 1998, any proposed“large” groundwater withdrawal must undergo a comprehensive permittingprocess to demonstrate that other water users or water resources (lakes,rivers and wetlands) would not be adversely impacted. The permitting processincludes public notification, two public hearings, extensive field testing andassessment of data, and development of an environmental monitoring,reporting, and mitigation plan.36

G. Pengelolaan LingkunganPengelolaan air tanah adalah hal mutlak bagi para pejabat

pemerintah, termasuk memahami asal-usul dan sifat-sifat air tanah,agar tidak terjadi kesalahan pengertian tentang sumber daya yangdikelola. Kesalahan pengertian tersebut akan menjadikan tujuanmewujudkan kemanfaatan tanah terutama bagi masyarakat tidakmencapai sasaran, bahkan justru menimbulkan dampak yangmerugikan bagi ketersediaan air tanah itu sendiri.

Pasal 10 Undang-Undang pengelolaan Lingkungan Hidupmenetapkan 9 (sembilan) kewajiban Pemerintah dalam mengelolalingkungan37.

1. Mengembangkan (termasuk menumbuhkan dan meningkatkan)kesadaran dan tanggung jawab para pengambil keputusan dalampengelolaan lingkungan;

2. Mengembangkan kesadaran mengenai hak dan tanggung jawabmasyarakat dalam pengelolaan lingkungan;

35 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air.36 Environmental Fact Sheet, 2010, Groundwater Rights and groudwater Protection Act, New HampshireDepartment of Environmental Services.37 N.H.T.Siahaan,2009, “Hukum Lingkunan”, Pancuran Alam, Jakarta, hlm.99.

Pajak Melindungi Ketersediaan Air Tanah

Page 150: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

134

Vol. 8 No. 1 - April 2011

3. Mengembangkan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha danpemerintah dalam rangka pengembangan kemampuan lingkungan( environmental capacity);

4. Mengembangkan dan menerapkan kebijaksanaan nasionalpengelolaan lingkungan yang menjamin terpeliharanyakemampuan lingkungan (environmental capacity);

5. Mengembangkan dan menerapkan perangkat yang bersifat preemptif, preventif, dan proaktif terhadap penurunan kemampuanlingkungan;

6. Memanfaatkan dan mengembangkan teknologi yang akrablingkungan (enviromental friendly);

7. Menyediakan dan menyebarkan informasi;8. menyelenggarakan penelitian dan pengembangan di bidang

lingkungan (research and development);9. Memberikan penghargaan terhadap yang pihak berjasa (pengabdi,

pejuang, dan penyelamat lingkungan), baik secara perorangan atauinstitusi (organisasi/LSM).

Pengelolaan lingkungan merupakan upaya manusia untukberinteraksi dengan lingkungan guna mempertahankan kehidupan danmencapai kesejahteraan. Salah satu aspek penting dalam dalam hukumlingkungan adalah adanya suatu instansi yang memiliki kekuasaan(power) untuk melakukan pengelolaan atas sumber-sumber daya alamdan lingkungan. Dari segi yuridis, kekuasaan (power) berhubungandengan wewenang. Sumber kekuasaan di dalam pola hidupbermasyarakat, berbangsa dan bernegara adalah negara. Negara menurutBellefroid adalah suatu masyarakat hukum, yamg secara permanenmenempati suatu daerah tertentu dan yang diperlengkapi dengankekuasaan tertinggi untuk mengurus kepentingan umum.38 Kekuasaannegara dalam konteks menyelenggarakan kepentingan umum, dapatdilihat dari prinsip penguasaan negara: bumi, air dan segala kekayaanyang terkandung di dalamnya, serta menjadi hajat hidup orang banyak,dikuasai oleh negara, untuk digunakan untuk kehidupan orang banyak.

H. Penutup1. Kesimpulan

a. Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan industri,permintaan akan pemenuhan kebutuhan air bersih

38 Ibid, hlm.92.

Page 151: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

135

meningkat dengan pesat sehingga terjadi terjadi penyedotandan pengambilan air bawah tanah yang berlebihan, yang dapatmenyebabkan permukaan tanah semakin menurun.

b. Negara, dalam hal ini Pemerintah Daerah, bertanggungjawabterhadap persoalan atau permasalahan lingkungan, ekologisatau segala hal yang menyangkut kebijakan publik atasmasalah lingkungan dan sumber daya alam.

c. Selain untuk mengisi kas negara pajak juga harus dapatmenjaga kelestarian lingkungan, yaitu bahwa pajak harusbersifat netral terhadap lingkungan, yang berarti bahwapengenaan pajak tidak memberikan peluang kepadapemerintah Daerah dan masyarakat untuk merusaklingkungan yang akan menjadi beban bagi Pemerintah Daerahdan masyarakat.

2. Saran

a. Air merupakan bagian mutlak yang diperlukan dan harus adabagi kelangsungan hidup, tidak hanya untuk manusia tetapijuga untuk hewan dan tumbuhan. Air merupakan sumber dayaalam yang tidak dapat diperbaharui, dan karena itu perlu dijagakelestariannya.

b. Pengenaan pajak air diharapkan dapat mempunyai manfaatsebagai pengisi kas pemerintah dan dapat menjagakelestarian dan ketersediaan air bawah tanah.

c. Pemerintah diharapkan dapat membuat model pemungutanpajak air, sehingga secara tidak langsung masyarakat dapatikut terlibat dalam menjaga ketersediaan air. Terjaganyaketersediaan air tanah akan berdampak pada terjaganyaekosistem lingkungan hidup.

Pajak Melindungi Ketersediaan Air Tanah

Page 152: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

136

Vol. 8 No. 1 - April 2011

DAFTAR PUSTAKABuku:Davey, Kenneth J,1988, Pembiayaan Pemerintah Daerah, UI Press, Jakarta

Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin, 2001, OtonomiPenyelenggaraan Pemerintahan di Daerah, Gramedia, Jakarta.

Djojosoekarto, Agung, et all, 2006, Buku 4 “Air Perkotaan DalamPembangunan Kota yang berkelanjutan”, Jakarta : Subur Printing,Jakarta.

Herman E.Daily and Joshua Farley, 2004 , Ecological Economic Principlesand Applications, Washington : Island Press, Washington.

H. Floyd Sherrod, Jr.,1971, Environment Law Review, 1971, Sage HillPublishers, Inc,/New York, h. ix., New York.

Hoessein, Bhenyamin. Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah, dalamPasang Surut Otonomi Daerah : Sketsa Perjalanan, 100 Tahun.2005, Institut for Local Development dan Yayasan Tifa, Jakarta.

Jackson,R.M., 1959, The Machinery of Local Government, New York:S.T.Martin’s press, New York.

James Simon & Christopher Nobes, 1996, The Economic of Taxation Principles,Policy and Practice Europe: Prentice Hall.

Julian Gresser, Koichiro Fujikura, and Akio Morishima, 1981, EnvironmentalLaw in Japan, The MIT Press, Cambridge, Massachusetts,Massachusetts.

Koesnadi Hardjosoemantri,1999, Hukum Tata Lingkungan, Edisi Ketujuh,Cet. Keempat belas, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Konrad Adenauer Stiftung, 2006, Air Perkotaan, Jakarta; Adeksi, Jakarta.

Mawhood, Philip, 1983, Local Government in the third World : The Experienceof Tropical Africa. Chichester New York, Brisbane, Toronto,Singapure: John Wiley & Sons, Singapore.

Mardiasmo, 2004, Perpajakan, Yogyakarta: Andi Yogyakarta, Yogyakarta.

Nurmantu,Safri, 1994, Dasar-dasar Perpajakan, Jakarta: Indonesia – HillCo, Jakarta.

Rahayu, Ning, “Penerimaan Pajak Sebagai Salah Satu SumberPembiayaan Dalam Rangka Otonomi Daerah Dan Permasalahan-Permasalahan dalam Jurnal Bisnis & Birokrasi No. 02/Vol.XIII/Mei/2005.

Page 153: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

137

Rangkuti, Siti Sundari, 2005, Hukum Lingkungan dan KebijasanaanLingkungan Nasional, Surabaya : Airlangga University Press,Surabaya.

Richard B. Stewart & James E. Krier, 1978, Environmental Law and Policy,second (The Bobbs-Merrill Company Inc. Publishers, New York.

Rochmat Soemitro , 1988, Asas dan Dasar Perpajakan, Jakarta : Indonesia,PT.Eresco, Jakarta.

Rondinelli, Dennis, A.John R.Nellis, & G.Shabbir Cheem., 1983,Decentralization in Developing Countries : A.Review of RecentExperience. Washington D.C. : World Bank.

Siahaan,N.H.T, 2009, “Hukum Lingkungan”, Pancuran Alam, Jakarta.

Soelarno, Slamet, 1999, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Jakarta:Penerbit STIA- LAN., Jakarta.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 1983, “Penelitian Hukum NormatifSuatu Tinjauan Singkat”, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sofyan, Sofrin dan Asyar Hidayat, 2004, “Hukum Pajak danPermasalahannya”, PT.Refika Aditama, Jakarta.

Sunarti, Eka Sri, 2006, Analisis Konfigurasi Pajak Daerah di Kota Depok(tahun 2000 - 2004), Tesis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Indonesia, Jakarta.

Sutedi, Adrian, 2008, Hukum Pajak dan Retribusi Daerah, Bogor:Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor.

Vincent , Andrew, 1987, Theories of The State, New York : Basil Blackwell,New York.

Peraturan Perundang-undangan:Indonesia, Undang-undang Dasar 1945

Undang-undanag nomor 34 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

————-—, Undang-undang nomor 33 tahun 2004 tentang PerimbanganKeuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

————-—, Undang-undang nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber DayaAir

————-—, Undang-undang nomor 55 tahun 2005 tentang DanaPerimbangan

———-——, Undang-undanag nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerahdan Retribusi Daerah

Page 154: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

138

Vol. 8 No. 1 - April 2011

———--——, Peraturan Pemerintah DKI Jakarta nomor 1 tahun 2004tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Bawah Tanah danAir Permukaan

Jurnal:Environmental Fact Sheet, June 2010, Groundwater Rights and groudwater

Protection Act, New Hampshire Department of EnvironmentalServices.

Jurnal Hukum dan Pembangunan , 2009, edisi Khusus Dies Natalies 85Tahun fakultas Hukum Universitas Indonesia 28 Oktober 1924– 28 Oktober 2009. Harsanto Nursadi, Perimbangan Keuanganantara Pusat dan daerah: Transfer Pusat ke Daerah, PemerataanKeuangan Daerah dan Kapasitas Daerah, Jakarta : BadanPenerbit FHUI, Depok .

West Law, William Fronczak, 2003 Review, Denver: University of Denver(Colorado Seminary) College of Law; Colorado.

Disertasi :Hamid chalid, 2009, Hak Asasi Manusia Atas Air: Studi tentang Hukum

Air di Belanda, India Dan Indonesia, Disertasi, Depok: FakultasHukum Universitas Indonesia.

R.Ismala Dewi, 2009,Sumber Daya Air Untuk Kesejahteraan MasyarakatLokal: Kajian mengenai Pengusahaan Air di Kecamatan Cidahu– Sukabumi dan Polanharjo –Klatem, Disertasi Program StudiPascasrjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Depok .

Situs-situs internet :Pajak Air bawah Tanah.com, Analisis Pengaruh Besaran Pajak Air tanah

terhadap Pemulihan Air Tanah dengan Pendekatan SystemDynamics studi kasus Cekungan air Tanah Bandung,

http://www.docstoc.com/docs/22435882/analisis-pengaruh-besran-pajak-airtanah-terhadap-pemulihan-airtanah,, diakses 19 April2010.

Pajak Air Bawah Tanah.com, Air Tanah Terkuras, Pendapatan PajakMasih di Bawah Target,.

Http://www.tempo.tempointeraktif.com/hg/layanan.publik/2009/03/03, diakses 19 April 2010.

Page 155: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

139

MENGUKUR KONSEPTUALITAS PENGUJIANPERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI

UNDANG-UNDANGMEASURING CONCEPTUALITY OF JUDICIAL REVIEW OF

GOVERNMENT REGULATION IN LIEUW OF LAW Mohammad Zamroni*

(Naskah diterima 10/01/2011, disetujui 30/3/2011)

AbstrakDalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, berdasarkan konstitusi Presidendiberikan hak untuk menetapkan peraturan pemerintah sebagai penggantiundang-undang (yang sering disingkat dengan Perppu). Pada saat bersamaan,berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan PeraturanPerundang-undangan, Perppu diposisikan sederajat atau sejajar dengan undang-undang. Oleh karena itu, maka penerbitan dan pelaksanaan Perppu harusdiawasi secara ketat oleh DPR melalui mekanisme persetujuan atau penolakansebagaimana dimaksud dalam konstitusi. Namun demikian, dalam prakteknyatidak jarang ditemui deviasi atau penyimpangan terhadap pelaksanaanmekanisme konstitusional Perppu ini. Di antaranya adalah mengenaiinkonsistensi pelaksanaan waktu atau masa pengajuan Perppu tersebut kepadaDPR untuk disetujui atau ditolaknya Perppu. Di samping itu, mengenai statushukum Perppu pada saat Perppu tersebut ditolak oleh DPR secara yuridis formaljuga menimbulkan persoalan. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka sudahselayaknya Perppu dapat dijadikan objek pengujian Mahkamah Konstitusi demitegaknya konstitusi dan prinsip negara hukum di Indonesia.Kata kunci: Konstitusi, Perppu, pengujian Perppu

AbstractIn circumstances which forced the crisis, according to the constitution the presidentis given the right to establish government regulations in the legislation replacement (oftenabbreviated Perppu). at the same time, based upon Constitution of the Republic ofIndonesia Year 1945 and the law 10 of 2004 on Legislation Procedure, perpu thesame position or in parallel with the law. Therefore, the issuance and executionperppu closely monitored by the parliament through the mechanism of approval orrejection as defined in the constitution. However, in practice not uncommon in thedeviation or deviation to the implementation of constitutional mechanisms such perppu.of them is about the execution time inconsistency or delivery to the House for approvalor perpu perpu rejection. in addition, concerning the legal status at the time wasrejected by Parliament perppu perppu formal justice also cause problems. based on

* Tenaga Perancang Peraturan Perundang-undangan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI.

Page 156: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

140

Vol. 8 No. 1 - April 2011

these things, it must be the Judicial Review Perppu the constitutional court for thesake of the constitution and rule of law in Indonesia.Keywords: Constitution, Perppu, Judicial Review legislation of Perppu

A. PendahuluanDalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)

Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,ditambahkan 2 (dua) pasal di antara Pasal 33 dan Pasal 34 yang mengaturbahwa dalam hal terjadi kekosongan keanggotaan Pimpinan KomisiPemberantasan Korupsi (KPK) sehingga jumlahnya kurang dari 3 orang,Presiden mengangkat anggota sementara Pimpinan KPK sejumlah yangkosong dengan tugas, wewenang, kewajiban dan hak yang sama denganpimpinan KPK. Apabila Anggota Pimpinan KPK yang digantikan karenadiberhentikan sementara, diaktifkan kembali karena pemberhentiansementara tidak berlanjut menjadi pemberhentian tetap, maka masajabatan anggota sementara Pimpinan KPK sementara berakhir1.

Sejumlah pihak telah mengajukan permohonan kepada MahkamahKonstitusi (MK) untuk diuji konstitusionalitasnya terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun1945) dengan alasan Perppu tersebut menimbulkan komplikasi hukum,ketidakpastian hukum, kediktatoran konstitusional, padahal Presidenmenurut UUDNRI Tahun 1945 harus memegang teguh UUDNRI Tahun 1945dan menjalankannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepadanusa dan bangsa, sehingga Perppu tersebut dapat menjadi presedenburuk dan dapat membahayakan negara karena mudahnyamengeluarkan Perppu yang dapat dikategorikan penyalahgunaankekuasaan (abuse of power).

Kemudian, pada tanggal 8 Februari 2010 Mahkamah Konstitusi dalamsidang pleno yang terbuka untuk umum telah menjatuhkan putusandalam perkara permohonan pengujian Peraturan Pemerintah PenggantiUndang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan TindakPidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945. Isi amar putusan Mahkamah tersebutmenyebutkan bahwa permohonan para pemohon tidak dapat diterimadengan konklusi berdasarkan pertimbangan hukum dan fakta sebagai

1 Pasal 33A ayat (1) jo. Pasal 33B huruf a Perppu Nomor 4 Tahun 2009.

Page 157: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

141

berikut:

a. mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadilidan memutus permohonan a quo;

b. para pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing)untuk mengajukan permohonan a quo;

c. pokok permohonan tidak dipertimbangkan.

Terlepas dari pendapat MK tentang tidak terpenuhinya syaratkedudukan hukum (legal standing) para pemohon untuk mengajukanpermohonan, sebenarnya MK telah menyatakan pendiriannya dengantegas bahwa Perppu tunduk pada pengujian konstitusional (constitutionalreview) Mahkamah Konstitusi.

Namun demikian, terhadap putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009tersebut, hakim konstitusi Moh. Mahfud MD mempunyai alasan yangberbeda (concurring opinion) dan hakim konstitusi Muhammad Alimmempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion). Dari alasan hukumyang dikemukan oleh Mahfud MD tersebut, ada 2 (dua) hal penting yangperlu diperhatikan yakni:

1. Pada alinea ke-4, Mahfud MD menyatakan bahwa akhir-akhir iniada perkembangan penting ketatanegaraan kita sehingga saya ikutmenyetujui agar perppu dapat diuji konstitusionalitasnya oleh MKterutama melalui titik tekan pada penafsiran konstitusi. Dalamkaitan ini, saya melihat perlunya penafsiran atas isi UUDNRI Tahun1945 tidak hanya bertumpu pada original intent, tafsir historik,dan tafsir gramatikal melainkan harus menekankan padapenafsiran sosiologis dan teleologis.

2. Pada alinea terakhir sebelum penutup, Mahfud MD kembalimenegaskan bahwa saya menyetujui perppu dapat diuji oleh MKmelalui penekanan pada tafsir sosiologis dan teleologis, di manapandangan ini semata-mata didasarkan pada prinsip dalam menjagategaknya konstitusi yakni “tidak boleh satu detikpun ada peraturanperundang-undangan yang berpotensi melanggar konstitusi tanpabisa diluruskan atau diuji melalui pengujian yudisial.”

B. Permasalahan1. Apakah penilaian DPR dalam menyetujui atau menolak

Perppu dilakukan pada masa sidang berikutnya (sebagaimanabunyi Pasal 22 ayat (2) UUDNRI Tahun 1945) persis pada masasidang dimaksud?

Mengukur Konseptualitas Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Page 158: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

142

Vol. 8 No. 1 - April 2011

2. Terkait dengan tidak disetujuinya (ditolak) Perpu oleh DPR,dalam jangka waktu berapa lama Presiden harus mengajukanRUU tentang Pencabutan Perppu tersebut?

C. Kerangka TeoritisSebelum lebih jauh membahas mengenai permasalahan di atas,

perlu dikemukakan perspektif teoritis menyangkut pengujiankonstitusionalitas Perppu yang menurut Hans Kelsen, Judicial reviewatau secara spesifik constitutional review sebagai lembaga hukum untukmelakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,merupakan konsepsi hukum yang mengalami sejarah panjang dalamsistem-sistem hukum yang berbeda. Bentuk pokok berdasarkan gagasantentang adanya hierarki norma hukum yang menempatkan norma dasar(fundamental-norm) sebagai hukum tertinggi dalam sistem norma,mengendalikan dan menjadi sumber legitimasi peraturan di bawahnyayang dibentuk sebagai konkretisasi norma dasar tersebut. Semua norma-norma yang validitasnya dapat ditelusuri kepada satu norma dasar dannorma dasar yang sama membentuk satu sistem norma-norma,merupakan sebuah tertib normatif. Norma dasar tersebut merupakansumber validitas yang sama bagi semua norma yang termasuk dalamtertib yang sama dan merupakan alasan validitas yang sama bagikeberlakuan norma.

Kemudian, dalam sistem norma hukum Negara Republik Indonesia,norma-norma hukum yang berlaku berada dalam suatu sistem yangberlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, sekaligus berkelompok-kelompok,di mana suatu norma selalu berlaku, bersumber dan berdasar pada normayang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber danberdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampaipada suatu norma dasar negara (staatsfundamental-norm) RepublikIndonesia yaitu Pancasila2.

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentangPembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan bahwaPancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara, dandalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa penempatanPancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalahsesuai dengan Pembukaan UUDNRI Tahun 1945 yang menempatkan

2 Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan (Buku 1), edisirevisi, Jakarta: Penerbit Kanisius, 2007, hlm.57.

Page 159: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

143

Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofisbangsa dan negara sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandungdalam Pancasila. Selanjutnya, Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undanganmenyatakan bahwa UUDNRI Tahun 1945 merupakan hukum dasardalam peraturan perundang-undangan.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagai salahsatu jenis peraturan perundang-undangan juga harus bersumber danberdasar pada Pancasila dan UUDNRI Tahun 1945 yang pembentukannyawajib memenuhi unsur “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” dansecara jenjang normanya setingkat atau sejajar dengan undang-undang.

Terkait dengan “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” inimemang belum ada parameter/ukuran yang pasti dan baku yang dapatdijadikan dasar pengujian konstitusionalitas dibentuknya Perpputersebut, namun demikian, menurut Jimly Ashiddiqie, setidak-tidaknyaada 3 (tiga) unsur penting yang dapat menimbulkan suatu “kegentinganyang memaksa” yaitu: unsur ancaman yang membahayakan, unsurkebutuhan yang mengharuskan, dan/atau unsur keterbatasan waktu.3

Pengujian konstitusionalitas undang-undang yang dipersyaratkandalam negara hukum dan demokrasi dilimpahkan kewenangan kepadalembaga kekuasaan kehakiman yang berdiri sendiri. Lembagakekuasaan kehakiman yang dimaksud adalah Mahkamah Konstitusiyang lahir dari ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 hasil perubahanketiga tanggal 9 November Tahun 2001. Menurut Jimly Ashiddiqie, tugaspokok dalam uji konstitusionalitas undang-undang (constitutional review)yaitu:

a. menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubunganpertimbangan peran (interplay) antarcabang kekuasaan legislatif,eksekutif, dan lembaga peradilan (judiciary). Constitutional reviewdimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaankekuasaan oleh satu cabang kekuasaan; dan

b. melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaankekuasaan negara yang merugikan hak-hak fundamental merekayang dijamin oleh konstitusi.

3 Jimly Ashiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Edisi ke-1, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007,hlm.3.

Mengukur Konseptualitas Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Page 160: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

144

Vol. 8 No. 1 - April 2011

Sri Sumantri membagi “hak menguji” tersebut atas (i) hak mengujiformal (formele toetsingrecht) dan (ii) hak menguji materiil (materieletoetsingrecht). Hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai,apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelmamelalui formalitas atau cara-cara (prosedur) sebagaimana yangditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan. Yang diujiadalah tata cara pembentukan suatu undang-undang dan lembaga yangmembentuknya4. Hak menguji materiil adalah wewenang menyelidikidan kemudian menilai apakah isi atau materi muatan suatu peraturanperundang-undangan sesuai atau bertentangan dengan peraturan yanglebih tinggi derajatnya.

Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa uji formil akanmemeriksa konstitusionalitas undang-undang dari segi prosedur atautata cara pembuatan yang diharuskan Undang-Undang Dasar dan darisegi kelembagaan (institutional) yang berhak untuk menyusun,membentuk, dan mengesahkan. Berkaitan dengan pengujian undang-undang tersebut, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentangMahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dalam permohonan, pemohonwajib menguraikan dengan jelas bahwa:

a. pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuanberdasarkan UUDNRI Tahun 1945; dan/atau

b. materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undangdianggap bertentangan dengan UUDNRI Tahun 1945.

Jenis pengujian yang diuraikan dalam huruf a sebagai uji formilundang-undang, sedangkan yang diuraikan dalam huruf b merupakanuji materiil undang-undang.

D. PembahasanBerangkat dari 2 (dua) pokok permasalahan sebagaimana telah

disebutkan di atas, tulisan ini akan mencoba menguraikannya lebihlanjut mengenai hal-hal sebagai berikut:

1. Mengenai “masa persidangan yang berikut” yang menjadi salahsatu titik persoalan dalam konteks uji konstitutionalitas Perppuini sesungguhnya dapat diuraikan sebagai berikut:

4 Sri Sumantri, Hak Uji Materil di Indonesia, Bandung, PT Alumni, 1977, hlm.18.

Page 161: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

145

a. Dalam praktik, sering kali Perppu yang dikeluarkan Presidenbaru dibahas oleh DPR setelah melampaui masa sidangpertama sejak Perppu tersebut diajukan. Sebagai contohPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi yang diundangkan pada tanggal 22 September 2009,sedangkan masa sidang DPR berikutnya (DPR baru hasilPemilu 2009) adalah tanggal 1 Oktober sampai dengan tanggal4 Desember 2009. Namun demikian, ternyata Perppudimaksud tidak dibahas oleh DPR pada masa sidang pertamatersebut. Artinya DPR tidak sesegera mungkin atau bahkanterkesan mengulur-ulur waktu pembahasan terhadap Perppuguna disetujui atau tidaknya dengan berbagai alasan. Padahalsangat mungkin Perppu yang diajukan itu berpotensimengandung substansi pengaturan (materi) yangbertentangan atau melanggar konstitusi.

Sementara proses penilaian yang dilakukan DPR sebagaibentuk pengujian (review) terhadap Perppu tersebut lebihmerupakan persetujuan/kesepakatan politis semata-mata,dalam artian bahwa dasar pertimbangan hukum menjadisangat minim atau bahkan dikesampingkan. Jika halsemacam ini berlangsung terus-menerus, sudah pasti akanmengakibatkan ketidakpastian hukum di negeri ini karena“keleluasaan” pemberlakauan Perppu tersebut sebagai akibat“kelambanan” DPR memberikan persetujuan ataupenolakannya.

Oleh sebab itu, menjadi sangat beralasan, demi tegaknyakonstitusi, Perppu harus dapat diuji konstitusionalitasnya olehMahkamah Konstitusi agar terwujud kepastian hukumterhadap pemberlakuan sebuah Perppu.

b. Lebih jauh, jika dicermati secara gramatikal sesungguhnyaketentuan Pasal 22 UUDNRI Tahun 1945 tidak menyatakansecara tegas apakah Perppu yang telah disetujui oleh DPR,otomatis berlaku atau wajib dilakukan penetapannya menjadiundang-undang. Norma Pasal 22 ayat (2) UUD berbunyi:peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DewanPerwakilan Rakyat dalam persidangan berikut. Kemudiansebagai peraturan perundang-undangan di bawah UUDNRI

Mengukur Konseptualitas Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Page 162: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

146

Vol. 8 No. 1 - April 2011

Tahun 1945, Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 melaluiPasal 25 ayat (2) hanya menyatakan bahwa pengajuan Perpudilakukan dalam bentuk pengajuan RUU tentang PenetapanPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadiundang-undang.

Yang menjadi persoalan kemudian, apakah ketentuanPasal ini dimaknai bahwa ketika Perppu tersebut disetujuioleh DPR maka secara otomatis RUU penetapan Perppu itumenjadi sah menjadi undang-undang? Jika memang dimaknaiseperti itu, tentunya berdasarkan ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang mengatur tentangpengesahan RUU maka RUU Penetapan Perppu tersebut akanmelalui tahapan penyampaian oleh pimpinan DPR kepadaPresiden untuk disahkan. Ditentukan bahwa jangka waktupenyampaian RUU tersebut paling lambat 7 (tujuh) hari sejaktanggal persetujuan. Artinya ada interval (jarak:rentang)waktu antara persetujuan DPR tehadap Perppu dimaksudsampai dengan pengesahan RUU Penetapan Perppu menjadiundang-undang oleh Presiden dengan cara membubuhkantanda tangan.

Kejelasan mengenai hal demikian menjadi pentingmaknanya dalam rangka menghindari polemik seputarkeabsahan hukum Perppu yang tidak disetujui oleh DPR,karena secara politis ada fakta yang berkembang saat inibahwa sebuah Perppu yang tidak ditolak secara nyata olehDPR masih terus diberlakukan sampai dengan dipersoalkankeabsahan hukumnya, karena dikaitkan dengan satu kasus.Fakta semacam ini tentu sangat berpotensi melanggar bahkanbertentangan dengan konstitusi. Dalam konteks ini, menjadihal yang beralasan jika Mahkamah Konstitusi diberikewenangan untuk melakukan pengujian terhadap Perppu.

2. Dalam hal Perppu yang diajukan oleh Presiden tidak disetujui atauditolak oleh DPR, maka perlu adanya kejelasan batas waktu bagipengajuan RUU Pencabutan Perppu tersebut. Batas waktu inimenjadi penting artinya mengingat potensi implikasi atau akibathukum yang ditimbulkan oleh penolakan Perppu tersebut, sehinggaperbuatan atau tindakan hukum yang telah berlangsung sepanjangPerppu itu berlaku sampai dengan saat penolakan Perppu tersebutmenjadi tidak melanggar hukum dan konstitusi.

Page 163: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

147

Ketentuan Pasal 22 ayat (3) UUD 1945 hanya menegaskankeharusan untuk mencabut Perpu jika tidak mendapat persetujuanDPR, tetapi tidak mengatur mengenai batas waktunya. Kemudian,Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang PembentukanPeraturan Perundang-undangan juga tidak secara tegas mengaturmengenai batas waktu pengajuan RUU Pencabutan Perpu dalamhal Perppu tidak disetujui oleh DPR. Ketentuan Pasal 25 ayat (3)dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 hanyamenyebutkan bahwa dalam hal Perpu ditolak oleh DPR, maka Perpputersebut tidak berlaku, dan Presiden mengajukan RUU tentangPencabutan Perppu tersebut yang dapat mengatur pula segala akibatdari penolakan tersebut.

Yang menjadi persoalan secara yuridis formal adalah sejakkapan Perppu tersebut tidak berlaku? Apakah sejak ditolak olehDPR berdasarkan ketentuan ayat (3) ataukah setelah RUU tentangPencabutan Perppu disahkan menjadi undang-undang berdasarkanketentuan ayat (4)? Ternyata menurut Sri Hariningsih5, ketentuandalam ayat (4) mereduksi ketentuan dalam ayat (3), dan jikadiinginkan adanya UU tentang pencabutan Perppu yang ditolak olehDPR seharusnya frase “tidak berlaku” diubah menjadi “harusdicabut” sehingga norma dalam ayat (3) dan ayat (4) menjadi runtut.Usulan perubahan frase ini menjadi sangat penting untuk menjagakemurnian norma konstitusional Pasal 22 ayat (3) UUD Negara RITahun 1945.

Melihat “kekosongan” pengaturan mengenai batas waktu ini,maka sangat mungkin terjadi dalam praktik ada Perppu yang tidakmendapat persetujuan DPR, tetapi RUU Pencabutannya barudiajukan setelah timbul kasus yang berkaitan dengannya. Olehkarena itu, demi tegaknya konstitusi, Perpu seharusnya dapat diujikonstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi6.

E. PenutupPada bagian ini, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan

terkait dengan pembahasan mengenai Perppu yaitu:

5 Sri Hariningsih, Komenetar Singkat terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentangPembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jurnal Legislasi Indonesia, vol.1 No.2, September 2004,hlm.19.6 Lihat Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 angka 6 hlm.27.

Mengukur Konseptualitas Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Page 164: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

148

Vol. 8 No. 1 - April 2011

a. Perppu sebagai bentuk “emergency legislation” yang lahir dari adanyanoodverordeningsrecht Presiden Republik Indonesia berdasarkanUUDNRI Tahun 1945 adalah produk peraturan yang mempunyaikedudukan sama kuat dan bahkan sederajat dengan undang-undang;

b. Dari ketentuan Pasal 22 UUDNRI Tahun 1945 dapat ditarikpengertian bahwa Perppu sebenarnya merupakan suatu PeraturanPemerintah yang bertindak sebagai suatu Undang-Undang ataudengan perkataan lain Perppu adalah Peraturan Pemerintah yangdiberi kewenangan sama dengan Undang-Undang; dan

c. Dari segi isi (materi muatan), Perppu itu identik atau sama denganundang-undang, oleh karenanya Perppu dapat disebut sebagaiundang-undang dalam arti materiil atau “wet in materiele zin”;

d. Pada dasarnya Perppu itu sederajat atau memiliki kekuatan yangsama dengan undang-undang, maka DPR harus secara aktifmengawasi baik penetapan maupun pelaksanaan Perppu tersebutdi lapangan jangan sampai bersifat eksesif dan bertentangandengan tujuan awal yang melatarbelakanginya.

E.1. KesimpulanDari keseluruhan uraian di atas, maka penulis menyimpulkan hal-

hal sebagai berikut:

a. Sebagai produk undang-undang dalam arti materiil, penerbitan danpelaksanaan Perppu itu harus diawasi secara ketat oleh DPR-RI.Hal ini dimaksudkan untuk menjaga originalitas historis kelahiranPerppu tersebut sebagaimana tercantum dalam naskah penjelasanPasal 22 UUDRI Tahun 1945. Hal ini sejalan dengan PenjelasanPasal 22 yang menyatakan:

“Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Aturansebagai ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatannegara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting,yang memaksa pemerintah untuk betindak lekas dan tepat.Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas daripengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, peraturanpemerintah dalam pasal ini, yang kekuatannya sama denganundang-undang harus disahkan pula oleh Dewan PerwakilanRakyat”.

b. Melihat kondisi dan fakta yang selama ini terjadi, keharusan DPRmengawasi Perppu dalam bentuk menyetujui atau menolak Perppu

Page 165: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

149

yang diajukan oleh Presiden, sudah semestinya tidak menutupkemungkinan untuk Perpu tersebut dapat dijadikan objek pengujianoleh mahkamah konstitusi apabila syarat-syarat prinsipil untukitu terpenuhi.

c. Secara konseptual, jika syarat-syarat untuk diajukannyapermohonan perkara pengujian Perppu terpenuhi maka tidak adaalasan bagi MK kecuali memeriksa, mengadili dan memutusperkara tersebut demi tegaknya prinsip negara hukum dankonstitusi di negeri yang kita cintai ini.

E.2. Sarana. Konsepsi pemikiran mengenai pengujian konstitusionalitas Perppu

terhadap UUDNRI Tahun 1945 disarankan untuk diterjemahkanlebih lanjut ke dalam rumusan normatif yang dapat dijadikanmasukan yang konstruktif bagi penyusunan substansialRancangan Undang-Undang mengenai perubahan (revisi) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan PeraturanPerundang-undangan. Dengan demikian diharapkan ke depanproduk peraturan perundang-undangan yang dihasilkan khususnyaPerppu menjadi lebih berkualitas. Sehingga tujuan utamaditetapkannya Perpu sebagai instrumentasi hukum bagiPemerintah untuk bertindak lekas dan tepat dalam menyelesaikankeadaan “kegentingan yang memaksa” dapat betul-betul terwujuddengan baik sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945.

b. Terkait pengaturan mengenai Perppu yang ditolak atau tidakdisetujui oleh DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3)Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, disarankan untuk rumusannormanya disesuaikan dengan bunyi ketentuan Pasal 22 ayat (3)UUD 1945 agar tidak menimbulkan multitafsir sehingga dapatmenjamin kepastian hukum.

c. Ditinjau secara konseptual, Mahkamah Konstitusi melaluipertimbangan hukumnya dalam memutus perkara permohonanpengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-UndangNomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan TindakPidana Korupsi, sesungguhnya telah meletakkan landasan hukumyang dapat dijadikan titik tolak merumuskan kewenanganMahkamah Konstitusi menguji konstitusionalitas Perppu terhadapUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Mengukur Konseptualitas Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Page 166: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

150

Vol. 8 No. 1 - April 2011

DAFTAR PUSTAKA

Jimly Ashiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Edisi ke-1, Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2007.

Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi dan MateriMuatan (Buku 1), edisi revisi, Jakarta: Penerbit Kanisius, 2007.

Sri Sumantri, Hak Uji Materil di Indonesia, Bandung, PT Alumni, 1977

Sri Hariningsih, Komentar Singkat terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, JurnalLegislasi Indonesia, Volume 1 Nomor 2, September 2004.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan PeraturanPerundang-undangan.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009.

Page 167: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

151

FORMALIN DALAM KAJIAN UNDANG-UNDANG KESEHATAN;UNDANG-UNDANG PANGAN DAN

UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMENFORMALIN IN HEALTH, FOOD AND CONSUMER PROTECTION

LAWS STUDIESAgus Budianto*

(Naskah diterima 4/3/2011, disetujui 30/3/2011)

AbstrakAksi tindakan bisnis pencampuran bahan makanan dan atau minuman dengancampuran bahan berbahaya formalin adalah kejahatan sebagaimana telah diaturdalam Undang-Undang Pangan, Undang-Undang Kesehatan, danpenerapkan peraturan Nomor 1168/Menkes/PER/X/1999. Kejahatan inidipidana dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun atau denda sebesarUSD $ 600,000,000.00 (enam ratus juta rupiah). Demikian juga, dapat dilakukantuntutan terhadap badan usaha yang melakukan tindak pidana tersebut denganinstrumen Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang PerlindunganKonsumen.Kata kunci: formalin, penerapan peraturan, kejahatan makanan

AbstractActions mixing business with food and/or drinks with a mixture of formalin hazardousmaterials is a crime as has been stipulated in the Food Act, Health Act, andimplementing regulations Nomor 1168/Menkes/PER/X/1999. For the crime, is liableto imprisonment of 5 (five) years and or a fine of USD $ 600,000,000.00 (six hundredmillion rupiah). Similarly, people can make claims against the business of committingcriminal offenses in the food sector with the instrument of Law Number 8 Year 1999on Consumer Protection.Keywords: formalin, implementing regulations, food crimes

A. PendahuluanTidak bisa dipungkiri, bahwa akhir-akhir ini, baik media massa

cetak atau elektronik, ramai-ramai menyiarkan bahaya kandunganformalin dalam makanan, yang ironinya justru masyarakat selakukonsumen tidak mengetahui adanya kandungan formalin dalam setiapmakanan yang dikonsumsi setiap harinya. Formalin adalah bahanpengawet industri beracun. Di Indonesia, formalin seringdisalahgunakan oleh produsen makanan yang tidak bertanggung

* Dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan Lippo Karawaci.

Page 168: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

152

Vol. 8 No. 1 - April 2011

jawab sebagai pengawet makanan seperti mi basah, ikan asin, ikansegar, tahu, ayam, dan lain-lain. Dalam sebuah pemeriksaan olehBalai Besar POM (Pemeriksa Obat dan Makanan) di JawaBarat ternyata 75.8% dari 29 jenis mi basah yang beredar di pasaranmengandung pengawet formalin1.

Dalam bidang industri formalin digunakan dalam produksi pupuk,bahan fotografi, parfum, kosmetika, pencegahan korosi, perekat kayulapis, bahan pembersih dan insektisida, zat pewarna, cermin dan kaca.Formalin digunakan juga sebagai pembunuh kuman dan pengawetsediaan di laboratorium dan pembalsaman mayat. Pada umumnyapengawasan dan pengetahuan masyarakat mengenai bahaya formalinsangat kurang, sehingga bahan formalin untuk industri ini di negarasedang berkembang sering disalahgunakan sebagai pengawet makananpada mi basah, tahu, ikan asin, ikan basah, ayam, dll yang dapatmembahayakan dan merugikan kesehatan masyarakat.

Hal ini telah menjadi suatu masalah cukup serius yang berusahadiselesaikan oleh berbagai pihak terutama pemerintah. Pemerintahharus dapat dengan bijak memutuskan dan bertindak bagaimanapenanganan kasus tersebut, terutama kasus pada pembuatan berbagaimakanan makanan sehari-hari masyarakat Indonesia seperti ikan asindan tahu yang diawetkan dengan menggunakan formalin.

BPOM menemukan beberapa produk makanan (mie basah, pempek,ikan asin dan bakso) yang beredar di pasaran mengandung bahan-bahanyang tidak layak di konsumsi manusia2. Hal yang sama juga ditemukanoleh Suku Dinas Peternakan Dan Perikanan Pemerintah Kota JakartaPusat dalam puluhan ayam berformalin yang dijual di sejumlah pasartradisional di wilayahnya3. Demikian pula dari hasil sebuah penelitianyang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor, makanan jajanan (streetfood) yang banyak ditemui di berbagai tempat ditenggarai menggunakanbahan-bahan kimia yang penggunaannya telah dilarang sebagaicampuran bahan pangan4. Akhir-akhir ini muncul juga pemberitaantentang ditariknya produk susu Hi-Lo dari peredaran karena mengandungunsur membahayakan bagi konsumen penggunanya. Fakta-fakta di atasmenunjukkan betapa masyarakat secara umum tidak menyadari bahwaberbagai jenis makanan yang dikonsumsi selama ini ternyata

1 Kompas, Rabu 30 Maret 2005, Tahu Makanan Favorit Yang keamanannya Perlu Diwaspadai.2 Kompas, Rabu 30 Maret 2005, Tahu Makanan Favorit Yang keamanannya Perlu Diwaspadai.3 Kompas, Kamis 12 Januari 2006, Boraks Dan Formalin: Lalat Saja Gak Doyan.4 Kompas, Minggu 15 Januari 2006,Waspadai Bahan Kimia Lain Dalam Makanan.

Page 169: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

153

mengandung bahan-bahan yang dapat membahayakan kesehatanbahkan mengancam jiwa.

Formalin merupakan larutan formaldehida 37% dalam larutan air5.Makanan yang mengandung formalin umumnya awet dan dapat bertahanlebih lama. Formalin dapat dikenali dari bau yang agak menyengat dankadang-kadang menimbulkan pedih pada mata. Bahan makanan yangmengandung formalin ketika sedang dimasak kadang-kadang masihmengeluarkan bau khas formalin yang menusuk. Ikan asin yangmengandung formalin akan lebih putih dan bersih dan lebih tahan lamadibandingkan ikan asin tanpa pengawet yang agak berwarna lebih coklat.Mi basah yang mengandung formalin akan lebih awet dan ketika dimasakmasih akan tercium bau formalin. Tahu yang mengandung formalinakan lebih kenyal dan berbau formalin sedangkan yang tidak mengandungformalin akan lebih mudah pecah dan berbau khas kedelai. Ikan danayam yang mengandung formalin akan lebih putih dagingnya dan awet.

Jika makanan yang mengandung formalin tersebut, dikonsumsidalam jangka panjang maka formaldehida dapat merusak hati, ginjal,limpa, pankreas, otak dan menimbulkan kanker, terutama kankerhidung dan tenggorokan. Keracunan akut formalin dapat menimbulkanvertigo dan perasaan mual dan muntah. Keracunan akut metil alkoholdalam makanan dapat menyebabkan kebutaan, kerusakan hati dan sarafdan menimbulkan kanker pada keturunan selanjutnya. Jadi kombinasiantara formaldehida dan metil alkohol dalam formalin sebenarnyamempunyai efek karsinogenik secara ganda.

Tidak saja dalam makanan, formalin juga ditemukan pada plastikpembungkus makanan dan styrofoam. Berdasarkan penelitian6,pembungkus berbahan dasar resin atau plastik rata-rata mengandung5 ppm formalin. Satu ppm adalah setara dengan satu miligram perkilogram. Formalin pada plastik atau styrofoam ini, merupakan senyawa-senyawa yang secara inheren terkandung dalam bahan dasar resin atauplastik. Namun, zat racun tersebut baru akan luruh ke dalam makananakibat kondisi panas, seperti saat terkena air atau minyak panas. Angka5 ppm formalin pada plastik dan styrofoam dinilai cukup tinggi. Sebagaiperbandingan, beberapa waktu lalu, Balai Besar Pengawasan Obat dan

5 milis kimia_indonesia September 2006, diakses pada tanggal 11 November 2009.6 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lanita, dalam diskusi Bahaya Formalin bagi Kesehatan yangdilaksanakan oleh Pengurus Besar Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PB PAPDI), pada tanggal12 Januari 2009.

Formalin Dalam Kajian Undang-Undang Kesehatan...

Page 170: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

154

Vol. 8 No. 1 - April 2011

Makanan (BBPOM) DKI Jakarta menemukan sejumlah sampel makanankwe tiaw yang mengandung 3,1 ppm formalin.

Beredarnya makanan yang mengandung formalin dan bahanpembungkus makanan berbahan formalin di pasaran secara bebas, jelasakan sangat membahayakan masyarakat. Hal ini terjadi karenaketidaktahuan masyarakat akan rangkaian proses pembuatan produkmakanan tersebut berkait dengan bahan yang digunakan, komposisibahan, proses pembuatan sampai pada distribusi/pemasarannya. Disamping itu informasi atas produk yang dikonsumsi juga hanya terbataspada apa yang disampaikan oleh produsen penghasil barang mengenaikondisi barang yang dijual yang tingkat kebenaran informasinyasangatlah bergantung pada itikad baik dan kejujuran pihak produsen/pelaku usaha tersebut.

Apakah hal ini sudah menjadi hal biasa dari pelaku usaha, atauapakah ada niat dari pelaku usaha dengan melihat ketidaktahuanmasyarakat luas?. Masyarakat selaku konsumen sangat dirugikan olehmakanan berbahan formalin tersebut dan sangat mendesak untukmengetahui cara penyelesaian sengketa. Oleh karena itu, dalam tulisanini akan dikaji lebih mendalam bagaimana tanggung jawab pemerintahatas fenomena dalam masyarakat ini, bagaimana perlindungan konsumenmenurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang PerlindunganKonsumen dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

B. Materi dan Metode PenelitianBerdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, permasalahan

yang akan dicari jawabannya adalah sebagai berikut: bagaimana sifatdari tindakan mencampur formalin dalam makanan dan kemasanmakanan dan bagaimanakah kandungan formalin tersebut dapatmembahayakan bagi kesehatan konsumen? Bagaimana implementasiketentuan peraturan perundangan yang ada, seperti Undang-Undang Pangan,Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Kesehatandapat melindungi masyarakat terhadap produksi dan peredaranmakanan dan kemasan makanan yang mengandung formalin?

Penulisan artikel ini menggunakan metode pendekatan yuridisnormatif, dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Data-datadikumpulkan dari bahan hukum primer, baik berupa ketentuan peraturanperundangan-undangan dan pelaksanannya; bahan hukum sekundermaupun bahan hukum tersier yang dilakukan melalui studi kepustakaanuntuk selanjutnya diolah dan dianalisa secara yuridis kualitatif.

Page 171: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

155

C. Hasil dan Pembahasan1. Kandungan formalin dan bahayanya bagi kesehatan

Formalin merupakan cairan tidak berwarna yang digunakan sebagaidesinfektan, pembasmi serangga, dan pengawet yang digunakan dalamindustri tekstil dan kayu. Formalin memiliki bau yang sangat menyengat,dan mudah larut dalam air maupun alkohol. Formalin adalah namaumum dan secara kimiawi disebut Formaldehida biasanya yangdimanfaatkan sebagai pembersih, lantai, kapal, gudang dan pakaian.Formaldehida dapat digunakan untuk membasmi sebagian besar bakteri,sehingga sering digunakan sebagai disinfektan dan juga sebagai bahanpengawet. Formaldehida juga dipakai sebagai pengawet dalam vaksinasi.Dalam bidang medis, larutan formaldehida dipakai untuk mengeringkankulit, misalnya mengangkat kutil. Larutan dari formaldehida seringdipakai dalam membalsem untuk mematikan bakteri serta untuksementara mengawetkan bangkai.

Dalam industri, formaldehida kebanyakan dipakai dalam produksipolimer dan rupa-rupa bahan kimia. Jika digabungkan dengan fenol,urea, atau melamina, formaldehida menghasilkan resin termoset yangkeras. Resin ini dipakai untuk lem permanen, misalnya yang dipakaiuntuk kayulapis/tripleks atau karpet. Lebih dari 50% produksiformaldehida digunakan untuk produksi resin formaldehida.

Untuk mensintesis bahan-bahan kimia, formaldehida dipakaiuntuk produksi alkohol polifungsional seperti pentaeritritol, yang dipakaiuntuk membuat cat bahan peledak. Turunan formaldehida yang lainadalah metilena difenil diisosianat, komponen penting dalam cat danbusa poliuretana, serta heksametilena tetramina, yang dipakai dalamresin fenol-formaldehida untuk membuat RDX (bahan peledak). Sebagaiformalin, larutan senyawa kimia ini sering digunakan sebagaiinsektisida serta bahan baku pabrik-pabrik resin plastik dan bahan peledak7.

Kegunaan formalin dalam dunia medis dan industri, antara lain:pengawet mayat; pembasmi lalat dan serangga pengganggu lainnya; bahanpembuatan sutra sintetis, zat pewarna, cermin, kaca; pengeras lapisangelatin dan kertas dalam dunia Fotografi; bahan pembuatan pupuk dalambentuk urea; bahan untuk pembuatan produk parfum; bahan pengawetproduk kosmetika dan pengeras kuku; pencegah korosi untuk sumurminyak; dan dalam konsentrasi yang sangat kecil (kurang dari 1%),

7 Siti Yulianti, Semaraknya Penyalah Gunaan Formalin Pada Makanan, diakses dalam http://www.ditjennak.go.id/publikasi%5Csemarak.pdf.

Formalin Dalam Kajian Undang-Undang Kesehatan...

Page 172: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

156

Vol. 8 No. 1 - April 2011

formalin digunakan sebagai pengawet untuk berbagai barang konsumenseperti pembersih barang rumah tangga, cairan pencuci piring, pelembutkulit, perawatan sepatu, shampoo mobil, lilin, dan pembersih karpet.

Karena resin formaldehida dipakai dalam bahan konstruksi sepertikayu lapis/tripleks, karpet, dan busa semprot dan isolasi, serta karenaresin ini melepaskan formaldehida secara pelan-pelan, formaldehidamerupakan salah satu polutan ruangan yang sering ditemukan. Apabilakadar di udara lebih dari 0,1 mg/kg, formaldehida yang terhisap dapatmenyebabkan iritasi kepala dan membran mukosa, yang menyebabkankeluarnya air mata, pusing, teggorokan serasa terbakar, sertakegerahan. Paparan formaldehida dalam jumlah banyak, misalnyaterminum, dapat menyebabkan kematian. Dalam tubuh manusia,formaldehida dikonversi menjadi asam format yang meningkatkankeasaman darah, tarikan nafas menjadi pendek dan sering, hipotermia,juga koma, atau bahkan kematian.

Beberapa pengaruh formalin terhadap kesehatan adalah sebagaiberikut:

1. Jika terhirup akan menyebabkan rasa terbakar pada hidung dantenggorokan, sukar bernafas, nafas pendek, sakit kepala, dan dapatmenyebabkan kanker paru-paru;

2. Jika terkena kulit akan menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal,dan kulit terbakar;

3. Jika terkena mata akan menyebabkan mata memerah, gatal,berair, kerusakan mata, pandangan kabur, bahkan kebutaan;

4. Jika tertelan akan menyebabkan mual, muntah-muntah, perutterasa perih, diare, sakit kepala, pusing, gangguan jantung,kerusakan hati, kerusakan saraf, kulit membiru, hilangnyapandangan, kejang, bahkan koma dan kematian.

Formalin berguna bila memang digunakan sesuai denganperuntukannya, tetapi bahan itu tidak boleh dijadikan sebagai pengawetmakanan karena ada pengaruhnya terhadap kesehatan. Walaupunbegitu, banyak produsen makanan tetap menggunakan bahan ini karenabahan ini mudah digunakan dan mudah didapat, karena harganya relatifmurah dibanding bahan pengawet lain. Selain itu, formalin merupakansenyawa yang bisa memperbaiki tekstur makanan sehinggamenghasilkan rupa yang bagus, misalnya bakso dan kerupuk.

Menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun2004 tentang Keamanan Mutu dan Gizi Pangan, diberi batasan sebagaisegala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah

Page 173: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

157

maupun yang tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atauminuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan8 pangan,bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam prosespenyiapan, pengolahan dan/atau pembuatan makanan atau minuman.

Secara lebih khusus ketentuan tentang bahan tambahan pangandiatur dalam Pasal 11 dan Pasal 12 Peraturan Pemerintah ini. Pasal 11ayat (1) menyatakan setiap orang yang memproduksi pangan untukdiedarkan dilarang menggunakan bahan apapun sebagai tambahanpangan yang dinyatakan terlarang. Sedangkan dalam Pasal 11 ayat (2)dinyatakan bahan yang dinyatakan terlarang sebagaimana dimaksudpada ayat (1) ditetapkan oleh kepala Badan9. Masing-masing menyatakanbahwa dilarang untuk memasukkan bahan apapun sebagai bahantambahan pangan yang dinyatakan dilarang. Pasal 12 ayat (1) dinyatakanbahwa setiap orang yang memproduksi pangan dengan menggunakanbahan tambahan pangan untuk diedarkan wajib menggunakan bahantambahan pangan yang diizinkan. Selanjutnya Pasal 12 ayat (2) mengaturmengenai nama dan golongan bahan tambahan pangan yang diizinkan,tujuan penggunaan dan batas maksimal penggunaannya.

Ketentuan dalam kedua pasal tersebut di atas bertujuan melindungikonsumen dari kerugian atas kegiatan mengkonsumsi pangan yangmengandung bahan pangan yang tidak sesuai dengan ketentuan. Sepertdiketahui, fungsi bahan tambahan pangan antara lain untuk mengawetkanmakanan, mencegah pertumbuhan mikroba perusak pangan, mencegahterjadinya reaksi kimia yang dapat menurunkan mutu pangan danmembentuk makanan menjadi lebih baik, renyah serta lebih enak.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyatakanbahwa kualitas pangan yang dikonsumsi harus memenuhi beberapakriteria, antara lain aman, bergizi, bermutu dan dapat terjangkau olehdaya beli masyarakat. Aman yang dimaksud di sini mencakup bebasdari cemaran biologis, mikrobiologis, kimia, logam berat dan cemaranlain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatanmanusia. Hal serupa yang berkait dengan keamanan atas panganditemukan juga dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a Peraturan PemerintahNomor 28 Tahun 2004 yang mengatur pencegahan pencemaran pangansegar oleh cemaran biologis, kimia dan benda lain yang mengganggu,merugikan dan membahayakan kesehatan dari udara, tanah, air, pakan,

8 Bahan Tambahan menurut Pasal 1 angka 17 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 adalahbahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan.9 Kepala Badan yang dimaksud adalah badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Formalin Dalam Kajian Undang-Undang Kesehatan...

Page 174: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

158

Vol. 8 No. 1 - April 2011

pupuk, pestisida, obat hewan atau bahan lain yang digunakan dalamproduksi pangan segar. Selain keamanan untuk pangan segar, aspekkeamanan juga diterapkan pangan olahan (Pasal 6), cara distribusipangan dalam (Pasal 7), cara ritel pangan yang baik (Pasal 8) serta caraproduksi pangan siap saji (Pasal 9), termasuk juga produk pangan hasilrekayasa genetika sebagaimana diatur dalam Pasal 14 PeraturanPemerintah Nomor 28 Tahun 2004.

Penggunaan bahan tambahan pangan yang dimasukkan dalammakanan bukanlah hal baru dalam proses produksi pangan. Biasanyabahan tambahan pangan ini digunakan untuk berbagai macam tujuanyaitu mulai dari penambah/penguat rasa, mempercantik penampilansampai dengan agar produk makanan tahan lama.

Penggunaan bahan tambahan pangan sudah diatur sejak tahun1988 lewat Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722/Menkes/Permenkes/1988 junto Permenkes Nomor 1168/Menkes/PER/X/1999tentang Perubahan Atas Permenkes Nomor 722/Menkes/Permenkes/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan. Dalam Permenkes diatasantara lain disebutkan bahwa yang termasuk bahan tambahan makananadalah: pewarna, pemanis buatan, pengawet, antioksidan, antikempal,penyedap dan penguat rasa, pengatur keasaman, pemutih dan pematangtepung, pengemulsi, pengental, pengeras dan sekuestran (untukmemantapkan warna dan tekstur makanan).

Bahan tambahan makanan sendiri dalam Permenkes tersebutdibatasi sebagai bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanandan biasanya bukan merupakan ingredient khas makanan, mempunyaiatau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan kedalam makanan untuk maksud teknologi (termasuk organoleptik) padapembuatan, pengolahan, penyediaan, perlakuan, pewadahan,pembungkusan, penyimpanan atau pengangkutan makanan untukmenghasilkan atau diharapkan menghasilkan (langsung atau tidaklangsung) suatu komponen atau mempengaruhi sifat makanan.

Jenis bahan tambahan pangan yang diperbolehkan sudahditentukan seperti misalnya untuk pemanis buatan yang diijinkan adalahaspartame, siklamat dan sakarin dalam jumlah tertentu. Sedangkanpenyedap rasa dan aroma yang masih aman adalah vetsin atau monosodiumglumat (MSG). Bahan tambahan pangan yang digunakan untukmengentalkan, mengelmusi dan memantapkan rasa makanan yangaman digunakan antara lain berupa agar, alginate, desktrin, gelatin,gum, karagen, pectin dan gum Arab. Bahan tambahan pangan yang

Page 175: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

159

tujuannya untuk antikempal yang direkomendasikan adalah aluminiumsilikat, kalsium silikat, magnedsium oksida dan magnesium silikat.Bahan pemutih dan pematang yang diijinkan di antaranya adalah asamaskorbat dan kalium bromat. Kesemua bahan tambahan pangansebagaimana tersebut di atas adalah produk olahan kimia. Dengandemikian sebenarnya penggunaan bahan kimia dalam makanan bukanhal baru dan tidak dilarang.

Namun demikian akhir-akhir ini muncul di masyarakat produk-produk makanan yang ternyata menggunakan bahan kimia padamakanan yang sebenarnya tidak layak dikonsumsi oleh manusia.Beberapa bahan tambahan pangan tersebut adalah borax10, formalin, zatpewarna methanyl yellow dan rhodamin B yang menurut PermenkesNomor 1168/Menkes/PER/X/1999 dinyatakan sebagai bahan tambahanpangan yang dilarang penggunaannya dalam makanan. Secara jelasdinyatakan dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Pangan, bahwa setiaporang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakanbahan apa pun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakanterlarang atau melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan.Pasal 16 ayat (1), berbunyi setiap orang yang memproduksi pangan untukdiedarkan dilarang menggunakan bahan apa pun sebagai kemasanpangan yang dinyatakan terlarang dan atau yang dapat melepaskancemaran yang merugikan atau membahayakan kesehatan manusia.Juga ditentukan dalam Pasal 21 huruf a, bahwa setiap orang dilarangmengedarkan pangan yang mengandung bahan beracun, berbahaya, atauyang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia.

Sanksi bagi pelaku usaha juga sangat jelas diatur dalam Undang-Undang Pangan, yakni dalam Pasal 55 huruf (b), “Barang siapa yangdengan sengaja, menggunakan bahan yang dilarang digunakan sebagaibahan tambahan pangan atau menggunakan bahan tambahan pangansecara melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan,sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1); Pasal 55 huruf (c),“menggunakan bahan yang dilarang digunakan sebagai kemasan pangandan atau bahan apa pun yang dapat melepaskan cemaran yang

10 Boraks adalah bahan solder, bahan pembersih, pengawet kayu, antiseptik kayu, dan pengontrolkecoak. Sinonimnya natrium biborat, natrium piroborat, natrium tetraborat. Sifatnya berwarna putih dansedikit larut dalam air. Sering mengonsumsi makanan berboraks akan menyebabkan gangguan otak,hati, lemak, dan ginjal. Dalam jumlah banyak, boraks menyebabkan demam, anuria (tidak terbentuknyaurin), koma, merangsang sistem saraf pusat, menimbulkan depresi, apatis, sianosis, tekanan darahturun, kerusakan ginjal, pingsan, bahkan kematian. (http://wowsalman.blogspot.com/2006/01/bahaya-formalin-dan-boraks.html)

Formalin Dalam Kajian Undang-Undang Kesehatan...

Page 176: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

160

Vol. 8 No. 1 - April 2011

merugikan atau membahayakan kesehatan manusia, sebagaimanadimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara palinglama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp600.000.000,00(enam ratus juta rupiah). Pasal 56 Undang-Undang Pangan berbicaratentang kelalaian, yang sanksinya berupa pidana penjara paling lama1(satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp120.000.000,00 (seratusdua puluh juta rupiah).

Pasal 57 berbicara tentang pemberatan pidana, yaitu tambahanseperempat dari pidana pokok, jika mengakibatkan menimbulkankerugian terhadap kesehatan manusia atau ditambah sepertiga apabilamenimbulkan kematian.

2. Kajian dalam Undang-Undang Perlindungan KonsumenKonsumen sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)adalh setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalammasyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lainmaupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Daribatasan di atas, maka pengertian konsumen pada Pasal 1 ayat (2) diatas merunjuk pada pengertian konsumen akhir11. Konsumen akhiryang dimaksud di sini berkenaan dengan tujuan penggunaan setiapproduk baik barang maupun jasa yang menyangkut semua aspekkehidupan, yang sifatnya tidak untuk diperdagangkan.

Salah satu produk yang dikonsumsi masyarakat adalah produkmakanan12. Aspek perlindungan konsumen atas produk makananmenjadi penting, karena tujuan utama mengkonsumsi makanan sendiriadalah untuk memenuhi kebutuhan tubuh guna kepentingan tumbuhkembang dan regenerasi sel, sehingga secara umum tujuan darikegiatan makan adalah untuk menjaga agar tubuh tetap sehat danbukan sebaliknya13. Konsumen berhak mendapatkan produk makananyang baik dan sehat sehingga aman untuk dikonsumsi. Hak ataskeamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi suatu produktertentu (dalam hal ini termasuk juga makanan) konsumen menjadi

11 Pemakai atau pengguna barang atau jasa (konsumen) untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri,keluarga atau rumah tangganya (untuk tujuan non-komersial) dan tidak untuk diperdagangkan kembali.12 Makanan adalah (1) segala sesuatu yang dapat dimakan (seperti pangan, lauk-pauk); (2) segalabahan yang kita makan atau masuk ke dalam tubuh yang membentuk atau mengganti jaringan tubuh,memberikan tenaga, atau mengatur semua proses di tubuh; (3) rezeki.13 Imam Abdullah Baehaqie, Menggugat Hak: Panduan Konsumen Bila Dirugikan, Jakarta: YayasanLembaga Konsumen Indonesia,1990.

Page 177: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

161

salah satu hak dasar konsumen dalam UUPK. Selain hak atas keamanandan keselamatan, UUPK mengatur hak lain yang berkait denganpemanfaatan produk makanan yaitu:

a. hak untuk memilih barang dan/atau jasa sesuai nilai tukar danjaminan yang dijanjikan,

b. hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisidan jaminan barang dan/atau jasa,

c. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan,

d. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upayapenyelesaian sengketa perlindungan konsumen,

e. hak hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujurserta tidak diskriminatif,

f. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/ataupenggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidaksesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Jika membicarakan hak konsumen, maka ini terkait dengan dasarfilosofis perlindungan konsumen terhadap ketidaktahuan konsumenakan proses produksi suatu barang, sehingga rentan terhadap berbagaibentuk kerugian yang mungkin ditimbulkan. Proteksi terhadaprangkaian proses produksi makanan menjadi satu hal yang pentingdimana aspek pertanggungjawaban pelaku usaha menjadi suatukesatuan yang juga tidak dapat dipisahkan dari kegiatan konsumsimakanan oleh konsumen14. Adanya bahan kimia dalam makananakan merugikan konsumen, bila bahan kimia yang dimaksud adalahbahan kimia yang tidak sesuai dengan peruntukan dan dilarang.Larangan menggunakan bahan-bahan kimia tertentu ke dalam produkolahan pangan tidak hanya ada dalam peraturan di bidang kesehatansebagaimana tersebut di atas. Dari sudut perlindungan konsumen punhal ini diatur, seperti misalnya Pasal 8 ayat (1) butir (a) yang menyatakanpelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat ataubekas dan tercemar tanpa memberitahukan informasi secara lengkapdan benar atas barang yang dimaksud. Pasal ini memberikan bebankepada pelaku usaha produk makanan untuk tidak memperdagangkanproduk yang tercemar, sehingga jika mencampurkan bahan kimia yang

14 AZ. Nasution, Konsumen Dan Hukum: Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum Pada PerlindunganKonsumen, Jakarta: Sinar Harapan,1995, hlm. 34.

Formalin Dalam Kajian Undang-Undang Kesehatan...

Page 178: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

162

Vol. 8 No. 1 - April 2011

dilarang pada makanan sama artinya telah menyebabkan makanantersebut menjadi tercemar oleh bahan kimia yang tidak sesuaiperuntukannya. Pasal 8 ayat (3) UUPK menentukan bahwa pelaku usahadilarang sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dantercemar dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap danbenar atas barang yang dimaksud. Pengertian dari ayat ini mempertegasapa yang diatur dalam ayat dengan memberi batasan yang jelas dengantentang produk yang dilarang, yaitu pangan yang tercemar.

Selain dalam Pasal 8, ketentuan pembebanan pada pelaku usahauntuk tidak menggunakan bahan campuran kimia berbahaya dalamproduk makanan terdapat dalam Pasal 7 huruf a dan huruf d. Dikatakandalam Pasal tersebut: (a). kewajiban pelaku usaha adalah beritikad baikdalam melakukan kegiatan usahanya; (d). kewajiban pelaku usahaadalah menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/ataudiperdagangkan berdasarkan ketentuan. Dari kedua ketentuan tersebuttampak bahwa menggunakan bahan kimia yang dilarang dalammakanan mengindikasikan adanya itikad tidak baik dari pelaku usahadalam melakukan usaha dan pelaku usaha tidak melakukan kewajibanuntuk menjamin mutu makanan yang diproduksi dan diperdagangkanberdasarkan ketentuan ini tidak terpenuhi.

Terhadap kerugian yang ditimbulkan dari pelanggaran ketentuanpasal-pasal tersebut di atas, diwajibkan pelaku usaha dalam Pasal 7 huruff memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugianakibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasayang diperdagangkan. Hal yang sama berkait dengan pembebanantanggung jawab terhadap pelaku usaha untuk memberi ganti rugi atasproduk yang dipasarkan tercantum pula dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat(2) UUPK. Selain tanggung jawab secara perdata berupa kompensasi atauganti rugi, pelaku usaha dapat juga dijatuhi hukuman pidana, baikpidana pokok maupun pidana tambahan- berupa kurungan atau denda,jika terbukti melanggar Pasal 8 sebagaimana tercantum dalam Pasal62 ayat (1) dan berlaku Pasal 62 ayat (3) jika pelanggarang tersebutmenyebabkan cacat atau kematian pada konsumen.

Selain dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, laranganpenggunaan bahan kimia berbahaya juga diatur dalam Undang-UndangNomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, khususnya dalam Pasal 10 ayat(1) yang menyatakan setiap orang yang memproduksi pangan untukdiedarkan dilarang menggunakan bahan apapun sebagai bahantambahan pangan yang dinyatakan terlarang atau melampaui ambang

Page 179: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

163

batas maksimal yang ditetapkan. Ketentuan tentang bahan tambahanpangan yang terlarang ini juga dipertegas dalam Permenkes Nomor 1168/Menkes/PER/X/1999 dan pelanggaran atas ketentuan ini menyebabkanterancamnya keamanan pangan dan tentunya akan membahayakankesehatan manusia15.

Keamanan pangan sendiri dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (4)Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan sebagai kondisidan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinancemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu,merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Penggunaan bahankimia yang dilarang dalam makanan menyebabkan keamanan panganmenjadi tidak terjamin karena kondisi dan upaya yang diperlukan untukmencegah pangan dari kemungkinan cemaran kimia yang dapatmengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan konsumentidak lagi terpenuhi dengan baik.

Sementara itu, untuk kemasan pangan diatur dalam Pasal 16 auay(1), yang berbunyi, “Setiap orang yang memproduksi pangan untukdiedarkan dilarang menggunakan bahan apapun sebagai kemasanpangan yang dinyatakan terlarang dan atau yang dapat melepasakancemaran yang merugikan atau membahayakan kesehatan manusia;ayat (2) nya: Pengemasan pangan yang diedarkan dilakukan melaluitata cara yang dapat menghindarkan terjadinya kerusakan dan ataupencemaran”.

Dari kedua ketentuan undang-undang tersebut sudah sangat jelas,bahwa penggunaan formalin dalam bahan makanan dilarang karenasangat merugikan konsumen (masyarakat), namun pertanyaannyaadalah, bagaimana mekanisme penyelesaian sengketanya, agar sipelaku segera mendapat hukuman dan dapat menjadi penjera bagi calon-calon pelaku lainnya.

Badan POM RI dalam rapat koordinasi lintas sektor penegakanhukum bidang obat dan makanan, pada tanggal 8 Oktober 2009menyatakan, bahwa penambahan bahan formalin dalam makananmerupakan sebuah bentuk kejahatan yang terorganisasi. Oleh karenaitu, penanganan perkara tindak pidana obat dan makanan harusdilakukan secara terpadu dan bersinergi antara sektor yang tercakupdalam Criminal Justice System antara lain Badan POM RI, POLRI,

15 Yusuf Shopie, Perlindungan Konsumen Dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung : Citra AdityaBakti, 2003, hlm. 112.

Formalin Dalam Kajian Undang-Undang Kesehatan...

Page 180: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

164

Vol. 8 No. 1 - April 2011

Mahkamah Agung Rl dan Kejaksaan Agung Rl beserta jajarannya. Untukitu Badan POM RI memprakarsai kerjasama tersebut melalui RapatTahunan Koordinasi Lintas Sektor Penegakkan Hukum Bidang Obat danMakanan. Pernyataan ini didasarkan pada jumlah kasus, yang sampaipada bulan September 2009, terdapat kasus projustitia sebanyak 98kasus, yang terdiri kasus makanan sebanyak 17 kasus, kosmetik 23kasus, obat tradisional 21 kasus, dan obat 37 kasus16.

UUPK memperkenalkan model penyelesaian di luar litigasi ataujalur peradilan, dalam Pasal 49 ayat (1) yang berbunyi, “Pemerintahmembentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah TingkatI untuk penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan”. DalamPasal 52 diatur tentang tugas dan wewenang badan ini17 (BPSK).

Tugas dan wewenang BPSK adalah penanganan dan penyelesaiansengketa konsumen melalui mediasi18, arbitrase19 atau konsiliasi20.Namun, menurut penjelasan pasal 45 ayat (2), penyelesaian sengketadi luar pengadilan dapat pula diselesaikan secara damai oleh merekayang bersengketa. Yang dimaksud dengan cara damai adalahpenyelesaian yang dilakukan kedua belah pihak tanpa melalui

16 http://pkditjenpdn.depdag.go.id/index.php?page=aduansta17 Tugas dan wewenang BPSK:

1. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasiatau arbitrase atau konsiliasi;

2. memberikan konsultasi perlindungan konsumen;3. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;4. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang ini;5. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya

pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;6. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;7. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan

konsumen;8. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui

pelanggaran terhadap Undang-undang ini;9. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap

orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilanbadan penyelesaian sengketa konsumen;

10.mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikandan/atau pemeriksaan;

11.memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;12.memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap

perlindungan konsumen;13.menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-

undang ini.18 Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga yang bersifat netraldengan tujuan membantu penyelesaian sengketa dan tidak memiliki wewenang untuk membuat keputusan.19 Arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam hal ini parapihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian kepada BPSK.20 Konsiliasi adalah penyelesaian yang dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengandidampingi pihak ketiga yang bertindak pasif sebagai Konsiliator, sedangkan proses sepenuhnyadiserahkan pada pihak yang bersengketa yaitu Pelaku Usaha dan Konsumen mengenai bentuk ataujumlah ganti ruginya.

Page 181: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

165

pengadilan ataupun BPSK. Penyelesaian sengketa di luar pengadilantidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalamPasal 45 ayat (3) UUPK. Hal ini karena penyelesaian sengketa di luarpengadilan bersifat perdata, sehingga UU mengatur bahwa penyelesaiansengketa diluar pengadilan tidak menjadi alasan untuk menghilangkantanggung jawab pidana. Berikut ini adalah bagan alur penyelesaiansengketa melalui BPSK.

Sengketa yang diselesaikan dengan cara-cara tersebut wajibdiselesaikan selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu) harikerja, terhitung sejak permohonan diterima di Sekretariat BPSK.Putusan BPSK bersifat final dan mengikat.

Beredarnya berbagai jenis makanan yang mengandung formalindi pasaran, menunjukkan bahwa masyarakat kebanyakan belummenyadari ancaman bahaya di balik makanan (foodborne diseases) danpemerintah belum sungguh-sungguh menindak pelakunya gunamemberi perlindungan kepada konsumen pangan. Inilah inkonsistensipemerintah terhadap pemberlakuan Undang-Undang Pangan khususnyapasal 21 huruf a tentang pangan yang mengandung bahan beracun,berbahaya atau yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatanatau jiwa manusia. Pengedar makanan suplemen dan produk olahanpangan lain yang mengandung bahan berbahaya seharusnya dipidanasesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pangan dan Undang-UndangPerlindungan Konsumen tersebut di atas.

Di sisi lain, amat disayangkan hingga kini masih banyak produkmakanan yang beredar tidak diberi lebel. Pihak produsen seharusnyasudah menyadari bahwa label merupakan salah satu unsur perlindungan

Formalin Dalam Kajian Undang-Undang Kesehatan...

Page 182: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

166

Vol. 8 No. 1 - April 2011

konsumen pangan, sebab di sana terkandung pesan amat penting untukdiketahui konsumen mengenai produk pangan bersangkutan. PeraturanPemerintah (PP) Nomor 69 tahun 1999 yang mengatur tentang pelabelanpangan, sesungguhnya merupakan payung yang melindungi konsumenpangan dan diharapkan dapat menjembatani kepentingan produsen dankonsumen ke arah iklim perdagangan yang jujur dan bertanggung jawab.

Oleh karena itu, pemerintah harus konsisten memberi perlindungankepada konsumen pangan mengingat hak konsumen kerap dilanggaroleh kekuatan bisnis makanan yang menjanjikan keuntungan besar.Perangkat hukumnya sudah ada, yakni Peraturan Pemerinth Nomor 69Tahun 1999 tentang pelabelan pangan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun1996 tentang Pangan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentangPerlindungan Konsumen. Ketiga payung hukum ini juga dapat memberipeluang kepada konsumen pangan untuk memperjuangkan haknya.Unsur keamanan pangan dalam bisnis industri pangan sudah saatnyadiperhatikan, sebab foodborne disease dapat menciptakan problem seriuskesehatan masyarakat.Selain dapat menjadi penyebab kematian,hal itujuga menimbulkan kondisi kurang gizi yang menghambat pembangunannasional.

3. Kajian dalam Undang-Undang Kesehatan dan Undang-UndangPanganDalam suatu peristiwa yang mengakibatkan kerugian terhadap

seseorang, maka sudah tentu pihak yang melakukan kesalahan wajibmengganti kerugian. Seseorang, dalam hal ini korban, dari tindakantersebut mengalami kerugian baik material maupun moril sehinggaadalah sudah wajar kiranya kalau orang yang dirugikan tersebutmendapat imbalan berupa ganti rugi dari pihak yang merugikan.

Dalam menentukan pertanggungjawaban suatu tindakan bagipihak yang dirugikan (konsumen), maka pihak korban dapatmemperoleh sejumlah ganti kerugian yang pantas untuk menggantikerugian yang telah dideritanya. Pihak penimbul kerugian wajib untukmemberikan sejumlah ganti kerugian pada korbannya. “Menurut hukumyang berlaku menyebutkan bahwa si pelaku perbuatan berkewajibanmemberi ganti kerugian pada seorang penderita kerugian”21. Padadasarnya ketentuan yang mengatur perlindungan hukum bagi konsumendapat dijumpai dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi sebagai

21 Hermien Hadiati & Keoswadji, Hukum dan Masalah Medik, Airlangga, Surabaya, 1984, hlm. 34.

Page 183: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

167

berikut: “Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugiankepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnyamenerbitkan kerugian tersebut”.

Di dalam Undang-Undang Kesehatan disebutkan juga perlindunganterhadap konsumen, yaitu Pasal 55 yang berisikan ketentuan antaralain sebagai berikut: (1) Setiap orang berhak atas ganti rugi akibatkesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan, (2) Gantirugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai denganperaturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian hak atas gantirugi merupakan suatu upaya untuk memberikan perlindungan bagisetiap orang atas suatu akibat yang timbul, baik fisik maupun non fisikkarena kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan. Perlindungan inisangat penting karena akibat kelalaian atau kesalahan itu mungkindapat menyebabkan kematian atau menimbulkan cacat permanen. Yangdimaksud dengan kerugian fisik adalah hilangnya atau tidakberfungsinya seluruh atau sebagian organ tubuh, sedangkan kerugiannon fisik berkaitan dengan martabat seseorang.

Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,hal mengenai pengamanan makanan dan minuman secara khususdiatur dalam Pasal 111, yang berbunyi:

1) Makanan dan minuman yang dipergunakan untuk masyarakatharus didasarkan pada standar dan/atau persyaratan kesehatan.

2) Makanan dan minuman hanya dapat diedarkan setelah mendapatizin edar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3) Setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tandaatau label yang berisi:a. Nama produk;b. Daftar bahan yang digunakan;c. Berat bersih atau isi bersih;d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukan

makanan dan minuman kedalam wilayah Indonesia; dane. Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa.

4) Pemberian tanda atau label sebagaimana dimaksud pada ayat (1)harus dilakukan secara benar dan akurat.

5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian labelsebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai denganketentuan peraturan perundang-undangan.

6) Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar,persyaratan kesehatan, dan/atau membahayakan kesehatansebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diedarkan,

Formalin Dalam Kajian Undang-Undang Kesehatan...

Page 184: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

168

Vol. 8 No. 1 - April 2011

ditarik dari peredaran, dicabut izin edar dan disita untukdimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari pasal di atas terlihat bahwa penggunaan bahan berbahayapada makanan dilarang, dan meskipun aturan ini hanya bersifathimbauan, tetapi dalam prateknya terhadap kejahatan penggunaanbahan berbahaya dalam makanan berlaku Undang-Undang Pangan danUndang-Undang Perlindungan Konsumen.

Penggunaan formalin untuk bahan pengawet makanan adalahmelanggar peraturan pemerintah, karena, dalam jangka panjangpengonsumsinya dapat menderita penyakit kanker dan gangguan ginjal.Kasus penggunaan formalin, boraks dan sejenisnya pada makananmencerminkan kelemahan koordinasi dari tiga instansi yangbertanggung jawab menangani peredaran bahan makanan danminuman. Ketiga instansi tersebut adalah Kementrian Perindustrianyang bertugas membina industri, Kementrian Perdagangan yangmenangani tata niaga, dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan(BPOM) yang melakukan pengawasan bahkan penyelidikan langsungsampai ke batas-batas tertentu.

Di sisi lain, peraturan tentang penggunaan formalin dan bahankimia tertentu (BKT) dalam produk pangan seperti tercantum dalamUndang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan serta Undang-Undang Perlindungan Konsumen, kelihatannya telah terdistorsi.Kementrian Perindustrian dan Kementrian Perdagangan sebenarnyasudah membuat regulasi tentang tata niaga BKT, seperti formalin danrhodamin B. Bahan-bahan itu seharusnya hanya dijual kepada penggunaakhir (end user), tetapi ternyata masih terjadi penyimpangan pada tahapdistribusi. Sebab itu, pemerintah hendaknya memperketat distribusiperedaran formalin dan sejenisnya, di samping mencari alternatif bahanpengawet lain yang murah tetapi aman untuk produk pangan.

Ada dua instrumen perlindungan yang seharusnya diperhatikanpemerintah. Pertama, perlindungan pra-pasar, yaitu pemeriksaan produksebelum masuk pasar. Untuk bahan pangan maupun kemasannya,semua produk itu harus melalui proses registrasi. Juga harus ada prosesstandarisasi. Kedua, kontrol pasca-pasar. Setelah barang itu masuk kepasar, harus ada mekanisme kontrol tetap berjalan. Jika suatu barangyang beredar tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan makabarang itu harus ditarik dari pasar. Kedua kontrol itu, pra-pasar danpasca-pasar sejauh ini memang belum berjalan baik, padahal mekanisme

Page 185: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

169

kontrol yang baik dari pemerintah akan menjamin bahwa barang yangberedar di pasaran steril dari bahan-bahan berbahaya bagi kesehatanmasyarakat.

Maraknya kasus produk pangan dengan bahan pengawet berbahayajuga menunjukkan adanya kegagalan sosialisasi dan pengabaianmasyarakat tentang pentingnya makanan sehat. Karena itu,penanggulangan kasus ini hendaknya betul-betul bertujuan demimemberantas tuntas penyalahgunaan bahan pengawet bahan kimia,bukan karena motif lain demi keuntungan semata. Kasus ini mungkindapat menjadi perhatian bagi penegak hukum lainnya, bahwa faktanyamemang peredaran makanan berbahan formalin sudah tidak dapat lagidibendung dalam masyarakat.

Pada tanggal 14 Oktober 2009, Direktorat Narkoba Polda Metro Jayamenggerebek pabrik tahu di Jakarta Timur, yang diduga menggunakanformalin dalam proses pembuatan bahan makanan ini22. PusatKomunikasi dan Informasi Polda Metro Jaya di Jakarta, menyatakan,polisi telah menangkap pemilik pabrik tahu bernama TY. Pabrik tahu diJl Cipinang Muara, Jakarta Timur kepergok menggunakan formalin saatmembuat tahu. Dari pabrik tahu itu, polisi menemukan barang buktiantara lain satu jerigen formalin cair, tiga kilogram formalin bubuk, 10biji tahu putih, satu set penggilingan kedelai dan satu cetakan tahu.Sepanjang tahun 2008, petugas gabungan Polda Metro Jaya dan penyidikpegawai negeri sipil (PPNS) Pemda DKI menangkap enam pengusahatahu. Mereka menggunakan formalin untuk mengawetkan tahu di JlMampang Prapatan dan Jl Cipinang Muara. Petugas berhasil menyitabarang bukti antara lain 75 liter cairan formalin, alat memproduksi tahuserta alat untuk mencampur formalin dengan tahu. Data di Forum PeduliKesehatan Masyarakat (FPKM) menyebutkan, 97 persen pabrik tahu diJakarta menggunakan formalin sebagai pengawet. Setiap satu liter airyang dipakai merendam tahu mengandung formalin 2,5 gram.

Inilah komitmen dari pemerintah untuk menjalankan ketentuanUndang-Undang Kesehatan yang memberikan kepada setiap wargakesempatan untuk mendapatkan kesehatan an fasilitas kesehatan yangbaik. Peran PPNS dalam penyidikan dugaan kesehatan dalam bidangkesehatan telah diatur dalam Pasal 189 Undang-Undang Nomor 39 Tahun2009, bahwa selain penyidik polisi negara Republik Indonesia, pejabatpegawai negeri sipil tertentu di lingkungan pemerintahan yang

22 http://www.tvone.co.id/berita/view/25566/2009/10/15/poldametrogerebekpabriktahuberformalin/

Formalin Dalam Kajian Undang-Undang Kesehatan...

Page 186: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

170

Vol. 8 No. 1 - April 2011

menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan juga diberi wewenangkhusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-UndangNomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukanpenyidikan tindak pidana di bidang kesehatan. Kewenangan PPNS inimeliputi:

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangantentang tindak pidana di bidang kesehatan;

b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukantindak pidana di bidang kesehatan;

c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukumsehubungan dengan tindak pidana di bidang kesehatan;

d. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen laintentang tindak pidana di bidang kesehatan;

e. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang buktidalam perkara tindak pidana di bidang kesehatan;

f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikantindak pidana di bidang kesehatan;

g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yangmembuktikan adanya tindak pidana di bidang kesehatan.

Selain melakukan upaya represif terhadap pelaku tindak pidanadi bidang kesehatan, Pemerintah juga akan membentuk tiga tim untukmenangani masalah pengawas produk makanan dan minuman yangterkandung kandungan formalin. Tim tersebut berasal dari berbagaidepartemen dan instansi terkait untuk menangani masalah makanandan minuman yang mengandung formalin dan bahan berbahaya lainnya.Tim penanggulangan makanan beracun ini dibentuk karena selamaini pengawasan dilakukan oleh sejumlah kementrian secara sendiri-sendiri. Tim tersebut berasal dari Kementrian Kesehatan, Perindustrian,Perdagangan, Komunikasi dan Informasi, Tenaga Kerja danTransmigrasi, Koperasi dan UKM, dan Badan Pengawasan Obat danMakanan (BPOM).

Tim kecil pertama akan menangani masalah penanggulanganterhadap pemakaian bahan pengawet berbahaya pada makanan danminuman. Tim Kementrian Kesehatan, Kementrian Perdagangan danBPOM. Tim kedua akan melakukan penyelamatan terhadap industriyang terdiri dari Kementrian Perindustrian, Tenaga Kerja danTransmigrasi, serta Koperasi dan UKM. Tim ketiga melakukanpenyuluhan dilakukan Kementrian Komunikasi dan Informatika,Kesehatan, Perdagangan dan BPOM. Tim-tim tersebut, akan membuat

Page 187: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

171

konsep mengenai empat masalah yang harus diselesaikan. Masalahpertama, tindakan penyuluhan secara positif kepada masyarakat tentangbahan-bahan pengawet berbahaya. Kedua, pengawasan terhadap produksi,distribusi, dan impor akan dilakukan secara ketat. Pemerintah akanmembentuk satu lembaga pengawasan produk makanan dan minumanuntuk melakukan penataan lebih baik dengan melibatkan sejumlahkementrian dan instansi terkait. Ketiga, masalah hukum, yaknimembuat peraturan untuk melengkapi undang-undang yang sudah adadengan melarang penggunaan bahan pengawet berbahaya. Juga akanmengambil tindakan hukum yang tegas terhadap pemakai dan penjualyang menggunakan produk pengawet berbahaya. Masalah keempat,melakukan penyelamatan terhadap industri-industri kecil danmenengah yang terkena dampak kasus formalin.

Pada dasarnya apa yang diatur dalam undang-undang Kesehatantidak jauh berbeda dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang Pangan,mengenai upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalamhal terdapat dugaan terjadinya pelanggaran hukum di bidang pangan.

Dalam melaksanakan fungsi pengawasan sebagaimana tersebutdi atas, pemerintah mempunyai kewenangan untuk mengambiltindakan administratif, berupa: peringatan secara tertulis; laranganmengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untukmenarik produk pangan dari peredaran apabila terdapat resikotercemarnya pangan atau pangan tidak aman bagi kesehatan manusia;pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwamanusia; penghentian produksi untuk sementara waktu; dan pengenaandenda dan atau pencabutan izin produksi atau izin usaha.

F. KesimpulanBerdasarkan dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

perbuatan mencampur makanan dan/atau minuman dengan campuranbahan berbahaya formalin merupakan tindak pidana menurut undang-undang Pangan dan undang-undang Kesehatan. Masyarakat dapatmelakukan tuntutan terhadap pelaku usaha yang melakukan tindakpidana di bidang pangan tersebut dengan instrumen Undang-UndangNomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Banyaknyamakanan dan minuman serta kemasan yang telah tercampur bahanberbahaya formalin tidak dibarengi dengan tindakan represif pemerintahuntuk segera menindak pelakunya. Instrumen paling dekat yang dapatdilakukan oleh masyarakat sebagai korban langsung adalah denganmelalui mediasi dengan perantaraan BPSK.

Formalin Dalam Kajian Undang-Undang Kesehatan...

Page 188: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

172

Vol. 8 No. 1 - April 2011

DAFTAR PUSTAKA

Ajidarma,Seno Gumira, Budaya Konsumen, Jakarta: Yayasan OborIndonesia, 1998

Abdullah,Imam Baehaqie, Menggugat Hak: Panduan Konsumen BilaDirugikan,Jakarta: Yayasan lembaga Konsumen Indonesia,1990.

Nasution,Az, Konsumen Dan Hukum: Tinjauan Sosial, Ekonomi dan HukumPada Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Harapan,1995.

__________, Perlindungan Konsumen Dan Peradilan Di Indonesia, Jakarta:BPHN, 1994.

Rogers,R. Meraup Uang Dengan Ide Dan Penemuan (How to make moneyfrom ideas and inventions),Jakarta: Gramedia,1996.

Shopie,Yusuf, Perlindungan Konsumen Dan Instrumen-InstrumenHukumnya,Bandung : Citra Aditya Bakti ,2003.

Sudaryatmo, Hukum & Advokasi Konsumen,Bandung: Citra AdityaBakti,1999.

__________, Permasalahan Perlindungan Konsumen Di Indonesia,Bandung:Citra Aditya Bakti,1996.

Sularsi, C Tantri, Gerakan Organisasi Konsumen,Jakarta: YayasanLembaga Konsumen Indonesia,1995.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Kesehatan Perempuan &Perlindungan Konsumen, Jakarta, 1997.

Tahu, Makanan Favorit Yang Keamanannya Perlu Diwaspadai, Kompas,Rabu,30 Maret 2005.

Boraks Dan Formalin: Lalat Saja Gak Doyan, Kompas,Kamis 12 Januari2006.

Waspadai Bahan Kimia Lain Dalam Makanan,Kompas, Minggu 15 Januari2006.

Semaraknya Penyalah Gunaan Formalin Pada Makanan, Siti Yulianti,diakses dalam http://www.ditjennak.go.id/publikasi%5Csemarak.pdf.

http://wowsalman.blogspot.com/2006/01/bahaya-formalin-dan-boraks.html

http://pkditjenpdn.depdag.go.id/index.php?page=aduansta

http://www.tvone.co.id/berita/view/25566/2009/10/15/polda_metro_g

Page 189: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi
Page 190: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi
Page 191: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi
Page 192: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi
Page 193: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi
Page 194: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi
Page 195: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi
Page 196: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi
Page 197: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi
Page 198: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi
Page 199: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi
Page 200: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi
Page 201: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi
Page 202: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi
Page 203: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi
Page 204: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

�� ����� ����

��� �� ��� ���������� �������������� ��� �� ��������� ������������ � �����

Page 205: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi
Page 206: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi
Page 207: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

BIODATA PENULIS

Fuad Bawazier, Tempat/Tanggal Lahir di Tegal 22 Agustus 1949.Pendidikan S1 Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada Tahun 1974,Economic Institute Boulder Colorado USA Tahun 1982, S2 MA EkonomiWilliam College USA Tahun 1983 dan S3 PhD Universitas of MarylandUSA Tahun 1988. Pekerjaan Menteri Keuangan Republik IndonesiaKabinet Pembangunan VII Tahun 1998, Dosen Fakultas Hukum UniversitasIndonesia, dan sekarang sebagai Ketua DPP Partai HANURA.

Deden Sumantry, Tempat/Tanggal Lahir di Sumedang 29 Juli 1966.Menamatkan SDN Pari Tahun 1979, SMPN 2 Sumedang Tahun 1982,SMAN Sumedang Tahun 1985, S1 FH Universitas Pasundan Tahun 1990,S2 FH Universitas Pasundan Tahun 2006. Pekerjaan Dosen FakultasHukum Universitas Pasundan Bandung.

Andi Subri, Tempat/Tanggal Lahir di Baturaja 16 Nopember 1952.Menamatkan SD Xaverius Baturaja Tahun 1965, SMP Xaverius BaturajaTahun 1968, SMA Negeri 5 Yogyakarta Tahun 1971 dan menamatkanFakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Tahun 1979, ProgramMagister Manajemen STIE Jakarta Tahun 2000, dan saat ini KandidatDoktor Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta. Bekerja diKementerian Pendidikan Nasional, Kopertis Wilayah III Jakarta sebagaiStaf Pengajar dpk FKIP Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HamkaJakarta dan Fakultas Hukum Universitas Satyagama Jakarta. Pernahbekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Departemen Dalam Negeri, BadanPertanahan Nasional dan Dewan Perwakilan Daerah RI.

Mudzakkir, Tempat/Tanggal Lahir di Ngawi 7 April 1957. PendidikanS1 Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, S2 FakultasHukum Universitas Indonesia, dan S3 Fakultas Hukum Universitas Indonesia.Pekerjaan Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

A Ahsin Thohari, Tempat/Tanggal Lahir: Grobogan, 4 Agustus 1973.Bekerja di Direktorat Tata Negara Direktorat Jenderal AdministrasiHukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RepublikIndonesia dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta.Mata kuliah yang diasuhnya adalah Hukum Konstitusi dan SistemPemerintahan Indonesia. Pendidikan sarjana hukum diselesaikan diFakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, pada 1999,dan magister hukum diselesaikan di Program Pascasarjana Fakultas

Page 208: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

Vol. 8 No. 1 - April 2011

Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, pada 2004. Pernah menjadipeneliti tamu di beberapa program penelitian yang diselenggarakan olehberbagai lembaga negara seperti Pusat Penelitian dan PengkajianMahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Komisi Hukum NasionalRepublik Indonesia, dan Badan Pembinaan Hukum Nasional DepartemenHukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Selain aktif menulisdi berbagai media massa dan jurnal ilmiah, karya-karyanya yang telahditerbitkan menjadi buku adalah Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan(Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat/ELSAM, 2004) danDasar-dasar Politik Hukum (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004).

Dian Puji Simatupang, Tempat/Tanggal Lahir di Bandung 21 Oktober1972. Menamatkan SDN 105 Bandung Tahun 1985, SMP BPI 2 BandungTahun 1988, SMAN 21 Bandung Tahun 1991, D3 Fakultas SastraUniversitas Padjajaran Tahun 1994, S1 FH Universitas Indonesia Tahun1999, S2 FH Universitas Indonesia Tahun 2004 dan Kandidat Doktor FHUniversitas Indonesia. Pekerjaan Dosen Fakultas Hukum UniversitasIndonesia dan Universitas Swasta lainnya di Jakarta.

Budi Sitepu, Tempat/Tanggal Lahir di Medan 5 April 1951. PendidikanS1 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Tahun 1980 dan S2 MagisterEkonomi University of Virginia USA Tahun 1987. Pekerjaan Kepala PusatAkuntansi Barang Milik (2000-2004), Kepala Pusat PengkajianPerpajakan, Kepabeanan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (2004-2006), Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Direktorat JenderalPerimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (2006-sekarang).

Eka Sri Sunarti, Tempat/Tanggal Lahir di Bogor 13 Mei 1967. MenamatkanSDN Blok S Tahun 1980, SMPN 12 Jakarta Tahun 1983, SMAN 6 JakartaTahun 1986, S1 FH Universitas Indonesia Tahun 1992, Notariat FHUniversitas Indonesia Tahun 1997, dan S2 FH Universitas IndonesiaTahun 2006. Pekerjaan Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Muhamad Zamroni, Tempat/Tanggal Lahir di Jakarta 17 Nopember 1978.Pendidikan S1 Fakultas Hukum Universitas Islam Attahiriyah Jakarta2008, sekarang sedang menyelesaikan program S2 Hukum BisnisUniversitas Tarumanagara dan S2 Hukum Tata Negara UniversitasKrisnadwipayana. Pekerjaan Tenaga Fungsional Perancang PeraturanPerundang-undangan pada Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI.

Page 209: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

Agus Budianto, Tempat/Tanggal Lahir di Yogyakarta 26 Juni 1973.Pendidikan S1 Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya YogyakartaTahun 1998, S2 Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas AtmaJaya Yogyakarta Tahun 2000, dan S3 Doktor Ilmu Hukum UniversitasPelita Harapan Tahun 2011. Pekerjaan Dosen Fakultas HukumUniversitas Pelita harapan Tahun 2006- sekarang dan Staf Ahli KomisiIII DPR RI Tahun 2010-2012.

Page 210: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

Vol. 8 No. 1 - April 2011

PANDUAN PENULISAN

1. Naskah yang dikirim berbentuk karya tulis ilmiah, seperti hasilpenelitian lapangan, survey, hipotesis, kajian teori, studikepustakaan, review buku, dan gagasan kritis konseptual yangbersifat objektif, sistematis, analisis, dan deskriptif.

2. Naskah yang dikirim karya tulis asli yang belum pernah dimuatatau dipublikasikan di media lain.

3. Naskah diketik rangkap 2 (dua) spasi di atas kertas ukuran A4dengan font Bodoni ukuran 12, panjang naskah antara 15-20halaman.

4. Penulisan hendaknya menggunakan bahasa Indonesia yang baku,lugas, sederhana, dan mudah dipahami, serta tidak mengandungmakna ganda.

5. Pokok pembahasan atau judul penulisan berupa kalimat yangsingkat dan jelas, dengan kata atau frasa kunci yangmencerminkan isi tulisan.

6. Sistematika penulisan disesuaikan dengan aturan penulisanilmiah, ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan, yang secaragaris besar sebagai berikut: Judul dalam bahasa Indonesia danbahasa Inggris, nama penulis, abstrak ditulis dalam bahasa Indo-nesia dan bahasa Inggris (ditulis dalam 1 paragraf, dengan 2 spasi,ukuran 10, panjangnya antara 100 – 200 kata), kata kuncidicantumkan di bawah abstrak, nama instansi penulis,pendahuluan (latar belakang permasalahan, tujuan ruang lingkup,dan metodologi), hasil dan pembahasan (tinjauan pustaka, data,dan analisis), penutup (kesimpulan dan saran), dan daftar pustaka.

7. Penulisan kutipan menggunakan model catatan kaki (footnote).

8. Isi, materi, dan substansi tulisan merupakan tanggung jawabpenulis. Redaksi berhak mengedit teknis penulisan (redaksional)tanpa mengubah arti.

9. Daftar pustaka, disusun menurut sistem pengarang dan tahunterbit, penerbit, kota/negara, hal.

Contoh:

1. Buku

- Luar negeri

Kelsen, Hans, 1961. General Theory of Law and State,Russel & Russel, New York. hlm. 45.

Page 211: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

- Dalam negeri

Budiardjo, Miriam, 1992. Dasar-Dasar Ilmu Politik,Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. hlm. 21.

2. Makalah dalam jurnal

- Luar negeri

Suzuki, S.,M. Sugiyama, Y. Mihara, K. Hashiguchi andK. Yokezeki. 2002. Novel enzymatic method for theproduction by oxydans. Japan Biochem.

- Dalam negeri

Kurniawan, Y. dan S. Yuliatun. 2006. Perspektif gasoholsebagai energi hijau bagi transportasi. MajalahPenelitian Gula.

3. Makalah dalam buku

- Luar negeri

Zyzak, D.V., k.J. Wells-Knecht, M.X. Fu, S.R. Thorpe, M.S.Feather and J.W. Baynes. 1994. Pathways of themaillard reaction in vitro and in vivo. Proc. of the5th International Symposium of the Maillard Reac-tion, University of Minnesota.

- Dalam negeri

Sukarso, G., S. Sastrowijono, Mirzawan PDN.,S. Lamadji,Soeprijanto,E.Sugiyarta dan H. Budhisantoso. 1990.Varietas tebu unggul lokal untuk tegalan denganpola keprasan. Pros.Seminar PengembanganAgroindustri Berbasis Tebu dan Sumber Pemanislain. P3GI, Pasuruan.

4. Pustaka dari Internet

- Jurnal

Almeida, A.C.S., L.C. Araujo, A.M. Costa, C.A.M. Abreu,M.A.G.A. Lima and M.L.A.P.F. Palha. 2005. Sucrosehydrolysis catalyzed by auto-immobilized invertaseinto intact cells of cladosporium cladosporoides. Elec-trical Journal of Biotechnology 8(1): 15-18 (online)http://www.ejbiotechnology.info/content/vol8/is-sue1/full/11. pdf (diakses tanggal 8 Juni 2006).

Page 212: Vol. 8 No. 1 - April 2011 ISSN: 0216-1338 - KEMENKUMHAMditjenpp.kemenkumham.go.id/files/jurnal/Vol8No1/artikel.pdf · Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi

Vol. 8 No. 1 - April 2011

- Informasi lain

Fadli. 2002. Pabrik sirup gula tebu pertama di Malang(online), http://kompas.com/kompas-cetak/034/15/ilpeng/256044.htm (diakses tanggal 2 Mei 2006).

10. Pengiriman naskah berupa hard copy dan soft copy sertamelampirkan curriculum vitae ditujukan kepada :

Redaksi Jurnal Legislasi Indonesia, Direktorat Jenderal PeraturanPerundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI Jl. HR.Rasuna Said Kav. 6-7 Kuningan - Jakarta Selatan Telepon (021)5264517/Fax (021) 5267055, e-mail : [email protected] [email protected].