10
1 | Wawasan al-Quran tentang Demokrasi WAWASAN AL-QURAN TENTANG DEMOKRASI Muhamad Ridwan Nurrohman A. Prolog: Adakah Demokrasi Islam? Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat!jargon itulah yang paling sering diungkapkan ketika membahas mengenai demokrasi. Khusus berbicara mengenai demokrasi dari kacamata Islam, kata demokrasi selalu dikait-kaitkan dengan akar kata syura atau musyawarah dalam bahasa sekarang. Potongan ayat yang paling sering digunakan adalah QS. Al-Syura (42): 38 yang berbunyi: ن ت و ن ه “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.” Namun nyatanya hal ini menjadi perkara yang “tarik-ulur”, sebagian ada yang memandang bahwa syura itu bukanlah demokrasi, namun sebagian lain memandang bahwa jelas syura itu demokrasi. Hal ini menjadi isu yang menarik, karena topik ini sejak dulu sampai hari ini selalu mengundang perbedaan pendapat yang cukup “tajam”. Lalu sebenarnya bagaimanakah al-Quran memandang permasalahan ini? Apa makna syura yang dikehendaki oleh al-Quran? Kalaulah demokrasi itu sejalan dengan konsep syura dalam al-Quran, demokrasi yang bagaimanakah itu? B. Antara Demokrasi dan Musyawarah Kata “demokrasi” muncul dalam tradisi bahasa Arab belumlah lama, bahkan istilah ini masih diterjemahkan “ad-dimuqrathiya” (حاطالديوق). Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi memang istilah dan konsep yang asing dan tidak dikenal dalam tradisi pemikiran Islam. Selain itu, demokrasi juga berbeda asasnya dengan syura ataupun jumhur. Karena dalam demokrasi tidak mengenal batas kedaulatan Allah atau kedaulatan syari‟at. 1 Dalam tradisi bahasa Indonesia juga terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara istilah demokrasi dan musyawarah. Secara , demokrasi diartikan sebagai bentuk atau sistem pemerintahan dimana seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat. Selain itu, demokrasi juga diartikan sebagai gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. 2 Bersebrangan dengan itu, musyawarah hanya diartikan sebagai pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah; perundingan; perembukan. 3 Dari dua penjelasan lugawi di atas, sangat nampak perbedaan yang terkandung dalam dua term tersebut. Ada nilai lebih, yang coba istilah demokrasi tanamkan dalam benak pembaca, dimana hal tersebut sangat problematik, bahkan untuk konteks diterapkan di Indonesia terlebih lagi jika harus diterapkan untuk Islam secara keseluruhan, sebagaimana diungkap oleh Gus Dur dalam Islam Kosmopolitan-nya. Bila diringkas ungkapannya menjadi seperti ini, “Ketika kita ingin melakukan demokratisasi terhadap sistem negara kita, maka kita akan berhadapan dengan tokoh-tokoh agama yang ingin menegakkan eksklusifitas agama mereka atas agama-agama lain. Salah satu sebab yang menghambat proses demokratisasi ini tidak 1 “Menimbang Kembali Konsep Demokrasi” karya Adian Husaini dalam Jurnal ISLAMIA edisi Menggali Identitas Politik Islam, vol. V no. 2. Selanjutnya disebut: Adian Husaini dalam “Menimbang Kembali Konsep Demokrasi”. 2 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, edisi keempat: 2012) hlm. 310. 3 Ibid. Hlm. 944.

Wawasan Al-quran Tentang Demokrasi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

adakah demokrasi dalam islam? musyawarah dan demokrasi apa bedanya?

Citation preview

Page 1: Wawasan Al-quran Tentang Demokrasi

1 | W a w a s a n a l - Q u r a n t e n t a n g D e m o k r a s i

WAWASAN AL-QURAN TENTANG DEMOKRASI

Muhamad Ridwan Nurrohman

A. Prolog: Adakah Demokrasi Islam?

“Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat!” jargon itulah yang paling sering diungkapkan

ketika membahas mengenai demokrasi. Khusus berbicara mengenai demokrasi dari kacamata Islam,

kata demokrasi selalu dikait-kaitkan dengan akar kata syura atau musyawarah dalam bahasa

sekarang. Potongan ayat yang paling sering digunakan adalah QS. Al-Syura (42): 38 yang berbunyi:

ى ر وو ىتو مو رنمى و وهم ر رنم“Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.”

Namun nyatanya hal ini menjadi perkara yang “tarik-ulur”, sebagian ada yang memandang

bahwa syura itu bukanlah demokrasi, namun sebagian lain memandang bahwa jelas syura itu

demokrasi. Hal ini menjadi isu yang menarik, karena topik ini sejak dulu sampai hari ini selalu

mengundang perbedaan pendapat yang cukup “tajam”. Lalu sebenarnya bagaimanakah al-Quran

memandang permasalahan ini? Apa makna syura yang dikehendaki oleh al-Quran? Kalaulah

demokrasi itu sejalan dengan konsep syura dalam al-Quran, demokrasi yang bagaimanakah itu?

B. Antara Demokrasi dan Musyawarah

Kata “demokrasi” muncul dalam tradisi bahasa Arab belumlah lama, bahkan istilah ini masih

diterjemahkan “ad-dimuqrathiya” (الديوق اط ح). Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi memang

istilah dan konsep yang asing dan tidak dikenal dalam tradisi pemikiran Islam. Selain itu, demokrasi

juga berbeda asasnya dengan syura ataupun jumhur. Karena dalam demokrasi tidak mengenal batas

kedaulatan Allah atau kedaulatan syari‟at.1

Dalam tradisi bahasa Indonesia juga terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara istilah

demokrasi dan musyawarah. Secara , demokrasi diartikan sebagai bentuk atau sistem pemerintahan

dimana seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan

rakyat. Selain itu, demokrasi juga diartikan sebagai gagasan atau pandangan hidup yang

mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga

negara.2 Bersebrangan dengan itu, musyawarah hanya diartikan sebagai pembahasan bersama

dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah; perundingan; perembukan.3

Dari dua penjelasan lugawi di atas, sangat nampak perbedaan yang terkandung dalam dua

term tersebut. Ada nilai lebih, yang coba istilah demokrasi tanamkan dalam benak pembaca, dimana

hal tersebut sangat problematik, bahkan untuk konteks diterapkan di Indonesia terlebih lagi jika

harus diterapkan untuk Islam secara keseluruhan, sebagaimana diungkap oleh Gus Dur dalam Islam

Kosmopolitan-nya. Bila diringkas ungkapannya menjadi seperti ini,

“Ketika kita ingin melakukan demokratisasi terhadap sistem negara kita, maka kita akan

berhadapan dengan tokoh-tokoh agama yang ingin menegakkan eksklusifitas agama mereka

atas agama-agama lain. Salah satu sebab yang menghambat proses demokratisasi ini tidak

1 “Menimbang Kembali Konsep Demokrasi” karya Adian Husaini dalam Jurnal ISLAMIA edisi Menggali

Identitas Politik Islam, vol. V no. 2. Selanjutnya disebut: Adian Husaini dalam “Menimbang Kembali Konsep

Demokrasi”. 2 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. (Jakarta: Gramedia Pustaka

Umum, edisi keempat: 2012) hlm. 310. 3 Ibid. Hlm. 944.

Page 2: Wawasan Al-quran Tentang Demokrasi

2 | W a w a s a n a l - Q u r a n t e n t a n g D e m o k r a s i

lain karena adanya perbedaan hakikat nilai-nilai dasar yang dianut keduanya (agama dan

demokrasi). Karena setiap agama senantiasa bertitik tolak dari pandangan normatif yang

disampaikan oleh Kitab Suci-nya, dan ini berarti hanya ada satu jenis kebenaran yang dapat

diterima sebuah agama, yaitu kebebasan agamanya sendiri. Terlebih lagi apabila nilai ini

harus diterapkan kepada sistema syari‟ah (hukum agama), maka akan terlihat kaburlah

pandangan demokrasi ini. Contoh kasus dalam masalah pernikahan, garis hukum pernikahan

mana yang harus dianut oleh negara, ketika Islam, misalnya memperbolehkan perceraian dan

poligami, sedangkan dalam Kristen Katolik sebah perceraian itu adalah merusak kesucian

perkawinan yang telah diberkati oleh Tuhan. Maka dengan sendirinya hak warga negara

untuk melakukan perceraian melalui perundang-undangan negara merupakan tantangan bagi

konsep perkawinan yang telah diyakini oleh pihak gereja.”4

Maka dari itu Dr. Adian Husaini menyimpulkan, mengenai hubungan musyawarah dan

demokrasi ini, dengan ungkapannya bahwa “istilah syura tidak bisa diganti dengan demokrasi”.5

Namun berbeda dengan pandangan tersebut, A. Hassan dalam Kedaulatan dalam Islam-nya

mengatakan, yang mempersamakan “rembukan rakyat” atau musyawarah –saat menjelaskan QS.

Al-Syura (42): 38- dengan demokrasi. Namun beliau membatasi dimana ranah yang boleh

dilakukan “rembukan rakyat” tersebut dan mana yang tidak boleh –dalam hal ini beliau

menjelaskan bahwa hanya hukum-hukum yang belum ditetapkan dalam al-Quran dan al-Sunnah

saja lah yang boleh ditentukan melalui rembukan-.6 Bagi A. Hassan, untuk zaman sekarang tidak

ada sistem negara yang lebih memfasilitasi untuk terciptanya sistema musyawarah atau syura selain

dalam sistem demokrasi. Pada akhirnya, kesimpulan demikian didukung pula oleh M. Natsir selain

sejalan pula dengan pemahaman Yusuf Qardhawi.7 Bahkan Yusuf Qardhawi mengungkapkan,

kalaulah kita mengetahui apa substansi dari demokrasi, maka kita akan mengatakan bahwa

demokrasi itu sejalan dengan Islam.8

Maka dari itu, dalam makalah ini penulis hanya akan membatasi kajian pada substansi

demokrasi yang sejalan dengan Islam saja, atau dalam ranah syura atau musyawarah saja. Selain

itu, untuk menyelamatkan pembaca dari kebingungan ketika membaca makalah ini, penulis akan

menggunakan term “musyawarah” dan tidak menggunakan term “demokrasi” dalam beberapa poin

pembahasan yang khusus al-Quran sifati bagi syura.

4 Dikutip secara bebas dari “Agama dan Demokrasi” dalam Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-

nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan. (Jakarta: The Wahid Institute, 2007) hlm. 281-290. Selanjutnya disebut

Abdurrahman Wahid dalam “Agama dan Demokrasi”. 5 Adian Husaini dalam “Menimbang Kembali Konsep Demokrasi”. 6 A. Hassan, Kedaulatan dalam Islam dalam Tiar Anwar Bachtiar (editor). Risalah Politik A. Hassan. (Jakarta:

Pembela Islam Media, 2013) hlm. 157-158. Selanjutnya disebut Risalah Politik A. Hassan. 7 Untuk pandangan M. Natsir mengenai demokrasi pembaca bisa merujuk “Membedah Paradigma Politik Persis”

karya Pepen Irpan Fauzan dalam Endang Sirodjudin Hafidz, dkk. Pergulatan Pemikiran Kaum Muda Persis. (PW.

Pemuda Persatuan Islam Jawa Barat & Penerbit Granada, 2005) hlm. 123-125. Kemudian untuk pandangan Yusuf

Qardhawi pembaca bisa merujuk Yusuf Qardhawi, Fiqih Daulah dalam Perspektif al-Quran dan Sunnah. Terj. Kathur

Suhardi. (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, cet-6: 2000) hlm. 181-184. Dalam hal ini, Quraish Shihab juga ada kecondongan

mempersamakan antara musyawarah dan demokrasi, untuk lebih jelasnya bisa dilihat dalam M. Quraish Shihab,

Wawasan al-Quran. (Bandung: Mizan, cet-19: 2007) hlm. 472. 8 Ibid. Hlm. 184.

Page 3: Wawasan Al-quran Tentang Demokrasi

3 | W a w a s a n a l - Q u r a n t e n t a n g D e m o k r a s i

C. Makna Musyawarah secara Khusus

Kata musyawarah terambil dari akar kata sy-, w-, r-, yang arti asalnya mengeluarkan madu

dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat

diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat), dan kata ini pada dasarnya hanya

digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya.9

Lebih jauh lagi, Quraish Shihab menggambarkan, madu itu bukan saja manis, melainkan juga

obat untuk berbagai penyakit, sekaligus juga sumber kesehatan dan kekuatan. Itu sebabnya madu

dicari di mana pun dan oleh siapa pun, hal ini berarti mempersamakan pendapat yang benar dengan

madu, dan bermusyawarah adalah upaya untuk mendapatkan madu tersebut dimanapun dia

ditemukan –dalam artian pendapat siapa pun yang dinilai benar tanpa mempertimbangkan siapa

yang menyampaikannya.10

Lanjut beliau, madu dihasilkan oleh lebah. Jika demikian, yang

bermusyawarah itu mesti bagaikan lebah: makhluk yang sangat berdisiplin, kerja-samanya

mengagumkan, makanannya sari kembang, dan hasilnya madu. Di mana pun hinggap, lebah tak

pernah merusak. Ia takkan menganggu kecuali diganggu. Bahkan sengatannya pun dapat menjadi

obat. Seperti itulah makna permusyawarahan, dan demikian pula sifat yang melakukannya. Maka

tak heran jika Rasulullah Saw. menyamakan seorang mukmin dengan lebah.11

D. Musyawarah dalam al-Quran

Setidaknya ada tiga (3) ayat yang akar katanya menunjukkan arti musyawarah, yaitu QS. Al-

Baqarah (2): 233; QS. Ali Imran (3): 159; dan QS. Al-Syûra (42): 38. Namun jika dilihat lebih teliti,

maka ayat yang berkaitan dengan konsep negara atau kehidupan sosial secara luas hanya dicakup

oleh QS. Ali Imran (3): 159; dan QS. Al-Syûra (42): 38.

Secara terperinci, potongan ayat dari QS. Al-Baqarah (2): 233 yang berbunyi,

ا لو م وو ىعو واحو ىجر وىفولو ا ر توشو اى و م روو اضىه ىتو و يم ىعو الا اىفصو ادو ى ووو ىفوإىم

“...Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan

permusyawaratan antara mereka, maka tidak ada dosa atas keduanya...” ini sedang berbicara

tentang bagaimana seharusnya hubungan suami-istri saat mengambil keputusan yang berkaitan

dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti menyapih anak dalam konteks ayat ini.12

Selanjutnya,

dalam QS. Ali Imran (3): 159 yang berbunyi,

ى ىلو رنم ف م توغم اسم ى و م رنم ىعو فر ىفواعم لكو ىحو م مفوض اىهيم ل ظوىالمقولمةىلو ىفوظ ااىغو متو ىكر لو م ى و ىلو رنم متو ىل ىللاه حىهيو وو حم اىوو فوثوو

ل يوى كك تو و ىالمور وىير ة ىللاه ى ىه لو ىللاه ىعو كه م ىفوتو و تو هم اىعو و ىفوإ و وهم ىف ىاام ا وم رنم ى و و

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.

Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari

sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan

bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan (tertentu). Kemudian apabila kamu telah

membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-

orang yang bertawakkal kepada-Nya.” ini sedang berbicara tentang perintah Allah yang ditujukan

9 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran. Hlm. 469. 10 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran. (Jakarta: Lentera Hati, cet-3:

2005) vol. 12. Hlm. 512. 11 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran. Hlm. 469. 12 Ibid. Hlm. 470.

Page 4: Wawasan Al-quran Tentang Demokrasi

4 | W a w a s a n a l - Q u r a n t e n t a n g D e m o k r a s i

kepada Rasulullah Saw. agar bermusyawarah bersama para sahabatnya dalam persoalan-persoalan

tertentu, selain persoalan yang telah tetap (tsubut) keterangannya dalam al-Quran dan Sunnah.13

Kemudian QS. Al-Syûra (42): 38 yang berbunyi,

مفقر ىوى ىير اىوو و موا رنم هوه ى و ى ر وو ىتو مو رنم جوى و وهم ر رنم لو ى و و واهر اىالصه تك نم اتر اىل و تو و ىاسم اله ييو ى و“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan

shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka

menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” ini sedang berbicara tentang

kriteria orang mukmin, secara khusus ayat ini turun berkenaan dengan pujian Allah Swt. Terhadap

kaum Anshar yang bersedia membela Rasulullah Saw. dan menyepakati hal tersebut melalui

musyawarah yang mereka laksanakan di rumah Abu Ayyub al-Anshari.14

Secara selintas mungkin pembaca bisa menyimpulkan bahwa al-Quran kurang memperhatikan

masalah musyawarah ini, buktinya al-Quran pun hanya menyebutkannya dalam tiga tempat saja, itu

pun tidak dijelaskan secara terperinci mengenai tata cara dan proses pelaksanaannya. Padahal jika

kita mampu melihat hikmah di ayat-ayat itu, betapa pentingnya posisi musyawarah dalam Islam.

Selain itu, ada juga hikmah tersendiri yang terkandung dengan tidak dijelaskan secara terperinci

mengenai tata cara dan proses pelaksanaan musyawarah ini yang menunjukkan kasih sayang Allah

yang luar biasa bagi ummat-Nya.

E. Urgensi Musyawarah dalam Islam

Urgensi dari musyawarah ini secara sederhana dapat ditangkap melalui redaksi QS. Ali Imran

(3): 159 “ وهم ى ىف ىاام ا وم رنم ,yaitu disampaikan dengan lafadz amr, atau perintah. Hal tersebut ” و و

sebagaimana disebutkan dalam kaidah ushul, bahwa pokok asal suatu perintah itu menunjukkan

tuntutan secara wajib ( .(ااص ىف ىااه ىال ج ب15

Maka dalam hal ini, musyawarah bisa dipahami

sebagai suatu aturan baku yang disampaikan secara

mendasar dan global untuk digunakan oleh ummat-Nya

dalam usaha mereka mencari ketetapan hukum ataupun

ketetapan aturan bersama, dalam suatu urusan yang tidak

diketemukan keterangannya dalam nash, atau dalam bahasa

lain ia disebut ijma‟ (konsesus), karena suatu konsesus

tidak akan mungkin tercipta selain melalui cara adanya

proses saling tukar pikiran, silang pendapat, yang

terpenting dikemukakannya dalil-dalil (argumentasi) yang memang mendukung suatu pendapat

sehingga pendapat tersebut bisa diakui oleh pihak yang bersebrangan.16

Dalam musyawarah pun

akan tampak bertautnya hati dan kesepakatan hati untuk menyukseskan suatu upaya, dengan itu

13 Ahmad bin Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi. (Mesir: Syirkah Maktabah wal Matbu‟ah Mustafa al-Bab

al-Halabi wa auladihi, 1946) vol. 4. Hlm. 111. Lihat juga, M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah. vol. 12. Hlm. 512.

Lihat juga, Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-„Aqidah wa al-Syari‟ah wa al-Manhaj. (Damaskus: Dar al-Fikr al-

Mu‟ashir, cet-2: 1418 H) vol. 25. Hlm. 87. 14 Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir. Vol. 25. Hlm. 80. Lihat juga, M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran. Hlm.

470-471. 15 „Iyadh bin Naami al-Sulami, Ushul al-Fiqh alladzi La Yasa‟ al-Faqih Jahalahu. (Riyadh: Dar al-Tadmiriyyah,

2005) hlm. 222. 16 Lihat, Abdulkarim Yunus al-Khatib, al-Tafsir al-Quraniy li al-Quran. (Kairo: Dar al-Fikr al-Araby, t.t.) vol.

13. Hlm. 67.

ى ردر اى لو ىاو دى اىتشوا وى مى له هو

. رهر و نى

“Tidaklah suatu kaum

bermusyawarah, kecuali Allah akan

tunjukkan jalan keluar terhadap

masalah mereka.”

(Hasan al-Bashri)

Page 5: Wawasan Al-quran Tentang Demokrasi

5 | W a w a s a n a l - Q u r a n t e n t a n g D e m o k r a s i

terciptalah “ikatan sosial” (kontrak sosial) yang semakin mendorong masyarakat tersebut untuk

menjadi ummatan wahidatan (ummat yang satu; bersatu).17

Selain itu, jika kita mencermati siyaq dari QS. Al-Syûra (42): 38, di mana urusan musyawarah

ini “menyelangi” (menjadi penyelang) antara “shalat” dan “zakat” ini memberikan suatu dorongan

makna khusus tersendiri. Jika ditelusuri secara keseluruhan, antara shalat dan zakat ini teramat

sangat jarang dipisahkan (24 + 4 kali), silahkan dilihat QS. Al-Baqarah (2): 43, 83, 110, 177, 277;

Al-Nisa (4): 77, 162; Al-Maidah (5): 12, 55; Al-Taubah (9): 5, 11, 18, 71; Al-Anbiya (21): 73; Al-

Hajj (22): 41, 78; Al-Nur (24): 37, 56; Al-Naml (27): 3; Luqman (31): 4; Al-Ahzab (33): 33; Al-

Mujadilah (58): 13; Al-Muzammil (73): 20; dan Al-Bayyinah (98): 5. Dengan redaksi yang

berbeda, yaitu kata shalat dan zakat yang diungkapkan dengan lafadz “ مفقر ىوى ىير هوهاىوو و موا رنم terdapat ” و

dalam empat (4) tempat, yaitu QS. Al-Baqarah (2): 3; Al-Anfal (8): 3; Al-Hajj (22): 35; dan Al-

Syûra (42): 38, kesemuanya bersatu, kecuali hanya pada ayat ini saja. Adapun pada tempat lain,

yaitu dalam QS. Al-Mu‟minun (23): 1-4 yang berbunyi,

ى هر ىو ؤم ىالمور ى وفملوحو ىف ىى() ودم ى رنم ت نمىاله ييو لو ىصو ا عر ىو ىى()ىخو ضر ىو عم ىهر يىاللهغم ىعو ى رنم اله ييو ىى() و ى رنم اله ييو و

اجى كو )(ىىفواعلر ىوىلل ه

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu'

dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang

tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat...” selintas antara shalat dan zakat ini

diselangi oleh “ ضر ىوى عم ىهر يىاللهغم ىعو ى رنم اله ييو padahal pada hakikatnya ayat tersebut masih menjelaskan ,” و

tentang shalat, bahwa shalat yang baik dan sempurna (khusyu) itu adalah shalat yang menjauhkan

pada shalat itu perkara yang tidak berguna. Berbeda halnya ketika shalat dan zakat diselangi oleh

syura, maka syura di sana itu adalah benar-benar syura, bukan bagian dari shalat maupun zakat.18

Hal ini menunjukkan betapa syura itu sangatlah penting dalam Islam, dan ada beberapa hikmah dari

siyaq ayat ini yang lain, seperti adanya kemiripan antara syura dengan shalat dari aspek (1) ber-

jama‟ah-nya, dalam artian bahwa memecahkan masalah secara rembukan itu lebih baik

sebagaimana lebih baiknya shalat berjama‟ah dibandingkan dengan munfarid. Kemudian dari segi

(2) panggilan untuk melaksanakan syura, disejajarkankan dengan adzan untuk shalat. Kemudian

dari segi (3) mengikuti imam dalam shalat, dan mengikuti keputusan syura. Kemudian dari segi (4)

harus adanya persiapan terlebih dahulu untuk melaksanakan shalat yaitu dengan bersuci dan wudhu,

dalam pelaksanaan syura pun peserta haruslah terlebih dahulu membersihkan hatinya dari hawa

nafsu, dan juga dari berbagai kepentingan. Ada juga dari segi (5) pengwajibannya, yaitu kewajiban

secara umum, maka begitu pula dengan syura di mana dalam syura pun mencakup kewajiban secara

keseluruhan ummat Islam; bahwa setiap orang, baik muslimin maupun muslimah, adalah orang-

orang yang layak untuk andil dalam musyawarah.19

Setelah itu, apa sebenarnya yang hendak Allah berikan kepada manusia dengan tidak

dijelaskan secara terperinci mengenai tata-cara dan proses pelaksanaan musyawarah ini. Secara

umum, petunjuk al-Quran yang rinci lebih banyak tertuju kepada persoalan-persoalan yang tak

terjangkau nalar serta tak mengalami perkembangan atau perubahan, seperti tentang surga, neraka,

karena ia adalah perkara yang tak terjangkau nalar. Kemudian ada juga mengenai larangan

menikahi mahram (orang yang haram di nikahi; yaitu orang tua, saudara, keluarga dekat tertentu),

karena selama anak itu jiwanya normal, tidak mungkin ia memiliki birahi terhadap mahram-nya

17 Ibid. vol. 13. Hlm. 66. Lihat juga, Ahmad bin Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi. Vol. 4. Hlm. 114. 18 Abdulkarim Yunus al-Khatib, al-Tafsir al-Quraniy li al-Quran. Vol. 13. Hlm. 72. 19 Beberapa poin penulis ambil dari kitab al-Tafsir al-Quraniy li al-Quran karya Abdulkarim Yunus al-Khatib.

Lihat, Ibid. Hlm. 69-70.

Page 6: Wawasan Al-quran Tentang Demokrasi

6 | W a w a s a n a l - Q u r a n t e n t a n g D e m o k r a s i

tersebut. Adapun bagi perkara-perkara yang sifatnya dapat mengalami perkembangan dan

perubahan al-Quran hanya memberikan prinsip umumnya saja, agar petunjuk tersebut dapat

menampung segala bentuk perubahan dan perkembangan sosial-budaya manusia, juga sesuai

dengan waktu dan tempatnya.20

Perkara ini memang teramat sangat logis, karena memang sangat sulit jika rincian suatu

persoalan yang diterapkan pada suatu masa atau masyarakat tertentu dengan kondisi sosial

budayanya, harus diterapkan pula dengan rincian yang sama untuk masyarakat lain. “Musyawarah

atau demokrasi adalah salah satu contohnya,” ungkap Quraish Shihab.21

Karena itu, lanjutnya,

petunjuk al-Quran menyangkut hal ini amat singkat dan hanya prinsip-prinsip umumnya saja.

Jangankan al-Quran, bahkan Rasulullah Saw. sendiri –yang notabene sebagai bayan al-Quran,

seperti dalam masalah tata cara shalat- pun tidak memberikan rinciannya. Bahkan memberikan pola

khusus saja pun tidak, itulah mengapa cara suksesi empat khalifah atau khulafa al-rasyidin itu

berbeda-beda satu sama lainnya. Karena Allah sendiri memang menegaskan bahwa syura itu harus

dibicarakan bersama oleh orang-orang yang hendak melakukan syura tersebut, dengan

ungkapannya “ ى ر وو ىتو مو رنمى Itu pula yang dikehendaki oleh sabda .(QS. Al-Syûra [42]: 38) ” و وهم ر رنم

Rasulullah Saw. “Kalian lebih mengerti urusan dunia kalian” ( نمى م واكر ىدر وهم ىت لونر ى وعم مترنم .( و22

Namun dalam

hal ini (musyawarah khususnya) tentu tidaklah bisa diserahkan kepada siapa saja, untuk itu Rasyid

Ridha mengatakan bahwa apa yang sengaja tidak Allah gariskan secara jelas (memberi kebebasan

dan kemerdekaan) dalam urusan dunia dan kepentingan masyarakat dan hanya Allah sampaikan

titik-titik petunjuk jalan, dalam hal ini musyawarah, haruslah dilakukan oleh orang yang cakap

dan terpandang, selain juga kita percayai, untuk menetapkan bagi kita (masyarakat) pada setiap

periode hal-hal yang bermanfaat dan membahagiakan masyarakat... Kita sering mengikat diri

dengan berbagai ikatan (syarat) yang kita ciptakan sendiri, kemudian kita namakan itu sebagai

syari‟at agama. Namun pada akhirnya, syarat-syarat itu membelenggu diri kita.23

Hal ini juga

sejalan dengan firman Allah ta‟ala dalam QS. Al-Maidah (5): 48 “ ا م واجا ه حاى و عو ى م نم مكر لمواىه عو ىجو Setiap) ”لكر

umat [masyarakat] diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang).24

Metode ini juga digunakan oleh Rasulullah Saw. bersama para sahabatnya dalam berbagai

persoalan, tercatat Rasulullah Saw. melakukan syura bersama para sahabat pada saat Perang Badar

mengenai keberangkatan untuk menghadang pasukan orang kafir, di mana kaum muslimin ketika

itu mendukung penuh terhadap apapun yang beliau lakukan. Selain itu beliau juga pernah mengajak

para sahabat untuk bermusyawarah mengenai di mana mereka akan berkemah, hingga akhirnya al-

Mundzir bin „Amr menyarankan untuk bertempat di hadapan lawan. Dalam Perang Uhud, beliau

juga bermusyawarah antara tetap tinggal di Madinah menunggu musuh sampai musuh datang –

ketika itu pasukan musuh masih dalam perjalanan dari Mekkah menuju Madinah- ataukah mereka

akan menghadang mereka. Akhirnya mayoritas sahabat menyarankan untuk keluar menghadang

musuh, maka beliau pun berangkat bersama para sahabat. Pada urusan lain, Rasulullah Saw. juga

20 Ahmad bin Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi. Vol. 4. Hlm. 113-114. Lihat juga, M. Quraish Shihab,

Wawasan al-Quran. Hlm. 471. 21 Ibid. Hlm. 471-472. 22 HR. Muslim, Kitab al-Fadhail, Bab Wujub Imtisal Maa Qaalahu Syar‟an Duuna Maa Dzakarahu Shallalahu

„alaihi wa Sallam min Ma‟aayis al-Dunya „ala Sabiili al-Ra‟yi, no. 141 dalam Muslim bin al-Hajjaj, Sahih Muslim.

Tahqiq: Muhammad Fuad Abdul Baqi. (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, t.t.) jld. 4. Hlm. 1836. 23 Dikutip secara bebas dari Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Quran al-Hakim (Tafsir al-Manar). (Mesir:

Maktabah al-Hai-ah al-Misriyyah al-„Ammah lil Kitab, 1990) vol. 5. Hlm. 153. Saat beliau menafsirkan QS. Al-Nisa

(4): 59. Lihat juga, M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran. Hlm. 472-473. 24 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran. Hlm. 485.

Page 7: Wawasan Al-quran Tentang Demokrasi

7 | W a w a s a n a l - Q u r a n t e n t a n g D e m o k r a s i

mengajak Ali dan Usamah bermusyawarah mengenai perceraiannya dengan Aisyah dalam tragedi

hadisul ifki (berita bohong).25

Masih banyak lagi contoh lainnya, yang kesemuanya disampaikan

dalam berbagai riwayat yang banyak, dan ini semakin mengukuhkan urgensi dari musyawarah itu

sendiri. Dari sini juga terlihat bahwa praktek yang Rasulullah Saw. lakukan dalam bermusyawarah

itu berbeda-beda, terkadang beliau hanya melibatkan orang yang dianggap cakap untuk bidang yang

dimusyawarahkan tersebut, terkadang beliau juga melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, bahkan

menanyakan kepada semua yang terlibat dalam masalah yang dihadapi.26

F. Hal-hal yang Berkaitan dengan Musyawarah

1. Kriteria Peserta Musyawarah

Sebagaimana disebutkan dalam QS. Ali Imran (3): 159 yang berbunyi,

ى ىلو رنم ف م توغم اسم ى و م رنم ىعو فر ىفواعم لكو ىحو م مفوض اىهيم ل ظوىالمقولمةىلو ىفوظ ااىغو متو ىكر لو م ى و ىلو رنم متو ىل ىللاه حىهيو وو حم اىوو فوثوو

ل يوى كك تو و ىالمور وىير ة ىللاه ى ىه لو ىللاه ىعو كه م ىفوتو و تو هم اىعو و ىفوإ و وهم ىف ىاام ا وم رنم ى و و

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.

Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari

sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan

bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan (tertentu). Kemudian apabila kamu telah

membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-

orang yang bertawakkal kepada-Nya.” dapat dilihat bahwa Allah mengisyaratkan mengenai kriteria

orang yang layak menjadi wakil atau peserta musyawarah.27

Sikap tersebut di antaranya adalah, pertama, sikap lemah lembut, hal ini tercermin dari firman

Allah “ لكوى ىحو م مفوض اىهيم ل ظوىالمقولمةىلو ىفوظ ااىغو متو ىكر لو م ,Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar) ” و

tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu). Kedua, memberi maaf, dalam artian ia

haruslah terbebas dari rasa sakit hati atau dendam kepada pihak lain yang hanya akan membawa

pendapat-pendapatnya kepada arah yang tidak tepat. Selain itu juga ia harus mempersiapkan mental

untuk senantiasa memaafkan ketika memang dalam proses “tukar pikiran” tersebut ada ucapan dari

pihak lain yang menyinggung perasaannya, dan ini tercermin dalam firman-Nya “ م رنمى ىعو فر ”فواعم

(berikanlah maaf kepada mereka). Ketiga, memohon magfirah atau ampunan Allah, poin ini

menjadi penting karena kebijaksanaan itu hakikatnya anugerah Allah kepada hamba-Nya –yang

biasa Allah sampaikan melalui ilham-Nya, sedangkan Allah tidak memberikan anugerah yang besar

itu (ilham) kepada orang yang berlaku aniaya (QS. Al-Baqarah [2]: 258), kafir (QS. Al-Baqarah [2]:

264), bergelimang dosa atau fasik (QS. Al-Maidah [5]: 108), melampaui batas lagi pendusta (QS.

Al-Mu‟min [40]: 28), pengkhianat (QS. Yusuf [12]: 52), dan pembohong (QS. Al-Zumar [39]: 3).

Maka dari itu, memohon magfirah Allah adalah salah satu aspek penting yang harus ada dalam diri

seorang peserta musyawarah, karena untuk mencapai hasil terbaik ketika musyawarah hubungan

dengan Allah pun harus harmonis, dan itu tercermin dalam firman-Nya “ىلو رنمى ف م توغم اسم mohonkanlah) ” و

ampun bagi mereka). Pesan terakhir dalam konteks musyawarah ini adalah setelah musyawarah

usai, yaitu

25 Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Quran al-„Adzim. Tahqiq: Sami` bin Muhammad Salamah. (Dar al-

Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzi`, cet-2: 1999) vol. 2. Hlm. 149. 26 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran. Hlm. 480-481. 27 Pembahasan mengenai hal ini banyak diperbincangkan oleh para Ulama khususnya ketika mereka menafsirkan

QS. Al-Nisa (4): 59, di antaranya telah penulis kutipkan ungkapan Rasyid Ridha dalam pembahasan sebelumnya. Selain

itu, Ja‟far al-Shodiq mengungkapkan, bahwa bermusyawarahlah dengan orang yang memiliki lima hal: akal, lapang

dada, pengalaman, perhatian dan takwa. Lihat, M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran. Hlm. 480.

Page 8: Wawasan Al-quran Tentang Demokrasi

8 | W a w a s a n a l - Q u r a n t e n t a n g D e m o k r a s i

ل يوى كك تو و ىالمور وىير ة ىللاه ى ىه لو ىللاه ىعو كه م ىفوتو و تو هم اىعو و فوإ و

“Apabila kamu telah membulatkan tekad (laksanakanlah!), dan bertawakkallah (berserah

diri) kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”28

2. Ranah Musyawarah

Sebagaimana telah diungkap di atas, bahwa perkara yang layak untuk dimusyawarahkan itu

bukanlah pada hal-hal yang telah tsubut ketetapan hukumnya dalam nash, dan hanya terkait kepada

hal-hal duniawi, sosial kemasyarakatan, berdasarkan prinsip dasar yang telah terdapat dalam ajaran

Islam. Hal ini ditegaskan juga oleh Allah Swt. Melalui firman-Nya dalam QS. Al-Ahzab (33): 36

نمى ى وهم جرىهيم ىالم و و ىلو رنر ىيوكر ىو اى وىم سر لر رى وهم ا وو رى و اى وضو ىللاه هوحى و ؤم ىهر لو هيى و ؤم ىلور اىو اىكو هو ى و

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang

mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka

pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” Kelak inilah yang akan membedakan antara konsep

musyawarah dalam Islam dengan demokrasi sekuler secara keumuman.29

G. Epilog: Demokrasi dalam Timbangan Islam

Meskipun aturan mengenai musyawarah yang disampaikan dalam al-Quran ini dapat

dikatakan cukup longgar dan leluasa, namun tetap saja hal tersebut masih belum bisa dijadikan

alasan bahwa demokrasi itu benar-benar sejalan dengan Islam sebagaimana banyak terjadi dewasa

ini.30

Hal ini ditegaskan pula oleh Gus Dur dalam Islam Kosmopolitan-nya, bahwa hubungan antara

Islam dan demokrasi itu tidaklah semulus yang dibayangkan oleh kebanyakan orang, masih banyak

ranah-ranah yang problematik, apalagi ketika demokrasi itu harus diterapkan dalam satu wajah

negara, lengkap dengan sistema hukumnya.31

Adian Husaini menjelaskan, bahwa ada hal yang

paradoks mengenai demokrasi yang memang diterapkan secara euphoria belaka ini, terutama ketika

demokrasi ini berasas penyama-rataan antara seorang profesor dengan seorang gelandangan,

misalnya. Penyair terkenal, Muhammad Iqbal berkata, “Walau bagaimana pun kepintaran semut-

semut itu tidak mungkin menandingi kepintaran seorang Sulaiman.” Hal ini menjadi benar-benar

tidak tepat, karena bahkan Islam sendiri telah menetapkan kriteria khusus siapa yang layak menjadi

peserta musyawarah.32

Namun, jika dilihat kembali, dalam masyarakat kita hari ini, sistem atau cara penetapan

keputusan hanya terikat kepada tiga saja, pertama, ditetapkan langsung oleh penguasa. Kedua,

ditetapkan oleh pandangan minorotas. Dan ketiga, ditetapkan oleh pandangan mayoritas, dan ini

biasanya menjadi ciri umum demokrasi. Metode pertama dan kedua, jelas melukai makna syura itu

sendiri. Untuk menunjukkan lemahnya metode yang pertama penulis akan kutipkan ungkapan Imam

al-Maraghi yang menjelaskan dalam Tafsir-nya, bahwa memang menyerahkan keputusan kepada

kebanyakan orang atau dalam bahasa beliau jama‟ah itu lebih selamat dari kemungkinan salah

dibandingkan dengan menyerahkannya kepada perseorangan. Bahaya yang ditimbulkannya pun,

28 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran. Hlm. 473-475. 29 Hal ini banyak dijelaskan oleh para pemikir Islam, yang notabene sebagai para pendukung konsep demokrasi

Indonesia, seperti A. Hassan. Lihat, Risalah Politik A. Hassan. Hlm. 158. Lihat juga, M. Quraish Shihab, Wawasan al-

Quran. Hlm. 476, 478 dan 484. 30 Adian Husaini dalam “Menimbang Kembali Konsep Demokrasi”. 31 Abdurrahman Wahid dalam “Agama dan Demokrasi”. 32 Adian Husaini dalam “Menimbang Kembali Konsep Demokrasi”.

Page 9: Wawasan Al-quran Tentang Demokrasi

9 | W a w a s a n a l - Q u r a n t e n t a n g D e m o k r a s i

jauh lebih besar ketika kita menyerahkan keputusan kepada perseorangan, bagaimana pun

kebenaran pendapat tersebut dibandingkan dengan menyerahkannya kepada pendapat umum.33

Ada pula sebagian pemikir kontemporer yang membenarkan metode kedua –dan membantah

metode ketiga- dengan melandaskannya pada firman Allah ta‟ala,

ث يى جرىالم و ىكو م و ثوكو ى وعم و لو م ى و الله كةر ى و ث ير تو ىالم و ىيو م لو“Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik

hatimu...” (QS. Al-Maidah [5]: 100). Dan firman Allah ta‟ala,

او ر ىوى ىكو ىللم و ك نم كر ى وكم و و لوكيه ى و ىتالم و ك نم ىج مواكر لوقودم

“Sesungguhnya Kami benar-benar telah membawa kebenaran kepada kamu tetapi

kebanyakan di antara kamu benci pada kebenaran itu.” (QS. Al-Zukhruf [43]: 78).

Tetapi pandangan tersebut sulit diterima, karena ayat-ayat tersebut bukan berbicara dalam

konteks musyawarah melainkan dalam konteks petunjuk Ilahi yang disampaikan oleh para Nabi dan

Rasul kemudian petunjuk itu ditolak oleh sebagian besar masyarakatnya ketika itu. Selain juga

bahwa memang Rasulullah Saw. sendiri pernah mempraktekkan hal tersebut.34

Namun meskipun Islam membenarkan keputusan yang sesuai dengan pandangan mayoritas,

tetapi menurut sebagaian pakar tidaklah mutlak bisa diterima. Demikian ungkap Dr. Ahmad Kamal

Abu al-Majad, seorang pemikir muslim kontemporer asal Mesir, dalam bukunya Hiwar la

Muwajahah (Dialog Bukanlah Konfrontasi). Paparnya, bahwa keputusan janganlah langsung

diambil berdasarkan pandangan mayoritas setelah melakukan sekali atau dua kali musyawarah saja,

akan tetapi baiknya musyawarah tersebut dilakukan secara berulang-ulang sehingga dicapai kata

“mufakat” (“madu”-nya musyawarah). Hal ini memungkinkan terjadi karena memang syura

tersebut dilaksanakan oleh orang-orang yang memang tidak memiliki kepentingan pribadi maupun

golongan, jadi ketika ada pihak yang tidak setuju dengan pandangan umum itu menunjukkan masih

ada hal yang kurang berkenan di hati, sehingga dapat “dipuaskan” melalui pertukaran pikiran yang

panjang. Inilah poin pertama yang menjadi pembeda antara demokrasi dan syura dalam Islam.

Poin kedua, jika dalam Islam keputusan yang diambil itu adalah keputusan yang paling sedikit

madaharat-nya dan paling banyak manfaatnya, maka dalam demokrasi hanya terpaku kepada suara

mayoritas an sich, dengan jargon mereka “vox populi vox dei” (suara rakyat adalah suara Tuhan).

Dari segi implikasi pengangkatan pimpinan, terdapat juga perbedaan. Walaupun keduanya

menetapkan bahwa pimpinan itu diangkat melalui kontrak sosial, namun syura dalam Islam

mengaitkannya dengan “Perjanjian Ilahi”. Hal inilah yang diisyaratkan oleh al-Quran dalam firman-

Nya (QS. Al-Baqarah [2]: 124) ketika mengangkat nabi Ibrahim „alaihi salam sebagai imam,

ىعو مد ىالظهالو يوى واار ىيو ىلو يهت ى وااو وك ى ر هيم ى و اى وااو اها ىللهااى هو اعلركو ى ك ىجو ى وااو

“Allah berfirman, „Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi manusia.‟ Ibrahim

berkata, „Saya mohon agar pengangkatan ini dianugrahkan juga kepada sebagain keturunanku.‟

Allah berfirman, „Perjanjian-Ku tidak menyentuh orang-orang yang zalim.”

Dari sini lahir perbedaan ketiga, yaitu bahwa dalam demokrasi sekuler, persoalan apapun

dapat dibahas dan diputuskan, tetapi dalam syura yang diajarkan oleh Islam, tidak dibenarkan

memusyawarahkan sesuatu yang telah ada ketetapannya secara tegas dan tetap dalam nash, tidak

pula dibenarkan menetapkan hal yang bertentangan dengan prinsip dasar Islam.35

33 Ahmad bin Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi. Vol. 4. Hlm. 113. 34 Keterangan mengenai hal ini telah penulis jelaskan sebelumnya, silahkan kembali ke halaman 6-7. 35 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran. Hlm. 483-484.

Page 10: Wawasan Al-quran Tentang Demokrasi

10 | W a w a s a n a l - Q u r a n t e n t a n g D e m o k r a s i

DAFTAR PUSTAKA

Buku & Kitab

Al-Hajjaj, Muslim Ibn. t.t. Sahih Muslim. Tahqiq: Muhammad Fuad Abdul Baqi. Beirut: Dar Ihya

al-Turats al-Arabi.

Al-Khatib, Abdulkarim Yunus. t.t. al-Tafsir al-Quraniy li al-Quran. Kairo: Dar al-Fikr al-Araby.

Al-Maraghi, Ahmad bin Mustafa. 1946. Tafsir al-Maraghi. Mesir: Syirkah Maktabah wal Matbu‟ah

Mustafa al-Bab al-Halabi wa auladihi.

Al-Sulami, „Iyadh bin Naami. 2005. Ushul al-Fiqh alladzi La Yasa‟ al-Faqih Jahalahu. Riyadh:

Dar al-Tadmiriyyah.

Bachtiar, Tiar Anwar. (editor). 2013. Risalah Politik A. Hassan. Jakarta: Pembela Islam Media.

Departemen Pendidikan Nasional. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta:

Gramedia Pustaka Umum.

Hafidz, Endang Sirodjudin, dkk. 2005. Pergulatan Pemikiran Kaum Muda Persis. PW. Pemuda

Persatuan Islam Jawa Barat & Penerbit Granada.

Ibn Katsir, Ismail bin Umar. 1999. Tafsir al-Quran al-„Adzim. Tahqiq: Sami` bin Muhammad

Salamah. Dar al-Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzi`.

Qardhawi, Yusuf. 2000. Fiqih Daulah dalam Perspektif al-Quran dan Sunnah. Terj. Kathur

Suhardi. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

Ridha, Muhammad Rasyid. 1990. Tafsir al-Quran al-Hakim (Tafsir al-Manar). Mesir: Maktabah

al-Hai-ah al-Misriyyah al-„Ammah lil Kitab.

Shihab, M. Quraish. 2005. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran. Jakarta:

Lentera Hati.

_________________. 2007. Wawasan al-Quran. Bandung: Mizan.

Wahid, Abdurrahman. 2007. Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi

Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute.

Zuhaili, Wahbah. 1418 H. Tafsir al-Munir fi al-„Aqidah wa al-Syari‟ah wa al-Manhaj. Damaskus:

Dar al-Fikr al-Mu‟ashir.

Makalah & Jurnal

“Menimbang Kembali Konsep Demokrasi” karya Adian Husaini dalam Jurnal ISLAMIA edisi

Menggali Identitas Politik Islam, vol. V no. 2.