Upload
muhamad-ridwan-nurrohman
View
156
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
adakah demokrasi dalam islam? musyawarah dan demokrasi apa bedanya?
Citation preview
1 | W a w a s a n a l - Q u r a n t e n t a n g D e m o k r a s i
WAWASAN AL-QURAN TENTANG DEMOKRASI
Muhamad Ridwan Nurrohman
A. Prolog: Adakah Demokrasi Islam?
“Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat!” jargon itulah yang paling sering diungkapkan
ketika membahas mengenai demokrasi. Khusus berbicara mengenai demokrasi dari kacamata Islam,
kata demokrasi selalu dikait-kaitkan dengan akar kata syura atau musyawarah dalam bahasa
sekarang. Potongan ayat yang paling sering digunakan adalah QS. Al-Syura (42): 38 yang berbunyi:
ى ر وو ىتو مو رنمى و وهم ر رنم“Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.”
Namun nyatanya hal ini menjadi perkara yang “tarik-ulur”, sebagian ada yang memandang
bahwa syura itu bukanlah demokrasi, namun sebagian lain memandang bahwa jelas syura itu
demokrasi. Hal ini menjadi isu yang menarik, karena topik ini sejak dulu sampai hari ini selalu
mengundang perbedaan pendapat yang cukup “tajam”. Lalu sebenarnya bagaimanakah al-Quran
memandang permasalahan ini? Apa makna syura yang dikehendaki oleh al-Quran? Kalaulah
demokrasi itu sejalan dengan konsep syura dalam al-Quran, demokrasi yang bagaimanakah itu?
B. Antara Demokrasi dan Musyawarah
Kata “demokrasi” muncul dalam tradisi bahasa Arab belumlah lama, bahkan istilah ini masih
diterjemahkan “ad-dimuqrathiya” (الديوق اط ح). Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi memang
istilah dan konsep yang asing dan tidak dikenal dalam tradisi pemikiran Islam. Selain itu, demokrasi
juga berbeda asasnya dengan syura ataupun jumhur. Karena dalam demokrasi tidak mengenal batas
kedaulatan Allah atau kedaulatan syari‟at.1
Dalam tradisi bahasa Indonesia juga terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara istilah
demokrasi dan musyawarah. Secara , demokrasi diartikan sebagai bentuk atau sistem pemerintahan
dimana seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan
rakyat. Selain itu, demokrasi juga diartikan sebagai gagasan atau pandangan hidup yang
mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga
negara.2 Bersebrangan dengan itu, musyawarah hanya diartikan sebagai pembahasan bersama
dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah; perundingan; perembukan.3
Dari dua penjelasan lugawi di atas, sangat nampak perbedaan yang terkandung dalam dua
term tersebut. Ada nilai lebih, yang coba istilah demokrasi tanamkan dalam benak pembaca, dimana
hal tersebut sangat problematik, bahkan untuk konteks diterapkan di Indonesia terlebih lagi jika
harus diterapkan untuk Islam secara keseluruhan, sebagaimana diungkap oleh Gus Dur dalam Islam
Kosmopolitan-nya. Bila diringkas ungkapannya menjadi seperti ini,
“Ketika kita ingin melakukan demokratisasi terhadap sistem negara kita, maka kita akan
berhadapan dengan tokoh-tokoh agama yang ingin menegakkan eksklusifitas agama mereka
atas agama-agama lain. Salah satu sebab yang menghambat proses demokratisasi ini tidak
1 “Menimbang Kembali Konsep Demokrasi” karya Adian Husaini dalam Jurnal ISLAMIA edisi Menggali
Identitas Politik Islam, vol. V no. 2. Selanjutnya disebut: Adian Husaini dalam “Menimbang Kembali Konsep
Demokrasi”. 2 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. (Jakarta: Gramedia Pustaka
Umum, edisi keempat: 2012) hlm. 310. 3 Ibid. Hlm. 944.
2 | W a w a s a n a l - Q u r a n t e n t a n g D e m o k r a s i
lain karena adanya perbedaan hakikat nilai-nilai dasar yang dianut keduanya (agama dan
demokrasi). Karena setiap agama senantiasa bertitik tolak dari pandangan normatif yang
disampaikan oleh Kitab Suci-nya, dan ini berarti hanya ada satu jenis kebenaran yang dapat
diterima sebuah agama, yaitu kebebasan agamanya sendiri. Terlebih lagi apabila nilai ini
harus diterapkan kepada sistema syari‟ah (hukum agama), maka akan terlihat kaburlah
pandangan demokrasi ini. Contoh kasus dalam masalah pernikahan, garis hukum pernikahan
mana yang harus dianut oleh negara, ketika Islam, misalnya memperbolehkan perceraian dan
poligami, sedangkan dalam Kristen Katolik sebah perceraian itu adalah merusak kesucian
perkawinan yang telah diberkati oleh Tuhan. Maka dengan sendirinya hak warga negara
untuk melakukan perceraian melalui perundang-undangan negara merupakan tantangan bagi
konsep perkawinan yang telah diyakini oleh pihak gereja.”4
Maka dari itu Dr. Adian Husaini menyimpulkan, mengenai hubungan musyawarah dan
demokrasi ini, dengan ungkapannya bahwa “istilah syura tidak bisa diganti dengan demokrasi”.5
Namun berbeda dengan pandangan tersebut, A. Hassan dalam Kedaulatan dalam Islam-nya
mengatakan, yang mempersamakan “rembukan rakyat” atau musyawarah –saat menjelaskan QS.
Al-Syura (42): 38- dengan demokrasi. Namun beliau membatasi dimana ranah yang boleh
dilakukan “rembukan rakyat” tersebut dan mana yang tidak boleh –dalam hal ini beliau
menjelaskan bahwa hanya hukum-hukum yang belum ditetapkan dalam al-Quran dan al-Sunnah
saja lah yang boleh ditentukan melalui rembukan-.6 Bagi A. Hassan, untuk zaman sekarang tidak
ada sistem negara yang lebih memfasilitasi untuk terciptanya sistema musyawarah atau syura selain
dalam sistem demokrasi. Pada akhirnya, kesimpulan demikian didukung pula oleh M. Natsir selain
sejalan pula dengan pemahaman Yusuf Qardhawi.7 Bahkan Yusuf Qardhawi mengungkapkan,
kalaulah kita mengetahui apa substansi dari demokrasi, maka kita akan mengatakan bahwa
demokrasi itu sejalan dengan Islam.8
Maka dari itu, dalam makalah ini penulis hanya akan membatasi kajian pada substansi
demokrasi yang sejalan dengan Islam saja, atau dalam ranah syura atau musyawarah saja. Selain
itu, untuk menyelamatkan pembaca dari kebingungan ketika membaca makalah ini, penulis akan
menggunakan term “musyawarah” dan tidak menggunakan term “demokrasi” dalam beberapa poin
pembahasan yang khusus al-Quran sifati bagi syura.
4 Dikutip secara bebas dari “Agama dan Demokrasi” dalam Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-
nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan. (Jakarta: The Wahid Institute, 2007) hlm. 281-290. Selanjutnya disebut
Abdurrahman Wahid dalam “Agama dan Demokrasi”. 5 Adian Husaini dalam “Menimbang Kembali Konsep Demokrasi”. 6 A. Hassan, Kedaulatan dalam Islam dalam Tiar Anwar Bachtiar (editor). Risalah Politik A. Hassan. (Jakarta:
Pembela Islam Media, 2013) hlm. 157-158. Selanjutnya disebut Risalah Politik A. Hassan. 7 Untuk pandangan M. Natsir mengenai demokrasi pembaca bisa merujuk “Membedah Paradigma Politik Persis”
karya Pepen Irpan Fauzan dalam Endang Sirodjudin Hafidz, dkk. Pergulatan Pemikiran Kaum Muda Persis. (PW.
Pemuda Persatuan Islam Jawa Barat & Penerbit Granada, 2005) hlm. 123-125. Kemudian untuk pandangan Yusuf
Qardhawi pembaca bisa merujuk Yusuf Qardhawi, Fiqih Daulah dalam Perspektif al-Quran dan Sunnah. Terj. Kathur
Suhardi. (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, cet-6: 2000) hlm. 181-184. Dalam hal ini, Quraish Shihab juga ada kecondongan
mempersamakan antara musyawarah dan demokrasi, untuk lebih jelasnya bisa dilihat dalam M. Quraish Shihab,
Wawasan al-Quran. (Bandung: Mizan, cet-19: 2007) hlm. 472. 8 Ibid. Hlm. 184.
3 | W a w a s a n a l - Q u r a n t e n t a n g D e m o k r a s i
C. Makna Musyawarah secara Khusus
Kata musyawarah terambil dari akar kata sy-, w-, r-, yang arti asalnya mengeluarkan madu
dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat
diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat), dan kata ini pada dasarnya hanya
digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya.9
Lebih jauh lagi, Quraish Shihab menggambarkan, madu itu bukan saja manis, melainkan juga
obat untuk berbagai penyakit, sekaligus juga sumber kesehatan dan kekuatan. Itu sebabnya madu
dicari di mana pun dan oleh siapa pun, hal ini berarti mempersamakan pendapat yang benar dengan
madu, dan bermusyawarah adalah upaya untuk mendapatkan madu tersebut dimanapun dia
ditemukan –dalam artian pendapat siapa pun yang dinilai benar tanpa mempertimbangkan siapa
yang menyampaikannya.10
Lanjut beliau, madu dihasilkan oleh lebah. Jika demikian, yang
bermusyawarah itu mesti bagaikan lebah: makhluk yang sangat berdisiplin, kerja-samanya
mengagumkan, makanannya sari kembang, dan hasilnya madu. Di mana pun hinggap, lebah tak
pernah merusak. Ia takkan menganggu kecuali diganggu. Bahkan sengatannya pun dapat menjadi
obat. Seperti itulah makna permusyawarahan, dan demikian pula sifat yang melakukannya. Maka
tak heran jika Rasulullah Saw. menyamakan seorang mukmin dengan lebah.11
D. Musyawarah dalam al-Quran
Setidaknya ada tiga (3) ayat yang akar katanya menunjukkan arti musyawarah, yaitu QS. Al-
Baqarah (2): 233; QS. Ali Imran (3): 159; dan QS. Al-Syûra (42): 38. Namun jika dilihat lebih teliti,
maka ayat yang berkaitan dengan konsep negara atau kehidupan sosial secara luas hanya dicakup
oleh QS. Ali Imran (3): 159; dan QS. Al-Syûra (42): 38.
Secara terperinci, potongan ayat dari QS. Al-Baqarah (2): 233 yang berbunyi,
ا لو م وو ىعو واحو ىجر وىفولو ا ر توشو اى و م روو اضىه ىتو و يم ىعو الا اىفصو ادو ى ووو ىفوإىم
“...Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan antara mereka, maka tidak ada dosa atas keduanya...” ini sedang berbicara
tentang bagaimana seharusnya hubungan suami-istri saat mengambil keputusan yang berkaitan
dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti menyapih anak dalam konteks ayat ini.12
Selanjutnya,
dalam QS. Ali Imran (3): 159 yang berbunyi,
ى ىلو رنم ف م توغم اسم ى و م رنم ىعو فر ىفواعم لكو ىحو م مفوض اىهيم ل ظوىالمقولمةىلو ىفوظ ااىغو متو ىكر لو م ى و ىلو رنم متو ىل ىللاه حىهيو وو حم اىوو فوثوو
ل يوى كك تو و ىالمور وىير ة ىللاه ى ىه لو ىللاه ىعو كه م ىفوتو و تو هم اىعو و ىفوإ و وهم ىف ىاام ا وم رنم ى و و
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan (tertentu). Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang bertawakkal kepada-Nya.” ini sedang berbicara tentang perintah Allah yang ditujukan
9 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran. Hlm. 469. 10 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran. (Jakarta: Lentera Hati, cet-3:
2005) vol. 12. Hlm. 512. 11 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran. Hlm. 469. 12 Ibid. Hlm. 470.
4 | W a w a s a n a l - Q u r a n t e n t a n g D e m o k r a s i
kepada Rasulullah Saw. agar bermusyawarah bersama para sahabatnya dalam persoalan-persoalan
tertentu, selain persoalan yang telah tetap (tsubut) keterangannya dalam al-Quran dan Sunnah.13
Kemudian QS. Al-Syûra (42): 38 yang berbunyi,
مفقر ىوى ىير اىوو و موا رنم هوه ى و ى ر وو ىتو مو رنم جوى و وهم ر رنم لو ى و و واهر اىالصه تك نم اتر اىل و تو و ىاسم اله ييو ى و“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” ini sedang berbicara tentang
kriteria orang mukmin, secara khusus ayat ini turun berkenaan dengan pujian Allah Swt. Terhadap
kaum Anshar yang bersedia membela Rasulullah Saw. dan menyepakati hal tersebut melalui
musyawarah yang mereka laksanakan di rumah Abu Ayyub al-Anshari.14
Secara selintas mungkin pembaca bisa menyimpulkan bahwa al-Quran kurang memperhatikan
masalah musyawarah ini, buktinya al-Quran pun hanya menyebutkannya dalam tiga tempat saja, itu
pun tidak dijelaskan secara terperinci mengenai tata cara dan proses pelaksanaannya. Padahal jika
kita mampu melihat hikmah di ayat-ayat itu, betapa pentingnya posisi musyawarah dalam Islam.
Selain itu, ada juga hikmah tersendiri yang terkandung dengan tidak dijelaskan secara terperinci
mengenai tata cara dan proses pelaksanaan musyawarah ini yang menunjukkan kasih sayang Allah
yang luar biasa bagi ummat-Nya.
E. Urgensi Musyawarah dalam Islam
Urgensi dari musyawarah ini secara sederhana dapat ditangkap melalui redaksi QS. Ali Imran
(3): 159 “ وهم ى ىف ىاام ا وم رنم ,yaitu disampaikan dengan lafadz amr, atau perintah. Hal tersebut ” و و
sebagaimana disebutkan dalam kaidah ushul, bahwa pokok asal suatu perintah itu menunjukkan
tuntutan secara wajib ( .(ااص ىف ىااه ىال ج ب15
Maka dalam hal ini, musyawarah bisa dipahami
sebagai suatu aturan baku yang disampaikan secara
mendasar dan global untuk digunakan oleh ummat-Nya
dalam usaha mereka mencari ketetapan hukum ataupun
ketetapan aturan bersama, dalam suatu urusan yang tidak
diketemukan keterangannya dalam nash, atau dalam bahasa
lain ia disebut ijma‟ (konsesus), karena suatu konsesus
tidak akan mungkin tercipta selain melalui cara adanya
proses saling tukar pikiran, silang pendapat, yang
terpenting dikemukakannya dalil-dalil (argumentasi) yang memang mendukung suatu pendapat
sehingga pendapat tersebut bisa diakui oleh pihak yang bersebrangan.16
Dalam musyawarah pun
akan tampak bertautnya hati dan kesepakatan hati untuk menyukseskan suatu upaya, dengan itu
13 Ahmad bin Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi. (Mesir: Syirkah Maktabah wal Matbu‟ah Mustafa al-Bab
al-Halabi wa auladihi, 1946) vol. 4. Hlm. 111. Lihat juga, M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah. vol. 12. Hlm. 512.
Lihat juga, Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-„Aqidah wa al-Syari‟ah wa al-Manhaj. (Damaskus: Dar al-Fikr al-
Mu‟ashir, cet-2: 1418 H) vol. 25. Hlm. 87. 14 Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir. Vol. 25. Hlm. 80. Lihat juga, M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran. Hlm.
470-471. 15 „Iyadh bin Naami al-Sulami, Ushul al-Fiqh alladzi La Yasa‟ al-Faqih Jahalahu. (Riyadh: Dar al-Tadmiriyyah,
2005) hlm. 222. 16 Lihat, Abdulkarim Yunus al-Khatib, al-Tafsir al-Quraniy li al-Quran. (Kairo: Dar al-Fikr al-Araby, t.t.) vol.
13. Hlm. 67.
ى ردر اى لو ىاو دى اىتشوا وى مى له هو
. رهر و نى
“Tidaklah suatu kaum
bermusyawarah, kecuali Allah akan
tunjukkan jalan keluar terhadap
masalah mereka.”
(Hasan al-Bashri)
5 | W a w a s a n a l - Q u r a n t e n t a n g D e m o k r a s i
terciptalah “ikatan sosial” (kontrak sosial) yang semakin mendorong masyarakat tersebut untuk
menjadi ummatan wahidatan (ummat yang satu; bersatu).17
Selain itu, jika kita mencermati siyaq dari QS. Al-Syûra (42): 38, di mana urusan musyawarah
ini “menyelangi” (menjadi penyelang) antara “shalat” dan “zakat” ini memberikan suatu dorongan
makna khusus tersendiri. Jika ditelusuri secara keseluruhan, antara shalat dan zakat ini teramat
sangat jarang dipisahkan (24 + 4 kali), silahkan dilihat QS. Al-Baqarah (2): 43, 83, 110, 177, 277;
Al-Nisa (4): 77, 162; Al-Maidah (5): 12, 55; Al-Taubah (9): 5, 11, 18, 71; Al-Anbiya (21): 73; Al-
Hajj (22): 41, 78; Al-Nur (24): 37, 56; Al-Naml (27): 3; Luqman (31): 4; Al-Ahzab (33): 33; Al-
Mujadilah (58): 13; Al-Muzammil (73): 20; dan Al-Bayyinah (98): 5. Dengan redaksi yang
berbeda, yaitu kata shalat dan zakat yang diungkapkan dengan lafadz “ مفقر ىوى ىير هوهاىوو و موا رنم terdapat ” و
dalam empat (4) tempat, yaitu QS. Al-Baqarah (2): 3; Al-Anfal (8): 3; Al-Hajj (22): 35; dan Al-
Syûra (42): 38, kesemuanya bersatu, kecuali hanya pada ayat ini saja. Adapun pada tempat lain,
yaitu dalam QS. Al-Mu‟minun (23): 1-4 yang berbunyi,
ى هر ىو ؤم ىالمور ى وفملوحو ىف ىى() ودم ى رنم ت نمىاله ييو لو ىصو ا عر ىو ىى()ىخو ضر ىو عم ىهر يىاللهغم ىعو ى رنم اله ييو ىى() و ى رنم اله ييو و
اجى كو )(ىىفواعلر ىوىلل ه
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu'
dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang
tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat...” selintas antara shalat dan zakat ini
diselangi oleh “ ضر ىوى عم ىهر يىاللهغم ىعو ى رنم اله ييو padahal pada hakikatnya ayat tersebut masih menjelaskan ,” و
tentang shalat, bahwa shalat yang baik dan sempurna (khusyu) itu adalah shalat yang menjauhkan
pada shalat itu perkara yang tidak berguna. Berbeda halnya ketika shalat dan zakat diselangi oleh
syura, maka syura di sana itu adalah benar-benar syura, bukan bagian dari shalat maupun zakat.18
Hal ini menunjukkan betapa syura itu sangatlah penting dalam Islam, dan ada beberapa hikmah dari
siyaq ayat ini yang lain, seperti adanya kemiripan antara syura dengan shalat dari aspek (1) ber-
jama‟ah-nya, dalam artian bahwa memecahkan masalah secara rembukan itu lebih baik
sebagaimana lebih baiknya shalat berjama‟ah dibandingkan dengan munfarid. Kemudian dari segi
(2) panggilan untuk melaksanakan syura, disejajarkankan dengan adzan untuk shalat. Kemudian
dari segi (3) mengikuti imam dalam shalat, dan mengikuti keputusan syura. Kemudian dari segi (4)
harus adanya persiapan terlebih dahulu untuk melaksanakan shalat yaitu dengan bersuci dan wudhu,
dalam pelaksanaan syura pun peserta haruslah terlebih dahulu membersihkan hatinya dari hawa
nafsu, dan juga dari berbagai kepentingan. Ada juga dari segi (5) pengwajibannya, yaitu kewajiban
secara umum, maka begitu pula dengan syura di mana dalam syura pun mencakup kewajiban secara
keseluruhan ummat Islam; bahwa setiap orang, baik muslimin maupun muslimah, adalah orang-
orang yang layak untuk andil dalam musyawarah.19
Setelah itu, apa sebenarnya yang hendak Allah berikan kepada manusia dengan tidak
dijelaskan secara terperinci mengenai tata-cara dan proses pelaksanaan musyawarah ini. Secara
umum, petunjuk al-Quran yang rinci lebih banyak tertuju kepada persoalan-persoalan yang tak
terjangkau nalar serta tak mengalami perkembangan atau perubahan, seperti tentang surga, neraka,
karena ia adalah perkara yang tak terjangkau nalar. Kemudian ada juga mengenai larangan
menikahi mahram (orang yang haram di nikahi; yaitu orang tua, saudara, keluarga dekat tertentu),
karena selama anak itu jiwanya normal, tidak mungkin ia memiliki birahi terhadap mahram-nya
17 Ibid. vol. 13. Hlm. 66. Lihat juga, Ahmad bin Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi. Vol. 4. Hlm. 114. 18 Abdulkarim Yunus al-Khatib, al-Tafsir al-Quraniy li al-Quran. Vol. 13. Hlm. 72. 19 Beberapa poin penulis ambil dari kitab al-Tafsir al-Quraniy li al-Quran karya Abdulkarim Yunus al-Khatib.
Lihat, Ibid. Hlm. 69-70.
6 | W a w a s a n a l - Q u r a n t e n t a n g D e m o k r a s i
tersebut. Adapun bagi perkara-perkara yang sifatnya dapat mengalami perkembangan dan
perubahan al-Quran hanya memberikan prinsip umumnya saja, agar petunjuk tersebut dapat
menampung segala bentuk perubahan dan perkembangan sosial-budaya manusia, juga sesuai
dengan waktu dan tempatnya.20
Perkara ini memang teramat sangat logis, karena memang sangat sulit jika rincian suatu
persoalan yang diterapkan pada suatu masa atau masyarakat tertentu dengan kondisi sosial
budayanya, harus diterapkan pula dengan rincian yang sama untuk masyarakat lain. “Musyawarah
atau demokrasi adalah salah satu contohnya,” ungkap Quraish Shihab.21
Karena itu, lanjutnya,
petunjuk al-Quran menyangkut hal ini amat singkat dan hanya prinsip-prinsip umumnya saja.
Jangankan al-Quran, bahkan Rasulullah Saw. sendiri –yang notabene sebagai bayan al-Quran,
seperti dalam masalah tata cara shalat- pun tidak memberikan rinciannya. Bahkan memberikan pola
khusus saja pun tidak, itulah mengapa cara suksesi empat khalifah atau khulafa al-rasyidin itu
berbeda-beda satu sama lainnya. Karena Allah sendiri memang menegaskan bahwa syura itu harus
dibicarakan bersama oleh orang-orang yang hendak melakukan syura tersebut, dengan
ungkapannya “ ى ر وو ىتو مو رنمى Itu pula yang dikehendaki oleh sabda .(QS. Al-Syûra [42]: 38) ” و وهم ر رنم
Rasulullah Saw. “Kalian lebih mengerti urusan dunia kalian” ( نمى م واكر ىدر وهم ىت لونر ى وعم مترنم .( و22
Namun dalam
hal ini (musyawarah khususnya) tentu tidaklah bisa diserahkan kepada siapa saja, untuk itu Rasyid
Ridha mengatakan bahwa apa yang sengaja tidak Allah gariskan secara jelas (memberi kebebasan
dan kemerdekaan) dalam urusan dunia dan kepentingan masyarakat dan hanya Allah sampaikan
titik-titik petunjuk jalan, dalam hal ini musyawarah, haruslah dilakukan oleh orang yang cakap
dan terpandang, selain juga kita percayai, untuk menetapkan bagi kita (masyarakat) pada setiap
periode hal-hal yang bermanfaat dan membahagiakan masyarakat... Kita sering mengikat diri
dengan berbagai ikatan (syarat) yang kita ciptakan sendiri, kemudian kita namakan itu sebagai
syari‟at agama. Namun pada akhirnya, syarat-syarat itu membelenggu diri kita.23
Hal ini juga
sejalan dengan firman Allah ta‟ala dalam QS. Al-Maidah (5): 48 “ ا م واجا ه حاى و عو ى م نم مكر لمواىه عو ىجو Setiap) ”لكر
umat [masyarakat] diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang).24
Metode ini juga digunakan oleh Rasulullah Saw. bersama para sahabatnya dalam berbagai
persoalan, tercatat Rasulullah Saw. melakukan syura bersama para sahabat pada saat Perang Badar
mengenai keberangkatan untuk menghadang pasukan orang kafir, di mana kaum muslimin ketika
itu mendukung penuh terhadap apapun yang beliau lakukan. Selain itu beliau juga pernah mengajak
para sahabat untuk bermusyawarah mengenai di mana mereka akan berkemah, hingga akhirnya al-
Mundzir bin „Amr menyarankan untuk bertempat di hadapan lawan. Dalam Perang Uhud, beliau
juga bermusyawarah antara tetap tinggal di Madinah menunggu musuh sampai musuh datang –
ketika itu pasukan musuh masih dalam perjalanan dari Mekkah menuju Madinah- ataukah mereka
akan menghadang mereka. Akhirnya mayoritas sahabat menyarankan untuk keluar menghadang
musuh, maka beliau pun berangkat bersama para sahabat. Pada urusan lain, Rasulullah Saw. juga
20 Ahmad bin Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi. Vol. 4. Hlm. 113-114. Lihat juga, M. Quraish Shihab,
Wawasan al-Quran. Hlm. 471. 21 Ibid. Hlm. 471-472. 22 HR. Muslim, Kitab al-Fadhail, Bab Wujub Imtisal Maa Qaalahu Syar‟an Duuna Maa Dzakarahu Shallalahu
„alaihi wa Sallam min Ma‟aayis al-Dunya „ala Sabiili al-Ra‟yi, no. 141 dalam Muslim bin al-Hajjaj, Sahih Muslim.
Tahqiq: Muhammad Fuad Abdul Baqi. (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, t.t.) jld. 4. Hlm. 1836. 23 Dikutip secara bebas dari Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Quran al-Hakim (Tafsir al-Manar). (Mesir:
Maktabah al-Hai-ah al-Misriyyah al-„Ammah lil Kitab, 1990) vol. 5. Hlm. 153. Saat beliau menafsirkan QS. Al-Nisa
(4): 59. Lihat juga, M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran. Hlm. 472-473. 24 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran. Hlm. 485.
7 | W a w a s a n a l - Q u r a n t e n t a n g D e m o k r a s i
mengajak Ali dan Usamah bermusyawarah mengenai perceraiannya dengan Aisyah dalam tragedi
hadisul ifki (berita bohong).25
Masih banyak lagi contoh lainnya, yang kesemuanya disampaikan
dalam berbagai riwayat yang banyak, dan ini semakin mengukuhkan urgensi dari musyawarah itu
sendiri. Dari sini juga terlihat bahwa praktek yang Rasulullah Saw. lakukan dalam bermusyawarah
itu berbeda-beda, terkadang beliau hanya melibatkan orang yang dianggap cakap untuk bidang yang
dimusyawarahkan tersebut, terkadang beliau juga melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, bahkan
menanyakan kepada semua yang terlibat dalam masalah yang dihadapi.26
F. Hal-hal yang Berkaitan dengan Musyawarah
1. Kriteria Peserta Musyawarah
Sebagaimana disebutkan dalam QS. Ali Imran (3): 159 yang berbunyi,
ى ىلو رنم ف م توغم اسم ى و م رنم ىعو فر ىفواعم لكو ىحو م مفوض اىهيم ل ظوىالمقولمةىلو ىفوظ ااىغو متو ىكر لو م ى و ىلو رنم متو ىل ىللاه حىهيو وو حم اىوو فوثوو
ل يوى كك تو و ىالمور وىير ة ىللاه ى ىه لو ىللاه ىعو كه م ىفوتو و تو هم اىعو و ىفوإ و وهم ىف ىاام ا وم رنم ى و و
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan (tertentu). Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang bertawakkal kepada-Nya.” dapat dilihat bahwa Allah mengisyaratkan mengenai kriteria
orang yang layak menjadi wakil atau peserta musyawarah.27
Sikap tersebut di antaranya adalah, pertama, sikap lemah lembut, hal ini tercermin dari firman
Allah “ لكوى ىحو م مفوض اىهيم ل ظوىالمقولمةىلو ىفوظ ااىغو متو ىكر لو م ,Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar) ” و
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu). Kedua, memberi maaf, dalam artian ia
haruslah terbebas dari rasa sakit hati atau dendam kepada pihak lain yang hanya akan membawa
pendapat-pendapatnya kepada arah yang tidak tepat. Selain itu juga ia harus mempersiapkan mental
untuk senantiasa memaafkan ketika memang dalam proses “tukar pikiran” tersebut ada ucapan dari
pihak lain yang menyinggung perasaannya, dan ini tercermin dalam firman-Nya “ م رنمى ىعو فر ”فواعم
(berikanlah maaf kepada mereka). Ketiga, memohon magfirah atau ampunan Allah, poin ini
menjadi penting karena kebijaksanaan itu hakikatnya anugerah Allah kepada hamba-Nya –yang
biasa Allah sampaikan melalui ilham-Nya, sedangkan Allah tidak memberikan anugerah yang besar
itu (ilham) kepada orang yang berlaku aniaya (QS. Al-Baqarah [2]: 258), kafir (QS. Al-Baqarah [2]:
264), bergelimang dosa atau fasik (QS. Al-Maidah [5]: 108), melampaui batas lagi pendusta (QS.
Al-Mu‟min [40]: 28), pengkhianat (QS. Yusuf [12]: 52), dan pembohong (QS. Al-Zumar [39]: 3).
Maka dari itu, memohon magfirah Allah adalah salah satu aspek penting yang harus ada dalam diri
seorang peserta musyawarah, karena untuk mencapai hasil terbaik ketika musyawarah hubungan
dengan Allah pun harus harmonis, dan itu tercermin dalam firman-Nya “ىلو رنمى ف م توغم اسم mohonkanlah) ” و
ampun bagi mereka). Pesan terakhir dalam konteks musyawarah ini adalah setelah musyawarah
usai, yaitu
25 Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Quran al-„Adzim. Tahqiq: Sami` bin Muhammad Salamah. (Dar al-
Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzi`, cet-2: 1999) vol. 2. Hlm. 149. 26 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran. Hlm. 480-481. 27 Pembahasan mengenai hal ini banyak diperbincangkan oleh para Ulama khususnya ketika mereka menafsirkan
QS. Al-Nisa (4): 59, di antaranya telah penulis kutipkan ungkapan Rasyid Ridha dalam pembahasan sebelumnya. Selain
itu, Ja‟far al-Shodiq mengungkapkan, bahwa bermusyawarahlah dengan orang yang memiliki lima hal: akal, lapang
dada, pengalaman, perhatian dan takwa. Lihat, M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran. Hlm. 480.
8 | W a w a s a n a l - Q u r a n t e n t a n g D e m o k r a s i
ل يوى كك تو و ىالمور وىير ة ىللاه ى ىه لو ىللاه ىعو كه م ىفوتو و تو هم اىعو و فوإ و
“Apabila kamu telah membulatkan tekad (laksanakanlah!), dan bertawakkallah (berserah
diri) kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”28
2. Ranah Musyawarah
Sebagaimana telah diungkap di atas, bahwa perkara yang layak untuk dimusyawarahkan itu
bukanlah pada hal-hal yang telah tsubut ketetapan hukumnya dalam nash, dan hanya terkait kepada
hal-hal duniawi, sosial kemasyarakatan, berdasarkan prinsip dasar yang telah terdapat dalam ajaran
Islam. Hal ini ditegaskan juga oleh Allah Swt. Melalui firman-Nya dalam QS. Al-Ahzab (33): 36
نمى ى وهم جرىهيم ىالم و و ىلو رنر ىيوكر ىو اى وىم سر لر رى وهم ا وو رى و اى وضو ىللاه هوحى و ؤم ىهر لو هيى و ؤم ىلور اىو اىكو هو ى و
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” Kelak inilah yang akan membedakan antara konsep
musyawarah dalam Islam dengan demokrasi sekuler secara keumuman.29
G. Epilog: Demokrasi dalam Timbangan Islam
Meskipun aturan mengenai musyawarah yang disampaikan dalam al-Quran ini dapat
dikatakan cukup longgar dan leluasa, namun tetap saja hal tersebut masih belum bisa dijadikan
alasan bahwa demokrasi itu benar-benar sejalan dengan Islam sebagaimana banyak terjadi dewasa
ini.30
Hal ini ditegaskan pula oleh Gus Dur dalam Islam Kosmopolitan-nya, bahwa hubungan antara
Islam dan demokrasi itu tidaklah semulus yang dibayangkan oleh kebanyakan orang, masih banyak
ranah-ranah yang problematik, apalagi ketika demokrasi itu harus diterapkan dalam satu wajah
negara, lengkap dengan sistema hukumnya.31
Adian Husaini menjelaskan, bahwa ada hal yang
paradoks mengenai demokrasi yang memang diterapkan secara euphoria belaka ini, terutama ketika
demokrasi ini berasas penyama-rataan antara seorang profesor dengan seorang gelandangan,
misalnya. Penyair terkenal, Muhammad Iqbal berkata, “Walau bagaimana pun kepintaran semut-
semut itu tidak mungkin menandingi kepintaran seorang Sulaiman.” Hal ini menjadi benar-benar
tidak tepat, karena bahkan Islam sendiri telah menetapkan kriteria khusus siapa yang layak menjadi
peserta musyawarah.32
Namun, jika dilihat kembali, dalam masyarakat kita hari ini, sistem atau cara penetapan
keputusan hanya terikat kepada tiga saja, pertama, ditetapkan langsung oleh penguasa. Kedua,
ditetapkan oleh pandangan minorotas. Dan ketiga, ditetapkan oleh pandangan mayoritas, dan ini
biasanya menjadi ciri umum demokrasi. Metode pertama dan kedua, jelas melukai makna syura itu
sendiri. Untuk menunjukkan lemahnya metode yang pertama penulis akan kutipkan ungkapan Imam
al-Maraghi yang menjelaskan dalam Tafsir-nya, bahwa memang menyerahkan keputusan kepada
kebanyakan orang atau dalam bahasa beliau jama‟ah itu lebih selamat dari kemungkinan salah
dibandingkan dengan menyerahkannya kepada perseorangan. Bahaya yang ditimbulkannya pun,
28 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran. Hlm. 473-475. 29 Hal ini banyak dijelaskan oleh para pemikir Islam, yang notabene sebagai para pendukung konsep demokrasi
Indonesia, seperti A. Hassan. Lihat, Risalah Politik A. Hassan. Hlm. 158. Lihat juga, M. Quraish Shihab, Wawasan al-
Quran. Hlm. 476, 478 dan 484. 30 Adian Husaini dalam “Menimbang Kembali Konsep Demokrasi”. 31 Abdurrahman Wahid dalam “Agama dan Demokrasi”. 32 Adian Husaini dalam “Menimbang Kembali Konsep Demokrasi”.
9 | W a w a s a n a l - Q u r a n t e n t a n g D e m o k r a s i
jauh lebih besar ketika kita menyerahkan keputusan kepada perseorangan, bagaimana pun
kebenaran pendapat tersebut dibandingkan dengan menyerahkannya kepada pendapat umum.33
Ada pula sebagian pemikir kontemporer yang membenarkan metode kedua –dan membantah
metode ketiga- dengan melandaskannya pada firman Allah ta‟ala,
ث يى جرىالم و ىكو م و ثوكو ى وعم و لو م ى و الله كةر ى و ث ير تو ىالم و ىيو م لو“Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik
hatimu...” (QS. Al-Maidah [5]: 100). Dan firman Allah ta‟ala,
او ر ىوى ىكو ىللم و ك نم كر ى وكم و و لوكيه ى و ىتالم و ك نم ىج مواكر لوقودم
“Sesungguhnya Kami benar-benar telah membawa kebenaran kepada kamu tetapi
kebanyakan di antara kamu benci pada kebenaran itu.” (QS. Al-Zukhruf [43]: 78).
Tetapi pandangan tersebut sulit diterima, karena ayat-ayat tersebut bukan berbicara dalam
konteks musyawarah melainkan dalam konteks petunjuk Ilahi yang disampaikan oleh para Nabi dan
Rasul kemudian petunjuk itu ditolak oleh sebagian besar masyarakatnya ketika itu. Selain juga
bahwa memang Rasulullah Saw. sendiri pernah mempraktekkan hal tersebut.34
Namun meskipun Islam membenarkan keputusan yang sesuai dengan pandangan mayoritas,
tetapi menurut sebagaian pakar tidaklah mutlak bisa diterima. Demikian ungkap Dr. Ahmad Kamal
Abu al-Majad, seorang pemikir muslim kontemporer asal Mesir, dalam bukunya Hiwar la
Muwajahah (Dialog Bukanlah Konfrontasi). Paparnya, bahwa keputusan janganlah langsung
diambil berdasarkan pandangan mayoritas setelah melakukan sekali atau dua kali musyawarah saja,
akan tetapi baiknya musyawarah tersebut dilakukan secara berulang-ulang sehingga dicapai kata
“mufakat” (“madu”-nya musyawarah). Hal ini memungkinkan terjadi karena memang syura
tersebut dilaksanakan oleh orang-orang yang memang tidak memiliki kepentingan pribadi maupun
golongan, jadi ketika ada pihak yang tidak setuju dengan pandangan umum itu menunjukkan masih
ada hal yang kurang berkenan di hati, sehingga dapat “dipuaskan” melalui pertukaran pikiran yang
panjang. Inilah poin pertama yang menjadi pembeda antara demokrasi dan syura dalam Islam.
Poin kedua, jika dalam Islam keputusan yang diambil itu adalah keputusan yang paling sedikit
madaharat-nya dan paling banyak manfaatnya, maka dalam demokrasi hanya terpaku kepada suara
mayoritas an sich, dengan jargon mereka “vox populi vox dei” (suara rakyat adalah suara Tuhan).
Dari segi implikasi pengangkatan pimpinan, terdapat juga perbedaan. Walaupun keduanya
menetapkan bahwa pimpinan itu diangkat melalui kontrak sosial, namun syura dalam Islam
mengaitkannya dengan “Perjanjian Ilahi”. Hal inilah yang diisyaratkan oleh al-Quran dalam firman-
Nya (QS. Al-Baqarah [2]: 124) ketika mengangkat nabi Ibrahim „alaihi salam sebagai imam,
ىعو مد ىالظهالو يوى واار ىيو ىلو يهت ى وااو وك ى ر هيم ى و اى وااو اها ىللهااى هو اعلركو ى ك ىجو ى وااو
“Allah berfirman, „Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi manusia.‟ Ibrahim
berkata, „Saya mohon agar pengangkatan ini dianugrahkan juga kepada sebagain keturunanku.‟
Allah berfirman, „Perjanjian-Ku tidak menyentuh orang-orang yang zalim.”
Dari sini lahir perbedaan ketiga, yaitu bahwa dalam demokrasi sekuler, persoalan apapun
dapat dibahas dan diputuskan, tetapi dalam syura yang diajarkan oleh Islam, tidak dibenarkan
memusyawarahkan sesuatu yang telah ada ketetapannya secara tegas dan tetap dalam nash, tidak
pula dibenarkan menetapkan hal yang bertentangan dengan prinsip dasar Islam.35
33 Ahmad bin Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi. Vol. 4. Hlm. 113. 34 Keterangan mengenai hal ini telah penulis jelaskan sebelumnya, silahkan kembali ke halaman 6-7. 35 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran. Hlm. 483-484.
10 | W a w a s a n a l - Q u r a n t e n t a n g D e m o k r a s i
DAFTAR PUSTAKA
Buku & Kitab
Al-Hajjaj, Muslim Ibn. t.t. Sahih Muslim. Tahqiq: Muhammad Fuad Abdul Baqi. Beirut: Dar Ihya
al-Turats al-Arabi.
Al-Khatib, Abdulkarim Yunus. t.t. al-Tafsir al-Quraniy li al-Quran. Kairo: Dar al-Fikr al-Araby.
Al-Maraghi, Ahmad bin Mustafa. 1946. Tafsir al-Maraghi. Mesir: Syirkah Maktabah wal Matbu‟ah
Mustafa al-Bab al-Halabi wa auladihi.
Al-Sulami, „Iyadh bin Naami. 2005. Ushul al-Fiqh alladzi La Yasa‟ al-Faqih Jahalahu. Riyadh:
Dar al-Tadmiriyyah.
Bachtiar, Tiar Anwar. (editor). 2013. Risalah Politik A. Hassan. Jakarta: Pembela Islam Media.
Departemen Pendidikan Nasional. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta:
Gramedia Pustaka Umum.
Hafidz, Endang Sirodjudin, dkk. 2005. Pergulatan Pemikiran Kaum Muda Persis. PW. Pemuda
Persatuan Islam Jawa Barat & Penerbit Granada.
Ibn Katsir, Ismail bin Umar. 1999. Tafsir al-Quran al-„Adzim. Tahqiq: Sami` bin Muhammad
Salamah. Dar al-Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzi`.
Qardhawi, Yusuf. 2000. Fiqih Daulah dalam Perspektif al-Quran dan Sunnah. Terj. Kathur
Suhardi. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Ridha, Muhammad Rasyid. 1990. Tafsir al-Quran al-Hakim (Tafsir al-Manar). Mesir: Maktabah
al-Hai-ah al-Misriyyah al-„Ammah lil Kitab.
Shihab, M. Quraish. 2005. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran. Jakarta:
Lentera Hati.
_________________. 2007. Wawasan al-Quran. Bandung: Mizan.
Wahid, Abdurrahman. 2007. Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi
Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute.
Zuhaili, Wahbah. 1418 H. Tafsir al-Munir fi al-„Aqidah wa al-Syari‟ah wa al-Manhaj. Damaskus:
Dar al-Fikr al-Mu‟ashir.
Makalah & Jurnal
“Menimbang Kembali Konsep Demokrasi” karya Adian Husaini dalam Jurnal ISLAMIA edisi
Menggali Identitas Politik Islam, vol. V no. 2.