Click here to load reader
Upload
nguyenthu
View
214
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
SINOPSIS TUTORIAL
Blok : 19 “Hewan Kesayangan II” UP : 1 “Kucing Muntaber”
Nama : Ariesta Indriani P. No. Mhs : 6027
Learning Objectives:
1. Memahami penyakit parasit pada kucing (Dypilidium sp, Toxocara sp, dan Toxoplasma
sp).
Ringkasan Belajar:
a. Dipylidium caninum
Etiologi
Dipylidium caninum berpredileksi di dalam usus halus anjing dan kucing, serta kadang
kadang pada manusia terutama anak-anak. Cacing ini bisa mencapai lebih dari 50 cm. Pada
skolek terdapat rostelum retraktil memiliki 3 – 4 baris kait berbentuk roset. Proglotid bunting
memiliki tanda yang menciri (karakteristik) berbentuk seperti biji mentimun. Setiap proglotid
terdapat dua pasang organ genital dan lubang kelamin dengan jelas terlihat pada setiap sisi
lateral. Ovarium dengan glandula vetelina membentuk masa pada salah satu sisi menyerupai
gerombolan buah anggur. Proglotid bunting akan terlepas keluar melalui anus, bergerak
berputar-putar dengan bebas atau melekat pada rambut disekitar anus. Telur tersimpan di
dalam kantong telur (kapsula) (Tilley et al, 2004).
Siklus Hidup
Hospes intermedier Dipylidium caninum adalah pinjal (Ctenocephalides
canis,Ctenocephalides felis dan fulex irritans) serta kutu Trichodectes canis, bentuk
peralihannya adalah sistiserkoid yang ditemukan didalam rongga badan terbentuk setelah 13
hari. Masa prepaten selama 2 – 3 minggu. Sistiserkoid pada pinjal menimbulkan kematian
atau menjadi lemah dan lamban, sehingga dengan mudah dimakan oleh anjing.
Patogenesis dan Gejala Klinis
Cacing dewasa bersifat non pathogen. Segmen yang berada di anus menyebabkan anjing
sering manggaruk daerah perineum atau menggosok–gosok anus ke lantai. Infeksi berat
menyebabkan lemah, kurus, hilangnya nafsu makan, penurunan berat badan, gangguan saraf,
dan gangguan pencernaan. Pada manusia menyebabkan gangguan intestinal, sakit pada
1
epigastrium, diare, dan alergi.
Diagnosis
Diagnosis Dipylidium caninum dengan ditemukan segmen disekitar perineum. Jika segmen
masih baru bisa diamati bentuknya yang seperti biji mentimun dan 2 alat genital ditepinya
dengan kaca pembesar. Jika segmen sudah kering dan mengkerut dengan cara memecahkan
segmen kemudian dilihat dibawah mikroskop.
Pengobatan
Pengobatan dengan atabrine, febantel, pyrantel pamoat, praziquantel dan kuinakrin.
Pengobatan suportif untuk diare dengan pemberian kaotin suspensi, hematopan B12 untuk
pembentukan darah dan menambah nafsu makan, diphenhydramine HCl untuk anti radang.
b. Toxocara cati
Etiologi
Toxocara cati berpredeleksi di dalam usus halus kucing. Cacing jantan panjangnya 3 – 7 cm,
spikulumnya tidak sama besar dan bersayap. Cacing betina panjangnya 4-12 cm. Telur
berukuran 65 – 75 mikron. Kucing jantan dan anak kucing bertindak sebagai hospes definitif
dari Toxocara cati (Hubner et al., 2001).
Telur infektif dikeluarkan bersama feses. Feses yang mengandung Toxocara spp. jatuh di
tanah dengan temperatur 10-35ºC dan kelembaban 85% serta kondisi yang optimal maka
dalam waktu paling sedikit 5 hari akan berkembang menjadi telur infektif yang mengandung
embrio (Levine , 1978; Bowman, 1995; CDC, 2002).
Siklus Hidup
Siklus hidup Toxocara cati mengalami beberapa generasi, yakni stadium telur, larva stadium
pertama (L1), kedua (L2), ketiga (L3), keempat (L4) dan stadium dewasa. Larva stadium
kedua (L2) adalah larva infektif yang merupakan sumber penularan toxocariasis pada hewan
dan manusia. Hospes definitif dari T. cati adalah kucing jantan dan anak kucing (Hubner et
al., 2001). Menurut Levine (1978), larva stadium kedua (L2) tidak akan pernah berkembang
menjadi larva stadium ketiga (L3) apabila menginfeksi selain hospes definitif dan hospes
transpor (cacing tanah, kecoa, ayam, anak kambing dan mencit). Kondisi yang demikian
disebut larva dorman, yaitu larva yang tidak mengalami perkembangan dan hanya menetap
di dalam jaringan. Toxocara cati yang telah infektif jika tertelan anak kucing akan terjadi
migrasi larva. Larva yang keluar dari telur tersebut akan migrasi ke trakea, faring dan sistern
pembuluh darah. Kemudian berkembang menjadi dewasa di dalam perut dan usus kecil.
Cacing mulai bertelur dan dikeluarkan dalam feses 4-5 minggu setelah infeksi (Dryden,
1996 ; Dubey, 1978, Glickman dan Schantz, 1981 ; Parsons, 1987). Kucing yang telah
2
dewasa bisa juga terinfeksi olel cacing ini apabila menelan telur infektif. Larva akan menetas
dalam usus dan akan menyebar ke lapisan mukosa, kemudian akan migrasi secara pasif
melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah atau secara aktif menembus jaringan dan
menyebar ke seluruh bagian tubuh. Larva yang menembus dinding usus akan menyebar
melalui pembuluh darah ke setiap jaringan tubuh terutama otak, mata, hati, paru-paru, dan
jantung. Larva bertahan hidup selama beebrapa bulan, menyebabkan kerusakan jaringan
dengan cara berpindah ke dalam jaringan lain dan menimbulkan peradangan di sekitarnya.
Gejala Klinis
Gejala klinis pada anak kucing tidak terlihat jelas, karena tidak terjadi migrasi larva ke
trakhea dan gejala batuk-batuk pun tidak tampak. Larva akan tumbuh menjadi cacing dewasa
sejalan dengan pertumbuhan anak kucing. Pada kucing dewasa yang terinfeksi Toxocara,
bulu akan terlihat kasar dan akan terjadi diare sehingga akan terlihat dehidrasi (Hendrix,
1995).
Diagnosis
Konfirmasi diagnosis dikuatkan dengan sejarah penyakit, adanya pneumonia, dan ditemukan
telur cacing Toxocara dalam feses. Telur Toxocara berbentuk bulat berwarna kecoklatan,
permukaannya berbintik-bintik dan dinding luarnya sangat tebal. Pemeriksaan feses dengan
uji apung adalah merupakan metode untuk mendeteksi adanya infeksi cacing (Hendrix,
1995). Telur cacing akan mengapung dalam larutan garam jenuh dan dapat dihitung di dalam
kotak hitung. Infeksi prepaten bisa dilakukan dengan uji serologi. Uji serologi dengan
Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) untuk deteksi antibody (Sadjjadi et al.,
2000).
Pengobatan dan Pencegahan
Benzimidazoles merupakan obat cacing yang efektif untuk membunuh larva Toxocara cati
pada kucing. Pengobatan cutaneous larva migrans menggunakan Chlorethyl. Obat cacing
lainnya adalah thiabendazole, ivermectin, albendazole, mebendazole, thiabendazole,
albendazole, dan mebendazole.Obat suportif seperti anti alergi dan antibiotika. Pencegahan
kontaminasi lingkungan bisa dilakukan dengan cara membersihkan kandang anjing maupun
kucing dari kotoran/feses setiap hari, melarang kucing bermain di tempat terbuka seperti
lapangan/taman yang biasanya dipakai untuk bermain anak-anak dan bisa juga dilakukan
pengobatan terhadap anak kucing (Laborde et al., 1980 ; Schantz, 1981).
c. Toxoplasma gondii
Etiologi dan Siklus Hidup
Toxoplasma gondii adalah parasit intraseluler pada momocyte dan sel-sel endothelial pada
3
berbagai organ tubuh. Toxoplasma berbentuk bulat atau oval yang ditemukan dalam jumlah
besar pada organ-organ tubuh seperti pada jaringan hati, limpa, sumsum tulang, paru-paru,
otak, ginjal, urat daging, jantung dan urat daging licin lainnya. Toxoplasma gondii terdapat
dalam 3 bentuk yaitu bentuk trofozoit, kista, dan Ookista. Trofozoit berbentuk oval dengan
ukuran 3 – 7 um, dapat menginvasi semua sel mamalia yang memiliki inti sel. Trofozoit
ditemukan dalam jaringan selama masa akut dari infeksi. Bila infeksi menjadi kronis trofozoit
dalam jaringan akan membelah secara lambat dan disebut bradizoit. Bentuk kedua adalah
kista yang terdapat dalam jaringan dengan jumlah ribuan berukuran 10 – 100 um. Kista
penting untuk transmisi dan paling banyak terdapat dalam otot rangka, otot jantung dan
susunan syaraf pusat. Bentuk yang ke tiga adalah bentuk Ookista yang berukuran 10-12 um.
Ookista terbentuk di sel mukosa usus kucing dan dikeluarkan bersamaan dengan feces
kucing. Dalam epitel usus kucing berlangsung siklus aseksual atau schizogoni dan siklus atau
gametogeni dan sporogoni yang menghasilkan ookista dan dikeluarkan bersama feces kucing.
Kucing yang mengandung toxoplasma gondii dalam sekali exkresi akan mengeluarkan jutaan
ookista. Bila ookista ini tertelan oleh hospes perantara seperti manusia, sapi, kambing atau
kucing maka pada berbagai jaringan hospes perantara akan dibentuk kelompok-kelompok
trofozoit yang membelah secara aktif. Pada hospes perantara tidak dibentuk stadium seksual
tetapi dibentuk stadium istirahat yaitu kista. Bila kucing makan tikus yang mengandung kista
maka terbentuk kembali stadium seksual di dalam usus halus kucing tersebut. Toxoplasmosis
gondii yang tertelan melalui makanan akan menembus epitel usus dan difagositosis oleh
makrofag atau masuk ke dalam limfosit akibatnya terjadi penyebaran limfogen.
Toxoplasmosis gondii akan menyerang seluruh sel berinti, membelah diri dan menimbulkan
lisis, sel tersebut destruksi akan berhenti bila tubuh telah membentuk antibodi.
Gejala Klinis
Infeksi Toxoplasma gondii ditandai dengan gejala seperti demam, malaise, nyeri sendi,
pembengkakan kelenjar getah bening (toxoplasmosis limfonodosa acuta). Gejala mirip
dengan mononukleosis infeksiosa. Infeksi yang mengenai susunan syaraf pusat menyebabkan
encephalitis (toxoplasma ceebralis akuta). Parasit yang masuk ke dalam otot jantung
menyebabkan peradangan. Lesi pada mata akan mengenai khorion dan retina menimbulkan
irridosklitis dan khorioditis (toxoplasmosis ophithal mica akuta). Bayi dengan toxoplamosis
kongenital akan lahir sehat tetapi dapat pula timbul gambaran eritroblastosis foetalis, hidrop
foetalis.
Diagnosis
Gold standard diagnosis untuk toxoplasmosis sampai sekarang adalah pengukuran titer
4
antibodi. Ditemukannya Ig M merupakan petanda infeksi akut yang baru saja terjadi dan
merupakan bentuk infeksi aktif. Ig G merupakan petanda infeksi telah berlangsung lama atau
khronis. Diagnosis toxoplasmosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
serologis dan menemukan parasit dalam jaringan tubuh penderita. Pemeriksaan serologis
yang umum dipakai ialah : Dye test Sabin Feldman yang merupakan pemeriksaan dengan
metilen blue. Complement fixaton test (CFT) berdasarkan reaksi antigen antibodi yang akan
mengikat komplement sehingga pada penambahan sel darah merah yang dilapisi anti bodi
tidak terjadi hemolisis. Reaksi fluoresensi anti bodi memakai sediaan yang mengandung
toxoplasma yang telah dimatikan. Anti bodi yang ada dalam serum akan terikat pada parasit.
Setelah ditambah antiglobulin manusia yang berlabel fluoresens. Inderect hemaglutination
test mempergunakan antigen yang diletakkan pada sel-sel darah merah, bila dicampur dengan
serum kebal menimbulkan aglutinasis. Elisa mempergunakan antigen toxoplamosis yang
diletakkan pada penyangga padat. Mula-mula diinkubasi dengan serum penderita, kemudian
dengan antibodi berlabel enzim. Kadar anti bodi dalam serum penderita sebanding dengan
intertitas warna yang timbul setelah ikatan antigen anti bodi dicampur dengan substat.
Pengobatan
Kombinasi pyrimethamine dan trisulfapyrimidine dengan penambahan asam folat dan yeast
secara sinergis akan menghambat siklus p-amino asam benzoat dan siklus asam folat. Obat
lainnya adalah trimetoprim dan spiramycin.
DAFTAR PUSTAKA
Bowman, D.D., Hendrix, M.C., Lindsay, S.D., and Barr, C.S. 2002. Feline Clinical Parasitology.
5
Iowa State University Press. A Blackwell Science Company.Dubey, J .P . 1978 . Patent Toxocara canis infection in ascaridnaive dogs . J .
Parasitol . 64 : 1021-1023.Hendrix, C .M. 1995 . Helminthic Infections of The Feline Small and Large
Intestines :Diagnosis and Treatment . Vet . Med. May . 456-472.Hubner, J., M. Uhlikova, and M. Leissova. 2001. Diagnosis of Early Phase of
Larvae Toxocariasis Using Ig Avidity. Epidemial Mikrobial Immunal. 50(2): 67-70.
Levine, N.D. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Levine., N.D. 1995. Protozoologi Veteriner. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Subronto., 2006. Penyakit Infeksi Parasit & Mikroba pada Anjing & Kucing. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Tilley, L.P., dan Smith, F.W.K., 2004. The 5-Minute Veterinary Consult Canine and Feline Third Edition. Lippincott Williams & Wilkins : Philadelphia.
SINOPSIS TUTORIAL
6
Blok : 19 “Hewan Kesayangan II” UP : 2 “Anjing Diare Berdarah”
Nama : Ariesta Indriani P. No. Mhs : 6027
LEARNING OBJECTIVE
1. Mengetahui tentang Canine Parvovirus (etiologi, pathogenesis, gejala klinis,
perubahan patologi, diagnosis, terapi dan pencegahan).
Canine Parvovirus
a. Etiologi
Canine Parvovirus (CPV) adalah virus ssDNA yang tergolong dalam famili Parvoviridae.
Virus ini tidak beramplop memiliki kapsid berbentuk icosahedral tersusun atas 60 subunit
protein (Fenner, 1995). Ukuran diameter virus ini 25 nm, terdapat 2-3 Spike protein yaitu
VP1, VP2 dan VP3, ujung rantai 5’ dan 3’ adalah palindromic membentuk hairpin sangat
penting untuk replikasi. Virus ini bereplikasi pada nukleus sel yang sedang aktif mitosis.
Virus ini sangat stabil di lingkungan, mampu menahan rentang pada pH (3-9) dan suhu
tinggi. Hal ini tahan terhadap sejumlah disinfektan alkohol, fenol, deterjen dan dapat
bertahan selama beberapa bulan di daerah yang terkontaminasi. Kematian terkait dengan
infeksi parvovirus anjing ini bervariasi dilaporkan 16-48%.
Infeksi CPV pertama kali ditemukan pada tahun 1978 dimana diperkirakan merupakan
mutasi dari feline parvovirus yang dikaitkan dengan Feline Panleukopenia. Mutasi
tersebut membuat virus ini menjadi lebih spesifik menyerang anjing. Ada dua tipe
parvovirus yang menginfeksi anjing. Canine parvovirus-1 (CPV-1), juga dikenal sebagai
“minute virus of canine”, yang relative dikenal sebagai virus nonpatogenik yang kadang
dihubungkan dengan gastroenteritis, pneumonitis, dan/atau myokarditis di anak anjing
yang sangat muda. Canine parvovirus-2 (CPV-2) lebih dikenal sebagai enteritis klasik
dari parvovirus (Nelson and Couto, 2003). Ras anjing yang sangat rentan terhadap infeksi
CPV-2 adalah doberman, rottweiler, dan labrador retriever. Infeksi CPV-2 paling parah
terjadi pada anjing di bawah umur 12 minggu karena pada umur ini sel-sel tubuh sangat
aktif bermitosis dan CPV-2 menyerang virus yang sedang bermitosis, selain itu pada
umur ini imunitas maternal mulai hilang (Dharmojono, 2001).
b. Patogenesis
Virus ini ditularkan melalui kontak langsung dengan anjing yang terinfeksi. Transmisi
tidak langsung, misalnya, dari tinja terkontaminasi fomites, juga merupakan sumber
7
penting dari infeksi (Anonim, 2011). Setelah teringesti, virus dapat bereplikasi pada
jaringan limfoid orofaring, kemudian virus akan menyebar dengan memanfaatkan limfosit
via aliran darah dan limfe. Virus akan menyerang sel-sel yang aktif membelah seperti
pada sumsum tulang, jaringan limfoid (nodus limfatikus, GALT, lempeng Peyer, thymus)
dan sel-sel kripte Lieberkuhn pada distal jejunum dan ileum. Awal infeksi limfatik
disertai dengan limfopenia dan mendahului infeksi usus dan tanda-tanda GI. Aktifitas
mitosis dari sumsum tulang atau sel myeloid dan jaringan lymphopoietic menyebabkan
neutropenia dan limfopenia selama 3 hari setelah infeksi (Boothe, 2001). Karena CPV-2
menginfeksi sel germinal pada kripta intestinum, sel menjadi rusak dan vilinya
memendek. Pelepasan virus dalam tinja dimulai 3-4 hari setelah infeksi dan puncak ketika
tanda-tanda klinis muncul. Pelepasan virus menurun cepat dan mungkin tidak lagi
terdeteksi pada hari ke 10-14 setelah infeksi awal. Replikasi virus dalam epitel usus
penyebab runtuhnya vili usus, nekrosis epitel, dan diare hemoragik. Beberapa bakteri
oportunis seperti E. Coli bahkan Clostridium spp., dapat masuk ke mukosa yang
terdenudasi dan menyebabkan infeksi sekunder. Infeksi sekunder dapat menyebabkan
keparahan penyakit lebih tinggi seperti hiperkogulabilitas, kegagalan multiorgan, hingga
kematian tertama pada anak anjing. Pada neonatus yang terinfeksi in utero (Tilley, 2004),
CPV dapat bereplikasi pada sel miokard yang aktif membelah sehingga menyebabkan
myokarditis dan dapat berujung pada kematian. Imunosupresi juga akan terjadi jika
jaringan limfoid dan sel yang sedang berkembang cepat pada sumsum tulang juga
terinfeksi. Pada anjing berumur lebih dari 7 minggu, dimana perkembangan myokardium
selesai sempurna, maka CPV akan mengubah targetnya ke saluran gastrointestinal,
sehingga akan timbul gejala klinis yang terkait dengan organ-organ pencernaan, sejalan
dengan adanya imunosupresi akibat infeksi pada sistem limfoid (Lane & Cooper, 2003).
c. Gejala Klinis
Gejala klinis berupa kematian mendadak pada anak anjing, depresi, anoreksia, muntah
terus-menerus, bisa pakan utuh sampai darah, diare cair merah-coklat dengan bau yang
amis, dehidrasi, shock, hipotermia dan melanjut sampai kematian jika tidak dirawat (Lane
and Cooper, 2003).
d. Perubahan Patologi
Ada 2 bentuk perubahan patologik akibat infeksi Canine parvovirus
Bentuk Intestinalis
a. Hilangnya atau nekrosis limfosit di nodus limfatikus.
b. Terjadi destruksi pada crypts lieberkun
8
Bentuk Cardiac
a. Menyebabkan kematian puppies karena sulit bernafas.
b. Nekrosis otot jantung dan dikuti dengan infiltrasi sel mononuklear.
c. Pembentukan jaringan ikat pada anjing yang mampu bertahan.
e. Diagnosis
Diagnosis berdasarkan adanya gejala klinis, anamnesa, leukopenia berat (< 1,0 x 109
sel/l), uji CITE yang menangkap antigen CPV, ELISA, dan histopatologi jaringan (Lane
& Cooper, 2003). Partikel-partikel virus dalam feses dapat terlihat melalui mikroskop
electron (Dharmojono, 2001).
Imunofluoresen dapat digunakan untuk mendeteksi infeksi CPV-2 dalam usus kecil,
jantung, kelenjar thymus, limpa, dan limfoglandula lain. Diagnosa CPV dapat dipastikan
apabila setelah 3 hari atau lebih setelah anjing menunjukkan gejala klinis titer HI
(inhibition of hemaglutination) dalam darah tinggi.
f. Terapi dan Pencegahan
Terapi dapat dilakukan dengan memberikan Infus Ringer Dextrose iv, vitamin ADE
secara IM, Hematopan® 1 ml/5 kg bb IM, anti muntah digunakan Metoclopramide 0.2
mg/kg bb IV. Ringer dextrose ditambah ion KCl 10-20 mEq/L diberikan pada penderita
yang mengalami kekurangan elektrolit dan menderita muntah. Hematopan® mengandung
natrium kakodilat, besi (III) amonium sitrat, metionin, histidin, triptopan,dan vitamin
B12. Hematopan® baik untuk penderita yang mengalami semua gangguan kekurangan
darah (ASOHI, 2005). Terapi kausatif berupa interferon omega antiviral sejauh ini baru
sebatas uji lapangan. Pada jurnal (de Mari, 2003) mengenai uji trial lapangan IFN
terhadap CPV terjadi 14 kematian dari 49 pasien pada kelompok kontrol yang hanya
diberi placebo dan pada kelompok perlakuan IFN hanya terjadi 4 kematian dari 43 pasien.
Untuk pencegahan terhadap parvovirus pada anjing dilakukan dengan cara vaksinasi pada
umur 6-8 minggu lalu sebulan kemudian bisa di booster untuk memunculkan
immunoglobulin G lalu dilakukan pengulangan setiap tahunnya. Program vaksin yang
digunakan menggunakan strain CPV2b karena struktur antigeniknya sangat cocok untuk
CPV2.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Canine Parvovirus,
9
www.merckvetmanual.com/mvm/index.jsp?cfile=htm/bc/...htm -. Diakses tanggal 20
September 2011, Yogyakarta.
Boothe, D.M., 2001. Small Animal Clinical Pharmacology and Therapeutics. 1st Ed., W.B.
Saunders Co., Philadelphia.
Dharmojono, H., 2001, Kapita Selecta Kedokteran Veteriner, Edisi I, Pustaka Popular Obor,
Jakarta.
Fenner, F. J., Gibbs, E. P. J., Murphy,F. A, Rott, R., Studdert, M. J., White, D. O., 1995,
Virologi Veteriner, Edisi kedua, Academic Press, inc., Harcourt Brace Jovanovich,
Publishers, San Diego.
Lane, D.R., Cooper, B.C., 2003, Veterinary Nursing, 3rd.ed, Butterworth Heinemann, UK.
Tilley, L.P., dan Smith, F.W.K., 2004. The 5-Minute Veterinary Consult Canine and Feline
Third Edition. Lippincott Williams & Wilkins: Philadelphia.
10
11
12