Upload
dedi-kusnadi-kalsim
View
206
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
1
Peranan Pengelolaan Air dalam Pencegahan Kebakaran Lahan
Gambut
Oleh Dedi Kusnadi Kalsim
Pengembangan Lahan dan Air Berkelanjutan - Pensiunan dosen IPB
HP: 08128132821, email: [email protected]
25/9/2015 – rev 1- 27/9/2015, rev 2-4/10/2015
Pada siaran Metro TV 24/9/2015, Presiden Joko Widodo mengatakan:“Kuncinya untuk
mengurangi kebakaran lahan gambut adalah buat kanal agar gambut selalu basah”.
Presiden perintahkan bangun sekat kanal. Harian Kompas 26/9/2015, Pojok Iptek dan
Lingkungan, menulis bahwa Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) menyoroti
pernyataan Presiden Joko Widodo yang dimuat dalam siaran pers di laman Sekertaris
Kabinet RI, berjudul ”Atasi Kebakaran di Kalteng, Presiden Joko Widodo Minta Dilakukan
Kanalisasi”. Pernyataan Presiden itu justru dapat kontra-produktif terhadap upaya
penanganan kebakaran hutan dan lahan.
Pernyataan Presiden Joko Widodo itu perlu diluruskan, tulisan ini bertujuan untuk
meluruskannya.
Dalam pengembangan kawasan budidaya lahan gambut untuk pertanian, perkebunan
maupun HTI, fungsi kanal adalah: (a) sebagai saluran drainase terkendali (controlled
drainage) untuk mengalirkan kelebihan air (banjir) pada musim hujan (MH) dan menjaga
elevasi muka air pada ketinggian tertentu sehingga tidak terjadi kekeringan pada musim
kemarau (MK), (b) sebagai alat transportasi sarana produksi dan hasil panen. Fungsi
drainase dan fungsi transportasi memerlukan dua hal berbeda, yakni drainase
menginginkan elevasi muka air cukup rendah, sedangkan transportasi menginginkan elevasi
muka air cukup tinggi. Umumnya tidak ada saluran irigasi di lahan gambut, sehingga kondisi
airnya hanya tergantung pada hujan (tadah hujan).
Suatu rancangan pengelolaan air yang baik adalah membuat saluran transportasi dan
drainase secara terpisah, tetapi hal ini menyebabkan biaya konstruksi lebih besar
dibandingkan dengan menggabungkannya. Di Indonesia umumnya saluran drainase ini
digabung dengan transportasi, sehingga biaya konstruksi lebih murah tetapi akibatnya biaya
operasional jadi lebih jelimet dan lebih mahal, kadang-kadang salah satu fungsi tersebut
harus dikorbankan.
Saluran drainase terkendali berbeda dengan saluran drainase biasa. Pada saluran drainase
terkendali harus ditetapkan berapa elevasi muka air operasional pada MH, yakni harus
cukup rendah sehingga tidak terjadi banjir di lahan usaha dan kedalaman airtanah (water
table depth) optimum untuk pertumbuhan tanaman. Untuk HTI (akasia) kedalaman airtanah
optimum sekitar 60-80 cm, sawit biasanya 40-60 cm, tanaman sayuran sekitar 30-40 cm.
Dengan demikian untuk HTI elevasi muka air di saluran drainase pada MH sekitar 70-90
2
cm di bawah lahan. Pada MK terjadi defisit air karena evapotranspirasi jauh lebih besar
daripada hujan, akibatnya airtanah akan turun sekitar 50-100 cm dari kedalaman airtanah
pada akhir MH atau awal MK (sangat spesifik lokasi, tergantung berapa hari kering
berturutan). Penelitian di Riau menunjukkan pada MK 2015 (Juli-Agustus) penurunan
airtanah di lahan HTI sekitar 1,19 cm/hari. Jika 30 hari tidak ada hujan, maka penurunan
airtanah sekitar 36 cm, jika 90 hari tak ada hujan maka penurunan airtanah sekitar 107 cm
dari kedalaman airtanah pada awal MK.
Tanpa “drainase terkendali” atau hanya dengan “drainase biasa” maka jika kedalaman
airtanah pada awal MK 80 cm, pada akhir MK akan turun sampai ke 130-180 cm. Pada
kondisi ini permukaan tanah gambut akan kering dan rawan terbakar. Berdasar pada
penelitian sifat fisik tanah gambut yang dilakukan penulis, kondisi aman pada MK adalah
maksimum kedalaman airtanah 120 cm, dimana pada kondisi ini lengas tanah (soil
moisture content) di permukaan tanah gambut masih lebih besar dari kering-tak balik
(irreversible drying, sekitar 230%w/w), tanah gambut masih cukup lembab untuk
mengurangi resiko terbakar.
Bagaimana caranya supaya pada akhir MK kedalaman airtanah tak lebih dari 120 cm?.
Caranya adalah dengan membuat bendung-gambut (peat dam) pada setiap beda elevasi
lahan 50 cm sepanjang trase saluran drainase (sekat kanal atau canal blocking), dilengkapi
dengan bangunan pelimpah-samping (side channel spillway). Ukuran lebar dan jumlah
bangunan pelimpah tergantung pada debit banjir yang dirancang. Elevasi ambang (crest)
pelimpah pada MH dipasang pada elevasi 80-90 cm di bawah lahan. Pada kondisi ini maka
kedalaman airtanah di lahan sekitar 60-80 cm di bawah lahan (kondisi optimum). Jika terjadi
banjir maka elevasi muka air di saluran drainase naik dan melimpah di atas ambang-
pelimpah ke ruas saluran drainase sebelah hilir. Dengan demikian pada MH kelebihan air
dibuang seperlunya saja.
Pada awal MK atau akhir MH (Mei-Juni-Juli), elevasi ambang-pelimpah dinaikkan menjadi
30-70 cm di bawah lahan, sehingga kedalaman airtanah menjadi sekitar 30-60 cm di
bawah lahan. Kedalaman airtanah kurang dari 40 cm selama beberapa minggu tidak akan
mempengaruhi produksi secara nyata. Selama MK airtanah akan menurun secara gradual,
sampai maksimum pada akhir MK (Agustus-September-Oktober) 80-120 cm. Kondisi ini
masih aman terhadap kebakaran lahan. Pengalaman lapangan menunjukkan bahwa
kebakaran lahan gambut terjadi pada kedalaman airtanah lebih dari 150 cm.
Bendung gambut dan pelimpah-samping dibuat di setiap titik kontrol saluran drainase. Satu
titik kontrol melayani satu areal Zone Pengelolaan Air (water management zone, WMZ).
Bagaimana caranya menaikkan elevasi ambang-pelimpah? Umumnya pelimpah-samping
terbuat dari bahan georeinfox (plastik tebal tahan air masam dan panas), dan ambang-
pelimpah terbuat dari tumpukan karung-pasir georeinfox. Dengan menambah tumpukan
karung-pasir maka berarti menaikkan elevasi muka air di ambang-pelimpah. Sebaliknya
pengurangan tumpukan karung-pasir berarti mengurangi elevasi muka air di ambang-
pelimpah. Operasionalnya cukup sederhana hanya dilakukan dua kali dalam setahun, yakni
awal dan akhir MH.
3
Mengatur elevasi muka air di ambang-pelimpah tidak dapat dilakukan pada sistim drainase
biasa (tak terkendali, tanpa bangunan kontrol) sehingga di MK kedalaman airtanah akan
turun sampai lebih besar dari 150 cm dan permukaan gambut menjadi rentan terbakar.
Kadang-kadang saluran drainasenya menjadi kering tak berair.
Bagaimana dengan kanal yang sudah terlanjur dibangun di kawasan lindung gambut? Pada
kawasan lindung gambut tidak diperlukan pengaturan muka airtanah karena tanaman hutan
alami toleran terhadap genangan air. Sehingga kanal yang sudah terlanjur dibangun perlu
ditutup total (canal blocking atau sekat kanal) tanpa perlu ada pengatur muka air di
bangunan pelimpahnya. Di mana lokasi penutupan kanal tersebut? Supaya mampu menahan
air di kawasan tersebut dan tidak kering pada MK, maka penutupan diperlukan di setiap
beda elevasi 0,3-0,5 m sepanjang trase kanal. Banyaknya jumlah lokasi sekat kanal
tergantung daripada besarnya kemiringan trase saluran tersebut. Dengan demikian air akan
tertahan di lahan dan kanal tetap berisi air di MK yang dapat digunakan untuk memadamkan
api jika terjadi kebakaran.
Bagaimana caranya supaya kawasan budidaya gambut dapat dipertahankan berkelanjutan?
Sekali lagi, kuncinya adalah pengelolaan air. Mampukah kita mengelola air dengan baik pada
MH dan MK seperti yang dijelaskan di atas. Areal kubah gambut (peat dome) harus
dipertahankan untuk kawasan lindung gambut yang berfungsi untuk menyimpan air
pada MH dan melepasnya perlahan pada MK sehingga mampu memasok defisit air di
kawasan budidaya di bawahnya. Faktanya sekarang ini kebanyakan kubah gambut ini sudah
dibuka juga untuk budidaya, akibatnya kondisi MK akan semakin kering. Pemerintah harus
mampu menata ulang tata-ruang pengelolaan lahan gambut sehingga kawasan lindung
gambut dapat kembali ke fungsinya semula.
Demikianlah dengan tulisan ini semoga pengertian “pembuatan kanal” dan “sekat kanal”
dapat lebih mudah dipahami dan yang penting adalah implementasinya di lapangan.