4
Para ulama fikih berselisih pendapat tentang masalah ini, ada berbagai pendapat yang cukup banyak. (Lihat al-Majmu’ 2:34 Imam Nawawi). Di sini kami akan sebutkan tiga pendapat saja: Pendapat Pertama: Menyentuh wanita membatalkan wudhu secara mutlak baik dengan syahwat atau tidak, tetapi kalau ada pembatasnya seperti kain, maka tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini populer dalam madzhab Syafi’i. Pendapat berlandaskan dengan berbagai argumen, yang paling masyhur dan kuat adalah firman Allah dalam surat An-Nisa’: 43. َ ء آَ س لن م اُ تْ سَ مَ لاْ وَ اAtau kamu telah berjima’ dengan istri.” (QS. An-Nisa’: 43). Mereka mengartikan kata ُ مُ تْ سَ مَ لاdalam ayat tersebut dengan menyentuh. (Lihat al-Umm 1:30 oleh Imam Syafi’i dan al-Majmu’ 2:35 oleh Imam Nawawi). Pendapat Kedua: Menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak baik dengan syahwat maupun tidak berdasarkan beberapa dalil berikut: Dalil Pertama: Ketika seseorang berwudhu, maka hukum wudhunya itu hukum asalnya suci dan tidak batal sehingga ada dalil yang mengeluarkan dari hukum asalnya. Dalam hal ini, pembatal itu tidak ada, padahal kita ketahui bersama bahwa menyentuh isteri adalah suatu hal yang amat sering terjadi. Seandainya itu membatalkan wudhu, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan kepada umatnya dan masyhur di kalangan sahabat, tetapi tidak ada seorang pun dari kalangan sahabat yang berwudhu hanya karena sekedar menyentuh istrinya. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 21:235). Dalil Kedua: Dari Aisyah d bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium sebagian istrinya kemudian keluar menuju shalat dan tidak berwudhu lagi. Saya (Urwah) berkata: Tidaklah dia kecuali Anda kan? Lalu Aisyah tertawa. (Shahih. Riwayat Tirmidzi: 86, Abu Dawud: 178, Nasa’i: 170, Ibnu Majah: 502 dan dishahihkan al-Albani dalam al- Misykah: 323. Lihat pembelaan hadis ini secara luas dalam at- Tamhid 8:504 Ibnu Abdil Barr dan Syarh Tirmidzi 1:135-138 Syaikh Ahmad Syakir).

Wudhu

  • Upload
    ixanz

  • View
    215

  • Download
    2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

wudhu

Citation preview

Para ulama fikih berselisih pendapat tentang masalah ini, ada berbagai pendapat yang cukup banyak. (Lihatal-Majmu2:34 Imam Nawawi). Di sini kami akan sebutkan tiga pendapat saja:Pendapat Pertama: Menyentuh wanita membatalkan wudhu secara mutlak baik dengan syahwat atau tidak, tetapi kalau ada pembatasnya seperti kain, maka tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini populer dalam madzhab Syafii. Pendapat berlandaskan dengan berbagai argumen, yang paling masyhur dan kuat adalah firman Allah dalam surat An-Nisa: 43. Atau kamu telah berjima dengan istri. (QS. An-Nisa: 43).Mereka mengartikan kata dalam ayat tersebut dengan menyentuh. (Lihatal-Umm1:30 oleh Imam Syafii danal-Majmu2:35 oleh Imam Nawawi).Pendapat Kedua: Menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak baik dengan syahwat maupun tidak berdasarkan beberapa dalil berikut:Dalil Pertama:Ketika seseorang berwudhu, maka hukum wudhunya itu hukum asalnya suci dan tidak batal sehingga ada dalil yang mengeluarkan dari hukum asalnya. Dalam hal ini, pembatal itu tidak ada, padahal kita ketahui bersama bahwa menyentuh isteri adalah suatu hal yang amat sering terjadi. Seandainya itu membatalkan wudhu, tentu Nabishallallahu alaihi wa sallamakan menjelaskan kepada umatnya dan masyhur di kalangan sahabat, tetapi tidak ada seorang pun dari kalangan sahabat yang berwudhu hanya karena sekedar menyentuh istrinya. (Majmu FatawaIbnu Taimiyyah 21:235).Dalil Kedua:Dari Aisyah d bahwasanya Nabishallallahu alaihi wa sallampernah mencium sebagian istrinya kemudian keluar menuju shalat dan tidak berwudhu lagi. Saya (Urwah) berkata: Tidaklah dia kecuali Anda kan? Lalu Aisyah tertawa. (Shahih. Riwayat Tirmidzi: 86, Abu Dawud: 178, Nasai: 170, Ibnu Majah: 502 dan dishahihkan al-Albani dalamal-Misykah: 323. Lihat pembelaan hadis ini secara luas dalamat-Tamhid8:504 Ibnu Abdil Barr danSyarh Tirmidzi1:135-138 Syaikh Ahmad Syakir).Hadis ini menunjukkan bahwa menyentuh istri tidaklah membatalkan wudhu sekalipun dengan syahwat. Demikian ditegaskan oleh Syaikh al-Allamah as-Sindi dalamHasyiyah Sunan Nasai1:104.Dalil Ketiga:Dari Aisyahradhiyallahu anhaberkata: Saya pernah tidur di depan Rasulullahshallallahu alaihi wa sallamdan kedua kakiku berada di arah kiblatnya. Apabila beliau sujud, maka beliau menyentuhku lalu saya pun mengangkat kedua kakiku, dan bila beliau berdiri, maka aku membentangkan kedua kakiku seperti semula. (Aisyah) berkata: Rumah-rumah saat itu masih belum punya lampu. (HR. Bukhari: 382 dan Muslim: 512).Hadis ini menunjukkan bahwa menyentuh istri tidaklah membatalkan wudhu. Adapun takwil al-Hafizh Ibnu Hajar dalamFathul Bari1:638 bahwa kejadian di atas bisa jadi karena ada pembatasnya (kain) atau kekhususan bagi Nabi, maka takwil ini sangat jauh sekali dari kebenaran, menyelesihi dhahir hadis dan takalluf (menyusahkan diri). (PeriksaNailul Autharasy-Syaukani 1:187,Subulus Salamas-Shanani 1:136,Tuhfatul Ahwadzial-Mubarakfuri 1:239,Syarh TirmidziAhmad Syakir 1:142).Dalil Keempat:Dari Aisyahradhiyallahu anhaberkata: Pada suatu malam saya pernah kehilangan Rasulullahshallallahu alaihi wa sallamdari tempat tidur maka saya mencarinya lalu tanganku mengenai pada kedua punggung kakinya yang tegak, beliau shalat di masjid seraya berdoa: Ya Allah saya berlindung dengan ridha-Mu dari kemurkaan-Mu. (HR. Muslim: 486).Hadis ini menunjukkan bahwa istri menyentuh suami tidaklah membatalkan wudhu. Adapun penjelasan Imam Nawawi dalamSyarh Shahih Muslim4:152 bahwa kejadian tersebut bisa jadi karena ada pembatas kainnya, maka menyelisihi dhahir hadis. (Lihatat-Tamhid8:501 Ibnu Abdil Barr danTafsir al-Qurthubi5:146).Dalil Kelima:Dari Aisyahradhiyallahu anhaberkata: Pernah Rasulullahshallallahu alaihi wa sallammelakukan shalat sedangkan saya tidur terbentang di depannya layaknya jenazah sehingga apabila beliau ingin melakukan witir, maka beliau menyentuhku dengan kakinya.(HR. Nasai 1/102/167. Imam Zailai berkata: Sanadnya shahih menurut syarat shahih dan dishahihkan Imam Nawawi dalamal-Majmu2:35).Hadis ini menunjukkan bahwa menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudhu dengan kaki atau anggota badan lainnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalamat-Talkhishal. 48: Sanadnya shahih, hadis ini dijadikan dalil bahwa makna Laamastum dalam ayat adalah jima (berhubungan) karena Nabi menyentuh Aisyah dalam shalat lalu beliau tetap melanjutkan (tanpa wudhu lagi -pent).Pendapat Ketiga:Rincian:Batal wudhunya apabila menyentuh wanita dengan syahwat, dan tidak batal apabila tidak dengan syahwat. Dalil mereka sama seperti pendapat kedua, tetapi mereka membedakan demikian dengan alasan Memang asal menyentuh tidak membatalkan wudhu, tetapi menyentuh dengan syahwat menyebabkan keluarnya air madhi dan mani, maka hukumnya membatalkan (Lihatal-Mughni1:260 Ibnu Qudamah).Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat kedua yaitu:Menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu baik dengan syahwat ataupun tidak, kecuali apabila mengeluarkan air mani dan madhi maka batal wudhunya atau minimal adalah pendapat ketiga.Adapun pendapat pertama, maka sangat lemah sekali karena maksud ayat tersebut adalah jima (hubungan suami istri) berdasarkan argumen sebagai berikut:Salah satu makna kata dalam bahasa Arab adalah jima (al-Qamus al-Mukhithal-Fairuz Abadi 2:259).Para pakar ahli tafsir telah menafsirkan ayat tersebut dengan jima diantaranya adalah sahabat mulia, penafsir ulung yang didoakan Nabi, Abdullah bin Abbas, demikian pula Ali bin Abi Thalib, Ubai bin Kaab, Mujahid, Thawus, Hasan Al-Bashri, Ubaid bin Umair, Said bin Jubair, Syabi, Qotadah, Muqatil bi Hayyan dan lainnya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/550). Pendapat ini juga dikuatkan Syaikh ahli tafsir, Ibnu Jarir dalam Tafsirnya 5/102-103 dan Imam Ibnu Rusyd dalamBidayatul Mujtahid.Mengkompromikan antara ayat tersebut dengan hadis-hadis shahih di atas yang menegaskan bahwa Rasulullah n menyentuh bahkan mencium istrinya (Aisyah) dan beliau tidak berwudhu lagi.Imam Ibnu Abdil Barr dalamat-Tamhid8:506 dan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalamat-Talkhismenukil dari Imam Syafii bahwa beliau berkata: Seandainya hadis Aisyah tentang mencium itu shahih, maka madzhab kita adalah hadis Nabi shallallahu alahi wa sallam. Perkataan serupa juga dikatakan oleh Imam Al-Baihaqi, pejuang madzbab Syafii. Hal ini menunjukkan bahwa kedua imam tersebut tidak menetapkan bahwa maksud dalam ayat tersebut bermakna Menyentuh karena keduanya menegaskan seandanya hadis Aisyah shahih, maka beliau berdua berpendapat mengikuti hadis. Seandainya kedua imam tersebut berpendapat seperti hadis, maka mau gak mau harus menafsirkan ayat tersebut bermakna jima sebagaimana penafsiran yang shahih. (Syarh Tirmidzi 1/141 oleh Syaikh Ahmad Syakir).Demikianlah jawaban yang kami yakini berdasarkan dalil-dalil yang shahih, bukan fanatik madzhab dan mengikuti apa kata banyak orang. Semoga Allah menambahkan ilmu dan memberikan keteguhan kepada kita.Wallahu Alam.Dijawab oleh Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-SidawiSumber: www.abiubaidah.com