Yastri Rustina-fah 5

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    1/87

    KEBIJAKAN POLITIK GUS DUR

    SEBAGAI PRESIDEN RI KE-4 TERHADAP

    REFERENDUM ACEH

    Skripsi

    Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora

    untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

    Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)

    Oleh

    Yastri Rustina

     NIM: 103022027529

    Di Bawah Bimbingan

    Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, M.A

     NIP: 150 240 083

    PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

    FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA

    1429 H. /2008 M.

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    2/87

    PENGESAHAN PANITIA UJIAN

    Skripsi berjudul Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4

    Terhadap Referendum Aceh telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas

    Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 06 Juni 2008.

    Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana

    Humaniora (S. Hum.) pada program Studi Sejarah dan Peradaban Islam.

    Jakarta, 06 Juni 2008

    Sidang Munaqasyah

    Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota 

    Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, M. A Usep Abdul Matin, S.Ag, M. A, M. A NIP: 150 247 010 NIP:150 288 391

    Anggota

    Penguji, Pembimbing

    Dra. Hj. Tati Hartimah M. A  Dr. Sudarnoto Abdul Hakim M. A  NIP: 150 240 484 NIP: 150 240 083

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    3/87

    KEBIJAKAN POLITIK GUS DUR SEBAGAI PRESIDENRI KE-4 TERHADAP REFERENDUM ACEH

    Skripsi

    Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan memperoleh

    Gelar Sarjana Humaniora

    Oleh

    Yastri Rustina

     NIM: 103022027529

    PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

    FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    1429 H. /2008 M.

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    4/87

    LEMBAR PERNYATAAN

    Dengan ini saya menyatakan bahwa:

    1.  Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

     persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) di Universitas Islam

     Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

    2.  Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

    sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

    Syarif Hidayatullah Jakarta.

    3. 

    Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya ataumerupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

    sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

    Jakarta, 06 Juni 2008

    Yastri Rustina

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    5/87

     

    ABSTRAK

    Yastri Rustina

    Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4 Terhadap Referendum

    Aceh

    Kebijakan politik yang dikeluarkan oleh Presiden Gus Dur dalammenghadapi referendum Aceh adalah mengadakan dialog dengan masyarakatAceh dengan damai. Tuntutan referendum dengan opsi merdeka tidak dapatdipenuhi oleh pemerintah karena persoalan Aceh masih bisa diatasi dengan caralain salah satunya melalui dialog. Selain itu pula Presiden Gus Dur berhasil

    mengadakan perundingan dengan GAM yang dilakukan di Swiss danmenghasilkan adanya Jeda Kemanusiaan di Aceh. Pernyataan Gus Dur mengenai persetujuan dilaksanakannya referendum di Aceh bukanlah suatu kebijakan akantetapi itu hanyalah pernyataan pribadi dari Presiden Gus Dur.

    Referendum Aceh merupakan tuntutan dari masyarakat Aceh dimana didalamnya terdapat dua opsi pilihan yaitu berpisah dari Indonesia atau tetap bergabung. Referendum ini berawal dari kekecewaan masyarakat Aceh terhadap pemerintah pusat dari masa Soekarno sampai masa Orde Baru pimpinan Soeharto,dimana saat itu diberlakukannya Daerah Operasi Militer atau yang biasa disebutDOM. DOM diberlakukan untuk menumpas Gerakan-Gerakan Pengacau

    Keamanan akan tetapi pada prakteknya rakyat Aceh yang tidak bersalah menjadikorbannya. Referendum muncul dari demonstrasi para mahasiswa yangterinspirasi oleh peristiwa Timor Timur. Dalam perkembangannya merekamendirikan Sentral Informasi Referendum Aceh yang kemudian mengadakanSidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum Aceh yang menghasilkan duaopsi yaitu merdeka atau tetap bergabung dengan Indonesia.

    Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana kebijakan seorang presidendalam hal ini Presiden Gus Dur menangani masalah referendum Aceh ini. Melalui berbagai sumber Presiden memang sempat mengemukakan bahwa ia setujudengan adanya referendum di Aceh namun dalam referendum tersebut tidak ada

    opsi merdeka ia hanya menawarkan otonomi khusus ataupun otonomi istimewa.

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    6/87

    KATA PENGANTAR

     Bismillahhirahmanirrahim.

    Puji beserta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah

    memberikan nikmat iman dan islam dan hanya dengan ridho dan inaya-Nya-lah

    sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam

    senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW dan seluruh keluarga, para

    sahabatnya serta para pengikutnya.

    Akhirnya dengan limpahan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan

    skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Berbagai kesulitan dan hambatan penulis temui

    dalam mencari sumber pustaka maupun wawancara, namun banyak pengalaman

    yang penulis dapat dari kesulitan dan hambatan tersebut. Alhamdulillah hal

    tersebut dapat teratasi berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk

    itu dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ungkapan terima kasih

    yang sedalam-dalamnya kepada:

    1.  Bapak Dr. Abdul Chair, MA, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus sebagai Dosen Pembimbing

    Akademik Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam tahun angkatan 2003.

    2.  Bapak Drs. Ma’ruf Misbah, MA dan Bapak Usep Abdul Matin, MA, MA,

    selaku Ketua dan Sekertaris Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam.

    3.  Bapak Dr. Sudarnoto Abdul Hakim M.A, selaku Dosen Pembimbing

    Skripsi yang telah memberikan pengarahan yang sangat berharga kepada

     penulis sampai tulisan ini selesai.

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    7/87

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    8/87

     

    Dan kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang

    telah turut membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis hanya dapat

     berdoa semoga bantuan dari berbagai pihak dapat diterima sebagai amal shaleh

    dan mudah-mudahan mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT atas

     bantuan yang diberikan kepada penulis. Amin Ya Rabbal’alamin.

    Jakarta, 06 Juni 2008

    Penulis

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    9/87

     DAFTAR ISI

    ABSTRAK ........................................................................................................... i

    KATA PENGANTAR......................................................................................... ii

    DAFTAR ISI v

    BAB I PENDAHULUAN

    A. 

    Latar Belakang Masalah ............................................................... 1

    B.  Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................... 5

    C. 

    Tujuan dan Manfaat Penulisan .................................................... 6

    D.  Metodelogi Penelitian .................................................................. 7

    E.  Survei Pustaka...............................................................................

    8

    F.  Sistematika Penulisan .................................................................. 10

    BAB II BIOGRAFI GUS DUR

    A.  Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan........................................... 11

    B. 

    Prestasi dan Karya-Karya Tulis Gus Dur............................................

    15

    a.  Prestasi Gus Dur............................................................................

    15

     b. 

    Karya-Karya Tulis Gus Dur..........................................................

    18

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    10/87

    C.  Gus Dur Sebagai Presiden...................................................................

    20

    BAB III GAMBARAN UMUM ACEH

    A.  Letak Geografi dan Demografi ........................................................... 28

    B. 

    Keadaan Sosial dan Budaya................................................................ 32

    C.  Perjalanan Politik Aceh Pasca Kemerdekaan ..................................... 39

    BAB IV REFERENDUM ACEH

    A.  Latar Belakang Munculnya Referendum Aceh...................................

    49

    B.  Langkah Menuju Referendum Aceh ................................................... 57

    C.  Kebijakan politik Gus Dur Dalam Menghadapi Referendum Aceh ...

    59

    D.  Implikasi dan Reaksi Dari Referendum Aceh.....................................

    66

    BAB V PENUTUP

    A.  Kesimpulan ......................................................................................... 73

    B.  Saran ................................................................................................... 74

    DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................75 

    LAMPIRAN ........................................................................................................81 

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    11/87

     

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. 

    Latar Belakang Masalah

    Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur menjabat sebagai

    Presiden RI ke-4 mulai 21 Oktober 1999 pada hari Gus Dur dilantik hingga Juli

    2001 dengan mengalahkan calon lainnya yaitu Megawati Soekarno Putri.

    Pemungutan suara yang dilakukan secara tertutup pada tanggal 20 Oktober 1999

    di parlemen menghasilkan 373 suara untuk Abdurrahman Wahid dan 313 suara

    untuk Megawati, 9 abstain dan 4 suara tidak sah. Maka hasil sidang yang

    diperoleh mengumumkan dan menetapkan K.H. Abdurrahman Wahid, Ketua

    Umum Pengurus Besar NU sebagai presiden RI ke-4, periode 1999 sampai 2004

    menggantikan B.J. Habibie.

    Beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh Habibie tampaknya belum

    memuaskan banyak pihak sehingga banyak anggota MPR/DPR yang di dalam

    Sidang Umum tahun 1999 menolak hasil pertanggungjawaban Habibie, Sehingga

    terjadi perubahan peta politik di mana Habibie mundur setelah

     pertanggungjawabannya ditolak. Akhirnya pencalonan pun terpecah menjadi 2

    kubu yaitu Megawati yang dicalonkan PDI-P dan Gus Dur yang dijagokan oleh

    Poros Tengah.

    Terpilihnya K.H. Abdurrahman Wahid dan Megawati sebagai presiden

    dan wakil presiden dalam sidang umum MPR 1999 memberi harapan yang besar

     bagi bangsa Indonesia. Harapan besar itu pada umumnya bersumber dari

    keinginan kolektif agar kehidupan sosial, ekonomi, dan politik nasional segera

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    12/87

     pulih kembali setelah selama lebih dari 2 tahun bangsa Indonesia terpuruk dilanda

    krisis ekonomi dan politik yang begitu dahsyat. Ada sejumlah faktor mengapa

    harapan masyarakat sangat besar terhadap duet kepemimpinan Gus Dur-Mega.

    Pertama, kecuali Soekarno-Hatta yang dipilih secara aklamasi oleh anggota

    Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), untuk pertama kalinya

    sepanjang sejarah Indonesia merdeka, presiden dan wapres dipilih secara

    demokratis oleh para anggota MPR hasil pemilu 1999 yang relatif damai dan

    demokratis pula. Kedua, K.H. Abdurrahman Wahid dan Megawati merupakan

    kombinasi dari dua golongan bangsa yang terpenting yaitu islam disatu pihak dan

    golongan nasional lainnya.1 

    Harapan itu pun sirna ketika kritikan terhadap pemerintahan Gus Dur

    terjadi sejak ia tidak mampu untuk memperbaiki kondisi negara ini. Kritikan

    terhadap pemerintahannya terjadi sejak Presiden Gus Dur mengumumkan Kabinet

    Persatuan Nasional di mana kekuatannya merupakan hasil kompromi dari partai-

     partai pendukungnya. Namun kabinet yang dikatakan Gus Dur akan lebih ramping

    dari kabinet sebelumnya ternyata jumlah menteri lebih banyak bahkan ada dua

    departemen yang dihapus, yaitu Departemen Sosial dan Departemen Penerangan,

    yang pada masa Soeharto sebagai alat yang efektif untuk mengendalikan

     penerbitan dan pemberitaan dalam media.

    Gus Dur mempunyai daftar panjang yang luar biasa mengenai apa yang

    harus dikerjakan dan masalah apa yang harus dipecahkan. Salah satunya adalah

    mengatasi gerakan separatis di Papua Barat dan Aceh. Sebagai presiden, Gus Dur

    terus mengadakan pertemuan dengan pemimpin-pemimpin Aceh dalam

    1  Riza Sihbudi et.al, Bara Dalam Sekam: Identifikasi akan Masalah dan Solusi atasKonflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau, (Bandung: Mizan 2001), h. 17

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    13/87

    menegosiasikan suatu penyelesaian. Tapi sayangnya masalah yang ada di Aceh

    tidaklah semudah yang diperkirakan. Dalam menghadapi tuntutan rakyat Aceh

    yang meminta referendum dalam hitungan minggu, Gus Dur mencoba mengulur

    waktu. Dengan berbuat demikian ia masuk dalam suatu pola sikap yang

    merugikan posisinya sebagai presiden.2 

    Kebijakan Gus Dur dalam menangani konflik pemerintah dengan GAM

    dan OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang cenderung lebih lunak dan toleran

    seperti kebijakannya yang mengijinkan OPM mengibarkan bendera bintang kejora

    dan bahkan ia memberi sumbangan untuk kongres rakyat Papua. Ini berdampak

    negatif dan menjadi bumerang bagi keutuhan NKRI, karena kesempatan tersebut

    digunakan OPM sebagai sarana sosialisasi gagasan dan Konsolidasi gerakan

     pemisahan diri.3  Kemudian kebijakannya di Aceh dengan memberikan jeda

    kemanusian di Aceh dan memberikan janji kepada GAM untuk melakukan

    referendum di Aceh. Ia berkeinginan agar setiap penyelesaian konflik ini

    dilakukan secara dialogis dan bukan dengan kekerasan.

    Sehari setelah terpilih menjadi presiden, Gus Dur berjanji untuk

    menjanjikan Aceh sebagai kunjungan perdananya dengan sasaran penyelesaian

    kasus Aceh yang sudah berkepanjangan itu. Janjinya tersebut ternyata beralih arah

    dari ujung barat pulau Sumatera ke luar negeri untuk mengunjungi beberapa

    negara seperti Singapura, Cina, Amerika, Malaysia dan negara-negara di Timur

    Tengah. Yang lebih menarik lagi adalah dalam perjalanannya itu sang presiden

    dengan tegas mengatakan di dalam buku Tamaddun dan Sejarah bahwa “kalau

    untuk Timor Timur bisa diberikan referendum dengan opsi gabung atau pisah

    2  Kompas, 22 April 20003  Budiarto Danudjaja, Hari-Hari Indonesia Gus Dur , (Jakarta: Galang Pres, 1999), h. 152

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    14/87

    dengan Indonesia, kenapa untuk Aceh tidak bisa”. Janji ini menjadi obat mujarab

     bagi bangsa Aceh. Tidak lama kemudian, setelah kembali dari keliling dunia, Gus

    Dur kembali memutarbalikan janji dan fakta yang sudah ada. Gus Dur tetap akan

    memberikan referendum untuk Aceh akan tetapi dengan opsi otonomi luas dan

    sempit. Disini nampak sekali bahwa presiden sepertinya hendak mempermainkan

    istilah referendum yang sudah dikenal luas sebagai sebuah solusi untuk

    menentukan sikap, apakah tetap bergabung dengan negara tersebut atau pisah

    untuk waktu yang tidak terbatas.4 

    Semenjak menjadi presiden, Gus Dur sesungguhnya memiliki sejarah

     besar membangun demokrasi, kebebasan pers dan berbicara tentang perjuangan

    hak-hak kaum minoritas. Gus Dur selama berkuasa (1999-2001) telah

    memberikan wacana yang menarik bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.

    Paling tidak selama kurang dua tahun banyak sekali sumbangan Gus Dur bagi

     bangsa. Bahkan proyek Desakralisasi Istana, Supremasi Sipil, Konflik dengan

     parlemen menjadi wacana yang menakjubkan dimasanya.5 

    Gus Dur menjadi sosok paling unik, khas dan cukup fenomenal. Tidak saja

    dalam jagat organisasi NU, tetapi juga jagat ke-Indonesiaan. Unik, khas dan

    fenomenal karena dalam diri Gus Dur melekat sejumlah predikat yang cukup

     beragam dari budayawan, agamawan, intelektual sampai pada politikus.6 

    Untuk itu penulis berusaha mengkaji kebijakan politik Gus Dur selama ia

    menjabat sebagai presiden RI dan hanya terfokus kepada kebijakannya terhadap

    referendum Aceh. Dengan ini penulis mengajukannya sebagai karya ilmiah skripsi

    4

      Hasanuddin Yusuf Adan, Tamaddun dan Sejarah: Etnografi Kekerasan di Aceh,(Jogjakarta: Prisma Sophie Press, 2003), h. 162-163

    5  Khamami Zada, ed.  Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan, (Jakarta:LAKPESDAM, 2002), h. 7

    6  Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur , (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2004), h. 67

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    15/87

    dengan judul: “Kebijakan Politik Gus Dur Sebagai Presiden RI ke-4

    Terhadap Referendum Aceh”.

    B. 

    Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

    1. 

    Identifikasi Masalah

    Masalah pokok yang menjadi dasar pikiran dari penulisan ini

    adalah, apa latar belakang diadakannya referendum Aceh? Siapa sajakah

    yang berperan penting dalam referendum Aceh? Bagaimana langkah untuk

    menuju referendum Aceh? Bagaimana langkah politik Gus Dur dalam

    menghadapi referendum Aceh? Adakah unsur-unsur lain yang terkait

    dengan diadakannya referendum Aceh selain unsur politik? Bagaimana

    implikasi dan reaksi terhadap referendum Aceh? Apakah tercetusnya

    referendum Aceh hanya diwakili oleh kaum elit atau masyarakat

    seluruhnya? Apakah referendum Aceh efektif untuk penyelesaian masalah

    di Aceh?

    2. 

    Pembatasan Masalah

    Masalah atau pertanyaan tersebut penting untuk dicermati akan

    tetapi skripsi ini hanya akan membatasi pada latar belakang diadakannya,

    langkah menuju referendum Aceh, langkah politik Gus Dur dalam

    menghadapi referendum Aceh, serta reaksi dan implikasi diadakannya

    referendum Aceh.

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    16/87

    3. 

    Perumusan Masalah

    Adapun perumusan masalahnya adalah:

    a. 

    Apa yang melatarbelakangi dilaksanakannya referendum Aceh?

     b.  Bagaimana langkah menuju referendum Aceh?

    c.  Apa saja langkah Politik Gus Dur dalam menghadapi referendum

    Aceh?

    d.  Bagaimana implikasi dan reaksi terhadap tercetusnya referendum

    Aceh?

    C.  Tujuan dan Manfaat Penulisan

    1. 

    Tujuan Penulisan

    Sesuai dengan perumusan masalah yang telah penulis sampaikan,

    maka tujuan diadakannya penulisan ini adalah:

    a.  Untuk mengetahui latar belakang lahirnya referendum Aceh

     b.  Untuk mengetahui langkah-langkah politik menuju referendum Aceh

    yang dilakukan oleh Gus Dur?

    c.  Untuk mengetahui implikasi dan reaksi yang ditimbulkan dengan

    adanya referendum Aceh

    2. 

    Manfaat Penulisan

    Menambah khazanah keilmuan mengenai suatu kebijakan maupun

    mengenai suatu tuntutan referendum.

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    17/87

    D. 

    Metodologi Penelitian

    Dalam mengkaji permasalahan di atas penulis menggunakan metode:

    1. 

    Teknik Pengumpulan data

    Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini, ditinjau dari jenis datayang diperoleh adalah jenis metode penelitian kepustakaan atau libraryresearch, dengan cara meneliti berbagai sumber buku, majalah, surat kabar danlainnya, di berbagai perpustakaan antara lain Perpustakaan Utama UIN,Perpustakaan Iman Jama, Perpustakaan PBNU, Perpustakaan DPR/MPR,Perpustakaan Nasional, Wahid Institute serta perpustakaan umum lainnya yangtentu mempunyai data yang berkaitan dengan karya tulis ini. Selain itu juga penulis melakukan wawancara untuk melengkapi data-data yang telah ada.

    2. 

    Metode analisa data

    a. 

    Heuristik

    Setelah semua data terkumpul, langkah selanjutnya yang

    dilakukan oleh penulis adalah memilih data yang memang sesuai

    dengan topik. Dari data yang telah terkumpul dari berbagai sumber,

    kemudian ditelaah kembali dan diklasifikasikan serta disusun sesuai

     jenisnya.

    b. 

    Kritik sumber

    Yaitu mencari kevaliditasan sumber sejarah atau informasi

    dengan kata lain penulis akan menilai, menguji, dan menyeleksi

    sumber sejarah yang otentik dan relevan. Sumber-sumber yang telah

    didapat kemudian akan diverifikasi keabsahannya melalui kritik intern

    dan ekstern.

    c. 

    Interpretasi

    Memberikan penafsiran terhadap fakta sejarah dengan cara

    menerangkan peristiwa yang telah terjadi dan mengaitkannya dengan

    sumber sejarah yang didapat dari pengumpulan data tersebut.

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    18/87

    3. 

    Teknik Penulisan

    Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku pedoman penulisan

    skripsi, tesis, dan disertasi UIN Jakarta tahun 2007 cetakan kedua.

    E. 

    Survei Pustaka

    Pembahasan tentang Aceh telah banyak dilakukan, karya tersebut antara lain:

    1.  Bara Dalam Sekam

    Buku ini,7 membahas mengenai pencarian akar masalah dan solusi atas

    gejolak serta ledakan kekerasan di sejumlah daerah rawan konflik di tanah

    air, dalam bahasan ini yaitu Aceh, Maluku, Riau dan Papua. Keempat

    daerah yang disorot di sini telah mengalami konflik dan gejolak lokal

    dengan intensitas persoalan yang paling mendasar dari berbagai konflik

    dan gejolak lokal tersebut.

    2.  Tamaddun dan Sejarah

    Buku ini,8 membahas tentang kondisi histories-sosiologis Aceh sejak

    masa awal berdirinya, mengungkapkan tentang keinginan besar Aceh

    dengan berkiblat kepada adat istiadat, budaya, tradisi keagamaan, selain

    itu buku ini juga membahas tentang politik yang merujuk kepada prinsip

    dan asas-asas politik Islam yang masih dalam koridor ke-Aceh-an. Di buku

    7  Riza Sihbudi, et.al,  Bara Dalam Sekam: Identifikasi akan Masalah dan Solusi atasKonflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau, (Bandung: Mizan, 2001)

    8  Hasanuddin Yusuf Adan, Tamaddun dan Sejarah: Etnografi Kekerasan di Aceh,(Jogjakarta: Prisma Sophie Press, 2003)

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    19/87

    ini penulis ingin menyajikan fakta dan keinginan yang sebenarnya dari

    masyarakat yang sudah lama terkungkung dalam ketidakjelasan dan

    ketidakadilan hidup seperti dalam hal pembagian pengolahan sumber daya

    alam Aceh serta budaya kekerasan sampai saat itu. Masalah Aceh

    membutuhkan penanganan yang khusus dan berkelanjutan.

    3. 

    Aceh Win-Win Solution

    Buku ini,9 menceritakan tentang bagaimana solusi atau penyelesaian

    tentang konflik-konflik di Aceh, setelah Indonesia merdeka, rakyat Aceh

    merasa dikhianati dan bahkan dilupakan. Tuntutan mereka untuk

    mendirikan provinsi tersendiri dengan status daerah istimewa ditolak

     pemerintah pusat. Kekecewaan telah dialami Aceh, termasuk

     pemberlakuan DOM dan berbagai pelanggaran HAM. Karena itu buku ini

    membahas mengenai bagaimana mencari solusi terhadap peristiwa-

     peristiwa tersebut, dari mulai penyelesaian Aceh secara damai atau melalui

    dialog.

    Dari tiga buku di atas dapat diambil persamaannya yaitu

     bagaimanakah seharusnya penyelesaian terhadap kasus Aceh tersebut, di

    dalamnya termasuk opsi otonomi ataupun referendum. Yang membedakan

    antara skripsi ini dengan buku-buku tersebut adalah bagaimana kebijakan

    Presiden Gus Dur saat itu dalam menghadapi isu referendum Aceh

    tersebut.

    F. 

    Sistematika Penulisan

    9  Musni Umar. ed, Aceh Win-Win Solution (Jakarta: Forum Kampus Kuning, 2002)

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    20/87

    Untuk memudahkan penulisan maka diperlukan sistematika penulisan.

    Untuk itu penulis membagi materi ke dalam beberapa bab yaitu,

    Bab I : Bab ini terdiri dari pendahuluan, meliputi: latar belakang masalah, identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, metodologi penelitian, survei pustaka, dan sistematika penulisan.

    Bab II : Pada bab ini penulis mulai melakukan pembahasan mengenai biografi

    Gus Dur meliputi: latar belakang keluarga dan pendidikan, prestasi dan

    karya-karya tulis Gus Dur, Gus Dur sebagai presiden.

    Bab III : Gambaran umum tentang Aceh, meliputi: geografi dan demografi

    Aceh, keadaan sosial dan budaya serta perjalanan politik Aceh pasca

    kemerdekaan.

    Bab IV : Munculnya referendum Aceh, yaitu latar belakang dilaksanakannya

    referendum Aceh, langkah menuju referendum Aceh, kebijakan politik

    Gus Dur dan implikasi dan reaksi dilaksanakannya referendum Aceh

    Bab V : Penutup yang berisikan kesimpulan dan saran.

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    21/87

    BAB II

    BIOGRAFI GUS DUR

    A. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan

    Gus Dur panggilan akrab K.H. Abdurrahman Wahid lahir dengan nama

    Abdurrahman Ad-dakhil pada tanggal 4 Agustus 1940 di Denanyar Jombang Jawa

    Timur, ia anak pertama dari enam bersaudara. Ayahnya K.H. Abdul Wahid

    Hasyim, adalah putra K.H.Hasyim Asy’ari, pendiri Pondok Pesantren Tebu Ireng

    dan pendiri Jam’iyah Nahdhatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia,

     bahkan barangkali juga di dunia, melalui jumlah anggota sedikitnya 40 juta orang.

    Ibunya Hj. Sholehah, juga putri tokoh besar NU, K.H. Bisri Syamsuri, pendiri

     pondok pesantren Denanyar Jombang dan Rois Aam Syuriah PBNU setelah K.H.

    Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian secara genetik, Gus Dur memang

    keturunan darah biru dan jika meminjam istilah Clifford Geertz, ia tergolong

    seorang santri dan Priyayi sekaligus, baik dari trah ayah maupun ibu, Gus Dur

    sosok yang menempati strata sosial tinggi dalam masyarakat Indonesia. Gus Dur

    adalah cucu dari dua ulama terkemuka NU dan tokoh besar bangsa Indonesia.10 

    Meski demikian, sejarah hidup Gus Dur tidak mencerminkan kehidupan

    seorang ningrat. Dia berproses dan hidup sebagaimana layaknya masyarakat

    kebanyakan. Gus Dur kecil belajar di pondok pesantren. Dalam usia lima

    tahun, ia sudah lancar membaca Al-Qur’an, gurunya waktu itu adalah

    kakeknya sendiri K.H.Hasyim Asy’ari. Pada masa kecilnya, Gus Dur tidak

    seperti kebanyakan anak-anak seusianya. Ia lebih memilih tinggal bersama

    10  Tim Incres,  Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur , (Bandung: Remaja Rosdakarya 2000), h. 4

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    22/87

    kakeknya daripada bersama ayahnya. Berkat tinggal bersama kakeknyalah Gus

    Dur banyak mengenal tokoh-tokoh penting politik.

    Masa kecilnya ia lewatkan di kawasan Menteng, Jakarta. Disini, antara lain ia

     bertetangga dengan keluarga Prof. Rooseno, dan Toeti Heraty, (salah seorang

    anak Prof Rooseno), teman Gus Dur semasa kecil. Selain itu, seraya belajar di

    sekolah SD umum, Gus Dur juga dikirim ayahnya untuk mengikuti les privat

     bahasa Belanda kepada seorang warga Jerman yang masuk Islam, Willem

    Buhl, yang mengganti namanya menjadi Iskandar. Inilah yang mengantarnya

    ke khazanah musik klasik, karena lagu-lagu itu diputar untuk mempermudah

     pelajaran bahasa Belandanya.

    Selanjutnya pada April 1953, ketika itu Gus Dur berumur 13 tahun, Gus Dur

    harus sudah kehilangan ayahnya, dan hidup sebagai anak yatim. Wahid Hasyim

    ayahandanya meninggal dunia pada usia 38 tahun karena kecelakaan kendaraan.

    Pada saat itu Gus Dur melakukan perjalanan menggunakan kendaraan bersama

    ayahnya. Ia berada di depan dan ayahnya berada di belakang. Ketika mobilnya

    terbalik, ayahnya terlempar keluar dan terluka parah. Sehari kemudian ia

    meninggal dunia.11 

    Lepas SD, Gus Dur masuk sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di

    Jakarta, namun itu hanya berlangsung satu tahun. Sebab tahun berikutnya, ia

    dikirim ke pesantren Krapyak. Namun rupanya ia tidak betah di pesantren itu. Gus

    Dur masih ingin melanjutkan pelajarannya di sebuah SMEP yang dikelola gereja

    katolik setempat. Maka ia pun pindah ke Jogjakarta, dan kos di rumah K.H.Junaid,

    seorang guru SMEP sekaligus pemimpin Muhammadiyah di kota itu. Setelah

    11  Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 2005), h. 339-340

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    23/87

     paginya mengaji kepada Kiai Ma’sum di pesantren Krapyak, siangnya sekolah di

    SMEP, malamnya berdiskusi mengenai berbagai hal dengan K.H.Junaid dan

    anggota Muhammadiyah. Di Jogjakarta, kebiasaan membacanya mulai meningkat.

    Disinilah ia mulai belajar bahasa Inggris. Karya sastrawan dunia, seperti

    Hemingway, Steinbeck, Malraux atau Faulkner sudah dibacanya. Sementara

    Sumantri, anggota PKI yang menjadi salah seorang gurunya memberikan buku-

     buku Marxis-Lennis. Maka, selain  Das Kapitas, dalam usia remaja itu, ia juga

    sudah membaca What Is To Be Done, petunjuk praktis Lennin tentang bagaimana

    melakukan revolusi.12 

    Setelah menamatkan pendidikannya di SMEP, Gus Dur banyak

    menghabiskan waktunya untuk belajar di berbagai pesantren yang berada di

     bawah naungan NU. Pada mulanya ia mondok di Tegal Rejo Magelang (1957-

    1959). Selama ia di pesantren ini, Gus Dur menunjukkan bakat dan kemampuan

    dirinya dalam bidang ilmu agama Islam di bawah naungan Kiai Khudori, selain

     belajar ilmu agama Islam, selama di pesantren ini, Gus Dur banyak menghabiskan

    waktunya untuk membaca buku-buku karangan sarjana barat. Kemampuan Gus

    Dur membaca buku-buku barat tersebut jarang dimiliki oleh para santri pada

    umumnya. Melalui belajar secara otodidak ini yang dimulainya sejak usia dini.

    Menyebabkan Gus Dur sudah mengenal karya-karya sastra tingkat dunia,

     pemikiran filsafat karangan tokoh-tokoh terkemuka seperti Karl Marx, Lenin,

    Gramsei, Mao Zedong.

    Selain itu, dari tahun 1959-1963, Gus Dur menimba ilmu di Muallimat

    Bahrululum, Tambak Beras Jombang Jawa Timur. Selanjutnya pada tahun 1964 ia

    12  Forum Keadilan, (30-31 Oktober 1999), h. 70

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    24/87

     berangkat ke Mesir untuk menimba ilmu di Universitas Al-Azhar, Kairo hingga

    tahun 1966. Selama belajar di Mesir, Gus Dur banyak menggunakan waktunya

    untuk menonton film-film terbaik Perancis, Inggris dan Amerika, serta membaca

     buku-buku di perpustakaan Al-Azhar Kairo, hal ini ia lakukan karena ia merasa

    kecewa dengan sistem pengajaran di Al-Azhar yang dinilainya sudah ketinggalan

    zaman.13 

    Tidak cocok dengan atmosfer dunia intelektual di tempat belajarnya yang

    menekankan pada metode hapalan, Gus Dur justru banyak belajar secara mandiri

    (otodidak), saat itu ia banyak menghabiskan waktu di salah satu perpustakaan

    terlengkap di kota Kairo, yaitu American University Library. Dari Kairo, ia

     pindah ke Baghdad Gus Dur justru bukan memperdalam studi-studi keislaman,

    akan tetapi mempelajari sastra dan kebudayaan Arab, Filsafat Eropa dan Teori

    Sosial.14

     

    Perjalanan panjang Gus Dur di luar negeri berakhir pada tahun 1971, ketika

    akhirnya dia harus kembali kepangkuan ibu pertiwi di pondok pesantren. Gus Dur

    menikah dengan Sinta Nuriyah, mereka dikaruniai empat orang anak, Allisa

    Qotrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafsoh, Annita Hayatunnufus dan

    Inayah Wulandari.

    B. Prestasi dan Karya Tulis Gus Dur

    13 Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan, h. 340-34114  Faisal Ismail,  Dilema NU Di Tengah Badai Pragmatisme Politik , (Jakarta: Proyek

    Peningkatan Pengkajian kerukunan Hidup Umat Beragama Puslitbang Kehidupan BeragamaBadan Litbang Agama Dan Diklat Keagamaan Depag RI 2004), H. 190-191

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    25/87

    a. Prestasi Gus Dur

    Setelah Gus Dur kembali ke Indonesia, dengan bekal ijazah S1

    Universitas Baghdad, pada tahun 1972 ia menjadi dosen sekaligus Dekan

    Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy’ari (Unhas) di Jombang hingga

    tahun 1974. Ketika itu pula, ia menekuni kembali bakatnya menulis dan

    menjadi kolumnis. Tahun 1974, Gus Dur diminta K.H.Yusuf Hasyim,

     pamannya untuk membantu di pondok pesantren Tebu Ireng di Jombang. Gus

    Dur menjadi sekretaris umum pondok pesantren Tebu Ireng hingga tahun

    1980. Selama periode inilah secara teratur ia semakin terlibat dalam

    kepengurusan NU dengan menjabat sebagai Wakil Khatib Syuriah PBNU.

    Dari sini Gus Dur mulai sering diundang diskusi-diskusi keagamaan dan

    kepesantrenan di berbagai tempat, dalam maupun luar negeri. Gus Dur pun

    kemudian terlibat dan terjun di dunia LSM, menjadi tenaga pengajar pada

     program training-training. Di LP3ES, ia bekerjasama dengan M. Dawam

    Rahardjo, Aswab Mahasin, dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan

    masyarakat pesantren. Kemudian dalam perkembangannya, bersama para kiai

    yang dimotori oleh LP3ES, Gus Dur mendirikan P3M (Perhimpunan

    Pengembangan Pesantren dan Masyarakat).15 Pembentukkan P3M ini berawal

    dari dinamika pemikiran dan keberhasilan program LP3ES selama tahun 70-an

    serta bisa ditariknya Pondok Pesantren dalam proses perubahan sosial dan

     politik. Peranan yang dilakukan P3M salah satunya adalah mendukung

     proyek-proyek pembangunan secara kritis misalnya lewat program KB

    (Keluarga Berencana).

    15  Tim Incres, Beyond The Symbol, h. 19-20

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    26/87

      Setelah pindah ke Jakarta, ia merintis karir sebagai pengasuh pondok

     pesantren Ciganjur. Pada seluruh waktu sepanjang dekade 80-an, Gus Dur

    tampak meyakinkan sebagai seorang pemikir, intelektual, budayawan, dan

    agamawan. Darah seninya yang kental sempat menarik jalan hidupnya, pada

    tahun 1983, Gus Dur ditawari menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ),

    Taman Ismail Marzuki. Tanpa berpikir panjang, tawaran itu pun diterimanya.

    Kemudian ia juga menjadi ketua juri Festival Film Indonesia  (FFI), 1986-

    1987, itulah awal aktualisasi perjalanan kebudayaan Gus Dur. Keputusan

    tersebut mendapat reaksi dari para kiai NU, akan tetapi ia tetap menerimanya,

    karena memang Gus Dur sangat menyenangi bidang kesenian terutama

     perfilman. Pada tahun 1984, ia terpilih sebagai Ketua Umum PBNU 1984-

    1999.

    Selain itu Gus Dur menduduki jabatan sebagai salah seorang presiden pada

    Konferensi Dunia Untuk Agama dan Perdamaian (World Council For Religion

    and Peace)  yang berkedudukan di Jenewa, Swiss. Lalu ia menjadi Anggota

    Dewan Pembina Institute Simon Perez yang berpusat di Tel Aviv Israel,

    menurutnya undangan menjadi anggota ini justru menunjukkan penghormatan

     penting bagi NU dan pertanda adanya kesadaran internasional yang sejati,

    keterlibatannya ini membuka jalan untuk memperjuangkan misi islam dan

    sekaligus misi perdamaian di antara sesama umat beragma di dunia.16 

    ketertarikannya terhadap Israel juga terlihat ketika ia menjadi presiden di

    mana ia mengadakan hubungan dagang dengan negara tersebut. Selain itu juga

    Gus Dur menjadi Dewan Penasihat pada  Internasional  Dialoque Foundation

    16  Laode Ida, Gus Dur di antara Keberhasilan dan Kenestapaan, (Jakarta: Raja Grafindo1999), h. 261

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    27/87

    on Perspective Studies of Syariah and Secular Law, di Den Haag Belanda. Di

    Indonesia, selain menjadi pendiri Forum Demokrasi (FORDEM), ia adalah

     penggagas berdirinya Gerakan Anti Diskriminasi (GANDI). Jadi tidak salah

     jika Gus Dur, setelah menjadi presiden, memberikan status yang sama kepada

    umat Konghucu dalam merayakan hari besar mereka. Dalam konteks

     pendirian Fordem awal 1991, di mana Gus Dur menjadi Ketua Umum adalah

    salah satu bukti perhatiannya yang besar terhadap proses demokratisasi.17 

    Sebagai implikasi dari pemikiran dan gerakan sosialnya, Gus Dur pernah

    menerima penghargaan sebagai Man of The Year  1990 dan oleh majalah editor

    Harian Surya Surabaya ia juga pernah diberi gelar Tokoh Terpopuler . Pada

    tanggal 31 Agustus 1993, ia juga memperoleh penghargaan  Magsaysay  dari

    Filiphina. Ini suatu bukti pengakuan nasional dan internasional terhadap peran

    dan kontribusinya dalam proses kebangsaan Indonesia dalam mewujudkan

    masyarakat demokratis, terbuka dan toleran.

    Puncaknya melalui Sidang Umum MPR-RI Oktober 1999, ia terpilih

    sebagai Presiden RI ke-4, saat sekitar sebulan lagi ia akan mengakhiri masa

     jabatannya sebagai Ketua Umum PBNU yang telah dijabatnya selama 15

    tahun.

    18

     

    Dari banyaknya prestasi yang ia raih, Gus Dur ternyata bukan hanya

    seorang agamawan, melainkan ia juga seorang budayawan dan politisi. Ketika

    ia berada di tengah komunitas NU, ia berperan sebagai ulama sekaligus Ketua

    PBNU, ketika ia berada di DKJ, ia berperan sebagai budayawan, dan ketika

    17  Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur , (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2004), h. 85-86

    18  Ahmad Suaedy dan Ulil Abshar Abdalla (ed), Gila Gus Dur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid , (Jogjakarta: LKIS 2000), h. 148

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    28/87

     bersama Megawati, Habibie dan tokoh-tokoh lainnya, ia memainkan peranan

    sebagai politisi. Gus Dur selain seorang intelektual dan seorang pemikir, ia

     juga seorang aktivis organisasi.

    b. Karya Tulis Gus Dur

    Sebagai seorang intelektual, Gus Dur mengkomunikasikan pemikiran-

     pemikirannya lewat tulisan-tulisan dalam berbagai topik yang beberapa di

    antaranya sudah dijadikan buku, sebagian lainnya telah menjadi artikel ilmiah

     bagian dari sebuah buku editorial. Gagasan-gagasan dan sikapnya dalam

    menanggapi persoalan yang berkembang di masyarakat banyak dijumpai

    dalam buku hasil karyanya. Di samping yang termuat di media massa, jurnal

    laporan penelitian atau dapat ditemukan dalam hasil wawancara. Diantara

    karya-karya Gus Dur yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku adalah

    sebagai berikut:

    1. Prisma Pemikiran Gus Dur

    Buku ini,19 tidak menekankan terhadap topik tertentu, tetapi lebih pada

     pemikiran Gus Dur secara umum terkait dengan hubungan agama dan

    HAM. Buku ini berisi 17 artikel yang memuat sejumlah gagasan besar Gus

    Dur tentang perlunya penafsiran kembali ajaran agama dan dialektikanya

    dengan diskursus ke-indonesia-an. Bagaimana seharusnya menempatkan

    ajaran agama dalam konteks pembangunan dan kehidupan berbangsa dan

     bernegara menjadi titik tolak acuan bagi Gus Dur dalam memetakan posisi

    agama dalam diskursus modernitas.

    2. Tuhan Tidak Perlu Dibela

    19  Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur , (Jogjakarta: LKIS 1999), penyunting: M. Shaleh Isre

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    29/87

      Dari judulnya, buku ini20  terkesan provokatif, namun berisi kritik

    mendasar terhadap bangunan pengetahuan, pemikiran dan gerakan yang

    ditampilkan oleh komunitas muslim yang pada saat itu gemar menampilkan

    sosok sektarianisme. Buku ini, merupakan kumpulan tulisan Gus Dur yang

    dimuat di Majalah Tempo pada paro tahun 1980-an. Isi buku ini

    mencerminkan sikap Gus Dur untuk lebih mengedepankan semangat

     persamaan, keadilan dan kemanusiaan serta demokratisasi dalam menyikapi

     berbagai perkembangan dalam konstelasi sosial politik di Indonesia. Sebuah

     buku yang juga menampilkan suatu sikap kearifan hidup untuk tidak banyak

    mencela pemahaman keagamaan orang lain, sekaligus menghormatinya

    dalam kerangka demokratisasi dan hak asasi manusia.

    3.  Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman: Kumpulan Pemikiran K.H.

    Abdurrahman Wahid Presiden RI ke-4

    Buku ini,21 menceritakan tentang pemikiran-pemikiran Gus Dur yang

    terekam dalam harian Kompas. Buku ini merupakan upaya memahami

    ucapan, pemikiran, dan kiprah Gus Dur secara rasional dan mengambil

     pelajaran dan kritik atasnya. Buku ini menghimpun pemikiran Gus Dur

    sekitar soal-soal agama Islam dan negara. Pemikiran tentang sikap soal

    kepemimpinan politik, serta kepemimpinan dalam bidang moral, spiritual

    yang sudah melewati wacana NU. Dalam buku ini juga berisi tentang ajakan

    Gus Dur untuk membangun tradisi politik yang demokratis dan demokrasi di

    Indonesia. Selain itu buku ini juga berisi pemikiran Gus Dur sekitar politik

    20

     Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Jogjakarta: LKIS 1999), penyunting:M. Shaleh Isre

    21 Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman: Kumpulan PemikiranK.H.Abdurrahman Wahid Presiden RI ke-4, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 1999) penyunting: Frans M. Parera dan T. Jakob Koekerits

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    30/87

    Indonesia kontemporer, kepemimpinan politik, hubungan antara individu

    dan negara, masalah HAM, dwifungsi ABRI dan pengembangan demokrasi.

    C. Gus Dur Sebagai Presiden

    Mundurnya Soeharto sebagai Presiden RI ke-2 untuk masa jabatan yang

    ketujuh pada tanggal 21 Mei 1998, adalah tonggak sejarah yang sangat

    menentukan bagi perjalanan bangsa negara ini ke masa depan. Pada tanggal itu

     juga merupakan waktu yang sangat bersejarah, karena terjadi proses peralihan

    kekuasaan dari orang kuat Indonesia, Presiden Soeharto kepada Wakil Presiden

    B.J. Habibie. Habibie disumpah menjadi Presiden ke-3 di tengah persoalan bangsa

    yang sangat berat, dan dipundaknya telah ada beban untuk melaksanakan agenda

    reformasi yang menjadi tuntutan bangsa, dari mulai memberantas KKN sampai

     perbaikan krisis ekonomi.22 

    Di bawah kepemimpinan Habibie, ternyata rakyat belum puas akan

    kinerjanya. Pada tanggal 10 November 1998, demonstrasi yang didominasi oleh

    mahasiswa menuntut agar Habibie segera menyerahkan kekuasaan kepada

     pemerintahan transisi yang dipimpin oleh Presidium kepemimpinan pro-reformasi

    yang terdiri atas Megawati (PDI-P), Gus Dur (PKB), Amien Rais (PAN), Uskup

    Belo dan Sultan Hamengkubuwono X.23 

    Selanjutnya, pemilihan umum pun dilakukan. PDI-P di bawah pimpinan

    Megawati berhasil menduduki peringkat pertama, mengalahkan Golkar yang

    selama Orde Baru memimpin perolehan suara. Tempat ketiga dan keempat

    22 Sudarno Shobron, Muhammadiyah dan NU Dalam Pentas Politik Nasional, (Surakarta:Muhammadiyah University Press, 2003), h. 111-117

    23 Chriss Manning dan Peter Van Diermen,  Indonesia di Tengah Transisi:Aspek-AspekSosial dari Reformasi dan Krisis, (Yogyakarta: LKIS, 2000), h. 21

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    31/87

    diduduki oleh PKB yang diketuai oleh Matori Abdul Djalil dan PPP yang

    dipimpin oleh Hamzah Haz. Urutan selanjutnya ditempati oleh PAN pimpinan

    Amien Rais, yang akhirnya membawa ia untuk menduduki jabatan Ketua MPR.

    Penyusunan pemerintahan menjadi tugas Presiden yang akan dipilih oleh MPR

    dengan 700 anggotanya dalam bulan Oktober 1999. Oleh karena itu, lama

    sebelum hasil pemungutan suara diumumkan pada tanggal 1 September, pusat

     perhatian para pemimpin partai bergeser. Kalau semula mereka mengupayakan

    dukungan rakyat, sekarang mereka beralih ke perundingan di antara mereka untuk

    menjajaki bersama kemungkinan perlunya koalisi. Sepanjang hampir seluruh

    kurun waktu antara pemilihan umum dan pemilihan presiden, calon yang berada

     paling depan menuju kursi kepresidenan adalah calon dari Golkar, Habibie dan

    calon dari PDI-P Mega. Mula-mula Megawati mengandalkan dukungan PKB dan

    PAN, mitra-mitra PDI-P dalam koalisi informal yang muncul dari apa yang

    disebut Komunike Paso  tanggal 18 Mei, sementara Habibie bersandar pada

    dukungan PPP dan militer, dan menyebut Wiranto sebagai Wapres yang

    cenderung dipilihnya nanti.

    Perkembangan terpenting dalam bulan-bulan setelah pemilihan umum

    adalah kemunculan apa yang disebut Poros Tengah, sebuah aliansi partai-partai

    muslim yang dirintis oleh Hamzah Haz dan diumumkan oleh Amien Rais pada

    tanggal 20 Juli 1999. Logikanya ialah bahwa dengan jumlah gabungan sebesar

    sekitar 200 kursi di MPR, partai-partai muslim dapat menandingi Golkar atau

    PDI-P, sehingga berposisi untuk menempatkan calonnya di Istana. Calon yang

    disepakati ialah Abdurrahman Wahid. Selain itu, Golkar sendiri jauh dari utuh.

    Fraksi reformis pimpinan Akbar Tanjung dan Marzuki Darusman tidak gembira

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    32/87

    dengan pencalonan Habibie. Ini membuat Marzuki mengajukan tawaran sejumlah

    nama lain untuk dicalonkan menjadi Presiden, di dalamnya terdapat beberapa

    nama termasuk Jendral Wiranto, yang waktu itu menjabat sebagai Panglima TNI

    dan Menteri Pertahanan dan Keamanan Nasional. Muncul juga spekulasi bahwa

    fraksi Akbar akan bergabung dengan Megawati untuk memagari kemungkinan

     bahwa fraksi Poros Tengah yang muslim akan mengambil kekuasaan.

    Dalam suasana SI MPR yang digelar di bawah pimpinan Amien Rais,

    Sidang menolak pertanggungjawaban presiden RI ke-3 Prof B.J Habibie, dan

    setelah itu Golkar kehilangan calon presidennya. Kemudian Golkar memberi

    suara untuk suara untuk beralih kepada Gus Dur, daripada memilih Megawati.

    PAN yang didirikan Amien Rais bersama PK yang bernuansa Islam membentuk

    fraksi reformasi, lalu mereka mengusung Gus Dur ke kursi presiden.24 

    Pidato pertanggungjawaban Habibie ditanggapi skeptis jauh sebelum

    dibacakan. Pertanggungjawaban Habibie itu telah dinilai secara apriori oleh

    sebagian fraksi dan anggota MPR bahkan sebelum Presiden Habibie

    menyampaikan laporannya ada pihak-pihak di MPR yang menolak pidato

     pertanggungjawaban tersebut, padahal mereka belum melihatnya.25 

    Pidato pertanggungjawaban Habibie ditolak dikarenakan berbagai alasan

    salah satunya adalah kebijakannya terhadap Timor Timur untuk referendum yang

    akhirnya Timor Timur pisah dari Indonesia, lambannya ia dalam mengadili

    mantan Presiden Soeharto dan tidak meningkatnya perekonomian Indonesia.

    Akhirnya Golkar menarik Habibie dari persaingan pemilihan Presiden, tempat Habibie digantikan oleh AkbarTanjung yang ketika itu telah menjabat sebagai Ketua DPR. Akan tetapi, karena menyadari bahwa Akbar bukan calon yangkemungkinan besar untuk berhasil, maka baru beberapa jam Golkar sudah menarik kembali calonnya dan menyalurkan

    24  Inu Kencana,et.al , Sistem Politik Indonesia, (Bandung: Refika Aditama 2006), h. 52-53

    25  Azyumardi Azra,  Islam Substantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih, (Bandung: Mizan,2000), hal 339

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    33/87

    seluruh dukungannya kepada satu-satunya calon dari Poros Tengah Abdurrahman Wahid. Setelah bergabungnya Golkar,Amien menghubungi Gus Dur dan ternyata Gus Dur menyetujui untuk terus lanjut ke pemilihan kursi Presiden.

    Gus Dur memang relative diterima semua pihak dan yang lebih penting lagi,

    rupanya ia telah mendapat restu dari K.H. Abdullah Faqih pemimpin Pondok

    Pesantren Langitan Tuban yang sangat disegani warga NU. Restu ini membuat

    fraksi PKB, yang sebelumnya mendukung Megawati, berpindah dan menyokong

    sepenuhnya kepada Gus Dur. Gedung MPR 20 Oktober 1999, Sidang Umum

    MPR berujung dramatis. Gus Dur yang dikenal sebagai Ketua Umum PBNU

    terpilih menjadi Presiden RI. Ia mengalahkan Megawati, Ketua Umum PDI-P.

    Sebanyak 373 dari 691 anggota MPR memberikan suaranya untuk Kiai tersebut.

     Naiknya Gus Dur tak lepas dari faktor Poros Tengah yang dimotori oleh Amien

    Rais.

    Gus Dur yang menggantikan Habibie karena pertanggungjawabannya

    ditolak dalam sidang umum MPR, mengemban estafeta kepemimpinan nasional

    yang tidak ringan. Gus Dur dihadapkan dengan persoalan bangsa yang menuntut

    untuk secepatnya dicarikan jalan keluarnya, sehingga Indonesia dapat bangun dari

    keterpurukannya dalam bidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya. Warisan

    kemiskinan, pemutusan hubungan, kemerosotan nilai tukar rupiah, hutang luar

    negeri satu sisi, dan sisi lain tuntutan agenda reformasi harus sama-sama

    mendapat perhatian yang serius.

    Harapan perbaikan ekonomi di tangan Gus Dur sangat besar, karena ia

    dipilih secara demokrasi dan dinilai proses sidang pemilihannya transparan,

    diliput oleh media dalam dan luar. Namun harapan itu hanyalah tinggal harapan,

    karena presiden baru ini tidak mengetahui apa yang diderita rakyatnya, merasa

    tidak mempunyai beban, maka langkah-langkah yang diambil bukan mengarah

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    34/87

     pada pemulihan ekonomi, sebaliknya malah memperparah ekonomi. Pada bulan

     pertama pemerintahan Gus Dur, yang seharusnya menyamakan persepsinya

    dengan kabinet terutama tim ekonominya, dalam mencari solusi dari krisis

    ekonomi, tidak dimanfaatkan Gus Dur, sebaliknya malah membuat statement-

    statement yang merusak pasar. Salah satu contohnya adalah Gus Dur ingin

    membuka hubungan dagang dengan Israel di mana banyak kalangan yang

    menentang terutama dari kalangan Islam. Karena protes tersebutlah menyebabkan

     berkurangnya investor asing yang datang ke Indonesia.

    Seperti yang diungkapkan oleh Riza Sihbudi kepada majalah Forum

    Keadilan, Gus Dur tetap ingin membuka hubungan dagang dengan Israel, yang

    terbukti justru membangkitkan protes-protes dari kalangan masyarakat Islam. Jika

    aksi itu semakin luas, tampaknya tidak ada investor asing yang mau datang ke

    Indonesia. Padahal menurut Menlu Alwi Shihab yang menjabat pada saat itu,

     pembukaan hubungan dagang dengan Israel dimaksudkan untuk menarik para

    investor besar Amerika yang umumnya keturunan Yahudi.26 

    Masalah ekonomi memang sangat rumit, berkali-kali Gus Dur mengatakan

     bahwa perekonomian Indonesia akan pulih dalam beberapa bulan, bahkan terakhir

    ia mengatakan pada tahun 2004 nanti GDP Indonesia akan mencapai US$ 5.000

     per orang, nyatanya rupiah terus terpuruk, inflasi melambung dan lebih-lebih lagi

    hutang terus bertumpuk. Rakyat tidak lagi dapat diberi janji, mereka perlu visi dan

    langkah nyata.27 

    26 Riza Sihbudi. “Politik Luar Negeri Gus Dur,” Forum Keadilan, 21 November 1999, h.11

    27  Ira Rakhmawati, Surat Terbuka Kepada Gus Dur, Mbak Mega, Mas Amien, Bang Akbar dengan Elite Politik Lainnya: Dari anak bangsa, (Jakarta: Bina Pariwara, 2001), h. 21

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    35/87

    Memang, setelah Gus Dur menduduki kursi kepresidenan, pemerintahannya

    segera diwarnai oleh perseteruan keras di antara berbagai unsur kabinet dalam

    memperebutkan kontrol atas lembaga-lembaga strategis. Hal yang tidak kalah

     penting, adalah keterlibatan dirinya dalam sejumlah skandal yang berkaitan

    dengan mobilisasi terselubung dana-dana politik. Dua skandal yang menonjol

    adalah mobilisasi persediaan dana politik melalui penggunaan uang dari dana

     pensiun pegawai badan logistik negara, serta rekening hibah illegal dari Sultan

    Brunei yang masing-masing populer dengan sebutan Bullogate dan Bruneigate.28 

    Kritik kepada presiden juga mengarah kepada kebijakan politiknya meski

     beberapa di antaranya masih dalam taraf ide atau gagasan yang dianggapnya

    hanya membuat kontroversi. Mengenai kunjungan-kunjungannya ke luar negeri

    yang terlalu sering dan memakan waktu cukup lama, telah dianggap pemborosan.

    Kemudian, bahwa kabinetnya yang mengakomodasikan banyak partai,

    sebagaimana sebelum diramalkan banyak orang akan sangat resisten bagi

    munculnya konflik internal, mulai memperlihatkan tanda-tanda. Belum genap tiga

     bulan usia kabinetnya, satu personel telah jadi korban. Hamzah Haz, yang karena

    dugaan kuat terlibat dalam money politic menjelang pemilihan presiden dalam SU

    MPR 1999, harus diberhentikan di tengah jalan. Padahal, presiden sendiri telah

    dengan tegas saat pelantikan kabinetnya menyatakan tidak ada rencana untuk

    melakukan resuffle.29 

    Kepercayaan terhadap Gus Dur mulai turun, karena ketidakmampuannya

    memberantas KKN, ditambah perilaku ekonomi yang ia lakukan. Selain dari

    28  Vedi.R.Hadiz,  Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto, (Jakarta: LP3ES 2005), h.

    29  Khamami Zada (ed),  Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan, (Jakarta:LAKPESDAM 2002), h. 38-39

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    36/87

    ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan Gus Dur, orang-orang kabinet pun

    merasa tidak puas terhadap kinerja Gus Dur. Banyak kalangan mengatakan bahwa

    Gus Dur berjalan sendiri. Gus Dur mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang

    kurang menguntungkan kelompok partai tertentu, terutama terhadap partai-partai

    Poros Tengah atau pun partai Golkar, yang membuat menteri-menteri dari partai-

     partai itu bekerja setengah hati. Mereka tidak berada dalam situasi psikologis yang

    nyaman di dalam kabinet karena adanya pernyataan-pernyataan Gus Dur yang

    tidak jelas ujung pangkalnya. Sepeti tuduhannya terhadap beberapa menteri yang

    diduga terlibat KKN.

    Gus Dur mengeluarkan pernyataan tersebut di hadapan masyarakat dan

    mahasiswa Indonesia di Salt Lake City, Amerika, ketika ia berkunjung ke negara

    tersebut pada November 1999. Di antara nama-nama tersebut adalah, Menteri

    Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra, Menteri Koordinator

    Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan Hamzah Haz, Menteri Tenaga

    Kerja Bomer Pasaribu dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Yusuf Kalla.30 

    Pada waktu Gus Dur menjadi presiden, disintegrasi bangsa semakin terbuka

    dengan dibiarkannya beberapa daerah menyuarakan keinginan untuk

    memisahkan diri dari NKRI, misalnya Riau, Jatim, Madura, Aceh, Irian Jaya.

    Pemicunya adalah lepasnya Timtim. Kecenderungan Gus Dur yang berjalan

    sendiri tanpa dipertimbangkan dampaknya bagi masyarakat luas, misalnya

     perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, toleransi pengibaran bendera

     bintang kejora oleh Presiden merupakan langkah yang kontraproduktif. Model

    30  “Tebak-Tebakan ala Gus Dur.” Forum Keadilan, 28 November 1999, h. 18-19

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    37/87

     jalan sendiri ini menguntungkan Gerakan Papua Merdeka, dan menambah

    tugas baru buat aparat keamanan.

    Puncaknya pada Sidang Istimewa (SI) MPR 2001, Gus Dur turun dari kursi Presiden karena di-impeach oleh MPR.Kesalahannya adalah pertama, mengabaikan Memorandum I yang berisikan bahwa presiden telah melanggar UUD 1945 pasal 9 tentang sumpah jabatan dan ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kedua, mengabaikan Memorandum II dimana Gus Dur diberi kesempatanselama satu bulan untuk meperbaiki kinerjanya sebagaimana yang telah diatur dengan ketetapan MPR No III/MPR/1978dan pasal 7 Tap MPR mengatur, apabila dalam waktu satu bulan presiden tidak mengindahkan Memorandum II, DPR dapatmeminta MPR untuk melaksanakan Sidang Istimewa.

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    38/87

    BAB III

    GAMBARAN UMUM ACEH

    A. Geografi dan Demografi

    Aceh atau secara resmi, Nangroe Aceh Darussalam adalah sebuah Daerah

    Istimewa yang terletak di Pulau Sumatra. Secara geografis Aceh terdiri atas 9

    kabupaten, 2 kodya, 3 kotip, 142 kecamatan dan 5463 desa. Luas wilayahnya

    adalah 57,365.57 km per segi atau merangkumi 12.26% pulau Sumatra persegi,

    yang meliputi 119 pulau, 35 gunung, dan 73 sungai dengan status daerah

    istimewa. Aceh terletak di barat laut Sumatra.31 Aceh dikelilingi Selat Melaka di

    sebelah Utara, Provinsi Sumatera Utara di Timur dan Lautan Hindi di Selatan dan

    Barat. Ibukota Aceh adalah Banda Aceh yang dulunya dikenali sebagai Kutaradja.

    Ibukota dan bandar terbesar di Aceh ialah Banda Aceh. Bandar besar lain ialah

    seperti Sabang, Lhokseumawe, dan Langsa.

    Aceh mempunyai lahan hutan terluas yaitu mencapai 39.615.76 km persegi,

    diikuti lahan perkebunan kecil seluas 3.135.22 km persegi, sedangkan lahan

     pertambangan mempunyai luas terkecil yaitu 4,42 km persegi. Aceh mempunyai

    luas perairan 56.563 km persegi yang terdiri dari laut teritorial 23.563 km persegi

    dan perairan laut dalam 33.000 km persegi. Di samping zona ekslusif ekonomi

    (ZEE) 200 mil dari pantai.32 

    Adapun kegiatan dalam bidang perkebunan di daerah ini dapat dibagi

    menjadi 2, perkebunan rakyat dan perkebunan besar. Adapun perincian dari hasil

    31  Riza Sihbudi et.al,  Bara Dalam Sekam:  Identifikasi akan Masalah dan Solusi AtasKonflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau , (Bandung: Mizan 2001), h. 31

    32  Zulkifli Husin, et,al, Keadaan Sosial Ekonomi dan Pengembangan Masyarakat Nelayan di Daerah Istimewa Aceh, (Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala dan Jakarta), h. 8

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    39/87

     perkebunan sebagai berikut: karet, minyak sawit, inti sawit, kelapa, kopi, cengkeh,

     pala, lada dan cokelat.33 

    Aceh yang berada di ujung pulau Sumatera secara historis mempunyai

     peranan penting dalam pelayaran dan perniagaan dunia yang melalui selat Malaka,

     bandar-bandar Aceh menjadi sangat penting sebagai bandar penghubung yang

    melayani kebutuhan perbekalan seperti bahan makanan, air dan keperluan sehari-

    hari. Ini yang menghantarkan Aceh menjadi mahkota alam yang merupakan

     bandar penghubung dalam hal ini jalur pelayaran dagang antara Timur Tengah,

    Eropa, Kerajaan Demak, Brunei, dan Turki Usmani.34 

    Aceh merupakan salah satu provinsi kaya di Indonesia. Tanahnya subur,

     banyak komoditas padi dihasilkan Aceh, tembakau, kelapa sawit, dan kopi.

    Kekayaan mineral juga banyak. Sejak lama, berbagai industri sudah dibangun di

    Aceh. Hasil ladang minyak dan pabrik pupuk Aceh merupakan salah satu sumber

     pendapatan negara. Pantai-pantainya indah dan berbagai kawasan perairan laut

    kaya akan ikan. Di sejumlah pulau kecil di lepas pantai, banyak terdapat hutan

     bakau yang dikelilingi terumbu karang yang indah sehingga cocok menjadi

    kawasan wisata. Pulau-pulau kecil lainnya dipenuhi pohon kelapa yang buahnya

     banyak diperdagangkan ke berbagai wilayah lain.

    Daerah Aceh mempunyai potensi dan sumber daya alam yang cukup besar,

     baik di bidang pertanian, perindustrian, pertambangan maupun pariwisata. Namun

     potensi ini belum banyak dikembangkan karena sulitnya medan dan kurangnya

    sarana dan prasarana lainnya.

    33  Ensiklopedi Indonesia, Seri Geografi, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve 1990), cet 1, h.38

    34  Denys Lombard, Kerajaan Aceh, (Jakarta: Balai Pustaka 1986), h. 96-99

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    40/87

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    41/87

    sehingga belum juga dapat dipasarkan dan dipromosikan ke wisatawan asing

    maupun domestik.37 

    Penduduk Aceh merupakan keturunan berbagai suku kaum dan bangsa.

    Bentuk fisikal mereka menunjukkan ciri-ciri orang Nusantara, Cina, Eropa dan

    India. Leluhur orang Aceh dikatakan telah datang dari Semenanjung Malaysia,

    Cham, Cochin China dan Kamboja. Kumpulan-kumpulan etnik yang terdapat di

    Aceh adalah orang Aceh yang terdapat di merata Aceh, orang Gayo di Aceh

    Tengah, sebagian Aceh Timur, Bener Meriah dan Gayo Lues, orang Alas di Aceh

    Tenggara, orang Tamiang di Aceh Tamiang, Aneuk Jamee di Aceh Selatan dan

    Aceh Barat Daya, orang Kluet di Aceh Selatan dan orang Simeulue di Pulau

    Simeulue. Aceh juga mempunyai bilangan keturunan Arab yang tinggi. Sebuah

    suku bangsa berketurunan Eropa juga terdapat di Kecamatan Jaya, Aceh Jaya.

    Mereka beragama Islam dan dipercayai adalah dari keturunan askar-askar Portugis

    yang telah memeluk agama Islam. Pada umumnya, mereka mengamalkan budaya

    Aceh dan hanya boleh bertutur dalam bahasa Aceh dan bahasa Indonesia.

    Pada tahun 1905, diperkirakan penduduk Aceh tidak lebih dari 750.000 jiwa,

    termasuk penduduk pulau sekitarnya. Menurut data tahun 1987 penduduk Daerah

    Istimewa Aceh sekitar 3,12 juta jiwa. Sebagian besar penduduk daerah ini adalah

     penduduk asli yang sudah sejak dahulu tinggal di daerah ini. Kepadatan penduduk

    di Daerah Istimewa Aceh tidak merata di setiap daerah. Sebagian besar tinggal di

    daerah rendah atau daerah dekat pantai. Daerah pedalaman hanya sedikit didiami.

    Di pedalaman ini hanya ada satu kota kabupaten, yaitu Takengon. Sebagian besar

    tanah masih berupa hutan lebat atau padang ilalang. Kurangnya penduduk, luas

    37 Profil Provinsi, h. 219

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    42/87

    lahannya, dan sulit komunikasi antar daerah masih menjadi halangan besar bagi

     pembangunan di daerah ini.38 Pada tahun 1990, Aceh baru berpenduduk 3.415.875

     jiwa, dari penduduk sejumlah itu lebih dari 70%nya bermukim di pedesaan dan

     berusaha di sektor pertanian. Karena itu pula sektor pertanian masih memegang

     peranan penting dalam perekonomian daerah, meskipun sektor-sektor lainnya

    seperti industri dalam tahun terakhir ini telah pula memberi kontribusi yang cukup

     besar.

    Mengenai pembangunan, di Aceh menganut konsep keseimbangan dalam

    usaha mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi dan sosial yang tinggi sekaligus

    meningkatkan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh anggota masyarakat di

    daerah ini. Pembangunan di daerah pada dasarnya merupakan seluruh kegiatan

     pembangunan yang berlangsung di daerah baik yang dilakukan oleh pemerintah

    maupun oleh swasta (masyarakat). Pembangunan di Aceh didasarkan pada 4

    trilogi pembangunan, yaitu trilogi pembangunan nasional, trilogi pemerintah

    daerah, trilogi keistimewaan Aceh, dan trilogi etos kerja. Mengingat Aceh masih

    relatif tertinggal dibanding provinsi lain di Indonesia, maka, secara operasional

    usaha pembangunan di daerah ini tidak memadai lagi ditempuh dengan cara-cara

    yang konvensional semata.

    B. Keadaan Sosial dan Budaya

    Semua masyarakat di dunia memiliki kebudayaan sehingga setiap kebudayaan berbeda wujudnya dengankebudayaan yang lain. Aceh pun memiliki kebudayaannya sendiri. Dengan polesan warna Islam yang kental, maka budayaAceh berkembang tidak hanya dalam bentuk adat maupun seni, melainkan dalam suatu peradaban yang tinggi

    Berdasarkan beberapa sumber, para sejarawan dan arkeolog menyimpulkan bahwa kerajaan Islam pertama dinusantara berdiri di daerah Aceh. Disimpulkan pula bahwa agama yang masuk ke daerah ini adalah Islam, yang dalam batas tertentu telah tersebar dan teradaptasi dengan unsur kebudayaan Persia dan Gujarat (India). Islam yang telah berbaurdengan unsur India dan Persia ini memberi corak tersendiri terhadap budaya dan tradisi Aceh. Namun dalam

    38  B. Setiawan, dkk, Ensiklopedi Nasional Indonesia: jilid I , (Jakarta: Delta Pamungkas2004), h. 39

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    43/87

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    44/87

    menginginkan adanya referendum di Aceh akan tetapi golongan uleebalang hanya

    menginginkan diberlakukannya otonomi khusus bagi Aceh.

    Masyarakat Aceh adalah penggolongan rakyat dalam kelompoknya soeke 

    (suku) atau Kawon  (kaum) penggolongan atas kawon  ini didasarkan atas

    keturunan dari nenek moyang pihak laki-laki dan adat istiadatnya. Kawon terdiri

    dari 4, yaitu:

    1.  Kawon Imeuet Peut   (kaum imam empat) adalah mereka yang berasal dari

    orang Hindu yang telah memeluk islam.

    2.  Kawon Lherentoih  (suku 300) adalah mereka yang berasal dari orang-orang

    mantir dan batak.

    3.  Kawon Tok Baru  adalah mereka yang terdiri dari orang-orang asing seperti

    orang Arab, orang parsi dan orang Turki.

    4. 

    Kawon Ia Sandang adalah orang hindu yang bekerja untuk majikan masing-

    masing.43 

    Masing-masing kawon  ini mempunyai pimpinan yang dipilihnya sendiri-

    sendiri dan disebut Panglima Kawon. Walaupun kedudukannya turun temurun,

    kalau Panglima Kawon  yang baru sudah dipilih harus disahkan oleh Ulebalang 

    yang berkuasa dimana Panglima Kawon itu bertempat tinggal. Ulebalang adalah

     penguasa sebuah  Nangroe  (negeri) yaitu gabungan beberapa mukim. Para

    Ulebalang  menerima kekuasaannya langsung dari Sultan Aceh. Mereka

    memerintah secara turun temurun dan setiap penggantian pimpinan harus

    disyahkan oleh Sultan.

    43  Marwati Djoened  , Sejarah Nasional Indonesia, h. 86-87

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    45/87

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    46/87

    untuk membedakan mana rumah dan yang mana  Meunasah  dan sekaligus juga

    orang dapat mengetahui kemana arah kiblat kalau akan shalat.45 

    Selain Meunasah, ada pula tempat ibadah di Gampong yang dibangun tanpa

    tiang, namun memakai pondasi tembok yang ditinggikan, lalu di atasnya diberi

    semen tangga dari batu untuk memasuki tempat ibadah, namun gedungnya sendiri

    selalu dibuat dari kayu, dan di dinding dalam dibuat relung batu (Mehrab/Merab) 

    untuk menunjukkan kiblat ke ka’bah di Mekah. Kadang-kadang pekarangan

    tempat ibadah itu dipagari dengan tembok terendah bersegi empat. Bangunan

    yang lebih megah itu disebut Dayah dan berfungsi sama dengan Meunasah.

    Dalam kebudayaan Aceh terdapat banyak variasi terutama dalam dialek bahasa dan adat istiadat. Hal inidisebabkan karena pengaruh luar yang terus menerus terjadi. Pengaruh luar ini termasuk kebudayaan daerah tetangga danasing. Kebudayaan luar antara lain disebabkan oleh adanya perpindahan bangsa-bangsa. Dapat dikatakan pengaruh luar inimemperkaya kebudayaan Aceh sebagai keseluruhan kebudayaan Aceh yang memberi peranan yang amat penting dalamterbentuknya kebudayaan nasional Indonesia, karena kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan daerah yang telahmengalami perkembangan lebih lanjut.46 

    Secara garis besar bahasa di daerah Aceh dapat dibedakan menjadi empat bahasa, yaitu bahasa Gayo Alas, bahasa Aneuk Jamee, bahasa Tamiang, dan bahasa Aceh Tengah.  Bahasa Aneuk Jamee khusus digunakan oleh penduduk di AcehSelatan dan Aceh Barat. Bahasa Tamiang digunakan oleh penduduk di daerah pantai Timur. Bahasa Aceh adalah bahasa

    yang paling banyak digunakan di propinsi ini, antara lain di Aceh Timur, Utara, Pidie, dan sebagian Aceh Barat. 47 

    Mayoritas penduduk di provinsi Aceh memeluk agama Islam. Selain itu

     provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi yang lain,

    karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan kepada sebahagian besar

    warganya yang menganut agama Islam.

    Peradaban Aceh menduduki tempat tertinggi pada masa Sultan Iskandar, pada masa ini terjadilah peleburan antaranilai-nilai ke-Acehan, keislaman dan kenusantaraan secara padu. Aceh merupakan sebuah komunitas plural Islam yang berperadaban tinggi. Istana diperindah, kemewahan pengiring raja yang besar jumlahnya, kesusastraan yang berkembangdengan sangat pesat, perdebatan keagamaan yang sangat rumit yang diikuti oleh alim ulama terpelajar dari India dan daritempat yang lebih jauh lagi. Istana dihias dengan indah, batu-batu permata menghiasi dinding-dindingnya, ada pula taman-taman. Selain istana dan taman yang menakjubkan yaitu terdapat karya sastra. Beberapa karya besar di Aceh bukan karyayang disampaikan secara turun temurun dengan lisan, bukan dongeng yang terlalu sering dianggap merupakan intikesusastraan Melayu, tetapi karangan yang ditulis dengan prosa yang baik dan benar, di berbagai tulisannya dihiasi dengansajak yang ada tanggalnya dan kebanyakan bahkan ada nama pengarangnya. 48 

    Peradaban inilah yang memberikan Aceh rasa percaya diri sebagai sebuah masyarakat yang terhormat, yang muliadan berbudi kebangsaan yang luhur. Kebudayaan Aceh yang telah mengalami perkembangan sejak beberapa abad yang laludan diperkirakan telah berkembang sejak pada masa abad ke-13 dan mencapai puncaknya pada masa abad ke-17 sekitar pemerintah Sultan Iskandar Muda. Kebudayaan Aceh mengalami pasang surut akibat kolonialisasi Belanda dan perpecahan

    45  Taufik Abdullah , Agama dan Perubahan, h. 746

      Ismail Suny, Bunga Rampai Tentang Aceh, ( Jakarta: Bhatara Karya Aksara 1980), h.115-116

    47 B. Setiawan , Ensiklopedi Nasional, h. 4148  Denys Lombard, Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), (Jakarta:

    Kepustakaan Populer Gramedia 2006), h. 212

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    47/87

    dari dalam masyarakat Aceh sendiri. Setelah Indonesia merdeka, kebudayaan Aceh mencari identitasnya sendiri dan berhadapan pula dengan kebudayaan nasional.49 

    C. Perjalanan Politik Aceh Pasca Kemerdekaan

    Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1947. Kemerdekaan tersebut

    terdorong oleh kejadian sejarah lain, yaitu kekalahan tentara Nippon dalam perang

    Asia Timur Raya melawan sekutu, pimpinan Amerika Serikat. Berita tentang

     proklamasi kemerdekaan Indonesia baru diketahui oleh masyarakat Aceh pada

    tanggal 21 Agustus 1945, berkat adanya informasi dari Ghazali Yunus dan kawan-

    kawan yang bekerja pada kantor berita Jepang  Domei, kantor penerangan Jepang

    (Hodoko) dan Atjeh Sinbun. Berita kemerdekaan ini disambut gegap gempita oleh

    rakyat Aceh.50 

    Dalam perkembangan sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia, Aceh

    merupakan wilayah yang mempunyai andil cukup besar bagi pertumbuhan

    Republik Indonesia. Ketika pertama kali Bung Karno datang ke Aceh

    mengadakan pertemuan empat mata dengan Gubernur Militer Aceh Teungku

    Daud Beureuh untuk mengumpulkan dana buat pembelian pesawat terbang,

    masyarakat Aceh dengan tangan terbuka dan kerelaan menerimanya. Pada tahun

    1948, Bung Karno datang ke Aceh untuk kedua kalinya dengan meminta Teungku

    Daud Beureuh agar rakyat Aceh mengambil bagian yang aktif dalam perjuangan

    melawan Belanda. Persetujuan ini dilakukan dengan syarat agar setelah

     perjuangan kemerdekaan selesai, Aceh dibolehkan menjalankan syariat Islam.

    Akan tetapi, pasca kemerdekaan, janji bahwa Aceh dapat menjadi suatu wilayah

    49 Al chaidar,  Aceh Bersimbah Darah: Mengungkap Penerapan Status Daerah Operasi Militer di Aceh 1989-1998 , (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar 1998), h. 9-10

    50 Hardi,  Daerah Istimewa Aceh: Latar Belakang Politik dan Masa Depannya, (Jakarta:Cita Panca Serangkai 1993), h. 97-98

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    48/87

    tersendiri yang menegakkan syariat Islam, ternyata tidak dikabulkan. Bahkan

    otonomi Aceh dihapuskan dan Teungku Daud Beureuh dicurigai.51 

    Perjuangan rakyat Aceh berpuluh-puluh tahun melawan Belanda tak dapat

    dikatakan mempunyai dasar lain kecuali mempertahankan agama, sehingga

     perang melawan Belanda itu dinamakan perang sabil yaitu perang

    mempertahankan agama Allah, dan mereka yang tewas dalam perang tersebut

    dianggap mati syahid. Perang Aceh yang dahsyat itu berlangsung selama 31 tahun

    yang berakhir pada tahun 1904 dengan kemenangan Belanda, akan tetapi dalam

    hatinya rakyat Aceh masih belum menerima kekuasaan Belanda. Ternyata

     beberapa kali setelah tahun 1904, terjadi pemberontakan terhadap Belanda,

    misalnya di Bakongan antara tahun 1925-1927, di Lhong pada tahun 1933.

    Kemudian pemberontakan Aceh yang paling besar terhadap Belanda adalah ketika

     pemerintah Belanda menghadapi musuh dari luar yaitu Jepang pada waktu Perang

    Pasifik, sehingga ketika bala tentara Jepang masuk ke Aceh, mereka tidak

    menemui perlawanan lagi dari tentara Belanda yang sudah lebih dahulu pergi

    untuk menyelamatkan diri.52 Dilihat dari inilah Bung Karno meminta Aceh untuk

     berperang aktif dalam melawan Belanda karena keteguhan hati mereka dalam

    memperjuangkan kemerdekaan dan Islam.

    Kemerdekaan Indonesia disambut oleh rakyat Aceh dengan gegap gempita.

    Mereka bertekad akan mempertahankan kemerdekaan dengan semboyan merdeka

    atau mati syahid. Mereka berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan

    kemerdekaan sehingga rencana Belanda hendak menduduki Aceh tidak dapat

    terlaksana. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan ini para ulama berada di

    51  Riza Sihbudi et.al, Bara Dalam Sekam, h. 33-3452  Ismail Suny, Bunga Rampai Aceh, h. 30-31

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    49/87

    garis depan. Setelah kemerdekaan, di Aceh berkumandang seruan-seruan rakyat

    agar hukum-hukum Islam dilaksanakan sepenuhnya. Akan tetapi pemimpin-

     pemimpin Aceh melihat waktunya belum tepat untuk memenuhi tuntutan rakyat

    tersebut. Karena itu ketika Bung Karno meminta rakyat Aceh untuk berperang

    aktif melawan Belanda, Teungku Daud Beureuh selaku wakil rakyat Aceh

    meminta agar setelah perjuangan selesai Aceh dibolehkan menjalankan Syariat

    Islam. Permintaan ini pun disanggupi oleh Bung Karno. Tetapi setelah perjuangan

    selesai Bung Karno tidak menepati janjinya. Ini dibuktikan oleh pidato presiden

    Sukarno di Amuntai yang menyatakan tidak menyukai lahirnya negara islam dari

    Republik Indonesia, hal ini membuat kecewa rakyat Aceh yang telah diberi janji,

     padahal Aceh tidak berniat untuk mendirikan Negara Islam, mereka hanya ingin

    menjalankan Syariat Islam.53 

    Kekecewaan rakyat Aceh sampai ke telinga Imam NII Kartosuwiryo, yang

    segera mengirim seorang utusannya Abdul Fatah alias Mustafa, untuk mendekati

     para pemimpin Aceh pada awal tahun 1952. Melalui Abdul Fatah, Kartosuwiryo

    mengirimkan sebuah salinan dakwahnya tentang gerakan DI/TII, dan mengajak

     para pemimpin Aceh untuk bergabung. Ajakan ini mendapat sambutan baik di

    Aceh.

    54

     

    Akibat pencabutan Aceh sebagai daerah otonom yang luas dan hanya diberi

    status karesiden inilah, akhirnya hubungan antara Aceh dengan pemerintah

     pusat merenggang, dan terjadilah keinginan untuk membentuk Negara Islam

    Aceh pada tahun 1953, yang kemudian dikenal dengan pemberontakan Daud

    53  M. Nur EL Ibrahimy, TGK. M. Daud Beureuh: Peranannya Dalam Pergolakan di Aceh, (Jakarta: Gunung Agung 1982), h. 41-67

    54  Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh,(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti 1990), h. 89

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    50/87

    Beureuh. Unsur kekecewaan daerah terhadap pusat inilah yang

    melatarbelakangi mengapa Daud Beureuh mendirikan Negara Islam.

    Pada tanggal 21 September 1953 di Aceh meletuslah suatu peristiwa yang

    merupakan suatu tragedi bagi rakyat Tanah Rencong. Oleh pemerintah pada

    waktu itu, yang dipimpin oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, peristiwa ini

    dinamakan peristiwa Daud Beureuh atau pemberontakan Daud Beureueh.

    Sedangkan rakyat Aceh menyebut peristiwa itu sebagai peristiwa berdarah. Pada

    tanggal tersebut, Daud Beureuh, seorang ulama besar, seorang pemimpin rakyat,

    mantan Gubernur militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, mengangkat senjata

    terhadap pemerintah pusat dan memproklamasikan Aceh sebagai negara Islam.

    Daud Beureuh bersikeras bahwa tidak ada penyelesaian apapun sampai

     pemerintah pusat mengakui hak rakyat Aceh untuk menjalankan syariat Islam di

    daerah itu. Untuk mendukung pendapatnya, Daud menegaskan bahwa Islamlah

    yang mendorong para ulama berjuang dalam pemberontakan itu, dan karena Islam

     pula mereka mendesak rakyat supaya berpartisipasi. Karena memang tuntutan

    rakyat yang ingin menjalankan syariat Islam inilah awal mula peristiwa Daud

    Beureuh terjadi.

    Untuk menandai lahirnya sejarah baru itu tidak diadakan suatu rapat umum

    atau upacara yang meriah. Sebagai gantinya, hanya naskah proklamasi dan sebuah

    keterangan politik yang dibacakan dan disebarkan di Indra Puri, sebuah kampung

    di sebelah selatan Kutaraja. Adapun isi naskah tersebut adalah:

    PROKLAMASI

    Berdasarkan pernjataan Negara Republik Islam Indonesia pada tanggal 21

    Sjawal 1368/7 Agustus 1949 oleh Imam Kartosuwiryo atas nama umat islam

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    51/87

    Indonesia, maka dengan ini kami njatakan daerah Atjeh dan sekitarnya menjadi

    sebagian dari pada Negara Islam Indonesia.55 

    Atas Nama Umat IslamDaerah Atjeh dan SekitarnyaTTDTeungku Muhammad DaudBeureuh

    Tertanggal:

    Atjeh Darus’salam:

    13 Muharram 1373

    21 September 1953

     Namun demikian, naskah-naskah ini sebenarnya bukanlah merupakan suatu

    tanda pembukaan lembaran baru sejarah Aceh, sebab pemberontakan itu telah

    dimulai sehari sebelum proklamasinya sendiri. Kerumunan-kerumunan rakyat

    dengan bendera Tentara Islam Indonesia (TII), yang dilengkapi senjata tajam serta

    satu atau dua pucuk senjata api, terlihat di kampung-kampung sepanjang jalan

    raya dan jalan kereta api. Mereka sedang bersiap-siap menyerang kota di

    sekitarnya. Keadaan menjadi begitu kacau, dan jam malam diberlakukan di kota-

    kota. Pemerintah berusaha membujuk rakyat Aceh agar menjauhkan diri dari

    Darul Islam dan tetap setia kepada pemerintah yang sah. Namun demikian, seruan

    tersebut tidak membantu pemerintahan daerah yang telah kacau tersebut.56 

    Setahun setelah peristiwa Daud Beureuh, muncullah peristiwa Pulot-Cot

    Jeumpa pada bulan Maret 1954, sehingga peristiwa ini pun disebut peristiwa Mar.

    Bulan Maret bagi orang Aceh, tidaklah sesuci megah dan agungnya peringatan

     peristiwa 11 Maret 1966 dalam kerangka pikir Orde Baru, karena kekejaman

    tentara republik di bulan itu telah demikian traumatis bagi rakyat Aceh. Sehingga

    55 M Nur El Ibrahimy, TGK. M . Daud Beureuh, h. 156  M. Nur Ibrahimy, h. 86-87

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    52/87

    karena peristiwa Mar ini, tidak ada seorang pun yang mau menamai anaknya

    dengan awalan atau akhiran “Mar” di Aceh. Tidak ada nama-nama seperti

    Maryam atau Umar yang lahir ketika itu, dan ini berlangsung dalam beberapa

    tahun. Peristiwa ini masih berhubungan dengan peristiwa Daud Beureuh. Pada

    suatu hari di bulan maret 1954, dalam rangka operasi militer mengejar

     pemberontak. Sebuah iring-iringan truk militer melewati desa kecil. Sesampainya

    di sebuah jembatan yang terletak di kampung Pulot, secara mendadak iring-ringan

    militer itu dihadang oleh gerombolan pemberontak, tembak menembak terjadi

    antara militer dengan pemberontak. Korban pun berjatuhan di kedua belah pihak,

    sedang segerombolan pemberontak melarikan diri ke hutan melalui kedua

    kampung yang kemudian namanya menjadi tenar itu.57 

    Hari itu juga diadakan operasi besar-besaran dalam Kampung Pulot dan Cot

    Jeumpa, dalam rangka mengejar pemberontak yang diduga keras bersembunyi di

    sekitar kampung tersebut. Di sinilah mulainya sikap tentara yang sewenang-

    wenang. Rakyat menjadi korban karena mereka tidak tahu menahu tentang para

     pemberontak. Tentara yang tidak mendapatkan jawaban-jawaban mengenai

     pemberontak menjadi marah, dan tentara menembakkan peluru senjatanya ke

    arah rakyat, sasaran tak berdosa itu. Inilah awal mula perilaku tentara yang

    semena-mena terhadap rakyat.

    Peristiwa Pulot Cot Jeumpa, cepat tersiar ke seluruh pelosok Indonesia.

    Selanjutnya kabinet mengirim menteri-menteri untuk mempelajari dari dekat

     peristiwa tersebut. Dewan Keamanan Nasional ikut membicarakan, anggota

     parlemen Sutarjo menganjurkan agar soal penyelesaian pemberontakan Darul

    57  Al Chaidar, Aceh bersimbah Darah, h. 25-26

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    53/87

    Islam diarahkan kepada putera Aceh sendiri, dan kepada para pemimpin

     pemberontakan diberi kesempatan untuk kembali ke masyarakat dengan baik-

     baik, artinya harus dilakukan penyelesaian secara damai dan bijaksana.58 

    Selanjutnya pada 13 April 1954, pemerintah memberi keterangan dalam rapat

     paripurna terbuka DPR-RI mengenai peristiwa Cot Jeumpa. Dari keterangan

     pemerintah, diambil kesimpulan bahwa dalam penyelesaian peristiwa Daud

    Beureuh ini pemerintah mengambil tindakan kekerasan senjata untuk mengatasi

     para pemberontak yang memberontak dengan senjata terhadap pemerintah RI.

    Selanjutnya pada tanggal 26 Mei 1959, lahirlah Propinsi Daerah Istimewa

    Aceh dengan otonom yang luas, khususnya dalam urusan agama, adat dan

     pendidikan, sebagai tonggak sejarah dari perkembangan masyarakat Aceh sejak

    tahun 1950-an, yang diawali dengan pergolakan berdarah menuju ke zaman

     pembaharuan dan zaman kemajuan.59

     

    Untuk mencapai lahirnya propinsi Daerah Istimewa Aceh, sebelumnya telah

    dilakukan beberapa usaha untuk memulihkan keamanan di Aceh oleh pemerintah

     pusat. Pada masa pemerintah Ali Sastroamidjojo dalam usahanya memulihkan

    keamanan di Aceh telah memilih tindakan kekerasaan senjata dengan harapan

     bahwa kaum pemberontak dapat ditumpas pada akhir tahun 1953 atau paling

    lambat pada bulan Maret 1954. Ternyata sampai kabinet Ali jatuh pada tahun

    1955 keamanan di Aceh belum dapat dipulihkan. Setelah itu, kabinet Burhanuddin

    Harahap, mencoba pemulihan keamanan dengan cara halus. Ia berusaha

    melakukan kontak dengan para pemberontak, tetapi usaha tersebut tidak berhasil.

    Bahkan pada tahun 1955, Wakil Presiden RI Mohammad Hatta mengirim dua

    58  A.Hasjmy , Semangat Merdeka: 70 tahun Menempuh Jalan Pergolakan danPerjuangan Kemerdekaan, (Bulan Bintang: Jakarta 1985), h. 457-458

    59  Hardi, Daerah Istimewa Aceh, h. 177

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    54/87

    kurirnya Abdullah Arif dan Hasbullah Daud untuk melakukan kontak dengan para

     pemimpin pemberontak namun tidak membuahkan hasil. Pada tahun 1957

    Kolonel Sjamaun Gaharu Panglima KDMA (Komando Daerah Militer Aceh)

    mengadakan kontak dengan pihak pemberontak, dan usaha tersebut berhasil.

    Kemudian diantara pemimpin-pemimpin pemberontak terdapat suatu kesepakatan

    yang kemudian terkenal dengan  Ikrar Lam Teh, pada 8 April 1957. Atas dasar

     Ikrar Lam Teh ini tercapai pula suatu persetujuan antara pihak pemberontak dan

    KDMA untuk menghentikan tembak menembak atau gencatan senjata. Gencatan

    senjata ini berjalan sampai tahun 1959. Selanjutnya pada tanggal 23 Mei 1959,

    Dewan Revolusi mengadakan musyawarah dengan pemerintah RI yang dipimpin

    oleh Wakil Perdana Menteri I Mr. Hardi, musyawarah pun berhasil dan

    memutuskan sejak tanggal 26 Mei 1959, menyatakan bahwa daerah Swatantra

    tingkat I Aceh dapat disebut Daerah Istimewa Aceh.60

     

    Dari berbagai peristiwa, dapat dilihat bahwa pendirian yang kuat para tokoh

    Aceh yang didukung oleh ulama dan masyarakatnya, untuk menuntut

    keistimewaan Aceh akhirnya dapat dibuktikan oleh sejarah. Status keistimewaan

    Aceh ini kemudian diinformasikan melalui UU No 18 tahun 1965 tentang

    Pemerintahan Daerah di mana Aceh memperoleh keistimewaan di bidang agama,

    adat dan pendidikan.

    Dalam perkembangan selanjutnya, tepatnya pada tahun 1979 gagasan NAM

    (Negara Aceh Merdeka) dimunculkan oleh tokoh yang berasal dari Tiro bernama

    Dr. Hasan Tiro. Ia lahir di desa Tiro, dekat Lammeulo di Pidie. Pada masa

    Belanda ia adalah salah seorang murid Daud Beureuh di madrasah Blang Paseh di

    60  M. Nur El Ibrahimy, TGK M . Daud Beureuh, h. 172-175

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    55/87

    Sigli, sedangkan pada masa pendudukan Jepang ia belajar di Perguruan Normal

    Islam. Sesudah proklamasi ia berangkat ke Jogjakarta untuk belajar di fakultas

    hukum Universitas Islam Indonesia. Ia kembali ke Aceh sebentar untuk bekerja

     pada pemerintahan darurat Sjafruddin Prawiranegara. Kembali ke Jogjakarta, ia

    menjadi salah seorang dari dua mahasiswa Universitas Islam Indonesia, yang pada

    tahun 1950 menerima beasiswa untuk melanjutkan pelajarannya di Universitas

    Columbia. Di Amerika Hasan Tiro bekerja pada dinas penerangan delegasi

    Indonesia di PBB.61  Dia datang ke Aceh dari Amerika dan mengatakan akan

    mendirikan NAM. Ada dugaan bahwa lahirnya kelompok Hasan Tiro, dengan ide

     NAM, maupun kemudian munculnya GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) yang

    sering disebut oleh pemerintah dan sebagian masyarakat Aceh waktu itu, terkait

    dengan mulai hilangnya keistimewaan Aceh sebagai sebuah wilayah yang

    otonom. Pemerintah pusat mengambil posisi tegas dengan lahirnya NAM yang

    dianggap sebagai GPK. Mereka dihilangkan dan Dr. Hasan Tiro melarikan diri ke

    luar negri. Selang 10 tahun kemudian (1987-1990), muncul kembali peristiwa-

     peristiwa gangguan keamanan dengan munculnya kembali GPK-GPK pada tahun

    itu.

    Penumpasan dilakukan, berkaitan dengan keharusan adanya keamanan di

    Aceh pada umumnya dan daerah industri untuk membangun dan mengeksplorasi

    kekayaan alam, dan menjaga agar investasi asing masuk ke Aceh. Sejak itulah

    Daerah Operasi Militer (DOM) diberlakukan di Aceh dari tahun 1990-1998.62 

    61  Cornelis Van Dijk,  Darul Islam Sebuah Pemberontakan, (Jakarta: Pustaka UtamaGrafiti 1995), h. 301

    62  Riza Sihbudi, Bara Dalam Sekam, h. 37-38

  • 8/16/2019 Yastri Rustina-fah 5

    56/87

     

    BAB IV

    REFERENDUM ACEH

    Latar Belakang Referendum Aceh

    Setelah Indonesia merdeka, Aceh masih terus menjadi tempat

    kekerasaan, baik yang dilakukan oleh yang pro pemerintah maupun yang anti

     pemerintah. Namun dapat dipastikan dalam hal ini, korban selalu berjatuhan

    dari pihak rakyat sipil. Pada tahun 1953-1959 misalnya diperkirakan ratusan

    rakyat menjadi korban kasus DI/TII yang dipimpin oleh Daud Beureuh di

    Aceh. Kekerasan juga terjadi saat peristiwa Cumbok yang menyebabkan

     banyak sekali Ulebalang yang diculik. Peristiwa Cumbok adalah kasus

     pembunuhan terhadap uleebalang di Sigli, karena kaum uleebalang

     berkeinginan mengembalikan kekuasaan Belanda di mana dalam masa

     penjajahan Belanda di Aceh, mereka sangat diuntungkan oleh Belanda dan

    melakukan kerjasama dengan pemerintah kolonial Belanda. Korban

    kekerasaan di Aceh mencapai puncaknya adalah pada masa Orde Baru.

    63

     

    Persoalan di Aceh dapat digolongkan dalam dua akar masalah, pertama adalah pemberlakuan DaerahOperasi Militer ( DOM ) dan tindak kekerasan militer Orde Baru (Juli 1990-Agustus 1998) maupun sesudah DOM(Agustus 1998-2000) serta tidak seriusnya pemerintahan untuk mengadili para pelaku tindak kekerasaan pada masaDOM maupun pasca DOM.

    Pada awal RI terbentuk, saat negara ini belum memiliki apa-apa, rakyat

    Aceh melalui dukungan para ulama telah memberikan andil yang amat besar

    dalam membantu kelangsungan hidup republik dengan menyumbang sejumlah

    63  Hasanuddin Yusuf Adan, Tamaddun dan Sejarah: Etnografi Kekerasan Di Aceh,(Jogjakarta: Prisma Sophie Press, 2003