BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarawan tidak dapat bersitegang untuk bekerja sendirian, dan hanya berkubang
dalam ilmu sejarah semata. Sejarawan tidak dapat demikian saja mengabaikan hubungan
dan bantuan dari ilmu-ilmu lainnya yang koheren dengan pokok studi atau pokok
kajiannya. Dalam hal ini sejarawan tidak bekerja sendirian, dan sejumlah ilmu dapat
memberikan bantuan atau bahkan ada yang sepenuhnya mengabdikan diri bagi kepentingan
ilmu sejarah (seperti arkeologi), lazim disebut dengan istilah ilmu bantu sejarah.
Studi tentang sejarah bukankah pekerjaan mudah, dan sederhana seperti
menghafalkannya tatkala masih duduk di bangku sekolah dasar atau sekolah menengah.
Untuk membaca sumber sejarah, apalagi yang memakai bermacam aksara, Pallawa Jawa
Kuna, jawa Tengahan, Jawa Baru, Arab Pegon, Bali, Bugis, Cina dan lain-lain dengan
bahasa yang berbeda-beda pula memerlukan piranti serta keahlian tersendiri. Belum lagi
yang ada hubungannya dengan isi atau kandungan sumber sejarah yang berkaitan dengan
berbagai segi kehidupan seperti masalah politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu
pengetahuan, agama, birokrasi, pemerintahan, ataupun tokoh-tokoh pemegang peran.
Dalam dunia pengetahuan, untuk mempelajari sejarah, sejarawan tidak mungkin
lepas dari bantuan ilmu bantu sejarah. Sejarawan pasti memerlukan ilmu-ilmu bantu lain
untuk mengkaji sumber-sumber sejarah Semisal Etnografi untuk membantu studi
masyarakat, kelompok etnis dan formasi etnis lainnya, etnogenesis, komposisi,
perpindahan tempat tinggal, karakteristik kesejahteraan sosial, juga budaya material dan
spiritual mereka. Maka untuk itu, bagi sejarawan, bahasa jawa yang merupakan bahasa
lokal pulau jawa sangat berperan penting untuk mempelajari sejarah pulau jawa. Sehingga
penguasaan ilmu Epigrafi dibutuhkan untuk mengunggkap mantifak didalam artefak
temuan ekskavasi.
1
B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi Epigrafi Bahasa Jawa?
2. Bagaimana konsep Epigrafi sebagai ilmu bantu sejarah ?
3. Bagaimana aplikasi Epigrafi Bahasa Jawa terhadap penelitian Artefak?
C. Tujuan
1. Mengetahui definisi Epigrafi Bahasa Jawa
2. Mengetahui konsep Epigrafi sebagai ilmu bantu sejarah
3. Mengetahui peranan Epigrafi Bahasa Jawa terhadap penelitian Artefak
2
BAB II
PEMBAHASANA. Epigrafi Bahasa Jawa
Epigrafi (dari bahasa bahasa Yunani: ἐπιγραφή epi-graphē, berarti
"tulisan", "prasasti") adalah suatu cabang arkeologi yang berusaha meneliti benda-
benda bertulis yang berasal dari masa lampau. Umumnya benda budaya yang
dimaksud adalah prasasti (baik batu, logam, maupun tulang) ataupun pada dinding
bangunan kuno, nisan, dan artefak lain.. Artefak seperti prasasti merupakan sumber
bukti tertulis (berupa tulisan ataupun gambar) pada masa lampau yang dapat
memberikan informasi mengenai peristiwa dimasa lampau, asal usul seorang raja
atau tokoh atau genealogi maupun penanggalan
Epigrafi bertujuan agar prasasti yang ditemukan dalam ekskavasi dapat
dibaca. Selanjutnya, tujuan epigrafi ini tidak dapat dilepaskan dengan tujuan
arkeologi. Tujuan arkeologi adalah merekonstruksi sejarah masa lampau
berdasarkan apa yang dapat ditemukan kembali dengan ketrampilan dan
penguasaan metode ekskavasi pada benda-benda masa lampau. Jika benda tinggalan
tersebut berupa prasasti maka ahli epigrafi akan mengelolanya agar dapat diketahui
kapan terjadinya, siapa tokoh pemerintahannya serta apa isi yang terkandung pada
prasasti tersebut
Kajian epigrafi sangat luas tidak hanya mencakup aksara kuno saja,
melainkan hubungan antara prasasti dan raja pada waktu tertentu, kaitan antara
prasasti dan benda budaya sezaman, kondisi ekonomi, sosial, religi, teknologi,
pendidikan pada waktu tertentu. Benda-benda budaya (benda arkeologi) yang lebih
menceritakan banyak hal bila ditambah dengan keterangan yang ada di dalam
prasasti (khusus era sejarah). Hal tersebut menambah kuat keterkaitan antara
epigrafi dan arkeologi.
Kajian utama Epigrafi adalah prasasti. Prasasti ialah benda budaya yang
ditulisi angka ataupun aksara kuno. Menurut ahli Epigrafi Indonesia,
Prof.Dr.Boechari, ialah sumber-sumber sejarah dari masa lampau yang tertulis di
3
atas batu atau logam. Tidak hanya sebatas mengkaji dan membaca prasasti saja,
tugas epigraf meliputi kajian bentuk maupun bahan prasasti, hiasan prasasti, tahun
dibuatnya prasasti, raja yang mengeluarkan prasasti, dan isi prasasti yang dapat
mengkaji hubungan antara prasasti dengan benda maupun bangunan budaya
lainnya.
Epigrafi bak detektif masa lampau yang berada di masa kini. Membuat
benda budaya tersebut bercerita banyak tentang apa yang dikandungnya. Tentang
bagaimana kehidupan masyarakat pada masa lampau, apa saja yang terjadi, agar
dikemudian hari kita tidak menghadapi hal yang sama.Kita dapat mengambil
banyak pelajaran dari masa lampau, karena sejarah ada bukan untuk dilupakan,
namun sebagai kisah tentang jati diri bangsa serta pembelajaran kita dalam
menghadapi persoalan hidup.
Menurut Boechari, tugas ahli epigrafi sekarang ini tidak saja meneliti
prasasti-prasasti yang belum diterbitkan, tetapi juga meneliti kembali prasasti-
prasasti yang baru terbit dalam traskripsi sementara. Kemudian ia harus
menerjemahkan prasasti-prasasti tersebut ke dalam bahasa modern sehingga
sarjana-sarjana yang lain, terutama ahli-ahli sejarah dapat menggunakan
keterangan-keterangan yang terkandung di dalam prasasti-prasasti itu.
Perintis Epigrafi Indonesia
Sir Thomas Stamford Bingley Rafles: Ia telah mengumpulkan beberapa prasasti
dan mencoba untuk menerjemahkannya dengan bantuan beberapa pihak,
misalnya Panembahan Sumene dan beberapa orang Bali. Melalui Raffles,
penelitian epigrafi mulai terbuka lebar di Indonesia. Ia adalah yang
mengirimkan prasasti Pucangan ke Calcutta ketika prasasti ini ditemukan pada
masa ia memerintah di Indonesia.
C.J. van der Vlis: Ia meneliti beberapa prasasti di kompleks percandian Sukuh
dan Ceto. Ia dibantu oleh R.Ng. Ronggowarsito dalam penelitian ini.
4
R.H. Theodore Friederich: Ia merupakan peletak dasar bagi sistematika
penelitian epigrafi. Sistematika yang diberikan oleh Friederich ini kelak
digunakan oleh para epigraf berikutnya, misalnya Kern dan Cohen.
Johan Hendrik Caspar Kern: Ia meneliti huruf Kawi dan membandingkannya
dengan huruf-huruf yang ada di Indonesia. Ia menyimpulkan, bahwa huruf
Jawa, Sunda, Madura dan Bali adalah perkembangan yang langsung dari huruf
Kawi.
Karel Frederik Holle: usaha besar yang dilakukan K.F.Holle adalah menyusun
suatu daftar abjad/huruf-huruf yang terdapat di Indonesia sebagai suatu
pengantar kearah Palaeografi Indonesia. Dalam daftarnya itu ia mengerjakan
huruf-huruf yang terdapat pada prasasti-prasasti, huruf-huruf yang masih
dipakai di daerah-daerah Indonesia, serta mencoba mencari bentuk asal dari
pada huruf-huruf itu dalam beberapa abjad yang ada di India. Ia menggolongkan
berdasarkan bentuk-bentuk huruf. Dasar pengelompokkan yang digunakan
Holle tidak jauh berbeda dengan Kern. Kelompok pertama Kern (Kawi-
Kamboja-Pali) oleh Holle disebut corak Kamboja, kelompok kedua Kern
(Wenggi-Cera) oleh Holle disebut corak Calukya atau Wenggi, kecuali itu
masih ada satu corak lagi, yaitu corak Nagari.
A. B. Cohen Stuart: awalnya ia melakukan penelitian terhadap naskah-naskah
susastra Kawi dan menuliskan hasil penelitiannya itu, kemudian barulah ia
tertarik pada prasasti. Bersama J.J.van Limburg Brouwer ia mulai meneliti
empat prasasti, yaitu prasasti Wukiran (Pereng), Kandangan, Wayuku (Dieng)
dan Kinewu. Keempat prasasti ini diterbitkan hanya dalam bentuk pengantar
tafsiran kata-kata tanpa terjemahan isi prasasti. Usaha yang dilakukannya yaitu
perbaikan terhadap penerbitan prasasti yang telah ada, pendaftaran kembali
prasasti yang pernah ditemukan berserta daftar acuan kertasnya, usul untuk
menerbitkan prasasti-prasasti secara lengkap dan menyeluruh unttuk
kepentingan yang lebih seksama. Akhirnya, ia menerbitkan buku yang berisi
kumpulan prasasti-prasasti dalam bentuk facsimile dan transkripsi.
5
Jan Laurens Andries Brandes: Hasil penelitian epigrafinya yang pertama adalah
prasasti Kalasan dan prasasti Guntur. Dari kedua prasasti tersebut ia mengambil
kesimpulan bahwa ketika orang-orang India tersebut datang ke Indonesia,
mereka menemukan suatu masyarakat yang telah memiliki kebudayaan yang
tinggi dan juga susunan pemerintahan yang berlandaskan hukum sudah mulai
teratur di Indonesia, proses hukum dan pengambilan keputusan seperti itu tidak
ada di India.
N.J. Krom: usaha awal yang dilakukan Krom dalam bidang epigrafi adalah
meneliti kembali penerbitan-penerbitan prasasti yang pernah ada, meneruskan
atau mengolah kembali pekerjaan Brandes yang belum selesai dan membuat
inventarisasi prasasti-prasasti yang berangka tahun yang pernah ditemukan.
F.D.K. Bosh: penelitiannya terhadap prasasti-prasasti yaitu Kelurak, Kalasan,
dan Ratuboko ditujukan untuk mencari gambaran kebudayaan yang menjadi
latar belakang segala aktivitas kesenian pada waktu tersebut khususnya
gambaran kehidupan keagamaan.
W.F. Stutterheim: konsep pemikiran yang dikeluarkannya ialah kebudayaan
Indonesia kuno harus dianggap sebagai kebudayaan Indonesia, sedangkan
pengaruh India yang betapa pun besarnya hanyalah merupakan tambahan saja.
R.M.Ng. Poerbatjaraka: pengetahuan yang dimiliki Poerbatjaraka atas bahasa
Kawi yang menuntunnya berkenalan dengan prasasti. Karya yang dihasilkan
berupa transkripsi prasasti Kamban dan sebuah prasasti yang berasal dari desa
Pengging, Boyolali, kupasan mengenai prasasti yang ditemukan di desa
Batutulis dekat Bogor, pembahasan mengenai prasasti yang dipahatkan pada
arca Aksobhya di Simpang dan transkripsi prasasti yang disimpan di Museum
Solo. Dalam disertasinya juga berisi penelitian terhadap prasasti Canggal,
Dinaya, Wukiran (Pereng), salah satu prasasti raja Mulawarman dari Kutai dan
prasasti Pintang Mas.
6
P.V. van Stein Callenfels: ia berjasa dalam membuka jalan pengetahuan
mengenai prasasti-prasasti Bali, yang sebelumnya juga pernah dibicarakan oleh
van der Tuuk dan Brandes.
Rudolf Goris: penelitiannya khusus pada epigrafi Bali dan mencurahkan
perhatian pada prasasti yang berbahasa Bali kuno.
Johannes Gijsbertus (Hans) de Casparis: Ia menekankan pentingnya meneliti
bagian-bagian dalam prasasti yang dapat memberikan gambaran kehidupan
masyarakat Indonesia kuno. Hasil penelitian pertama adalah prasasti yang
berasal dari zaman Majapahit, mengenai desa-desa Himad dan Walandit. Hasil
penelitian yang patut dibanggakan adalah seri penerbitan Prasasti Indonesia
yang terdiri atas dua jilid. Jilid pertama mengenai persoalan rajakula Sailendra,
sedangkan jiid kedua merupakan kumpulan prasasti-prasasti yang berasal dari
abad VII sampai abad IX M. Jilid pertama, ia mengupas secara mendalam
prasasti Hampran (Plumpungan), prasasti Ratabaka, prasasti Kayumwungan
(Karangtengah), prasasti Gondosuli II dan dua buah prasasti Tri Tepusan yang
menyebutkan nama Sri Kahulunan. Kesemuanya itu digunakannya untuk
menyusun kembali tiga hal: sejarah rajakula Sailendra secara menyeluruh,
pertumbuhan agama Budha pada zaman pemerintahan rajakula Sailendra dan
melokalisasikan bangunan-bangunan suci yang disebutkan dalam prasasti-
prasasti itu. Hasil lain yang membanggakan adalah penelitian yang khusus
mengenai masyarakat Indonesia kuno dan tentang masa pemerintahan raja
Airlangga.
Louis Charles Damais: Sumbangan Damais yang terpenting bagi epigrafi
Indonesia adalah metodenya untuk menentukan perhitungan yang tepat
mengenai unsur-unsur hari, tanggal, bulan dan tahun dalam tarikh Indonesia
kuno yang biasa ditemukan dalam prasasti-prasasti ataupun naskah-naskah
lainnya.
Boechari: Ia adalah murid R.M. Ng. Poerbatjaraka. Sumbangan yang terutama
tertuang dalam hasil studi epigrafinya berupa kumpulan transliterasi prasasti-
7
prasasti dan tulisan-tulisan yang membahas mengenai berbagai aspek arkeologi
dan kesejarahan, khususnya mengenai sistem administrasi dan birokrasi
kerajaan, sistem hukum, dan sistem perpajakan pada masa Jawa Kuno
B. Epigrafi Sebagai Ilmu Bantu Sejarah
Hubungan antara epigrafi dan arkeologi di Indonesia perlu ditelaah lebih
mendalam dalam konstelasi arkeologi sebagai ilmu yang memiliki struktur resmi
(pemerintahan; governmental) dan non-resmi (swasta;private). Epigrafi merupakan
salah satu bidang kajian di antara bidang kegiatan formal dan utama lain seperti
restorasi atau pemugaran, ekskavasi, penelitian dan penemuan kajian-kajian, Hindu-
Buddha (klasik), Islam, dan Kolonial.
Epigrafi dalam konstelasi tersebut merupakan pelengkap bidang kajian yang
berciri (berstatus) sejarah untuk menunjang dan memperlengkap latar belakang
(antara lain religi, sosial dan ekonomi) serta sejarah (masa perkembangan tokoh di
antaranya berkaitan dengan keagamaan, dan sosial-ekonomi).
Epigrafi sangat erat kaitannya dengan artefak masa sejarah dan harus
mengikuti jejak perkembangan artefak sesuai dengan seluk-beluk dan latar
belakangnya, sedangkan orang yang menjurus pada penguasaan artefak pada
umumnya menggunakan data epigrafi secara sekunder.
Epigrafi adalah ilmu atau kajian tentang prasasti, khususnya penguraian kata
dan interpretasi prasasti. Singkatnya epigrafi mengkaji prasasti, khususnya prasasti
kuno, terutama atas dasar gaya huruf tulisan dan bahasa yang digunakan, untuk
mengetahui antara lain masa perkembangan artefak/monumen dan seluk beluk lain.
Dalam tulisan/buku umum tentang arkeologi, istilah epigrafi sangat jarang
kita jumpai. Kadang-kadang, jika istilah ini disebut cukup diberi penjelasan singkat
bahwa epigrafi ialah kajian tentang prasasti yang terdapat pada monumen, arca,
materai dan sebagainya.
Materi arkeologi umumnya disebut sebagai written records (catatan tertulis).
Colin Renfrew dan Paul Bahn dalam tulisan mereka, Archaeology, Theories,
8
Methods and Practise (1991), menyatakan bahwa written records itu sangat penting
untuk merekonstruksi kehidupan sosial masa lampau.
Dengan contoh tadi, jelaslah bahwa written records atau data yang ditulis
merupakan hal yang sangat diperlukan guna menunjang interpretasi yang lebih luas
tentang artefak yang ditemukan.
Kajian dalam bidang epigrafi di Indonesia dimulai pada awal abad ke-19
yang dipelopori oleh T.S. Raffles, gubernur jendral Inggris di Indonesia, serta C.H.
van der Vlis dan R.H.Th. Friederich yang berada pada ambang pintu dunia epigrafi.
Dengan landasan yang telah disusun Friederich, deretan nama peneliti seperti
H.Kern, K.F.Holle, A.B. Cohen-Stuart, J.L.A. Brandes, N.J. Krom dan F.D.K.
Bosch, serta R.M.Ng.Poerbatjaraka, dengan hasilnya yang makin meluas dan
mendalam tentang berbagai aspek kesejarahan, antara lain religi, sosial, ekonomi
dan tokoh, menandakan betapa indispensable epigrafi itu bagi penyusunan sejarah
kebudayaan Indonesia.
Epigrafi dalam bidang Islam tampak dikembangkan dalam abad ke-19,
hampir bersamaan dengan tumbuhnya perhatian terhadap kepurbakalaan Islam pada
umumnya, terutama sejak lembaga kebudayaan itu didirikan. J. Brandes,C. Snouck
Hurgronje, Ph.S. van Ronkel, J.P. Moquette, dan sederetan nama lain, yaitu Husein
Djajadiningrat, telah memperkaya sejarah kebudayaan Islam melalui penelitian
inskripsi, terutama pada nisan-nisan kuno dan piagam-piagam.
Keterangan tertulis dari sejarah kuno indonesia terutama berupa prasasti.
Dokumen-dokumen ini, sebagai piagam kerajaan, biasanya tidak menceritakan
suatu kejadian melainkan hanya memperingati suatu peristiwa. Dengan demikian,
sebenarnya tidak banyak yang dapat kita ketahui tentang rangkaian kejadian
sejarah. Kerajaan yang tertua di kalimanta timur dan jawa barat, semisal, masing-
masing meninggalkan tujuh buah prasasti suatu jumlah yang besar namun tak
satupun diantaranya yang memberikan bahan untuk menulis sejarah.
Sudah dikatakan bahwa disamping prasasti terdapat juga keterangan tertulis
berupa hasil-hasil seni sastra. Kerajaan kediri, dari sekitar tahun 1100 sampai 1200,
9
misalnya, menghasilkan banyak karya sastra sehingga zaman ini terkenal sebagai
zaman keemasan seni sastra. Namun demikian, sama sekali tidak ada keterangan
mengenai peristiwa sejarah pada masa itu. karena itu keterangan tertulis itu tidak
mempunyai arti bagi historiografi, meski itu penting bagi seni sastra.
Lain halnya dengan Nagarakertagama, puisi dari jaman Majapahit yang
dikarang Prapanca pada tahun 1365 M. Sampai batas-batas tertentu, buku ini dapat
kita anggap sebagai kitab sejarah mengenai kerajaan Singasari dan Majapahit dari
awal abad ke 13 sampai pertengahan abad ke 14. Dengan mengecek data buku itu
dari data Pararaton, (meskipun pararaton lebih berupa dongeng ketimbang sejarah),
dan dengan bukti sejarah lainnya seperti dari prasasti-prasasti dan candi, dari
Nagarakartagama dalam tingkat tertentu sejarah kerajaan Singasari dan Majapahit
dapat di rekonstruksi. Namun demikian, rekonstruksi yang telah tersususn baik dan
tokoh itu telah dibongkar oleh Berg dalam usahanya untuk memberi tafsiran baru
terhaap sumber-sumber tertulis yang sudah ada. Namun usaha rekonstruksi sejarah
ini tidak berdasarkan bukti-bukti arkeologis yang baru, dan karena itu dari sudut
arkeologi tidaak mempunyai dukungan. Hal ini mungkin merupakan sebab dari
reaksi sengit F.D.K Bosch sebagai arkeolog. Bosch mengibaratkan teori Berg
sebagai menara goyah yang tersusun dari hipotesis-hipotesis, yang puncaknya
menjulang sampai atmosfir hampa udara dimana kebenaran sejarah tak dapat hair
kecuali dengan penurunan kadar.
C. Peranan Epigrafi terhadap Arkeologi dan Historiografi
Bagi para Epigraf, prasasti sangat membantu untuk memecahkan misteri
yang mungkin tersembunyi. Menurut Prof J.G.de Casparis, prasasti merupakan
tulang punggung penulisan sejarah kuno Indonesia [1]. Bukan hanya sebagai suatu
tugu penetapan saja, namun prasasti menyimpan beragam konteks sejarah. Prasasti
dapat menceritakan kisahnya jika dilalui dengan benar tahapan analisisnya.
Suatu proses penulisan sejarah wajib melalui beberapa tahapan,
yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan historiorafi. Heuristik adalah tahapan ketika
pencarian data tersebut dimulai, penyeleksian data yang dibutuhkan serta
10
penelusuran berbagai sumber yang dibutuhkan. Kemudian beralih ke
dalam kritik (kritik teks) yang dilakukan secara ekstern dan intern yang
mempermasalahkan mengenai keotentikan sumber. Kritik ekstern
mempermasalahkan apakah data yang diteliti merupakan data valid ataukah turunan
(tinulad) atau palsu, sedangkan kritik intern menyangkut masalah kredibilitas,
menguji informasi sesuai dengan kebutuhan peneliti. Interpretasi adalah tahapan
yang memberikan penilaian berdasarkan sudut pandang peneliti serta memfokuskan
masalah yang diangkat. Tahapan terakhir yaitu historiografi, yang merupakan
kumpulan keseluruhan data yang telah diteliti dan dilakukan kajian banding untuk
dimasukkan ke dalam kerangka sejarah. Ilmu Epigrafi diterima masuk ke dalam
ilmu Arkeologi karena tahapan tersebut juga termasuk tahapan arkeologi,
yaitu deskripsi, eksplanasi dan interpretasi. Dalam Arkeologi deskripsi merupakan
tahapan penggambaran data secara fisik, pengenalan data yang bersumber pada data
yang dilihat secara langsung. Pengolahan data (eksplanasi) merupakan tahap ketika
data tersebut mulai dipelajari lebih lanjut, dipilih berdasarkan kebutuhan sesuai
metode yang digunakan. Sedangkan tahap interpretasi adalah tahapan ketika
permasalahan data tersebut diangkat sesuai sudut pandang yang digunakan peneliti
dan kemudian untuk dibandingkan atau disamakan dengan data yang sudah diteliti.
Maka hal tersebut memberi kesamaan antara Arkeologi dan Epigrafi, yaitu
dalam Deskripsi maka Epigrafi mengenal heuristik, kemudian Pengolahan data
maka Epigrafi mengenal kritik intern dan ekstern, sedangkan Interpretasi maka
Epigrafi juga mengenal interpretasinya, ditambahkan Historiografi sebagai kesatuan
pelengkap dalam merangkai deretan kerangka sejarah di Indonesia.
A. Dasar-dasar Analisis Prasasti
1. Deskripsi
Unsur Fisik, data yang diambil berupa bahan, jumlah lempeng (apabila
lempengan), ukuran, aksara dan keadaaan prasasti. Bahan yang digunakan
umumnya batu andesit dan padas, jikalau logam umumnya menggunakan tembaga,
perak, emas dan perunggu serta tanah liat bakar. Jumlah lempeng; pada prasasti
dengan lempengan dengan jumlah banyak, pastikan apakah ditulis dikedua sisi atau
11
hanya satu sisi. Umumnya selalu ada nomor lempeng pada setiap pinggirannya.
Ukuran; pendataan ukuran meliputi tinggi, lebar serta tebal prasasti (batu) atau
panjang dan lebar (logam), foto keseluruhan dan foto kekhasan bagian, hiasan
prasasti, jumlah baris tulisan dan bidang penulisan prasasti. Aksara dan bahasa;
harap ditelaah dengan teliti mengenai aksara dan bahasa, apakah terdapat kesamaan
antara aksara dengan bahasa yang digunakan, kemudian terakhir untuk dilakukan
adalah bagaimana keadaan prasasti, dalam kondisi baik atau sudah rusak, jelaskan
secara rinci
Unsur Isi, pada bagian tentukan berdasarkan apa yang diceritakan prasasti,
terutama bagian sambadha (sebab daerah tersebut dijadikan sima).
2. Transkripsi dan Transliterasi
Trasnskripsi dan Transliterasi umumnya sering digunakan dalam
mengartikan definisi ini, namun lebih tepat menggunakan transliterasi, yaitu
penulisan ulang aksara ke dalam bentuk aksara lain yang sudah dikenal (aksara
Latin). Sedangkan Transkripsi lebih cenderung dalam artian, menyalin ulang tanpa
ada suatu perubahan.
B. Penyuntingan Prasasti
Setelah dianalisis, prasasti tersebut ibarat diseleksi sesuai kebutuhan
peneliti. Apakah semua data yang dikumpulkan memiliki kedudukan yang sama
(harus diteliti secara rinci) ataukah hanya sebagian yang dipilih dari sekian banyak
data. Mengenai hal salinan atau turunan, pada prasasti tidak sebanyak ditemukan
pada naskah, prasasti yang disalin hanya sedikit sekali serta mencantumkan
keterangan bahwa prasasti tersebut tinulad (turunan).
Menurut St. Barroroh Baried, penerapan penyuntingan dan edisi teks
terhadap prasasti adalah dengan metode edisi naskah tunggal, karena sifat prasasti
yang tunggal dan tidak disalin dalam jumlah banyak.
Metode edisi naskah tunggal:
12
Edisi Diplomatik; menerbitkan naskah tanpa mengadakan perubahan
apapun. Jadi apabila menyunting prasasti tidak perlu perbaikan jikalau ada
kesalahan atau penambahan jikalau ada kekurangan. Keterangan perbaikan dari
penulis dan keterangan perubahan dari ahli lain ditulis dalam catatan kaki. (edisi ini
adalah yang sering digunakan para Epigraf)
Edisi Standar; menerbitkan naskah dengan mengadakan perbaikan
kesalahan kecil dan ketidakkonsistenan, ejaannya disesuaikan dengan ketentuan
berlaku. Hal ini menjadikan naskah atau alihaksara prasasti sudah ada dalam
tahapan perbaikan dan sempurna (telah berubah dari data awal).
C. Artefak berbahasa jawa
1. Prasasti
Prasasti adalah piagam atau dokumen yang ditulis pada bahan yang keras
dan tahan lama. Penemuan prasasti pada sejumlah situs arkeologi, menandai akhir
dari zaman prasejarah, yakni babakan dalam sejarah kuno Indonesia yang
masyarakatnya belum mengenal tulisan, menuju zaman sejarah, dimana
masyarakatnya sudah mengenal tulisan. Ilmu yang mempelajai tentang prasasti
disebut Epigrafi.
Di antara berbagai sumber sejarah kuno Indonesia, seperti naskah dan berita
asing, prasasti dianggap sumber terpenting karena mampu memberikan kronologis
suatu peristiwa. Ada banyak hal yang membuat suatu prasasti sangat
menguntungkan dunia penelitian masa lampau. Selain mengandung unsur
penanggalan, prasasti juga mengungkap sejumlah nama dan alasan mengapa
prasasti tersebut dikeluarkan.
Dalam pengertian modern di Indonesia, prasasti sering dikaitkan dengan
tulisan di batu nisan atau di gedung, terutama pada saat peletakan batu pertama atau
peresmian suatu proyek pembangunan. Dalam berita-berita media massa, misalnya,
kita sering mendengar presiden, wakil presiden, menteri, atau kepala daerah
meresmikan gedung A, gedung B, dan seterusnya dengan pengguntingan pita dan
13
penandatanganan prasasti. Dengan demikian istilah prasasti tetap lestari hingga
sekarang.
Etimologi
Kata prasasti berasal dari bahasa Sanskerta, dengan arti sebenarnya adalah
"pujian". Namun kemudian dianggap sebagai "piagam, maklumat, surat keputusan,
undang-undang atau tulisan". Di kalangan arkeolog prasasti disebut inskripsi,
sementara di kalangan orang awam disebut batu bertulis atau batu bersurat.
Meskipun berarti "pujian", tidak semua prasasti mengandung puji-pujian
(kepada raja). Sebagian besar prasasti diketahui memuat keputusan mengenai
penetapan sebuah desa atau daerah menjadi sima atau daerah perdikan. Sima adalah
tanah yang diberikan oleh raja atau penguasa kepada masyarakat yang dianggap
berjasa. Karena itu keberadaan tanah sima dilindungi oleh kerajaan.
Isi
Isi prasasti lainnya berupa keputusan pengadilan tentang perkara perdata
(disebut prasasti jayapatra atau jayasong), sebagai tanda kemenangan (jayacikna),
tentang utang-piutang (suddhapatra), dan tentang kutukan atau sumpah. Prasasti
tentang kutukan atau sumpah hampir semuanya ditulis pada masa kerajaan
Sriwijaya. Serta adapula prasasti yang berisi tentang genealogi raja atau asal usul
suatu tokoh.
Sampai kini prasasti tertua di Indonesia teridentifikasi berasal dari abad ke-5
Masehi, yaitu prasasti Yupa dari kerajaan Kutai, Kalimantan Timur. Prasasti
tersebut berisi mengenai hubungan genealogi pada masa pemerintahan raja
Mulawarman. Prasasti Yupa merupakan prasasti batu yang ditulis dengan huruf
Pallawa dan bahasa Sanskerta. Periode terbanyak pengeluaran prasasti terjadi pada
abad ke-8 hingga ke-14. Pada saat itu aksara yang banyak digunakan adalah
Pallawa, Prenagari, Sanskerta, Jawa Kuna, Melayu Kuna, Sunda Kuna, dan Bali
14
Kuna. Bahasa yang digunakan juga bervariasi dan umumnya adalah bahasa
Sanskerta, Jawa Kuna, Sunda Kuna, dan Bali Kuna.
Prasasti dapat ditemukan dalam bentuk angka tahun maupun tulisan singkat.
Angka tahun dapat ditulis dengan angka maupun candrasengkala, baik kata-kata
maupun tulisan. Tulisan singkat dapat ditemukan pada dinding candi, pada ambang
pintu bagian atas dan pada batu-batu candi.
Pada zaman kerajaan Islam, prasasti menggunakan aksara dan bahasa Arab
ataupun aksara Arab namun berbahasa Melayu aksara Pegon. Sebagian besar
prasasti terdapat pada lempengan-lempengan tembaga bersurat, makam, masjid,
hiasan dinding, baik di masjid maupun dirumah para bangsawan, pada cincin cap
dan cap kerajaan, mata uang, meriam, dll. Pada masa yang lebih muda yaiyu masa
kolonial, aksara Latin banyak digunakan, meliputi bahasa-bahasa Inggris, Portugis,
dan Belanda. Prasasti Latin umumnya terdapat pada gereja-gereja, rumah dinas
pejabat kolonial, benteng-benteng, tugu peringatan, meriam, mata uang, cap, dan
makam. Prasasti beraksara dan berbahasa Cina juga dikenal di Indonesia yang
tersebar antara masa Klasik sampai masa Islam. Prasasti tersebut terdapat pada mata
uang, benda-benda porselin, gong perunggu dan batu-batu kubur yang biasanya
terbuat dari batuan pualam.
Bahan yang digunakan untuk menuliskan prasasti biasanya berupa batu atau
lempengan logam, daun, dan kertas. Selain andesit, batu yang digunakan adalah
batu kapur, pualam, dan basalt. Dalam arkeologi, prasasti batu disebut upala
prasasti. Prasasti logam yang umumnya terbuat dari tembaga dan perunggu, biasa
disebut tamra prasasti. Hanya sedikit sekali prasasti yang berbahan lembaran perak
dan emas. Adapula yang disebutripta prasasti, yakni prasasti yang ditulis di atas
lontar atau daun tal. Beberapa prasasti terbuat tanah liat atau tablet yang diisi
dengan mantra-mantra agama Buddha.
Prasasti-prasasti berikut berbahasa Jawa, baik Jawa Kuna (Kawi) maupun Baru :
15
Prasasti Plumpungan, Dukuh Plumpungan, Desa Kauman Kidul, Kecamatan
Sidorejo, Salatiga, Jawa Tengah, 24 Juli 750
Prasasti Sukabumi, Sukabumi, Pare, Kediri, Jawa Timur, 25 Maret 804
Prasasti Kayumwungan, Karangtengah, Temanggung, Jawa Tengah (dwibahasa),
824
Prasasti Siwagrha (Prasasti kakawin tertua Jawa), 856
Prasasti Taji, 901
Prasasti Mantyasih, Desa Meteseh, Magelang Utara, Jawa Tengah, 11 April 907
Prasasti Rukam, 907
Prasasti Wanua Tengah III, 908
Prasasti Wurudu Kidul, tanpa tahun, ~ 922
Prasasti Mula Malurung, Kediri, 1255[5]
Prasasti Sarwadharma, pemerintahan Kertanegara, 1269
Prasasti Sapi Kerep, Desa Sapi Kerep, Sukapura, Probolinggo, 1275[5]
Prasasti Singhasari 1351, Singosari, Malang, Jawa Timur, 1351
Prasasti Ngadoman, Ngadoman (Salatiga), Jawa Tengah, 1450
Prasasti Pakubuwana X, Surakarta, Jawa Tengah, 1938
2. Lontar, Serat, kitab dan sebagainya
Negarakertagama
Negarakertagama adalah naskah lontar yang ditemukan dan dirampas oleh
Belanda di Puri Cakranegara Lombok tahun 1894. Naskah ini menggunakan bahasa
Jawa Kuno, berhuruf Bali dan berbentuk puisi (kakawin). Naskah ini ditulis oleh
Mpu Prapanca seorang pujangga Majapahit ditulis tahun 1365 setahun setelah
Gajah Mada wafat. Sekarang naskah ini disimpan di Universitas Leiden Belanda.
Beberapa sejarawan telah menterjemahkan naskah seperti oleh Brandes dan H.
Kern. Sementara sejarawan Indonesia yang menterjemahkan naskah ini adalah Prof.
Slametmulyono (1953).
Secara garis besar isi dari naskah Negarakertagama antara lain : tinjauan
filsafat Prapanca dan tujuan penulisan, susunan pemerintah pusat dan pemerintahan
dalam negeri Majapahit, wilayah nusantara yang dikuasai Majapahit, penyiaran
16
agama Hindu-Budha, catatan perjalanan Hayam Wuruk ke Jawa Tengah dan Jawa
Timur, sejarah Singasari-Majapahit sejak Ken Arok hingga Hayam Wuruk dan
Gajah Mada, upacara kebesaran di Majapahit, dan peraturan mengenai pertanahan
agraria.
Pararaton
Naskah ini menggunakan bahasa Jawa Kuno, berbentuk prosa, tidak
diketahui penulisnya dan disusun sekitar abad 16. Pararaton berisi tentang riwayat
Ken Arok. Tahun 1920 naskah Pararaton ditulis ke dalam bahasa Romawi dan
diterjemahkan oleh Brandes. Nasakah Pararaton berisi tentang kisah Ken Arok
sebagai pendiri wangsa Rajasa, istrinya Ken Dedes dan sejarah Majapahit 1486.
Kidung Sundayana
Kidung Sundayana berbentuk puisi (kidung). Naskah ini ditemukan di Bali dan
menggunakan bahasa Jawa Kuno dengan pengarang yang belum diketahui. Isi
secara umum naskah Kidung Sundayana bercerita tentang kronologis perang Bubat
yang diawali dengan keinginan Hayam Wuruk mencari permaisuri. Maka
terpilihlah putri dari kerajaan Pajajaran yang bernama Citraloka. Rombongan
Pajajaran dan putri Citraloka akhirnya datang ke Majapahit. Di sinilah awal
masalah terjadi ketika Gajah Mada tidak senang dengan cara Hayam Wuruk
menyambut kerajaan Pajajaran. Muncullah perselisihan paham antara Gajah Mada,
Hayam Wuruk dan pihak Pajajaran. Tidak adanya kesepakatan pihak meyebabkan
pertempuran antara kedua belah. Raja Pajajaran terbunuh dalam peristiwa ini dan
Citraloka akhirnya bunuh diri.
Babad Tanah Jawi
Naskah ini bercerita tentang pasang surut sejarah Jawa yang meliputi akhir
kerajaan Majapahit 1525 sampai Perjanjian Giyanti 1755 yang membagi Mataram
menjadi Surakarta dan Yogyakarta. Secara rinci isi Babad Tanah Jawi adalah
Kerajaan Demak Bintoro, Mataram, walisongo terutama figur Sunan Kalijaga dan
perpecahan Mataram.
17
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Epigrafi sangat erat kaitannya dengan artefak masa sejarah dan harus
mengikuti jejak perkembangan artefak sesuai dengan seluk-beluk dan latar
belakangnya, sedangkan orang yang menjurus pada penguasaan artefak pada
umumnya menggunakan data epigrafi secara sekunder.
Epigrafi adalah ilmu atau kajian tentang prasasti, khususnya penguraian kata
dan interpretasi prasasti. Singkatnya epigrafi mengkaji prasasti, khususnya prasasti
kuno, terutama atas dasar gaya huruf tulisan dan bahasa yang digunakan, untuk
mengetahui antara lain masa perkembangan artefak/monumen dan seluk beluk lain.
Dalam tulisan/buku umum tentang arkeologi, istilah epigrafi sangat jarang
kita jumpai. Kadang-kadang, jika istilah ini disebut cukup diberi penjelasan singkat
bahwa epigrafi ialah kajian tentang prasasti yang terdapat pada monumen, arca,
materai dan sebagainya.
Bahasa Jawa merupakan satu diantara bahasa yang banyak digunakan untuk
menuliskan suatu peninggalan di Indonesia. Baik temuan berupa prasasti, lontar
maupun kitab dan serat-serat kuno. Dengan menguasai Bahasa Jawa, Sejarawan
dapat membaca dan menganalisa isi yang tercantum pada Artefak. Maka dari itu,
Bahasa jawa termasuk dalam salah satu ilmu Epigrafi yang dapat digunakan sebagai
acuan untuk membantu ilmu sejarah dalam mengungkap tabir misteri sejarah.
18
Daftar Pustaka
Boechari,2012,Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti.Jakarta:KPG.
Sjamsuddin, H. & Ismaun. 1996. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta
J.G.de Casparis, 1975. Indonesia Palaeography; A History of Writting in Indonesia from
the Beginnings to Century AD. 1500, dalam: Handbuch der Orientalistik. Leiden/Koln,
E.J.Brill.
R.P.Soejono, 2001, Epigrafi dan Arkeologi di Indonesia, dalam Membaca dan
Mengungkap Kearifan Masa Lalu. Malang : Aksara dan Makna
Siti Baroroh Baried,dkk, 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
id.wikipedia.org (diakses pada 13 Maret 2015)
Epigraphycorner.blogspot.com (diakses pada 13 Maret 2015)
Historiajaya.blogspot.com (diakses pada 13 Maret 2015)
19