9
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bioekologi Mangrove
Ekosistem mangrove merupakan komunitas vegetasi tropis yang didominasi
oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada
daerah pasang surut pantai berlumpur. Ekosistem mangrove tumbuh dengan baik
didaerah pesisir yang terlindung seperti delta dan estuaria (Bengen 2001). Zonasi
ekosistem mangrove dibentuk oleh keadaan topografi, frekuensi pasang surut,
lamanya penggenangan, komposisi dan stabilitas sedimen tempat tumbuh (tipe
substrat), salinitas air dan tanah, dinamika ‘propagule’ dan dinamika pemakanan
biji mangrove atau organisme yang berasosiasi dengan mangrove. Pada keadaan
tertentu hanya ditemukan satu zona (Saptarini et al. 1996). Sementara itu zonasi
ekosistem magrove terbagi atas daerah yang dekat dengan laut dengan substrat
sedikit berpasir, daerah seperti ini sering ditumbuhi oleh Avicennia spp Sedangkan
pada daerah pinggir daerah ini terdapat area yang sempit, berlumpur tebal dan
teduh sehingga Avicennia tidak dapat tumbuh, jenis yang berasosiasi pada daerah
ini adalah Sonneratia spp. (Bengen 2002a)
Dahuri (2003) mengatakan bahwa di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis
tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat,
44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan satu jenis paku. Dari 202 jenis tersebut, 43
jenis yang merupakan mangrove sejati (true mangrove). Vegetasi mangrove dapat
dibagi menjadi tiga, yaitu vegetasi utama, vegetasi pendukung, dan vegetasi
asosiasi.
2.1.1 Fungsi Ekosistem Mangrove
Keberadaan ekosistem pada suatu kawasan tentu saja banyak memberikan
fungsi dan manfaat bagi lingkungan secara biotik, dan manfaat sosial ekonomi
bagi masyarakat sekitarnya.
Menurut Bengen (2002), ekosistem mangrove memiliki beberapa fungsi
bioekologis dan sosioekologis yaitu:
� Fungsi perlindungan terhadap abrasi laut
� Fungsi menangkap sedimen
10
� Fungsi sebagai daerah penghasil makanan
� Sebagai spawning ground, nursery ground dan feeding ground
� Sebagai daerah bersarang burung
� Habitat alami yang memberikan kesinambungan ekologis
� Fungsi mencegah terjadinya keasaman tanah
� Fungsi perlindungan dari bahaya angin laut
� Fungsi menghambat intrusi air laut
� Daerah penghasil kayu
� Daerah penghasil ikan
� Daerah pariwisata
Manfaat lain dari tumbuhan mangrove adalah bahwa bijinya mengandung
antioksidan dan bahan aktif untuk melindungi kulit dari sengatan sinar ultraviolet.
Dari hasil penelitian hingga praklinis membuktikan bahwa biji mangrove
(Xylocarpus granatin) mengandung flavonoid dan tanin. Manfaatnya sangat besar
untuk mencegah terjadinya kanker kulit akibat sering terbakar sinar matahari.
Ekstrak biji mangrove mengandung Sun Protector Filter (SPF) 22. Sementara itu,
Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk tabir surya SPF-nya minimal 15. Maka
tabir surya dari mangrove itu lebih dari cukup untuk melindungi kulit dari
sengatan matahari (Linawati, 2003).
2.1.2 Kerusakan Ekosistem Mangrove
Kerusakan vegetasi merupakan tipe dan intensitas dari efek manapun, efek
yang terjadi pada satu ataupun lebih tipe vegetasi yang datang dari luar ekosistem
baik yang bersifat sementara ataupun permanen akan mengurangi nilai finansiil
atau akan merubah kemampuan pertumbuhan dan reproduksi.
Penyebab kerusakan ekosistem mangrove dapat di kategorikan kedalam tiga
jenis (Kusmana dan Onrizal, 1998):
a) Gangguan Fisik Mekanis, yang meliputi: Abrasi pinggir pantai atau pinggir
sungai, sedimentasi dengan laju yang tidak terkendali, banjir yang
menyebabkan melimpahnya air tawar, dan gempa bumi yang disertai dengan
tsunami.
11
b) Ganguan Kimia, yang meliputi: Pencemaran air, tanah dan udara, serta adanya
hujan asam.
c) Ganguan Biologi, yang meliputi: Adanya konversi mangrove untuk kegiatan
pemukiman, industri, pertambakan, pertanian, pertambangan, sarana angkutan
dan penggunaan lahan non kehutanan. Kegiatan penebangan pohon yang tidak
memperhatikan azas kelestarian hutan, serta adanya invasi Acrostichum
aureum (piay) dan adanya jenis semak belukar lanilla.
Proses berkurangnya lahan mangrove di beberapa provinsi disebabkan bisa
disebabkan oleh beberapa factor berikut ini (Kusmana 1998):
a) Konversi ekosistem mangrove menjadi bentuk lahan penggunaan lain, seperti
pemukiman, pertanian, industri, pertambangan dan lanilla.
b) Kegiatan eksploitasi hutan yang tidak terkendali oleh preusan-perusahaan Hak
Pengelola Hutan (HPH) serta penebangan liar dan bentuk perambahan hutan
lanilla.
c) Polusi di perairan estuary, pantai, dan lokasi-lokasi perairan lainnya dimana
terdapat tumbuhan mangrove.
d) Terjadinya pembelokan aliran sungai maupun proses sedimentasi dan abrasi
yang tidak terkendali.
Kriteria Baku Kerusakan Mangrove sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
merupakan cara untuk menentukan status kondisi mangrove yang diklasifikasikan
dalam kriteria yaitu:
a) Baik (Sangat Padat);
b) Baik (Sedang);
c) Rusak
Kriteria baku kerusakan mangrove dapat dilihat pada tabel 1 berikut:
Tabel 1 Kriteria baku kerusakan mangrove
No Kriteria Penutupa
n (%)
Kerapatan
(pohon/ha)
1 Baik Sangat Padat >75 >1500 2 Sedang >50 – <75 1000 – <1500 3 Rusak Jarang <50 <1000
Sumber: Kepmen LH No.201 Tahun 2004.
12
2.1.3 Rehabilitasi Ekosistem Mangrove
Mangrove memiliki kemampuan memperbaiki habitatnya sendiri dengan
mengembangkan strategi establishmen, pertumbuhan dan perkembangan, serta
regenerasi. Namun pada kondisi-kondisi tertentu regenerasi alami pada mangrove
akan terhambat terutama bila terjadi perubahan kondisi fisik habitat kearah yang
tidak normal seperti halnya perubahan hidrologi. Bila kondisi ini yang terbentuk
maka tindakan perbaikan habitat secara konvensional (penanaman) sering tidak
berhasil meskipun dilakukan secara berulang-ulang (Djamaluddin, 2004).
Menurut Permenhut Nomor: P.70/Menhut-II/2008 Tentang Pedoman Teknis
Rehabilitasi Hutan dan Lahan, bahwa sasaran lokasi kegiatan rehabilitasi hutan
mangrove adalah di dalam kawasan hutan pada hutan lindung yang
terdeforestasi, hutan produksi (yang tanahnya miskin/ kritis dan tidak dibebani
hak serta tidak dicadangkan/proses perizinan untuk pembangunan hutan tanaman-
HTI/HTR), serta Taman Hutan Raya (Tahura) yang dikelola oleh
Kabupaten/Kota, dan di luar kawasan hutan pada lahan tegakan mangrove yang
telah mengalami degradasi/deforestasi sehingga terganggu fungsi ekologis, sosial
dan ekonominya. Disamping itu rehabilitasi dilakukan pula pada kawasan pantai
berhutan bakau, sesuai Keppres No. 32 Tahun 1990 dimana perlindungan
terhadap kawasan ini dilakukan untuk melestarikan hutan bakau sebagai
pembentuk ekosistem hutan bakau dan tempat berkembangbiaknya berbagai biota
laut disamping sebagai perlindungan pantai dari pengikisan air laut serta
perlindungan usaha budidaya di belakangnya.
Rehablitasi perlu dipertimbangkan untuk dilakukan ketika suatu sistem telah
berubah dalam tingkat tertentu sehingga tidak dapat lagi memperbaiki atau
memperbaharui diri secara alami. Pada kondisi seperti ini ekosistem homeostasis
telah berhenti secara permanen, dan proses kedua untuk perbaikan secara alami
pasca kerusakan telah terhambat oleh karena beberapa kondisi (Lewis 1982, diacu
dalam Djamaludin 2004). Untuk banyak kasus seringkali pengelola suatu program
rehabilitasi melakukan penanaman mangrove sebagai kegiatan pertamanya.
Sebaiknya kegiatan rehabilitasi yang dilakukan berdasarkan diketahuinya
penyebab hilangnya ekosistem mangrove di wilayah tersebut, kemudian baru
dilakukan penanganan penyebab tersebut dan perbaikan habitat mangrove yang
13
ada. Bibit mangrove ditanam hanya jika mekanisme alami tidak memungkinkan
dan apabila secara hidrologi telah memungkinkan (Djamaluddin 2004).
Menurut Lewis (1982) diacu dalam Djamaluddin (2004) semua habitat
mangrove dapat memperbaiki kondisi alami dalam waktu 15-20 tahun, jika paling
tidak dua kondisi ini terpenuhi:
a) Kondisi normal hidrologi tidak terganggu.
b) Ketersedian biji dan bibit mangrove serta jaraknya tidak terganggu atau
terhalangi.
Jika kondisi hidrologi pada kondisi normal tetapi biji mangrove tidak dapat
mendekati daerah rehabilitasi, maka rehabilitasi dapat dilakukan secara
konvensional yaitu melalui penanaman. Secara umum rehabilitasi mangrove dapat
dilakukan tanpa penanaman, maka rehabilitasi fisik dilakukan dengan terlebih
dahulu melihat potensi aliran air laut yang terhalangi atau tekanan lingkungan
lainnya yang menghalangi perkembangan mangrove. Jika aliran air terhalangi dan
ditemukan adanya tekanan lain maka hal tersebut harus ditangani terlebih dahulu,
dan perlu dipastikan ketersediaan bibit alami. Bila bibit alami tidak tersedia maka
perlu dilakukan penanaman untuk membantu perbaikan secara alami
(Djamaluddin 2004).
Sangat disayangkan banyak kegiatan rehabilitasi mangrove langsung
dimulai dengan aktivitas penanaman tanpa mempertimbangkan mengapa
perkembangan secara alami tidak terjadi. Seringkali kegiatan seperti ini
mengakibatkan terjadinya kegagalan, haltersebut dapat dilihat pada beberapa
proyek yang telah dilakukan Di Indonesia. Ada lima tahap yang penting yang
perlu diperhatikan untuk rehabilitasi mangrove, yaitu:
a) Memahami autekologi (ekologi tiap jenis mangrove), pola reproduksi,
distribusi benih dan keberhasilan pembentukan bibit.
b) Memahami pola hidrologi normal yang mengatur distribusi dan keberhasilan
pembentukan dan pertumbuhan jenis mangrove yang menjadi target.
c) Memperkirakan perubahan lingkungan mangrove asli yang menghalangi
pertumbuhan alami mangrove.
14
d) Disain program rehabilitasi fisik untuk memperbaiki hidrologi yang layak, dan
jika memungkinkan digunakan benih alami mangrove untuk melakukan
penanaman.
e) Hanya melakukan penanaman bibit, memungut, atau mengolah biji setelah
memperhatikan langkah-langkah tersebut diatas.
Faktor yang paling penting dalam mendesain suatu kegiatan rehabilitasi
mangrove adalah pengenalan hidrologi (frekuensi dan durasi pasang surut) yang
berlaku pada suatu komunitas mangrove yang berdekatan dengan area rehabilitasi.
Pengumpulan data akan memerlukan biaya yang cukup besar karena akan
mengamati batas air pasang surut, serta melakukan survei terhadap mangrove
yang tumbuh sehat untuk mendapatkan suatu penampang distribusi spasial,
kemiringan, dan morfologi suatu ekosistem mangrove yang kemudian menjadi
model kontruksi. Penimbunan dan penggalian kembali bekas galian diperlukan
untuk membentuk tingkat kemiringan yang sama serta ketinggian relatif terhadap
batas areal yang ditentukan untuk memastikan hidrologinya sudah tepat
(Djamaluddin 2004).
Areal dimana penimbunan dilakukan terhadap lahan yang pernah ditumbuhi
mangrove, dilakukan pengerukan kembali lahan tersebut untuk mencapai tanah
humus mangrove sebelumnya, atau dapat pula disesuaikan dengan ketinggian
magrove yang ada disekitarnya. Bentuk lain dari rehabilitasi mangrove yaitu
melibatkan penggabungan kembali areal-areal hidrologi yang terpisah ke situasi
jangkauan air yang normal (Djamaludin, 2004).
Penanaman mangrove hanya diperlukan jika pertumbuhan alami tidak
mungkin terjadi akibat kurangnya bibit/kecambah (propagade) taupun kondisi
tanah yang kurang mendukung. Ketika penanaman diperlukan, penempatan bibit
Rhizophora yang telah matang secara langsung ke dalam hunus dapat
mempercepat pertumbuhan mangrove. Proses tersebut tidak dapat dilakukan pada
mangrove jenis lainnya karena diperlukan pelepasan kulit biji dari kecambah
sebelum pembentukannya, serta diperlukan akar yang menyentuh permukaan
tanah secara langsung dengan kotiledon yang terbuka. Kematian bibit pada tahap
awal jarang terjadi, namun tingkat keberhasilannya hanya sekitar 50 persen.
Meskipun penanaman pada musim panas adalah yang ideal, tetapi bibit mangrove
15
dapat juga ditanam sepanjang tahun dengan hasil yang memuaskan (Djamaluddin
2004).
Illegal logging termasuk yang terjadi pada kawasan hutan mangrove telah
menyebabkan perubahan iklim yang ekstrim di berbagai perjuru dunia, sehingga
rehabilitasi ekosistem mangrove dapat juga digunakan sebagai salah satu solusi
pengurangan dampak pemanasan global tersebut, terutama di negara-negara
kepulauan. Aksi nyata yang dapat dilakukan adalah reforestasi pada ekositem
mangrove yang rusak, untuk program jangka panjang diperlukan kejelasan dan
manfaat dari adanya ekosistem mangrove terhadap masyarakat setempat. Salah
satu program yang dianjurkan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah
silvofishery yang menerapkan kegiatan yang ramah lingkungan dengan
menggabungkan tumbuhan dengan perikanan. Program ini dapat menerapkan
sistem empang parit atau empang inti, empang parit merupakan sistem dimana
tumbuhan mangrove berada ditengah-tengah kolam dengan dikelilingi oleh parit,
sedangkan empang inti merupkan kebalikannya yaitu parit yang dibuat dikelilingi
oleh tumbuhan mangrove. Sistem ini sebenarnya dapat memberikan banyak
keuntungan antara lain adalah kontruksi kolam akan lebih stabil karena adanya
perakaran dan kualitas air akan lebih baik karena tersaring akar. Sistem ini juga
akan terbantu oleh proses dekomposisi material organik karena adanya mikrobia
pada dasar (debris) dan daun mangrove yang jatuh bersifat alelopaty dapat
menurunkan patogen pada ikan. Selain itu sistem silvofishery juga dapat
mengurangi intrusi air laut karena berfungsi sebagai greenbelt dan merupakan
mitigasi terhadap climate change karena dapat menyerap karbondioksida dari
udara. Oleh karena itu masyarakat setempat dapat berpartisipasi aktif dalam
mengelola ekosistem mangrove sekaligus melakukan mitigasi terhadap perubahan
iklim (Primavera. 2000}.
2.2 Kegiatan Budidaya Di Wilayah Pesisir
Kegiatan budidaya di wilayah pesisir berupa budidaya pada tambak
merupakan kegiatan pemeliharaan dan pembesaran biota perairan dalam suatu
perairan tambak dalam waktu tertentu untuk mendapatkan hasilnya dengan cara
memanennya. Pengertian tambak adalah kolam ikan yang dibuat pada lahan pantai
16
laut dan menggunakan air laut (bercampur dengan air sungai) sebagai
penggenangnya. Tambak berasal dari kata ”nambak” yang berarti membendung
air dengan pematang sehingga terkumpul pada suatu tempat. Bentuk tambak
umumnya persegi panjang dan tiap petakan dapat meliputi areal seluas 0,5 sampai
2 ha. Deretan tambak dapat mulai dari tepi laut terus ke pedalaman sejauh 1-3 km
(bahkan ada yang mencapai 20 km) tergantung sejauh mana air pasang laut dapat
mencapai daratan (Hardjowigeno 2001). Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka
(2001), berdasarkan letak tambak terhadap laut dan muara sungai yang memberi
air ke tambak, maka dapat dibedakan tiga jenis tambak, yaitu:
(a) Tambak layah, adalah tambak yang terletak dekat sekali dengan laut atau lebih
jauh, tetapi air laut masih dapat menggenangi tambak tanpa mengurangi
salinitas yang menyolok, sehingga tambak tersebut berisi air laut yang
berkadar garam 30 ‰.
(b) Tambak biasa, adalah tambak yang terletak di belakang tambak layah dan
selalu terisi campuran air asin dari laut dan air tawar dari sungai, setelah kedua
macam air tersebut tertahan dalam petakan tambak, maka terciptalah air payau
dengan kadar garam 15 ‰.
(c) Tambak darat, adalah tambak yang terletak jauh dari pantai laut. Tambak ini
kurang memenuhi syarat untuk produksi biota air payau karena salinitasnya
rendah (5-10 ‰).
Biota perairan yang umum dibudidayakan di tambak antara lain: udang
vaname (Litopenaeus vannamei), udang windu (Penaeus monodon), udang putih
(Penaeus merguensis), bandeng (Chanoschanos), kakap (Lates calcalifer), nila
merah (Oreochromis niloticus), dan rumput laut (Euchema spp). Di wilayah
Kalimantan mulai muncul usaha budidaya kepiting bakau (Scylla serrata) di
tambak. Udang windu dan uadng vaname merupakan komoditas yang paling
populer dibudidayakan, karena permintaan pasar luar negeri yang semakin
meningkat dengan harga yang relatif tinggi. Komoditas lain yang cukup banyak
diusahakan, terutama di tambak tradisional adalah bandeng. Perkembangan
teknologi budidaya bandeng cenderung lambat, namun merupakan komoditas
yang banyak diproduksi dan dikonsumsi.
17
Untuk memperoleh produksi tambak yang diharapkan, kegiatan budidaya
tambak udang harus memperhatikan daya dukung lahan. Poernomo (1992)
menyatakan daya dukung tambak dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu: tipe
dasar pantai, tipe garis pantai, arus, amplitudo pasang surut, elevasi, mutu tanah,
air tawar, jalur hijau, dan curah hujan. Dari daya dukung tersebut maka dapat
ditentukan tingkat teknologi budidaya yang tepat, yaitu tradisional, semi intesif,
atau intensif.
Pada umumnya tambak Di Indonesia yang dikelola dengan tidak
menggunakan kincir, sedikit menggunakan pakan, serta menerapkan pemupukan
sudah mampu memproduksi udang antara 500-750 kg/ha/4 bulan. Tambak yang
dikelola dengan sistem tradisional ini akan memberikan kelangsungan produksi
yang lebih lestari dibanding sistem intensif (Widigdo 2002). Di Philipina tambak
yang lestari dan memiliki mutu produk yang baik adalah tambak yang
menerapkan teknologi rendah (tradisional) dengan target produksi sekitar 600-750
kg/ha/4 bulan (Widigdo 2002). Sejalan dengan itu, Poernomo (1992) menyatakan
bahwa tambak semi intensif mempunyai target produksi antara 2-4 ton/ha,
sedangkan untuk tambak ekstensif target produksinya antara 500-750 kg/ha.
Tambak yang dikelola dengan sistem ekstensif akan memberikan kelangsungan
produksi yang lestari daripada sistem semi intensif.
2.2.1 Perikanan dan Rehabilitasi Mangrove
Dalam mengakomodasi kebutuhan lahan dan lapangan pekerjaan, hutan
mangrove dapat dikelola dengan model silvofishery atau wanamina yang dikaitkan
dengan program rehabilitasi pantai dan pesisir. Kegiatan silvofishery berupa
empang parit pada kawasan hutan mangrove, terutama di areal Perum Perhutani
telah dimulai sejak tahun 1978. Empang parit ini pada dasarnya adalah semacam
tumpangsari pada hutan jati, di mana ikan dan udang sebagai pengganti tanaman
polowijo, dengan jangka waktu 3-5 tahun masa kontrak (Wirjodarmodjo dan
Hamzah 1984). Semula, empang parit ini hanya berupa parit selebar 4 m yang
disisihkan dari tepi areal kegiatan reboisasi hutan mangrove, sehingga
keluasannya mencapai 10-15% dari total area garapan. Jarak tanam 3 m x 2 m,
dengan harapan 4-5 tahun pada akhir kontrak, tajuk tanaman sudah saling
18
menutup (Wirdarmodjo dan Hamzah, 1984; Perum Perhutani Jawa Barat, 1984).
Sejak tahun 1990 dibuat sistem pola terpisah (komplangan) dengan 20 % areal
untuk budidaya ikan dan 80% areal untuk hutan dengan pasang surut bebas. Dari
sistem silvofishery semacam ini dengan pemeliharaan bandeng dan udang liar
dapat dihasilkan keuntungan sebesar Rp 5.122.000,-/ha/tahun untuk 2 kali panen
setiap tahun (Perum Perhutani 1995). Dalam membandingkan pola silvofishery di
Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, pola komplangan menunjukkan perbandingan
relatif lebih baik daripada pola empang parit, baik dalam hal produktivitas
perairan maupun pertumbuhan mutlak, kelangsungan hidup maupun biomassa
bandeng yang dipelihara pada masing-masing pola (Sumedi dan Mulyadhi, 1996).
Selisih pertumbuhan mutlaknya hanya 9,6 g sedangkan biomassanya 7,1 kg/m3.
Hasil ini berbeda dengan penelitian Poedjirahajoe (2000) yang mengemukakan
bahwa justru pola empang parit menghasilkan bandeng pada usia 3 bulan dengan
berat rata-rata 1 kg lebih berat dibandingkan dengan pola komplangan. Namun
demikian, kedua sistem ini turut membantu dalam meningkatkan pendapatan
petambak. Masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan mangrove dengan sistem
ini cukup besar. Data dari KPH Purwakarta menunjukkan bahwa dari luas areal
mangrove seluas 14.535 ha dapat melibatkan sebanyak 4.342 KK dalam kegiatan
silvofoshery (Perhutani Purwakarta, 2005). Kontribusi dari usaha budidaya
tambak dengan luas total 208.000 ha dapat menghasilkan 129.279 ton ikan dan
udang yang apabila ditaksir, nilainya melebihi dari Rp 138 milyar. Kegiatan ini
pun dilaporkan dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 117.034 KK yang sudah
barang tentu dapat memberikan penghasilan yang lebih baik bagi petani kecil
(Fitzgerald and Savitri. 2002).
2.2.2 Budidaya Perikanan Yang Ramah Lingkungan
Pada Code of Conduct for Responsible Fisheries Artikel 9 Mengenai
Pembagunan Budidaya (FAO. 1995) mensyaratkan antara lain bahwa :
a) Pemerintah harus mempromosikan pembangunan bertanggung jawab dan
manajemen dalam akuakultur, termasuk melakukan evaluasi efek dari kegiatan
akuakultur terhadap keragaman genetic dan kesatuan ekosistem berdasarkan
kajian ilmiah terbaik.
19
b) Pemerintah seharusnya membuat dan selalu mengupdate rencana dan strategi
pengembangan akuakultur, seperti halnya untuk menentukan pengembangan
akuakoltur yang ramah lingkungan dan memungkinkan terjadinya
keseimbangan sumberdaya untuk kegiatan akuakultur dan aktivitas lainnya.
c) Pemerintah seharusnya membuat prosedur yang spesifik untuk menilai
lingkungan budidaya dan akibat lainnya seperti buangan air, penggunaan lahan,
pengguanaan obat-obatan dan bahan kimia,dan aktivitas lainnya.
d) Pemerintah seharusnya mendorong teknologi budidaya yang bertanggungjawab
terhadap masyarakat umum, pelaku usaha, dan petani ikan.
e) Pemerintah seharusnya mendorong partisipasi aktif petani ikan dan masyarakat
sekitar dalam pengembangan penerapan manajemen budidaya perikanan yang
bertanggung jawab.
Menurut Fitzgerald dan William (2002), penerapan sistem tambak
silvofishery harus berdasarkan pada alasan yang tepat, prinsip dasarnya adalah
keberlanjutan pembangunan dan pertimbangan manajemen harus menjadi utama
dalam pembangunan, misalnya penerimaan dan dampak dari keberadaan populasi
alami terhadap spesies budidaya harus dapat diterima termasuk adanya benih dan
tingkat kelangsungan hidup. Desakan pertumbuhan populasi pada kawasan
mangrove akan memberikan pengaruh terhadap isu lingkungan, konservasi, sosial
dan ekonomi. Pembangunan adalah sesuatu yang dinamis, banyak hal yang
mengikuti proses tersebut setiap saat termasuk aktivitas, penelitian, teknologi
penanggulangan dan hal ini seharusnya terlihat dari kebijakan politik dan regulasi
serta strategi penerapan dengan melakukan revisi secara berkala. Pengembangan
silvofishery harus dilaksanakan dengan berdasarkan pada kondisi lingkungan yang
khusus dan disesuaikan dengan daya dukung lingkungan tersebut. Pembangunan
harus memenuhi kebutuhan dasar masyarakat seacara ekonomi ekonomi dengan
tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Pendekatan terintegrasi akan
memeberikan peluang terhadap aktivitas ekonomi dengan tetap menerapkan
program konservasi dan rehabilitasi terhadap ekosistem mangrove.
Seperti disebutkan Bagarinao and Primavera (2005) pada Code of Practice
for Sustainable Use of Mangrove Ecosystem for Aquaculture in Southeast Asia,
artikel 10 menyebutkan bahwa : Pemerintah seharusnya mendorong usaha skala
20
kecil yang mengintegrasikan antara sistem pengelolaan mangrove dan akuakultur
(mangrove friendly), yaitu yang tidak merusak, berkelanjutan dan memberikan
manfaat kepada masyarakat nelayan. Pada artikel selanjutnya disebutkan bahwa
pemerintah seharusnya memberikan teknologi dan informasi yang tepat pada para
petani ikan mengenai manjemen terbaik untuk penerapan pada kawasan
mangrove. Teknologi tepat guna yang dapat diterapkan pada kawasan mangrove,
antara lain adalah :
a) Sistem silvofishery.
b) Budidaya kepiting sistem karamba.
c) Budidaya ikan sistem karamba.
d) Budidaya kerang sistem rakit pada saluran air.
e) Budidaya rumput laut sistem longline pada saluran air, dan lainya.
2.3 Tambak Sistem Silvofishery
Pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk pengembangan usaha tambak secara
ideal perlu mempertimbangkan kebutuhan masyarakat dan kelestarian ekosistem
kawasan mangrove. Dalam upaya tersebut, dapat dikembangkan suatu pola
pemanfaatan kawasan secara lestari dan berwawasan lingkungan yaitu melalui
pengembangan tambak sistem wanamina (sylvofishery).
Wanamina atau tambak tumpangsari, merupakan suatu pola agroforestry
yang digunakan dalam pelaksanaan program perhutanan sosial di kawasan hutan
mangrove yang berpenduduk padat. Pola ini yaitu berupa kombinasi antara
tambak/empang dengan tanaman mangrove (bakau), yang diharapkan di satu sisi
mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan di sisi lainnya kelestarian
kawasan mangrove tetap terpelihara. Pola ini pertama kali diterapkan di Burma,
dan berhasil dengan baik.
Pada dasarnya prinsip sylvofishery merupakan upaya perlindungan kawasan
hutan mangrove dengan memberikan hasil lain dari segi perikanan. Hal ini dapat
dimengerti karena sebagian besar masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan
hutan mangrove bermata pencaharian sebagai nelayan. Dengan demikian
pengembangan sistem tambak tumpangsari, disamping memang sesuai dari segi
kondisi ekologis, juga selaras dengan pola hidup masyarakat di sekitarnya.
21
Model tambak tumpangsari yang telah mulai banyak diterapkan di beberapa
areal pertambakan di Indonesia ada 5 macam, yaitu model empang tradisional,
komplangan, empang terbuka, model Tasik Rejo, dan model Kao-kao. Pendekatan
perbaikan kondisi ekosistem mangrove di luar ke-5 model tersebut di atas yaitu
perbaikan pada model tambak terbuka yang sama sekali tidak terdapat vegetasi
mangrove. Caranya yaitu dengan menanam mangrove di sepanjang saluran
primer dan sekunder, sempadan sungai, dan sempadan pantai.
Menurut PerMenHut No. P.70/Menhut-II/2008, silvofishery atau wanamina
adalah pola tanam tumpangsari tambak pada daerah hutan:
a) Penanaman tumpangsari tambak dilaksanakan seperti halnya dengan
penananam murni, tetapi dikombinasikan dengan kegiatan pertambakan.
Penanaman selain pada tanggul juga dilakukan di pelataran tambak sesuai
dengan rancangan;
b) Cara penanaman dapat secara langsung dengan buah/benih atau menggunakan
bibit yang telah disiapkan. Jarak tanam disesuaikan dengan kondisi lapangan;
penyulaman maksimal 10 persen;
c) Pola tumpangsari tambak (sylvofishery/wanamina) terdiri dari 4 (empat)
macam model yaitu: empang parit tradisional, komplangan, empang parit
terbuka dan kao-kao (Gambar 2).
Gambar 2 Macam-macam model silvofishery: empang parit tradisional, komplangan, empang parit terbuka dan kao-kao.
22
Sistem silvofishery yang banyak dikembangkan di Indonesia secara umum
ada dua model, yaitu empang parit atau lebih dikenal dengan tambak tumpang sari
dan komplangan.
2.3.1 Pola Empang Parit
Silvofishery atau sering disebut sebagai wanamina adalah suatu bentuk
kegiatan yang terintegrasi (terpadu) antara budidaya air payau dengan
pengembangan mangrove pada lokasi yang sama. Konsep silvofishery ini
dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya perikanan berkelanjutan
dengan input yang rendah. Pendekatan antara konservasi dan pemanfaatan
kawasan mangrove ini memungkinkan untuk mempertahankan keberadaan
mangrove yang secara ekologi memiliki produktivitas relatif tinggi dengan
keuntungan ekonomi dari kegiatan budidaya perikanan.
Pola empang parit merupakan model silvofishery yang umum dikem-
bangkan dengan membuat saluran air tempat membudidayakan/memelihara ikan
ataupun udang. Saluran air ini mengelilingi lahan yang digunakan untuk
silvofishery, sedangkan tumbuhan mangrove dapat ditanam di bagian tengah,
sehingga terdapat perpaduan antara tumbuhan mangrove (wana/silvo) dan
budidaya ikan (mina/fishery). Kondisi ini dapat diterapkan pada areal bekas
tambak yang akan direhabilitasi dengan memanfaatkan pelataran tambak (bagian
tengah) untuk ditanami mangrove, sedang-kan bagian caren atau parit tetap
dibiarkan seperti semula. Dengan menggunakan sistem empang parit ini, maka
lahan yang akan di-reforestasi dapat mencapai sekitar 80% dari luasan tambak.
Penanaman mangrove dapat dilakukan dengan jarak tanam 1 x 1 meter antar
individu mangrove (Bengen, 2000). Namun demikian, menurut Fitzgerald (1997),
kepadatan mangrove yang ditanam dapat bervariasi antara 0,17-2,5 pohon/m2.
Kepadatan mangrove tersebut akan mempengaruhi sistem budidaya
perikanan, karena produktivitas tambak silvofishery sangat tergantung pada
bahan-bahan organik yang berasal dari serasah tumbuhan mangrove. Kepadatan
vegetasi yang rendah cocok diterapkan untuk tambak ikan bandeng, sedangkan
kepadatan vegetasi yang lebih tinggi sesuai untuk diterapkan pada budidaya udang
23
dan kepiting bakau. Jenis mangrove yang ditanam umumnya adalah bakau
(Rhizophora sp) atau dapat juga menggunakan jenis api-api (Avicennia spp).
Kanal untuk memelihara ikan/udang berukuran lebar 3-5 m dan kedalaman
sekitar 40-80 cm dari muka pelataran. Dengan berbagai modifikasi disain dasar
tersebut, maka luasan perairan terbuka yang dapat digunakan untuk memelihara
ikan/udang dapat disesuaikan hingga mencapai 40-60%. Berbagai jenis ikan,
seperti bandeng, kerapu lumpur, kakap putih, dan baronang, serta berbagai jenis
udang dan kepiting bakau dapat dipelihara secara intensif di kanal tersebut.
Menurut Fitzgerald dan William (2002), model empang parit menunjukan
hasil yang terbaik dalam upaya reforestasi pada daerah kolam, keberadaan
mangrove ini sangat penting karean dapat mencapai 80% dari luas kolam yang
ada dan akan dipengaruhi oleh pasang surut air pada kolam. Kanal pada kalam
tersebut memiliki lebar 3-5 meter dan kedalaman 40-80 cm dari permukaan
tengah kolam,.ada banyak variasi pada model dasar ini untuk meningkatkan
luasan permukaan air. Berbagai jenis ikan, udang dan kepiting dapat budidayakan
pada kolam dengan model ini.
Produktivitas kolam silvofishery ini sangat ditentukan oleh pemanfaatan
pupuk hijau yaitu untuk mendorong terjadinya rantai makanan. Pengkayaan unsur
organik pada daerah ini berasal dari sisa pohon mangrove, adapun kepadatan
pohon mangrove berkisar antara 0,17-2,5 pohon/m2 pada system empang parit.
Debris dan produksi organik dalam kolam sangat dipengaruhi faktor lain seperti
keragaman pertumbuhan flora dan fauna non-mangrove (missal algae) yang
membentuk bagian penting rantai makanan bagi spesies yang dibudidayakan
Kepadatan mangrove hendaknya disesuaikan dengan spesies budidaya yang
dilaksanakan, misalnya untuk ikan bandeng sebaiknya menggunakan kerapatan
mangrove rendah (0,2 pohon/m2), sedangkan untuk budidaya udang dan kepiting
dapat menggunakan tingkat kerapadatan yang lebih tinggi (Fitzgerald & William.
2002).
Selanjutnya menurut Fitzgerald and William (2002), model tambak empang
parit ini memiliki beberapa kelemahan jika dibandingkan model tambak
konvensional, yaitu :
a) Biaya kontruksi perunit lebih besar.
24
b) Pengelolaan yang lebih sulit.
c) Sirkulasi air berkurang sehingga berpotensi menyebabkan perairan lebih
stagnan dengan kadar oksigen yang rendah.
d) Spesies yang dibudidayakan lebih terbatas (Misal : rumput laut akan terhalang
pohon, pertumbuhan akan terhambat).
e) Pohon mangrove akan mengurangi penetrasi sinar matahari ke kolam sehingga
menyebabkan produktivitas phytoplankton dan algae bentik rendah.
f) Berpotensi adanya racun dari tannin pohon mangrove.
Aplikasi dari tambak silvofishery ini harus berdasarkan sebab yang jelas dan
terukur, misalnya kegiatan pemanfaatan pada daerah yang memiliki sensitivitas
lingkungan seperti pada kawasan ekosistem mangrove. Pemilihan model
silvofishery yang akan diterapkan sangat tergantung dan berdasarkan pada status
ekosistem mangrove tersebut. Hal itu juga harus dikaitkan dengan kondisi
pendekatan integrasi berdasarkan coastal zone management. Kondisi ini
memerlukan pendekatan yang tinggi antara nilai mangrove dan nilai manfaat
ekonomi dari usaha budidaya air payau.
2.3.2 Model Komplangan
Model atau pola komplangan merupakan suatu sistem silvofishery dengan
desain tambak berselang-seling atau bersebelahan dengan lahan yang akan
ditanami mangrove. Lahan untuk mangrove dan empang terpisah dalam dua
hamparan yang diatur oleh saluran air dengan dua pintu air yang terpisah. Luas
areal yang akan digunakan untuk silvofishery dengan model ini disarankan antara
2-4 ha, sehingga nantinya akan dikembangkan ukuran tambak yang standar untuk
memelihara ikan/udang minimal adalah 1 ha. Model ini merupakan suatu metode
budidaya air payau dengan input yang rendah dan menghasilkan dampak negatif
yang minimal terhadap lingkungan (ekosistem).
Sistem komplangan yang diterapkan tegak lurus dengan garis pantai
memungkinkan sejumlah aliran air tawar menuju ke mangrove di dalam areal
greenbelt. Model ini juga dapat menjaga kelimpahan keanekaragaman
sumberdaya hayati. Dalam pelaksanaannya, silvofishery model komplangan ini
25
lebih cocok diterapkan pada areal dengan kepemilikan yang jelas, seperti lahan
milik pemerintah atau ahan-lahan yang dimiliki oleh kelompok masyarakat.
Clough (2002) memberikan rekomendasi manajemen teknis dari kegiatan
silvofishery yang telah dilaksanakan mencakup tiga bidang yaitu: budidaya udang,
silvikultur pada mangrove dan diversifikasi budidaya. Selain itu, rekomendasi
yang dibuat pada kajian bidang ekonomi, sosial dan isu-isu perkembangan
kebijakan. Untuk perbaikan pada kegiatan budidaya udang, rekomendasi
difokuskan pada peningkatan kualitas air dan kualitas sedimen, teknik stok untuk
benih udang windu, dan stok udang liar dan teknik pemanenan.
Selanjutnya menurut Fitzgerald and William (2002) beberapa hal yang harus
dipertimbangkan dalam desain kolam silvofishery adalah sebagai berikut:
a) Rasio antara mangrove area dan area air kolam.
b) Rasio antara area air dan panjang tanggul kolam (menunjukan luas area
produksi dengan nilai ongkos investasi).
c) Rasio lebar pintu untuk memasukan benih alam dan flushing tambak (50
cm/ha).
d) Tidal flushing rate and tidal flushing range.
e) Mengalirkan air pada kolam ketika air stagnan, yaitu terjadi kadar oksigen
rendah terutama pada air bagian bawah.
f) Ukuran panjang dan lebar kanal dan,
g) Posisi lokaasi, keadaan tanah, kelimpahan stok alami.
Menurut Clough et.al. (2002), Untuk meningkatkan hasil pada tambak
sistem silvofishery, ada beberapa yang perlu diperhatikan yaitu :
a) Menjaga kedalaman air kolam pada kisaran 1 meter dengan mengurangi
lumpur yang ada, ketika lumpur sering menjadi permasalahan utama maka 30
% dari luas kolam harus digali pada kedalaman 1,5 meter termasuk saluran
pembuangannya.
b) Mengurangi pergantian air ketika panen udang alam yaitu setiap 15 hari saat
pasang purnama, atau menerapkan siklus panen menjadi 45-60 hari, dengan
mengganti air permukaan saja dan memasukan bibit udang pada saat pasang.
26
c) Meminimalkan efek yang merugikan dari pengangkatan sedimen pada dasar
terhadap kolam dan ekosistem mangrove. Idealnya tanah dari lumpur kolam
ditempatkan pada satu area yang luas untuk dijadikan kebun tanaman.
d) Melaksanakan pendederan benih udang yang baik, untuk Penaeus monodon
disiapkan 10-20% dari luas kolam dilakasanakan selama 20-30 hari dengan
pemberian pakan setiap hari berupa ikan rebus dan telur. Pada kolam
pembesaran kepadatan 1-2 individu/m2 dengan monitoring setiap 10-15 hari,
diharapkan pada akhir pemeliharaan SR berkisar antara 30-40 persen.
Untuk manajemen pemeliharaan mangrove disarankan beberapa hal
mengenai pananaman dan penjarangan sebagai berikut :
a) Padat penanaman berkisar 7000-10.000 pohon/ha.
b) Untuk selanjutnya penjarangan pertama dapat dilakukan umur 7-8 tahun
menjadi 5000 pohon/ha.
c) Dan penjarangan yang kedua pada umur 12 tahun, yaitu menjadi 2000 pohon
perhektar.
d) Panen total dilakukan pada mangrove berumur 18-20 tahun.
e) Perbedaan umur tanam dari masing- masing petani adalah 2-4 tahun, yang
tidak kalah penting adalah flexibilitas penerapan hal diatas oleh para petani.
f) Diversifikasi tanaman dan jenis budidaya sangat dimungkinkan sesuai kondisi,
misalnya penanaman jenis pohon buah yang toleran terhadap salinitas, atau
jenis pohon kayu yang lain, atau budidaya kepiting bakau selain budidaya
udang dan ikan.
g) Lebih penting lagi adalah rekomendasi strategi pembangunan jangka panjang
untuk pemanfaatan tanah dan alokasi sumberdaya yang mengakibatkan
perubahan topografi sehingga menyebabkan sedimentasi dan erosi pada muara
sungai.
Dengan penerapan sistem silvofishery kita dapat memberikan manfaat
ekonomi dari kawasan mangrove dengan tetap menjaga aspek kelestarian
lingkungan. Dalam hal ini dapat kita lihat, sistem ini memberikan manfaat secara
terbatas pada upaya pemulihan pada kolam-kolam yang sudah tidak produktif
(misalnya karena terkena penyakit) sehingga tetap dapat memberikan manfaat
ekonomi, selain adanya kegiatan rehabilitasi. Peningkatan nilai penerimaan secara
27
ekonomi akan memperluas peluang diterimanya sistem silvofishery sebagai suatu
aktivitas yang memberikan nilai ekonomi di kawasan mangrove, sistem ini juga
dapat menjadi alternatif aktivitas ekonomi untuk mengatasi permasalahan
kemiskinan dan mengurangi tekanan dari kegiatan pembangunan terhadap
kawasan mangrove. Untuk itu perlu dijadikan pertimbangan dalam setiap kegiatan
pembangunan dan strategi manajemen dikawsan pesisir, dan dapat memberikan
jalan yang tepat untuk perubahan pelaksanaan budidaya intensif diluar kawasan
mangrove (Fitzgerald et al. 2002)
Selanjutnya Fitzgerald and William (2002), menyatakan bahwa para petani
Di Indonesia menerima pendapatan kotor sekitar US$580 pertahun/ha (dengan
kisaran US$323-946), sedangkan penerimaan bersihnya sekitar US$356
pertahun/ha. Seorang petani biasa mengelola 1,5-10 hektar tambak silvofishery.
Data menunjukan bahwa hasil produksi per unit tambak diperoleh pada luasan
kolam yang tidak terlalu besar, riset selanjutnya diperlukan untuk menentukan dan
mengevalusi masing-masing model tambak sivofishery.
Seperti disebutkan pada Bagarinao and Primavera (2005) artikel 20
menyebutkan bahwa : Pemerintah seharusnya mempertimbangkan adany labeling
produk dan sertifikasi pada produk budidaya dan perikanan yang ramah
lingkungan (mangrove friendly), hal tersebut untuk meningkatkan kepedulian
konsumen tentang produk ramah lingkungan dan memberikan insentif tambahan
pada para petani ikan. Pada artikel selanjutnya disebutkan bahwa pemerintah
harus melaksanakan penelitian, transfer teknologi, pelatihan,desiminasi informasi,
komunikasi dan penyebaran pendidikan terhadap masyarakat tentang pentingnya
konservasi dan Mangrove-Friendly Aquaculture (MFA).
Menurut David and Mirera (2008), peningkatan kesejahteraan masyarakat
merupakan upaya yang asangat penting agar mereka dapat tetap menjaga
ekosistem mangrove yang ada pada kawasan tersebut. Beberapa kegiatan
dilakukan untuk mendukung hal tersebut, antara lain adalah: Budidaya kepiting
dalam karamba, penyediaan bibit dan penanaman mangrove, kampanye peduli
mangrove, penanaman pohon bambu, dan pembuatan jembatan menuju kawasan
karamba kepiting.
28
Menurut Soewardi (2010) tahapan dalam melaksanakan kajian penerapan
tambak sistem silvofishery dengan melakukan kajian pada sapek bioteknis dan
aspek sosial ekonomi, dengan rincian sebagai berikut:
A. Aspek Bioteknik
1. Identifikasi teknologi budidaya yang telah diterapkan petambak
2. Menentukan kesesuaian air, lahan dan daya dukung kawasan
3. Merancang layout disain umum demplot silvofishery
4. Merancang layout disain umum kawasan silvofishery
5. Menyusun Standard Operation Procedure untuk tambak silvofishery
B. Aspek Sosio-ekonomis
1. Identifikasi gambaran umum wilayah calon lokasi kegiatan
2. Identifikasi kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di lokasi proyek
3. Identifikasi persepsi masyarakat terkait dengan proyek ini
4. Membuat permodelan sosial-ekonomi untuk pengelolaan pertambakan pola
silvofishery.
2.4 Analisis Kelayakan
Menurut Kadariah (1998), dalam mengukur atau menilai adanya suatu
proyek yang akan atau yang telah didirikan digunakan kriteria sebagai berikut:
2.4.1 Net Present Value (NPV)
Net present value merupakan selisih anatara present value dari benefit
dengan present value dari biaya. Suatu proyek akan diterima bila nilan NPV-nya
positif, bila NPV-nya bernilai sama dengan nol maka proyek tersebut
mengembalikan persis sebesar social opportunity cost of capital atau disebut juga
proyek dalam keadaan break event, dan bila NPV-nya bernilai negative maka
proyek ditolak kecuali bila ada pertimbangan lain misalnya proyek pemerintah
yang dapat memberikan manfaat yang cukup besar bagi masyarakat (Gray et al,
2005).
29
2.4.2 Net benefit cost ratio (Net B/C)
Net benefit cost ratio merupakan perbandingan antara benefit bersih dari
tahun-tahun yang bersangkutan yang telah dipresent valuekan, dimana benefit
bersih (Bt – Ct) dari pembilang bernilai positif dan penyebut adalah nilai (Ct – Bt)
dari tahun-tahun dimana (Bt – Ct) bernilai negatife. Kriteria Net B/C adalah
proyek diterima apabila Net B/C ≥ 1, dan ditolak apabila Net B/C < 1 (Gray et al.
2005).
2.4.3 Internal Rate of Return (IRR)
Internal Rate of Return adalah nilai discount rate yang membuat NPV dari
proyek sama dengan nol (Gittinger, 2008). Selanjutnya Kadariah et al (1978)
menyatakan bahwa IRR juga dapat dianggap sebagai tingkat keuntungan atas
investasi suatu proyek asalkan setiap benefit bersih yang diwujudkan setiap tahun
secara otomatis ditanamkan kembali pada tahun berikutnya dan mendapatkan
keuntungan (i) yang sama, yang diberi berbunga selama sisa umur proyek.
Kriteria IRR adalah bahwa apabila nilai IRR lebih besar atau sama dengan
tingkat suku bunga yang berlaku (discount rate), maka proyek dinyatakan layak,
dan sebaiknya bila IRR lebih kecil dari discount rate yang berlaku, maka proyek
dinyatakan tidak layak (Gray et al. 2005)..
2.5 Kelembagaan
Secara umum terdapat dua jenis pengertian kelembagaan atau institusi,
pertama adalah institusi sebagai organisasi dan kedua adalah institusi sebagai
aturan main atau “rules of the game”. Institusi sebagai suatu organisasi biasanya
menunjukan pada lembaga-lembaga formal seperti departemen dalam
pemerintahan, koperasi, bank, rumah sakit, dan sejenisnya. Institusi sebagai
“rules of the game” merupakan aturan main, norma-norma, larangan-larangan,
kontrak, dan lain sebagainya dalam mengatur dan mengendalikan perilaku
individu dalam masyarakat atau organisasi (North 1990; Rodgers 1994). Bromley
(1992) mengibaratkan organisasi sebagai hardware dan institusi adalah
softwarenya.
30
Suatu institusi terdiri dari tiga unsur utama yaitu batas jurisdiksi
(jurisdiction boundary), hak kepemilikan (property rights) dan aturan representasi
(rules of representations). Satu institusi berbeda dengan institusi lainnya apabila
satu atau lebih dari unsur-unsur tersebut berbeda. Untuk memahami institusi lebih
mendalam dan dapat melihat dampak perubahan alternatif institusi terhadap
performa, kita perlu terlebih dahulu mempelajari unsur-unsur dari institusi itu
sendiri (Schmid and Allan 1987).
Landasan kerangka analitik institusi adalah mempelajari dampak
perubahan alternatif institusi terhadap perubahan prilaku manusia yang akhirnya
akan menghasilkan performa yang berbeda. Perubahan institusi hanya akan
menghasilkan performa yang berbeda apabila perubahan tersebut dapat
mengkontrol sumber interdependensi antar individu seperti: Inkompatibilitas,
ongkos eksklusi tinggi (high exclusion cost), ongkos transaksi, skala ekonomi,
joint impact good,dan seterusnya. Kemampuan suatu institusi mengkordinasikan,
mengendalikan, atau mengontrol interdependensi antar partisipan sangat
ditentukan oleh kemampuan institusi tersebut mengendalikan sumber
interdependensi. Oleh karena itu pengetahuan mengenai sumber interdependensi
dan alternatif institusi sangat penting karena kesalahan dalam pemahaman sumber
interdependensi akan menyebabkan perubahan institusi tidak efektif (Schmid and
Allan 1987).
Recommended