30
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Bagi Hasil Perbankan Syariah
Mekanisme bagi hasil merupakan hal baru dalam kerangka mekanisme
sistem ekonomi dunia pada umumnya belakangan ini, walaupun sebenarnya
sistem bagi hasil telah dijalankan oleh Rasulullah SAW pada masa kenabiannya.
Sebagai sistem baru biasanya memberikan peluang dan tantangan yang cukup
berarti. Hadirnya sistem bagi hasil tentunya tidak akan memberikan ruang gerak
bagi sistem bunga (An-Nabhani, 1996 : 57).
Dalam sistem ekonomi Islam tingkat bunga yang dibayarkan bank kepada
nasabah diganti dengan persentase atau porsi bagi hasil, dan tingkat bunga yang
diterima oleh bank (dari debitur) akan digantikan dengan persentase bagi hasil
yang disebut nisbah. Nisbah dapat saja berbeda-beda di setiap jenis usaha dan
kapasitas usaha.
Pembagian keuntungan dalam ekonomi yang bersaing, sepenuhnya dapat
dijelaskan dengan berdasarkan tingkat keuntungan yang diharapkan. Pembagian
di antara pengusaha secara proporsional oleh pemilik modal tidak mempengaruhi
peran ekonomi dari tingkat keuntungan yang diharapkan. Tidak adanya tingkat
bunga dalam mekanisme bagi hasil tidak akan menjadikan situasi ekonomi labil.
Universitas Sumatera Utara
31
Peran bunga dalam keputusan investasi saat ini secara nyata tergantung pada
realitas kelembagaan dari pada kebutuhan ekonomi (Chapra, 1995:386).
Salah satu aspek bagi hasil adalah aspek yang berkaitan dengan bagi
resiko. Dalam kerangka kerja kelembagaan saat ini, pemilik modal dapat
mendistribusikan resiko melalui pembagian manajemen dan utang dalam bentuk
bergabung dalam pemilikan saham. Sementara pemilik tenaga tidak dapat
membagikan tenaganya kepada pemilik modal.
Jika dalam usaha mengalami resiko, maka dalam konsep bagi hasil kedua
belah pihak akan bersama-sama menanggung resiko. Di satu pihak pemilk modal
menanggung kerugian modalnya, di pihak lain pelaksana proyek akan mengalami
kerugian tenaga yang telah dikeluarkan. Dengan kata lain, masing-masing pihak
yang melakukan kerjasama dalam sistem bagi hasil berpartisipasi dalam kerugian
dan keuntungan. Hal demikian menunjukkan keadilan dalam distribusi
pendapatan.
Islam mengharamkan bunga dan menghalalkan bagi hasil. Bunga dan bagi
hasil pada prinsipnya memberikan keuntungan kepada pemilik modal, tetapi
memiliki perbedaan mendasar sebagai akibat adanya perbedaan antara investasi
dan pembungaan uang. Dalam investasi usaha yang dilakukan mengandung
resiko, dan karenanya mengandung unsur ketidakpastian. Sebaliknya pembungaan
uang adalah aktivitas yang tidak memiliki resiko, karena adanya persentase suku
bunga tertentu yang ditetapkan berdasarkan besarnya modal.
Universitas Sumatera Utara
32
Adapun perbedaan antara imbalan yang berdasarkan bunga seperti
dipraktekkan bank konvensional dengan berdasarkan bagi hasil seperti yang
diterapkan oleh bank Islam, diuraikan melalui perbandingan sebagai berikut :
Tabel 2.1. Perbandingan imbalan yang berdasarkan bunga dan berdasarkan
bagi hasil
No Bunga Bagi Hasil
1. Penentuan bunga dibuat pada
waktu akad tanpa berpedoman
pada untung rugi.
Penentuan besarnya rasio hasil
dibuat pada waktu akad dengan
berpedoman pada kemungkinan
untung rugi.
2. Besarnya persentase berdasarkan
pada jumlah uang (modal) yang
dipinjamkan.
Besarnya rasio bagi hasil
berdasarkan pada jumlah keuntungan
yang diperoleh.
3. Pembayaran bunga tetap seperti
yang dijanjikan tanpa
pertimbangan apakah proyek yang
dijalankan oleh pihak nasabah
untung atau rugi.
Bagi hasil tergantung pada
keuntungan proyek yang dijalankan
sekiranya itu tidak mendapatkan
keuntungan maka kerugian akan
ditanggung bersama oleh kedua
belah pihak.
4. Jumlah pembayaran bunga tidak
meningkat sekalipun bunga
jumlah keuntungan berlipat atau
keadaan ekonomi sedang
“booming”.
Jumlah pembagian laba meningkat
sesuai dengan peningkatan jumlah
pendapatan.
5. Eksistensi bunga diragukan
(walau tidak dikecam) oleh semua
agama termasuk Islam.
Tidak ada yang meragukan
keabsahan keuntungan bagi hasil.
Sumber : Muhammad Syafii Antonio, 2001 : 60.
Menurut Wiroso (2005:19-50), untuk mengetahui bagaimana sistem
pembiayaan dengan prinsip bagi hasil ini dapat kita lihat dari produk pembiayaan
yang ditawarkan oleh bank syariah, yaitu produk penghimpunan dana dan produk
penyaluran dana. Antara lain sebagai berikut :
Produk Penghimpunan Dana, antara lain :
Universitas Sumatera Utara
33
1. Giro Wadi’ah, yaitu simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat
dengan menggunakan cek, sarana perintah pembayaran lain, atau dengan cara
pemindahbukuan atau yang lebih dikenal dengan bilyet giro. Kepada
penyimpan dapat diberikan semacam bonus atau jasa giro sesuai dengan
jumlah dana yang ikut berperan dalam pembentukan laba Bank tetapi bank
tidak memperjanjikannya pada akad.
2. Deposito Mudharabah, yaitu simpanan yang penarikannya hanya dapat
dilakukan pada waktu tertentu sesuai dengan perjanjian antara penyimpanan
dengan Bank. Kepada penyimpanan deposito Mudharabah diberikan hak
untuk memperoleh pembagian laba bank, yang diperhitungkan sesuai dengan
peranan dananya dalam pembentukan laba bank. Deposito ini dapat
diperpanjang secara otomatis (Automatic Roll Over/ARO)
3. Tabungan Mudharabah, yaitu simpanan yang penarikannya hanya dapat
dilakukan dengan syarat-syarat tertentu yang telah disepakati antara bank
dengan penyimpan. Penyimpan tabungan diberi hak untuk memperoleh
pembagian laba bank, yang diperhitungkan sesuai dengan peranan dananya
dalam pembentukan laba bank.
Hasan (2003:43) juga mengemukakan bahwa produk penyaluran dana,
antara lain :
1. Pembiayaan Mudharabah (Qiradh), yaitu pinjaman modal investasi dan/atau
modal kerja. Pengusaha hanya menyediakan usaha dan manajemennya
dengan perjanjian atas bagi hasil. Bank menyediakan keseluruhan modal
usaha tersebut.
Universitas Sumatera Utara
34
2. Pembiayaan Musyarakah, yaitu suatu perjanjian pembiayaan antara bank
dengan pengusaha, dimana baik pihak bank maupun pihak pengusaha secara
bersama membiayai suatu usaha atau proyek yang dikelola seara bersama
pula, atas dasar bagi hasil sesuai dengan penyertaan. Bank dan pengusaha
mempunyai porsi masing-masing modal.
3. Pembiayaan Murabahah, yaitu kredit dimana bank menyediakan pinjaman
dana untuk membeli barang apapun yang dibutuhkan debitur, yang dibayar
kembali pada saat jatuh tempo atau masa pembiayaan berakhir.
4. Pembiayaan Bai’ Bithaman Ajil, yaitu kredit dimana bank menyediakan
pinjaman dana untuk membeli barang apapun yang dibayar kembali waktu
jatuh tempo secara cicilan. Cicilan dapat berubah-ubah atau tetap tergantung
kesepakatan awal.
5. Pembiayaan Qardh’ul Hasan, yaitu kredit antara bank dan nasabah yang
dianggap layak menerima pinjaman lunak, baik pengusaha maupun
perorangan yang berada dalam keadaan terdesak. Penerima kredit hanya
diwajibkan mengembalikan pokok pinjaman pada saat jatuh tempo dengan
daya beli yang sama seperti waktu menerima pinjaman. Tujuan pemberian
kredit ini terutama untuk memenuhi kebutuhan masabah akan uang tunai,
baik untuk hal-hal yang bersifat konsumtif maupun produktif. Pinjaman ini
biasanya hanya bersifat sosial.
2.1.1. Mudharabah Dalam Literatur Fiqih
Dalam fiqih Islam Mudharabah merupakan salah satu bentuk kerjasama
antara rab al-mal (investor) dengan seorang pihak kedua (mudharib) yang
berfungsi sebagai pengelola dalam berdagang. Istilah mudharabah oleh ulama
Universitas Sumatera Utara
35
Fiqh Hijaz menyebutkan dengan Qiradh. Mudharabah berasal dari kata dharb,
berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih
tepatnya adalah proses seseorang memukul kakinya dalam menjalankan usaha
(Antonio, 2001:95).
Menurut Haroen (2000:67) dikutip dari kitab Al-Mabsuth, secara
terminologi, para ulama fiqh mendefinisikan Mudharabah atau Qiradh dengan :
“Pemilik modal (investor) menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang)
untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama
dan dibagi menurut kesepakatan”.
Mudharib menyumbangkan tenaga dan waktunya dan mengelola kongsi
mereka sesuai dengan syarat-syarat kontrak. Salah satu ciri utama dari kontrak ini
adalah bahwa keuntungan, jika ada, akan dibagi antara investor dan mudharib
berdasarkan proporsi yang telah disepakati sebelumnya. Kerugian, jika ada, akan
ditanggung sendiri oleh investor (Saud, 1980:70).
2.1.2. Hukum Mudharabah dan Dasar Hukumnya.
Secara eksplisit dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan langsung mengenai
hukum Mudharabah, meskipun ia menggunakan akar kata dl-r-b yang darinya
kata Mudharabah diambil sebanyak 58 kali, namun ayat-ayat Al-Qur’an tersebut
memiliki kaitan dengan Mudharabah, meski diakui sebagai kaitan yang jauh,
menunjukkan arti “perjalanan” atau “perjalanan untuk tujuan dagang”.
Dalam Islam akad Mudharabah dibolehkan, karena bertujuan untuk saling
membantu antara rab al-mal (investor) dengan pengelola dagang (mudharib).
Demikian dikatakan oleh Ibn Rusyd (w.595/1198) dari madzhab Maliki bahwa
kebolehan akad Mudharabah merupakan suatu kelonggaran yang khusus.
Universitas Sumatera Utara
36
Meskipun Mudharabah tidak secara langsung disebutkan oleh Al-Qur’an atau
Sunnah, ia adalah sebuah kebiasaan yang diakui dan dipraktekkan oleh umat
Islam, dan bentuk dagang semacam ini tampaknya terus hidup sepanjang periode
awal era Islam sebagai tulang punggung perdagangan karavan dan perdagangan
jarak jauh.
Dasar hukum yang biasa digunakan oleh para Fuqaha tentang kebolehan
bentuk kerjasama ini adalah firman Allah dalam Surah Al-Muzzammil ayat 20
yang artinya : “....dan sebagian mereka berjalan di bumi mencari karunia
Allah....”. Pada surat Al-Baqarah ayat 198 yang artinya : “Tidak ada dosa bagimu
untuk mencari karunia (rezeki hasilperdagangan) dari Tuhanmu....”
Kedua ayat tersebut di atas, secara umum mengandung kebolehan akad
Mudharabah, yang secara bekerjasama mencari rezeki yangditebarkan Allah SWT
di muka bumi. Kemudian dalam Sabda Rasulullah SAW dijumpai sebuah riwayat
dalam kasus Mudharabah yang dilakukan oleh Abbas Ibn Al-Muthalib yang
artinya :
“Tuan kami Abbas Ibn Abd Al-Muthalib jika menyerahkan hartanya (kepada
seorang yang pakar dalam perdagangan) melalui akad Mudharabah, dia
mengemukakan syarat bahwa harta itu jangan diperdagangkan melalui lautan,
juga jangan menempuh lembah-lembah, dan tidak boleh dibelikan hewan ternak
yang sakit tidak dapat bergerak atau berjalan. Jika (ketiga) hal itu dilakukan, maka
pengelola modal dikenai ganti rugi. Kemudian syarat yang dikemukakan Abbas
Ibn Abd Al-Muthalib ini sampai kepada Rasulullah SAW, dan Rasul
membolehkannya” (HR. Ath-Tabrani).
Universitas Sumatera Utara
37
Dikatakan bahwa Nabi dan beberapa sahabat pun terlibat dalam kongsi-
kongsi Mudharabah. Menurut Ibn Taimiyyah, para Fuqaha menyatakan kehalalan
Mudharabah berdasarkan riwayat-riwayat tertentu yang dinisbatkan kepada
beberapa sahabat tetapi tidak ada Hadits sahih mengenai Mudharabah yang
dinisbatkan kepada Nabi (Saeed, 1996:54).
2.1.3. Rukun dan Syarat Mudharabah
Dalam hal rukun akad Mudharabah terdapat beberapa perbedaan pendapat
antara Ulama Hanafiyah dengan Jumhur Ulama. Ulama Hanafiyah berpendapat
bahwa yang menjadi rukun akad Mudharabah adalah Ijab dan Qabul. Sedangkan
Jumhur Ulama menyatakan bahwa rukun akad Mudharabah adalah terdiri atas
orang yang berakad, modal, keuntungan, kerja dan akad; tidak hanya terbatas pada
rukunsebagaimana yang dikemukakan Ulama Hanafiyah, akan tetapi, Ulama
Hanafiyah memasukkan rukun-rukun yang disebutkan Jumhur Ulama itu, selain
Ijab dan Qabul sebagai syarat akad Mudharabah.
Untuk mengenal akad Mudharabah lebih lanjut, perlu mengetahui syarat-
syarat akad Mudharabah. Adapun syarat-syarat Mudharabah, sesuai dengan
rukun yang dikemukakan Jumhur Ulama di atas adalah :
1. Orang yang berakal, harus cakap bertindak hukum, dan cakap diangkat
sebagai wakil.
2. Mengenai modal disyaratkan : a) berbentuk uang, b) jelas jumlahnya, c) tunai,
dan d) diserahkan sepenuhya kepada mudharib (pengelola). Oleh karenanya
jika modal itu berbentuk barang, menurut Ulama Fiqh tidak dibolehkan,
karena sulit untuk menentukan keuntungannya.
Universitas Sumatera Utara
38
3. Yang terkait dengan keuntungan disyaratkan bahwa pembagian keuntungan
harus jelas dan bagian masing-masing diambil dari keuntungan dagang itu
(Wiroso, 2005:38).
2.1.3.1. Modal Dalam Akad Mudharabah
Seperti dijelaskan pada syarat-syarat akad Mudharabah di atas, bahwa
modal harus berbentuk uang. Untuk menghindari bentuk perselisihan, kontrak
Mudharabah harus jelas jumlah modalnya. Modal Mudharabah tidak boleh
berupa suatu hutang yang dipinjam mudharib pada saat dilanjutkan kontrak
Mudharabah. Karena dalam kontrak seperti ini investor dapat dengan mudah
menggunakan Mudharabah sebagai alat untuk memperoleh kembali hutangnya
sekalian mengambil untung darinya. Mengambil untung dari suatu hutang adalah
sebagai riba yang diharamkan dalam hukum Islam. Dari sekian empat Madzhab
Fiqh tak satupun yang mengizinkan suatu kontrak dimana kreditur meminta
debitur untuk menjalankan Mudharabah berdasarkan pengertian bahwa modal
kongsi adalah hutang calon Mudharib kepada investor (Nurhayati, 2008:117).
Rab al-mal (investor) harus menyerahkan modal Mudharabah kepada
Mudharib agar kontrak ini menjadi sah. Mudharib bebas menginvestasikan dan
menggunakan modal tersebut dalam batas-batas klausul kontrak Mudharabah
yang secara umum menetapkan jenis usaha yang dipilih, jangka waktu kongsi, dan
lokasi-lokasi tempat mudharib boleh menjalankan usahanya.
2.1.3.2. Manajemen Dalam Akad Mudharabah
Sebagai mudharib yang menjalankan Mudharabah, hendaknya harus
memiliki kebebasan yang diperlukan dalam pengelolaan usaha kongsi tersebut
Universitas Sumatera Utara
39
dan dalam pembuatan semua keputusan terkait. Ia bebas menentukan sendiri
bentuk barang-barang untuk dikelola, memberikan modal kepada pihak ketiga,
melibatkan diri dalam suatu kerjasama (Musyarakah) dengan pihak-pihak lain
tanpa ditentukan oleh investor, sehingga memperoleh hasil dan keuntungan yang
maksimal. Dilihat dari segi transaksi yang dilakukan antara investor dengan
mudharib, Ulama Fiqh membagi Mudharabah kepada dua jenis : Mudharabah
Muthlaqah (tak terbatas untuk menyerahkan modal secara mutlak, tanpa syarat
dan pembatasan) dan Mudharabah Muqayyadah (terbatas untuk menyerahkan
modal dengan syarat dan batasan tertentu).
Dalam Mudharabah Muthlaqah, mudharib boleh dan bebas menggunakan
modal untuk membeli barang apapun dari siapapun dan kapanpun, ia boleh
menjual barang-barang Mudharabah dengan cara tunai atau kredit bahkan ketika
mudharib dibatasi oleh investor, mudharib bebas berdagang sesuai dengan
praktek umumnya para pedagang. Akan tetapi dalam Mudharabah Muqayyadah,
mudharib harus mengikuti syarat-syarat dan batasan-batasan yang dikemukakan
oleh investor. Misalnya, mudharib harus berdagang barang tertentu, pada tempat
tertentu, dan membeli barang pada orang tertentu.
Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i, jika investor menentukan bahwa
mudharib tidak boleh membeli kecuali dari orang tertentu, maka Mudharabah itu
batal. Abu Saud (1980:70), penulis kontemporer tentang Bank Islam, mengatakan:
(mudharib) harus memiliki kebebasan mutlak dalam berdagang dengan uang yang
diberikan kepadanya dan mengambil segala langkah/keputusan yang ia anggap
tepat untuk memperoleh keuntungan maksimal. Segala syarat yang membatasi
kebebasan semacam ini merusak keabsahan perjanjian Mudharabah.
Universitas Sumatera Utara
40
2.1.3.3. Jangka Waktu Dalam Akad Mudharabah
Menurut madzhab Maliki dan Syafi’i bahwa, kontrak Mudharabah tidak
boleh menentukan syarat adanya jangka waktu tertentu bagi kongsi. Menurutnya
hal demikian dapat membuat kontrak menjadi batal. Namun kalangan madzhab
Hanafi dan Hambali membolehkan klausul demikian (Ayub, 2007:327).
Mengenai penghentian kontrak Mudharabah, masing-masing dari pihak
berhak untuk menghentikan kontrak tersebut dengan memberitahukan keputusan
itu kepada pihak lain. Karena sebagian besar Fuqaha Mudharabah bukanlah suatu
kontrak yang mengikat. Tak ada perbedaan pendapat mengenai penghentian
kontrak ini dilakukan sebelum atau sesudah mudharib menjalankan Mudharabah.
Imam Syafi’i dan Hanafi mengungkapkan bahwa bahkan setelah mudharib
menjalankan Mudharabah, siapapun di antara kedua belah pihak bisa
menghentikannya. Namun Imam Malik tidak mengizinkannya dalam penghentian
kontrak semacam tersebut.
Ketika kontrak Mudharabah menjadi batal untuk alasan apapun, mudharib
harus diberi upah yang layak sebagai imbalan dari pekerjaan yang telah ia
lakukan, meskipun dalam ketentuan Mudharabah tidak demikian, namun hal ini
dapat dilakukan sebagai sebagai suatu kontrak upahan (Ijarah). Hal tersebut
berdasarkan klausul suatu kontrak upahan, dimana seorang pekerja harus diberi
upah atas pekerjaannya.
2.1.3.4. Jaminan Dalam Akad Mudharabah
Mengingat hubungan antara investor dengan Mudharib adalah hubungan
yang bersifat “gadai” dan mudharib adalah orang yang dipercaya, maka tidak ada
jaminan oleh mudharib kepada investor. Investor tidak dapat menuntut jaminan
Universitas Sumatera Utara
41
apapun dari mudharib untuk mengembalikan modal dengan keuntungan. Jika
investor mempersyaratkan pemberian jaminan dari mudharib dan menyatakan hal
ini dalam syarat kontrak, maka kontrak Mudharabah mereka tidak sah, demikian
menurut Imam Malik dan Syafi’i (El-Gamal, 2006:209).
2.1.3.5. Pembagian Laba dan Rugi Dalam Akad Mudharabah
Mudharabah pada dasarnya adalah suatu serikat untuk tujuan
mendapatkan laba, dan komponen dasarnya adalah penggabungan kerja dan
modal. Pembagian laba masing-masing pihak dilakukan berdasarkan kedua
komponen tersebut. Resiko yang terkandung juga menjadi melekat dalam
Mudharabah. Dalam kasus yang usahanya tidak menghasilkan laba sama sekali,
resiko investor adalah kehilangan sebagian atau seluruh modal, sementara resiko
mudharib adalah kehilangan atas kerja dan usahanya (Nurhayati, 2008:85).
Ketentuan nisbah bagi hasil masing-masing pihak harus ditentukan
sebelumnya dalam kontrak Mudharabah. Bagi hasil harus berupa rasio dan bukan
jumlah tertentu. Penetapan jumlah tertentu, misalnya satuan mata uang, hal ini
dapat membatalkan kontrak Mudharabah tersebut karena adanya kemungkinan
bahwa keuntungan tidak akan mencapai jumlah yang ditetapkan ini. Sebelum
sampai kepada suatu angka laba, kongsi Mudharabah harus dikonversikan
menjadi uang, dan modal harus disisihkan. Mudharib berhak memotong seluruh
biaya yang terkait dengan bisnis dari modal Mudharabah.
Menurut Lewis dan Al-Qaoud (2001:111), pembagian keuntungan di
antara kedua pihak tentu saja harus berdasarkan proporsi dan tidak memberikan
keuntungan sekaligus atau yang pasti kepada rab al-mal (investor). Investor tidak
bertanggung jawab atas kerugian-kerugian di luar modal yang telah diberikannya,
Universitas Sumatera Utara
42
ia hanya bertanggung jawab atas jumlah modal yang telah ditanamkan dalam
kongsi. Untuk alasan inilah mudharib tidak diizinkan mengikat kongsi
Mudharabah dengan suatu jumlah yang melebihi modal yang telah ditanamkan
oleh investor dalam kongsi tersebut. Namun jika mudharib melakukan kesalahan
dan mengabaikan kesepakatan bersama yang telah dibuat dengan investor, maka
akan menjadi tanggung jawab mudharib sepenuhnya atas segala kerugian atau
biaya yang diakibatkan oleh pelanggaran itu.
Lewis dan Al-Qaoud (2001:112) juga mengatakan sebanding dengan
posisi mudharib yang tidak menguntungkan tersebut, investor juga harus
menanggung segala kerugian atau biaya kongsi Mudharabah jika mudharib
menjalankan segala tindakan yang telah sesuai dengan kontrak yang telah dibuat
dan tidak melakukan salah-guna (misuse) atau salah-urus (mismanage) atas modal
yang dipercayakan kepadanya.
2.1.4. Mudharabah dalam Perbankan Syariah
Pembahasan Mudharabah dalam perbankan syariah lebih cenderung
bersifat aplikatif dan praktis, jika dibandingkan dengan literatur Fiqh yang
bersifat teoritis (Ayub, 2007:327). Kontrak Mudharabah bank-bank syariah saat
ini sudah menjamur di seluruh dunia, terutama di Timur Tengah.
Perbankan syariah telah menjadi istilah yang sudah tidak asing baik di
dunia Muslim maupun di dunia Barat. Istilah tersebut mewakili suatu bentuk
perbankan dan pembiayaan yang berusaha menyediakan layanan-layanan bebas
“bunga” kepada para nasabah.
Umumnya, kontrak Mudharabah digunakan dalam perbankan syariah
untuk tujuan dagang jangka pendek dan untuk suatu kongsi khusus (Nurhayati,
Universitas Sumatera Utara
43
2008:112). Kontrak-kontrak tersebut yang ada seringkali berarti jual-beli barang,
yang menunjukkan sifat dagang dari kontrak ini. Para nasabah bank syariah
mengikuti kontrak-kontrak Mudharabah dengan bank syariah. Mudharib
(nasabah) setelah menerima dukungan pendanaan dari bank, membeli sejumlah
atau senilai tertentu dari barang yang sangat spesifik dari seorang penjual dan
menjualnya kepada pihak ketiga dengan suatu laba. Sebelum disetujuinya
pendanaan, mudharib memberikan kepada bank segala perincian mendetail yang
terkait dengan barang, sumber dimana barang dapat dibeli serta semua biaya yang
terkait dengan pembelian barang tersebut. Kepada bank, mudharib menyajikan
pernyataan-pernyataan finansial yang disyaratkan menyangkut harga jual yang
diharapkan, arus kas (cash flow) dan batas laba (profit margin), yang akan dikaji
oleh bank sebelum diambil keputusan apapun tentang pendanaan. Biasanya bank
akan memberi dana yang diperlukan jika ia telah cukup puas dengan batas laba
yang diharapkan atas dana yang diberikan.
2.1.4.1. Modal Dalam Perbankan Syariah
Kontrak-kontrak Mudharabah bank syariah menentukan jumlah modal
yang digunakan dalam kongsi. Ringkasnya, tidak ada dana tunai yang diberikan
kepada Mudharib. Jumlah modal diangsur ke dalam rekening Mudharabah yang
dibuka oleh bank untuk tujuan pengelolaan Mudharabah. Karena umumnya
Mudharabah untuk tujuan pembelian barang-barang tertentu, maka bank
sendirilah yang melakukan pembayaran kepada penjual. Dana-dana yang
diberikan oleh bank sebagai modal tidak dalam penanganan mudharib dan ia tidak
dapat menggunakannya untuk tujuan lain.
Universitas Sumatera Utara
44
Bagaimanapun juga, bank syariah, misalnya, menyatakan dalam kontrak
Mudharabah mereka bahwa mudharib tidak boleh menggunakan dana yang
diberikan kepadanya untuk tujuan apapun selain yang telah ditetapkan dalam
kontrak, sebuah klausul yang tampaknya agak kurang berarti dalam praktek
(Saeed, 1996:72).
2.1.4.2. Manajemen Dalam Perbankan Syariah
Mudharib menjalankan Mudharabah dan mengatur pembelian,
penyimpanan, pemasaran, dan penjualan barang. Kontrak menetapkan secara
detail bagaimana mudharib harus mengelola Mudharabah. Mudharib harus
memastikan bahwa deskripsi yang benar tentang barang telah tersedia pada saat
pengajuan pendanaan. Mudharib bertanggung jawab atas segala kerugian atau
biaya yang diakibatkan oleh suatu kesalahan karena bank tidak akan menanggung
segala kerugian semacam ini. Mudharib harus mengelola usaha dengan sebaik-
baiknya. Ringkasnya, mudharib harus mematuhi syarat-syarat terinci dari kontrak
Mudharabah dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh bank (Saeed, 1996:57).
2.1.4.3. Jangka Waktu Dalam Perbankan Syariah
Jangka waktu yang digunakan dalam kontrak Mudharabah umumnya
ditetapkan oleh bank syariah, karena kontrak Mudharabah juga umumnya
digunakan untuk tujuan dagang jangka pendek (Saeed, 1996:74). Kontrak
Mudharabah dalam bank syariah hendaknya dilaksanakan (liquidated) dan modal
bank beserta keuntungannya diserahkan pada waktuyang telah ditentukan dalam
kontrak, karena ada proyeksi laba dari dana bank yang dihitung dengan
mempertimbangkan jatuh tempo kontrak.
Universitas Sumatera Utara
45
Dari sudut pandang bank, sedikit saja penguluran dari waktu yang telah
ditetapkan akan menempatkan bank dalam resiko, hal ini disebabkan tidak akan
memungkinkan bagi bank untuk mengubah rasio keuntungan yang sejak awal
telah disepakati. Karena rasio keuntungan masih tetap konstan selama jangka
waktu Mudharabah, suatu penguluran dapat berarti pengurangan keuntungan atas
modal yang diberikan. Beberapa bank syariah bahkan melangkah lebih jauh lagi
dengan mengusulkan bahwa jika mudharib tidak dapat sepenuhnya memanfaatkan
dana selama jangka waktu yang telah ditentukan, maka ia harus memberikan ganti
rugi kepada bank. IIBD (International Islamic Bank for Investment and
Development) misalnya, menyatakan : “Kontrak secara otomatis akan dibatalkan
pada saat jatuh tempo. Mudharib harus mengembalikan dana Mudharabah kepada
investor dengan sedikit konpensasi atas penyimpanan dana selama waktu kontrak
tanpa membuatnya produktif”.
2.1.4.4. Jaminan Dalam Perbankan Syariah
Meskipun dalam Fiqh tidak diperbolehkan investor untuk menuntut
jaminan dari Mudharib, bank-bank syariah umumnya meminta beragam bentuk
jaminan. Hal ini mereka lakukan untuk memastikan bahwa modal yang disalurkan
dan keuntungan yang diharapkan dari modal ini agar diberikan kepada bank pada
saat yang ditetapkan dalam kontrak. Jaminan dapat diberikan dari mudharib
sendiri maupun dari pihak ketiga. Jaminan yang diminta oleh bank-bank syariah
tersebut tidak dibuat untuk memastikan kembalinya modal, tetapi untuk
memastikan bahwa kinerja mudharib sesuai dengan syarat-syarat kontrak.
Salah satu klausul dalam kontrak Mudharabah pada Financial Islamic
Bank of Egypt adalah “Jika terbukti bahwa mudharib menyalahgunakan atau tidak
Universitas Sumatera Utara
46
sungguh-sungguh dalam melindungi barang-barang atau modal yang diberikan,
atau bertindak bertentangan dengan syarat-syarat investor, maka mudharib harus
menanggung kerugian, dan harus memberikan jaminan sebagai pengganti
kerugian semacam ini”. Dalam kejadian yang mudharib bertanggung jawab atas
kerugian seperti ini, penjamin diharuskan untuk memberikan ganti rugi kepada
bank. Jika yang diberikan oleh penjamin belum mencukupi, maka Mudharib harus
memberikan jaminan tambahan dalam jangka waktu tertentu.
Di samping jaminan tersebut, mudharib diharuskan untuk menyerahkan
laporan-laporan perkembangan berkala tentang kinerja umum Mudharabah
maupun tentang arus kas (Saeed, 1996:78). Mudharib juga diwajibkan untuk
selalu melakukan pencatatan keuangan yang terkait dengan kontrak, dan
mengizinkan perwakilan bank untuk memeriksa catatan tersebut dan mengeditnya
dan untuk menginvestarisasi di toko dan gudangnya kapanpun tanpa boleh ada
keberatan darinya. Jika terjadi keterlambatan dalam menyerahkan pernyataan
neraca atau laporan perkembangan berkala, maka akan berakibat pada
pengurangan bagian laba mudharib sebanding dengan jangka waktu
keterlambatannya.
Bank mempunyai wewenang untuk mengambil alih manajemen proyek
tersebut jika mudharib tidak dapat mencapai arus kas yang diproyeksikan atau
pendapatan yang dibagikan. Bank juga dapat menuntut pembekuan Mudharabah
jika dilihat oleh bank bahwa tidak ada untungnya melanjutkan kontrak, jika
mudharib telah melanggar kalusul kontrak. Hal ini dapat dilakukan tanpa terlebih
dahulu ada peringatan atau proses hukum.
2.1.4.5. Pembagian Laba dan Rugi Dalam Perbankan Syariah
Universitas Sumatera Utara
47
Bank syariah sepakat dengan nasabah Mudharabah-nya tentang nisbah
bagi hasil yang ditetapkan dalam kontrak. Penentuan besarnya nisbah tergantung
pada daya tawar si mudharib, perkiraan laba, suku bunga pasar, karakter pribadi
mudharib dan daya jual barang, maupun jangka waktu kontrak.
Jika Mudharabah tidak menghasilkan keuntungan, mudharib tidak akan
mendapat sedikitpun upah kerjanya. Kondisi ini terjadi jika Mudharabah
mengalami kerugian sedangkan tidak ditemukan bukti salah guna dan salah urus
mudharib atas dana Mudharabah, atau sepanjang tidak ditentukan pelanggaran
atas syarat-syarat yang ditetapkan oleh bank. Selanjutnya jika terjadi hal
demikian, maka mudharib sendirilah yang akan menanggung kerugian dan
jaminan harus diberikan kepada bank (Lewis dan Al-Qaoud, 2001:143).
Untuk mengambil alih resiko dari setiap kerugian tidak gampang
dilakukan oleh pihak bank. Hal ini harus melewati prosedur untuk memitigasi
resiko yang mungkin terjadi dalam kongsi Mudharabah. Resiko aktuarial dalam
kongsi Mudharabah seperti yang digunakan dalam perbankan syariah dapat
diukur dan dapat diestimasi. Hal inilah yang membuat Mudharabah pada bank
syariah sedikit berbeda dengan penyelenggaraan investasi beresiko rendah
maupun investasi bebas resiko manapun.
2.2. Pembiayaan Musyarakah
Dilarangnya praktek riba dalam bidang muamalat perbankan Islam oleh
ketentuan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka dalam ajaran Islam diberikan metode
lain, yaitu melalui Mudharabah dan Musyarakah. Kata Musyarakah bersumber
dari akar kata sy-r-k, yang dalam Al-Qur’an, disebutkan sebanyak lebih kurang
Universitas Sumatera Utara
48
170 kali, walau tak satupun dari ayat ini yang menggunakan istilah Musyarakah
persis dengan arti kata kemitraaan dalam suatu kongsi bisnis. Istilah lain yang
digunakan untuk Musyarakah adalah syarikah atau Syirqah (Saeed, 1996:115).
Dalam bahasa Inggris Musyarakah diterjemahkan dengan istilah
partnership. Sedangkan oleh lembaga-lembaga keuangan Islam
menerjemahkannya dengan istilah participation financing. Dalam bahasa
Indonesia dapat diterjemahkan dengan kemitraan, persekutuan atau perkongsian
(Sjahdeini, 2000 : 46). Musyarakah atau Syirqah dari segi bahasa berarti
percampuran (Muhammad, 2004:25). Dalam hal ini mencampur satu modal
dengan modal yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Sedangkan menurut syara’, Syirqah (perseroan) adalah transaksi antara dua orang
atau lebih, yang dua-duanya sepakat untuk melakukan kerja yang bersifat
finansial dengan tujuan mencari keuntungan (An-Nabhani, 1996:89).
Para Fuquha mendefenisikannya sebagai akad antara orang-orang yang
berserikat dalam hal modal dan keuntungan (Usman, 2002:66). Secara teknis
dalam aplikasi perbankan, Musyarakah adalah kerja sama antara pemilik modal
atau bank dengan pedagang/pengelola, dimana masing-masing pihak memberikan
konstribusi modal dengan keuntungan dibagi menurut kesepakatan di muka dan
apabila rugi ditanggung oleh kedua belah pihak yang bersepakat (Saeed, 1996:96).
Sehingga Musyarakah dalam perbankan syariah telah dipahami sebagai suatu
mekanisme yang dapat menyatukan kerja dan modal untuk produksi barang dan
jasa yang bermanfaat untuk masyarakat.
Musyarakah dapat digunakan dalam setiap kegiatan yang dijalankan untuk
tujuan menghasilkan laba. Bagi bank-bank syariah, Musyarakah dapat digunakan
Universitas Sumatera Utara
49
untuk tujuan dagang murni yang lazim bersifat jangka pendek, atau untuk
keikutsertaan dalam investasi proyek-proyek jangka menengah hingga jangka
panjang (Saeed, 1996:85).
Usman (2002:67) mengatakan bila Musyarakah atau Syirqah dilakukan
sebagai transaksi bank atau oleh lembaga pembiayaan tidak lain merupakan usaha
patungan (joint venture) dengan para mitranya terdiri atas bank atau lembaga
pembiayaan dan pengusaha (nasabah). Sebagai suatu usaha patungan, maka dapat
diberlakukan semua ketentuan yang biasanya berlaku bagi perjanjian usaha
patungan di antara para mitrausaha. Dapat pula Musyarakah ini dilakukan sebagai
suatu modal ventura.
Secara sederhana Musyarakah dapat diartikan akad kerja sama usaha
patungan antara 2 (dua) pihak atau lebih pemilik modal untuk membiayai suatu
jenis usaha yang halal dan produktif. Pendapatan atau keuntungan dibagi sesuai
dengan nisbah yang telah disepakati bersama pada saat membuat akadnya. Bank
disini melakukan usaha pembiayaan dengan cara menyertakan modal ke dalam
suatu perusahaan yang menerima pembiayaannya. Bank bersama mitra usaha
mengadakan kesepakatan tentang pembagian keuntungan dari usaha yang
dibiayai.
Porsi pembagian keuntungan terebut tidak harus sebanding dengan pangsa
pembiayaan masing-masing, tetapi atas dasar perjanjian kedua belah pihak.
Apabila terjadi kerugian, maka kerugian tersebut akan ditanggung bersama sesuai
dengan pangsa pembiayaan masing-masing. Dalam hal ini bank dapat ikut serta
mengelola usaha tersebut (Usman, 2002:71).
Universitas Sumatera Utara
50
Jadi dapat dikatakan bahwa Musyarakah atau Syirqah adalah
keikutsertaaan dua orang atau lebih dalam suatu usaha tertentu dengan sejumlah
modal yang telah ditetapkan berdasarkan perjanjian untuk bersama-sama
menjalankan suatu usaha dimana pembagian keuntungan dan kerugian dilakukan
menurut bagian yang ditentukan sesuai jumlah kontribusi modal dan kesepakatan.
2.2.1. Hukum Musyarakah dan Dasar Hukumnya
Landasan dasar Al-Musyarakah, yaitu :
1. Al-Qur’an :
a. Terjemahan QS. An-Nisa (4):12 :”Jikalau saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga”.
b. Terjemahan QS. As-Shaad (38):24 :“Dan sesungguhnya kebanyakan
dari orang-orang yang bersyarikat itu sebagian mereka berbuat zalim
kepada sebagian lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan
amal shaleh”.
2. Al-Hadist :
a. Dalam Hadist Qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa
Rasulullah SAW telah bersabda : ”Allah SWT telah berkata : Saya
menyertai dua pihak yang sedang berkongsi selama salah satu dari
keduanya tidak menghianati yang lain, seandainya berkhianat maka
Saya keluar dari penyertaan tersebut”. (Terjemahan HR. Abu Daud).
b. ”Rahmat Allah SWT tercurahkan atas 2 (dua) pihak yang sedang
berkongsi selama mereka tidak melakukan pengkhianatan, manakala
berkhianat, maka bisnisnya akan tercela dan keberkatan pun akan sirna
dari padanya”. (Terjemahan HR. Abu Daud).
Universitas Sumatera Utara
51
c. Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW, berkata : “Sesungguhnya Allah
Azza wa Jalla berfirman : “Aku pihak ketiga dari dua orang yang
bersyarikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya”.
3. Ijma’
Ibn Qudamah telah berkata :”Kaum Muslimin telah berkonsensus akan
legitimasi Musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat
terdapat dalam beberapa elemen dari padanya” (Antonio, 2001:90).
2.2.2. Rukun dan Syarat Musyarakah
Menurut syara, Syirqah atau Musyarakah adalah transaksi antara dua
orang atau lebih, yang keduanya sepakat untuk melakukan kerja yang bersifat
finansial dengan tujuan mencari keuntungan. Transaksi perseroan tersebut
mengharuskan adanya ijab dan qabul sekaligus, sebagaimana layaknya transaksi
yang lain. Bentuk ijab-nya adalah :”Aku mengadakan perseroan dengan anda
dalam masalah ini”, kemudian yang lain menjawab (qabul) : ”Aku terima”. Akan
tetapi, tidak harus selalu memakai ungkapan di atas, yang penting maknanya
sama. Artinya, didalam menyatakan ijab dan qabul tersebut harus ada makna yang
menunjukkan, bahwa salah satu di antara mereka mengajak kepada yang lain baik
secara lisan ataupun tulisan untuk mengadakan kerja sama (perseroan) dalam
suatu masalah. Kemudian yang lain menerima perseroan tersebut. Oleh karena itu,
adanya kesepakatan untuk melakukan perseroan saja, masih dinilai belum cukup
termasuk kesepakatan memberikan modal untuk perseroan saja, juga masih dinilai
belum cukup, tetapi harus mengandung makna bekerja sama (melakukan
perseroan) dalam suatu urusan. Syarat sah dan tidaknya transaksi perseroan amat
tergantung kepada sesuatu yang ditransaksikan, yaitu harus sesuatu yang bisa
Universitas Sumatera Utara
52
dikelola, dapat diwakilkan sehingga sesuatu yang bisa dikelola tersebut sama-
sama mengikat para pihak (An-Nabhani, 1996:156). Rukun-rukun dalam akad
Musyarakah adalah ijab qabul dan adanya sesuatu yang ditransaksikan.
Menurut Imam Hanafi hanya ada dua rukun dan syarat Musyarakah, yaitu
ijab dan qabul. Tetapi menurut para ulama dan praktisi perbankan menjabarkan
lebih lanjut rukun Musyarakah menjadi :
1. Ucapan (sigot), penawaran dan penerimaan (ijab dan qabul); tidak ada bentuk
khusus dari kontrak Musyarakah. Ia dapat berbentuk pengucapan yang
menunjukan tujuan. Berakad dianggap sah jika diucapkan secara verbal.
Kontrak Musyarakah dicatat dalam tulisan dan disaksikan yang bermakna
akad dapat berbentuk lisan dan tulisan.
2. Para pihak yang berkontrak; dan pihak yang berkontrak harus berkompeten
dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan, karena dalam
Musyarakah mitra kerja juga berarti mewakilkan harta untuk diusahakan
sama halnya dengan Mudharabah. Musyarik juga harus berakal sehat dan
cakap hukum.
3. Objek kesepakatan : modal dan kerja.
a. Modal/Dana. Modal atau dana ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Modal yang diberikan harus tunai, emas, perak, atau nilainya sama.
Tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama dalam hal ini. Dapat
berbentuk mata uang yang berlaku.
2) Modal dapat terdiri dari asset perdagangan, seperti barang-barang,
properti, perlengkapan dan sebagainya. Dapat juga dalam bentuk hak
yang tidak terlihat, seperti lisensi, hak paten dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
53
Dibolehkan oleh beberapa ulama modal sebuah perusahaan dapat
disumbangkan dalam bentuk jenis-jenis asset ini asalkan barang-
barang itu dinilai dengan tunai menurut yang disepakati para
mitranya. Harus jelas jumlahnya berapa dan harus disepakati
jumlahnya.
3) Mazhab Syafii dan Maliki mensyaratkan dana yang disediakan oleh
para pihak itu harus dicampur supaya tidak ada keistimewaan
diberikan kepada bagian salah satu dari mereka. Tetapi mazhab
Hanafi tidak mencantumkan syarat ini jika modal itu dalam bentuk
tunai, sedangkan mazhab Hambali tidak mensyaratkan percampuran
dana.
b. Kerja
Partisipasi para mitra dalam pekerjaan Musyarakah adalah sebuah hukum
dasar dan tidak dibolehkan bagi salah satu dari mereka untuk
mencantumkan ketidak-ikutsertaan dari mitra lainnya. Tetapi kesamaan
kerja bukanlah merupakan syarat. Dibolehkan seorang mitra
melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia
boleh mensyaratkan bagian keuntungan tambahan bagi dirinya (Tim
Penggembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, 2002 dan
Kara, 2005:229).
Muhamad (2000:54), menjelaskan bahwa Musyarakah akan menjadi akad
apabila telah terpenuhi syarat dan rukun-rukunnya, yaitu:
1. Melafazkan kata-kata yang menunjukan izin yang akan mengendalikan harta.
2. Anggota syarikat percaya mempercayai.
Universitas Sumatera Utara
54
3. Mencampurkan harta yang akan diserikatkan.
Adapun rukun syahnya melakukan Syirqah/Musyarakah, adalah :
1. Macam harta modal.
2. Nisbah bagi hasil dari modal yang diserikatkan.
3. Kadar pekerjaan masing-masing pihak yang berserikat.
2.2.3. Sejarah Musyarakah
Musyarakah atau Syirqah didefinisikan sebagai suatu bentuk kemitraan
dimana dua orang atau lebih menggabungkan baik modal atau tenaga kerja
bersama-sama, untuk berbagi keuntungan, menikmati hak-hak yang sama dan
kewajiban. Definisi ini didapat dari sejarah Musyarakah yang ada.
Dari awal peradaban manusia, metode untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari telah berubah seiring dengan perubahan keadaan sosial, ekonomi, ilmu
pengetahuan, budaya dan politik, terutama kebiasaan, mode, dan standar hidup.
Metode untuk memenuhi kebutuhan ini mengatur kegiatan komersial dan dapat
bervariasi dari tempat ke tempat dan waktu ke waktu. Masyarakat Arab pada saat
kebangkitan Islam memiliki metode pembiayaan yang sangat sederhana dan
bentuk usaha khas masyarakat tersebut. Munculnya Nabi Muhammad SAW
melihat praktek Musyarakah sudah berlaku selama kegiatan komersial di Arabia.
Dia tidak hanya meratifikasinya, tetapi juga dirinya melakukan bisnis atas dasar
Musyarakah (Irfani, 1984:2).
Setelah Hijrah, para Muhajirin dan Anshar dianjurkan oleh Nabi untuk
menjadi bersatu. Selanjutnya mereka bergabung sebagai mitra, dalam bentuk
Musyarakah, Muzara’a dan Musaqat, dalam perdagangan mereka. Sifat transaksi,
dalam bentuk yang berbeda, adalah identik. Nomenklatur yang berbeda dalam
Universitas Sumatera Utara
55
bahasa Arab mengacu pada kegiatan beragam seperti muzara’a di bidang
pertanian, musaqat di berkebun dan Musyarakah dalam perdagangan. Modal dan
tenaga kerja Musyarakah disebut Mudarabah. Ada konsensus pendapat di antara
para ahli hukum atau para ahli fiqih (termasuk Hanafi, Maliki, Syafii, Hambali
dan Syi’ah) bahwa Musyarakah adalah kontrak yang sah dalam Islam. Namun
para ahli fiqih tersebut berbeda atas kondisi bentuk dan rincian lainnya (Irfani,
1984:3).
2.2.4. Tipe-Tipe Musyarakah
Awalnya Musyarakah atau Syirqah (partnership) terdiri dari dua jenis.
Yaitu :
a. Syirqah Al-Milk (kemitraan non-kontrak)
b. Syirqah Al-Uqood (kemitraan kontrak)
Syirqah Al-Milk (non-kontrak) menyiratkan kepemilikan bersama ketika
dua orang atau lebih bersepakat untuk melakukan kepemilikan aset bersama tanpa
menandatangani perjanjian kemitraan formal, misalnya, dua orang yang menerima
warisan atau hadiah tanah atau properti yang tidak dibagi. Para mitra harus
berbagi hadiah, atau mewarisi kekayaan atau pendapatan, sesuai dengan porsi
mereka di dalamnya sampai mereka memutuskan untuk membaginya. Jika
properti dibagi dan mitra masih memutuskan untuk tetap bersama-sama, Syirqah
Al-Milk disebut Ikhtiyariyyah (voluntary). Namun, jika dibagi dan mereka dibatasi
untuk tetap bersama-sama, Syirqah Al-Milk ditandai sebagai Jabriyyah (sukarela).
Sedangkan Syirqah Al-Uqood (kemitraan kontrak), bagaimanapun juga
dianggap sebagai kemitraan yang tepat karena pihak-pihak yang bersangkutan
telah rela menandatangani perjanjian kontrak untuk investasi bersama dan berbagi
Universitas Sumatera Utara
56
keuntungan dan resiko. Perjanjian tersebut tidak perlu formal dan tertulis, bisa
informal dan lisan. Sama seperti di Mudharabah, keuntungan dapat dibagi dalam
proporsi yang adil yang disepakati. Kerugian harus dibagi secara proporsional
dengan kontribusi modal.
Syirqah Al-Uqood telah dibagi dalam buku-buku Fiqh menjadi empat
jenis: Al-Mufawadah (otoritas penuh dan kewajiban), Al-Inan (otoritas terbatas
dan kewajiban), Al-Abdan (tenaga kerja, keterampilan dan manajemen), dan Al-
Wujuh (goodwill, kelayakan kredit dan kontrak).
Dalam kasus Mufawadah mitra dalah orang dewasa, sama dalam
kontribusi modal mereka, kemampuan mereka untuk melaksanakan tanggung
jawab dan bagian mereka untuk mendapatkan keuntungan dan kerugian. Mereka
memiliki otoritas penuh untuk bertindak atas nama orang lain dan bertanggung
jawab atas kewajiban bisnis kemitraan mereka. Dengan demikian masing-masing
pasangan dapat bertindak sebagai agen (wakil) untuk bisnis kemitraan dan berdiri
sebagai penjamin (kafil) bagi para mitra lainnya.
Inan di sisi lain menyiratkan bahwa semua mitra tidak perlu dewasa atau
memiliki bagian yang sama di kemitraannya. Keduanya tidak sama dalam
tanggung jawab atas pengelolaan usaha. Oleh karena saham mereka dan
keuntungan tidak sama, tapi ini harus jelas ditentukan dalam kontrak kemitraan.
Bagian mereka dalam kerugian tentu saja akan sesuai dengan kontribusi modal
mereka. Jadi dalam Syirqah Al-Inan bertindak sebagai agen mitra tetapi bukan
sebagai jaminan bagi rekan-rekan mereka.
Syirqah Al-Abdan adalah dimana mitra berkontribusi keterampilan dan
upaya pengelolaan bisnis tanpa memberikan kontribusi di kemitraannya.
Universitas Sumatera Utara
57
Sedangkan dalam Syirqah Al-Wujuh, mitra menggunakan niat baik mereka,
mereka menawarkan kelayakan pembiayaan dan akses mereka untuk
mempromosikan bisnis mereka tanpa memberikan kontribusi modal (Chapra,
1985:251).
Keseluruhan tipe Musyarakah di atas adalah model saja. Dalam
prakteknya, Musyarakah dapat berkontribusi tidak hanya keuangan, tetapi juga
dapat berupa tenaga kerja, manajemen dan keterampilan, kredit dan goodwill,
meskipun tidak selalu sama porsinya tiap pihak yang berserikat. Untuk itu
diperlukan kesepakatan di awal mengenai porsi modal dan nisbah bagi hasilnya.
Pada bisnis modern belakangan ini muncul kekhawatiran mengenai
Musyarakah ini (seperti dijelaskan di atas) adalah seperti di bawah :
1. Kemitraan. Kemitraan ini memiliki kekhawatiran karena :
a. Kemitraan aturan dibingkai oleh pemerintah dalam bentuk undang-
undang,
b. Praktek bisnis yang berlaku dalam komunitas bisnis yang sangat
tergantung pada teritori dan waktu.
2. Perusahaan Terbatas. Jenis Musyarakah secara ketat dikontrol oleh aturan
hukum dibingkai oleh pemerintah melalui undang-undang perusahaan
terbatas namun dipengaruhi oleh praktek bisnis (Urf) seperti teknik bisnis
komersial, kondisi ekonomi dan persyaratan hukum.
3. Keterlibatan masyarakat. Banyak masyarakat yang belum memahami
Musyarakah ini (Chapra, 1985:255).
Dalam Musyarakah, modal yang akan diinvestasikan oleh mitra mungkin
tidak sama. Menurut sebagian besar para ahli hukum, modal harus dalam bentuk
Universitas Sumatera Utara
58
mata uang dan tidak dalam bentuk barang. Jika modal dalam bentuk mata uang,
ketentuan pembagian bagi hasilnya juga merujuk pada mata uang yang berlaku.
Pada zaman barter juga dibingkai aturan, tapi sekarang barang umumnya disebut
atau diperhitungkan dalam hal mata uang. Dalam perusahaan terbatas dan
koperasi, modal masyarakat yang diinvestasikan dalam mata uang yang disebut
saham, dan mitra tersebut membeli saham sebanyak yang mereka inginkan
(Chapra, 1985:253). Bisnis ini telah dilakukan secara universal dan telah diterima
sebagai praktek bisnis dan oleh sebab itu harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip
Islam.
2.2.5. Manajemen Dalam Akad Musyarakah
Menurut Iqbal (2009:190), Musyarakah dijalankan dan dikelola oleh
kehendak dan persamaan hak partisipasi dari semua mitra. Aspek-aspek dari
bisnis Musyarakah adalah sebagai berikut:
1. Setiap mitra merupakan agen untuk yang lain, karena semua mitra
mendapatkan keuntungan dari bisnis Musyarakah ini. Ketika kontrak
Musyarakah dibuat, setiap mitra harus berpegang pada kontrak tersebut.
Kepemilikan properti dari mitra bisnis Musyarakah sebenarnya dianggap
sebagai milik mitra lainnya, hal ini berlaku jika mitra membeli setengah porsi
khusus untuk dirinya sendiri dan setengah porsi untuk Musyarakah tersebut.
Namun, jika pasangan membeli beberapa barang untuk dirinya sendiri saja,
itu adalah khusus untuk dia dan bukan untuk bisnis Musyarakah.
2. Setiap mitra menikmati hak yang sama dalam segala hal kecuali jika ada
kondisi yang bertentangan dengan kontrak.
3. Kondisi mengenai porsi dalam administrasi Musyarakah akan berpengaruh
Universitas Sumatera Utara
59
pada variasi dalam nisbah bagi hasil. Kontrak Musyarakah akan menjadi
tidak valid jika didasarkan kondisi salah satu pihak yang kurang berpartisipasi
dalam bisnis Musyarakah, sehingga nisbah bagi hasilnya jadi berkurang.
4. Setiap mitra memiliki hak untuk berpartisipasi secara aktif dalam urusan
Musyarakah jika dia menghendakinya.
Dalam semua bentuk Musyarakah modern, para mitra memiliki hak yang
sama seperti yang disebutkan di atas. Dalam perusahaan terbatas dan koperasi,
pemegang saham mendelegasikan hak dalam hal administrasi dan lain sebagainya
kepada direksi atau orang yang diberi jabatan lainnya. Dengan kesepakatan
bersama, pendistribusian tanggung jawab, tugas dan pekerjaan, seperti pada
praktek-praktek yang berlaku di komunitas bisnis.
2.2.6. Distribusi Laba Dalam Akad Musyarakah
Dasar pembagian keuntungan Musyarakah adalah modal, partisipasi aktif
dalam bisnis Musyarakah, dan tanggung jawab. Keuntungan yang akan dibagikan
kepada para mitra bisnis atas dasar proporsi/nisbah disebutkan di muka pada saat
akad. Bagian dari setiap laba harus ditentukan sebagai proporsi atau persentase.
Tidak dibolehkan ditetapkan jumlah yang tetap untuk setiap akad (Siddiqi,
1985:22-23).
Perusahaan terbatas dan koperasi mendistribusikan keuntungan mereka
sesuai dengan modal saham. Jika ada pemegang saham berpartisipasi aktif dalam
Musyarakah, dia dibayar untuk itu dan pembayaran tersebut dianggap sebagai
biaya Musyarakah.
2.2.7. Kerugian Dalam Akad Musyarakah
Semua ahli hukum secara aklamasi menyatakan bahwa kerugian akan
Universitas Sumatera Utara
60
ditanggung oleh mitra sesuai dengan akad mereka. Dalam semua bentuk
Musyarakah (seperti perusahaan terbatas, koperasi masyarakat dan kemitraan)
kerugian yang ditanggung atas dasar modal yang diinvestasikan (Iqbal, 2009:191).
Para ahli hukum juga telah menetapkan bahwa pihak yang tidak memiliki modal
yang diinvestasikan dalam perusahaan, tidak harus berbagi kerugiannya. Para ahli
hukum menunjukkan pembagian kerugian ini merupakan kewajiban dari pemilik
modal saja.
Namun pada prakteknya, pada Musyarakah jika terjadi kerugian, tidak
mengurangi porsi masing-masing mitra atau pemegang saham, tapi tetap
dibukukan di rekening Musyarakah agar disesuaikan terhadap keuntungan di
masa depan. Hal ini harus dicatat pada akuntansi, akan terjadi kehilangan
keuntungan di masa depan disebabkan kerugian tersebut, sehingga menjadi
tanggungan pada tingkat modal selanjutnya.
2.2.8. Menarik Diri Dalam Akad Musyarakah
Menurut Iqbal (2009:192), pada awal Islam, Musyarakah umumnya
dilakukan dalam jangka pendek, sebagian besar merupakan jenis usaha patungan.
Oleh karena itu, sangat mudah bagi pasangan untuk menarik diri dari suatu
Musyarakah. Penarikan diri untuk berpartisipasi dalam Musyarakah tidak
menciptakan banyak masalah seperti masalah perpajakan belanja modal,
kontinuitas usaha dan niat baik. Inilah sebabnya mengapa para ahli fiqih tidak
merasa perlu untuk memaksakan pembatasan penarikan diri dari Musyarakah.
Tetapi pada prakteknya, persyaratan hukum dan kontrol publik dalam
Musyarakah, tegas dinyatakan bahwa tidak ada mitra atau pemegang saham dapat
terbebas dari kewajiban akibat kerugian. Menurut etika bisnis, pemegang saham
Universitas Sumatera Utara
61
dari perseroan terbatas tidak bisa menarik diri begitu saja dan menerima kembali
modal yang telah diinvestasikannya. Dia bisa menjual saham kepada setiap orang
yang berkeinginan menjadi pemegang saham perusahaan tersebut. Dalam bisnis
kemitraan, mitra dapat diizinkan untuk menarik diri dan menerima modalnya
kembali setelah kewajiban dipenuhi sebagai mitra.
2.2.9. Kewajiban Terbatas Dalam Akad Musyarakah
Sebuah fitur yang membedakan Musyarakah modern adalah perseroan
terbatas pemegang saham. Pemegang saham tidak bisa bertanggung jawab atas
lebih dari jumlah modal yang telah mereka investasikan. Persyaratan ini perlu
dibuat untuk menganggap Musyarakah sebagai entitas terpisah dari individualitas
pemegang saham. Ketentuan bisnis ini telah memberikan cara agar Musyarakah
aman dan stabil sehingga organisasi komersial menjadi besar dan bisnisnya terus
berkembang (Irfani, 1984:23-24).
Untuk meringkas bagian ini, Syirqah Al-Inan, yang berarti saham setara
dan diakui oleh semua pihak, mungkin cenderung menjadi Syirqah yang paling
populer untuk dilakukan. Keuntungan dibagi sesuai dengan proporsi yang telah
disetujui, karena syariah mengakui suatu hak untuk mendapatkan keuntungan
yang timbul dari kontribusi mitra pada salah satu aset bisnis. Namun, syariah
membuat jelas bahwa kerugian harus dibagi secara proporsional dengan
kontribusi sesuai dengan modal. Hal ini disebabkan karena kerugian merupakan
suatu erosi ekuitas dan harus dibebankan pada modal. Jika kerugian telah terjadi
dalam satu periode, harus dikompensasikan keuntungan pada periode berikutnya
hingga hilangnya keseluruhan kerugian dan dihapuskan pada jumlah modal.
Namun, hingga total kerugian telah dihapuskan, setiap distribusi keuntungan akan
Universitas Sumatera Utara
62
dianggap sebagai uang muka kepada mitra. Dengan demikian, dianjurkan agar
membentuk cadangan laba untuk mengimbangi kerugian yang mungkin timbul di
masa depan.
2.3. Teori Produktivitas
Produktivitas adalah rasio output dan input suatu proses produksi dalam
periode tertentu. Input terdiri dari manajemen, tenaga kerja, biaya produksi, dan
peralatan serta waktu. Output meliputi produksi, produk penjualan, pendapatan,
pangsa pasar, dan kerusakan produk. Dalam perspektif normatif, pengertian
produktivitas adalah kalau hari ini lebih baik dari kemarin dan hari esok lebih baik
dari sekarang (Ruky, 2001:2).
Konsep produktivitas dijelaskan oleh Ravianto (1985:18) sebagai berikut:
1. Produktivitas adalah konsep universal, dimaksudkan untuk menyediakan
semakin banyak barang dan jasa untuk semakin banyak orang dengan
menggunakan sedikit sumber daya.
2. Produktivitas berdasarkan atas pendekatan multi disiplin yang secara efektif
merumuskan tujuan rencana pembangunan dan pelaksanaan cara-cara
produktif dengan menggunakan sumber daya secara efektif dan efisien namun
tetap menjaga kualitas.
3. Produktivitas terpadu menggunakan keterampilan modal, teknologi
manajemen, informasi, energi, dan sumber daya lainnya untuk mutu
kehidupan yang mantap bagi manusia melalui konsep produktivitas secara
menyeluruh.
4. Produktivitas berbeda di masing-masing negara dengan kondisi, potensi, dan
kekurangan serta harapan yang dimiliki oleh negara yang bersangkutan dalam
Universitas Sumatera Utara
63
jangka panjang dan pendek, namun masing-masing negara mempunyai
kesamaan dalam pelaksanaan pendidikan dan komunikasi.
5. Produktivitas lebih dari sekedar ilmu teknologi dan teknik manajemen akan
tetapi juga mengandung filosofi dan sikap mendasar pada motivasi yang kuat
untuk terus menerus berusaha mencapai mutu kehidupan yang baik.
Sinungan (1995:18) menjelaskan produktivitas dalam beberapa kelompok
sebagai berikut :
1. Rumusan tradisional bagi keseluruhan produksi tidak lain adalah rasio apa
yang dihasilkan (output) terhadap keseluruhan peralatan produksi yang
digunakan.
2. Produktivitas pada dasarnya adalah suatu sikap mental yang selalu
mempunyai pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini lebih baik dari pada
kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini.
3. Produktivitas merupakan interaksi terpadu serasi dari tiga faktor esensial,
yakni : investasi termasuk pengetahuan dan teknologi serta riset, manajemen
dan tenaga kerja.
Menurut Balai Pengembangan Produktivitas Daerah (Umar, 2002:11)
menjelaskan bahwa : Produktivitas mengandung arti sebagai perbandingan antara
hasil yang dicapai (output) dengan keseluruhan sumber daya yang digunakan
(input). Dengan kata lain bahwa produktivitas memiliki dua dimensi. Dimensi
pertama adalah efektivitas yang mengarah kepada pencapaian target berkaitan
dengan kualitas, kuantitas, dan waktu. Yang kedua yaitu efisiensi yang berkaitan
dengan upaya membandingkan input dengan realisasi penggunaannya atau
bagaimana pekerjaan tersebut dilaksanakan. Pendapat yang demikian itu
Universitas Sumatera Utara
64
menunjukkan bahwa produktivitas mencakup sejumlah persoalan yang terkait
dengan kegiatan manajemen dan teknis operasional.
Menurut Lembaga Penelitian, Pendidikan & Penerangan Ekonomi dan
Sosial (1986:7-12), untuk mengukur produktivitas, penting untuk mengetahui hal-
hal yang mempengaruhi produktivitas. Faktor-faktor pada tingkat makro yang
dapat mempengaruhi terjadinya produktivitas yang rendah meliputi :
1. Kondisi Perekonomian : partisipasi pembayaran pajak yang rendah; tabungan
dan investasi yang meningkat; regulasi yang berlebihan; tingkat inflasi tinggi;
fluktuasi ekonomi; harga energi tinggi; keterbatasan bahan baku;
perlindungan berlebihan dan keterbatasan kuota; dan subsidi berlebihan yang
menimbulkan inefisiensi.
2. Regulasi pemerintah : birokrasi panjang; produktivitas pemerintahan rendah;
pemborosan pemerintah dan tingkat korupsi tinggi.
3. Karakteristik Angkatan Kerja : standar pendidikan rendah; tingkat melek
huruf rendah; etos kerja rendah; pergeseran ke sektor jasa; tingkat kriminal
tinggi; pergeseran sistem nilai dan sikap.
Selanjutnya, selain faktor-faktor makro terdapat pula faktor-faktor mikro
yang dapat mempengaruhi terjadinya produktivitas yang rendah meliputi :
1. Organisasi : tempat usaha tua; peralatan tua; kekurangan alat; riset dan
pengembangan kurang dan kondisi fisik tempat kerja kurang nyaman.
2. Manajemen : kurang perhatian terhadap mutu; kelebihan staf pegawai;
spesialisasi pekerja yang berlebihan; kurang perhatian terhadap faktor-faktor
manusia; perhatian terhadap isu legal yang berlebihan; kurangnya perhatian
pada persoalan merger; kurangnya perhatian terhadap pelatihan; dan
Universitas Sumatera Utara
65
pengembangan gaji eksekutif berlebihan, sementara gaji karyawan tidak
memadai; resisten terhadap perubahan; penurunan perhatian terhadap resiko
kerja; sikap bermusuhan terhadap serikat pekerja; dan manajemen
kepemimpinan yang otoriter.
3. Karyawan : lebih senang dengan waktu santai; resisten terhadap perubahan;
tidak bangga pada pekerjaan; kekerasan karena alkohol dan obat-obatan
terlarang; pengalaman kerja kurang; etos kerja yang kurang; rendahnya
pengetahuan, keterampilan, kemampuan, sikap dan perilaku; kondisi
kesehatan yang kurang; dan kemampuan berkomunikasi yang kurang.
Umar (2002:23) mengatakan dalam prakteknya mengukur hasil utama
dari suatu proses produksi tergantung dari usahanya. Berikut ini diberikan
beberapa contoh keragaman tersebut.
1. Perusahaan perkebunan karet : jumlah dan kualitas produk, biaya, waktu,
pelanggan (pengolahan sekunder),
2. Perusahaan makanan : kualitas, output, biaya, waktu, staf dan pelanggan,
3. Perusahaan pabrik mobil : nilai pemegang saham, mutu produk, mutu
manusia, kepuasan pelanggan,
4. Perusahaan angkutan darat : kualitas, biaya, ketepatan waktu, pelayanan bagi
pelanggan, dan keselamatan,
5. Perusahaan jaringan bisnis : kepemimpinan dan individu, kualitas, pelayanan
bagi pelanggan, kemitraan, kerjasama tim.
Peningkatan produktivitas merupakan dambaan setiap perusahaan,
produktivitas mengandung pengertian berkenaan dengan konsep ekonomis,
filosofis, produktivitas berkenaan dengan usaha atau kegiatan manusia untuk
Universitas Sumatera Utara
66
menghasilkan barang atau jasa yang berguna untuk pemenuhan kebutuhan hidup
manusia dan masyarakat pada umumnya. Sebagai konsep filosofis, produktivitas
mengandung pandangan hidup dan sikap mental yang selalu berusaha untuk
meningkatkan mutu kehidupan dimana keadaan hari ini harus lebih baik dari hari
kemarin, dan mutu kehidupan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Hal ini yang
memberi dorongan untuk berusaha dan mengembangkan diri. Sedangkan konsep
sistem, memberikan pedoman pemikiran bahwa pencapaian suatu tujuan harus ada
kerja sama atau keterpaduan dari unsur-unsur yang relevan sebagai sistem.
2.4. Peranan Pembiayaan Terhadap Pendapatan
Peranan pembiayaan dalam pengembangan usaha pada prinsipnya
bertujuan untuk memperbaiki perekonomian sekaligus mendorong kenaikan
produksi yang lebih besar. Pentingnya peranan pembiayaan tergantung pada
seberapa besar tambahan input yang dialokasikan mampu menaikkan tambahan
penerimaan. Fungsi produksi digunakan untuk menggambarkan hubungan teknis
antara input dan output yang dihasilkan dalam proses produksi.
Fungsi produksi dibangun dengan asumsi bahwa produsen berusaha
mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan memaksimumkan output dan
mengoptimumkan penggunaan faktor produksi. Keuntungan jangka pendek
merupakan selisih antara total penerimaan dengan total biaya input variabel.
Sedangkan pada konsep jangka panjang, karena semua input dianggap variabel,
maka keuntungan adalah nilai input dikurangi total biaya input. Selanjutnya,
fungsi produksi yang dihadapi produsen diasumsikan sebagai berikut :
Q = ƒ (Xi, ..., Xn, Zi, ..., Zn) ..................................................... (2.4.1)
Universitas Sumatera Utara
67
Keterangan :
Q = Jumlah output yang dihasilkan
Xi = Input Variabel
Zi = Input tetap
Jika harga per satuan produk adalah P, maka total penerimaan menjadi :
TP = Pƒ (X1, X2) ..................................................................... (2.4.2)
Sementara itu, biaya total yang dikeluarkan sebesar :
C = R1X1 + R2X2 + V ................................................................ (2.4.3)
dimana R1 dan R2 adalah harga per satuan input X1 dan X2, V adalah biaya tetap.
Keuntungan diperoleh dari penerimaan dikurangi dengan biaya totalnya yaitu :
π = Pƒ (X1,X2) – R1X1 – R2X2– V ......................................... (2.4.4)
Keuntungan maksimum dicapai dengan menurunkan fungsi keuntungan terhadap
masing-masing input yaitu :
∂π = PF1 - R1 = 0 atau PF1 = R1 ............................. (2.4.5)
∂X1
∂π = PF2 - R2 = 0 atau PF2 = R2 ............................. (2.4.6)
∂X2
Sehingga diperoleh produk marginal input X1 (MPx1) dan X2 (MPx2) adalah :
F1 = ∂Y = MPx1 = R1 .......................................................... (2.4.7) ∂X1 P
F2 = ∂Y = MPx2 = R2 .......................................................... (2.4.8) ∂X2 P
Universitas Sumatera Utara
68
Keuntungan maksimum tercapai bila tingkat penggunaan input optimal
yaitu nilai produk marginal input sama dengan rasio harga input (Ri) dan harga
output (P).
Baker (1968:76) menyatakan bahwa dalam kegiatan produksi, pembiayaan
berperan sebagai penambah modal untuk membiayai input produksi sehingga
produsen dapat meningkatkan produknya pada tingkat yang lebih tinggi. Input
produksi yang dibiayai dengan kredit mempunyai biaya tambahan sebesar
bunga/bagi hasil pembiayaan dan biaya transaksi lainnya. Adanya tambahan biaya
ini dengan sendirinya dapat mempengaruhi komposisi dua input optimum. Jika
pengusaha menggunakan kombinasi dua input dengan bentuk fungsi produksi
seperti pada persamaan (2.4.1), maka total penerimaan seperti persamaan (2.4.2)
dan biaya yang dikeluarkan seperti persamaan (2.4.3). Jika sekarang hanya
tersedia sejumlah modal tertentu sebesar C0, maka persamaan biaya menjadi
sebagai berikut :
C0 = R1X1 + R2X2 + V ............................................................... (2.4.9)
Dari persamaan (2.5.9), dapat diturunkan persamaan isocost yang
menggambarkan jumlah input X1 yang dapat dibeli dengan modal C0 yaitu :
X1 = C0 - V
- R2
X2 ............................................................ (2.4.10) R1 R1
X2 = C0 - V
- R1
X1 ............................................................ (2.4.11) R2 R2
Pada jumlah biaya sebesar C0, produsen dapat memaksimumkan Q pada kondisi :
- ∂X2
= R1
................................................................................ (2.4.12) ∂X1 R2
Dimana –dX2/dX1 merupakan sudut kemiringan garis isoquant dan R1/R2
merupakan sudut kemiringan garis isocost. Jika input X1 diperoleh dari
Universitas Sumatera Utara
69
X2
Ckr2 S2
C0
r2
S1
K
X1
L
C0r1 + k
Ckr1 + k
C0r1
pembiayaan, maka harga satuan input menjadi lebih mahal yaitu R1+k, dimana k
merupakan pembiayaan. Kemudian keseimbangan penggunaan input optimal akan
terganggu
- ∂X2 <
R1 + k ................................................................................ (2.4.13) ∂X1 R2
Untuk mengembalikan pada keseimbangan semula maka produsen harus
mengurangi jumlah input X1. Jika jumlah produk Q dipertahankan pada kondisi
semula maka modal perlu ditambah menjadi Ck, sehingga diperoleh jalur
perluasan usaha baru.
Gambar 2.1. menunjukkan perubahan yang terjadi sebelum dan setelah
adanya pembiayaan. Penggunaan input untuk biaya minimum tanpa biaya
pembiayaan diperoleh pada titik K. Jalur perluasan usaha tanpa pembiayaan
ditunjukkan dengan garis S1. Jalur perluasan usaha setelah X1 dibiayai
pembiayaan cenderung akan mengurangi input X1. Jika input X1 dibiayai
pembiayaan sehingga harganya lebih mahal sebesar k, maka kombinasi
penggunaan input optimum diperoleh pada titik L dan jalur perluasan usaha
menjadi garis S2.
Sumber : Baker, 1968
Universitas Sumatera Utara
70
Gambar 2.1. Pengaruh Pembiayaan Terhadap Kombinasi Input Biaya
Minimum dan Jalur Perluasan Usaha
Monitoring dan evaluasi pada program pembiayaan sangat bermanfaat
dalam memberikan informasi kinerja program tersebut, apakah dalam
pelaksanaannya sudah maksimal sehingga menjadi pertimbangan menentukan
program selanjutnya. Menurut Muljadi (dalam Yani, 2008:73), terdapat lima
indikator kinerja organisasi yaitu :
1. Input/masukan yaitu sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan
menghasilkan output yang ditentukan misalnya dengan informasi lainnya.
2. Output/keluaran adalah sesuatu yang langsung dicapai dari kegiatan berupa
fisik maupun non fisik.
3. Outcome/hasil adalah sesuatu yang mencerminkan efek langsung.
4. Benefit/manfaat adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir pelaksanaan
kegiatan.
5. Impact/dampak adalah ukuran yang ditimbulkan setiap kegiatan baik positif
maupun negatif pada setiap indikator berdasarkan asumsi yang ditetapkan.
Universitas Sumatera Utara
71
2.5. Penelitian Terdahulu
Penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dan merupakan rujukan
bagi penulis dalam membuat penelitian ini adalah sebagai berikut :
Tabel 2.2. Penelitian Terdahulu
No Judul, Peneliti dan
Tahun Penelitian Variabel Hasil Penelitian
1. Peranan Bank
Perkreditan Rakyat
Syariah dalam
Meningkatkan
Pendapatan Usaha Kecil
serta Pengaruhnya
Terhadap
Pengembangan Wilayah
(Studi Kasus BPR Syariah
Kaffalatul Ummah
Kabupaten Deli Serdang,
Arwin Harahap, 2004.
Pendapatan,
kesejahteraan
tenaga kerja
usaha kecil,
pengembangan
wilayah.
Adanya pemberian dana oleh BPR
Syariah Kaffalatul Ummah
memberikan konstribusi yang positif
dan signifikan terhadap peningkatan
pendapatan. Meningkatnya dana
yang disalurkan dan pendapatan
pengusaha kecil ini juga
berpengaruh terhadap tingkat
kesejahteraan tenaga kerja usaha
kecil. Dengan adanya pemberian
dana oleh BPR Syariah Kaffalatul
Ummah pada akhirnya memberikan
pengaruh terhadap terjadinya
pengembangan wilayah pada daerah
tersebut.
2. Efektivitas Program
Bantuan Kredit Usaha
Rakyat (KUR) Terhadap
Pendapatan dan
Kesempatan Kerja
Usaha Mikro Kecil dan
Menengah (UMKM),
Nata Wirawan, 2002.
Peningkatan
pendapatan,
kesempatan
kerja UMKM
Program bantuan Kredit Usaha
Rakyat di Kelurahan Penatih Dangin
Puri Kecamatan Denpasar Timur
dikatakan cukup efektif yaitu
sebesar 78,5 persen dan berdampak
positif terhadap peningkatan
pendapatan dan kesempatan kerja
UMKM.
3. Analisis Efektivitas
Kredit Ternak Domba
dan Dampaknya
Terhadap Pendapatan
Rumah Tangga Petani
Jumlah kredit
dan jumlah
kepemilikan
domba, curahan
waktu keluarga,
1. Pendapatan usaha domba lebih
meningkat pada petani non
kredit walaupun pengaruhnya
tidak nyata.
2. Responden yang pendapatannya
Universitas Sumatera Utara
72
Penerima Kredit di
Kabupaten Bogor, I
Gusti Ayu Putu
Mahendri, 2009.
petani non
kredit,
keragaman
konsumsi non
pangan, waktu
pengembalian
kredit.
bergantung pada usaha domba
memiliki kecendrungan bahwa
dengan waktu pengembalian
yang semakin meningkat maka
tingkat pengembalian kredit
semakin baik.
4. Pelaksanaan Pemberian
Kredit Untuk Usaha
Kecil dan Menengah Di
Bank Sumsel Cabang
Baturaja, Diah Ayu
Setiowati, 2010.
Pelaksanaan
pemberian
kredit untuk
usaha kecil dan
menengah di
Bank Sumsel
Cabang
Baturaja,
Hambatan yang
dihadapi dalam
pelaksanaan
pemberian
kredit
1. Pelaksanaan pemberian kredit
untuk usaha kecil dan menengah
di Bank Sumsel Cabang Baturaja
dimulai dengan pengumpulan
data, verifikasi data, analisis
laporan keuangan dan aspek-
aspek perusahaan lainnya,
analisis proyeksi keuangan,
evaluasi kebutuhan keuangan
dan struktur fasilitas kredit.
2. Hambatan yang dihadapi dalam
pelaksanaan pemberian kredit
adalah timbulnya kredit macet
dan cara yang ditempuh oleh
Bank Sumsel dalam mengatasi
permasalahan kredit macet
adalah dengan mengadakan
rescheduling, reconditioning,
restructuring dan penyitaan
jaminan.
Sumber : Tabel diolah oleh penulis.
Lanjutan Tabel 2.2
Universitas Sumatera Utara
73
2.6. Kerangka Konseptual
Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah akan memberikan kontribusi
atas peningkatan produktivitas usaha debitur Bank Sumut Syariah di Kabupaten
Langkat. Secara lengkap kerangka konseptual dapat dilihat pada gambar di bawah
ini :
Mudharabah
Musyarakah
Produktivitas
Tingkat Bagi Hasil
Prosedur dan Waktu Pencairan
Jangka Waktu
Agunan / Jaminan
Tingkat Bagi Hasil
Jangka Waktu
Kesediaan Modal Awal
Agunan / Jaminan
Prosedur dan Waktu Pencairan
Pendapatan
Perkembangan Tenaga Kerja
Pemasaran Produk
Teknologi / Peralatan
Pengelolaan / Pencatatan Keuangan
Tingkat Permodalan
Universitas Sumatera Utara
74
Gambar 2.2. Kerangka Konseptual
2.7. Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis penelitian ini dapat dirumuskan dalam penelitian ini
adalah :
1. Terdapat Pengaruh positif pembiayaan Mudharabah terhadap tingkat
produktivitas debitur Bank Sumut Syariah Cabang Pembantu Stabat.
2. Terdapat Pengaruh positif pembiayaan Musyarakah terhadap tingkat
produktivitas debitur Bank Sumut Syariah Cabang Pembantu Stabat.
3. Terdapat Pengaruh positif pembiayaan Mudharabah dan pembiayaan
Musyarakah terhadap tingkat produktivitas debitur Bank Sumut Syariah
Cabang Pembantu Stabat.
Universitas Sumatera Utara