Upload
novhy-haryani
View
826
Download
20
Embed Size (px)
Citation preview
KONSEP PENGHITUNGAN PAJAK BAGI WANITA KAWIN
I. PENDAHULUAN
Sering kita jumpai di lingkungan kita sendiri maupun di lingkungan masyarakat
permasalahan kewajiban perpajakan bagi wanita yang telah menikah. Pemahaman awal
kebanyakan orang mengenai penghitungan pajak untuk wanita menikah/kawin terutama bagi
wanita kawin yang memiliki NPWP sendiri (berarti memilih untuk melaksanakan hak dan
kewajiban perpajakannya sendiri terpisah dari suami) bahwa penghitungan pajaknya
dilakukan secara terpisah didasarkan pada masing-masing penghasilan neto yang diperoleh
suami maupun istri.
Belakangan ini, pemahaman awal tersebut berubah menjadi kebingungan dan bahkan
keresahan sehubungan adanya penekanan ketentuan mengenai penghitungan pajak bagi
wanita kawin yang benar menurut Pasal 8 ayat (3) UU PPh. Bagi keluarga yang istrinya
sudah terlanjur memiliki NPWP sendiri terpisah dari suami akibat bawaan sebelum menikah
atau adanya pendaftaran NPWP yang dilakukan melalui perusahaan tempat wanita tersebut
bekerja, akan berakibat timbulnya tambah bayar yang cukup material di saat penghitungan
PPh tahunan baik bagi suami maupun istrinya untuk penghasilan dengan jumlah tertentu. Hal
ini disebabkan karena penghasilan neto yang dipakai untuk penghitungan pajak bagi keluarga
yang istrinya memiliki NPWP sendiri sesuai dengan ketentuan adalah gabungan penghasilan
neto suami dan istri.
II. KONSEP PENGHITUNGAN PAJAKNYA
Untuk lebih jelas pemahaman mengenai penghitungan pajak bagi wanita kawin tersebut,
penulis mencoba menguraikan secara sistematis dan sederhana, yakni berdasarkan kondisi
sebagai berikut :
1. Wanita Kawin mempunyai NPWP sendiri
Ada kewajiban bagi istri untuk melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, disamping
kewajiban yang telah dilakukan oleh suami.
Ini berarti wanita/istri memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri.
Cara penghitungan pajaknya adalah menggabungkan penghasilan neto suami dan istri untuk
dikenakan pajak dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-istri
dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka.
Kondisi ini, sama cara penghitungannya dengan kondisi suami istri yang mengadakan
perjanjian pisah harta maupun penghasilan dan tidak lagi melihat sumber penghasilan istri
apakah dari 1 pemberi kerja atau lebih, apakah dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Dalam artian, seluruh penghasilan neto istri yang merupakan objek pajak kecuali penghasilan
yang dikenakan pajak final, digabungkan dengan penghasilan neto suami dalam menghitung
pajaknya.
Hasil penghitungan pajak melalui penggabungan penghasilan neto suami istri tersebut,
dilaporkan di masing-masing SPT Tahunan Orang Pribadi suami maupun istri.
Adapun cara penghitungannya dapar dijelaskan seperti contoh sbb :
Tahun 2010, Tn. Joko (NPWP. 06.564.344.9-012.000) bekerja di PT. Anugerah Bahagia
yang memperoleh penghasilan neto sebesar Rp. 60.000.000,00 dengan satus kawin 1 anak.
Istrinya, Ny. Soimah (NPWP. 06.566.122.2-012.000) juga bekerja di PT. Gabung Jaya dan
memperoleh penghasilan neto selama tahun 2010 sebesar Rp. 40.000.000,- Disamping
bekerja, Ny. Soimah juga membuka usaha salon kecantikan yang beromzet Rp.
200.000.000,00 (norma penghasilan neto salon kecantikan 30%).
Cara penghitungan pajak terutangnya adalah :
- Penghasilan neto Tn. Joko…………….Rp. 60.000.000
- Penghasilan neto Ny. Soimah:
Ø Dari PT. Gabung Jaya……...…Rp. ..40.000.000
Ø Dari usaha salon
(200.000.000X30%).......................Rp. ..60.000.000
Total penghasilan neto Ny. Soimah...Rp. 100.000.000
- Total penghasilan neto suami-istri.….Rp. 160.000.000
- Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/I/1).Rp. .34.320.000
- Penghasilan Kena Pajak………………Rp. 125.680.000
- Pajak terutang:
5% x Rp. 50.000.000 = Rp. 2.500.000
15% x Rp. 75.680.000 = Rp. 11.352.000
.............................……………………….Rp. .13.852.000
- Pajak terutang bagian suami :
60.000.000 X 13.852.000 = Rp. 5.194.500
160.000.000
- Pajak terutang bagian istri :
100.000.000 X 13.852.000 = Rp. 8.657.500
160.000.000
Cara pelaporan di SPT tahun pajak 2010:
SPT Tn. Joko:
- Penghasilan neto………………Rp. 60.000.000
- PTKP…………………………...(dikosongkan)
- Penghasilan Kena Pajak……...(dikosongkan)
- Pajak terutang………………… Rp. 5.194.500
(lampiran penghitungan tersendiri)
- Pajak yang telah dipotong…….Rp. 2.076.000
(pemotongan oleh PT benar)
- Pajak Kurang Bayar…………...Rp. 3.118.500
- PPh Pasal 25………………….. Rp 0
- Pajak yg masih harus dibayar..Rp. 3.118.500
SPT Ny. Soimah:
- Penghasilan neto………………Rp.100.000.000
- PTKP…………………………...(dikosongkan)
- Penghasilan Kena Pajak……...(dikosongkan)
- Pajak terutang………………… Rp. 8.657.500
(lampiran penghitungan tersendiri)
- Pajak yang telah dipotong…….Rp. 1.208.000
(pemotongan oleh PT benar)
- Pajak Kurang Bayar…………...Rp. 7.449.500
- PPh Pasal 25………………….. Rp 0
- Pajak yg masih harus dibayar..Rp. 7.449.500
2. Wanita Kawin NPWP ikut Suami
Wanita kawin/istri tidak memiliki kewajiban melaporkan SPT sendiri.
a. Sumber penghasilan istri hanya dari 1 pemberi kerja
Bila istri ikut NPWP suami alias mempunyai NPWP dengan kode cabang suami (3 digit
terakhir 999) dan sumber penghasilannya hanya dari bekerja di 1 perusahaan, maka atas
penghasilannya tidak digabungkan dengan penghasilan neto suami dalam penghitungan pajak
terutang, namun atas penghasilan istri dan pajak yang telah dipotong perusahaan dianggap
final dan dilaporkan di SPT Tahunan Orang Pribadi suami di Lampiran III Bagian A angka
15 SPT 1770 atau Lampiran II Bagian A angka 13 SPT 1770 S.
Contoh penghitungannya:
Tahun 2010, Tn. Joko (NPWP. 06.564.344.9-012.000) bekerja di PT. Anugerah Bahagia
yang memperoleh penghasilan neto sebesar Rp. 60.000.000,00 dengan satus kawin 1 anak.
Istrinya, Ny. Soimah (NPWP. 06.564.344.9-012.999) juga bekerja di PT. Gabung Jaya dan
memperoleh penghasilan neto selama tahun 2010 sebesar Rp. 40.000.000,-
Cara penghitungan pajak terutangnya dan pelaporan di SPT suami adalah :
SPT Tn. Joko:
- Penghasilan neto………………Rp. 60.000.000
- PTKP (K/1)…………………….....Rp. 18.480.000
- Penghasilan Kena Pajak……....Rp. 41.520.000
- Pajak terutang………………….. Rp. 2.076.000
(lampiran tersendiri penghitungan)
- Pajak yang telah dipotong……..Rp. 2.076.000
(pemotongan oleh PT benar)
- Pajak Kurang Bayar…………....Rp. 0
- PPh Pasal 25………………….. Rp 0
- Pajak yg masih harus dibayar...Rp. 0
(Penghasilan bruto istri dan pajak terutangnya dilaporkan di lampiran penghasilan yang
dikenakan pajak Final)
b. Sumber penghasilan istri lebih dari 1 pemberi kerja dan/atau punya kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas.
Bila istri ikut NPWP suami alias mempunyai NPWP dengan kode cabang suami (3 digit
terakhir 999) dan sumber penghasilannya dari bekerja di lebih dari 1 perusahaan dan/atau
mempunyai kegiatan usaha/pekerjaan bebas, maka atas penghasilannya digabungkan dengan
penghasilan neto suami dalam penghitungan pajak terutang dan hampir sama
penghitungannya dengan kondisi istri memiliki NPWP sendiri, namun pelaporannya tetap di
1 SPT yaitu SPT suami (bukan lampiran tersendiri)
Contoh penghitungannya:
Tahun 2010, Tn. Joko (NPWP. 06.564.344.9-012.000) bekerja di PT. Anugerah Bahagia
yang memperoleh penghasilan neto sebesar Rp. 60.000.000,00 dengan satus kawin 1 anak.
Istrinya, Ny. Soimah (NPWP. 06.564.344.9-012.999) juga bekerja di PT. Gabung Jaya dan
memperoleh penghasilan neto selama tahun 2010 sebesar Rp. 40.000.000,- Disamping
bekerja, Ny. Soimah juga membuka usaha salon kecantikan yang beromzet Rp.
200.000.000,00 (norma penghasilan neto salon kecantikan 30%).
Cara penghitungan pajak terutangnya dan pelaporan di SPT suami adalah :
SPT Tn. Joko:
- Penghasilan neto:
Penghasilan neto suami…………………Rp. 60.000.000
Penghasilan neto istri…………………….Rp. 40.000.000
Penghasilan usaha salon……………….Rp. 60.000.000
(Rp. 200.000.000 x 30%)
Total penghasilan neto………………......Rp. 160.000.000
- PTKP (K/I/1)…………………………..…....Rp. 34.320.000
- Penghasilan Kena Pajak………………..Rp. 125.680.000
- Pajak terutang :
- 5% x Rp. 50.000.000 =Rp. 2.500.000
- 15% x Rp. 75.680.000 =Rp. 11.352.000..Rp. 13.852.000
- Pajak yang telah dipotong………………...Rp. 3.284.000
- Pajak Kurang Bayar……………………......Rp.10.568.000
- PPh Pasal 25……………………………… 0
- Pajak yg masih harus dibayar……….…..Rp.10.568.000
3. ANALISA TAX PLANNING
Melihat beberapa contoh di atas, dapat dikatakan bahwa timbulnya kurang bayar pajak pada
penghitungan tahunan sangatlah besar sehubungan adanya ketentuan penggabungan
penghitungan penghasilan neto suami dan istri dengan beberapa kondisi.
Apabila dalam sebuah keluarga dengan kondisi istri hanya bekerja di 1 perusahaan saja dan
melihat ketentuan bahwa ikut NPWP suami, penghitungannya dianggap Final, maka untuk
mencegah timbulnya kurang bayar akibat penggabungan penghitungan tersebut, alangkah
baiknya sang istri ikut NPWP suami dari pada memiliki NPWP sendiri.
Hal ini perlu ditegaskan oleh penulis, mengingat banyaknya kondisi seperti ini di masyarakat
kita dan apabila istri telah ber-NPWP maka sebaiknya segera dibuatkan surat permohonan
pencabutan dengan pertimbangan ikut NPWP suami.
Di lain pihak, apabila kondisi sebuah keluarga dimana istri bekerja lebih dari satu perusahaan
atau mempunyai kegiatan usaha/pekerjaan bebas, maka istri memiliki NPWP sendiri maupun
ikut NPWP suami merupakan opsi yang sama. Namun di masyarakat, untuk istri yang
memiliki NPWP sendiri, sering kita temui bahwa keluarga yang tidak mengadakan perjanjian
pisah harta dan penghasilan mengalami kesulitan dalam pelaporan harta di SPT masing-
masing, mengingat pengeluaran keluarga masih campur aduk antara suami dan istri. Misalnya
istri yang memperoleh penghasilan di suatu tahun pajak sebesar Rp. 40.000.000,- namun
membeli harta berupa kendaraan seharga Rp. 60.000.000,- yang sebagian uangnya dibantu
oleh suami, akan menjadi bahan pertanyaan petugas pajak bahwa apakah wajar dengan
penghasilan sebesar Rp. 40.000.000,- mampu membeli kendaraan sebesar Rp. 60.000.000,-.
Memang hal itu akan dapat dijelaskan secara detail apabila pencatatan suami maupun istri
dilakukan dengan benar, namun alangkah lebih praktisnya apabila pelaporan harta itu
digabungkan di dalam 1 SPT melalui mekanisme istri ikut NPWP suami.
Demikianlah uraian yang penulis coba angkat, mengingat hal ini sering terjadi di masyarakat
dan diharapkan dapat menjadi panduan dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan di
masyarakat.
ASPEK PERPAJAKAN KAWIN DENGAN PISAH HARTA
(Sebagai Tanggapan atas tulisan di Ruang Perpajakan Majalah Business News No.
7173)
Pada Ruang Perpajakan majalah Business News No. 7173, tgl. 11-2-2005, (copy terlampir),
dijelaskan pertanyaan dari seorang pelanggan Business news bernama NH. Sdr. NH
menanyakan untung ruginya mempunyai NPWP sendiri dan NPWP ikut suami jika seorang
wanita kawin dengan anak satu, pekerjaan karyawati, pisah harta.
Fungsi NPWP
Sebagaimana dijelaskan oleh Business News tersebut bahwa NPWP adalah : merupakan
sarana administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal atau indentitas
wajib pajak.
Sejalan dengan penjelasan tersebut saya sependapat (sesuai dengan ketentuan yang
berlaku) bahwa untuk kepentingan administrasi perpajakan al. untuk dituliskan pada SPT,
dicantumkan pada SSP, untuk korespondensi dsb, suami-istri yang hidup berpisah dan
suami-istri yang menghendaki pisah harta, masing-masing wajib mempunyai NPWP.
Pada alinea terakhir penjelasan pengasuh Ruang Perpajakan menyatakan : “Kalau NPWP
terpisah keuntungannya dapat memecah lapisan tarip progresif sehingga pajak yang
dibayarkan akan lebih rendah. Keuntungan lainnya masing-masing akan menikmati Biaya
Jabatan dua kali sebagai pengurang penghasilan bruto …… Demikian pula untuk jumlah
tanggungan keluarga kalau masing-masing suami istri memanfaatkan tanggungan maksimal
3 orang maka jumlah tanggungan yang dapat dikurangkan sebagai PTKP menjadi enam
orang …”
Suami Istri Dengan Perjanjian Pemisahan Harta dan Penghasilan
Penjelasan pengasuh Ruang Perpajakan Business News di atas menurut hemat saya perlu
diluruskan, mengingat bahwa Sdr. NH
menanyakan kalau suami istri hidup pisah harta (dan penghasilan). Berarti berlaku
ketentuan Pasal 8 ayat (2) huruf b UU PPh, dimana penghasilan neto suami istri digabung,
dikurangi PTKP sebagai suami istri ditambah tanggungan keluarga (K/I/1) dan besarnya
pajak yang harus dibayar oleh suami istri sebanding dengan penghasilan netonya. Jadi
kepemilikan NPWP masing-masing suami istri tidak mempengaruhi/merubah ketentuan
hukum pajak materiel (Pasal 8 ayat (2) UU PPh.), karena NPWP hanya merupakan sarana
administrasi dan identitas bagi wajib pajak.
Suami Istri Hidup Berpisah
Saya berpendapat, alinea terakhir penjelasan pengasuh Ruang Perpajakan Business News
di atas lebih tepat untuk wajib pajak – suami istri – yang hidup berpisah.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PPh bahwa kalau istri sebagai karyawati
hanya dari satu pemberi kerja dan atas penghasilannya telah dipotong PPh Pasal 21 dan
tempat istri bekerja tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau
anggota keluarga lainnya, maka penghasilan istri tidak perlu digabung dengan penghasilan
suami, dan PPh Pasal 21 yang telah dibayar istri menjadi final.
Kesimpulan
Dengan demikian, dilihat dari aspek perpajakan, kalau suami istri dimana istri sebagai
karyawati memperoleh penghasilan hanya dari satu pemberi kerja dan telah dipotong PPh
Pasal 21, tidak ada untungnya kalau kawin dengan pisah harta, karena kalau pisah harta
justru untuk menghitung pajaknya penghasilan istri digabung dengan penghasilan suami
(kena progresifitet tarip), sedangkan kalau tidak pisah harta pajak dikenakan kepada
masing-masing suami istri (tidak terkena progresifitet tarip, istri tidak harus memiliki NPWP
sendiri, dan istri tidak berkewajiban memasukkan SPT).
Aspek Perpajakan pada Perjanjian Pisah HartaUndang-undang Pajak Penghasilan mengatur adanya perbedaan perlakuan antara
wajib pajak wanita dan wajib pajak pria. Bentuk pemenuhan kewajiban perpajakan antara wanita dan pria tidak selalu sama, apalagi ketika mereka berpenghasilan dan telah memiliki keluarga. Wajib Pajak wanita yang telah menikah dan memiliki penghasilan sendiri dapat memilih untuk melaksanakan kewajibannya perpajakannya sendiri atau melaksanakan kewajiban perpajakan bersama suaminya.
Hal tersebut diatur dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, yang menyatakan:
(1) Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
(2) Penghasilan suami-isteri dikenai pajak secara terpisah apabila :a. suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim;
b. dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan; atau
c. dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri.
(3) Penghasilan neto suami-isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dikenai pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami isteri dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka.
Pada memori penjelasan Pasal 8 UU PPh, dikatakan bahwa keluarga merupakan satu kesatuan ekonomis, yang artinya seluruh penghasilan yang diperoleh oleh seluruh anggota keluarga dianggap menjadi satu kesatuan, dan terhadap penghasilan agregat keluarga tersebut dikenakan pajak atas nama kepala keluarga. Namun, prinsip ini tidak berlaku pada seluruh keluarga di Indonesia. Ada beberapa kondisi pengecualian, seperti yang disebutkan pada Pasal 8 ayat (2) UU PPh. Keluarga tidak lagi dianggap sebagai satu kesatuan ekonomis, apabila:
· Suami istri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim;
· Dikehendaki secara tertulis oleh suami-istri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan; atau
· Dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri.
Dalam bagian ini akan dibahas kondisi yang kedua, apabila sepasang suami-istri menghendaki adanya pemisahan harta dan penghasilan di antara mereka. Dalam hal apa mereka bersepakat mengadakan pemisahan harta? Bagaimana bentuk pemenuhan kewajiban perpajakan di antara mereka?
Perjanjian Pranikah/Pemisahan Harta
Perjanjian Pranikah (Pre-Nuptial Agreement) secara mendasar dapat diartikan sebagai suatu perjanjian dimana pihak pria dan wanita yang akan menjalani pernikahan secara sepakat mengadakan perjanjian pisah harta, dimana harta yang dimilikinya bukan merupakan harta bersama, tetapi tetap menjadi miliki masing-masing individu.
Secara awam dan garis besar, perjanjian Pra-Nikah dapat digolongkan menjadi dua macam.
1. Perjanjian Pemisahan Harta Murni
Dalam perjanjian pisah harta jenis ini, kedua belah pihak sepakat untuk benar-benar memisahkan segala macam harta, utang, dan penghasilan yang didapat oleh masing-masing pihak, baik yang diperoleh sebelum menikah maupun yang didapat setelah menikah. Artinya, apabila terjadi perceraian, maka tidak ada harta gono-gini (permbagian harta yang didapat setelah pernikahan), karena sejak awal pernikahan mereka telah membuat perjanjian Pra-Nikah yang membedakan harta, utang dan penghasilan masing-masing baik yang dimiliki sebelum menikah maupun sesudah. Jadi dalam hal ini, semua harta, utang dan penghasilan diperlakukan terpisah. Bagaimana pula dengan pengeluaran regular keluarga, termasuk didalamnya biaya pendidikan anak dan keperluannya, biasanya seluruhnya ditanggung oleh pihak suami walaupun hal ini masih bisa didiskusikan dengan pasangan.
2. Perjanjian Harta Bawaan
Dalam perjanjian jenis ini, harta, utang, dan penghasilan yang diperlakukan secara terpisah adalah harta, utang, dan penghasilan yang didapat masing-masing pihak sebelum pernikahan. Adapun untuk harta, utang dan penghasilan yang didapat setelah menikah diperlakukan sebagai harta bersama. Bila terjadi perceraian maka harta bersama yang didapat setelah pernikahan dapat dibagi secara adil (harta gono-gini). Sedangkan harta bawaan sebelum menikah akan tetap menjadi milik masing-masing pihak. Dalam perjanjian jenis ini, pengeluaran yang dibutuhkan untuk keperluan keluarga termasuk biaya pendidikan dan kebutuhan anak-anak akan menjadi tanggung jawab bersama.(source: http://blog.keuanganpribadi.com/perjanjian-pra-nikah/)
Perjanjian Pranikah/Pisah Harta dilakukan sebelum pernikahan. Perjanjian ini dilakukan untuk membuat kesepakatan yang jelas mengenai batas kepemilikan harta dalam sebuah keluarga. Misal, properti berupa rumah kepemilikannya atas nama suami, sedangkan mobil atas nama istri.
Perjanjian Pemisahan Harta membuat istri atau suami menjadi individu yang berbeda di muka hukum. Kondisi ini merupakan pengecualian pada prinsip dalam aturan Pajak Penghasilan yang menganggap keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis. Dengan adanya perjanjian ini, pajak pun menuntut bentuk pemenuhan kewajiban perpajakan yang terpisah antara suami dan istri.
Perjanjian ini memang terkesan tabu dan tidak biasa di kalangan masyarakat Indonesia. Pemisahan harta dianggap sebagai bentuk ketidakharmonisan dalam keluarga. Namun, perjanjian ini dapat memberi kepastian hukum yang jelas mengenai batas kepemilikan aset keluarga, apalagi bila salah seorang dari antara suami atau istri terjerat suatu kasus tertentu yang menyebabkan aset keluarga disita. Apabila hal tersebut terjadi, maka aset suami atau istri tidak dapat ikut tersita karena memang telah menjadi individu yang berbeda di muka hukum.
Pemenuhan Kewajiban Perpajakan Secara Terpisah
Perjanjian Pemisahan Harta membuat suami dan istri menjadi individu yang berbeda di muka hukum. Sama halnya dengan di muka hukum pajak. Suami dan istri dianggap menjadi individu yang berbeda yang harus memiliki identitas yang berbeda. Untuk itu, suami dan istri yang telah menghendaki adanya pemisahan harta dan penghasilan masing-masing harus mendaftarkan diri mereka untuk memperoleh NPWP. Hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU KUP,
Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Jadi, apabila seorang suami maupun istri yang telah memenuhi persyaratan subjektif maupun objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, maka ia wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP. Sehingga, NPWP suami dan istri merupakan NPWP yang berbeda, dan bukan merupakan NPWP keluarga sebagaimana diatur dalam PER-51/PJ/2008 tentang Tata Cara Pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak Bagi Anggota Keluarga.
Contoh:
NPWP Suami 07.123.345.1-032.000. Apabila di dalam keluarga tidak ada perjanjian pemisahan harta dan pernghasilan, maka istri dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan akan diberikan NPWP keluarga, untuk istri 07.123.345.1-032.999 (sama dengan NPWP suami, hanya berbeda di tiga digit terakhir). Sedangkan apabila di dalam keluarga ada perjanjian pemisahan harta dan penghasilan, maka istri wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, dan akan diberikan NPWP yang berbeda dengan milik suami, misalnya 07.234.567.1-032.000.
Dalam hal ada perjanjian pemisahan harta antara suami dan istri, maka NPWP suami dan istri berbeda, dan mereka dianggap sebagai individu yang berbeda di muka pajak. Bagaimana dengan pemenuhan kewajiban perpajakan mereka? Apakah harus dilaksanakan secara terpisah pula?
Pasal 3 ayat (1) UU KUP menyatakan, setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan hurut Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Hal ini menunjukkan bahwa setiap wajib pajak memiliki kewajiban masing-masing untuk mengisi Surat Pemberitahuan. Begitupun dengan pasangan suami istri yang telah mendaftarkan diri menjadi wajib pajak yang berbeda di muka hukum pajak. Mereka memiliki kewajiban perpajakan masing-masing dan harus dipenuhi secara individual (tidak dapat digabung). Hal ini menunjukkan bahwa suami-istri akan mengisi SPT yang berbeda setiap tahun pajaknya. Beda NPWP-nya, beda pemenuhan kewajiban perpajakannya.
Jumlah Pajak Terutang
Pelaporan SPT bagi pasangan suami istri yang telah mengadakan perjanjian pisah harta dan penghasilan dilakukan secara terpisah. Lalu, bagaimana dengan jumlah pajak yang terutang? Apakah jumlahnya tetap sama dengan penghitungan tanpa pemisahan harta?
Hal ini diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UU PPh, Penghasilan neto suami-isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dikenai pajak berdasarkanpenggabungan penghasilan neto suami isteri dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka. Penghitungan pajak terutang pada pasangan suami istri yang telah mengadakan perjanjian pemisahan harta tidak jauh berbeda dengan penghitungan pajak terutang untuk pasangan suami istri tanpa pemisahan harta. Perbedaannya terletak pada jumlah yang harus dibayarkan oleh suami atau istri sesuai dengan porsi penghasilannya dalam penghasilan total keluarga.
Bagaimana dengan pengurangan Penghasilan Tidak Kena Pajaknya? Perhitungannya pun sama dengan penghitungan pajak terutang untuk pasangan suami istri tanpa perjanjian pisah harta. Pengurangan penghasilan tidak kena pajaknya adalah sebagai berikut (sebagaimana diatur pada pasal 7 ayat (1) UU PPh):
· Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
· Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
· Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan
· Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
Contoh:
Bapak Ari memiliki usaha jasa produksi mainan anak-anak. Dari usahanya tersebut ia memperoleh penghasilan bruto pada tahun 2009 sebesar Rp 550.000.000. Ia menghitung penghasilan netonya dengan norma sesuai KEP-536/PJ./2000 sebesar 15%. Ia menikah pada tahun 2006 dan sebelum melangsungkan pernikahan ia dan istrinya telah membuat perjanjian pemisahan harta dan penghasilan. Istri Pak Ari memiliki usaha catering makanan. Pada tahun 2009 Istri Pak Ari mendapat penghasilan bruto dari usahanya sebesar Rp 400.000.000. Ia menghitung penghasilan netonya dengan norma sesuai KEP-536/PJ./2000 sebesar 25%. Pak Ari dan istrinya memiliki 2 orang anak yang masing-masing bernama Ragil dan Izeth. Berapa Pajak penghasilan yang harus dibayar oleh Pak Ari dan istrinya?
Penghasilan neto Pak Ari 15% x Rp 550.000.000 = Rp 82.500.000
Penghasilan neto Istri Pak Ari 25% x Rp 300.000.000 = Rp 75.000.000 +
Jumlah penghasilan neto Pak Ari & Istri = Rp 157.500.000
PTKP (K/I/2) = (Rp 35.640.000)
Penghasilan Kena Pajak = Rp 121.860.000
PPh Terutang
5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000
15% x Rp 71.860.000 = Rp 10.779.000
Rp 13.279.000
Jika Pak Ari dan Istrinya tidak mengadakan perjanjian pemisahan harta, maka pajak terutang yang harus dibayar berjumlah Rp 13.279.000. Namun apabila mereka mengadakan perjanjian pemisahan harta, maka perhitungan pajak yang harus dibayar (sesuai Pasal 8 ayat (3) UU PPh):
Pajak yang harus dibayar Pak Ari 82.500.000/157.500.000 x 13.279.000 = 6.955.666
Pajak yang harus dibayar Istri Pak Ari 75.000.000/157.500.000 x 13.279.000 = 6.323.333
Jadi, pada dasarnya, pemisahan harta hanya menyebabkan pelaporan yang terpisah antara suami dan istri. Sedangkan jumlah total pajak terutang yang harus dibayar oleh keduanya pada dasarnya sama. Jumlah yang dibayarkan oleh istri dan suami dihitung dengan menggunakan perbandingan penghasilan neto mereka.
Bentuk pemisahan pelaporan ini tercermin ketika suami atau istri mengisi SPT 1770. Berdasarnya PER-34/PJ/2010 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Dan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk Pengisiannya, pada SPT 1770-III Bagian C harus diisi penghasilan neto istri atau suami yang dikenakan pajak secara terpisah. Bagian C SPT 1770-III untuk suami diisi penghasilan neto istri. Sebaliknya, untuk SPT istri diisi penghasilan neto suami. Selain itu, SPT induk, pada bagian lampiran, juga dilampirkan Perhitungan PPh Terutang Bagi Wajib Pajak Kawin Pisah Harta dan/atau Mempunyai NPWP Sendiri.
KesimpulanUndang-Undang Pajak Penghasilan memberi kebebasan bagi sepasang suami istri untuk memilih menjalankan kewajiban perpajakan secara bersama maupun terpisah dengan menggunakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan. Hal ini secara jelas diatur dalam Pasal 8 ayat (2) dan (3) UU PPh. Perbedaan pemenuhan kewajiban perpajakan hanya terdapat pada perbedaan pelaporan yang dilakukan secara terpisah antara suami dan istri. Sedangkan perhitungan pajak terutangnya secara umum sama, hanya terdapat perbedaan jumlah yang dibayarkan oleh suami dan istri yang masing-masing dihitung berdasarkan perbandingan penghasilan neto mereka. Ada perlakuan khusus pula bagi pasangan suami istri yang melakukan pemisahan pemenuhan kewajiban perpajakan, yaitu dalam hal pengisian SPT. Pada SPT 1770-III Bagian C harus diisi penghasilan neto pasangan mereka. Untuk suami, harus diisi penghasilan neto istri, sedangkan pada istri, harus diisi penghasilan neto suami.
Home » Pajak
Pisah Harta Suami-Istri dalam Perpajakan IndonesiaMuhamad Rahmat // Monday, 28 March 2011
Dalam tulisan ini saya akan membahas tentang PPh (Pajak Penghasilan). Tetapi kenapa yang dipisah antara
suami-istri adalah harta bukan penghasilan padahal yang dihitung pajak atas penghasilan bukan pajak atas
harta? Apa bedanya harta dengan penghasilan?
Tidak ada definisi yang jelas mengenai harta, menurut pendapat saya harta adalah aset yang berupa benda
bergerak atau benda tidak bergerak. Berbeda dengan harta yang tidak terdapat definisi jelasnya, definisi
penghasilan berbeda-beda menurut beberapa aspek. Menurut Standar Akuntansi Keuangan (1999:12),
penghasilan didefinisikan sebagai peningkatan manfaat ekonomi selama satu periode akuntansi tertentu
dalam bentuk pemasukan atau penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan
ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal. Berdasarkan definisi di atas, penghasilan meliputi
pendapatan (revenues) maupun keuntungan (gains). Pendapatan (revenues) timbul dari pelaksanaan aktivitas
perusahaan yang bisa dikenal dengan sebutan yang berbeda seperti penjualan, penghasilan jasa (fees), bunga,
dividen, royalti dan sewa. Sedangkan keuntungan (gains) mencerminkan pos lainnya yang memenuhi definisi
penghasilan dan mungkin timbul atau mungkin tidak timbul dalam pelaksanaan aktivitas perusahaan yang
biasa. Keuntungan mencerminkan kenaikan manfaat ekonomi dan dengan demikian pada hakikatnya tidak
berbeda dengan pendapatan. Oleh karena itu, pos ini tidak di pandang sebagai unsur terpisah dari
penghasilan. Sedangkan menurut UU PPh, penghasilan yaitu tambahan kemampuan ekonomi yang diterima
atau diperoleh wajib pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat
dipergunakan untuk dikonsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan
nama dan dalam bentuk apapun.
Dalam PPh yang menjadi objek adalah penghasilan bukan harta meskipun dalam ketentuan perundang-
undangannya yang disebutkan yaitu harta bukan objeknya yaitu penghasilan. Akan tetapi, seseorang harus
tetap melaporkan hartanya dalam SPT karena harta dan penghasilan sangat erat hubungannya. Seseorang bisa
mendapatkan penghasilan dari harta yang dimilikinya. Karena itu Wajib Pajak harus melaporkan hartanya
dalam SPT untuk mengawasi penghasilannya.
NPWP
Dalam PPh OP sebenarnya yang wajib memiliki NPWP hanyalah suami, karena seperti disebutkan dalam
penjelasan Pasal 8 UU PPh bahwa keluarga ditempatkan sebagai satu kesatuan ekonomis. Jadi yang wajib
melaksanakan haka dan kewajiban perpajakan dalam sebuah keluarga yang penghasilannya digabung adalah
seorang suami/ayah yang bertindak sebagai kepala keluarga kecuali apabila suami/ayah memiliki status
sebagai WPLN maka yang wajib memiliki NPWP adalah istri/ibu yang dalam hal ini dianggap sebagai kepala
keluarga oleh peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal tersebut sesuai dengan PER-51/PJ/2008
tentang Tata Cara Pendaftaran NPWP bagi anggota keluarga.
Pasal 2 ayat 1 UU KUP berikut penjelasannya mengatur mengenai kewajiban pendaftaran NPWP bagi wanita
kawin yang berbunyi “Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat
Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan
kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak”. Penjelasannya “Semua Wajib Pajak yang telah memenuhi
persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
berdasarkan sistem self assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk
dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam UU PPh.
Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau
diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan UU PPh.
Istri bisa memiliki NPWP apabila berstatus pisah harta, hidup berpisah, ataupun tidak pisah harta maupun
tidak hidup berpisah. Namun, pada umumnya kewajiban pajak istri mengikuti kewajiban pajak suami sehingga
istri tidak perlu mempunyai NPWP sendiri.
NPWP anggota keluarga mirip dengan NPWP cabang perusahaan dalam PPh Badan dengan suami/ayah
sebagai induk karena bertindak sebagai kepala keluarga. Selain itu hal ini juga berfungsi untuk melihat siapa
yang bertindak sebagai kepala keluarga dan siapa anggota keluarga sehingga pengawasan terhadap
pemenuhan kewajiban perpajakannya dapat dilaksanakan. NPWP anggota ini diperlukan apabila anggota
keluarga menginginkan pembebasan fiskal atau apabila anggota keluarga tidak ingin dipotong tarif PPh yang
lebih tinggi. Anggota keluarga terdiri dari istri, orang tua, mertua, anak kandung, anak tiri dan anak angkat
yang menjadi tanggungan penuh kepala keluarga. Penomoran NPWP anggota keluarga mengikuti nomor
NPWP kepala keluarga. Yang berbeda hanya tiga digit terakhir di mana kepala keluarga tiga digit terakhirnya
berakhiran 000, sedangkan anggota keluarga berakhiran 999, 998, 997, dan seterusnya.
Perhitungan dan Pelaporan PPh
Direktur Jenderal Pajak (DJP) mengeluarkan penegasan mengenai cara pengisian SPT Tahunan PPh Wajib Pajak
Orang Pribadi (WPOP) bagi wanita kawin yang melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan atau
wanita kawin yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri terpisah dengan
suaminya. Hal ini tertuang dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-29/PJ/2010 tanggal 1 Maret
2010. ditegaskan ketentuan pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi bagi wanita kawin adalah sebagai
berikut:
1. Bagi wanita kawin yang melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan atau yang memilih
untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh
Wajib Pajak Orang Pribadi atas namanya sendiri terpisah dengan SPT Tahunan PPh suaminya.
2. Penghasilan yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh wanita kawin sebagaimana dimaksud di atas
adalah seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh wanita kawin tersebut dalam suatu tahun
pajak, tidak termasuk penghasilan anak yang belum dewasa.
3. Penghitungan PPh terutang dalam SPT Tahunan PPh wanita kawin sebagaimana dimaksud di ats
didasarkan pada penggabungan penghasilan neto suami isteri dan besarnya PPh terutang bagi isteri
tersebut dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto antara suami dan isteri.
4. Penghitungan PPh terutang ini berlaku juga bagi wanita kawin sebagai pegawai yang mempunyai
penghasilan semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong PPh
Pasal 21.
5. Harta dan kewajiban/utang yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh wanita kawin adalah harta dan
kewajiban yang dimiliki dan/atau dikuasai wanita kawin tersebut pada akhir tahun pajak.
6. Tata cara pengisian SPT Tahunan bagi wanita kawin ini sesuai dengan petunjuk pengisian SPT Tahunan
PPh Wajib Pajak orang pribadi yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER-34/PJ/2009
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER-66/PJ/2009.
Sesuai dengan apa yang tertulis dalam pasal 8 UU PPh berikut penjelasannya, penghasilan istri yang semata-
mata diperoleh dari satu pemberi kerja dan penghasilan istri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada
hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya tidak dapat
digabungkan dengan penghasilan suami.
Dalam formulir SPT PPh WP OP (Orang Pribadi) form 1770 atau form 1770-S, penghasilan istri dari satu
pemberi kerja tersebut di atas merupakan penghasilan yang telah dikenakan pajak tersendiri dan bersifat final,
sehingga pada saat pelaporan SPT Tahunan, penghasilan tersebut tidak digabungkan dengan penghasilan
suami, namun tetap diinformasikan dalam SPT Tahunan suaminya.- See more at: http://www.fiscuswannabe.web.id/2011/03/pisah-harta-suami-istri-
dalam.html#sthash.Y7AGiEeW.dpuf
Wanita Kawin Memilih Punya NPWP Sendiri ? Rugi Booo....
Saat ini banyak wanita yang telah menikah memilih tetap bekerja selain menjadi ibu rumah tangga,
karena tuntutan ekonomi dan juga untuk aktualisasi diri. Sebagaimana kita tau apabila penghasilan kita
selama setahun sudah melebihi PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) maka kita wajib daftar NPWP di
Kantor Pajak.
Bagi wanita kawin yang tidak mempunyai perjanjian pisah harta bebas memilih apakah mau punya
NPWP sendiri atau tidak. Namun kalau memiliki perjanjian pisah harta, maka wanita kawin harus daftar
NPWP sendiri.
Sebelum tahun 2008, bagi wanita kawin yang tidak punya perjanjian harta tapi punya NPWP sendiri,
harus mengajukan permohonan pencabutan NPWP (istri ikut NPWP suami).
Di artikel ini kita akan fokuskan mengenai wanita kawin tidak pisah harta, mana yang lebih baik, pilih
punya NPWP sendiri atau nebeng NPWP suami saja?
Di Pasal 8 ayat (3) UU PPh baru yang mulai berlaku 1 Januari 2009, diatur bahwa apabila isteri yang tidak
pisah harta memilih punya NPWP sendiri, penghitungan pajaknya dilakukan berdasarkan penjumlahan
penghasilan neto suami-isteri dan masing-masing memikul beban pajak sebanding dengan besarnya
penghasilan neto.
Dengan kata lain, penghasilan neto suami isteri digabung dan PPh orang pribadi yang harus ditanggung
oleh suami dan istri bergantung pada proporsi penghasilannya masing-masing.
Nah, apabila baik istri maupun suami sama-sama hanya kerja di satu perusahaan, dan istri memilih tidak
mau nebeng NPWP suami, menguntungkan atau tidak?
Berikut ini kita ambil contoh dari kondisi di atas:
Tommy dan Mariana adalah sepasang suami istri yang punya NPWP masing-masing. Tommy kerja di PT.
Maju Terus dengan penghasilan neto selama tahun 2009 sebesar Rp. 84.000.000,-. Sedangkan Mariana
bekerja di PT. Busana Keren dengan penghasilan neto selama tahun 2009 sebesar Rp. 60.000.000,-.
Mereka baru menikah di bulan Oktober 2008 dan belum punya keturunan.
Penghasilan Tommy sudah dipotong PPh Pasal 21 sebesar Rp. 5.026.000,- dan penghasilan Mariana
sudah dipotong PPh Pasal 21 sebesar Rp. 2.208.000,-
Munculnya Kurang Bayar di perhitungan SPT Tahunan 2009 ini adalah konsekuensi karena istri memilih
punya NPWP sendiri.
Jadi harus diperhatikan, kewajiban bayar pajak bukan hanya dari PPh Pasal 21 yang dipotong oleh
perusahaan, melainkan juga harus bayar Kurang Bayar di akhir tahun dan juga harus membayar
angsuran PPh Pasal 25 tiap bulannya.
Gara-gara istri memilih punya NPWP sendiri, maka tambahan pajak yang harus dibayar total Rp.
4.416.000,-. Belum lagi nantinya tiap bulan harus sisihkan sebagian penghasilan untuk bayar angsuran
PPh Pasal 25 total sebesar Rp. 368.000,-.
Lalu bagaimana kalo si istri memilih nebeng NPWP suami?
Pilihan ini jelas lebih menguntungkan karena kewajiban bayar pajak di akhir tahun tidak akan ada jika
suami istri sama-sama hanya menerima penghasilan dari satu perusahaan.
Jadi, penghasilan istri cukup dilaporkan di bagian lampiran SPT 1770 S, tanpa harus menggabungkan
penghasilan neto suaminya. Dengan kata lain, SPT Tahunan PPh suami akan NIHIL, dan juga tidak perlu
bayar angsuran PPh Pasal 25 tiap bulan.
Dilihat dari contoh diatas, apa untungnya istri punya NPWP sendiri? Sama sekali tidak ada. Namun kalo
Anda sebagai istri tetap memilih tidak mau nebeng NPWP suami padahal tidak ada perjanjian pisah harta
karena ada pertimbangan atau kepentingan tertentu, tentunya Anda sudah harus siap dengan segala
konsekuensi yang akan timbul.
Lalu bagaimana kalau sebelum menikah, wanita sudah punya NPWP sendiri dan setelah menikah dia
memilih nebeng NPWP suami? Ajukan saja permohonan pencabutan NPWP tersebut ke KPP tempatnya
terdaftar sepanjang si suami sudah punya NPWP.
Pikir-pikir dahulu sebelum putuskan mau punya NPWP sendiri atau nebeng suami ....
Untung rugi istri memilih punya NPWP sendiriPosted by Catatan Ekstens on Kamis, 05 Februari 2015
NPWP Istri
Sebagaimana diketahui, bahwa istri yang tidak mempunyai perjanjian pisah harta (PH), bebas memilih apakah mau punya NPWP sendiri atau tidak. Namun kalau memiliki perjanjian pisah harta, maka wanita kawin harus daftar NPWP sendiri. (Baca: NPWP Istri : Apakah ikut suami ataukah harus punya sendiri?)
Pada prinsipnya sistem administrasi perpajakan di Indonesia menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, bahwa penghasilan dan kerugian istrinya juga nanti digabungkan dengan penghasilan suaminya, sehingga dalam satu keluarga hanya terdapat satu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yaitu NPWP suami, dalam arti istri ikut NPWP suami (nebeng NPWP suami). Namun demikian, istri dapat memiliki NPWP sendiri bila hidup berpisah (HB) atau melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan (PH). Istri juga dapat ber-NPWP sendiri bila memang berkehendak demikian (MT).
Berdasarkan pasal 8 ayat (3) UU PPh, diatur bahwa apabila isteri yang tidak pisah harta memilih punya NPWP sendiri (memilih untuk melaksanakan hak dan kewajibannya secara terpisah (MT)), maka penghitungan pajaknya dilakukan berdasarkan penjumlahan penghasilan neto suami-isteri dan masing-masing memikul beban pajak sebanding dengan besarnya penghasilan neto.
Dengan kata lain, penghasilan neto suami isteri digabung dan PPh orang
pribadi yang harus ditanggung oleh suami dan istri bergantung pada proporsi
penghasilannya masing-masing.
Nah, apabila baik istri maupun suami sama-sama hanya kerja di satu pemberi kerja, dan istri memilih tidak mau nebeng NPWP suami alias punya NPWP sendiri, menguntungkan atau malah merugikan?
Mari kita lihat contoh kasus kondisi tersebut diatas.
Sepasang suami istri yang baru menikah dan belum memiliki keturunan, keduanya masing-masing memiliki NPWP. Suami bekerja di PT. ABC dengan penghasilan netto setahun Rp. 75.000.000,- sedangkan istrinya bekerja di PT.XYZ dengan penghasilan netto setahun Rp. 60.000.000,-. Atas penghasilan mereka sudah di potong oleh perusahaan mereka masing-masing dengan perhitungan sebagai berikut:
Suami
Penghasilan Netto 75.000.000
PTKP (K/0) 26.325.000
Penghasilan Kena Pajak 48.675.000
PPh terutang setahun 2.433.750
Istri
Penghasilan Netto 60.000.000
PTKP (TK/0) 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak 35.700.000
PPh terutang setahun 1.785.000
Karena NPWP istri berbeda dengan NPWP suami, maka penghitungan PPh terutangnya digabung.
Penghasilan suami istri digabung
Penghasilan netto suami 75.000.000
Penghasilan netto istri 60.000.000
Total penghasilan netto 135.000.000
PTKP (K/I/0) 50.625.000
Total Penghasilan Kena Pajak 84.375.000
PPh terutang setahun
5% x 50.000.000 2.500.000
15% x 34.375.000 5.156.250
Total PPh terutang setahun 7.656.250
Perhitungan untuk di SPT tahunan PPh suami
PPh terutang
(75.000.000/135.000.000)x 7.656.250 4.253.472
Kredit pajak PPh 21 2.433.750
PPh kurang bayar 1.819.722
angsuran PPh pasal 25 tahun pajak berikutnya 151.644
Perhitungan untuk di SPT tahunan PPh istri
PPh terutang
(60.000.000/135.000.000)x 7.656.250 3.402.778
Kredit pajak PPh 21 1.785.000
PPh kurang bayar 1.617.778
angsuran PPh pasal 25 tahun pajak berikutnya 134.815
Munculnya Kurang Bayar di perhitungan SPT Tahunan ini adalah konsekuensi
karena istri memilih punya NPWP sendiri.Gara-gara istri memilih punya NPWP sendiri padahal tidak ada perjanjian pisah harta,
maka tambahan pajak yang harus dibayar total Rp. 3.437.500,-. Belum lagi nantinya tiap
bulan harus sisihkan sebagian penghasilan untuk bayar angsuran PPh Pasal 25 total
sebesar Rp. 286.458,-.
Lalu bagaimana kalau istri memilih nebeng NPWP suami?
Pilihan ini jelas lebih menguntungkan karena kewajiban bayar pajak di akhir tahun tidak
akan ada jika suami istri sama-sama hanya menerima penghasilan dari satu pemberi
kerja (NPWP nebeng suami).
Jadi, penghasilan istri cukup dilaporkan di bagian lampiran SPT 1770 S, tanpa harus
menggabungkan penghasilan neto suaminya. Dengan kata lain, SPT Tahunan PPh suami
akan NIHIL, dan juga tidak perlu bayar angsuran PPh Pasal 25 tiap bulan.
Dilihat dari contoh diatas, apa untungnya istri punya NPWP sendiri? Sama sekali tidak
ada. Namun kalau Anda sebagai istri tetap memilih tidak mau nebeng NPWP suami
padahal tidak ada perjanjian pisah harta karena ada pertimbangan atau kepentingan
tertentu (mengajukan kredit ke bank, misalnya), tentunya Anda sudah harus siap dengan
segala konsekuensi yang akan timbul.
Lalu bagaimana kalau sebelum menikah, wanita sudah punya NPWP sendiri dan setelah
menikah dia memilih nebeng NPWP suami? Ajukan saja permohonan penghapusan NPWP
tersebut ke KPP tempatnya terdaftar sepanjang suami sudah punya NPWP.
Pikir-pikir dahulu sebelum putuskan mau punya NPWP sendiri atau nebeng suami,
apalagi alasan pengen punya NPWP hanya karena sekedar memenuhi persyaratan....
Semoga artikel untung rugi istri memilih punya NPWP sendiri ini bermanfaat...
NPWP Istri : Apakah ikut suami ataukah harus punya sendiri?Posted by Catatan Ekstens on Kamis, 19 Juni 2014
Ilustrasi : NPWP Wanita Kawin atau Istri
Salah satu masalah NPWP yang sering menjadi tanda tanya di masyarakat kita adalah tentang kepemilikan NPWP bagi wanita kawin atau istri. Kami di Seksi Ekstensifikasi Perpajakan sering sekali menemui Wajib Pajak yang belum jelas benar tentang NPWP bagi wanita kawin atau istri.
Pada prinsipnya sistem administrasi perpajakan di Indonesia menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, bahwa penghasilan dan kerugian istrinya juga nanti digabungkan dengan penghasilan suaminya (Pasal 8 UU PPh), sehingga dalam satu keluarga hanya terdapat satu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yaitu NPWP suami, dalam arti istri ikut NPWP suami. Namun demikian, istri dapat memiliki NPWP sendiri bila hidup berpisah atau melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan. Istri juga dapat ber-NPWP sendiri bila memang berkehendak demikian.
Biar makin jelas mari kita lihat PP 74 Tahun 2011. Pada Pasal 2 ayat (3) PP 74 Tahun 2011tersebut ditegaskan bahwa, wanita kawin yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif tetapi tidak hidup berpisah atau tidak melakukan perjanjian pisah harta, maka hak dan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan hak dan kewajiban suaminya. Dengan demikian, terhadap wanita kawin yang tidak dikenai pajak secara terpisah, pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan suami sebagai kepala keluarga atau dengan kata lain, NPWP sang istri ikut NPWP suaminya.
Bagaimana bila sebelum menikah istri sudah punya NPWP ?
Dalam hal ini wanita kawin telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebelum kawin, wanita kawin tersebut harus mengajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dengan alasan bahwa pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan suaminya. Dengan demikian jelaslah bahwa NPWP istri bisa dihapuskan bila menikah.
Bagaimana bila wanita kawin ingin mempunyai NPWP sendiri?
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pada dasarnya wanita kawin yang tidak hidup terpisah atau tidak melakukan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta secara tertulis, melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya dengan menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama suaminya. Namun demikian, dalam hal wanita kawin ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya, maka wanita kawin tersebut harus mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak.
Pada Per-20/PJ/2013 Pasal 2 ayat (3) juga menegaskan bahwa wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim, menghendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta atau memilih melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari suaminya meskipun tidak terdapat keputusan hakim atau tidak terdapat perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, harus mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak.
Tidak termasuk dalam pengertian hidup terpisah adalah suami istri yang hidup terpisah antara lain karena tugas, pekerjaan, atau usaha. Sebagai contoh : Suami istri berdomisili di Bandung. Karena suami bekerja di Jakarta, yang bersangkutan bertempat tinggal di Jakarta sedangkan istri bertempat tinggal di Bandung.
Dalam hal wanita kawin yang ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah dari kewajiban perpajakan suaminya dan ia telah memiliki NPWP sebelum kawin, maka NPWP yang telah dimiliki sebelum kawin tersebut digunakan dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya, sehingga wanita kawin tersebut tidak perlu mendaftarkan diri lagi untuk memperoleh NPWP.
Berikut contoh sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (4) PP 74 Tahun
2011:
Bapak Bagus yang telah memiliki NPWP 12.345.678.9-XXX.000 menikah dengan Ibu Ayu yang belum memiliki NPWP. Ibu Ayu memperoleh penghasilan dan ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya. Oleh karena itu, Ibu Ayu harus mendaftarkan diri ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk memperoleh NPWP dan diberi NPWP baru dengan nomor 98.765.432.1-XXX.000.
Lisa memperoleh penghasilan dan telah memiliki NPWP dengan nomor 56.789.012.3-XYZ.000. Lisa kemudian menikah dengan Hengki yang telah memiliki NPWP 78.901.234.5-XYZ.000. Apabila Lisa setelah menikah memilih untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya, maka Lisa tidak perlu mendaftarkan diri lagi untuk memperoleh NPWP dan tetap menggunakan NPWP 56.789.012.3-XYZ.000 dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya.
Pendaftaran Anak
Sesuai dengan Pasal 8 ayat 4 Undang-undang PPh, Penghasilan anak yang belum dewasa (<18 Tahun) digabung dengan penghasilan orang tuanya. Penghasilan tersebut dari manapun sumbernya masuk ke dalam penghasilan ayahnya sebagai kepala keluarga. Lalu kalau ada kredit pajak segala macam bisa diperhitungkan sebagai kredit pajak SPT Tahunan ayahnya. Jadi anak belum dewasa tidak perlu melakukan permohonan pendaftaran NPWP
Kategori Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP)
a. Orang Pribadi (Induk), yaitu terdiri dari Wajib Pajak belum menikah, dan suami
sebagai kepala keluarga;
b. Hidup Berpisah (HB), yaitu suami-istri telah hidup berpisah berdasarkan keputusan
pengadilan yang memiliki hak dan kewajiban perpajakan sendiri;
c. Pisah Harta (PH), yaitu suami-istri mengadakan perjanjian pemisahan harta dan
penghasilan secara tertulis;
d. Memilih Terpisah (MT), yaitu wanita kawin yang menghendaki untuk menjalankan
hak dan kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suami; dan
e. Warisan Belum Terbagi (WBT) sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak
pengganti, menggantikan mereka yang berhak, yaitu ahli waris.
Form Pendaftaran NPWP OP, Wanita hanya memilih kategori nomor 2, 3, 4
Pada Form Pendaftaran Wajib Pajak Orang Pribadi dan Aplikasi e-
registration, kategori untuk isteri yang ingin memiliki NPWP adalah PH pisah harta, dan
MT Memilih terpisah
Lalu dokumen apa saja yang harus dilampirkan untuk memperoleh NPWP bagi
wanita kawin?
1. Formulir Pendaftaran Wajib Pajak Orang Pribadi yang telah diisi dengan
benar dan lengkap
2. WP OP yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas :
fotokopi KTP bagi WNI; atau fotokopi paspor, fotokopi Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau Kartu Izin
Tinggal Tetap (KITAP), bagi WNA
3. WP OP yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas :
fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi Warga Negara Indonesia, atau fotokopi paspor, fotokopi Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP), bagi Warga Negara Asing, dan fotokopi dokumen izin kegiatan usaha yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang atau surat keterangan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari Pejabat Pemerintah Daerah sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala Desa atau lembar tagihan listrik dari Perusahaan Listrik/ bukti pembayaran listrik; atau
fotokopi e-KTP bagi Warga Negara Indonesia dan surat pernyataan di atas meterai dari Wajib Pajak orang pribadi yang menyatakan bahwa yang bersangkutan benar-benar menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
4. Wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena menghendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, dan wanita kawin yang memilih melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya secara terpisah
fotokopi Kartu NPWP suami; fotokopi Kartu Keluarga; dan fotokopi surat perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, atau surat pernyataan
menghendaki melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suami.
Nah, bagaimana dengan Anda? Memiliki NPWP sendiri atau memilih ikut NPWP suami?
Kewajiban NPWP Bagi Wanita
Catatan :
Beberapa waktu yang lalu pertama kali saya diwawancarai oleh ITR dan membahas mengenai
UU KUP karena team ITR ‘menemukan’ saya di blog. Selanjutnya bulan lalu, kembali mereka
mewawancarai saya mengenai NPWP bagi Wanita. Saat wawancara kemarin saya tidak
menyangka kalau ternyata semua jawaban saya akan ditulis dalam tax-focus. Semula saya
mengira hanya akan mengutip beberapa pendapat saya, sehingga saya jawab semua
pertanyaan dg santai, seperti ngobrol dengan teman, bukan seperti wawancara :D . Jadi malu
pas lihat ada photo saya dipajang di ITR dan jawaban pertanyaan yang sangat tidak formal…
hhehehe..
Berikut ini salinan dari Tax Focus ITR volume I/Edisi 15/2008 bulan November 2008 yang
membahas tentang NPWP Pribadi, terutama untuk Wanita.
Lika-liku Wanita Ber-NPWP
Problematika istri yang mempunyai NPWP ternyata banyak melahirkan berbaqai varian kasus
yang menarik. Mau tahu kasus apa saja yang mungkin rerjadi dan bagaimana
penyelesaiannya? Ikuti wawancara via telepon komi dengan Triyani, seoranq konsultan pajak
wanita Brevet C. yang juga aktif sebagai blogger pajak di internet, berikut ini.
Triyani
Konsultan Pajak Terdaftar
(Bersertifikat Konsultan Pajak Brevet C)
Anggota IKPI dan Pemegang Ijin Kuasa Hukum Pengadilan Pajak.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 80/2007, wanita kawin yang telah memenuhi
persyaratan subjektif dan objektif, yang ingin melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakan secara terpisah dari suaminya boleh mendaftarkan NPWP-nya sendiri.
Apakah hal ini juga berlaku dengan Istri yang telah bekerja, tidak pisah harta,
namun suaminya telah berNPWP?
Sebetulnya bagi wanita yang telah menikah dan tidak melakukan perjanjian pisah harta pada
dasarnya boleh jika ingin mempunyai NPWP sendiri, tetapi itu tidak wajib. Ketika wanita itu
tidak memilih untuk mempunyai NPWP sendiri maka boleh rnenggunakan NPWP suaminya.
Karena sesuai dengan Pasal 8 UU PPh juga disebut bahwa pada dasarnya pajak itu mengakui
satu keluarga merupakan satu kesatuan ekonomis; bahwa penghasilan dan kerugian istrinya
juga nanti digabungkan dengan penghasilan suaminya.
Sebenarnya itu boleh saja rnenggunakan NPWP suaminya. Hanya saja mungkin dari sisi
pemberi kerja itu butuhnya nama yang sama dengan karyawannya. Kalau yang tertulis di
NPWP adalah nama suaminya, takut dianggap bukan karyawan sehingga pemotongannya
dikenakan tarif yang lebih tinggi 20%. Kalau memang tidak mau menggunakan NPWP
tersendiri, sebaiknya minta di•print lagi NPWP suami namun atas nama si istri. Jadi mungkin
hanya kode belakangnya saja yang menjadi “001”.
Jadi pada dasarnya si wanita tersebut tidak wajib ber-NPWP. Kalau la ingin mendaftarkan
dirinya sendiri sehingga NPWP-nya berbeda dari suaminya itu boleh saja. Hanya saja perlu
diberikan pengertian ke HRD-nya. kalau karyawati bekerja bukan berarti harus mempunyai
NPWP sendiri. Jadi kalau wanita yang tidak mempunyai NPWP sedangkan suaminya punya, ya
pakai NPWP suaminya saja. Tapi kalau mau yang tercetak nama si istri sendiri sebagai
karyawan, ya udah minta dicetak lagi NPWP-nya dengan kode belakang ”001”
Lalu bagaimana pelaporan pajak istri yang menggunakan kode belakang NPWP
”001” tersebut, apakah tetap ikut dengan suami atau terpisah ?
Sebetulnya kalau yang teknisnya hingga mendetil seperti itu saya sendiri belum tahu persis.
Namun logikanya kalau seperti WP Badan yang mempunyai cabang. Jadi menurut saya yang
wajib lapor itu adalah suami. Sedangkan penghasilan istri nanti akan diinformasikan di dalam
SPT Tahunan suaminya, bahwa penghasilan istri yang berasal dari satu pemberi kerja sudah
dipotong pajaknya tersendiri (final). Sampai sekarang sifatnya juga masih final kan
Sebenarnya untuk kepentingan apa saja wanita membuat NPWP sendiri ?
Kalau mempunyai NPWP sendiri ya mungkin akan lebih memudahkan suatu administrasi.
Artinya (kayaknya saya bilang ‘misalnya’, bukan ‘artinya’) begini, ada juga suami istri yang
ingin mengajukan KPR (Kredit Perumahan Rakyat) atas nama istri. Meskipun suami istri
tersebut tidak mempunyai perjanjian pisah harta, namun istri ingin atas namanya, baik
KPRnya maupun rumahnya. Noh dalam hal terjadi seperti itu, kebanyakan bank, setahu saya
juga mensyaratkan NPWP-nya itu nama si istri sendiri. Meskipun kita jelaskan bahwa kalau
kita tidak mempunyai perjanjian pisah harta, tapi rumahnya ingin atas nama istrinya,
biasanya pihak bank akan menolak jika kita memakai NPWP suami, karena dokumen KPR atau
lainnya itu paling tidak harus sama. Salah satu kelebihan lainnya, jika ada masalah keluarga.
Misalnya ribut dengan suaminya, dia tidak perlu daftar NPWP lagi karena sudah punya NPWP
sendiri. Benefit lainnya lagi dia juga bisa mendapatkan pembebasan Fiskal Luar Negeri. Saya
belum tahu persis apakah nanti kalau pakai NPWP suaminya, istrinya juga bisa mendapatkan
fasilitas pembebasan fiskal atau tidak, karena sampai sekarang belum ada peraturan yang
menjelaskannya. Tapi yang jelas kalau di UU KUP, wanita yang sudah kawin dan tidak
mempunyai perjanjian pisah harta itu boleh melaksanakan kewajiban perpajakannya sendiri
dengan memiliki NPWP sendiri.
Kalaupun suami istri itu mempunyai perjanjian pisah harta ataupun tidak, lalu (hmm..
sepertinya saya bilang ”kalau” bukan ”lalu”) si istri ini memperoleh penghasilannya bukan
dari satu pemberi kerja, misalnya dari kegiatan usaha atau lebih dari satu pemberi kerja, toh
penghasilannya tetap digabung. Jumlah pajak peng hasilannya yang terutang juga harus
dihitung dan penghasilan gabungan terlebih dahulu. Hanya saja nanti dibagi secara
proporsional berapa pajak suami dan istri, sehingga akan ketahuan berapa kewajiban
pajaknya masing-masing.
Kalau dari sisi penghematan pajak atau segala macam sih saya bilang enggak ada benefit
yang terasa. Misalnya pajaknya akan lebih rendah karena pajaknya dihitung masing-masing.
Enggak juga. Karena kalau satu keluarga apakah ia mempunyai perjanjian pisah harta atau
tidak, suami istri perhitungan pajaknya kan harus digabung terlebih dahulu.
Jadi wanita yang kode belakang NPWP-nya ”001” kalau dia Ingin kewajiban
pajaknya jadi satu dengan suami, Sedangkan kewajibannya Ingin sendiri, maka
NPWP-nya pun berbeda, begitu ?
(sepertinya saya menjawab ‘Betul, tapi toh” namun kata “betul” tidak tertulis) Tapi toh tetap
penghasilan istrinya diinformasikan di dalam SPT Tahunan suaminya bahwa sudah dikenakan
pajak tersendiri, sehingga tidak perlu digunggung perhitungan Penghasilan Kena Pajaknya.
Artinya dalam SPT Tahunan suami, penghasilan istri yang telah dikenakan pajak tersendiri
juga tetap diinformasikan. ltu tujuannya supaya nanti ketika ada pengecekan daftar harta itu
menjadi nyambung. Siapa tahu hartanya itu dibeli dari penghasilan bersama . Jadi jangan
sampai penghasilan suaminya menjadi lebih rendah dari pertambahan harta misalnya,
padahal harta itu sebenarnya telah diperoleh dari penghasilan istri yang tetah dikenakan
pajak juga. Agar tidak menimbulkan pertanyaan atau mungkin asumsi orang pajak yang
menganggap bahwa ada penghasilan yang tidak dilaporkan suami, karena itulah sebaiknya
penghasilan istri tadi semestinya tetap diinformasikan.
Bagaimana untuk wanita yang belum dewasa, apakah dia juga bisa ber-NPWP?
Sebenarnya kalau anak yang belum dewasa pada dasarnya ikut dengan orang tuanya. Di
Pasal 8 UU PPh juga diatur kalau untuk anak yang belum dewasa perlakuannya seperti itu.
Bahkan di UU PPh baru, penghasilan anak yang belum dewasa darimanapun sumbernya.
digabungkan dengan penghasilan orang tuanya. Penghasilan tersebut masuk ke dalam
penghasilan ayahnya sebagai kepala keluarga. lalu kalau ada kredit pajak segala macam bisa
diperhitungkan sebagai kredit pajak SPT Tahunan ayahnya.
Tapi kalau ayahnya belum mempunyai NPWP?
Sebenarnya yang wajib mempunyai NPWP itu kepala keluarga. Semua orang yang sudah
mempunyai penghasilan Itu kan wajib mempunyai NPWP, nah penghasilan ini kan tidak
melulu dilihat dari penghasilan si ayahnya saja. Misalnya, katakan saja, ayahnya tidak bekerja
tetapi mungkin anaknya potensial berpenghasilan besar, berarti ayahnya yang wajib
mempunyai NPWP. Karena penghasilan anak yang belum dewasa dianggap sebagai
penghasilan orang tua.
Bagaimana Jika anak yang sudah berpenghasilan ini yatim piatu ?
Tergantung, apakah orang tuanya sebelum meninggal sudah mempunyai NPWP atau belum.
Kalau misalnya warisannya belum dibagi, maka si anak ini menggunakan NPWP orang tuanya.
Karena penghasilan dari warisannya itu juga dilaporkan dari warisan yang belum terbagi, si
anak yang belum dewasa ya lapornya tetap menggunakan NPWP orang tuanya tetapi
subjeknya sudah berganti menjadi warisan yang belum terbagi.
Tapi bagaimana ketika dia menjadi yatim piatu orang tuanya ltu belum ber-NPWP,
Apakah anaknya ini sudah diharuskan untuk mendaftar NPWP?
Semestinya sih ada walinya. Karena anak yang belum dewasa itu belum bisa melakukan
tindakan hukum. Mempunyai NPWP itu kan salah satu tindakan hukum.
Jika pada saat menikah sang suami belum ber-NPWP, apakah suami tersebut harus
mendaftarkan diri untuk mempunyai NPWP?
Kalau menurut saya solusinya bisa salah satunya. Kalau suaminya mau mendaftarkan, terus
istrinya juga mempertahankan NPWP-nya sendiri. Jadi masing-masing mempunyai NPWP
sendiri yah. Solusi yang lainnya, kalau dulu wanita kawin yang berNPWP itu kan harus dicabut
karena mengikuti NPWP suaminya, kalau rnisalnya suaminya belum ber-NPWp, enggak usah
dicabut tapi meminta perubahan nama menjadi nama suaminya. Kemudian kode belakang
NPWP istrinya menjadi ”001” Bisa, itu dimungkinkan. Karena dengan adanya surat nikah dan
lainnya, berarti sudah ada perbedaan status dibandingkan dengan sendiri atau masih lajang.
Sehingga itu dimungkinkan.
Kalau misalnya ada suami istri bercerai dan diputuskan anaknya ikut dengan
ibunya, lalu siapakah yang berhak atas tambahan PTKP anaknya itu?
Ibunya. Karena wanita yang tidak menikah, artinya sudah berpisah itu boleh menanggung
tanggungan, seperti anak angkat atau anak kandung yang ikut dengannya. Dalam hal orang
tuanya telah bercerai, lalu anaknya telah memperoleh penghasilan. Bila pengadilan sudah
memutuskan secara legal anak tersebut ikut ibunya maka baik tambahan PTKP-nya maupun
penghasilan dari si anak yang belum dewasa ini adalah milik ibunya.
About these ads
Beri peringkat:
Rate This
Terkait
Pajak untuk WNI yang bekerja dan tinggal di LNdalam "Iseng"
Pajak atas penghasilan bagi wanita kawindalam "Pajak"
Pemisahan NPWP dan Penghematan PPhdalam "Artikel Pajak-ku"
November 18, 2008 - Posted by triyani | Ketentuan Umum Perpajakan, Pajak, PPh Orang Pribadi
| ITR, Media, Wawancara
34 Komentar »
1. Assalamualaikum…
Senang sekali saya bisa menemukan dan membaca blog ini, nama sayan Yana, saya
awam sekali mengenai pajak, dari sini saya jadi mulai mengetahui beberapa hal yang
bisa saya pelajari tentang pajak.
mba…aku boleh tanya n sedikit minta tolong…
aku baru akan membuat NPWP. aku sudah punya hard cover dari pengisian registrasi
NPWP yang aku isi melalui e-registration. Setelah ini selanjutnya aku ambil NPWP
dimana dan apa saja yang harus aku persiapkan dan bawa untuk mengambilan
NPWPitu.Ada biayanya tidak? dan berapa lama pengurusannya selesai hingga keluar
NPWP. Terima kasih banyak mba….
Wassalam
Yana-Depok
>> Pembuatan NPWP gratis tis tis.. pengurusan bisa selesai pada hari yang
sama, tapi adakalanya krn banyaknya WP yang daftar baru bisa diambil
keesokan harinya (harap maklum deh :) ). Karena Anda sudah mendaftar
melalui e-registration, untuk pengambilan kartu NPWP cukup bawa print out
dari e-regristation dan Copy KTP. Mungkin nanti di KPP akan diminta
mengisi dan menandatangani form pendaftaran lagi utk arsip.
Komentar oleh yana | November 19, 2008 | Balas
2. VOOT
Wah selamat mbakyu….
fotone tersebar di semua media, majalah, koran, internet apa lagi ya..?
>> Hehehehe.. jadi takut kalau makin terkenal :P khan gawat kalo ketemu
org di jalan tiba2 ditanyain pajak… upss, padahal udah sering juga sih :D
Komentar oleh Rulli | November 21, 2008 | Balas
3. Assalamualaikum…
mba, apa bener solusi seperti ini sudah ada yg menjalankan
” Solusi yang lainnya, kalau dulu wanita kawin yang berNPWP itu kan harus dicabut
karena mengikuti NPWP suaminya, kalau rnisalnya suaminya belum ber-NPWp,
enggak usah dicabut tapi meminta perubahan nama menjadi nama suaminya.
Kemudian kode belakang NPWP istrinya menjadi ”001” Bisa, itu dimungkinkan.
Karena dengan adanya surat nikah dan lainnya, berarti sudah ada perbedaan status
dibandingkan dengan sendiri atau masih lajang. Sehingga itu dimungkinkan ”
Karena saya sudah berkali2 tanya dan memeinta petugas pajak supaya dibuatkan
seperti saran diatas dan ditambahkan dengan tidak adanya kerugian dari kewajiban
perpajakannya.. tetap saja mereka tidak mau meng update WP istri ke Suami yg
belum ber NPWP
Trima kasih
Anton
>> Saya belum pernah menjalankan sendiri. Namun saya tidak menemukan
adanya larangan mengenai hal ini. Coba tanyakan apa alasan dan dasar
hukum petugas KPP tidak mau melakukan perubahan tsb?.
Komentar oleh Sovien | November 28, 2008 | Balas
4. Tanya dong, npwp saya ikut suami, apa benar kalau saya keluar negri dgn suami saya
bebas fiskal, tetapi kalau pergi sendiri tetap bayar fiskal, karena yg punya npwp itu
suami. Tolong dijawab ya…
>> Saya belum tahu, karena belum ada juklak-nya.
Komentar oleh Evita Rusviati | Desember 3, 2008 | Balas
5. melanjutkan pertanyaan evita, ibu saya ibu rumah tangga ayah saya pensiunan. tpi
kami ada saudara di luar negri, thun 2008 ini kan dibilangnya bebas fiskal bagi yg
ber-npwp tp kalau yg ngagk punya justru dikenakan lebih mahal 3 juta, kalau begini
gmana mb?
>> Kalau mau bebas fiscal, silahkan mendaftarkan diri untuk memperoleh
NPWP :)
Komentar oleh qultie | Desember 3, 2008 | Balas
6. Mau tanya nich Bu.. (ehm panggilnya Mbak ato Bu …?), bagaimana kalo istri punya
npwp karena tiba tiba di buatin oleh perusahaan tanpa tanya dulu suami udah punya
apa belum, padahal ternyata suami pengin buat npwp juga dan maunya satu
keluarga punya satu npwp, nah bisa ngga Bu, kalo npwp yang atas nama istri
dialihkan atau di update ke nama suami ? Supaya laporan SPTnya tetep satu aja ?.
Istri karyawan dari satu pemberi kerja sedangkan suami memiliki usaha bebas
sendiri… Thanks sebelumnya atas jawabannya.
>>Menurut saya, semestinya NPWP a/n Istri bisa dirubah, tapi kadang
praktek di KPP agak ribet. Akan lebih baik jika suaminya mendaftar sbg
WPOP yang melakukan kegt usaha, prosesnya lebih mudah, toh PPh yang
terutang tidak bertambah dg punya 2 NPWP.
Komentar oleh Zia | Desember 10, 2008 | Balas
7. Maaf bu, saya mawu tanya ayah saya seorang yang pengangguran / tidak berkerja.
itu wajib memiliki npwp tidak? soalnya di blog yg saya baca diatas, itu menyebutkan
meskipun anak telah berkerja ayah wajib untuk memiliki npwp. trus bagaimana cara
pengisian untuk seseorang yang tdkb erkerja seperti ayah saya itu? terima kasih
>>Yang wajib punya NPWP adalah orang yang penghasilannya di atas PTKP.
Jika penghasilannya kurang dari PTKP atau tidak memiliki penghasilan,
maka tidak wajib memiliki NPWP, namun jika ybs ingin memiliki NPWP tetap
diperkenankan. Laporannya NIHIL saja, karena tidak ada penghasilan.
Komentar oleh Iwan | Desember 11, 2008 | Balas
8. Buat mba evita, sepengetahuan saya mba tetap bisa memakai NPWP suami dengan
melampirkan kartu keluarga sewaktu ke airport. jadi yang dibawa itu FC NPWP suami
atau aslinya juga (saya tidak begitu yakin) beserta kartu keluarga.
Komentar oleh Nebu | Desember 15, 2008 | Balas
9. Mbak, mau nanya donk. klo untuk wanita dewasa yang tidak bekerja dan hanya
mendapatkan penghasilan dr orang tua saja bagaimana? penghasilannya pun tidak
lebih dr 1 juta per bulan. haruskah punya npwp?
makasih yah mbak
Vei
>> Yang wajib punya NPWP adalah Orang yang penghasilannya diatas
PTKP.
Komentar oleh vei | Desember 21, 2008 | Balas
10. Assalamualaikum mbak Triyani,
Mbak mau tanya,saya masih kurang paham alinea ini:
“Kalaupun suami istri itu mempunyai perjanjian pisah harta ataupun tidak, lalu (….) si
istri ini memperoleh penghasilannya bukan dari satu pemberi kerja, misalnya dari
kegiatan usaha atau lebih dari satu pemberi kerja, toh penghasilannya tetap
digabung. Jumlah pajak peng hasilannya yang terutang juga harus dihitung dan
penghasilan gabungan terlebih dahulu. Hanya saja nanti dibagi secara proporsional
berapa pajak suami dan istri, sehingga akan ketahuan berapa kewajiban pajaknya
masing-masing”.
Ini maksudnya penghasilan suami + istri, atau penghasilan istri dari beberapa
sumber?? Kalau penghasilan suami istri digabung baru dibagi pro rate, koq
kelihatannya menjadi rumit.
Mohon penjelasannya ya mbak.. Terimakasih..
NB: Saya dan suami masing2 punya NPWP terpisah, tanpa perjanjian pisah harta.
Saya “dibuatkan” duluan oleh KPP th 2007 lalu (walau sy baru tahu th 2008 ini), dan
suami baru buat th 2008 ini. Kita hanya bekerja masing2 di satu pemberi kerja yang
berbeda.
>>Kalau Istri hanya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja, maka
dalam menghitung PPh terutang, Penghasilan Istri tidak perlu digabungkan
karena sudah dikenakan PPh tersendiri dan bersifat final. Yang harus
digabungkan kalau penghasilan dari kegt usaha istri atau jika penghasilan
istri berasal dari lebih dari satu pemberi kerja.
Komentar oleh Diana | Desember 23, 2008 | Balas
11. Mbak..thanks infonya, ak mau tanya, sebulan lalu, I’ve made stupid mistake, saya
sudah menikah dan suami saya sudah punya NPWP, ketika saya akan berangkat studi
keluar negri, saya dengar ada info bebas fiskal jika punya NPWP, tanpa konsultasi
dengan suami saya bikin NPWP atas nama saya sendiri, di KTP saya memang tidak
tercantum status pernikahan. Saya baru tau kalo NPWP satu keluarga itu cukup satu
saja. Pertanyaannya bisakah saya merubah/membatalkan NPWP saya? yang kedua,
untuk pelaporan SPT sedangkan posisi saya sedang di LN gimana ya mbak? Thanks
banget..saya tunggu reply-nya..dah strezz berat nih mikirin pajak..kesannya ribet
banget..palagi da ancaman kalo gak bikin SPT bakalan kena penjara 6
thn..hiyyyyy….plizz reply as soon as possible ya…thanks…
>> Hmmm… buat NPWP itu bukan stupid mistake lah, just make it easy :)
Suami Istri boleh kok punya NPWP masing2. Karena sudah punya masing2
lebih baik diteruskan saja, kalau minta dicabut mungkin bisa tambah
panjang urusannya. Mengenai pelaporan bisa dikirim via pos/kurir. BTW,
Soal pajak ngga usah dipikirin sampai stress gitu sayang khan biaya
berobat mahal heheheh.
Komentar oleh marlin | Januari 1, 2009 | Balas
12. Alhamdulillah, akhirnya ketemu blog pajak yang ringkas padat berisi, dan JELAS.
mohon dibantu. pertanyaan saya :
1. suami wiraswasta punya NPWP dan ANGGOTA komanditer yang setiap bulan dapat
bagian laba CV tersebut
2. Istri ibu rumah tangga tidak punya NPWP sendiri & ikut MLM
Bagaimana menghitung pajak penghasilannya? maaf soalnya baru kenal pajak
desember kemarin. orang baru. Nuwun
Komentar oleh Djoe | Januari 3, 2009 | Balas
13. Mba, thanks infonya ya, jadi lebih jelas lagi tentang pajak. Saya kan menikah tahun
2007, saya harus lapor pajak dengan suami tahun 2007 atau 2008 ya? Soalnya ada
yang bilang juga kalau status menikah itu baru terhitung/diakui setelah 1 tahun..
Terima Kasih
Komentar oleh Florence | Januari 5, 2009 | Balas
14. Assalamualikum wr.wb.
Alhamdulillah ketemu jg blog bagus dan competence ttg pajak.
Mba ayah saya seorang pensiunan,tdk memiliki usaha atau penghasilan lain, thn ini
berencana mengunjungi saya di qatar. apakah pensiunan hrs punya NPWP jg agar
bebas fiskal lalu bagaimana dgn ibu saya yg ibu rumah tangga apakah hrs punya jg
NPWP spy bebas fiskal ?
Terima kasih banyak atas perhatiaannya.
>> Iya, untuk bebas fiskal harus punya NPWP. Ibu bisa menggunakan NPWP
Ayah.
Komentar oleh Fauzi | Januari 6, 2009 | Balas
15. Halo Mbak,
Sehubungan dengan NPWP saya ada masalah sedikit dengan data NPWP saya.
Dimana, perusahaan saya mendaftarkan saya dengan nama yang berbeda dengan
nama KTP nasional yang saya pegang saat ini yang nama yang tertera sesuai dengan
Ijazah terakhir yang saya miliki.
Ceritanya begini, dulu waktu saya berusia 17 th dan mulai wajib memiliki KTP saya
memdaftarkan KTP ke kelurahan di kampung saya. Karena pak Lurah melihat nama
saya yang lumanyan singkat, maka di berinisiatif menambahkan nama orang tua saja
di belakang nama saya. Dan itu berlaku terus menerus sampai saya kerja dan pindah
ke Batam. KTP Batam yang saya terima juga mengikuti nama KTP saya dari kampung
yang mencantum nama saya + nama ayah saya, sampai saya berkerja di perusahaan
dengan KTP tersebut dan mendaftarkan NPWP saya berdasarkan KTP tersebut.
Masalah muncul pada saat masa berlaku KTP saya habis, dan saya mencoba
memperpanjang KTP tersebut yang ternyata sudah di ganti dengan KTP Siak (KTP
Nasional) dimana pada saat perpanjangan kantor lurah meminta foto copy Ijazah
terakhir saya.
Dan saya terkejut ketika mengetahui nama yang tercantum di KTP tersebut adalah
nama saya tanpa tanbahan nama ayah saya sebagaimana tercantup di Ijazah
terakhir.
Permasalahanpun muncul, dimana saya harus mengubah nama di setiap kartu yang
saya miliki.
Kartu Jamsostek, Kartu ATM, Kartu Kredit, dan salah satunya Kartu NPWP.
Yang ingin saya tanyakan adalah, apakah kita bisa mengubah nama di kartu NPWP
dengan nama sesuai dengan KTP yang kita miliki sekarang? dan kalo bisa bagaimana
caranya? kalo tidak bisa apa yang harus saya lakukan?
Terima kasih.
Athailah
dari Batam.
Komentar oleh Athailah | Januari 7, 2009 | Balas
16. Mbak Triyani,
Mau nanya ketentuan pelaksanaan bagi karyawan yang tidak mempunyai NPWP akan
dikenai 20% lebih tinggi daripada PPh yang terhutang, apakah dihitung secara
bulanan atau tahunan Mbak?
>> Mestinya sih pemotongan PPh lebih tinggi dilakukan bulanan. Tapi yaa
tunggu juklaknya sajalah.
Penentuan Kena NPWP, apakah harus nunggu setahun dulu baru ketahuan di atas
PTKP atau dibawah.
Bila berdasarkan hitungan masa kary. ybs. kena pajak PPh21, di atas PTKP/bulan,
namun bulan berikutnya di bawah PTKP / bulan, apakah di bulan berikutnya harus
NPWP?
Terimakasih jawabannya MBAK.
Salam.
Komentar oleh ronny | Januari 13, 2009 | Balas
17. Mbak Triyani
Mbak bagaimana pemotongan atas denda 20% lebih tinggi dari pada PPh yang
terhutang apakah nunggu SPT tahunan atau dihitung bulanan.
Bila karyawan bulan ini penghasilan diatas PTKP, bulan berikutnya di bawah PTKP,
apakah bulan depannya sudah harus NPWP?
Terimakasih jawabannya Mbak.
>> Mestinya sih pemotongan PPh lebih tinggi dilakukan bulanan. Tapi yaa
tunggu juklaknya sajalah.
Komentar oleh ronny | Januari 13, 2009 | Balas
18. Mbak Triyani
mau nanya : apakah aset ( misalnya tanah ) yang kita beli sebelum tahun 2001
( tahun 1995 s/d tahun 1999 ) masih wajib dilaporkan dalam spt perbaikan / sunset
policy ?
Mohon penjelasannya ya.
Terima kasih!
>> Semestinya, jika Ikut sunset policy maka semua harta (yang diperoleh
tahun berapapun) yang dimiliki wajib pajak wajib dilaporkan.
Komentar oleh lina | Januari 29, 2009 | Balas
19. Bu Triyani yang terhormat,
Saya seorang suami, membuat NPWP ditahun 2008, pada tahun yang sama istri saya
juga dibuatkan NPWP oleh tempatnya bekerja. Bagaimana Saat pengisian SPT
Tahunan PPh 21 saya? pakah harus melampirkan Bukti Potong penghasilan istri?
bagaimana dengan pelaporan harga saya yang tidak ada perjanjian pisah harta.
Terima kasih
Muryono
Komentar oleh Muryono | Januari 30, 2009 | Balas
20. Mbak Triyani,
Saya dan suami telah membuat perjanjian pisah harta, saya memperoleh penghasilan
dari 1 pemberi kerja, saya mempunyai NPWP sendiri. Suami saya juga telah
mempunyai NPWP. Berarti dalam pengisian SPT, penghasilan saya dan suami tidak
perlu digabung, betul begitu Mbak?
Lalu bagaimana jika saya berhenti bekerja dan berwirausaha, apakah penghasilan
saya dan suami digabung dahulu untuk perhitungan PPh?
Apabila saya mempunyai 1 anak, PTKP anak masuk ke SPT suami dengan status PH/1,
betul begitu?
Lalu, dalam SPT saya, apakah dicantumkan PH/0 atau PH/1?
Terima kasih, saya menunggu jawaban Mbak, sehubungan dengan pengisian SPT
2008.
Komentar oleh Yuli | Februari 27, 2009 | Balas
21. Mbak, Trim’s sebelumnya atas infonya…
Mau nanya tentang kalimat ini :
“Kalaupun suami istri itu mempunyai perjanjian pisah harta ataupun tidak, lalu (….) si
istri ini memperoleh penghasilannya bukan dari satu pemberi kerja, misalnya dari
kegiatan usaha atau lebih dari satu pemberi kerja, toh penghasilannya tetap
digabung. Jumlah pajak peng hasilannya yang terutang juga harus dihitung dan
penghasilan gabungan terlebih dahulu. Hanya saja nanti dibagi secara proporsional
berapa pajak suami dan istri, sehingga akan ketahuan berapa kewajiban pajaknya
masing-masing”.
Untuk cara pelaporan atas penghasilan istri bagaimana ya ? dan menggunakan SPT
apa ya ?
Komentar oleh Bambang | Maret 9, 2009 | Balas
22. Mbak Triyani,
Saya istri bekerja pada satu pemberi kerja, tidak punya usaha lain, saya baru punya
NPWP Agustus 2008, suami sudah punya NPWP sejak 2005 tapi alamat di luar kota
tempat bisnisnya, saya di Jakarta. Waktu saya membuat NPWP saya melampirkan
copy NPWP suami, tapi karena beda kota saya dikasi nomer yang beda digitnya
sampai 6 angka terakhir. Apakah boleh saya membuat SPT sendiri, padahal kami
tidak ada perjanjian pisah harta?
Karena usaha sendiri, penghasilan suami tidak tentu besarnya, untuk pengisian SPT
tahun 2008 apakah pendapatan suami harus ditotal setahun? Bagaimana kalau
besarnya kurang dari PTKP? Bagaimana dengan anak kami (1 orang umur 8 th), ikut
SPT suami?
Dan bagaimana dengan tanah yang kami beli tapi atas nama otang lain (belum di
balik nama)?
Atau bagaimana sebaiknya menurut mbak Triyani? Terima kasih
Komentar oleh nani | Maret 10, 2009 | Balas
23. Tanks atas infonya mba,suami saya sudah punya npwp dan baru2 ini tempat saya
bekerja membuatkan npwp untuk semua karyawannya maka saya titipkan fotocopy
npwp suami(dengan maksud kluarga kami hanya punya satu npwp,betul
ga?),mba,maaf ya saya ini buta banget sama pajak sebenernya brapa persen wp yg
harus dibayarkan?,dan dari pendapatan bersih/kotor perbulan/pertahun.
Komentar oleh yanti | Maret 13, 2009 | Balas
24. assalamu’alaikum,,
mba saya mo tanya,,ibu saya baru buat NPWP untuk menghindari pembayaran
fiskal,,tapi karena ibu saya awam tentang pajak dan pekerjaan ibu saya hanya ibu
rumah tangga,maka bagaimana untuk pengisian SPT?
Komentar oleh mega | April 17, 2009 | Balas
25. Assalamualaikum mba,
saya mo tanya mengenai ketentuan bagi wanita yg sudah menikah tetapi suami tidak
berpenghasilan, apakah dalam hal pemotongan pajak wanita tersebut dikenakan
PTKP dengan tambahan kawin karena suami menjadi tanggungan? kalau misalkan
suaminya bekerja di pertengahan tahun, apakah masih masuk tanggungan istri?
Komentar oleh winda | Juni 9, 2009 | Balas
26. Mbak Triyani,
Saya wanita bekerja dan mempunyai NPWP, setahun yll saya bercerai dari suami saya
dan anak saya lahir setelah putusan perceraian itu, kemudian anak ikut saya.
Bagaimana pemotongan pajak untuk penghasilan saya.
Terima kasih untuk jawabannya
Komentar oleh Wida | Januari 25, 2010 | Balas
27. Mba triyani, aku punya beberapa pertanyaan:
1. apakah istri yg bekerja sbg direktur di perusahaan org tuanya bisa digabung dg
penghasilan suami?
2. apakah istri yg bekerja pd satu pemberi keja namun juga mendapat penghasilan
lain dari saham dan laba dapt digabung dengan suami penghasilannya?
3.jika saat mengisi spt tahunan jumlah penghasilan gabungan lebih kecil dari PTKP,
apakah dikosongkan ke bawah (krn berarti g perlu byar pajak) atau masih dilanjutin
isinya dengan tanda (-)/minus?
teriamaksih mba, saya masih baru banget belajar pajak, maaf kalo pertanyaannya ga
berbobot hehe
Komentar oleh Gadis | Januari 9, 2011 | Balas
28. Mba Triyani, aku mau tanya kalau anak sdh dewasa 31 thn, tapi blm punya
penghasilan (masih kuliah) tapi mau dibelikan rumah oleh orangtuanya, boleh tidak
atas nama anak tapi pembayaran pajaknya menggunakan NPWP orangtuanya?
karena si anak belum punya NPWP
Tolong dijawab ya Mba, Thanks
Komentar oleh l | September 21, 2011 | Balas
29. Mba saya mau nanya klo npwp istri ikut suami dan kbetulan suami dan istri bekerja di
satu pemberi krja yang sma,nah untuk pelaporan 1721 T kalo dimasukan e-spt itu ga
mau mba klo npwpnya sama,itu solusinya gimana ya mba?trima kasih sebelumnya
Komentar oleh adya | Februari 16, 2013 | Balas
30. mba, saya seorang istri yang secara hukum tidak bekerja (karena dagang kecil-
kecilan dan tidak ada siup dll), suami saya karyawan swasta dan sudah punya npwp.
apakah saya bisa buat npwp? kalau bisa status nya sbg apa (pribadi, atau apa?) ?
karena saat kpr a.n saya sll ditanyakan npwp saya. maaf saya awam dibidang pajak,
mohon pencerahan. thanks
Komentar oleh chacha | Agustus 14, 2014 | Balas
31. Alhamdulillah ada blog ini.
Mbak, mo tanya nih..
Klo istri cuma IRT, suami cuma buruh TKl. Gak punya npwp.
Kalo istri mau buat NPWP, untuk alasan tertentu misalnya mau ambil KPR atau
investasi, gimana tuh mba solusinya? Apa harus nunggu suami pulang utk membuat
NPWP, baru saya membuat?
atau bisa langsung membuat NPWP sendiri tanpa menunggu suami kembali ke
Indonesia? dengan cara ini apakah ada masalah di kemudian hari?
mohon pencerahannya mbak..
terimakasih ^_^
Komentar oleh Rachma | Desember 12, 2014 | Balas
32. Reblogged this on DIRA's MINISHOP.
Komentar oleh Rachma | Desember 12, 2014 | Balas
33. Mbak mau tanya saya kan udah punya npwp tapi baru beberapa bulan saya sudah
tdak kerja lagi, saya tidak lapor pajak gimana ya mbak ? untuk mengaktifkan lagi
kalau saya mau kerja lgi
Komentar oleh mega | Februari 27, 2015 | Balas
o Q : Mbak mau tanya saya kan udah punya npwp tapi baru beberapa bulan
saya sudah tdak kerja lagi, saya tidak lapor pajak gimana ya mbak ? untuk
mengaktifkan lagi kalau saya mau kerja lgi
A : jika pengahasilan dibawh PTKP tdk wajib lapor. setelah bekerja kembali &
pengahasilan > PTKP lapor lagi
Komentar oleh triyani | Maret 7, 2015 | Balas
NPWP untuk wanita kawin
Wanita yg sdh menikah punya NPWP sendiri baik memiliki Ph dari 1 pemberi kerja maupun buka usaha sendiri SPT Tahunannya pisah dgn suami ya pak? yg SPT Tahunannya gabung dgn suami hanya untuk istri yg NPWPnya tdk ikut dgn NPWP suami ya pak? satu lagi pak sy bingung NPWP istri yg ikut dg NPWP suami itu yg no. akhir NPWP nya 1, atau NPWP Istri sama dgn suami dari awal hingga akhir tanpa ada perbedaan sedikitpun?
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU KUP :
Kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.
Pasal 2 PER-51/PJ/2008
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP bagi anggota keluarga adalah :a.Anggota keluarga yang diakui oleh Penanggung Biaya Hidup, termasuk anak yang belum dewasa serta memiliki penghasilan dari mana pun sumber penghasilannya dan apa pun sifat pekerjaannya.
b.Wanita kawin yang :1.menjalankan usaha dan/atau melakukan pekerjaan bebas; dan/atau2.tidak menjalankan usaha atau tidak melakukan pekerjaan bebas dan memiliki penghasilan sampai dengan suatu bulan yang disetahunkan telah melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak,
dan tidak terikat perjanjian pisah harta, serta tidak menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri.
Berdasarkan aturan tersebut, dalam satu keluarga dapat satu NPWP. Teman-teman di DJP sering menyebut NPWP cabang bagi anggota keluarga. Misalnya NPWP untuk istri pertama 01.234.456.8-kpp-999 NPWP untuk istri kedua 01.234.456.8-kpp-998 (masing-masing istri memiliki usaha sendiri), atau NPWP untuk anak yang sudah terkenal sebagai artis 01.234.456.8-kpp-997.
Khusus untuk istri, UU KUP sekarang membolehkan memiliki NPWP yang terpisah dari suami. Syarat istri dapat memiliki NPWP yang terpisah adalah :[a.] memiliki perjanjian pisah harta, atau[b.] menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri
Pasal 8 ayat (2) UU PPh 1984 :
Penghasilan suami-isteri dikenai pajak secara terpisah apabila: a. suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim; b. dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan; c. dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri.
Sekedar mengingatkan saja, NPWP terpisah tidak berarti penghitungan perpajakan juga terpisah. Penghitungan PPh OP atas keluarga tersebut tetap digabung dulu, baru kemudian dihitung kewajiban PPh secara proporsional.
Pasal 8 ayat (3) UU PPh 1984 :
Penghasilan neto suami-isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dikenai pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami-isteri, dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka.
Berikut saya kutip contoh di penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU PPh :
Wajib Pajak A, yang memperoleh penghasilan dari usaha sebesar Rp100.000.000,00 mempunyai seorang isteri yang menjadi pegawai dengan penghasilan sebesar Rp50.000.000,00. Apabila penghasilan isteri tersebut diperoleh dari satu pemberi kerja dan telah dipotong pajak oleh pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, penghasilan sebesar Rp50.000.000,00 tidak digabung dengan penghasilan A dan pengenaan pajak atas penghasilan isteri tersebut bersifat final.
Apabila selain menjadi pegawai, isteri A juga menjalankan usaha, misalnya salon kecantikan dengan penghasilan sebesar Rp75.000.000,00, seluruh penghasilan isteri sebesar Rp125.000.000,00 (Rp50.000.000,00 + Rp75.000.000,00) digabungkan dengan penghasilan A. Dengan penggabungan tersebut A dikenai pajak atas penghasilan sebesar Rp225.000.000,00 (Rp100.000.000,00 + Rp50.000.000,00 + Rp75.000.000,00). Potongan pajak atas penghasilan isteri tidak bersifat final, artinya dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas penghasilan sebesar Rp225.000.000,00 tersebut yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Ini contoh lanjutan, di ayat (2) dan (3) apabila ada perjanjian pisah harta :
apabila isteri menjalankan usaha salon kecantikan, pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan jumlah penghasilan sebesar Rp225.000.000,00.
Misalnya pajak yang terutang atas jumlah penghasilan tersebut adalah sebesar Rp 56.250.000,00, maka untuk masing-masing suami dan isteri pengenaan pajaknya dihitung sebagai berikut:
Suami : 100.000.000,00/225.000.000,00 x Rp56.250.000,00 = Rp25.000.000,00
Isteri : 125.000.000,00/225.000.000,00 x Rp56.250.000,00 = Rp31.250.000,00
salaam
Diposting oleh raden.suparman di 6/14/2011
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: konsultasi
2 komentar:
1.
AnonimJumat, Agustus 15, 2014 10:23:00 AM
Pagi, Pak....
Mau tanya mengenai NPWP wanita menikah.
Ada teman saya yg punya kasus sbb :Dia berkerja sebagai karyawan tetap dan penghasilan di atas PTKP. Suaminya hanya buruh tidak tetap yg penghasilannya sebulan hanya sekitar Rp 300 ribu. Oleh karena itu wanita tsb mau membuat NPWP utk melaksanakan kewajibannya.Saat dia mendaftar utk meminta NPWP di KPP tempat dia terdaftar dikatakan permohonan NPWP nya ditolak. Alasannya harus ikut NPWP suami. Padahal saat pengajuan NPWP dia sudah mengisi form surat pernyataan melakukan kewajiban perpajakan terpisah. Saat dia tahu NPWP nya ditolak, dia menghubungi KPP tsb dan sudah dijelaskan bahwa suaminya hanya buruh tidak tetap dan penghasilan hanya 300rb sebulan sehingga tidak punya NPWP. Tapi tetap saja KPP mengatakan bahwa permohonan NPWP tidak dapat dipenuhi dan dia harus memakai NPWP suami. KPP blg ktnya sjk dulu memang begitu.
Yang mau saya tanyakan :Lepas dari permasalahan suami diwajibkan memiliki NPWP meskipun penghasilan dibawah PTKP, apakah sekarang ada perarturan yang mengatakan bahwa wanita menikah harus ikut npwp suami?Bila wanita menikah msh boleh memiliki NPWP sendiri, bagaimana caranya dia meyakinkan/menjawab ke KPP agar permohonan NPWP nya disetujui?
Mohon masukannya, pak.. Karena bila dia tidak punya NPWP padahal penghasilan diatas PTKP nanti pasti dia kena tarif lebih tinggi.
Terima kasih atas bantuannya.MEL
Balas
Balasan
1.
raden.suparmanSelasa, Agustus 19, 2014 1:39:00 PMistri diberipilihan ikut NPWP suami atau buat sendiri. Tetapi jika sebagai karyawan, lebih baik pake NPWP suami saja. Pake NPWP xx.xxx.xxx.x-kpp.999. Penghasilan istri dari satu pemberi kerja FINAL dan cukup dilaporkan di SPT suami bagian lampiran. Tetapi jika tetap ingut punya NPWP terpisah, buat saja pake e-register di https://ereg.pajak.go.id/
Balas
Antara gabung NPWP dengan pisah NPWPMasih banyak yang bingung bagaimana suami istri yang sama-sama memiliki penghasilan melaporkan penghasilannya. Apakah NPWP suami harus sama dengan NPWP istri? Apakah istri boleh memiliki NPWP yang berbeda dengan NPWP suami? Nah dibahwa ini saya copy paste dari Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2011. Bagian yang dikutif [agak ke tengah] merupakan copy paste dari batang tubuhnya sedangkan lainnya saya copy paste dari bagian penjelasan.
(1) Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat
Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan
kepada Wajib Pajak diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2) Kewajiban mendaftarkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula terhadap wanita
kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau
dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.
(3) Wanita kawin yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan:
a. tidak hidup terpisah; atau
b. tidak melakukan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta secara tertulis,
hak dan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban
perpajakan suaminya.
(4) Wanita kawin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang ingin melaksanakan hak dan memenuhi
kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suami harus mendaftarkan diri untuk
memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak.
(5) Dalam hal wanita kawin yang ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah
dari hak dan kewajiban perpajakan suami sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak sebelum kawin, tidak perlu mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib
Pajak.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran dan pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak bagi
wanita kawin diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Pada dasarnya kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak melekat pada setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. Yang dimaksud dengan "persyaratan subjektif" adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya. Yang dimaksud dengan "persyaratan objektif" adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Pada prinsipnya sistem administrasi perpajakan di Indonesia menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, sehingga dalam satu keluarga hanya terdapat satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Dengan demikian, terhadap wanita kawin yang tidak dikenai pajak secara terpisah, pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannyadigabungkan dengan suami sebagai kepala keluarga. Dalam hal ini wanita kawin telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebelum kawin, wanita kawin tersebut harus mengajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dengan alasan bahwa pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan suaminya.
Tidak termasuk dalam pengertian hidup terpisah adalah suami istri yang hidup terpisah antara lain karena tugas, pekerjaan, atau usaha
Contoh :Suami istri berdomisili di Salatiga. Karena suami bekerja di Pekanbaru, yang bersangkutan bertempat tinggal di Pekanbaru sedangkan istri bertempat tinggal di Salatiga.
Demikian halnya terhadap "anak yang belum dewasa" sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya, yaitu yang belum berumur 18 tahun dan belum pernah menikah, kewajiban perpajakan anak yang belum dewasa tersebut digabung dengan orang tuanya.
Pada dasarnya wanita kawin yang tidak hidup terpisah atau tidak melakukan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta secara tertulis, melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya
dengan menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama suaminya. Namun demikian, dalam hal wanita kawin ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya, maka wanita kawin tersebut harus mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak.
Contoh : Bapak Bagus yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak 12.345.678.9-XXX.000 menikah dengan Ibu Ayu yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak. Ibu Ayu memperoleh penghasilan dan ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya. Oleh karena itu, Ibu Ayu harus mendaftarkan diri ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan diberi Nomor Pokok Wajib Pajak baru dengan nomor 98.765.432.1-XXX.000.
Apabila wanita kawin yang ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah dari kewajiban perpajakan suaminya telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebelum kawin, maka Nomor Pokok Wajib Pajak yang telah dimiliki sebelum kawin tersebut digunakan dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya, sehingga wanita kawin tersebut tidak perlu mendaftarkan diri lagi untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak.
Contoh :Lisa memperoleh penghasilan dan telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dengan nomor 56.789.012.3-XYZ.000. Lisa kemudian menikah dengan Hengki yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak 78.901.234.5-XYZ.000. Apabila Lisa setelah menikah memilih untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya, maka Lisa tidak perlu mendaftarkan diri lagi untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan tetap menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak 56.789.012.3-XYZ.000 dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya.
Diposting oleh raden.suparman di 2/16/2012 Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: NPWP, Sosialisasi
21 komentar:
1.
AnonimMinggu, Juni 03, 2012 9:33:00 PM
Jika ada kasus istri bekerja di Indonesia, sudah punya NPWP, dan suami bekerja di luar negeri (memenuhi syarat kategori WPLN) di negara yg termasuk bebas pajak dan punya tax treaty dengan Indonesia, dia tidak punya NPWP, bagaimana perhitungan pajaknya, Pak?
Balas
2.
raden.suparman Rabu, Juni 20, 2012 8:37:00 PM hitung pajak si istri saja karena si suami subjek pajak luar negeri (asumsi dia tinggal lebih dari 183 hari di luar negeri).
Balas
3.
AnonimRabu, Juli 25, 2012 2:53:00 PM
kalau dari jumlah pajak yang dibayar antara yang pisah NPWP dengan yang satu NPWP apakah ada perbedaan? ada kawan yang ingin istrinya memisahkan NPWP nya karena dia bilang Pajak yang dibayar bisa berkurang
Balas
Balasan
1.
raden.suparman Selasa, Juli 31, 2012 4:17:00 PM walaupun pisah NPWP tetapi cara menghitung pajak digabungkan dulu kemudian diproporsionalkan. mungkin si kawan berpikiran beda entitas sehingga beda tarif, kalo satu NPWP akan kena tarif yang lebih tinggi. padahal harusnya sama saja.
silakan cek contoh perhitungannya di bagian penjelasan pasal 8 UU PPh.
2.
Yona Minggu, September 16, 2012 11:23:00 PM
Melihat contoh perhitungan utk istri yg pisah NPWP, status PTKP menjadi K/I/0 sedangkan dlm NPWP istri terdaftar adalah TK/0. Apakah perhitungan revisi tsb. bisa disanggah apabila sedang dalam proses pemeriksaan? Trims.
3.
Yona Minggu, September 16, 2012 11:32:00 PM
Dalam contoh perhitungan utk wanita kawin pisah NPWP, tertulis bahwa PTKP menjadi K/I/0 dgn nilai Rp 33jt. Sedangkan, status NPWP istri yg terdaftar adalah TK/0. Apakah dpt mempertahankan laporan pajak terpisah dgn status TK/0 bagi wanita kawin yg sdh mempunyai NPWP sebelum menikah?
Masalahnya adalah pemeriksa pajak berpendapat kalau laporan yg disampaikan salah dan harus dirubah dgn menggabungkan penghasilan istri dan suami, kemudian merubah status PTKP menjadi K/I/0 yg mengakibatkan kurang bayar dgn jumlah substantial. Mohon advis-nya. Terima kasih.
4.
raden.suparman Selasa, Oktober 30, 2012 2:11:00 PM bu Yona, status istri memang tetap TK/O karena status kawinnya sudah "diambil" oleh suami. PTKP si istri adalah untuk dia sendiri.
Silakan di cek di Pasal 7 ayat (1) UU PPh.
Balas
4.
Riana Evira Sabtu, Oktober 20, 2012 8:05:00 PM
jika ada WP warga negara asing dan memperoleh penghasilan di Indonesia dan menikah dengan Istri (WNI) yg mempunyai 3 tanggungan serta berpenghasilan, tetapi ada perjanjian pisah harta dan penghasilan, bagaimana kewajiban pelaporan perhitungan tsb dalam SPT Tahunan OP?
Balas
Balasan
1.
raden.suparman Selasa, Oktober 30, 2012 2:07:00 PM UU PPh tidak mengenal kewarganegaraan karena UU PPh menganut prinsip keberadaan di Indonesia. Siapapun yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari maka itu subjek pajak dalam negeri. Jika si SPDN tsb memperoleh penghasilan maka disebut wajib pajak dalam negeri (WPDN).
Jika si WNA tsb tinggal di Indonesia dengan istrinya (asumsi saya tinggal lama di Indonesia karena sudah punya tanggungan) maka tetap saja si WNA menjadi WPDN.
Kewajiban pisah harta menjadikan baik suami maupun istri wajib memiliki NPWP dan masing-masing wajib lapor. Tetapi sesuai ketentuan Pasal 8 UU PPh bahwa penghitungannya tetap digabung dulu, baru setelah digabung dipisah secara proporsional. Sehingga secara substansi tetap dianggap satu entitas.
Jadi, penghasilan suami dan istri digabung dulu. Setelah dihitung PPh terutang gabungan, maka kemudian dihitung PPh terutang suami dan istri. Silakan mengacu ke contoh di bagian penjelasan Pasal 8 UU PPh.
Balas
5.
AnonimSenin, Maret 18, 2013 5:57:00 PM
Jika istri mempunyai suami WNA,istri (ada NPWP) mempunyai harta di indonesia yang didapatkan dari penghasilan suami WNA nya yang bekerja di luar negeri.apakah harta tersebut dapat dianggap sebagai hibah kepada istri?ataukah istri wajib melaporkan penghasilan yang didapatkan untuk membeli harta tersebut diindonesia,agar harta yang dimiliki dapat diakui?
Balas
Balasan
1.
raden.suparman Selasa, Maret 19, 2013 8:07:00 AM perpajakan di Indonesia tidak kenal warga negara.perpajakan kita menganut sistem lama tinggal.jika tinggal lebih dari 183 hari maka subjek pajak dalam neger.
jika memang suami WNA tinggal di Indonesia kurang dari 183 hari dalam setahun, maka dia sebagai subjek pajak luar negeri. sekarang tinggal istri yang punya penghasilan di indonesia.
satu keluarga adalah satu entitas.
suami ngasih uang (berapa pun jumlahnya) ke istri, maka dianggap bukan pemberian karena dia ngasih ke "dirinya sendiri" (satu entitas).jadi, jika istri tidak punya pekerjaan atau tidak punya penghasilan selain dari pemberian suami maka istri tersebut tidak punya penghasilan.
2.
AnonimRabu, Maret 20, 2013 9:41:00 AM
tetapi harta atas nama istri yang didapat dari pemberian suaminya yg merupakan Subjek Pajak Luar Negeri,apakah akan terhutang pajak, mengingat diindonesia istri tidak mempunyai penghasilan sama sekali?
3.
raden.suparman Kamis, Maret 28, 2013 5:07:00 PM satu keluarga satu entitas.silakan dipikirkan lagi.satu entitas seperti seseorang.orangnya satu!
Balas
6.
AnonimSenin, Januari 13, 2014 2:28:00 PM
Kalau suami dan istri sama2 bekerja sbg konsultan dan masing2 mempunyai penghasilan sendiri, apakah sebaiknya NPWP digabung atau dibuat terpisah spy pajak yang terhutang apakah bisa diperkecil? Terima kasih.
Balas
7.
kangbejo Jumat, Juli 18, 2014 9:51:00 AM
bos...coba lihat lagi gambar ke 2, antara pilihan YA atau TIDAK kok, "istri dan suami masing2 memiliki NPWP"
Balas
Balasan
1.
raden.suparman Jumat, Juli 18, 2014 2:46:00 PM
benar, memang begitu. dengan kesadarana sendiri istri boleh beda NPWP dengan suami.
Balas
8.
AnonimRabu, September 03, 2014 10:25:00 AM
Apabila istri WNI memiliki NPWP menikah dgn suami WNA dan berdua tinggal di luar negeri. Setiap tahun istri harus lapor pajak penghasilan pribadi apakah dilaporan tetap nol karena istri tidak bekerja dan mereka tidak tinggal di Indonesia? Terima kasih.
Balas
Balasan
1.
raden.suparman Rabu, September 03, 2014 11:27:00 AM minta penghapusan saja atau setidaknya NE. alasannya karena lebih 183 hari di Luar Negeri.biar meyakinkan, bilang saja entah sampai kapan di Luar Negeri :D
kalaupun ada harta di Indonesia, maka jika suatu saat nanti ternyata dijual, maka bisa disebut penghasilan yang diterima WPLN dan dipotong PPh Pasal 26.
Balas
9.
AnonimKamis, September 18, 2014 10:02:00 PM
Pak, bila istri WNI dengan suami WNA dan bersama tinggal di luar negeri. Istri Ingin melakukan investasi di Indonesia yang membutuhkan NPWP dan tidak memiliki perjanjian pisah harta. Apakah istri tetap bisa membuat NPWP meskipun tidak memiliki penghasilan? Kategori untuk registrasi yang dpilih apakah istri memilih menjalankan hak dan kewajiban terpisah dari suami? Terimakasih.
Balas
Balasan
1.
raden.suparman Sabtu, September 20, 2014 5:07:00 PM boleh. Sebenarnya jika masing "keinginan" tidak perlu buat NPWP heheheh...
Tetapi jika memang sudah memutuskan investasi maka sebenarnya akan ada penghasilan. Hanya masalah waktu saja. Jika investasi tidak berharap penghasilan namanya pemberian.
Karena suami merupakan subjek pajak luar negeri, maka yang dilihat harusnya cukup istri saja. Keluarga sebagai entitas berdasarkan asumsi bahwa suami dan istri sama-sama subjek pajak dalam negeri. Sama-sama di Indonesia.
Balas
10.
AnonimSelasa, September 23, 2014 8:39:00 PM
Terima kasih untuk jawabannya Pak. Sangat membantu.
Balas
http://pajaktaxes.blogspot.com/2012/02/antara-gabung-npwp-dengan-pisah-npwp.html
Pajak atas penghasilan bagi wanita kawin
Sore tadi, saya baru sempat membaca SE-29/PJ./2009 (yang saya salin
dari http://www.ortax.org) dan hanya berkomentar singkat bahwa point 3d dari SE-29
tersebut “aneh dan tidak memberikan perlakuan yang equal bagi wajib pajak”.
SE-29 ini merupakan penegasan mengenai pengisian SPT Tahunan bagi Wanita Kawin yang
mempunyai perjanjian pisah harta dan penghasilan atau wanita kawin yang memilih untuk
menjalankan hak dan kewajiban pajaknya sendiri, terpisah dari kewajiban pajak suaminya.
Hal ini karena banyaknya pertanyaan terkait dengan pengisian SPT Tahunan bagi Wanita
Kawin. Meskipun sudah ada buku petunjuk pengisian SPT Tahunan namun memang masih
banyak pertanyaan yang muncul terkait dengan pengisian SPT Tahunan Wajib Pajak Orang
Pribadi, terutama bagi Wanita Kawin yang telah memiliki NPWP tersendiri.
Berikut ini penegasan yang disampaikan Dirjen pajak melalui SE-29 tsb :
———–quote—————–
a. bagi wanita kawin yang melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan
atau yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri wajib
menyampaikan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi atas namanya sendiri terpisah
dengan SPT Tahunan PPh suaminya.
b. Penghasilan yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh wanita kawin sebagaimana
dimaksud pada huruf a adalah seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh wanita
kawin tersebut dalam suatu tahun pajak, tidak termasuk penghasilan anak yang belum
dewasa.
c. Penghitungan PPh terutang dalam SPT Tahunan PPh wanita kawin sebagaimana
dimaksud pada huruf a didasarkan pada penggabungan penghasilan neto suami isteri dan
besarnya PPh terutang bagi isteri tersebut dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan
neto antara suami dan isteri.
d. Penghitungan PPh terutang sebagaimana dimaksud pada huruf c, berlaku
juga bagi wanita kawin sebagai pegawai yang mempunyai penghasilan semata-
mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong Pajak
Penghasilan Pasal 21.
e. Harta dan kewajiban/utang yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh wanita kawin
sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah harta dan kewajiban yang dimiliki dan/atau
dikuasai wanita kawin tersebut pada akhir tahun pajak.
——————-end of quote———–
Menurut saya, point d yang saya kutip diatas (atau point 3d dari SE-29) tidak
sesuai dg ketentuan pasal 8 UU PPh.
Berbicara mengenai NPWP bagi karyawati, dalam praktek, wanita kawin yang memiliki NPWP
tersendiri bisa jadi disebabkan hal-hal berikut ini :
1. Karena memiliki perjanjian pra nikah mengenai pemisahan penghasilan dan harta,2. Karena wanita tsb memilih untuk menjalankan kewajiban pajaknya sendiri, terpisah dari
suaminya,3. Karena diberikan NPWP yang berbeda dengan NPWP suaminya, misalnya karena
didaftarkan secara kolektif melalui pemberi kerja atau karena diberikan NPWP secara jabatan yang berbeda dengan NPWP suami, dan Wanita tsb tidak mengajukan penghapusan (atau perubahan) NPWP.
Pasal 2 ayat 1 UU KUP berikut penjelasannya mengatur mengenai kewajiban pendaftaran
NPWP bagi wanita kawin sbb :
“Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat
kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak”.
Penjelasan :
“Semua Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan sistem self assessment,
wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai Wajib
Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek
pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh
penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap wanita kawin yang
dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim
atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan
dan harta.
Wanita kawin selain tersebut di atas dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh
Nomor Pokok Wajib Pajak atas namanya sendiri agar wanita kawin tersebut dapat
melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari hak dan
kewajiban perpajakan suaminya.”
Sesuai dengan penjelasan pasal 2 tsb di atas, wanita kawin yang memiliki kewajiban untuk
mendaftarkan diri guna memperoleh NPWP adalah sbb :
1. Wanita Kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup berpisah berdasarkan keputusan hakim; atau
2. Wanita Kawin yang menghendaki pengenaan pajak secara terpisah berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, atau
3. Wanita yang memilih untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya.
Sedangkan mengenai perhitungan PPh terutang atas penghasilan suami dan istri, diatur
dalam pasal 8 UU PPh berikut penjelasannya sbb :
(1) Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun
pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari tahun-
tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(2) dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut
semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak
berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan
usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
(2) Penghasilan suami-isteri dikenai pajak secara terpisah apabila:
a. suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim;
b. dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan
penghasilan; atau
c. dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya
sendiri.
(3) Penghasilan neto suami-isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan
huruf c dikenai pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami isteri dan besarnya
pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan
perbandingan penghasilan neto mereka.
Penjelasan
Sistem pengenaan pajak berdasarkan Undang-Undang ini menempatkan keluarga
sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh
anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan
pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga.
Namun, dalam hal-hal tertentu pemenuhan kewajiban pajak tersebut dilakukan
secara terpisah.
Ayat (1)
Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada
awal bagian tahun pajak dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya dan dikenai
pajak sebagai satu kesatuan. Penggabungan tersebut tidak dilakukan dalam hal penghasilan
isteri diperoleh dari pekerjaan sebagai pegawai yang telah dipotong pajak oleh pemberi kerja,
dengan ketentuan bahwa:
1. penghasilan isteri tersebut semata-mata diperoleh dari satu pemberi kerja, dan
2. penghasilan isteri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan
usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
Contoh:
Wajib Pajak A yang memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah) mempunyai seorang isteri yang menjadi pegawai dengan penghasilan
neto sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah). Apabila penghasilan isteri tersebut
diperoleh dari satu pemberi kerja dan telah dipotong pajak oleh pemberi kerja dan pekerjaan
tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya,
penghasilan neto sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah) tidak digabung dengan
penghasilan A dan pengenaan pajak atas penghasilan isteri tersebut bersifat final.
Apabila selain menjadi pegawai, isteri A juga menjalankan usaha, misalnya salon kecantikan
dengan penghasilan neto sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah), seluruh
penghasilan isteri sebesar Rp150.000.000,00 (Rp70.000.000,00 + Rp80.000.000,00)
digabungkan dengan penghasilan A.
Dengan penggabungan tersebut, A dikenai pajak atas penghasilan neto sebesar
Rp250.000.000,00 (Rp100.000.000,00 + Rp70.000.000,00 + Rp80.000.000,00). Potongan
pajak atas penghasilan isteri tidak bersifat final, artinya dapat dikreditkan terhadap pajak
yang terutang atas penghasilan sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
tersebut yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Ayat (2) dan ayat (3)
Dalam hal suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan keputusan hakim, penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dan pengenaan pajaknya dilakukan sendiri-sendiri. Apabila suami
isteri mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis atau jika isteri
menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, penghitungan
pajaknya dilakukan berdasarkan penjumlahan penghasilan neto suami-isteri dan masing-
masing memikul beban pajak sebanding dengan besarnya penghasilan neto.
Contoh:
Penghitungan pajak bagi suami-isteri yang mengadakan perjanjian pemisahan penghasilan
secara tertulis atau jika isteri menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri adalah sebagai berikut.
Dari contoh pada ayat (1), apabila isteri menjalankan usaha salon kecantikan, pengenaan
pajaknya dihitung berdasarkan jumlah penghasilan sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah).
Misalnya, pajak yang terutang atas jumlah penghasilan tersebut adalah sebesar
Rp27.550.000,00 (dua puluh tujuh juta lima ratus lima puluh ribu rupiah) maka untuk masing-
masing suami dan isteri pengenaan pajaknya dihitung sebagai berikut:
– Suami = 100.000.000,00 : 250.000.000 x Rp27.550.000,00 = Rp 11.020.000
– Isteri = 150.000.000,00 : 250.000.000 x Rp27.550.000,00 = Rp 16.530.000
Sesuai dengan apa yang tertulis dalam pasal 8 UU PPh berikut penjelasannya, menurut saya
penghasilan istri yang memenuhi kriteria berikut ini :
1. Penghasilan istri tersebut semata-mata diperoleh dari satu pemberi kerja, dan2. Penghasilan istri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya
dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
TIDAK DIGABUNGKAN DENGAN PENGHASILAN SUAMI.
Dalam formulir SPT PPh WP Orang Pribadi (Form 1770 atau form 1770-S), penghasilan istri
dari satu pemberi kerja tsb di atas merupakan penghasilan yang telah dikenakan pajak
tersendiri dan bersifat final, sehingga pada saat pelaporan SPT Tahunan, penghasilan
tersebut tidak digabungkan dengan penghasilan suami, namun tetap diinformasikan dalam
SPT Tahunan suami.
Menurut saya, ketentuan tsb (penghasilan istri dari satu pemberi kerja tidak digabungkan dg
penghasilan suami) semestinya juga tidak berubah meskipun suami istri tsb memiliki
perjanjian pemisahan penghasilan dan harta maupun karena istri memilih untuk menjalankan
kewajiban pajaknya sendiri, terpisah dengan penghasilan suami.
Jika mengacu pada point 3d SE-29 tsb, maka akan mengakibatkan Suami Istri yang memilih
untuk menjalankan kewajiban pajak secara terpisah harus membayar pajak yang lebih tinggi
dibandingkan dengan suami istri yang menjalankan kewajiban pajaknya secara gabungan.
Contoh 1 :
A+ B suami istri yang masing2 telah memiliki NPWP sendiri, sehingga istri dianggap memilih
untuk menjalankan kewajiban pajaknya sendiri. Keduanya bekerja sebagai karyawan dan
belum memiliki anak. Tahun 2009 memperoleh penghasilan sbb : penghasilan neto A (Suami)
Rp 200.000.000 sedangkan penghasilan neto B sebesar Rp 100.000.00
jika kita mengacu pada ketentuan 3d SE-29, maka perhitungan PPh terutang bagi A+B
dilakukan sbb :
Penghasilan neto gabungan = 300.000.000 (a)
PTKP (K/I/0) = (33.000.000) (b)
Penghasilan Kena Pajak : 267.000.000 (a-b)
PPh terutang : 36.750.000
PPh terutang a/n Suami = Rp 200jt/300jt x Rp 36.750.000 = 24.500.000
PPh terutang a/n Istri = Rp 100jt/300jt x Rp 36.750.000 =Rp 12.250.000
PPh 21 yang telah dipotong pemberi kerja adalah sbb :
a/n Suami = 22.426.000
a/n Istri = 7.624.000
Dengan demikian pada akhir tahun (Maret ini) , keluarga A+B harus membayar PPh pasal 29
(PPh kurang bayar) sbb :
a/n Suami = 2.074.000
a/n Istri = 4.626.000
Contoh 2 :
C+D suami istri yang memiliki satu NPWP. Istri menggunakan NPWP anggota keluarga yang
sama dg NPWP Suami. sehingga pemenuhan hak dan kewajiban pajak hanya dilakukan oleh
suami. C+D juga belum memiliki anak. Data penghasilan neto tahun 2009 sama dengan
penghasilan A&B, masing2 Rp 200 Jt dan Rp 100 Jt.
Perhitungan PPh terutang C dilakukan sbb :
Penghasilan neto = 200.000.000 (a)
PTKP (K/0) = (17.160.000) (b)
Ph Kena Pajak = 182.840.000 (a-b)
PPh terutang = 22.426.000
PPh 21 dipotong = 22.426.000
PPh kurang dibayar = Nihil
Ph istri telah dikenakan Pajak tersendiri dan bersifat final sbb :
Ph neto = Rp 100.000.000 (a)
PTKP (TK) = (15.840.000) (b)
Ph Kena Pajak = Rp 84.160.000
PPh terutang = Rp 7.624.000
sesuai dg SE-29, hanya karena perbedaan cara pelaporan (cara pemenuhan kewajiban pajak)
maka A+B vs C+D harus membayar pajak dengan jumlah yang berbeda (dlm contoh di
atas lebih tinggi 22%), padahal kondisi wajib pajak sama-sama berstatus sbg karyawan dg
jml tanggungan yang sama dan memperoleh penghasilan yang sama besarnya.
hmmm,.. aneh khan?
Agar memberikan perlakuan yang sama thd wajib pajak & memberikan keadilan, Semoga
Point 3d SE-29 tsb segera diralat dan diganti menjadi “Penghitungan PPh terutang
sebagaimana dimaksud pada huruf c, TIDAK berlaku bagi wanita kawin sebagai
pegawai yang mempunyai penghasilan semata-mata diterima atau diperoleh dari 1
(satu) pemberi kerja yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21″.
NPWP Istri : Ikut Suami Atau Punya SendiriPublished By Dudi Wahyudi On February 26th, 2012 04:14 PM | NPWP
Powered by Max Banner Ads
Salah satu masalah NPWP yang sering menjadi tanda tanya di masyarakat adalah tentang kepemilikan NPWP bagi wanita kawin atau istri. Dalam beberapa tulisan terdahulu saya pernah menegaskan bahwa pada dasarya satu keluarga cukup satu NPWP, dalam artian istri ikut NPWP suami. Namun demikian, istri dapat memiliki NPWP sendiri bila hidup berpisah atau melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan. Istri juga dapat berNPWP sendiri bila memang berkehendak demikian.
Pemahaman saya seperti itu saya dapatkan dari kandungan Undang-undang PPh dan Undang-undang KUP. Nah, hal seperti ini kemudian di tegaskan pula oleh Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011, tepatnya di Pasal 2.
Ya, di Pasal 2 ayat (3) PP 74 Tahun 2011 tersebut ditegaskan bahwa, wanita kawin yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif tetapi tidak hidup berpisah atau tidak melakukan perjanjian pisah harta, maka hak dan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan hak dan kewajiban suaminya. Dengan kata lain, NPWP sang istri ikut NPWP suaminya.
Bagaimana jika sebelum menikah si istri sudah memiliki NPWP? Penjelasan Pasal 2 ayat (3) ini menegaskan bahwa bila wanita kawin telah memiliki NPWP sebelum kawin, wanita kawin tersebut harus mengajukan permohonan penghapusan NPWP dengan alasan bahwa pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan suaminya. Dengan demikian jelaslah bahwa NPWP istri bisa dihapuskan bila menikah.
Nah, di penjelasan Pasal 2 ayat (3) juga dinyatakan bahwa tidak termasuk dalam pengertian hidup terpisah adalah suami istri yang hidup terpisah antara lain karena tugas, pekerjaan, atau usaha. Misalnya suami istri berdomisili di Salatiga. Karena suami bekerja di Pekanbaru, yang bersangkutan bertempat tinggal di Pekanbaru sedangkan istri bertempat tinggal di Salatiga.
Namun demikian, dalam hal wanita kawin ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya, maka wanita kawin tersebut harus mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak.
Berikut contoh sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (4) PP 74 Tahun 2011:
Bapak Bagus yang telah memiliki NPWP 12.345.678.9-XXX.000 menikah dengan Ibu Ayu yang belum memiliki NPWP. Ibu Ayu memperoleh penghasilan dan ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya. Oleh karena itu, Ibu Ayu harus mendaftarkan diri ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk memperoleh NPWP dan diberi NPWP baru dengan nomor 98.765.432.1-XXX.000.
Dalam kasus wanita kawin yang ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah dari kewajiban perpajakan suaminya dan ia telah memiliki NPWP sebelum kawin, maka NPWP yang telah dimiliki sebelum kawin tersebut digunakan dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya, sehingga wanita kawin tersebut tidak perlu mendaftarkan diri lagi untuk memperoleh NPWP.
Contoh :
Lisa memperoleh penghasilan dan telah memiliki NPWP dengan nomor 56.789.012.3-XYZ.000. Lisa kemudian menikah dengan Hengki yang telah memiliki NPWP 78.901.234.5-XYZ.000. Apabila Lisa setelah menikah memilih untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya, maka Lisa tidak perlu mendaftarkan diri lagi untuk memperoleh NPWP dan tetap menggunakan NPWP 56.789.012.3-XYZ.000 dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya.
Nah, bagaimana dengan Anda? Memiliki NPWP sendiri atau memilih ikut NPWP suami.
Tags: NPWP, Npwp Istri, Wanita Kawin
51 Responses To “NPWP Istri : Ikut Suami Atau Punya Sendiri”
1. Henry Says:
March 2, 2012 at 10:34 am
saya mao nanya, kalo istri sudah punya NPWP (karena kerja) tapi pengen menghapuskan NPWPnya karena ingin digabung dengan suami, bukannya dari pihak pemberi kerja si wanita tidak mao ya (pph 21 ditanggung perusahaan), karena dengan menghapus npwp, si pemberi kerja akan menggunakan tarif yg lebih tinggi dari biasanya ya, sehingga beban buat si perusahaan lebih tinggi
2. Admin Says:
March 3, 2012 at 2:53 am
Nah, ini yang perlu diluruskan juga. Karyawati tidak dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi jika ia bisa menunjukkan NPWP suaminya. Jadi, NPWP suami sebenarnya berlaku juga buat istri. Kalau ingin punya kartu NPWP sendiri, tetapi kewajiban pajaknya tetap ikut suami, si istri bisa membuat NPWP keluarga.
3. Arief Says:
March 6, 2012 at 3:46 am
JIka suami istri dalam perikatan rumah tangga dan telah menunaikan kewajiban perpajakannya dalam satu NPWP (penghasilan digabung) kemudian berpisah dengan kewajiban perpajakan yang juga terpisah. boleh atau tidak jika suami membuat NPWP tersendiri. apakah harus ada pemberitahuan ke KPP tempat NPWP yang sebelumnya telah terdaftar?
4. Euis Says:
March 7, 2012 at 2:52 am
Maaf saya mau tanya pak, sebelum nikah saya sudah punya NPWP dan sekarang saya mau ikut NPWP suami, bagaimana cara penajuannya dan kemana saya mengajukannya ? Agar saya tidak di potong pph 21 lebih tinggi seperti apabila kita tidak memiliki NPWP, apakah saya hanya memberikan bukti NPWP suami ke kantor ?
5. Mr.Wijaya Says:
March 12, 2012 at 12:53 am
mau tanya,,saya masih belum paham…misal dalam kasus istri sudah punya npwp dan suami belum punya gimana apakah bisa digunakan npwp istri berlaku wat suami?dalam hal disini adalah sama2 orang baru menikah dan dalam proses pindah kota..terima kasih
6. Ratna Says:
March 13, 2012 at 10:43 am
Suami saya karyawan swasta, saya pelaku MLM. Kami punya npwp sendiri2. Skrg baru lengkap bukti2 potong pajak, kami siap mengisi SPT. Apakah sebaiknya tetap diisi di NPWP masing2 atau dijadikan 1? Belum
paham Juga tentang cara mengisi SPT bagi pelaku MLM, senang sekali kalo bapak bisa bantu memberikan contoh. Terima kasih.
7. Zainal Says:
March 14, 2012 at 3:09 am
mau tanya….bagaimana dengan suami isteri yang sama-sama berstatus PNS, apakah NPWP nya bisa digabungkan? bagaimana prosedurnya? trims
8. Irsaal Says:
March 15, 2012 at 2:35 am
mau tanya, istri saya belum memiliki npwp sedangkan saya sudah memiliki npwp.apakah istri saya harus memiliki npwp sendiri atau cukup menggunakan npwp saya?terima kasih
9. Eva Says:
March 16, 2012 at 5:33 am
Pak, Mau tnya, sya sdh bersuami, masing2 dari kita punya NPWP, apabila saya ingin menghapuskan NPWP saya, dan menggunakan NPWP suami, apakah pph 21 saya bisa di potong lebih kecil, dimana PTKP lebih tinggi krn NPWP suami K/2. ? Dan proses penghapusan serta penggabungan NPWP itu spt apa? Thanks.
10. Admin Says:
March 18, 2012 at 3:40 am
@euis NPWP sebelum menikah bisa dihapuskan denganmengajukan permohonan penghapusan ke KPP tempat NPWP dulu didaftarkan. Agar tidak dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi, bisa menggunakan NPWP suami atau Ibu bisa membuat NPWP keluarga di KPP tempat suami terdaftar sebagai bagian dari NPWP suami.
11. Admin Says:
March 18, 2012 at 3:41 am
@mr.wijaya Jika ingin digabung, NPWP yang harus dibuat adalah NPWP suami sebagai kepala keluarga
12. Admin Says:
March 18, 2012 at 3:42 am
@Arief Kalau mau berpisah, istri yang kemudian mendaftarkan diri untuk memiiki NPWP, NPWP suami tetap…
13. Admin Says:
March 18, 2012 at 3:48 am
@Ratna Karena masing-masing punya NPWP, berarti masing-masing lapor SPT sendiri-sendiri…
14. Admin Says:
March 18, 2012 at 3:49 am
@zainal PNS atau bukan sama saja. Untuk menggabungkan, tinggal lakukan penghapusan NPWP punya istri. Kalau istri belum berNPWP, silahkan digabung, tidak ada prosedur khusus…
15. Admin Says:
March 18, 2012 at 3:50 am
@Irsaal Itu adalah pilihan, kalau menurut saya cukup satu NPWP atas nama suami…
16. Admin Says:
March 18, 2012 at 3:53 am
@Eva Untuk menghapuskan NPWP, silahkan ajukan penghapusan NPWP ke KPP tempat NPWP terdaftar. Agar PPh 21 tidak dipotong lebih tinggi, bisa menggunakan NPWP suami atau NPWP Keluarga atas nama istri…
17. Fingky Patilaya Says:
March 19, 2012 at 3:42 am
Permisi mau tanya…bagaimana cara mengetahui di kartu npwp tersebut tercantum/ terdaftar nama istri ? karena di kartu npwp kan yang tercetak adalah nama suami.dulu pada saat daftar npwp istri digabung/ikut suami.
18. Maharani Says:
March 19, 2012 at 4:25 pm
Pak, kalo saya ibu rumah tangga, ga kerja, tapi punya NPWP. Dulu gara2 pengen bebas fiskal..hehe.. Sekarang sih ya biar agak keren aja. Trus kali aja ntar bikin bisnis (anganangan.com). Saya harus tetep lapor kan Pak? Pake 1770SS? Yg dilaporin apa aja ya, soalnya semua udah dilaporin lewat SPT suami. Mobil, walau atas nama saya, kan yg beli suami, jadi dilaporin di SPT suami. Yg dilaporin tabungan saya aja ya Pak..? Tentunya pihak kantor pajak bisa mendeteksi kan Pak, kalau saya adalah istri dari Tuan A yg bernomor pajak sekian2…? Jadi tolong jangan dibuat ribet ya Pak. Dulu saya pernah dapat surat dari KPP bahwa saya belum melaporkan SPT tahunan.. waah langsung keringet dingin.. penghasilan ga punya, eh diancem2 bakal dikenakan sanksi..
Harapan saya, urusan pajak jangan dibuat ribet, apalagi buat rakyat biasa kaya saya dan keluarga. Oya, kok saya coba donlot 1770SS ga respon2 ya? Apa bisa diemail aja ke saya..?
Makasih ya Pak..
Jawab:Sebaiknya NPWP ibu dihapuskan saja karena lebih mudah digabung memang.
19. Evi Says:
March 22, 2012 at 6:26 am
Jika suami istri dengan perjanjian pisah harta, apakah bisa menggunakan NPWP keluarga? Atau harus NPWP sendiri-sendiri?Terima kasih.
Jawab:Kalau ada perjanjian pisah harta, tidak ada pilihan selain masing-masing harus memiliki NPWP.
20. Yolanda F Mewengkang Says:
March 24, 2012 at 1:02 pm
bagaimana jika dulu istri bekerja dan mempunyai npwp, kemudian berhenti bekerja dan tidak mempunyai penghasilan sendiri. haruskah tetap melapor? jika melapor pakai formulir yang mana pak?? makasih atas penjelasannya..
21. Nd. Gaby Says:
March 26, 2012 at 3:08 pm
Mau tanya,bagaimana pemotongan pph21 untuk istri, suami dianggap sebagai ptkp jika tidak ada npwp?apakah anak termasuk ptkp?Thanks before
22. Mita Says:
March 28, 2012 at 3:15 am
Maaf pak, saya mau tanya,,,,suami dan saya baru buat NPWP keluarga taggal 23 Desember 2011 lalu,,,apakah kami harus melaporkan pajak tahun ini atau tahun depan,,,,mengingat NPWP kami belum berumur 1 bulan (Masa pajak tahun 2011)….terima kasih atas jawabannya.
23. Nina Says:
April 2, 2012 at 7:25 am
Maaf mau tanya, kalau setiap bulan gaji kita dipotong pajak oleh perusahaan tapi kita ga punya npwp itu gimana? bukannya yang dipotong pajak itu berarti sudah punya npwp ya?
24. RINI Says:
April 2, 2012 at 10:59 am
Mau tanya kalo istri sudah punya NPWP, kemudian suami kerja waktu daftar NPWP via website tidak bisa akses kemudian memasukan NPWP istri berhasil mendaftar, jadi no NPWP suami ikut istri baiknya bagaimana? Suami harus bikin sendiri atau tetap gabung dengan istri
25. Cahyono Kusumo Says:
June 15, 2012 at 2:11 am
Mohon penjelasannya : apabila suami istri telah bercerai yang sebelumnya memiliki NPWP keluarga, bagaimana cara memisahkan NPWP nya menjadi masing-masing, kemana ngurusnya dan persyaratan apa saja yang mesti dibawa.
26. Cynthia Says:
September 25, 2012 at 8:10 am
Mohon penjelasannya,Pak…Kalo seandainya suami tidak bekerja tapi punya istri 2 ( semuanya punya usaha sendiri ) bagaimana cara perhitungannya? yg dikenakan pajak penghasilan istri nomor satu atau istri nomor dua? Atau kedua-duanya dikenakan pajak?Terima kasih banyak sebelumnya
27. Admin Says:
October 11, 2012 at 12:58 am
Memang tidak tercanntum nama istri di kartu NPWP. Untuk kepentingan praktis, istri bisa membuat NPWP keluarga saja.@Maharani
28. Admin Says:
October 11, 2012 at 1:03 am
fingky patilaya :
Permisi mau tanya…bagaimana cara mengetahui di kartu npwp tersebut tercantum/ terdaftar nama istri ? karena di kartu npwp kan yang tercetak adalah nama suami.dulu pada saat daftar npwp istri digabung/ikut suami.
Memang tidak tercantum nama istri di kartu NPWP. Untuk kepentingan praktis, istri dibuatkan saja kartu NPWP keluarga.
29. Admin Says:
October 11, 2012 at 1:06 am
Nd. Gaby :
Mau tanya,bagaimana pemotongan pph21 untuk istri, suami dianggap sebagai ptkp jika tidak ada npwp?apakah anak termasuk ptkp?Thanks before
PTKP istri hanya untuk diri sendiri, kecuali ada surat keterangan bahwa suami tidak berpenghasilan.
30. Admin Says:
October 11, 2012 at 1:07 am
yolanda f mewengkang :
bagaimana jika dulu istri bekerja dan mempunyai npwp, kemudian berhenti bekerja dan tidak mempunyai penghasilan sendiri. haruskah tetap melapor? jika melapor pakai formulir yang mana pak?? makasih atas penjelasannya..
Sepanjang punya NPWP, tetap lapor. Pake formulir yang tepat 1770 S. Sebaiknya hapuskan saja NPWP nya.
31. Admin Says:
October 11, 2012 at 1:09 am
Nina :
Maaf mau tanya, kalau setiap bulan gaji kita dipotong pajak oleh perusahaan tapi kita ga punya npwp itu gimana? bukannya yang dipotong pajak itu berarti sudah punya npwp ya?
Tidak berarti sudah dipotong pajak berarti punya NPWP. Bahkan, jika tak punya NPWP bisa dipotong pajak lebih besar.
32. Arnie Says:
November 21, 2012 at 5:11 am
Saya mau bertanya,
A seorang ayah membelikan ruko untuk anaknya si B – status karyawan berusia 22 thn tapi blm membuat NPWP, si B dimintakan NPWP atas nama anaknya yg sdh cukup umur, untuk syarat pembuatan Pengikatan Jual Beli. pertanyaannya :1). Apakah B bisa memberikan NPWP ayahnya (si A) ? padahal dia sudah wajib memiliki NPWP atas namanya sendiri ;2). Kalau tidak bisa memakai NPWP ayahnya, apakah bisa NPWP baru diurus nanti awal tahun 2013 atas nama si B (anaknya) ?Mohon pencerahannya, terima kasih.
33. Yanti Says:
December 3, 2012 at 3:16 am
Saya dan suami saat ini masih memiliki npwp masing2 (punya saya blm dihapuskan dan digabungkan ke npwp suami).Yang saya mau tanya, apa keuntungan dan kerugian dengan saya mempertahankan npwp saya yang berstatus single dan masih bekerja.terima kasih
34. Vita Says:
March 2, 2013 at 1:08 pm
Pak, kalau misalnya istri memiliki usaha pribadi, apakah juga bisa melakukan upaya tertentu(seperti pada kasus melaporkan NPWP istri pada perusahaan tempat istri bekerja agar tidak tercharge pada layer pajak yg lebih tinggi )sehingga mungkin terkena tarif lebih tinggi, ini bagaimana perlakuan pajaknya pak,harus dilaporkan ke siapa? atau mungkin ada peraturan pajak sendiri untuk enterpreneur? apa yg dimaksud ‘pekerjaan bebas’ dalam istilah perpajakan? terimakasih.
35. Dian Putranti Says:
March 20, 2013 at 6:19 am
Selamat siang Pak,ingin menanyakan bagaimana cara ,mengurus kartu NPWP yang hilang, tetapi saya tidak punya fotocopynya? Karena saya sekarang tdk bekerja, saya bermaksud menggabungkan NPWP dengan suami dan ingin mengajukan penghapusan NPWP. Mohon petunjuknya, terima kasih banyak.
36. Agie Says:
March 20, 2013 at 6:59 am
Dulu saya seorang pegawai perusahaan swasta dan memiliki NPWP pribadi.Kemudian saya pindah kerja ke perusahaan BUMN, kemudian tugas di luar kota. Di perusahaan baru ini saya dibuatkan lagi NPWP oleh perusahaan padahal saya sudah menginformasikan sudah memiliki NPWP dan memberikan nomor NPWP saya. Selama ini saya selalu mengisi SPT untuk kedua nomor NPWP tersebut.
Bisakan saya menghapus salah satu NPWP saya tersebut?? Bagaimana caranya??Thanks.
37. Natalia Says:
March 21, 2013 at 7:06 am
pak, saya mau tanya, kalau suami n istri bekerja, istri pakai npwp suami tanpa pmberitahuan ke kantor pjk utk penggabungan apakah bermasalah? bermasalah bagi perusahaan tdk? , karena kalau tdk memiliki npwp ada tambahan 20 % y? apakah bisa istri buat tersendiri lg?
38. Nyku Says:
March 21, 2013 at 8:52 am
Pak, Saya dan istri bekerja di perusahaan swasta memakai npwp saya dan pajak kami berdua di tanggung perusahaan masing2. Jika digabung jadi 1 npwp, nilai PKP setelah di gabung jadi lebih besar dibandingkan jika dilaporkan masing2, jadinya pph kurang bayar, alasannya setelah di gabung nilai yg kena 15% jadi lebih besar dan perhitungan penghasilan tidak kena pajaknya . Apakah memang begitu? Apa bedanya jika Istri mempunyai npwp sendiri yg no depan nya sama dgn suami tetapi tiga digit dibelakangnya 999? Terima Kasih
39. Heri Says:
March 21, 2013 at 1:18 pm
Saya PNS sehingga perhitungan pajak termasuk perhitungan PTKPnya sudah langsung dibayarkan bendahara. Istri saya punya NPWP sendiri dan bekerja paruh waktu. Perusahaan pemberi kerja membayarkan pajak istri saya dengan perhitungan PTKP single. Apakah memang pembayaran pajak istri saya bisa menggunakan PTKP lagi (walaupun single)? ataukah seharusnya pajaknya dihitung tanpa dipotong PTKP (karena saya sudah memakai PTKP tersebut)? Mohon pendapatnya. Terima kasih banyak sebelumnya
40. Andreas Says:
March 22, 2013 at 6:59 pm
pak saya berkerja di perusahaan dan sdh memiliki npwp, kemudian istri ikut mlm yang sistemnya adalah bonus dimana tdk mesti tiap bulan dapat bonus. Oleh perusahaan mlm tsb sdh ada potongan untuk pajak. Bagaimana saya mengisi spt-nya? apakah hanya data dari perusahaan suami saja atau menggunakan K/I/2 (kebetulan anak saya 2)sehingga penghasilan tdk kena pajaknya 19.800.000 atau 34.320.000 pak?
41. Adam Says:
April 11, 2013 at 1:53 pm
Pak saya bekerja diperusahaan swasta dan sudah memiliki NPWP kemudian istri saya mempuyai usaha sendiri dan juga telah memiliki NPWP sejak tahun 2008 karena dikirimi NPWP yng sdh jadi (tidak tdk mendaftar tetapi dikirimi/ apakah ini disebut diberi secara jabatan?). Hingga saat ini saya mengisi SPT sendiri dan istri juga mengisi SPT sendiri dengan perhitungan pajak sendiri-sendiri. Menurut PP 74 th 2011 salahkah saya/ istri mempunyai NPWP masing masing dan menghitung SPT masing-masing dengan tidak digabung penghasilannya. Bagaimana sebaiknya? apakah NPWP istri saya dihapus saja biar tidak ribet. Klo dihapus NPWP harus melalui pemeriksaan pajak? apakah cukup melaporkan saja? ataukah melalui pembetulan SPT?Terima kasih.
42. Wanwan Says:
April 25, 2013 at 8:23 am
Maaf pak mau nanya?Kasus 1:Sintaro Mukarata mempunyai NPWP, pekerjaan dia sebagai petugas dinas luar asuransi dengan penghasilan neto 200.000.000Istri kewajiban perpajakannya digabung dengan suami, istri bekerja disuatu perusahaan dan mendapatkan bukti 1721 A1 dengan penghasilan neto 60.000.000.Selain itu istri juga mempunyai pekerjaan bebas sebagai petugas dinas luar asuransi dengan penghasilan neto 150.000.000Sintaro mempunyai 2 anak yang menjadi tanggungan.berapa PPh terutangnya?Bagaimana cara pengisian SPT Tahunan-nya?
Kasus 2:Sintaro Mukarata mempunyai NPWP, pekerjaan dia sebagai petugas dinas luar asuransi dengan penghasilan neto 200.000.000selain itu sintaro M juga bekerja disuatu perusahaan dan mendapatkan bukti 1721 A1 dengan penghasilan neto 60.000.000.Istri kewajiban perpajakannya digabung dengan suami, Istri mempunyai pekerjaan bebas sebagai petugas dinas luar asuransi dengan penghasilan neto 150.000.000Sintaro mempunyai 2 anak yang menjadi tanggungan.berapa PPh terutangnya?Bagaimana cara pengisian SPT Tahunan-nya?
Terimakasih sebelumnya
43. Dudi Wahyudi Says:
May 21, 2013 at 11:08 pm
Ya, sebaiknya NPWP istri dihapuskan saja pak. Proses penghapudannya melalui verifikasi.
44. Prasetyo Says:
May 31, 2013 at 7:41 am
mohon maaf mau tanya:saya karyawan Bank dari bagian Kepatuhan, bahwa kami dihadapkan dengan pertanyaan yaitu:
jika seorang istri (tidak memiliki NPWP) ingin membuka rekening giro dimana salah satu syarat pembukaan rekening giro adalah NPWP, apakah diperbolehkan?
tanggapan saya adalah:hal ini bisa saja dilakukan namun Bank wajib memastikan bahwa NPWP yang digunakan tersebut adalah benar miliki suami yang sah dari istri tersebut. artinya. yang ingin saya tanyakan adalah:berdasarkan PBI No. 8/29/PBI/2006 ttg DHN Pasal 2 (2) syarat pembukaan rekening giro adalah data atau informasi Nasabah antara lain:Nama, alamat, ttl serta NPWP
jika merujuk kepada PBI tersebut maka nasabah yang ingin membuka rekening giro tersebut wajib memiliki rekening giro. mohon feedbacknya.
45. Via Says:
September 19, 2013 at 7:57 am
Saya dan suami saat ini belum menggabungkan npwp kami (masing2 msh mempunyai npwp terpisah)
Pertanyaan saya, apa keuntungan dan kerugian dengan saya mempertahankan npwp saya yg sudah ada sebelum menikah dan masih bekerja?
Thanks dan menunggu jawabannya.
46. Anita Sutanta Says:
January 23, 2014 at 7:56 am
Pak, mohon penjelasan, saya mempunyai NPWP keluarga, yaitu dengan nomor NPWP sama dgn suami, hanya beda di 3 digit terakhir 999. Apakah saya hrs membuat SPT sendiri (terpisah dgn SPT suami) ataukah hanya buat 1 SPT a/n suami lalu penghasilan saya dimasukan dlm penghasilan istri di SPT suami, dengan melampirkan form A1 saya?Saya tunggu jawaban Bapak dan terima kasih atas perhatiannya.
47. Winda Says:
March 5, 2014 at 1:13 pm
Apakah benar dengan berlakunya PP 46 2013, NPWP Istri tidak boleh dihapus dengan ikut pada NPWP suami?
48. EMYasin Says:
March 15, 2014 at 11:45 pm
saya bekerja freelance, dengan penghasilan tidak pasti dan belum punya NPWP. istri sebagai ibu rumah tangga dan penulis yang juga belum punya NPWP. tuk mengambil royalty, penerbit mensyaratkan istri untuk memiliki NPWP. bagaimana baiknya, saya atau istri yang ngurus pembuatan NPWP? terima kasih atas tanggapan dan penjelasannya..
49. Christine Says:
March 26, 2014 at 4:51 am
Siang Pak, Saya Isteri yang bekerja dan mempunyai NPWP sendiri karena kurang wawasan dahulu, sedangkan suami juga mempunyai NPWP pribadi dan Direktur sebuah CV,Apakah dalam pelaporan SPT Pribadi saya, harus menggabungkan Penghasilan Neto suami dan saya terlebih dahulu baru dikurang PTKP K/I/2 padahal sehubungan dengan direktur sebuah CV penghasilan suami tidak dikenakan Pajak lagi …
50. Bayu Says:
February 5, 2015 at 4:52 am
siang pak, saya mau sharing saja.bapak dan ibu saya adalah pensiunan PNS, pada saat ibu mengurus data pensiun di taspen, ibu saya diminta fotocopy kartu NPWP. Ibu saya berikan kartu punya bapak dan kami jelaskan bahwa ibu dan bapak tidak pisah harta sehingga NPWP cuma satu.akan tetapi petugas tetap meminta punya ibu, dan ini memang sudah ketetapan taspen harus punya NPWP. Ibu tetap tidak mau buat NPWP sendiri sehingga akhirnya pensiun ibu kena PPH lebih tinggi karena dianggap tidak punya NPWP.saya punya usul bagaimana kalau istri tetap punya NPWP, akan tetapi nomor sama dengan suami akan tetapi tiga nomor dibelakang beda (seperti NPWP badan pusat dan cabang)ini juga bisa jadi solusi atas pertanyaan jika memiliki lebih dari satu istri dan istri bekerja semua, sehingga NPWP istri sama dengan suami akan tetapi tiga nomor dibelakang dirubah, nomor 001 utk istri pertama dan 002 utk istri kedua dst…
terima kasih