BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP,
LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Beberapa hasil penelitian yang relevan dikaji berkaitan dengan objek penelitian ini, yakni
yang menyangkut bidang morfologi, sintaksis, dan semantik BI. Tujuannya ialah untuk
mendapatkan pemahaman dan signifikansi penelitian ini dengan penelitian yang sejenis, baik
dari temuan-temuan yang telah dicapai, seperti model, metode, konsep maupun teori, yang telah
dipakai pada pelitian BI yang sudah dilakukan, baik dalam bidang fonologi, morfologi, sintaksis,
maupun semantik. Akan tetapi, pada kajian pustaka ini yang dikaji lebih lanjut hanya bidang
morfologi, sintaksis, dan semantik, yakni kajian yang hanya relevan dengan penelitian ini,
terutama penelitian yang terkait dengan derivasi, sistem morfologi, dan sistem pemarkahan
verba.
Penelitian BI di bidang morfologi, sintaksis/morfosintaksis, dan semantik sudah banyak
dilakukan. Berikut adalah beberapa kajian hasil penelitian BI yang sangat erat kaitannya dengan
bidang kajian penelitian desertasi ini, yakni bidang morfologi yang terkait dengan proses derivasi.
Ermanto (2007) dalam kajiannya berjudul Hierarki Afiksasi pada verba Bahasa
Indonesia dari Perspektif Morfologi Derivasi dan Infleksi, temuan dari penelitian tersebut
adalah bahwa pada verba afiksasi BI terdapat lima pola hierarki afiksasi. Pola (I) adalah D +
PROSES INFLEKSI. Pola hierarki afiksasi ini terjadi jika verba AKSI PROSES (Vtransitif)
hanya memiliki satu afik infleksional meN- atau afiks infleksional di-. Sebagai contoh: protes
memprotes, diprotes. Pola (II) adalah (D+PROSES DERIVASI) + PROSES INFLEKSI. Pola
10
hierarki afiksasi ini terjadi jika verba AKSI PROSES (Vtransitif) selain memiliki afiks
infleksional meN- atau afiks infleksional di- juga memiliki afiks derivasional lain, seperti afiks
–kan, -i, per/-kan, per/-i, per-. Sebagai contoh padat padati memadati, dipadati. Pola (III)
adalah (D+PROSES DERIVASI (1) )+PROSES DERIVASI (2)+PROSES INFLEKSI. Hierarki
afiksasi ini terjadi jika verba AKSI PROSES (Vtransitif) selain memiliki afiks infleksional meN-
atau afiks infleksional di- juga memiliki afiks derivasional lain, seperti afiks ber- dan –kan.
Sebagai contoh ajar belajar belajarkan membelajarkan, dibelajarkan. Pola (IV) adalah
(D + PROSES DERIVASI). Hierarki afiksasi ini terdapat pada VKEADAAN, VPROSES,
VPROSES, VAKSI (Vintransitif) yang diturunkan dari DN, DA, DV Keadaan, DV PROSES,
DV AKSI dengan pengimbuhan afiks derivasional meN-, beR-,teR-, ke-/-an, beR-/-an, beR-/-kan.
Sebagai contoh; tetap menetap. Pola (V) adalah D + PROSES INFLEKSI (afiks infleksional
ber-). Pola hierarki afiksasi ini terdapat pada VAKSI atau VKeadaan yang berfitur semantis
aksi mental dengan pengimbuhan afiks infleksional beR-. Sebagai contoh: kerja kerjakan, lari
berlari. Ermanto sudah menjelaskan dengan rinci pembentukan verba derivatif BI serta
mengklasifikasikan semua jenis afiks yang bisa membentuk verba derivatif transitif dan
intransitif BI. Hal yang membedakan analisis yang dilakukan oleh Ermanto dengan yang
dilakukan pada penelitian ini adalah Ermanto mengkaji verba derivatif dengan menggunakan
teori tata bahasa kasus Chafe (1970) dan Fillmoe (1971) dari sudut semantiknya, sedangkan
penelitian ini mengkaji verba derivatif BI dengan menerapkan teori Tipologi. Persamaan dari
kedua penelitian ini terletak pada objek penelitian, yaitu verba derivatif BI. Namun baik kajian,
analisis, maupun tujuan utama dari kedua penelitian ini berbeda.
Verhaar (2006) membedakan pengertian infleksi dan derivasi, yakni infleksi merupakan
perubahan morfemis dengan mempertahankan identitas leksikal dari kata yang bersangkutan,
misalnya dalam bahasa Inggris friend dan friends. Sementara itu derivasi merupakan perubahan
morfemis yang menghasilakan kata dengan identitas morfemis yang lain, misalnya friend
‘teman’(N) dan to be friend ‘berteman’ (V). Tulisan Verhaar dijadikan acuan untuk
membedakan afiks derivasional dan afiks infleksional berdasarkan kategori dan identitas, yakni
Verhaar (2006:144-146) menjelaskan afiks derivasional selalu menyebabkan perubahan kelas
kata, tetapi jika mempertahankan kelas kata, maka afiks tersebut akan mengubah makna.
Subroto (1985) mengkaji derivasi BI dengan penelitiannya berjudul Infleksi dan Derivasi
Kemungkinan Penerapannya dalam Pemerian Morfologi Bahasa Indonesia. Penelitian ini
membahas penerapan morfologi derivasional dan morfologi infleksional bahasa Indonesia.
Derivasi adalah proses pembentukan kata yang menghasilkan leksem baru (menghasilkan kata-
kata yang berbeda dari paradigma yang berbeda); sedangkan infleksi pembentukan kata yang
menghasilkan bentukan kata-kata yang berbeda dengan paradigma yang sama. Sebagai contoh,
verba work, otomatis akan dikenali works, worked, working atau worker → workers. Hal ini
berbeda dengan bentukan derivasional dalam kata do → doer: dan have → *haver. Kata have
secara logika seharusnya dapat ditambahkan dengan sufiks –r/-er karena kata do dan have
memiliki kelas yang sama (do dan have adalah verba) sehingga dapat ditambah dengan sufiks –
r/-er. Namun, aturan do + er ini tidaklah berlaku pada kata kerja have karena secara tata bahasa
tidak berterima. Perbedaan kedua kategori tersebut terkait dengan pembentukan kata secara
derivasional dan infleksional. Dari hasil penelitiannya dinyatakan bahwa (1) pembentukan
derivasi termasuk jenis kata yang sama dengan kata tunggal (dari suatu sistem jenis kata), (2)
afiks derivasional jumlahnya jauh lebih beragam bila dibandingkan dengan afiks infleksional, (3)
afiks derivasional dapat mengubah kelas kata, sedangkan afiks infleksional tidak bisa, (4) afiks
derivasional mempunyai distribusi yang sangat terbatas, sedangkan afiks infleksional
mempunyai distribusi yang luas, dan (5) pembentukan derivasi dapat dijadikan dasar bagi
pembentukan berikutnya, sedangkan pembentukan infleksi tidak bisa. Subroto menjelaskan
dalam tulisannya perbedaan antara pembentukan derivasi dan infleksi, termasuk kategori afiks
yang membedakan dalam pembentukan kedua proses morfologis tersebut. Penelitian Subroto
sangat membantu dan memberi konstribusi yang banyak dalam pembentukan derivasi verba
karena dalam tulisan itu dijelaskan dengan lengkap afiks-afiks derivasional. Sebagai
pengematan awal bahwa verba derivatif BI dapat diturnkan dari prakategorial, adjektiva, nomina,
verba intransitif, dan verba transitif. Pembahasan mengenai bentuk dasar dari verba derivatif
merupakan bagian kajian pada disertasi ini.
Ermanto dan Emidar (2011) meneliti tentang Afiks Derivasi Per-/-An dalam Bahasa
Indonesia Tinjauan dari Perspektif Morfologi Derivasi dan Infleksi. Hasil penelitian mereka
menunjukkan bahwa perspektif morfologi derivasi dan infleksi, pengimbuhan afiks derivasi per-
/-an pada verba (baik verba dasar maupun verba turunan) dan pada nomina dapat menurunkan
(1) nomina perbuatan, (2) nomina tindakan, (3) nomina instrumen, (4) nomina lokatif, (5)
nomina proses, (6) nomina kolektif, dan (7) nomina abstrak. Penelitian keduanya tentang afiks
derivasional tersebut bermanfaat untuk dijadikan sebagai acuan alternatif verba turunan afiks
derivasional per-/-an, baik pada verba (verba dasar maupun verba turunan) maupun alternasi
pada nomina turunan. Dari hasil penelitian ini dijelaskan bahwa pengimbuhan afiks derivasional
per-/-an bisa pada verba (baik verba dasar maupun verba turunan) dan juga bisa pada nomina.
Nomina tersebut perlu dikaji lebih dalam lagi seperti apa alternasi verba turunan yang dihasilkan
dari nomina tersebut.
Ahya (2013:13) menjelaskan proses derivasi, yaitu proses pembentukan kata yang
menghasilkan leksem baru yang menyebabkan perubahan kelas kata. Walaupun tidak mengubah
kelas kata, proses derivasi mengubah makna (mengubah identitas leksikal) untuk merealisasikan
fungsi tertentu.
Parwati (2000) mengkaji di bidang morfologi dengan judul penelitian Makna Verba
Transitif Melalui Afiksasi –kan dan –i. Hasil kajiannya memperlihatkan bahwa makna verba
transitif yang berafiks –kan, yaitu (1) melakukan, (2) menyebabkan (kausatif), (3) menjadikan,
(4) menempatkan, dan (5)makna benefaktif. Sementara itu, makna verba transitif yang berafiks –
i, yaitu (1) menaruh, (2) makna kausatif, (3) lokatif. Penelitian yang dilakukan oleh Parwati
memberi kontribusi pada penelitian ini dalam mengkaji makna kausatif dan aplikatif yang
dihasilkan oleh verba derivatif yang bersufiks -kan dan –i. Kajian Parwati tersebut tidak
membahas bagaimana struktur argumen dan relasi gramatikal pada klausa yang verbanya
berafiks -kan dan –i yang merupakan bagian kajian desertasi ini.
Mirsa (2013) mengkaji tentang Tipologi Perilaku Gramatikal Adjektiva Bahasa
Indonesia. Dalam analisisnya Mirsa mendeskripsikan perilaku verba selain perilaku adjektiva
dan menjabarkan tujuh rumusan kandungan makna yang dimiliki adjektiva BI, yaitu: (1)
spesifikasi nomina (spesifikasi dari suatu properti/benda) yang berfungsi sebagai penguat makna
(specifier/modifier) dan fungsi pemberi atribut (attributive), (2) spesifikasi verba, (3) waktu, (4)
properti/kepemilikan, (5) kecaraan, (6) keadaan, dan (7) kuantitas. Adjektiva jika dilihat dari
perilaku sintaksis bisa berfungsi sebagai predikat dan adverbial dalam kalimat. Fungsi predikatif
dan adverbial tersebut mengacu ke suatu keadaan. Sebagai contoh: (1) Orang itu sakit dan tidak
tertolong lagi, (2) Ia berhasil dengan baik. Sedangkan untuk verba Mirsa mengklasifikasikannya
berdasarkan kepada 5(lima) kandungan makna semantik, yakni: (1) suatu gerakan/perpindahan
atau perbuatan tanpa gerakan/perpindahan (rest), (2) suatu tindakan yang menimbulakn efek
tertentu, (3) suatu aksi yang menyiratkan perbuatan memberi, (4) suatu aksi yang menyiratkan
perhatian, dan (5) suatu perbuatan terkait aktivitas berbicara. Klasisfikasi adjektiva dan verba
tersebut di atas dimanfaatkan sebagai referensi pada waktu menganalisis pembentukkan verba
derivatif yang diderivasi dari bentuk dasar adjektiva dan verba.
Dari hasil penelitian BI pada bidang morfologi kajian derivasi, yakni Ermanto (2007),
Verhaar (2006), Subroto (1985), Ermanto dan Emidar (2011), Parwati (2000), dan Mirsa (2013)
yang sudah dipaparkan di atas, belum ada yang mengkaji tentang verba derivatif BI yang
berfokus pada: (1) kajian pembentukan verba derivatif, (2) menganalisis struktur konstituen pada
verba derivatif transitif bersufiks -kan dan –i, dan (3) relasi gramatikal dalam klausa pada verba
derivatif transitif bersufiks-kan dan –i.
Penelitian BI di bidang sintaksis, di antaranya Sedeng (2011), dalam hal ini, kajian
morfosintaksis dengan menggunakan teori morfologi yang diperkenalkan oleh Katamba dan
teori sintaksis RRG (Van Valid dan La Pola). Dalam tulisannya berjudul Pembentukan Verba
Bersufiks -kan Bahasa Indonesia Struktur Argumen, Struktur Logis. Sedeng menyatakan bahwa:
(i)Verba sufiks -kan dapat diturunkan dari bentuk dasar: prakategorial, adjektiva, verba
intransitif, bi-intransitif, dan monotransitif. Proses morfosintaksis pembentukkan verba bersufiks
-kan pada perubahan fungsi gramatikal mencakup pengklausatifan, pengaplikatifan dengan
makna benefaktif, lokatif, instrumen, dan proses koorporasi; (ii)Verba bersufiks -kan memiliki
struktur argument, seperti mematikan (X,Y) (agen, pasien), membawakan (X,Y,Z) (afektor,
benefaktor, tema), menempelkan (X,Y),(Z) (afektor, tema) (lokatif); (iii)sufiks -kan BI
mengandung makna memberi, mendapatkan, memindahkan posisi, menempatkan,
menyampaikan, perpindahan kepemilikan dan kausatif. Analisis penelitian Sedeng ini sangat
bermanfaat yang menyatakan bahwa sufiks –kan bisa bergabung dengan bentuk dasar terikat,
kata sifat dan kata kerja (transitif dan intransitif). Selain itu, dijelaskan juga bahwa fungsi sufiks
-kan adalah salah satu afiks yang mampu menaikkan valensi verba melalui proses
pengaplikatifan. Penelitian yang dilakukan oleh Sedeng sangat membantu pada waktu dilakukan
kajian tentang makna yang muncul akibat pelekatan afiks -kan pada bentuk dasar karena afiks -
kan ini merupakan pembentuk verba derivatif transitif yang mengakibatkan argumen dan makna
yang muncul dari verba derivatif tersebut berbeda dengan verba dasarnya.
Artawa (1998) yang melakukan kajian di bidang sintaksis dalam tulisannya Bahasa
Indonesia : Sebuah Kajian Tipologi Sintaksis menyatakan bahwa bahasa Indonesia mempunyai
pivot P/S. Konstruksi dengan verba yang berafiks nasal diperlukan apabila P tidak sama dengan
S, sehingga BI merupakan bahasa yang berperilaku sama dengan bahasa yang ergatif secara
sintaktis, karena perilaku argumennya mewujudkan fungsi gramatikal. Artawa menjelaskan juga
BI secara tipologi tidak dapat digolongkan sebagai bahasa yang bertipe ergatif, dengan alasan
bahwa argumen pasien konstruksi nasal tidak dimarkahi seperti relasi oblik. Serta sistem
keterpilahan dalam verba intransitf menunjukkan bahwa BI mempunyai ciri bahasa aktif. Hasil
penelitian Artawa bermanfaat sebagai pijakan untuk memahami dan menerapkan teori tipologi
serta rujukan untuk memudahkan dalam memahami tipologi sintaksis BI yang cenderung bertipe
ergatif dan bertipe bahasa aktif. Hasil penelitian disertasi ini diharapkan juga untuk melengkapi
dan memperjelas kajian yang telah dilakukan.
Setyawati ( 2009) mengkaji Valensi dan Relasi Sintaksis Bahasa Bima dan Yudha
( 2011) meneliti tentang Struktur dan fungsi gramatikal bahasa Lio. Kedua penelitian ini banyak
membahas tentang relasi gramatikal, yakni perilaku dari relasi subjek, objek, oblik, dan adjung.
Dari hasil penelitian BI pada bidang sintaksis yang sudah dipaparkan di atas, Artawa
(1998), Sedeng (2011), Setyawati ( 2009), dan Yudha (2011) belum menyinggung tentang
struktur konstituen dan relasi gramatikal dari verba derivatif yang menjadi kajian utama
penelitian disertasi ini.
2.2 Konsep
Konsep merupakan penjelasan terminologi untuk memberikan informasi teoretis dan
konseptual dalam menyatukan persepsi atau pandangan dan pemahaman yang terkait dengan
istilah teknis linguistik yang dipergunakan dalam penelitian ini. Berikut ini adalah
pemaparannya.
2.2.1 Tipologi Linguistik
Tipologi Linguistik merupakan kajian ilmu bahasa bagaimana bahasa-bahasa di dunia
dikelompokkan berdasarkan ciri-ciri struktur. Pengelompokan bahasa-bahasa ini didasarkan pada
sifat-perilaku (property) yang dimiliki oleh bahasa itu sendiri (Mallinson dan Blake:1981;
Comrie:1983, Artawa : 2000). Kajian tipologi linguistik bersifat deskriptif-alamiah dan lintas
bahasa, Artawa dan Jufrizal (2018:35). Tipologi linguistik sering diindentikkan dengan tipologi
bahasa, sebetulnya ada perbedaan pengertian antara kedua istilah tersebut. Artawa (2005) dalam
orasi ilmialnya menjelaskan bahwa tipologi linguistik merujuk ke teori atau kerangka teori yang
akan dijadikan dasar pengkajian untuk mengelompokkan bahasa-bahasa berdasarkan parameter
tertentu, sedangkan tipologi bahasa merupakan hasil pengkajian berdasarkan teori tipologi
linguistik, pengelompokan bahasa-bahasa yang mempunyai ciri-ciri dan sifat perilaku gramatikal
yang sama.
2.2.2 Klausa
Klausa memiliki struktur dasar dan struktur alternasi atau struktur derivasi versi Teori
Transformasi (Chomsky, 1965). Struktur dasar sangat erat kaitannya dengan istilah klausa dasar.
Dalam hal ini, struktur dasar dipahami sebagai struktur atau konstruksi dasar dari klausa dasar
yang belum mengalami revaluasi struktur. Secara lintas bahasa, struktur dasar klausa terdiri atas
dua unsur, yaitu (1) sebuah argumen inti dan predikat, dan (2) dua atau lebih argumen inti dan
predikat. Sementara itu, struktur alternasi atau struktur derivasi, yaitu struktur yang sudah
mengalami revaluasi. Mekanisme alternasi struktur salah satunya bisa ditandai pada kata kerja BI
dengan kehadiran sufiks -kan atau -i.
Kridalaksana (1993:110) menyatakan bahwa klausa merupakan satuan gramatikal yang
berwujud kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat dan memiliki
potensi untuk menjadi kalimat. Hal ini sejalan dengan pendapat Dixon (2010:6) yang
mengungkapkan bahwa kalimat sederhana adalah kalimat yang hanya terdiri atas satu klausa
yang bisa saja menjadi kalimat kompleks dengan melibatkan beberapa klausa. Di dalamnya bisa
saja ada klausa induk dan klausa subordinasi, digabung untuk membentuk kalimat kompleks
dengan konjugasi yang bisa menunjukkan alasan, rangkaian temporal, dan lain-lain.
Katamba (1993: 257-258) membagi klausa menjadi dua, yakni (1) klausa intransitif, dan
(2) klausa transitif. Klausa intransitif adalah klausa yang memiliki predikat satu-tempat (one-
place predicates), maksudnya verba intransitif hanya memerlukan satu argumen. Klausa transitif
adalah klausa dengan predikat dua-tempat (two-place predicates), maksudnya verba transitif
menuntut hadirnya dua argumen. Selain itu, ada jenis ketiga verba ditransitif, yaitu verba tiga-
tempat (three-place predicates), verba ditransif menuntut hadirnya tiga argumen.
2.2.3 Predikasi
Jufrizal (2012: 99) menjelaskan istilah predikasi, yaitu konstruksi dalam bentuk klausa
(kalimat sederhana) yang terdiri atas predikat dan argumen. Secara lintas bahasa wujud optimal
sebuah klausa terdiri atas unsur-unsur yang mempredikati (predicating elements) dan unsur-
unsur yang bukan mempredikati (non-predicating elements). Bangun (konstruksi) klausa
optimal dapat dilihat pada table di bawah ini:
Tabel 2.1
Struktur Klausa
+ Argumen Bukan Argumen
Sumber Van Valin Jr. dan Lapolla , (2002: 25)
2.2.4 Verba Intransitif
Verba intransitif adalah verba yang memerlukan satu argumen inti (S). Sebagai contoh:
datang, pergi, dll., Artawa dan Jufrizal (2018:107). Verba intransitif tidak menurunkan bentukan
berlawanan aktif dan pasif. Alieva dkk. (1991) menjelaskan bahwa dalam subkelas verba
intransitif terdapat derivatif, yaitu (1) verba tunggal, (2) verba berprefik ber-, ber-kan, (3) verba
berprefik me-, (4) verba berprefik ter-, (5) verba ke-an, dan (6) verba berprefik se-.
2.2.5 Verba Transitif
Verba transitif adalah verba yang memerlukan dua argumen inti (A dan O). Sebagai
contoh: pukul, tusuk dll., Artawa dan Jufrizal (2018:107). Verba transitif mempunyai bentukan
berlawanan aktif dan pasif. Artawa dan Jufrizal membedakan verba transitif dengan istilah
verba ditransitif dan ambitransitif. Verba ditransitif adalah verba yang memerlukan tiga argumen
inti ( A, O dan E (Extended) ). Sebagai contoh: membawakan, menunjukkan, dll. Serta yang
dimaksud verba ambitransitif adalah verba yang bisa memerlukan dua argumen A dan O atau
satu argumen S. Sebagai contoh: makan, minum, dll. Alieva dkk. (1991) menjelaskan bahwa
dasar-dasar kata turunan dari verba transitif dibangun menurut model sebagai berikut: (1)
morfem akar + sufiks –kan, (2) morfem akar + sufiks –i, (3) morfem akar + prefiks per-, dan
Predikat
(4) morfem akar + konfiks per-kan atau per-i. Sedeng (2010) membagi verba transitif menjadi
dua, yakni (1) ekatransitif, dan (2) dwitransitif.
2.2.6 Derivasi
Katamba (2008:92-100) menjelaskan konsep derivasi dan infleksi sebagai berikut.
Infleksi berkaitan dengan kaidah-kaidah sintaksis yang dapat diramalkan (predictable), otomatis
(automatic), sistematik, bersifat konsisten. Sementara itu, derivasi lebih bersifat tidak bisa
diramalkan berdasarkan kaidah sintaksis, bersifat opsional atau sporadik.
Subroto (1985:2) menjelaskan tentang derivasi bahwa (1) pembentukan derivasi termasuk
jenis kata yang sama dengan kata tunggal (dari suatu sistem jenis kata); (2) secara statistik, afiks
derivasional jumlahnya lebih beragam bila dibandingkan dengan afiks infleksional; (3)
afiks-afiks derivasional dapat mengubah jenis kata, sedangkan afiks-afiks infleksional tidak bisa;
(4) afiks-afiks derivasional mempunyai distribusi yang terbatas, sedangkan afiks infleksional
mempunyai distribusi yang luas; dan (5) pembentukan derivasi dapat dijadikan dasar bagi
pembentukan berikutnya, sedangkan pembentukan infleksi tidak bisa.
Verhaar (2006:144-146) menjelaskan bahwa afiks derivasional selalu menyebabkan
perubahan kelas kata, tetapi jika mempertahankan kelas kata, maka akan mengubah identitas
leksikal. Yang dimaksud dengan identitas leksikal adalah adanya suatu ciri kausatif atau
benefaktif pada verba turunan yang tidak ditemukan dalam bentuk dasarnya/sebelumnya.
Sebagai contoh: verba berangkat dan melihat menjadi verba derivatif memberangkatkan dan
memperlihatkan. Pada verba derivatif memberangkatkan mempunyai makna kausatif yang tidak
nampak pada verba sebelumnya berangkat, begitupun verba derivatif memperlihatkan
mempunyai makna benefaktif yang tidak nampak pada verba sebelumnya melihat. Tafsiran ini
oleh Verhaar dinamakan derivasional, karena dasarnya adalah leksikal bukan gramatikal.
Ermanto (2008:26) menjelaskan ada empat tipe afiks derivasional, yakni (1) Featural
derivation (derivasi vitur), (2) functional derivation (derivasi fungsi), (3) transposition
(tranposisi), dan (4) expresive derivation (derivasi ekpresi). Sementara itu Akhmad Saugi Ahya
(2013:13), proses derivasi yaitu proses pembentukan kata yang menghasilkan leksem baru yang
menyebabkan perubahan kelas kata. Walaupun tidak mengubah kelas kata, proses derivasi
mengubah makna.
Kroeger (2004:253) menjelaskan kriteria dan ciri spesifik dari proses derivasi, yaitu (1)
kategori sering terjadi perubahan, (2) tidak paradigmatik, (3) produktivitas terbatas dan
bervariasi (khusus secara leksikal), (4) tipe makna sering leksikal, (5) jenis makna sering tidak
terprediksi (konvensional), dan (6) terbatas dan spesifik. Berikut ini contoh derivasi dalam
bahasa Malaysia untuk membedakan derivasi yang mengubah kelas kata dengan derivasi yang
tidak mengubah kelas kata, yaitu:
(1) change in category with no change in meaning
Root Derived Formbaik kebaikan,cantik kecantikan,lahir kelahiran.
Ketiga contoh bentuk derivatif kebaikan, kecantikan dan kelahiran mengalami
perubahan kelas kata dari bentuk asalnya, yakni nomina kebaikan diderivasi dari adjektiva baik,
nomina kecantikan diderivasi dari adjektiva cantik, dan nomina kelahiran diderivasi dari verba
lahir, akan tetapi tidak merubah makna.
(2) change in category with change in meaning : nominalization dan verbalizer
Root Derived Formtulis penulisbantu pembantugali penggalimalas pemalas
besar membesarkuning menguning
Berbeda dengan ketiga contoh pada poin (1), keenam contoh bentuk derivatif penulis,
pembantu, penggali, pemalas, membesar, menguning mengalami perubahan kelas kata dari
bentuk asalnya serta mengalami perubahan makna, yakni nomina penulis, pembantu, penggali
dan pemalas masing-masing diderivasi dari verba tulis, verba bantu, verba gali dan adjektiva
malas. Perubahan ini dinamakan nominalization, sedangkan verba membesar dan menguning
diderivasi dari adjektiva besar dan kuning dinamakan verbalizer. Pembahasan pada Bab 5
pembentukan verba derivatif BI, derivasi dibagi atas dua macam, yakni derivasi secara
morfologis dan derivasi secara sintaktis. Derivasi secara morfologis, yaitu pembentukan kata
yang ada bentuk asal dan bentuk turunannya, sedangkan derivasi secara sintaktis bentuk
turunannya adalah struktur lain.
2.2.7 Struktur Argumen
Argumen merupakan unsur sintaksik dan semantis yang diperlukan oleh verba. Argumen
verba tersebut ada yang berfungsi sebagai argumen inti (core) dan argumen non inti (non core)
yang diberi istilah oblik. Secara umum, ada tiga klasifikasi verba dalam menetapkan argumennya,
yaitu (i) verba berargumen satu, (ii) verba berargumen dua, dan (iii) verba berargumen tiga.
Sejalan dengan pendapat Katamba (1993: 257-258) verba sebagai pengisi predikat dalam klausa
dibedakan atas one-place predicates, two-place predicates, dan three-place predicates. Verba
berargumen satu mengisyaratkan bahwa kalimat tersebut intransitif, yaitu kalimat yang hanya
terdiri atas sebuah argumen inti dan sebuah predikat, yakni satu-satunya argumen inti pada
klausa intransitif tersebut secara fungsional merupakan S (S=argumen subjek intransitif).
Sementara itu, verba berargumen dua atau tiga mengisyaratkan bahwa kalimat tersebut
merupakan kalimat transitif, yakni kalimat yang terdiri atas dua atau lebih argumen inti dan
sebuah predikat. Sehubungan dengan pernyataan di atas, Palmer (1994) dan Alsina (1996)
mengungkapkan bahwa struktur argumen adalah hubungan atau kesatuan yang terbentuk antara
satu unit predikat dan unsur-unsur atau fungsi-fungsi gramatikal yang menyertai argumen untuk
mewujudkan kalimat tunggal dasar-utuh, baik melalui ikatan gramatikal maupun semantis.
2.2.8 Kausatif dan Aplikatif
Comrie (1983) menyatakan bahwa kontruksi kausatif menyangkut dua event, yaitu (i) the
causing event ‘kejadian penyebab’, maksudnya suatu kejadian ketika penyebab menyebabkan
atau memberikan inisiatif kepada orang lain untuk melakukan sesuatu sehingga kejadian lain
terjadi, dan (ii) the caused event (suatu keadaan yang dihasilkan karena suatu sebab), yakni
sesuatu/orang yang dikenai perlakuan itu mengalami pergantian kondisi atau keadaan sebagai
akibat dari aksi/perbuatan yang dilakukan oleh causer. Lyons (1995) menjelaskan bahwa
konstruksi kausatif terbentuk karena proses penaikan valensi verba sehingga verba intransitif
dapat menjadi transitif dan verba transitif dapat menjadi bitransitif.
Aplikatif adalah konstruksi yang di dalam strukturnya mengandung argumen seperti goal,
benefaktif, atau instrumental yang dimarkahi dengan kasus oblik, preposisi atau posposisi
menjadi objek langsung derivatif (Spencer, 1993). Benefaktif adalah konstruksi yang di
dalamnya mengandung konsep melakukan sesuatu untuk orang lain, dan orang lain merasakan
keuntungan (Iwasaki, 1999), atau sesuatu yang menerima manfaat (keuntungan), Artawa dan
Jufrizal (2018:55), contoh: Kue ini dibuat untuk adik bungsu kami.
2.2.9 Relasi Gramatikal
Semua relasi yang sintagmatis dalam gramatika, khususnya relasi yang bersifat sintaktis
tergolong dalam relasi gramatikal. Dalam Tata Bahasa Relasional ada tiga relasi gramatikal yang
murni, yaitu Subjek, Objek langsung, dan Objek Tidak Langsung. Di samping itu, ada relasi
yang bersifat semantis, seperti lokatif, benefaktif, instrumental yang secara kolektif disebut relasi
oblik ( Blake,1991; Palmer, 1994; Matthew, 1997; Artawa, 2000; Djunaidi, 2000). Selain relasi
gramatikal ada istilah fungsi gramatikal, yakni fungsi yang menunjukkan relasi argumen
terhadap verba dalam suatu klausa. Fungsi gramatikal meliputi: Subjek, Objek Langsung, Objek
Tak Langsung, dan Oblik (Blake, 1991; Palmer, 1994). Pada umumnya, Subjek adalah agen atau
pengalam, Objek Langsung adalah pasien, Objek Tak Langsung adalah penerima. Sementara itu,
oblik adalah relasi lain, seperti lokatif, benefaktif, dan instrument (Blake: 1990). Dalam
pandangan tipologi, subjek adalah satu-satunya frasa nominal yang menjadi argumen inti pada
kalimat intransitif dan subjek adalah frasa nominal yang menduduki posisi tertinggi pada
hierarki fungsi gramatikal pada kalimat transitif (Blake, 1990). Objek adalah fungsi gramatikal
selain subjek yang diduduki oleh frasa nominal sebagai argumen inti. Objek merupakan fungsi
gramatikal yang wajib hadir pada klausa transitif (Dixon, 1994). Oblik atau relasi oblik
merupakan relasi gramatikal selain relasi gramatikal utama yang meliputi subjek dan objek.
Artawa (2004) menjelaskan bahwa oblik merupakan relasi gramatikal yang bersifat semantis.
2.2.10 Peran Semantik
Peran semantik adalah peran-peran atau fungsi-fungsi sintaksis yang didasarkan atas
perilaku semantis. Dalam hal ini agen dan pasien merupakan dua peran gramatikal yang utama.
Tiga peran lainnya yang mengikuti agen dan pasien adalah lokatif, benefaktif, instrumental
( Blake,1991; Artawa, 2000).
2.2.11 Kelas Kata
Pada bagian ini dijelaskan konsep sifat dan perilaku dari kelas kata (word class; part of
speech) nomina, adjektiva, prekategorial, dan verba sebagai bentuk dasar dari verba derivatif
yang menjadi bahasan utama pada subbab 5.2, dengan tujuan sebagai rujukan supaya ada
pemahaman dan persepsi yang sama terhadap istilah keempat kelas kata tersebut.
Penjelasan mengenai kelas kata sampai sekarang masih menjadi masalah dalam analisis
bahasa, tetapi diakui bahwa setiap bahasa mempunyai kelas kata yang sifat dan perilaku yang
berbeda, baik semantik maupun sintaktis dari masing-masing kelas kata bahasa yang ada di dunia.
Sebagai contoh, dalam BI ditemukan frasa di rumah, besar sekali, tetapi tidak ditemukan *rumah
sekali dan *di besar. Dalam bahasa Jepang ditemukan frase totemo oishii ‘sangat enak’, tidak
ada yang mengatakan *totemo gakusei ‘sangat siswa’, frase amari kirei ja arimasen ‘tidak
begitu cantik’, tidak ditemukan frase *amari gakusei ja arimasen ‘tidak begitu siswa’. Dari
contoh-contoh tersebut, dapat dijelaskan bahwa kata rumah tidak bisa disambung dengan
adverbial sekali, *rumah sekali, atau *di besar. Jadi dalam BI adverbial sekali dapat memberi
keterangan pada adjektiva besar sekali; preposisi di hanya dapat bergabung dengan nomina
rumah. Begitupun dalam bahasa lain, misalnya dalam bahasa Jepang, adverbial totemo ‘sangat’
hanya bisa bergabung dengan adjektiva, contoh totemo oishii ‘ sangat enak’, tidak ditemukan
totemo gakusei, karena gakusei ‘siswa’, tergolong nomina; adverbial amari juga hanya bisa
bergabung dengan adjektiva, contoh amari kirei ja arimasen ‘tidak begitu cantik’, dan tidak
ditemukan *amari gakusei ja arimasen, karena gakusei ‘siswa’ tergolong nomina. Berdasarkan
beberapa contoh frasa tersebut, dapat dikatakan bahwa sistem suatu bahasa bisa dianalisis, salah
satunya adalah melalui kelas kata. Hal lain yang perlu dicermati bahwa untuk pengelompokan
kelas kata sering terjadi ketumpahtindihan antara nomina, adjektiva tidak kecuali verba.
Meskipun demikian pengelompokan kelas kata nomina, adjektiva dan verba dapat diambil
benang merahnya yaitu, verba adalah kategori yang selalu merujuk pada suatu aksi, perbuatan
atau tindakan apapun makna semantisnya, sedangkan adjektiva selalu merujuk pada pemberian
spesifikasi atau kekhususan suatu benda apapun makna semantisnya. Adapun nomina akan selalu
merujuk pada pelaku perbuatan dan atau objek apapun kandungan makna semantisnya.
Sifat dan perilaku keempat bentuk dasar verba derivatif nomina, adjektiva, prakategorial dan
verba dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Definisi Nomina
Kategori nomina mudah dikenali dari kemampuannya menjadi pelaku dari aksi atau
perbuatan yang dilakukan oleh verba. Sejalan dengan pendapat Givon (1984:56, 63), ciri yang
dimiliki oleh nomina, yaitu sebagai entitas yang bernyawa, konkret, temporal, dan bersifat
human. Selain itu, nomina mempunyai ciri secara sintaktis, yakni nomina dapat mengisi fungsi
dan atau peran Subjek/Agen, Objek/Pasien, datif/resipien, benefaktif, lokatif, waktu, cara, dan
instrumen. Properti lain yang dimiliki nomina (yang melabeli nomina) (Aleva:117, 212), yaitu
(1) nomina tidak dapat diingkarkan kata tidak, melainkan dengan kata bukan. Sebagai contoh:
Ayah saya bukan guru; (2) nomina dapat berangkai dengan kata bilangan: beberapa, sebuah,
seorang, banyak yang fungsinya serupa dengan artikel tak tentu ‘indefinite article’. Sebagai
contoh: seorang guru, sebuah apel, beberapa siswa; (3) Nomina bisa ditandai dengan properti
kata tunjuk pronomina demonstratif berupa atribut pronominal ini, itu. Sebagai contoh: Kota itu
besar sekali, tempat ini sudah ada orang; (4) nomina dapat berangkai dengan dengan preposisi
(ke, di, dari dan seterusnya); (5) nomina dapat berangkai dengan pronominal personal (termasuk
enklitik) : saya, -ku, -mu, -nya yang berfungsi sebagai atribut posesif Sebagai contoh: Pakaian
saya ini tidak mahal, anakku, suratmu, kopernya. 6) nomina umumnya dapat dikuti oleh adjektif,
baik secara langsung maupun dengan diantarai oleh kata yang, Alwi dkk. (2003:213). Sebagai
contoh: buku baru, buku yang baru.
2) Definisi Adjektiva
Secara lintas bahasa, adjektiva mudah dikenali sebagai kategori leksikon dari analisis
tataran kalimat, karena hanya adjektiva satu-satunya kategori yang dapat mengandung makna
semantis tertentu yang spesifik yang tidak dimiliki oleh kategori lain, sehingga mudah dikenali.
Ciri spesifik yang dimaksud yakni adjektiva secara semantis adalah memberikan keterangan
yang lebih khusus tentang sesuatu yang dinyatakan oleh nomina dalam kalimat yang berfungsi
sebagai atribut.
Dixon (2010:62) menjelaskan bahwa pada sejumlah bahasa, konsep semantis adjektiva
ditemukan dengan merujuk pada: (i) menyatakan ciri khusus dari suatu properti/benda; (ii)
menyatakan makna semantis perbandingan sifat subjek dalam konstruksi komparatif; (iii)
menyatakan kekhususan/sifat khusus suatu perbuatan yang tersirat pada verba tertentu, dan (iv)
menyatakan makna semantis keterangan waktu sekarang (present) yang menerangkan waktu
terjadinya suatu kejadian.
Menurut Givon, ciri adjektiva adalah memiliki pasangan antonim, seperti good/bad,
long/shor, tall/short, fat/thin. Alwi dkk. (2003:171--173), menjabarkan kandungan makna
adjektiva BI ke dalam 3 (tiga) rumusan, yaitu (1) menyatakan kekhususan benda, (2) menyatakan
perbandingan, dan (3) menyatakan properti khusus. Untuk menyatakan perbedaan tingkatan
digunakan sangat dan agak, sedangkan untuk menyatakan perbedaan dalam membandingkan dua
hal atau lebih dinyatakan dengan lebih dan paling.
Berikut ini bagan pewatas adjektiva dan distribusi yang menyatakan tingkat kualitas.
Tabel 2.2
Distribusi Pewatas Adjektiva
terlaluterlampaukelewat
sungguh
amat
maha-
sangat adjektiva amatsekalibenarbetulsungguh
samasekali
tidaktidaktidak
adjektiva sama sekalisedikit jugasedikit pun
Sebagai contoh pemakaian distribusi pewatas adjektiva, yaitu (1) terlalu amat kaya, (2) amat
sangat membosankan, (3) tidak benar sama sekali, dan (4) sungguh maha besar.
3) Definisi Prakategorial (Dasar Terikat)
Bentuk dasar terikat (berikutnya menggunakan istilah prakategorial) adalah suatu bentuk
yang belum dapat berdiri sendiri, karena kategori sintaksis dan maknanya baru dapat ditentukan
setelah diberi afiks. Jadi sebetulnya setiap kata dalam bahasa apapun mengandung fitur-fitur
semantik yang secara universal melekat pada kata tersebut, termasuk kategori prekategorial pun
mempunyai fitur semantik yang mengandung makna, hanya prekategorial harus diberi dulu afiks,
baru mempunyai makna. Contoh: juang, alir, kena, serah, ledak, dan seterusnya.
4) Definisi Verba
Verba atau yang dikenal dengan kata kerja bisa dikenali dari ciri-cirinya dengan
mengamati, yaitu (1) perilaku semantis, (2) perilaku sintaksis, dan (3) bentuk morfologi. Secara
semantis verba mudah dikenali, karena hanya verba yang mengandung makna semantis suatu
tindakan atau perbuatan atau suatu aksi. Selan itu secara inheren perilaku semantis verba
mengandung makna proses dan keadaan. Verhaar (1996) mengklasifikasi verba utama, yaitu
aksi, keadaan dan proses. Verba aksi merupakan situasi dinamik yang menetapkan bahwa
partisipan dalam konteks ini melakukan suatu perbuatan, seperti verba makan, berkokok,
bernyanyi. Adapun verba keadaan/situasi merupakan statis, non dinamik yang mencakup lokasi
partisipan, seperti verba berada, mencintai, suka. Sedangkan verba proses adalah situasi yang
berkaitan dengan perubahan dan mengambil kurun waktu tertentu, seperti perubahan tempat, di
antaranya verba jatuh, mendidih, belajar, dan memintal. Sementara verba statif adalah
sejumlah verba yang mengandung makna keadaan emosi manusia seperti marah, sedih, kesal.
Verba-verba tersebut apabila muncul sebagai pengisi predikat dalam kalimat, maka menuntut
hadirnya komplemen dan lainnya sebagai partisipan. Jelasnya bahwa perilaku sintaksis dari
verba sebagai pengisi predikat menuntut hadirnya fungsi subjek, objek, komplemen atau oblik,
tergantung dari jenis verba tersebut apakah verba berargumen satu, dua atau tiga.
Properti lain yang dimiliki oleh semantis verba, yakni (1) pada umumnya tidak dapat
bergabung dengan kata-kata yang menyatakan makna kesangatan. Sebagai contoh: tidak
ditemukan *agak belajar, *sangat pergi, *bekerja sekali; (2) Tetapi verba sering
berdampingan aspek dengan modalitas yang ditandai dengan properti : harus, akan, dapat, bisa,
boleh, suka, ingin, mau; (3) Verba perbuatan dapat dipakai dalam bentuk perintah, ( Alwi: 8).
Sebagai contoh larilah!; dan (4) verba keadaan tidak dapat ditandai afiks ter- (afiks ini yang
membedakan dengan adjektiva yang sangat mirip verba. Sebagai contoh verba suka tidak bisa
menjadi *tersuka. Tetapi adjektiva dingin, sulit dapat diberikan afisk ter- menjadi terdingin,
tersulit.
2.3 Landasan Teori
Teori utama yang dipakai untuk menganalisis verba derivatif BI adalah Teori Tipologi
Linguistik. Kajian yang mendasar dari Tipologi linguistik adalah data alami dan sistem struktur
bahasa alami. Prinsip-prinsip kajiannya deskriptif serta bentuk kajiannya memenangkan data
menjadi alur dasar pengkajian tipologi linguistik. Dengan demikian kajian tipologi linguistik
menghendaki lahirnya pendeskripsian bahasa sebagaimana adanya dan membuat penjelasan serta
penafsiran ilmiah berdasarkan data dan informasi yang lazim adanya dalam satu bahasa. Selain
itu kajian tipologi linguistik juga bisa berbentuk kajian perbandingan lintas bahasa untuk
penipologian bahasa. Dari pernyataan di atas, Artawa dan Jufrizal (2018:35) menyimpulkan
bahwa kajian tipologi linguistik adalah bersifat deskriptif-alamiah dan lintas bahasa.
Tipologi linguistik pada dasarnya mengarah kepada kelompok teori yang dikemukakan
oleh para ahli, seperti tipologi tata urutan kata (Greenberg), tipologi linguistik Mallinson dan
Blake, tipologi linguistik Comrie, tipologi linguistik Dixon, dan yang lainnya. Pernyataan
Comrie (1988) tipologi linguistik adalah untuk mengelompokkan bahasa-bahasa berdasarkan
sifat- perilaku struktural bahasa tersebut.
Dalam penelitian ini teori tipologi linguistik dipakai untuk mendeskripsikan secara
alamiah dan lintas bahasa pembentukan verba derivatif BI dilihat dari perspektif tipologi. Tahap
berikutnya dikaji dari struktur argumen dan relasi gramatikalnya. Teori Tipologi linguistik ini
dipakai selain mempunyai tujuan pokoknya untuk menjawab pertanyaan seperti apa bahasa X itu,
juga dapat menjelaskan bahwa 1) semua bahasa dapat dibandingkan berdasarkan strukturnya dan
2) ada perbedaan di antara bahasa-bahasa yang ada, Comrie (1988) ; Artawa (1988).
Karena berupa kajian tipologi, maka penelitian ini dalam analisisnya menghendaki
adanya pembanding. Adapun bahasa yang akan dibandingkan adalah bahasa Jepang (BJp),
dengan alasan karena BI dan BJp mempunyai proses morfologis yang sama yakni melalui
afiksasi. Dalam BJp pun dikenal verba derivatif yaitu verba yang dibentuk dengan cara
menambahkan sufiks derivasi pada bentuk dasar yaitu adjektiva dan nomina verba.
2.4 Model Penelitian
Untuk memudahkan dalam memahami pembahasan serta alur analisis penelitian verba
derivatif BI, berikut akan dijelaskan dengan langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian
i n i . P e n e l i t i a n d i m u l a i d e n g a n m e m p e r s i a p k a n d a t a t e k s , y a i t u n o v e l .
Data novel tersebut di-scan dan dipindahkan dalam bentuk word dengan menggunakan Program
Omni Page. Hasil data tersebut dikumpulkan menjadi satu dalam database. Tahap selanjutnya
adalah pengolahan data dengan memasukkan database ke dalam Program Korpus yang siap
dioperasikan yaitu pertama membuka perintah (file.dir) untuk mencari serta mengumpulkan data
dengan cara mengetik afiks derivasi yang ingin dicari, sebagai contoh mengetik sufiks –kan
dalam kolom search, kemudian tekan start untuk memulai pencarian data. Program korpus
sebagai penyedia data, akan menampilan semua verba yang bersufiks -kan di layar komputer,
dan dilanjutkan menyimpan data verba derivatif bersufiks –kan tersebut berikut klausanya ke
dalam file yang terpisah. Begitu pula untuk afiks-afiks derivasional yang lainnya, yakni -i,
meng-, per-, per-, ber-, ter-, dan seterusnya. Data verba derivatif yang sudah tersimpan di file
terpisah akan diolah berdasarkan tiga masalah yang diajukan. Pertama, pengelompokan data
dilakukan berdasarkan bentuk dasar/asal dari verba derivatif, dilanjutkan dengan pengelompokan
afiks yang dapat bergabung dengan bentuk dasar tersebut. Kedua, pengklasifikasian verba
derivatif transitif bersufiks –kan dan –i, yang berargumen dua atau tiga. Pengelompokan ini
dilakukan untuk memudahkan analisis argumen dari verba derivatif tersebut. Ketiga analisis
dilakukan atas relasi gramatikal klausa verba derivatif transitif bersufiks -kan dan –i.
Langkah-langkah penelitian tersebut dapat digambarkan pada diagram model penelitian
sebagai berikut.
Gambar 2.1 Model Penelitian
DATA
METODEKORPUS
BAHASA INDONESIA
TEMUAN
TEORI :
TIPOLOGILINGUISTIK
RELASI GRAMATIKALVERBA DERIVATIFTRANSITIF :SUFIKS –kan / i
SISTEM PEMBENTUKANVERBA DERIVATIF
STRUKTUR KONSTITUENVERBA DERIVATIFTRANSITIF :SUFIKS –kan / i
METODE :
AGIH
Recommended