55
BAB III
PENGATURAN GOOD MANUFACTURING PRACTICES DI INDONESIA
A. Tinjauan Umum Good Manufacturing Practices
1. Pengertian Good Manufacturing Practices
Faktor keamanan pangan berkaitan dengan tercemar tidaknya pangan oleh
cemaran mikrobiologis, logam berat, dan bahan kimia yang membahayakan
kesehatan.124
Untuk dapat memproduksi pangan yang bermutu baik dan aman bagi
kesehatan, tidak cukup hanya mengandalkan pengujian akhir di laboratorium saja,
tetapi juga diperlukan adanya penerapan sistem jaminan mutu dan sistem
manajemen lingkungan, atau penerapan sistem produksi pangan yang baik Good
Manufacturing Practices (GMP) dan penerapan analisis bahaya dan titik kendali
kritis atau Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP).125
Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) atau Good Manufacturing
Practices (GMP) adalah suatu pedoman cara berproduksi makanan yang bertujuan
agar produsen memenuhi persyaratan–persyaratan yang telah ditentukan untuk
menghasilkan produk makanan bermutu dan sesuai dengan tuntutan konsumen.126
Dengan menerapkan CPMB diharapkan produsen pangan dapat menghasilkan
produk makanan yang bermutu, aman dikonsumsi dan sesuai dengan tuntutan
konsumen, bukan hanya konsumen lokal tetapi juga konsumen global.127
124 Aufa Aulia Kanza, Sukma Chaedir Umar, “Mutu, Gizi, dan Keamanan Pangan”
https://www.academia.edu/12468426/Buku_Mutu_Gizi_dan_Keamanan_Pangan (diakses pada
tanggal 26 April 2016).
125 Ibid.
126 Ibid.
127 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
56
Pengertian GMP berdasarkan Permentan 20/2010 Pasal 1 angka 8 tentang
Sistem Jaminan Mutu Pangan Hasil Pertanian adalah sebagai berikut:
“Good Manufacturing Practices (GMP) adalah suatu pedoman yang
menjelaskan cara Pengolahan Hasil Pertanian yang Baik agar
menghasilkan pangan bermutu, aman, dan layak dikonsumsi.”128
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2008
(“Permentan 38/2008”), GMP merupakan standar yang wajib digunakan dalam
suatu unit usaha pangan asal tumbuhan karena merupakan pre-requisite
(persyaratan dasar) yang berkaitan dengan sistem keamanan pangan.129
Sedangkan Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (P2HP)
mendefinisikan GMP sebagai cara produksi atau pengolahan yang baik, yang
mencakup ketentuan/pedoman/prosedur mengenai lokasi, bangunan, ruang dan
sarana pabrik, proses pengolahan, peralatan pengolahan, penyimpanan dan
distribusi produk olahan, kebersihan dan kesehatan pekerja, serta penanganan
limbah dan pengelolaan lingkungan.130
Kondisi ini diupayakan untuk mencegah
terjadinya kontaminasi silang baik dari sisi kimia, fisika, maupun mikrobiologi,
serta menjamin konsistensi produk baik dari segi keamanan, mutu, maupun
manfaatnya. Dengan kata lain, GMP merupakan suatu alat untuk menghasilkan
produk yang aman, bermutu, dan bermanfaat.131
128 Indonesia (Sistem Jaminan Mutu Pangan Hasil Pertanian), Op. Cit., Pasal 1 angka 8.
129 Indrie Ambarsari, Sarjana, “Kajian Penerapan Gmp (Good Manufacturing Practices)
Pada Industri Puree Jambu Biji Merah Di Kabupaten Banjarnegara1”, (Makalah disampaikan
dalam Gelar Teknologi dan Seminar Nasional Teknik Pertanian 2008, Jurusan Teknik Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Yogyakarta, 18-19 November 2008), hal. 2.
130 Ibid.
131 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
57
2. Manfaat dan Tujuan Good Manufacturing Practices
GMP berisi penjelasan-penjelasan tentang persyaratan minimum dan
pengolahan umum yang harus dipenuhi dalam penanganan bahan pangan di
seluruh mata rantai pengolahan dari mulai bahan baku sampai produk akhir.
Adanya penerapan GMP dalam industri pangan yang meliputi tahap
perencanaan.132
Pelaksanaan, perbaikan dan pemeliharaan maka perusahaan dapat
memberikan jaminan produk pangan yang bermutu dan aman dikonsumsi yang
nantinya akan meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap produk pangan dan
unit usaha tersebut akan berkembang semakin pesat.133
Pedoman penerapan GMP ini berguna bagi pemerintah sebagai dasar
untuk mendorong dan menganjurkan industri pangan untuk menerapkan cara
produksi pangan yang baik dalam rangka :134
a) Melindungi konsumen dari penyakit atau kerugian yang diakibatkan oleh
pangan yang tidak memenuhi persyaratan;
b) Memberikan jaminan kepada konsumen bahwa pangan yang dikonsumsi
merupakan pangan yang layak;
c) Mempertahankan atau meningkatkan kepercayaan terhadap pangan yang
diperdagangkan secarainternasional; dan
132 Afifah Na’im K, “Good Manufacturing Practices (GMP) dalam Industri Pangan”
https://www.academia.edu/15785422/MAKALAH_Good_Manufacturing_Practices_GMP_Dalam
_Industri_Pangan_Afifah_Naim_K_H3113016_Desy_Retno_Wulan_H3113028_Ega_Sulistyonin
grum_H3113034 (diakses pada tanggal 25 April 2016).
133 Ibid.
134 Triningsih Herlinawati, Op. Cit., hal. 17
Universitas Sumatera Utara
58
d) Memberikan bahan acuan dalam program pendidikan kesehatan di bidang
pangan kepada industri dan konsumen.
Sedang bagi industri pangan sebagai acuan dalam menerapkan praktek
cara produksi pangan yang baik dalam rangka :135
a) Memproduksi dan menyediakan pangan yang aman dan layak bagi
konsumen;
b) Memberikan informasi yang jelas dan mudah dimengerti kepada
masyarakat, misalnya dengan pelabelan dan pemberian petunjuk mengenai
cara penyimpanan dan penyediaannya, sehingga masyarakat dapat
melindungi pangan terhadap kemungkinan terjadinya kontaminasi dan
kerusakan pangan, yaitu dengan cara penyimpanan, penanganan dan
penyiapan yang baik; dan
c) Mempertahankan atau meningkatkan kepercayaan dunia internasional
terhadap pangan yang diproduksinya.
Adapun manfaat dari penerapan GMP adalah sebagai berikut:136
a) Menjamin kualitas dan keamanan pangan.
b) Meningkatkan kepercayaan dalam keamanan produk dan prouksi.
c) Mengurangi kerugian dan pemborosan.
d) Menjamin efisiensi penerapan HACCP.
e) Memenuhi persyaratan peraturan/ spesifikasi/sandar.
f) Meningkatkan image dan kompetensi perusahaan/organisasi..
135 Triningsih Herlinawati, Op. Cit., hal. 43.
136 Afifah Na’im K, Op. Cit.
Universitas Sumatera Utara
59
g) Meningkatkan kesempatan perusahaan/organisasi untuk memasuki pasar
global melalui produk/kemasan yang bebas bahan beracun (kimia, fisika
dan biologi)
h) Meningkatkan wawasan dan pengetahuan terhadap produk.
i) Menjadi pendukung dari penerapan sistem manajemen mutu.
Tujuan penerapan GMP adalah menghasilkan produk akhir pangan yang
bermutu, aman dikonsumsi, dan sesuai dengan selera atau tuntutan konsumen,
baik konsumen domestik maupun internasional.137
Sedangkan tujuan khusus
penerapan GMP adalah:138
a) Memberikan prinsip-prinsip dasar yang penting dalam produksi pangan
yang dapat diterapkan sepanjang rantai pangan mulai dari produksi primer
sampai konsumen akhir, untuk menjamin bahwa pangan yang diproduksi
aman dan layak untuk dikonsumsi;
b) Mengarahkan industri agar dapat memenuhi berbagai persyaratan
produksi, seperti persyaratan lokasi, bangunan dan fasilitas, peralatan
produksi, bahan, proses, mutu produk akhir, serta persyaratan
penyimpanan dan distribusi; dan
c) Mengarahkan pendekatan dan penerapan sistem HACCP sebagai suatu
cara untuk meningkatkan keamanan pangan.
137 Triningsih Herlinawati, Op. Cit.
138 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
60
Berdasarkan Permentan 35/2008, tujuan yang ingin dicapai dari penerapan
cara pengolahan hasil pertanian yang baik adalah untuk :139
a) Meningkatkan daya saing produk olahan hasil pertanian;
b) Meningkatkan mutu produk olahan yang dihasilkan secara konsisten
sehingga aman dikonsumsi masyarakat;
c) Meningkatkan efisiensi usaha pengolahan hasil pertanian di tingkat
petani/Gabungan Kelompok Tani/pelaku usaha yang bermitra dengan
petani; dan
d) Menciptakan unit pengolahan yang ramah lingkungan.
B. Perkembangan Good Manufacturing Practices
1. Sejarah Good Manufacturing Practices
GMP adalah kebijakan, prosedur dan metode yang ditetapkan oleh
perusahan sebagai pegangan, seperti yang bergerak di bidang pangan, untuk
melaksanakan program keamanan pangan dengan baik.140
Dapat dikatakan bahwa
GMP adalah dasar untuk melaksanakan program keamanan pangan yang baik.
Awal terbentuknya GMP adalah berdasarkan praktik-praktik kerja terbaik yang
dilakukan industri. Karena teknologi dan praktik berubah, GMP berubah pula.141
GMP untuk pengolahan pangan di AS tercantum di dalam Seksi 21 dari
Kode Peraturan Federal, bagian 110 (21 CFR 110) yang secara umum
139 Indonesia (Persyaratan Dan Penerapan Cara Pengolahan Hasil Pertanian Asal
Tumbuhan Yang Baik (Good Manufacturing Practices) ), Peraturan Menteri Pertanian tentang
Persyaratan Dan Penerapan Cara Pengolahan Hasil Pertanian Asal Tumbuhan Yang Baik (Good
Manufacturing Practices), Permentan No. 35 Tahun 2008.
140 I Made S. Utama, Op. Cit., hal. 1.
141 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
61
menggambarkan kebutuhan pengaturan untuk personel dan manajemen (personel
dan manajemen yang terlatih baik), bangunan dan fasilitas yang dirancang dengan
baik, terpelihara dan bersih, Standard operating procedures (SOPs) tertulis, serta
adanya unit mutu yang independent (seperti Unit Kendali dan/atau jaminan mutu).
GMPs untuk produk veterinary di AS diatur dalam 21 CFR 210-211, dan produk
untuk kebutuhan medis diatur dalam 21 CFR 820.142
Istilah GMP di dunia industri pangan khususnya di Indonesia telah
diperkenalkan oleh Departemen Kesehatan RI sejak tahun 1978 melalui Surat
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 23/MEN.KES/SKJI/1978 tentang
Pedoman Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB).143
Persyaratan GMP
sendiri merupakan regulasi atau peraturan sistem mutu (Quality System
Regulation) yang diumumkan secara resmi dalam Peraturan Pemerintah Federral
Amerika Serikat No. 520 (Section 520 of Food, Drug and Cosmetics (FD&C)
Act). Peraturan sistem mutu ini termuat dalam Title 21 Part 820 of the Code of
Federal Regulation), (21CFR820), tahun 1970 dan telah direvisi tahun 1980.144
Di
Indonesia, GMP dikenal dengan istilah Cara Produksi Makanan yang Baik
(CPMB) yang diwujudkan dalam peraturan pemerintah.145
Penerapan GMP atau CPMB akan dapat membantu jajaran manajemen
untuk membangun suatu sistem jaminan mutu yang baik.146
Jaminan mutu sendiri
tidak hanya berkaitan dengan masalah pemeriksaan (inspection) dan pengendalian
142
Ibid..
143 Good Manufacturing Practices, http://www.docfoc.com/good-manufacturing-
practicesdocx (diakses pada tanggal 16 Juni 2016).
144 Ibid.
145 Ibid.
146 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
62
(control) namun juga menetapkan standar mutu produk yang sudah harus
dilaksanakan sejak tahap perancagan produk (product design) sampai produk
tersebut didistribusikan kepada konsumen.147
Seiring dengan berlakunya UU Pangan, maka penerapan standar mutu
untuk produk pangan dan mutu di dalam proses produksi telah menjadi suatu
kewajiban (mandatory) yang harus dijalankan oleh para produsen
pangan.148
Dalam UU Pangan, Bab II tentang Keamanan Pangan secara tegas
telah diatur bahwa produsen produk pangan harus mampu untuk memenuhi
berbagai persyaratan produksi sehingga dapat memberikan jaminan dihasilkannya
produk pangan yang aman dan bermutu bagi konsumen.149
Hal ini menjadi
penting karena akan berdampak pada keselamatan konsumen pribadi dan
keselamatan masyarakat umum dan juga penting bagi produsen, terutama untuk
melindungi pasarnya dan terpeliharanya kepercayaan konsumen dan target
penjualan/keuntungan yang ingin dicapai.150
Jaminan mutu bukan hanya menyangkut masalah metode tetapi juga
merupakan sikap tindakan pencegahan terjadinya kesalahan dengan cara bertindak
tepat sedini mungkin oleh setiap orang baik yang berada di dalam maupun di luar
bidang produksi.151
Penerapan jaminan mutu pangan harus di dukung oleh
penerapan GMP dan HACCP sebagai sistem pengganti prosedur inspeksi
tradisional yang mendeteksi adanya cacat dan bahaya dalam suatu produk pangan
147 Ibid.
148 Ananda Gagan, “Good Manufacturing Practices (Gmp) Of Food Industry Cara
Produksi Makanan Yang Baik (Cpmb)”, http://anandagagan.blogspot.co.id/2010/03/good-
manufacturing-practices-gmp-of.html, diakses pada tanggal 16 Juni 2016.
149 Ibid.
150 Ibid.
151 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
63
setelah produk selesai diproses.152
GMP menetapkan Kriteria (istilah umum,
persyaratan bangunan dan fasilitas lain, peralatan serta kontrol terhadap proses
produksi dan proses pengolahan)153
, Stándar (Spesifikasi bahan baku dan produk,
komposisi produk) dan Kondisi (parameter proses pengolahan) untuk
menghasilkan produk mutu yang baik. Sedangkan Hazard Analysis Critical
Control Points (HACCP) memfokuskan perhatian terhadap masalah pengawasan
dan pengendalian keamanan pangan melalui identifikasi, analisis dan pemantauan
terhadap titik-titik kritis pada keseluruhan bahan yang digunakan dan tahapan
proses pengolahan yang dicurigai akan dapat menimbulkan bahaya bagi
konsumen.154
C. Penerapan Good Manufacturing Practices Di Indonesia
Pada dasarnya semua industri yang terkait dengan makanan, obat-obatan,
kosmetik, pakan ternak wajib menerapkan sejak prabrik didirikan dan proses
produksi pertama dilakukan, karena penerapan GMP merupakan persyaratan dasar
bagi industri tersebut beroperasi.155
Namun karena rata-rata industri di Indonesia
bermula dari UKM, yang kemudian berkembang menjadi industri besar dengan
tingkat pengetahuan GMP yang terbatas sehingga acap kali penerapannya di
abaikan.156
Baru setelah ada tuntutan oleh pelanggan untuk sertifikasi GMP atau
152 Ibid.
153 Ibid.
154 Ibid.
155 Afifah Na’im K, Op. Cit.
156 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
64
standar lainnya seperti ISO 22000, HACCP, BRC, IFS, dan SQF baru GMP
tersebut diterapkan.157
Cakupan secara umum dari penerapan pedoman cara produksi pangan
yang baik untuk industri rumah tangga (CPPB-IRT) berdasarkan Surat Keputusan
Kepala Badan POM RI Nomor : HK. 00.05.5.1639 tahun 2003 yang diperbaharui
dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik
Indonesia Nomor HK.03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012 adalah sebagai berikut:158
1. Lokasi dan lingkungan produksi
Untuk menetapkan lokasi industri perlu dipertimbangkan keadaan dan
kondisi lingkungan yang mungkin dapat merupakan sumber pencemaran
potensial dan telah mempertimbangkan berbagai tindakan pencegahan
yang mungkin dapat dilakukan untuk melindungi pangan yang
diproduksinya.
2. Bangunan dan Fasilitas
Bangunan dan fasilitas industri dapat menjamin bahwa pangan selama
dalam proses produksi tidak tercemar oleh bahaya fisik, biologis dan
kimia serta mudah dibersihkan dan disanitasi.
3. Peralatan produksi
Tata letak kelengkapan ruang produksi diatur agar tidak terjadi
kontaminasi silang. Peralatan produksi yang kontak langsung dengan
pangan seharusnya didesain, dikonstruksi dan diletakkan sedemikian
untuk menjamin mutu dan keamanan pangan yang dihasilkan.
157 Ibid.
158 Triningsih Herlinawati, Op. Cit., hal. 44-46.
Universitas Sumatera Utara
65
4. Suplai air atau sarana penyediaan air
Air yang digunakan selama proses produksi harus cukup dan memenuhi
persyaratan kualitas air bersih dan atau air minum.
5. Fasilitas dan kegiatan higiene dan sanitasi
Fasilitas dan kegiatan higiene dan sanitasi diperlukan untuk menjamin
agar bangunan dan peralatan selalu dalam keadaan bersih dan mencegah
terjadinya kontaminasi silang dari karyawan.
6. Kesehatan dan higiene karyawan
Kesehatan dan hygiene karyawan yang baik dapat menjamin bahwa
pekerja yang kontak langsung maupun tidak langsung dengan pangan
tidak menjadi sumber pencemaran.
7. Pemeliharaan dan program hygiene sanitasi karyawan
Pemeliharaan dan program sanitasi terhadap fasilitas produksi
(bangunan, mesin/ peralatan, pengendalian hama, penanganan limbah
dan lainnya) dilakukan secara berkala untuk menjamin terhindarnya
kontaminasi silang terhadap pangan yang diolah.
8. Penyimpanan
Penyimpanan bahan yang digunakan dalam proses produksi (bahan
baku, bahan penolong, BTP) dan produk akhir dilakukan dengan baik
sehingga tidak mengakibatkan penurunan mutu dan keamanan pangan.
Universitas Sumatera Utara
66
9. Pengendalian proses
Untuk menghasilkan produk yang bermutu dan aman, proses produksi
harus dikendalikan dengan benar. Pengendalian proses produksi pangan
industri rumah tangga dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a) Penetapan spesifikasi bahan baku;
b) Penetapan komposisi dan formulasi bahan;
c) Penetapan cara produksi yang baku;
d) Penetapan jenis, ukuran, dan spesifikasi kemasan;
e) Penetapan keterangan lengkap tentang produk yang akan dihasilkan
termasuk nama produk, tanggal produksi, tanggal kadaluarsa.
10. Pelabelan pangan
Label pangan harus jelas dan informatif agar memudahkan konsumen
memilih, menyimpan, mengolah dan mengkonsumsi pangan. Kode
produksi pangan diperlukan untuk penarikan produk, jika diperlukan.
11. Pengawasan oleh penangungjawab pangan
Seorang penanggung jawab diperlukan untuk mengawasi seluruh tahap
proses produksi serta pengendaliannya untuk menjamin dihasilkannya
produk pangan yang bermutu dan aman.
12. Penarikan produk
Penarikan produk pangan adalah tindakan menghentikan peredaran
pangan karena diduga sebagai penyebab timbulnya penyakit atau
keracunan pangan. Tujuannya adalah mencegah timbulnya korban yang
Universitas Sumatera Utara
67
lebih banyak karena mengkonsumsi pangan yang membahayakan
kesehatan.
13. Pencatatan dan dokumentasi
Pencatatan dan dokumentasiyang baikdiperlukan untuk memudahkan
penelusuran masalah yang berkaitan dengan proses produksi.
14. Pelatihan karyawan
Pimpinan dan karyawan harus mempunyai pengetahuan dasar mengenai
prinsip–prinsip dan praktek higiene dan sanitasi pangan serta proses
pengolahan pangan yang ditanganinya agar dapat memproduksi pangan
yang bermutu dan aman.
Di Amerika Serikat terdapat Badan Pengawas Obat dan Makanan atau
“Food and Drug Administration” (FDA) . FDA adalah badan yang
bertugasmengatur makanan, suplemenmakanan, obat-obatan, produk biofarmasi,
transfusi darah, piranti medis, piranti untuk terapi dengan radiasi, produk
kedokteran hewan, dan kosmetik. FDA sebagai badan pemerintahan memiliki
kekuasaan publik untuk menerapkan suatu peraturan atau menjatuhkan sanksi.
Salah satu peraturan FDA adalah mengenai penerapan GMP.159
Merurut peraturan FDA, empat aspek yang tercakup dalam GMP adalah
perlengkapan umum, bangunan dan fasilitas, peralatan, serta pengendalian
159 Badan Pengawasan Obat dan Makanan di Amerika Serikat,
https://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Pengawas_Obat_dan_Makanan_Amerika_Serikat , diakses
pada tanggal 2 September 2016.
Universitas Sumatera Utara
68
produksi dan proses. Pemaparan penerapan GMP menurut FDA selanjutnya
berdasarkan urutan berikut :160
1. Perlengkapan Umum
a) Operasi sanitasi
1) Pemeliharaan umum
Bangunan, peralatan dan fasilitas fisik lainnya harus dipelihara
dan dirawat sehingga selalu dalam kondisi saniter. Dengan
demikian peralatan tidak menjadi sumber pencemaran.
2) Bahan pembersih dan sanitasi
Sanitasi alat dan bahan yang digunakan dalam pembersihan atau
sanitasi harus bebas dari mikroorganisme yang tidak diinginkan
dan harus aman jika digunakan. Bahan pembersih harus
dilengkapi dengan jaminan supplier atau tes laboratorium. Bahan
sanitasi dan pestisida yang bersifat toksik harus diberi tanda
pengenal, disimpan di tempat yang baik sehingga tidak
menyebabkan kontaminasi terhadap produk maupun permukaan
yang bersentuhan dengan produk.
3) Pengendalian hama
Pengendalian hama harus dilakukan dengan baik agar mencegah
kontaminasi silang ke dalam produk.
4) Penyimpanan dan penanganan alat-alat pembersih yang dapat
dipindahkan (portable)
160 Chindarwani, Op. Cit., hal. 38-42.
Universitas Sumatera Utara
69
Peralatan portable harus disimpan di tempat yang terlindung dari
kontaminasi.
b) Sanitasi Pekerja
1) Pemeriksaan kesehatan
Setiap pekerja harus menjalani tes kesehatan, karena pekerja
dengan luka terbuka, infeksi maupun penyakit dapat
menyebabkan kontaminasi mikrobiologi. Pekerja yang sakit juga
harus melaporkan kondisi kesehatannya kepada pengawas
(supervisor).
2) Kebersihan
Setiap pekerja yang bersentuhan dengan produk pangan dan
bahan pengemas harus memakai pakaian pelindung sehingga
tidak menyebabkan kontaminasi.
3) Pelatihan dan pembinaan
Pekerja yang bersentuhan dengan produk pangan harus memiliki
tanggung jawab dan kesadaran akan kebersihan, kesehatan,
kondisi saniter dan keamanan produk pangan. Mereka harus
mendapatkan pelatihan dan pembinaan tentang prinsip sanitasi
pekerja.
Universitas Sumatera Utara
70
2. Bangunan dan Fasillitas161
a) Lingkungan pabrik
Peralatan di pabrik harus didesain dengan rapih. Kotoran dan sampah
harus dibuang. Rumput liar di sekitar bangunan harus dipotong karena
dapat menjadi sarang hama. Jalan, pekarangan dan area parkir harus
dipelihara sehingga tidak menjadi sumber pencemaran di dalam area
pengolahan. Pabrik harus memiliki fasilitas saluran pembuangan yang
cukup untuk mengaliran sampah. Sistem penanganan sampah dan limbah
harus dilaksanakan dengan baik sehingga tidak terjadi kontaminasi dari
sampah.
b) Konstruksi dan desain lokasi
Kontruksi dan rancang bangun diperlukan untuk membatasi masuk,
berkembang biak, dan menyebarnya bahan pencemar di lingkungan sekitar
makanan yang diproduksi. Lantai, dinding dan langit-langit dibangun
sedemikian rupa sehingga mudah dibersihkan dan dirawat. Sumber
penerangan harus cukup tersedia di area mencuci tangan, ruang ganti,
toilet, area pengolahan produk, area pengujian produk dan tempat
pembersihan peralatan. Lampu harus memiliki penutup yang tidak mudah
pecah. Fasilitas pertukaran udara yang cukup (lubang ventilai, kipas angin,
blower) untuk mencegah kondensasi uap air dan bau yang dapat
mencemari produk pangan.
161 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
71
c) Fasilitas toilet
Toilet harus dibersihkan dan selalu dalam kondisi saniter. Toilet harus
diperbaiki jika mengalami kerusakan. Pintu toilet harus dapat menutup
sendiri. Pintu toilet tidak boleh membuka ke area pengolahan pangan.
d) Fasilitas ruang ganti karyawan
Ruang ganti karyawan adalah ruang yang memisahkan area pengolahan
pangan dengan lingkungan di luar area pengolahan pangan. Ruang ganti
berfungsi sebagai filter atau penyaring setiap jenis bahaya yang terbawa
oleh karyawan, seperti bakteri patogen, spora bakteri, serangga, tikus dan
sebagainya. Oleh karena itu, kondisi ruang ganti harus selalu bersih,
terang, tidak lembab, dilengkapi dengan perangkap tikus dan alat
pembunuh serangga.
e) Fasilitas mencuci tangan
Fasilitas cuci tangan terdiri dari air, sabun, sanitizer, dan pengering tangan
yang dapat digunakan setiap saat. Setiap karyawan harus dapat mencuci
tangan dengan baik. Untuk mencapai tujuan tersebut,diperlukan petunjuk
tertulis cara mencuci tangan yang mudah dipahami pekerja. Kran air
didesain sedemikian rupa sehingga tidak mengkontaminasi tangan yang
sudah bersih. Pekerja harus mencuci tangan sebelum bekerja, setelah
keluar dari area lain dan melanjutkan produksi, maupun saat tangan
terkontaminasi.
Universitas Sumatera Utara
72
f) Sampah dan pembuangan limbah
Sampah dan kotoran limbah harus dialirkan, dikumpulkan dan dibuang
sebelum menimbulkan bau dan berpotensi menjadi penyebab kontaminasi
silang.
g) Penyediaan air
Air yang digunakan untuk pengolahan harus tersedia dalam jumlah yang
cukup dan diperoleh dari sumber yang bersih. Air harus aman dan saniter.
h) Pipa-pipa saluran air
Pipa air harus memiliki ukuran dan desain yang baik dan dipasang dengan
baik sehingga dapat mengalirkan air dengan jumlah yang cukup untuk
seluruh keperluan pengolahan dan sanitasi. Pipa limbah harus dapat
dilewati oleh limbah dari seluruh pabrik. Saluran limbah tidak
mencemarkan produk, saluran air bersih dan peralatan. Tidak terjadi aliran
silang antara pipa yang mengalirkan air bersih dan pipa yang mengalirkan
air limbah.
3. Peralatan dan Perlengkapan162
Peralatan dan perlengkapan harus didesain sesuai dengan proses produksi dan
kondisi pekerja. Peralatan harus mudah dibersihkan dan tidak menyebabkan
kontaminasi bahan berbahaya. Peralatan sebaiknya terbuat dari bahan yang
tidak beracun dan tahan korosi. Sambungan pada permukaan yang
bersentuhan dengan produk harus rapat dan halus, bersih dan bebas dari
162 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
73
akumulasi sisa produk maupun kotoran yang memungkinkan tumbuhnya
mikroorganisme.
4. Pengendalian Proses163
a) Bahan baku dan bahan lainnya
Bahan baku maupun bahan tambahan harus diperiksa dan ditangani
dengan baik. Bahan baku harus bersih dan disimpan di tempat yang baik
sehingga tidak rusak dan terkontaminasi kotoran. Bahan harus bebas dari
mikroorganisme pada tingkat yang aman, tidak bersifat toksik dan tidak
menimbulkan penyakit. Bahan harus bebas dari aflatoksin dan senyawa
toksik berbahaya sesuai ketentuan FDA. Bahan baku cair dan kering
diterima dan disimpan dengan baik sehingga tidak terjadi kontaminasi.
b) Proses Produksi
Peralatan produksi harus selalu bersih dan saniter. Semua tahap produksi,
termasuk pengemasan dan penyimpanan harus dilakukan dengan
pengawasan petugas. Pengawasan proses sterilisasi, iradiasi, pasteurisasi,
pembekuan, refrigerasi, pengendalian pH dan aw harus cukup dilakukan.
Proses diharapkan dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang
tidak diinginkan maupun mikroba patogen. Kontaminasi tidak boleh
terjadi sepanjang proses produksi mekanik seperti pencucian, pengupasan,
pemotongan, sortasi dan sebagainya. Pengujian suhu produk harus
dilakukan selama proses berlangsung. Pengujian pH pada produk dengan
kadar asam rendah (pH < 4.6) harus dilakukan untuk mencegah
163 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
74
pertumbuhan mikroorganisme patogen. Area dan peralatan produksi tidak
boleh digunakan untuk kegiatan produksi bahan nonpangan
(nonfoodgrade) untuk mencegah timbulnya kontaminasi.
c) Penyimpanan dan distribusi
Kontaminasi produk oleh benda fisik, senyawa kimia maupun
mikrobiologi tidak boleh terjadi selama proses penyimpanan dan
distribusi.
Sedangkan dalam Permentan 35/2008, ruang lingkup persyaratan dan
penerapan cara pengolahan hasil pertanian asal tumbuhan yang baik (GMP)
meliputi prasarana dan sarana; proses produksi; penyimpanan; keamanan dan
keselamatan kerja serta pengelolaan lingkungan; kesehatan dan kebersihan
pekerja; pengawasan, pencatatan dan penelusuran balik; sertifikat; dan
pembinaan :164
1. Prasarana dan Sarana
a) Lokasi
b) Bangunan (Unit Prosessing)
c) Fasilitas Sanitasi
d) Gudang
e) Mesin dan Peralatan
f) Pemeliharaan Bangunan dan Sarana Kerja
164 Indonesia (Persyaratan Dan Penerapan Cara Pengolahan Hasil Pertanian Asal
Tumbuhan Yang Baik (Good Manufacturing Practices) ), Op. Cit.
Universitas Sumatera Utara
75
2. Proses Produksi
a) Penyiapan Bahan
b) Proses Pengolahan
c) Pengemasan
3. Penyimpanan
a) Penyimpanan bahan baku dan bahan tambahan.
b) Penyimpanan Produk Olahan
4. Keamanan Dan Keselamatan Kerja Serta Pengelolaan Lingkungan
a) Keamanan dan Keselamatan Kerja
b) Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan
5. Kesehatan dan Kebersihan Pekerja
a) Kesehatan Pekerja
b) Kebersihan Pekerja
6. Pengawasan, Pencatatan, dan Penelusuran Balik
a) Sistem Pengawasan dan Pencatatan
b) Penelusuran Balik
Melihat beberapa penerapan GMP baik di Indonesia atau pun negara lain
seperti Amerika dapat dilihat bahwa penerapan ini hampir sama di tiap negaranya.
GMP untuk pengolahan pangan di Amerika secara umum menggambarkan
kebutuhan pengaturan untuk personil dan manajemen (personel dan manajemen
yang terlatih baik), bangunan dan fasilitas yang dirancang dengan baik, terpelihara
dan bersih. Hampir sama halnya dengan GMP di Indonesia yang merupakan
Universitas Sumatera Utara
76
serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memproduksi suatu produk olahan
antara lain mencakup lokasi, bangunan, ruang dan sarana pabrik, proses
pengolahan, peralatan pengolahan, penyimpanan dan distribusi produk olahan,
kebersihan dan kesehatan pekerja, serta penanganan limbah dan pengolahan
lingkungan.
Bila merujuk pada dua peraturan diatas yakni peraturan FDA tentang
penerapan GMP di Amerika dan Permentan 35/08 tentang penerapan GMP di
Indonesia maka dapat dilihat bahwa kedua hampir sama dalam menerapkan GMP
di negaranya masing masing. Namun terdapat perbedaan antara kedua penerapan
ini yakni penerapan GMP di Indonesia tidak hanya sampai pada penyimpanan dan
distribusi saja tapi di tahap selanjutnya ada pengawasan, pencatatan, dan
penelusuran balik. Dalam permentan dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
pengawasan, pencatatan, dan penelusuran balik adalah bahwa penerapan GMP
harus diawasi baik secara internal oleh pelaku usaha dan secara eksternal oleh
instansi terkait yang setiap dilakukannya pengawasan maka hasilnya di
dokumentasikan dengan melakukan pencatatan kemudian akan dilakukan
penelusuran balik terhadap produk yang diproduksi pelaku usaha. Sedangkan di
Amerika penerapan GMP hanya sampai pada proses distribusi dari produk pangan
yang dihasilkan.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pengaturan GMP di Indonesia
pertama kali diperkenalkan dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
23/MEN.KES/SKJI/1978 tentang Pedoman Cara Produksi Makanan yang Baik
(CPMB). Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) atau Good Manufacturing
Universitas Sumatera Utara
77
Practices (GMP) adalah suatu pedoman cara berproduksi makanan yang bertujuan
agar produsen memenuhi persyaratan–persyaratan yang telah ditentukan untuk
menghasilkan produk makanan bermutu dan sesuai dengan tuntutan konsumen.
Dalam bidang pangan hasil pertanian pengaturan mengenai GMP sendiri
diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Permentan 20/2010 yang menyebutkan bahwa
GMP adalah syarat dasar dalam menjaga keamanan mutu pangan. Kemudian
mengenai penerapan dari GMP ini diatur dalam peraturan lainnya yakni
Permentan 35/2008.
Universitas Sumatera Utara
78
BAB IV
PENERAPAN GOOD MANUFACTURING PRACTICES (GMP) SEBAGAI
BENTUK KEAMANAN MUTU PANGAN HASIL PERTANIAN
DALAM RANGKA PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Standardisasi Mutu Pangan di Indonesia
Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000
tentang Standardisasi Nasional, “standar” adalah:
“Spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan
metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait
dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan,
lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk
memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.”165
Menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000
tentang Standardisasi Nasional, yang dimaksud sebagai “standardisasi” adalah:
“Proses merumuskan, menetapkan, menerapkan dan merevisi standar,
yang dilaksanakan secara tertib dan bekerjasama dengan semua pihak.” 166
Standardisasi diperlukan dalam rangka mendukung peningkatan
produktivitas, daya guna produksi, mutu barang, jasa, proses, sistem dan atau
personel, yang dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing, perlindungan
konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja dan masyarakat khususnya di bidang
165 Indonesia (Standardisasi Nasional), Peraturan Pemerintah tentang Standardisasi
Nasional, PP No. 102 Tahun 2000, LN Nomor 42 Tahun 1999, TLN Nomor 3821, Pasal 1 angka
1.
166 Ibid, Pasal 1 angka 2.
Universitas Sumatera Utara
79
keselamatan, keamanan, kesehatan dan lingkungan hidup.167
Dalam era
globalisasi, dimana Indonesia juga telah ikut serta dalam persetujuan
pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization), tentu
saja masalah standardisasi menjadi syarat pokok yang harus disepakati bersama,
agar terjadi suatu kepastian terhadap kualitas produk barang/jasa yang akan
diperdagangkan antar negara.168
Standardisasi mempunyai tujuan untuk memberikan perlindungan kepada
konsumen, tenaga kerja dan masyarakat, mewujudkan jaminan mutu produk
dan/atau jasa serta meningkatkan efisiensi dan produktivitas usaha untuk
mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan mentap dan tercapainya
persaingan yang sehat dalam perdagangan serta menunjang kelestarian lingkungan
hidup.169
Dengan demikian, standardisasi harus dapat mendorong para konsumen
untuk meningkatkan mutu dan daya saing produksinya, baik untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri dan tercapainya persaingan yang
sehat dan perdagangan yang menunjang kelestarian lingkungan hidup.170
Di berbagai negara di dunia hingga saat ini sudah sangat banyak standar
produk yang digunakan dan telah diakui keakuratannya, sehingga disepakati untuk
dijadikan standar kualitas produk yang dapat diterima oleh berbagai negara
167 Pemanfaatan Standar Nasional Indonesia (SNI) Dalam Peningkatan Mutu Produk
Perkebunan, http://disbun.jabarprov.go.id/index.php/artikel/detailartikel/59 (diakses pada tanggal 2
Juli 2016 ).
168 Ibid.
169 Endang Sri Wahyuni, Aspek Hukum Sertifikasi dan Keterkaitannya dengan
Perlindungan Konsumen, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 103.
170 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
80
melalui mekanisme perdagangan dunia.171
Standar yang berlaku di sebuah negara
sering disebut standar nasional, dikeluarkan oleh badan standar masing-masing
negara. Contoh di Amerika oleh American National Standards Institute (ANSI),
di Jerman oleh Deutsches Institute fur Normung (DIN), dan di Inggris oleh British
Standard Instiutute (BSI) dll.172
Dalam hal ini tentu saja masing-masing negara
juga telah memiliki standar produk sesuai dengan kebutuhannya. Adapun di
Indonesia telah ada apa yang disebut Standar Nasional Indonesia (SNI), yaitu
standar acuan berbagai produk yang dihasilkan di Indonesia, yang ditetapkan oleh
Badan Standardisasi Nasional dan berlaku secara nasional.173
Sistem standarisasi
mutu memuat kebijakan mutu, standarisasi mutu oleh instansi, cara pengendalian
mutu, cara analisa dan jaminan mutu.174
Dengan demikian standarisasi mutu yang
jelas harus mempunyai spesifikasi tertentu sebagai tolak ukur kesesuaian. Definisi
standarisasi mutu memiliki 6 kata kunci, yaitu :175
spesifikasi teknis (ada
persyaratan dan dapat dikerjakan); didokumentasikan oleh instansi (bukan
perorangan);
a) kerjasama dan konsesus dengan berbagai pihak;
b) konsultasi teknis/IPTEK;
c) pengalaman;
171 Pemanfaatan Standar Nasional Indonesia (SNI) Dalam Peningkatan Mutu Produk
Perkebunan, Loc. Cit.
172 Sulistyo Basuki, Standard dan Standardisasi : Sebuah Pengantar Sangat Singkat,
https://sulistyobasuki.wordpress.com/2013/10/23/standard-dan-standardisasi-sebuah-pengantar-sangat-singkat/, (diakses
pada tanggal 2 september 2016).
173 Pemanfaatan Standar Nasional Indonesia (SNI) Dalam Peningkatan Mutu Produk
Perkebunan, Loc. Cit.
174 Stella Darmadi, Tinjauan Aspek Mutu Dalam Kegiatan Industri Pangan,
https://www.scribd.com/doc/27853638/TINJAUAN-ASPEK-MUTU-DALAM-KEGIATAN-
INDUSTRI-PANGAN (diakses pada tanggal 26 Juni 2016).
175 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
81
d) serta manfaat/relevansi di masyarakat.
Standarisasi mutu dapat dilakukan oleh pemerintah dan perusahaan
(berkaitan dengan bisnis). Mutu baku dibagi menjadi tiga, yaitu :176
a) Mutu baku pemerintah, mutu baku pemerintah terbagi lagi menjadi dua,
yaitu sukarela (voluntary), dan wajib (mandatory, obligatory).
b) Mutu baku perusahaan, mutu baku perusahaan terbagi menjadi mutu yang
terkait dengan merek, terkait dengan kelas mutu dan konstelasi kelas mutu.
c) mutu baku laboratorium/prototipe.
Unsur-unsur pembakuan atau standarisasi adalah standarisasi persyaratan
mutu, standarisasi analisa mutu, standarisasi interpretasi hasil analisa, standarisasi
pengambilan contoh dan standarisasi kelembagaan.177
Standarisasi mutu nasional adalah standarisasi yang dibuat oleh
pemerintah pusat dan dilaksanakan secara sektoral atau oleh departemen-
departemen.178
Untuk produk pangan yang melakukan standarisasi mutu nasional
adalah Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian dan Perdagangan dan
Badan POM yang dikoordinasi oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN). Tahap
pengembangan mutu terbagi menjadi tahap pemilihan komoditas, pengumpulan
data teknis, penyusunan konsep, pertemuan teknis, forum konsensus, penetapan
standar, pengenalan standar, evaluasi standar, penyempurnaan standar, dan
penerapan standar.179
Format standar mutuny terdiri dari nama standar mutu,
176 Ibid.
177 Ibid.
178 Ibid.
179 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
82
ruang lingkup, definisi produk, syarat mutu, cara sampling, dan cara uji atau
analisa.180
Setiap produk mempunyai kekhasan dan identitas masing-masing serta
cenderung beragam. Ketidakseragaman produk tidak disukai oleh konsumen. Oleh
karena itu mutu produk dikendalikan dengan disyaratkan agar produk memberi
ciri mutu dan mempunyai sifat seragam.181
Ciri suatu industri modern adalah
produk yang seragam karena adanya pengendalian proses. Pengendalian
prosesnya dilakukan oleh bagian produksi bersama dengan bagian Quality
Control.182
Pengendalian proses bertujuan menekan keragaman ini ke suatu nilai yang
dapat diterima baik secara teknis maupun ekonomis. Kegiatan yang dilakukan
dalam pengendalian proses adalah: analisis faktor yang menyebabkan keragaman,
mencari penyebab keragaman, melakukan tindakan koreksi proses, memonitor
dan mengevaluasi mutu secara terus menerus.183
Kegunaan pengendalian proses
adalah untuk mengenali penyebab keragaman mutu, memberi peringatan dini
kesalahan proses, serta menetapkan waktu yang tepat untuk koreksi kesalahan.184
Standardisasi mutu di bidang pertanian diberlakukan berdasarkan
Peraturan MenterI Pertanian Nomor 58 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Sistem
Standardisasi Nasional Di Bidang Pertanian, bahwa Sistem Standardisasi Nasional
180 Ibid.
181 Ibid.
182 Ibid.
183 Ibid. 184 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
83
di bidang Pertanian yang selanjutnya disebut Sistem Standardisasi Pertanian
(SSP) dalam Pasal 1 angkan 1 adalah:
“Tatanan jaringan sarana dan kegiatan standardisasi yang serasi, selaras
dan terpadu serta berwawasan nasional di bidang pertanian, yang
meliputi penelitian dan pengembangan standardisasi, perumusan standar,
penetapan standar, pemberlakuan standar, penerapan standar, persiapan
akreditasi, verifikasi, sertifikasi, pembinaan dan pengawasan
standardisasi, kerjasama, informasi dan dokumentasi, pemasyarakatan,
serta pendidikan dan pelatihan standardisasi.”185
Standar bidang pertanian adalah Standar Nasional Indonesia yang
diartikan sebagai Persyaratan Teknis Minimal (PTM). Berdasarkan Pasal 1 angka
5 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 58 Tahun 2007, PTM adalah:
“Batasan terendah dari spesifiksasi teknis atau sesuatu yang dibakukan
termasuk tatacara dan metoda yang disusun berdasarkan konsensus
semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syaratsyarat
keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, dan/atau
pertimbangan ekonomis, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang
akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesrbesarnya yang
ditetapkan oleh Menteri Pertanian.”186
Standardisasi bidang pertanian dimaksudkan sebagai acuan dalam
mengukur mutu produk dan/atau jasa didalam perdagangan, dengan tujuan untuk
memberikan perlindungan pada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja dan
masyarakat lainnya baik untuk keselamatan, keamanan, kesehatan maupun
pelestarian fungsi lingkungan hidup, meningkatkan daya saing dan kelancaran
185 Indonesi (Pelaksanaan Sistem Standardisasi Nasional Di Bidang Pertanian), Peraturan
Menteri Pertanian tentang Pelaksanaan Sistem Standardisasi Nasional Di Bidang Pertanian,
Permentan No 58 Tahun 2007, Pasal 1 angkan 1.
186 Ibid, Pasal 1 angkan 5.
Universitas Sumatera Utara
84
perdagangan.187
Adapun ruang lingkup pengaturannya meliputi perumusan dan
penetapan standar, penerapan standar, kerjasama dan pemasyarakatan
standardisasi, pembinaan dan pengawasan, penelitian dan pengembangan
standardisasi serta pemberian sanksi.188
Persyaratan Teknis Minimal (PTM) yang telah ditetapkan oleh Menteri
Pertanian diberlakukan secara wajib. Barang pertanian dan/atau jasa pertanian,
proses, sistem, dan/atau personel yang telah memenuhi spesifikasi teknis standar
di bidang pertanian diberikan sertifikat mutu dan/atau dibubuhi tanda SNI atau
PTM.189
Sertifikat tersebut diberikan oleh Laboratorium Penguji Mutu, Lembaga
Sertifikasi, Lembaga Personel, Lembaga Pelatihan atau Lembaga Inspeksi yang
telah terakreditasi atau ditunjuk. Adapun Penunjukan Laboratorium Penguji Mutu,
Lembaga Sertifikasi, Lembaga Personel, Lembaga Pelatihan atau Lembaga
Inspeksi tersebut dilakukan oleh Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran
Hasil Pertanian.190
Standarisasi yang ada di pertanian meliputi Prosedur, Persyaratan, dan
Kegunaannya, Metode HACCP (Hazard Analysis & Critical Control
Points), Good Agricultural Practices (GAP), Good Handling Practice (GHP),
187 Pemanfaatan Standar Nasional Indonesia (SNI) Dalam Peningkatan Mutu Produk
Perkebunan, Loc. Cit. 188 Ibid.
189 Ibid.
190 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
85
Good Manufacturing Practices (GMP), Good Distribution Practices (GDP),
Good Retailing Practices (GRP), Good Cathering Practices (GCP). 191
B. Pengawasan Mutu Pangan
Pengawasan mutu merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari
dunia industri, yaitu dunia usaha yang meliputi proses produksi, pengolahan dan
pemasaran produk. Industri mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
pengawasan mutu karena hanya produk hasil industri yang bermutu baik yang
dapat memenuhi kebutuhan pasar, yaitu masyarakat konsumen.192
Seperti halnya
proses produksi, pengawasan mutu didasarkan pula pada ilmu pengetahuan dan
teknologi.193
Semakin modern tingkat suatu industri, maka semakin kompleks
pula ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlukan untuk menangani mutu
produk industri tersebut.194
Demikian pula dengan tingkat kesejahteraan
masyarakat, semakin maju tingkat kesejahteraan masyarakat, maka semakin
besar dan kompleks kebutuhan masyarakat terhadap beraneka ragam jenis produk
pangan. Oleh karena itu, sistem pengawasan mutu pangan yang kuat dan dinamis
diperlukan untuk membina produksi dan perdagangan produk pangan.195
191 Indah Aritonang, Standardisasi di Pertanian, http://indaharitonang-
fakultaspertanianunpad.blogspot.co.id/2013/10/standardisasi-di-pertanian.html, diakses pada
tanggal 14 Juli 2016.
192 Aufa Aulia Kanza, Sukma Chaedir Umar, Loc. Cit.
193 Ibid.
194 Ibid.
195 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
86
Pengawasan mutu mencakup pengertian yang sangat luas, meliputi aspek
kebijaksanaan, standardisasi, pengendalian, jaminan mutu, pembinaan mutu dan
perundang-undangan. Pengendalian mutu pangan ditujukan untuk mengurangi
kerusakan atau cacat pada hasil produksi berdasarkan penyebab kerusakan
tersebut. Hal ini dilakukan melalui perbaikan proses produksi (menyusun batas
dan derajat toleransi) yang dimulai dari tahap pengembangan, perencanaan,
produksi, pemasaran dan pelayanan hasil produksi dan jasa pada tingkat biaya
yang efektif dan optimum untuk memuaskan konsumen (persyaratan mutu)
dengan menerapkan standardisasi perusahaan atau industri yang baku.196
Tiga
kegiatan yang dilakukan dalam pengendalian mutu yaitu, penetapan standar
(pengkelasan), penilaian kesesuaian dengan standar (inspeksi dan pengendalian),
serta melakukan tindak koreksi (prosedur uji).197
Masalah jaminan mutu merupakan kunci penting dalam keberhasilan
usaha. Jaminan mutu merupakan sikap pencegahan terhadap terjadinya kesalahan
dengan bertindak tepat sedini mungkin oleh setiap orang yang berada di dalam
maupun di luar bidang produksi.198
Jaminan mutu didasarkan pada aspek tangibles (hal-hal yang dapat
dirasakan dan diukur), reliability (keandalan), responsiveness (tanggap),
assurancy (rasa aman dan percaya diri) dan empathy
(keramahtamahan).199
Dalam konteks pangan, jaminan mutu merupakan suatu
196 Stella Darmadi, Loc. Cit.
197 Ibid.
198 Ibid.
199 Aufa Aulia Kanza, Sukma Chaedir Umar, Loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
87
kegiatan menyeluruh yang meliputi semua aspek mengenai produk dan kondisi
penanganan, pengolahan, pengemasan, distribusi dan penyimpanan produk untuk
menghasilkan produk dengan mutu terbaik dan menjamin produksi makanan
secara aman dengan produksi yang baik, sehingga jaminan mutu secara
keseluruhan mencakup perencanaan sampai diperoleh produk akhir.200
Menyatakan bahwa pengawasan mutu pangan juga mencakup penilaian
pangan, yaitu kegiatan yang dilakukan berdasarkan kemampuan alat
indera.201
Cara ini disebut penilaian inderawi atau organoleptik. Selain
menggunakan analisis mutu berdasarkan prinsip-prinsip ilmu yang makin
canggih, pengawasan mutu dalam industri pangan modern tetap mempertahankan
penilaian secara inderawi atau organoleptik.202
Nilai-nilai kemanusiaan yaitu
selera, sosial budaya dan kepercayaan, serta aspek perlindungan kesehatan
konsumen baik kesehatan fisik yang berhubungan dengan penyakit maupun
kesehatan rohani yang berkaitan dengan agama dan kepercayaan juga harus
dipertimbangkan.203
Hal ini dikarenakan produk pangan merupakan salah satu
kebutuhan manusia yang paling mendasar. Program pengawasan pangan
sebaiknya juga diintegrasikan antara inspeksi, food monitoring dan surveillance
dengan pendekatan rantai pangan, lintas sektor dan difokuskan pada program
prioritas. Prioritas pengawasan ini berdasarkan pendekatan risiko (risk
approach).204
200 Ibid.
201 Ibid.
202 Ibid.
203 Ibid.
204 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
88
Keterkaitan Pengawasan Mutu Pengawasan mutu merupakan penerapan
ilmu pengetahuan dan teknologi, serta manajerial dalam hal penanganan mutu
pada proses produksi, perdagangan dan distribusi komoditas. Oleh karena itu,
pengawasan mutu bukan semata-mata tentang penerapan ilmu dan teknologi,
melainkan juga terkait dengan bidang-bidang ilmu sosial dan aspek-aspek lain,
yaitu kebijakan pemerintah, kehidupan kemasyarakatan, kehidupan ekonomi
serta aspek hukum dan perundang-undangan.205
Terdapat keterkaitan pengawasan mutu pangan dengan kegiatan ekonomi,
kepentingan konsumen, pemerintahan dan lain-lain. Pengawasan mutu pangan di
satu pihak melayani berbagai kegiatan ekonomi dan di lain pihak memerlukan
dukungan pemerintah dan insentif ekonomi, serta dibutuhkan masyarakat.206
Campur tangan pemerintah diperlukan agar mutu dapat terbina dengan tertib
karena jika terjadi penyimpangan atau penipuan mutu, masyarakat yang akan
dirugikan. Campur tangan pemerintah dapat berwujud kebijaksanaan atau
peraturan-peraturan, terciptanya sistem standarisasi nasional, dilaksanakannya
pengawasan mutu secara nasional, dan dilakukan tindakan hukum bagi yang
melanggar ketentuan.207
Kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam
rangka melakukan pengawasan terhadap penerapan peraturan perundang-
undangan pangan Codex Alimentarius Commision (CAC) disebut Food Control,
sedangkan kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing industri dalam
205 Stella Darmadi, Loc. Cit.
206 Ibid.
207 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
89
mengendalikan mutu dan keamanan produknya sendiri disebut Food Quality
Control.208
Pengawasan mutu juga bergerak dalam berbagai kegiatan ekonomi.
Berbagai kegiatan ekonomi seperti pengawasan mutu pangan berperan dalam
keseluruhan industri pertanian yang menggarap produk pangan dari industri
usaha produksi bahan pangan, sarana produksi pertanian, industri pengolahan
pangan dan pemasaran komoditas pangan.209
Selain itu, pengawasan mutu
pangan juga berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat dalam melayani
kebutuhan konsumen, memberi penerangan dan pendidikan
konsumen.210
Pengawasan mutu pangan juga melindungi konsumen terhadap
penyimpangan mutu, pemalsuan dan menjaga keamanan konsumen terhadap
kemungkinan mengkonsumsi produk-produk pangan yang berbahaya, beracun
dan mengandung penyakit.211
Di tingkat perusahaan, pengendalian mutu berkaitan dengan pola
pengelolaan dalam industri. Citra mutu suatu produk ditegakkan oleh pimpinan
perusahaan dan dijaga oleh seluruh bagian atau satuan kerja dalam
perusahaan/industri.212
Dalam industri pangan yang maju, pengendalian mutu
sama pentingnya dengan kegiatan produksi. Penelitian dan pengembangan (R&D)
diperlukan untuk mengembangkan sistem standardisasi mutu perusahaan maupun
dalam kaitannya dengan analisis mutu dan pengendalian proses secara
208 Ibid.
209 Aufa Aulia Kanza, Sukma Chaedir Umar, Loc. Cit.
210 Ibid. 211 Ibid.
212 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
90
rutin.213
Dalam kaitan dengan produksi, pengawasan mutu dimaksudkan agar
mutu produksi nasional berkembang sehingga dapat menghasilkan produk yang
aman serta mampu memenuhi kebutuhan dan tidak mengecewakan masyarakat
konsumen.214
Bagian pemasaran juga harus melaksanakan fungsi pengawasan
mutu menurut bidangnya. Kerjasama, kesinambungan, dan keterkaitan yang
sangat erat antarsatuan kerja dalam organisasi perusahaan semuanya menuju satu
tujuan, yaitu mutu produk yang terbaik.215
2. Pengawasan Mutu Pangan di Indonesia
Pengawasan mutu pangan yang berlangsung di Indonesia dilaksankan oleh
minimal empat departemen, yaitu DepartemenKesehetan, Departemen Pertanian,
Departemen Perdagangan, dan Derpartemen Perindustrian.
a) Pengawasan Mutu Pangan di Departemen Kesehatan
Di Departemen Kesehatan, pengawasan mutu pangan dilaksanakan oleh
Direktorat Jendral POM, khususnya Direktorat Pengwasan makanan dengan
kegiatan-kegiatan sebagai berikut: legalisi (hukum); perizinan (licensing);
pengawasan; registrasi; dan standarisasi. Keaktifan utama adalah proses
pemberian izin untuk menjual jenis makanan tertentu dan registrasi bagi makanan
yang terkemes atau terolah di Indonesia.216
213 Ibid.
214 Ibid. 215 Ibid.
216 Winarno, Op. Cit., hal. 35.
Universitas Sumatera Utara
91
Hingga kini lebih dari 10.000 jenis makanan yang telah terdaftar di
Depkes, dengan biaya registrasi Rp. 1000 yang berlaku untuk 5 tahun.217
Makanan
di luar makanan di atas, seperti jenis makanan jajanan dan makanan tradisi belum
masuk pengawasan Dirjen POM. Sedangkan jenis makan catering berada di luar
tanggung jawab Dirjen POM, tetapi masuk dalam tanggung jawab Dirjen PPm
dan PLH.218
Pengawasan tersebut dilaksanakan oleh 225 inspektur obat dan makanan
keseluruh Indonesia dan keseluruh Inspektur-Inspektur tersebut lulusan farmasi.
Diperkirakan kurang dari 20-30 persen waktu kerja para Inspektur tersebut
digunakan untuk mengendalikan/mengawasi pangan, sisanya untuk
mengendalikan/mengawasi obat.219
b) Pengawasan Pangan di Departemen Pertanian
Pengawasan pangan di Departemen Pertanian terutama dilaksanakan oleh
Direktorat Jendral Tanaman Pangan, Perternakan, dan Perikanan. Direktorat
Jenderal Tanaman Pangan bertanggungjawab pada monitoring hama penyakit,
registrasi pestisida, pest control, dan wend control.220
Hingga kini ada sekitar 400
pestisida dan zat kimia lain yang diizinkan untuk pertanian yang terdaftar. Pada
direktorat ini terdapat laboratorium yang relatif lengkap dari bantuan pemerintah
jepang yang memiliki kapasitas manganalisa sapai 2000 sampel/tahun.221
Akan
217 Ibid.
218 Ibid.
219 Ibid.
220 Ibid.
221 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
92
tetapi pada prakteknya jumlah analisa yang dilakukan sekitar 20-30/tahun. Hal ini
disebabkan oleh tingginya harga solvent (pelarut).222
c) Pengawasan Makanan di Departemen Perdagangan
Pengawasan makanan atau yang ada kaitannya dengan hal tersebut juga
ditangani oleh departemen Perdagangan khususnya Direktorat Standardisasi dan
Pengendalian Mutu termasuk hasil pertanian, perkebunan, hasil hutan, hasil
perikanan, dan perternakan. Direktorat tersebut memiliki tugas untuk
melaksanakan pengendalian mutu dari komoditi pangan yang diekspor, diimpor,
atau dijual di pasaran dalam negeri.223
Pada Direktorat tersebut terdapat 671 pusat
pengujian regional dan dilengkapi dengan sebuah laboratorium pusat di Jakarta,
yang didukung dengan 1.130 inspektor. Laboratorium tersebut secara rutin
mengeluarka sertifikat yang juga mampu menangani analisa kimia, mikrobiologi,
serta sifta-sifat fisik.224
d) Pengawasan Makanan di Departemen Industri
Departemen industri menangani industri pangan besar dan industri pangan
kecil. Salah satu tugasnya adalah untuk mempertimbangkan dan memberi izin
produk pangan. Kerja sama dengan Depkes dibidang ini juga telah dimulai.225
222 Ibid.
223 Ibid, hal. 36.
224 Ibid.
225 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
93
e) Pengawasan Pangan di Dewan Standardisasi Nasional
Melalui Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1984 tentang Dewan
Standardisasi Nasional, telah didirikan Dewan Standardisasi Nasional. Dewan
Standardisasi Nasional ini bertugas sebagai badan koordinasi nasional yang
mengetur agar ada suatu kesatuan derap dalam standardisasi dan menghindarkan
terjadinya duplikasi dan tumpang tndih. Dewan Standardisasi Nasional tersebut di
bawah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Sayangnya dewan tersebut
tidak memiliki wewenang eksekutif ataupun weweng untuk mengeluarkan
peraturan.226
C. Penerapan Good Manufacturing Practices ( GMP ) Sebagai Bentuk
Keamanan Mutu Pangan Hasil Pertanian Dalam Rangka Perlindungan
Konsumen
Perkembangan teknologi pengolahan makanan, di satu pihak memang
mambawa hal-hal yang positif seperti peningkatan pengawasan mutu, perbaikan
sanitasi, standardisasi pengepakan dan labeling serta grading.227
Namun di sisi
lain teknologi pangan akan menyebabkan semakin tumbuhnya kekhawatiran,
semakin tinggi risiko tidak aman bagi makanan yang dikonsumsi. Teknologi
pangan telah mampu membuat makanan-makanan sinetis, menciptakan berbagai
zat pengawet makanan, zat additives, dan zat-zat flavor.228
Zat-zat kimia tersebut
merupakan zat-zat yang ditambahakan pada produk-produk makanan sehingga
226 Ibid.
227 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., hal. 171.
228 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
94
produk tersebut lebih awet, indah, lembut, dan lezat. Produk-produk inilah yang
disukai konsumen untuk dikonsumsi.229
Agar pengan yang aman tersedia secara memadai, perlu diupayakan
terwujudnya suatu sistem pangan yang mampu memberi perlindungan kepada
konsumen yang mengkonsumsinya sehingga pangan yang diedarkan dan/atau
diperdagangkan tidak merugikan serta aman bagi kesehatan jiwa konsumen.230
Oleh karena konsumen tidak berdaya sama sekali dalam menhadapi pangan
berbahaya yang diedarkan dan/atau diperdagangkan maka dalam hal ini
Pemerintah adalah lembaga satu-satunya yang berkewajiban manangani dan
melindunginya.231
Untuk dapat melindunggi konsumen dengan baik berbagai
peraturan telah dikeluarkan paling sedikitnya oleh empat departemen, yaitu
Depkes, Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan, dan Departemen
Industri. Semua peraturan yang mengaitkan pangan tersebut memiliki landasan
hukum yakni Undang-Undang Pangan.232
UU Pangan sebagai landasan hukum bagi segala peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan pangan telah mengatur hal mengenai keamanan
pangan dan jaminan keamana pangan dan mutu pangan.
Dalam hal keamanan pangan diatur dalam Pasal 67 UU Pangan yang
menyatakan bahwa Keamanan pangan diselenggarakan untuk menjaga pangan
agar tetap aman, higienis, bermutu, bergizi, dan tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan dan budaya masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah
229 Ibid.
230 Ibid.
231 Winarno, Op. Cit., hal. 32.
232 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
95
terjadinya kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.233
Keamanan pangan ini juga dipertegas melalui Undang-Undang No 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan Pasal 21 yang menyatakan Pengamanan makanan
dan minuman diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari makanan dan
minuman yang tidak memenuhi ketentuan mengenai standard an atau persyaratan
kesehatan. 234
Dalam pelaksanaan keamanan pangan pemerintah menetapkan standar
Keamanan Pangan dan Mutu Pangan, sehingga tiap orang yang memproduksi dan
memperdagangkan Pangan wajib memenuhi standar Keamanan Pangan dan Mutu
Pangan. Pemenuhan standar Pangan dan Mutu Pangan dilakukan melalui
penerapan sistem Jaminan Keamanan dan Mutu Pangan dengan memberikan
sertifikat Jaminan Keamanan Pangan dan Mutu pangan yang dilakukan secara
bertahap sesuai dengan jenis Pangan dan/ atau Skala Usaha oleh Pemerintah atau
Lembaga Sertifikasi yang telah terakreditasi oleh Pemerintah.235
Peraturan-peraturan di atas sangat jelas menunjukan adanya upaya dari
pemerintah dalam memberikan rasa aman bagi masyarakat atas produk pangan
yang beredar di pasaran dengan memberlakukan persyarat keamanan pangan dan
mutu pangan melalui pelaksanaan jaminan keamanan dan mutu pangan.
Penjaminan keamanan mutu pangan yang ditetapkan oleh pemerintah
kemudian wajib dilaksanakan oleh setiap pelaku usaha yang memproduksi hasil
233 Indonesia (Pangan), Op. Cit., Pasal 67.
234 Indonesia (Kesehatan), Undang-Undang tentang Kesehatan, UU No. 23 Tahun 1992,
LN Nomor 100 Tahun 1992, TLN Nomor 3495, Pasal 21.
235 Indonesia (Pangan), Op. Cit., Pasal 86.
Universitas Sumatera Utara
96
pertanian. Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan di
bidang Pangan Segar harus memenuhi persyaratan Keamanan Pangan dan Mutu
Pangan Segar. 236
Jaminan mutu pangan tidak hanya dibebankan kepada pelaku usaha yang
memproduksi pangan hasil pertanian melainkan juga kepada setiap orang yang
memproduksi pangan untuk di perdagangkan diwajibkan untuk bertanggung
jawab menyelenggarakan system jaminan mutu sesuai dengan jenis pangan yang
diproduksi.237
Berdasarkan ketentuan diatas dapat disimpulkan bahwa pelaku usaha yang
memproduksi dan memperdagangkan pangan hasil pertanian memiliki kewajiban
untuk menjamin mutu pangannya sebagai bentuk perlindungan kepada konsumen,
sebab konsumen sudah selayaknya mendapatkan pangan yang terjamin
kualitasnya sesuai dengan harga yang dibayarkan untuk pangan yang
didapatkannya.
Sebagai bentuk perlindungan bagi konsumen, setiap pelaku usaha wajib
menjamin mutu barang dan/ atau jasa yang diproduksi dan/ atau diperdagangkan
berdasarkan berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan dalam standar mutu
barang dan/ atau jasa yang berlaku.238
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/
atau memperdagangkan barang dan/ atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak
236 Ibid, Pasal 88 ayat (1).
237 Indonesia ( Keamanan, Mutu, dan, Gizi Pangan), Op. Cit., Pasal 21 ayat (1).
238 Indonesia (Perlindungan Konsumen), Op. Cit., Pasal 7 huruf d.
Universitas Sumatera Utara
97
sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-
undangan.239
Dari semua peraturan yang telah disebutkan dapat disimpulkan bahwa
selain pemerintah yang bertindak sebagai Pembina dan pengawas, pelaku usaha
juga memiliki peran yang sangat penting dalam melindungi konsumen sebagai
pihak yang memproduksi pangan yang akan dikonsumsi oleh konsumen nantinya.
Pelaku usaha yang memproduksi pangan hasil pertanian wajib mengikuti program
jaminan mutu dan keamanan pangan, dengan persyaratan dasar yang meliputi
bidang bidang tanaman pangan, holtikultura, perkebunan dan peternakan.
Persyaratan ini dilakukan dengan penerapan GAP/GFP, GHP, dan GMP.240
Penerapan GMP sebagai bentuk keamanan mutu pangan hasil pertanian
dalam rangka perlindungan konsumen memiliki pedoman secara umum dalam
melaksanakan kegiatan usaha pengolahan hasil pertanian secara baik dan benar
yang dapat diikuti oleh pelaku usaha sehingga menghasilkan produk olahan yang
memenuhi standar mutu olahan yang aman untuk dikonsumsi konsumen,
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 35 Tahun 2008
tentang Persyaratan dan Penerapan Cara Pengolahan Hasil Pertanian Asal
Tumbuhan yang Baik ( Goood Manufacturing Practices).
239 Ibid, Pasal 8 ayat (1) huruf a.
240 Indonesia (Sistem Jaminan Mutu Pangan Hasil Pertanian), Op. Cit., Pasal 5.
Universitas Sumatera Utara
98
Dengan memastikan bahwa pelaku usaha telah menerapkan GMP dalam
proses produksi pangan hasil pertaniannya maka pelaku usaha telah memenuhi
kewajibannya untuk menjamin mutu pangan dan secara langsung telah berperan
dalam melindungi konsumen.
Universitas Sumatera Utara
99
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari kesimpulan pembahasan dalam beberapa bab diatas, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Perlindungan konsumen di Indonesia didasari pada ketidak berdayaan
konsumen dalam menghadapi masalah dalam mendapatkan barang dan/atau
jasa yang layak untuknya. Untuk itu dilakukan perlindungan terhadap
konsumen namun hal ini tidak berarti konsumen dapat bertindak bebas dalam
menuntut pelaku usaha untuk menyediakan barang dan/atau jasa yang
berkualitas serta menyebabkan kerugian pada pelaku usaha. Karena itu
perlindungan konsumen juga harus memperhatikan keamanan dan
kenyamanan dari pelaku usaha. Untuk menjaga keamanan dan kenyamanan
konsumen dan pelaku usaha maka para pihak mempunyai hak dan
kewajibannya masing-masing. Pengaturan mengenai hak dan kewajiban
konsumen dan pelaku usaha di Indonesia diatur dalam UUPK. Hak dan
kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 UUPK sedangkan hak
dan kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UUPK. Di
dalam pasal pasal tersebut telah dimuat dengan jelas apa saja yang menjadi
hak dan kewajiban dari konsumen dan pelaku usaha secara adil. Dengan hak
Universitas Sumatera Utara
100
2. dan kewajiban yang adil dari konsumen dan pelaku usaha maka perlindungan
konsumen diharapkan akan menyejahtrakan kedua belah pihak.
3. Pengaturan GMP di Indonesia pertama kali diperkenalkan dalam Surat
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 23/MEN.KES/SKJI/1978 tentang
Pedoman Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB). Cara Produksi
Makanan yang Baik (CPMB) atau Good Manufacturing Practices (GMP)
adalah suatu pedoman cara berproduksi makanan yang bertujuan agar
produsen memenuhi persyaratan–persyaratan yang telah ditentukan untuk
menghasilkan produk makanan bermutu dan sesuai dengan tuntutan
konsumen. Dalam bidang pangan hasil pertanian pengaturan mengenai GMP
sendiri diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Permentan 20/2010 yang menyebutkan
bahwa GMP adalah syarat dasar dalam menjaga keamanan mutu pangan.
Kemudian mengenai penerapan dari GMP ini diatur dalam peraturan lainnya
yakni Permentan 35/2008.
4. Penerapan GMP sebagai bentuk keamanan mutu pangan hasil pertanian
dalam rangka perlindungan konsumen memiliki pedoman secara umum
dalam melaksanakan kegiatan usaha pengolahan hasil pertanian secara baik
dan benar yang dapat diikuti oleh pelaku usaha sehingga menghasilkan
produk olahan yang memenuhi standar mutu olahan yang aman untuk
dikonsumsi konsumen, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 35 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Penerapan Cara
Pengolahan Hasil Pertanian Asal Tumbuhan yang Baik ( Goood
Manufacturing Practices). Dengan memastikan bahwa pelaku usaha telah
Universitas Sumatera Utara
101
menerapkan GMP dalam proses produksi pangan hasil pertaniannya maka
pelaku usaha telah memenuhi kewajibannya untuk menjamin mutu pangan
dan secara langsung telah berperan dalam melindungi konsumen.
B. Saran
Berdasarkan pembahasan dia atas, diajukan beberapa saran yaitu :
1. Setiap pihak dalam gerakan perlindungan konsumen harus menyadari setiap
hak dan kewajiban yang dimilikinya. Konsumen harus lebih peduli dan
cermat terhadap setiap barang ataupun pangan yang dikonsumsinya, pelaku
usaha haruslah menjalankan usahanya dengan itikad baik dengan tidak hanya
memikirkan mendapatkan untung yang besar tetapi mengenyampingkan hak
dari konsumen dan pemerintah harus lebih aktif dalam mengawasi dan
membina konsumen serta pelaku usaha juga lebih tanggap dalam menangani
setiap permasalahan perlindungan konsumen.
2. Perlu adanya kesadaran bagi pelaku usaha untuk menerapkan GMP dalam
proses produksinya dengan tidak berpikir bahwa hal itu adalah suatu
kewajiban semata tetapi juga cara untuk meningkatkan mutu pangannya
sehingga pangan tersebut dapat bersaingan tidak hanya dengan produk dalam
negeri tetapi juga dengan produk luar negeri.
3. Pemerintah sebagai pengawas dan pembina harus lebih aktif melihat kesiapan
pelaku usaha dalam menerapan GMP sehingga tidak hanya pelaku usaha
sendiri yang berusaha menerapan GMP tetapi ada juga keikutsertaan
pemerintah dalam menerapkannya dengan begitu diharapkan pangan
Universitas Sumatera Utara