ii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang dimana telah memberikan kemudahan dalam
segala hal dalam penulisan skripsi ini, sehingga penulis mampu menyelesaikan
tulisan ini yang berjudul “AKTIVITAS DAKWAH ISLAM ANDI
MAPPETAHANG FATWA”
Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang telah membawa ajaran kebenaran yang hakiki yaitu Islam, dan juga
ucapan terima kasih yang tiada terhingga kepada kedua orang tua penulis yaitu H.
Ahmad Djailani, BA dan Hj. Maesaroh yang selama ini telah tulus merawat,
mendidik, dan mencintai penulis dengan segenap jiwa dan raganya, serta
mencurahkan segala perhatiannya dan melafadzkan doa di setiap waktu, selalu
membangkitkan semangat saat ujian dan cobaan yang dihadapi penulis, dan juga
beliau yang selama ini telah membimbing penulis dalam menjalani kehidupan
yang tidak pernah penulis dapatkan di bangku pendidikan.
Selain itu penulis menyadari betul tanpa doa, bantuan dan dorongan dari
berbagai pihak, penulis tidak akan dapat menyelesaikan tulisan ini. Oleh karena
itu, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada :
1. Drs. Arief Subhan, MA sebagai Dekan Fakultas Dakwah dan
Komunikasi, serta para Pembantu Dekan I, Drs. Wahidin Saputra, MA,
Pembantu Dekan II, Drs. Mahmud Djalal, MA, dan Pembantu Dekan
III, Drs. Study Rizal Lolombulan Kontu, MA. Serta para Guru Besar
dan Dosen-dosen yang telah mentransfer ilmu-ilmu yang bermanfaat
iii
bagi penulis selama duduk di bangku perkuliahan, dan juga segenap
karyawan FDK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dra. Hj. Asriati Jamil, M.Hum, selaku Koordinator Teknis dan Dra.
Hj. Musfirah Nurlaily, MA selaku Sekertaris Jurusan pada Program
Non-Reguler Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, serta kakak Fathoni, S.Sos.I
3. Hj. Umi Musyarofah, MA selaku Dosen Pembimbing yang juga
menjabat sebagai Sekertaris Jurusan KPI yang telah memberikan
motivasi, perhatian, masukan dan selalu bersedia meluangkan
waktunya untuk membantu mengarahkan dan memberikan petunjuk
pada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ilmiah ini
hingga selesai.
4. Mantan Wakil Ketua DPR-RI dan MPR-RI yang sekarang menjadi
Dewan Kehormatan DPD-RI sekaligus menjadi Anggota DPD-RI
yaitu Dr. (HC) H. Andi Mappetahang Fatwa, dimana beliau sebagai
Narasumber dalam penulisan ini, yang telah bersedia memberikan
masukkan dan meluangkan waktu untuk bertemu serta berdiskusi
dengan penulis dimana sebenarnya beliau memiliki jadwal yang sangat
sibuk dan padat.
5. Bpk. Dr. Abdoel Fatah selaku Staf Ahli A.M. Fatwa di MPR-RI dan
DPD-RI yang telah membantu penulis dengan memberikan seluruh
data yang diperlukan penulis guna menyelesaikan tulisan Ilmiah ini.
iv
6. Kakak tercinta Ikhwanushofa, Amd yang selalu memberikan nasehat,
masukan, dan kritikan untuk kebaikan penulis, dan juga Zaimah Adik
tersayang yang sekarang sedang melanjutkan pendidikannya di bangku
SMU.
7. Sahabat-sahabat Muhammad Jarmadi, S.Sos.I, Anas Ba Syarahil,
M.Ag, Fery Fadly, S.Sos.I, Fathun Fajar, S.Pd, Qubil, S.Pd. Umar
Halim, S.Sos.I, Ryan Abdilah, Nasrullah Nahrawi, Wildan Futuhi,
Andiyas, M.Ervan, S.Sos.I, Abdurrahman SP, S.Sos.I, M. Syakur,
S.Sos.I, Iqbal Reza,SE, Rina Agusnine,SE, Irma Istarizkizra, S.Sos.I,
Julia Isna, SE, Sony Yaser, SH.I, Imadudin Nasution, S.Sos. Su’udi
Dahri, Khoirul Anwar, Hery Rhomadona, Agin, Syauqilah, Mohalli,
Mawardi, Danar, Fajar, Danang, Acit, dimana mereka semua yang
telah memberikan motivasi bagi penulis sehingga tulisan ilmiah ini
selesai.
8. Seluruh Alumni, Anggota dan Pengurus Keluarga Mahasiswa Betawi
(KMB) Ahmad Fatahillah, SH.i, Imam Rhomdhoni, S.Hum, Ahmad
Sahal, S.Hum, Fahmi Innayatullah, S.Th., Farhan Faris, SH.i, Ahmad
Khudori, SH.i, Tarmizi Tohir,SH.i, Yayah Fauziah, M.Hum, Indah
Septiarini M.Hum, yang telah membantu penulis selama ini.
9. Pegurus Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas (BEM-U) dan
Civitas Akademika KBM UIN Syarif Hidayatullah Periode 2006-2007,
Periode 2007-2008 dimana penulis melakukan aktvitasnya dan
dipercaya menjadi Menteri pada dua priode tersebut, sehigga penulis
v
mendapatkan pengalaman yang luar biasa dan juga mendewasakan
penulis di lingkungan kampus terutama di Organisasi.
10. Seluruh sahabat pergerakkan yang ada di PMII (Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia), IMM (Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), Forum Kota
(FORKOT) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dimana seluruh
sahabat tersebut memberikan kritikan dan menambah wawasan penulis
selama ini.
11. Pengurus Lingkar Study M@kar tempat bernaung penulis, special
thanks’ to : kabrut Kahfi, kabrut Jarwo, kabrut Abi, kabrut Hamdi,
kabrut Sehan, karbrut Jamal, kabrut, Aan, kabrut Udi, dimana mereka
menjadi pendengar dan tempat keluh kesah penulis dalam menjalani
aktifitas sebagai mahasiswa.
12. OK Studio dimana sahabat Junaidi Syaifuddin, S.Sos.I, Nasuri,
S.Sos.I, Edi Suyanto, S.Sos.I, Heri Susanto dan penulis berkreatifitas
selama satu tahun ini diluar kesibukan kuliah.
13. Sahabat-sahabat KPI Reguler dan Non-Reguler serta Mahasiswa UIN
Syarif Hidayatullah yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu
namun tidak mengurangi rasa bangga dan ucapan terima kasih sebesar-
besarnya.
vi
Dengan segala kerendahan hati, akhirnya penulis berharap semoga skripsi
ini menjadi buah karya yang bermanfaat bagi semua orang dan menjadi khasanah
ke-ilmuan khususnya Komunikasi Penyiaran Islam. Amiiin…..
Jakarta, 11 Januari 2010
Ihsan Suri
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................................................... 10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................. 11
D. Tinjauan Pustaka ....................................................................................... 12
E. Sistematika Penulisan ................................................................................ 13
BAB II LANDASAN DAN KAJIAN TEORI
A. Pengertian Aktivitas .................................................................................. 14
1. Pemikiran ............................................................................................ 15
2. Kiprah ................................................................................................. 18
B. Pengertian Dakwah .................................................................................... 19
1. Tujuan Dakwah .............................................................................. 22
2. Unsur-unsur Dakwah ..................................................................... 23
a. Subjek Dakwah (Da’i) ........................................................ 23
b. Objek Dakwah (Sasaran Dakwah) ...................................... 25
c. Materi Dakwah ................................................................... 28
d. Metode Dakwah ................................................................. 29
1. Bi al-hikmah (Dengan Cara Bijaksana) ......................... 31
viii
2. Mauidzah Hassanah al-Hasanah (Dengan Cara Baik) .. 32
3. Mujadalah (Berdiskusi yang Baik) ................................ 33
e. Media Dakwah ................................................................... 35
C. Peluang dan Tantangan Dakwah di Indonesia ............................................ 37
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Subjek dan Objek Penelitian ...................................................................... 45
B. Waktu Penelitian ....................................................................................... 46
C. Teknik Pengumpulan Data ......................................................................... 46
D. Teknik Analisis Data ................................................................................. 46
BAB IV TEMUAN DAN ANALISA DATA
A. Latar Belakang Keluarga dan
Masa Kecil Andi Mappetahang Fatwa ....................................................... 48
B. Pendidikan dan Pengalaman Andi Mappetahang Fatwa ............................. 49
C. Dakwah Menurut Andi Mappetahang Fatwa .............................................. 59
D. Aktivitas Dakwah Andi Mappetahang Fatwa ............................................. 70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................... 90
B. Saran ......................................................................................................... 91
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 92
ix
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Nama : Ihsan Suri
Perihal : Wawancara dengan Drs. H. A.M. Fatwa Tempat : Gedung Nusantara 3 Lt, 9 Senayan Jakarta Selatan.
Waktu :16 Juni 2009
Apa itu Dakwah menurut A.M. Fatwa ?
Dakwah merupakan segala aktivitas yang bersifat mengajak atau menyeru kepada
kebenaran dan kebaikan yang diajarkan agama dengan tujuan untuk menciptakan
taraf kehidupan yang bahagia, baik di dunia maupun di akhirat.
Kriteria Da’i yang ideal Menurut A.M. Fatwa?
Seorang da’i disebut ideal tidak hanya memiliki kemampuan teknik dan
kepandaian dalam menguasai materi dakwah, seperti pemahaman terhadap
kandungan – dan – kefasihan membaca ayat dan hadis, tetapi juga harus mampu
menampilkan keteladanan dalam kehidupan keseharian (dakwah bi al-hal). Selain
itu, seorang da’ di tuntut untuk memahami perkembangan kontemporer agar dapat
mengkontekstualisasikan ajaran-ajaran Islam, sehingga ajaran Islam dapat
dijadikan sebagai rujukan dalam menyelesaikan masalah-masalah kehidupan
nyata yang di hadapi oleh umat. Seorang da’i yang baik adalah yang dapat menampilkan wajah Islam yang memudahkan, bukan yang menyulitkan umat.
Bagaimana metode yang tepat dalam menyampaikan dakwah Islam di
Indonesia ?
Setiap masyarakat memiliki tradisi dan budaya sendiri. Karena itu, metode dakwah yang tepat untuk berdakwah di Indonesia adalah metode yang dapat
mengakomodasi budaya lokal masyarakat tanpa mendistorsi ajaran substansi
Islam. Dengan demikian, masyarakat akan lebih mudah untuk memahami ajaran-
ajaran Islam karena terasa menyentuh secara langsung kehidupan keseharian
mereka.
Media apa yang tepat untuk digunakan dalam mendukung penyebaran
pesan dakwah ?
Sekarang ini terdapat banyak sekali media yang dapat digunakan untuk
berdakwah, tergantung segmen audiensinya. Jika untuk masyarakat awam, tentu
saja dakwah bil-lisan dengan melakukan ceramah-ceramah di masjid, mushala,
dan majelis ta’lim tetap relevan. Dan untuk menjangkau masyarakat luas,
ceramah-ceramah tersebut bisa disebarkan melalui media elektronik. Namun, untuk masyarakat kelas menengah terpelajar, media massa cetak dan media lain
dalam bentuk tulisan juga sangat efektif untuk menyampaikan pesan. Dan bagi
x
masyarakat yang melek teknologi, tentu dakwah akan lebih mudah di akses
melalui media internet, baik melalui blog, facebook, dan lain sebagainya. Yang
jelas, media dakwah senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan Ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dan para da’i dituntut untuk mengikuti perkembangan tersebut agar dapat menjangkau seluruh masyarakat yang membutuhkan
bimbingan agama agar berada dalam rel yang digariskan.
Faktor apa saja yang menjadi pendukung dan penghambat aktifitas dakwah
Islam di Indonesia ?
Media-media yang sekarang ada merupakan faktor pendukung dakwah Islam,
sehingga dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Bisa di katakan bahwa,
saat ini, seluruh masyarakat tidak ada yang tidak memiliki akses media. Ini dari
sisi kulutral. Dari sisi politik, sekarang sudah tidak ada lagi yang mencurigai
setiap gerakan dakwah Islam. Bahkan negara saat ini sudah relatif memberikan
kesempatan kepada setiap aktivitas dakwah. Dengan demikian, dapat dikatakan
aktivitas dakwah saat ini tidak mengalami hambatan yang signifikan. Tergantung
kemauan kuat para pendakwahnya saja.
Bagaimana dinamika dakwah Islam di Indonesia hingga saat ini ?
Di masa lalu, dakwah Islam pernah mengalami kecurigaan rezim. Sering kali
dakwah Islam dianggap sebagai upaya penentangan terhadap ideologi negara. Tidak sedikit da’i yang sesungguhnya menyampaikan ajaran agama sebagaimana
yang diyakini, diangap sebagai penentang ideologi negara, sehingga kemudian ditangkap dan dipenjarakan. Tapi saat ini, kejadian-kejadian semacam itu sudah
tidak ada lagi.
Kontribusi apa saja yang harus diberikan oleh seorang da’i dalam
menyelesaikan persoalan di masyarakat di Indonesia sekarang ?
Satu hal penting agar para da’i memiliki kontribusi yang signifikan dalam
pembangunan umat adalah menjadi motivator yang baik. Umat Islam perlu diberi
motivasi agar mereka menjadi umat yang maju. Motivasi tersebut sangat
diperlukan mengingat sebagian umat Islam masih mengidap inferiority complex
atau kompleks rendah diri. Umat harus di dorong untuk memahami ajaran Islam
sebagai sumber nilai yang ingin menciptakan masyarakat yang berperadaban
tinggi.
xi
Nama : Ihsan Suri
Perihal : Wawancara dengan Bpk. A.M. Fatwa
Tempat : Kantor DPD RI, Gedung A Lt. 2 km 201, Senayan Jakarta Selatan.
Waktu : Kamis, 05 November 2009
Selama menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, bapak memposisikan diri
sebagai politisi, da’i atau rakyat sipil?
Sebenarnya memposisikan diri ketiga-tiganya, karena semuanya saling berkaitan.
Amar ma’ruf akan lebih mengajak pada kebaikan atau kebenaran, dan saya sangat
banyak memposisikan sebagai da’i ketika saya melawan ketidakadilan, karena
saya melihatnya dari sisi rakyat yang harus membela dan dibela dengan
menggunakan sarana politik, yang berarti bisa terkait dengan peran sebagai
politisi. Jadi, saya memadukan antara dakwah dengan politik. Dakwah yang bersih
akan membawa politik yang baik.
Apa prinsip bapak untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar tersebut?
Prinsip yang saya lakukan adalah Pertama, siapa saja yang berbuat baik dan benar
harus di dukung, dan siapa yang berbuat tidak baik harus dikritik. Kedua, pada saat mengkritisi tidak melakukan kekerasan atau bahkan melanggar hukum,
karena tindakan yang menyebabkan kerusakan (fasad) sangat bertentangan dengan Islam. Sedangkan islam adalah damai atau kedamaian.
Dengan cara atau pendekatan apa bapak mengaplikasikannya?
Pendekatan yang perlu digunakan adalah dengan al-akhlak al-karimah (akhlak
mulia). Karena, seorang da’i harus memiliki akhlak yang mulia agar dapat
menjadi contoh dan menjadikan dirinya sebagai contoh. dan juga, seorang politisi-
pun harus memiliki fatsoen sehingga mampu menempatkan perbedaan pendapat
secara proporsional.
Harapan bapak dari perjuangan yang selama ini bapak jalankan dan
bagaimana relevansinya saat ini?
Harapannya, antara lain dari apa yang saya perjuangan selama ini dapat berarti
dan bermanfaat bagi umat dan lingkungan, karena rahmatan lil ’alamin harus diwujudkan. Jadi relevansinya bagi kemashalatan umat dalam rangka
melaksanakan ajaran Islam dengan damai dan merasa aman.
Saat bapak menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, apa saja hambatan dan
tantangan yang bapak rasakan?
xii
Banyak orang yang tidak sama presepsinya dan memandang sesuatu dari
”kacamata” kekuasaan atau ”kacamata” sendiri. Oleh karena itu diperlukan
keberanian yang kuat, dan teguh dalam prinsip, namun tetap fleksible dalam
pelaksanaan sampai tujuannya tersebut dapat dicapai. Dan juga, ada sebagian orang yang menempatkan dirinya sebagai superior dengan prasangka-prasangka
yang tidak berdasar.
Bagaimana menurut bapak gerakan dakwah Islam yang terjadi di Indonesia
saat ini di tinjau dari metode dan sasaran?
Dari segi metode harus terus dikembangkan, terutama dalam penggunaan
teknologi komunikasi dan informasi serta penerapannya. dan juga sasaran dakwah
harus di kategorikan sesuai dengan tingkat pendidikan, taraf hidup, tingkatan
sosial dan sebagainya. Sehingga perlu adanya fokus materi yang disampaikan dan
disesuaikan dengan kondisi khalayak sasaran. Selain itu dakwah bil hal harus
menjadi perhatian utama, dan dakwah juga harus menyentuh segi kehidupan
sehari-hari.
Seperti apa perkembangan gerakan dakwah Islam di Indonesia ke depan
dalam kaca mata bapak?
Gerakan dakwah prospeknya kedepan akan jauh akan lebih baik dengan
menggunakan metode-metode yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman,
artinya tidak selalu konservatif. Fenomena munculnya aliran-aliran sesat saat ini merupakan tantangan bagi para da’i untuk mencermatinya dan melakukan
intropeksi, dari apa yang menjadi penyebabnya. Boleh jadi, saat ini seluruh dakwah yang disampaikan sangat kurang memperhatikan akar rumput
permasalahan yang terjadi serta mengetengahkan empati atau perhatian kepada khalayak.
Bagaimana seharusnya sikap praktisi agama dalam menyikapi setiap
kedhzaliman yang di buat oleh pemerintahan?
Harus bersikap kritis dan tegas, tetapi harus tetap santun. Sehingga bisa tercipta
hubungan yang harmonis antara ulama (da’i) dan umaro. Dan semuanya harus
bersikap aktif pro-aktif dengan terus memberikan masukan-masukan atau saran
secara bijak dan modern.
Menurut pembacaan bapak, dalam pemerintahan di mana seharusnya umat
Islam memposisikan tempatnya guna terciptanya pemerintahan yang bersih?
Seharusnya umat Islam harus menempatkan diri di posisi terdepan dan juga harus
menjadi contoh yang baik, sehingga mendorong dan ikut mengajak umat untuk
berbuat baik, serta selalu aktif mengawasi sesuai dengan porsinya masing-masing.
xiii
Kapasitas apa yang harus dimiliki oleh aktivis keagamaan saat terjun dalam
sebuah gerakan keagamaan?
Menguasai ajaran agama dan ilmu lain (capable), secara moral dapat diterima oleh masyarakat (acceptable), serta harus memiliki wibawa dan di akui
kompetensinya secara intelektual, emosional dan spiritual (credible). Dan juga harus memiliki citra yang baik dengan karakter yang meyakinkan.
Di mana posisi pemerintah terhadap organisasi keagamaan di Indonesia?
Sebagai Penjaga stabilitas, yaitu dengan cara membangun toleransi kehidupan
antar umat beragama serrta mewujudkan persatuan antar pemeluknya (ukhuwah
islamiyah).dan menjalin Persatuan bangsa (nasional) atau ukhuwah wathoniyah.
Seperti apa pencitraan masyarakat dan media di Indonesia terhadap
organisasi gerakan dakwah Islam?
Pada umumnya, organisasi gerakan dakwah Islam sudah memiliki citra yang baik,
artinya dari segi prilaku dan program-programnya juga baik dan bersikap toleran.
Namun ada kelompok tertentu yang perlu mawas diri dan tidak mengangap
dirinya sebagai kelompok yang paling benar, sehingga terkadang bersikap
eksklusif terhadap sesama Muslim.
Menurut bapak, Apakah perubahan (reformasi) di Indoneisa sudah terjadi
atau hanya menjadi sebuah keniscayaan yang belum terlaksana?
Saat ini reformasi sudah terjadi, namun harus terus berjalan untuk menyelesaikan
yang masih tersisa. Oleh karena itu Susilo Bambang Yudhoyono menamakannya reformasi jilid II, karena masih banyak harus di teruskan terutama hal yang
menyangkut soal moral dan etika.
Harapan apa yang sampai saat ini bapak harapkan terjadi dari sebuah
gerakan keagamaan?
Harapan saya agar gerakan keagamaan semakin kuat dalam menjaga koridor
toleransi (tasamuh), ukhuwah basyariah (wawasan egalitarium), ukhuwah
wathoniyah (toleransi beragama dan kebersamaan-bangsa).
Ada lima hak dasar umat manusia menurut Islam yaitu : Hifdh al-hayat
(perlindungan kehidupan), hifdh al-syaraf (perlindungan kehormatan), hifdh al-
nasl (perlindungan keturunan), hifdh al-mal (perlindungan harta benda) , dan
hifdh al-din (perlindungan terhadap agama dan kepercayaan).
Bagaimana bapak menyimpulkan hasil perjuangan bapak sampai ini?
Perjuangan saya selama ini tidak akan berhenti selama hayat masih di kandung
badan. Apa yang saya capai hanyalah sebuah hasil dari kewajiban sebagai seorang
xiv
muslim yang berjiwa nasionalis, terutama dalam mengamalkan ajaran agama
dalam upaya mewujudkan rahmatan lil ’alamin.
xv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perlu terlebih dahulu penulis jelaskan bahwa skripsi ini merupakan sebuah
karya ilmiah yang dibuat guna menyelesaikan persyaratan menjadi sarjana pada
jenjang pendidikan strata satu (1) jurusan Komunikasi Penyiaran Islam di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini akan membahas
tentang gerakan atau aktivitas salah seorang tokoh agama besar di Indonesia yang
lahir dari sebuah rahim organisasi keagamaan bernama Muhammadiyyah, yaitu
Andi Mappetahang Fatwa yang lahir di Mare, Bone, Sulawesi Selatan pada
tanggal 12 Februari 1939.
Dalam penyampaian pesan dakwah kepada orang awam tentunya berbeda
cara dengan orang-orang akademisi. Menyampaikan pesan dakwah kepada orang
awam harus lugas dan menggunakan bahasa yang dapat mereka pahami.
Sedangkan kepada orang akademisi atau intelektual, harus ada pendekatan
tersendiri agar mereka dapat memahami apa yang disampaikan oleh seorang da’i.
Hal inilah yang menjadi salah satu esensi dalam aktivitas dakwah dan komunikasi
(make to common). Bila pesan yang disampaikan oleh seorang da’i tidak dapat
dimengerti oleh mad’u atau komunikan, maka bisa dibilang dakwah yang
dilakukannya gagal dan sia-sia belaka.
Kata dakwah merupakan bentuk masdar dari kata da’a, yad’u, da’watan
(dakwah), yang berarti ajakan. Ini merupakan mauzun (yang menyerupai) dari
xvi
wazan fa’ala, yaf’ulu, fa’lan (tsulatsi mujarad). Memang banyak para pakar yang
mendefinisikan tentang dakwah, tetapi pada hakikatnya memiliki maksud yang
sama, yaitu sebuah ajakan.
Dakwah merupakan kewajiban bagi setiap individu untuk menyerukan
kebenaran agama Islam dan mengajak masyarakat di manapun mereka berada
menuju jalan yang diridhai oleh Allah SWT (siroth al-mustakim). Masalah ini
juga sebagaimana pernah disinggung oleh M. Natsir:
“Islam sebagai agama mempunyai dua dimensi, yaitu keyakinan atau aqidah dan sesuatu
yang diamalkan atau alamiah. Amal perbuatan tersebut merupakan perpanjangan dan
implementasi dari aqidah itu sendiri. Islam adalah agama risalah untuk manusia
keseluruhan. Umat Islam adalah pendukung amanah untuk melaksanakan risalah dengan
dakwah baik kepada umat yang sama maupun kepada umat yang lain, ataupun selaku
perseorangan maupun kolektif, di tempat manapun ia berada, menurut kemampuan
masing-masing.”1
Bentuk aktivitas dakwah sangat variatif. Karena itu dakwah bisa
dilakukan: melalui lisan (bil lisan), tulisan (bil qalam), maupun perbuatan (bil
hal).2 Masing-masing cara ini memiliki keunggulan dan kelemahannya sendiri
sebagai sebuah pendekatan dalam aktivitas berdakwah. Selain itu, menurut sebuah
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa dakwah pun bisa dilakukan
cukup dengan hati. Dalam proses penyampaian pesan dakwah, seorang da’i
memerlukan simbol (alat) untuk mentransformasikan pesan dakwah kepada
khalayak, agar masyarakat mengerti dengan apa yang seorang da’i sampaikan.
Simbol itu adalah bahasa. Meminjam istilah James W. Carey bahwa
“communication is a symbolic process.”3
1 M. Natsir, “Fiqhudh Dakwah,” (Jakarta: Media Dakwah, 1983), Cet. Ke-4, h. 110.
2 J. Suyuti Pulungan, “Universalisme Islam,” (Jakarta: PT. Moyo Segoro Agung, 2002),
Cet. Ke-1, hal. 65. 3 Idi Subandi Ibrahim, ed., “Cultural and Communication Studies,” (yogyakarta:
Jalasutra, 2004),Cet. Pertama, hal. x.
xvii
Tanpa bahasa tidak akan mungkin manusia bisa mentransformasikan ide,
gagasannya, dan keinginannya kepada masyarakat. Jika hal ini terjadi, maka
manusia sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang
lain akan musnah. Manusia sebagai makhluk sosial tidak boleh tidak
berkomunikasi. Karena menurut Wilbur Schramm manusia adalah “the
communication animal”.4
Seperti yang kita bahas sebelumnya, bahwa kita umat Islam harus selalu
menyampaikan ajaran Islam yang merupakan kewajiban kita semua, guna
menyerukan yang hak dan memerangi yang batil di muka bumi. Dalam kerangka
epistemologinya, dakwah memiliki sistem. Sistem ini saling berkesinambungan
antara satu dengan yang lainnya, yaitu: da’i, mad’u, materi dakwah, media
dakwah, metode dakwah, dan tujuan dakwah. Jika aktivitas dakwah ingin berjalan
dengan baik, maka keenam sistem tersebut harus diperhatikan (seiring berjalan).
Apabila salah satu di antaranya tidak terpenuhi, maka secara otomatis aktivitas
dakwah tidak akan berjalan dengan baik.
Sejak era reformasi yang membuka peluang kehidupan dakwah agak lebih
longgar dibandingkan zaman Orde Baru yang diktator dan militeristik.
Keterlibatan para da’i pada aktivitas politik praktis telah membuat wawasan
terhadap keislaman mereka menjadi semakin dangkal dan menyempit, bahkan
terkadang kacau, karena seluruh perhatian, waktu, pikiran dan bahkan mimpi-pun
terfokus pada masalah politik praktis. Banyak fakta telah membuktikan bahwa
keterlibatan ribuan kader dakwah di parlemen (legislatif) sejak sepuluh tahun
4 Toto Asmara, “Komunikasi Dakwah”, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1957), Cet. Ke-
2, hal. 6.
xviii
belakangan, belum mampu memberikan pengaruh yang berarti dalam sistem
pemerintahan ”jahiliyah”, apalagi untuk melakukan perubahan yang signifikan,
kendati beberapa kader dakwah yang sudah menjabat di eksekutif sebagai menteri,
walikota, bupati dan sebagainya. Sebaliknya, yang terpengaruhi sistem atau
prilaku yang kontra dengan nilai-nilai dakwah mulai bermunculan. Kalau kita
tanyakan, mereka hanya akan berkata ”untuk melakukan perubahan atau
perbaikan itu tidak semudah membalikkan telapak tanganí, atau dengan dalil
”kelompok kita (orang yang beragama Islam) masih minoritas di parlemen dan
eksekutif”. Dan lebih di perparah lagi yaitu syahwat harta dan kekuasaan mereka
lebih dominan ketimbang strategi, ikhtiyar, dan kreatifitas dakwah yang mereka
lakukan. Disamping itu, mereka tidak mau membuka pintu diskusi dan dialog
secara ilmiah. Pintu dialog dengan mereka seakan-akan tertutup mati. Sebaliknya
kritik dan kajian ilmiah pun dianggap sebagai dosa yang bernama ”najwa”
(berbisik-bisik) dab berbagai label negatif lainnya.
Sosok A.M. Fatwa yang sudah mendapatkan pendidikan agama sejak dini
dari keluarganya dan sangat senang membaca buku-buku karangan Buya Hamka
ini sudah memulai aktivitas dakwahnya sejak tahun 1959. Tokoh yang hidup di
empat zaman ini (penjajahan, orde lama, orde baru, dan reformasi) dan telah
melewati lika-liku dalam perjalanan dakwahnya guna menegakkan amar ma’ruf
nahi munkar dengan gigih dan pantang menyerah. Banyak sekali tembok-tembok
raksasa kezoliman yang ia coba hancurkan, baik yang hadir dari kultur
masyarakat, pemerintahan, dan lingkungan di sekitarnya demi menegakkan yang
hak.
xix
Visualisasi aktivitasnya ini bisa kita lihat mulai dari sejarah
perlawanannya terhadap tindakan klenis masyarakat di sekitar rumahnya, yang
sering melakukan ritual-ritual persembahan (animisme) dan tidak sesuai dengan
ajaran Islam seperti membuat sesaji untuk para dewa agar panen padi bisa
melimpah. A.M. Fatwa selalu merusak altar sesaji dan menyirami dengan air
seninya sendiri.
Perlawanannya terhadap kemunkaran tidak berhenti di situ saja, sebagai
warga sekaligus tokoh muslim di Indonesia, A. M. Fatwa sangat kritis terhadap
pemerintahan yang lalim. Hal ini sudah ia lakukan sejak duduk di bangku kuliah,
di antaranya melawan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak menjunjung
tinggi nilai-nilai keadilan seperti kebobrokan pemerintahan baik di masa orde
lama maupun orde baru yang pada saat itu mencoba ia bongkar saat dipercayai
menjadi khatib hari raya Idhul Fitri saat shalat ied tahun 1080 H di lapangan Oerip
Soemohardjo, Jatinegara, dan diakhiri penangkapan oleh Pangdam Jaya Norman
Sasono terhadapnya.
Aktivitas dan gerakan dakwah yang ia lakukan terhadap lingkungan di
sekitarnya hingga kini masih konsisten beliau lakukan dengan berbagai cara, yaitu
bil lisan, bil hal, dan bil qalam. Dakwah bil lisan atau dengan perkataan ia
lakukan dengan cara memberikan teguran yang baik dan mengingatkan kepada
rekan dan sahabatnya yang akan dan sedang membuat maksiat. Dakwah bil hal
atau dengan tindakan ia lakukan dengan memberikan contoh dan mengamalkan
segala hal yang diperintahkan oleh agama sepeti shalat, puasa, zakat, dan
sebagainya.
xx
Sebagai muslim yang memiliki wawasan dan ilmu yang luas, A. M. Fatwa
juga cukup produktif menulis buku guna menyebarkan gagasan dan nilai-nilai
kebaikan bagi kemaslahatan masyarakat luas, khususnya umat Islam. Banyak
sekali buku-buku karyanya yang ditulis dan disebarkan luaskan, baik itu buku
umum maupun bernafaskan Islam, di antaranya: Dulu Demi Revolusi, Kini Demi
Pembangunan; Ekspresi di Pengadilan (1985), Islam dan Negara (1995), Dari
Mimbar ke Penjara (1999), Demokrasi Teistis (2001), Catatan Dari Senayan
(2004), dan masih banyak lagi yang lainnya.
Sebagai orang Islam dan warga negara Indonesia yang peduli dengan nasib
rakyat serta keadaan dan kondisi bangsa yang dipandangnya sangat tidak adil,
sehingga Ia menanamkan dalam dirinya jiwa nasionalis yang militan, A. M. Fatwa
merupakan salah satu tokoh yang sampai saat ini masih konsern dan memiliki
giroh power full dalam menyebarkan ajaran Islam melalui pemikiran-pemikiran
dan khutbah-khutbah yang disampaikannya dari mimbar ke mimbar. Bahkan
sekarang ini beliau banyak menyuarakan (melaui tulisan-tulisannya) kebobrokan
sebuah sistem pemerintahan di Indonesia yang tidak mengacu pada nilai-nilai
hakiki.
“Mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya”, inilah kalimat
terakhir yang ditorehkan secara kuat oleh A. M. Fatwa dalam bukunya ”Dari
Mimbar ke Penjara”. Perjalanan panjang dan melelahkan dari penjara ke penjara
untuk menemukan sebuah keadilan bagi masyarakat luas yang ia lakukan
sepertinya mengacu pada firman Illahi tersebut. Kita memang tidak dapat
menukik ke dalam sanubari A.M. Fatwa dan ikut bersamanya menyelami
xxi
kepahitan hidup yang pernah dilaluinya dan cahaya yang kemudian menyinarinya.
Hanya saja beliau pernah melontarkan sebuah ungkapan bahwa:
“Barangkali memang kita harus menemukan kembali identitas religius-
sosiologis dari agama fitrah (Islam) ini, sebagaimana terwujud dalam
misi para nabi, ‘Menolong orang yang lemah, miskin, sakit, janda,
lumpuh, telantar, yatim, terlilit utang, yang dipenjara, dan sebagainya
yang termasuk katagori duafa,” ujarnya saat mengakhiri penulisan buku
tersebut.” 5
A. M. Fatwa yang multi talenta ini tidak hanya dikenal sebagai seorang
da’i, namanya di dalam dunia perpolitikan Indonesia mungkin sudah tidak asing
lagi. Sosok pribadi beliau yang merupakan salah satu tokoh politik yang agamis
dan produktif hingga saat ini, tetap dan terus menyuarakan pemikiran dan
pengamatannya melalui tinta dan catatan yang kemudian disebarluaskan dalam
bentuk buku. Berbekal banyak pengalaman pahit serta pengamatan terhadap
persoalan masyarakat membuatnya tergerak untuk merubah keadaan sekarang
menjadi lebih baik agar tidak terulang lagi kelaliman yang pernah dilakukan oleh
orde baru berserta kroninya selama 32 tahun lamanya.
A.M. Fatwa pun sebenarnya sangat mengharapkan muncul kembali da’i-
da’i yang lebih berkompeten dan mampu mengikuti perkembangan zaman
terutama di bidang teknologi informasi, karena saat ini dimana era yang serba
praktis, seorang da’i mampu menjawab tantangan perkembangan zaman. Apabila
hal ini di biarkan, maka yang terjadi adalah proses penyebaran ajaran agama islam
semakin ternggal jauh, dan umat akan melupkannya atau bahkan bisa di belokkan
ajaran Islam. Dimana saat ini, banyak ajaran-ajaran yang mengatasnamakan ajaran
5 A.M. Fatwa “Dari Mimbar ke Penjara” (penerbit : Terraju Jakarta) 1999
xxii
Islam tetapi banyak di belokkan dengan berbagai dalil guna meyakinkan umat
yang pemahaman agamanya sangat sedikit.
Dalam hal ini, aktivitas dakwah yang dilakukan A. M. Fatwa merupakan
salah satu bentuk usaha menyampaikan pesan (message) yang bisa disebut sebagai
kebenaran. Di mana ia menyampaikan apa yang ada dalam pemikirannya (melalui
penggalian, pengamatan, dan pengalaman) untuk diberikan kepada masyarakat
luas atau khalayak guna menciptakan suatu kondisi yang biasa disebut adil dan
makmur.
Ciri khas atau gaya dakwah yang dilakukan A. M. Fatwa adalah terletak
pada metodenya yang persuasive dan tujuannya, yaitu mengharapkan terjadinya
perubahan atau pembentukan akhlak juga tingkah laku yang sesuai dengan ajaran-
ajaran agama Islam. Sebagaimana Rasulullah bersabda: ''Berkatalah dengan baik,
atau diam'', merupakan substansi dalam kegiatan dakwah yang dilakukannya.
Orientasinya kepada penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia (Human
Oriented), dimana setiap bentuk dawah tersebut adalah mutlak menghargai
prinsip-prinsip humanisme.
Tidak dibenarkan sama sekali dalam prinsip ini adanya cara yang bersifat
memaksa (coersive) dan juga dengan cara kekerasan. Karena dakwah merupakan
aktivitas yang mulia dan sangat dianjurkan dalam agama. Jadi, dakwah harus
dilakukan dengan penuh hikmat dan totalitas. Sebagaimana Allah anjurkan dalam
salah satu firman-Nya dalam Al-Qur'an surat surat An-Nahl ayat 125 yang
berbunyi:
���� � ��� ��� � ����� ��☺��������� ������☺� �!
xxiii
��"#���� $ %'� �()*! +,-. ��� ��/ 0#123 4 56�
�7�� �8/ 9%:13 0☺�� 5�; 0 <�3���� � $ �8/! 9%:13
=>�(?1'☺� ��� @;A�
Artinya : "Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat-
nasehat yang baik dan bertukar fikiranlah dengan cara yang
lebih baik Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui siapa
yang sesat dari jalan-Nya, dan dia-Lah yang mengetahui siapa
yang terpimpin". {Q.S. An-Nahl 125}
Atas dasar ini dapat kita katakan bahwa dakwah merupakan proses
komunikasi keagamaan yang memiliki nilai transenden walaupun tidak semua
proses komunikasi merupakan proses dakwah. Dengan demikian, dakwah itu
merupakan suatu bentuk komunikasi yang khas dan mengandung unsur-unsur
Ilahiyah, serta bertujuan mengajak umat manusia menuju jalan yang diridhai oleh
Allah SWT untuk keselamatan umat manusia di dunia dan akhirat.
Dakwah yang dilakukan oleh para da’i yang berakhlak mulia adalah
sebuah usaha yang dahulu dilakukan oleh para an-biya. Jika dakwah dijalankan
dengan keyakinan dan keikhlasan, maka seorang da’i akan menuai sesuatu yang
tak ternilai, yaitu ridha Ilahi. Sebagai seorang da’i dan politikus, A. M. Fatwa
merupakan sosok yang cukup diperhitungkan dalam konsistensinya menjalankan
aktivitas dakwah hingga saat ini. Meskipun beliau saat ini lebih sering eksis dalam
dunia politik, kegiatan dakwahnya tidak pernah ditinggalkan dari prinsip
kehidupannya kesehariannya. Dua aktivitas yang digelutinya seperti sudah
mendarah daging dan sulit dipisahkan dalam kehidupannya sehari-hari.
xxiv
Meminjam istilah Muhammad Natsir, politik baginya adalah pelaksanaan al-amru
bi al-ma’ruf wa al-nahyi ‘an al munkar.
Dalam kegiatan dakwah, komunikasi merupakan suatu variabel yang tidak
dapat terpisahkan. Terdapat pararelisme yang sifatnya saling mengisi dan
melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Dalam melakukan aktivitas dakwah,
harus ada metode komunikasi yang tepat dalam menyampaikan pesan-pesan
dakwah. Oleh karena itu, metode ini harus diperhitungkan secara matang. Karena
boleh jadi metode menjadi lebih penting daripada isi pesan yang ingin
disampaikan oleh para da’i saat ingin menyampaikan pesan-pesan dakwah.
Dan akhirnya, tujuan penulis membuat Skripsi ini tiada lain adalah ingin
menelusuri dan melihat secara mendalam bagaimana gagasan dan aktivitas
dakwah yang dilakukan oleh A. M. Fatwa lewat pembahasan skripsi yang penulis
sajikan dengan judul ”Pemikiran dan Kiprah Dakwah Andi Mappetahang
Fatwa.”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
a. Pembatasan Masalah
Penilitian skripsi ini dimana penulis melakukan penelusuran tentang
bagaimana dakwah yang dilakukan oleh Andi Mappetahang Fatwa, baik
secara teoritis maupun praktik sejak tahun 1979 hingga 2009.
b. Perumusan Masalah
Perumusan masalah yang penulis angkat di dalam skripsi ini adalah
tentang pemikiran dan kiprah dakwah AM Fatwa yang terdiri dari :
1. Apa gagasan A. M. Fatwa tentang Dakwah?
xxv
2. Bagaimana kiprah dakwah yang dilakukan oleh AM Fatwa?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui apa saja gagasan Andi Mappetahang Fatwa
tentang Dakwah.
2. Bagaimana kiprah dakwah yang telah dilakukan Andi
Mappetahang Fatwa.
b. Manfaat penelitian ini adalah :
1. Segi Akademisi
Hasil penelitian ini penulis harapkan dapat menambah dan
memperkaya wawasan penulis khususnya, dan semua pembaca
pada umumnya.
2. Segi Praktisi
Hasil Penelitian skripsi ini diharapkan dapat menjadi acuan
dan referensi bagi kalangan teoritis, praktisi dan aktivis yang
konsern pada kajian dakwah dan komunikasi khususnya, dan
umumnya bagi para praktisi dakwah dan politik yang menjadikan
jabatan pemerintahan sebagai medium untuk berdakwah
menyebarkan ajaran Islam.
D. Tinjauan Pustaka
xxvi
Dakwah dan komunikasi merupakan dua buah disiplin ilmu yang memiliki
keterkaitan yang sangat erat di dunia akademisi. Kedua disiplin ini memiliki
sebuah pembahasan yang khas dan saling berkaitan antara satu sama lain. Dalam
skripsi ini penulis membahas tentang pemikiran dan aktivitas dakwah Andi
Mapetahang Fatwa. Objek pembahasan ini memang pernah disusun oleh Muhajir
Arief Rahmani salah satu mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta dengan judul ”Pemikiran, Pergerakan Dakwah dan Politik
A. M. FATWA” yang disusun pada tahun 2006. dimana yang membedakannya
adalah hasil yang di dapatkan oleh penulis terutama data di lapangan ”field
research” saat penulis mengikuti aktifitas yang dilakukannya dan juga buku-buku
yang baru di terbitkan sejak 2007, dimana buku yang terbitkannya merupakan
kumpulan dari pemikiran dan perjalanan beliau yang belum pernah di tulis dibuku
sebelumnya. Dan penulis mendapatkan data baru berdasarkan buku-buku ”library
research” yang merupakan buah karya A.M. Fatwa.
Dalam skripsi ini penulis kemudian menjadi tertarik mengangkat objek
yang sama dengan judul yang agak berbeda, yaitu tentang apa dan bagaimana
pemikiran serta kiprah dakwah yang dilakukan oleh A. M. Fatwa saat ini seiring
dengan berubahnya kondisi Indonesia. Di sini penulis ingin menyusuri bagaimana
implementasi pemikiran dakwah A. M. Fatwa ketika dikongkritkan dalam sebuah
tindakan praktis. Karena itu, penulis coba mengupasnya dengan judul ”Pemikiran
dan Kiprah Dakwah A. M. Fatwa.”
E. Sistematika Penulisan
xxvii
Untuk mengetahui secara global tentang penulisan ini, maka sistematika
penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut :
Bab I. : Berisi PENDAHULUAN yang mencakup latar belakang masalah,
pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika
penulisan.
Bab II : Berisikan LANDASAN DAN KAJIAN TEORITIS mengenai pokok
pembahasan tentang Pemikiran dan Kiprah Dakwah
Bab III : Memberikan gambaran umum tentang METODOLOGI
PENELITIAN yang digunakan.
Bab IV : ANALISA DATA DARI AKTIVITAS DAKWAH ISLAM yang
dilakukan H. Andi Mappetahang Fatwa dari pertama kali berdakwah
hingga sekarang ini.
Bab V : Merupakan bab PENUTUP yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
xxviii
BAB II
LANDASAN DAN KAJIAN TEORI
Aktivitas merupakan sebuah kegiatan dari pemikiran maupun kiprah
dimana dapat menghasilkan atau menciptakan sebuah nilai yang positif atau
negatif. Dan hal tersebut dapat dikatakan sebagai aktivitas apabila kegiatan
tersebut dilakukan secara terus menerus dan menimbulkan effek dan memiliki
pengaruh yang besar maupun kecil terhadap sesuatu yang dilakukannya.
Dalam hal ini, aktivitas dapat dikatakan sebagai sebuah pemikiran apabila
dapat dipahami dan dimaknai apapun bentuknya.
A. Pengertian Pemikiran
Berfkir merupakan aktivitas yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan
manusia. Selama kesadaran terjadi, selama itu pula aktivitas berfikir berlangsung.
Objek pemikiran pun sangat luas, seluas wilayah jagad raya ini. Untuk itu, otak
yang dipandu nilai, ibarat pengembara di padang luas berjalan tanpa arah, bisa
dianggap dan bahkan bisa dikatakan tersesat daripada selamat.
Dalam kamus Bahasa Indonesia, kata “pikir” mempunyai arti akal budi,
ingatan, angan-angan; dan kata dalam hati, pendapat (pertimbangan). Sedangkan
kata “berpikir” diartikan menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan
memutuskan sesuatu dengan menimbang-nimbang dalam ingatan. “Memikirkan”
arti mencari daya upaya untuk menyelesaikan sesuatu dengan menggunakan akal
budi. “Pemikiran” adalah cara atau hasil dari pikir. Karena “pikir” berasal dari
bahasa arab fikr, tentu akan lebih utama jika merujuk kepada asal usul bahasa.
xxix
Kata fikr terdiri dari huruf fa’( ف );kaf ( ك ) dan ra’( ر ), dari bentuk fi’l;
fikara-yafkiru, artinya “menggunakan akal untuk sesuatu yang di ketahui, untuk
mengungkapkan perkara yang tidak diketahui”. Dari kata fikr timbul tafkir (dari
fakkara-yufakkiru), yang artinya “memfungsikan akal dalam suatu masalah untuk
mendapatkan pemecahannya” (Al-mu’jam Al-Wasiith).
Ada beberapa pendapat atau pengertian yang dikemukakan oleh para ahli
pikir. Tidak ada perbedaan yang mendasar diantara mereka, definisi atau ta’rif itu
sebagai berikut :
• Pemikiran atau berfikir adalah kata benda dari aktivitas akal yang ada
di dalam diri manusia, baik kekuatan akal berupa qalbu, roh, atau
dhzin, dengan pengamatan atau pendalaman untuk menemukan makna
yang tersembunyi dari persoalan yang dapat diketahui, maupun untuk
sampai pada hukum atau hubungan antar sesuatu (Toha Jabir Al-
Alwani, 1989). (Referensi Toha Jabir Al-Alwani, Dr.t.t., Krisis
Pemikiran Modern Diagnosi dan Resep Pengobatan. LKPS. T.k,)
• Menurut Ibnu Khaldun (1986), berfikir atau fikr ialah penjamahan
bayang-bayang yang telah di indra – di balik perasaan – dan aplikasi
akal di dalamnya untuk membuat analisis dan sintesis (Ibnu Khaldun,
1986).
- Muhammad Imarah (1994), mengatakan bahwa “pemikiran” secara
terminologi adalah pendayagunaan pemikiran terhadap sesuatu dan
sejumlah aktivitas otak, berupa berpikir, berkehendak, dan perasaan
xxx
yang bentuk paling tingginya adalah kegiatan menganalisis, menyusun,
dan mengkoordinasi.
Dari beberapa makna dan pengertian berpikir tersebut, kita dapat
mengetahui bahwa dalam berpikir terdapat beberapa hal, yaitu :
1. Adanya kegiatan atau aktivitas akal budi yang berupa pengamatan,
perenungan, analisis, dan sintesis.
2. Adanya “sarana” yang berupa indra, akal, dan hati (roh).
3. Adanya sesuatu yang telah diketahui.
4. Adanya sesuatu yang akan diketahui atau dihasilkan berdasarkan
hal-hal yang telah diketahui.
Pengertian berpikir sangat dikenal oleh para mufakkir adalah yang
dikemukakan oleh Imam Ghazali. Pengertian yang dikemukakannya lebih praktis
dan operasional. Beliau mengatakan,6 “Ketahuilah, berfikir itu menghadirkan dua
makrifat (premis, pernyataan, tinjauan, aspek) yang mendahuluinya. Jika
permasalahannya lebih luas, maka semakin banyak premis atau makrifat yang
dikemukakan, kesimpulannya akan semakin kuat.
Dari definisi Al-Ghazali tersebut, dapat pula dipahami bahwa
menyimpulkan sesuatu hanya dengan satu premis (makrifat/mukadimah), besar
kemungkinannya tidak akan bisa sampai pada hakikatnya; atau dengan kata lain,
tidak akan memperoleh konklusi yang benar dan valid. Jika benar, hanyalah
sebuah kebetulan dan kadang bersifat parsial. Karena itu, ia belum atau tidak
dapat mempertanggungjawabkan secara ilmiah.
6 Sebagaimana di kutip oleh Dr. Thoha Jabir Al-Alwani dalam Krisis Pemikiran Modern
Diagnosis dan Resep Pengobatannya (1989), dan M. Yaqzhan dalam Anatomi Budak Kufar
(1993).
xxxi
Kita sedikit mencerna dan memahami bahwa pemikiran adalah sebuah
pendayagunaan otak dengan menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan
dan memutuskan sesuatu ; menimbang-nimbang dalam ingatan. “Memikirkan”
artinya mencari daya upaya untuk menyelesaikan sesuatu dengan menggunakan
akal budi. “Pemikiran” adalah cara atau hasil pikir.
Oleh karena itu, berfikir, sesungguhnya suatu kebutuahn insani yang tdak
terelakkan untuk tumbuh dan berkembang, yang sekaligus merupakan kebutuhan
akan aktualisasi fitrahnya. Lebih tegasnya, manusia tidak dapat lepas dari berfikir,
seberapa pun intensitas dan kuantitasnya.
B. Pengertian Kiprah
Kiprah adalah sebagai tindakan, aktivitas, kemampuan kerja, reaksi cara
pandang seseorang terhadap ideologi atau institusinya.7 Segala sesuatu yang
berhubungan dengan tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh manusia
merupakan aktivitas, yang mana aktivitas tidak bisa dipisahkan dengan organ
keseluruhan yang melekat pada diri.
Aktivitas dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, yang diterbitkan oleh
Departemen Pendidikan Nasional (2000). Aktivitas berarti keaktifan ; kegiatan ;
kerja atau salah satu kegiatan kerja yang dilaksanakan dalam tiap bagian.
Sedangkan aktivitas dakwah adalah salah satu aktivitas keberagamaan
yang sangat urgen dalam Islam, serta memiliki posisi strategis, sentral dan
menentukan. Di dalamnya mengandung seruan atau ajakan kepada keinsafan atau
usaha mengubah situasi yang buruk kepada situasi yang lebih baik dan sempurna,
7 WJS. Purwodarminata, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1976),
h. 57
xxxii
baik terhadap pribadi maupun masyarakat. Dalam ajaran Islam, dakwah
merupakan suatu kewajiban yang dibebankan oleh agama kepada pemeluknya.
Terwujudnya dakwah bukan sekedar usaha peningkatan pemahaman
keagamaan dalam tingkah laku dan pandangan hidup saja, tetapi juga menuju
sasaran yang lebih luas. Apalagi pada masa sekarang ini, dakwah harus lebih
berperan menuju pelaksanaan ajaran Islam secara menyeluruh dalam berbagai
aspek kehidupan.
M. Quraish Shihab memberikan pengertian tentang dakwah dalam
bukunya membumikan Al-Qur’an sebagai sebuah seruan ajakan kepada
keinsyafan atau usaha mengubah situasi kepada situasi yang lebih baik terhadap
pribadi maupun masyarakat. Perwujudan dakwah bukan sekedar usaha
peningkatan pemahaman keagamaan dalam tingkah laku dan pandangan hidup
saja, tetapi juga menuju sasaran yang lebih luas. Apabila pada masa sekarang ini,
ia harus lebih berperan menuju kepada pelaksanaan ajaran Islam secara
menyeluruh dalam berbagai aspek kehidupan.8
C. Pengertian Dakwah
Secara etimologi, kata dakwah berasal dari bahasa Arab yang berarti “doa,
seruan, panggilan, ajakan, undangan ataupun permintaan.9 Sementara dalam
kamus bahasa Indonesia, dakwah didefinisikan : “Penyiaran atau propaganda,
8 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 1995), h. 466
9 A. W. Munawir, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia Lengkap, (Jakarta: Pustaka Progresif,
1997), Cet Ke-14, edisi 2, h.407
xxxiii
penyiaran agama dan pengembangannya dikalangan masyarakat, seruan untuk
memeluk, mempelajari dan mengamalkan ajaran agama.10
Dari makna kata dakwah di atas dapat disimpulkan bahwa kata dakwah
mengandung unsur panggilan, ajakan atau seruan. Sedangkan secara terminology,
banyak pendapat tentang difinisi dakwah. Quraish Shihab mendifinisikan dakwah
sebagai “seruan atau ajakan kepada keinsyafan, atau usaha mengubah situasi
kepada situasi yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap pribadi maupun
masyarakat, dan dakwah seharusnya berperan dalam pelaksanaan ajaran agama
Islam secara menyeluruh dalam berbagi aspek kehidupan.11
Keterlibatan seorang muslim di dalam gerakan dakwah menjadi suatu
keharusan, sesuai dengan potensi yang dimilikinya masing-masing. Dengan
demikian menjadi jelas bahwa dakwah merupakan kewajiban yang harus diemban
oleh setiap pribadi yang merasa dan mengaku muslim demi terwujudnya
kehidupan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dakwah memang berintikan pada
pengertian mengajak manusia untuk berbuat kebajikan dan menghindarkan diri
dari keburukan. Ajakan tersebut dilakukan dengan tujuan tegaknya Islam. Dengan
kata lain, dakwah sebenarnya bertujuan untuk menghidupkan atau untuk
memberdayakan, sehingga masyarakat memperoleh momentum untuk
meningkatkan taraf hidup sejahtera, serta menimbulkan suasana yang kondusif
bagi tegaknya nilai-nilai Islam.12
10
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta :
Balai Pustaka, 1997), Cet.ke 9, h.205 11
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an Fungsi dan Peranan Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1988) Ce. Ke-17, h. 194 12
Yunan, Dakwah dalam Perspektif Otonomi Daerah, Risalah dakwah, Penerbit Fakultas
Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, vol. 5 No.1 Juni 2003 h. 16
xxxiv
Memahami dakwah bukan hanya mengajak orang lain untuk selalu
mengikuti larangan dan perintah Allah. Akan tetapi adalah ajakan pada kebaikan,
dengan tulisan, lisan dan keteladanan diri. Dakwah merupakan nilai kepedulian
dan kesadaran dan merupakan pekerjaan mulia yang membutuhkan perjuangan
dan pengorbanan.
Dakwah akan semakin memiliki makna bila dimulai dari diri sendiri. Bila
sudah dimulai orang lain pun akan melihat kenyataan jalan hidupnya, karena
mana mungkin orang lain berubah kalau dalam diri da’i tidak ada tindakan nyata.
Dalam kerangka epistemologinya, dakwah memiliki sistem. Sistem ini
saling berkesinambungan antara satu dengan yang lainnya, yaitu: da’i, mad’u,
materi dakwah, media dakwah, metode dakwah, dan tujuan dakwah. Jika aktivitas
dakwah ingin berjalan dengan baik, maka keenam sistem tersebut harus ada
(seiring berjalan). Apabila salah satu diantaranya tidak ada, otomatis aktivitas
dakwah tidak akan berjalan dengan baik. Di era globalisasi, media dakwah yang
digunakan sangat memegang peran penting. Oleh karena itu, media dakwah harus
menjadi salah satu unsur yang harus diperhatikan.
Hamzah Ya’qub membagi media dakwah menjadi lima, yaitu: media lisan,
tulisan, lukisan, audio visual, dan akhlak. Sedangkan Moh. Ali aziz membagi
media menjadi dua, yaitu: media tradisional dan modern (elektronik).13
Media
tradisonal ini cukup banyak, salah satu diantarnya adalah wayang. Media wayang
ini dahulu digunakan oleh para Walisongo saat berdakwah menyebarkan ajaran
agama Islam di Indonesia, khususnya di pulau Jawa.
13 DR. Moh. Ali Aziz M.Ag,”Ilmu Dakwah”, (Jakarta: Kencana, 2004), Cet. Ke-1, h. 120.
xxxv
Di era tradisional dakwah biasa dilakukan di tempat ritual keagamaan
(mesjid atau surau) atau majlis ta’lim dengan media seadanya. Seiring dengan
perkembangan zaman, media dakwah lebih variatif dan bisa dilakukan dimana
saja (fleksibel). Tentunya dengan bantuan media yang canggih, yang dapat
meminimalisir hambatan-hambatan efektivitas dakwah.
Sementara media modern (elektronik) ramai digunakan di millenium ke
tiga, yaitu di zaman sekarang ini. Media modern ini berupa radio, film, televisi,
internet, dan semacamnya. Dakwah sebagai komunikasi keagamaan dihadapkan
kepada perkembangan dan kemajuan teknologi komunikasi yang semakin
canggih, memerlukan adaptasi terhadap kemajuan tersebut.14
Kalau di era tradisional dakwah hanya dilakukan di tempat tertentu, maka
saat ini dakwah bisa dilakukan dimanapun dan kapanpun. Karena media massa
sudah mampu mengatasi salah satu faktor penghambat aktivitas dakwah (jarak,
ruang, dan waktu). Media massa yang dimaksud adalah televisi. Kemampuannya
melipat jarak, ruang, dan waktu ditambah dengan kekuatan audio-visual membuat
aktivitas dakwah menjadi lebih masif dan komprehensif.
1. Tujuan Dakwah
Tujuan Dakwah dalam agama Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan
Hadits pada hakikatnya untuk mengubah orang lain atau situasi (changing
situation) ke arah yang lebih baik dengan cara menanamkan ajaran Islam untuk
menciptakan kehidupan yang Islami dalam berbagai bidang, baik di bidang
ekonomi, sosial, politik, maupun budaya.
14
DR. M. Bahri Ghazali, “Dakwah Komunikatif: Membangun Kerangka Dasar Ilmu
Komunikasi Dakwah,” (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1997), Cet. Ke-1, h. 33.
xxxvi
Menurut Sayyid Qutub, bahwa tujuan dakwah adalah mengenal Allah
SWT dan mengesakan-Nya (tauhid)15
bila manusia memiliki landasan tauhid yang
kuat, maka implementasi dari sikap tauhid tersebut adalah bagaimana
mengaplikasikan ke dalam aspek tata kehidupan.
Oleh karena itu, dakwah sebagai suatu sistem perjalanan peradaban
manusia harus berfungsi membentuk manusia mencari kebaikan, dan dakwah
harus hadir sebagai pedoman manusia untuk dijadikan pelita hidup, serta
mengarah pada pencapaian kemajuan manusia untuk tujuan yang baik, dan juga
mempererat tali Allah dengan tali manusia.
2. Unsur-unsur Dakwah
Islam adalah agama dakwah, yaitu agama yang menugaskan ummatnya
untuk menyebarkan dan menyiarkan Islam kepada seluruh umat manusia sebagai
rahmatan lil ‘alamina. Islam dapat menjamin terwujudnya kebahagiaan dan
kesejahteraan manakala ajarannya dijadikan sebagai pedoman hidup dan
dilaksanakan secara konsisten serta konsekuen. Usaha menyebarluaskan Islam dan
realisasi terhadap ajarannya melalui dakwah.
Terlepas dari perbincangan dan analisis dari definisi dakwah yang sudah
ada dalam fokus pembahasan ilmu dakwah ada lima faktor atau komponen dalam
dakwah yang selalu ada dalam pelaksanaan kegiatan dakwah. Diantaranya, subjek
dakwah (al-da’i), kedua objek dakwah atau sasaran (al-mad’u) ketiga materi
dakwah (maudu’u al-dakwah) keempat metode dakwah (asalib al-dakwah) dan
kelima media dakwah (wasail al-dakwah).
15 Sayyid Qutub, Ma’lim Fi Thoriq (Kairo : Dasar al-Syuruq 1979)
xxxvii
a. Subjek Dakwah (Da’i)
Dalam tinjauan terminologis bahwa dakwah adalah menyeru atau
mengajak umat manusia baik perorangan maupun kelompok kepada
agama Islam. Dalam pengertian tersebut diatas, maka dapat diambil kata
da’i sebagai subjek dakwah itu sendiri.16
Maju mundurnya Islam tergantung dari kegiatan dakwah yang
dilakukan umatnya, karena dakwah pada hakekatnya adalah untuk
meningkatkan kualitas dari berbagai segi kehidupan.
Setiap muslim berkewajiban melakukan dakwah dengan cara
masing-masing tanpa kecuali. Dengan melalui profesinya seorang dapat
melakukan dakwah, begitupun dengan keterampilan dan kegiatan sehari-
hari.
Seorang muslim dimanapun berada, harus sadar bahwa dirinya
adalah subjek dakwah, muslim sendiri merupakan pelaku dakwah yang
tidak boleh absent. Tidak pengecualian seseorang untuk lepas dari
partisipasinya sebagai subjek dakwah. Dalam keadaan dan situasi
bagaimanapun manusia yang merasa dirinya muslim berkewajiban
mengingatkan orang lain pada sesuatu yang mendekatkan diri pada
tuhannya, sehingga sebagai subjek ia harus terlebih dahulu mengadakan
intropeksi terus menerus terhadap perilaku dirinya, agar apa-apa yang
dilakukannya bisa diikuti dan di teladani oleh yang lain.
16
Zaini Muhtaram, Dasar-dasar Manajemen Dakwah (Yogyakarta : al-Amin Press dan
IFKA, 1996), h. 14
xxxviii
Subjek dakwah yang tidak mau memperbaiki dan mendidik diri
dengan kesabaran dan keteguhan hati serta kemauan yang keras untuk
merubah maka akan mendapat celaan dari orang lain serta dimurka oleh
Allah SWT sesuai dengan surat As-Shaff ayat 2 dan 3 :
�BC(D)E =>�F.G� ��"H�� I� J�� ��
�H L 6�8:8�M @A N O �Q�H (R� G � 63
��� �� �H L J�8:8�M @S
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu
mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?. Amat
besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tidak kamu kerjakan”(Qs : As-Shaff :2-3)
Oleh karenanya dalam rangka mengemban tugas amanah Allah
SWT, para pelaku dakwah (da’i) yang bertugas menyampaikan pesan
Illahi, maka seorang da’i harus memiliki bekal ilmu yang cukup baik entah
itu ilmu agama maupun ilmu lainnya. Ini semua dibutuhkan, sebab
tantangan yang di hadapi subjek dakwah semakin berat. Disamping itu
sebagai bekal tambahan da’i, seharusnya berkonsentrasi pada suatu bidang
tertentu sesuai dengan bakatnya. Sehingga objek dakwah dapat diarahkan
dengan modal memadai dalam rangka menyesuaikan kapasitas mad’unya.
Dengan cara seperti itu da’i akan mampu mewujudkan sikap menuju
kearah sikap yang lebih baik.
b. Objek Dakwah (Sasaran Dakwah)
xxxix
Dakwah adalah proses mengajak umat manusia menuju jalan
Tuhan demi kebahagiaan mereka di dunia maupun di akhirat. Manusia
yang menjadi objek dari aktivitas dakwah tersebut tidak hanya bersifat
individual (perorangan) tetapi juga dapat bersifat kelompok. Karenanya,
dalam menentukan strategi dakwah perlu memperhatikan keunikan
individu sebagai individu dan keunikan individu sebagai anggota
masyarakat.17
Objek dakwah sangat luas yang merupakan bentuk masyarakat
yang beraneka ragam latar belakang dan kedudukannya. Beraneka ragam
pola problematika yang dihadapinya, melibatkan di dalamnya manusia
yang merupakan anggota masyarakat yang mempunyai kepentingan dan
kepribadian. Mereka adalah manusia yang menjadi khalayak yang akan
diajak kedalam Islam secara kaffah, karena mereka bersifat heterogen dari
segi latar belakang sosial maupun ideologi.
Keunikan individu dalam masyakat terjadi karena pola tingkah
laku yang spesifik dari individu tersebut. Keunikan individu artinya, setiap
individu memiliki karakteristik, sifat, dan kebutuhan yang berbeda.
Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya
pertama, faktor usia. Kelompok usia yang tidak sama menimbulkan ciri,
sifat, dorongan, perhatian, dan kebutuhan yang tidak sama. Kedua faktor
ideologi. Dalam masyarakat terdapat beberapa macam ideologi missalnya
yang beragama Islam namun masih mempercayai hal-hal yang mistik,
17 Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta : Rineka Cipta) h. 73
xl
beragama Islam non sekte, beberapa sekte Islam dan lain-lain. Ketiga,
faktor status sosial dan status ekonomi. Tinggi rendah status sosial
seseorang menunjukkan derajatnya. Status sosial di pengaruhi oleh
pendidikan yang telah di capai atau jabatan maupun pekerjaan sehari-hari.
Sedangkan tinggi rendah status ekonomi di ukur oleh sedikit banyaknya
penghasilan dan harta kekayaan yang dimiliki. Adanya status sosial dan
status ekonomi yang berbeda-beda membawa implikasi praktis terhadap
pola kehidupan seseorang di masyarakat. Bila pola hidup tidak sama, tentu
cara hidup individu tersebut menimbulkan keunikan-keunikan individu
dalam masyarakat.18
Sehubungan dengan kenyataan-kenyataan diatas, maka dalam
pelaksanaan program kegiatan dakwah perlu mendapatkan konsedarasi
yang tepat meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Sasaran yang menyangkut kelompok masyarakat dilihat dari
segi sosiologis, berupa masyarakat terasing, pedesaan, kota
besar dan kecil serta masyarakat di daerah marginal dari kota
besar.
2. Sasaran masyarakat yang dilihat dari segi struktur
kelembagaan, berupa masyarakat, pemerintah dan keluarga.
3. Sasaran masyarakat yang dilihat dari tingkat usia, berupa
golongan anak-anak, remaja, dan orang tua.
18 Asmuni Syukri, DasarStrategi Dakwah Islam, (Surabaya : al-Ikhlas, 1983) h. 96
xli
4. Sasaran masyarakat yang dilihat dari segi tingkat hidup sosial-
ekonomis berupa golongan orang kaya, menengah, miskin dan
seterusnya.19
Bila dilihat dari psikologis kehidupan masing-masing golongan
masyarakat tertentu, maka dapat dilihat bahwa mereka memiliki ciri-ciri
khusus yang menuntut sistem dakwah yang berbeda satu dengan yang
lainnya. Oleh sebab itu masalah masyarakat ini harus dipelajari dengan
sebaik mungkin sebelum melangkah ke dalam aktivitas dakwah
sesungguhnya. Da’i hendaknya melengkapi dirinya dengan beberapa
pengetahuan dan pengalaman yang erat hubungannya dengan masalah
masyarakat seperti sosiologis, ekologi, psikologi, ekonominya, serta
mengaplikasikan sabda Rasulullah “bicaralah dengan mereka (manusia)
sesuai dengan kemampuannya.
c. Materi Dakwah
Pada dasarnya materi dakwah hanyalah berlandaskan Al-Qur’an
dan As-sunah sebagai sumber utamannya, kuduanya merupakan materi
utama yang harus disampaikan dengan bahasa yang mudah dimengerti
oleh masyarakat. Al-qur’an yang merupakan wahyu Allah mutlak
kebenarannya dan dijaga keutuhan dan kebenarannya, al-quran adalah
kitab suci umat Islam yang di turunkan oleh Allah melalui malaikat Jibril
kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman hidup yang harus di taati
19 Arifin, Psikologi Dakwah Suatu Pengantar Studi (Jakarta : Bumi Aksara, 1994), h. 3
xlii
dan dipatuhi umat manusia sebagai landasan hidup demi keselamatan
hidup di dunia maupun di akhirat
Sebagai pedoman hidup, Al-quran mengandung secara lengkap
petunjuk, pedoman, sejarah serta prisip-prinsip baik mengangkat masalah
keyakinan, peribadatan, pergaulan, akhlak dan lain-lain.20
Al-Quran sebagai rujukan asal dakwah Islam, apabila ada da’i yang
tidak berpedoman kepada Al-Qur’an, maka ia jauh dari panduan dan
rujukan Islam. Al-Qur’an yang merupakan kitab petunjuk dan pembawa
rahmat untuk seluruh alam, segala panduan terhadap aturan hidup dan
kehidupan antara manusia dengan sang khalik, alam, masyarakat, dan diri
sendiri termuat dalam Al-quran.
Jadi dengan melihat keluasan ajaran Islam yang terkandung dalam
Al-Qur’an dan hadits sedemikian rupa, maka seorang da’i dituntut untuk
memilah dan menentukan topik tertentu yang akan di sampaikan pada
mad’u yang menjadi objek dakwahnya, dengan harapan mad’unya dapat
memahami apa yang disampaikan dan sesuai dengan Al-Qur’an.
d. Metode Dakwah
Dari segi bahasa, metode berasal dari dua perkataan yaitu “meta”
(melalui) dan “hodos” (jalan, cara).21
Dengan demikian kita dapat artikan
bahwa metode dakwah merepakan cara atau jalan yang harus dilalui untuk
mencapai suatu tujuan.
20
Slamet Muhaimin Abda, Prinsip-prinsip Metodologi Dakwah, Cet I (Surabaya : Usaha
Nasional, 1994), h.45 21 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Akasara, 1991), cet. Ke-1 h. 61
xliii
Sumber yang lain menyebutkan bahwa metode berasal dari bahasa
Jerman methodica artinya ajaran tentang metode. Dalam bahasa Yunani
metode berasal dari kata thariq.22 Apabila kita artikan secara bebas,
metode adalah cara yang telah di atur dan melalui proses pemikiran untuk
mencapai suatu maksud.
Dalam memahami metode dakwah, yakni bagaimana cara yang
digunakan oleh para juru dakwah untuk menyampaikan ajaran atau materi
dakwah. Dalam menyampaikan suatu pesan dakwah, metode sangat
penting peranannya, suatu pesan walaupun baik, tetapi apabila
disampaikan dengan metode yang tidak benar, maka pesan itu bisa saja di
tolak oleh si penerima pesan.
Metode juga seperti halnya prinsip dimana mengandung pengertian
dasar atau berdasarkan asas kebenaran yang menjadi pokok dasar berfikir,
bertindak, dan sebagainya yang dianggap sebagai sebuah metode dalam
menyampaikan pesan dakwah. Sekalipun dakwah merupakan kewajiban
terhadap setiap muslim tanpa memandang apakah ia berasal dari golongan
manapun dan mengesampingkan status sosialnya. Akan tetapi, bukan
berarti dakwah dapat dilaksanakan sekehendak hati tanpa mengindahkan
tata cara yang sopan dan juga santun.
Secara tersurat prinsip-prinsip dakwah terdapat dalam Al-Qur’an
yang terdapat dalam surat An-Nahl ayat 125, yang di dalamnya terdapat
tiga hal penting sebagai acuan dalam melakukan dakwah.
22 Hasanudin, Hukum Dakwah, (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya 1996), Cet Ke-1 h. 35
xliv
����� ��� ��� � ����� ��☺���������
������☺� �! ��"#���� $ %'� �()*! +,-. ���
��/ 0#123 4 56� �7�� �8/ 9%:13 0☺�� 5�; 0
<�3���� � $ �8/! 9%:13 =>�(?1'☺� ��� @;A�
Artinya : “Serulah (manusia) kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang
lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.(Qs :
An-Nahl : 125)
1. Bi al-Hikmah (dengan cara bijaksana)
Secara etimologi al-hikmah mempunyai arti : al-adl (keadilan), al-
hilmu (kesabaran), al-Nubuwah yang dapat mencegah seseorang dari
kebodohan, mencegah seseorang dari kerusakan dan kehancuran, setiap
perkataan yang cocok dengan al-haq (kebenaran), juga meletakkan sesuatu
pada tempatnya.23
Secara terminologi, hikmah adalah memperhatikan situasi dan kondisi
sasaran dakwah, materi yang disampaikan tidak memberatkan mad’u,
tidak membebani sesuatu yang memberatkan sebelum jiwa menerimannya,
banyak sekali cara yang di tempuh untuk mengajak mereka sesuai dengan
keadaannya, tidak perlu mengebu-gebu dan bernafsu, karena semua itu
melampaui batas hikmah.24
23
Muhammad Husain Abdullah, Metodologi Dakwah dalam Al-Quran, cet-I (Jakarta :
lentera, 1997) h. 40 24 Ghazali Darus Salam, Dakwah Yang Bijak, Cet-II (Jakarta : Lentera), h. 26
xlv
Selain itu, hikmah sering kali diterjemahkan dalam pengertian
bijaksana, yaitu suatu pendekatan sedemikian rupa sehingga pihak objek
dakwah mampu melaksanakan apa yang di dakwahkan, apakah atas
kemauan sendiri, tidak merasa ada paksaan konflik maupun tertekan.
Dalam bahasa komunikasi, hikmah menyangkut apa yang disebut sebagai
frame of reference, field of reference dan field of experience, yakni situasi
total yang mempengaruhi sikap terhadap sikap komunikan (objek
dakwah).25
Dengan kata lain, hikmah yaitu berdakwah dengan memperhatikan
situasi dan kondisi sasaran dakwah dengan menitik beratkan pada
kemampuan mereka, sehingga di dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam
selanjutnya, mereka tidak lagi merasa terpaksa atau keberatan.
2. Mauidzah al-Hasanah (dengan cara yang baik)
Nasehat yang baik maksudnya adalah memberikan nasehat kepada
orang lain dengan cara yang baik, berupa petunjuk-petunjuk kearah
kebaikan dengan bahasa yang baik dan dapat mengubah hati, agar nasehat
tersebut dapat di terima, yang berkenan di hati dan menyentuh qalbu.
Sedangkan Ali Mustafa Yakqub menyatakan bahwa Mauidzah
Hasanah ialah ucapan yang berisi nasehat-nasehat yang baik dimana ia
dapat bermanfaat bagi siapa saja yang mendengarkannya, seperti pesan
25 Toto Tasmoro, Komunikasi Dakwah (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1987), h. 37
xlvi
dakwah yang memuaskan sehingga mad’u dapat membenarkan apa yang
disampaikan oleh subjek dakwah.26
Begitu juga dengan filosof Tantowi Jauhari, yang di kutip Faruq
Nasution yang mengatakan bahwa Mauidzah Hasanah adalah Mauidzah
Illahiyah, yakni upaya apa saja dalam menyeru manusia kepada jalan
kebaikan dengan cara rangsangan yang menimbulkan cinta dan
rangsangan yang menimbulkan waspada.27
Seorang da’i diwajibkan menyampaikan nasehat-nasehatnya, dengan
nasehat-nasehatnya yang faktual berupa Mauidzah Hasanah agar objek
dakwah dapat menentukan pikiran terhadap rangsangan, dengan kata lain
bahwa subjek dakwah harus mampu menyesuaikan dan mengarahkan
pesan dakwahnya, agar tujuan dakwah sebagai ikhtiar untuk
mengaktualisasikan nilai ajaran Islam kedalam kehidupan pribadi dapat
terwujud dengan benar, dan menjadi khairu ummah, yaitu umat yang adil
dan terpilih sehingga terwujudlah umat yang sejahtera lahir batin dan
bahagia dunia akhirat.28
3. Mujadalah
Kata wajadilhum bi-al-ati hiya ahsan adalah bertukar pikiranlah
dengan cara yang baik, melalui ayat tersebut betapa pentingnya
berdakwah, menyeru kebaikan dengan cara diskusi yang baik, selain ayat
26
Ali Mustafa Yakqub, Sejarah Metode Dakwah Nabi, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1997), h.
16. 27
Faruq Nasution, Aplikasi Dakwah dalam Studi Kemasyarakatan (Jakarta : Bulan Bintang
1986 ), h. 2. 28
Dra. Siti Muriah, Metodologi Dakwah Kontemporer, Cet-I (Yogyakarta : Mitra Pustaka,
2000), h. 48
xlvii
tersebut Al-qur’an juga menaruh perhatian besar pada gaya percakapan
dan diskusi. Dari fenomena ini tidaklah mengherankan, karena dakwah
merupakan cara yang terbaik dalam meyakinkan dan memberikan
kepuasan hati objek dakwah, rasa puas itulah yang menjadi pondasi iman
seseorang, karena iman tidak dapat dipaksakan. Ia timbul dari lubuk hati
manusia itu sendiri, diskusi merupakan salah satu upaya dalam bertukar
pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, tanpa adanya
suasana yang mengaharuskan lahirnya permusuhan diantara keduanya.
Selain metode diatas, dalam hadits muslim juga di terangkan tentag
dakwah, sebagaimana sabda rasul :
�� � ري ر�� ا �� ��ل ���� ر��ل ا ��� ا�� ا��! ا � ��
� , $�ن �" ی&*() $'�&�ن $�ن �" ,-.و��" ی�2ل م! رأي م�/" م�/-ا $� �
)روا, ا��&�"(ی&*() $'2�' وذ�6 ا��5 ا4ی��ن
Artinya : “Abu Said al-Chudry R.A. berkata : Saya pernah mendengar
Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa yang melihat
kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tanggannya,
kalau tidak mampu hendak menasehati dengan lisannya, kalau
tidak mampu hendaklah ingkar dengan hatinya dan itu
adalahpaling lemahnya iman.29
Dari sumber itulah tumbuh metode dakwah yaitu : pertama dakwah
dengan lisan yang berupa ceramah, seminar, khutbah dan lain-lain. Kedua,
dengan tulisan yang berupa buku, majalah, surat-surat kabar dan ketiga
29
Salim Bahresi, Terjemahan Riadhus Shalihin, Cet. IV (Bandung : PT al-Ma’arif, 1978),
h. 199
xlviii
dakwah dengan perbuatan yaitu berupa prilaku yang sopan dan sesuai
dengan ajaran Islam.
Seorang juru dakwah harus tetap menghormati seseorang yang akan di
ajak bicara tanpa melihat status sosialnya. Yang terpenting adalah harus
memiliki prinsip-prinsip yang kokoh dan bahwa kemenangan dalam
berdiskusi bukan menjadi tujuan yang utama. Akan tetapi berdiskusi
hanyalah semata-mata menyapaikan sebuah informasi yang benar dan
membawanya ke jalan kebenaran.
Salah satu sifat manusia adalah sombong dan berwatak keras kepala.
Maka apabila mereka menempati kedudukan yang terhormat di
lingkungannya. Akan tetapi tugas yang terpenting adalah harus selalu
menjaga dan selalu membimbing kepada jalan yang di ridhai oleh Allah.
Dengan menggunakan ketiga prinsip di atas, bahwa dakwah dapat
dikatakan berjalan serta mudah di terima oleh masyarakat yang pada
waktunya dapat mengantarkan mereka ke pintu kebahagiaan.
e. Media Dakwah
Media dakwah berasal dari kata media berasal dari bahasa latin
yaitu median yang berarti alat atau perantara, sedangkan menurut istilah,
“media adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alat
perantarauntuk mencapai tujuan tertentu.30
Sedangkan dalam kamus istilah komunikasi, “media berarti sarana
yang digunakan oleh komunikator sebagai saluran untuk menyampikan
30 Asmuni Syukri, Dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya : al Ikhlas, 1983),h. 163
xlix
pesan kepada komunikan, apabila komunikan jauh tempatnya, banyak
jumlahnya atau keduanya. Media juga mempunyai bentuk dan jenis yang
beranekaragam.31
Adapun media dakwah adalah segala sesuatu yang dapat
dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan dakwah yang telah
ditentukan. Media dakwah yang dimaksud dapat berupa barang (material),
orang, tempat, kondisi tertentu dan sebagainya.32
Dakwah adalah sebuah kewajiban bagi umat muslim, kepentingan
dakwah terhadap adanya alat atau media yang tepat untuk digunakan
dalam berdakwah sangat penting. Dapat dikatakan media dakwah dapat
memudahkan para juru dakwah untuk menyampaikan pesan pada khalayak
atau komunikannya dengan cepat dan pesan yang disampaikan dapat
tersebar dengan luas.33
Adapun media yang dapat digunakan oleh para da’i sebagi berikut :
1. Mimbar atau media tatap muka yaitu salah satu media dakwah yang
tertua yaitu melalui mimbar, para juru dakwah dapat menyampaikan
pesan dakwahnya atau isi ceramahnya pada jama’ah dari atas mimbar.
2. media elektronik yang merupakan salah satu media yang terpenting
dan sangat tepat untuk digunakan, karena menyeimbangkan
perkembangan dunia yang serba digital, sehingga keberadaannya
sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas. Para praktisi dakwah dapat
memaksimalkan media-media elektronik mengingat fungsi strategis
31
Ghazali BC.TT, Kamus Istilah Komunikasi,(Bandung:Djambatan, 1992)H, 1992), h. .227 32
Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2002) Cet. Ke-2.h. 33 M. Bahri Ghazali, Dakwah Komunikasi, cet I (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1997), h.12
l
dalam mentransfer informasi dengan cepat dan dapat menembus
berbagai penjuru. Dan dengan media elektronik ini kita dapat dengan
cepat memberikan pengetahuan dan wawasan keagamaan pada
khalayak sebagai objek dakwah dengan cepat.
3. media cetak yakni media dakwah yang berupa tulisan, dan juga
merupakan media awal yang usianya sama dengan bertatap muka.
Media cetak yang dapat digunakan dalam menyampaikan pesan
diantaranya melalui buku, majalah, surat kabar dan lain sebagainya.
Agar dapat di terimanya media cetak dalam menyampaikan pesannya,
hendaknya memperhatikan kebutuhan-kebutuhan yang dimiliki mad’u
agar mereka dapat dengan cepat meresap dan memahami sekaligus
menyampaikan kembali pesan yang terkandung dalam subtansi
dakwahnya dengan baik.
D. Peluang dan Tantangan Berdakwah di Indonesia
Menurut catatan sejarah, Islam datang ke Indonesia berasal dari India,
sehingga Islam yang ada di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh ajaran Hindu.
Unsur-unsur ajaran agama Hindu justru memudahkan menyebarkan ajaran Islam
di nusantara, khususnya di pulau jawa, karena mereka sudah mengenal ajaran
agama Hindu.
Sejarah juga mencatat bahwa tersiarnya ajaran Islam di Indonesia
merupakan karya besar dari kaum sufi dan mistik yang bersikap toleran terhadap
kebiasaan yang hidup di dalam masyarakat yang sebenarnya belum tentu sesuai
li
dengan ajaran tauhid. Oleh karena itu, bukan suatu hal yang kebetulan jika umat
Islam di Indonesia umumnya menyukai aspek tasawuf dan amalan-amalan
daripada ilmu theology dan fiqih34
Di antara kesemua, baik itu tasawuf, fiqih, kalam dan mistik. Maka ajaran
tasawuflah yang mendapat minat masyarakat, karena ajarannya berusaha
menyesuaikan diri dengan tradisi-tradisi dan adat yang ada di dalam masyarakat,
dan akhirnya ahli ilmu fiqih dan ilmu kalam, sedikit demi sedikit berkompromi
dengan ajaran mistik dan tasawuf yang terbuka terhadap adat dan istiadat yang
hidup dan berkembang di masyarakat Indonesia yang sebenarnya tidak sesuai
dengan ajaran pokok Islam yang didasari pada tauhid.
Harus diketahui juga, bahwa nama-nama kehormatan bagi raja-raja, seperti
misalnya Djohan Syah di Aceh, juga Sultan-sultan di Mataram yang
menggunakan Kalipatullah Panatagama yang berarti Khalifatullah yang menata
dan mengatur amalan-amalan agama. Demikian juga Istilah sembahyang untuk
sholat yang dipakai hingga saat ini tanpa konotasi bahwa sembahyang itu
menyembah ”Yang” yang bermakna dewa. Demikian pengaruh kaum sufi di abad
ke 16-17.
Disamping itu, banyak sisa animisme yang masih hidup berdampingan
dengan tauhid, seperti kepercayaan terhadap jimat, jampi-jampi, kayu dan batu
yang dianggap mempunyai daya untuk membuat untung-rugi, bahaya dan bahagia.
34 Pemimpin-pemimpin agama pada waktu itu bukanlah para Fuqoha atau Mutakalimun,
akan tetapi kebanyakan adalah guru-guru dan mubaligh penyiar Islam yang terkenal di abad 15 di
Sumatera Utara anatara lain Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar-Raniri, dan Abdul Rauf Singkel.
Mereka kesemuanya adalah ahli tasawuf. Begitu pula para penyiar agama Islam di Pulau Jawa
yang terkenal dengan ”Wali Songo”, semuanya adalah ahli mistik dan tasawuf yang toleran
terhadap adat dan kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat jawa pada waktu itu
lii
Kemudian keadaan itu tidaklah tetap. Tempat dimana pengaruh hindu
tidak kuat, maka sisa-sisa Hinduisme mulai hilang, dan ajaran-ajaran Islam murni
berangsur-angsur mengikisnya sedikit demi sedikit.
Pada abad ke-16 datang bangsa Eropa ke Indonesia yang membawa
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat memajukan
perdagangan dan pelayaran dengan kapal laut serta tarnsportasi lainnya.
Hubungan laut antara Eropa dan negeri Timur Tengah membuka juga hubungan
Indonesia dengan bangsa Arab.
Hubungan tersebut memberi pengaruh yang tidak kecil dalam budaya
bangsa Indonesia. Mereka mulai pergi haji, dan tidak sedikit mereka yang pergi
haji tersebut menjadi Ulama dan pengarang kitab-kitab dalam bahasa daerah yang
hidup di Indonesia dan mempunyai pengaruh dalam mengikis sisa ajaran
Hinduisme.
Disisi lain, banyak orang-orang Arab datang ke Indonesia untuk mengadu
nasib, sampai akhir abad ke-19, jumlah imgran semakin banyak, mereka
berdagang sambil mengajar atau menyiarkan agama. Dengan literatur yang ditulis
ulama-ulama Indonesia, diperkuat dengan kehadiran orang Arab Hadromaut
(Yaman), maka pelajaran-pelajaran agama di Pesantren-pesantren sedikit demi
sedikit mulai murni. Demikian juga rakyat jelata yang berhubungan langsung
dengan bangsa Arab, baik sebagai pedagang maupun mubaligh, dan juga
mendapatkan praktek-praktek agama yang murni.35
35 Soeroyo, dkk, Problematika dan Peta Dakwah di Abad XXI (Jakarta : Penerbit Yayasan
Kamil bekerjasama dengan PP IKPM Gontor, 1997) h. 11.
liii
Pada Awal abad ke 20, bangsa Arab mengambil tempat di Indonesia yang
sebelumnya di tempati India, sementara itu Muhammad Abduh dari Mesir pad
akhir abad 19 melancarkan usahanya untuk memodernisasi ajaran Islam, dengan
membentuk kelompok bernama Salafiyah. Golongan ini mempunyai pengaruh
yang tidak kecil, artinya dalam alam pikiran dan kehidupan agama Islam di
Indonesia.36
Di sisi lain, penetrasi bangsa Eropa, khususnya Belanda mempunyai
pengaruh buruk terhadap perkembangan Islam di Indonesia, mereka membawa
misi agama, baik Katolik maupun Protestan, dan bukan hanya di Pulau Jawa tetapi
juga di luar jawa dengan mendirikan sekolah-sekolah, sementara itu, lembaga
pendidikan Islam tidak efisien. Pada cendikiawan didikan Barat sikapnya acuh
dan terkadang memandang rendah kepada umat Islam. Mereka beranggapan
bahwa Islam itu kolot, menghambat kemajuan, dan lain sebagainya. Tentu sikap
ini tidak dapat disalahkan sepenuhnya, karena keadaan umat Islam di Indonesia
sendiri memang membenarkannya, ketika dalam keadaan sehari-hari yang tidak
dapat mencerminkan ketinggian dan keluhuran Islam. Dan faktor-faktor tersebut
yang melatarbelakangi berdirinya gerakan-gerakan Islam seperti Sarekat Dagang
Islam (1909), Sarekat Islam (1911) Muhammadiyah (1912) dan Nahdlatul Ulama
(1926). Keadaan tersebut terus berjalan sampai zaman kemerdekaan.
Setelah kemerdekaan dakwah berjalan dengan pasang surut, karena
pemerintah republik Indonesia mencurigai umat Islam yang menginginkan
36 Ibid., h. 1.
liv
berdirinya negara Islam, sehingga kedudukan umat Islam dipinggirkan dan sering
di pojokkan baik pada pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru.
Pada akhir Orde Baru, keadaan umat Islam sudah mengalami perubahan,
setelah berdirinya ICMI pada tahun 1990 dan umat Islam mulai ikut mengambil
keputusan. Bahkan kabinet Persatuan Pembangunan VI yang disebut kabinet yang
ijo royo-royo, disebabkan banyak tokoh Islam yang duduk di dalamnya.
Gerakan-gerakan Islam pada zaman kemerdekaan sampai reformasi ini
ditandai dengan usaha membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh-pengaruh
dan kebiasaan yang bukan Islami ; reformasi ajaran-ajaran pendidikan Islam ;
serta mempertahankan Islam dari pengaruh serangan-serangan dari luar termasuk
apologi, yaitu usaha untuk membuktikan kebaikan dan kebenaran Islam.
Kegiatan ini merupakan kerangka modernisme Islam di Indonesia, hal
tersebut dilakukan untuk memberi pengertian tentang Islam dengan nilai-nilai dan
ide-ide kemanusiaan.
Secara umum, peluang dan tantangan dakwah di Indonesia melalui kondisi
umat Islam Indonesia saat ini dapat digambarkan pada :
• Secara geografis, umat Islam Indonesia mendiami wilayah kepulauan
Nusantara yang membentang antara dua benua, Asia dan Australia dengan
luas wilayah 1.9 juta mil2 yang terdiri lebih dari 17.000 pulau dengan
ratusan suku dan bahasa.
• Jumlah umat Islam diperkirakan sekitar 85 % dari total penduduk
Indonesia yang mencapai 220 juta jiwa atau sekitar 187 juta.
lv
• Background (latar belakang) keagamaan sebelum kedatangan Islam adalah
Hindu dan animisme.
• Backgroud politik dan sistem pemerintahan adalah kerajaan-kerajaan, baik
sebelum Islam maupun setelah kedatangan Islam.
• Sepanjang sejarahnya Indonesia adalah satu-satunya wilayah Islam yang
terbesar yang belum pernah menikmati sistem Islam secara total atau
sistem Khilafah Islamiyah.
• Fakta historisnya, pernah dijajah selama 350 tahun oleh Belanda dan 3.5
tahun oleh Jepang. Nusantara adalah wilayah yang paling lama terjajah
dalam sejarah dunia Islam.
• Setelah merdeka dari jajahan Jepang 1945, berubah dan bersatu dalam
bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
• Dalam masyarakat Islam Indonesia masih terdapat berbagai ragam kultur
dan budaya peninggalan agama Hindu, khususnya di pulau Jawa. seperti
acara-acara keagamaan dalam pernikahan, kematian dan sebaginya,
animisme (khurafat dan kepercayaan-kepercayaan pada makhluk halus),
kerajaan-kerajaan dan peninggalan penjajahan Belanda veodalisme dan
sebagainya. Aneka ragam kultur dan buadaya tersebut masih mendominasi
kehidupan sebagian besaar umat Islam Indonesia, khususnya di pulau
Jawa.
• Background politik pasca kemerdekaan ialah 21 tahun (1945 – 1966)
dalam pemerintahan Seakarno (Orde Lama) yang cenderung sosialis-
komunis, 32 tahun (1966-1998) dalam kendali dan genggaman Soeharto
lvi
(Orde Baru) yang otoriter, militeristik, kapitalis dan sekular. Sejak 1998
sampai sekarang (2008) dalam era reformasi dan demokrasi kacau balau
yang telah dipimpin empat orang Presiden yakni, Habibie, Gusdur,
Megawati Soekarno Putri dan Jendral Susilo Bambang Yudhoyono yang
terkenal dengan sebutan “SBY’. Pemerintahan SBY kemarin kembali
memenangkan PEMILU 2009 yang kini berlanjut dan diberi nama menjadi
Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II.
• Kondisi ekonomi mayoritas umat Islam sangat lemah di mana mereka
hidup di bawah garis kemiskinan. Tingkat kemiskinan semakin hari
semakin meningkat. Bahakn sudah menembus angka 100 juta orang yang
pendapatan harian mereka hanya sekitar Rp 5.000,-.
• Kondisi pendidikan mayoritas Umat Islam adalah berpendidikan rendah,
bahkan banyak yang tidak tamat SD, khususnya yang tinggal di pedesaan.
• Kondisi pemahaman keagaman sangat hiterogen, kendati mazhab Imam
Syafii’e yang menjadi panutan dalam Fiqih (Hukum) Islam dan
Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam masalah ‘Aqidah dan keimanan. Tariqat
atau Tasawuf sangat diminati dan mudah tersebar luas tanpa melihat
apakah menyimpang dari ajaran Islam atau tidak.
• Umat Islam Indonesia terpolarisasi ke dalam banyak Ja’mah dan kelompok
organisasi sosial keagamaan seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama
(NU), Dewan Dakwah Islam iyah Indonesia (DDII) Persatuan Islam
(Persis), Al-Irsyad (kelompok keturunan Arab), Persatuan Umat Islam
(PUI), Al-Jam’iyyatul Al-Washliyah dan lain sebaginya.
lvii
• Di era Reformasi ini, secara politik, umat Islam terpolarisai ke dalam
banyak partai, baik yang menamakan diri Partai Islam seperti Partai
Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembanguna (PPP), Partai
BulanBintang (PBB), Partai Bintang Reformasi (PBR), ataupun partai
nassionalis sekular seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP),
Partai Golkar, Partai Demokrat (PD), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
dan Partai Amanat Nasional (PAN) serta berbagai partai gurem lainnya.
• Secara Gerakan Dakwah (Pergerakan Dakwah) umat Islam Indonesia
terpolarisasi kedalam banyak kelompok dan jama’ah seperti, Hizbuttahrir
Indonesia (HTI), Kelompok Tarbiyah/Ikhwanul Muslimin, Kelompok
Salafi, Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI),
Hidayatullah dan lain sebagainya.
• Secara psikologis, mayoritas Umat Islam Indonesia trauma dengan sistem
pemerintahan otoriter Orde Baru dan merindukan perubahan dan
perbaikan dalam berbagai lapangan kehidupan. Pemerintahan di era
Reformasi, khususnya setelah SBY-JK dan kini SBY-Boediono saat ini,
belum ada harapan yang besar dalam melakukan berbagai upaya untuk
macapa perubahan karena kurang mampu mengatasi berbagai bentuk krisis
yang diahadapi negara dan bangsa pasca kejatuhan Orde Baru tahun 1998.
lviii
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Bentuk penelitian skripsi ini, adalah penelitian lapangan (field research),
dimana penulis melakukan penelitian langsung ke lapangan guna mendapatkan
data yang dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini. Dan penelitian ini
menggunakan penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang memberikan gambaran
secara objektif suatu masalah dalam skripsi ini. Sedangkan teknik penulisan saya
menggunakan teknik deskriptif analisis yaitu memberikan gambaran terhadap
subjek dan objek penelitian.
A. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian adalah tempat memperoleh keterangan37
, yaitu
Andi Mappetahang dan referensi-referensi pendukung, serta dokumen-
dokumen yang berkaitan baik dari buku, tulisan serta aktivitasnya terutama
dalam berdakwah. Dan yang menjadi objek penelitian ini adalah Andi
Mappetahang Fatwa atau lebih di kenal dengan A.M. Fatwa.
Sumber data adalah mereka yang memberikan informasi tentang
objek penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi narasumber adalah H.
Andi Mappetahang Fatwa dan semua yang terlibat atau memiliki
hubungan baik secara organisasi maupun kerabat dekat A.M. Fatwa
dengan alasan mereka layak menjadi subjek penelitian.
37 Tatang M. Arifin, “Menyusun Rencana Penelitian,” (Jakarta: Rajawali
Press, 1989), hal. 13.
lix
B. Waktu Penelitian
Penelitian ini akan di mulai awal bulan Desember 2008 hingga
April 2009, dari memulai pengurusan perizinan hingga tahap
pengumpulan data yang dilakukan secara incidental (sesuai dengan
keperluan dalam melengkapi data).
C. Teknik Pengumpulan Data
a. Interview
Merupakan suatu alat pengumpulan informasi langsung
tetang beberapa jenis data.38
Dalam penelitian ini penulis langsung
mewawancarai H. Andi Mappetahang Fatwa.
b. Dokumentasi
Data diperoleh dari dokumen-dokumen yang berupa catatan
formal, dan juga buku-buku, majalah, Koran, dan catatan lain yang
ada kaitannya dengan penelitian ini.
c. Obeservasi
Yaitu penulis langsung mendatangi tempat di mana A. M.
Fatwa melakukan aktivitas kesehariannya, guna memperoleh data
yang valid tentang hal-hal yang menjadi objek penelitian.
D. Teknik Analisis Data
Dari data yang dikumpulkan, kemudian akan dianalisis dan
diinterpretasikan. Ada pun metode yang penulis gunakan dalam
menganalisa data adalah deskriptif analitik, maksudnya adalah cara
38 Sutrisno Hadi, “Metodologi Research” (Yogyakarta : Andi Offset,
1983), hal. 49
lx
melaporkan data dengan menerangkan dan memberi gambaran mengenai
data yang terkumpul secara apa adanya dan kemudian data tersebut
disimpulkan.
Penulisan skripsi ini mengacu kepada buku “Pedoman Penulisan Karya
Ilmiah” edisi terbaru terbitan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta CeQDA Press
(Center for Quality Development and Assurance)tahun 2007.
lxi
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISA DATA
A. Latar Belakang Keluarga dan Masa Kecil A.M. Fatwa
Andi Mappetahang Fatwa atau AM. Fatwa yang lahir di Mare, Bone
Sulawesi Selatan pada tanggal 12 Februari 1939. Anak bungsu dari 6 bersaudara
pasangan dari pasangan suami istri Petta Wawa dan Petta Pajja ini menempuh
pendidikan dasarnya (dulu Sekolah Rakyat /SR), di Mare.39 Mare merupakan
sebuah desa kecil di kawasan Propinsi Sulawesi Selatan tepatnya berada di
sebelah barat yang berbatasan dengan laut yang memisahkan antara Sulawesi
Selatan dengan Sulawesi Tenggara (Pesisir).
Keadaan lingkungan, adat istiadat, serta keberagaman masyarakat di desa
Mare pada saat itu (A.M. Fatwa kecil) mayoritas masyarakat disana memeluk
agama Islam, akan tetapi sangat kental dengan dunia Animisme sehingga dalam
keberagamaan / ritualnya pun tak lepas dari dunia Animisme.
Saat masih duduk di SD/SR, A.M. Fatwa sedikit mendapatkan pendidikan
agama dari keluarganya karena minim pendidikan dan hanya sebatas pelajaran
mengaji Al-quran secara tradisional di rumah.
Keterbukaan pandangan agama menjadi modern dimulai ketika Beliau
membaca buku-buku karangan Hamka, yang dipinjamnya dari tetangganya di
kampung yang sering berpergian ke Jawa. Dari membaca buku Hamka-lah yang
39 A.M. Fatwa, Demi Sebuah Rezim Demokrasi dan Keyakinan Beragama
Diadili, (Jakarta ; PT. Gramedia Pustaka, 2000) h. 521
lxii
mempengaruhi pola pikir dan pandangan mengenai wawasan keIslamannya.
Sehingga buku-buku tersebut yang mendorong Beliau mengambil sikap terhadap
praktek-praktek keagamaan di kampungnya yang masih tradisional dan
terbelakang dengan cara mengkritik cara-cara orang dalam mengunjungi maqam
(kuburan) yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Dari pasca membaca buku-buku Hamka serta karena keadaan di
kampungnyalah yang menyebabkan A.M. Fatwa berkeinginan untuk hijrah
sekolah ke Sumbawa.
B. Pendidikan dan Pengalaman A.M. Fatwa
Setelah beliau menyelesaikan pendidikan SR-nya di Mare, ia melanjutkan
pendidikan ke PGA/PGAA di Sumbawa dan Lombok, Nusa Tenggara Barat. Saat
kuliah di IAIN Jakarta, beliau juga kuliah di Universitas Ibnu Chaldun Jakarta
hingga menjadi sarjana muda Publisistik pada tahun 1964. Kemudian Beliau
melanjutkan kuliahnya di Fakultas Ketatanegaraan dan Ketataniagaan Universitas
17 Agustus 1945 (UNTAG) Surabaya, hingga menyelesaikan kuliah dengan
mendapatkan gelar sarjana pada tahun 1970 dengan ujian persamaan di UNTAG
Jakarta.
Disamping itu, Beliau mengikuti program pendidikan dan pelatihan
keorganisasian, selain ikut kursus Staf dan Kepemimpinan Pegawai PEMDA DKI
pada tahun 1975, beliau pun mengikuti latihan militer di Sekolah Dasar Perwira
KKO-AL (Marinir 1966/1967), serta kursus dan pelatihan manajemen pada
Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (LPPM) tahun 1979-1980.
lxiii
Pengalaman hidupnya banyak di isi dengan kegiatan keorganisasian. Pada
usia muda A.M. Fatwa sudah menjadi anggota Gerakan Pemuda Islam Indonesia
(GPII), Pandu Islam, Pelajar Islam Indonesia (PII) dari menjabat Sekertaris
Umum, tingkat Cabang dan sampai kini beliau menjadi Dewan Penasehat
Perhimpunan Keluarga Besar PII.
Beliaupun salah satu pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di IAIN
Jakarta yang kini telah menjadi UIN Jakarta. Kirpahnya di HMI pernah menjadi
ketua II Komisariat IAIN, ketua I Cabang Ciputat, dan sempat menjadi Anggota
Pengurus Besar pada tahun 1963-1964. Sebagai Alumni HMI, Beliau pernah
menjadi Wakil Ketua Korps Alumni HMI (KAHMI) Jakarta, dan kini menjadi
Penasehat Majelis Nasional KAHMI, Beliau pun aktif dalam berbagai kegiatan
Front Nasional Pusat dan menjadi Sekertaris Perserikatan Organisasi-organisasi
Pemuda Islam Seluruh Indonesia (PORPISI tahun 1962 / 1963)40
Beliau pun saat kuliah pernah mendapat beasiswa dari Angkatan Laut
sebagai Pelajar Calon Perwira AL untuk jurusan Imam Tentara tahun 1960 –
1963, dengan menjadi Ketua Korps Pelajar Calon Perwira AL-Komisariat Jakarta,
yang saat kongres di Malang tahun 1961 beliau terpilih sebagai Ketua Senat
Korps Pelajar Calon Perwira AL Se-Indonesia menggantikan Tarmizi Taher
(terakhir berpangkat Laksamana Muda) dari Universitas Airlanga.
Beliau pun pernah menjadi Staf Pribadi Gubernur DKI, Letjen Marinir Ali
Sadikin untuk masalah-masalah agama dan politik hingga tahun 1979, dan
merangkap Kepala Sub-Direktorat Pembinaan Masyarakat Direktorat Politik
40 A.M. Fatwa, Demi Sebuah Rezim Demokrasi.... h. 527
lxiv
Pemda DKI, Beliau pun memegang beberapa jabatan semi-official Pemda DKI
sebagai ketua Umum LP MTQ, Ketua Umum KODI (Koordinasi Dakwah Islam),
Sekertaris Badan Amil Zakat, Tim Pembina Rohani Pemda DKI, Sekertaris
Majelis Ulama DKI, dan Pimpinan Proyek Pembinaan Massa Pemda DKI.
Sejak tahun 1958 beliau menjadi anggota Muhammadiyah di Sumbawa,
dan Beliau pernah menjadi Pengasuh Panti asuhan Yatim di Mataram, dan beliau
menjadi Pengurus Pemuda Muhammadiyah Jakarta, Ranting sampai menjadi
Wakil Ketua Lembaga Hikmat PP Muhammadiyah, Beliau pun mengetuai
beberapa yayasan yang dirintis oleh Keluarga Muhammadiyah. Dan bahkan
sempat menjadi anggota Pleno Badan Kerjasama Ulama Militer (BKSUM) Jakarta
Raya.
Beliau juga aktif di PTDI (Pendidikan Tinggi Dakwah Islam) dan turut
mendirikan dan menjadi ketua bidang Organisasi dan Manajemen Dewan Masjid
Pusat tahun 1972 – 1979, setelah menjabat Sekjend Panitia Nasional
Penyelenggaraan MTQ Nasional V tahun 1972, Official Qory Indonesia MTQ
Internasional Kuala Lumpur Malaysia, dan kemudian beliau mendirikan Lembaga
Pembina MTQ DKI dan memimpin hingga 1979, beliaun pun sempat merintis
Konsep Pelembagaan MTQ secara nasional hingga terbentuknya LPTQ (Lembaga
Pengembangan Tilawatil Qur’an) tingkat nasional dan kini duduk sebagai
penasehat. Sebagai tindak lanjut MTQ Nasional beliau mendirikan Yayasan
Pendidikan berupa Kampus Pondok Karya Pembangunan di Cibubur.
Bersama Istrinya Nunung Nurdjanah, mendirikan Yayasan Putra Fatahilah
dengan mengelola beberapa Taman Kanak-kanak (TK) Islam dan Pendidikan
lxv
Guru Taman Kanak-kanak Islam (PGTI). Tahun 1975, Beliau turut menjadi
anggota Yayasan Badan Pembina Universitas Ibnu Khaldun Jakarta, dan juga
mendirikan dan menjadi salah seorang Ketua Yayasan Kebajikan Islam
Samanhudi Jakarta tahun 1974, bersama KH. Abdurrahman Wahid, Prof. DR.
Nurcholis Majid dan Kefrawi Ridwan, yang kemudian berlanjut menjadi Majelis
Pengajian Reboan yang dipimpin Eki Syachrudin dan Utomo Danajaya.
Beliau mensponsori berdirinya Group Diskusi Haji dan Menjadi
Sekertarisnya, dengan Ketua Syukri Ghozali (Ketua MUI Pusat) yang
mengumpulkan bahan, saran, dan perbaikan dan penyempurnaan perjalanan haji
Indonesia kepada Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin dan Pemerintah Pusat.
Kemudian, beliau memimpin proyek percobaan kafilah haji Pemda DKI tahun
1976, yang selanjutnya di kembangkan secara nasional menjadi kloter (kelompok
terbang).
A.M. Fatwa juga menjadi Sekjen Amal Muslimin 1976, saat di ketuai
Letjend Soedirman, sebuah konfederasi dari ormas-ormas Islam yang saat diketuai
Ny. R.A. B. Syamsuridjal mengantarkan kelahiran Partai Muslimin Indonesia
(Parmusi). Bersama Mr. Sjafruddin Prawiranegara, pada tanggal 5 Mei 1980, AM.
Fatwa turut serta dalam pernyataan dan keprihatinan/petisi 50 dan menjadi
Sekertaris Kelompok Kerja (POKJA) hingga di penjara dan menjadi tahanan
politik karena kasus “Lembaran Putih” Peristiwa Tanjung Priok 1984 dengan
hukuman 18 tahun penjara atas tuntutan seumur hidup, lalu diganti oleh Cris Siner
Key Timu.
lxvi
Sebelumnya Beliau pun mendirikan Korps Mubaligh Indonesia (KMI)
dan menjadi Ketua II KMI pada tahun 1982. hingga kini masih menjadi Badan
Pembina Yayasan Asrama Pelajar Islam (YAPI) yang mengelola Asrama
Mahasiswa Islam Sunan Giri dan Sunan Gunung Djati, yang dulu di rintis oleh
tokoh-tokoh Islam, seperti Prawoto Mangkusasmito, Yusuf Wibisono,
Muhammad Roem, Yusdi Ghozali, Anton Timur Djaelani dan Wartomo.
Beliau merupakan salah satu tokoh agama yang di tangkap karena pidato
dan ceramah agama yang di sampaikan kepada masyarakat di anggap menentang
pemerintahan Soeharto, karena Beliau melihat bahwa kebijakan yang dilakukan
dan diterapkan oleh Soeharto sangat merugikan masyarakat, sehingga AM Fatwa
sangat berani mengambil sikap dengan melakukan perlawanan dengan cara
berdakwah yang isinya membahas dan mengkritisi kebobrokan/kedzoliman
pemerintahan Soeharto, sehingga pemerintahan Soeharto mengharuskan dia untuk
dijebloskan ke penjara selama beberapa tahun oleh pemerintahan Soeharto karena
dianggap merusak keharmonisan dan cita-cita asas ideologi tunggal yaitu
Pancasila.
AM Fatwa merupakan salah satu tokoh politik yang sampai saat ini masih
konsern dalam menyebarkan Islam melaui pemikiran-pemikiran dan khutbah-
khutbah yang di sampaikan, bahkan sekarang beliau banyak menyuarakan melaui
tulisan-tulisannya, beliau juga pernah dipenjara pada masa rezim orde baru, akibat
dari khutbah-khutbah beliau yang menceritakan tentang kondisi rill pada saat itu,
dimana kekuasaan orde baru sangat otoriter dan sangat menghimpit umat Islam.
lxvii
“Mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya”. Inilah kalimat
terakhir yang digoreskan secara kuat oleh A.M. Fatwa dalam buku AM Fatwa dari
Mimbar ke Penjara. Perjalanan panjang dan melelahkan dari penjara ke penjara –
untuk menemukan kebebasan dan keadilan – sepertinya dia simbolkan dalam
sabda Illahi tersebut. Kita memang tidak dapat menukik ke dalam sanubari A.M.
Fatwa dan ikut bersamanya menyelami “kegelapan” yang pernah dilaluinya dan
cahaya yang kemudian menyinarinya.
AM Fatwa pun tidak hanya berdakwah saja, kita saat ini mengenal beliau
sebagai salah satu tokoh politik yang masih produktif hingga saat ini karena masih
menyampaikan pemikiran-pemikirannya melalui karya-karya dan buku yang di
terbitkan. Dengan banyak pengalaman yang dimiliki dan bahkan pernah
merasakan keadaannya sewaktu menjalankan aktifitasnya, sehingga membuatnya
ingin merubah keadaan sekarang agar tidak seperti kejadian-kejadian yang pernah
dialaminya pada saat ia menyampaikan pesan-pesan dakwah yang di anggap
mengandung unsur provokatif di masyarakat
A.M. Fatwa merupakan tokoh yang dikenal sangat kritis dan banyak
melakukan perlawanan melalui dakwah berserta materi yang disajikan di
dalamnya mempunyai beberapa konsep pemikiran untuk tetap kritis terhadap
rezim.
Konsistensi beliau terhadap nasib umat Islam, baik pada saat rezim Orde
Baru maupun setelah Orde Baru masih tetap diperjuangkan. Orde Baru harus
dijadikan pembelajaran, karena beliau selalu mengingatkan agar umat Islam harus
lxviii
bangkit untuk mengisi masa depan, agar lebih baik dan tidak hancur dan terpecah
belah dalam keterpurukan serta termarjinalisasi.
A.M. Fatwa saat ini telah menjadi ikon sebuah perlawanan yang telah
dilakukannya dengan sikap kritis pada rezim Orde Baru. Sikap kritis dan
perlawanannya terhadap setiap bentuk otoritarianisme dan penindasan sudah
menjadi ruh didalam dirinya.
Keprihatinan terhadap kondisi penguasa yang semakin otoriter, telah
mendorong A.M. Fatwa untuk aktif dan menjadi sekertaris Kelompok Kerja Petisi
50, yang merupakan sebuah gerakan moral yang melakukan perlawanan sengit
terhadap rezim Soeharto yang semakin represif, hal inilah yang membuat A.M.
Fatwa semakin tidak menyurutkan kritisismenya dan bahkan melakukan
perlawanan yang semakin sengit, dan hal tersebutlah yang menyebabkan A.M.
Fatwa di vonis 18 tahun penjara atas peristiwa Tanjung Priok pada tahun 1984.
Walaupun masa tahanan tersebut tidak dijalani sepenuhnya karena
mendapatkan pembebasan bersyarat dan juga mendapatkan amnesti setelah
jatuhnya rezim Soeharto. Akan tetapi, dari masa tahanan yang dijalani A.M.
Fatwa beberapa kali masuk penjara dan mendekam tidak kurang dari 12 tahun,
sebuah masa tahanan politik paling lama dibandingkan tahanan politik lainnya
khususnya di Asia Tenggara.
Bagi A.M. Fatwa, penjara bukan senjata yang bisa menghabiskan sikap
kritisnya, bahkan dari penjaralah perjalanan hidup politiknya dan menjadi tempat
pematangan politiknya. Dari penjara tersebut lahir banyak ide dan kreatifitas yang
lxix
tidak jarang mengguncang peradaban. Banyak karya-karya yang monumental
yang tercetus dari balik jeruji penjara.
Selama masa perjuangan hidup, Beliau dalam perjalanan terutama dalam
karir Dakwah telah menulis beberapa buku diantaranya :
1. Dulu demi Revolusi, kini demi pembangunan ; Eksepsi di Pengadilan (1985)
2. Demi Sebuah Rezim, Demokrasi dan Keyakinan Beragama Diadili; Ringkasan
Pledoi di Pengadilan (1986, 2000)
3. Saya Menghayati dan Mengamalkan Pancasila, Justru Saya Seorang Muslim ;
Sebuah Skripsi Pembebasan (1994)
4. Islam dan Negara (1995)
5. Agama dan Negara Dalam Konstelasi Politik Orde Baru (1997)
6. Menggugat dari balik Penjara, Surat-surat Politik A.M. Fatwa (1999)
7. Dari Mimbar ke Penjara (1999)
8. Satu Islam Multipartai (2000)
9. Demokrasi Teistis (2001)
10. Otonomi Daerah dan Demokratisasi Bangsa (2003)
11. PAN mengangkat Harkat dan Martabat Bangsa (2003)
12. Kampanye Partai Politik di Kampus (2003)
13. Dari Cipinang ke Senayan (2003)
14. Catatan dari Senayan (2004)
15. Melanjutkan Reformasi Membangun Demokrasi (2004)
16. Problem Kemiskinan, Zakat sebagai solusi Alternatif (ditulis bersama Djamal
Doa dan Arief Mufti (2004)
lxx
17. PAN Menyongsong Era Baru Keharusan Reorientasi (2005)
18. Pengadilan HAM AD HOC Tanjung Priok ; Pengungkapan kebenaran untuk
rekonsiliasi Nasional (2005)
19. Khutbah-khutbah politik A.M. Fatwa di Masa Orde Baru (2007)
20. Satu Dasawarsa Reformasi Antara Harapan dan Kenyataan (2008)41
Dari seluruh buku yang telah ditulisnya, sangat terlihat bahwa perjalanan
hidupnya tidak pernah lepas dari perjuangan yang telah memberinya kesempatan
untuk mengabdi pada kepentingan rakyat melalui perannya di parlemen.
Selain Produktif menulis buku, A.M. Fatwa juga banyak menerima
penghargaan dari berbagai Instansi-instansi organisasi atas peran yang
dimainkannya di parlemen. diantaranya :
1. Menerima Award sebagai “Pegawai Negeri dan Politisi yang
berpendirian” dari DPP KNPI, tahun 1999.
2. Menerima “Profil Top Indonesia 2002” dari pusat Profil dan Biografi
Indonesia, Mei 2002
3. Menerima “Top Executive Award 20002” dari yayasan Prestasi Indoensia,
10 Mei 2002
4. Menerima “Citra Manajemen Award 2002” dari Media Exekutive
Penunjang Karir dan Profesi, 30 Juni 2002
5. Menerima “Man of the Year 2002”, dari yayasan Penghargaan Indonesia,
13 September 2002.
41 Watson, C.W , Margono, Muhajjir Arief Rahmani, Membaca A.M. Fatwa ;
Perubahan dan Konsistensi, (Jakarta : Teraju, 2008) h. 159
lxxi
6. Menerima “Well Performed Men and Women of the Year 2003 Award”
dari Indonesia Lestari Foundatioon 19 September 2003.
7. Menerima Penganugrahan Gelar Marga “Ginting”, di Bastagi, Sumatera
Utara. 1 Maret 1999.
8. Menerima Penganugrahan Gelar Marga “Harahap” dengan panggilan
“Mangraja Ompu Sarudak Hatorangan”, dan sebutan untuk Istri “Namora
Ikutan Boru Regar”, di Padang Sidempuan, 4 Agustus 2001
9. Menerima Piagam Adat dari Sai Batin Raja Adat Keratuan Paksi Pak
Skala Brak (kerajaan tertua di Lampung) dengan gelar “Tumenggung Alip
Jaya”, 7 September 2003.
10. Menerima Piagam Adat dari Padang Sidempuan “Kanjeng Pangeran
Notohadinagoro” dari Pakubuwono XII Keraton Surakarta
11. Penyerahan ”Anugerah Negara Mahaputera Adipradana” dari Presiden
SBY pada Peringatan HUT Proklamasi RI ke-63 di Istana Negara tanggal
14 Agustus 2008
12. Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad menyerahkan pengahargaan sebagai
”Pejuang Anti Kezaliman” di Teheran pada tanggal 29 Januari 2009.
13. Mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Negeri Jakarta
di Bidang Pendidikan Luar Sekolah, Fakultas Ilmu Pendidikan pada
tanggal 16 Juni 2009.
lxxii
C. Dakwah menurut A. M. Fatwa
Dakwah merupakan suatu aktivitas yang sifatnya mengajak dan
merupakan suatu kewajiban yang harus dijalankan oleh seorang muslim guna
menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Hal ini sudah menjadi suatu tradisi sejak
Allah SWT menurunkan surat an-Nahl ayat 125 sebagai perintah kepada rasul-
Nya dan kemudian untuk dilanjutkan kepada generasi penerus umat (warisatul
anbiya’).42
Kata ud’u yang artinya diterjemahkan dengan “serulah” atau “ajaklah”
adalah fiil amr. Dalam kaidah atau aturan ushul fiqih menjadi wajib hukumnya
selama belum ada ketentuan lainnya yang dapat menggantikan hukum tersebut.
Sebagaimana dijelaskan Prof. H.M. Toha Yahya Omar, MA “…setiap fiil amr
menjadi perintah wajib yang harus dipatuhi selama tidak ada dalil-dalil lain
yang memalingkannya dari wajib itu kepada “sunnat” dan lainnya...”.43
Secara definitif banyak sekali para pakar ilmu dakwah yang memberikan
pengertian tentang apa itu dakwah. Dari berbagai pengertian yang mereka buat
dapat disimpulkan bahwa dakwah adalah mengajak seluruh umat manusia untuk
selalu menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya
berdasarkan al-Quran dan hadis yang telah diwariskan oleh nabi Muhammad
SAW.
Berbicara mengenai definisi, A. M. Fatwa juga memiliki definisinya
sendiri. Sebagai seorang praktisi dakwah yang bergelut di dunia politik, A. M.
42 Lihat TK. Ismail Yakub, “Dakwah Islam dan Kepastian Hukum : Aturan Permainan Itu Sudah Ada” (Yogyakarta: Prima Duta, 1983), Cet. Ke-1, hal. 101. 43 Prof. H. M. Toha Yahya Omar, MA, ”Islam dan Dakwah,” (Jakarta: PT. Al-Mawardi Prima, 2004), Cet. Ke-1, hal. 71.
lxxiii
Fatwa melihat dakwah merupakan “segala aktivitas yang bersifat mengajak atau
menyeru kepada kebenaran dan kebaikan yang diajarkan agama dengan tujuan
untuk menciptakan taraf kehidupan yang bahagia, baik di dunia maupun di
akhirat.” 44
Definisinya tentang dakwah bisa kita telisik lebih dalam bahwa ajakan
yang diserukan oleh para da’i saat berdakwah pada hakikatnya merupakan untuk
kemaslahatan seluruh umat manusia. Karena pesan-pesan yang disampaikan oleh
para da’i adalah nilai-nilai ilahiyah yang selalu dianjuran Tuhan untuk
menghindari umat manusia dari segala bentuk kerugian, baik materil maupun non
materil.
A. M. Fatwa merupakan tokoh Islam di Indonesia yang lahir dari rahim
organisasi Muhamadiyyah. Dalam menjalankan aktivitas dakwahnya, ranah
politik merupakan kendaraan strategis yang beliau gunakan untuk menyebarkan
pesan kebenaran. Karena target utamanya dalam berdakwah pada saat itu (sejak
tahun 1970-an) adalah meluruskan rezim otoriter orde baru yang selalu berlaku
lalim terhadap amanat yang diembannya dalam memimpin masyarakat Indonesia.
Nasionalisme di Indonesia, merupakan hasil dari intensitas pergumulan
nilai-nilai agama dan konstruksi kenegaraan. Pancasila dan UUD 1945 begitu
transparan meletakkan agama sebagai panduan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Inilah corak nasionalisme (nationhood) religius. Nasionalisme religius
ini merupakan mainstream dalam perjalanan nasionalisme diberbagai Negara,
44 Wawancara pribadi dengan A. M. Fatwa, Jakarta, 16 Juni 2009.
lxxiv
setelah sekian lama berada dalam cengkraman sekularisme45
dan menjadi suatu
kewajiban bagi semua individu untuk mencintai bangsa dan Negara yang
merupakan tempat lahir, tumbuh dan juga untuk menikmati hasil bumi yang
dipijak dan pada akhirnya akan meninggal dalam tanah air yang sama. Tak hanya
itu A.M. Fatwa menambahkan bahwa landasan nasionalisme (kecintaan terhadap
tanah air) bagi setiap muslim sudah cukup kuat. Dengan landasan tersebut maka
ketika memaknai dan mengaplikasikan semangat nasionalisme tidak akan terdapat
keraguan lagi, serta menjadikan suatu nilai ibadah.
A.M. Fatwa pun mengungkapkan bahwa makna genetik dari kata Islam
adalah damai atau kedamaian, dari ajaran-ajaran Islam yang komperhensif dapat
dipahami bahwa Islam mengajarkan sikap dan prilaku untuk menciptakan
perdamaian. Islam pun melarang tindakan kekerasan dan perusakan baik terhadap
sesama manusia maupun pada alam, karena Islam merupakan agama yang
menjadi rahmat bagi sekalian alam (rahmatan li al-amiin)
Banyak saat ini sering terjadi konflik dan tindakan kekerasan dan bahkan
aliran-aliran sempalan yang mengatasnamakan agama dan ajaran Islam, baik
menggunakan simbol-simbol tertentu atau pengungkapan secara verbal, yang
mengakibatkan agama Islam mendapat image negatif. Ini adalah sebuah realitas
kontradiktif antara idealitas ajaran dengan realitas perilaku pemeluknya dalam
kehidupan keseharian
Dalam pandangannya A.M. Fatwa mengungkapkan bahwa, tindakan
tersebut dapat terjdai dalam lingkungan masyarakat disebabkan oleh beberapa
45 A.M. Fatwa, “Nasionalisme Religius dan Stereotip Terorisme Global”,
http://www.amfatwa.com, diakses pada tanggal 19Desember 2009
lxxv
faktor. Pertama karena pesoalan politik, hal ini terlihat dari beberapa peristiwa
perusakan dan tindak kekerasan karena persaingan politik maupun rekayasa yang
bernuansa politik, sehingga emosi masyarakat naik dan memuncak untuk saling
berhadapan dengan saudaranya sendiri. Kedua, karena kekecewaan terhadap
kensenjangan sosial yang tidak sejalan dengan harapannya, baik dalam masalah
ekonomi, politik, hukum, maupun budaya. Ketiga, karena pemahaman sepihak
terhadap ajaran keagamaan yang mendorongnya bertindak dan berlaku ekstrem
tanpa mempertimbangkan maslahat dan madharatnya bagi kehidupan masyarakat
yang sangat beragam, baik dari segi suku, agama, maupun golongan.46
Untuk mendapatkan hasil yang maksimal seorang da’i harus benar-benar
mempersiapkan segala kebutuhan yang ia perlukan untuk berdakwah. Hal ini
ditegaskan juga oleh A. M. Fatwa saat penulis melakukan wawancara kepadanya.
Dari hasil wawancara tersebut ternyata secara praktis beliau juga sangat
memperhatikan segala sesuatu yang dibutkan oleh seorang da’i saat berdakwah,
yaitu unsur dakwah.
Dalam kerangka epistemologi ilmu dakwah, kita semua mungkin sudah
mengenal bahkan akrab dengan unsur-unsur dakwah. Unsur dakwah merupakan
hal yang harus diperhatikan oleh para praktisi dakwah yang ingin melaksanakan
aktivitas dakwah. Semua unsur tersebut merupakan salah satu kunci sukses yang
46 A.M. Fatwa mengungkapkan Dari ketiga Faktor tersebut merupakan
potensi yang bisa menimbulkan tindakan anarkis yang sangat mengerikan untuk lebih jelas baca dari kumpulan Artikel, makalah dan khutbah yang disampaikan pada Hari Raya Idul Fitri pada tahun 2005 bertempat di Lapangan Jl. Proklamasi Depok II Tengah, Depok, dan kini dibukukan pada buku ”Menghadirkan Moderatisme Melawan Terorisme” Penerbit Hikmah tahun 2006 cetakan I, hal. 24 -25
lxxvi
harus dikuasai oleh seorang da’i yang ingin mencurahkan keseluruhan hidupnya
untuk benar-benar berdakwah, guna mencapai hasil yang maksimal.
Sistem merupakan perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan
sehingga membentuk sebuah totalitas. Karena antara unsur yang satu dengan yang
lain saling berkesinambungan, maka kesemua unsur tersebut harus dipersiapkan
dengan baik dan paripurna. Unsur dakwah tidak dapat terpisahkan antara bagian
yang satu dengan yang lainnya. Apabila ada satu unsur yang tidak terpenuhi,
sangat mustahil dakwah yang dialakukan oleh seorang da’i bisa berjalan dengan
baik.
Unsur-unsur dakwah ini terbagi dalam enam bagian,47
yang terdiri dari:
da’i, mad’u, materi (maddah), media (wasilah), metode (thariqah), yaitu cara atau
model yang digunakan oleh seorang da’i untuk menyampaikan pesan-pesan
dakwahnya agar dapat diserap atau diterima oleh khalayak luas, efek (atsar).
Da’i merupakan subjek dakwah yang melaksanakan kegiatan dakwah,
menyebarkan pesan-pesan keagamaan kepada umat Islam. Selain itu, seorang da’i
merupakan regenerasi atau pewaris tugas kenabian dalam menyebarkan ajaran
Islam kepada seluruh umat manusia di dunia. Mereka merupakan orang-orang
pilihan Allah SWT yang diciptakan untuk menjadi agent of change.
Seorang da’i disebut ideal dalam pandangan A. M. Fatwa bukan hanya
memiliki kemampuan teknik dan kepandaian dalam menguasai materi dakwah,
seperti pemahaman terhadap kandungan – dan – kefasihan membaca ayat dan
hadis, tetapi juga harus mampu menampilkan keteladanan dalam kehidupan
47 M. Munir dan Wahyu Ilham, “Manajemen Dakwah,” (Jakarta: Kencana,
2004), Cet. Ke-1, hal. 21-35.
lxxvii
keseharian (dakwah bi al-hal). Selain itu, seorang da’i di tuntut untuk memahami
perkembangan kontemporer agar dapat mengkontekstualisasikan ajaran-ajaran
Islam, sehingga ajaran Islam dapat dijadikan sebagai rujukan dalam
menyelesaikan masalah-masalah kehidupan nyata yang di hadapi oleh umat.
Seorang da’i yang baik adalah yang dapat menampilkan wajah Islam yang
memudahkan, bukan yang menyulitkan umat.48
Dakwah sebagai komunikasi keagamaan adalah salah satu kebutuhan
batiniah manusia yang sangat mendasar.49
Tanpa agama, maka kita akan kembali
kepada kehidupan jahiliyah. Sebab itu, seorang da’i harus mengerahkan segala
usaha dan kemampuannya untuk bisa memberikan pencerahan spiritual kepada
umat Islam di tanah air.
Untuk merealisasikan hal tersebut, maka saat menyampaikan materi
dakwah seorang da’i harus pandai mengartikulasikan bahasa, cakap dalam
beretorika, dan pandai mengolah bahasa, agar apa yang ia sampaikan mudah
dipahami, ditangkap, diserap dan tidak membingungkan mad’u. Apabila bahasa
yang digunakan oleh seorang da’i tidak dimengerti dan tidak dipahami oleh
mad’u, dakwah yang ia lakukan jangan harap mendapat perhatian dari para
pemirsa (mad’u). Salah satu usaha tersebut menurut penulis adalah seorang da’i
48 Wawancara penulis dengan A. M. Fatwa tanggal 16 Juni 2009
49 Dalam wacana komunikasi, Wilbur Schramm mengatakan manusia adalah “the communication animal”. Karena itu, manusia tidak boleh tidak berkomunikasi. Dalam konteks ini, jika para “warisatul anbiya” tidak menyampaikan pesan-pesan Tuhan dengan baik, maka manusia di seluruh muka bumi ini akan hidup dalam kesesatan. Lihat Toto Asmara, “Komunikasi Dakwah”, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1957), Cet. Ke-2, hal. 6.
lxxviii
yang berdakwah harus pandai memilah kata sesuai dengan objek dakwah (mad’u)
yang dihadapi.50
Saat berdakwah, metode merupakan hal yang sangat penting diperhatikan
oleh seorang da’i. Karena terkadang metode menjadi lebih penting daripada
pesan yang ingin disampaikan oleh seorang da’i ketika berdakwah. Metode adalah
cara atau model yang digunakan oleh seorang da’i untuk menyampaikan pesan-
pesan dakwahnya agar dapat diserap atau diterima oleh khalayak luas.
Negara kita merupakan negara multikultur yang tiap wilayahnya memiliki
karakteristik berbeda. Penerapan metode dakwah yang tepat terkait dengan
konteks Indonesia menurut A. M. Fatwa adalah metode yang dapat
mengakomodasi budaya lokal masyarakat tanpa mendistorsi ajaran substansi
Islam. Dengan demikian, masyarakat akan lebih mudah untuk memahami ajaran-
ajaran Islam karena terasa menyentuh secara langsung kehidupan keseharian
mereka.51
Selain metode, saat berdakwah media merupakan salah satu hal yang harus
diperhatikan. Media adalah alat bantu yang digunakan oleh seorang da’i saat
melaksanakan aktivitas dakwah. Seorang da’i harus mampu beradaptasi dengan
media dakwah yang terus berkembang seiring berkembangnya teknologi
komunikasi, terutama media massa, baik catak maupun elektronik.
50 Berkaitan dengan hal ini kemudian Benjamin L. Whorf bahasa adalah
pandu realitas sosial. Pandangan kita tentang dunia dibentuk oleh bahasa, dan karena bahasa berbeda, pandangan kita tentang dunia pun berbeda pula. Lihat Jalaluddin Rakhmat, “Psikologi Komunikasi,” hal. 248-249. kemudian Mc Luhan juga mengatakan bahwa setiap media memiliki tata bahasa sendiri, yakni seperangkat peraturan yang erat kaitannya dengan berbagai alat indra dalam hubungannya dengan penggunaan media. Setiap tata bahasa media memiliki kecenderungan pada alat indra tertentu. Televisi misalnya, adalah perpanjangan alat indra lihat dan dengar.
51 Wawancara pribadi dengan A. M. Fatwa, Jakarta, Rabu, 16 Juni 2009
lxxix
Seiring dengan perkembangan teknologi yang selalu dinamis, terdapat
banyak sekali media yang dapat digunakan untuk berdakwah. Pemilihan media
dakwah yang tepat akan membantu seorang da’i saat menyampaikan pesan-pesan
dakwahnya kepada mad’u. Pemilihan media dakwah yang tepat bisa kita lihat dari
medan dakwah yang akan dihadapi da’i. Untuk konteks di Indonesia, mungkin
televisi merupakan salah satu media komunikasi yang efektif. Karena televisi
mampu mengatasi hambatan aktivitas dakwah, yaitu jarak, ruang, dan waktu.
Komentar A. M. Fatwa mengenai media dakwah memang cukup
mengesankan. Menurutnya pemilihan media dakwah yang tepat tergantung pada
segmen audiensi yang dihadapi oleh seorang da’i saat berdakwah. Saat penulis
wawancarai beliau menanggapi hal ini demikian:
”Jika untuk masyarakat awam, tentu saja dakwah bil-lisan dengan
melakukan ceramah-ceramah di masjid, mushala, dan majelis ta’lim tetap
relevan. Dan untuk menjangkau masyarakat luas, ceramah-ceramah
tersebut bisa disebarkan melalui media elektronik. Namun, untuk
masyarakat kelas menengah terpelajar, media massa cetak dan media lain
dalam bentuk tulisan juga sangat efektif untuk menyampaikan pesan. Dan
bagi masyarakat yang melek teknologi, tentu dakwah akan lebih mudah di
akses melalui media internet, baik melalui blog, facebook, dan lain
sebagainya. Yang jelas, media dakwah senantiasa berkembang sesuai
dengan perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan para da’i
dituntut untuk mengikuti perkembangan tersebut agar dapat menjangkau
seluruh masyarakat yang membutuhkan bimbingan agama agar berada
dalam rel yang digariskan”52
.
Pemahaman A. M. Fatwa mengenai dakwah memang sangat luas. Untuk
mempermudah memahami pemikiran A. M. Fatwa tentang dakwah, penulis akan
coba menyimpulkannya dalam bentuk tabel sebagai berikut:
52 Wawancara Penulis dengan A.M. Fatwa pada tanggal 16 Juni 2009
lxxx
Tabel. 1
Da’i yang ideal dalam pandangan A.M. Fatwa ; Pertama, Tidak hanya
memiliki kepandaian dalam menguasai materi dakwah seperti kandungan maupun
kefasihan dalam membaca ayat dan hadits, akan tetapi harus mampu, Kedua,
Menampilkan keteladanan dalam kehidupan sehari-hari (dakwah bi al-hal) di
masyarakat. Ketiga, Harus bisa memahami perkembangan kontemporer agar dapat
mengaktualisasikan ajaran-ajaran Islam agar ajaran tersebut dijadikan rujukan
dalam menyelesaikan masalah-masalah kehidupan nyata yang di hadapi oleh
umat.
Dan juga materi yang akan di sampaikan oleh da’i haruslah bersifat
DAKWAH MENURUT
A. M. FATWA
Da’i;
Kompeten dan memi-
liki kapasitas keilmu-
an yang mumpu-ni
(keislaman dan IPTEK).
Mad’u (pemirsa);
Universal (seluruh umat
manusia)
Materi;
1. Informatif
2. Edukatif
3. Menghibur
4. Relevan
Metode;
1. Dialogis
2. Akomodatif, dan
3. Adaptif
Media; da’i harus
mengikuti perkembangan
teknologi komunikasi
Tujuan; amar ma’ruf nahi
munkar
lxxxi
a. Informatif dimana isi materi menjelaskan / memaparkan apa yang
sebenar-benarnya terjadi sehingga mad’u (masyarakat)
mengetahuinya
b. Edukatif, yaitu mengajarkan kepada mad’u (masyarakat) apa yang
seharusnya dilakukan.
c. Menghibur, dimana materi yang disampaikan juga tidak monoton
sehingga mad’u tidak jenuh untuk menerima pesan yang
disampaikan hingga selesai.
d. Bahasa yang digunakan relevan, sehingga dalam penyampaian harus
mudah diserap, dipahami dan tidak membingungkan.
Dan seorang da’i pun di tuntut harus menggunakan metode-metode yang
efektif dalam menyampaikan pesan dakwah seperti :
a. Metode Dialogis : dimana seorang da’i harus memiliki keterbukaan
dalam penyamapaian pesan, dan tidak ada yang dirahasiakan
b. Metode Akomodatif : dimana da’i diharuskan untuk mampu
menjembatani permasalahan yang terjadi di masyarakat
c. Metode Adaptif : seorang da’i harus mengetahui dan mampu
menyesuaikan diri dengan kondisi mad’u agar pesan yang
disampaikan mudah dipahami.
Menurut A.M. Fatwa pemilihan ataupun penggunaan media dakwah yang
tepat yaitu tergantung pada audience yang dihadapi oleh da’i saat berdakwah.
Dimana media merupakan sebagai alat bantu sehingga sangat penting untuk
lxxxii
digunakan oleh da’i dalam menyampaikan pesan dakwahnya. Saat ini para da’i
harus bisa beradaptasi dengan perkembangan teknologi komunikasi, terutama
media massa baik cetak maupun elektronik agar dapat menjangkau seluruh
masyarakat yang membutuhkan bimbingan agama agar berada dalam rel yang
digariskan
Di masa orde baru dakwah Islam selalu dicurigai rezim Soeharto. Sering
kali dakwah Islam dianggap sebagai upaya penentangan terhadap ideologi negara.
Tidak sedikit da’i yang sesungguhnya menyampaikan ajaran agama sebagaimana
yang diyakini, dianggap sebagai penentang ideologi negara, sehingga kemudian
ditangkap dan dipenjarakan. Tapi saat ini, kejadian-kejadian semacam itu sudah
tidak ada lagi. Karena itu, sudah saatnya dan sudah seharusnya seorang da’i saat
ini harus lebih nyaring menyuarakan pesan kebenaran.
Satu hal penting agar para da’i memiliki kontribusi yang signifikan dalam
pembangunan umat adalah menjadi motivator yang baik. Umat Islam perlu diberi
motivasi agar mereka menjadi umat yang maju. Motivasi tersebut sangat
diperlukan mengingat sebagian umat Islam masih mengidap inferiority complex
atau kompleks rendah diri. Umat harus di dorong untuk memahami ajaran Islam
sebagai sumber nilai yang ingin menciptakan masyarakat yang berperadaban
tinggi.53
53 Wawancara pribadi dengan A. M. Fatwa, Jakarta, Rabu, 18 Juli 2009.
lxxxiii
D. Aktivitas Dakwah A. M Fatwa
A. M. Fatwa merupakan tokoh Islam di Indonesia yang lahir dari rahim
organisasi Muhamadiyyah. Dalam menjalankn aktivitas dakwahnya, ranah politik
merupakan kendaraan strategis yang beliau gunakan untuk menyebarkan pesan
kebenaran. Karena target utamanya dalam berdakwah pada saat itu (sejak tahun
1970-an) adalah meluruskan rezim otoriter orde baru yang selalu berlaku lalim
terhadap amanat yang diembannya dalam memimpin masyarakat Indonesia.
Aktivitas dakwah yang dilakukan A. M. Fatwa pada rezim orde baru selalu
mendapatkan kontrol yang sangat ketat. Seluruh khutbah, ceramah, pidato,
makalah ditelisik secara detail oleh penguasa dan agen-agennya. Saat berdakwah,
banyak sekali khutbah dan tulisan A.M. Fatwa yang menurut pandangan orde baru
dianggap tabu dan tidak layak untuk disampaikan. Karena materi dakwah yang
beliau sampaikan cenderung mengkritik dan bahkan menolak kebijakan
pemerintah pada saat itu. Sehingga beliau sering ditangkap dan dipenjara.
Hal ini dapat dibuktikan saat A.M. Fatwa dipercayai untuk menjadi khatib
Idul Fitri di Lapangan Pacuan Kuda Pulomas, tahun 1979. Saat itu beliau
menyampaikan isi khutba ied dengan judul “Para Pemimpin, Sadar dan
Istigfarlah atas peringatan tuhan dengan berbagai Bencana di Tanah Air”.
Selesai beliau khutbah, Satgas Intel Laksus Kodam Jaya menangkap A.M. Fatwa
dan seluruh panitia penyelenggara di tahan sebulan lamanya, karena khutbah ied
yang disampaikannya tersebut banyak mengkritik kebijakan pemerintah,
khususnya gerakan politik yang dilakukan oleh Ali Moertopo yang merupakan
bentuk indoktrinasi terhadap P4, serta intervensi CSIS dalam hal mempengaruhi
lxxxiv
kebijakan politik-ekonomi pemerintah, sehingga terlihat Ali Moertopo
menginterfensi dan mendominasi BAPPENAS.54
Tahun 1980, A.M. Fatwa dan ketua panitia dari Asrama Pelajar dan
Mahasiswa Islam Sunan Gunung Djati, ditahan kurang lebih sebulan oleh Laksus
Kopkamtibda Jaya akibat peristiwa Idul Fitri di Lapangan Urip Sumohardjo,
Jatinegara, dikarenakan aparat intel yang sudah melarang A.M. Fatwa untuk
menyampaikan khutbahnya yang diberi judul “Tegakkan Pancasila dalam Wajah
Manusia, Bukan Wajah Hantu”. Bentuk pelarangan sudah dilayangkan sebelum
A.M. Fatwa menyampaikan khutbah tersebut. Karena sebelumnya para intel dan
agen telah melihat isi naskah khutbah yang isinya lagi-lagi mengkritik
pemerintahan orde baru.
Pada hari raya Idul Adha tahun 1980, A.M. Fatwa ingin menyampaikan
khutbah yang berjudul “Peranan Ulama Keraton dan Pengorbanan Ulama
Rakyat” bertempat di Lapangan Setiabudi, Jakarta Selatan. Namun A.M. Fatwa
gagal menyampaikan khutbahnya karena seminggu sebelum Idul Adha, panitia di
tekan untuk segera membatalkan penyampaian khutbah yang akan disampaikan
oleh A.M. Fatwa. Akan tetapi, karena ketua panitia H. Marwin Maulana tetap
bersikeras menolak, maka Kodim Jakarta Selatan membentuk shalat Ied
(tandingan) dan juga melakukan teror. Maka untuk menghindari kejaran Intel,
A.M Fatwa mengajak H. Mawin untuk bersembunyi beberapa hari di Masjid
54 Pengantar A.M. Fatwa dalam buku ”Khutbah-khutbah Politik A.M.
Fatwa Di Masa Orde Baru” dimana A.M. Fatwa menceritakan secara kronologis apa yang dialaminya pada saat itu yang berakhir dengan pemecatannya. Penerbit Suara Muhammadiyah Cet I April 2007
lxxxv
Istiqamah, kampus PTDI, Tanjung Priok yang di pimpin oleh Prof. Osmani Al-
Hamidy dan akhirnya pulang kerumah saat malam Idul Adha.
Tiga hari sebelum hari raya, tepatnya Pada tahun 1984 A.M. Fatwa pun
sudah diinapkan oleh panitia di rumah penduduk yang dekat dengan masjid.
Ketika menjelang subuh pada hari raya Idul Fitri, A.M. Fatwa dipindahkan ke
rumah tepat dipinggir lapangan tempat shalat Ied yang akan diselenggarakan,
sementara petugas Intel yang sudah mengetahui bahwa A.M. Fatwa akan
menyampaikan khutbah di tempat tersebut, sehingga mereka berkeliaran di
berbagai sudut lapangan untuk mencegah A.M. Fatwa untuk menjadi khotib, dan
panitia pun telah menyiapkan mimbar “tipuan” di samping tempat Imam yang
orangnya telah ditentukan oleh Panitia. A.M. Fatwa pun ikut menjadi makmum
shalat Ied dari dalam rumah panggung dipinggir lapangan. dan ketika Imam
mengucapkan salam, A.M. Fatwa langsung keluar dari panggung dan langsung
mendirikan mimbar khotib yang semula dibaringkan. Dan saat itu juga dengan
selesainya sholat Idul Fitri, A.M. Fatwa langsung menyampaikan khutbahnya
dengan memulai salam dan takbir di halaman masjid Istiqomah Kemayoran
Jakarta Pusat dengan judul khutbahnya “Akhlak Politik Orde Baru di Mata Umat
dan Sorotan Al-Quran”, seketika itu pula intel-intel kebingungan dan berkeliaran,
dan juga tidak mungkin mereka langsung menurunkan dari mimbar.55
Pada
55 Setelah selesai berkhutbah A.M. Fatwa dibawa kabur dan
bersembunyi di rumah orang Arab dekat pasar Tanah Abang selama seminggu. Selama dalam persembunyiannya A.M. Fatwa mendapatkan kabar oleh tetangga yang rumahnya berada di depan rumah Pak Harto di Jalan Cendana, bahwa dia sempat mendengar percakapan melalui handy talky para intel yang mencoba mengepung penulis dengan mengatakan “Kecoak berhasil tampil menjadi khotib.” cerita ini berdasarkan tulisan Pengantar A.M. Fatwa dalam buku Khutbah-khutbah Politik A.M. Fatwa di Masa Orde Baru, Penerbit : Suara Muhammadiyah Yogyakarta Cet. I April 2007”
lxxxvi
khutbah ini, A.M. Fatwa berhasil menyampaikan khutbahnya melalui tipu daya
yang dilakukan oleh Panitia. Setelah selesai khutbah A.M. Fatwa pun langsung
dibawa lari oleh panitia dan bersembunyi dirumah orang Arab dekat pasar Tanah
Abang selama seminggu, setelah itu A.M. Fatwa diinterograsi dan ditahan.
Selain itu, banyak Dakwahan yang di arahkan kepada A.M. Fatwa di
antaranya adalah delik subversi, delik penghinaan terhadap kekuasaan yang ada,
dan delik penyebaran berita bohong yang menyebabkan keonaran di dalam
masyarakat. Dasar dakwaan adalah khutbah-khutbah atau ceramah A.M. Fatwa
dan juga keterlibatan A.M. Fatwa dalam petisi 50 atas terbitnya Lembaran Putih
Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984.
Dalam perkara menurut Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dikoordinir
oleh Bob Nasution, SH yang menjabat sebagai Kajari Jakarta Pusat, ada tujuh
khutbah dan ceramah penulis yang isinya subversif, yaitu berisi ucapan-ucapan
dan juga memuat kalimat-kalimat yang bersifat merongrong/menyelewengkan
ideologi Negara yaitu Pancasila atau Haluan Negara, merongrong kewibawaan
pemerintah yang sah dan aparatur Negara, serta menyebarkan rasa permusuhan
atau menimbulkan permusuhan, pertentangan di antara kalangan penduduk atau
masyarakat yang bersifat luas. Ketujuh khutbah dan ceramah itu adalah
“Tegakkan Kekuatan Politik Islam, Jangan Ciptakan Fir’aunisme di Indonesia”,
di mana khutbah tersebut disampaikan pada saat Idul Fitri pada tanggal 1402 H/24
Juli 1982 yang bertempat di Lapangan Bomber, Kawi-kawi Sentiong, Jakarta
Pusat, akan tetapi penulis dilarang menyampaikan khutbah ini, akan tetapi telah
dicetak dalam bentuk brosur atau buku.
lxxxvii
Khutbah yang berjudul “Azas Islam Hingga Titik Darah Terakhir”
merupakan khutbah Idul Fitri pada tanggal 12 Juli 1983/1403 H yang bertempat di
halaman parkir Pasar Cikini, Jakarta Pusat, khutbah ini telah dicetak dalam bentuk
brosur/buku,56 akan tetapi tidak jadi disampaikan oleh A.M. Fatwa, karena pada
hari Idul Fitri tersebut, secara tiba-tiba A.M. Fatwa diganti oleh khotib dari
Laksus Kopkamtibda Jaya dengan penjagaan ketat dari ABRI, dan akhirnya A.M.
Fatwa beserta beberapa orang jamaah pindah shalat Ied di Taman Ismail Marzuki
(TIM) Cikini. Khutbah ini merupakan bentuk inspirasi dari pidato Ketua
Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Aceh, H. Hanafiah di muka sidang Tanwir
Muhammadiyah di Yogyakarta terutama pada saat ramainya perdebatan sikap
Muhammadiyah terhadap ketentuan asa tunggal Pancasila bagi partai dan ormas,
dan larangan asas ciri. Sebagaimana diketahui, Muhammadiyah saat di bawah
kepemimpinan A.R. Fachruddin terpaksa “menghapuskan” asas Islam, seperti
yang dilakukan oleh partai dan ormas lainnya. Dan barulah pada mukhtamar di
Jakarta tahun 2000 Muhammadiyah kembali mencantumkan secara formal asas
Islam.
Perubahan paradigma pembangunan dari sentralistik kepada desentralisasi
di Indonesia sejak tahun 1998, dan kemudian menjadi komitmen pemerintah orde
reformasi. Selama lebih 32 tahun fakta dilapangan menunjukkan bahwa
pembentukkan pranata sosial modern oleh rezim orde baru, seperti KUD,
56 Penulis mendapatkan tulisannya dalam salah satu judul pada buku
A.M. Fatwa yang berjudul ”Khutbah-khutbah Politik A.M. Fatwa di Masa Orde Baru” dimana tulisan tersebut masih lengkap dan berada di hal. 105 penerbit : Suara Muhammadiyah : Yogyakarta Cet. I April 2007
lxxxviii
Kelompok Tani, Karang Taruna dan lain-lain kurang mampu menggalang
partisipasi masyarakat secara murni.
Banyak para ahli antara lain Jack Stumph sebagaimana dikutip
Sumarnonugroho membahas masalah sosial sebagai proses sosial. Masalah sosial
mencakup konsepsi tentang disorganisasi sosial dan konflik nilai. Masalah sosial
timbul sebagai akibat dari proses perubahan, sehubungan dengan perkembangan
dalam sistem kepribadian manusia serta sistem sosial. Dalam proses ini dapat juga
terjadi hambatan-hambatan terhadap realisasi nilai-nilai sosial. Dan terjadinya
masalah sosial tersebut merupakan sebagai sebuah proses alami dan tidak dapat
dielakkan lagi.57
A.M. Fatwa menjadi salah satu pelaku sejarah dalam hubungan Islam
politik dan negara dimana pernah mengalami ketidakharmonisan. Dalam dua
dasawarsa pertama, terutama pada rezim Orde Baru, Islam sering ”dikambing
hitamkan” dalam pergumulan ideologi negara, yang akhirnya melahirkan
antagonisme antara pemerintah dan aktivis Islam. Kecurigaan kedua belah pihak
semakin menyudutkan posisi Islam. Hal tersebut terlihat dari penolakan Soeharto
terhadap tokoh-tokoh Islam dan ditambah dengan faktor Islam yang ingin
dijadikan sebagai Ideologi dasar perjuangan politik umat sehingga dianggap
sebagi sesuatu yang mengancam konstruk ideologi negara-bangsa.
”Hidup adalah ibadah, dakwah pun tidak hanya diartikan bicara, tetapi
perbuatan. Usaha yang dilakukan bukanlah didasarkan pada hadiah dan
penghargaan”, termasuk apa yang dilakukan oleh A.M. Fatwa sendiri. Dakwah
57 Sumarnonugroho T, Sistem Intervensi Kesejahteraan Sosial,
(Yogyakarta : Hanindita 1991), hal. 94
lxxxix
dalam perspektif A.M. Fatwa yaitu bagaimana mengubah suatu tatanan kehidupan
secara ekonomi dan politik dunia, terkait dengan posisi strategis umat Islam dalam
menghadapi globalisme, umat Islam seharusnya membela ketika Islam sedang
dituduh dan harus membelanya secara kreatif, dengan cara mengisi ruang
kehidupan di masyarakat dengan menebar kemaslahatan melalui peningkatan
yang dirasakan langsung oleh masyarakat, yang dibuktikan dengan amal usaha
pada kehidupan dengan wajah kedamaian, persaudaraan, dan kemanusiaan. Hal
ini sesuai dengan tujuan pembangunan yakni pembangunan manusia seutuhnya.
A.M. Fatwa yakin dengan apa yang dilakukannya, karena selalu bersumber pada
Al-Qur’an dan Hadits Nabi, dimana kedua hal tersebut mengajarkan kepada umat
manusia untuk memikirkan ”dunia” juga di samping akhirat, memikirkan
lingkungan, berbuat baik dengan tetangga dan mengabdi pada tanah air adalah
bentuk amal shaleh yang patut dikembangkan.
Saat sebagian kelompok masyarakat masih menggangap dan menilai
kinerja bahwa parlemen pada periode 1999-2004 kurang optimal. Setidaknya jika
dibandingkan dengan parlemen pada masa Orde Baru, sangat berbeda jauh,
Parlemen 1999-2004 lebih fungsional dan relatif lebih efektif dalam memainkan
peran-peran substansialnya sebagai sebuah lembaga parlemen yang berdasarkan
Undang-undang.
Menurut A.M. Fatwa parlemen sangat efektif apabila digunakan sebagai
media dakwah dan bahkan dapat menjadi sebuah lembaga penyampaian aspirasi
umat Islam khususnya di Indoensia. Beliau mengatakan bahwa anggota parlemen
(anggota DPR/MPR) yang duduk untuk mewakili umat Islam di Indonesia adalah
xc
mereka yang harus mengangkat, menjaga, dan menyi’arkan Islam, karena mereka
telah dipilih oleh umat Islam melalui Pemilihan Umum (PEMILU) yang sangat
demokratis.
Karena eksistensi anggota parlemen yang mempunyai legitimasi kuat,
yang secara tidak langsung telah mewakili rakyat, maka suara rakyat-lah yang
harus anggota parlemen serap dan angkat agar segera dirumuskan untuk
diaktualisasikan secara politik. Banyak cara yang untuk dapat dilakukan anggota
parlemen dalam menyampaikan dakwah di parlemen, yaitu dengan menggunakan
Media Massa sebagai alat untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat umum
untuk melakukan pengawasan dan bahkan mengontrol pemerintah, dan juga bisa
dilakukan dalam bentuk anggaran. Sehingga parlemen dapat menentukan dan
mengatur anggaran untuk pemerintah dan mengalokasikan jumlah untuk
pemerintah termasuk dalam merumuskan undang-undang demi kebaikan bersama
untuk rakyat. Dengan cara seperti itulah anggota parlemen menjalankan tugas dan
fungsinya sebagai wakil rakyat.
Menurut A.M. Fatwa, dalam mengemban amanat dan aspirasi umat Islam
di Indonesia, caranya yang saat ini dilakukan tidak harus berdasarkan warna.
Akan teapi dengan cara menerapkan ajaran Islam dalam konteks apapun dan dapat
mengaktualisasikan aspirasi rakyat itu yang sesuai dengan ajaran Islam yang
dikemas dengan baik dan ditransformasikan dalam rumusan-rumusan yang dapat
diterima secara menyeluruh atau nasional, artinya adalah bagaimana orang yang
memeluk agama apapun selain agama Islam bisa menerima keberadaan ajaran
Islam. Semua itu semestinya bisa diterima oleh semua kalangan, tetapi hal itu
xci
tergantung bagaimana cara menyampaikannya. Jadi, menurut beliau hal yang
harus dilakukan anggota parlemen yang mewakili umat Islam adalah bagaimana
mereka merumuskan ajaran-ajaran Islam (syari’at Islam) kemudian di
transformasikan di dalam rumusan-rumusan nasional atau di dalam hukum
nasional.
A.M Fatwa dalam menentukan pilihannya untuk terjun ke dalam dunia
politik praktis sebagai politisi, yang pada dasarnya dengan motivasi ibadah
melalui apa yang telah dilakukannya dan juga atas dorongan serta pangilan hati
nurani. Karena dalam pandangan beliau, perkerjaan hanya bisa dilakukan dengan
jiwa yang merdeka. Persyaratan untuk menjadi politisi ideal sangat dibutuhkan
jiwa yang bebas dari tekanan dalam bentuk apapun, baik ujian maupun pujian.
Seorang politisi mempunyai tanggung jawab yang sangat berat saat
memelihara kepercayaan dan tanggung jawab yang diberikan oleh rakyat (umat).
Banyak politisi yang mengunakan pengaruh sebagai senjata yang digunakan
politisi untuk membangun fanatisme, sehingga semakin besar hal tersebut
terbangun dalam ruang lingkup negatif yang isi hanya menciptakan puji sanjung
semata, dan juga menciptakan perasaan yang tidak suka di kritik, pantang
menerima teguran yang berangapan bahwa dirinya adalah yang paling benar dan
hebat, maka hal tersebut menciptakan sebuah penghormatan dan kepatuhan yang
pada hakikatnya hanya milik Allah. Penghormatan tidak boleh berlebihan yang
menyebabkan pemujaan manusia atas manusia, hal tersebut sesuai dalan firman
Allah :
�H! �M!T V,WX3 L� �!( �8�� G� =Z[\�:�E8
xcii
3G =>�^�G � ��M"2 ��☺�,E! _�:`\ �
��8�aE! _�b5c � 4 �� d! 0E��
��☺f�� � @� ):� ), : ا�'
Artinya : ”.....dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” (Q.s : Al-Bayyinah ;5)
Selama A.M. Fatwa melakukan dakwahnya, A.M. Fatwa selalu
mengetengahkan isi dan pelaksanaan menjadi lebih di prioritaskan daripada
slogan-slogan atau merek. Akan tetapi, semuanya harus sesuai dengan kondisi
objektif umat sekarang ini. Name calling “Negara Islam” sering diangkat bukan
berdasarkan dari arus besar umat, melainkan hanya sejarah masa lalu yang bagi
pihak diluar Islam sangat diperlukan untuk mendeskreditkan kelompok-kelompok
dinamis dalam umat secara politis.58
Pembinaan mental seseorang muslim haruslah dimulai sejak kecil, karena
semua perjalanan yang dilalui A.M. Fatwa hingga saat ini, dengan kondisi pada
saat ia melakukan pertentangan terhadap keaadaan di lingkungan rumahnya dan
bahkan sampai ia berani melawan pemerintahan dari zaman Orde Lama, Orde
Baru dan bahkan sampai sekarang A.M. Fatwa masih tetap konsisten melakukan
dan memberikan kritikan-kritikan dari kebijakan-kebijakan melalui medium yang
ada. Baik disadari atau tidak, hal yang menjadi unsur-unsur pembentuk
kepribadian banyak berasal dari beberapa faktor pernah dialaminya pada masa
58 A.M. Fatwa, Dari Mimbar ke Penjara ; Suara Nurani Pencari Keadilan
dan Kebebasan, (Bandung : Mizan 1999) cet. Ke-2 hal. 141-143
xciii
lalu, dan keadaan yang dialaminya di kemudian hari yang merupakan bagian dari
nilai-nilai yang diambil berdasarkan keadaan lingkungannya, nilai yang dimaksud
adalah nilai agama, moral dan sosial.
Menurut A.M. Fatwa apabila ajaran / hukum Islam itu langsung diterima
secara utuh yang diambil dari ayat Al-Qur’an secara mentah yang dilandasi tanpa
penafsirah dari pemahaman yang dangkal dan juga tidak dikemas dengan baik-
baik, maka hal itu akan menjadi tidak terarah maksud dan tujuannya, sehingga
sangat sulit untuk diterima oleh orang yang memahami makna yang terkandung..
A.M. Fatwa adalah seorang yang mengharapkan adanya keselarasan dan
keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat, menyadari masyarakatnya adalah
masyarakat tradisional maka A.M. Fatwa menggunakan metode pendekatan yang
persuasif, dimana masyarakat harus ikut aktif berperan serta dalam melakukan
gerakan perubahan. Perubahan ini disebut dengan perubahan yang direncanakan.59
Stephen R. Covey mengungkapkan dalam sebuah bukunya The Eight
Habit from Effectiveness to Greatness yang disingkat the Eight Habit (the 8th
Habit) tentang pola manajemen hidup melalui delapan kebiasaan yang biasa di
praktikan oleh orang-orang sukses dan berhasil dengan apa yang dilakukannya.
Delapan kebiasaan ala Covey60 yang tercermin dalam diri A.M Fatwa :
1. Proaktif (be proactive)
Proaktif berarti lebih sekedar berinisiatif dan aktif, A.M. Fatwa merupakan
orang yang aktif, tidak pernah mengeluh, tidak pernah menyalahkan apapun atau
59 Drs. Abdul Syani, Sosiologi dan Perubahan Masyarakat. (Jakarta :
Pustaka Jaya) cet.I hal.130 60 Covey, Stephen R. the 8th Habit From Effectiveness to Greatness. New
York. Free Press hal. 4
xciv
siapapun atas keadaan yang dialaminya dalam perjuangannya membela Islam.
Dimana A.M. Fatwa selalu mencermati dan mengamati kegiatan serta kebijakan-
kebijakan yang dilakukan pemerintah dengan melihat perkembangan yang terjadi
di masyarakat.
Sikap proaktif A.M. Fatwa dibuktikan dengan komitmennya dengan
membela kepentingan Islam di Parlemen terutama pada saat A.M. Fatwa duduk
sebagai Wakil Ketua DPR-RI dengan menyerukan kepada pemerintah agar
melakukan pendekatan kepada masyarakat Aceh dan mencari apa yang
sebenarnya terjadi dibelakang terhadap desakan referendum yang diinginkan
dengan cara membentuk komisi kebenaran dan rekonsiliasi serta mengadakan
dialog-dialog yang jujur, tulus, terbuka dan damai serta menerapkan prinsip-
prinsip otonomi daerah dan juga memproses pelanggaran HAM di Aceh secara
menyeluruh. A.M. Fatwa pun mengunjungi Aceh dan mengadakan dialog dengan
muspida dan tokoh masyarakat Aceh untuk mendengar secara langsung apa yang
sebenarnya mereka alami.61
Tak hanya itu A.M. Fatwa pun sangat aktif memberikan masukan pada
saat Tanwir Muhammadiyah di Semarang dan beliau pun memberi masukan
kepada Amien Rais dan Syafii Maarif untuk membuat platform baru yaitu partai
politik yang sebelumnya mereka berkumpul dalam kelompok MARA (Majelis
Amanat Rakyat).
61 Salah satu Perjalanan A.M. Fatwa sebagai wakil rakyat dimana A.M.
Fatwa menceritakan seluruh proses apa yang dilakukannya dalam mengatasi dan menyelesaikan di wilayah-wilayah yang sedang terjadi konflik, dan itu semua di tulis dalam buku “Dari Cipnang Ke Senayan – catatan gerakan reformasi dan aktivitas legislative hingga ST MPR 2002” (penerbit :Intrans Jakarta, 2003) hal 154-194
xcv
2. Mulai dengan akhir dalam pikiran (begin with the end in mind)
Konsep seperti ini sangat penting, terutama bagaimana memikirkan
terlebih dahulu apa yang harus dilakukan, dan kemudian harus kembali
memikirkan akibatnya dari yang telah dilakukan tersebut.
A.M. Fatwa pun memiliki tujuan untuk duduk sebagai salah satu wakil
rakyat dengan niat unuk mendamaikan konflik-konflik yang selama ini terjadi,
serta diskriminasi yang diterima golongan-golongan yang terkait di dalamnya
dengan visi dan misi perdamaian serta persaudaraan antar umat beragama serta
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “diperlukan
keberanian yang kuat dan teguh dalam prinsip, namun tetap fleksibel dalam
pelaksanaan sampai tujuannya tersebut dapat dicapai.62
A.M. Fatwa mengatakan
ini agar hal-hal yang dahulu pernah dialaminya tidak akan terjadi kembali, karena
A.M. Fatwa sendiri merasakan betapa pedihnya hidup dengan penuh
kekhawatiran, terutama di kalangan aktivis Islam yang sangat menentang
kebijakan-kebijakan pemerintah yang pada saat itu berkuasa dengan cara
mendeskreditkan kepentingan Islam.
A.M. Fatwa sendiri sangat menginginkan perdamaian baik itu antar agama
maupun golongan dan bahkan suku-suku yang ada di seluruh Indonesia, karena
dengan perdamaian maka akan tercipta kemakmurkan dan kesejahteraan
masyarakat
3. Dahulukan yang utama (put first things first)
62 Wawancara Penulis dengan A.M. Fatwa pada tanggal 5 November
2009
xcvi
Mendahulukan yang utama merupakan suatu tuntutan yang menciptakan
Integritas, disiplin dan komitmen. Hal ini sebagai perwujudan dalam memilih
mana yang harus diselesaikan terlebih dahulu yang sesuai dengan kemampuan
yang dimiliki, disamping itu juga harus memilih aktifitas yang membawa pada
tercapainya tujuan. Hal ini telah di buktikan bahkan diserukan oleh A.M. Fatwa
sebagai da’i melalui khutbah-khutbahnya dengan menyerukan kepada umat Islam
agar tetap berpegang teguh untuk memperjuangkan aqidah Islam, sehingga umat
Islam tidak lagi dianggap lemah dan juga tidak mudah diprovokasi akibat
kepentingan-kepentingan yang sangat merugikan Islam, dan A.M. Fatwa juga
menegaskan bahwa umat Islam harus lebih mampu mengatur dan lebih
menekankan pada pemanfaatan waktu untuk dipergunakan sebaik-baiknya,
terutama mengenai hal yang berkaitan dengan keadaan umat Islam.63
Islam pun mengajarkan agar umat dalam menyiarkan Islam terutama
dalam berdakwah harus medahulukan yang lebih utama, dalam arti, jangan
mementingkan kepentingan pribadi diatas kepentingan yang bersifat bersama,
karena hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam.
4. Berpikir menang-menang (think win-win)
Hal ini berasal dari latihan yang menuntut untuk sebuah kejujuran
(honesty, menyesuaikan kata dengan perbuatan) Integritas (Integrity,
menyesuaikan perbuatan dengan perkataan), kematangan (maturity), dan
mentalitas kelimpahan (abundance mentality) dimana semua hal tersebut
merupakan sebuah konsep ideal dalam mempertahankan keyakinan agar tidak
63 Fatwa, A.M. Khutbah-khutbah Politik A.M. Fatwa Dimasa Orde Baru,
Penerbit : Suara Muhammadiyah, Cet I April 2007
xcvii
mudah terpengaruh dan bahkan harus mempengaruhi agar harapan tersebut dapat
tercapai sesuai dengan apa yang diharapkan, karena bila hanya berfikir seperti ini
terutama bila kepentingannya yang berorientasi negatif, maka akan mendapatkan
respon yang negatif pula, dan yang terjadi adalah pertentangan.
Hal ini sangat bertujuan yang sesuai dengan harapan A.M. Fatwa yang
menginginkan semua lapisan komponen terutama di lingkungan masyarakat agar
tercipta kemesraan antar sesama manusia dan menjalin ukhuwah islamiah yang
akan menjadi sebuah pernik mutiara yang harus tetap terjaga, sehingga dapat
menjadi insan yang bermanfaat bagi yang lainnya, dimana A.M. Fatwa
mengatakan “umat Islam harus memposisikan diri di posisi terdepan dan juga
harus menjadi contoh yang baik.”64
dan juga pada saat melaksanakannya sangat
di perlukan keberanian yang kuat, karena dalam mempertahankan sebuah
kebenaran pun harus teguh.
5. Memahami terlebih dahulu, baru minta dipahami (seek first to
understand than to be understood)
Dengan hal ini, merupakan salah satu kunci kesuksesan dalam
menyampaikan sesuatu harus menunjukkan dengan saling memahami, membantu,
mengerti dan mengasihi65
. A.M. Fatwa memahami karakter masyarakat pada saat
pemerintahan baik di Era Orde Lama, Orde Baru, hingga sekarang dengan cara
menyampaikan pesan-pesan melalui media tulisan serta khutbah-khutbah yang
disampaikannya pada saat Peringatan hari besar Islam maupun pengajian-
64 Wawancara dengan A.M. Fatwa pada tanggal 5 November 2009 65 Dio Martin, Anthony Emotional Quality Management, (Jakarta :
Penerbit Arga 2003), hal.21-34
xcviii
pengajian di lingkungan masyarakat, agar masyarakat memahami apa yang
sebenarnya terjadi.
A.M. Fatwa pun ikut menyuarakan aspirasi masyarakat di Parlemen
terutama pada saat anggota parlemen membahas suatu kebijakan yang akan
disahkan, dan ketika A.M. Fatwa memandang kebijakan tersebut dapat merugikan
umat Islam, maka Ia akan bersuara dan menyampaikan pesan kepada parlemen
untuk dijadikan pertimbangan dalam memutuskan sebuah kebijakan yang akan
ditetapkan dalam rapat tersebut. Apabila hal yang ingin dicapai tidak terpenuhi,
A.M. Fatwa pun menyampaikan beberapa pertimbangan apabila pendapatnya
tidak di dengar oleh anggota Parlemen, akan tetapi A.M. Fatwa pun sebenarnya
memahami dan menghormati apa yang ingin diperjuangkan oleh anggota yang
berbeda pandangan dengannya. Hal ini merupakan bentuk simbolisasi yang harus
dilakukan oleh setiap orang untuk menghormati, memahami hak orang lain
apabila dia ingin dihormati dan dipahami agar tercipta sesuai dengan apa yang
diharapkan. Dan inilah yang selalu dilakukan oleh A.M. Fatwa dengan
mengatakan ”seorang da’i harus memiliki akhlak yang mulia agar dapat menjadi
contoh dan menjadikan dirinya sebagai contoh, dan juga, seorang politisi-pun
harus memiliki ’fatsoen’ sehingga mampu menempatkan perbedaan pendapat
secara proporsional.” dimana setiap figur seorang pemimpin harus selalu
memberikan masukan-masukan dan saran secara bijak dan modern terhadap suatu
permasalahan yang sedang terjadi.66
6. Wujudkan sinergi (synergize)
66 Wawancara penulis dengan A.M. Fatwa pada tanggal 5 November
2009.
xcix
Bersinergi berarti keseimbangan yang dapat diperoleh. Sinergi sendiri
dapat dipahami jika ada kerjasama yang harmonis antara pemerintah, tokoh
masyarakat dan rakyat (human capital), karena tiap-tiap individu selalu berbeda
pandangan.
A.M. Fatwa menginginkan sebuah sinergi yang tercipta, antara pemerintah
dan masyarakat, dimana A.M. Fatwa pun ikut menjembatani agar terciptanya hal
tersebut. Akan tetapi yang terjadi pada zaman Orde Baru malah pemerintah
mencoba mematikan sinergi hanya untuk melanggengkan pemerintahan agar tidak
ada yang menggantikan kepemimpinan Soeharto.
Dengan segala cara A.M. Fatwa mencoba melakukan itu semua dan
bahkan merelakan dirinya hingga di zhalimi oleh pemerintah hanya untuk
menciptakan sinergi demi kemajuan bangsa Indonesia antara umat Islam dan
Pemerintah. Dan untuk mencari solusi terbaik dalam berbagai ragam perbedaan
yang ada baik aqidah maupun pendapat harus terpola dengan saling menghargai
(open minded) dan kerjasama dengan pihak yang berkepentingan. Oleh karena itu,
kerjasama semua komponen dalam kebaikan sangat dianjurkan, hal ini dilakukan
oleh A.M. Fatwa saat duduk sebagai wakil ketua DPR-RI tahun 1999-2004 dan
wakil ketua MPR-RI 2004-2009.
Intinya adalah, bagaimana tiap-tiap individu maupun lembaga terutama di
pemerintahan harus dapat bersikap fleksibel, A.M Fatwa pun juga mengatakan
”Banyak orang yang tidak sama presepsinya dan memandang sesuatu dari
’kacamata’ kekuasaan atau ’kacamata’ sendiri” walaupun tidak sama dalam hal
presepsi maupun pandanganya terhadap sesuatu hal harus segera di sinergis-kan.
c
Dan jika hal itu terus menerus diterapkan atau dilakukan, maka akan terciptanya
sebuah stabilitas yang dapat mewujudkan persatuan baik antar sesama pemeluk
agama demi menjaga persautan bangsa.67
7. Mengasah gergaji (sharpen the saw)
Hal ini sangat menekankan pada tiap individu atau umat Islam untuk terus
mengasah emosional, intelektual, sosial, finansial, mental dan spiritual.68 Hal ini
A.M. Fatwa menyampaikan agar umat Islam harus terus berjuang dalam
meningkatkan kesuksesan. Islam menganjurkan kepada kita untuk memperbaiki
prestasi yang digapai, karena hal ini akan mengantarkan masyarakat untuk
memperbaiki dirinya sendiri untuk menjadi lebih baik sebagai umat Islam yang
kuat dan sejahtera.
A.M. Fatwa pun menggali terus apa yang sebenarnya terjadi, dan keadaan
masyarakat di bangun dengan opini yang menganggap bahwa akan berbahaya
apabila Islam diterapkan sebagai Ideologi negara. Dengan makna bahwa apabila
seorang muslim yang kuat Imannya duduk sebagai pemimpin sebuah negara,
maka yang akan terjadi semua hal yang berkaitan dengan aturan negara akan
berasaskan dengan aturan Islam yang mungkin dianggap belum cocok untuk
diterapkan di Indoensia, dan juga di karenakan faktor kepemimpinan yang
dijalankan oleh sang pemimpin tidak sesuai dengan ajaran Islam sehingga banyak
yang menolak dan bahkan menentang, apabila Islam dijadikan Ideologi Negara,
karena Indonesia sendiri didalamnya banyak agama selain Islam, sehingga konsep
67 Wawancara penulis dengan A.M. Fatwa, Kamis 05 November 2009. 68 Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan
Emosi dan Spiritual (Jakarta : Penerbit Arga, 2001), hal.273
ci
Islam dianggap dapat merugikan agama lain dengan keyakinan ajaran agama
tersebut.
Intinya adalah, sebagai seorang da’i harus selalu menggunkan metode-
metode yang sesuai dengan perkembangan zaman, terutama dalam penggunaan
tekhnologi komunikasi Informasi dan penerapannya artinya tidak konservatif, dan
juga seorang da’i harus fokus pada materi yang disampaikan serta harus di
sesuaikan dengan kondisi khalayak masyarakat. Terutama dakwah bil hal dan juga
dakwah yang menyentuh kehidupan sehari-hari yang harus menjadi perhatian
utama saat ini. A.M. Fatwa pun mengungkapkan ” akan lebih baik menggunakan
metode-metode yang sesuai dengan perkembangan zaman, agar tidak selalu
konservatif dan juga seluruh pesan yang disampaikannya harus memperhatikan
segala permasalahan yang terjadi dan mengetengahkan empati masyarakat”
sehingga fenomena-fenomena ajaran atau aliran sesat yang sedang berkembang,
mampu diredam melalui pesan yang disampaikan oleh da’i.69
Untuk itu, kita sebagai muslim hendaknya menggali terus pemahaman-
pemahaman terhadap apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat, sehingga agama
lain pun dapat mengerti dan memahami bahwa ajaran Islam sebenarnya tidak
merugikan ajaran lain, dan bahkan lebih menguntungkan serta lebih
mensejahterakan agama lain, karena Islam mengajarkan agar selalu menghargai
keyakinan yang diyakini orang lain, dan juga Islam merupakan agama yang
rahmatan lil ’alamiin.
69 wawancara penulis dengan A.M. Fatwa, Kamis 05 November 2009
cii
8. Temukan suara Anda dan Ilhami orang lain menemukan suara mereka
(Find your voice and inspire others to find their voices)
A.M. Fatwa menganjurkan agar tiap individu khususnya umat Islam harus
menemukan suara hati mereka. Hal ini dimaksudkan agar setiap individu menjadi
bermanfaat bagi lainnya, karena akan memberikan kontribusi yang nyata dan
bermanfaat bagi dirinya, keluarga, masyarakat, agama, bangsa, dan negara.70
A.M. Fatwa pun mengungkapkan bahwa ”agar para da’i atau pemimpin
memiliki kontribusi yang signifikan dalam pembangunan umat, serta menjadi
motivator yang baik. Karena motivasi tersebut sangat diperlukan sebagian umat
yang masih mengidap rendah diri (inferiority complex).”.71
Dengan sikap
individu terutama para da’i yang seperti ini, diharapkan untuk menjadi posisi yang
terdepan atau pemimpin dengan memberikan contoh yang baik, karena hal itu
sangat penting guna mengajak umat Islam dan umat lainnya untuk selalu berbuat
lebih baik, serta mereka juga harus selalu aktif dan turut serta dalam mengawasi
seluruh bentuk kegiatan yang dilakukan akan tetapi harus sesuai dengan porsinya
terutama kemampuan tiap-tiap individu.
Hal ini sangat sesuai dengan ajaran Islam, dimana baik sesama muslim
maupun non-muslim harus saling memahami dan tidak bergantung pada orang
lain. Dan sangat diutamakan bahwa umat muslim harus bisa membantu orang lain
baik sesama muslim maupun dengan non-muslim yang membutuhkan, karena
manusia diciptakan sebagai mahluk sosial.
70 Ary Ginanjar Agustian,.Op.Cit, hal. 68 71 Wawancara penulis dengan A.M. Fatwa, 16 Juni 2009
ciii
BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
Secara eksplisit dapat diungkapkan bahwa, A.M. Fatwa merupakan salah
satu tokoh yang hingga saat ini masih eksist memberikan kontribusinya terhadap
perkembangan Islam, dimana A.M. Fatwa masih tetap berperan aktif dengan
memberikan masukan-masukan kepada pemerintah dan tidak takut untuk
langsung mengkritiknya apabila ia menilai kebijakan yang dilakukan pemerintah
itu salah, dan juga selalu menyerukan kepada seluruh umat Islam terutama di
Indonesia untuk tetap menjalin silaturahim baik sesama muslim maupun dengan
agama lain, serta menjaga keutuhan untuk tidak terpecah belah yang
disampaikannya melalui tulisan, khutbah, makalah yang disampaikannya baik di
mimbar masjid dan majlis taklim, hingga media massa.
Hal ini dilakukan oleh A.M. Fatwa agar masyarakat Indonesia, terutama
tokoh-tokoh agama agar tidak mengalami hal serupa yang pernah dialaminya.
Dimana saat A.M. Fatwa mencoba menebar amar ma’ruf nahi munkar yang
terbelenggu dan dibungkam oleh pemerintah baik semasa rezim Orde Lama
hingga Orde Baru.
Namun kini, A.M Fatwa sudah merasa mendapatkan apa yang dulu
diharapkannya walupun belum sepenuhnya terpenuhi. Perjuangannya pun belum
berhenti hingga saat ini, untuk menyampaikan aspirasi masyarakat kepada
pemerintah, terutama kepentingan umat Islam yang dulu hak-haknya selalu di
civ
belenggu. Dan aktivitas dakwahnya saat ini pun masih tetap dijalankannya walau
usianya sudah semakin tua.
Dengan tetap menyampaikan tulisan-tulisannya baik di buku-buku,
makalah maupun khutbah-khutbah yang masih tetap dilakukannya, A.M. Fatwa
pun tidak segan-segan turun langsung di masyarakat untuk mendengar keluhan
rakyat walau dia sudah duduk sebagai wakil ketua MPR-RI. Dan A.M. Fatwa pun
terus mencoba menyemangati kaum muda, terutama aktivis Islam untuk terus dan
selalu menegakkan amar ma’ruf nahi munkar hingga akhir hidup.
2. Saran
A.M. Fatwa diharapkan untuk tetap terus memberikan kontribusinya, baik
itu di Parlemen maupun di masyarakat, karena saat ini rakyat sangat
membutuhkan orang-orang yang mau memperjuangkan kepentingan rakyat.
Karena saat ini sudah sangat sulit mencari orang yang mau memperjuangkan
aspirasi rakyat, terutama kepentingan yang telah memojokkan umat Islam dan
bahkan banyak yang ingin menghancurkan Islam dari segala sisi.
Dan juga untuk para aktivis Islam, untuk terus memperjuangakan hak dan
kewajibannya sebagai muslim dan bahkan tetap menyebarkan agama Islam yang
sesuai dengan ajaran, serta hendaknya juga memperkaya diri dengan
memperbanyak wawasan agar tidak timbul pemahaman yang dangkal tentang
ajaran Islam. Karena saat ini banyak sekali ajaran Islam yang dislewengkan,
sehingga menimbulkan ajaran-ajaran dan aliran kepercayaan baru, dan bahkan
sampai timbul nabi baru, yang jelas dalam ajaran agama Islam sudah dikatakan
bahwa Nabi Muhammad adalah nabi yang terakhir.
cv
DAFTAR PUSTAKADAFTAR PUSTAKADAFTAR PUSTAKADAFTAR PUSTAKA Abda, Slamet Muhaimin. Prinsip-prinsip Metodologi Dakwah,
Surabaya : Usaha Nasional, 1994 Agustian, Ary Ginanjar. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan
Emosi dan Spiritual Jakarta : Penerbit Arga, 2001. Ahmadi, Abu. Ilmu Sosial Dasar, Jakarta : Rineka Cipta Arifin, Psikologi Dakwah Suatu Pengantar Studi Jakarta : Bumi
Aksara, 1994 Arifin, Muhammad. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Akasara,
1991, cet. Ke-1. Arifin, Tatang M. Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: Rajawali
Press, 1989 Asmara, Toto. Komunikasi Dakwah, Jakarta: Gaya Media Pratama,
1957, Cet. Ke-2. Aziz, DR. Moh. Ali M.Ag. Ilmu Dakwah, Jakarta: Kencana, 2004, Cet.
Ke-1, A.W. Munawir, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia Lengkap,
(Jakarta: Pustaka Progresif, 1997), Cet Ke-14, edisi 2. Bahresi, Salim. Terjemahan Riadhus Shalihin, Bandung : PT al-
Ma’arif, 1978. Cet. IV Covey, Stephen R. the 8th Habit From Effectiveness to Greatness.
New York. Free Press Darus Salam, Ghazali. Dakwah Yang Bijak, Cet-II Jakarta : Lentera Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1997), Cet.ke 9, Dio Martin, Anthony Emotional Quality Management, Jakarta :
Penerbit Arga 2003. Fatwa, A.M. Demi Sebuah Rezim Demokrasi dan Keyakinan
Beragama Diadili, Jakarta ; PT. Gramedia Pustaka, 2000
cvi
Fatwa, A.M. Khutbah-khutbah Politik A.M. Fatwa Di Masa Orde Baru, Penerbit : Suara Muhammadiyah, Cet I April 2007
Ghazali BC.TT, Kamus Istilah Komunikasi, Bandung:Djambatan,
1992 Ghazali, DR. M. Bahri. Dakwah Komunikatif: Membangun Kerangka
Dasar Ilmu Komunikasi Dakwah, Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1997. Cet. Ke-1,
Ghazali, M. Bahri. Dakwah Komunikasi, Jakarta : Pedoman Ilmu
Jaya, 1997 cet I Hadi, Sutrisno. Metodologi Research, Yogyakarta : Andi Offset,
1983 Hasanudin, Hukum Dakwah, Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya 1996, Cet
Ke-1 Husain Abdullah, Muhammad Metodologi Dakwah dalam Al-Quran,
cet-I Jakarta : lentera, 1997 Ibrahim, Idi Subandi. ed., Cultural and Communication Studies,
Yogyakarta: Jalasutra, 2004, Cet. Pertama. Jabir, Dr. Thoha Al-Alwani. dalam Krisis Pemikiran Modern
Diagnosis dan Resep Pengobatannya (1989), dan M. Yaqzhan dalam Anatomi Budak Kufar (1993).
Yakub, Ismail. Dakwah Islam dan Kepastian Hukum : Aturan
Permainan Itu Sudah Ada, Yogyakarta: Prima Duta, 1983, Cet. Ke-1.
Omar, Prof. H. M. Toha Yahya, MA, Islam dan Dakwah, Jakarta: PT.
Al-Mawardi Prima, 2004, Cet. Ke-1 Muhtaram, Zaini. Dasar-dasar Manajemen Dakwah Yogyakarta : al-
Amin Press dan IFKA, 1996. Munir, M dan Wahyu Ilham, Manajemen Dakwah, Jakarta: Kencana,
2004, Cet. Ke-I Muriah, Dra. Siti. Metodologi Dakwah Kontemporer, Yogyakarta :
Mitra Pustaka, 2000 Cet-I
cvii
Nasution, Faruq. Aplikasi Dakwah dalam Studi Kemasyarakatan Jakarta : Bulan Bintang 1986.
Natsir, Muhammad. Fiqhudh Dakwah, Jakarta: Media Dakwah, 1983,
Cet. Ke-4. Pulungan, J. Suyuti. Universalisme Islam, Jakarta: PT. Moyo Segoro
Agung, 2002, Cet. Ke-1. Qutub, Sayyid. Ma’lim Fi Thoriq Kairo : Dasar al-Syuruq 1979 Rakhmat, Jalaluddin “Psikologi Komunikasi,” Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an, Bandung : Mizan, 1995. Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an Fungsi dan Peranan
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1988 Ce. Ke-17,
Sobur, Alex . Analisis Teks Media, Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya, 2002. Cet. Ke-2. Soeroyo, dkk, Problematika dan Peta Dakwah di Abad XXI Jakarta :
Penerbit Yayasan Kamil bekerjasama dengan PP IKPM Gontor, 1997
Sumarnonugroho T, Sistem Intervensi Kesejahteraan Sosial,
Yogyakarta : Hanindita 1991. Syani, Drs. Abdul. Sosiologi dan Perubahan Masyarakat. Jakarta :
Pustaka Jaya. cet.I. Syukri, Asmuni. DasarStrategi Dakwah Islam, Surabaya : al-Ikhlas,
1983. Syukri, Asmuni. Dasar Strategi Dakwah Islam, Surabaya : al Ikhlas,
1983 Tasmoro, Toto. Komunikasi Dakwah Jakarta : Gaya Media Pratama,
1987. Yakqub, Ali Mustafa. Sejarah Metode Dakwah Nabi, Jakarta :
Pustaka Firdaus, 1997. Yusuf, Prof. DR. Yunan. Dakwah dalam Perspektif Otonomi Daerah,
Risalah dakwah, Penerbit : Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, vol. 5 No.1 Juni 2003.
cviii
Watson, C.W , Margono, Muhajjir Arief Rahmani, Membaca A.M.
Fatwa ; Perubahan dan Konsistensi, (Jakarta : Teraju, 2008) WJS. Purwodarminata, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta :
Balai Pustaka, 1976.
cix