1
AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT
TIONGHOA DI KOTA PADANGSIDIMPUAN
印尼帕当西登普安华裔习俗的研究
(Yìnní pà dāng xī dēng pǔ ān huáyì xísú de yánjiū)
SKRIPSI SARJANA
OLEH :
MUHAMMAD SOFWAN NASUTION
140710004
PROGRAM STUDI SASTRA CINA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan
Tinggi dan sepanjang pengetahun saya juga tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis
diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 23 November 2018
Muhammad Sofwan Nasution
140710004
Materai
6000
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
i
AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT
TIONGHOA DI KOTA PADANGSIDIMPUAN
印尼帕当西登普安华裔习俗的研究
(Yìnní pà dāng xī dēng pǔ ān huáyì xísú de yánjiū)
MUHAMMAD SOFWAN NASUTION
140710004
ABSTRAK Skripsi sarjana ini berjudul “Akulturasi Budaya Pada Masyarakat Tionghoa Di
Kota Padangsidimpuan”. Tujuan penelitian dalam menulis skripsi ini adalah
Menjelaskan unsur budaya yang terdapat pada masyarakat Tionghoa di kota
Padangsidimpuan dan mendeskripsikan unsur akulturasi budaya pada masyarakat
Tionghoa di kota Padangsidimpuan. Metode yang dipakai dalam penelitian ini
adalah metode deskriptif analisis dengan pendekatan kualitatif. Teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini berdasarkan studi lapangan, yaitu
observasi, wawancara, dan dokumentasi. Penelitian ini menggunakan teori
akulturasi dari John Widdup Berry, yaitu mengenai penelusurannya di dalam
aspek budaya. Hasil yang penulis dapat dari penelitian ini adalah : (1) unsur
akulturasi budaya pada masyarakat Tionghoa di kota Padangsidimpuan yaitu
unsur akulturasi budaya Batak Angkola, yang mana penulis menganalisis
mengenai bahasa, perkawinan, dan penabalan marga antara masyarakat Tionghoa
dengan masyarakat Batak Angkola. (2)dari analisis yang penulis lakukan tentang
akulturasi budaya masyarakat Tionghoa dengan masyarakat Batak Angkola
mengenai bahasa, perkawinan, dan penabalan marga dapat dinyatakan berjalan
dengan baik.
Kata Kunci: Akulturasi Budaya; MasyarakatTionghoa; Kota Padangsidimpuan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ii
AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT
TIONGHOA DI KOTA PADANGSIDIMPUAN
印尼帕当西登普安华裔习俗的研究
(Yìnní pà dāng xī dēng pǔ ān huáyì xísú de yánjiū)
MUHAMMAD SOFWAN NASUTION
140710004
ABSTRACT
This thesis title is " The Acculturation of Chinese Communities in
Padangsidimpuan City". The purpose of the research in writing this thesis is to
explain the cultural elements found in the Chinese community in the city of
Padangsidimpuan and describe the elements of cultural acculturation in the
Chinese community in the city of Padangsidimpuan. The method used in this
study is a descriptive analysis method with a qualitative approach. Data collection
techniques in this study are based on field studies, namely observation, interviews,
and documentation. This study uses the acculturation theory of John Widdup
Berry, which is about his search in cultural aspects. The results that the authors
obtained from this study are: (1) the element of cultural acculturation in the
Chinese community in the city of Padangsidimpuan namely the element of
acculturation of Angkola Batak culture, in which the authors analyze the
language, marriage, and clan sowing between the Chinese community and the
Angkola Batak community. (2) from the analysis that the author did about the
cultural acculturation of the Chinese community with the Batola Angkola
community regarding the language, marriage, and surname of the clan can be
declared to work well.
Keywords: Acculturation; Chinese society; Padangsidimpuan City
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Subhana Wataala, yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat meyelesaikan
skripsi yang berjudul “Akulturasi Budaya pada Masyarakat Tionghoa di Kota
Padangsidimpuan”. Skripsi ini disusun sebagai persyaratan untuk memperoleh
gelar Sarjana dari Program Studi Sastra Cina, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Sumatera Utara.
Dalam penyelesaian skripsi ini, tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak
yang telah memberikan dukungan, semangat, waktu, nasehat, dan doa kepada
penulis. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis dengan segenap hati ingin
mengucapkan terima kasih kepada semua yang telah membantu penulis sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan. Ucapan terima kasih ini penulis tujukan kepada:
1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Mhd. Pujiono, M.Hum., Ph.D, selaku Ketua Program Studi Sastra
Cina Universitas Sumatera Utara, sekaligus Dosen Penguji dan Dosen
Pembimbing Akademik penulis yang telah memberikan masukan dan
kritikan yang membangun selama proses penyempurnaan penulisan skripsi
ini.
3. Ibu Niza Ayuningtias, S.S., MTCSOL, selaku Sekretaris Program Studi
Sastra Cina Universitas Sumatera Utara, sekaligus dosen penguji yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
iv
telah memberikan masukan dan kritikan yang membangun selama proses
penyempurnaan penulisan skripsi ini.
4. Ibu Juliana B.A., MTCSOL, dan Bapak Rudiansyah S.S., M.Hum, selaku
Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, masukan yang
membangun kepada penulis selama proses penyempurnaan skripsi ini,
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
5. Seluruh staf pengajar di Fakultas Ilmu Budaya khususnya Program Studi
Sastra Cina, Universitas Sumatera Utara.
6. Kedua orang tua saya yang sangat luar biasa, Bapak Binu Hajar Nasution
dan Ibu Rosmaini Hasibuan, yang tidak pernah jenuh-jenuhnya dalam
mendoakan, menasehati serta mendidik penulis dengan setulus hati.
7. Saudara penulis Rafsanjani Nasution, Iryah Yanti Nasution, Muhammad
Safii Nasution yang selalu member semangat, serta mendoakan.
8. Abang saya Ali Marwan Nasution juga kakak ipar saya Sunita Dewi yang
telah banyak membantu, menasehati, serta mendidik saya dengan baik
sampai sejauh ini, sehingga penulis sampai pada tahap ini.
9. Informan yang telah berkenan untuk di wawancarai serta memberikan
waktu dan kesempatan dan juga pengetahuan kepada penulis, yaitu Ibu
Juliana dan Bapak Olly Japar Siregar sebagai informan kunci yang
memberikan penjelasan akulturasi budaya masyarakat Tionghoa di kota
Padangsidimpuan serta semua informan yang tidak bisa penulis sebutkan
satu persatu, terima kasih atas semua informasi, saran-masukan yang
bersifat membangun serta kerja sama yang baik.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
v
10. Sahabat yang selalu bisa memberikan saran, dan motivasi kepada penulis,
sahabat terbaik yang selalu mendengar suka-duka dan candatawa penulis,
Ahmad Bahari Nasution, Rudi Paisal Nasution, Zul Parwis Hasibuan,
Amirul Tanjung, Indra Syaputra Lubis, dan Ahmad Mustomi Nasution,
yang member semangat, dan selalu mengingatkan penulis dalam
pengerjaan skripsi ini.
11. Seluruh teman-teman sastra cina 2014 yang tidak bisa penulis sebutkan
satu persatu, teman yang memberikan warna-warni selama perkuliahan.
Semoga kita tetap kompak dan sukses.
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tulisan ini
belum bisa dikatakan sebagai penelitian yang sempurna. Oleh sebab itu, penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
skripsi ini. Akhirnya penulis mengharapkan agar nantinya skripsi ini bermanfaat
bagi semua pihak di kemudian hari.
Medan, 23 November 2018
Penulis
Muhammad Sofwan Nasution
140710004
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................................. i
ABSTRACT ................................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ................................................................................................ iii
DAFTAR ISI .............................................................................................................. vi
DAFTAR TABEL ...................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 8
1.3 Batasan Penelitian ..................................................................................... 8
1.4 Tujuan Penelitian....................................................................................... 9
1.5 Manfaat Penelitian..................................................................................... 9
1.5.1 Manfaat Teoritis ................................................................... 9
1.5.2 Manfaat Praktis ................................................................... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep ............................................................................................. 11
2.1.1 Kebudayaan ......................................................................... 11
2.1.2 Akulturasi Budaya ............................................................... 12
2.1.3 Inkulturasi Budaya ............................................................... 13
2.1.4 Enkulturasi Budaya .............................................................. 14
2.1.5 Sistem Kepercayaan ............................................................. 15
2.1.5.1 Buddhisme ............................................................... 18
2.2 Landasan Teori .......................................................................................... 20
2.2.1 Teori Akulturasi ................................................................... 26
2.3 Tinjauan Pustaka ....................................................................................... 26
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
vii
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian ............................................................................ 36
3.2 Lokasi Penelitian.............................................................................. 37
3.3 Data dan Sumber Data .............................................................................. 37
3.4 Persyaratan Informan ................................................................................ 38
3.5 Metode Pengumpulan Data ...................................................................... 39
3.5.1 Observasi ............................................................................. 39
3.5.2 Wawancara........................................................................... 40
3.5.3 Dokumentasi ........................................................................ 41
3.6 Metode Analisis Data ............................................................................... 42
3.7 Metode Penyajian Analisis Data .............................................................. 43
BAB IV GAMBARAN UMUM
4.1 Letak Geografis ............................................................................... 44
4.2 Demografis Lokasi Penelitian ......................................................... 45
4.2.1 Etnis (Suku Bangsa) ............................................................ 47
4.2.2 Sistem Kepercayaan ............................................................. 49
4.2.3 Mata Pencaharian ................................................................ 52
BAB V AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT
TIONGHOA DI PADANGSIDIMPUAN
5.1 Unsur Budaya pada Masyarakat Tionghoa
di Kota Padangsidimpuan ............................................................... 55
5.1.1 Budaya Batak Angkola ........................................................ 60
5.2 Unsur Akulturasi Budaya Masyarakat Tionghoa
di Kota Padangsidimpuan ............................................................... 63
5.2.1 Bahasa ................................................................................ 64
5.2.2 Pernikahan ......................................................................... 68
` 5.2.2.1 Penentuan Hari Baik .............................................. 69
5.2.2.2 Prosesi Sangjit (Lamaran) ...................................... 69
5.2.2.3 Menghias Kamar Pengantin ................................... 73
5.2.2.4 Upacara Pesta Pernikahan ..................................... 74
5.2.3 Penabalan Marga ............................................................... 81
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
viii
BAB VI PENUTUP
6.1 Simpulan ......................................................................................... 85
6.2 Saran ............................................................................................... 87
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 88
LAMPIRAN ................................................................................................................ 91
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 2.3 Matriks Penelitian Sejenis ........................................................................... 31
Tabel 4.1 Statistik Geografi dan Iklim Kecamatan Padangsidimpuan Utara............... 44
Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan ....................................................... 46
Tabel 4.2.1 Jumlah Penduduk Menurut Wilayah Administrasi dan
Suku Bangsa ................................................................................................ 47
Tabel 4.2.1 Jumlah Penduduk Tionghoa Berdasarkan Kepala Keluarga,
Jenis Kelamin/Sex, Usia/Umur Dan Kelurahan .......................................... 48
Tabel 4.2.2 Persentase Penduduk Menurut Agama dan Kepercayaan ......................... 50
Tabel 4.2.3 Penduduk Padangsidimpuan Utara Menurut Mata Pencaharian .............. 53
Tabel 4.2.3 Penduduk Etnis Tionghoa Menurut Mata Pencaharian............................ 54
Tabel 5.2.1 Bahasa Percakapan dalam Rumah Tangga Masyarakat
Tionghoa di Padangsidimpuan ................................................................. 65
Tabel 5.2.1 Bahasa Percakapan dalam Kelompok Etnis
Tionghoa di Padangsidimpuan ................................................................... 66
Tabel 5.2.1 Bahasa Percakapan dalam Pergaulan Sehari-Hari
dengan Masyarakat Padangsidimpuan...................................................... 66
Tabel 5.2.1 Tingkat Penguasaan Bahasa Etnis Tionghoa
di Padangsidimpuan .................................................................................. 67
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.2 Peta Kota Padangsidimpuan ............................................................... 37
Gambar 5.2.2.4 Pengantin Wanita yang Sedang di Rias Orang Tuanya...................... 75
Gambar 5.2.2.4 Pengantin Tionghoa Sedang Memohon Doa Restu
Kepada Kedua Orang Tuanya............................................................. 75
Gambar 5.2.2.4 Kedua Orang Tua Menyelempangkan Ulos Batak Angkola
Atau Parompa Sadung Kepada Kedua Pengantin............................... 79
Gambar5.2.2.4 Pengantin Etnis Tionghoa Sedang Melangsungkan
Adat Mangupa Batak Angkola ........................................................... 80
Gambar 5.2.3 Gambar Pengetua Adat Menaburkan Beras Kuning Diatas
Kepala Fung Fa Lie (Ali Surya Siregar) ........................................... 82
Gambar 5.2.3 Acara Tarian Manortor Etnis Batak Angkola ................................... 83
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat Indonesia sejak dulu sudah dikenal sangat heterogen dalam
berbagai aspek, seperti adanya keberagaman suku bangsa, agama, adat istiadat,
dan sebagainya. Dilain pihak, perkembangan dunia yang sangat pesat saat ini
dengan mobilitas dinamika yang sangat tinggi telah menyebabkan dunia menuju
kearah Desa dunia “global village” yang hampir tidak memiliki batas-batas lagi
sebagai akibat dari perkembangan teknologi modern. Oleh karena nya masyarakat
(dalam arti luas) harus siap menghadapi situasi-situasi baru dalam konteks
keberagaman budaya (Lubis,2002:1).
Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa memiliki warisan budaya
yang sangat kaya. Berbagai macam tradisi dan adat-istiadat yang dimiliki
Indonesia menjadi kebanggaan tersendiri bagi indonesia. Indonesia menjadi kaya
karena budayanya. Kekayaan budaya itu ditambah lagi dengan masuknya unsur
kebudayaan asing kedalam Indonesia melalui proses asimilasi dan akulturasi.
Akulturasi adalah proses bercampurnya dua budaya atau lebih yang mana
unsur-unsur dari kebudayaan asli masih terlihat dan tidak hilang. Menurut
Koentjaraningrat (2009:202) Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul
apabila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan
dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa,
sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke
dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2
itu sendiri. Jadi, akulturasi artinya menerima, mengelola kebudayaan asing dan
mengkombinasikannya dengan kebudayaan asli pribumi tanpa merusak atau
menghilangkan unsur-unsur keaslian budaya pribumi.
Akulturasi dapat dideskripsikan sebagai suatu tingkat dimana seorang
individu mengadopsi nilai, kepercayaan, budaya dan praktek-praktek tertentu
dalam budaya tamu (Diaz &Greiner,1998: 219). Akulturasi juga dapat dipandang
sebagai suatu proses dimana individu, keluarga, atau masyarakat dengan latar
belakang tertentu memulai menerapkan berbagai macam aspek dalam budaya
kedua (Orshan,1996: 461).
Dari penjelasan diatas penulis menyimpulkan bahwa ketika seseorang
memasuki suatu kelompok (dalam hal ini yang dimaksud adalah etnis Tionghoa
yang melakukan perkawinan campur), tidak mungkin baginya untuk menghindari
kontak dengan anggota kelompok tersebut (keluarga pasangan).Sebab perkawinan
bukanlah semata-mata penyatuan antara dua individu, melainkan dua keluarga.
Kontak dengan keluarga pasangan kemudian akan mempengaruhi pemikiran dan
perilakunya.
Indonesia melakukan hubungan dengan Tiongkok telah terbina sejak abad
ke-13. Selanjutnya pedagang Tionghoa datang ke Indonesia khususnya ke
Sumatera Utara. Kedatangan penduduk Tionghoa ke Sumatera Utara di mulai
sejak Tiongkok di perintah oleh Dinasti Ming (1368-1644). Pada tahun 1412
sebuah armada Tiongkok di bawah pimpinan Cheng Hoo datang di pulau Bangka
Belitung, Kepulauan Karimata, pulau Jawa di Semarang dan di Madura (Hidayat,
1997:74).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3
Imigran besar-besaran pertama terjadi pada tahun 1860-1890 berjumlah
sekitar 318000 orang, 40% diantaranya bertempat di jawa dan 60% sisanya
(190.000) memperbesar jumlah populasi Tiongkok di pulau-pulau luar Jawa,
terutama di Pesisir Timur Sumatera, Bangka Belitung (Twang Pech Yang,
2004:27).
Migrasi spontan etnis Tionghoa mungkin sudah berlangsung berabad-abad
sebelum pembukaan perkebunan di Sumatera Timur. Karena daerah ini sudah
dikenal oleh pelaut-pelaut Tionghoa, antara lain yang dipimpin oleh Laksamana
Cheng Hoo yang menjelajah ke Pulau Jawa, Laksamana Cheng Hoo juga telah
menyusuri Pantai Timur Sumatera dan juga singgah di Nakur yaitu wilayah
budaya batak di Pantai Timur (Basyral, 2003:203). Etnis Tionghoa yang datang
berimigrasi ke Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa. Etnis Tionghoa yang
suka merantau adalah suku Hokien namun ada juga suku Hakka (Khek), Teochiu
dan Hailam (Hainan). Suku inilah yang paling banyak melakukan migrasi ke
Indonesia. Kebanyakan mereka ini adalah para pedagang yang melakukan
mobilitas untuk mencari daerah-daerah lain yang membutuhkan barang
dagangannya dan mereka menetap di daerah tersebut, misalnya di Medan, Tebing
Tinggi, Pematang Siantar, Tarutung, dan Padangsidimpuan.
Padangsidimpuan merupakan kota administratif yang berasal dari sebagian
Kabupaten Tapanuli Selatan. Dimana Kabupaten Tapanuli Selatan ini terdiri dari
Kecamatan Padangsidimpuan Utara, Kecamatan Padangsidimpuan Selatan,
Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua, Kecamatan Padangsidimpuan
Hutaimbaru, dan Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara. Kota Padangsidimpuan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4
tergolong ke dalam daerah yang beriklim sedang dengan suhu 20-30 0C yang
dilalui beberapa sungai dan anak sungai. Sebagaimana Kabupaten/kota lainnya,
kota Padangsidimpuan mempunyai dua musim , yaitu musim panas (kemarau),
musim ini terjadi pada bulan Maret sampai dengan bulan Agustus dan musim
penghujan yang terjadi pada bulan September sampai dengan bulan Februari.
Menurut Ahmad Rivai Harahap selaku Lurah Kelurahan Wek II, kota
Padangsidimpuan juga memiliki banyak pahlawan, salah satu diantaranya adalah
Sersan Mayor (Serma) Lian Kosong. Namanya kini ditabalkan menjadi nama
jalan di tengah kota Padangsidimpuan. Serma Lian Kosong telah turut aktif
berjuang melawan tentara/pasukan Belanda pada masa agresi militer kedua. Pada
saat itu komandannya adalah Kapten Koima Hasiboean.
Adapun penyebab migrasinya etnis Tionghoa ke kota Padangsidimpuan
dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor pendorong adalah faktor yang timbul dari
daerah asal dan faktor penarik merupakan faktor yang barasal dari daerah yang di
tuju. Faktor pendorong kegiatan migrasi sebenarnya timbul karena dirasakan
bahwa, daerah dimana penduduk Tionghoa tinggal dalam kondisi kurang
rnenguntungkan misalnya karena mulai berkurang nya sumberdaya alam,
menyempitnya lapangan kerja, tekanan-tekanan politik, sosial ekonomi (dengan
makin padatnya penduduk serta makin sempitnya dalam usaha ekonomi
pertaniannya), bencana alam, perang dan sebagainya sehingga atas kesadaran
sendiri atau pengarahan dari luar, etnis Tionghoa meninggalkan daerah asal.
Sedangkan faktor penarik kegiatan migrasi yang timbul karena adanya daerah-
daerah yang mempunyai kondisi lebih menguntungkan dari pada daerah asal.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5
Misalnya daerah yang dituju tersebut memiliki tanah yang subur, kedudukan
sosial ekonomi yang lebih baik, serta menjanjikan perluasan usaha dalam bidang
perdagangan.
Tan, Sofyan (2003:69) menyebutkan bahwa orang Hokien pada umumnya
melakukan kegiatan dalam bidang perdagangan, orang Kanton bekerja dalam
bidang pertukangan, sedangkan Khek bekerja dalam bidang bisnis obat-obatan
dan Teochiu ini berdiam di pinggiran kota Medan seperti Sunggal, Pulo Brayan
bahkan sampai Stabat,Pematang Siantar dan kota-kota di luar Medan. Tetapi Etnis
Tionghoa yang datang berimigrasi ke kota Padangsidimpuan pada umumnya
rnerupakan orang Hokien dan Kanton.
Kemapanan mereka dalam mencari nafkah pasti didasari pergaulan yang
erat antara kelompok masyarakat setempat yang berupa kerja sama etnis Tionghoa
dengan pengusaha tradisional pemilik tanah atau menjalin hubungan melalui
perkawinan laki-laki pendatang Tionghoa dengan perempuan setempat (Basyral,
2003:205).
Keberadaan berbagai ragam etnis Tionghoa di Indonesia adalah
merupakan akibat dari lamanya mereka tinggal di Indonesia di tempat-tempat
yang berbeda. Etnis Tionghoa yang berimigrasi ke Indonesia lamban laun mereka
akan beradaptasi dengan masyarakat setempat sehingga bukan menjadi suatu hal
yang asing bagi kita jika ada laki-laki Tionghoa yang mengawini wanita setempat
dalam arti luas (masyarakat setempat). Mereka dan keturunannya membentuk
komunitas etnis Tionghoa atau etnis baru yang lebih dikenal sebagai peranakan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6
(Tionghoa peranakan). Begitu juga yang dilakukan oleh Lie Kak yang menikahi
Soun boru siregar dari desa Tinjoman, Angkola Julu.
Masyarakat Tionghoa di kota Padangsidimpuan dipimpin oleh Lie Kak
kelahiran Tiongkok, Lie Kak dijodohkan dan sudah dikawinkan sebelum dia
merantau. Lie Kak berangkat meninggalkan negeri leluhurnya sendirian, tanpa
istri, ini merupakan tradisi Tiongkok antara kerabat sehingga menjodohkan anak-
anak mereka. Tradisi memperkuat ikatan hubungan dengan kerabat dari negeri
Tiongkok sendiri. Keadaan ini penting bagi perantau agar kecintaan terhadap
negeri leluhur tetap terpelihara. Para suami muda merantau kelak setelah berhasil
akan datang menjemput istrinya. Lie Kak bahkan disebut sebagai salah satu
seorang pendiri kota Padangsidimpuan. Lie Kak pandai bergaul, karena itu ia
berhasil menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh pengusaha tradisional khususnya
Baginda Saif, salah seorang raja Losung Batu yang menguasai tanah-tanah di
Padangsidimpuan. Lie Kak juga berasimilasi dengan masyarakat setempat
(Basyral, 2003:207). Hubungan sangat baik terjadi antara bumi putera (penduduk
Padangsidimpuan) dengan masyarakat Tionghoa di kota Padangsidimpuan,
misalnya dalam bidang hubungan politik dan bidang perniagaan, kaum bumi
putera dan kalangan Tionghoa memiliki kesamaan persepsi terhadap penolakan
kehadiran penjajah Belanda di kota Padangsidimpuan.
Hampir semua etnis Tionghoa di Sumatera Utara umumnya dan di kota
Padangsidimpuan khususnya berusaha dalam bidang perdagangan sebagai mata
pencaharian mereka. Hal ini sesuai dengan jiwa dagang mereka yang telah
mendarah daging. Di kota Padangsidimpuan etnis Tionghoa membuka lokasi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
7
pertokoan, pusat-pusat pertokoan tersebut juga dipakai sebagai tempat tinggal.
Berbagai kegiatan ekonomi dan perdagangan dilakukan oleh etnis Tionghoa di
kota Padangsidimpuan, antara lain di bidang industri (PT. Kirana Sapta, PT.
Virgo, PT. Sihitang Raya Baru), perbengkelan (Toko Honda Surya Lestari, Toko
Suzuki), Toko Emas, Toko Mebel, dan Toko Besi. Ada juga yang melibatkan diri
sebagai pedagang kelontong (berdagang bermacam-macam barang), perdagangan
grosir dan sebagai distributor.
Setelah etnis Tionghoa masuk ke kota Padangsidimpuan, perkembangan
perdagangan semakin meningkat. Sejarah mencatat bahwa masyarakat Tionghoa
menjadi salah satu motor penggerak perekonomian di kota Padangsidimpuan.
Mereka sebagai anggota masyarakat telah mengambil peranan yang penting di
dalam roda perekonomian kota Padangsidimpuan. Sikap toleransi serta semangat
kerja yang tinggi dapat menjadi nilai baik sekaligus contoh tauladan bagi
masyarakat Padangsidimpuan lainnya.
Di kota Padangsidimpuan masyarakat Tionghoa beradaptasi yaitu dengan
dengan cara bersikap ramah –tamah, dan berkomunikasi dengan masyarakat
setempat dengan menggunakan bahasa Batak Angkola. Masyarakat Tionghoa juga
berasimilasi dengan masyarakat setempat yaitu dengantidak menciptakan
pemukiman Tionghoa (pecinan), sehingga masyarakat Tionghoa di tempat ini
membaur satu sama lain dengan masyarakat setempat.
Kemudian di tempat ini masyarakat Tionghoa juga menggunakan marga-
marga yang ada di kota Padangsidimpuan yaitu dengan melaksanakan upacara
adat (ritual adat) yang dihadiri oleh tetua adat Batak Angkola, serta melengkapi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
8
persyaratan yang telah ditetapkan oleh pimpinan adat untuk mendapatkan sebuah
marga yang diinginkan. Selain melalui proses perkawinan sebuah marga juga bisa
dimilki oleh seseorang atas dasar keinginannya sendiri. Disini masyarakat
Tionghoa juga melakukan kawin campur (amalgamasi) dengan masyarakat
Padangsidimpuan yaitu dengan memakai adat kedua belah pihak yakni adat Batak
Angkola adat etnis Tionghoa. Dengan demikian diharapkan dapat terciptanya
kerukunan antar etnis Tionghoa dengan Batak Angkola dan etnis lainnya yang ada
di kota Padangsdimpuan.
Dari latar belakang permasalahan diatas maka peneliti tertarik untuk
meneliti tentang “Akulturasi Budaya Pada Masyarakat Tionghoa Di Kota
Padangsidimpuan”.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Unsur budaya apa yang terdapat pada masyarakat Tionghoa di kota
Padangsidimpuan?
2. Bagaimana unsur akulturasi budaya pada masyarakat Tionghoa di kota
Padangsidimpuan?
1.3 Batasan Penelitian
Supaya penulisan dan pembahasan skripsi ini dapat berjalan dengan baik
serta tidak terjadi kesimpangsiuran dalam menafsirkannya, maka penulis
membatasi permasalahan yang dipaparkan sesuai dengan judul skripsi akulturasi
budaya pada masyarakat Tionghoa di kota Padangsidimpuan. Maka batasan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
9
masalah yang menjadi subtansi dalam studi ini adalah menjelaskan unsur budaya
yang terdapat pada masyarakat Tionghoa di Kota Padangsidimpuan juga
mendeskripsikan unsur akulturasi budaya pada masyarakat Tionghoa di Kota
Padangsidimpuan. Lingkup wilayah penelitian meliputi daerah kawasan Jalan
Baginda Oloan, Kelurahan Wek II, Kecamatan Padangsidimpuan Utara, Kota
Padangsidimpuan.
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka dapat disimpulkan tujuan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan unsur budaya yang terdapat pada masyarakat Tionghoa di
kota Padangsidimpuan.
2. Mendeskripsikan unsur akulturasi budaya pada masyarakat Tionghoa di
kota Padangsidimpuan.
1.5 Manfaat penelitian
Adapun manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1.5.1 Manfaat Teoritis
Memberikan pengetahuan bagi pembaca dalam memahami unsur budaya
yang terdapat pada masyarakat Tionghoa di kota Padangsidimpuan.Menambah
wawasan penulis dan pembaca tentang bagaimana unsur akulturasi budaya pada
masyarakat Tionghoa di kota Padangsidimpuan.Serta dapat dijadikan sebagai
bahan referensi bagi peneliti lain yang ingin meneliti masalah yang sama di
tempat dan waktu yang berbeda.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
10
1.5.2 Manfaat Praktis
Melalui Penelitian ini diharapkan masyarakat Tionghoa secara umum,
maupun bagi pemerintah kota Padangsidimpuan kiranya dapat menjadikan skripsi
ini sebagai pedoman serta masukan sebagai bahan pertimbangan aspek maupun
elemen yang perlu dipertahankan dan harus dikembangkan mengenai akulturasi
budaya dari berbagai unsur budaya yang ada di kota Padangsidimpuan. Secara
praktis penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai tambahan kepustakaan,
perbandingan penelitian yang akan datang serta dapat menjadi sumber referensi
pada penulisan proposal, skripsi dan jurnal di Program Studi Sastra Cina, Fakultas
Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Aristoteles dalam “the classical theory of concepts” menyatakan bahwa
konsep merupakan penyusunan utama dalam pembentukan pengetahuan ilmiah
dan filsafat pemikiran manusia. Konsep merupakan abstraksi suatu ide atau
gambaran mental yang dinyatakan dalam suatu kata atau simbol (Brownislaw,
1944: 182).
Dalam hal ini defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang
digunakan secara mendasar. Selain itu juga sebagai penyamaan persepsi tentang
apa yang akan diteliti serta menghindari kesalahan pada penelitian.
2.1.1 Kebudayaan
Dalam kehidupan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal
kebudayaan, juga dalam kehidupan sehari-hari, orang tak mungkin tidak
berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan. Setiap hari orang melihat,
mempergunakan dan bahkan kadang-kadang merusak hasil kebudayaan. Masalah
kebudayaan, sebenarnya secara khusus dan lebih teliti dipelajari oleh antropologi
budaya. Para antropologi mengatakan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan
kompleks yang didalamnya meliputi pengetahuan, seni moral, hukum, adat
istiadat, dan setiap kemampuan atau kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang
sebagai anggota suatu masyarakat. Untuk mempermudah menjelaskan
kebudayaan yaitu dengan mendeskripsikan rincian pengetahuan, seni, moral,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
12
hukum, adat istiadat, dan setiap kemampuan atau kebiasaan yang dilakukan oleh
sekelompok masyarakat dari kebudayaan tertentu (Alo,2003:10).
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dimiliki bersama oleh
sebuah masyarakat dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk
dari bayak unsur yang rumit, termasuk sistem agama, politik, adat istiadat, bahasa,
perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa dan budaya merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari diri manusia, sehingga banyak orang
cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha
berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan
perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya
adalah suatu pola hidup menyeluruh, bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak
aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosiobudaya
tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia (Mulyana, 2006:25).
Setiap manusia dilahirkan kedalam suatu kebudayaan yang bersifat
kompleks. Kebudayaan sangat berpengaruh terhadap cara hidup serta cara
berprilaku yang akan diikuti selama manusia itu hidup.
2.1.2 Akulturasi Budaya
Akulturasi budaya merupakan perpaduan antara dua budaya atau lebih
akibat interaksi yang terjadi antara sekelompok masyarakat yang memiliki
kebudayaan tertentu, dengan kelompok masyarakat lain yang memiliki
kebudayaan yang berbeda. Dari sanalah terjadi perubahan pola kebudayaan yang
original, tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan tersebut (Suryanto,
1996:117).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
13
Akulturasi mengacu pada proses dimana kultur seseorang dimodifikasi
melalui kontak atau pemaparan langsung dengan kultur lain (misalnya, melalui
media massa). Sebagai contoh, bila sekelompok imigran kemudian berdiam di
Indonesia (kultur tuan rumah), kultur mereka sendiri akan akan dipengaruhi oleh
kultur tuan rumah ini. Berangsur-angsur, nilai-nilai, cara berprilaku, serta
kepercayaan dari kultur tuan rumah semakin menjadi bagian dari kultur kelompok
imigran itu. Pada waktu yang sama, tentu saja kultur tuan rumah berubah juga.
Tetapi, pada umumnya, kultur imigran lah yang lebih banyak berubah (Joseph A
Devito, 1997:479). Adapun penyebab terjadinya akulturasi dapat beraneka ragam,
antara lain yaitu:
1. Bertambah dan berkurangnya jumlah penduduk
2. Adanya revolusi yang terlalu cepat
3. Masalah yang timbul antar masyarakat
4. Adanya perubahan alam atau siklus
5. Adanya peperangan/konflik
6. Adanya pengaruh dari kebudayaan asing
2.1.3 Inkulturasi Budaya
Inkulturasi adalah sebuah integrasi pengalaman suatu kelompok lokal
kedalam kebudayaan setempat sedemikian rupa sehingga pengalaman tersebut
tidak hanya mengungkapkan diri di dalam unsur-unsur kebudayaan bersangkutan,
melainkan juga menjadi kekuatan yang menjiwai, mengarahkan, dan
memperbaharui kebudayaan bersangkutan, dengan demikian akan menciptakan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
14
suatu kesatuan dan komunikasi baru, tidak hanya dalam kebudayaan tersebut,
melainkan juga sebagai unsur yang memperkaya kelompok besar.
Secara garis besar, inkulturasi yang akan dibahas dalam studi ini adalah
suatu interaksi yang sedemikian, sehingga budaya lama maupun budaya baru
mengalami suatu transformasi (Prier, 1999:7).
2.1.4 Enkulturasi Budaya
Berbicara tentang enkulturasi kebudayaan berarti membicarakan seluk
beluk antropologi yaitu membicarakan tentang kontak-kontak kebudayaan
(culture contact). Penelitian terhadap studi enkulturasi, bermula dari reaksi
terhadap suatu upaya rekonstruksi (memory culture). Kajian enkulturasi
kebudayaan berawal dari Inggris, Perancis, dan Belanda untuk memecahkan
masalah-masalah praktis di daerah penjajahan, juga faktor utama yang
menyebabkan semakin populernya kajian ini. Sementara di Amerika
perkermbangan pesat dari studi enkulturasi adalah lebih berkaitan dengan
berbagai masalah sosial yang timbul sebagai akibat masa depresi ekonomi
(Poerwanto, 1997:56).
Dalam salah satu tulisan Thurnwald (1932:92), mengatakan bahwa
enkulturasi “acculturation is a process, not an isolated enent”, sebagai implikasi
dari pernyataannya itu, ia lebih menekankan suatu proses yang terjadi pada tingkat
individual, karenanya “suatu proses adaptasi terhadap kondisi kehidupan baru”
itulah yang disebut enkulturasi. Selain itu Thurnwald juga berpendapat bahwa
“suatu hubungan bukan hanya peristiwa tuggal semata, tapi secara tidak langsung
dapat diputar dari kedudukan tombolnya yang hampir menyerupai serangkaian
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
15
gerakan-gerakan yang hampir selesai terjadi, sehingga keseluruhan dari dari hal
itu adalah sebagai suatu proses dengan perbedaan tahapan”.
2.1.5 Sistem Kepercayaan
Agama didefenisikan sebagai adat dan kebiasaan yang digunakan oleh
orang hidup untuk berkomunikasi dengan roh-roh. Karena itu agama adalah
sebagian dari budaya. Budaya Tionghoa yang asli terdapat dalam empat kitab suci
Su Si yang merupakan ajaran Konghucu. Hal ini meliputi empat pasal sebagai
berikut:
1. Kitab Thay Hak (Pengajaran Tinggi)
2. Kitab Tong Yong (Pengajaran Menengah)
3. Kitab Lun Gie (Kitab Perundingan)
4. Kitab Beng Cu (Kitab Filsafat Demokrasi)
Budaya berkembang, begitu juga agama. Konghucuisme kemudian
bergabung dengan unsur-unsur keagamaan lain yaitu Taoisme dan Buddhisme
(Leo Suryadinata, 1988:46).
Pada dasarnya pandangan berpikir masyarakat Tionghoa selalu
mengembalikan hakekat keharmonisan kehidupan langit (alam gaib) dan
kehidupan di bumi (alam dunia nyata). Mereka percaya bahwa alam semesta ini
sebagai akibat dari inkarnasi kekuatan alam. Alam dikuasai oleh spirit-spirit yang
kekuatannya luar biasa. Alam semesta semata-mata hanyalah ekspresi dari
kekuatan alam yang dipengaruhi oleh spirit-spirit yang mendiami alam. Beberapa
spirit itu berada dan hidup di dalam fenomena-fenomena alam seperti langit,
matahari, tanah, air, tumbuh-tumbuhan, gunung, serta fenomena-fenomena alam
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
16
lainnya. Di antara spirit-spirit alam itu ada spirit yang berasal dari arwah leluhur
dan kekuatan hidupnya sangat besar serta sebuah keluarga dapat melanjutkan
kekekalan hidupnya setelah jasad jasmaniahnya mati (Kwek, 2006:81).
Menurut dasar pikiran masyarakat Tionghoa, seluruh fenomena alam itu
dapat dibagi dua klasifikasi yaitu Yin dan Yang. Yin adalah sebuah prinsip yang
digambarkan seperti wanita, bulan, arah utara, dingin, gelap (malam), dan segala
yang bersifat pasif, sedangkan Yang merupakan prinsip dasar untuk seorang laki-
laki, matahari, arah selatan, panasnya cahaya (siang), dan segala sesuatu yang
termasuk keaktifan. Masyarakat Tionghoa beranggapan bahwa manusia harus
dapat menyesuaikan diri dengan ritme alam semesta. Kehidupan harus harmonis
dengan tiga dasar yaitu, kehidupan langit, bumi, dan kehidupan manusia itu
sendiri. Di samping itu harus disesuaikan pula dengan fengsui yang berarti angin
dan air. Penyesuaian itu berarti hidup manusia itu harus disesuaikan dengan arah
angin dan keadaan air di mana manusia bertempat tinggal. Sebuah bangunan yang
dipergunakan juga harus disesuaikan dengan keadaan fengsui, sehingga akan
terhindar dari segala malapetaka. Kedua prinsip Yin dan Yang ini merupakan
sebuah nafas dan kekuatan yang dilambangkan dalam bentuk lingkaran yang
dibagi kedalam dua bagian, yaitu dengan garis yang saling melingkar yang
memisahkan simbol Yin dan Yang (Liao, 2010:52).
Bulatan melambangkan prinsip alam semesta, dimana alam semesta ini
terwujud oleh karena kedua prinsip kesatuan antara Yin dan Yang. Yin
merupakan daya cipta suatu sifat Tuhan yang memberi gerakan dan kehidupan
kepada sesuatu. Yang bersifat bahan atau zat yang diberi kemampuan menerima,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
17
sehingga terjadilah hidup dan bergerak. Dengan kata lain, Yin bersifat memberi
dan memperbanyak, sedangkan Yang bersifat menerima dan menyimpan. Adanya
kesatuan hidup ini tergambar oleh sebuah fenomena alam semesta seperti air,
kayu, bumi, dan makhluk hidup di dalamnya. Penciptaan dan pergerakan kesatuan
Yin dan Yang tunduk dan mengikuti hukum tata kehidupan alam semesta,
sehingga dengan demikian bergerak dengan teratur dan berirama. Ritme ini
mengisi dan mengatur setiap ruangan di alam semesta ini seperti jalannya
matahari, bintang, bulan, pergantian musim, dan lain-lain.Ritme ini juga disebut
Tao, yaitu bagaimana sesuatu di dunia itu dijadikan dan jalan bagaimana
seseorang harus mengatur hidupnya. Dasar inilah yang selanjutnya menimbulkan
paham Taoisme (Liao, 2010:76).
Dalam kehidupan masyarakat Tionghoa, ada tiga ajaran yang mereka anut
yaitu Taoisme, Konfusianisme, dan Buddhisme. Ketiga ajaran ini saling menyatu
(sinkretisme) dan dikenal dengan nama San Jiao atau Sam Kauw (dialek Hokkian).
Dalam kehidupannya masyarakat Tionghoa memang sangat toleransi terhadap
masalah agama. Setiap agama di anggap baik dan bermanfaat, begitu pula ajaran
Taoisme, Konfusianisme dan Buddhisme yang mempunyai banyak kesamaan
pandangan dan saling membutuhkan sehingga ajaran ketiga tersebut berpadu
menjadi satu ( Lasiyo, 1995:72). Dari tinjauan lapangan yang dilakukan peneliti,
di kota Padangsidimpuan khususnya di kecamatan Padangsidimpuan Utara
Kelurahan Wek II kebanyakan masyarakat Tionghoa menganut agama Buddhisme.
Oleh karena itu pada sub bab selanjutnya akan dibahas lebih mendalam mengenai
ajaran agama Buddhisme.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
18
2.1.5.1 Buddhisme
Agama Buddha sudah menjadi bagian dari filosofi Tiongkok selama
hampir 2000 tahun. Meskipun Buddha bukanlah merupakan agama asli,
melainkan pengaruh dari India, tetapi ajaran Buddha mempunyai pengaruh yang
cukup berarti pada kehidupan masyarakat Tionghoa. Tema pokok ajaran agama
Buddha adalah bagaimana menghindarkan manusia dari penderitaan (samsara).
Kejahatan adalah pangkal penderitaan. Manusia yang lemah tidak berpengetahuan
(akan Buddhisme) akan sangat mudah terkena kejahatan dan sulit untuk
membebaskan diri dari penderitaan. Pendiri agama Buddha adalah Sidharta
Gautama. Ia dilahirkan dari keluarga bangsawan di India. Sewaktu kecil, ayahnya
menjauhkan Sidharta dari segala macam bentuk penderitaan dunia, sampai pada
suatu hari tidak sengaja ia melihat orang-orang yang selama ini belum dilihatnya
yaitu orang-orang tua, seorang yang sakit dan yang meninggal. Kenyataan
tersebut membuatnya kemudian meninggalkan istana dan bertapa dibawah pohon
bodhi. Setelah bertapa selama enam tahun akhirnya ia memperoleh pencerahan
dengan menemukan obat penawar bagi penderitaan, jalan keluar dari lingkaran
tanpa akhir yaitu melalui kelahiran kembali kepada suatu jalan menuju Nirwana.
Jalan ini kemudian dikenal juga sebagai inti dari ajaran Buddha.
Buddhisme masuk ke Tionghoa kira-kira abad 3 Masehi, pada masa
pemerintahan dinasti Han. Buddhisme selanjutnya mengalami perkembangan
sendiri di negara tersebut. Ajarannya di Tionghoa mendapat pengaruh dari
kepercayaan yang sudah ada dalam sebelumnya yaitu Taoisme dan
Konfusiansianisme. Hal yang paling kentara dari pencampuran ini ialah dengan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
19
munculnya sekte Shan, yang juga muncul di Jepang dengan nama Zen yang
merupakan Buddhisme India bercorak Taoisme Tiongkok. Wujud dari agama ini
adalah timbulnya versi-versi signifikan dari dewata-dewata buddha, seperti
Avolokitecvara, Maitreya, dan sebagainya. Avolokitecvara berubah menjadi Dewi
Welas Asih (Guan Yin atau Kwan Im). Dewi ini sangat populer sekali dikalangan
masyarakat Tionghoa, tempat orang memohon pertolongan dalam kesukaran,
memohon keturunannya, dan lain sebagainya. Kwan Im dalam penampilannya
mempunyai 33 wujud, diantaranya yang paling populer adalah Kwan Im berbaju
putih, Kwan Im membawa botol air suci, dan Kwan Im bertangan seribu. Dalam
Avolokitecvara, Maitreya juga mempunyai wujud lain di Tonghoa yaitu Mi Le Fi,
seorang yang bertubuh gemuk dan raut muka yang selalu tertawa. Dewa ini
dikenal sebagai dewa pengobatan. Selain dewata-dewata Buddhis, di dalam sistem
kepercayaan masyarakat Tionghoa mengenal tiga penggolongan utama dewata,
yaitu:
1. Dewata penguasa alam semesta mempunyai wilayah kekuasaan di langit.
Para dewata golongan ini dipimpin oleh dewata tertinggi yaitu Yu Huang
Da Di, Yuan Shi Tian Sun, dan termasuk di dalamnya antara lain dewa-
dewa bintang, dewa kilat, dan dewa angin
2. Dewata penguasa bumi yang memiliki kekuasaan di bumi, walau
sebetulnya mereka termasuk malaikat langit. Kekuasaan mereka adalah
dunia dan manusia, termasuk akhirat. Mereka dikatakan sebagai para
dewata yang menguasai Wu-Xing (lima unsur), yaitu: (a) kayu (dewa hutan,
dewa kutub, dan lain sebagainya), (b) api (dewa api, dewa dapur), (c)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
20
logam (dewata penguasa kekayaan dalam bumi), (d) air (dewa sumur,
dewa sungai, dewa laut dewa hujan, dan sebagainya), (e) tanah (dewa
bumi, dewa gunung, dewa penguasa akhirat, dewa pelindung kota, dan lain
sebagainya)
3. Dewata penguasa manusia, yaitu para dewata yang mengurus soal-soal
yang bersangkutan dengan kehidupan manusia seperti kelahiran,
perjodohan, kematian, usia, rezeki, kekayaan, kepangkatan dan lain
sebagainya. Termasuk dalam golongan dewata penguasa manusia ini
adalah para dewata pelindung usaha pertokoan, dewata pengobatan,
dewata pelindung, dan peternakan ulat sutra. Di samping itu dewata-
dewata kedaerahan yang menjadi pelindung masyarakat yang berasal dari
daerah yang sama.
2.2 Landasan Teori
Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, defenisi dan proposisi
untuk menerangkan fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan
hubungan antar variabel. Berdasarkan pada pengertian tersebut, defenisi teori
mengandung tiga hal. Pertama, teori adalah serangkaian proposisi antar konsep-
konsep yang saling berhubungan. Kedua, teori menerangkan secara sistematis
atau fenomena sosial dengan cara menentukan hubungan antar konsep. Ketiga,
teori menerangkan fenomena-fenomena tertentu dengan cara menentukan konsep
mana yang berhubugan dengan konsep lainnya dan bagaimana bentuk
hubungannya (Aminuddin, 2001:36).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
21
Sebagai pedoman dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan
teori yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas
dalam tulisan ini. Pembahasan yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah
mengenai akulturasi budaya pada masyarakat Tionghoa di Kota Padangsidimpuan
melalui teori akulturasi. Penulis memilih teori akulturasi, karena dengan teori ini
diharapkan penulis dapat mengetahui akulturasi budaya yang terkandung pada
masyarakat Tionghoa di Kota Padangsidimpuan. Adapun teori yang digunakan
penulis yaitu sebagai berikut:
2.2.1 Teori Akulturasi
Dalam mengkaji mengenai akulturasi budaya pada masyarakat Tionghoa
di Kota Padangsidimpuan secara mendetail, maka pada tinjauan teoritis ini akan
diuraikan lebih lanjut mengenai teori yang melandasi penelitian. Teori yang
digunakan yaitu teori Akulturasi Budaya yang merupakan teori dari John Widdup
Berry, yaitu mengenai penelusurannya di dalam aspek budaya.
Nama lengkap dari tokoh ini adalah John Widdup Berry, tetapi lebih
sering disebut dengan John Berry. Dia adalah seorang Profesor Emeritus pada
Fakultas Psikologi Universitas Queen Kingston, Kanada. Pada tahun 1963, ia
menyelesaikan gelar Bachelor(B.A) nya pada Sir George Williams University,
dan pada tahun 1966, beliaumeraih gelar Ph.D., di University of Edinburgh. Minat
utamanya adalah tentang Cross Cultural Psychology dan Intercultural Relations.
Berry menjelaskan akulturasi sebagai proses perubahan budaya dan
psikologis yang terjadi sebagai akibat kontak antara dua atau lebih kelompok
budaya dan anggota masing-masing kelompok etnik. Ketika mengkaji masalah
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
22
akulturasi, Berry mengambil langkah-langkah sebagai berikut: Pertama, ia
mencoba untuk melihat kembali semua referensi yang terkait dengan masalah
akulturasi dan kemudian menarik beberapa kesimpulan pokok terkait dengan
masalah tersebut; kedua, dengan menggunakan konsep tentang strategi akulturasi
dia mencoba untuk menggali perbedaan individu dalam berakulturasi; dan ketiga,
dia mencoba menggali konsekuensi-konsekuensi yang akan dialami oleh
seseorang ketika memilih salah satu strategi dalam berakulturasi (Berry,
2005:698).
Terdapat dua pemahaman penting terkait dengan konsep akulturasi.
Pertama adalah konsep akulturasi yang mencoba memahami berbagai fenomena
yang dihasilkan oleh kelompok individu yang memiliki budaya yang berbeda
manakala kelompok individu tersebut memasuki budaya baru, sehingga
mengakibatkan perubahan-perubahan pada pola budayanya yang asli. Kedua,
konsep akulturasi pada level individu melibatkan perubahan dalam perilaku
seseorang (Berry,2005:699).
Kedua pembedaan tersebut diatas akan terkait erat dengan strategi
akulturasi. Setiap individu atau kelompok terlibat dalam akulturasi. Strategi mana
yang akan digunakan dalam akulturasi tersebut sangat tergantung pada variasi dari
faktor-faktor yang ada sebelumnya (budayadan kondisi psikologis) dan variabel-
variabel yang merupakan konsekuensi dari stategi yang berbeda yang sudah
dipilihnya.Strategi akulturasi yang dijelaskan oleh Berry terdiri dari dua
komponen, yaitu attitudes (kecenderungan individu mengenai bagaimana cara
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
23
melakukan akulturasi) dan behavior (aktivitas nyata yang ditunjukkan oleh
individu) (Berry, 2005:704).
Terdapat dua orientasi dalam akulturasi, yaitu memilih untuk memelihara
budaya asli dan memilih untuk memelihara budaya yang dominan, yang mana
merupakan harapan pendatang untuk melakukan kontak dengan kelompok
dominandan berpartisipasi pada budaya yang lebih dominan. Hasil akulturasi
merupakan derajat keberhasilan dari proses akulturasi yang telah dilewati
misalnya psychological well beingataupun pencapaian dalam pekerjaan dan
pendidikan (Arends-toth dan vijver, 2006:143).
Dalam acculturation attitudes Berry mengajukan struktur bidimensional
(ada dua kemungkinan dalam akulturasi yaitu memelihara budaya asli atau
mengadopsi budaya dominan). Struktur multidimensional memiliki arti dalam
jurnal “variations in the assessment of acculturation attitudes: their relationship
with psycological well being”, bahwa yang pertama apa yang paling banyak
dilakukan individu yang berakulturasi untuk mempertahankan budaya asli dan
identitasnya. Kedua, apa yang paling bayak diharapkan individu untuk
berinteraksi dengan individu lain dari kelompok etnik yang berbeda dan
bergabung dengan masyarakat asli (Arends-toth dan Vijver, 2006:144).
Berdasarkan kedua hal tersebut maka Berry mendefenisikan empat macam
strategi dalam akulturasi. Strategi yang dipilih kelompok etnik yang tidak
dominan tersebut merupakan upaya mereka untuk menghadapi perbedaan. Dalam
melakukan upaya mereka dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain siapa yang
merantau, alasan merantau, dukungan dari keluarga, apa yang menjadi harapan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
24
dan motivasi bagi perantau untuk merantau, gender perantau, karakteristik
masyarakat yang merantau, karakteristik masyarakat di daerah rantauan,
hubungan antara kelompok yang berakulturasi. Faktor-faktor tersebut akan
mempengaruhi bagaimana strategi yang dipilih dalam menghadapi perbedaan
tersebut juga yang memberikan keterangan mengenai pilihan yang dipilih masing-
masing kelompok etnik apakah suka atau tidak suka dengan akulturasi yang
dialaminya (Berry, 2011:706).
Strategi memiliki nama yang berbeda-beda tergantung pada kelompok
etnokulturalnya: apakah kelompok etnokulturalnya dominan atau tidak dominan.
Dari sudut pandang kelompok yang tidak dominan;
a. Asimilation strategy, terjadi manakala seseorang tidak berkeinginan
memelihara identitas kultural mereka dan mencari interaksi harian dengan
budaya lain.
b. Separation strategy, terjadi manakala seseorang menghidupi nilai-nilai
yang ada pada budaya aslinya dan pada waktu yang bersamaan meghindari
berinteraksi dengan yang lain.
c. Integration strategy, terwujud ketika seseorang memiliki ketertarikan
untuk memelihara budaya aslinya selama membangun interaksi harian
dengan kelompok lain. Menurut Jhon W. Berry, integritas kultural yang
telah terwujud memiliki beberapa kualitas (kualitasnya tidak sama). Orang
yang berada pada strategi ini mencoba untuk mencari (sebagai anggota
dari suatu kelompok etnokultural tertentu) dan juga mencoba untuk
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
25
berpartisipasi (sebagai bagian integral dari jaringan kelompok sosial yang
lebih besar).
d. Marginalization strategy, terjadi ketika kemungkinan untuk memelihara
budaya aslinya dan kemungkina untuk berinteraksi dengan kelompok lain
sangat kecil. Menurut Jhon W. Berry, strategi marginalisasi bisa terjadi
karena hal itu merupakan pilihan yang secara sadar dibuat oleh seseorang
dan hal itu juga bisa terjadi sebagai akibat dari kegagalannya mencoba
strategi asimilasi.
Semua strategi yang dijabarkan oleh Jhon W. Berry tersebut memiliki
beberapa asumsi. Asumsi pertama adalah kelompok yang tidak dominandan
anggota-anggotanya memiliki kebebasan untuk memilih cara berakulturasi.
Integrasi terjadi jika ada pilihan bebas atau bisa juga terjadi jika kelompok yang
dominan memiliki keterbukaan dan orientasi inklusif pada keragaman budaya
sedemikian rupa sehingga kelompok yang tidak dominan dapat berperan. Asumsi
yang kedua adalah kelompok yang tidak dominan melakukan adopsi niali-nilai
dasar yang ada pada kelompok sosial yang lebih besar, dan pada waktu yang
bersamaan kelompok yang dominan melakukan adaptasi atas institusi internalnya
sehingga dapat memenuhi kebutuhan semua anggota kelompoknya yang sekarang
hidup dalam situasi masyarakat yang plural. Dengan kata lain, semua strategi
tersebut terjadi jika suatu masyarakat bersifat multikultur dan memiliki prakondisi
psikologis yang dipersyaratkan, seperti halnya tingkat penerimaan yang besar,
taraf prasangka yang rendah, terhadap berpikran positif terhadap kelompok
etnokultural lain, dan memiliki kedekatan pada kelompok sosial yang lebih besar.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
26
Penelitian ini menyebutkan bahwa penting terjadinya kontak antar
masyarakat untuk menentukan perbedaan antara kelompok yang berada dalam
proses akulturasi. Karakteristik budaya tersebut digunakan sebagai dasar tolak
ukur pada unsur budaya tersebut. Melalui konsep akulturasi, maka dihasilkan
penemuan empiris yang memungkinkan terlahirnya unsur budaya baru terkait
dengan akulturasi budaya yang terkandung pada masyarakat Tionghoa di Kota
Padangsidimpuan.
2.3 Tinjauan Pustaka
Membuat Tinjauan Pustaka yang baik tidak lah mudah dan memerlukan
keterampilan dan usaha dari kita. Perlu diketahui bahwa Tinjauan Pustaka bukan
hanya sekedar daftar hasil penelitian sebelumnya yang sudah diterbitkan. Lebih
dari pada itu, kita harus melakukan evaluasi dan sintesis sehingga sebuah
Tinjauan Pustaka yang kita hasilkan memiliki nilai akademik yang tinggi. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) tinjauan adalah hasil meninjau,
pandangan, pendapat (sesudah menyelidiki, mempelajari, dan sebagainya).
Sedangkan pustaka adalah kitab, buku, primbon (KBBI, 2008).
Dalam menyelesaikan penelitian ini dibutuhkan kepustakaan yang relevan
karena hasil dari suatu karya harus memiliki data-data yang kuat dan memiliki
hubungan dengan yang diteliti. Penulis menemukan beberapa buku, jurnal, skripsi
maupun tesis yang isinya relevan dengan judul penelitian ini. Adapun sumber
refrensinya yaitu :
Akbar (2016), dalam skrispsinya yang berjudul “Aktivitas Komunikasi
dalam Upacara Adat Pernikahan Tionghoa (Studi Etnografi KomunikasiMengenai
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
27
Aktivitas Komunikasi dalam Upacara Adat Pernikahan Tionghoa di Kota
Bandung)”. Dalam skripsi ini penulis menjelaskan tentang Bagaimana Aktivitas
Komunikasi Dalam Upacara Adat Pernikahan Tionghoa. Hasil penelitian yang
diperoleh bahwa pada situasi komunikatif Upacara Adat Pernikahan dilaksanakan
di rumah, gereja dan gedung , dimana dalam proses tersebut terdapat tahapan yang
harus dilakukan. Pada peristiwa komunikasi Upacara Adat Pernikahan terdapat
beberapa komponen. Genre yaitu warisan tradisi secara turun-temurun, topik yaitu
menghormati garis keturunan tionghoa, fungsi dan tujuan yaitu menghargai dan
menghormati leluhur dan keluarga garis keturunan tionghoa, partisipan yaitu garis
keturunan tionghoa dan tamu undangan, bentuk pesan yaitu bahasa indonesia, isi
pesannya harus tetap memakai budaya pernikahan Tionghoa, urutan tindakan
yaitu lamaran, sanjit, teapai, pemberkatan, pesta pernikahan, kaidah interaksi yaitu
aturan tradisi kegiatan terdahulu, norma interpretasi yaitu prosesi upacara menjadi
keharusan. Pada tindakan komunikasi Upacara Adat Pernikahan yaitu
berkomunikasi menggunakan komunikasi verbal dan simbol secara non verbal.
Astrini (2013), dalam jurnalnya yang berjudul “Akulturasi Budaya Cina
dan Betawi dalam Busana Pengantin Wanita Betawi”. Dalam jurnal ini penulis
menjelaskan tentang Bagaimana unsur akulturasi Budaya Tionghoa dan Budaya
Betawi dalam busana pernikahan pengantin wanita Betawi. Dari hasil penelitian
yang dilakukannya dijelaskan bahwa adanya pengaruh budaya Cina terhadap
budaya betawi, khususnya dalam pakaian adat pengantin wanita betawi.
Masyarakat betawi sendiri memahami dengan jelas tentang arti dari simbol simbol
yang mereka pakai dalam busana pengantinwanita betawi. Dalam pakaian
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
28
pengantin wanita juga menggunakan simbol-simbol hewan yang terdapat simbol
khas kekaisaran Cina,yaitu naga dan burung phoenix. Masyarakat betawi
mempunyai pandangan dan kebanggan tersendiri terhadap busana pengantin
mereka,khususnya pada busana pengantin wanita betawi. Mereka mempunyai
pandangan bahwa seseorang yang memakai busana pengantin dengan simbol
burung phoenix dan naga,akan menambah kewibawaan pada orang yang
memakainya.
Rodzik (2008), dalam skripsinya yang berjudul “Akulturasi Budaya
Betawi Dengan Tionghoa (Studi Komunikasi Antar Budaya Pada Kesenian
Gambang Kromong Diperkampungan Budaya Betawi, Kelurahan Srengseng
Sawah).” Dalam skripsi ini penulis menjelaskan mengenai proses akulturasi
budaya yang terjadi pada Etnis Betawi dengan Tionghoa melalui beberapa
variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi. Dalam pelaksanaan nya proses
komunikasi sosial orang-orang Tionghoa terbukti mampu berpartisipasi dalam
kehidupan sosio-budaya Betawi dan mulai mengetahui lebih jauh lagi tentang
berbagai unsur dalam sistem sosio-budaya Betawi. Dan hasil pembauran kedua
etnis tersebut tercermin dari kehadiran kesenian Gambang Kromong.
Rudiansyah (2017), dalam Tesisnya yang berjudul “Unsur Akulturasi
Budaya pada Rumah Tjong A Fie di Kota Medan.” Dalam Tesis ini penulis
menjelaskan bagaimana arsitektur rumah Tiongkok di Kota Medan secara umum
dan menjelaskan unsur-unsur budaya apa saja yang terkandung pada rumah Tjong
A Fie. Dari hasil analisa yang dilakukan nya, terdapat unsur-unsur arsitektur
budaya Melayu dan Eropa pada bangunan rumah Tjong A Fie. Unsur arsitektur
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
29
Melayu mendominasi pada bangunan berupa ornamen, sedangkan unsur arsitektur
Eropa mendominasi banguanan rumah Tjong A Fie secara struktural.
Silalahi (2015), dalam jurnalnya yang berjudul “Proses Akulturasi Antar
Etnis Jawa Dan Etnis Batak Di Desa Malasori Kecamatan Dolok Masihul
Kebupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatra Utara.” Dalam jurnal ini penulis
menjelaskan tentang proses Akulturasi antara Etnis Jawa dan etnis Batak yang
terjadi di Desa Malasori berjalan dengan sangat baik. Baik dalam bidang sosial
ekonomi, dan budaya. Peroses akulturasi yang terjadi antar etnis Jawa dan etnis
Batak ini juga menjadi pertambahan pengetahuan bagi kedua etnis ini karena
kedua etnis ini dapat belajar kebudayaan dari masing-masing etnis. Selain dari
pada itu agar proses akulturasi Desa Malasori berjalan dengan baik dan tidak
terjadinya konflik maka masyarakat Desa Malasori memperkecil hal-hal yang
dapat mengakibatkan terjadinya konflik antar masing-masing etnis.
Oleh sebab itu, penelitian terhadap akulturasi budaya sangat perlu di
lakukan, karena masih banyak informasi di dalamnya yang belum digali secara
mendalam. Dengan semakin banyaknya penelitian terhadap seni dan budaya yang
salah satunya adalah mengenai akulturasi budaya yang terjadi pada masyarakat
Tionghoa di Kota Padangsidimpuan, diharapkan dapat memperkaya informasi
mengenai data akulturasi budaya pada masyarakat Tionghoa yang ada di
Indonesia khususnya di kota Padangsidimpuan. Adapun manfaat tinjauan pustaka
ini yaitu, dapat membantu penulis di dalam menjelaskan akulturasi budaya yang
terjadi pada masyarakat Tionghoa terhadap masyarakat Batak Angkola di kota
Padangsidimpuan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
30
Judul Akulturasi Budaya
Betawi Dengan Tionghoa
(Studi Komunikasi Antar
Budaya Pada Kesenian
Gambang Kromong
Diperkampungan Budaya
Betawi, Kelurahan
Srengseng Sawah)
Akulturasi
Budaya Cina dan
Betawi dalam
Busana Pengantin
Wanita Betawi
Proses Akulturasi
Antar Etnis Jawa
Dan Etnis Batak
Di Desa Malasori
Kecamatan Dolok
Masihul
Kebupaten
Serdang Bedagai
Provinsi Sumatra
Utara
Aktivitas
Komunikasi
dalam Upacara
Adat Pernikahan
Tionghoa (Studi
Etnografi
Komunikasi
Mengenai
Aktivitas
Komunikasi
dalam Upacara
Adat Pernikahan
Tionghoa di Kota
Bandung)
Unsur Akulturasi
Budaya pada
Rumah Tjong A
Fie di Kota
Medan.
Nama penulis Ali Abdul Rodzik Astrini Lisdawani Silalahi Mochamad
Giraldy Akbar
Rudiansyah
Lembaga/kota/tahun Universitas Islam Negeri
Syarif
Hidayatullah/Jak
arta/2008
Binus University/
Jakarta
Barat/2013
Universitas Riau/
Pekan Baru/2015
Program Studi
Ilmu
Komunikasi,
Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu
Politik,
Universitas
Komputer
Indonesia
/Bandung/2016
Universitas
Padjadjaran/
Jatinangor/2017
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
31
Fokus penelitian Bagaimana akulturasi
budaya antara etnik
betawi dan tionghoa
terbentuk melalui
komunikasi persona dan
sosial dalam kesenian
gambang kromong di
perkampungan budaya
betawi kelurahan
srengseng sawah
Bagaimana unsur
akulturasi budaya
tionghoa dan
budaya betawi
dalam busana
pernikahan
pengantin wanita
betawi
Bagaimana proses
terjadinya
akulturasi yang
terjadi antar etnis
jawa dan batak di
desa molosari
kecamatan dolok
masihul kabupaten
serdang bedagai
Bagaimana
situasi
komunikatif
dalam upacara
adat pernikahan
tionghoa
Bagaimana unsur
akulturasi
budaya pada
rumah tjong A
Fie
Teori Teori akulturasi,
koentjaraningrat
Teori akulturasi,
John widdup
berry
Metode Kualitatif, deskriptif
analisis
Studi pustaka Kualitatif
deskriptif
Kualitatif, studi
etnografi
komunikasi
Kulitatif, analisis
deskriptif
Hasil penelitian Dalam skripsi ini penulis
menjelaskan mengenai
proses akulturasi budaya
yang terjadi pada Etnis
Betawi dengan Tionghoa
melalui beberapa
variabel-variabel
komunikasi dalam
akulturasi. Dalam
pelaksanaan nya proses
komunikasi sosial orang-
orang Tionghoa terbukti
Dalam jurnal ini
penulis
menjelaskan
tentang
Bagaimana unsur
akulturasi Budaya
Tionghoa dan
Budaya Betawi
dalam busana
pernikahan
pengantin wanita
Betawi. Dari hasil
Dalam jurnal ini
penulis
menjelaskan
tentang proses
Akulturasi antara
Etnis Jawa dan
etnis Batak yang
terjadi di Desa
Malasori berjalan
dengan sangat
baik. Baik dalam
bidang sosial
Dalam skripsi ini
penulis
menjelaskan
tentang
Bagaimana
Aktivitas
Komunikasi
Dalam Upacara
Adat Pernikahan
Tionghoa. Hasil
penelitian yang
diperoleh bahwa
Dalam Tesis ini
penulis
menjelaskan
bagaimana
arsitektur rumah
Tiongkok di
Kota Medan
secara umum
dan menjelaskan
unsur-unsur
budaya apa saja
yang terkandung
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
32
mampu berpartisipasi
dalam kehidupan sosio-
budaya Betawi dan mulai
mengetahui lebih jauh
lagi tentang berbagai
unsur dalam sistem sosio-
budaya Betawi. Dan hasil
pembauran kedua etnis
tersebut tercermin dari
kehadiran kesenian
Gambang Kromong.
penelitian yang
dilakukannya
dijelaskan bahwa
adanya pengaruh
budaya Cina
terhadap budaya
betawi, khususnya
dalam pakaian
adat pengantin
wanita betawi.
Masyarakat
betawi sendiri
memahami
dengan jelas
tentang arti dari
simbol simbol
yang mereka
pakai dalam
busana
pengantinwanita
betawi. Dalam
pakaian pengantin
wanita juga
menggunakan
simbol-simbol
hewan yang
terdapat simbol
khas kekaisaran
ekonomi, dan
budaya. Peroses
akulturasi yang
terjadi antar etnis
Jawa dan etnis
Batak ini juga
menjadi
pertambahan
pengetahuan bagi
kedua etnis ini
karena kedua etnis
ini dapat belajar
kebudayaan dari
masing-masing
etnis. Selain dari
pada itu agar
proses akulturasi
Desa Malasori
berjalan dengan
baik dan tidak
terjadinya konflik
maka masyarakat
Desa Malasori
memperkecil hal-
hal yang dapat
mengakibatkan
terjadinya konflik
antar masing-
pada situasi
komunikatif
Upacara Adat
Pernikahan
dilaksanakan di
rumah, gereja dan
gedung , dimana
dalam proses
tersebut terdapat
tahapan yang
harus dilakukan.
Pada peristiwa
komunikasi
Upacara Adat
Pernikahan
terdapat beberapa
komponen. Genre
yaitu warisan
tradisi secara
turun-temurun,
topik yaitu
menghormati
garis keturunan
tionghoa, fungsi
dan tujuan yaitu
menghargai dan
menghormati
leluhur dan
pada rumah
Tjong A Fie.
Dari hasil analisa
yang dilakukan
nya, terdapat
unsur-unsur
arsitektur budaya
Melayu dan
Eropa pada
bangunan rumah
Tjong A Fie.
Unsur arsitektur
Melayu
mendominasi
pada bangunan
berupa ornamen,
sedangkan unsur
arsitektur Eropa
mendominasi
banguanan
rumah Tjong A
Fie secara
struktural.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
33
Cina, yaitu naga
dan burung
phoenix.
Masyarakat
betawi
mempunyai
pandangan dan
kebanggan
tersendiri
terhadap busana
pengantin
mereka,khususnya
pada busana
pengantin wanita
betawi. Mereka
mempunyai
pandangan bahwa
seseorang yang
memakai busana
pengantin dengan
simbol burung
phoenix dan
naga,akan
menambah
kewibawaan pada
orang yang
memakainya.
masing etnis. keluarga garis
keturunan
tionghoa,
partisipan yaitu
garis keturunan
tionghoa dan
tamu undangan,
bentuk pesan
yaitu bahasa
indonesia, isi
pesannya harus
tetap memakai
budaya
pernikahan
Tionghoa, urutan
tindakan yaitu
lamaran, sanjit,
teapai,
pemberkatan,
pesta pernikahan,
kaidah interaksi
yaitu aturan
tradisi kegiatan
terdahulu, norma
interpretasi yaitu
prosesi upacara
menjadi
keharusan. Pada
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
34
tindakan
komunikasi
Upacara Adat
Pernikahan yaitu
berkomunikasi
menggunakan
komunikasi
verbal dan simbol
secara non
verbal.
Tabel 2.3 Matriks Penelitian Sejenis
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
35
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan alat bedah yang dipergunakan dalam
penelitian sebagai cara untuk memperoleh jawaban dari permasalahan penelitian.
Pemilihan metode yang digunakan haruslah dapat mencerminkan relevansi
paradigma teori kepada metode yang digunakan dalam penelitian agar berjalan
beriringan.
Dalam penelitian ini penulis meggunakan pendekatan kualitatif, dengan
menggunakan metode deskriptif analisis. Dimana data-data yang telah diperoleh
di deskripsikan terlebih dahulu dan kemudian di analisis. Hanyalah memaparkan
situasi atau peristiwa. Penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan,
tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi. Metode deskriptif ialah
menitikberatkan pada observasi dan suasana ilmiah (naturalistis setting). Dengan
suasana ilimiah dimaksudkan bahwa peneliti terjun langsung kelapangan
(Rakhmat, 2000:24).
Dengan pendekatan metode penelitian yang dilakukan diharapkan dapat
mempermudah penulis dalam mengungkap atau memahami akulturasi budaya
pada masyarakat Tionghoa di kota Padangsidimpuan. Kemudian
menginterpretasikan kegiatan tersebut berdasarkan etika penelitian oleh multi
disiplin ilmu. Dalam hal ini ilmu yang digunakan adalah mencakup ilmu budaya.
Dengan demikian, diharapkan penelitian ini akan mengungkap kebenaran realita
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
36
tentang unsur-unsur akulturasi budaya pada masyarakat Tionghoa di kota
Padangsidimpuan.
3.2 Lokasi Penelitian
Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini maka
penulis menetapkan lokasi penelitian ini di Kota Padangsidimpuan, lebih tepatnya
di Jalan Baginda Oloan, Kelurahan Wek II, Kecamatan Padangsidimpuan Utara,
Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
Gambar 3.2 Peta Kota Padangsidimpuan
Sumber: Tapanuli pos – WordPress.Com
3.3 Data dan Sumber Data
Kuntowijiyo menyatakan “sumber sejarah sering kali disebut juga data
sejarah, perkataan data merupakan bentuk jamak dari kata tunggal datum yaitu
bahasa latin yang berarti pemberitaan”, (Kutowijoyo, 1995:94). Jadi sumber
sejarah merupakan sesuatu yang menceritakan kepada kita tentang kenyataan
kegiatan manusia pada masa lalu.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
37
Adapun sumber menurut penyampaiannya dibagi menjadi dua bagian yaitu
sumber primer dan sumber skunder. Untuk memungkinkan hasil yang diharapkan
dan data yang yang diperoleh benar-benar memang akurat, maka data yang
diguanakan dalam penelitian ini adalah:
1. Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden berupa
hasil temuan penelitian observasi serta wawancara dengan informan yang
berkompeten (mengetahui) tentang akulturasi budaya masyarakat
Tionghoa di kota Padangsidimpuan.
2. Data Skunder diperoleh dari sumber-sumber tertulis yang terdapat dalam
buku, jurnal, skripsi, tesis, dokumentasi atau arsip-arsip (kelurahan)
3.4 Persyaratan Informan
Informan adalah narasumber yang dapat memberikan informasi yang
dibutuhkan dalam kegiatan penelitian. Informan dalam penelitian adalah orang
atau pelaku yamg benar-benar dan menguasai masalah, serta terlibat langsung
dalam masalah penelitian. Informan sangat penting bagi peneliti karena akan
memberikan informasi secara mendalam yang berkaitan dengan masalah yang
diteliti.
Pemilihan informan sebagai sumber data dalam penelitian ini adalah
berdasarkan pada asas subjek yang mengusai permasalahan, memiliki data, dan
bersedia memberikan informasi lengkap dan akurat. Informan yang bertindak
sebagai sumber data dan informasi harus memenuhi syarat yaitu informan yang
mengetahui tentang akulturasi budaya yang terjadi pada masyarakat Tionghoa di
kota Padangsidimpuan. Oleh sebab itu, yang akan menjadi informan narasumber
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
38
(key informan) dalam penelitian iniadalah bapak Ahmad Rivai Harahap selaku
Lurah dari Kelurahan Wek II, bapak Olly Japar Siregar (Lim Pao Oei) selaku
tetua adat etnis Tionghoa, dan Juliana (Yinni Shangye Nianjian) salah satu etnis
Tionghoa yang bekerja di pemerintahan yakni di kantor Kelurahan Wek II.
Kemudian ada juga beberapa informan pendukung lainnya seperti bapak Ampera
Jaya Alam (Meng Tji Lai), Sin Pin, Hasitahari Harahap, Ali Surya Siregar (Fung
Fa Lie), Hendra Gunawan Siregar (Min Jih Pao), Jei Sitorus (Tjeng Tjang Tjiang),
Iwan Siregar (Coan), dan Asun Siregar (Lim Tjwan Ling).
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dari seorang informan yaitu
sebagai berikut:
1. Bersedia menjadi informan
2. Berjenis kelamin perempuan/laki-laki
3. Berkompeten dalam masalah yang ingin ditanyakan
3.5 Metode Pengumpulan Data
Langkah-langkah yang dilakukan peneliti dalam melakukan pengumpulan
data adalah sebagai berikut:
3.5.1 Observasi
Observasi yaitu pengamatan atau peninjauan secara langsung ke lapangan
yang dilakukan peneliti untuk mendapatkan data-data yanag dibutuhkan dalam
permasalahan yang diteliti, seperti observasi pada kehidupan masyarakat etnis
Tionghoa di kelurahan Wek II. Observasi juga dilakukan ke kantor Lurah Wek II
dan kantor Camat Padangsidimpuan Utara untuk menambah referensi mengenai
data yang mendukung dalam penyelesaian skripsi ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
39
3.5.2 Wawancara
Untuk mengambil data dilakukan wawancara, penulis menggunakan
metode pengambilan sampel yang tidak acak yaitu purposive sampling (sampel
yang dipilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu). Sedangkan
pertimbangan yang di ambil itu berdasarkan penelitian . Cara pengambilan sampel
seperti ini ialah penulis memilih informan kunci (sampel) dari populasi
sedemikian rupa sehingga sampel yang dipilih mempunyai sifat yang sesuai
dengan sifat-sifat populasi. Jadi dalam hal ini kita harus mengetahui terlebih
dahulu sifat-sifat populasi tersebut dan sampel yang akan di tarik di usahakan
supaya mempunyai sifat-sifat seperti populasi tersebut (Masri
Singarimbun,1985:122).
Jadi dari keterangan di atas penulis memilih orang-orang yang
berkompeten (mengetahui) untuk ditetapkan sebagai informan kunci (key
informan) dalam memberi data tentang akulturasi budaya etnis Tionghoa di
Padangsidimpuan antra lain : Lurah dari Kelurahan Wek II (Ahmad Rivai
Harahap) karena dialah yang paling mengetahui tentang keberadaan etnis
Tionghoa di Kota Padangsidimpuan khususnya di Kelurahan Wek II. Dari etnis
Tionghoa sendiri penulis memilih bapak Olly Zapar Siregar (Lim Pao Oei) karena
dialah yang paling banyak mengetahui seperti apa kebudayaan etnis tionghoa di
kota Padangsidimpuan selain itu dia merupakan cucu dari Lie Kak yang
merupakan salah satu etnis Tionghoa yang pertama kali berimigrasi ke kota
Padangsidimpuan. Danibu Juliana (Yinni Shangye Nianjian) salah seorang yang
bekerja di kantor pemerintahan yakni di kantor Kelurahan Wek II. Kemudian ada
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
40
juga beberapa informan pendukung etnis Tionghoa lainnya yang berkompeten di
Padangsidimpuan untuk memperoleh data sekunderyaitu bapak Ampera Jaya
Alam (Meng Tji Lai), Sin Pin, Hasitahari Harahap, Ali Surya Siregar (Fung Fa
Lie), Hendra Gunawan Siregar (Min Jih Pao), Jei Sitorus (Tjeng Tjang Tjiang),
Iwan Siregar (Coan), dan Asun Siregar (Lim Tjwan Ling).
3.5.3 Dokumentasi
Dokumentasi adalah sebuah cara yang dilakukan untuk menyediakan
dokumen-dokumen dengan menggunakan bukti yang akurat dari pencatatan
sumber-sumber informasi khusus dari sebuah tulisan, wasiat, arsip, buku, foto,
dan sebagainya. Dalam pengertian umum dokumentasi merupakan sebuah
pencarian, penyelidikan, pengumpulan, penguasaan, pemakaian, dan penyediaan
dokumen. Dokumentasi digunakan untuk mendapatkan keterangan dan
penerangan pengetahuan serta bukti penelitian ( I Gusti, 1997:73).
Dengan demikian penulis menghimpun data-data yang terkumpul berupa:
dokumen, foto-foto, catatan formal, jurnal, skripsi, tesis, internet, dan sebagainya
yang berhubungan dengan masalah penelitian sebagai bahan penunjang penelitian.
Kemudian penulis menggunakan analisa deskriptif, artinya dari data yang
terkumpul penulis menjabarkan dengan memberikan analisa-analisa untuk
kemudian diambil kesimpulan akhir.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
41
3.6 Metode Analisis Data
Adapun proses dan langkah-langkah yang dilakukan penulis untuk
menganalisis data adalah sebagai berikut:
1. Mewawancarai bapak Ahmad Rivai Harahap selaku Lurah dari Kelurahan
Wek II, Olly Japar Siregar (Lim Pao Oei) dan Juliana (Yinni Shangye
Nianjian) sebagai informan kunci (key informan) dan beberapa masyarakat
etnis Tionghoa lainnya sebagai informan pendukung untuk mempermudah
penulis dalam mengerjakan penelitian ini serta mendapatkan informasi
tentang akulturasi budaya masyarakat Tionghoa di Kota Padangsidimpuan
yaitu bapak Ampera Jaya Alam (Meng Tji Lai), Sin Pin, Hasitahari
Harahap, Ali Surya Siregar (Fung Fa Lie), Hendra Gunawan Siregar (Min
Jih Pao), Jei Sitorus (Tjeng Tjang Tjiang), Iwan Siregar (Coan), dan Asun
Siregar (Lim Tjwan Ling).
2. Mengumpulkan buku, tesis, skripsi, dan jurnal yang berkaitan dengan
akulturasi budaya Tionghoa yang diharapkan dapat mendukung tulisan ini
kemudian memilih data yang dianggap paling tepat dan menyusunnya
secara sistematis.
3. Berdasarkan data-data yang diambil, kemudian penulis merangkum
kesimpulan dari hasil penelitian.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
42
3.7 Metode Penyajian Analisis Data
Dalam hal ini peneliti menginterpretasikan dari data hasil pengamatan dan
wawancara lapangan demi memberikan tafsiran dan gambaran jelas mengenai
akulturasi budaya yang terjadi pada etnis Tionghoa terhadap etnis Batak Angkola
di Padangsidimpuan. Kemudian dari data-data yang sudah peneliti peroleh, maka
peneliti mempelajari atau memilah-milah data-data yang telah terkumpul untuk
selanjutnya dilakukan proses editing sehingga keseluruhan data itu dapat
diketahui dan dapat dinyatakan baik agar dapat dipersiapkan ke tahap proses
selanjutnya.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
43
BAB IV
GAMBARAN UMUM
4.1 Letak Geografis
Kecamatan Padangsidimpuan utara adalah salah satu kecamatan dari enam
kecamatan dikota Padangsidimpuan dan berjarak 0,2 Km dari ibu kota
Padangsidimpuan. secara administratif kecamatan Padangsidimpuan Utara
berbatasan dengan kecamatan Padangsidimpuan Hutaimbaru di sebelah utara,
kecamatan Padangsidimpuan Selatan disebelah selatan, Kabupaten Tapanuli
Selatan disebelah barat dan kecamatan Padangsidimpuan Batunadua di sebelah
timur. Letak astronomi kecamatan Padangsidimpuan Utara berada pada 10 21’30
’’-
10 21’20’’ Lintang Utara dan 99
0 14’30’’- 99
0 16’10” Bujur Timur (Yusri,
2014:1).
Tabel 4.1
Statistik Geografi dan Iklim Kecamatan Padangsidimpuan Utara
Uraian Satuan 2018
Luas wilayah Km2
14,09
Letak geografis Lu 01021’30’’-0121’20’’
Bt 99014’30’’-9916’10’’
Ketinggian Mdpl 260-1100
Suhu Udara 0C 24
0C-30
0C
Batas Wilayah
Utara
Kec.PSP Hutaimbaru
Selatan
Kec.PSP Selatan
Barat
Kab. Tapanuli Selatan
Timur
Kec.PSP Batunadua
Sumber : Kec. Padangsidimpuan Utara
Luas wilayah kota Padangsidimpuan adalah 134.399 Ha dan luas daratan
kota Padangsidimpuan adalah 139.39 Km. Wilayah kota pemerintahan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
44
Padangsidimpuan terdapat banyak anak-anak sungai yang bersumber dari gugusan
Bukit Barisan yang sebagian bermuara ke Batang Ayumi yang mengalir di tengah
kota Padangsidimpuan. Adapun sungai-sungai yang bermuara ke Batang Ayumi
sebagai berikut: Aek Silangkitang, Aek Ratta, Batang Alundi, dan banyak anak-
anak sungai lainnya yang menyatu dengan Batang Ayumi. Batang Ayumi
sungguh menambah keindahan kota ini dan merupakan pendukung utama bagi
pertumbuhan kota Padangsidimpuan menjadi pusat perekonomian.
4.2 Demografis Lokasi Penelitian
Salah satu ciri yang diperlihatkan olehkota Padangsidimpuan sebagai
sebuah kawasan kotadi daerah Tapanuli Selatan adalah bahwa sekarang kota
tersebut telah tumbuh dan berkembang menjadi pusat untuk berbagai aktivitas,
seperti pendidikan, administrasi, perdagangan dan industri. Padangsidimpuan
dihuni oleh penduduk yang berasal dari berbagai etnis dengan berbagai latar
belakang sosial, budaya, dan ekonomi yang berbeda. Di samping etnis Batak
Angkola sebagai penduduk asli di Padangsidimpuan, ada juga terdapat berbagai
etnis lainnya, yaitu mereka yaitu mereka yang hadir sebagai perantau, seperti
orang-orang yang berasal dari sub etnis Batak lainnya (Batak Toba, Batak
Mandailing) dan etnis Minangkabau, Jawa, Nias, serta minoritas etnis Tionghoa.
Menurut perhitungan tahun 2018 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) kota
Padangsidimpuan dalam angka, diterangkan bahwa jumlah penduduk kota
Padangsidimpuan pada pertengahan Mei 2018 diperkirakan berjumlah 177.499
jiwa. Mengenai jumlah penduduk kota Padangsidimpuan secara keseluruhan dapat
dilihat dari tabel berikut:
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
45
Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan
No Nama Kecamatan Jumlah Penduduk
1 Padangsidimpuan Tenggara 27075
2 Padangsidimpuan Selatan 57205
3 Padangsidimpuan Batu Nadua 15983
4 Padangsidimpuan Utara 55080
5 Padangsidimpuan Hutaimbaru 15121
6 Padangsidimpuan Angkola Julu 7035
Jumlah 177499
Sumber: BPS Kota Padangsidimpuan
Dari keterangan tabel diatas dapat diketahui bahwa penduduk di kecamatan
Padangsidimpuan Tenggara dengan ibu kota kecamatan Pijorkoling berjumlah
27075 orang. Diantaranya terdapat berbagai besar penduduknya etnis Batak
Angkola dan sebagian besar etnis jawa, penduduk di kecamatan Padangsimpuan
Selatan dengan ibu kota kecamatan Padangsimpuan berjumlah 57205 orang.
Diantaranya terdapat sebagian besar penduduknya adalah etnis Minangkabau, dan
sebagian kecil etnis Batak Mandailing. Penduduk di kecamatan Padangsimpuan
Batu Nadua dengan ibu kota kecamatan Batu Nadua berjumlah 15983 orang.
Diantaranya terdapat sebagian besar penduduknya etnis Batak Angkola dan
sebagian kecil etnis Jawa, Mandailing, Batak, Toba, Nias, penduduk di kecamatan
Padangsidimpuan Utara dengan ibu kota kecamatan Padangsidimpuan berjumlah
55080 orang. Diantaranya terdapat sebagian besar penduduk etnis Batak Angkola,
dan sebagian kecil etnis Mandailing, Batak Toba, Jawa, Minangkabau, Nias dan
minoritas etnis Tionghoa. Penduduk di kecamatan Padangsimpuan Hutaimbaru
dengan ibu kota kecamatan Hutaimbaru berjumlah 15121 orang. Diantaranya
terdapat sebagian besar etnis Batak Angkola dan sebagian kecil etnis Batak Toba,
Mandailing, Jawa.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
46
4.2.1 Etnis (Suku Bangsa)
Tabel 4.2.1
Jumlah Penduduk Menurut Wilayah Administrasi dan Suku Bangsa
No Suku Bangsa Jumlah
1 Batak Angkola 18843
2 Batak Mandailing 12080
3 Batak Toba 8873
4 Jawa 6558
5 Minangkabau 6810
6 Nias 321
7 Tionghoa 951
8 Lainnya 644
Jumlah 55080
Sumber: kec. Padangsidimpuan Utara
Dari tabel di atas dijelaskan bahwa jumlah penduduk di Kecamatan
Padangsidimpuan Utara 55080 orang. Diantaranya terdapat sebagian besar etnis
Batak Angkola berjumlah 18843 orang, Batak Mandailing 12080 orang, Batak
Toba berjumlah 18843. Diantara tiga etnis Batak ini yang paling banyak adalah
Batak Angkola dan etnis inilah yang merupakan etnis mayoritas penduduk
Padangsidimpuan. Etnis Jawa berjumlah 6558 orang, etnis Minangkabau
berjumlah 6810 orang, etnis Nias 321 orang, etnis Tionghoa berjumlah 951 orang
yang menyebar di kecamatan Padangsidimpuan Utara/kelurahan Wek I, Wek II,
dan Wek III. Serta etnis lainnya berjumlah 644 orang.
Tabel 4.2.1
Jumlah Penduduk Tionghoa Berdasarkan Kepala Keluarga, Jenis Kelamin/Sex, Usia/Umur
Dan Kelurahan
No
Nama
Kelurahan
Jlh Per
KK
Jlh Penduduk Menurut Jenis
Kelamin/Sex
Jlh Penduduk
Menurut Usia
Total
L % P % 0-24
Thn
25-80
Thn
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
47
1 Kelurahan
Wek I
25 45 36 80 64 40 85 125
2 Kelurahan
Wek II
181 328 42,43 445 57,57 258 515 773
3 Kelurahan
Wek III
20 36 67,92 17 32,07 17 36 53
Jumlah 226 409 146,35 542 153,64 315 636 951
Sumber: Kec. Padangsidimpuan Utara
Dari data kependudukan kantor camat Kecamatan Padangsidimpuan Utara,
Kelurahan Wek I Jl. Merdeka Gang Abdul Jalil tahun 2018 memperlihatkan
bahwa etnis Tionghoa di daerah tersebut terdiri dari 25 kepala keluarga dengan
jumlah keseluruhan adalah kira-kira 125 jiwa. Perbandingan jumlah jiwa
berdasarkan jenis kelamin dapat dapat di lihat, laki-laki 45 orang (36%) dan
perempuan 80 orang (64%). Menurut kelompok usia dapat diketahui bahwa
seluruh populasi etnis Tionghoa yang ada di Kelurahan Wek I dari usia 0-24 tahun
atau usia anak-anak sampai dewasa 40 orang dan usia antara 25-80 tahun berkisar
85 orang.
Data kependudukan kantor camat Kecamatan Padangsidimpuan Utara,
Kelurahan Wek II Jl. Merdeka Gang Surau tahun 2018 memperlihatkan bahwa
etnis Tionghoa di daerah tersebut terdiri dari 181 kepala keluarga dengan jumlah
keseluruhan adalah 773 jiwa. Perbandingan jumlah jiwa berdasarkan jenis
kelamin dapat di lihat, laki-laki 328 orang (42,43%) dan perempuan 445 orang
(57,57%). Menurut kelompok usia dapat diketahui bahwa seluruh populasi etnis
Tionghoa yang ada di Kelurahan Wek II dari usia antara 0-24 tahun 258 orang dan
usia antara 25-80 tahun berkisar 515 orang.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
48
Data kependudukan kantor camat Kecamatan Padangsidimpuan Utara,
Kelurahan Wek III Jl. Selamat Riadi tahun 2018 memperlihatkan bahwa etnis
Tionghoa di daerah tersebut terdiri dari 20 kepala keluarga dengan jumlah
keseluruhan adalah 53 jiwa. Perbandingan jumlah jiwa berdasarkan jenis kelamin
dapat dilihat, laki-laki 36 orang (67,92%) dan perempuan 17 orang (32,07%).
Menurut kelompok usia dapat diketahui bahwa seluruh populasi etnis Tionghoa
yang ada di kelurahan Wek III dari usia 0-24 tahun 17 orang dan usia antara 25-80
tahun berkisar 36 orang.
Dari penjelasan di atas dapat di dilihat bahwa etnis Tionghoa lebih banyak
mendiami daerah Kelurahan Wek II karena memang daerah ini merupakan pusat
dari segala aktivitas di kota Padangsidimpuan dan inilah alasan mengapa penulis
memilih lokasi penelitian di kelurahan wek II karena daerah ini merupakan basis
etnis Tionghoa di kota Padangsidimpuan.
4.2.2 Sistem Kepercayaan
Agama islam disiarkan oleh orang Minangkabau yang datang ke Tapanuli
Selatan pada tahun 1810 seperti Mandailing dan Angkola. Namun agama Kristen
juga ada di Tapanuli Selatan. Padangsidimpuan merupakan ibu kota Tapanuli
Selatan, namun agama yang dominan dianut oleh kalangan penduduk
Padangsidimpuan adalah agama islam. Sebagai gambaran kehidupan beragama di
daerah ini, dapat dilihat dari tabel berikut:
Tabel 4.2.2
Persentase Penduduk Menurut Agama dan Kepercayaan
N
o
Kecamatan Agama
Islam Khatolik Kristen Budha
1 Padangsidimpuan tenggara 90,13 0,67 9,15 0,04
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
49
2 Padangsidimpuan selatan 82,54 0,93 16,35 0,16
3 Padangsidimpuan batunadua 97,87 0,28 1,82 -
4 Padangsidimpuan utara 94,43 0,60 3,76 1,21
5 Pada Padangsidimpuan hutaimbaru 95,43 0,13 4,12 -
6 Padangsidimpuan angkola julu 96,05 0,06 3,88 -
Sumber: BPS kota Padangsidimpuan
Dari tabel di atas dapat juga diketahui bahwa agama yang paling
mendominasi di Padangsidimpuan adalah agama Islam, dan yang paling banyak
menganut agama Budha di Padangsidimpuan adalah di Kecamatan
Padangsidimpuan Utara khususnya Kelurahan Wek II, karena disini merupakan
pusat dari kota Padangsidimpuan yang merupakan banyaknya etnis Tionghoa
bertempat tinggal dan membuka usaha dalam bidang perdagangan. Agama Budha
merupakan agama dominan yang dianut etnis Tionghoa di Padangsidimpuan.
Namun ada juga etnis Tionghoa yang menganut agama lain yaitu agama Kristen
Protestan, Khatolik, dan agama Islam. Alasan dari beberapa etnis Tionghoa untuk
berpindah ke agama lain disebabkan oleh beberapa hal, seperti di karenakan
adanya kawin campur yang dilakukan dengan masyarakat Padangsidimpuan yang
memeluk agama Islam atau Kristen sehingga mendorong etnis Tionghoa untuk
berpindah agama sesuai dengan yang dianut pasangannya (Hasil wawancara
dengan Ampere Jaya Alam).
Alasan yang paling utama yang menyebabkan etnis Tionghoa memeluk
diantara ke enam agama yang ada di Indonesia adalah dikarenakan sesudah tahun
1965 pemerintah Indonesia secara resmi mengakui enam (enam) agama : Islam,
Khatolik, Protestan, Hindu-Bali (Hinduisme Bali), Budha dan Konghucu. Namun
beberapa tahun terakhir ini pemerintah tidak lagi mengakui Konghucu sebagai
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
50
sebuah agama.Walaupun Majelis Tertinggi Konghucu Indonesia meminta
Departemen Agama mengakui Konghucuisme sebagai sebuah agama.Tetapi,
siding kabinet pada tanggal 27 Januari 1979 secara tegas menyatakan bahwa
Konghucuisme bukanlah agama. Kemudian ada anggapan bahwa dalam
hubungannya dengan identitas nasional, etnis Tionghoa Indonesia yang tidak
beragama Konghucu ini dianggap pribumi lebih “Indonesia” daripada etnis
Tionghoa lainnya, Leo Suryadinata (1999:182,184).
Sehingga memunculkan adanya motivasi penganutan agama dari etnis
Tionghoa dan menjadi suatu keharusan untuk memilih salah satu agama yang sah
diakui oleh pemerintahan Republik Indonesia berhubungan dengan status
Kewarganegaraan menjadi WNI.Mengenai pemelukan suatu agama dari salah
seorang anggota keluarga etnis Tionghoa di Padangsidimpuan tidak ada unsur
pemaksaan dari pihak keluarga, keluarga hanya dapat memberikan pengarahan
terhadap agama yang akan di yakininya.Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa
etnis Tionghoa yang ada di Padangsidimpuan, yang memeluk agama Budha
adalah mereka yang masih totok, sedangkan yang berpindah memeluk agama lain
yang dianut oleh penduduk setempat adalah mereka yang terutama sudah
peranakan.
4.2.3 Mata Pencaharian
Mata pencaharian penduduk di Padangsidimpuan itu terlihat pada berbagai
bidang seperti bidang pertanian, peternakan, perdagangan, perindustrian, pegawai
negeri, dan pertukangan.Dalam bertani tanaman yang di tanam oleh penduduk
Padangsidimpuan adalah tanaman palawija (padi, jagung, ubi-ubian, cabe,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
51
bawang, tomat, sayuran), buah-buahan seperti buah salak yang merupakan hasil
yang paling menonjol yang menjadikan Padangsidimpuan sebagai Kota Salak di
Sumatera Utara. Kemudian ada juga tanaman keras seperti : karet, kemiri, kelapa,
kelapa sawit, kopi, coklat, cengkeh, kulit manis, dan pinang. Dalam bidang
peternakan seperti : kambing, kerbau, sapi, ayam, itik, dan ikan. Dalam bidang
perdagangan (pedagang grosir, pedagang elektronik, dan lain-lain).Dalam bidang
pertukangan seperti tukang kayu (panglong), servis Honda dan mobil, tukang gigi,
tukang foto dan lain-lain. Dalam bidang industry ada PT. Kirana Sapta, PT.
Sihitang Raya Baru, dan PT. virgo). Mengenai warga masyarakat
Padangsidimpuan Utara menurut mata pencaharian dapat dilihat dari tabel berikut:
Tabel 4.2.3
Penduduk Padangsidimpuan Utara Menurut Mata Pencaharian
No Jenis Mata Pencaharian Jumlah %
1 Buruh/Swasta 8707 41,33
2 Pegawai Negeri Sipil 2957 14,04
3 Pengrajin 414 1,97
4 Pedagang 3200 15,18
5 Tukang Batu 395 1,87
6 Tukang Kayu 157 0,75
7 Peternak 37 0,18
8 Petani 2352 11,16
9 Montir 155 0,74
10 Dokter 34 0,16
11 Sopir 606 2,88
12 Penarik Becak 1115 5,29
13 Tni/Polri 356 1,69
14 Pengusaha 298 1,41
15 Penjahit 285 1,35
Jumlah 21068 100
Sumber: Kec. Padangsidimpuan Utara
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
52
Sebanyak 2352 orang yang ber mata pencaharian sebagai petani adalah
penduduk pribumi (etnis Batak Angkola).Mereka tampak masih bisa bertahan
sebagai petani, walaupun disekitar mereka terdapat aneka ragam
industri.Sedangkan sektor swasta atau pedagang kelas tinggi (contohnya pedagang
grosir, distributor) pada umumya didominasi oleh etnis Tionghoa.
Tabel 4.2.3
Penduduk Etnis Tionghoa Menurut Mata Pencaharian
No Jenis Mata Pencaharian Jumlah %
1 Pegawai Pemerintahan 2 0,22
2 Pegawai Swasta 142 15,88
3 Padagang/Wiraswasta 397 44,41
4 Bidang Jasa 4 0,45
5 Tidak/Belum Bekerja 349 39,04
Jumlah 894 100
Sumber: Kec. Padangsidimpuan Utara
Pada umumnya etnis Tionghoa di kota Padangsidimpuan mempunyai mata
pencaharian di sektor perdagangan 44,41%, dan juga sebagai pegawai swasta
sebanyak 15,88%. Mereka yang bekerja di bidang jasa 0,45%, sebagai pegawai
pemerintahan 0,22% dan selebihnya sebanyak 39,04% merupakan penduduk yang
belum bekerja yakni mereka yang dikategorikan sebagai anak-anak, pelajar,
mahasiswa maupun yang termasuk kaum lanjut usia.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
53
BAB V
AKULTURASI BUDAYA PADA MASYARAKAT TIONGHOA
DI KOTA PADANGSIDIMPUAN
5.1 Unsur Budaya pada Masyarakat Tionghoa di Kota Padangsidimpuan
Pada zaman dahulu ketika etnis Tionghoa datang dan menginjakkan kaki di
Indonesia, mereka terpesona akan keindahan alam serta keramahan penduduk
pribuminya. Mereka jatuh cinta sehingga pada akhirnya memutuskan untuk
beranak cucu dan mati di daerah baru mereka. Semenjak itulah mereka mulai
menyesuaikan diri serta membaur dengan penduduk pribumi yang ada
disekitarnya termasuk dalam pembauran adat dan tradisi atau yang disebut dengan
akulturasi budaya.
Dalam wawancara dengan bapak Olly Japar Siregar (Lim Pao Oei) sebagai
salah satu tetua adat dari etnis Tionghoa di kota Padangsidimpuan beliau
menjelaskan bahwa setelah etnis Tionghoa sampai di Padangsidimpuan mereka
diterima dengan baik oleh masyarakat Padangsidimpuan karena masyarakat
Padangsidimpuan memiliki sifat yang terbuka terhadap berbagai etnis yang datang
ke di Padangsidimpuan. Hal ini bisa dilihat dengan banyaknya etnis-etnis yang
bertempat tinggal di Padangsidimpuan seperti: etnis Batak Mandailing, Batak
Toba, Minagkabau, Jawa, Nias, Aceh, dan etnis Batak Angkola yang merupakan
penduduk asli serta penduduk yang mayoritas di Padangsidimpuan. Setelah etnis
Tionghoa sampai di Padangsidimpuan misalnya Lie Kak, yang merupakan
pemimpin kelompok masyarakat Tionghoa di Padangsidimpuan beliau
menunjukkan berbagai keterampilan yang dia miliki seperti berdagang serta
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
54
menjalin hubungan yang baik dalam bergaul dan bersilap ramah-tamah kepada
masyarakat Padangsidimpuan. Lie Kak juga menjalin hubungan melalui
perkawinan antara laki-laki Tionghoa dengan perempuan setempat (masyarakat
pribumi Padangsidimpuan).
Mengenai adat dan tradisi etnis Tionghoa mereka memakainya dalam
lingkaran kehidupan di Padangsidimpuan. Contohnya pada upacara kematian,
melahirkan, pernikahan, pebalan marga , serta masih banyak upacara lainnya.
Tapi keadaan sekarang lebih bersifat gabungan antara adat Tionghoa dengan adat
–istiadat yang berlaku bagi masyarakat setempat terutama dari segi
penyelenggaraan, pakaian dan prosedur pelaksanaannya.
Dalam upacara kematian penganut agama Budha, etnis Tionghoa
menyediakan sarana makanan lengkap di depan peti jenazah, serta sarana
perlengkapan mandi setiap harinya selama jenazah masih disemanyamkan di
rumah (belum di makamkan). Selain itu pembakaran uang kertas pun dilakukan
dengan harapan arwah yang bersangkutan tidak menemui kesulitan di akhirat sana.
Kemudian dalam berpakaian pihak keluarga yang berduka cita biasanya
memakai pakaian berkabung putih (biasanya kain kaci) dan dipakai secara terbalik
(jahitan di luar) untuk menandakan bahwa keluarga sedang berduka. Tanda duka
beraneka bentuk sesuai ikatan dengan keluarga yang meninggal, dan kebiasaaan
seperti ini merupakan pemandangan biasa dan telah di mengerti oleh etnis
Tionghoa. Hal-hal tabu selama jenazah masih disemanyamkan di rumah, juga di
laksanakan tanpa protes. Mereka tahu tradisi tersebut adalah turun temurun yang
harus dilakukan bagi etnis Tionghoa. Larangannya tidak boleh menyediakan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
55
bakmi dan buah salak di depan jenazah. Tujuannya agar duka yang ada tidak
berkepanjangan serta masa depan keluarga tidak menemui hambatan onak atau
duri di masa mendatang.
Etnis Tionghoa yang beraganma Budha maupun Kristen Khatolik ada juga
yang masih mengikuti adat serta tradisi mereka sepanjang tidak bertentangan
dengan ajaran agama kecuali etnis Tionghoa yang menganut agama Islam tidak
lagi mengikuti adat serta tradisi nenek monyangnya.Alasan tidak meninggalkan
adat serta tradisi lantaran mereka masih keturunan Tionghoa dan hal itu memang
tidak bisa di ingkari. Misalnya kebiasaan jagong di malam hari pada keluarga
duka tetap dilaksanakan etnis Tionghoa. Saat jagong (melayat) jenazah
merupakan kesempatan para tamu, sanak saudara, serta sahabat memberikan
penghormatan terakhir bagi almarhumah.
Di Padangsidimpuan etnis Tionghoa yang sebagai orang tua, dalam
mencari pasangan hidup anak-anaknya, orang tua tidak memaksakan kehendaknya.
Mereka memberikan kebebasan bagi anaknya untuk menentukan calon
pendamping hidupnya.Sebagai orang tua mereka hanya bisa mengarahkan kearah
yang lebih baik. Pesta pernihan bagi etnis Tionghoa di Padangsidimpuan ada yang
dirayakan secara meriah dengan mengundang keluarga, sanak saudara, serta
orang-orang terdekat. Namun tak sedikit juga yang di rayakan secara sederhana.
Prioritas utama etnis Tionghoa di Padangsidimpuan dalam hal pernikahan adalah
kebahagiaan bagi pasangaan anak-anak nya dalam mengarungi bahtera rumah
tangga.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
56
Pada acara lamaran yang diteruskan menuju jenjang pernikahan, pihak
keluarga calon pengantin laki-laki memberikan Angpau (uang yang terbungkus
kertas merah) dua bagian. Satu disebut sebagai uang dapur yakni pengganti biaya
yang dikeluarkan pihak wanita, satu lagi diberikan pada ibu calon pengantin
wanita sebagai uang susu.
Kemudian dalam pesta pernikahan etnis Tionghoa, penuh diwarnai adat
dan tradisi. Dimana pada keluarga pengantin laki-laki, kedua orang tua (kalau
keduanya masih lengkap) akan mendan-dani anaknya untuk yang terakhir kalinya.
Mereka menyisir rambut pengantin laki-laki serta memakaikan jas pengantinnya
kemudian menyematkan hiasan bunga pada salah satu kerah jas. Sedangkan
pengantin laki-laki sujud memohon restu ucapan terima kasih kepada kedua orang
tuanya yang telah menjaganya sampai ke jenjang pernikahan. Demikian pula
dengan keluarga pengantin wanita, kedua orang tua sibuk menyiapkan segala
sesuatu bagi anaknya yang akan meninggalkan rumah untuk bersatu dengan
suaminya. Perias pengantin mempercantik pengantin wanita, namun saat
pemakaian mahkota serta cadar penutup, kedua orang tua yang akan
melakukannya. Kedua orang tua pengantin wanita juga menyisir rambut anaknya.
Pada wanita etnis Tionghoa yang sedang hamil atau melahirkan tidak lepas
dari adat dan tradisi kuno. Seorang ibu yang hamil muda akan di jajali berbagai
aturan dan larangan oleh pihak tetua keluarga. Salah satu contoh sang ibu hamil
dilarang berkunjung pada upacara kematian, kalaupun yang meninggal anggota
keluarga maka sang ibu hamil harus di bekali bawang putih pada perutnya serta
sebuah gunting kecil sebagai penangkal sang calon jabang bayi. Namun dalam hal
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
57
makanan seorang wanita hamil tidak akan membuat heboh keluarga tidak ada
pantangan ataupun keharusan yang harus dilakukannya (semuanya berjalan biasa
saja). Sekalipun hamil, para istri etnis Tionghoa di Padangsidimpuan tetap bekerja
seperti biasanya seperti tidak terjadi sesuatu. Tapi menjelang usia kandungan
Sembilan bulan, barulah para istri istirahat bekerja untuk mempersiapkan
kelahiran sang jabang bayi.
Kemudian dalam hal persiapan untuk menyambut bayi pun tidak boleh di
beli sebelum usia kehamilan mencapai tujuh bulan, kalau hal itu di langgar maka
di yakini akan terjadi hal-hal yang tidak di inginkan pada calon sang jabang bayi.
Selama kehamilan para etnis Tionghoa di Padangsidimpuan sangat
memperhatikan kesehatan sang istri. Periksa serta merawat kehamilan menjadi
prioritas utama. Kunjungan kedokter menjadi rutinitas yang semuanya dilakukan
demi kesehatan sang ibu serta calon jabang bayinya. Kelahiran sang jabang bayi
bagi etnis Tionghoa merupakan harapan akan datangnya hoki (rezeki) baru bagi
keluarganya. Maka pada saat sang jabang bayi di bawa pulang, ada yang
mengadakan upacara penyambutan secara khusus atas kehadiran keluarga baru ini.
Selain itu dalam hal makanan, etnis Tionghoa melakukan adaptasi di
Padangsidimpuan. Daun ubi tumbuk dan gulai ikan Mas Hollat yang merupakan
ciri khas masakan Batak Angkola menjadi makanan yang mereka sukai (hasil
wawancara dengan Juliana)
Jadi dari penjelasan di atas penulis menganalisis bahwa etnis Tionghoa
yang ada di Padangsidimpuan dalam bidang kebudayaan sudah beradaptasi
(berakulturasi) terhadap kebudayaan masyarakat pribumi (Batak Angkola)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
58
Padangsidimpuan. Mereka sudah menyatu dan membaur dengan masyarakat
pribumi (Batak Angkola) yang ada disekitarnya.
5.1.1 Budaya Batak Angkola
Masyarakat Batak Angkola ialah masyarakat yang sejak dahulu kala
mendiami wilayah Angkola yang terdapat di Kabupaten Tapanulli Selatan.
Kebudayaan masyarakat Batak Angkola dalam banyak hal mempunyai persamaan
dengan kebudayaan masyarakat Padang Bolak dan masyarakat Mandailing. Adat-
istiadat ketiga masyarakat tersebut tidak banyak berbeda, demikian juga dengan
bahasanya. Masyarakat Batak Angkola merupakan masyarakat agraris yang
hidupnya banyak tergantung kepada pertanian, sawah dan perkebunan yang
ditanami dengan karet, kopi, kulit manis, dan lain-lain.
Dalam sistem kekerabatannya, masyarakat Batak Angkola menganut garis
keturunan patrilineal (garis keturunan dari pihak ayah). Berdasarkan garis
keturunan yang patrilineal itu, masyarakat Batak Angkola membentuk kelompok-
kelompok kekerabatan yang disebut marga (clan) sebagai gabungan dari orang-
orang yang merupakan keturunan dari seorang kakek bersama. Oleh karena itu di
dalam masyarakat Batak Angkola terdapat sejumlah marga yang masing-masing
mempunyai namanya sendiri. Seperti marga Siregar, marga Harahap, marga Pane,
marga Huta Suhut, marga Ritonga, marga Rambe, dan lain-lain.Para anggota dari
suatu marga mempunyai hubungan kekerabatan yang disebut markahanggi
(berabang-adik).
Adat masyarakat Batak Angkola lazim disebut adat dalihan natolu, karena
setiap pelaksanaan aktivitas yang didasarkan kepada kaidah-kaidah adat, seperti
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
59
pelaksanaan berbagai upacara, harus didukung oleh tiga unsur fungsional dari
sistem sosial masyarakat Batak Angkola yang dinamakan dalihan natolu (tiga
tumpuan). Ketiga unsur fungsional dari sistem sosial dalihan natolu itu masing-
masing disebut mora, kahanggi, dan anak boru. Mora merupakan anggota kerabat
yang berstatus sebagai pemberi anak dara dalam perkawinan. Kahanggi adalah
anggota kerabat satu keturunan atau satu klen.Anak boru adalah anggota kerabat
yang berstatus sebagai penerima anak dara dalam perkawinan. Antara para kerabat
yang berstatus sebagai mora dan berstatus sebagai anak boru terdapat hubungan
afinal (perkawinan), dan diantara sesame kerabat yang berstatus sebagai kahanggi
terdapat hubungan konsanguinial atau hubungan darah.
Sistem dalihan natolu yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Batak
Angkola, merupakan suatu mekanisme tradisional yang berfungsi untuk
menjalankan adat sebagai suatu kekuatan penggerak perilaku kehidupan
bermasyarakat. Tiga komponen fungsional yang terdiri dari mora, kahanggi, anak
boru yang masing-masing anggota kerabat yang satu sama lainnya terikat oleh
hubungan perkawinan atau hubungan darah. Ketiga komponen fungsional sdari
sistem sosial itu, dikonsepsikan oleh masyarakat Batak Angkola sebagai suatu
dalihan (tungku) penumpu yang terdiri dari tolu (tiga) memberikan kepada
seseorang hak dan kewajiban tertentu yang satu sama lain berbeda. Hak dan
kewajiban seseorang dalam statusnya sebagai mora berbeda dengan hak dan
kewajiban sebagai orang yang berstatus sebagai kahanggi dan anak boru.
Pelaksanaan hak dan kewajiban yang di tentukan oleh status kekerabatan itu dapat
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
60
dilihat pada waktu seseorang ikut dalam pelaksanaan upacara adat atau pada
waktu orang-orang yang berlainan status kekerabatannya sedang berinteraksi.
Dalam kebudayaan masyarakat Batak Angkola terdapat suatu upacara adat
(ritual adat) yang dinamakan mangupa. Upacara tersebut merupakan bagian dari
serangkaian upacara adat yang penting bagi masyarakat Batak Angkola. Karena
menurut adat dan tradisi masyarakat tersebut upacara mangupa merupakan sarana
utama bagi para kerabat untuk menyampaikan doa dan harapan mereka agar
pengantin yang baru memasuki gerbang perkawinan memperoleh kebahagiaan
dan kesentosaan hidup berumah tangga.
Menurut tradisi masyarakat Batak Angkola, untuk melaksanakan upacara
mangupa disediakan seperangkat perlegkapan upacara yang terdiri dari berbagai
jenis bahan makanan yang ditempatkan pada suatu wadah yang khusus. Masing-
masing bahan perlengkapan upacara itu melambangkan doa dan harapan para
kerabat bagi kebahagiaan dan kesentosaan sepasang pengantin yang akan
menjalani hidup berumah tangga. Di samping itu bahan tersebut sekaligus
melambangkan ajaran atau kebijaksanaan tradisional yang harus dijalankan oleh
kedua pengantin agar mereka memperoleh kebahagiaan hidup berumah
tangga.Kemudian dalam penyelenggaraan upacara mangupa, para pelaksana
upacara yang terdiri dari sejumlah kerabat pengantin laki-laki dan tokoh
pemimpin tradisional setempat untuk menyampaikan pidato adat (mangkobar-
kobar. Pidato-pidato adat disamapikan dengan menggunakan ragam bahasa
tersendiri yang mengandung nilai sastra tradisional dan juga menggunakan sastra
lisan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
61
5.2 Unsur Akulturasi Budaya pada Masyarakat Tionghoa
di Padangsidimpuan
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya pada kerangka konseptual di
atas indikator dari penyesuaian diri antar budaya di arahkan pada masalah
akulturasi budaya etnis Tionghoa di Padangsidimpuan, sehubungan dengan itu
maka peneliti akan membahas tentang akulturasi budaya pada masyarakat
Tionghoa terhadap masyarakat Batak Angkola di Padangsidimpuan. Disini akan
di kupas lebih mendalam mengenai unsur akulturasi budaya masyarakat Tionghoa
yang paling mendominasi di Padangsidimpuan dapat dilihat dari beberapa unsur
budaya yaitu: bahasa, perkawinan, dan penabalan marga.
Maka dari itu peneliti menempatkan bahasa pada urutan pertama karena
menyangkut tentang cara mereka berkomunikasi dengan masyarakat
Padangsidimpuan. Dalam berkomunikasi masyarakat Tionghoa menggunakan
bahasa Batak Angkola dan bahasa Indonesia untuk beradaptasi dengan etnis Batak
Angkola di kota Padangsidimpuan.
5.2.1 Bahasa
Di kalangan etnis Tionghoa di kota Padangsidimpuan terdapat tiga macam
bahasa, yakni bahasa Batak Angkola dan bahasa Indonesia sebagai bahasa
berkomunikasi dengan masyarakat Batak Angkola, kemudian bahasa Tionghoa
sebagai bahasa berkomunikasi antar sesama etnis Tionghoa di kota
Padangsidimpuan. Bahasa Indonesia adalah bahasa Nasional dan bahasa resmidi
Indonesia rata-rata dikuasai oleh masyarakat Tionghoa yang ada di kota
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
62
Padangsidimpuan baik itu mereka sebagai Tionghoa totok maupun peranakan.
Bahasa daerah setempat yaitu bahasa Batak Angkola jugabanyak diketahui dan
dikuasai oleh etnis Tionghoa yang ada di Padangsidimpuan dengan baik, karena
disamping bahasa Indonesia, bahasa daerah tersebut juga merupakan bahasa
pergaulan sehari-hari masyarakat Tionghoa di kota Padangsidimpuan.
Bahasa Batak Angkola dan bahasa Indonesia sering dipergunakan oleh
masyarakat Tionghoa dalam pergaulan sehari-hari baik ketika berkomunikasi
dengan masyarakat setempat maupun sesama anggota keluarganya. Sedangkan
etnis Tionghoa yang lanjut usialebih banyak menggunakan bahasa Tionghoa
dirumah maupun dalam pergaulan sesama etnis Tionghoa, tetapi mereka mengerti
bahasa Batak Angkola, sedangkan bahasa Indonesia dan bahasa Batak Angkola
mereka gunakan bila berkomunikasi dengan penduduk setempat.
Adapun bahasa yang dipergunakan oleh etnis Tionghoa dalam
berkomunikasi dengan masyarakat setempat dan dengan sesama keluarga mereka
akan dapat diketahui melalui penjelasan berikut. Yang akan dikemukakan di sini
adalah mengenai pemakaian dan penguasaan dari masing-masing bahasa, yaitu
bahasa Tionghoa, bahasa Indonesia, dan bahasa Batak Angkola sebagai bahasa
daerah, baik pemakaian dalam rumah tangga, sesama kelompok maupun dalam
pergaulan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat setempat oleh infornan
Tionghoa.
Tabel 5.2.1
Bahasa Percakapan dalam Rumah Tangga Masyarakat Tionghoa
di Padangsidimpuan
No. Bahasa yang digunakan Jumlah %
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
63
1. Bahasa Tionghoa 3 30
2. Bahasa Indonesia 5 50
3. Bahasa Batak Angkola (bahasa
daerah)
2 20
Jumlah 10 100
Sumber : Hasil Wawancara dengan Informan Etnis Tionghoa
di Padangsidimpuan.
Data yang diperoleh melalui penelitian ini memperlihatkan bahwa
responden dalam rumah tangga yang mempergunakan bahasa Tionghoa 3 orang
(30%), bahasa Indonesia 5 orang (50%) dan bahasa Batak Angkola 2 orang
(20%).
Dari data diatas peneliti melakukan analisa bahwa proses akulturasi dalam
bidang bahasa dapat dilkasanakan dengan baik, terbukti 50% orang Tionghoa
menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi di dalam rumah tangga.
Dalam berhubungan dengan masyarakat Padangsidimpuan etnis Tionghoa
menggunakan bahasa Batak Angkola ada 20%.
Tabel 5.2.1
Bahasa Percakapan dalam Kelompok Etnis Tionghoa di Padangsidimpuan
No. Bahasa yang digunakan Jumlah %
1. Bahasa Tionghoa 4 40
2. Bahasa Indonesia 5 50
3. Bahasa Batak Angkola 1 10
Jumlah 10 100
Sumber : Hasil Wawancara dengan Informan Etnis Tionghoa
di Padangsidimpuan.
Data diatas menjelaskan bahwa bahasa yang digunakan antar sesama
kelompok etnis Tionghoa mempergunakan bahasa pengantarnya dengan bahasa
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
64
Tionghoa4 orang (40%),berbahasa Indonesia 5 orang (50%), dan bahasa daerah 1
orang (10%).
Tabel 5.2.1
Bahasa Percakapan dalam Pergaulan Sehari-Hari
dengan Masyarakat Padangsidimpuan
No. Bahasa yang digunakan Jumlah %
1. Bahasa Tionghoa - -
2. Bahasa Indonesia 5 50
3. Bahasa Batak Angkola 5 50
Jumlah 10 100
Sumber : Hasil Wawancara dengan Informan Etnis Tionghoa
di Padangsidimpuan.
Data diatas menjelaskan bahwa bahasa yang digunakan informan dalam
pergaulan dengan masyarakat setempat mempergunakan bahasa pengantarnya
dengan bahasa Tionghoa tidak ada, menggunakan bahasa Indonesia 5 orang
(50%). Ini tergantung juga pada orang apa yang dihadapi berkomunikasi apabila
dengan orang tua, mereka lebih banyak mempergunakan bahasa Batak Angkola
dan dengan orang muda mereka lebih sering memperrgunakan bahasa Indonesia,
dan 5 orang (50%) etnis Tionghoa menggunkan bahasa Batak Angkola apabila
bergaul dengan masyarakat padangsidimpuan.
Tabel 5.2.1
Tingkat Penguasaan Bahasa Etnis Tionghoa di Padangsidimpuan
No
Nama bahasa
Tingkat/kwalifikasi Jumlah
Baik % Sedang % Kurang % % orang
1. Tionghoa 2 20 5 50 3 30 100 10
2. Indonesia 7 70 3 30 - - 100 10
3. Batak Angkola 5 50 3 30 2 20 100 10
Sumber : Hasil Wawancara dengan Informan Etnis Tionghoa
di Padangsidimpuan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
65
Mengenai penguasaan dari masing-masing bahasa yang dikemukakan di
atas, terdapat diantaranya yang menguasai bahasa Tionghoa dengan kualifikasi
baik (tahu arti dan pengucapan bagus) 2 orang (20%), kualifikasi sedang (tahu arti
tapi pengucapan kurang bisa, dialek sedang) 5 orang (50%), dan kualifikasi
kurang (tidak tahu arti dan pengucapan bahasanya) 3 orang (30%). Yang
menguasai bahasa Indonesia dengan kualifikasi baik 7 orang (70%), kulifikasi
sedang 3 orang (30%), dan dengan kualifikasi kurang tidak ada, dan yang tidak
tahu sama sekali tidak ada. Sedangkan responden yang menguasai bahasa Batak
Angkola sebagai bahasa dsaerah setempat dengan kualifikasi baik 5 orang (50%),
kualifikasi sedang 3 orang (30%), dan dengan kualifikasi kurang 2 orang (20%),
dan yang tidak tahu sama sekali tidak ada.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, bahasa Indonesia,
dan bahasa Batak Angkola menjadi bahasa penghubung untuk berkomunikasi
antara etnis Tionghoa dengan etnis Batak Angkola di Padangsidimpuan. Oleh
karena itu faktor penggunaan bahasa dalam proses akulturasi etnis Tionghoa di
Padangsidimpuan bisa dinyatakan berjalan dengan baik.
5.2.2 Pernikahan
Pernikahan campur sering disebut dengan amalgamasi yang berarti
pernikahan antar kelompok etnis, tetapi amalgamasi (amalgamasion)sebenarnya
dapat lebih luas artinya dari sekedar asimilasi. Di Indonesia pernikahan campur
antar etnis di anggap sebagai salah satu faktor yang menguntungkan dalam usaha
mempercepat proses adaptasi dan asimilasi (Soekanto, 1982:220).Pernikahan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
66
antar etnis yang dimaksud adalah pernikahan antar etnis Tionghoa dengan etnis
Batak Angkola di Padangsidimpuan, yang telah terjadi sejak etnis Tionghoa
datang ke Padangsidimpuan.
Secara umum dapat dilihat gambaran pernikahan yang berlaku di kalangan
masyarakat Tionghoa yang ada di Padangsidimpuan telah mengadakan pernikahan
campuran dengan etnis Batak Angkola.Baik diantara mereka yang masih
tergolong totok maupun peranakan pribumi setempat demikian pula
sebaliknya.Menurut penuturan bapak Olly Japar Siregar mengenai pelaksanaanya
sekarang lebih bersifat gabungan antara adat-istiadat etnis Tionghoa dengan adat-
istiadat etnis Batak Angkola, terutama dari segi penyelenggaraan.Dalam
penelitian ini akan dijelaskan mengenai tahapan upacara pernikahan etnis
Tionghoa dengan etnis Batak Angkola di Padangsidimpuan.
Dalam prosesi pernikahan etnis Tionghoa bila seorang pemuda tertarik
pada seorang pemudi, maka diutus seorang meiren (媒人) atau mak comblang
kerumah pemudi tersebut untuk bertemu dengan orang tua pemudi tersebut. Mak
comblang juga segera menukarkan kartu yang berisi nama, usia dan hal lainnya
sehubungan dengan kedua pemuda pemudi tersebut untuk melihat adanya
kecocokan. Apabila kedua pihak telah sepakat, maka dibuatlah acara pernikahan.
5.2.2.1 Penentuan Hari Baik
Proses penentuan hari baik dilakukan dirumah pihak mempelai wanita.
Apabila mak comblang telah ditanggapi positif, maka selanjutnya kedua pihak
sudah dapat menentukan tanggal baik dan bulan baik untuk acara lamaran dan
pernikahan. Tanggal itu ditentukan setelah melihat kecocokan dari tanggal lahir
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
67
mempelai pria dan wanita serta apakah pada hari itu bermasalah pada Shio kedua
mempelai. Setelah tidak ada masalah maka akan di lanjutkan pada prosesi
selanjutnya, yaitu Prosesi Sangjit.
Sedangkan menurut tradisi masyarakat Batak Angkola hari yang baik
untuk penyelenggaraan upacara peresmian perkawinan dipilih oleh bayo datu
(dukun). Pada masa sekarang pemilihan hari baik oleh bayo datu sudah jarang
sekali dilakukan karena perbuatan yang demikian itu dianggap perbuatan yang
bersifat tahayul dan bertentangan dengan agama.Jadi tentang penetuan hari pada
upacara perkawinan etnis Batak Angkola ditentukan atau di musyawarahkan oleh
keluarga kedua belah pihak pengantin.
5.2.2.2 Prosesi Sangjit (Lamaran)
Dalam tradisi etnis Tionghoa, Sangjit awal mulanya merupakan acara
penentuan hari, tanggal dan waktu yang baik untuk melaksanakan pernikahan.
Namun seiring berjalannya waktu, acara Sangjit dilaksanakan lebih kepada acara
penyerahan mahar kepada pengantin wanita. Prosesi ini merupakan prosesi
penting dalam upacara pernikahan setiap pasangan pengantin etnis
Tionghoa.Waktu yang tepat untuk melakukan sangjit dapat dikonsultasikan
kepada orang tua yang paham masalah penanggalan.
Sangjit biasanya diadakan antara 1 bulan sampai 1 minggu sebelum acara
resepsi pernikahan dan berlangsung siang hari antara jam 10.00 sampai dengan
13.00 WIB dilanjutkan dengan makan siang.Adat Tionghoa sangat memegang
teguh pentingnya penanggalan yang tepat untuk setiap momen yang sakral.Harus
dipilih jam, hari dan bulan yang baik. Biasanya semuanya serba muda yaitu : jam
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
68
sebelum matahari tegak lurus; hari tergantung perhitungan bulan Tionghoa, dan
bulan yang baik adalah bulan naik atau menjelang purnama. Masalah ini juga
harus didiskusikan dengan keluarga dari kedua pihak.
Lamaran merupakan pemberian barang dari mempelai pria untuk
mempelai wanita yang nantinya akan digunakan oleh kedua calon mempelai untuk
kehidupan setelah masa pernikahan. Dalam tradisi etnis Tionghoa proses lamaran
dilakukan seminggu sebelum berlangsungnya pernikahan. Pada acara lamaran,
biasanya pihak keluarga calon mempelai pria harus mempersiapkan barang-
barang seserahan diletakkan diatas nampan yang akan diserahkan kepada pihak
keluarga calon mempelai wanita. Barang-barang tersebut adalah antara lain
sebagai berikut:
1. Kosmetik dan perlengkapan mandi.
2. Seperangkat perhiasan untuk mempelai wanita.
3. Pakaian/kain beserta aksesorinya untuk mempelai wanita. Seserahan ini
mempunyai arti bahwa keperluan sandang si wanita akan dipenuhi oleh
pria.
4. Uang susu (ang pao) dan uang pesta (masing-masing di amplop merah).
Pihak mempelai wanita biasanya akan mengambil uang susu (ang pao)
seluruhnya, sedangkan uang pesta hanya akan diambil jumlah belakangnya
saja, sisanya dikembalikan. Misalnya uang pesta yang diberikan adalah
sebesar Rp 14.000.000,00 yang diambil hanya Rp 4.000.000,00 saja.
Kalau keluarga wanita mengambil seluruh uang pesta, maka berarti pesta
pernikahan tersebut dibiayai oleh keluarga wanita
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
69
5. Nampan berisi 18 buah-buahan
6. Dua pasang lilin merah yang cukup besar diikat dengan pita merah sebagai
simbol perlindungan untuk menghalau pengaruh negatif. Biasanya lilin
yang dipilih adalah yang bermotif naga dan burung hong.
7. Satu nampan berisi kue mangkok berwarna merah sebanyak 18 potong
sebagai lambang kelimpahan dan keberuntungan.
8. Satu nampan berisi dua botol arak atau sampanye
9. Satu nampan berisi gabungan antara uang-uangan dari emas yang
melambangkan hoki atau keberuntungan, dua bundle pita double
happiness yang bermakna agar kedua calon mempelai dapat terus bahagia
sampai tua nanti. Kemudian ada kaca yang bermakna agar kedua calon
mempelai dapat melakukan refleksi pada diri mereka masing-masing
sehingga tidak saling menuntut, lalu ada juga kue satu.
Benda-benda seserahan tersebut diatas ditempatkan di atas nampan atau
boks yang dibawa oleh para pria atau gadis lajang dari pihak calon mempelai pria.
Dalam budaya kalangan peranakan etnis Tionghoa, seserahan tidak diambil
seluruhnya, melainkan diambil hanya separuhnya, sementara sisanya
dikembalikan pada pihak pria. Pihak calon mempelai wanita kemudian akan
memberikan balasan, antara lain berupa permen atau coklat manis dan kue-kue
untuk dibawa pulang pihak pengantin pria sebagai harapan bahwa hubungan
antara kedua pihak akan selalu manis.
Selain itu, ada juga tradisi bagi pihak calon pengantin wanita memberikan
balasan berupa perlengkapan keperluan pria (baju, baju dalam, sapu tangan –
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
70
tergantung kemampuan pihak calon mempelai wanita).Prosesi ini juga unik,
karena wakil keluarga wanita memberikan ang pao kepada setiap pembawa
seserahan, jumlahnya bervariasi, karena ini hanya sebagai simbolisasi
penghargaan atas peran serta mereka.
Dalam tradisi etnis Batak Angkola acara lamaran dilakukan setelah ada
kesediaan dari pengantin wanita untuk menerima pengantin pria sebagai
pendamping hidupnya ke masa depan. Dalam proses lamaran pihak mempelai pria
datang ke rumah mempelai wanita untuk memberikan tuhor(mahar) yang bisa
berupa uang, emas, seperangkat alat sholat dan lain-lain, sebagai bekal dan untuk
membeli bahan perlengkapan rumah tangga mereka ke depannya. Dan dalam
proses lamaran inilah biasanya akan dimusyawarahkan kapan hari yang baik
untuk melaksanakan upacara pernikahannya.
5.2.2.3 MenghiasKamar Pengantin
Setelah prosesi lamaran dilaksanakan, maka dilaksanakan prosesi menata
kamar pengantin di kediaman pengantin pria. Prosesi ini sebagai simbolisasi
bahwa sang pria telah siap menjadi pemimpin keluarga. Di era modern, menghias
kamar dapat dilakukan oleh para perias pengantin. Namun bagi masyarakat
Tionghoa di Padangsidimpuan, merias kamar menjadi tradisi yang ditungguoleh
para keluarga kedua calon mempelai. Orang yang menghias kamar pengantin
biasanya ialah kerabat yang sudah menikah dan kehidupan pernikahannya terkenal
langgeng misalnya pasangan yang telah menikah kurang lebih 25 tahun lamanya,
ini melambangkan agar dapat menjadi contoh bagi kedua calon mempelai.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
71
Menghias kamar pengantin dengan warna merah melambangkan
kebahagiaan dan semangat hidup, lampu lentera juga kerap diletakkan di dalam
kamar. Dengan maraknya lampu yang ada, diharapkan pernikahan ini akan
menerangi bagi pasangan dalam melangkah kehidupan bersama. Sebagai simbol
lancarnya keturunan mempelai, sebagaimana layaknya kamar yang sudah rapih
biasanya ditiduri oleh bayi atau balita.
Dari semua arti positif yang terkandung dalam setiap barang dan
perbuatan, ada juga larangan yang tidak boleh dilakukan oleh para mempelai di
dalam kamar ini yaitu salah seorang mempelai, baik itu mempelai pria maupun
wanita, tidak diperkenankan tidur sendiri tanpa pendamping. Secara tidak
langsung hal ini berarti menjauhkan mereka dari kehilangan salah satu pasangan,
entah karena bercerai atau meninggal.
5.2.2.4 Upacara Pesta Pernikahan
Pagi hari sesaat sebelum upacara dilakukan setelah selesai mandi,
mempelai pria diharuskan memakai pakaian putih. Sambil disisir 3 kali dari
kepala hingga ujung rambut oleh kerabat dekat yang masih lengkap keluarganya,
diucapkanlah juga tiga kalimat ini: sisiran pertama “hidup bersama sampai rambut
beruban.” sisiran kedua “diberkahi keturunan.” dan sisiran ketiga “rumah tangga
harmonis.
Setelah melakukan ritual pagi, tibalah saatnya untuk upacara. Upacara
dimulai dengan sembahyang untuk para leluhur demi meminta ijin
berlangsungnya acara, setelah itu keluarga beserta kedua calon mempelai
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
72
menikmati hidangan kue onde, ini melambangkan agar acara yang akan
dilangsungkan berjalan dengan lancar, layaknya bola yang bergelinding.
Dalam pesta pernikahan etnis Tionghoa di Padangsidimpuan cukup
mudah, yang mana pada keluarga pengantin laki-laki (kalau keduanya masih
lengkap) akan mendandani anaknya untuk terakhir kalinya. Mereka menyisir
rambut pengantin laki-laki serta memakaikan jas pengantinnya kemudian
menyematkan hiasan bunga pada salah satu krah jas. Sedangkan pengantin laki-
laki sujud memohon restu dan ucapan terima kasih kepada kedua orang tuanya
yang telah menjaganya sampai ke jenjang pernikahan. Demikian pula dengan
keluarga pengantin wanita, kedua orang tua sibuk menyiapkan segala sesuatu bagi
anaknya yang akan meninggalkan rumah untuk bersatu dengan suaminya. Perias
pengantin mempercantik pengantin wanita, namun saat pemakaian mahkota serta
cadar penutup kedua orang tua yang akan melakukannya. Kedua orang tua
pengantin wanita juga menyisir rambut anaknya.
Gambar 5.2.2.4 Pengantin Wanita Yang Sedang Dirias Orang Tuanya
Dokumentasi: Sofwan, 2018
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
73
Pada saat demikianlah seorang pengantin wanita akan meneteskan air mata
haru, menyadari tidak lama lagi dia akan meninggalkan rumah serta kedua orang
tuanya. Sebagaimana pengantin laki-laki pengantin wanita juga sujud memohon
doa restu dan ucapan terima kasih pada kedua orang tuanya.
Gambar 5.2.2.4 Pengantin Tionghoa Sedang Memohon Doa Restu dan Ucapan Terima
Kasih Kepada Kedua Orang Tuanya
Dokumentasi: Sofwan,2018
Etnis Tionghoa di Padangsidimpuan juga melakukan upacara adat Batak
Angkola dalam proses pernikahannya yaitu adat mangupa, yang mana pengertian
mangupa itu sendiri ialah mempersembahkan dengan cara tertentu sesuatu yang
disebut upa-upa kepada orang-orang tertentu melalui suatu upacara adat (ritual
adat) dengan tujuan agar orang yang dipersembahi upa-upaitu memperoleh
berbagai kemaslahatan. Menurut tradisi masyarakat Batak Angkola, upacara
mangupa dalam rangka peresmian perkawinan, diselenggarakan di rumah orang
tua pengantin laki-laki, yakni dalam ruang depan rumah yang bersangkutan.
Ruang depan itu biasanya disebutpantar tonga(lantai bawah).
Pada waktu di pergunakan sebagai tempat upacara, dinding ruang depan
rumah , pada posisi yang disebut juluan dimana kedua pengantin disandingkan,
ditutup dengan kain hiasan yang disebut tabir. Bagian atas dari ruangan itu pada
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
74
posisi yang sama di tutup pula dengan kain hiasan yang disebut langit-langit.
Sebagian lantai ruangan biasanya dilapisi dengan ambal (permadani) dan tikar
pandan.Untuk tempat duduk tokoh-tokoh harajaon, hatobangon, dan Raja
Panusunan Bulung disediakan tikar adat yang dinamakan lage lapisan atau amak
lapisan yang terbuat dari anyaman daun pandan. Tempat duduk kedua pengantin
juga dilapisi dengan tikar adat yang sama. Tikar adat itu ada yang berlapis tiga
dan ada pula yang berlapis lima. Tikar yang terbanyak lapisannya disediakan
untuk tempat duduk tokoh-tokoh yang paling tinggi kedudukannya menurut
ketentuan adat, seperti Raja Panusunan bulung.
Seluruh peserta dan pemimpin upacara serta kedua pengantin yang akan
dipersembahi upa-upa (pangupa) duduk bersama-sama di atas lantai rumah yang
dilapisi dengan tikar. Disebelah kiri kedua pengantin duduk para perempuan yang
tergolong sebagai anak boru, disebelah kanan keduanya duduk para perempuan
kerabat dekat dari tuan rumah (orang tua pengantin laki-laki) bersama-sama
dengan kerabat mereka yang tergolong sebagai kahanggi. Dalam posisi termuka
yang tergolong sebagai kahanggi. Di hadapan kedua pengantin pada arah pintu
rumah duduk ayah pengantin laki-laki yang berkedudukan sebagai hasuhutun
(tuan rumah). Di sebelah kanannya duduk para kerabatnya yang tergolong sebagai
kahanggi dan disebelah kirinya duduk para kerabatnya yang tergolong sebagai
anak borudan pisang raut. Berhadapan dengan ayah pengantin laki-laki duduk
para tokoh harajaondan hatobangon, dan mora dari tuan rumah serta Raja
Panusunan Bulung dalam satu barisan. Biasanya Raja Panusunan Bulung duduk di
tengah, di sebelah kanannya tokoh harajaon dan di sebelah kirinya para tokoh
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
75
hatobangon dan mora dari ayah pengantin laki-laki yang berkedudukan sebagai
tuan rumah (hasuhuton).
Kegiatan mangupa biasanya dilakukan setelah kedua pengantin selesai
mengikuti upacara patuaekkon tu tapian raya (mengarak kedua pengantin ke
tapian mandi di sungai) yang diselenggarakan pada saat matahari sedang naik.
Setelah kedua pengantin diarak kembali dari tepian mandi yang disebut tapian
raya bangunan di selenggarakanlah upacara mangupa dirumah orang tua
pengantin laki-laki.Upacara itu biasanya dilakukan pada waktu matahari masih
sedang naik atau belum tengah hari, kira-kira pukul 11.00 pagi. Pemilihan waktu
yang demikian itu didasarkan kepada keyakinan yang berisi harapan agar kedua
pengantin meningkat rezekinya seperti naiknya matahari pagi.
Adapun benda-benda yang digunakan dalam upacara adat mangupa dalam
tradisi masyarakat Batak Angkola terdiri dari:
1. Tiga butir telur ayam rebus yang telah dikupas (dinamakan pira manuk
na nihobolan) melambangkan harapan agar jiwa dan raga kedua
pengantin kebal (hobol) terhadap segala sesuatu yang tidak baik.
2. Nasi putih (dinamakan indahan na nidimpu atau indahan ribu-ribu)
melambangkan harapan agar kedua pengantin memperoleh hasil yang
banyak atau bertumpuk-tumpuk (dimpu) dan mendapat keturunan yang
banyak (hombang ratus-hombang ribu).
3. Sejemput garam (dinamakan sira sanjomput) melambangkan harapan
agar kedua pengantin mempunyai mata pencaharian yang baik dan
tidak pernah mengalami kekurangan makan. Juga melambangkan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
76
harapan agar setiap perkataan yang disampaikan oleh keduapengantin
diterima baik oleh kerabat mereka.
4. Beberapa jenis ikan sungai berukuran kecil dan udang sungai serta
sayur daun singkong (yang keseluruhannya dinamakan ihan sayur)
melambangkan harapan agar kedua pengantin sayur matua bulung
atau hidup bahagia sampai tua beranak cucu.
5. Daging ayam (dinamakan manuk hatir atau manuk pogon)
melambangkan harapan agar kelak dikemudian hari kedua pengantin
senantiasa didampingi oleh putra mereka dan didampingi oleh kaum
kerabat mereka.
6. Hidung kerbau melambangkan isarat agar kedua pengantin senantiasa
bertindak dengan teliti dalam menjalani kehidupan.
Dalam pelaksanaannya kedua orang tua akan menyelempangkan Ulos
Batak Angkola atau Parompa sadung kepada kedua pengantin yang tujuannya
supaya kedua pengantin hidupnya sejalan (seiya sekata) dalam menjalani
tantangan kehidupan dalam rumah tangganya dan supaya kedua pengantin cepat
mendapatkan anak atau keturunan.Dapat dilihat pada gambar berikut ketika orang
tua menyelempangkan Ulos Batak Angkola atau Parompa Sadung kepada kepada
keduapengantin.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
77
Gambar 5.2.2.4 Kedua Orang Tua Menyelempangkan Ulos Batak atau Parompa Sadung
Kepada Kedua Pengantin
Dokumentasi: Sofwan, 2018
Gambar 5.2.2.4 Pengantin Etnis Tionghoa Sedang Melangsungkan
Adat Mangupa Batak Angkola
Dokumentasi: Sofwan, 2018
Melalui rangkaian kegiatan upacara yang dilakukan secara berurutan
seperti yang dikemukakan di atas dapatlah dilihat bahwa kegiatan upacara
mangupa dilakukan setelah selesai pelaksanaan Patuaekkon Boru atau Marpangir
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
78
Tu Tapian Raya .Dalam rangkaian upacara peresmian perkawinan yang terdiri
dari beberapa bagian, dapatlah dikatakan bahwa kegiatan mangupa merupakan
ritual yang menjadi puncak dari keseluruhan upacara.Karena setelah selesai
upacara mangupa, kegiatan yang dilakukan tinggal berupa penyampaian hata
marhobar-hobar (kata-kata nasihat untuk kedua mempelai) dan ucapan terima
kasih sebagai tahapan terakhir dari keseluruhan upacara meresmikan perkawinan.
5.2.3 Penabalan Marga
Dalam marga, etnis Tionghoa juga melakukan akulturasi dengan marga-
marga yang ada pada masyarakat Batak Angkola di kota Padangsidimpuan.
Mereka menabalkan marga dengan melakukan upacara adat Batak Angkola yang
di ketuai oleh pengetua adat yang ada di daerah tersebut. Dalam menabalkan
marga ini lembu harus dikurbankan (sesuai kesanggupan) dengan jumlah tertentu
oleh etnis Tionghoa yang akan menabalkan marga.
Menurut penelitian dan berdasarkan informasi dari informan (Olly Japar
Siregar, Ali Surya Siregar, Ahmad Rifai Harahap,) bahwa sebagian dari etnis
Tionghoa yang ada di Padangsidimpuan sudah mendapatkan marga, dari marga
Batak Angkola diantaranya adalah pemberian atau penganugerahan oleh
masyarakat setempat berdasarkan permintaan dari etnis Tionghoa. Kemudian ada
juga dalam proses perkawinan dengan etnis Batak Angkola atau umumnya si
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
79
gadis dari etnis Tionghoa sebelum kawin akan melaksanakan adat pemberian
marga (ditabatalkan) yaitu dengan menyembelih satu kerbau atau lembu (sesuai
kesanggupan yang akan ditabalkan marga). Contohya Fung Fa Lie yang
dibatalkan marganya menjadi Ali Surya Siregar begitu juga dengan Lim Pao Oei
yang ditabalkan menjadi Olly japar Siregar.
Pada waktu Olly Japar mau menikah dia bersama calon isterinya Nyo Lan
Ing mereka sama-sama menabalkan marga, Lim Pao Oei ditabalkan menjadi Olly
Japar Siregar sedangkan isterinya Nyo Lan Ing di tabalkan menjadi Nur Siti
Harahap. Proses penabalan marga dilakukan dengan menyembelih seekor kerbau
atau lembu (bagi yang sanggup) serta mengundang tetua adat, raja, cerdik pandai
untuk pabotohon(sebagai saksi) bahwa telah dilakukan sebuah upacara penabalan
marga terhadap seseorang sebagai suatu ke habsahan atas marga baru nya
tersebut.
Dalam prosesnya pengetua adat akan menyematkan kain ulos kepada
orang yang akan ditabalkan marga untuk menyatakan kesediaan orang tersebut
untuk menjadi etnis Batak Angkolasetelah itu pengetua adat akan menaburkan
beras kuning di atas kepala yang akan ditabalkan marga untuk pengharapan bahwa
jiwa raga yang bersangkutan telah menjadi jiwa etnis Batak Angkola. Setelah
selesai acara menaburkan beras kuning etnis Tionghoa yang ditabalkan marga
akan di arak melakukan tarian tor-tor dengan raja-raja Batak Angkola di daerah
Padangsidimpuan. Setelah selesai acara manortor maka ritual upacara penabalan
marga dinyatakan sah dan akan dilanjutkan dengan acara makan-makan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
80
Gambar 5.2.3 Gambar Pengetua Adat Menaburkan Beras
Diatas Kepala Fung Fa Lie (Ali Surya Siregar)
Dokumentasi: Sofwan, 2018
Gambar 5.2.3 acara tarian manortor etnis Batak Angkola
Dokumentasi: Sofwan, 2018
Jadi dari keterangan di atas masyarakat Tionghoa sudah menyatu dengan
masyarakat Batak Angkola di Padangsidimpuan dan kerukunan antar sesama etnis
Padangsidimpuan terjalin dengan baik khususnya antar masyarakat Tionghoa
dengan masyarakat Batak Angkola. Setiap menjelang lebaran yaitu hari besar
agama Islam, etnis Tionghia selalu memberikan sumbangan pada masyarakat
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
81
Padangsidimpuan yang ekonominya lemah seperti fakir miskin dan anak-anak
yatim. Mereka selalu memberikan beras dengan jumlah yang cukup besar dan
memberikan makanan-makanan berupa supermi. Pada kejadian gempa yang
terjadi di Muara Sipongi Kabupaten Mandaling Natal (Madina) etnis Tionghoa
juga memberikan bantuan dana berupa uang, sandang dan pangan kepada korban
gempa. Mereka selalu cepat tangkap informasi tentang kejadian-kejadian musibah
yang menimpa masyarakat sekitarnya. Jiwa tolong menolong mereka sangat
besar, dari keterangan ini bisa kita lihat bahwa etnis Tionghoa Padangsidimpuan
sangat peduli pada masyarakat di sekitarnya khususnya masyarakat
Padangsidimpuan. Dari hal tersebut dapat dipastikan mengenai akulturasi budaya
masyarakat Tionghoa di Padangsidimpuan dapat dinyatakan berjalan dengan baik.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
82
BAB VI
PENUTUP
6.1 Simpulan
Setelah penulis mempelajari dan meneliti tentang akulturasi budaya pada
masyarakat Tionghoa di kota Padangsidimpuan (Padangsidimpuan Utara), maka
dapatlah diambil kesimpulan bahwa setelah sampai di Padangsidimpuan
masyarakat Tionghoa dapat melakukan proses akulturasi budaya dengan
masyarakat setempat, yaitu dengan cara bersikap ramah tamah dan berkomunikasi
dengan masyarakat setempat dengan menggunakan bahasa Batak Angkola dan
bahasa Indonesia. Masyarakat Tionghoa di kota Padangsidimpuan juga
berasimilasi dengan masyarakat setempat, yaitu dengan tidak menciptakan
pemukiman Tionghoa (pecinan) sehingga masyarakat Tionghoa di tempat ini
membaur satu sama lain dengan masyarakat Batak Angkola.
Kemudian di tempat ini masyarakat Tionghoa juga menggunakan marga-
marga yang ada di kota Padangsidimpuan yaitu dengan melaksanakan upacara
adat (ritual adat) yang dihadiri oleh raja-raja dan tetua adat Batak Angkola, serta
melengkapi persyaratan yang telah ditetapkan oleh tetua adat untuk mendapatkan
sebuah marga yang diinginkan. Selain melalui proses perkawinan sebuah marga
juga bisa dimilki oleh seseorang atas dasar keinginannya sendiri. Disini
masyarakat Tionghoa juga melakukan kawin campur (amalgamasi) dengan
masyarakat Padangsidimpuan yaitu dengan memakai adat kedua belah pihak
yakni adat Batak Angkola dan adat etnis Tionghoa, tentunya juga dengan
melaksanakan upacara perkawinan sesuai dengan adat kedua pengantin. Dengan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
83
demikian diharapkan dapat terciptanya kerukunan antar etnis Tionghoa dengan
Batak Angkola dan etnis lainnya yang ada di kota Padangsdimpuan.
Masyarakat Tionghoa juga melakukan hubungan silaturrahmi dengan
masyarakat Padangsidimpuan misalnya dengan jiran tetangga, menghadiri
undangan pesta, syukuran dan terutama melayat kepala keluarga yang kemalangan
dengan memberikan sumbangan seiklas hati. Mereka juga setiap menjelang
lebaran memberikan sumbangan kepada fakir miskin dan etnis Tionghoa juga
memberikan sumbangan kepada masyarakat yang tertimpa musibah seperti
bencana alam.
Dalam hal makanan masyarakat Tionghoa juga melakukan adaptasi di
Padangsidimpuan. Daun ubi tumbuk yang merupakan ciri khas makanan etnis
Batak Angkola menjadi makanan yang mereka sukai. Ikan Mas yang di panggang
dengan berbagai macam masakan seperti ikan Mas yang “holat” dan lain-lain.
Etnis Tionghoa juga melakukan adaptasi dengan marga yang ada pada masyarakat
Batak Angkola, yang dilakukan berdasarkan upacara adat Batak Angkola di
Padangsidimpuan. Kemudian dalam hal agama pun orang Tionghoa juga
beradaptasi yaitu dengan memasuki/memeluk agama yang ada di
Padangsidimpuan khususnya agama Islam dan Kristen,
Jadi dari hasil penelitian tentang akulturasi budaya Tionghoa yang ada di
padangsidimpuan semuanya mereka sudah membaur dan menyatu dengan
masyarakat Padangsidimpuan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
84
6.2 Saran
Melalui penelitian ini diharapkan kepada pemerintah setempat agar
kiranya mengupayakan pelestarian terhadap pengembangan unsur-unsur budaya
yang ada di Padangsidimpuan dengan mengangkat nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya sehingga dapat menunjukkan identitas dari unsur-unsur budaya yang
ada di Padangsidimpuan. Selain itu perlu kiranya kerja sama yang lebih efektif
berkesinambungan supaya unsur-unsur budaya yang ada di Padangsidimpuan
dapat dilestarikan.
Bagi etnis Batak Angkola sebagai etnis penetap yang telah lama tinggal di
Padangsidimpuan diharapkan mampu menerima dan berinteraksi lebih erat lagi
agar kerukunan kebudayaan terjalin dengan baik. Sebagai etnis pendatang,
diharapkan etnis Tionghoa mampu menerima kebudayaan yang ada di
Padangsidimpuan tanpa harus meninggalkan kebudayaan aslinya dan mampu
mengikuti peraturan yang telah ditetapkan di tempat tersebut. Terakhir
diharapakan pemerintah lebih mensosialisasikan tentang proses akulturasi
kebudayaan, agar kebudayaan-kebudayaan dari setiap etnis tidak luntur, dan tetap
mengenal kebudayaan-kebudayaan setiap etnis.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
85
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rodzik, Ali. 2008. Akulturasi Budaya Betawi Dengan Tionghoa. Jakarta:
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Aminuddin. 2001. Semantik “Pengantar Studi Tentang Makna”. Bandung: Sinar
Baru Algesindo.
Astrini. 2013. Akulturasi Budaya Cina dan Betawi dalam Busana Pengantin Wanita
Betawi. Jakarta Barat: Binus University.
Basyral, H. 2003. Pemerintah Kota Padangsidimpuan Menghadapi Tantangan
Zaman. Padangsidimpuan: Pemerintah Padangsidimpuan.
Berry, John W. 2011. Variations In The Assessmen Of Acculturation Attitudes:
Their Relationship With Psychological Well Being. Inggris: Cambridge
University Press.
Brownislaw. 1994. “Teori Fungsional Dan Struktutral,” dalam Teori AntopologiI
Koentjraningrat (ed.), 1987. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Devito, Joseph A. 1997. Komunikasi Antarmanusia. Jakarta: Professional Books.
Dias & Greiner. 1998. Migration and acculturation. Washington, DC: American
Psychological association.
Giraldy Akbar, Muhammad. 2016. Aktivitas Komunikasi dalam Upacara Adat
Pernikahan Tionghoa, Bandung: Universitas Komputer Indonesia.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
86
Hidayat, Z M. 1977. Masyarakat dan Kebudayaan Cina di Indonesia, Tarsito,
Bandung.
I Gusti.1997.Masalah Budaya dan Pariwisata Dalam Pembangunan. Bali:
Udayanan Press.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi.Jakarta: Rineka Cipta.
Kuntowijoyo. 2006. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Benteng.
Kwek. J.S. 2006. Mitologi China dan Kisah Alkitab. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Lasiyo. 1995. Ajaran Konfusianisme, Tinjauan Sejarah dan Filsafat. Lasiyo
(Editor), dalam Konfusianisme Di Indonesia: Pergulatan Menjadi Jati
Diri. Yogyakarta: Interfidei.
Liao, Sabrina. 2010. Chinese Astrology. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Liliweri, Alo. 2003. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta:
LkiS.
Lubis, Andriani Lusiana. 2002. Penerapan Komunikasi Lintas Budaya Diantara
Perbedaan Kebudayaan. Sumatera Utara: Fisip.
Mulyana. 2006. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan
Orang-Oang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Roskarya.
Orshan.1996. Acculturation, Perceived Sicial Support, And Self-Esteem In
Primigravida Puerto Rican Teenagers. West J Nurs Res.
Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
87
Rudiansyah. 2017. Unsur Akulturasi Budaya Pada Rumah Tjoong A Fiedi Kota
Medan. Jatinangor: Universitas Padjadjaran.
Silalahi, Lidawani. 2015. Proses Akulturasi Antar Etnis Jawa Dan Etnis Batak Di
Desa Malasori Kecamatan Dolok Masihul Kebupaten Serdang Bedagai
Provinsi Sumatra Utara, Pekan Baru: Universitas Riau.
Singarimbun,M. dan Efendi, S.,(1985), Metode Penelitian Survei. Jakarta:LP3S.
Sofyan, T. 2003. Problem Dan Potensi Masyarakat Tionghoa Dalam Mengelola
Konflik Di Sumatera Utara. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Soekanto Soerjono. 2003. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Suryadinata, Leo. 1998. Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia. Jakarta:
Gramedia.
Suryanto, Markus. 1996. Mengenal Adat Istiadat Tionghoa. Jakarta:
PELKRINDO.
Twang, P. 2004. Elit Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan
1940-1950, Niaga, Jakarta.
Yusri, Alfian.2014.Statistik Daerah Kecamatan Paangsidimpuan Utara. Jakarta:
Badan Pusat Statistik Kota Padangsidimpuan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
88
Lampiran
Daftar Informan Etnis Tionghoan di Padangsidimpuan
No Nama L/P T.Tgl Lahir Agama Pekerjaan
1 Olly Japar
Siregar (Lim
Pao Oei)
L Padangsidimpuan, 5
November 1937 Budha Tenaga
Sosial
(Dokter)
2 Juliana (Yinni
Shangye
Nianjian)
P Padangsidimpuan, 3
Mei 1963 Khatolik Pegawai
Pemerintahan
Kantor Lurah
Wek II
3 Ampere Jaya
Alam (Meng
Tji Lai)
L Sibolga, 1 Januari
1966 Khatolik Sidimpuan
Optical
4 Sin Pin P Binjai, 28 Agustus
1966 Khatolik Sidimpuan
Optical
5 Ali Surya
Siregar (Fung
Fa Lie)
L Sipirok, 13 Agustus
1957 Budha Yunion Jaya
Onderdil
6 Hasitahari
Harahap
L Padangsidimpuan,
20 April 1968 Budha Makelar
Pulsa
7 Hendra
Gunawan
Siregar (Min
Jih Pao)
L Padangsidimpuan,
27 Desember 1962 Islam Kepala
Cabang Agen
Indomie
Sidimpuan
8 Jei Sitorus
(Tjeng Tjang
Tjiang)
L Porsea, 31 Agustus
1964 Budha Medan Fhoto
Studio
9 Iwan Siregar
(Coan)
L Padangsidimpuan, 2
Agustus 1977 Islam Elektronik
10 Asun Siregar
(Liem Tjwan
Ling)
L Padangsidimpuan,
27 Desember 1987 Islam Elektronik
Daftar Wawancara
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
89
1. Bagaimana kedatangan Bapak/Ibu (etnis Tionghoa) ke Padangsidimpuan
apakah datang sendiri, di ajak orang, atau memang sudah ada keluarga
terlebih dahulu?
Jawaban: kalau masalah kedatangan saya kemari ya dari kecil saya
memang saya sudah disini kian, karena saya memang lahir disini.
2. Bagaimana sifat masyarakat Padangsidimpuan sewaktu pertama kali
Bapak/Ibu datang ke Padangsidimpuan (terbuka atau tertutup).
Jawaban: masyarakat yang ada di padangsidimpuan itu ramah dan baik ya,
dan itulah yang membuat saya betah tinggal disini.
3. Apakah di Padangsidimpuan ini Tionghoa totok masih ada? Atau mungkin
semuanya sudah peranakan?
Jawaban: saya kira masih ada, Cuma kayaknya sudah payah dicari karena
kebanyakan sudah campuran ataupun peranakan.
4. Bagaimana perasaan Bapak/Ibu selama ada di Padangsidimpuan? Apakah
masih merasa asing atau bagaimana?
Jawaban: oh tidak saya tidak merasa asing lagi disini karena ke ramah
tamahan masyarakat padangsidimpuan saya jadi merasa bagian dari
masyarakat padangsidimpuan dan saya juga sudah mempunyai marga
sama seperti masyarakat yang ada di padangsidimpuan.
5. Bagaimana cara Bapak/Ibu (etnis Tionghoa) beradaptasi terhadap etnis
Batak Angkola di Padangsidimpuan.
Jawaban: saya sering ke kedai kopi untuk bergaul dengan masyarakat yang
ada disini, saya juga sering berinteraksi bertegur sapa dengan masyarakat
yang ada disini.
6. Bahasa apakah yang Bapak/Ibu di rumah ( Cina, Indonesia, Batak
Angkola).
Jawaban: kalau sama anak saya saya lebih sering memakai bahasa
Indonesia dan bahasa Batak Angkola. Sedangkan sama istri saya sekali –
sekali pake bahasa hokien.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
90
7. Kalau sesama orang Tionghoa bahasa apa yang digunakan bapak/ibu?dan
juga bahasa apa yang digunakan etnis Tionghoa terhadap masyarakat
setempat.
Jawaban: saya melihatnya kadang-kadang tergantung umurnya kalau
misalkan orang nya sudah lanjut usia mereka lebih banyak menggunakan
bahasa hokien tetapi kalau orang nya masih muda paling tua umur 40 lah
mereka lebih banyak menggunakan bahasa batak angkola dan bahasa
Indonesia.
8. Kalau berkomunikasi dengan masyarakat batak angkola bapak /ibu
menggunakan bahasa apa?
Jawaban: ya sudah jelas pake bahasa Indonesia dan bahasa batak angkola
karena memang bahasa itu lah yang berlaku di padangsidimpuan ini.
9. Apakah etnis Tionghoa melakukan perkawinan campur dengan
masyarakat setempat? Kalau ya, adat apa yang dipakai dalam perkawinan
tersebut?
Jawaban: betul, istri saya boru siregar saya termasuk dong orang yang
mrelakukan pernikahan campur. Kalau mengenai adat yang dipakai
sekarang lebih bersifat gabungan ya, maksudnya gabungan antara adat
istiadat batak angkola dan adat istiadat etnis tionghoa, contoh nya dalam
adat istiadat batak angkola ada adat mangupa waktu pesta anak saya pun
ada adat mangupa nya.
10. Apakah Bapak/Ibu sebagai orang tua mengharapkan anak-anak etnis
Tionghoa menikah dengan masyarakat setempat atau harus sesama etnis
Tionghoa saja?
Jawaban: kalau saya pribadi ya tergantung anaknya. Saya tidak member
batasan selagi itu masih keinginan dia dan itu positif untuk dia.
11. Bagaimana proses nya supaya bapak/ibu bisa memiliki marga seperti
marga-marga yang ada di Padangsidimpuan?
Jawaban: tentunya dengan melakukan upacara ritual adat tentang
penabalan marga yang dimana lembu harus di kurban kan sesuai
kesanggupan yang akan ditabalkan marga. Dalam prosesnya tetua adat dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
91
raja-raja akan di undang untuk meresmikan upacara tersebut. Kemudian
dalam pelaksanaannya pengetua adat akan menyematkan kain ulos kepada
orang yang akan ditabalkan marga untuk menyatakan kesediaan orang
tersebut menjadi etnis batak angkola. Setelah itu pengetua adat akan
menaburkan beras kuning diatas kepala yang akan ditabalkan marga untuk
pengharapan bahwa jiwa raga yang bersangkutan telah menjadi jiwa raga
etnis batak angkola. Setelah itu yang bersangkutan akan di arak untuk
melakukan tarian tor-tor dengan raja-raja yang hadir pada hari itu. Setelah
selesai acara manortor maka ritual upacara penabalan marga dinyatakan
telah selesai dan biasanya akan dilanjutkan dengan acara makan-makan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
92
DOKUMENTASI
Wawancara dengan bapakHasitahari Harahap
Wawancara dengan bapak Olly Japar Siregar (Lim Pao Oei)
sebagai tetua adat etnis Tionghoa
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
93
Wawancara dengan ibu Juliana (Yinni Shangye Nianjian)
Wawancara dengan Ampera Jaya Alam(Meng Tji Lai)beserta isterinya Sin Pin
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
94
Kantor Camat Padangsidimpuan utara
Wawancara bersama bapak Ahmad Rivai Harahap
selaku Lurah Kelurahan Wek II
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
95
Lie Kak pemimpin Etnis Tionghoa di Kota Padangsidimpuan bersama isterinya
Soun Boru Siregar
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
96
苏北大学
中文系本科生毕业论文
论文题目:印尼帕当西登普安华裔习俗的研究
学生姓名 : 马训湾
学 号 : 140710004
导师姓名 : 叶铧蒂
学 院 : 人文学院
学 系 :中文系
苏北大学中文系
2018 年 11 月 23 日
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
i
印尼帕当西登普安华裔习俗的研究
Muhammad Sofwan Nasution
140710004
摘要
本科毕业论文题为“印尼帕当西登普安华裔习俗的研究”。撰写本论文
的研究目的是解释在帕当西登普安市华人社区中发现的文化因素,并描述帕
当西登普安华人社区文化适应的要素。本研究中使用的方法是采用定性方法
的描述性分析方法。本研究中的数据收集技术基于实地研究,即观察,访谈
和文档。这项研究使用了 John Widdup Berry 的文化理论,这是关于他在文
化方面的研究。作者从这项研究中得到的结果是:(1)华人社区文化适应
的要素,即马达 Angkola 文化的文化适应因素,作者分析了语言,婚姻和宗
族在华人社区和马达 Angkola 社区之间播种。(2)通过分析,作者对马达
Angkola 社区关于宗族语言,婚姻和姓氏的华人社区文化适应性的分析可以
说是进展顺利。
关键词: 文化适应;华裔社会; 帕当西登普安市
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ii
目录
摘要.................................................. i
目录................................................. ii
第一章 绪论.......................................... 1
1.1 选题背景........................................... 1
1.2 研究目的........................................... 2
1.3 研究现状........................................... 3
1.4 研究方法........................................... 4
第二章 概念.......................................... 5
2.1 文化............................................... 5
2.2 文化适应........................................... 7
第三章 在帕当西登普安华裔文化的适应.................. 9
3.1 帕当西登普安市华裔社区的文化因素................... 9
3.1.1 马达 Angkola 文化............................ 11
3.2 在帕当西登普安华裔文化适应的要素................... 12
3.2.1 语言......................................... 12
3.2.2 婚姻......................................... 13
3.2.3 氏族加冕礼................................... 20
第四章 结论与建议.................................... 22
4.1 结论............................................... 22
4.2 建议............................................... 23
参考文献.............................................. 24
致谢.................................................. 25
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1
第一章 绪论
1.1 选题背景
众所周知,印度尼西亚社会在许多方面都是异质的,例如种族群体的多
样性、宗教、风俗习惯等等。另一方面,当今世界的快速发展和高度的动态
性使得世界走向了“地球村”的地球村,这是现代技术发展的结果,几乎没
有任何限制。因为社区(在广义上)必须准备好面对文化多样性背景下的新情
况(Lubis, 2002: 1)。
印度尼西亚由不同的民族组成,有着非常丰富的文化遗产。各种各样的
传统和习俗使印度尼西亚成为印度尼西亚的骄傲。印度尼西亚因其文化而富
有。通过同化和文化适应的过程,外国文化元素被纳入印度尼西亚,使这种
文化财富更加丰富。
文化适应是指两种或两种以上的文化相互融合的过程,在这一过程中原
始文化的元素仍然可见,而且不会消失。根据 Koentjaraningrat(2009:202)时
出现的文化适应是一个社会过程与特定文化是一群人面对外国文化的元素,
外国文化的元素逐渐接受并加工成文化本身不会造成损失的文化人格本身。
因此,文化适应意味着在不破坏或消除土著文化元素的情况下接受、管理外
来文化并将其与土著文化相结合。
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2
从上面的解释,作者得出结论,当有人进入一个群体(在这种情况下,
中国人正在干涉婚姻),他是不可能避免接触群体成员(夫妇的家庭)。因为
婚姻不仅仅是两个个人之间的结合,而是两个家庭之间的结合。与伴侣家人
的接触会影响他的思维和行为。
在帕当西登普安市,华人社区采用友好的方式进行调整,并使用马达
Angkola 语言与当地社区进行沟通。华人社区也与当地社区同化,没有创建
中国人定居点(唐人街),因此这个地方的华人社区与当地社区相互交融。
然后在这个地方,华人社区还通过执行马达 Angkola 传统长老参加的传统
仪式(传统仪式)在帕当西登普安市使用部族,并完成习惯领导人为获得所
需部族而制定的要求。除了经历婚姻过程之外,一个氏族也可以根据自己的
欲望被某人拥有。在这里,华人社区也介入(合并)与帕当西登普安社区,
即利用双方的习俗,即马达 Angkola 的华人习俗。因此,预计将在帕当西登
普安市创造华人与达 Angkola 和其他民族之间的和谐。
1.2 研究目的
本研究中问题的表述如下:
1.在帕当西登普安市的华人社区中发现了哪些文化元素?
2.帕当西登普安市华人社区文化适应的要素是什么?
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3
1.3 研究现状
Astrini (2013), 在他的期刊题为《Akulturasi Budaya Cina dan Betawi
dalam Busana Pengantin Wanita Betawi》在这本期刊中,作者解释了 Betawi
新娘婚纱中的中国文化和 Betawi 文化的文化适应因素。从他的研究成果来
看,它解释了中国文化对 Betawi 文化的影响,尤其是 Betawi 新娘的传统服
饰。Betawi 人自己清楚地理解他们在 Betawi 女性的新娘礼服中使用的符号
符号的含义。在新娘的衣服中也使用动物符号,这是中国帝国的典型象征,
即龙和凤凰。Betawi 人对自己的婚礼服装有自己的看法和自豪感,尤其是
Betawi 新娘的服装。他们认为,穿着带有凤凰和龙符号的婚纱的人会增加佩
戴它的人的权威。
Rodzik (2008), 在他的论文题为《Akulturasi Budaya Betawi dengan
Tionghoa (Studi Komunikasi Antar Budaya pada Kesenian Gambang Kromong di
Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan Srengseng Sawah)》 在这篇论文中,
作者通过文化适应的几个传播变量来描述贝多瓦族与中国人发生的文化适应
过程。在社会交往过程的实施过程中,中国人被证明能够参与 Betawi 社会
文化生活,并开始更多地了解 Betawi 社会文化系统中的各种元素。两个民
族混合的结果反映在 Gambang Kromong 艺术的存在。
Rudiansyah (2017), 在他的论文题目中《Unsur Akulturasi Budaya pada
Rumah Tjong A Fie di Kota Medan》 在他的论文题目中, 在这篇论文中,作者
解释了棉兰城市中国家居建筑的概况,并解释了 Tjong A Fie 家族所包含的
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4
文化元素。根据分析结果,在 Tjong A Fie 的房屋建筑中有马来和欧洲文化
建筑的元素。马来建筑的元素以装饰品的形式主宰建筑,而欧洲建筑的元素
在结构上主导了 Tjong A Fie 家的结构。
Silalahi (2015),在他的期刊题为《Proses Akulturasi Antar Etnis Jawa dan
Etnis Batak di Desa Malosari Kecamatan Dolok Masihul Kabupaten Serdang
Bedagai Provinsi Sumatera Utara》在这篇期刊中,作者解释了马拉索里村发
生的爪哇种族和巴塔克族之间的文化适应过程非常顺利。无论是在社会经济
和文化领域。在爪哇和巴塔克族群之间发生的这种文化适应过程也增加了两
个民族的知识,因为这两个民族可以从每个民族文化中学习。除此之外,马
拉索里村的文化适应进程顺利,没有冲突,马拉索里村社区最大限度地减少
了可能导致每个民族之间发生冲突的事情。
1.4 研究方法
在这项研究中,作者使用定性方法,使用描述性分析方法。首先描述
已获得的数据然后进行分析。仅暴露情境或事件。本研究不寻求或解释关系,
不检验假设或做出预测。描述性方法是注重观察和科学氛围(自然主义背
景)。在科学氛围中,研究人员希望直接参与其中(Rakhmat, 2000:24)。
在这项研究中,研究人员使用了数据收集技术,即观察,访谈和记录。
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5
第二章 概念
2.1 文化
文化是非常广泛和最具人文意味的概念,简单来说文化就是地区人类
的生活要素形态的统称:即衣、冠、文、物、食、住、行等。给文化下一
个准确或精确的定义,的确是一件非常困难的事情。对文化这个概念的解
读,人类也一直众说不一。但东西方的辞书或百科中却有一个较为共同的
解释和理解:文化是相对于政治、经济而言的人类全部精神活动及其活动
产品。
汉科特・汉默里 Hammerly (1982)把文化分为信息文化、行为文化和
成就文化。信息文化指一般受教育本族语者所掌握的关于社会、地理、历
史、等知识;行为文化指人的生活方式、实际行为、态度、价值等,它是
成功交际最重要的因素;成就文化是指艺术和文学成就,它是传统的文化
概念。斯特恩 H. Stern(1992:208)根据文化的结构和范畴把文化分为广
义和狭义两种概念。广义的文化即大写的文化(Culture with a big C),狭
义的文化即小写的文化(culture with a small c)。
文化的哲学定义
文化的定义:文化是相对于经济、政治而言的人类全部精神活动及其
产品。文化是智慧群族的一切群族社会现象与群族内在精神的既有,传承,
创造,发展的总和。它涵括智慧群族从过去到未来的历史,是群族基于自
然的基础上所有活动内容。是群族所有物质表象与精神内在的整体。具体
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6
人类文化内容指群族的历史、地理、风土人情、传统习俗,工具,附属物、
生活方式、宗教信仰,文学艺术、规范,律法,制度、思维方式、价值观
念、审美情趣,精神图腾等等
具体人类文化分为物质文化、哲学思想(制度文化和心理文化)这里
把非人类的智慧群族的文化称之为亚文化比较恰当一些。虽然它们具有人
类文化的共同点,但是一个本质区别是人类的自主价值与自主意志是完全
不同与其他智慧群族的。
文化既包括世界观、人生观、价值观等具有意识形态性质的部分,又
包括自然科学和技术、语言和文字等非意识形态的部分。文化是人类社会
特有的现象。文化是由人所创造、为人所特有的。文化是智慧群族的一切
群族社会现象与群族内在精神的既有,传承,创造,发展的总和。文化包
含着八大艺术和第九艺术其中中国文化烙印着民族与时代的特点,既有传
承又有发展,中国文化的主要内容是新时代的儒学思想。
人类传统的观念认为,文化是一种社会现象,它是由人类长期创造形
成的产物,同时又是一种历史现象,是人类社会与历史的积淀物。确切地
说,文化是凝结在物质之中又游离于物质之外的,能够被传承的国家或民
族的历史、地理、风土人情、传统习俗、生活方式、文学艺术、行为规范、
思维方式、价值观念等,它是人类相互之间进行交流的普遍认可的一种能
够传承的意识形态,是对客观世界感性上的知识与经验的升华。
海洋文化学者李二和早在《舟船的起源》和多篇文章中就曾指出:相
信随着历史的发展和时间推移,随着人类更理性地认识事物和探索世界,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
7
随着人类在科学文化上的逐步觉醒,人类会把文化辨析的更加清楚,进而
从更宽泛的生命文化谱系中更加的获益。李二和第一次将“文化”这个概
念引入到更开放、更宽容的生命思维高度,从而更真实的思考和解读文化。
作为一种对文化与生命的独特思考现象,已经引起社会各界的普遍关注。
在日常生活中,人们经常谈论文化,在日常生活中,人们无法应对文
化成就。 人们每天都看到它,使用甚至破坏文化结果。 文化问题实际上
是由文化人类学专门和更彻底地研究。 人类学家说文化是一个复杂的整体,
包括知识,道德艺术,法律,风俗以及社会成员的所有能力或习惯。为了
更容易解释文化,它通过描述特定文化中一群人的知识,艺术,道德,法
律,习惯,优势或习惯的细节(Alo,2003:10)。
文化是一种发展的生活方式,由社会共享,代代相传。文化由许多复杂
的元素组成,包括宗教,政 治,习俗,语言,工具,服装,建筑和艺术品
系统。语言和文化是人类不可分割的一部分,因此许多人倾向于认为它们是
遗传上遗传的。当有人试图与不同文化的人交流并调整他们的差异时,要证
明文化是学到的。文化是一种全面,复杂,抽象和广泛的生活方式。文化的
许多方面也决定了交际行为。社会文化因素得到传播,包括许多人类社会活
动(Mulyana, 2006: 25)。
2.2文化适应
文化适应是反映文化特性和文化功能的基本概念。主要指文化对于环
境的适应,有时也指文化的各个部分的相互适应。文化是人类社会特有的
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
8
现象,是人类为了满足自身的需求而创造出来的物质和非物质产品的总和。
美国文化人类学家 L.A.怀特认为,文化是特定的动物有机体用来调适自身
与外界环境的明确而具体的机制。文化对于环境的适应主要表现为工具和
技术适应、组织适应、思想观念适应这 3 个方面。
Redfiled(1936)定义:当不同文化群体的人们进行持续不断的直接接
触时,一方或双方的原文化类型所产生的变化称为文化适应。Berry (1990)
提出一个 文化适应模型,将文化适应分为四个类型:同化(assimilation),
分离(separation),融合(integration),边缘化(marginalization);并且
在研究文化适应过程中个体所面临的问题时提出了一个双维度文化适应模
型,将少数族群在文化适应过程中的问题归纳为 1)是否保持和发展源文
化的特征特性;2)是否倾向于同主导社会进行跨族群的交流来评估和建立
一个积极的关系。
文化适应是两种或两种以上文化的结合,这是由于一群具有特定文化的
人与具有不同文化的其他人群之间发生的相互作用。 从那里开始,原始文
化模式发生了变化,没有造成这些文化元素的丧失(Suryanto, 1996:117)。
文化适应是指通过接触或直接暴露于其他文化(例如,通过大众媒体)
来改变一个人的文化的过程。例如,如果一群移民然后居住在印度尼西亚
(宿主文化),他们自己的文化将受到该宿主文化的影响。渐渐地,来自寄
宿文化的价值观,行为方式和信仰越来越成为移民群体文化的一部分。与此
同时,宿主文化当然也在发生变化。但是,总的来说,移民文化的变化更大
(Joseph A Devito, 1997:479)。
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
9
第三章 在帕当西登普安华裔文化的适应
3.1帕当西登普安市华裔社区的文化因素
在接受 Olly Japar Siregar 先生(Lim Pao Oei)作为帕当西登普安市中国
传统长老之一的采访中,他解释说,在中国人到达帕当西登普安后,他们受
到了帕当西登普安社区的欢迎,因为帕当西登普安人有一个开放的性格对各
种族群体。来到帕当西登普安。这可以从居住在帕当西登普安的大量种族中
看出,例如:马达 Mandailing 族,马达 Toba 族群,Minangkabau 族群,爪
哇族,Nias 族,Aceh 族和马达 Angkola 族,他们是土着人民,在帕当西登
普安占多数人口。在华人族群抵达帕当西登普安之后,例如他是帕当西登普
安华人社区团体的领导人 Lie Kak,他展示了他所拥有的各种技能,如交易
和建立良好的关系,为帕当西登普安人民提供社交和闪亮的款待。Lie Kak
还通过中国男人和当地女人(帕当西登普安原住民)之间的婚姻建立了关系。
关于中国民族的习俗和传统,他们帕当西登普安的生活圈中使用它。例
如,在死亡,分娩,婚姻,宗族厚度和许多其他仪式的仪式上。但目前的情
况更多的是中国习俗与习惯传统的结合,适用于当地人民,特别是在行政,
服装和执行程序方面。
在佛教徒死亡的仪式上,华人在棺材前提供完整的食物设施,并且每天
只要尸体放在家里(尚未埋葬)就提供洗漱用品。此外,进行纸币燃烧是希
望有关精神在那里没有遇到困难。然后在穿衣中,悲伤的家庭通常穿着白色
的哀悼衣服(通常是布)并将其颠倒(穿针外)以表明家人正在悲伤。根据
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
10
与死者家属的关系,各种形式的悲伤,这种习惯是一种普通的景象,并且已
被华人所理解。只要遗体保存在家中,禁忌就很重要,也是在没有抗议的情
况下进行的。他们知道传统是世袭必须为中国人做的。禁止的是禁止在身体
前面提供面条和沙拉水果。目标是悲伤不会延长,家庭的未来在未来不会遇
到荆棘或荆棘的障碍。
在帕当西登普安父母的华人,在为孩子寻找生活伴侣时,父母不会强加
他们的意志。他们让孩子有自由决定他们潜在的伴侣。作为父母,他们只能
走向更好。在帕当西登普安有一个华人派对,邀请家人,亲戚和最亲近的人
一起庆祝。但也有一些人只是简单地庆祝。在婚姻方面,中国人在帕当西登
普安的主要优先事项是他们的孩子穿越家庭方舟的快乐。
在继续结婚的申请中,新郎的家人给了红包(用红纸包着的钱)两部分。
一种被称为厨房用钱,它代替了女性所产生的费用,另一种被称为新娘的母
亲作为牛奶钱。
`然后在一个充满风俗和传统的中国民族婚礼。在新郎家里,父母双方
(如果两人都完整的话)将最后一次帮助他们的孩子。他们梳理新郎的头发,
穿上新娘的衣服,然后在其中一件西装上钉上花朵装饰。当新郎为了感谢他
的父母照顾他的婚姻水平而牺牲了他的祝福。与新娘的家人一样,父母双方
都忙着为孩子准备一切,这些孩子将离开家与丈夫团聚。新娘化妆美化新娘,
但戴上皇冠和面纱时,父母会这样做。新娘的父母也梳理着孩子的头发。
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
11
3.1.1 马达 Angkola 文化
从上面对话的节选中可以看出,孙中山对中国的褒扬、赞赏、自豪,努
力维护祖国的美名。孙中山在声明中说,中国拥有大量的自然资源,中国银
行提供了新的资本,中国有大量的铁路。孙中山的这句话是对中国的爱的特
征之一,是对自己民族的赞美或骄傲,也是对自然美景的欣赏和维护民族的
美名。据信,中国的财富能够带来现金。这使得孙中山越来越想恢复国家的
尊严,中国曾因清朝的行为而丧失。
马达 Angkola 人的习俗通常被称为 dalihan natolu,因为基于习惯规则
的各种活动的实施,例如各种仪式的实施,必须得到马达 Angkola 社会系统
的三个功能元素的支持,称为 dalihan natolu(三个支持)。社会系统的三个
功能要素是 dalihan natolu 的转移,每个转移称为 mora,kahanggi 和 anak
boru。莫拉是一个在婚姻中具有处女地位的家庭成员。kahanggi 是一个后代
或一个氏族的成员。Anak boru 童是在婚姻中接受童贞的亲属的成员。在具
有 mora 身份且具有 anak boru 身份的亲属之间存在亲缘关系(婚姻),以及
其他具有 kahanggi 身份的亲属存在阴谋或血缘关系。
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
12
3.2 在帕当西登普安华裔文化适应的要素
正如前面在概念框架中所解释的,跨文化自我调整的指标针对的是帕当
西登普安华裔民族的文化适应问题,研究人员将讨论在马达 Angkola 社区的
华人社区中的文化适应问题帕当西登普安。在这里,将更深入地探讨文化适
应的要素,从几个文化元素,即语言,婚姻和宗族播种。
因此,研究人员将语言置于第一顺序,因为它涉及他们与帕当西登普安
人民交流的方式。 在使用马达 angkola 语言和印度尼西亚语言来沟通华人
社区,以适应帕当西登普安市的马达 Angkola 民族。
3.2.1 语言
在帕当西登普安市的中国人中有三种语言,即马达 Angkola 语言和印度
尼西亚语作为马达 Angkola 社区交流的语言,然后是中国语言作为帕当西登
普安市的华人交流语言。印度尼西亚语是语,的官方语言由帕当西登普安市
的华人社区主导,无论是中国人还是土生华人。当地语言,即马达 Angkola
语言,在帕当西登普安很好地由中国人控制,因为除了印度尼西亚语之外,
当地语言也是帕当西登普安市华人社区日常互动的语言。
马达 Angkola 语言和印尼语通常在与当地社区和其他家庭成员交流时,
在日常互动中使用。 中国老年人在家中和中国的关系中使用更多的中国人,
但他们理解马达 Angkola 语言,而他们在与当地人交流时使用的是印尼语
和马达 Angkola 语言。
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
13
根据的研究,可以得出结论,在印度尼西亚语言和马达 angkola 语言成
为了帕当西登普安中华人马达 Angkola 之间进行交流的连接语言。因此,可
以宣称,在帕当西登普安的中国文化适应过程中使用语言的因素进展顺利。
3.2.2 婚姻
混合婚姻通常被称为融合,这意味着族群之间的婚姻,但合并实际上可
能比仅仅同化更具广泛意义。在印度尼西亚,种族群体之间的混合婚姻被认
为是加速适应和同化过程的有益因素之一(Soekanto, 1982:220)。 有关
种族间的婚姻是中国族裔的婚姻,其中包括帕当西登普安的马达 Angkola 族,
这是自中国人来到帕当西登普安以来发生的。
婚礼之前的准备事项
1. 聘礼:婚前男方要将娶亲的聘礼送到女方家,每个地方送的种类都不
相同:广东风俗送活鸡、椰子、喜饼和礼金,鸡寓意生机勃勃,椰子
寓意有长有幼,尽享天伦之福,喜饼是用来让女方送亲戚的,礼金则
象征着娶方多金,暗示着新娘嫁过去可以享福,让女方家放心。
2. 回礼:收到聘礼女方要给回礼,有的地方女方家会给订婚戒指,有的
地方会给槟榔,有一郎到尾的意思。
3. 安床:在结婚的前一天晚上,要由女方家出一个家庭和睦、父母双全、
又育有儿子的男丁安装婚房里的婚床,再将寓意早生贵子的四品:核
桃、莲子、红枣、花生铺在新床上面。
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
14
4. 嫁妆:女方家会给新娘准备带去婆家的嫁妆,全部放在红色的箱子中
交给新娘。
5. 上头:婚礼举行前一晚,要选择一个吉时拜神求平安幸福,而且男方
也要在同一个时间在自家那边拜。
6. 梳头:新娘梳妆打扮的时候,会请一位有福气的长辈来给新娘梳头,
寓意跟安床的道理相似。
7. 吃汤圆:汤圆,寓意团圆美满,祝福新人可以圆满成婚。
婚礼当天的仪式
1. 迎亲:,男方要带着迎亲队伍来女方家接亲。接新娘绝对算得上是整
个婚礼的一大高潮。首先要“入门”。新郎要想顺利接得新娘归,可
不是进门带出那么容易,要通过姊妹群的考验,不光是智力要好,体
力要好,若有要求还得唱情歌,说情话,但这些都不是最重要的,给
红包才有可能打动新娘的姊妹们,这就是所谓的开门红包。婚礼当天
的上午而且新郎还要用花球去迎娶新娘(新娘不可自制花球)。
2. 找红鞋:新郎进门后也不能马上带走新娘,还要在新娘的房间里找到
准备好给新娘的红色婚鞋,帮新娘穿上后才可以带走新娘。
3. 敬茶:两位新人要向双亲跪拜,奉茶直到长辈喝下才能站起来(以前
的习俗是,新人在女方家时要站着奉茶,因为还未到男家拜见翁姑。
不过现在讲究没有这么多了,两边都跪拜以示同样的尊重。
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
15
4. 撑红伞、撒米:新娘新郎出门的时候,要由伴娘撑红伞陪同,而且要
同时往路旁撒米,意思是不要让鸡啄到新娘。
5. 绕吉祥路:新人上迎亲车后不能直达目的地,必须绕当地所有吉祥路
名的路开一圈。
6. 过门:即指新娘被接到男方家后,拜见翁姑及男家其他长辈的习俗。
7. 婚礼:跟西式婚礼蕾丝,在酒店举行仪式,请司仪主持婚礼仪式。
8. 敬客:婚礼仪式结束后,酒宴正式开始,待到上鱼的时候,新娘要换
上传统的龙凤褂跟新郎一起向每桌客人敬茶,客人都要说些祝福的话。
9. 入洞房:新郎新娘会带要好的朋友一起去新房参观,或者做些闹洞房
的娱乐。小编提醒大家在闹洞房的时候不要太过哦,喜事搞得不愉快
就不好了。
10. 三朝回门:指在结婚后的第三天,新娘由丈夫陪同回娘家,要带上
烧全猪和礼物等回去见女方父母,并且要祭祖。
总的来说,可以看出,在帕当西登普安华人社区的盛行婚姻马达
Angkola 举行了混合婚姻。 那些仍然是土着和当地土着土生华人的人,反
之亦然。 根据 Olly Japar Siregar 先生的说法,现在的实施更多地是中国民
族习俗和马达 Angkola 民族习俗的结合,特别是在组织方面。在这项研究中
将解释中国民族婚礼仪式与帕当西登普安的马达 Angkola 的阶段。
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
16
3.2.2.1 好日子的确定
确定一天的过程在新娘家完成。如果媒人得到积极回应,那么双方就可
以确定申请和结婚事件的好日期和月份。这个日期是在看到新娘和新郎的出
生日期以及当天是否被新娘的 Shio 困扰后确定的。在没有问题之后,它将
继续进行下一次游行,即 Sangjit 游行。
3.2.2.2 Sangjit 游行
在中国的民族传统中,Sangjit 最初是一个确定婚姻的好日子,日期和时
间的事件。 但随着时间的推移,Sangjit 计划更多地被新娘和新郎投降。 这
对游行是每对中国夫妇在婚礼上的重要游行。 做了 sangjit 的合适时间可以
由了解约会问题的家长咨询。
Sangjit 通常在结婚前 1 个月至 1 周举行,并在白天 10:00 至 13:00 WIB
举行,然后是午餐。 中国习俗在每个神圣时刻都坚持正确日历的重要性。
应选择小时,天和月。 通常一切都很年轻,即:太阳垂直前几小时; 这一
天取决于中国月份的计算,而好月份是满月之前或之前的月份。 还必须与
双方的家属讨论这个问题。
3.2.2.3 婚礼仪式
在洗澡结束后的仪式结束前的早晨,新郎必须穿白色衣服。虽然由一位
仍然满是家人的近亲从头到头梳理了 3 次,但也说了这三句话:先梳“一起
生活直到白发”。第二梳子“有后代祝福”。第三梳“和谐家庭。在完成早
晨的仪式后,是时候举行仪式了。仪式开始时为祖先祈祷,以便请求允许举
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
17
办活动,之后家人和两个新娘和新郎享用蛋糕盘,这标志着活动将顺利进行,
就像滚球一样。
在帕当西登普安的中国民族婚礼派对中,这很容易,在新郎的家庭(如
果两者仍然完整)将最后一次打扮他们的孩子。他们梳理新郎的头发,穿上
新娘的衣服,然后在其中一件西装上钉上花朵装饰。新郎跪拜他的祝福,并
感谢他的父母照顾他的婚姻水平。与新娘的家人一样,父母双方都忙着为孩
子准备一切,这些孩子将离开家与丈夫团聚。新娘化妆美化新娘,但使用皇
冠和面纱时,父母双方都会这样做。新娘的父母也梳理着孩子的头发。
图 3.1 : 在父母面前的新娘
在这样的时候,新娘会流下情感的泪水,意识到她很快就会离开家和她
的父母。 就像新娘的新郎也为了他的父母而牺牲了他的祝福。
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
18
图 3.2 :中国新娘呼吁对父母的祷告和感恩
在帕当西登普安的华人也在婚姻过程中表演了马达 Angkola 的传统仪
式,即 mangupa 的习俗,其中 mangupa 本身的意义是以某种方式通过传统
的仪式向某些人提供一种叫做 upa-upa 的东西(习惯仪式)的目的是提供仪
式的人获得各种好处。根据马达 Angkola 人的传统,婚礼开始的 mangupa 仪
式在新郎父母的房子里举行,在有关房屋的前室。前庭通常被称为 pantar
tonga(楼下)。
Mangupa 活动通常是在两位新娘完成之后,在太阳升起时举行的
patuaekkon tu tapian raya 仪式(游行新娘沐浴在河中)之后进行的。两名新
娘从名为 Tapian Raya Bangunan 的浴室边缘游回后,Mangupa 仪式在新郎父
母的家中举行。仪式通常在太阳升起或不在正午时,早上 11 点左右完成。
这种时机基于一种信念,即包含希望新娘和新郎增加收入,例如早晨的太阳
升起。
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
19
在实践中,父母双方都会将 Ulos 马达 Angkola 或 Parompa sadung 带到
这两位新娘身上,这两位新娘的目的是让两个新娘都能在家中生活,并让新
娘和新郎快速生孩子后代。当父母将 Ulos 马达 Angkola (Parompa Sadung)带
到两个新娘身上时,可以看到下图。
图 3.3 : 两个老人在两个新娘中生存马达 Ulos 或 ParompaSadung
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
20
3.2.3 氏族加冕礼
在氏族中,中国人也适应马达 Angkola 社区的氏族。 他们通过执行由
该地区土着长老主持的马达 Angkola 传统巴塔克仪式来放置部落(购买一
个氏族)。在铺设这个氏族时,必须由播种该氏族的中国人以一定的数量牺
牲牛(根据能力)。
根据该研究并根据线人(Olly Japar Siregar,Ali Surya Siregar,Ahmad
Rifai Harahap)提供的信息,帕当西登普安的一些华人获得了部族,其中马
达 Angkola 部族正在给予或授予他们。当地社区基于中国人的民族需求。
然后还有与马达 Angkola 族或一般来自华裔的女孩在交配之前的婚姻过程将
执行通过屠宰水牛或牛(根据播种的能力)给予氏族的习俗)。例如,被他
的家族取消的 Fung Fa Lie 成为了 Ali Surya Siregar 以及 Lim Pao Oei(Olly
Japar Siregar)。
在这个过程中,传统的领导人会将溃疡布附在将要由该家族播种的人身
上,以宣布该人愿意成为一名安哥拉族人的巴塔克人,之后传统的长老们将
黄色的米饭撒在该家族为其播种的头上。希望身体的灵魂成为马达 Angkola
的民族灵魂。节目结束后,洒完中国民族黄米,该家族被告知是阿拉克人在
帕当西登普安地区与马达 Angkola 国王共舞。在完成了畜牧业计划后,播
种该族的仪式被宣布为有效,之后将进行一顿饭。
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
21
图 3.4 : 播种水稻的习俗长者的图像在冯法烈头上方(Ali Surya Siregar)
因此,从以上信息来看,华人社区已经与帕当西登普安的马达 Angkola
社区联合起来,帕当西登普安已经建立起来,特别是华人社区和马达
Angkola 社区之间的和谐。 。每次在开斋节开始之前,中国人总是为像穷
人和孤儿一样经济弱势的帕当西登普安人做出贡献。他们总是提供大量的大
米,并提供超级食物。在 Muara Sipongi 发生的地震中,中国的 Mandaling
Natal 区也向地震灾民提供金钱,衣物和食物等方面的经济援助。他们总能
快速掌握有关周围社区灾难事件的信息。灵魂,请他们帮助他们是非常大的,
从这个信息我们可以看出,中国民族帕当西登普安真正关心周边社区,特别
是社区帕当西登普安。由此可以确定,帕当西登普安的中国文化的文化适应
能够被证明是有效的。
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
22
第四章结论与建议
4.1 结论
笔者在帕当西登普安市对华人社区的文化适应性进行研究和研究后,可
以得出结论,到达帕当西登普安后,华人社区可以与当地社区进行文化适应
过程,即 友好,并使用马达 Angkola 语言和印度尼西亚语与当地社区沟通。
帕当西登普安市的华人社区也与当地社区同化,即不创建中国定居点,以便
在这个地方的华人社区与马达 Angkola 社区相互交融。
然后在这个地方,华人社区也在帕当西登普安市使用氏族,即进行传统
仪式(传统仪式),由土着马达 Angkola 的国王和长老参加,以及完成习惯
长老的要求 获得所需的氏族。除了经历婚姻过程之外,一个氏族也可以根
据自己的欲望被某人拥有。在这里,华人社区也介入(合并)与帕当西登普
安社区,即利用双方的习俗,即马达 Angkola 传统和中国民族风俗,当然也
可以按照两个新娘的习俗进行婚礼。因此,预计将在帕当西登普安市创造华
人与马达 Angkola 和其他民族之间的和谐。
华人社区也与帕当西登普安 的人民建立了友好关系,例如与周边邻居,
参加聚会邀请,感恩节,特别是悼念悲惨的家长,慷慨捐款。 他们也分别
在 Lebaran 为穷人做出贡献之前,华人也为受自然灾害等灾害影响的人们做
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
23
出贡献。因此,从他们所有人都存在的中国的文化适应研究结果来看,他们
与帕当西登普安 朋社区融为一体。
4.2 建议
通过这项研究,预计当地政府将通过提高其中所包含的价值,努力保持
帕当西登普安文化元素的发展,使其能够展现出帕当西登普安文化元素的特
征。 此外,有必要进行更有效的可持续合作,以保持帕当西登普安的文化
元素。对于马达 Angkola 人来说,他们是长期居住在帕当西登普安的定居
者,他们希望能够更接近地接触和互动,从而确保文化和谐。作为一个移民
族群,预计中国人将能够接受帕当西登普安的文化,而不必离开原有的文化,
并能够遵守该地区的规定。最后,希望政府更多地关注文化适应过程,使每
个民族的文化不衰落,并保持对各民族文化的熟悉。
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
24
参考文献
[1] Guāngmíng wǎng(光明网)。质疑《现代汉语词典》对文化、文明的定
义。2015。
[2] Liaokaishun (廖开顺)。印度尼西亚客家的文化生态与文化适应[J]河南科
技大学学报(社会科学版).2014。
[3] Lǐ èr hé(李二和)。《中国水运史-舟船的起源》。北京:新华出版社。
2003。
[4] Luō gāng(罗钢)。文化研究读本:中国社会科学出版社。2000。
[5] Rénmín wǎng(人民网)。人民日报整版文章探讨“当今世界文化发展
趋势及其应对”2015。
[6] Rénmín wǎng(人民网)。人民日报大家手笔:中华文化是个大包容概
念。2015。
[7] Xīnhuá wǎng(新华网)。全面认识传统文化的内涵 。2015。
[8] Yanzhinan (闫志楠).中俄结婚礼仪的异同。[J] 文华中横谈。2012。
[9] 中国社会科学出版社。跨文化传播与适应研究[M]。安然,2011。
[10] Alo. 2003. Makna Budaya dalam Komunikasi Antar budaya. [M].
Yogyakarta: LkiS.
[11] Astrini. 2013. Akulturasi Budaya Cina dan Betawi dalam Busana Pengantin
Wanita Betawi.[S]. Jakarta Barat: Binus University.
[12] Devito, Joseph A. 1997. Komunikasi Antar manusia. [M]. Jakarta:
Professional Books.
[13] Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. [M].Jakarta: Rineka
Cipta.
[14] Lubis, Andriani Lusiana. 2002. Penerapan Komunikasi Lintas Budaya
diantara Perbedaan Kebudayaan [S]. Sumatera Utara: Fisip.
[13] Mulyana. 2006. Komunikasi Antar budaya: Panduan Berkomunikasi dengan
Orang-Orang Berbeda Budaya. [M]. Bandung: RemajaRoskarya. Abdul
[14] Rodzik, Ali. 2008. Akulturasi Budaya Betawi dengan Tionghoa [S].Jakarta:
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
[15] Rudiansyah. 2017. Unsur Akulturasi Budaya Pada Rumah Tjong A Fie di
Kota Medan.[T]. Jatinangor: UniversitasPadjadjaran.
[16] Silalahi, Lidawani. 2015. Proses Akulturasi Antar Etnis Jawa Dan Etnis
Batak Di Desa Malasori Kecamatan Dolok Masihul Kebupaten Serdang
Bedagai Provinsi Sumatra Utara.[S]. PekanBaru: Universitas Riau.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
25
致谢
首先本文要对耶稣基督感谢给了本人身体健康写好论文,本文的大学生
活也将结束了。写论文的过程中,本人得到了不少新的知识、新的经验。本
人能完成这篇论文得到了很多人的帮助,尤其是老师们的帮助。本文想借此
机会感谢曾经帮过我的人,即:叶铧蒂老师和 Rudiansyah 老师,作为本文
的导师,在百忙之中愿意抽时间来询问论文的情况,给本人建议、思想、细
心指导、开拓研究思路。本人还要感谢苏北大学中文系的老师们。
同时,本人要感谢亲爱的家人一直鼓励并支持。本文还要感谢中文系
2014 级的同学们,亲爱的好朋友,由于你们的鼓励这篇论文会顺利,写完
多谢你们的帮助而支持。最后,还要感谢所有帮助过我和关心过我的人。忠
心的说一声“谢谢”。希望本文会给读者带来帮助。
马训湾
2018 年 11 月 23 日
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA