ALOPESIA ANDROGENIKA
Nabila SindamiBagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP Dr. Mohammad HoesinPalembang 2012
PENDAHULUAN
Alopesia androgenika (male pattern alopecia) adalah kebotakan progresif
umum yang terjadi akibat pengaruh faktor predisposisi genetik dan androgen
terhadap folikel rambut1,2. Meskipun pola kebotakan pada perempuan berbeda
dengan laki-laki, namun female pattern alopecia juga sering disebut alopesia
androgenika karena karakteristik kebotakan yang sama pada kedua kelompok
gender yaitu ditandai dengan pemendekan fase anagen, pemanjangan fase telogen,
dan pengecilan folikel rambut yang mengakibatkan batang rambut tumbuh
semakin menipis pada setiap siklus2. Kebotakan biasa dimulai pada usia 20-an
atau awal usia 30-an dengan pola yang khas yaitu dimulai dari rambut bagian
frontal dan vertex sehingga garis rambut tampak mundur, menyisakan rambut di
bagian parietal saja2,3. Sedangkan pada perempuan, pola kebotakan lebih diffuse
dan dimulai dari puncak kepala2,3.
Prevalensi alopesia androgenika pada kelompok laki-laki ras Kaukasia
mencapai 30% pada usia 30-an tahun dan 50% pada usia 50-an tahun4. Angka
kejadian alopesia androgenika meningkat seiring dengan pertambahan usia, dapat
dilihat dari data tambahan yang menunjukkan sebanyak 80% laki-laki dari ras
Kaukasia mengalami kebotakan di usia 70 tahun2. Ras dan jenis kelamin terbukti
memiliki hubungan dengan peningkatan angka kejadian alopesia androgenika.
Berbagai penelitian menyebutkan bahwa prevalensi alopesia androgenika pada
laki-laki Afrika mencapai empat kali lebih rendah dibandingkan pada ras
Kaukasia begitu pula dengan ras Asia2,4,5. Pada perempuan, angka kejadian
alopesia androgenika juga meningkat seiring pertambahan umur, yaitu sebanyak
5% pada ras Cuacasia berumur 30 tahun dan 40% pada umur 70 tahun dan hanya
11,8% perempuan berumur 70 tahun di China yang mengalami kebotakan2,5.
Alopesia androgenika dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita
meskipun sebenarnya merupakan hal yang lazim terjadi dan bukan merupakan
penyakit serius bila dilihat dari sudut pandang medis. Penderita alopesia
androgenika sering mengalami psikologis seperti frustasi dan kehilangan rasa
percaya diri terutama pada perempuan6,7. Tidak ada terapi yang efektif untuk
menghambat progesivitas dari alopesia andogenika, meskipun pengobatan tetap
bisa dilakukan, batang rambut tidak dapat tumbuh selebat dan setebal dulu1,2.
Tujuan penulisan referat ini untuk menguraikan lebih lanjut mengenai
etiologi, patogenesis, manifestasi klinik, pemeriksaan penunjang, diagnosis
banding, penatalaksanaan, dan prognosis alopesia androgenika untuk dapat
membantu dokter menentukan diagnosis dan memberikan tatalaksana yang baik.
PEMBAHASAN
Anatomi dan Fisiologi Rambut
Rambut adalah produk keratin pada folikel rambut, dimana pergerakan
batang rambut diatur oleh otot erektor pili dan memiliki satu kelenjar sebasea tiap
batangnya. Serat rambut terdiri dari tiga lapisan sel yaitu sebuah kutikula luar,
korteks (yang membentuk sebagian besar serat dalam rambut) dan medula8.
Gambar 1. Anatomi folikel rambut8
2
Siklus folikel rambut terjadi seumur hidup sejak dari dalam rahim. Adapun
beberapa fase pertumbuhan rambut normal sebagai berikut (Gambar 2):
1. Fase anagen adalah fase dimana sel-sel matriks melalui mitosis membentuk
sel-sel baru mendorong sel yang lebih tua ke atas. Fase ini lamanya 3 tahun
(1000 hari) dengan rentang waktu 2-6 tahun.
2. Fase katagen adalah fase dimana terjadi masa peralihan yang didahului oleh
penebalan jaringan ikat di sekitar folikel rambut. Bagian tengah akar rambut
menyempit, bagian di bawahnya melebar dan mengalami kornifikasi sehingga
terbentuk gada (club). Masa peralihan ini berlangsung selama 1-2 pekan.
3. Fase telogen adalah fase istirahat dimulai dengan memendeknya sel epitel dan
berbentuk tunas kecil yang membuat rambut baru sehingga rambut gada akan
terdorong keluar. Fase ini berlangsung selama 3-5 bulan.2
Gambar 2. Siklus pertumbuhan rambut2
Etiologi
1. Faktor Genetik
Pengaruh faktor genetik terhadap kejadian alopesia androgenetika belum
diketahui secara pasti. Menurut Osborn, male pattern balding diturunkan melalui
sifat autosomal dominan pada laki-laki dan autosomal resesif pada
perempuan2,4,8,9. Dengan kata lain, laki-laki memiliki faktor predisposisi kebotakan
3
bila mereka mewarisi gen “BB” ataupun “Bb”, sedangkan perempuan hanya akan
memiliki faktor predisposisi bila mewarisi gen “BB”2,4,8,9. Namun penelitian baru-
baru ini menunjukkan bahwa alopesia androgenika lebih konsisten dengan pola
penurunan poligenik2,4,8,9. Dari sebuah penelitian pada tahun 1984, tidak
ditemukan distribusi bimodal fenotip pada populasi yang jelas mengalami
kebotakan dan yang jelas tidak mengalami kebotakan pada laki-laki dan
perempuan, yang merupakan indikasi penurunan sifat autosomal dominan.
Bersamaan dengan itu, faktor resiko kebotakan meningkat seiring dengan
banyaknya jumlah anggota keluarga yang mengalami kebotakan, menunjukkan
kesesuaian dengan pola penurunan poligenik2,8,9. Dari penelitian Victorian Family
Heart Study, didapatkan 81,5% laki-laki dengan kebotakan memilki ayah yang
juga menderita alopesia androgenika8. Gen penyebab alopesia androgenika masih
terus diteliti. Ellis, et al. menemukan kaitan antara alopesia androgenika dengan
gen polimorfik androgen reseptor pada kromosom X yaitu gen Stu1 RFLP8. Gen
Stu1 RFLP ditemukan lebih banyak pada laki-laki yang menderita alopesia
androgenika yaitu sebanyak 98,1% laki-laki botak 30an tahun dan 92,3% laki-laki
botak 70an tahun8. Selain itu, ditemukan peningkatan 5α-dihydrotestosterone
(DHT) dan 5α-reduktase pada kejadian alopesia androgenika4,8. Kedua enzim
tersebut disintesis oleh gen SRD5A1 dan SRD5A24,8. Banyak gen yang dicurigai
sebagai faktor predisposisi dari alopesia androgenika seperti gen insulin, gen
aromatase, dan area non-rekombinan pada kromosom Y, namun hubungan pasti
gen tersebut dengan alopesia androgenika dan pola kebotakan belum ditemukan
sampai sekarang4,8.
2. Pengaruh Hormonal
Pada masa pubertas, androgen mempengaruhi folikel rambut vellus pada
pubis, axilla, janggut dan dada untuk tumbuh menjadi batang rambut yang lebih
tebal dan panjang8,9. Namun, selama masa pubertas, androgen juga mengakibatkan
batang rambut yang tebal dan berpigmen mengecil dan tumbuh menjadi rambut
vellus8. Tidak ada penjelasan yang pasti mengenai efek yang bertolak belakang
dari androgen8,9. Orang yang mandul, terutama laki-laki, tidak mengalami
4
kebotakan mengindikasikan bahwa alopesia androgenika disebabkan oleh aktivasi
reseptor androgen folikular oleh DHT8. Peningkatan level DHT ditemukan pada
penderita alopesia androgenika, namun mekanisme spesifik pengaruh DHT
terhadap folikel rambut masih belum diketahui8.
Selain pengaruh secara sistemik, androgen juga memiliki pengaruh lokal
terhadap folikel rambut2,4,8. Reseptor androgen hanya terdapat pada sel dermal
papila2,3,8. Namun distribusinya berbeda pada tiap regio dan diketahui bahwa
reseptor androgen paling sedikit ditemukan pada regio oksipital, karena itu
alopesia androgenika tidak pernah mengenai regio oksipital8.
Tipe Alopesia Androgenika
Hamilton-Norwood membagi tingkat kebotakan pada laki-laki beberapa tingkatan
sebagai berikut2:
5
Gambar 4. Klasifikasi male pattern alopecia menurut Hamilton-Norwood2
Tingkat kebotakan pada perempuan juga dibagi dalam beberapa tingkatan
menurut Ludwig sebagai berikut:
Gambar 5. Klasifikasi female pattern alopecia menurut Ludwig8
Kebotakan pada perempuan lebih diffuse dibandingkan pada laki-laki3.
Biasanya terjadi kebotakan pada puncak kepala tanpa melibatkan kerontokan pada
garis rambut bagian frontal2. Kebotakan pada bagian parietal juga dapat terjadi
pada female pattern alopecia2
6
Patogenesis
Reseptor androgen pada folikel rambut hanya terdapat pada dermal
papila2,4,8. Saat androgen memasuki sel dermal papila, gen SRD5A1 dan SRD5A2
akan memproduksi enzim 5α-reduktase yang mengubah androgen menjadi
DHT4,8. Pada penderita alopesia androgenika, gen SRD5A1 dan SRD5A2
memproduksi lebih banyak enzim 5α-reduktase sehingga lebih banya DHT yang
terbentuk4,8. DHT kemudian berikatan dengan reseptor androgen dan masuk ke
dalam nukleus dari sel dermal papila dan terjadi proses transkripsi. Peningkatan
jumlah DHT menyebabkan durasi proses mitosis dari sel sepitel dermal papila
menjadi lebih singkat, sehingga waktu bagi sel dermal papila untuk
berdiferensiasi menjadi lebih sedikit8,10. Proses mitosis yang terganggu ini
menyebabkan dermal papila semakin mengecil pada tiap siklus pertumbuhan
rambut10. Dermal papila mengontrol ukuran dan tebal dari batang rambut yang
tumbuh, karena itu pada penderita alopesia androgenika yang dermal papilanya
mengecil, rambut yang tumbuhpun semakin memendek dan menipis4,8.
Pemendekan durasi miitosis dermal papila juga berarti pemendekan fase
anagen, karena fase anagen sendiri terdiri dari fase mitosis sel dermal papila yang
berdiferensiasi menjadi akar rambut dan batang rambut4,8. Pemendekan fase
anagen mengakibatkan berkurangnya waktu pertumbuhan batang rambut4,8,10.
Gambar 3. Pengecilan dermal papila pada alopesia androgenika9
Gejala klinis
7
Tanda klinis yang penting dari alopesia androgenika adalah batang rambut
yang menipis dan memendek sampai akhirnya digantikan rambut vellus1,2.
Penderita juga sering mengalami kerontokan saat keramas dan menyisir rambut
akibat meningkatnya jumlah rambut telogen2,4,8. Tampak pola kebotakan
frontotemporal dan vertex yang biasa disebut “Professor Angles”, sedangkan pada
perempuan tampak pola yang lebih diffuse dimulai dari puncak kepala2,3. Kulit
kepala tampak licin tanpa rambut dan pori-pori rambut tidak terlihat tanpa
menggunakan loop1,8. Pada kasus yang berat, terkadang ditemukan lesi kulit
berupa skuama seboroik1,2,3.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan trikogram dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis
alopesia androgenika. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mencabut 50 batang
rambut dan menghitung perbandingan jumlah rambut anagen dan telogen1,2. Pada
orang normal, akan didapatkan 80-90% rambut anagen (terdapat selubung putih
yang panjang dibagian akar rambut); sedangkan pada seseorang dengan alopesia
androgenika, jumlah rambut telogen (selubung putih didak nampak, dan bagian
akar rambut lebih besar dan lebar) lebih banyak dibandingkan rambut anagen1,2,8.
Pemeriksaan dermatopatology dapat dilakukan dengan hasil yang
ditemukan adalah pengecilan ukuran folikel rambut dan terkadang hampir atrofi1.
Pemeriksaan hormon yaitu total testosteron, testosteron bebas, sulfat
dehidroepiandrosteron (DHEAS), dan prolaktin dapat dilakukan pada penderita
alopesia androgenika perempuan1.
Penegakan Diagnosis
Diagnosis klinis alopesia androgenika dapat ditegakkan berdasarkan
riwayat perjalanan penyakit, pemeriksaan fisik, dan riwayat kebotakan dalam
keluarga1. Dari riwayat perjalanan penyakit, didapatkan kebotakan yang
berlangsung lama dan progesif1,2,8. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik,
didapatkan pola kebotakan yang khas yaitu pola “Professor Angles” dimana
tampak kemunduran garis rambut frontal dan kebotakan pada bagian vertex pada
8
pria dan pola kebotakan diffuse dimulai dari puncak kepala pada perempuan1,2,3,8.
Temuan klinis berupa pola yang khas, perjalanan penyakit yang progresif dan
lama, ditambah dengan adanya riwayat kebotakan dalam keluarga, cukup untuk
menegakkan diagnosis alopesia androgenika1,2.
Diagnosis Banding
Terdapat beberapa kemungkinan penyakit lain yang harus dipikirkan saat
menegakkan diagnosis alopesia androgenika yaitu alopesia areata, telogen
effluvium, anemia karena defisiensi besi, gangguan hormon tiroid (hipertiroid,
hipotiroid), dan lupus eritematosus. Pada alopesia areata, lesi berbatas jelas pada
area tertentu ataupun pada seluruh kulit kepala1,3. Berbeda dengan alopesia
androgenika yang lesinya lebih diffuse dimulai dari frontal dan vertex, atau
dimulai dari puncak kepala pada wanita1,2,3. Selain itu, rambut pada alopesia areata
khas disebut exclamation mark hair yang berarti batang rambut menipis ke arah
pangkal dan rambut disekitar lesi tampak normal tapi mudah dicabut1,3. Pada
alopesia androgenika, rambut tampak halus dan memendek sampai akhirnya
batang rambut tidak tumbuh dan hanya tampak rambut vellus1,2,3.
Kerontokan rambut pada telogen effluvium juga terjadi secara diffuse dan
kerontokan rambut terjadi setiap hari1,8. Membedakan telogen effluvium dan
alopesia androgenika cukup sulit dilakukan, diagnosis mungkin dapat dilakukan
dengan cara menganalisa rambut rontok yang mana pada telogen efflovium,
semua rambut yang rontok merupakan rambut telogen1,2. Riwayat kehamilan,
penggunaan pil KB, dan “crash” diet juga digunakan untuk menghilangkan
kemungkinan telogen effluvium1,8.
Tes darah lengkap digunakan untuk menghilangkan kemungkinan
kerontokan rambut akibat anemia defisiensi besi1. Pemeriksaan hormon pada
perempuan seperti total testosteron, testosteron bebas, sulfat
dehidroepiandrosteron (DHEAS), dan prolaktin dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan kerontokan rambut akibat gangguan tiroid1. Sedangkan pada lupus
eritematosus biasanya lesi terjadi pada kepala, hidung, muka, dan leher dimana
9
gambaran lesi berupa makula merah atau bercak meninggi, berbatas jelas dengan
sumbatan keratin pada folikel rambut.2,3
Penatalaksanaan
Terapi alopesia androgenika meliputi terapi sistemik, terapi topikal, dan
terapi kosmetik2,8. Terapi utama untuk alopesia androgenika adalah terapi topikal
dengan solusio minoxidil. Penggunaan topikal solusio Minoxidil 5% 2x per hari
pada laki-laki dengan alopesia androgenika membantu menurunkan jumlah
rambut rontok dan juga meningkatkan pertumbuhan rambut kembali2,8. Minoxidil
terbukti dapat mengubah rambut vellus menjadi batang rambut tebal pada 30%
pasien yang diterapi dengan topikal minoxidil, namun pemulihan sepenuhnya dari
kebotakan hanya ditemukan pada 10% pasien8. Begitu pula pada pasien
perempuan yang diterapi dengan solusio minoxidil 2% 2x per hari, terjadi
peningkatan pertumbuhan rambut pada kurang lebih 60% penderita female pattern
alopecia8.
Obat sistemik dapat juga diberikan bersama dengan obat topikal. Pada
pasien laki-laki yang mengalami kebotakan dapat diberikan Finasterid yang
merupakan antagonis dari enzim 5α-reduktase dengan dosis 1mg per hari2,8.
Pengobatan oral dengan antiandrogen seperti Spironolactone digunakan untuk
perempuan dengan alopesia androgenika karena antiandrogen dapat memblokir
reseptor dari DHT dan menghambat biosintesis dari androgen8. Spironolactone
diberikan dengan dosis 100-300mg/hari, namun dosis yang biasa digunakan
adalah 200mg/hari8. Terapi kombinasi dari obat topikal dan sistemik baik pada
laki-laki maupun perempuan dilakukan selama 6 bulan dan kemudian dilakukan
pemantauan kembali2,8.
Terapi kosmetik pada pasien alopesia areata biasanya dengan
menggunakan wig atau rambut palsu. Umumnya wig hanya digunakan pada
pasien wanita dan jarang pada pasien laki-laki1,2,8. Selain itu, berbagai prosedur
operasi dapat dilakukan antara lain hair grafts dan implantasi rambut2,8. Hair
grafts dilakukan untuk menyebar rambut pada bagian perietal dan oksipital merata
pada seluruh kulit kepala8. Sedangkan untuk transplantasi rambut masih terus
10
mengalami perbaikan karena implantasi serat rambut pada kulit kepala dapat
menyebabkan komplikasi berupa infeksi8.
Penderita alopesia androgenika sering mengalami psikologis seperti
frustasi dan kehilangan rasa percaya diri terutama pada perempuan, karena itu
dianjurkan untuk memberikan terapi psikologis bagi penderita alopesia6,7.
Tidak ada terapi yang efektif untuk menghambat progesivitas dari alopesia
andogenika, meskipun pengobatan tetap bisa dilakukan, batang rambut tidak dapat
tumbuh selebat dan setebal dulu1,2. Keberhasilan terapi alopesia androgenika
bergantung secara subjektif kepada kepuasan dari penderita terhadap hasil dari
terapi, karena pasien perlu diberikan infromasi mengenai alopesia androgenika itu
sendiri yang merupakan penyakit akibat faktor keturunan dan hormon1,2,3. Pasien
perlu diberi informasi mengenai cara pengobatan yang lama dan harus teratur
serta efek samping dari pengobatan.
Prognosis
Sebanyak 30-60% pasien penderita alopesia androgenika mengalami
perbaikan setelah diberikan terapi topikal dan sistemik, meskipun tidak
sepenuhnya mengembalikan kondisi rambut seperti semula8. Selain itu, hair grafts
dapat membantu memperbaiki kebotakan dan menghasilkan garis rambut frontal
yang cukup natural8. Keberhasilan dari terapi sendiri bergantung secara subjektif
pada kepuasan penderita dengan hasil yang dicapai6.
KESIMPULAN
Alopesia androgenika (AGA) adalah kebotakan progresif umum yang terjadi
akibat pengaruh faktor predisposisi genetik dan androgen terhadap folikel
rambut1,2. Female pattern alopecia juga sering disebut alopesia androgenika
karena karakteristik kebotakan yang sama dengan AGA yaitu ditandai dengan
pemendekan fase anagen, pemanjangan fase telogen, dan pengecilan folikel
rambut yang mengakibatkan batang rambut tumbuh semakin menipis pada setiap
siklus2. Kebotakan dimulai pada usia 20-an atau awal usia 30-an dengan pola yang
khas yaitu fronto temporal dan vertex sehingga garis rambut tampak mundur,
11
menyisakan rambut di bagian parietal saja2,3. Sedangkan pada perempuan, pola
kebotakan lebih diffuse dan dimulai dari puncak kepala2,3.
Prevalensi alopesia androgenika pada kelompok laki-laki ras Kaukasia
mencapai 30% pada usia 30-an tahun dan 50% pada usia 50-an tahun4. Angka
kejadian alopesia androgenika meningkat seiring dengan pertambahan usia baik
pada laki-laki maupun perempuan. Ras dan jenis kelamin terbukti memiliki
hubungan dengan peningkatan angka kejadian alopesia androgenika. Prevalensi
alopesia androgenika pada laki-laki Afrika mencapai empat kali lebih rendah
dibandingkan pada ras Kaukasia begitu pula dengan ras Asia2,4,5. Etiologi dan
patogenesis belum diketahui jelas tetapi terdapat beberapa teori yang diduga
berhubungan dengan kejadian alopesia areata antara lain faktor genetik dan
hormonal2,4,8,9.
Pada alopesia androgenika, batang rambut di bagian kebotakan akan
menipis dan memendek sampai akhirnya digantikan rambut vellus akibat
pemendekan fase anagen, pemanjangan fase telogen, dan pengecilan folikel
rambut1,2,8. Batang rambut akan terus memendek dan menipis sampai akhirnya
batang rambut tidak tumbuh melewati kulit kepala sehingga kulit kepala tampak
licin tanpa rambut dan pori-pori rambut tidak terlihat tanpa menggunakan loop1,8.
Terapi alopesia androgenika meliputi terapi topikal solusio minoxidil,
sistemik antiandrogen dan antagonis 5α-reduktase, operasi ,dan terapi kosmetik
dengan wig2,8. Sebanyak 30-60% pasien penderita alopesia androgenika
mengalami perbaikan setelah diberikan terapi topikal dan sistemik, meskipun
tidak sepenuhnya mengembalikan kondisi rambut seperti semula8. Selain itu, hair
grafts dapat membantu memperbaiki kebotakan dan menghasilkan garis rambut
frontal yang cukup natural8.
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Disorders of Hair Follicles and Releated Disorders. In: Wolff K, Johnson RA, editors. Fitzpatrick’s Color Atlas &Synopsis of Clinical Dermatology. 6th ed. New York: McGraw-Hill Company, 2009; p. 68-75.
2. Paus R, Olsen EA, Messenger AG. Disorders of Hair and Nails. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. Chicago: McGraw-Hill Company, 2008; p. 766-769.
3. Diseases of the Skin Appendages. In: James WD, Berger TG, Elston DM, editors. Andrews’ Disease of The Skin Clinical Dermatology. 10th ed. Canada: WB Saunders Company, 2006; p. 749-752.
4. Ellis JA, Sinclair R, Harrap SB. Androgenetic Alopecia: Pathogenesis and Potential for Therapy. Cambridge University Press, 2002. Available from: http://journals.cambridge.org/action/displayAbstract?fromPage=online&aid=202002, 19 November 2002.
5. Wang TL, et al. Prevalence of Androgenetic Alopecia in China: a Community-based Study in Six Cities. Available from: http://www.pkuph.com.cn/medicine/lib/sci_web_pdf/pk-wangtl.pdf, British Journal of Dermatology 2010;162;843-847.
6. Stough D, et al. Psychological Effect, Pathophysiology, and Management of Androgenetic Alopecia in Men. Available from: http://www.singlehair.com/articles/Mayo_Clinic_Psychological_Effect.pdf, October 2005;80(10):1316-1322.
7. Cash TV, Price PV, Savin RC. Psychological Effects of Androgenetic Alopecia on Women: Comparisons with Balding Men and with Female Control Subjects. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8408792, Old Dominion University, 1993 Oct;29(4):568-75.
8. Berker DAR, Messenger AG, Sinclair RD. Disorders of Hair. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 7th ed.. Massachusetts: Blackwell Publishing Company, 2004; pp. 63.15–63.30.
9. Sinclair RD. Male Androgenetic Alopecia. Available from: http://www.hairlossfight.com/research/male_androgenetic_alopecia.pdf, JMHG Elsevier Ireland, Desember 2004;Vol. 1;No. 4;pp. 319–327.
10. Rebora A. Pathogenesis of Androgenetic Alopecia. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15097964, University of Genoa Italy, 2004 May;50(5):777-9.
13