A. ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
1. Uji Umum Untuk Karbohidrat
1.1. Uji Molish Untuk Sukrosa dan Laktosa
Uji Molish merupakan salah satu metode pengujian secara kualitatif untuk
mengetahui adanya karbohidrat. Uji molish didasarkan pada hidrolisis karbohidrat
oleh asam sulfat pekat yang menghasilkan monosakarida. Dehidrasi monosakarida
jenis pentosa oleh asam sulfat pekat
menghasilkan furfural. Sedangkan
golongan heksosa dihidrolisis oleh asam
sulfat pekat menjadi hidroksi-metil
furfural. (Diani Latifa, 2013).
Dalam percobaan ini, salah satu
sampel yang telah diidentifikasikan dan
dibandingkan hasilnya melalui uji molish
adalah laktosa dan sukrosa. Berdasarkan
percobaan yang telah dilakukan, sukrosa
yang telah ditambahkan 2 tetes α-naftol dan 4 tetes H2SO4 pekat terbentuk dua lapisan
yang dipisahkan oleh cincin berwarna ungu, sedangkan pada laktosa yang telah
diberikan perlakuan yang sama tidak tampak adanya perubahan atau tidak terbentuk
cincin berwarna ungu. Berdasarkan literatur, pembentukan cincin ungu pada sampel
yang telah ditambahkan reagen molish, yaitu α-naphthol yang terlarut dalam etanol
dan H2SO4 pekat merupakan hasil positif dari uji molish. (Guntur Widodo, 2013).
Sampel yang digunakan keduanya sama, merupakan senyawa karbohidrat baik berupa
pentosa maupun heksosa. Akan tetapi, diperoleh hasil yang berbeda. Dengan
demikian, terdapat faktor tertentu yang mempengaruhi hasil uji molish tersebut.
Jika ditinjau terlebih dahulu berdasarkan strukturnya, sukrosa yang dihidrolisis
akan terpecah menjadi monosakarida yang berupa glukosa dan fruktosa, sementara
laktosa yang terhidrolisis terpecah menjadi glukosa dan galaktosa. Berikut adalah
gambaran perbedaan struktur dari sukrosa dan laktosa.
Gambar 1.1. : Hasil Uji Molish pada Sukrosa dan Laktosa
Kedua sampel jika
dihidrolisis sama-sama terdapat
glukosa (jenis heksosa). Jika
glukosa ini direaksikan dengan
asam kuat akan diperoleh
senyawa hidroksi-metil furfural
yang akan menjadi senyawa berwarna ungu yang berupa cincin (kwnoid) jika
direaksikan dengan α-naphthol. Berikut adalah gambaran persamaan reaksi yang
terjadi.
Dengan demikian, seharusnya kedua sampel tersebut mampu memberikan hasil
positif pada uji molish, sehingga diduga terdapat kesalahan praktikan dalam
pengujiannya terhadap laktosa. Hipotesis letak kesalahan tersebut, yaitu pada saat
penambahan larutan H2SO4 pekat yang tidak perlahan-lahan saat penuangannya
melalui dinding tabung reaksi, sehingga yang terjadi larutan H2SO4 bercampur
dengan larutan di dalamnya. Akibatnya tidak terbentuk lapisan atau cincin berwarna
ungu.
2. Uji Untuk Gula Pereduksi
2.1. Uji Benedict
Gambar 1.2. : Sukrosa dan Laktosa
Gambar 1.3. : Persamaan Reaksi Glukosa Pada Uji Molish
Setelah diidentifikasikan dan dipastikan bahwa semua sampel merupakan
senyawa karbohidrat, dilakukan pengujian selanjutnya untuk menentukan serta
mengklasifikasikan beberapa sampel
yang merupakan gula pereduksi
(memberikan hasil positif) dan yang
bukan gula pereduksi (memberikan
hasil negatif). Langkah awal yang
digunakan adalah melalui uji benedict.
Pengujian ini berdasarkan gula yang
mempunyai gugus aldehida atau keton
bebas mereduksi ion Cu2+ dalam
suasana alakalis menjadi Cu+ yang
mengendap sebagai Cu2O berwarna
merah bata (Diana Lafita, 2013).
Pada percobaan ini, hasil yang didapatkan pada sampel sukrosa dan laktosa
melalui pengujian benedict adalah keduanya memberikan hasil yang positif, yaitu
terbentuk larutan yang berwarna merah bata atau tampak kecoklatan setelah
ditambahkan 2 mL reagen benedict, 2 tetes larutan NaOH encer, dan dipanaskan
dalam penangas selama 5 menit.
Hasil percobaan tersebut membuat rancu terhadap uji benedict terhadap sampel
sukrosa, karena berdasarkan literatur sukrosa bukan merupakan gula pereduksi karena
sukrosa tidak memiliki kerangka hemiasetal yang disebabkan oleh monosakarida
penyusunnya yaitu glukosa dan fruktosa yang keduanya merupakan glikosida (Parlan,
Wahyudi, 2005:105). Selain itu juga disebutkan dalam literature lain bahwa sukrosa
tidak dapat terdeteksi oleh pereaksi benedict, karena pada struktur sukrosa (lihat
gambar 1.2), dua monosakaridanya (fruktosa dan glukosa) terikat melalui ikatan
glikosidic yang sedemikian rupa sehingga tidak mengandung gugus aldehid bebas dan
alpha hidroksi keton yang mengakibatkan tidak memiliki sifat pereduksi.
Dengan demikian, hipotesis yang dapat diajukan sebagai bentuk
penjelasan keadaan tersebut, yaitu sukrosa mengalami hidrolisis
menjadi monosakaridanya (glukosa dan fruktosa) akibatnya
Gambar 2.1. : Hasil Uji Benedict pada Laktosa dan Sukrosa
pemanasan dalam penangas air yang diduga terlalu lama. Sementara
itu, pada sebuah literatur disebutkan bahwa reagen benedict tidak
akan bereaksi dengan gugus aldehid, kecuali aldehid dalam gugus
aromatik, dan alpha hidroksi keton. Oleh karena itu, meskipun
fruktosa bukanlah gula pereduksi, namun karena memiliki gugus alpha
hidroksi keton, maka fruktosa akan berubah menjadi glukosa dan
mannosa dalam suasana basa dan memberikan hasil positif dengan
pereaksi benedict (Guntur Widodo, 2013). Akan tetapi, hasil pengujian
tersebut juga masih tetap dapat disimpulkan bahwa sukrosa
memberikan hasil negatif terhadap uji benedict karena pada bagian
bawah tabung reaksi, larutannya berwarna biru (tidak terbentuk
endapan merah bata). Hal tersebut didukung dalam sebuah literatur
yang disebutkan bahwa bentuk reaksi terhadap reagen benedict
ditandai dengan timbulnya endapan warna biru kehijauan, kuning,
atau merah bata tergantung pada kandungan kadar gula pereduksi
yang ada. Berikut adalah tabel yang menjelaskan pernyataan tersebut.
Warna Penilaian Konsentrasi
Biru/ Hijau Keruh - -
Hijau/ Hijau Kekuningan +1 kurang dari 0,5%
Kuning Kehijauan/ Kuning Keruh +2 0,5 - 1,0%
Jingga +3 1,0 - 2,0%
Merah Bata +4 Lebih dari 2%Sumber : http://edu-chem.blogspot.com/
Sementara itu, untuk hasil pengujian benedict terhadap sampel laktosa telah
sesuai dengan teorinya bahwa laktosa merupakan gula pereduksi karena atom karbon
numerik pada gula sebelah kanan adalah bagian dari hemoasteal yang
berkestimbangan dengan rantai terbuka, sehingga dapat mereduksi reagen benedict
(mengandung ion Cu2+) dan memberikan hasil positif berupa terbentuk endapan
Laktosa (aq) + CuO (aq) → Cu2O (s)
merah bata yang merupakan senyawa Cu2O (hasil reduksi CU2+ menjadi Cu+). Berikut
adalah persamaan reaksi yang terjadi.
2.2. Uji Barfoed
Percobaan yang selanjutnya adalah uji
barfoed yang digunakan untuk membedakan
monoskarida dengan disakarida. Pengujian ini
hanya berlaku bagi jenis gula pereduksi. Dengan
demikian, sampel sukrosa telah dapat diduga
akan menghasilkan uji negatif pada uji tersebut.
Reagen barfoed sendiri merupakan suatu
senyawa campuran tembaga sulfat dengan asam
asetat yang berwarna biru.
Pada percobaan ini, sebenarnya tidak ada pembanding untuk membedakan
sampel laktosa dalam uji barfoed ini. Akan tetapi berdasarkan literatur, Ion Cu2+ dari
pereaksi Barfoed dalam suasana asam akan direduksi lebih cepat oleh gula reduksi
monosakarida dari pada disakarida dan menghasilkan Cu2O (tembaga (I) oksida)
berwarna merah bata dengan mengontrol pH dan waktu pemanasannya (Guntur
Widodo, 2013). Sementara itu, pada percobaan dihasilkan endapan merah bata pada
laktosa dengan jumlah yang sedikit sedangkan pada sukrosa tidak terbentuk endapan
merah bata. Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan endapan tersebut pada
sampel laktosa (suatu disakarida) setelah melalui proses pemanasan yaitu sekitar 5-10
menit. Dengan demikian, diduga jika sampel
pembanding yang digunakan adalah suatu
monosakarida, maka akan terbentuk endapan merah
bata yang llebih cepat dari pada waktu tersebut.
Alasan endapan Cu2O lebih cepat terbentuk pada
monosakarida adalah karena senyawa Cu2+ pada
reagen barfoed tidak membentuk Cu(OH)2 terlebih
dahulu dalam suasana asam, tidak seperti halnya
Gambar 2.2. : Warna reagen barfoed adalah biru
Gambar 2.3. : Hasil Uji Barfoed pada Sukrosa dan Laktosa
pada disakarida maupun polisakarida. Berikut adalah persamaan reaksinya yang
terjadi.
3. Uji Untuk Masing-Masing Karbohidrat
3.1. Uji Seliwanoff
Pengujian yang dilakukan berikutnya adalah uji seliwanoff pada sampel sukrosa
dan laktosa. Uji seliwanoff digunakan untuk menunjukkan adanya ketoheksosa
seperti fruktosa. Reagen seliwanoff adalah resorsinol dalam HCl encer. Pendidihan
fruktosa dengan reagen seliwanoff menghasilkan
larutan berwarna merah ceri. Terdapat dua tahap
reaksi dalam pendidihan fruktosa dengan reagen
seliwanoff, yaitu dehidrasi fruktosa oleh HCl
membentuk hidroksimetilfurfural dan kondensasi
hidroksimetilfurfural dengan resorsinol
membentuk senyawa merah ceri (Eka Fiah,
2013).
Dari sumber literature tersebut, dapat
disimpulkan bahwa sukrosa juga akan
memberikan hasil positif pada uji seliwanoff karena sukrosa mudah dihidrolisis
menjadi glukosa dan fruktosa. Fruktosa yang merupakan kelompok ketoheksosa
inilah yang seharusnya akan membentuk larutan berwarna merah. Akan tetapi, pada
hasil percobaan yang dilakukan perubahan yang terjadi justru sampel sukrosa menjadi
tidak berwarna. Hal tersebut dapat terjadi
diduga karena sampel maupun reagen
seliwanoff yang telah rusak sehingga
tidak menghasilkan identifikasi yang
tepat.
3.2. Hidrolisis Polisakarida
Percobaan yang dilakukan
selanjutnya adalah menghidrolisis suatu
Laktosa (aq) + Reagen Barfoed (Campuran CuSO4+CH3COOH (aq) → Cu2O (s)
Gambar 3.1. : Struktur Senyawa Merah Ceri Hasil Positif Uji Seliwanoff
polisakarida. Sampel polisakarida yang digunakan adalah amilum. Tujuan
penghidrolisisan polisakarida ini adalah untuk dilakukan pengujian berlanjut melalui
uji iod dan uji benedict sebagai pengidetifikasian atau memastikan bahwa
polisakarida tersebut telah terhidrolisis.
Dalam percobaan ini fungsi dari penambahan HCl pekat adalah untuk
mempercepat hidrolisis amilum selain menggunakan pemanasan. Selanjutnya
dilakukan penetesan iodium pada pelat tetes pada 1 menit pertama, ternyata terjadi
perubahan warna menjadi biru kehitaman. Hal
tersebut berlangsung sama hingga menit ke-10
yang membuktikan bahwa sampel tersebut masih berupa amilum. Lalu memasuki
menit ke-11, larutan sampel yang dipanaskan yang telah ditetesi oleh larutan iod pada
pelat tetes berubah menjadi kecoklatan. Lalu pada menit ke-12 terjadi perubahan
warna kuning/jingga setelah ditetesi oleh larutan iod. Hal ini menandakan bahwa
larutan sampel bukan merupakan amilum lagi melainkan telah terhidrolisis menjadi
monoskaridanya.
Kemudian larutan sampel yang bersisa, dilakukan pengujian benedict dengan
prosedur kerja yang sama dengan percobaan sebelumnya. Hasilnya larutan sampel
berubah warna menjadi merah bata. Hal
ini semakin memperjelas bahwa amilum
telah terhidrolisis menjadi polimer glukosa, sehingga mampu memberikan hasil yang
positif pada uji benedict tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Fiah, Eka. 2013. Karbohidrat, (Online),
(h ttp://organiksmakma3c12.blogspot.com/2013/03/kar
b ohidrat.html, diakses 25 January 2014).
Lafita, Diani. 2013. 8 Jenis Uji Identifikasi Karbohidrat.
(Online), (http://edu-chem.blogspot.com/2013/05/8-
jenis-uji-identifikasi-karbohidrat.html, diakses 25
January 2014).
Parlan dan Wahyudi. 2005. Kimia Organik II. Malang: Universitas Negeri Malang (UM Press).
Gambar 3.2. Proses Penetesan Sampel Amilum yang telah diasamkan oleh HCl
pekat dan dipanaskan pasa pelat tetes
Gambar 3.3. Hasil Hidrolisis Amilum pada Uji Benedicy Berwarna Merah Bata
Widodo, Guntur. 2013. Uji pada Karbohidrat. (Online),
(http://organiksmakma3c13.blogspot.com/2013/03/uji-pada-karbohidrat.html, diakses 25
January 2014).
snsssjnjhcjkshcjshcschskdjchsghPercobaan kedua yang dilakukan dalam
percobaan ini adalah uji barfoed. Uji barfoed digunakan untuk membedakan
monosakarida dengan disakarida